Anda di halaman 1dari 174

ƵƚƌŽĨŝŬĂƐŝtĂĚƵŬĚĂŶĂŶĂƵ

WĞƌŵĂƐĂůĂŚĂŶ͕WĞŵŽĚĞůĂŶ,ĚĂŶhƉĂLJĂWĞŶŐĞŶĚĂůŝĂŶ
ƵƚƌŽĨŝŬĂƐŝtĂĚƵŬĚĂŶĂŶĂƵ
WĞƌŵĂƐĂůĂŚĂŶ͕WĞŵŽĚĞůĂŶ,ĚĂŶhƉĂLJĂWĞŶŐĞŶĚĂůŝĂŶ

ŬŽtŝŶĂƌ/ƌŝĂŶƚŽ
Z͘t͘dƌŝǁĞŬŽ
,ĂŬĐŝƉƚĂΞƉĂĚĂƉĞŶƵůŝƐĚĂŶĚŝůŝŶĚƵŶŐŝhŶĚĂŶŐͲƵŶĚĂŶŐ,ĂŬ
ƉĞŶĞƌďŝƚĂŶƉĂĚĂ/dWƌĞƐƐ

ŝůĂƌĂŶŐŵĞŶŐƵƚŝƉƐĞďĂŐŝĂŶĂƚĂƵƉƵŶƐĞůƵƌƵŚďƵŬƵŝŶŝĚĂůĂŵďĞŶƚƵŬĂƉĂƉƵŶ
ƚĂŶƉĂŝnjŝŶĚĂƌŝƉĞŶƵůŝƐĚĂŶƉĞŶĞƌďŝƚ͘

ƵƚƌŽĨŝŬĂƐŝtĂĚƵŬĚĂŶĂŶĂƵ͗WĞƌŵĂƐĂůĂŚĂŶ͕WĞŵŽĚĞůĂŶ,
ĚĂŶhƉĂLJĂWĞŶŐĞŶĚĂůŝĂŶ

WĞŶƵůŝƐ ͗ŬŽtŝŶĂƌ/ƌŝĂŶƚŽΘZ͘t͘dƌŝǁĞŬŽ
ĚŝƚŽƌ ͗ĚŝtĂƌƐŝĚŝ
ĞƐĂŝŶĞƌ^ĂŵƉƵů ͗ŶŐŐŽƌŽ
ĞƚĂŬĂŶ/ ͗ϮϬϭϵ
/^E ͗978-623-7165-26-2
SAMBUTAN
MENTERI PEKERJAAN UMUM

Diiringi dengan rasa syukur kehadirat Allah SWT, saya menyambut baik atas
penerbitan buku ƵƚƌŽĨŝŬĂƐŝtĂĚƵŬĚĂŶĂŶĂƵ͗WĞƌŵĂƐĂůĂŚĂŶ͕WĞŵŽĚĞůĂŶĚĂŶ
hƉĂLJĂ WĞŶŐĞŶĚĂůŝĂŶ. Melalui buku ini dapat diperoleh informasi bagi
masyarakat, khususnya para pemangku kepentingan waduk dan danau,
sehinggan waduk dan danau yang merupakan bagian dari pengelolaan sumber
daya air terpadu di Indonesia dapat tetap dijaga kelestarian dan kelangsungan
fungsifungsinya. Karena itu, pembangunan infrastruktur SDA untuk mengelola
waduk dan danau tersebut, sebaiknya merupakan suatu konsep pengembangan
wilayah yang berwawasan dan terpadu.
Saya berharap kiranya buku ini dapat dijadikan sebagai sumber informasi
dan pedoman atau acuan bagi masyarakat pemakai dan pihak-pihak terkait
lainnya, dalam melaksanakan pembangunan infrastruktur bidang sumber daya
air yang ramah lingkungan. Dengan informasi ini diharapkan masyarakat
pemakai dapat ikut berperan serta dalam upaya-upaya pengelolaan SDA serta
pengamanan infrastruktur tersebut dengan baik agar dapat meningkatkan
manfaat pengelolaan sumber daya air untuk kesejahteraan rakyat.

Jakarta, April 2011


Menteri Pekerjaan Umum

Djoko Kirmanto

Kementerian Pekerjaan Umum - i


SAMBUTAN
KEPALA BADAN LITBANG

Berkat Rahmat Tuhan Yang Maha Esa dan kerja keras para Peneliti Balai
Lingkungan Keairan – Pusat Penelitian dan Pengembangan Sumber Daya Air
bekerja sama dengan staf pengajar Pasca Sarjana Universitas Parahyangan
dan Jurusan Teknik Lingkungan ITB, telah diterbitkan buku ƵƚƌŽĨŝŬĂƐŝtĂĚƵŬ
ĚĂŶ ĂŶĂƵ͗ WĞƌŵĂƐĂůĂŚĂŶ͕ WĞŵŽĚĞůĂŶ ĚĂŶ hƉĂLJĂ WĞŶŐĞŶĚĂůŝĂŶ͘ Buku Ini
memberikan informasi, data teknis dan upaya pengendalian pemasalahan
eutrofikasi pada waduk dan danau, yang merupakan bagian dari pengelolaan
sumber daya air secara terpadu.
Waduk dan Danau memiliki fungsi-fungsi yang penting diantaranya, sebagai
sumber penyedia air baku, pengendalian banjir, pembangkit energi, dan
merupakan bagian dari daur hidrologi yang harus dijaga kelestariannya.
Semoga dengan terbit dan disebarluaskannya buku ƵƚƌŽĨŝŬĂƐŝ tĂĚƵŬ ĚĂŶ
ĂŶĂƵ͗WĞƌŵĂƐĂůĂŚĂŶ͕WĞŵŽĚĞůĂŶĚĂŶhƉĂLJĂWĞŶŐĞŶĚĂůŝĂŶini, Badan Litbang
PU dapat memberikan andil penting dalam pembangunan infrastruktur bidang
sumber daya air di Indonesia. Kepada Pusat Litbang Sumber Daya Air, kami
sampaikan ucapan terima kasih atas upaya penelitian ini sehingga menjadi
buku acuan yang dapat dimanfaatkan secara luas demi kesejahteraan rakyat
dan pembangunan bangsa dan negara Indonesia.

Jakarta, April 2011


Badan Litbang Pekerjaan Umum,

Ir. Mohamad Hasan, Dipl. HE


NIP. : 19530509 197811 1 001

Kementerian Pekerjaan Umum - iii


SAMBUTAN
KEPALA PUSAT LITBANG SUMBER DAYA AIR

Pembangunan bidang sumber daya air, merupakan salah satu tugas


Kementerian Pekerjaan Umum, termasuk di dalamnya pengelolaan dan
pengembangan sumber daya air sebagai salah satu komponen yang hakiki.
Oleh karena itu, pola pengembangan sumber daya air terkait pada strategi
yang berlingkup nasional maupun regional. Dalam program pemerintah
diperlukan perhatian khusus tentang pengelolaan sumber daya air dan potensi
lahan dan lingkungannya serta sumber daya manusia yang terkait dengan
kuantitas dan kualitas air itu sendiri. Ketersediaan air untuk memenuhi
kebutuhan air serta untuk berbagai sektor dalam suatu tata ruang, masih
menjadi masalah nasional dan menjadi tugas serta tanggung jawab kita
bersama baik secara inter-Kementerian maupun antar-Kementerian. Dalam
rangka menunjang program pemerintah dalam bidang IPTEK penyediaan air
baku, PUSAT LITBANG SUMBER DAYA AIR, BADAN LITBANG PEKERJAAN UMUM,
KEMENTERIAN PEKERJAAN UMUM telah berpartisipasi dalam kegiatan penelitian
dan menerbitkan buku berjudul :
Eutrofikasi Waduk dan Danau: Permasalahan, Pemodelan dan Upaya
Pengendalian Sebagaimana diketahui, waduk dan danau adalah bagian penting
dari system sumber daya air yang kita miliki, yang harus dijaga kelestariannya,
baik secara ekosistem maupun fungsi-fungsi teknis lainnya. Karena itu,
penelitian ini dimaksudkan untuk mendapatkan wawasan dan pengetahuan
tentang penyebab, model-model pengelola, dan upaya pengendalian eutrofikasi
yang telah terjadi pada waduk dan danau di Indonesia. Diharapkan dengan
adanya buku ini dapat dihasilkan usulan kebijakan maupun program kegiatan
yang menunjang keberlanjutan fungsi-fungsi waduk dan danau.
Atas segala bantuan dan kerja sama dari berbagai pihak, diucapkan banyak
terima kasih dan penghargaan yang setinggi-tingginya khusus bagi penulis, Ir.
Eko Winar Irianto, MT, Peneliti Balai Lingkungan Keairan Puslitbang SDA,
Prof. Ir. R. W. Triweko, M.Eng, PhD. Selain itu, ucapan terima kasih kami
sampaikan pula kepada Dr. Doddi Yudianto, MSc, sebagai Pengajar Pasca
Sarjana Universitas Parahyangan, dan Dr. Ir. Priana Soedjono, M.Sc, Pengajar
Jurusan Teknik Lingkungan ITB yang telah menjadi mitra bestari buku ini.

Kementerian Pekerjaan Umum - v


Mudah-mudahan buku ini dapat bermanfaat bagi semua pihak dan menjadi
bahan masukan dalam menunjang program pemerintah dalam pengembangan
potensi sumber daya air dan pengendalian daya rusak sumber daya air.

Bandung, April 2011


Kepala Pusat Litbang Sumber Daya Air,

Dr. Ir. Arie Setiadi Moerwanto, M.Sc.


NIP. 19580125 198603 1 001

vi - Kementerian Pekerjaan Umum


PRAKATA

Dengan mengucapkan puji syukur kehadirat Tuhan Yang Maha Kuasa, penulis
telah menyelesaikan Tulisan tentang Permasalahan Waduk dan Danau. Waduk
dan danau merupakan bagian dari sumber daya alam yang harus dilestarikan
keberadaannya, agar kehidupan di alam termasuk manusia tetap dapat
menjalankan fungsinya dan memenuhi kebutuhannya secara wajar. Namun
demikian, akibat tingginya kerusakan pada DAS termasuk tingginya beban
pencemaran pada badan air yang menyebabkan timbulnya kerusakan ekosistem
waduk dan danau, terutama permasalahan eutrofikasi.
Terkait dengan permasalahan tersebut, penulis berupaya menyampaikan
gagasan untuk mengidentifikasi permasalahan-permsalahan dan upaya untuk
mengurangi dampak terjadinya eutrofikasi melalui langkah pengelolaan
ekosistem waduk dan danau secara terpadu, mulai dari ekosistem DAS,
ekosistem sempadan maupun ekosistem pada perairan waduk dan danau.
Karena itu, tulisan ini diberi judul “Eutrofikasi Waduk dan Danau:
Permasalahan, Pemodelan dan Upaya Penanganan”, Melalui tulisan ini,
penulis berharap para pembaca dapat lebih memahamikonsep-konsep
pengelolaan ekosistem waduk dan danau secara terpadu, sehingga dampak
permasalahan eutrofikasi yang timbul pada badan air dapat dikurangi.
Penulis menyadari bahwa, tulisan ini tidak mungkin diselesaikan tanpa
bantuan dan dukungan pihak-pihak yang telah memberikan bantuan berupa
wawancara, data-data maupun makalahmakalah hasil kajian yang bermanfaat
dalam penyusunan tulisan ini. Karena itu, pada kesempatan ini pula penulis
mengucapkan terima-kasih kepada pihak-pihak yang membantu penulisan ini,
terutama kepada:
a. Dr.Ir.Arie Setiadi Moerwanto,MSc., selaku Kepala Pusat Litbang Sumber
Daya Air beserta jajarannya yang telah mengizinkan penulis untuk
menggunakan data-data dan kajian-kajian yang ada di Puslitbang SDA;
b. Dr.Ir Badruddin Machbub, Dipl.HE., profesional dan Ahli Peneliti Utama
Bidang Lingkungan Keairan yang telah memberikan waktunya untuk
berdiskusi dan membagi pengalamannya dengan penulis;
c. Dr. Simon Brahmana,CES., Peneliti Utama Bidang Teknik Lingkungan Sumber
Daya Air yang bersedia berbagi data dan makalah hasil kajian untuk
melengkapi tulisan ini;
d. Ir. Ratna Hidayat, Peneliti Madya Bidang Teknik Lingkungan Sumber Daya
Air yang juga bersedia berbagi data serta hasil kajian untuk
mengembangkan tulisan ini; dan

Kementerian Pekerjaan Umum - vii


e. Berbagai pihak yang telah membantu, namun belum disebutkan dalam
tulisan ini;
Semoga bermanfaat, dan Selamat Membaca.

Bandung, April 2011


Penulis

viii - Kementerian Pekerjaan Umum


DAFTAR ISI

Halaman
KATA SAMBUTAN
Sambutan Menteri Pekerjaan Umum ..................................................... i
Sambutan Kepala Badan Litbang Pekerjaan umum ............................ iii
Sambutan Kepala Puslitbang sumber Daya Air ..... ............................ v

PRAKATA .......................................................................................................... vii


DAFTAR ISI .................................................................................................. ix
DAFTAR TABEL .............................................................................................. xii
DAFTAR GAMBAR ........................................................................................ xiv
DAFTAR KOTAK ............................................................................................. xvii

BAB I. PENDAHULUAN .......................................................................... 1


1.1 Latar Belakang ................................................................ 1
1.2 Tujuan dan Manfaat Penulisan ...................................... 3
1.3 Ruang Lingkup Pembahasan ........................................... 4
1.4 Sistematika Pembahasan .............................................. 4
BAB II. KONDISI DANAU DAN WADUK DI INDONESIA ......................... 7
2.1 Kondisi Danau dan Waduk .......................................... 7
2.1.1 Kondisi Fisik ........................................................ 7
2.1.2 Kondisi Kualitas Air .............................................. 11
2.2 Manfaat Danau dan Waduk ......................................... 12
2.3 Permasalahan Danau dan Waduk ............................... 14
2.4 Peranan Danau dan Waduk sebagai Pengendali
Kualitas Air ....................................................................... 20
2.4.1 Profil Longitudinal Kualitas Air ....................... 20
2.4.2 Variasi Kualitas Air Bulanan ............................ 29

Kementerian Pekerjaan Umum - ix


BAB III. KRITERIA, INDIKATOR DAN PARAMETER EUTROFIKASI ................. 35
3.1 Kriteria Status Mutu Air Danau dan Waduk .................... 35
3.2 Penerapan SMED pada Waduk ........................................... 41
3.3 Klarifikasi Eutrofikasi ............................................................ 46
3.4 Indikator Potensial yang Harus Dikontrol ....................... 50
3.4.1 Parameter Fisika ....................................................... 51
3.4.2 Parameter Kimia ........................................................ 52
BAB IV. PEMICU EUTROFIKASI PADA WADUK DAN DANAU .................... 59
4.1 Kelimpahan Plankton ............................................................ 59
4.2 Peningkatan Zat Hara ............................................................ 61
4.2.1 Senyawa Nitrogen ....................................................... 61
4.2.2 Senyawa Fosfor .......................................................... 64
4.3 Fenomena Kolam Jaring Apung ............................................. 65
4.4 Pencemaran Daerah Aliran Sungai ..................................... 68
BAB V. PEMODELAN EUTROFIKASI ............................................................ 71
5.1 Korelasi Parameter Eutrofikasi ........................................ 71
5.2 Penentuan Daya Tampung Beban Pencemaran
(DTBP) ................................................................................... 73
5.2.1 Penentuan DTBP pada Danau dan Waduk .............. 73
5.2.2 DTBP Budidaya Perikanan Keramba Jaring
Apung ............................................................................. 75
5.3 Model Aplikasi Pengelolaan Danau dan Waduk .............. 78
5.3.1 Model CE-Qual-W2 ....................................................... 78
5.3.2 Model Aplikasi Water Quality Simulation
program ......................................................................... 80
5.4 Pemodelan Dinamik Eutrofikasi ........................................ 83
5.5 Pemodelan Tunak Senyawa Nutrien dan Organik ........... 84
5.6 Pemodelan Penginderaan Jauh .......................................... 88
BAB VI. DAMPAK DAN UPAYA PENGENDALIAN EUTROFIKASI .................... 93
6.1 Dampak Eutrofikasi ............................................................. 93

x - Kementerian Pekerjaan Umum


6.1.1 Pencemaran Air Baku ................................................... 93
6.1.2 Penurunan Produksi Perikanan ................................... 93
6.1.3 Penurunan Kualitas Air Minum .................................. 95
6.1.4 Gangguan Ekosistem dan Estetika Perairan ............... 96
6.1.5 Gangguan Transportasi dan Operasi dan
Pemeliharaan Waduk .................................................. 97
6.2 Upaya Pengendalian Eutrofikasi ........................................ 98
6.2.1 Upaya Alami ................................................................... 98
6.2.2 Upaya Fisika-Kimia-Biologi ........................................ 99
6.2.3 Peningkatan Peran Masyarakat Dalam
Pengelolaan Waduk .................................................... 105
6.3 Pengendalian Pencemaran DAS Terpadu ........................... 107
BAB VII. STRATEGI PENGELOLAAN TERPADU EKOSISTEM DANAU DAN
WADUK ............................................................................................... 113
7.1 Strategi Nasional Terpadu Pengelolaan Waduk dan
Danau ......................................................................................... 113
7.2 Pengendalian Pencemaran Terpadu Daerah
Tangkapan Air Waduk/Danau .............................................. 118
7.3 Analisis SWOT Pengendalian Pencemaran DAS dan
Waduk/Danau ............................................................................ 123
7.3.1 Identifikasi Analisis SWOT .......................................... 123
7.3.2 Strategi Hasil Analisis SWOT ........................................ 125
7.3.3 Indikator KinerjaKomponen Hasil SWOT .................. 128
BAB VIII. KESIMPULAN DAN SARAN ................................................................ 131
8.1 Kesimpulan ................................................................................ 131
8.2 Saran ......................................................................................... 133

Kementerian Pekerjaan Umum - xi


DAFTAR TABEL

No Tabel Keterangan Halaman

Tabel 1-1 Perbandingan karakteristik antara danau


dan waduk .............................................................................. 1
Tabel 2-1 Klasifikasi danau dan waduk berdasarkan luas dan
volume ..................................................................................... 8
Tabel 2-2 Hubungan antara tipe danau dan karakteristik
pencampuran Air ................................................................... 9
Tabel 2-3 Kondisi kualitas air di Sungai Citarum bagian hulu
sebagai input Waduk Saguling di Musim kering,
2001 ......................................................................................... 15
Tabel 2-4 Rentang konsentrasi minimum-maksimum tiap
parameter pada epilimion dan hipolimnion pada danau
dan waduk di Indonesia ........................................................ 16
Tabel 2-5 Karakteristik fisik dan kualitas air danau
di Indonesia ............................................................................ 17
Tabel 2-6 Karakteristik fisik dan kualitas air waduk
di Indonesia ............................................................................ 18
Tabel 3-1 Nilai skor parameter yang tidak memenuhi standar ....... 36
Tabel 3-2 Penentuan status mutu air berdasarkan
Metode Storet .......................................................................... 36
Tabel 3-3 Parameter kualitas air untuk penentuan status
korosifitas perairan ............................................................... 37
Tabel 3-4 Kriteria Status Ekosistem Akuatik ....................................... 39
Tabel 3-5 Kriteria Status Ekosistem Sempadan ................................. 40
Tabel 3-6 Kriteria Status Ekosistem Daerah Tangkapan ................... 41
Tabel 3-7 Penerapan Kriteria Status Ekosistem pada Waduk
Saguling dan Waduk Sutami ................................................ 43
Tabel 3-8 Kategori Status Trofik Wetzel’s ............................................. 47
Tabel 3-9 Kriteria klasifikasi status trofik untuk perairan danau
dan waduk ............................................................................... 48
Tabel 3-10 Kategori Status Trofik Danau Metode UNEP-ILEC ............. 49
Tabel 3-11 Kategori Status Trofik Danau Metode Carlson ................. 50
Tabel 3-12 Hasil pengukuran kualitas air di Waduk Saguling, Cirata
dan Jatiluhur .......................................................................... 57

xii - Kementerian Pekerjaan Umum


Tabel 5-1 Aplikasi Daya Tampung Beban Pencemaran Air (DTBPA)
Waduk Untuk Budidaya Perikanan KJA
(Machbub,2007) ....................................................................... 76
Tabel 7-1 Kondisi danau dan kebutuhan rencana aksi ....................... 114
Tabel 7-3 Sumber Pencemaran Tersebar pada DAS dan
Permasalahan Lingkungan dan Upaya Pengendalian ....... 119
Tabel 7-4 Sumber pencemaran dan zat pencemar pada ekosistem
DAS, sempadan dan waduk/danau ...................................... 121

Kementerian Pekerjaan Umum - xiii


DAFTAR GAMBAR

No Gambar Keterangan Halaman

Gambar 2-1 Perbandingan karakteristik antara danau


dan waduk ........................................................................... 9
Gambar 2-2 Distribusi Suhu, DO, pH, Konduktivitas dan Turbiditas
Waduk Sutami Bulan Juni 2003 ........................................ 10
Gambar 2-3 Kondisi marak alga di Waduk Sutami ............................ 12
Gambar 2-4 Diagram permasalahan external dan internal yang
berpengaruh terhadap kondisi waduk dan danau
di Indonesia .......................................................................... 19
Gambar 2-5 Skema Waduk Kaskade Citarum dan lokasi
pengambilan sampel .......................................................... 21
Gambar 2-6 Skema profil longitudinal waduk kaskade Citarum .... 22
Gambar 2-7 Profil kadar organik, fecal coli dan logam berat
sepanjang S.Citarum .......................................................... 23
Gambar 2-8 Profil kadar Oksigen Terlarut (DO), Senyawa Nutrien
dan Partikel Tersuspensi Sepanjang S.Citarum ........... 24
Gambar 2-9 Profil pH Sepanjang Sungai Citarum .............................. 26
Gambar 2-10 Variasi bulanan kadar organik, oksigen terlarut dan
pH sebelum dan sesudah Waduk Kaskade ................... 27
Gambar 2-11 Variasi bulanan senyawa nutrien (nitrogen dan
phosphor) sebelum dan sesudah Waduk Kaskade ....... 28
Gambar 2-12 Kondisi kualitas air di sekitar tubuh bendung Waduk
Saguling ................................................................................. 30
Gambar 2-13 Kondisi kualitas air di sekitar intake
Waduk Cirata ...................................................................... 31
Gambar 2-14 Kondisi kualitas air di sekitar tubuh bendung Waduk
Jatiluhur ............................................................................... 32
Gambar 4-1 Model dinamik Eutrofikasi akibat biomassa
plankton ................................................................................ 61
Gambar 4-2 Diagram senyawa nitrogen pada badan air ................ 63
Gambar 4-3 Diagram senyawa nitrogen pada badan air ............... 65
Gambar 4-4 Diagram pola hubungan antara petani jaring apung
dan pengelola waduk ...................................................... 68
Gambar 5-1 Korelasi antara fosfor dan klorofil-a ........................... 71
Gambar 5-2 Korelasi transparansi (kedalaman Sechi) dan
klorofil-a .............................................................................. 72

xiv - Kementerian Pekerjaan Umum


Gambar 5-3 Pendekatan skematik untuk memprediksi variable
status trofik berdasarkan prediksi model beban
fosfor ...................................................................................... 72
Gambar 5-4 Model penghitungan Daya Tampung Beban
Pencemaran Air Danau dan waduk .................................. 75
Gambar 5-5 Model penghitungan Daya Tampung Beban
Pencemaran Air Danau untuk Limbah Budidaya
Perikanan .............................................................................. 77
Gambar 5-6 Contoh pembuatan grid dan segmentasi model
aplikasi CE-QUAL-W2 pada Danau Wako,
Amerika Serikat .................................................................... 79
Gambar 5-7 Contoh potongan vertikal grid dan segmentasi model
aplikasi CEQUAL-W2 pada Danau Wako,
Amerika Serikat .................................................................... 80
Gambar 5-8 Hubungan parameter kualitas air pada model
WASP ....................................................................................... 82
Gambar 5-9 Kerangka kerja model aplikasi WASP ........................... 82
Gambar 5-10 Diagram model dinamik pengelolaan waduk ............... 83
Gambar 5-11 Model kinetika interaksi pada siklus alga, senyawa
Nitrogen (N) dan Fosfor (P) pada model aliran tunak
Waduk dan Danau ........................................................... 85
Gambar 5-12 Perbandingan hasil sebelum proses dan setelah
proses dengan kanal Band-5 untuk menentukan
wilayah interes .................................................................... 88
Gambar 5-13 Penentuan wilayah interes (a) Hasil rasio antara
kanal biru dan Inframerah Tengah pada
Waduk Cirata ........................................................................ 89
Gambar 5-14 Estimasi dan zonasi kandungan klorofil-a di Waduk
Cirata (a), Waduk Saguling (b), Waduk Jatiluhur (c),
and Waduk Wonogiri reservoir ....................................... 89
Gambar 5-15 Estimasi dan zonasi klorofil-a pada Waduk Sutami .. 90
Gambar 5-16 Korelasi antara “angka digital” dan konsentrasi
klorofil ................................................................................ 90
Gambar 6-1 Skema kejadian kematian ikan secara masal pada
perairan waduk dan danau hipereutrofik ..................... 94
Gambar 6-2 Mikrostrainer untuk pra pengolahan air baku
tercemar akibat eutrofikasi ............................................... 96

Kementerian Pekerjaan Umum - xv


Gambar 6-4 Gangguan transportasi akibat eutrofikasi pada Inlet
Waduk Saguling ............................................................... 98
Gambar 6-5 Skema penghambatan zona epilimnion dengan
sirkulasi air ......................................................................... 100
Gambar 6-6 Pelaksanaan pengendalian eutrofikasi dengan
Alum ..................................................................................... 102
Gambar 6-7 Pengelolaan IPAL penduduk bersama dengan
masyarakat di sekitar Waduk Sutami ............................. 106
Gambar 6-8 Kerjasama penghijauan lahan kritis dan
pemanfaatan sabuk hijau di DAS Brantas ..................... 107
Gambar 6-9 Pelaksanaan pengelolaan DAS secara terpadu untuk
perlindungan badan air ................................................... 108
Gambar 6-10 Aplikasi proses biodigester, sederhana untuk energi
alternatif .............................................................................. 109
Gambar 6-11 Pemanfaatan proses anaerobic dan filter tetes untuk
pengendalian pencemaran peternakan rakyat ........... 111
Gambar 7-1 Kondisi Danau Tempe saat musim kering dan musim
hujan .................................................................................... 115
Gambar 7-2 Danau Limboto yang makin dangkal ............................. 117
Gambar 7-3 Identifikasi sumber-sumber pencemar dan
permasalahan yang terjadi pada ekosistem DAS,
eksosistem sempadan dan ekosistem waduk ............... 120
Gambar 7-4 Sasaran pengendalian pecemaran DAS terpadu untuk
perbaikan ekosistem waduk/danau dan pemangku
kepentingan terkait ........................................................... 122
Gambar 7-5 Komponen dan indikator pendukung keberhasilan
program pengendalian pencemaran DAS dan waduk/
danau secara terpadu ......................................................... 127

xvi - Kementerian Pekerjaan Umum


DAFTAR KOTAK

No Gambar Keterangan Halaman

Kotak 2-1 Permasalahan Waduk DAS Citarum ............................... 20


Kotak 3-1 Contoh aplikasi kriteria STORET untuk menetapkan
status mutu perairan waduk .......................................... 37
Kotak 3-2 Evaluasi korosifitas Waduk Saguling dan Cirata .......... 38
Kotak 7-1 Permasalahan dan penanganan Danau Tempe ........... 116
Kotak 7-2 Permasalahan dan Penanganan Danau Limboto pada
DAS Limboto ....................................................................... 117

Kementerian Pekerjaan Umum - xvii


Pusat Penelitian dan Pengembangan Sumber Daya Air

BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Danau dan waduk merupakan sumber daya air tawar yang berada di
daratan yang berpotensi sangat besar serta dapat dikembangkan dan
didayagunakan bagi pemenuhan berbagai kepentingan. Secara prinsip, danau
dan waduk adalah sebagai habitat air tergenang yang merupakan cekungan
yang berfungsi menampung air dan menyimpan air yang berasal dari air hujan,
air tanah, mata air ataupun air sungai.
Perbedaan antara danau dan waduk adalah bentuk kejadiannya, yaitu
danau karena peristiwa alam, sedangkan waduk merupakan buatan manusia.
Peraturan Menteri Lingkungan Hidup Nomor 28/2009 Pasal 1 menyatakan bahwa
danau adalah wadah air dan ekosistemnya yang terbentuk secara alamiah
termasuk situ dan wadah air yang sejenis dengan sebutan istilah lokal. Waduk
adalah wadah air yang terbentuk akibat dibangunnya bendungan dan berbentuk
pelebaran alur atau badan atau palung sungai. Adapun perbedaan
selengkapanya antara waduk dan danau adalah terlihat pada Tabel 1.1.

Kementerian Pekerjaan Umum - 1


Eutrofikasi Waduk dan Danau : Permasalahan, Pemodelan dan Upaya Pengendalian

Tabel 1 menunjukkan proses pembentukan danau yang lebih lama


daripada waduk, sehingga ekosistem danau terutama bagian dalam yang lebih
stabil daripada ekosistem waduk. Hal tersebut disebabkan saluran outlet
danau yang berada di permukaan, sedangkan outlet waduk berada di tempat
dalam. Berdasarkan fluktuasi muka air, danau memiliki fluktuasi muka air
yang lebih kecil daripada fluktuasi muka air waduk. Perubahan muka air danau
terjadi secara alami, sedangkan muka air waduk dikendalikan oleh manusia,
yang menyebabkan hidrodinamika waduk lebih bervariasi daripada danau.
Meskipun demikian, danau dan waduk mempunyai potensi strategis dan
manfaatnya bersifat serbaguna, baik secara ekologis maupun ekonomis
(Lehmusluto, dkk,1995). Waduk memiliki fungsi utama untuk pembangkit listrik
tenaga air (PLTA), irigasi dan pencegah banjir. Selain itu, perairan waduk dapat
dimanfaatkan untuk kebutuhan rumah-tangga atau domestik, industri,
transportasi, perikanan dan pariwisata (Machbub dkk, 2003). Sebagai bagian
dari lingkungan dan sebagai sumber air, waduk merupakan tempat
berkumpulnya air secara alami melalui aliran permukaan maupun air tanah
(Straskaba dan Tundisi, 1999).
Di negara berkembang seperti Indonesia, pada umumnya daerah aliran
sungai (DAS) telah mengalami degradasi lingkungan yang serius akibat kegiatan
manusia atau anthropogenic, terutama pada sektor pertanian, kehutanan,
perikanan, industri dan pariwisata (Mukerjee, 2009). Pada saat yang sama,
International Council for the Exploration of the Sea atau ICES (2009) menyatakan
bahwa pada DAS terdapat berbagai kegiatan yang membuang limbah secara
langsung maupun tidak langsung masuk kedalam perairan waduk, sehingga
berbagai unsur pencemaran air dari DAS serta sempadan waduk yang terbawa
aliran permukaan maupun tanah akan masuk ke dalam perairannya.
Untuk mengatasi permasalahan tersebut, Mukerjee (2009) menyarankan
perlunya dilakukan upaya pengelolaan DAS secara terpadu melalui program
aksi yang melibatkan partisipasi masyarakat untuk mengurangi beban
pencemaran yang masuk ke dalam waduk atau danau. Upaya terpadu khususnya
pengendalian pencemaran pada DAS diperlukan agar tidak makin mencemari
badan air penerima. Upaya terpadu tersebut diperlukan, karena beban
pencemaran dari berbagai sektor pada DAS cenderung terus meningkat bila
tidak segera dilakukan upaya penanganan (Bukit, 1995).
Machbub, dkk (2003) juga mengingatkan bahwa pencemaran yang
cenderung makin meningkat dapat mengakibatkan kelestarian fungsi ekosistem
perairan waduk di Indonesia terganggu. Masalah pendangkalan atau
sedimentasi serta permasalahan pencemaran air dari air limbah akibat
aktivitas manusia, yaitu domestik, industri, pertambangan, pertanian dan

2 - Kementerian Pekerjaan Umum


Pusat Penelitian dan Pengembangan Sumber Daya Air

peternakan akan mengakibatkan timbulnya eutrofikasi maupun perubahan


fungsi lainnya.
Permasalahan eutrofikasi danau dan waduk terjadi akibat pencemaran
limbah penduduk dan juga sedimentasi yang mengandung senyawa nutrient
atau zat hara. Proses penyuburan perairan waduk dan danau dapat terjadi
secara alamiah maupun kultural. Brahmana, dkk (1993) menjelaskan bahwa
eutrofikasi alamiah adalah terjadi secara alamiah atau tanpa pengaruh
aktifitas manusia. Sedangkan eutrofikasi kultural adalah eutrofikasi yang
dipengaruhi oleh limbah penduduk, limbah pertanian, limbah industri dan
sebagainya. Karena itu, permasalahan penurunan kualitas lingkungan yang
terjadi pada danau dan waduk menjadi perhatian secara global.
Perhatian global terhadap persoalan waduk dan danau ini dijelaskan
oleh Jorgensen (2001) yang menyatakan bahwa permasalahan utama waduk
dan danau di seluruh dunia diantaranya: (a) terjadinya sedimentasi yang tinggi
pada danau dan waduk yang disebabkan oleh erosi tanah akibat perubahan
atau penggunaan lahan yang tidak terkendali pada DAS; (b) terdeteksinya proses
asidifikasi danau akibat adanya hujan asam yang dapat mengganggu perikanan
dan degradasi ekosistem; (c) terdegradasinya kualitas perairan waduk dan
danau akibat pencemaran air limbah, organisme dengan zat pencemar beracun
atau toksik yang berasal dari limbah pertanian dan limbah industri; (d)
timbulnya proses eutrofikasi akibat masuknya senyawa nitrogen dan/atau
fosfor hasil dari kegiatan industri, pertanian, domestik, limpasan permukaan
dan-lainnya, dan menimbulkan marak atau “bloom” pada fitoplankton,
pencemaran air dan penurunan biodiversitas; dan (e) terjadi perubahan total
(completetly collapse) pada ekosistem akuatik pada kasus ekstrim.
Karena itu, diperlukan kerjasama yang baik antara pemangku kepentingan
dan kajian yang menyeluruh mengenai permasalahan dan penanganan
eutrofikasi di kawasan danau dan waduk sebagai implementasi pelaksanaan
pengelolaan SDA secara terpadu dan kemudian dimanifestasikan menjadi
pedoman-pedoman pengelolaan kawasan danau atau waduk. Dengan demikian,
kelestarian lingkungan hidup yang didalamnya terdapat manusia dan alam
tetap terjamin.

1.2 Tujuan dan Manfaat Penulisan


Tujuan penulisan ini adalah memberikan informasi tentang permasalahan
eutrofikasi yang sering terjadi pada danau dan waduk, yang menjadi perhatian
secara global. Tulisan ini juga dapat dijadikan acuan upaya pengelolaan danau
dan waduk yang terintegrasi dalam pengelolaan DAS, sebagaimana konsep

Kementerian Pekerjaan Umum - 3


Eutrofikasi Waduk dan Danau : Permasalahan, Pemodelan dan Upaya Pengendalian

pengelolaan sumber daya air secara terpadu, seperti yang telah diamanatkan
dalam UU Nomor: 4 Tahun 2004. Selain itu, tulisan ini diharapkan dapat menjadi
rujukan dalam pengelolaan ekosistem di sekitar kawasan danau dan waduk,
dan menjadi pedoman terwujudnya langkah-langkah pengelolaan danau dan
waduk secara efisien untuk mencegah timbulnya penyuburan yang berlebihan
dengan mempertimbangkan aspek lingkungan serta keterpaduan antar sektor.
Tulisan ini diharapkan juga memberi manfaat antara lain: (1)
teridentifikasinya potensi dan permasalahan terjadinya proses eutrofikasi
atau penyuburan di kawasan danau dan waduk; (2) terwujudnya strategi
pengelolaan danau dan waduk yang berwawasan lingkungan terutama untuk
mencegah timbulnya penyuburan berlebihan; (3) terumuskannya kebutuhan
sarana dan prasarana yang mendukung pengembangan dan pengelolaan danau
dan waduk; serta (4) terbentuknya acuan pengelolaan waduk dan danau secara
ramah lingkungan dan berkelanjutan.

1.3 Ruang Lingkup Pembahasan


Dalam tulisan ini akan dibahas permasalahan eutrofikasi pada danau
dan waduk, pemodelan serta upaya pengendaliannya, yang mencakup:
a. Kondisi danau dan waduk di Indonesia;
b. Manfaat, peranan dan permasalahan danau dan waduk di Indonesia;
c. Kriteria, indikator serta parameter timbulnya eutrofikasi;
d. Fenomena penyebab, pemodelan dan langkah penanganan eutrofikasi;
serta;
e. Strategi pengelolaan waduk dan danau yang berkelanjutan dan
berwawasan lingkungan.

1.4 Sistematika Pembahasan


Tulisan dimulai dengan Bab Pendahuluan yang menjelaskan latar
belakang permasalahan, tujuan dan manfaat kajian, ruang lingkup
pembahasan, serta sistematika isi. Pada Bab II dijelaskan kondisi danau
dan waduk di Indonesia, manfaat danau dan waduk, permasalahan yang
sering terjadi pada danau dan waduk. Pada bab ini juga dijelaskan tentang
peranan danau dan waduk sebagai pengendali kualitas air serta kondisi
kualitas air danau dan waduk.
Untuk mengidentifikasi permasalahan pada danau dan waduk
diperlukan pengetahuan tentang kriteria, indikator dan parameter eutrofikasi.

4 - Kementerian Pekerjaan Umum


Pusat Penelitian dan Pengembangan Sumber Daya Air

Pada Bab III ini dijelaskan kriteria status ekosistem danau, indikator
potensial timbulnya eutrofikasi, serta klasifikasi eutrofikasi berdasarkan
standar yang telah ditetapkan, baik secara nasional maupun internasional.
Penyebab timbulnya eutrofikasi dibahas pada Bab IV. Dalam bab ini
dibahas beberapa penyebab timbulnya eutrofikasi, antara lain meningkatnya
kelimpahan plankton yaitu fitoplankton dan zooplankton, meningkatnya zat
hara yang terdiri dari konsentrasi senyawa nitrogen terlarut serta senyawa
fosfor sebagai faktor pembatas. Selain itu, pada bab ini juga dibahas sumber
pencemaran dari kolam jaring apung (KJA) dan pencemaran DAS yang terdiri
dari berbagai sumber, yaitu sumber alami, perkotaan, pertanian dan
peternakan.
Untuk dapat melakukan pengelolaan dengan baik diperlukan pengetahuan
tentang proses terjadinya eutrofikasi, yang dijelaskan dengan pemodelan
secara matematik. Masalah tersebut dibahas dalam Bab V yang membahas
korelasi antara parameter eutrofikasi, penentuan daya tampung beban
pencemaran, contoh model aplikasi seperti CE-Qual-2E dan WASP (Water
Analysis Simulation Programs) juga pemodelan dinamik untuk pengambilan
keputusan dan pemodelan kualitas air waduk melalui teknologi penginderaan
jauh.
Timbulnya permasalahan eutrofikasi pada danau dan waduk
menyebabkan berbagai dampak terhadap estetika, ekologi, kesehatan manusia
serta dampak secara fisik dan ekonomi. Dengan teridentifikasinya dampak
permasalahan eutrofikasi, maka dapat dilakukan upaya-upaya
pengendaliannya. Upaya-upaya yang dibahas dalam penulisan ini adalah
upaya secara alami, secara fisika-kimia dan upaya terpadu melalui
pengelolaan DAS. Permasalahan dan upaya pengendalian eutrofikasi tersebut
dibahas dalam Bab VI pada laporan ini. Pada Bab VI ini juga dibahas mengenai
pendekatan-pendekatan yang harus dilakukan untuk menghindarkan waduk
dan danau dari ancaman eutrofikasi. Sedangkan strategi untuk pengelolaan
terpadu ekosistem waduk dan danau, baik dalam lingkup nasional maupun
dalam skala DAS, dibahas pada Bab VII. Pada Bab VII tersebut dibahas pula
analisis SWOT untuk mengidentifikasi kekuatan, kelemahan, peluang dan
ancaman pada tiap komponen pendukung keberhasilan pengendalian
pencemaran DAS dan waduk atau danau secara terpadu.
Penulisan ini diakhiri pada Bab VIII dengan bab penutup yang berisi
kesimpulankesimpulan yang bermanfaat untuk pengembangan pengelolaan
danau dan waduk yang berwawasan lingkungan terutama dalam rangka
mencegah atau bahkan mengatasi timbulnya permasalahan eutrofikasi.

Kementerian Pekerjaan Umum - 5


Eutrofikasi Waduk dan Danau : Permasalahan, Pemodelan dan Upaya Pengendalian

6 - Kementerian Pekerjaan Umum


Pusat Penelitian dan Pengembangan Sumber Daya Air

BAB II
KONDISI WADUK DAN DANAU DI INDONESIA

2.1 Kondisi Umum Danau dan Waduk


2.1.1 Kondisi Fisik
Bemmelen (1949) dalam (Lehmusloto dkk, 1995) menggambarkan bahwa di
Indonesia terdapat kurang lebih danau kategori besar dengan luas lebih dari
50 hektar sebanyak 500 buah. Danau tersebut tersebar pada beberapa pulau
besar yaitu Sumatra, Jawa, Kalimantan Sulawesi, Papua serta Pulau Bali. Namun
demikian, lokasi waduk sebagian besar berlokasi di Pulau Jawa. Selain danau
dengan kategori besar juga terdapat danau-danau kecil yang jumlahnya ribuan
dan waduk kecil yang dikenal dengan sebutan embung. Danau kecil sering
disebut sebagai situ yang berukuran besar. Di Provinsi Jawa Barat terdapat
354 buah situ, di Provinsi Jawa Timur 438 buah situ. Danau terbesar di Indonesia
adalah Danau Toba yang terletak 905 meter di atas permukaan laut (dpl),
panjang 275 km, lebar 150 km dengan luas 1.130 km2, dengan kedalaman
maksimum 529 m di bagian utara dan 429 m di bagian selatan. Danau Toba
merupakan danau terdalam ke sembilan di dunia dan merupakan danau tipe
vulkanik kaldera yang terbesar di dunia. Danau yang terdalam di Indonesia
adalah danau Montana di Sulawesi Tengah dengan kedalaman maksimum 590
m dan merupakan danau terdalam ketujuh di dunia.
Kedalaman danau di Indonesia bervariasi antara 50 – 200 meter, namun banyak
juga yang berkedalaman kurang dari 50 meter. Sebagaian besar danau-danau
tersebut belum diketahui volumenya dengan pasti sampai saat ini. Demikian
juga halnya presipitasi, evaporasinya serta debit aliran masuk dan aliran
keluar. Sebab itu, waktu tinggal air danau secara pasti tidak diketahui, sehingga
daya tampung beban pencemaran sebenarnya juga tidak diketahui. Hal tersebut
berakibat pemanfaatan bagi danau untuk berbagai keperluan sulit untuk
diprogramkan.
Lain halnya dengan waduk, pembangunan waduk jelas diprogramkan untuk
berbagai keperluan antara lain pembangkit listrik, irigasi, pengendalian banjir,
sumber air baku air minum,
air industri, penggelontoran, air perikanan, atau tempat pariwisata. Jumlah
tenaga listrik yang dihasilkan dari tenaga air yang berasal dari air waduk ada
sebanyak 3,4% dari total dari kebutuhan nasional (Machbub,dkk.,2003).
Waduk sering juga disebut danau buatan yang besar. Peraturan Pemerintah
Nomor 37 tahun 2010 tentang Bendungan menyatakan bahwa bendungan atau

Kementerian Pekerjaan Umum - 7


Eutrofikasi Waduk dan Danau : Permasalahan, Pemodelan dan Upaya Pengendalian

waduk besar adalah bila tinggi bendungan lebih dari 15 meter dengan daya
tampung minimal 500.000 m3. Sedangkan embung merupakan waduk kecil
dan tinggi bendungannya kurang dari 15 m. Embung banyak dibangun di Nusa
Tenggara Timur dan Nusa Tenggara Barat.
Pembangunan waduk besar di Indonesia sampai tahun 1995 kurang lebih 100
buah, yang sekitar 80% nya berlokasi di Pulau Jawa. Sejak terjadi krisis moneter
pada tahun 1998, pembangunan waduk besar di Indonesia belum dilakukan
lagi, kecuali perencanaan Waduk Jatigede di Kabupaten Sumedang, Provinsi
Jawa Barat. Sistem tata air waduk berbeda dengan sistem tata-air danau alami.
Pada waduk, komponen tata airnya telah direncanakan sedemikian rupa
sehingga volume, kedalaman, luas, presipitasi, debit inflow/outflow, serta
waktu tinggal air diketahui dengan pasti. Sedangkan pada danau masih
diperlukan penelitian yang lebih mendalam tentang dimensi danau sebenarnya
yang dilakukan melalui suatu upaya pemeruman (echo sounding).

Berdasarkan luas dan volume nya danau dan waduk dapat diklasifikasikan
menjadi danau atau waduk besar, medium, kecil dan sangat kecil sebagaimana
terlihat pada Tabel 2.1. Luas dan volume waduk dan danau tersebut sangat
berpengaruh dengan kondisi hidraulik aliran. Kondisi hidraulik aliran tersebut
berpengaruh pada waktu tinggal aliran serta tingkat pencampuran air yang
pada akhirnya juga berpengaruh pada kondisi trofik waduk atau danau, seperti
terlihat pada Tabel 2.2.
Pada Tabel 2.2 diperlihatkan danau atau waduk dengan waktu tinggal kurang
dari 20 hari, yang dikategorikan sebagai danau atau waduk berarus cepat,
yang sekaligus memiliki sifat pencampuran yang sempurna. Kondisi tersebut

8 - Kementerian Pekerjaan Umum


Pusat Penelitian dan Pengembangan Sumber Daya Air

dapat menghambat pertumbuhan plankton. Sedangkan pada danau atau waduk


yang memiliki waktu tinggal 20 sampai dengan 300 hari
cenderung terjadi stratifikasi atau pelapisan dan mulai terjadi proses
eutrofikasi. Sedangkan waduk yang memiliki waktu tinggal lebih dari 300 hari,
cenderung terjadinya stratifikasi sempurna seperti terlihat pada Gambar 2.1.

Kementerian Pekerjaan Umum - 9


Eutrofikasi Waduk dan Danau : Permasalahan, Pemodelan dan Upaya Pengendalian

Adanya pelapisan sempurna pada badan air sangat berpotensi menimbulkan


proses eutrofikasi atau penyuburan. Sedangkan Gambar 2.2 merupakan contoh
terjadinya proses pelapisan di Waduk Sutami. Pada Gambar 2.2 tersebut
ditunjukkan adanya perubahan yang cukup signifikan pada parameter-
parameter suhu, Oksigen Terlarut, Turbiditas (kekeruhan), dan Daya Hantar
Listrik (konduktifitas) terhadap kedalaman, sehingga terlihat seperti terbentuk
lapisan. Kondisi tersebut sangat mendukung timbulnya eutrofikasi. Untuk
mencegah terjadinya kondisi tersebut, maka pengelolaan badan air dengan
waktu retensi yang tinggi seperti danau dan waduk memerlukan pengelolaan
yang terintegrasi dengan daerah aliran sungai (DAS) badan air tersebut.

Gambar 2.2. Distribusi Suhu, DO, pH, Konduktivitas dan Turbiditas


Waduk Sutami Bulan Juni 2003 (Sulastri, dkk, 2004)

10 - Kementerian Pekerjaan Umum


Pusat Penelitian dan Pengembangan Sumber Daya Air

Karena itu, perlu dikembangkan kolam-kolam retensi dengan waktu tinggal


aliran kurang dari 20 hari untuk mencegah timbulnya eutrofikasi. Kolam-kolam
retensi tersebut selain membantu mengurangi potensi terjadinya banjir, juga
sebagai sarana konservasi sumber air sekaligus sebagai fasilitas umum atau
sosial di lingkungan permukiman maupun perkotaan.

2.1.2 Kondisi Kualitas Air


Machbub, dkk (2003) melaporkan bahwa penelitian kualitas air waduk dan
danau telah dilakukan oleh Puslitbang Sumber Daya Air bekerjama dengan
Pemerintah Finlandia, yaitu Universitas Finlandia sejak tahun 1990 yang
hasilnya menunjukkan bahwa kualitas air waduk dan danau sudah banyak
menurun. Penurunan kualitas air waduk dan danau tersebut disebabkan oleh
pencemaran organik, terutama senyawa nitrogen dan fosfor yang berasal dari
air limbah industri, penduduk, pertanian dan aktifitas perikanan kolam jaring
apung (KJA). Tingkat pencemaran waduk yang diakibatkan senyawa nitrogen,
fosfor, dan zat organik dapat dibagi menjadi 3 kategori, yaitu penyuburan
amat sangat berat (hypereutrofic), penyuburan berat (eutrofic), dan penyuburan
sedang (oligotrofic), dan mesotrofic atau belum mengalami penyuburan .
Dari penelitian tersebut diketahui bahwa waduk yang masuk tingkat eutrofik
adalah Waduk Saguling, Cirata, Karangkates, dan Sengguruh. Kategori
oligotrofik adalah Waduk Lahor, Jatiluhur, Muara Nusa Dua, Mrica,
Kedungombo, dan yang termasuk mesotrophic adalah Waduk Palasari, Wlingi,
Malahayu, dan lain-lain (Machbub, dkk., 2003).
Lehmusluto (2006) menyatakan bahwa pada tahun 2004-2005 telah
dilaksanakan penelitian pada 10 waduk di Pulau Jawa, terutama waduk yang
mengalami pencemaran dan penyuburan yang sangat berat dan berat,
menunjukkan bahwa pencemaran waduk makin berat dibandingkan dengan
periode sebelumnya. Sebagai contoh Waduk Saguling, kadar oksigen pada
lapisan hypolimnion-nya sangat rendah yaitu kurang dari 3 mg/L. Padahal
secara umum kadar oksigen pada lapisan tersebut mendekati kadar oksigen
pada lapisan epilimnion (lapisan dengan sinar-matahari dapat tembus sampai
kedalaman tersebut). Selain itu kualitas airnya telah tidak memenuhi baku
mutu untuk keperluan sebagai sumber air baku, air perikanan, air industri,
air irigasi.
Contoh waduk lain yang mengalami pencemaran berat adalah Waduk Sutami
di Malang yang sering mengalami marak alga (alga bloom). Akibat marak alga
tersebut, air Waduk Sutami mulai berwarna hijau pekat yang berubah menjadi
coklat, ikan mati,timbul bau busuk, mesinmesin PLTA makin cepat mengalami

Kementerian Pekerjaan Umum - 11


Eutrofikasi Waduk dan Danau : Permasalahan, Pemodelan dan Upaya Pengendalian

korosi atau berkarat, sebagaimana terlihat pada Gambar 2.3. Pencemaran air
Waduk Sutami yang menyebabkan terjadinya alga bloom adalah limbah
penduduk, peternakan dan pertanian. Brahmana, dkk (2002) menyatakan
bahwa dampak yang paling serius dari alga bloom pada waduk adalah produksi
toksin oleh ganggang Microcystis yang disebut Mycrocystein yang dapat
menyerang syaraf dan mengakibatkan kematian.

Gambar 2.3 Kondisi Marak Alga di Waduk Sutami (Sukistiyono, 2004)

2.2 Manfaat Waduk dan Danau


Danau dan waduk secara teknis berfungsi sebagai sumber air baku, tempat
hidup berbagai biota air, pengatur dan penyeimbang tata air, pengendali banjir
dan sungai pembangkit tenaga listrik dan lainnya. Selain itu, danau dan waduk
juga bersifat multi fungsi, yaitu fungsi ekologi, ekonomi, lingkungan hidup,
sosial budaya, dan keagamaan. Karena itu, melalui Kesepakatan Bali tentang
Pengelolaan Danau Berkelanjutan adalah mempertahankan, melestarikan dan
memulihkan fungsi danau dan waduk berdasarkan prinsip keseimbangan
ekosistem dan daya dukung lingkungannya. Komitmen sembilan departemen
terkait melalui tujuh butir program strategis danau ditandatangani oleh empat
menteri pada acara Konferensi Nasional Danau Indonesia I dengan tema

12 - Kementerian Pekerjaan Umum


Pusat Penelitian dan Pengembangan Sumber Daya Air

“Pengelolaan Danau dan Antisipasi Perubahan Iklim” di Denpasar, Provinsi


Bali, pada tanggal 13–15 Agustus 2009.
International Lake Environment Committee atau ILEC menegaskan kembali
tentang prinsip visi danau, yaitu: (1) hubungan yang harmoni antara manusia
dan alam atau lingkungan; (2) daerah tangkapan danau adalah starting point
pengelolaan DAS; (3) pendekatan jangka panjang untuk pencegahan kerusakan
danau; (4) penggunaan ilmu pengetahuan dan teknologi untuk pengembangan
dan pengambilan kebijakan; (5) prinsip keberlanjutan untuk menghindari
konflik; (6) partisipasi masyarakat dan pemangku kepentingan; serta (7) tata-
kelola berdasarkan keadilan, transparansi dan pemberdayaan seluruh
pemangku kepentingan.
Ke tujuh visi tersebut memberikan gambaran bahwa keberadaan ekosistem
danau dan waduk memberikan fungsi yang mensejahterakan kehidupan
manusia, yaitu terjadinya kegiatan domestik, industri, dan pertanian. Meskipun,
jika dibandingkan dengan habitat laut dan daratan, danau dan waduk
merupakan salah satu bentuk ekosistem yang menempati daerah yang relatif
kecil pada permukaan bumi.
Fungsi danau secara ekosistem, sebagaimana dinyatakan oleh Cornel dan
Miller (1995) diantaranya adalah: (a) sebagai sumber plasma nutfah yang
berpotensi sebagai penyumbang bahan genetik; (b) sebagai tempat
berlangsungnya siklus hidup jenis flora dan fauna yang penting; (c) sebagai
sumber air yang dapat digunakan oleh masyarakat sekitarnya (rumahtangga,
industri dan pertanian); (d) sebagai tempat menampung kelebihan air yang
berasal dari air hujan, aliran permukaan, sungai-sungai atau dari sumber-
sumber air bawah tanah; (e) sebagai pemelihara iklim mikro, di mana
keberadaan ekosistem danau dapat mempengaruhi kelembaban dan tingkat
curah hujan setempat; (f) sebagai sarana tranportasi dari tempat satu ke tempat
lainnya; (g) sebagai penghasil energi melalui PLTA; dan (h) sebagai sarana
rekreasi dan objek pariwisata.
Dalam Undang-undang Nomor 4 Tahun 2007, Pasal 1 menjelaskan bahwa yang
dimaksud dengan sumber air ialah semua wadah alamiah dan yang telah
dibuat oleh orang, seperti sungai, danau, waduk, mata air, dan sebagainya.
Sebab itu, pengelolaan DAS secara terpadu harus memasukkan danau dan
waduk sebagai salah satu unsur sumber air yang harus dikelola secara
terintegrasi, termasuk pula langkah-langkah pemanfaatannya.
Pemanfaatan waduk dan danau sebagai sumber air menurut Pasal 29 ayat (3)
pada UU Nomor 4/2007, memiliki tiga prioritas. Prioritas pertama digunakan
untuk air minum, rumah tangga, pertahanan dan keamanan nasional,
peribadatan dan usaha perkotaan, misalnya mencegah kebakaran,

Kementerian Pekerjaan Umum - 13


Eutrofikasi Waduk dan Danau : Permasalahan, Pemodelan dan Upaya Pengendalian

penggelontoran, menyiram tanaman, dan lain sebagainya. Prioritas kedua


dimanfaatkan untuk pertanian, pertanian rakyat, dan usaha pertanian lainnya,
peternakan, perkebunan dan perikanan. Prioritas ketiga dimanfaatkan untuk
ketenagaan, industri, pertambangan, lalu lintas air dan rekreasi.

2.3 Permasalahan Waduk dan Danau


Hasil penelitian Machbub, dkk (2003) menjelaskan bahwa beberapa danau
mengalami permasalahan antara lain terjadinya sedimentasi yang
mengakibatkan berkurangnya kedalaman, berkurangnya volume, berkurangnya
luas genangan; timbulnya masalah eutrofikasi, yaitu tingginya kadar nitrogen
dan fosfor akibat limbah domestik maupun pertanian dan sisa pakan ikan;
terjadinya pencemaran limbah cair dan limbah padat pada perairan waduk,
dan meningkatnya laju erosi dari sungai tinggi, sehingga mengurangi masa
layan waduk.
Contoh hasil penelitian kualitas air dari waduk tercemar yang mengalami
proses eutrofikasi adalah 3 waduk tercemar berat yaitu: Saguling, Cirata,
Jatiluhur dengan total beban 80 ton BOD per hari dan sampah 1000 m3/ hari.
Adapun contoh penurunan kualitas air akibat pencemaran dari DAS Citarum
bagian hulu adalah pada Waduk Saguling sebagaimana diperlihatkan pada
Tabel 2.3 (Machbub, dkk., 2003). Sementara itu, rentang konsentrasi minimum
dan maksimum tiap parameter pada lapisan epilimnion dan hipolimnion pada
danau dan waduk di Indonesia adalah terlihat pada Tabel 2.4.
Tabel 2.3 menunjukkan bahwa Waduk Saguling mendapat input beban
pencemar zat organik sebesar 71,1 Ton BOD/hari dan 161,16 Ton COD/hari.
Sedangkan beban limbah senyawa nutrien yang mencemari waduk tersebut
adalah masing-masing 5,74 Ton Nitrogen/hari dan 0,5 Ton Fosfor/hari. Kondisi
tersebut menyebabkan Waduk Saguling mengalami pencemaran yang amat
sangat berat, sekaligus penyuburan yang berlebihan.
Tabel 2.4 menunjukkan rentang konsentrasi, minimum dan maksimum, kualitas
air waduk dan danau. Hasil pengukuran parameter kualitas air tersebut
dibandingkan dengan kategori UNEP (United Nation of Environmental Protection)
menunjukkan bahwa parameter transparansi berada pada rentang mesotrofik-
hipereutrofik, meskipun terdapat danau yang masih oligotrofik. Parameter
khlorofil-a juga menunjukkan bahwa status trofik waduk dan danau di
Indonesia berada dalam rentang mesotrofik-eutrofik. Sedangkan kadar oksigen
terlarut pada hipolimnion cenderung dalam kondisi anaerobik atau anoksik,
baik pada waduk maupun danau. Kandungan senyawa nutrien diukur sebagai
total nitrogen dan total fosfor menunjukkan kategori mesotrofik-eutrofik.

14 - Kementerian Pekerjaan Umum


Pusat Penelitian dan Pengembangan Sumber Daya Air

Parameter zat organik dan partikel tersuspensi pada waduk dan danau di
Indonesia berada dalam kategori klas I sampai III. Tingkat keasaman yang
terukur pada perairan waduk dan danau di Indonesia umumnya berada pada
kondisi normal, meskipun cenderung basa terutama pada lapisan hipolimnion.

Kementerian Pekerjaan Umum - 15


Eutrofikasi Waduk dan Danau : Permasalahan, Pemodelan dan Upaya Pengendalian

Data pada Tabel 2.5 dan 2.6 menggunakan pengukuran transparansi kedalaman
minimum yang terukur dengan cakram sechi. Keasamann waduk dan danau
diukur pada lapisan epilimnion dengan pH meter dan dicatat nilai pH
maksimumnya. Parameter nitrogen diukur sebagai Total Nitrogen, yaitu pada
konsentrasi L= 0-0,250 mg/l, M= 0.250-0.500 mg/l dan H= >0.500 mg/l.
Parameter fosfor diukur sebagai Total P yaitu dinyatakan dengan tingkat
konsentrasi pada: L= 0 – 0,025 mg/l, M= 0,025-0,050 mg/l dan H= >0,050 mg/l.
Sedangkan statustrofik (ST) dinyatakan dengan klasifikasi Status Trofik: O =
oligotrofik, M = mesotrofik, E = eutrofik dan H= Hipereutrofik.

16 - Kementerian Pekerjaan Umum


Pusat Penelitian dan Pengembangan Sumber Daya Air

Data-data yang tercantum pada Tabel 2.5 dan 2.6 memberikan gambaran bahwa
waduk maupun danau di Indonesia memiliki kecenderungan mesotrofik dan
eutrofik dan beberapa hipereutrofik. Dengan demikian, dapat diketahui status
mutu perairan waduk maupun danau, sehingga dapat ditentukan program
prioritas penanganan kualitas perairan serta penentuan peruntukan air waduk
dan danau. Brahmana, dkk (1993) menyarankan pemanfaatan air waduk dan
danau agar disesuaikan dengan status mutu airnya, yaitu:
a. Waduk Oligotrofik, adalah waduk yang kandungan nutrien dan
produktivitasnya sedang. Waduk dengan status trofik tersebut sangat cocok
untuk perikanan dan pemanfaatan lainnya;
b. Waduk eutrofik, adalah waduk yang kandungan nutrient dan
produktivitasnya tinggi, sedangkan kandungan oksigen pada lapisan
hipolimnion rendah. Waduk dengan status trofik tersebut cocok untuk
perikanan dan irigasi; serta

Kementerian Pekerjaan Umum - 17


Eutrofikasi Waduk dan Danau : Permasalahan, Pemodelan dan Upaya Pengendalian

c. Waduk hipereutrofik, adalah waduk yang mengandung banyak material


humus, kandungan oksigennya rendah, dan jumlah spesies ganggang
sedikit. Waduk dengan status trofik tersebut hanya cocok untuk irigasi;

Karena itu, perairan waduk yang status trofiknya termasuk kategori eutrofik
atau hypereutrofik, maka perairan tersebut tidak layak digunakan untuk sumber
baku air minum, perikanan, tempat berkreasi, transportasi air dan peruntukan
lainnya. Hal ini disebabkan kualitas fisika, kimia dan biologi dari air waduk
tersebut sudah sangat jelek.
Sukimin (2004) menjelaskan bahwa permasalahan eutrofikasi waduk atau
danau disebabkan adanya pencemaran dari sumber eksternal dan internal.
Pencemararan eksternal berasal dari DAS yang disebabkan oleh adanya
kegiatan manusia, yaitu permsalahan urbanisasi, pertambahan penduduk dan
industri (Gambar 2.4). Permasalahan eksternal tersebut menyebabkan
penggunaan air yang berlebihan, pemanfaatan lahan yang tidak terkendali
dan peningkatan laju erosi. Gambar 2.4 juga menunjukkan permasalahan yang
menyebabkan timbulnya beban pencemaran internal pada waduk atau danau
yaitu berkembangnya budidaya keramba jaring apung (KJA). Beban pencemaran

18 - Kementerian Pekerjaan Umum


Pusat Penelitian dan Pengembangan Sumber Daya Air

dari eksternal maupun internal sangat berpengaruh terhadap kualitas air


waduk. Permasalahan utama kualitas air adalah timbulnya eutrofikasi,
terjadinya siltasi ke dasar waduk, terlarutnya zat-zat yang bersifat racun atau
toksik, turunnya keanekaragaman hayati, serta turunnya elevasi air akibat
evapotranspirasi yang berlebihan.

Gambar 2.4. Diagram Permasalahan Eksternal dan Internal yang


Berpengaruh Terhadap Kondisi Waduk dan Danau di Indonesia
(Sukimin, 2004)

Kementerian Pekerjaan Umum - 19


Eutrofikasi Waduk dan Danau : Permasalahan, Pemodelan dan Upaya Pengendalian

Kotak 2.1 : Permasalahan Waduk DAS Citarum


Daerah aliran sungai (DAS) yang telah mengalami degradasi lingkungan.
mengakibatkan penyuburan Waduk Saguling yang sangat cepat, karena
banyaknya limbah penduduk dan industri yang masuk ke Sungai Citarum.
Di DAS Saguling dihuni sebanyak 6 juta orang, dan terdapat 300 buah
industri (75% tekstil) dan sisanya adalah industri kulit, makanan kertas,
obat-obatan dan sebagainya. Limbah penduduk dibuang secara langsung
sebanyak 50% ke Sungai Citarum. Demikian juga, hampir 50 % air limbah
industri air buangannya belum diolah atau belum diolah secara sempurna
Sumber: Macbub (1987) pada Brahmana (1993), Eutrofikasi Waduk
Saguling, Jurnal Litbang Pengairan No. 28 Th. 8 , Puslitbang Pengairan,
Bandung

2.4. Peranan Danau dan Waduk Sebagai Pengendali Kualitas Air


Peranan danau dan waduk sebagai pengendali kualitas air adalah memperbaiki
kualitas air melalui proses alami sedimentasi maupun dekomposisi yang
terjadi akibat waktu tinggal yang relatif lama pada tampungan tersebut.
Parameter-parameter kualitas air yang dipengaruhi bahkan dapat diperbaiki
serta fenomena-fenomena yang menyertai dapat dilihat pada contoh kasus
pada waduk kaskade di DAS Citarum. Tinjauan fenomena-fenomena tiap
parameter kualitas air pada contoh kasus tersebut, dilihat berdasarkan tinjauan
secara longitudinal kulitas air maupun variasi bulanan.

2.4.1 Profil Longitudinal Kualitas Air


a. Fenomena Perubahan Kualitas Air
Data kualitas air S.Citarum pada bagian hulu (sebelum Waduk Saguling)
menunjukkan telah terjadi pencemaran berat oleh paramater organik (BOD
dan COD), amonium dan bakteri patogen (Eschericia coli). Selain itu juga terjadi
pencemaran oleh deterjen dan logam berat.
Perbandingan kadar parameter air sepanjang sungai dan waduk-waduk dari
hulu sampai hilir, menunjukkan adanya perbaikan kualitas air oleh waduk,
karena terjadinya proses penguraian dan pengendapan. Kadar zat pencemar
yang menurun karena proses penguraian adalah senyawa organik (BOD dan
COD), senyawa nutrien (N dan P), dan bakteri. Sedangkan parameter zat
pencemar yang menurun karena proses pengendapan adalah parameter besi,
mangan dan seng.

20 - Kementerian Pekerjaan Umum


Pusat Penelitian dan Pengembangan Sumber Daya Air

Gambar 2.5 Skema Waduk Kaskade Citarum dan Lokasi Pengambilan Sampel
(Irianto, 2006)

Kementerian Pekerjaan Umum - 21


Eutrofikasi Waduk dan Danau : Permasalahan, Pemodelan dan Upaya Pengendalian

Gambar 2.6 Skema Profil Longitudinal Waduk Kaskade Citarum


(Irianto,2006)

b. Dekomposisi Polutan Organik dan Deterjen


Gambar 2.6 menunjukkan bahwa parameter organik (sebagai BOD dan COD)
mengalami perbaikan yang cukup berarti setelah melewati waduk kaskade.
Sedangkan Gambar 2.7 juga menunjukkan menurunnya kadar detergen.
Perbaikan kadar parameter organik dan detergen tersebut akibat adanya
penguraian oleh bakteri dan pengenceran selama berada didalam waduk
mengingat waktu retensi di dalam waduk yang berlangsung selama beberapa
bulan.
Gambar 2.6 dan 2.7 juga menunjukkan adanya peningkatan kadar organik dan
detergen pada tahun 2000. Peningkatan tersebut disebabkan oleh meningkatnya
pencemaran organik dan detergen pada sebelah hulu, sejalan dengan
bertambahnya penduduk di wilayah tersebut. Kondisi tersebut dapat
menyebabkan beban pencemaran organik dan detergen yang makin tinggi,
terutama di Waduk Saguling.

22 - Kementerian Pekerjaan Umum


Gambar 2.7 Profil kadar organik, fecal coli dan logam berat sepanjang S. Citarum (Irianto, 2006)

Kementerian Pekerjaan Umum - 23


Pusat Penelitian dan Pengembangan Sumber Daya Air
24 - Kementerian Pekerjaan Umum
Gambar 2.8 Profil Kadar Oksigen Terlarut (DO), Senyawa Nutrien dan Partikel Tersuspensi Sepanjang S. Citarum
Eutrofikasi Waduk dan Danau : Permasalahan, Pemodelan dan Upaya Pengendalian

(Irianto, 2006)
Pusat Penelitian dan Pengembangan Sumber Daya Air

c. Penguraian Senyawa Nutrien


Pada penelitian ini, penguraian senyawa nutrien diwakili oleh amonium, nitrit
dan fosfor. Gambar 2.7, menunjukkan bahwa kandungan amonium, nitrit dan
fosfor mengalami peningkatan pada tahun 2000. Amonium, nitrit dan fosfor
pada bagian hulu. Bahkan pada tahun 2000 telah terjadi akumulasi amonium
di ketiga waduk tersebut. Namun demikian, kadar nutrien secara umum
mengalami penurunan yang cukup berarti setelah melewati ketiga waduk
tersebut. Gambar 2.7 juga menunjukkan adanya peningkatan kadar amonium
pada titik 9 dan 10 yang diduga sebagai akibat beroperasinya industri pupuk
di sekitar lokasi tersebut.

d. Pengendapan Pencemar Logam Berat


Gambar 2.6 memperlihatkan bahwa kadar Mn dan Zn di sepanjang Citarum
Hulu cenderung meningkat dalam 10 tahun terakhir, sedangkan kadar Fe relatif
hampir sama. Ketiga paramater tersebut cenderung mengalami akumulasi di
ketiga waduk tersebut. Hal ini dapat dilihat pada titik 8 yang mana kadar
ketiga parameter tersebut menurun drastis. Peningkatan pada titik selanjutnya
adalah diduga sebagai akibat adanya industri logam yang ber operasi disekitar
titik-titik tersebut.

e. Pengurangan Bakteri Pencemar


Kadar bakteri coli cenderung menurun pada waduk. Kadar fecal coli pada
S.Citarum bagian hulu semula 0,9.104 – 1,8104 per 100 ml (tahun 2000) dan
0,9.106-1,2,106 per 100 ml (1990) menurun menjadi 1.104 – 1.105 (1990) dan
0,9.102-0,8.103 per 100 ml (2000). Hal ini disebabkan oleh desinfeksi sinar
matahari pada permukaan air waduk (lihat Gambar 2.6).
Kadar Fecal Coli pada Sungai Citarum mengalami perbaikan yang cukup berarti
pada tahun 2000 yang diduga karena adanya fasilitas sanitasi, terutama
pemakaian septik tank dan beroperasinya IPAL Domestik Bojongsoang.
Sedangkan masih tingginya kadar Fecal Coli di ketiga waduk tersebut sebagai
akibat adanya penduduk yang tinggal di sekitar waduk, serta tingginya
kepadatan ikan yang dipelihara pada kolam jaring apung. Setelah melewati
ketiga waduk tersebut, kadar bakteri meningkat kembali oleh limbah penduduk
di hilir S.Citarum.

f. Penurunan pH
Gambar 2.9 menunjukkan profil pH sepanjang Sungai Citarum yang cenderung
basa tahun 1990 dan makin meningkat kebasaannya pada tahun 2000 terutama
pada bagian hulu. Hal ini kemungkinan disebabkan meningkatnya pencemaran

Kementerian Pekerjaan Umum - 25


Eutrofikasi Waduk dan Danau : Permasalahan, Pemodelan dan Upaya Pengendalian

limbah industri tekstil di sepanjang Sungai Citarum bagian hulu. Kondisi


cenderung basa juga terlihat pada ketiga waduk tersebut pada tahun 1990,
karena ketiga waduk tersebut mempunyai daerah tangkapan yang secara
geologis berlokasi pada daerah yang berkapur. Sedangkan pada tahun 2000,
pH pada ketiga waduk cenderung menuju netral, kemungkinan telah terjadi
pengenceran. Kondisi pH cenderung menuju netral juga terlihat setelah
melewati waduk kaskade tersebut, baik pada tahun 1990 dan 2000.

Gambar 2.9 Profil pH Sepanjang Sungai Citarum (Irianto,dkk.,2006)

Reaksi yang cenderung mengasamkan air waduk sehingga pH air waduk menjadi
netral pada tahun 2000, disebabkan oleh peruraian pakan organik dari kolam
jaring apung. Tepung pakan ikan cenderung menurunkan pH air menjadi asam,
karena proses penguraian zat organik (Machbub, 2003). Namun, apabila
perkembangan jaring apung tidak terkendali dan pH air sungai netral, maka
dikhawatirkan akan terjadi pengasaman air waduk dan bersifat korosif pada
PLTA.

26 - Kementerian Pekerjaan Umum


Gambar 2.10 Variasi bulanan kadar organik, oksigen terlarut dan pH sebelum dan sesudah Waduk Kaskade
(Irianto, 2006)

Kementerian Pekerjaan Umum - 27


Pusat Penelitian dan Pengembangan Sumber Daya Air
28 - Kementerian Pekerjaan Umum
Gambar 2.11 Variasi Bulanan Senyawa Nutrien (Nitrogen dan Fosfor) Sebelum dan Sesudah Waduk Kaskade
Eutrofikasi Waduk dan Danau : Permasalahan, Pemodelan dan Upaya Pengendalian

(Irianto, 2006)
Pusat Penelitian dan Pengembangan Sumber Daya Air

g. Erosi dan Sedimentasi


Hasil monitoring parameter partikel tersuspensi atau suspended solid yang
tercantum pada Gambar 2.9 menunjukkan adanya sedikit perbaikan pada tahun
2000 dibandingkan tahun 1990. Hal ini kemungkinan sebagai akibat adanya
perbaikan alur Sungai Citarum bagian hulu, sehingga, tingkat erosi dari sungai
berkurang. Sedangkan pada lokasi 8 (sesudah waduk kaskade) terdapat
perubahan kadar sedimen oleh adanya waduk, yaitu menunjukkan adanya
penurunan kadar suspended solid dibandingkan sebelum memasuki waduk
kaskade yang disebabkan oleh pengendapan partikel lumpur di ketiga waduk.
Gambar 2.9 juga menunjukkan bahwa pada pada titik 9 dan 10 (lokasi
Tanjungpura dan Rengasdengklok) terlihat adanya kenaikan yang sangat tinggi
dari partikel tersuspensi terutama pada tahun 1990, yang dimungkinkan karena
adanya penambangan pasir rakyat. Sedangkan pada tahun 2000, kadar partikel
tersuspensi terlihat adanya perbaikan daripada sebelumnya.

2.4.2 Variasi Kualitas Air Bulanan


a. Kapasitas Penyangga pH
Perubahan pH air berasal dari air limbah dan air hujan yang secara tidak
langsung dipengaruhi juga oleh pencemaran udara. Dari hasil monitoring yang
terlihat pada Gambar 2.10 menunjukkan bahwa waduk kaskade tersebut
ternyata memiliki peranan untuk menstabilkan pH. Pada lokasi Nanjung terlihat
bahwa pH berfuktuasi namun rata-ratanya adalah 7,4 (1990) menjadi 7,5 pada
tahun 2000. Sedangkan pada lokasi Bendung Curug cenderung stabil dengan
rata-rata 7,6 pada tahun 1990 menjadi 7,4 pada tahun 2000.
Gambar 2.9 juga memperlihatkan bahwa kestabilan pH waduk-waduk tersebut
bahkan berlangsung sepanjang musim dan berlangsung selama 10 tahun (1990-
2000), meskipun pH di sungai sangat bervariasi oleh fluktuasi beban
pencemaran dan musim.
Data pH di kedua lokasi tersebut juga menunjukkan bahwa fenomena hujan
asam yang diakibatkan oleh kegiatan industri, lalu-lintas (kendaraan bermotor)
yang berada di sekitar DPS Citarum belum berpengaruh pada kualitas air waduk,
mengingat daerah tangkapan waduk sebagian adalah pada daerah yang
berbukit kapur.

b. Kenaikan Beban Polutan Organik


Hasil penelitian kualitas air pada lokasi Nanjung, yang terlihat pada Gambar
2.10 memperlihatkan bahwa sepanjang tahun kualitas air waduk tersebut

Kementerian Pekerjaan Umum - 29


Eutrofikasi Waduk dan Danau : Permasalahan, Pemodelan dan Upaya Pengendalian

rata-rata 11 mg/L BOD pada tahun 1990. Sedangkan pada tahun 2000 terlihat
bahwa kadar organik cenderung mengalami peningkatan dibandingkan tahun
1999 pada bulan yang sama, yaitu 20 mg/L BOD pada tahun 2000. Kondisi ini
menunjukkan bahwa beban pencemaran organik di Citarum terutama bagian
hulu, mengalami peningkatan. Namun, bila dilihat pada Gambar 2.10 lokasi
Bendung Curug menunjukkan adanya perbaikan kandungan zat organik
S.Citarum setelah melewati waduk kaskade, yaitu rata-rata 2 mg/L (1990)
menjadi 5 mg/L BOD pada tahun 2000.
Gambar 2.10 juga memperlihatkan bahwa pengaruh musim kurang
menunjukkan perubahan yang berarti, yang dapat dilihat bahwa pada musim
kemarau kadar pencemaran organik tinggi. Demikian juga pada musim hujan,
tingkat pencemaran juga tetap tinggi atau tidak terjadi pengenceran. Hal ini
kemungkinan akibat adanya pencemaran dari sumber tersebar atau non point
source dari limbah domestik, pertanian, peternakan, dan terutama limbah
pakan ikan dari jaring apung.

Gambar 2.12 Kondisi Kualitas Air di Sekitar Tubuh Bendungan Waduk


Saguling

30 - Kementerian Pekerjaan Umum


Pusat Penelitian dan Pengembangan Sumber Daya Air

Gambar 2.13 Kondisi kualitas air di sekitar intake Waduk Cirata

c. Kandungan Oksigen Terlarut


Parameter DO pada tahun 2000 di lokasi Nanjung rata-rata 2 mg/l juga terlihat
makin memburuk dibandingkan pada tahun 1990 sepanjang tahun, terutama
pada musim kemarau, yaitu 1 mg/l, seperti terlihat pada Gambar 2.8. Walaupun
sebenarnya kadar DO pada tahun 1990 juga dalam kondisi stabil buruk, namun
lebih tinggi yaitu rata-rata 3,7 mg/L. Pada lokasi Bendung Curug dapat dilihat
bahwa ketiga waduk tersebut ternyata berfungsi untuk menyeimbangkan dan
sekaligus memperbaiki kadar oksigen terlarut atau meningkatkan kesegaran
air, sehingga kadar DO pada tahun 1990 rata-rata 6,6 mg/L, sedangkan pada
tahun 2000 relatif stabil rata-rata 5,2 mg/L.

d. Senyawa Nutrien
Gambar 2.9 pada lokasi Nanjung menunjukkan bahwa kandungan amonium
menurun pada tahun 2000, yaitu rata-rata 0,4 mg/L dibandingkan tahun 1990
yaitu rata-rata 1,28 mg/L. Sedangkan bila ditinjau di lokasi B.Curug
menunjukkan bahwa kandungan amonium meningkat, yaitu dari rata-rata 0,06
mg/l pada tahun 1990 rata-rata 0,09 mg/L pada tahun 2000. Kondisi tersebut
diakibatkan oleh perikanan jaring apung yang jumlahnya meningkat pada saat
level muka air waduk meningkat pada musim hujan.

Kementerian Pekerjaan Umum - 31


Eutrofikasi Waduk dan Danau : Permasalahan, Pemodelan dan Upaya Pengendalian

Gambar 2.14. Kondisi kualitas air di sekitar tubuh bendung Waduk Jatiluhur
(Perum Jasa Tirta II, 2004)

Kandungan nitrit pada lokasi Nanjung berfluktuasi dengan rata-rata 0,093


mg/L pada tahun 1990 menjadi 0,065 mg/L pada tahun 2000. Namun pada
B.Curug terjadi peningkatan, yaitu rata-rata 0,008 mg/L pada tahun 1990
yang menjadi 0,014 mg/L pada tahun 2000. Hal tersebut juga diduga karena
adanya penguraian organik dari limbah pakan ikan dan sisa ekskreta ikan
yang dikelola dengan cara jaring apung.
Kandungan fosfor berhubungan dengan efisiensi pemakaian pupuk. Namun
terjadi peningkatan kandungan fosfor juga diduga adanya perikanan jaring
apung sepanjang musim.
Dari data kualitas air pada 3 waduk di S.Citarum, yaitu Waduk Saguling,
Waduk Cirata dan Waduk Jatiluhur berpotensi perbaikan kualitas air
permukaan khususnya Sungai Citarum yang telah tercemar berat sejak dari
bagian hulu. Pada umumnya, kualitas air yang dapat diperbaiki terutama
adalah kadar organik (sebagai BOD dan COD), deterjen, pH, partikel
tersuspensi dan logam berat. Namun demikian, terjadi penurunan kualitas
air pada ketiga waduk, terutama akibat sisa pakan ikan yang dipelihara
melalui sistem perikanan jaring apung dan sisa metabolisma dari ikan.
Mengingat pada Sungai Citarum terdapat waduk-waduk dan parameter N
dan P adalah parameter pencemaran penting pada waduk, disarankan kadar

32 - Kementerian Pekerjaan Umum


Pusat Penelitian dan Pengembangan Sumber Daya Air

N dan P dicantumkan dalam standar air limbah pada semua jenis industri di
Citarum selain parameter lainnya.
Dengan demikian, agar beban pencemaran yang akan memasuki waduk
kaskade Citarum tidak semakin berat, maka diperlukan langkah-langkah
pengendalian pencemaran terutama pada bagian hulu dari S.Citarum yang
merupakan input dari Waduk Saguling. Selain itu, perikanan kolam jaring
apung hendaknya dikendalikan untuk tidak melebihi kuota yang telah
ditetapkan.

Kementerian Pekerjaan Umum - 33


Eutrofikasi Waduk dan Danau : Permasalahan, Pemodelan dan Upaya Pengendalian

34 - Kementerian Pekerjaan Umum


Pusat Penelitian dan Pengembangan Sumber Daya Air

BAB III
KRITERIA, INDIKATOR DAN PARAMETER EUTROFIKASI

3.1 Kriteria Status Mutu Air Danau dan Waduk


Pengelolaan lingkungan perairan danau diperlukan sebagai suatu petunjuk
untuk menilai perairan tersebut apakah masih layak digunakan sesuai dengan
peruntukannya atau tidak, mengingat kebutuhan akan air bukan saja dari segi
kuantitas, tetapi juga dalam hal kualitas harus baik. Selain itu, usaha
pengendalian pencemaran perairan danau sangat diperlukan data, informasi
dan masukan mengenai tingkat pencemaran yang terjadi di perairan tersebut.
Berdasarkan Peraturan Menteri Lingkungan Hidup Nomor: 28/2009 Tentang
Daya Tampung Beban Pencemaran Air Danau dan/atau Waduk, Pasal 1
menyatakan bahwa status mutu air adalah tingkat kondisi mutu air yang
menunjukkan kondisi cemar atau kondisi baik pada suatu sumber air dalam
waktu tertentu dengan membandingkan baku mutu air atau kelas air yang
ditetapkan. Sedangkan status trofik adalah status kualitas air danau
berdasarkan kadar zat hara dan kandungan biomasa fitoplankton atau
produktivitasnya.
Salah satu faktor yang perlu diketahui untuk menentukan status kelas air dan
status mutu air danau dan waduk adalah kedalaman waduk dan danau. Danau
sangat dangkal yang memiliki kedalaman kurang dari 10 meter cukup
ditentukan satu baku mutu air pada semua kedalaman danau. Danau yang
memiliki kedalaman 10-50 meter harus ditentukan dua baku mutu air, yaitu
status baku mutu lapisan epilimnion dan hipolimnion. Sedangkan danau dalam
yang memiliki kedalaman lebih dari 50 meter harus ditentukan satu baku
mutu air pada lapisan epilimnion dan dua baku mutu air untuk lapisan
hipolimnion, yaitu pada bagian tengah danau dan pada bawah danau yang
contoh airnya diambil pada kedalaman 2 meter di atas dasar danau.
Penentuan status mutu air danau atau waduk ditentukan setelah diketahui
jumlah kebutuhan status mutu air yang ditetapkan berdasarkan kedalaman
air danau atau waduk. Setelah jumlah status mutu perairan diketahui,
selanjutnya dilakukan pengukuran parameterparameter kualitas air. Hasil dari
pengukuran kualitas air, pada titik-titik lokasi yang telah ditentukan tersebut
dibandingkan dengan parameter standar. Hasil perbandingan tersebut
digunakan untuk perhitungan skor pada kriteria STORET (Store and Retrieval),
sesuai Keputusan Menteri Lingkungan Hidup Nomor: 114/2003 tentang Pedoman
Pengkajian untuk Menetapkan Kelas Air.

Kementerian Pekerjaan Umum - 35


Eutrofikasi Waduk dan Danau : Permasalahan, Pemodelan dan Upaya Pengendalian

a. Kriteria STORET
Kriteria STORET dibutuhkan untuk menentukan status mutu air berdasarkan
hasil pengukuran parameter-parameter kualitas air. Nilai yang terukur tersebut
dibandingkan dengan standar baku mutu kualitas air sesuai Peraturan
Pemerintah Nomor 82 Tahun 2001 tentang Pengelolaan dan Pengendalian
Pencemaran Air. Hasil perhitungan menggunakan Tabel 3.1 selanjutnya
dibandingkan dengan kriteria STORET seperti tercantum pada Tabel 3.2.

Tabel 3.1 Nilai Skor Parameter yang Tidak Memenuhi Standar

Faktor Bobot tiap Kelompok


Jumlah
No. Nilai Parameter Parameter
Contoh Air
Fisika Kimia Biologi

1 < 10 Maksimal -1 -2 -3
Minimal -1 -2 -3
Rata-rata -3 -6 -9

2 > 10 Maksimal -2 -4 -6
Minimal -2 -4 -6
Rata-rata -6 -12 -18

Sumber: Kementerian Lingkungan Hidup, 2008


Keterangan:
- Nilai negatif. bila angka parameter melampui standar
- Nilai nol, bila angka parameter memenuhi standar
- Nilai parameter biologi = 3 x nilai parameter fisik

Tabel 3.2 Penentuan Status Mutu Air Berdasarkan Metode Storet

No Status Mutu Perairan Jumlah Skor

1 Baik sekali 0
2 Baik - 1 s.d. – 10
3 Sedang -11 s.d. – 30
4 Buruk > - 31
Sumber: Kementerian Lingkungan Hidup, 2008

36 - Kementerian Pekerjaan Umum


Pusat Penelitian dan Pengembangan Sumber Daya Air

b. Kriteria Korosivitas
Kriteria korosivitas secara resmi memang belum ditetapkan. Namun kriteria
ini perlu diperhitungkan, mengingat banyak bangunan operasional waduk yang
telah mengalami permasalahan korosi. Karena itu, sebelum kriteria korosivitas
ditetapkan untuk status mutu perairan waduk, maka digunakan standar DIN
1969 seperti yang digunakan oleh Brahmana dan Achmad (2001) untuk
penelitian di Waduk Saguling dan Cirata sebagaimana diperlihatkan pada
Kotak 3.2. Adapun parameter kualitas air yang harus diukur untuk menentukan
tingkat korosivitas perairan waduk diperlihatkan pada Tabel 3.3.

Kementerian Pekerjaan Umum - 37


Eutrofikasi Waduk dan Danau : Permasalahan, Pemodelan dan Upaya Pengendalian

Kotak 3.2: Evaluasi korosifitas Waduk Saguling dan Cirata


Hasil pemantauan kualitas air menunjukkan bahwa perairan Waduk
Saguling dan Waduk Cirata berpotensi terjadinya korosivitas, berdasarkan
evaluasi korosivitas air dengan standar DIN 1969. Evaluasi air waduk
terhadap beton menunjukkan bahwa perairan Waduk Saguling dan Waduk
Cirata bersifat korosif rendah. Namun air pada dasar dan outlet Waduk
Saguling dan Waduk Cirata berpotensi korosivitas yang kuat. Karena itu,
pelestarian kualitas air waduk dengan melakukan pengendalian pencemara
air waduk harus dilakukan, agar keamanan bendungan dan termasuk
bangunan operasional lainnya misalnya turbin pembangkit listrik bangunan
operasional lainnya dapat terjamin keberlangsungan operasionalnya.
Sumber: Brahmana, S dan Firdaus Achmad, 2001. “Korosifitas Air Waduk
Saguling dan Waduk Cirata Terhadap Turbin Dan Beton”, Jurnal Litbang
Pengairan 15 (46), Puslitbang Pengairan, Bandung

c. Kriteria Status Ekosistem Akuatik


Untuk menentukan status ekosistem akuatik atau ekosistem perairan, yaitu
dalam kondisi ekosisten yang baik, terancam dan rusak perlu ditetapkan lebih
dahulu kelas air dan baku mutu air danau, penentuan status mutu air serta
penentuan status trofik danau. Adapun parameter lainnya adalah
keanekaragaman hayati, jejaring makan, alga/ganggang biru (microcystis) dan
limbah pakan perikanan budidaya, seperti terlihat pada Tabel 3.4. Pada tabel
tersebut juga ditunjukkan indikator-indikator status pada tiap-tiap parameter.
Sebagai contoh, status trofik perairan hasil pengukuran adalah eutrofik berarti
status eksosistem perairan danau maupun waduk dalam kondisi “terancam”.

38 - Kementerian Pekerjaan Umum


Pusat Penelitian dan Pengembangan Sumber Daya Air

Penentuan status ekosistem sempadan ditentukan dengan menggunakan


kriteria status ekosistem sempadan, seperti diperlihatkan pada Tabel 3.5.
Parameter-parameter yang digunakan untuk penentuan status mutu ekosistem
sempadan danau adalah kondisi sempadan, kondisi pasang surut, pembuangan
limbah dan pemanfaatan air danau. Tabel 3.6 menunjukkan parameter-
parameter yang digunakan untuk menentukan status ekosistem danau yang
berasal dari daerah tangkapan atau daerah aliran sungai (DAS) yang
berpengaruh terhadap kondisi ekosistem danau.

Kementerian Pekerjaan Umum - 39


Eutrofikasi Waduk dan Danau : Permasalahan, Pemodelan dan Upaya Pengendalian

Ke tiga kriteria status mutu ekosistem tersebut telah menunjukkan kajian yang
cukup lengkap status mutu suatu perairan danau. Meskipun terdapat kesamaan
karakteristik antara danau dan waduk, namun demikian karena ada beberapa
perbedaan karakteristik antara ekosistem danau dan waduk, maka penerapan
kriteria SMED untuk penentuan status mutu ekosistem waduk, masih
memerlukan kajian lebih lanjut.

40 - Kementerian Pekerjaan Umum


Pusat Penelitian dan Pengembangan Sumber Daya Air

3.2 Penerapan SMED pada Waduk


Berdasarkan hasil analisis data sekunder, diketahui bahwa Waduk Saguling
dan Waduk Sutami memiliki status eutrofik-hipereutrofik yang artinya telah
terjadi proses penyuburan marak alga yang sangat berat sebagaimana
dinyatakan oleh Brahmana (1999) dan Sulastri,dkk.(2004). Dari segi
keanekaragaman hayati di kedua waduk telah mengalami gangguan komposisi
ikan serta kematian masal ikan (Sukimin,2004).
Pencemaran kedua waduk tersebut cenderung meningkat. Tingginya konsentrasi
zat hara serta terdeteksinya senyawa H2S dan ammonia menunjukkan bahwa
proses pembusukan di dalam waduk telah terjadi (Brahmana, dkk., 2002).
Permasalahan kualitas air pada kedua waduk tersebut menyebabkan maraknya
tumbuhan enceng gondok yang telah menggangu operasional waduk. Bukit
(2001) dan Brahmana, dkk (2002) melaporkan bahwa maraknya tumbuhan

Kementerian Pekerjaan Umum - 41


Eutrofikasi Waduk dan Danau : Permasalahan, Pemodelan dan Upaya Pengendalian

enceng gondok terutama disebabkan pencemaran limbah domestik dan industri


yang melebihi daya tampung badan air penerima.
Permasalahan rezim aliran sungai pada kedua waduk tersebut telah dilaporkan
oleh Pawitan (2007), yaitu rasio aliran maksimum dan minimum input Waduk
Saguling adalah 84 yang berarti termasuk dalam kategori terancam, karena
luas kawasan lindung yang sehat pada DAS Citarum bagian hulu adalah 19,5%
(Sobirin, 2008). Sedangkan rezim aliran sungai pada Waduk Sutami adalah
18,5 atau kondisi ekosistem DAS masih baik, karena luas tutupan vegetasi
lahan sekitar 33% dari daerah tangkapan air (Soekistijono.,2004). Machbub,
dkk (2003) dan Sukistijono (2004) melaporkan bahwa laju sedimentasi pada
kedua waduk telah melampaui kapasitas rencana waduk. Kondisi tersebut
menyebabkan persentase volume terisi tampungan mati (dead storage) Waduk
Saguling dan Waduk Sutami masing-masing telah mencapai 72% dan 93,3%.
Hasil kajian dan uji-coba penerapan status ekosistem waduk disajikan pada
Tabel 3.7.
Berdasarkan hasil kajian penerapan status mutu ekosistem danau (SMED) di
atas, ditinjau berdasarkan kriteria ekosistem akuatik, sempadan dan daerah
tangkapan, diketahui bahwa kedua waduk tersebut umumnya dalam kondisi
terancam. Karena itu, komitmen untuk mengelola DAS secara benar memiliki
peran yang sangat penting dalam menjamin keberlanjutan fungsi waduk.
Kriteria SMED umumnya dapat diterapkan untuk penentuan kondisi ekosistem
waduk. Namun demikian, perlu dilakukan penyempurnaan agar kriteria-kriteria
tersebut dapat diterapkan dengan lebih baik. Kriteria-kriteria tersebut menjadi
indikator keberhasilan pengelolaan DAS, karena beberapa kriteria berkaitan
erat dengan pengelolaan DAS. Sebagai contoh, koefisien rezim sungai, tutupan
vegetasi, erosi lahan serta sistem pengelolaan limbah pada DAS merupakan
indikator-indikator utama dalam pengelolaan DAS secara terpadu.

42 - Kementerian Pekerjaan Umum


Pusat Penelitian dan Pengembangan Sumber Daya Air

Kementerian Pekerjaan Umum - 43


Eutrofikasi Waduk dan Danau : Permasalahan, Pemodelan dan Upaya Pengendalian

Usulan indikator untuk penyempurnaan kriteria yang terdapat pada SMED untuk
pengelolaan ekosistem waduk antara lain : (a) Penggabungan indikator alga
biru, jejaring atau rantai makanan (food web) dan keanekaragaman hayati
menjadi indikator keanekaragaman hayati; (b) Penyesuaian kriteria pada
indikator erosi lahan dikaitkan dengan perkiraan awal tingkat erosi waduk;
(c) Penggantian indikator dampak pendangkalan danau dengan indikator
dampak pendangkalan waduk; (d) Penggabungan indikator pengambilan air
untuk PLTA dan air baku menjadi indikator pemanfaatan air waduk; (e)
Penyesuaian perhitungan jumlah kolam jaring apung yang diperbolehkan pada
perairan waduk; (f) Penyesuaian indikator status mutu air dikaitkan dengan
baku-mutu air yang telah ditetapkan; (g) Penambahan indikator korosivitas;
(h) Penambahan indikator kualitas sedimen dasar waduk; (i) Penambahan
indikator kualitas sedimen dasar waduk.
Penggabungan indikator alga biru, jejaring atau rantai makanan (food web)
dan keanekaragaman hayati menjadi indikator keanekaragaman hayati atau
biodiversitas karena keterkaitan ketiganya sangat erat. Keanekaragaman hayati
atau biodiversitas yang rendah berarti telah terjadi dominasi salah satu jenis
mikroalga, misalny kelompok Cyanophita pada rantai makanan (Haarcoryati,
2008). Dominasi salah satu jenis mikroorganisme berakibat terganggunya

44 - Kementerian Pekerjaan Umum


Pusat Penelitian dan Pengembangan Sumber Daya Air

keseimbangan rantai makanan pada waduk. Indeks keanekaragaman plankton


yang makin tinggi menunjukkan kualitas perairan waduk yang makin baik,
karena indeks keanekaragaman plankton menunjukkan fluktuasi dari
makroinvertibrata bentos (Macbub, 1982). Salah satu indek keanekaragaman
hayati yaitu Indeks Shanon-Wienner yang digunakan oleh Brahmana (1999)
untuk mengidentifikasi keanekaragaman hayati di Waduk Saguling dan Waduk
Jatiluhur.
Penyesuaian kriteria pada indikator erosi lahan dikaitkan dengan perkiraan
awal tingkat erosi waduk. Penyesuaian kriteria tersebut diperlukan, karena
besarnya erosi dan sedimentasi yang tertampung pada waduk sangat
menentukan masa layan waduk. Ilyas (1995) juga menyimpulkan bahwa laju
sedimentasi yang tinggi menyebabkan umur layanan waduk menjadi pendek.
Kondisi tersebut perlu diantisipasi dengan membandingkan antara laju
sedimentasi rencana yang diperbolehkan masuk ke dalam waduk dengan laju
sedimentasi aktual (Lubis dan Ilyas, 1989).
Penggantian indikator dampak pendangkalan danau dengan indikator dampak
pendangkalan waduk yang dikaitkan dengan prosentase volume terisi
tampungan mati waduk. Kapasitas operasional tampungan waduk akan
berkurang, apabila kapasitas tampungan mati waduk lebih cepat terisi akibat
laju erosi-sedimentasi yang melebihi kapasitas rencana. Sukistyono, dkk (2005)
menyatakan bahwa untuk mempertahankan kapasitas tampungan efektif,
pengelola waduk di DAS Brantas harus melakukan penggelontoran sedimen
sebanyak dua kali setahun. Hal tersebut tentunya dapat membawa dampak
pada ekosistem sebelah hilir waduk. Dampak yang terjadi pada ekosistem
sebelah hilir waduk tersebut diantaranya adalah kekeruhan yang tinggi dan
perubahan warna selama penggelontoran, sehingga menyebabkan kematian
ikan. Kapasitas tampungan mati yang telah penuh menyebabkan berkurangnya
volume efektif waduk, sehingga ada volume air yang termanfaatkan (Pangesti
dan Isnugroho,1989)
Penggabungan indikator pengambilan air untuk PLTA dan air baku menjadi
indikator pemanfaatan air waduk yang dikaitkan dengan desain rencana
hidrologi, neraca air dan tinggi muka air waduk, karena dalam mendesain
waduk telah memperhitungkan neraca air waduk. Selain itu, penggabungan
indikator juga dimaksudkan agar penentuan status ekosistem waduk dapat
lebih efektif, karena memiliki kesamaan dalam hal debit keluar air waduk.
Penyesuaian perhitungan jumlah kolam jaring apung yang diperbolehkan pada
perairan waduk, mengingat pada beberapa waduk telah terjadi pertumbuhan
kolam jaring apung (KJA) secara berlebihan. Soemarwoto (2004) menyarankan
jumlah KJA yang diperbolehkan sebesar maksimum 1% dari luas perairan waduk
dan lokasi KJA tersebut menyebar.

Kementerian Pekerjaan Umum - 45


Eutrofikasi Waduk dan Danau : Permasalahan, Pemodelan dan Upaya Pengendalian

Penyesuaian indikator status mutu air dikaitkan dengan baku-mutu air yang
telah ditetapkan, sehingga status mutu air waduk dapat dievaluasi. Pusat
Penelitian Sumber Daya Alam dan Lingkungan (PPSDAL) UNPAD (2002)
menggunakan metoda STORET untuk mengevaluasi status mutu air Waduk
Saguling sesuai Kepmen LH 115/2003 tentang penentuan status mutu air. Pada
waduk terstratifikasi, penentuan status mutu air disesuaikan dengan stratifikasi
waduk, yaitu status mutu lapisan epilimnion dan status mutu lapisan
hipolimnion.
Penambahan indikator korosivitas, mengingat banyaknya bangunan
operasional waduk yang mengalami korosi. Untuk mengukur tingkat korosivitas
perairan waduk diusulkan menggunakan Indeks Korosivitas Langilier. Indeks
korosivitas tersebut telah digunakan oleh Brahmana dan Ahmad (2001) untuk
penentuan korosivitas perairan Waduk Saguling dan Cirata .
Penambahan indikator kualitas sedimen dasar waduk, mengingat logam berat
dan senyawa fosfor dapat terikat secara mudah dengan partikel tererosi dari
DAS dan selanjutnya terakumulasi di dalam waduk. Senyawa-senyawa yang
terikat pada sedimen tersebut berpengaruh pada ekosistem waduk bila terlepas
pada perairan. Untuk itu diusulkan, agar parameter yang diukur untuk penentuan
kualitas sedimen adalah senyawa fosfor, karena dapat memicu eutrofikasi
(Lerman, 1974), sedangkan kandungan logam berat yang dianalisis pada
sedimen dasar waduk meliputi Cr, Cu, Pb, Cd dan Hg. Berdasarkan hasil studi
yang dilakukan oleh Sutrisno, dkk (2002) diketahui bahwa akumulasi
kandungan logam berat pada sedimen dasar di Waduk Saguling, Cirata dan
Jatiluhur terdeteksi lebih besar daripada kandungan logam berat dalam tubuh
ikan.
Agar usulan-usulan tersebut di atas dapat digunakan sebagai tolok ukur
pengelolaan ekosistem waduk dan pengambilan keputusan, maka diperlukan
sejumlah kajian lebih lanjut. Pengkajian yang dilakukan meliputi indikator-
indikator serta dampak yang ditimbulkan secara kuantitatif. Dengan demikian,
penentuan status mutu ekosistem waduk secara lebih terukur dapat dilakukan
melalui suatu pemantauan kualitas air.

3.3 Klasifikasi Eutrofikasi


Eutrofikasi berasal dari bahasa Junani yang terdiri dari dua kata yakni Eu =
baik dan Trophe=makanan. Kedua kata tersebut bila disatukan diartikan sebagai
pemberi makanan yang baik atau penyuburan.Proses penyuburan perairan
waduk dandanau dapat terjadi secara .alamiah atau kultural. Eutrofikasi
alamiah adalah eutrofikasi yang terjadi secara alamiah atau tanpa pengaruh

46 - Kementerian Pekerjaan Umum


Pusat Penelitian dan Pengembangan Sumber Daya Air

aktifitas manusia, sedangkan eutrofikasi kultural adalah eutrofikasi yang


dipengaruhi oleh limbah penduduk, limbah pertanian, limbah industri dan
sebagainya.

Eutrofikasi disebabkan oleh proses meningkatnya kadar zat hara, terutama


parameter nitrogen dan fosfor, pada air danau dan atau waduk. Wetzel (1975)
pada Brahmana,dkk (1993) membagi tingkat eutrofikasi waduk atau danau
dalam beberapa tingkatan yaitu : mesotrofik, oligotrofik, eutrofik dan
hypereutrofik (dystrofik). Waduk mesotrofik adalah waduk yang kandungan
nutrien dan produktivitasnya rendah. Umumnya waduk yang umurnya masih
muda termasuk kategori tersebut. Waduk. oligotrofik adalah waduk yang
kandungan nutrien dan produktivitasnya sedang. Jenis waduk tersebut sangat
cocok untuk perikanan dan pemanfaatan lainnya. Waduk eutroflk adalah waduk
yang kandungan nutrient dan produktivitasnya tinggi dan kandungan oksigen
pada lapisan hipolimnion rendah. Waduk hypereutrofik adalah waduk yang
mengandung banyak material humus, kandungan oksigennya rendah, dan
jumlah spesies ganggang sedikit atau keanekaragaman hayati rendah.
Sedangkan parameter dan tingkat trofik kategori Wetzel’s selengkapnya terlihat
pada Tabel 3.8.
Sedangkan Sulastri, dkk (2004) menggunakan metoda Riding dan Rast (1989)
untuk menentukan trofik Waduk Sutami di Malang, seperti terlihat pada Tabel
3.9.

Kementerian Pekerjaan Umum - 47


Eutrofikasi Waduk dan Danau : Permasalahan, Pemodelan dan Upaya Pengendalian

Dari berbagai kategori status trofik tersebut diatas, Kementerian Lingkunga


Hidup menetapkan Pedoman Kementerian Negara Lingkungan Hidup (2008),
yang terdiri empat kategori status trofik dari UNEP (Tabel 3.9) berdasarkan
kadar unsur hara dan kandungan biomasa atau produktivitasnya yaitu:
a. Oligotrofik, adalah status trofik air danau dan atau waduk yang
mengandung unsur hara dengan kadar rendah. Status ini menunjukkan
kualitas air masih bersifat alamiah belum tercemar dari sumber unsur
hara nitrogen dan fosfor.
b. Mesotrofik, adalah status trofik air danau dan atau waduk yang
mengandung unsur hara dengan kadar sedang. Status ini menunjukkan
adanya peningkatan kadar Nitrogen dan Fosphor namun masih dalam batas
toleransi, karena belum menunjukkan adanya indikasi pencemaran air.
c. Eutrofik, adalah status trofik air danau atau waduk yang mengandung unsur
hara dengan kadar tinggi, status ini menunjukkan air telah tercemar oleh
peningkatan kadar nitrogen dan fosfor.
d. Hipereutrofik, adalah status trofik air danau atau waduk yang mengandung
unsur hara dengan kadar sangat tinggi, status ini menunjukkan air telah
tercemar berat oleh peningkatan kadar nitrogen dan fosfor.

48 - Kementerian Pekerjaan Umum


Pusat Penelitian dan Pengembangan Sumber Daya Air

Menurut UNEP-IETC/ILEC (2001), fosfor membatasi proses eutrofikasi jika kadar


nitrogen lebih dari delapan kali kadar fosfor, sementara nitrogen membatasi
proses eutrofikasi jika kadarnya kurang dari delapan kali kadar fosfor.
Sedangkan Goldman & Horne (1983) menyatakan bahwa bila rasio N dan P
lebih besar dari 12, maka sebagai faktor pembatas adalah unsur Fosfor,
sedangkan rasio N dan P lebih kecil dari 7, maka sebagai pembatas adalah
senyawa N. Rasio N dan P yang berada antara 7 dan 12 menandakan bahwa N
dan P bukan sebagai faktor pembatas (non-limiting factor).
Pedoman pengelolaan danau juga memberikan alternatif lain penentuan status
trofik dari beban limbah yang mengandung unsur hara yang masuk air waduk
atau danau, yaitu melalui Metoda Carlson, seperti terlihat pada Tabel 3.10
dan persamaan sebagai berikut :
- TSI-TP = 14,42 x Ln[TP] + 4,15 (3.1)
- TSI-Klorofil-a = 30,6 + 9,81 x Ln[Khlorofil-a] (3.2)
- TSI-SD = 60 ¡V 14,41 x Ln[Secchi] (3.3)
- Rata-rata TSI = (TSI-P + TSI-Cl-a + TSI-SD)/3 (3.4)

Dimana :
TSI-TP : trofik Status Indeks untuk Total Fosfor, dalam ug/L
TSI-Klorofil-a : nilai Trofik Status Indeks untuk klorofil-a, dalam ug/L
TSI-SD : nilai Trofik Status Indeks untuk kedalaman cakram Sechi, dalam meter.

Kementerian Pekerjaan Umum - 49


Eutrofikasi Waduk dan Danau : Permasalahan, Pemodelan dan Upaya Pengendalian

Hasil perhitungan rata-rata nilai Trofik Status Indeks dibandingkan dengan


status trofik seperti terlihat pada Tabel 3.11, sehingga diketahui tingkat status
trofik danau atau waduk .

3.4 Indikator Potensial yang Harus Dikontrol


Menurut Goldmen and Horne (1983) pada Brahmana (1993) eutrofikasi perairan
danau dapat terjadi secara alami atau natural eutrophication dan secara
kultural atau cultural eutrophication. Eutrofikasi alami terjadi karena adanya
proses alami yang menimbulkan proses eutrofikasi perairan. Sedangkan
aktivitas manusia menyebabkan terjadinya proses peningkatan unsur hara di
perairan, sehingga terjadi eutrofikasi kultural. Sedangkan proses masuknya
zat hara ke perairan waduk dan danau dapat melalui input sungai yang tercemar
oleh zat hara maupun dari lapisan tanah yang mengandung unsur hara dan
tererosi masuk ke perairan waduk dan danau.
Pencemaran tersebar (diffuse source) adalah zat pencemar yang terbawa akibat
limpasan hujan juga menjadi penyebab terjadinya pencemaran waduk dan
danau. Novotny,dkk (2004) menjelaskan bahwa sumber pencemaran tersebar
di antaranya berasal dari : (1) emisi zat pencemar tersebar yang masuk ke
badan air akibat peristiwa meterologi; (2) emisi timbulan limbah yang tersebar
pada suatu lahan dan masuk ke air permukaan maupun terinfiltrasi ke air
tanah; (3) emisi pencemar tersebar yang sulit dimonitor dan dikendalikan dari

50 - Kementerian Pekerjaan Umum


Pusat Penelitian dan Pengembangan Sumber Daya Air

sumber asal; (4) emisi zat pencemar akibat kondisi geologis lahan yang
tergerus; (5) emisi zat pencemar tersebar dari suatu kegiatan yang
menghasilkan partikel tersuspensi, zat hara, bakteri patogen dan senyawa
beracun.
Machbub, dkk (2003) mengemukakan bahwa terjadinya eutrofikasi di suatu
perairan danau dan waduk dapat dideteksi melalui berbagai indikator, yaitu:
(1) menurunnya konsentrasi oksigen terlarut di zona hipolimninion; (2)
meningkatnya zat hara yaitu nitrogen dan fosfor badan air; (3) menurunnya
transparansi perairan, serta (4) meningkatnya padatan tersuspensi, terutama
yang mengandung bahan organik. Indikator-indikator tersebut merupakan tanda
umum, namun pemantauan paramater kualitas air tetap harus dilakukan,
terutama parameter terkait dengan proses eutrofikasi.

3.4.1 Parameter Fisika


a. Suhu
Adanya penyerapan cahaya oleh air danau akan menyebabkan terjadinya
lapisan air yang mempunyai suhu yang berbeda. Bagian lapisan yang lebih
hangat biasanya berada pada daerah eufotik (bagian atas), sedangkan lapisan
yang lebih dingin biasanya berada di bagian afotik (bagian bawah). Menurut
Goldman & Horne (1989), bila danau tersebut tidak mengalami pengadukan
oleh angin, maka kolam air danau terbagi menjadi beberapa lapisan, yaitu
lapisan epilimnion, lapisan hipolimnion dan metalimnion. Lapisan epilimnion
adalah yang hangat dengan kerapatan jenis air kurang. Lapisan hipolimnion
adalah lapisan yang lebih dingin dengan kerapatan air kurang, dan lapisan
metalimnion adalah lapisan yang berada antara lapisan epilimnion dan
hipolimnion. Pada daerah metalimnion terdapat lapisan termoklin, yaitu
lapisan dimana suhu akan turun sekurang-kurangnya 10C dalam setiap 1 meter
kedalaman (Jorgensen & Volleweider, 1989).

b. Padatan Tersuspensi (^ƵƐƉĞŶĚĞĚ^ŽůŝĚ) dan Padatan Terlarut (ŝƐƐŽůǀĞĚ^ŽůŝĚ)


Masuknya padatan tersuspensi ke dalam perairan dapat menimbulkan
kekeruhan air. Hal ini menyebabkan menurunnya laju fotosintesis fitoplankton,
sehingga produktivitas primer perairan menurun, yang pada gilirannya
menyebabkan terganggunya keseluruhan rantai makanan. Padatan tersuspensi
yang tinggi akan mempengaruhi biota di perairan, karena menghalangi
penetrasi cahaya ke dalam badan air, sehingga menghambat proses
fotosintesis oleh fitoplankton dan tumbuhan air lainnya. Kondisi ini akan
mengurangi pasokan oksigen terlarut dalam badan air. Sedangkan padatan
terlarut pada badan air berhubungan dengan kadar salinitas perairan.

Kementerian Pekerjaan Umum - 51


Eutrofikasi Waduk dan Danau : Permasalahan, Pemodelan dan Upaya Pengendalian

c. Kekeruhan dan Transparansi


Kekeruhan perairan umumnya disebabkan oleh adanya partikel-partikel
tersuspensi seperti tanah liat, lumpur, bahan-bahan organik terlarut, bakteri,
plankton dan organisme lainnya. Kekeruhan yang tinggi menyebabkan
penurunan penetrasi cahaya secara mencolok, sehingga aktivitas fotosintesis
fitoplankton dan alga menurun, yang berakibatn produktivitas perairan
menjadi turun. Transparansi perairan ditentukan secara visual dengan
menggunakan cakram Sechi. Kecerahan perairan sangat dipengaruhi oleh
keberadaan padatan tersuspensi, zat-zat terlarut, partikel-partikel dan warna
air. Pengaruh kandungan lumpur yang dibawa oleh aliran sungai dapat
mengakibatkan tingkat kecerahan air danau menjadi rendah, sehingga dapat
menurunkan nilai produktivitas perairan.

d. Warna Perairan
Warna perairan dikelompokkan menjadi warna sesungguhnya (true Color) dan
warna tampak (apparent color). Warna sesungguhnya dari perairan adalah
warna yang hanya disebabkan oleh bahan-bahan terlarut, sedangkan warna
tampak adalah warna yang disebabkan oleh bahan tersuspensi dan juga
disebabkan oleh bahan organik dan anorganik yang sulit terlarut. Warna
tampak umumnya dapat di turunkan melalui proses koagulasi (Sawyer, dkk.,
2003).
Bahan-bahan organik seperti tanin, lignin dan asam humus dapat menimbulkan
warna kecoklatan di perairan. Perairan yang berwarna dapat menghambat
penetrasi cahaya ke dalam air, sehingga proses fotosintesis menjadi terganggu.
Berdasarkan Peraturan Menteri Kesehatan Nomor: 907/Menkes/SK/VII/2002
warna air sebaiknya tidak melebihi 15 unit PtCo. Sedangkan pada PP Nomor
82/2001 tidak mengatur tingkat warna air baku.

3.4.2 Parameter Kimia


a. Derajat Keasaman (pH)
Sawyer (2003) menyatakan bahwa derajat keasaman merupakan gambaran
jumlah atau aktivitas ion hidrogen dalam perairan. Nilai pH menggambarkan
seberapa besar tingkat keasaman atau kebasaan suatu perairan. Tingkat
keasaman merupakan faktor yang penting dalam proses pengolahan air untuk
perbaikan kualitas air. Kondisi perairan bersifat netral apabila nilai pH sama
dengan 7, kondisi perairan bersifat asam bila pH kurang dari 7, sedangkan pH
lebih dari 7 kondisi perairan bersifat basa Menurut Benjamin (2002) tingkat
keasaman mempengaruhi nilai BOD5, fosfat, nitrogen dan nutrien lainnya.

52 - Kementerian Pekerjaan Umum


Pusat Penelitian dan Pengembangan Sumber Daya Air

Adanya karbonat, bikarbonat dan hidroksida juga menaikkan kebasaan air,


sementara adanya asam-asam mineral bebas dan asam karbonat menaikkan
keasaman suatu perairan (Canter, 1992).
Nilai pH dapat mempengaruhi spesiasi senyawa kimia dan toksisitas dari
unsur-unsur renik yang terdapat di perairan, sebagai contoh H2S yang bersifat
toksik banyak ditemui di perairan tercemar dan perairan dengan nilai pH
rendah. Karena itu, nilai pH maksimum untuk air minum adalah 6,5 – 8,5
sesuai Permenkes Nomor: 907/Menkes/SK/VII/2002. Pada air baku untuk klas
1 sampai 3 nilai pH adalah 6-9, sedangkan klas IV adalah 5-9, seperti terlihat
pada PP Nomor: 82/2001 tentang Pengelolaan Kualitas Air dan Pengendalian
Pencemaran Air.

b. Karbondioksida (CO2) Agresif


Karbondioksida bebas merupakan istilah untuk menunjukkan CO2 yang terlarut
di dalam air. CO2 agresif dalam perairan alami merupakan hasil proses difusi
dari atmosfer, air hujan, dekomposisi bahan organik dan hasil respirasi
organisme akuatik. Tingginya kandungan CO2 agresif pada perairan dapat
mengakibatkan terganggunya kehidupan biota perairan dan cenderung bersifat
korosif. Oleh karena itu, CO2 agresif menjadi salah satu senyawa indikator
timbulnya proses korosivitas perairan (Brahmana, 2001)

c. Oksigen Terlarut (Dissolved Oxygen, DO)


Sawyer (2003) menjelaskan bahwa oksigen terlarut dalam perairan merupakan
faktor penting sebagai pengatur metabolisme tubuh organisme untuk tumbuh
dan berkembang biak. Oksigen terlarut dalam air berasal dari difusi oksigen
yang terdapat di atmosfer, arus atau aliran air melalui air hujan serta aktivitas
fotosintesis oleh tumbuhan air dan fitoplankton. Adanya pergolakan massa
air akibat adanya angin atau gelombang membantu meningkatkan kandungan
oksigen terlarut karena meningkatnya proses difusi oksigen dari atmosfer ke
badan air.
Sebagian besar oksigen pada perairan danau dan waduk merupakan hasil
sampingan aktivitas fotosintesis. Pada proses fotosintesis, karbondioksida
direduksi menjadi karbohidrat dan air mengalami dehidrogenasi menjadi
oksigen, yang dapat dinyatakan sebagai berikut :

6 CO2 + 6 H2O Š C6H12O6 + 6O2

Kementerian Pekerjaan Umum - 53


Eutrofikasi Waduk dan Danau : Permasalahan, Pemodelan dan Upaya Pengendalian

Pada perairan danau ataupun waduk, oksigen lebih banyak dihasilkan oleh
proses fotosintesis alga yang banyak terdapat pada zona epilimnion, sedangkan
pada perairan tergenang yang dangkal dan banyak ditumbuhi tanaman air
pada zone litoral, keberadaaan oksigen lebih banyak dihasilkan oleh aktivitas
fotosintesis tumbuhan air. Keberadaan oksigen terlarut di perairan sangat
dipengaruhi oleh suhu, salinitas, turbulensi air, dan tekanan atmosfer
(Sawyer,2003).
Berdasarkan PP Nomor 82 tahun 2001, badan air dengan kadar oksigen terlarut
lebih besar dari 6 mg/l masuk dalam kategori Klas 1, kadar oksigen terlarut
antara 4-6 termasuk dalam kategori Klas 2, kadar oksigen terlarut 3-4 mg/l
berkategori Klas 3, sedangkan kadar oksigen terlarut kurang dari 3 termasuk
dalam kategori Klas 4.

d. Kebutuhan Oksigen Biokimia (Biochemical Oxygen Demand, BOD5) dan


Kebutuhan Oksigen Kimia (Chemical Oxygen Demand, COD)
Adanya pencemaran pada badan air yang berasal dari bahan organik dapat
diindikasikan dengan parameter BOD5. Bahan pencemar organik yang tinggi
akan distabilkan secara biologik dengan melibatkan mikroba melalui sistem
oksidasi aerobik dan anaerobik, sehingga meningkatkan nilai BOD5.
Kondisi anaerob atau tidak adanya oksigen pada perairan dapat
mengakibatkan kematian organisme akuatik. Hal tersebut disebabkan
berlangsungnya proses oksidasi secara aerobik yang melibatkan
mikroorganisme pengurai, sehingga menyebabkan penurunan kandungan
oksigen terlarut di perairan sampai pada tingkat terendah. Peraturan
Pemerintah Nomor 82 tahun 2001 menegaskan bahwa kadar pencemar organik
BOD pada badan air dengan Kategori klas 1 adalah maksimum 2 mg/l, kategori
Klas 2 yaitu 3-6 mg/l, Klas 3 yaitu dari 6-12 mg/l, sedangkan Klas 4 atau
tercemar berat bila kadar BOD lebih dari 12 mg/l.
Kadar pencemar organik dalam badan air juga dapat diketahui dari nilai
indikator COD atau Chemical Oxygen Demand. Selain BOD5, kadar bahan
organik juga dapat diketahui melalui nilai COD. Sawyer, dkk (2003) menjelaskan
bahwa COD adalah jumlah total oksigen yang dibutuhkan untuk mengoksidasi
bahan pencemar organik secara kimiawi, baik yang dapat maupun sukar
didegradasi secara biologi menjadi CO 2 dan H 2 O. Penjelasan tersebut
menunjukkan bahwa indikator COD paling baik dalam menggambarkan
kandungan zat organic, baik yang dapat didekomposisi secara biologis maupun
yang tidak.

54 - Kementerian Pekerjaan Umum


Pusat Penelitian dan Pengembangan Sumber Daya Air

e. Senyawa-senyawa Nitrogen
Nitrogen di perairan terdapat dalam bentuk gas N2, NO2-, NO3-, NH3 dan NH4+
serta sejumlah N yang berikatan dalam organik kompleks (Sawyer, 2003).
Sumber nitrogen terbesar berasal dari udara, sekitar 80% dalam bentuk nitrogen
bebas yang masuk melalui sistem fiksasi biologis dalam kondisi aerobik.
Menurut Chester (1990), keberadaan nitrogen di perairan dapat berupa nitrogen
anorganik dan organik. Nitrogen anorganik terdiri atas ion nitrit (NO2-), ion
nitrat (NO3-), ammonia (NH3), ion ammonium (NH4 +) dan molekul N2 yang larut
dalam air, sedangkan nitrogen organik berupa protein, asam amino dan urea
akan mengendap dalam air.
Proses reduksi nitrat berjalan optimal pada kondisi anoksik (tak ada oksigen).
Dinitrogen oksida (N2O) adalah produk utama dari denitrifikasi pada perairan
dengan kadar oksigen sangat rendah, sedangkan molekul nitrogen (N2) adalah
produk utama dari proses denitrifikasi pada kondisi anaerob. Proses
denitrifikasi akan berkurang atau lambat pada kondisi pH dan suhu rendah,
tetapi akan berjalan optimum pada suhu rata-rata danau pada umumnya.
Kondisi anaerob pada lapisan sedimen membuat proses denitrifikasi lebih
besar, yaitu dengan laju ratarata 1 mg/L per hari (Jorgensen, 1980).
Kadar nitrogen yang tinggi dalam perairan dapat merangsang pertumbuhan
algae secara tak terkendali (blooming). Berdasarkan PP Nomor 21/2008,
kandungan zat hara persenyawaan nitrogen dalam perairan adalah maksimum
kadar senyawa nitrat (NO3-) adalah 10 mg/l untuk Klas 1 dan 2, sedangkan
untuk Klas 3 dan 4 maksimum adalah 20 mg/l. Parameter nitrit (NO2 -) kandungan
maksimum pada badan air adalah 0,06 mg/l, lebih dari angka tersebut masuk
kategori klas 4. Sedangkan kandungan amonia (NH3-N) maksimum adalah 0,5
mg/l, untuk perikanan tidak lebih dari 0,02 mg/l. Sedangkan standar kualitas
air untuk air minum, menurut Permenkes Nomor: 907/Menkes/SK/VII/2002
menegaskan bahwa kadar maksimum amonia dan amonium masing-masing
adalah 1,5 mg/l dan 0,2 mg/l.

e. Fosfat
Fosfor dalam perairan tawar ataupun air limbah pada umumnya dalam bentuk
fosfat, yaitu ortofosfat, fosfat terkondensasi seperti pirofosfat (P2O7), metafosfat
(P3O9 3-) dan polifosfat (P4O13 6- dan P3O10 5-) serta fosfat yang terikat secara
organik. Senyawa ini berada sebagai larutan, partikel atau detritus atau berada
di dalam tubuh organisme akuatik (AWWA, 1995). Fosfat dalam perairan yang
dapat dimanfaatkan secara langsung oleh tumbuhan akuatik adalah dalam
bentuk ortofosfat, yaitu hasil hidrolisis dari polifosfat sebelum dapat
dimanfaatkan sebagai sumber fosfor.

Kementerian Pekerjaan Umum - 55


Eutrofikasi Waduk dan Danau : Permasalahan, Pemodelan dan Upaya Pengendalian

Perairan yang mengandung kadar fosfat yang cukup tinggi melebihi kebutuhan
normal organisme akuatik akan menyebabkan terjadinya proses eutrofikasi.
Berdasarkan PP Nomor 21/2008, kandungan zat hara Total Fosfat dalam
perairan maksimum adalah 0,2 mg/l untuk klas 1 dan 2, sedangkan untuk klas
3 dan 4 masing-masing maksimum 1 mg/l dan 5 mg/l. Sedangkan standar
kualitas air untuk air minum parameter fosfor tidak diatur.

f. Pestisida
Limpasan dari daerah pertanian, aliran dari persawahan, buangan limbah
domestik, limbah perkotaan dan industri merupakan sumber Pestisida yang
masuk ke badan air Pada umumnya pestisida dalam badan air terserap pada
partikel tersuspensi dan partikel yang diam atau terpisah ke dalam subtrat
organik. Penggunaan dampak negatif yang berlebihan terutama pada bidang
pertanian dapat menimbulkan pencemaran terhadap lingkungan, baik
lingkungan perairan, tanah dan udara maupun mahluk hidup yang bukan
sasaran. Pestisida cenderung sulit mengalami degradasi atau persisten, dan
akan terakumulasi, meskipun ada yang bersifat terdegradasi secara alami.
Kadar pestisida yang tinggi dapat menimbulkan kematian organisme akuatik
secara langsung (keracunan akut), yaitu kontak langsung atau melalui jasad
lainnya seperti plankton, perifiton dan bentos, sedangkan kadar rendah dalam
badan air kemungkinan besar menyebabkan kematian organisme dalam waktu
yang lama, yaitu akibat akumulasi pestisida dalam organ tubuhnya
(Soemarwoto et al., 1979). Pada umumnya, pestisida memperlihatkan sifat
lebih toksik terhadap zooplankton dan bentos dengan tingkat toksik yang
bervariasi, tergantung jenis pestisida dan tingkat stadia komunitas yang
bersangkutan.

g. Parameter Mikrobiologi
Keberadaan parameter mikrobiologi terutama bakteri digunakan sebagai
indikator untuk menilai tingkat higienisitas suatu perairan. Mikroorganisme
pathogen atau mikroorganisme yang bersifat berbahaya dari berbagai sumber,
seperti permukiman, pertanian dan peternakan mudah, masuk dan mencemari
perairan. Bakteri coli merupakan kelompok bakteri yang sangat sering
digunakan sebagai indikator pencemaran badan air. Sedangkan Escherichia
coli, yang tergolong bakteri koli yang hidup normal di dalam kotoran manusia
dan hewan, sehingga kehadirannya dalam perairan menjadi petunjuk adanya
pencemaran dari manusia atau hewan. Pencemaran bakteri sangat tidak
dikehendaki, baik ditinjau dari segi estetika, kebersihan, sanitasi maupun
kemungkinan terjadinya infeksi berbahaya.

56 - Kementerian Pekerjaan Umum


Pusat Penelitian dan Pengembangan Sumber Daya Air

Berdasarkan PP Nomor 21/2008, kandungan Total coliform dan Fecal coliform


dalam perairan adalah maksimum masing-masing 1000/100 ml dan 100/100
ml untuk klas 1, untuk klas 2 masing-masing maksimum 5000/100ml dan 1000/
100 ml, sedangkan untuk klas 3 dan 4 masing-masing maksimum adalah 10000/
ml dan 5000/100 ml. Sedangkan standar kualitas air untuk air minum menurut
Permenkes Nomor: 907/Menkes/SK/VII/2002 dikatakan bahwa kandungan Total
coli maupun Fecal Coli adalah 0.

Kementerian Pekerjaan Umum - 57


Eutrofikasi Waduk dan Danau : Permasalahan, Pemodelan dan Upaya Pengendalian

58 - Kementerian Pekerjaan Umum


Pusat Penelitian dan Pengembangan Sumber Daya Air

BAB IV
PEMICU EUTROFIKASI PADA WADUK DAN DANAU

4.1 Kelimpahan Plankton

Di alam ini termasuk pada badan air terdapat suatu mata rantai makanan
atau biasa disebut dengan siklus makanan. Fitoplankton merupakan dasar
dari rantai makanan atau biasa disebut dengan produsen primer pada badan
air. Meningkatnya biomassa jenis organisme primer merupakan gejala
terjadinya eutrofikasi pada perairan danau atau waduk. Gejala tersebut
biasanya juga ditunjukkan dengan menurunnya jenis konsumer akibat
melimpahnya konsentrasi unsur hara dan perubahan parameter kimia lainnya
seperti oksigen terlarut (OT), kadar klorofil-a, turbiditas serta produktivitas
primer (Vesjak,dkk,1997).
Meningkatnya konsentrasi biomasa di bagian epilimnion dan tingginya laju
pengendapan alga pada dalam kolom air, menyebabkan timbulnya kondisi
anaerobik pada daerah hipolimnion danau. Pertumbuhan populasi
fitoplankton yang terdiri dari karbon, oksigen, hidrogen, nitrogen dan fosfor
merupakan salah satu indikator utama terjadinya eutrofikasi di suatu perairan.
Pengaruh dari eutrofikasi pada danau dan waduk selain pertumbuhan
fitoplankton dan alga yang berlebihan, juga kekeruhan, penurunan kadar
oksigen badan air. Komposisi fitoplankton pada badan air tidak konstan tapi
dapat menggambarkan konsentrasinya dalam badan air (Vesjak,dkk,1997)
Pada fitoplankton terdapat klorofil yang berperan dalam proses fotosintesis
untuk menghasilkan bahan organik dan oksigen dalam air yang digunakan
sebagai dasar kehidupan. Populasi fitoplankton yang berlebih, terutama yang
bersifat toksik yang berada pada ekosistem perairan, dapat menyebabkan
berkurangnya oksigen di dalam air yang dapat menyebabkan kematian berbagai
makhluk air lainnya. Fakta menunjukkan bahwa beberapa jenis fitoplankton
yang mempunyai potensi marak adalah yang bersifat toksik (Wiadnyana, 1996).
Mengingat dampak kerugian ledakan fitoplankton yang tinggi, di beberapa
negara maju permasalahan tersebut mendapat prioritas penanganan yang
serius. Dampak utama dari ledakan populasi fitoplankton adalah timbulnya
Harmful Algae Blooms (HABs), yaitu fenomena marak fitoplankton toksik pada
suatu badan air yang menyebabkan kematian biota lain (Anderson, dkk, 2008).
Semua jenis fitoplankton yang beracun di atas dijumpai pada beberapa perairan
pesisir Indonesia. Racun-racun tersebut sangat berbahaya, karena di antaranya

Kementerian Pekerjaan Umum - 59


Eutrofikasi Waduk dan Danau : Permasalahan, Pemodelan dan Upaya Pengendalian

menyerang sistem saraf manusia, pernapasan, dan pencernaan (Praseno dan


Sugestiningsih, 2000). Faktor yang dapat memicu ledakan populasi fitoplankton
berbahaya antara lain adanya upwelling yang mengangkat massa air kaya
unsur-unsur hara; adanya hujan lebat, dan masuknya air ke badan air dalam
jumlah yang besar (Wiadnyana, 1996).
Fitoplankton adalah organisme mikroskopik yang hidup melayang, mengapung
di dalam air serta memiliki kemampuan gerak yang terbatas (Horne dan
Goldman, 1994). Fitoplankton berperan sebagai salah satu bio indikator yang
mampu menggambarkan kondisi suatu perairan, kosmopolit dan
perkembangannya bersifat dinamis, karena dominasi satu spesies dapat
diganti dengan lainnya dalam interval waktu tertentu dan dengan kualitas
perairan yang tertentu pula. Perubahan kondisi lingkungan perairan akan
menyebabkan perubahan pula pada struktur komunitas komponen biologi,
khususnya fitoplankton.
Zat hara, yaitu nitrogen dan fosfor, merupakan faktor yang mempengaruhi
pertumbuhan fitoplankton. Oleh karena itu, ketersediaan zat hara di perairan
waduk, menjadi faktor pembatas yang mengontrol keberadaan kelimpahan
dan biomasa fitoplankton dari zona inlet atau muara sungai sampai zona
waduk. Klorofil-a merupakan pigmen yang hampir ditemukan pada semua jenis
fitoplankton dan merupakan pigmen yang paling maksimal dalam menyerap
cahaya matahari untuk proses fotosintesis.
Respon fitoplankton sebagai produsen utama perairan, terhadap unsur hara
terjadi pada lapisan perairan eufotik menentukan eksistensi fitoplankton.
Pengaruh biologi juga terjadi apabila terdapat perbedaan laju pertumbuhan
spesies fitoplankton dan zooplankton yang memangsa (grazing) fitoplankton,
yang akhirnya akan mempengaruhi pengelompokan fitoplankton di perairan.
Berdasarkan uraian di atas, maka diperlukan suatu kajian ekologi mengenai
komposisi dari kelimpahan dan dominasi fitoplankton terkait dengan kondisi
fisika-kimia perairan di perairan tergenang untuk menentukan kualitas
perairan pada kondisi muka air waduk yang minimum, sehingga dapat
digunakan untuk menentukan daya dukung serta upaya pengelolaan yang tepat.
Pengaruh biomasa plankton terhadap timbulnya eutrofikasi dapat dilihat pada
Gambar 4.1

60 - Kementerian Pekerjaan Umum


Pusat Penelitian dan Pengembangan Sumber Daya Air

Gambar 4.1. Model dinamik Eutrofikasi akibat biomassa plankton


(Anderson pada Gunawan, 2005)

4.2 Peningkatan Zat Hara


4.2.1 Senyawa Nitrogen
Senyawa nitrogen yang dialirkan ke badan air terutama berasal dari kegiatan
manusia. Manusia dan binatang menghasilkan unsur-unsur nitrogen.
Sedangkan dari sumber pencemar tersebar (non point sources) berasal dari
pertanian atau pengolahan lahan dengan pemupukan dan lahan permukiman
yang menimbulkan senyawa nitrogen yang berlebihan. Dalam bentuk anorganik,
senyawa nitrogen berperan penting dalam kehidupan akuatik. Senyawa tersebut
dibutuhkan dalam jumlah besar untuk perkembang-biakan sel dan dikenal

Kementerian Pekerjaan Umum - 61


Eutrofikasi Waduk dan Danau : Permasalahan, Pemodelan dan Upaya Pengendalian

sebagai Makronutrien bersama dengan senyawa karbon, fosfor, oksigen, sulfur,


silika dan besi. Sedangkan senyawa yang dibutuhkan dengan jumlah yang
kecil untuk pengembangan sel adalah mangan, tembaga dan seng yang dikenal
sebagai Mikronutrien.
Bentuk utama senyawa nitrogen di alam adalah nitrogen bebas (N2), amonium
(NH4 +) atau amonia (NH3), nitrit (NO2) atau nitrat (NO3) dan organik nitrogen.
Seperti terlihat pada Gambar 4.2, senyawa nitrogen dapat terbagi menjadi
komponen partikulat maupun terlarut. Pada gambar tersebut diperlihatkan
dinamika proses senyawa nitrogen pada badan air, yang meliputi (Chapra,
1997) :
z Asimilasi Amonia dan Nitrat: termasuk dalam ini adalah pengambilan dari
nitrogen anorganik oleh fitoplankton, meskipun fitoplankton juga
memanfaatkan amonia dan nitrat.
z Ammonifikasi: Proses transformasi dari nitrogen organik menjadi amonia.
Ini adalah proses yang komplek mencakup beberapa mekanisme proses.
Termasuk dalam proses ini adalah dekomposisi bakteri, eksresi
zooplankton, dan autolisis langsung sesudah kematian sel.
z Nitrifikasi: yaitu proses oksidasi dari amonia menjadi nitrit, selanjutnya
nitrit menjadi nitrat. Proses ini dibantu oleh kelompok bakteri aerobik,
digambarkan melalui proses kimia orde satu. Pada kenyataannya
trasnformasi dari nitrit menjadi nitrat merupakan proses yang sangat cepat
pada suatu model rantai makanan.
z Denitrifikasi: Proses ini terjadi pada kondisi anaerobik, misalnya terjadi
pada sedimen dan lapisan hipolimnion anoksik (tidak ada oksigen). Akhir
proses ini adalah Nitrogen bebas (N2).
z Fiksasi Nitrogen: Sejumlah organisme dapat memfiksasi unsur nitrogen.
Kelompok mikroorganisme ini adalah kelompok alge biru-hijau (blue-green
algae). Adanya kelompok bakteri ini menyebabkan fitoplankton atau
mikroorganisme non fiksasi nitrogen akan tersingkir karena rendahnya
kadar nitrogen. Sedangkan alge biru-hijau dapat menggunakan nitrogen
dari udara, sehingga beban pencemar fosfor yang tinggi pada waduk atau
danau menyebabkan pertumbuhan alga hijau-biru yang dominan atau
marak alga. Kondisi tersebut menyebabkan turunnya kualitas air waduk
dan danau, bahkan dapat terbentuk gumpalan-gumpalan (scum).
Meskipun senyawa nitrogen sama pentingnya dengan fosfor dalam siklus
kehidupan perairan termasuk menjadi pemicu timbulnya eutrofikasi, namun
ada perbedaan pada keduanya yaitu (Chapra,1997) :

62 - Kementerian Pekerjaan Umum


Pusat Penelitian dan Pengembangan Sumber Daya Air

z Nitrogen memiliki fase gas, sedangkan alga hijau-biru mampu memfiksasi


nitrogen dari udara, sehingga alga hijau-biru menjadi dominan di badan
air.
z Nitrogen anorganik tidak menyerap kuat nitrogen yang terikat pada zat
partikulat seperti senyawa fosfor. Kondisi tersebut menyebabkan nitrogen
dalam bentuk partikulat tetap terbawa sedimen melalui proses
pengendapan. Bentuk nitrogen anorganik (khususnya nitrat) bersifat lebih
mudah tersebar terutama pada air tanah.
z Denitrifikasi hanya terjadi pada senyawa nitrogen atau tidak terjadi pada
fosfor. Karena proses ini hanya terjadi pada kondisi anaerobik, hal tersebut
berakibat terjadinya kondisi anoksik pada sedimen.

Gambar 4.2. Diagram senyawa nitrogen pada badan air (Chapra, 1997)

Kementerian Pekerjaan Umum - 63


Eutrofikasi Waduk dan Danau : Permasalahan, Pemodelan dan Upaya Pengendalian

4.2.2 Senyawa Fosfor


Senyawa fosfor sangat penting untuk kehidupan. Fungsi-fungsi tersebut di
antaranya berperan pada sistem genetis dan sebagai penyimpan dan transfer
energi pada sel mikroorganisme. Dalam tinjauan kualitas air, senyawa fosfor
adalah penting, karena selalu dalam jumlah yang kecil dibandingkan senyawa
makronutrien lainnya. Kelangkaan ini adalah akibat beberapa faktor, antara
lain :
z Senyawa fosfat tidak banyak di kulit bumi, dan fosfat mineral tidak dalam
kondisi terlarut;
z Senyawa fosfat tidak dalam bentuk gas atau tidak ada di atmosfer, berbeda
dengan nitrogen dan karbon; serta
z Senyawa fosfat cenderung terserap kuat pada partikel halus. Fosfat dapat
terikat kuat secara kimiawi pada partikel sedimen yang mengandung
oksigen.
Meskipun secara alami senyawa fosfat langka, tetapi banyak aktifitas manusia
yang menghasilkan fosfat dan dibuang ke lingkungan. Manusia dan hewan
secara substansial juga menghasikan limbah yang mengandung senyawa
fosfat. Deterjen yang digunakan untuk kebutuhan domestik juga mengandung
senyawa fosfor. Pertanian dan permukiman juga berkontribusi sebagai sumber
pencemar tersebar senyawa fosfor termasuk dari aktifitas pemupukan terkait
dengan penggunaan bahan kimia untuk pengolahan lahan. Erosi lahan juga
berpotensi meningkatkan tranport fosfor ke badan air.
Senyawa fosfat dalam badan air alami terdapat dalam berbagai bentuk (Chapra,
1997) :
z Soluble Reactive Phosphorous (SRP) atau Fosfor Reaktif yang Berguna (FRB)
atau biasa disebut dengan ortofosfat atau senyawa P anorganik, yaitu
bentuk fosfor yang langsung dapat digunakan pada tanaman. Senyawa ini
terdiri dari H2PO4-, HPO42- dan PO43- ;
z Particulat organic P atau P organik partikulat, partikel ini terbentuk terutama
dari tanaman hidup, hewan dan bakteri juga detritus organik;
z Non-particulat organic P. Senyawa ini terdiri zat terlarut dan koloid organik
yang mengandung fosfor. Senyawa ini berasal dari dekomposisi organik P
partikulat;
z Particulat inorganic P atau P anorganik partikulat yang terdiri mineral
fosfat, ortofosfat terjerap dan fosfat komplek pada zat padat; serta
z Nonparticulat inorganic. Kelompok ini adalah termasuk fosfat terkondensasi
seperti yang ditemukan pada deterjen.

64 - Kementerian Pekerjaan Umum


Pusat Penelitian dan Pengembangan Sumber Daya Air

Diagram senyawa fosfor dalam badan air seperti terlihat pada Gambar 4.3.
Pengukuran senyawa fosfat dalam badan air terutama diukur sebagai ortofosfat
atau fosfat terlarut dan sebagai Total Fosfat yang sering digunakan untuk
mengetahui kondisi eutrofikasi badan air.

Gambar 4.3. Diagram senyawa nitrogen pada badan air (Chapra, 1997)

4.3 Fenomena Kolam Jaring Apung


Soemarwoto (2004) menyatakan bahwa jaring apung bermula dari analisis
dampak lingkungan (ADL) rencana pembangunan Bendungan Saguling tahun
1979-1980. ADL menggunakan empat prinsip, yaitu ekosistem, pembatasan
daerah dan bidang studi (pelingkupan), identifikasi dampak dengan bagan
alir dan pembangunan adalah untuk masyarakat. Soemarwoto (2004 juga
menyatakan bahwa hanya 3,8% penduduk yang mau transmigrasi 96,2% tidak
mau, sehingga perlu diberikan mata pencaharian. Selanjutnya diperkenalkan
teknologi jaring apung dapat diterima penduduk dan berkembang amat pesat
melalui penelitian bersama dengan Lembaga Penelitian Perikanan Darat di
Danau Lido, Bogor dan penyuluhan dilakukan di Waduk Saguling.

Kementerian Pekerjaan Umum - 65


Eutrofikasi Waduk dan Danau : Permasalahan, Pemodelan dan Upaya Pengendalian

Jaring apung sangat produktif dan memiliki keuntungan yang besar, namun
menimbulkan dampak sosial-ekonomi dan biogeofisik. Dampak sosial-ekonomi
KJA meliputi: (a) ketergantungan pada benih dan pakan; (b) petani ikan tidak
menguasai pasar; dan (c) masuknya modal besar dari luar daerah dan
berakibat marjinalisasi pengusaha lokal. Sedangkan dampak biogeofisik
adalah pencemaran oleh sisa makanan dan kotoran ikan, terjadinya kematian
massal ikan pada waktu terjadi pembalikan dan terjadinya eutrofikasi,
pertumbuhan masal ganggang microcystis, masukan zat pencemar dari DAS
hulu dan kandungan zat racun dalam pakan (Soemarwoto, 2004).
Eutrofikasi yang sangat cepat pada waduk dan danau di Indonesia tersebut
diyakini oleh banyak peneliti dipicu dan dipacu oleh aktivitas manusia yang
memanfaatkan badan air tersebut sebagai areal produksi ikan dalam KJA yang
berlebihan. Disamping itu, aktivitas-aktivitas lainnya pada daerah aliran
sungai yang membuang limbah yang pada akhirnya masuk ke dalam waduk.
Sisa pakan yang terakumulasi di dasar perairan akan terdekomposisi menjadi
nitrogen.
Zahidah (2007) pada penelitiannya di Waduk Cirata menyatakan bahwa bahwa
indeks keanekaragaman fitoplankton pada semua stasiun di semua kedalaman
menunjukkan angka yang sangat rendah, yaitu kurang dari 0,5 bahkan angka
rata-ratanya untuk semua stasiun kurang dari 0,3. Rendahnya nilai indeks
keanekaragaman menunjukkan ekosistem berada dalam kondisi yang tidak
stabil sebagaimana yang dilaporkan oleh Odum (1992) pada Zahidah (2007).
Keanekaragaman yang rendah menunjukkan di ekosistem tersebut terdapat
jenis tertentu yang memiliki kelimpahan sangat tinggi, atau dengan kata lain
terdapat kecenderungan dominasi. Adanya kecenderungan dominasi terlihat
dari tingginya kelimpahan genus Microcystis pada seluruh stasiun dengan
nilai persen dominansi berkisar antara (60 – 99).
Haarcoryati, (2008) juga menyatakan bahwa terdapat kaitan yang erat antara
rasio nitrogen dan fosfor dengan dominasi kelompok mikroalga pada waduk
dan danau di Indonesia. Rasio N/P kurang dari 10 maka pertumbuhan
kelompok Cyanophyta dengan spesies Microcystis sp akan mendominasi
perairan (Ryding dan Rast, 1989 ).
Zahidah (2007) menjelaskan bahwa kualitas air Waduk Cirata berada dalam
status eutrofik, diperkuat juga dengan banyaknya fitoplankton dari kelas
Cyanophyceae (terutama Microcystis sp) memiliki rasio antara N (dalam bentuk
NO3) dan P (dalam bentuk PO4) dengan nilai rendah, Hal ini sesuai dengan
pendapat Reynold (1990) yang menyatakan bahwa Cyanophyceae adalah
kelompok fitoplankton yang mampu bertahan dan berkembang dengan baik
pada kondisi N/P yang rendah.

66 - Kementerian Pekerjaan Umum


Pusat Penelitian dan Pengembangan Sumber Daya Air

Lebih lanjut dikemukakan bahwa kemampuan kelas ini untuk bertahan dan
memenangkan persaingan serta berkembang biak lebih cepat didukung oleh
kemampuan fiksasi nitrogen dari atmosfir pada sebagian jenis Cyanophyceae
serta adanya fenomena Luxury consumption of Phosphorous pada hampir
semua jenis Cyanophyceae. Zahidah (2007) menyatakan bahwa kondisi kualitas
air yang buruk tidak hanya ditemukan pada zona KJA, tapi juga pada zone non
KJA. Hal ini terutama ditunjukkan oleh melimpahnya fitoplankton dari kelas
Cyanophyceae, terutama Microcystis.
Untuk mencegah timbulnya eutrofikasi berlebihan akibat fenomena jaring
apung ini adalah pengaturan KJA yaitu maksimum hanya 1% luas permukaan
dan jarak antara jaring minimum 50 meter. Sedangkan Sukimin (2004)
mengusulkan adanya penentuan daya tampung waduk dan danau terhadap
pencemaran pakan untuk mencegah timbulnya pencemaran badan air tersebut
sebagaimana tercantum dalam Pedoman Pengelolaan Danau yang telah
ditetapkan pada tahun 2009.
Langkah yang dapat dilakukan oleh petani jaring apung adalah menggunakan
teknologi aerasi, terutama pada saat tengah malam sampai menjelang fajar
dan terutama sekali setelah terjadi umbalan (upwelling). Selain itu, dengan
pengaturan pola makan ikan, pemakaian jaring yang mengurangi pengendapan
sisa pakan dan metabolit ikan, pengaturan kepadatan benih dan tidak
menggunakan rumah jaga sebagai hunian keluarga adalah tindakan yang baik
demi terjaganya kualitas air waduk (Irianto, dkk, 2001). Sedangkan Fahmijani,
dkk (2009) mengusulkan menggunakan pola KJA berlapis, untuk mengurangi
pakan ikan yang terbuang agar dimakan ikan pada lapis bawahnya.
Pengelola waduk berkewajiban sebagai regulator, terutama dalam hal
menetapkan lokasi termasuk jarak antar jaring apung, pemantauan kualitas
air secara kontinyu, dan pengelolaan lingkungan di sekitar waduk. Selain itu,
pengelola waduk dapat berperan sebagai fasilitator dalam hal pengembangan
pemasaran, sehingga pendapatan petani meningkat, maka para petani jaring
apung tersebut akan lebih mudah untuk diajak peduli dan menjaga kualitas
lingkungan di sekitar waduk. Koordinasi dengan instasi terkait juga sangat
diperlukan dalam hal pengelolaan waduk/danau setingkat DAS (Irianto, dkk.,
2001). Sedangkan pola hubungan antara petani jaring apung dan pengelola
waduk adalah terlihat pada Gambar 4.4.

Kementerian Pekerjaan Umum - 67


Eutrofikasi Waduk dan Danau : Permasalahan, Pemodelan dan Upaya Pengendalian

Gambar 4.4 Diagram pola hubungan antara petani jaring apung dan
pengelola waduk (Irianto, dkk, 2001)

4.4 Pencemaran Daerah Aliran Sungai


Straskaba dan Tundisi (1999) ekosistem perairan waduk dan danau cenderung
mengalami degradasi, karena kurang kepedulian dan kesungguhan profesional
dalam pengelolaannya. Banyak diantaranya terancam, baik dari segi kuantitas
maupun kualitas airnya, termasuk juga dari kelangsungan hidup biotanya.
Hal ini disebabkan terutama oleh meningkatnya kegiatan manusia di perairan
maupun daerah tangkapan. Kondisi tersebut menyebabkan waduk akan sulit
sekali dipulihkan kondisinya apabila tercemar dan rusak, perlu waktu yang
lama untuk pemulihannya dengan biaya yang tidak sedikit.
ICES (2009) menyatakan bahwa keterkaitan antara badan air waduk dengan
DAS sedemikian eratnya, sehingga kerusakan ekosistem DAS akan berdampak
negatif pada ekosistem danau dan waduk. Oleh karena itu, danau dan waduk
sebagai unit ekologis tidak dapat dipisahkan pengelolaannya berdasarkan
batasan administratif serta diperlukan satu dasar pengetahuan yang
komprehensif untuk dapat mengelola danau secara baik dan benar, sehingga
pemanfaatan danau dapat berlangsung secara berkelanjutan Sebagaimana

68 - Kementerian Pekerjaan Umum


Pusat Penelitian dan Pengembangan Sumber Daya Air

dinyatakan oleh Rees (2009), aktifitas-aktifitas manusia pada DAS yang dapat
berdampak pada sistem sumber daya air diantaranya (a) deforestasi dan
urbanisasi akan merubah limpasan permukaan dan rejim aliran yang
mempengaruhi penggunaan air, resiko banjir dan kelongsoran; (b) kuantitas,
waktu dan lokasi pengambilan air baik permukaan maupun tanah berdampak
pada penggunaan sumber daya air pada sebelah hilir; (c) perubahan tata-
guna lahan dapat merubah laju evapotranspirasi, laju sedimentasi dan
pengambilan air dapat mempengaruhi kestersediaan dan biaya suplai air
bersih; (d) produk air limbah pertanian, air limbah industri dan rumah-tangga
akan berpengaruh pada kualitas air pada air tanah dan air di hilir. Hal tersebut
berpengaruh pada pengolahan air limbah, menurunkan produksi pertanian,
ekonomi, lingkungan dan penggunaan rekreasi.
Berdasarkan pedoman pengelolaan danau (Kementerian Lingkungan Hidup,
2008), ekosistem danau terdiri dari ekosistem perairan (akuatik), ekosistem
sempadan (sebagai ekosistem peralihan) dan ekosistem daratan (terestrial).
Ketiga ekosistem tersebut menghadapi berbagai kerusakan lingkungan yang
berdampak pada keberlanjutan dan fungsi waduk sebagai sumber daya air.
Berbagai sumber dan dampak permasalahan tersebut telah merusak ekosistem
waduk juga berpotensi dan telah terjadi pada beberapa waduk di Indonesia.
Machbub, dkk (2003) menyatakan bahwa kerusakan yang terjadi pada danau
dan waduk di Indonesia antara lain (a) pendangkalan dan penyempitan
sempadan, yang dapat merusak ekosistem; (b) pencemaran kualitas air yang
menggangu pemanfaatan air dan pertumbuhan biota akuatik; (c) kehilangan
keanekaragaman hayati (biodiversity); (d) pertumbuhan gulma air dan marak
alga disebabkan proses penyuburan air waduk sebagai akibat pencemaran
limbah organik dan zat hara (unsur nitrogen dan fosfor) dan zat penyubur; (e)
perubahan fluktuasi muka air danau, yang disebabkan oleh kerusakan DAS
serta pengambilan air dan tenaga air tanpa memperhatikan keseimbangan
hidrologi dapat mengganggu keseimbangan ekologis daerah sempadan. Karena
itu pengelolaan lingkungan daerah aliran sungai menjadi penting dalam
ramgka perlindungan waduk dan danau dari permasalahan tersebut diatas.
Dari penjelasan diatas menunjukkan bahwa sumber-sumber zat hara yang
masuk keperairan waduk atau danau terutama adalah bersumber dari kegiatan
manusia meliputi kegiatan domestik, industri, pertanian dan peternakan yang
limbahnya tidak terkelola dengan baik, sehingga memicu timbulnya
permasalahan eutrofikasi. Sumber-sumber pencemar tersebut dapat berupa
sumber pencemar titik maupun sumber pencemar tersebar. Selain itu, kegiatan
perikanan budidaya atau kolam jaring apung pada perairan waduk dan danau
juga menjadi pemicu kelimpahan plankton karena limbah pakan berlebihan

Kementerian Pekerjaan Umum - 69


Eutrofikasi Waduk dan Danau : Permasalahan, Pemodelan dan Upaya Pengendalian

yang terakumulasi pada sedimen dasar. Pengendalian pencemaran untuk


mencegah masuknya zat hara secara berlebihan pada waduk atau danau
memerlukan perencanaan yang komprehensif dengan memperhatikan
karakteristik masing-masing waduk atau danau, yang selanjutnya
diimplementasikan secara benar dalam suatu kerangka kebijakan.

70 - Kementerian Pekerjaan Umum


Pusat Penelitian dan Pengembangan Sumber Daya Air

BAB V
PEMODELAN EUTROFIKASI

5.1 Korelasi Parameter Eutrofikasi


Tingkat kesuburan perairan danau atau waduk dapat dihitung berdasarkan
beberapa parameter yang sangat berpengaruh terhadap kesuburan danau
sesuai dengan perhitungan Indeks Status Trofik atau Trofik Status Index (TSI),
yaitu Total Fosfor, klorofil-a, dan kecerahan menggunakan pengukuran cakram
sechi (Sechi Disk).
Penentuan ketiga parameter tersebut berdasarkan adanya keterkaitan yang
erat dari masing-masing parameter, dimana unsur pencemar yang masuk ke
perairan danau yang berupa fosfor akan menyebabkan terjadinya pertumbuhan
fitoplankton pada perairan tersebut, yang ditandai dengan adanya konsentrasi
klorofil-a. Kepadatan klorofil-a tersebut akan menyebabkan terhambatnya
cahaya yang masuk kedalam perairan danau yang ditandai dengan makin
rendahnya kecerahan perairan. Hubungan antara kadar Total Fosfor (TP)
dengan konsentrasi klorofil-a memiliki korelasi positif seperti ditunjukkan
pada Gambar 5.1, sedangkan korelasi antara kosnentrasi klorofil-a dengan
transparansi terlihat pada Gambar 5.2.

Gambar 5.1. Korelasi antara fosfor dan klorofil-a


(Bartsch &Gaksleter,1978 pada Chapra, 1997)

Kementerian Pekerjaan Umum - 71


Eutrofikasi Waduk dan Danau : Permasalahan, Pemodelan dan Upaya Pengendalian

Gambar 5.2. Korelasi transparansi (kedalaman Sechi) dan klorofil-a


(Rast & Lee,1978 pada Chapra, 1997)

Gambar 5.3. Pendekatan skematik untuk memprediksi variable status trofik


berdasarkan prediksi model beban fosfor (Chapra,1997)

72 - Kementerian Pekerjaan Umum


Pusat Penelitian dan Pengembangan Sumber Daya Air

Gambar 5.3 menunjukkan skema penentuan status eutrofik melalui suatu model
korelasi antara konsentrasi senyawa fosphor, transparansi dan klorofil-a.

5.2. Penentuan Daya Tampung Beban Pencemaran


5.2.1 Daya Tampung Beban Pencemaran pada Danau dan Waduk
Pedoman Pengelolaan Danau (Kementerian LH, 2008) menyatakan bahwa daya
tampung beban pencemaran air (DTBPA) pada danau atau waduk adalah batas
kemampuan perairan danau atau waduk untuk menerima masukan beban
pencemaran yang tidak melebihi batas syarat kualitas air untuk berbagai
pemanfaatan atau tetap memenuhi baku mutu air. Secara lebih spesifik,
pengertian daya tampung perairan danau atau waduk yaitu kemampuan
perairan untuk menampung beban pencemaran air, sehingga kualitas air tetap
memenuhi syarat atau baku mutu, serta masih sesuai dengan status trofik
yang disyaratkan.
Persyaratan kadar kualitas air secara fisika, kimia dan mikrobiologi digunakan
sebagai syarat baku mutu kualitas air untuk berbagai pemanfaatan air danau
dan waduk. Kadar unsur hara nitrogen dan fosfor, transparansi air serta kadar
klorofil-a merupakan persyaratan status trofik air danau dan waduk. Karena
itu, agar pemanfaatan air dan fungsi danau dan waduk tetap berkelanjutan,
maka penentuan daya tampung perairan danau dan waduk terhadap
pencemaran air serta dampaknya perlu memperhatikan kondisi sumber dan
beban pencemar. Skema dan rumus umum penghitungan daya tampung beban
pencemaran air danau dan waduk disajikan pada Gambar 5.4 dan Persamaan
5.1 sampai dengan 5.7. Alur perhitungan penentuan daya tampung beban
pencemaran air danau dan atau waduk berdasarkan Pedoman Pengelolaan
Ekosistem Danau (2008) adalah sebagai berikut :

Morfologi dan Hidrologi Danau dan Waduk:


Z = 100 x V/A (5.1)

dimana :
Z = Kedalaman rata-rata danau dan waduk (m)
V = Volume air danau dan waduk (juta m3)
A = Luas perairan danau dan waduk (Ha)

Kementerian Pekerjaan Umum - 73


Eutrofikasi Waduk dan Danau : Permasalahan, Pemodelan dan Upaya Pengendalian

ρ = Qo / V (5.2)

dimana :
ρ = Laju penggantian air danau dan waduk (1/tahun)
Qo = Jumlah debit air keluar danau (juta m3/tahun), pada tahun kering

Alokasi beban pencemaran parameter Pa :


[Pa]STD = [Pa]i + [Pa]DAS + [Pa]d (5.3)
[Pa]d = [Pa]STD - [Pa]i + [Pa]DAS (5.4)

dimana :
[Pa]STD : Syarat kadar parameter Pa maksimal sesuai Kelas Air (mg/m3)
[Pa]i : Kadar parameter Pa hasil pemantauan (mg/m3)
[Pa]DAS : Jumlah alokasi beban Pa pada DAS (mg/m3)
[Pa]d : Alokasi beban Pa limbah kegiatan danau dan waduk (mg/m3)

Daya tampung beban pencemaran air parameter Pa pada air danau dan waduk
L = [Pa]dZ.ρ./ (1-R) (5.5)
R = 1 / (1 + 0,747.ρ0,507) (5.6)
La = L x A/100 = [Pa]d . A.Z ρ/100.(1-R) (5.7)

dimana
L : Daya tampung limbah Pa per satuan luas danau (mg Pa/m3.tahun)
La : Jumlah daya tampung limbah (juta m3/tahun), pada tahun kering
R : Total Pa yang tinggal bersama sedimen

Alur perhitungan selengkapnya ditunjukkan pada Gambar 5.4. Skema yang


tercantum pada Gambar 5.4 dapat membantu para pengelola waduk atau danau
untuk menentukan alokasi beban pencemaran air waduk. Penentuan alokasi
beban pencemaran tersebut memerlukan kajian di tingkat lokal maupun di
tingkat DAS antara pengelola waduk dan pemerintah daerah, mengenai sumber
dan beban pencemaran serta tingkat pengendaliannya yang ditargetkan.

74 - Kementerian Pekerjaan Umum


Pusat Penelitian dan Pengembangan Sumber Daya Air

Dengan demikian, untuk memenuhi daya tampung danau dan waduk terhadap
beban pencemaran serta untuk memenuhi status mutu air yang diinginkan,
maka sasaran pengendalian pencemaran air pada berbagai sektor kegiatan
perlu dilaksanakan secara konsisten.

Gambar 5.4. Model penghitungan Daya Tampung Beban Pencemaran Air


Danau dan Waduk (Kementerian LH, 2008)

5.2.2. Daya Tampung Beban Pencemaran Budidaya Perikanan Keramba Jaring


Apung
Sukimin (2004) menyatakan bahwa target dari penentuan daya tampung beban
pencemaran air danau dan waduk bertujuan untuk keseimbangan antara
peningkatan produksi perikanan dengan upaya pengendalian ekosistem
perairan, sehingga proses keseluruhan daur hidup ikan berjalan dengan
sempurna. Dalam hal ini termasuk jenis-jenis ikan yang dapat memanfaatkan
sumberdaya pakan yang belum dimanfaatkan oleh organisme/ikan lainnya.

Kementerian Pekerjaan Umum - 75


Eutrofikasi Waduk dan Danau : Permasalahan, Pemodelan dan Upaya Pengendalian

Pendugaan daya dukung danau atau waduk untuk alokasi beban limbah
perikanan ditentukan berdasarkan beban limbah P yang hanya berasal dari
kegiatan budidaya KJA tanpa memperhitungkan beban limbah P yang bukan
berasal dari non-budidaya. Sebagai contoh beban P yang berasal dari budidaya
KJA sebesar 20,62 kg/ton ikan. Maximum Acceptable P sebesar 60 mg/m3
(Beveridge, 1996 pada Sukimin,2004). Ilustrasi penentuan alokasi beban
pencemaran dari KJA dapat dilihat pada Gambar 5.5.
Machbub (2007) memberikan contoh aplikasi penentuan daya tampung Waduk
Saguling, Cirata, Jatiluhhur dan Darma terhadap beban limbah KJA sebagaimana
terlihat pada Tabel 5.1.

Tabel 5.1. Aplikasi Daya Tampung Beban Pencemaran Air (DTBPA) Waduk
untuk Budidaya Perikanan KJA (Machbub,2007)

76 - Kementerian Pekerjaan Umum


Pusat Penelitian dan Pengembangan Sumber Daya Air

Gambar 5.5 Model penghitungan Daya Tampung Beban Pencemaran Air


Danau untuk Limbah Budidaya Perikanan
(Pedoman Pengelolaan Danau,Kemen LH,2008)

Kementerian Pekerjaan Umum - 77


Eutrofikasi Waduk dan Danau : Permasalahan, Pemodelan dan Upaya Pengendalian

5.3 Model Aplikasi Pengelolaan Danau dan Waduk


5.3.1 Model CE-QUAL-W2
CE-QUAL-W2 adalah model aplikasi untuk pengelolaan kualitas air dua dimensi
dengan pendekatan hidrodinamika secara lateral. Model aplikasi ini dikembangkan
oleh United States of Geological Services (USGS) yang merupakan pengembangan
model eksisting sebelumya, yaitu RESSIM (Reservoir Simulation). Model aplikasi
tersebut digunakan untuk mendukung pengelolaan air secara tepat waktu (real
time) dan perencanaan pengembangan secara multiobyektif. Model. Model aplikasi
ini juga digunakan oleh U.S. Army Corps of Engineers, perguruan tinggi, dan pihak
swasta untuk pengelolaan kualitas air sungai, waduk dan danau. Tujuan pembuatan
model ini adalah untuk melihat karakteristik kualitas air secara fisika, kimia dan
biologi, sehingga dampak dari suatu keputusan dalam pengelolaan waduk maupun
danau dapat diprediksikan.
Untuk menentukan hasil optimum dengan menggunakan model CE-QUAL-W2, syarat
batas segmen-segmen pada tiap cabang bagian hulu maupun hilir harus sudah
ditentukan. Model ini juga membutuhkan syarat batas pada permukaan maupun
dasar danau atau waduk. Lapisan 1 adalah lapisan batas permukaan, sedangkan
lapisan bawah bervariasi tergantung kedalaman (Gambar 5.5). Karena itu, data
batimetri yang akurat dari waduk atau danau sangat diperlukan untuk penentuan
grid sel, sehingga mendapatkan nilai volume yang tepat pada tiap grid tersebut.
Parameter-parameter kualitas air yang dimodelkan pada model aplikasi CE QUAL
W2 adalah sebagai berikut (Flowers, dkk., 2001) :
a) Hidrodinamika (muka air, kecepatan horisontal dan kecepatan vertikal)
b) Zat Perunut yang bersifat konservatif atau sulit mengalami perubahan
c) Suhu air
d) Oksigen Terlarut
e) Kelompok zat organik
f) Amonium
g) Nitrat dan nitrit
h) Orthophosphat
i) Tiga kelompok fitoplankton
Pada model CE QUAL W2 ini, zat organik dibagi berdasarkan klasifikasi status
fisik yaitu zat organik terlarut dan zat organik partikulat, zat mineral organik yang
bersifat labil atau memiliki laju peluruhan cepat, dan bersifat refraktori atau
laju peluruhan lambat. Zat organik harus diestimasikan berdasarkan
pengukuran organik fosfor, sedangkan organik fosfor diperhitungkan sebagai
Total Fosfor (TP) dikurangi konsentrasi ortofosfat.

78 - Kementerian Pekerjaan Umum


Pusat Penelitian dan Pengembangan Sumber Daya Air

Komunitas fitoplankton direpresentasikan oleh 3 kelompok alga berdasarkan


suhu dan cahaya serta kemampuan kompetetitif dalam kondisi nutrient yang
terbatas. Kelompok alga tersebut adalah kelompok diatom, sedangkan kelompok
lainnya adalah flagelata dan kriptomonas. Kelompok flagellata lebih dikenal
dengan alga hijau yang dapat berkompetisi, meskipun dalam kondisi fosfor
yang terbatas. Sedangkan kelompok ketiga dikenal sebagai alga hijau-biru, yang
dapat tumbuh dan berkompetisi meskipun kandungan Nitrogen relatif rendah.

Branch 2
North Bosque River

Tributary 1
Tennant Branch

Tributary 5
Speegleville Creek
Tributary 3
Hog Creek

Tributary 4
Branch 3
Middle Bosque River

Tributary 2
South Bosque River

Gambar 5.6. Contoh pembuatan grid dan segmentasi model aplikasi


CE-QUAL-W2 pada Danau Wako, Amerika Serikat ( Flowers, dkk.2001)

Kementerian Pekerjaan Umum - 79


Eutrofikasi Waduk dan Danau : Permasalahan, Pemodelan dan Upaya Pengendalian

Gambar 5.7. Contoh potongan vertikal grid dan segmentasi model aplikasi
CE-QUAL-W2 pada Danau Wako, Amerika Serikat ( Flowers, dkk.2001)

5.3.2 Model Aplikasi Water Quality Simulation Program


Water Quality Analysis Simulation Program (WASP), dibuat oleh U.S. EPA untuk
mensimulasi perubahan zat pencemar atau kontaminan yang terjadi pada air
permukaan. Berdasarkan pendekatan kompartemen yang fleksibel, WASP dapat
diterapkan pada model 1 dimensi, 2 dimensi maupun 3 dimensi. WASP didesain
untuk melakukan subtitusi variabel secara mudah ke dalam bentuk struktur
program. Permasalahan yang dipelajari tersebut adalah termasuk biochemical
oxygen demand (BOD), dinamika oksigen terlarut, senyawa nutrient,
kontaminasi bakteri dan aliran zat kimia yang bersifat toksik. Sistem WASP
terdiri dari dua program yang berdiri sendiri, dapat beroperasi secara bersama
maupun terpisah.
Model aplikasi DYNHYD, yaitu model aplikasi untuk mensimulasikan gerakan
air, misalnya pasang surut, angin dan aliran tidak tunak pada air permukaan.
Sementara itu, WASP model aplikasi yang mensimulasikan gerakan dan
interaksi zat pencemar atau polutan dalam air. Keluaran dari ke dua model
tersebut bila dioperasikan menghasilkan file debit, volume, kecepatan dan

80 - Kementerian Pekerjaan Umum


Pusat Penelitian dan Pengembangan Sumber Daya Air

kedalaman besar dan arah aliran, sehingga dapat diintegrasikan dengan


perhitungan konsentrasi parameter kualitas air dari WASP pada tiap grid sel.
Pada WASP terdapat dua sub model kinetika untuk mensimulasi dua
permasalahan utama kualitas air, yaitu pencemaran konvensional mencakup
oksigen terlarut, biochemical oxygen demand, nutrient dan eutrofikasi dikenal
dengan sub model EUTRO. Pemodelan pencemaran toksik mencakup zat kimia
organik, logam berat dan sedimen yang dikenal dengan nama sub Model TOXI.
Sub model Eutrofikasi atau EUTRO memprediksi oksigen terlarut, BOD,
fitoplankton, karbon, klorofil-a, ammonia, nitrogen organik dan ortofosfat baik
pada dasar maupun kolom air. Sub model EUTRO ini mensimulasikan transport
dan reaksi transformasi menjadi lebih dari 8 variabel. Reaksi-reaksi tersebut
dapat dipertimbangkan sebagai sistem reaksi antara kinetika fitoplankton,
siklus fosfor, siklus nitrogen dan kesetimbangan oksigen terlarut. Persamaan
kesetimbangan pada WASP pada umumnya diselesaikan pada tiap status
variabel. Untuk persamaan ini sub rutin EUTRO menambahkan proses
transformasi spesifik pada persamaan transport pada WASP untuk delapan
variabel status dalam kolom air dan bentos (lihat Gambar 5.8)
Gambar 5.9 menggambarkan sub model TOXI atau Toxic Chemical Model yang
mengkombinasikan kemampuan hidrodinamika dan transport dari zat
pencemar organic dan logam berat dengan transport kesetimbangan sedimen
dan transformasi zat pencemar pada lingkungan perairan. Zat pencemar yang
disimulasikan tersebut dapat saling independen ataupun terkait dengan hasil
reaksi. Dengan demikian, sub model TOXI secara eksplisit hanya menangani
proses reduksi dan presipitasi.

Kementerian Pekerjaan Umum - 81


Eutrofikasi Waduk dan Danau : Permasalahan, Pemodelan dan Upaya Pengendalian

Gambar 5.8 Hubungan parameter kualitas air pada model WASP (WASP, 2008)

Gambar 5.9. Kerangka kerja model aplikasi WASP (WASP,2008)

82 - Kementerian Pekerjaan Umum


Pusat Penelitian dan Pengembangan Sumber Daya Air

5.4 Pemodelan Dinamik Eutrofikasi


Dalam rangka merancang kebijakan yang dibutuhkan untuk pengelolaan
kualitas air waduk, perlu diketahui fenomena perilaku penurunan kualitas
perairan penyebab timbulnya eutrofikasi pada waduk atau danau. Fenomena
perilaku tersebut harus memperlihatkan meningkatnya komponen unsur hara
(N dan P), karbon, menurunnya oksigen terlarut, dan meningkatnya BOD.
Fenomena proses eutrofikasi dibuat model agar dapat disimulasikan melalui
komputer, sehingga pengaruh intervensi kebijakan-kebijakan dalam
pengelolaan waduk dapat diketahui (Zahidah dkk,2007) .

Gambar 5.10 Diagram model dinamik pengelolaan waduk (Zahidah dkk, 2007)

Kementerian Pekerjaan Umum - 83


Eutrofikasi Waduk dan Danau : Permasalahan, Pemodelan dan Upaya Pengendalian

Sistem dinamik merupakan metode yang relevan untuk mengkaji pengaruh


berbagai kebijakan terhadap pengelolaan waduk khususnya akibat dari
eutrofikasi. Pada contoh ini, simulasi computer ditujukan untuk melihat
pengaruh kebijakan pengerukan, pemanenan fitoplankton dan pemberian aerasi
akibat proses eutrofikasi yang terjadi di waduk, yaitu dengan cara meningkatkan
kadar oksigen terlarut, menurunkan biomassa fitoplankton dan menurunkan
detritus. Diagram model dinamik kebijakan pengelolaan waduk untuk
mengurangi terjadinya proses eutrofikasi selengkapnya diperlihatkan pada
Gambar 5.5

5.5 Pemodelan Tunak Senyawa Nutrien dan Organik


Interaksi antara pertumbuhan fitiplankton dan pengambilan nutrient (nutrient
uptake) mencakup sistem persamaan non linear dan variasi waktu yang komplek
(Thoman dan Mueller, 1987 pada Kuo, dkk.,2007). Karena itu, untuk dapat
menyelesaikan persamaan yang komplek tersebut, maka diasumsikan bahwa
danau dan waduk dalam kondisi tunak dan tercampur sempurna atau
persamaan dimensi nol. Namun demikian, Kuo, dkk.,2007 mengembangkan
kembali dari model persamaan danau yang telah mengalami eutrofukasi
dengan dimensi nol tersebut menjadi model persamaan yang dapat menentukan
kandungan senyawa nitrogen untuk pertumbuhan fitoplankton. Model kinetika
hubungan dari fitoplankton dan senyawa nutrient adalah seperti terlihat pada
Gambar 5.11 dan persamaan 5.1 sampai 5.7, sedangkan model kinetika
hubungan dari antara fitoplankton, senyawa organik sebagai BOD dan Oksigen
terlarut (DO) terdapat pada persamaan 5.9 sampai 5.12.

a. Kinetika pertumbuhan Klorofil-a


Laju pertumbuhan fitoplankton (G) dapat ditulis sebagai :

( IP IN
G = G1 (I,T) X min
( (5.8)
Kmp + IP ’ Kmn + IN ,

Dimana G1(I,T) adalah laju pertumbuhan maksimum (1/hari) pada radiasi


matahari I dan suhu T; IP adalah konsentrasi dari Fosfor Anorganik (P 2); IN
adalah konsentrasi Nitrogen Anorganik (N2+N3); dan Kmp,Kmn adalah koefisien
Tengah-Jenuh dari Michelis Menten masing-masing untuk Fosfor Anorganik
dan Nitrogen Anorganik;

84 - Kementerian Pekerjaan Umum


Pusat Penelitian dan Pengembangan Sumber Daya Air

Gambar 5.11. Model kinetika interaksi pada siklus alga, senyawa Nitrogen (N)
dan Fosfor (P) pada model aliran tunak Waduk dan Danau,
sumber (Kuo, dkk, 2007)

Sedangkan konsentrasi klorofil-a (P) dapat digambarkan pada persamaan


berikut :

dP
V = V(G - D)P - VK saP + Q in P in - Q in P out = F(P,P 1,P 2,N 1,N 2,N 3), (5.9)
dt

Kementerian Pekerjaan Umum - 85


Eutrofikasi Waduk dan Danau : Permasalahan, Pemodelan dan Upaya Pengendalian

Dimana V adalah volume dari danau; G adalah laju pertumbuhan dari


Klorofil-a; D adalah laju kematian Klorofil-a; K sa adalah laju pengendapan
Klorofil-a; Q in adalah laju debit aliran masuk danau (inflow); P in adalah
konsentrasi Klorofil-a pada inflow; Q out adalah laju debit aliran keluar
danau (outflow); Pout adalah konsentrasi Klorofil-a pada outflow. G dapat
ditulis sebagai fungsi radiasi I, suhu T dan nutrien. F adalah fungsi dari
konsentrasi Klorofil-a dan semua konsentrasi komponen senyawa nutrien.

b. Siklus Senyawa Fosfor

dP1
V = VDC PP - VK P1 - VK SP1 - Q OUT P 1 + Q in P 1in = G (P,P 1 ,P 2,N 1,N 2,N 3) (5.10)
dt

dP2
V = VK P1P 1 - VGC P P - Q OUT P 2 + Q in P 1in = H (P,P 1,P 2,N 1,N 2,N 3) (5.11)
dt

Dimana P1 dan P 2 masing-masing adalah konsentrasi Fosfor-organik dan


anorganik; volume dari danau/waduk; Ksp1 adalah laju pengendapan Fosfor-
organik pada danau/waduk; Kp1 adalah laju peluruhan dari Fosfor-organik
yang diubah menjadi Fosfor-anorganik; Cp adalah rasio stokiometris dari Fosfor
sel menjadi Karbon dalam Klorofil-a; P1in adalah konsentrasi Fosfororganik
pada inflow; P2in adalah konsentrasi Fosfor-anorganik pada inflow. G dan H
merepresentasikan fungsi dari komponen-komponen Klorofil-a dan nutrien
pada konsentrasi Fosfor-organik dan anorganik.

c. Siklus Senyawa Fosfor

dN1
V = VDC NP-VK N1 N1-VK SN1N 1+Q in N 1in+Q OUT N 1= I (P,P 1,P 2,N 1,N 2,N 3) (5.12)
dt

dN2 N2
V = VK N1 N1-VGC NP - VK N2 N2-Q OUT N 2 +Q inN 2in =
dt N2 + N2
J (P,P 1,P 2,N1,N2,N3) (5.13)

dN3 N3
V = VK N2 N 2-VGC N P - Q OUTN3+Q inN 3in = K(P,P 1,P 2,N 1,N 2,N 3) (5.14)
dt N2 + N3

86 - Kementerian Pekerjaan Umum


Pusat Penelitian dan Pengembangan Sumber Daya Air

dimana N1, N2 dan N3 masing-masing adalah konsentrasi Nitrogen-organik,


Amonia-nitrogen dan Nitrat-nitrogen; KsN1 adalah laju pengendapan Nitrogen-
organik yang pada danau/waduk; KN1 adalah laju peluruhan Nitrogen-organik
yang diubah menjadi amonia-nitrogen pada danau/waduk; K N2 adalah laju
nitrifikasi amonia-nitrogen yang diubah menjadi nitrat pada danau/waduk;
CN adalah rasio stokiometris dari Nitrogen sel menjadi Karbon dalam Klorofil-
a; N1in, N2in dan N3in adalah merepresentasikan adalah konsentrasi Nitrogen-
organik, Amonianitrogen dan Nitrat-Nitrogen pada inflow; I, J dan H adalah
fungsi dari Klorofil-a, komponenkomponen Nitrogen dan komponen-komponen
Fosfor untuk N1, N2 dan N3.
Persamaan 5.2 sampai 5.7 adalah sekumpulan persamaan non linear, yang
dalam penyelesaiaanya harus dilakukan secara iterasi dengan menentukan
P0, P10 dan P20 dan N10, N20, dan N30 sebagai konsentrasi awal atau nilai inisial
dari semua variabel-variabel kualitas air. Sedangkan F0, G0,I0, J0 dan H0 adalah
nilai awal pada sisi kanan dari persamaan 5.2 sampai 5.7. Persamaan tersebut
dapat diselesaikan menggunakan teknik numerik iterasi Newton (Denis dan
Schnabel,1983 pada Kuo,dkk.,2007). Selain itu, sekumpulan persamaan 5.2
sampai 5.7 tersebut juga dapat dituliskan kembali menjadi persamaan umum
dari model Fitoplankton pada danau atau waduk sebagai berikut :

Dimana an0 dan ap0 masing-masing adalah rasio dari Nitrogen dan Fosfor
terhadap Oksigen; OP dan R masing-masing adalah laju produksi oksigen rata-
rata dan laju respirasi Fitoplankton. Oleh Thoman dan Mueller (1987) pada
Kuo (2007) dinyatakan bahwa nilai OP dan R dapat diperkirakan dengan
persamaan berikut :
OP = 0.25C, (5.18)
R = 0.025C, (5.19)

Kementerian Pekerjaan Umum - 87


Eutrofikasi Waduk dan Danau : Permasalahan, Pemodelan dan Upaya Pengendalian

5.6 Pemodelan Penginderaan Jauh


Untuk mengantisipasi kerusakan kualitas air, sistem pemantauan kualitas air
perlu dikembangkan. Pada saat ini pemantauan dilakukan secara insitu dan
dianalisis di laboratorium. Craig (2005) menyatakan bahwa teknologi
penginderaan jauh dapat dimanfaatkan untuk menentukan lokasi pengambilan
sampel secara representatif dalam memperkirakan data kualitas air secara
temporal dan spasial. Sedimen tersuspensi, khlorofil-a, suhu dan minyak
adalah indikator kualitas air yang dapat menunjukkan terjadinya perubahan
sifat termal dan spektral air permukaan.
Dalam studi ini menggunakan data citra Landsat TM wilayah Waduk Saguling,
Cirata, Jatiluhur, Wonogiri dan Waduk Sutami. Sedangkan piranti lunak
ErMapper 6.x digunakan untuk memproses citra dan menemukan kanal
gelombang yang optimum. Survei lapangan (ground check) dilaksanakan setelah
proses selesai. Hasil proses dengan rasio kanal gelombang kanal Band-1 (Biru)
dan kanal Band-5 (Infra-merah Tengah) ditunjukkan pada Gambar 5.12 sampai
5.16. Sedangkan persamaan empiris hasil analisis multivariat dapat dilihat
pada Persamaan 5.20 sampai 5.24.

(a) (b)

Gambar 5.12 Perbandingan hasil sebelum proses dan setelah proses dengan
kanal Band-5 untuk menentukan wilayah interes (Irianto dkk, 2002)

88 - Kementerian Pekerjaan Umum


Pusat Penelitian dan Pengembangan Sumber Daya Air

(a) (b)
Gambar 5.13 Penentuan wilayah interes (a) Hasil rasio antara kanal biru
dan Infra-merah Tengah pada Waduk Cirata (Irianto dkk,2002)

Gambar 5.14 Estimasi dan zonasi kandungan klorofil-a di Waduk Cirata (a), Waduk
Saguling (b), Waduk Jatiluhur (c), and Waduk Wonogiri (Irianto dkk, 2002)

Kementerian Pekerjaan Umum - 89


Eutrofikasi Waduk dan Danau : Permasalahan, Pemodelan dan Upaya Pengendalian

Gambar 5.15. Estimasi dan zonasi klorofil-a pada Waduk Sutami


(Irianto dkk, 2002)

Gambar 5.16 Korelasi antara “angka digital” dan konsentrasi klorofil-a


(Irianto dkk,2002)

90 - Kementerian Pekerjaan Umum


Pusat Penelitian dan Pengembangan Sumber Daya Air

Sedangkan persamaan empiris pemanfaatan teknologi pengindraan jauh dapat


dilihat pada persamaan berikut :

R1
Chlorofil = 0,221 x ( )0,908 (5.20)
R5

R1
Ln(Chl) = 0,908*Ln ( ) + Ln(0,221) (5.21)
R5

Secara umum :

R1
Ln(Chl) = a + b*Ln ( ) (5.22)
R5

Persamaan 5.22 dan 5.23 menunjukkan kesesuaian dengan model empiris


antara hasil pada waduk di Pulau Jawa dengan Waduk Te-Chi Reservoir di
Taiwan (Ming., et al., 1996) yaitu :

RED
Ln(Chl) = a + b*Ln ( ) (5.23)
NIR

Harding dkk (1995) pada Craig (2005) juga menggambarkan bahwa estimasi
klorofil-a dengan teknologi penginderaan jauh (indraja) memiliki persamaan
sebagai berikut :

Log(Chl) = a + b(-LogG) (5.24)

G = [(R2)2 / (R1 * R3)]

Pembahasan diatas menunjukkan bahwa untuk mengendalikan terjadinya


permasalahan eutrofikasi pada waduk atau danau diperlukan pengetahuan
tentang parameter-parameter kunci maupun proses terjadinya eutrofikasi.
Untuk mempermudah kuantifikasi permasalahan, maka proses-proses tersebut
diaplikasikan dalam bentuk model matematis dengan tetap memeprhatikan
karakteristik waduk atau danau.

Kementerian Pekerjaan Umum - 91


Eutrofikasi Waduk dan Danau : Permasalahan, Pemodelan dan Upaya Pengendalian

92 - Kementerian Pekerjaan Umum


Pusat Penelitian dan Pengembangan Sumber Daya Air

BAB VI
DAMPAK DAN UPAYA PENGENDALIAN EUTROFIKASI

6.1 Dampak Eutrofikasi


6.1.1 Pencemaran Sumber Air Baku
Perairan pada waduk maupun danau merupakan badan penerima beban
pencemaran dari DAS maupun daerah tangkapan disekitar waduk atau danau.
Karena itu, penurunan kualitas air atau pencemaran badan air menjadi
permasalahan utama akibat pencemaran domestik, industri, pertanian dan
peternakan serta pencemaran akibat erosi dan sedimentasi yang mengalir
dari DAS. Karakteristik kualitas air yang berubah akibat beban pencemaran
yang masuk ke waduk atau danau tersebut terutama adalah peningkatan
penyuburan waduk yaitu penambahan senyawa Nitrogen dan Fosfor yang
dikenal dengan zat hara. Penyuburan waduk atau danau yang berlebihan
tersebut menyebabkan penurunan status mutu kualitas air waduk.
Dalam kondisi normal atau belum tercemar kualitas air waduk disebut dengan
status oligotrofik. Pencemaran organik dan senyawa nutrien yang telah
melampaui daya dukung perairan waduk dapat menurunkan status trofik atau
status penyuburan waduk meningkat, sehingga status mutu waduk menjadi
eutrofik. Beban pencemaran masuk ke badan air waduk atau danau yang makin
sulit dikendalikan menimbulkan status mutu waduk dan danau makin menurun,
sehingga status mutu menjadi hipereutrofik atau kesuburan yang sangat berat.
Waduk atau danau yang berstatus eutrofik dan hipereutrofik menyebabkan
gangguan pada ekosistem perairan sebagai akibat pertumbuhan mikroalga
yang dominan. Timbulnya dominasi mikroalga akan berdampak pada kualitas
air yang menimbulkan gangguan berbagai fungsi dari waduk sebagai penyediaa
air baku. Sulastri, dkk (2004) menyatakan bahwa melimpahnya mikroalga
khususnya fitoplankton dapat dikaitkan oleh adanya perubahan faktor fisik
dan kimiawi perairan terutama akibat melimpahnya senyawa nutrien.

6.1.2 Penurunan Produksi Perikanan


Brahmana, dkk (1993) menyatakan bahwa kematian ikan sering terjadi di
Waduk Saguling maupun waduk-waduk lainnya yang telah tercemar sebagai
akibat dampak dari penyuburan waduk tersebut. Kematian ikan tersebut
umumnya diakibatkan oleh kadar oksigen yang rendah sesudah kedalaman 2
meter dengan kadar oksigen terlarut 0,2-0,3 mg/l. Karena itu, bila terjadi
pembalikan aliran (up welling) dari bagian bawah waduk yang kadar oksigennya

Kementerian Pekerjaan Umum - 93


Eutrofikasi Waduk dan Danau : Permasalahan, Pemodelan dan Upaya Pengendalian

sangat rendah yaitu 0,3 mg/l dan naik ke permukaan, mengakibatkan kematian
ikan di jala terapung atau ikan liar lainnya.
Kematian ikan secara masal pada umumnya terjadi pada malam hari,
sebagaimana penelitian Brahmana, dkk (1993). Hal tersebut dikarenakan kadar
oksigen terlarut di air permukaan akan turun drastis bahkan bisa mencapai
nol. Kondisi tersebut disebabkan proses fotosintesa yang tidak berjalan
sempurna karena karena sinar matahari tidak ada. Rendahnya kadar oksigen
terlarut juga disebabkan timbulnya Gas Amonia dan H2S yang tinggi akibat
dari kandungan oksigen yang rendah di dasar waduk atau dalam kondisi
anaerob. Kondisi tersebut menyebabkan terjadinya proses reduksi ion sulfat
(S04 2-) yang menghasilkan gas amonia dan H2S. Makin tinggi beban
pencemaran organik, maka Gas Ammonia dan H2S di bagian dasar waduk
akan makin tinggi. Rendahnya oksigen terlarut dan tinggginya senyawa
ammonia dan H2S inilah yang mengakibatkan timbulnya kematian ikan serta
organisme lainnya pada waduk .
Albaster (1984) pada Sulastri dkk, 2004 menyatakan kadar amoniak sebesar
0,6-2 mg/l dapat dapat mematikan ikan. Menurut Peraturan Pemerintah Nomor
82 Tahun 2001 tentang standar maksimum kadar H2S adalah 0,002 mg/l. Oleh
karena itu kesehatan waduk atau danau perlu dijaga agar oksigen terlarut
dalam waduk minimal 2 mg/l. UNEP-IETC (1999) pada Sulastri,dkk (2004)
menggambarkan tentang mekanisme kematian ikan masal akibat adanya marak
aklga atau blooming algae sebagaimana ditunjukkan pada Gambar 6.1.

Marak Alga  Penyusutan Alga Penipisan Oksigen  Kematian



Kecerahan rendah Kecerahan tinggi Angin Musim panas

Air Jernih Oksigen rendah Kematian ikan


Oksigen tinggi

Bakteri

Distribusi Alga Alga tenggelam ke Bakteri mengambil Kematian ikan


merata dasar dan oksigen
membusuk

Gambar 6.1 Skema kejadian kematian ikan secara masal pada perairan
waduk dan danau hipereutrofik (UNEP-IETC, 1999 pada Sulastri, dkk., 2004)

94 - Kementerian Pekerjaan Umum


Pusat Penelitian dan Pengembangan Sumber Daya Air

Pada Gambar 6.1 tersebut menunjukkan bahwa mekanisme kematian ikan


terjadi bermula dari penyuburan alga dan adanya pembusukan alga serta
senyawa lain pada dasar waduk oleh bakteri yang menyebabkan kondisi
anaerob. Akibat pembusukan tersebut kandungan oksigen terlarut pada dasar
akan menipis. Pengaruh cuaca menyebabkan terjadinya proses pembalikan
aliran dari dasar waduk kearah permukaan. Kondisi anaerob yang terbawa
aliran ke permukaan waduk tersebut yang dapat menyebabkan kematian ikan
secara masal.

6.1.3 Penurunan Kualitas Sumber Air Minum


Permasalahan air waduk yang telah mengalami proses eutrofikasi adalah
menurunnya kualitas air waduk yang juga berfungsi sebagai sumber air minum.
Kondisi tersebut disebabkan tumbuhnya ganggang secara berlebihan. Badan
air yang banyak mengandung ganggang, ditinjau dari segi aspek sumber air
minum sangat merugikan. Barrion (1991) pada Brahmana, dkk (2002)
menyatakan bahwa ganggang Mikrocistis dan Anabaena sp menghasilkan
endotoksin dan eksotoksin yang masing-masing menghasilkan microcystine
yang bersifat toksin. Toksin tersebut yang dapat menyerang syaraf dan hati.
Kedua jenis ganggang Microcistis dan Anabaena sp di Waduk Saguling
ditemukan dalam jumlah relatif banyak yakni 28-68 individu/liter,
sebagaimana dinyatakan oleh Brahmana, dkk (1993).
Penurunan kualitas sumber air minum akibat timbulnya eutrofikasi tersebut
juga menyebabkan pengolahan air baku tidak bisa dilakukan menggunakan
proses konvensional. Machbub,dkk (2003) menyatakan bahwa pengolahan air
baku menjadi air minum dari badan air yang telah mengalami proses eutrofikasi
akan sulit diolah secara konvensionil. Pengolahan konvensional yang dimaksud
adalah proses koagulasi, flokulasi, filtrasi dan sedimentasi.
Pengolahan air baku tersebut akan membutuhkan biaya yang jauh lebih tinggi
dari proses konvensional karena pada proses pra pengolahan untuk pengambilan
air baku pada intake instalasi pengolahan air minum (IPAM) membutuhkan unit
mikrofiltrasi dengan ukuran 25-35 mikro meter dengan kecepatan 315 rpm untuk
mengurangi konsentrasi alga pada air baku seperti terlihat pada Gambar 6.2.
(Setunghe,2009) . Hal tersebut tentu akan akan menambah beban biaya pada
komponen energi untuk pemompaan melewati mikrostrainer. Selain itu,
kandungan alga maupun organik yang masih lolos dari proses mikrofiltrasi
akan meningkatkan kebutuhan zat kimia untuk proses koagulasi dan flokulasi
dibandingkan proses pengolahan air baku normal. Potensi terjadinya
penyumbatan juga dapat terjadi pada proses filtrasi akibat flok dari alga
yang memiliki karakteristik berbeda dengan flok pada air baku normal.

Kementerian Pekerjaan Umum - 95


Eutrofikasi Waduk dan Danau : Permasalahan, Pemodelan dan Upaya Pengendalian

Dengan demikian, pengolahan air baku tercemar akibat proses eutrofikasi


akan membutuhkan biaya yang lebih besar daripada proses konvensional.

Gambar 6.2 Mikrostrainer untuk pra pengolahan air baku tercemar akibat
eutrofikasi (Setunghe,dkk, 2009)

6.1.4 Gangguan Ekosistem dan Estetika Perairan


Proses eutrofikasi menyebabkan timbulnya populasi alga dan Eichornia crasipes
atau eceng gondok yang berlebihan. Sebagai contoh adalah pertumbuhan yang
sangat padat Enceng gondok di Waduk Saguling terutama pada bagian hulu
waduk, (Sukimin, 2004). Enceng gondok yang padat dan berdaun lebar dapat
mengurangi penetrasi matahari, sehingga mengurangi terjadinya proses
pembentukan oksigen terlarut di bawah tumbuhan gulma tersebut. Hal tersebut
menyebabkan kurang berkembangnya makhluk hidup pada badan air yang
tertutup oleh enceng gondok. Pada kondisi tersebut dapat mengakibatkan
gangguan ekosistem pada waduk atau danau.
Selain gangguan ekosistem, estetika perairan atau nilai panorama waduk dan
danau akan mengalami penurunan. Adanya bau yang menyengat dan tampak
berlendir menyebabkan waduk dan danau tidak dapat digunakan sebagai
kawasan ekowisata. Brahmana, dkk (2002) menyatakan bahwa Gas H2S hasil
dari penguraian bakteri terhadap senyawa nitrogen dan sel-sel ganggang yang
mati menjadi penyebab timbulnya bau yang menyengat dan terdapat gumpalan
ganggang mati dan membentuk flok terapung di tepi waduk.

96 - Kementerian Pekerjaan Umum


Pusat Penelitian dan Pengembangan Sumber Daya Air

Gambar 6.3 Gangguan ekowisata dan estetika perairan akibat eutrofikasi


pada Waduk Sutami pada tahun 2003 (Sukistijono, 2004)

OECD (1982), menyatakan bahwa dampak dari eutrofikasi yang paling sensitif
bagi masyarakat adalah yang berkaitan dengan fungsi danau sebagai tempat
rekreasi dan wisata air. Aspek-aspek seperti menurunnya transparansi, warna,
rasa dan bau, serta meningkatnya penyakit kulit sangat mengurangi daya tarik
dan nilai estetika dari obyek wisata tersebut.

6.1.5 Gangguan Transportasi dan Operasi dan Pemeliharaan Waduk


Pertumbuhan eceng gondok yang berlebihan sebagai gulma air menyebabkan
terjadinya gangguan transportasi air antar wilayah disekitar waduk atau danau.
Karena itu, bila tidak ditangani serius ada kemungkinan wilayah yang
terisolasi. Adanya wilayah yang terisolasi tersebut dapat menimbulkan
permasalahan sosial-ekonomi masyarakat yang tinggal disekitar waduk. Selain
itu, pengendalian pertumbuhan gulma-air diperlukan agar tidak berlangsung
pada wilayah operasional waduk misalnya wilayah di sekitar intake maupun
bangunan operasional waduk lainnya. Brahmana dan Ahmad (2001)
mengindikasikan timbulnya permasalahan korosifitas akibat pada bangunan-
bagunan operasional waduk akibat eutrofikasi seperti yang terjadi di Waduk
Saguling dan Waduk Cirata.

Kementerian Pekerjaan Umum - 97


Eutrofikasi Waduk dan Danau : Permasalahan, Pemodelan dan Upaya Pengendalian

Gambar 6.4 Gangguan transportasi akibat eutrofikasi pada inlet Waduk


Saguling (www.beningsaguling.blogspot.com)

Pertumbuhan dan keberadaan eceng gondok, terutama pada bagian hulu, secara
berkala harus dikendalikan dan dibersihkan dari badan air agar tidak menggangu
arus air ke arah hilir. Disamping itu eceng gondok dapat tersebar keseluruh perairan
waduk. Keadaan tersebut memerlukan biaya tambahan sebagai biaya
pemeliharaan dan operasional waduk akibat maraknya eceng gondok sebagai
gulma air.
Kuantitas air waduk pun dapat terpengaruh akibat kehadiran eceng gondok yang
berlebihan, yaitu adanya pengurangan volume air waduk akibat evapotranspirasi.
badan air yang tertutup oleh eceng gondok memiliki potensi kehilangan air 32-
52% lebih besar dibandingkan dengan permukaan air waduk tanpa eceng gondok
akibat transpirasi eceng gondok yang sangat aktif (Boyd, 1987).

6.2 Upaya Pengendalian Eutrofikasi


6.2.1 Upaya Alami
Sukimin (2004) menyatakan bahwa pengendalian marak alga dapat dilakukan
secara alami atau dikenal dengan istilah pengendalian secara biologis.
Pengendalian ini menggunakan mahluk hidup secara alami, misalnya ikan
sebagai sarana pengendalian yang berarti perusakan atau penghambatan
terhadap suatu organisme oleh organisme lain. Cara ini relatif aman karena
memanfaatkan alam untuk pengendalian pertumbuhan. Pertumbuhan marak
algae dikendalikan oleh makhluk hidup misal ikan sehingga tidak sampai
merugikan, bahkan masih memberi manfaat sebagai perlindungan lainnya.

98 - Kementerian Pekerjaan Umum


Pusat Penelitian dan Pengembangan Sumber Daya Air

Keuntungan pengendalian gulma secara biologis, khususnya menggunakan ikan,


memiliki keuntungan-keuntungan dibandingkan cara-cara lainnya diantaranya
adalah tidak terjadinya penurunan kandungan oksigen terlarut di perairan yang
biasanya terjadi setelah proses pengendalian dengan cara kimiawi maupun
mekanis, tidak terganggu dan tidak menurunnya produktivitas perikanan dan
tidak terganggunya keseimbangan ekosistem perairan (Sukimin,2004).
Adapun persyaratan pengendalian gulma secara biologis adalah dapat memakan
beberapa jenis tumbuhan, daya pengendaliannya tinggi, tidak merupakan
saingan bagi organism lain di perairan, tidak menjadi gulma atau mudah
dikendalikan, tidak menjadi beban bagi masyarakat bahkan secara ekonomis
dapat menambah produktivitas perairan. Danakusuma (2002) pada Sukimin
(2004) menyatakan bahwa Ikan Mola atau biasa disebut silver carp
(Hypophthalmicichthys molitrix) efektif untuk pengendalian marak alga karena
mampu memanfaatkan sekitar 72% fitoplankton yang terkandung dalam perairan.

6.2.2 Upaya Fisika-Kimia dan Biologi


a. Pembuatan Saluran Pengelak
Pengendalian pencemaran waduk atau danau dapat dilakukan dengan
menghindarkan waduk dan danau dari beban pencemaran dari suatu sumber
pencemar. Penghindaran dari beban pencemar dilakukan dengan membangun
saluran pengelak seluruh atau sebagian alir tidak masuk ke perairan waduk.
Trans, dkk (2008) menyatakan bahwa pencemaran senyawa nutrient dari limpasan
permukaan atau run off dapat dikendalikan dengan cara pembelokan atau
pengelak menuju ke kolam retensi untuk perbaikan kualitas. Suxia dan Boxin
(1991) menginformasikan bahwa pengendalian pencemaran badan air dengan
cara pembuatan saluran pengelak juga telah di laksanakan untuk mengurangi
beban pencemaran dari Sungai Changjiang yang masuk ke Danau Donghu di
Wuhan.
Suxia & Boxin (1991) menjelaskan bahwa mekanisme pengelak dapat dilakukan
dengan dua cara yaitu “Discharging while Diverting (DWD)” atau pembuangan
dengan pembelokan dan “Discharging Before Diverting” (DBD) atau pembuangan
sebelum dibelokkan. Pengendalian pencemaran pada Danau Donghu
dilaksanakan dengan tipe DBD karena dinilai lebih aman secara sosial maupun
lingkungan.
Ryding & Rast (1989) menyatakan bahwa terdapat empat kategori dampak
pembuatan pengelak untuk pengendalian beban pencemaran yang masuk ke
danau atau waduk yaitu dampak ekonomi, dampak demografi, dampak
lingkungan dan dampak budaya. Dampak ekonomi adalah biaya konstruksi
pembuatan saluran pengelak yang mahal, dan hanya tepat dilakukan bila danau
tersebut adalah satu-satunya sumber air baku yang menunjang kehidupan
masyarakat. Dampak demografi yaitu distribusi populasi, sehingga apabila

Kementerian Pekerjaan Umum - 99


Eutrofikasi Waduk dan Danau : Permasalahan, Pemodelan dan Upaya Pengendalian

dilakukan diversi dapat terjadi penyebaran penyakit misalnya schistomiasis pada


penduduk yang wilayahnya dilalui atau digunakan sebagai kolam penampungan.
Dampak terhadap lingkungan terutama estetika maupun adanya perubahan
ekosistem di tempat kolam penampungan baru, sedangkan dampak pada budaya
adalah adanya penolakan-penolakan terhadap perubahan lingkungan.

b. Pengaturan dan Sirkulasi Aliran Air


Upaya pengendalian marak alga dapat dilakukan dengan memanipulasi
variabel-variabel yang mendukung terjadinya pertumbuhan algae atau
fitoplankton di perairan. Keseimbangan nutrien, faktor fisik seperti stabilitas
dan pengadukan kolom air merupakan variable-variabel yang mendukung
terjadinya pertumbuhan alga secara berlebihan di perairan waduk atau danau.
Suatu cara yang inovatif adalah menggunakan teknologi “sirkulasi jarak jauh”
atau longdistance circulation (LDC) dengan menggunakan tenaga matahari seperti
terlihat pada Gambar 6.5. Teknologi juga telah dikembangkan untuk alternatif
teknologi aerasi pada kolam pengolahan air limbah berbiaya yang relatif
murah. Selain itu pula LDC juga bermanfaat untuk mengurangi timbulnya
stratifikasi dengan cara pencampuran buatan, mencegah timbulnya
sedimentasi yang berlebihan pada waduk atau danau yang relatif kecil,

Gambar 6.5 Skema penghambatan zona epilimnion dengan sirkulasi air


(Hundell,dkk,. 2007)

100 - Kementerian Pekerjaan Umum


Pusat Penelitian dan Pengembangan Sumber Daya Air

Hundel, dkk (2007) menggambarkan bahwa LDC diletakkan dalam suatu ponton
dilengkapi pompa efisiensi tinggi dengan daya dari bateri aki yang diisi dari
panel energi matahari. Secara ideal, LDC harus didesain sebagai sirkulator
buatan dan mampu beroperasi selama 24 jam untuk 25 tahun dengan sistem
pemeliharaan minimal. Pada saat ini, sirkulator terbesar yang pernah dibuat
adalah berkapasitas transport 38.000 L/menit dari air zona dasar sampai ke
permukaan.dengan kemampuan pengendalian sekitar 14 hektar (Gambar 6.5).
Keuntungan menerapkan sistem sirkulasi buatan pada waduk. khususnya
waduk penampung air baku sebagai sumber air minum, adalah juga mencegah
timbulnya bau dan rasa akibat pembusukan, menurunkan konsentrasi
klorofil-a, meningkatkan transparansi dan oksigen terlarut pada badan air.
Kondisi tersebut tidak hanya meningkatkan kualitas perairan juga
memperbaiki ekosistem sehingga meningkatkan produksi perikanan pada
waduk atau danau, sehingga zooplankton dan ikan dapat memakan
fitoplankton dengan lebih baik, sehingga mengurangi potensi eutrofikasi.

c. Pengendalian Nutrien dan Pemanfaatan kembali Air Limbah


Senyawa nutrient yaitu nitrogen dan fosfor yang masuk ke badan air berasal
dari sumber titik dan sumber tersebar. Sumber titik atau point source
diantaranya adalah berasal dari outlet instalasi pengolahan air limbah, sistem
pengelolaan limbah domestik dari pemukiman, limbah dari industri atau
kelompok industri, dan limbah ternak dari kawasan peternakan. Sedangkan
sumber tersebar atau non-point sources biasanya berasal dari limbah domestik
dan pertanian atau peternakan yang berada disepanjang jalur sungai atau
sekitar waduk dan danau. Karena itu, sumber pencemar tersebar ini lebih sulit
dikendalikan daripada sumber titik. Agar beban pencemar nutrien dari sumber
pencemar tersebar dapat dikendalikan, perlu diupayakan pengelolaan limbah
dalam bentuk sumber titik melalui suatu kelompok-kelompok pengelolaan.
Sala dan Mujeriego (2001) menyarankan pemanfaatan kembali air limbah
dari kawasan wisata, kandungan nutriennya tinggi, untuk pertamanan atau
lapangan golf. Air yang digunakan sebagai air irigasi persawahan, terutama
setelah pemupukan, diupayakan untuk ditampung dan selanjutnya juga
dimanfaatkan untuk pertamanan. Sedangkan limbah cair dan padat hasil
aktifitas peternakan hendaknya ditampung pada tangki digester anaerobik,
sehingga dapat dimanfaatkan kembali untuk pupuk organik maupun biogas.
Dengan demikian, beban pencemaran senyawa nitrogen dan fosfor ke perairan
waduk ataupun danau dapat dikurangi melalui upaya pemanfaatan kembali.

d. Penambahan Senyawa Flokulan


Senyawa kimia yang sering digunakan untuk pengendalian eutrofikasi adalah
senyawa Aluminum Sulfate atau Alum. Bahan Alum tersebut adalah bahan

Kementerian Pekerjaan Umum - 101


Eutrofikasi Waduk dan Danau : Permasalahan, Pemodelan dan Upaya Pengendalian

kimia yang tidak beracun atau bersifat non toksik. Senyawa ini sering digunakan
sebagai bahan koagulan untuk instalasi pengolahan air minum agar dapat
diendapkan pada bak pengendap. Untuk pengelolaan danau dan waduk, alum
digunakan untuk menurunkan senyawa fosfor dalam air. Cooke, dkk (1978)
menjelaskan bahwa penurunan konsentrasi fosfor pada air danau dapat terjadi
karena terbentuknya presipitat Aluminium fosfat yang dapat mengendap ke
dasar waduk sebagaimana persamaan reaksi berikut :

Al3+ + HnPO4 3-n Q AlPO4 + nH+ (Reaksi 6.1)

Dengan diendapkannya flok-flok yang terbentuk dari presipitat aluminum sulfat


dan partikel tersuspensi menjadi sedimen dasar, maka pertumbuhan alga
menjadi terhambat karena berkurangnya kandungan nutrient di perairan waduk
atau danau. Gupta dan Deshora (1977) menggunakan campuran Besi Sulfat,
Kalsium Khlorida dan Alum sebagai bahan flokulan dengan perbandingan
sebagai berikut :

FeSO4.H2O (300 mg/L) + CaCl2 (300 mg/L) + Alum (50 mg/L) (Reaksi 6.2)

Gambar 6.6 Pelaksanaan pengendalian eutrofikasi dengan Alum


(Wisconsin Departemen of Natural Resources.2003)

102 - Kementerian Pekerjaan Umum


Pusat Penelitian dan Pengembangan Sumber Daya Air

Cook dan Denis (1998) menyatakan apabila pada dasar waduk atau danau
dalam kondisi anaerob yang disebabkan adanya stratifikasi waduk dan deplesi
oksigen pada dasar waduk, maka fosfor dapat terlepas dari sedimen. Karena
itu, meskipun fosfor dari ekternal danau sudah dapat dikendalikan, tetapi
siklus internal lepasnya fosfor dari sedimen dasar masih dapat menjadi pemicu
terjadinya pertumbuhan alga yang berlebihan atau terjadi eutrofikasi. Namun
demikian, Perbaikan kualitas air waduk dengan cara penambahan alum,
meskipun tidak beracun, namun tetap dapat mengakibatkan gangguan
ekosistem, bersifat jangka pendek dan hanya dapat diterapkan untuk waduk
atau danau yang relatif kecil.

e. Pengerukan sedimen dasar


Metoda pengerukan atau dredging sedimen dasar untuk pengendalian
eutrofikasi adalah karena fosfor dapat terikat pada partikel dan mengendap
sebagai sedimen dasar. Permasalahan terjadi ketika dasar waduk terganggu
dan fosfor terlepas ke perairan memicu timbulnya eutrofikasi. Cook, dkk (1986)
menyatakan bahwa 50-60% fosfor yang terkandung pada kolom air berasal
dari sedimen. Karena itu, tujuan metoda pengerukan sedimen dasar antara
lain adalah penghilangan zat-zat beracun, pengurangan makrofita,
penghilangan senyawa fosfor dan perbaikan dasar waduk atau danau.
Klapper (1991) menyatakan bahwa terdapat tiga tipe pengerukan sedimen pada
dasar waduk atau danau yaitu menggunakan grab bucket (kantong pengeruk),
serta memanfaatkan energi hidraulik dan pneumatik. Grab bucket adalah
kantong pengeruk dari besi yang dimasukkan ke dalam air yang secara otomatis
menutup sambil mengeruk, selanjutnya sedimen dasar ditarik ke permukaan
untuk di buang. Pengerukan secara hidrolik adalah memompa butir sedimen
yang diambil melalui pipa hisap dan selanjutnya ditekan menuju permukaan,
sehingga dapat dikeluarkan dari badan air. Adapun pengerukan menggunakan
metoda pneumatic adalah sama dengan metoda hidrolik, namun memanfaatkan
tekanan hidrostatik untuk mendorong sedimen dasar menuju pipa tekan dan
selanjutnya di pompa ke permukaan. Cooke (1986) menyatakan bahwa ke tiga
metoda tersebut dapat memindahkan sedimen yang mengandung partikel padat
sampai 70% ke permukaan air.
Namun demikian, metoda pengerukan tidak akan efektif untuk pengendalian
eutrofikasi waduk atau danau apabila sedimentasi dari DAS tidak dikendalikan
terlebih dahulu. Permasalahan lain yang timbul adalah lokasi untuk
pembuangan hasil pengerukan sedimen dasar harus memperhatikan aspek
lingkungan dan sosial, sehingga pembuangan sedimen dasar tetap aman.

Kementerian Pekerjaan Umum - 103


Eutrofikasi Waduk dan Danau : Permasalahan, Pemodelan dan Upaya Pengendalian

f. Proses Bioremediasi
Prinsip dari bioremediasi waduk atau danau yang mengalami eutrofikasi
adalah berdasarkan kebutuhan bakteri untuk pembentukan bakteri baru,
sehingga membutuhkan bahan nutrisi yaitu zat organik serta zat hara yang
telah tersedia dalam air. Untuk pertumbuhannya bakteri juga memerlukan
sumber energi pada proses reaksi biosintetik dari asam amino dan RNA dan
DNA dari nukleotida dengan memanfaatkan energy matahari. Bakteri yang
berguna untuk menguraikan organisme yang telah mati adalah bakteri jenis
Kemoorganotrof dan jenis Kemolitotrof. Bakteri jenis Kemoorganotrof berguna
untuk menguraikan senyawa organik, sedangkan bakteri Kemolitotrof berguna
untuk menguraikan Senyawa Nitrogen yaitu Amonia, Nitrit dan Nitrat. Senyawa
fosfor juga dapat diuraikan oleh jenis bakteri ini.
Bakteri jenis tersebut menggunakan senyawa organik terutama glukosa dari
biomasa yang telah mati sebagai sumber energi. Bakteri jenis Kemoorganotrof
tersebut mendapatkan energi melalui penggunaan hydrogen yang bereaksi
dengan oksigen, sebagaimana persamaan reaksi berikut:

Glucose + 6 oxygen —› 6 carbon dioxide + 6 water

C6H12O6 + 6 O2 —› 6 CO2 + 6 H2O+ sel bakteri baru (Reaksi 6.3)

Persamaan reaksi (7.1) tersebut menunjukkan bahwa Hidrogen dihilangkan


dari molekul Glukosa dan ditransfer ke molekul oksigen, sehingga menyediakan
energi yang berguna bagi mikroorganisme melalui transport elektron. Hasil
reaksi tersebut adalah gas CO2 dan molekul air.
Bakteri-bakteri jenis Kemolitotrof menguraikan zat hara seperti ammonia, nitrit
dan nitrat dengan cara memanfaatkan senyawa-senyawa tersebut sebagai
sumber energi sebagaimana reaksi penguraian amonia sebagai berikut :
NH3 —› NO2 (Bakteri Nitrosomonas) (Reaksi 6.4)
NO2 —› NO3 (Bakteri Nitrobacter)+ sel bakteri baru (Reaksi 6.5)

Adapun penguraian sumber fosfor dalam air yang telah mengalami eutrofikasi
adalah melalui pemanfaatan fosfor oleh bakteri sebagai sumber energi untuk
menguraikan ortofosfat atau fosfat terlarut pada penguraian zat organik
misalnya glukosa. Contoh reaksi penguraian fosfat terlarut pada proses
intermediasi penguraian zat organik adalah sebagai berikut :
Ortofosfat —› Organic fosfat —› DNA, RNA dan fosfat organik ester (Reaksi 6.6)

104 - Kementerian Pekerjaan Umum


Pusat Penelitian dan Pengembangan Sumber Daya Air

Dalam rangkaian proses-proses biokimia tersebut dibutuhkan juga sumber-


sumber mineral seperti Magnesium (Mg), Mangan (Mn), Besi (Fe) dan mineral-
mineral esensial lainnya seperti yang ditemukan dalam tubuh manusia.
Sedangkan keberadaan oksigen dibutuhkan sebagai hidrogen akseptor untuk
menghasilkan energy dan sel bakteri baru. Pada umumnya untuk penguraian
satu satuan masa hidrokarbon dibutuhkan empat satuan masa hidrokarbon.
Kondisi lingkungan perairan juga sangat berperan terhadap suksesnya restorasi
perairan waduk atau danau secara biologis. Rangkaian proses biokimia
tersebut membutuhkan kondisi tingkat keasaman yang yang netral atau pH
dari 7 sampai 8, karena rentang pH tersebut adalah optimum untuk bakteri
pengurai senyawa nitrogen. Selain tingkat keasaman, suhu juga berperan dalam
proses pertumbuhan bakteri pengurai tesebut. Suhu yang optimum bagi bakteri
pengurai zat organik dan senyawa nutrien adalah pada suhu 28°C. Restorasi
perairan danau di Malaysia juga telah menggunakan teknologi bakteri yang
telah dipadatkan dalam bentuk bola-bola sebagaimana dilaporkan oleh The
Star edisi Minggu 7 Maret, 2010 (http://thestar.com.my, diakses 15 Mei 2010)

6.2.3 Peningkatan Peran Masyarakat Dalam Pengelolaan Waduk


Sukistijono (2004) menyatakan bahwa pengelola telah mendapat pembiayaan
dari pemanfaat untuk pengelolaan waduk. Meskipun belum memadai, namun
peran serta masyarakat untuk ikut menjaga kelestarian waduk masih perlu
ditingkatkan. Pendekatan ekonomi merupakan hal penting dalam melaksanakan
pendekatan dengan masyarakat untuk ikut mengelola waduk secara
berkelanjutan. Kesadaran masyarakat diperlukan agar masyarakat memahami
bahwa pengelolaan sumberdaya air adalah milik dan kewajiban bersama.
Masyarakat sekitar waduk dapat diajak bekerja sama untuk memanfaatkan
enceng gondok untuk bahan baku kerajinan maupun untuk dimanfaatkan
sebagai sumber energi biogas.

Kementerian Pekerjaan Umum - 105


Eutrofikasi Waduk dan Danau : Permasalahan, Pemodelan dan Upaya Pengendalian

Gambar 6.7 Pengelolaan IPAL penduduk bersama dengan masyarakat


di sekitar Waduk Sutami (Sukistiyono, 2004)

Diusulkan, pemanfaat waduk turut berkontribusi dalam pengelolaan waduk


melalui iuran penggunaan air dan untuk menjaga kelestarian lingkungan
waduk. Peran serta pemanfaat sebenarnya telah dilakukan dengan memberikan
dana pembayaran melalui iuran jasa pengelolaan SDA yang diberikan kepada
pengelola waduk namun jumlahnya masih belum memadai. Dana ini telah
digunakan untuk operasi dan pemeliharaan waduk serta untuk konservasi
DAS melalui alokasi biaya perlindungan DAS.
Sukistijono (2004) juga menyarankan pemberian bantuan biaya pembuatan
terasering kepada petani, sosialisasi dan penyuluhan harus tetap dilakukan
secara berkesinambungan pada masyarakat untuk ikut serta memelihara
kebersihan sungai dan waduk dengan cara tidak membuang limbah padat dan
cair ke sungai dan waduk, serta kerjasama pemanfaatan limbah padat.
Kerjasama penghijauan pada daerah kritis dan pemanfaatan lahan kritis juga
perlu dilakukan dengan pemberian bantuan bibit serta penerapan sistem
tumpang sari antara tanaman pokok dengan palawija atau tanaman
perkebunan misalnya kopi dan pinus.

106 - Kementerian Pekerjaan Umum


Pusat Penelitian dan Pengembangan Sumber Daya Air

Penyuluhan kepada masyarakat sekitar juga dilakukan agar hanya menangkap


ikan yang layak tangkap, sehingga tidak semua ukuran ikan ditangkap. Setiap
warga harus ikut berpartisipasi dalam penebaran benih bibit ikan dan ikut
serta bila terdapat gumpalan ganggang mati dan membentuk flok di pinggir
waduk, maka masyarakat diharapkan ikut serta membersihkan flok tersebut,
agar kualitas air di waduk Sutami pulih kembali.

Gambar 6.8 Kerjasama penghijauan lahan kritis dan pemanfaatan sabuk


hijau di DAS Brantas (Sukistiyono, 2004)

6.3. Pengendalian Pencemaran DAS secara Terpadu


Pengelolaan danau atau waduk sangat terkait erat dengan kondisi DAS secara
lintas wilayah, serta memerlukan keterpaduan pengelolaan serta komitmen
pemantauan untuk pengelolaan danau dan waduk yang harus didukung
anggaran dalam jangka panjang serta terus-menerus. Selain itu penanganan
permasalahan waduk atau danau harus ditangani berdasarkan ilmu-
pengetahuan untuk diketahui penyebabnya dan langkah penangannanya.
Jorgensen (2007) memberikan ilustrasi pelaksanaan pengelolaan DAS secara
terpadu untuk perlindungan badan air, termasuk pencegahan pencemaran air,
adalah seperti terlihat pada Gambar 6.9.

Kementerian Pekerjaan Umum - 107


Eutrofikasi Waduk dan Danau : Permasalahan, Pemodelan dan Upaya Pengendalian

Jorgensen (2007) menyatakan bahwa pengelolaan DAS secara terpadu untuk


perlindungan badan air terutama waduk atau danau memerlukan pengendalian
pencemaran pada sumbersumber pencemar secara terpadu. Gambar 6.12
menunjukkan pengendalian sumber-sumber pencemar secara terpadu yaitu:
(1) penerapan “polluter pay principall” untuk pengendalian pencemaran limbah
industri agar hasil pengolahan sesuai baku-mutu; (2) pengelolaan limbah
domestik terdiri dari sistem penyaluran dan pengolahan limbah; (3) pengaturan
pengambilan dan pencegahan pencemaran air tanah; (4) pengaturan
pemakaian pupuk terutama pupuk kimia; (4) pencegahan penebangan liar untuk
menjaga tutupan vegetasi dan mengurangi erosi; dan (5) Pengelolaan debit
lingkungan pada badan air penerima.

Gambar 6.9 Pelaksanaan pengelolaan DAS secara terpadu untuk


perlindungan badan air (adaptasi dari Jorgensen, 2007)

Machbub,dkk (2003) juga menyarankan pengendalian pencemaran dari DAS


dalam rangka konservasi danau dan waduk harus dilakukan secara terpadu
yaitu pengendalian pencemaran limbah industri, pengendalian pencemaran

108 - Kementerian Pekerjaan Umum


Pusat Penelitian dan Pengembangan Sumber Daya Air

limbah domestik dan pengendalian pencemaran limbah pertanian dan


peternakan. Pembuatan instalasi pengolahan air limbah industri (IPAL) secara
gabungan dan pembuatan tangki septik komunal pada lingkungan perumahan
menjadi alternatif utama pengendalian pencemaran limbah industri dan limbah
penduduk.
Ditjen Pengelolaan Lahan dan Air, Departemen Pertanian (2002) menganjurkan
penerapan sistem pertanian konservasi untuk mengurangi terjadinya erosi
lahan dan pencemaran limbah pertanian. Irianto (2009) menyarankan
penggunaan kombinasi tangki anaerob atau biodigester dan proses filter tetes
untuk mengurangi beban pencemaran limbah cair peternakan rakyat ke badan
air, sedangkan lumpur padat tetap dapat dimanfaatkan kembali sebagai pupuk
organik Gambar 6.10 dan 6.11. Gas metan yang terbentuk akibat proses
pengolahan secara anaerobik dapat dimanfaatkan sebagai sumber energi
biogas.

Gambar 6.10. Aplikasi proses biodigester, sederhana untuk energi alternatif


(sumber: www.suara merdeka.com, diakses 9 Januari 2009)

Kementerian Pekerjaan Umum - 109


Eutrofikasi Waduk dan Danau : Permasalahan, Pemodelan dan Upaya Pengendalian

Namun demikian pelaksanaan pengelolaan limbah terpadu DAS tidak akan


dapat berjalan dengan baik, bila penegakan hukum lingkungan belum benar,
pemberian insentif dan subsidi yang tidak tepat, dan penyadaran masyarakat
untuk lingkungan yang berkelanjutan tidak dilakukan. Koordinasi pemangku
kepentingan sumber daya air melalui dewan sumber daya air daerah sangat
diperlukan, namun efektifitas pengawasan pengendalian pencemaran air yang
dilakukan oleh badan pengendali dampak lingkungan daerah juga harus lebih
ditingkatkan.
Pembahasan diatas menunjukkan berbagai langkah yang dapat dilakukan untuk
mengendalikan terjadinya eutrofikasi pada waduk atau danau. Pengendalian
permasalahan eutrofikasi sebaiknya dilaksanakan secara terpadu dengan
mengendalikan sumber-sumber pencemar pada DAS maupun pada badan air
waduk atau danau. Upaya pengendalian eutrofikasi tersebut, hendaknya
menggunakan teknologi yang ramah lingkungan misalnya pengendalian secara
biologis, sehingga lingkungan waduk atau danau tetap terjaga kelestariannya.

110 - Kementerian Pekerjaan Umum


Gambar 6.11 Pemanfaatan Proses Anaerobik dan Filter Tetes untuk Pengendalian Pencemaran Peternakan Rakyat
(Irianto, 2009)

Kementerian Pekerjaan Umum - 111


Pusat Penelitian dan Pengembangan Sumber Daya Air
Eutrofikasi Waduk dan Danau : Permasalahan, Pemodelan dan Upaya Pengendalian

112 - Kementerian Pekerjaan Umum


Pusat Penelitian dan Pengembangan Sumber Daya Air

BAB VII
STRATEGI PENGELOLAAN TERPADU EKOSISTEM
DANAU DAN WADUK

7.1 Strategi Nasional Pengelolaan Danau dan Waduk Terpadu


Selain sebagai sumber air baku, pembangkit listrik tenaga air juga sebagai
pengatur tata air yang termasuk didalamnya berfungsi sebagai pengendali
banjir, danau dan waduk juga bersifat multi fungsi baik fungsi ekologi, ekonomi,
lingkungan hidup, sosial budaya, keagamaan dan secara teknis berfungsi tempat
hidup berbagai biota air. Untuk mempertahankan, melestarikan dan
memulihkan fungsi fungsi-fungsi tersebut di atas, dibuatlah Kesepakatan Bali
tentang ”Pengelolaan Danau Berkelanjutan” pada tanggal 13-15 Agustus 2009
di Denpasar. Kesepakatan tersebut merupakan komitmen dari sembilan
departemen untuk melaksanakan tujuh butir program strategis danau,
sebagaimana terlihat pada Kotak 7.1.
Dalam kesepakatan tersebut disepakati bahwa keterpaduan dan integrasi
penanganan secara multi sektor, dalam satu kesatuan pola penanganan
menyeluruh, sangat dibutuhkan untuk memulihkan fungsi danau dan waduk.
Keterpaduan penanganan untuk mewujudkan pengelolaan danau dan waduk
yang berkelanjutan tersebut meliputi aspek fisik teknik struktural dan non
fisik, yang termasuk didalamnya penanganan aspek sosial, ekonomi wilayah,
lingkungan serta pemberdayaan dan partisipasi masyarakat.
Wujud kesepakatan tersebut adalah kerja sama dengan semua pihak melalui
sinkronisasi dan sinergisitas dalam program dan kegiatan pengelolaan danau
berkelanjutan pada sembilan danau prioritas, yang tersebar di tujuh provinsi
sebagai percontohan pengelolaan, yaitu Danau Toba, Danau Singkarak, Danau
Maninjau, Danau Rawa Pening, Danau Batur, Danau tempe, Danau Poso, Danau
Limboto, dan Danau Tondano.
Program kegiatan yang harus dilaksanakan oleh tiap-tiap kementerian dan
pemerintah daerah, sesuai bidang tugas dan kapasitas masing-masing adalah
tercantum pada Lampiran 1 Selain yang disebutkan diatas, terdapat juga danau-
danau yang memerlukan program penanganan segera seperti tercantum pada
Tabel 7.1. Sedangkan contoh permasalahan dan pelaksanaan pembangunan
prasarana untuk mendukung danau yang berkelanjutan adalah terlihat pada
Kotak 7.1 dan 7.2.

Kementerian Pekerjaan Umum - 113


Eutrofikasi Waduk dan Danau : Permasalahan, Pemodelan dan Upaya Pengendalian

Tabel 7.1 Kondisi Danau dan Kebutuhan Rencana Aksi (Machbub, 2003)

No Danau Kondisi dan Program Aksi Prioritas

1 Batur Secara umum baik, tapi kadar garam tinggi (saline) 3


2 Bratan Cukup Baik, tetapi menuju proses Eutrofikasi dan perlu
pengendalian limbah pertanian 1
3 Buyan Baik, tidak segera terancam 3
4 Diatas Baik, tapi perlu pengendalian beban pencemar tersebar dari lahan pertanian 2
5 Dibawah Baik 3
6 Kerinci Baik, tetapi terancam limbah pertanian 1
7 Limboto Cukup baik, tapi siltasi tinggi dan penyuburan 2
8 Maninjau Cukup baik, tapi mengarah eutrofikasi oleh limbah domestic 1
9 Matano Baik, cenderung tercemar limbah nikel, butuh studi khusus dan 1
rencana penanganan limbah nikel dan sedimenatasi
10 Poso Baik 3
11 Ranau Baik, sebuah dam drencanakan untuk outlet 2
12 Rawa Pening Jelek, penyuburan berlebihan,butuh pengendalian limbah pertanian
and domestik 1
13 Sentani Cukup baik, tetapi menuju proses eutrophication, butuh pengendalian
limbah pertanian dan domestik 1
14 Singkarak Menuju eutrofikasi , membutuhkan kontrol limbah domestik dan pertanian 1
15 Tamblingan Baik 3
16 Tempe Proses ke Eutrofikasi dan Siltasi, penyuburan berlebihan tanaman air,
butuh pengendalian limbah domestic 2
17 Toba Baik, tetapi terancam beban limbah Nitrogen dan Phosphor, Penghutanan
kembali DAS dan pengendalian limbah domestik dari penduduk dan hotel 1
18 Tondano Cukup baik, tapi laju siltasi tinggi 3
19 Towuti Sangat baik 3

114 - Kementerian Pekerjaan Umum


Pusat Penelitian dan Pengembangan Sumber Daya Air

Danau tempe Saat Musim Kering

Danau tempe Saat Musim Hujan

Gambar 7.1 Kondisi Danau Tempe saat musim kering dan musim hujan
(Menteri PU, Konferenasi Danau berkelanjutan, 13-15 Agustus 2009)

Kotak 7.1 dan 7.2 menunjukkan contoh pola penanganan dan pengelolaan
danau secara terpadu terutama pada Danau Tempe dan Danau Limboto. Tujuan
dari penanganan pada ke dua danau tersebut adalah pengelolaan pemanfaatan
air dan ekosistem danau yang berkelanjutan mulai dari daerah aliran sungai
hingga pengaturan badan air danau. Untuk pembentukan kepedulian
masyarakat dalam pengelolaan dibentuk juga pusat informasi danau.

Kementerian Pekerjaan Umum - 115


Eutrofikasi Waduk dan Danau : Permasalahan, Pemodelan dan Upaya Pengendalian

Kotak 7.1 : Permasalahan dan penanganan Danau Tempe


Pendangkalan danau yang menghambat pertumbuhan populasi ikan
sehingga pendapatan nelayan menurun. Produksi ikan 25000 ton/tahun
pada 1960-1970 menjadi 5000-6000 ton/tahun pada tahun 2009.
Adanya pendangkalan danau dapat mengubah fungsi danau menjadi rawa,
karena banyak tumbuhan air. Hal tersebut berakibat menurunnya kualitas
air, punahnya keanekaragaman hayati, menghambat pertumbuhan populasi
ikan dan bertambah luasnya lahan pertanian. Namun, seiring dengan
kesulitan air pada musim kemarau, lahan pertanian tersebut tidak dapat
dimanfaatkan. Selain itu, menurunnya produksi ikan akibat penyempitan
luas danau, timbulnya dampak sosial perebutan lahan perikanan antara
nelayan dari 3 kabupaten.
Berdasarkan permasalahan tersebut diatas, maka konsep dasar
pengembangan pertanian, perikanan dan pelestarian pada Danau Tempe
harus memperhatikan hal-hal berikut yaitu (1) mengurangi daerah genangan
musiman di sekitar danau untuk perluasan areal tanam; (2) mengurangi
potensi terjadinya banjir terhadap penduduk pada musim penghujan; (3)
memelihara muka air Danau Tempe pada titik optimal selama musim
kemarau dalam upaya melestarikan sumber daya perikanan dan lingkungan
danau; (4) mengembalikan dan meningkatkan taraf hidup masyarakat di
sekitar Danau Tempe dengan meningkatkan produksi perikanan dan
pertanian.
Memperhatikan konsep dasar pengembangan pertanian, perikanan dan
pelestarian pada Danau Tempe, maka program-program aksi yang harus
dilaksanakan adalah : (1) membangun pusat informasi Danau Tempe sebagai
sarana pertukaran informasi, pengetahuan dan kepedulian masyarakat
dalam rangka pengelolaan danau; (2) membangun bendung gerak untuk
pengaturan tata-air danau; (3) meningkatkan kapasitas Sungai Cenranae
sebagai outlet Danau Tempe untuk mengurangi potensi banjir pada musim
hujan; (4) membangun saluran irigasi sederhana untuk irigasi sekitar danau;
(5) membangun jaringan irigasi Pompa Bellawa 60 liter/dt; (6) menambah
kapasitas penyediaan air bersih Kota Sengkang untuk meningkatkan cakupan
pelayanan air bersih.
Sumber: Presentasi Menteri PU, Pembangunan Infrastruktur untuk
Pendayagunaan Danau, Konferensi Nasional Danau Indonesia, Bali, 13-15
Agustus 2009

116 - Kementerian Pekerjaan Umum


Pusat Penelitian dan Pengembangan Sumber Daya Air

Gambar 7.2 Danau Limboto yang makin dangkal


(http://metronews.fajar.co.id, diakses 10 Mei 2010)

Kotak 7.2 : Permasalahan dan Penanganan Danau Limboto


Terletak pada DAS Limboto (Luas DAS: 89 Km2), Merupakan muara 7 sungai
Kerusakan DAS pada bagian tengah dan hilir, serta kurang jelasnya batas
wewenang dan tanggung jawab dalam pengelolaan lahan, mengakibatkan
tingginya tingkat sedimentasi pada Danau Limboto. Tingkat sedimentasi yang
tinggi tersebut mengurangi kapasitas tampung danau karena bangunan-
bangunan penahan sedimen belum optimal untuk mengurangi laju sedimentasi
pada danau, sehingga mengakibatkan banjir pada musim hujan dan
kekeringan pada musim kemarau. Perumahan liar yang berkembang di sekitar
danau menyebabkan timbulnya pencemaran air danau oleh limbah penduduk,
sehingg mempercepat pertumbuhan enceng gondok yang sulit dikendalikan
Mengacu pada permasalahan tersebut diatas, perlu dilakukan program-
program aksi sebagai berikut: (1) program perbaikan DAS; (2) program
pelaksanaan konservasi hutan;(3) program pengendalian erosi dan angkutan
sedimen; (3) program penyusunan rencana pengelolaan danau; (4) program
penentuan batas daerah sempadan danau; (5) pengaturan tinggi muka air
danau dengan pembangunan infrastruktur; (6) program pengerukan danau;
(7) program normalisasi sungai-sungai; serta (8) program engendalian banjir
Sumber: Presentasi Men PU, Pembangunan Infrastruktur untuk Pendayagunaan
Danau, Konferensi Nasional Danau Indonesia, Bali, 13-15 Agustus 2009

Kementerian Pekerjaan Umum - 117


Eutrofikasi Waduk dan Danau : Permasalahan, Pemodelan dan Upaya Pengendalian

7.2 Pengendalian Pencemaran Terpadu Daerah Tangkapan Air Waduk/


Danau
Kualitas air waduk dan danau terkait dengan kegiatan pada daerah
tangkapannya. Pada daerah tangkapan tersebut terdapat tiga ekosistem yang
saling terkait, yaitu ekosistem danau, ekosistem sempadan dan ekosistem DAS
(Kementerian LH, 2008). Dengan demikian, untuk memperbaiki dan memulihkan
fungsi serta manfaat dari waduk dan danau dalam suatu DAS, maka
pengendalian pencemaran secara terpadu pada tiap ekosistem tersebut sangat
diperlukan.
Pada setiap ekosistem terdapat dua tipe sumber pencemaran air yaitu sumber
pencemaran titik (point source) dan sumber pencemaran tersebar (non point
source). Sumber titik adalah sumber pencemaran yang telah diketahui lokasi
sumber pencemaran. Dengan demikian, sumber pencemaran titik ini bukan
hanya dari sumber tunggal melainkan juga dari beberapa ataupun berbagai
jenis sumber pencemar yang dapat digabung menjadi satu sistem sumber titik.
Sumber-sumber pencemaran air yang telah dikelola menjadi sumber titik,
pengendalian pencemarannya dapat menggunakan sistem pengelolaan air
limbah, mulai jaringan pengumpul ke proses instalasi pengolahan air limbah
(IPAL) dan sistem pembuangannya, seperti terlihat pada Gambar 7.3.
Sumber pencemar tersebar adalah sumber pencemaran air yang tidak diketahui
secara pasti lokasi sumber pencemarannya. Sumber pencemaran tersebar
dapat diakibatkan oleh melimpasnya zat pencemar dari suatu lahan menuju
badan air akibat hujan. Identifikasi permasalahan sumber pencemaran titik
dan tersebar pada tiap ekosistem serta zat pencemar yang dihasilkan terlihat
pada Gambar 7.3. Jenis-jenis pencemar tersebar, sumber-sumber pencemar,
permasalahan limgkungan yang ditimbulkan serta upaya pengendaliannya
dapat dilihat pada Tabel 7.3 dan Tabel 7.4.
Penjelasan tersebut di atas berarti pelaksanaan pengendalian pencemaran
untuk perbaikan kualitas air waduk maupun danau harus dilaksanakan secara
konsisten dan terpadu. Keterpaduan tersebut meliputi pengendalian
pencemaran pada sumber pencemar titik maupun tersebar dan pada semua
kondisi ekosistem. Instansi-instansi yang terkait termasuk instansi penegak
hukum serta kepedulian masyarakat juga sangat berperan dalam pengendalian
pencemaran ekosistem DAS dan perbaikan kualitas air waduk atau danau.
Semuanya itu harus dijalankan secara bersama sesuai kompetensi dan
kapasitas masing-masing, sebagaimana diilustrasikan pada Gambar 7.4.

118 - Kementerian Pekerjaan Umum


Pusat Penelitian dan Pengembangan Sumber Daya Air

Kementerian Pekerjaan Umum - 119


Gambar 7.3 Sumber-sumber pencemar dan permasalahan pencemaran waduk dan danau

Pencemaran Tersebar
- Domestik
- Industri Tersebar
- Pertanian
- Peternakan
- Perkebunan
- Kehutanan

Masalah Ekosistem DAS


Masalah Ekosistem Waduk

120 - Kementerian Pekerjaan Umum


Pencemaran Titik - Oksigen rendah
- Domestik Sistem - Transparansi rendah
- Kawasan Industri —› Pengelolaan - Biodiversitas rendah Gangguan
Limbah - Kesuburan tinggi - Operasional waduk
- Kawasan Pertanian
—› - Akumulasi zat pencemar - Pemanfaatan air waduk
- Kawasan Peternakan * Terlarut —›
—› - Estetika lingkungan waduk
* Dasar Waduk - Masa layan waduk
- Limbah pakan ikan tinggi
- Sedimentasi tinggi
Masalah Ekosistem Sempadan - Volume tempungan berkurang
- Rumah tinggal
- Kolam jaring apung pasang surut
- Sawah, kebun, ternak
- Penambangan pasir
- Wisata
- Industri rumah tangga
Eutrofikasi Waduk dan Danau : Permasalahan, Pemodelan dan Upaya Pengendalian
Pusat Penelitian dan Pengembangan Sumber Daya Air

Kementerian Pekerjaan Umum - 121


Eutrofikasi Waduk dan Danau : Permasalahan, Pemodelan dan Upaya Pengendalian

Gambar 7.4 Sasaran pengendalian pecemaran DAS terpadu untuk perbaikan


ekosistem waduk/danau dan pemangku kepentingan terkait

122 - Kementerian Pekerjaan Umum


Pusat Penelitian dan Pengembangan Sumber Daya Air

7.3 Analisis SWOT Pengendalian Pencemaran DAS dan Waduk/Danau


Terpadu
7.3.1 Identifikasi Analisis SWOT
Pengendalian pencemaran badan air pada DAS danau atau waduk secara
terpadu membutuhkan dukungan baik dari instansi internal pengelola DAS
dan waduk atau danau maupun dukungan dari luar organisasi pengelola DAS
dan danau/waduk. Dukungan internal organisasi pengelola DAS dan danau
atau waduk tersebut merupakan kekuatan (Strength) melaksanakan program-
program pengendalian pencemaran badan air pada DAS dan waduk/danau
secara terpadu. Sedangkan, dukungan dari luar organisasi adalah merupakan
potensi peluang (Opportunity) yang dapat dimanfaatkan oleh pengelola DAS
dan danau atau waduk untuk menjalankan bahkan mengembangkan program-
program pengendalian pencemaran perairan pada DAS dan danau dengan lebih
baik dan berkelanjutan.
Dalam melaksanakan program pengendalian pencemaran air pada DAS dan
waduk/danau secara terpadu tidak terlepas dari kendala-kendala yang dapat
menghambat pelaksanaan program-program tersebut. Kendala-kendala
tersebut dapat terjadi akibat masih adanya kelemahan-kelemahan (Weakness)
pada organisasi pengelola, maupun adanya potensi ancaman (Threat) dari
luar organisasi yang dapat menghambat pelaksanaan program-program
pengendalian pencemaran air secara terpadu.

a. Idenfikasi kekuatan pelaksanaan pengendalian pencemaran air DAS terpadu:


Sudah diprogramkan oleh Dinas/Instansi sesuai kapasitas dan
kompetensinya masingmasing;
Sudah ada instansi litbang dan perguruan tinggi yang dapat membantu
mengidentifikasi masalah dan memberikan solusi secara ilmiah;
Sudah ada hukum dan peraturan lingkungan;
Sudah dibentuk dan berjalannya organisasi atau badan pengelola DAS
dan waduk/danau;
Sudah berlangsung sistem pemerintahan otonomi daerah sebagai
implementasi kebijakan desentralisasi; dan
Sudah ada komitmen pemerintah daerah untuk pengelolaan DAS dan
danau/waduk sebagai aset penting

Kementerian Pekerjaan Umum - 123


Eutrofikasi Waduk dan Danau : Permasalahan, Pemodelan dan Upaya Pengendalian

b. Idenfikasi kelemahan pelaksanaan pengendalian pencemaran air DAS


terpadu :
Belum tercukupinya anggaran untuk pelaksanaan program;
Belum tercukupinya kapasitas dan kemampuan staf/SDM yang berkaitan
dengan pengelolaan lingkungan;
Belum efektifnya pelaksanaan penegakkan hukum dan aturan pengelolaan
lingkungan, termasuk program ”Polluter Pay Principles”;
Belum efektifnya koordinasi antar sektor dan antar wilayah atau masih
terjadinya egosektor dan egowilayah;
Belum cukupnya dan belum efektifnya fasilitas sanitasi masyarakat dan
fasilitas pengendalian pencemaran air yang sudah ada; dan
Belum ada insentif fiskal bagi pengelola IPAL yang telah berjalan dengan
baik;

c. Idenfikasi peluang pelaksanaan pengendalian pencemaran air DAS terpadu:


Telah ada dukungan dan komitmen pemerintah pusat dalam pengelolaan
lingkungan DAS termasuk Program Kali Bersih. (Prokasih) dan Surat
Perjanjian Kali Bersih (Superkasih);
Telah terbentuknya jaringan pengelola waduk dan danau;
Teridentifikasinya potensi ekonomi yang makin baik pada DAS dan waduk/
danau yang terpelihara lingkungannya;
Telah ada lembaga donor yang dapat mendukung pengelolaan lingkungan
yang berkelanjutan dari dalam maupun luar negeri baik dalam hal
dukungan dana maupun teknologi; dan
Telah ada perusahaan swasta yaitu kontraktor maupun konsultan yang
berminat maupun memiliki keahlian yang mendukung telaksananya
pengelolaan lingkungan khususnya program pengendalian pencemaran
air;

d. Idenfikasi ancaman pelaksanaan pengendalian pencemaran air DAS terpadu:


Masih ada kelompok masyarakat yang tidak peduli, bahkan cenderung
melanggar hukum dan peraturan lingkungan dan tata-ruang;
Masih tingginya tingkat alih fungsi lahan dari lahan konservasi ke lahan
yang lebih terbuka yang dapat meningkatkan potensi pencemaran tersebar
misalnya erosi;

124 - Kementerian Pekerjaan Umum


Pusat Penelitian dan Pengembangan Sumber Daya Air

Masih tingginya tingkat pencemaran titik maupun tersebar yang belum


teridentifikasi dan masuk ke badan air akibat masih rendahnya sarana
sanitasi; dan
Masih rendahnya tingkat ekonomi masyarakat yang tinggal di sekitar lahan
konservasi maupun dekat badan air, sehingga meningkatkan potensi
pencemaran tersebar;

7.3.2 Strategi Hasil Analisis SWOT


Hasil identifikasi SWOT pelaksanaan program pengendalian pencemaran
kualitas air terpadu harus dikembangkan dalam bentuk strategi-strategi untuk
mencapai sasaran yang ditetapkan. Sasaran yang dimaksud adalah perbaikan
kualitas badan air pada DAS maupun pada perairan waduk/danau. Strategi
tersebut disusun berdasasarkan kombinasi hasil identifikasi SWOT yaitu
strategi kombinasi antara kekuatan dan peluang atau strategi S-O; strategi
kombinasi antara kekuatan dan ancaman atau strategi S-T; strategi strategi
kombinasi antara kelemahan dan peluang atau strategi W-O; dan strategi
kombinasi antara kelemahan dan ancaman atau strategi W-T.

a. Strategi S-O :
Melaksanakan pengendalian pencemaran air pada DAS dan ekosistem perairan
danau/waduk secara terpadu untuk mewujudkan DAS dan danau/waduk yang
lestari dan berkelanjutan melalui peningkatan efektifitas koordinasi dan
komitmen lembaga/dinas terkait pada forum Dewan SDA Daerah; mengefektifkan
kerjasama litbang dengan lembaga litbang dan perguruan tinggi; penegakkan
hukum lingkungan dan tata-ruang; peningkatan partisipasi masyarakat dan
swasta; mengembangkan peluang potensi ekonomi pada DAS dan waduk/danau;
memanfaatkan jaringan pengelola danau/waduk secara nasional, regional
dan internasional; peningkatan kerjasama pendanaan dan teknologi dari
lembaga donor dalam dan luar negeri; dan memanfaatkan dukungan dari
pemerintah pusat termasuk prokasih dan superkasih

b. Strategi S-T:
Melaksanakan pengendalian pencemaran air pada DAS dan ekosistem perairan
danau/waduk secara terpadu untuk mewujudkan DAS dan danau/waduk yang
lestari dan berkelanjutan melalui peningkatan efektifitas dan komitmen
koordinasi dinas terkait pada forum Dewan SDA Daerah; komitmen penegakkan
hukum dan tata ruang; mereduksi beban pencemaran limbah ke badan air
pada sumber pencemar; mencegah alih fungsi lahan yang berlebihan; serta
meningkatkan kesadaran dan pemberdayaan ekonomi dalam rangka partisipasi
masyarakat/swasta

Kementerian Pekerjaan Umum - 125


Eutrofikasi Waduk dan Danau : Permasalahan, Pemodelan dan Upaya Pengendalian

c. Strategi W-O:
Melaksanakan pengendalian pencemaran air pada DAS dan ekosistem perairan
danau/waduk secara terpadu untuk mewujudkan DAS dan danau/waduk yang
lestari dan berkelanjutan melalui optimalisasi anggaran sesuai prioritas
sumber dan beban pencemar; meningkatkan kapasitas staf yang bertugas
sebagai pengelola dan penegak hukum lingkungan; meningkatkan efektifitas
fasilitas pengendalian pencemaran; peningkatan koordinasi antar sektor dan
antar wilayah; serta memberikan insentif bagi masyarakat/swasta yang
berkomitmen untuk pengendalian pencemaran;

d. Strategi W-T:
Melaksanakan pengendalian pencemaran air pada DAS dan ekosistem perairan
danau/waduk secara terpadu untuk mewujudkan DAS dan danau/waduk yang
lestari dan berkelanjutan melalui optimalisasi anggaran sesuai prioritas
sumber dan beban pencemar; meningkatkan efektifitas fasilitas pengendalian
pencemaran; peningkatan koordinasi antar sektor dan antar wilayah; serta
memberikan insentif bagi masyarakat/swasta yang berkomitmen untuk
pengendalian pencemaran;
Hasil perumusan strategi kombinasi S-O, S-T, W-O dan W-T diatas menunjukkan
adanya strategi yang saling melengkapi yaitu melanjutkan dan meningkatkan
kekuatan yang telah ada dengan memanfaatkan peluang-peluang, serta dengan
memperbaiki kelemahan-kelemahan dan mereduksi potensi ancaman. Karena
itu, untuk mengimplementasikan strataegi dalam bentuk program-program,
selayaknya diketahui komponen-komponen utama yang mendukung
pelaksanaan program program pengendalian pencemaran air pada DAS dan
ekosistem perairan danau/waduk secara terpadu, sebagaiman tercantum
dalam Gambar 7.5.

126 - Kementerian Pekerjaan Umum


Pusat Penelitian dan Pengembangan Sumber Daya Air

Gambar 7.5 Komponen dan indikator pendukung keberhasilan program


pengendalian pencemaran DAS dan waduk/danau secara terpadu

Pada gambar tersebut menjelaskan bahwa setidaknya terdapat tujuh komponen


utama yang mendukung keberhasilan pelaksanaan program pengendalian
pencemaran kualitas air terpadu pada suatu DAS dan waduk/danau yang
diantaranya adalah komponen pengelola DAS dan waduk/danau; kebijakan
dan program pemerintah pusat; koordinasi dan komitmen dinas/instansi
terkait di daerah; partisipasi dan kepedulian swasta dan masyarakat;

Kementerian Pekerjaan Umum - 127


Eutrofikasi Waduk dan Danau : Permasalahan, Pemodelan dan Upaya Pengendalian

kerjasama litbang dengan perguruan tinggi dan instansi litbang; teknologi


konservasi dan pengendalian pencemaran air; serta komponen hukum/aturan,
implementasi dan penegakannya di lapangan yang menjadi payung bagi semua
komponen-komponen tersebut, seperti terlihat pada Gambar 7.5.

7.3.3 Indikator Kinerja komponen Hasil SWOT


Pada tiap-tiap komponen tersebut diperlukan indikator kinerja agar
pengendalian pencemaran DAS dan Waduk/Danau terpadu, dapat diukur
tingkap pencapaiannya :
a. Indikator kinerja komponen pengelola DAS:
Operasi dan pemeliharaan waduk/danau yang makin efektif dan efisien
Pengelolaan lingkungan sempadan dan perairan waduk/danau yang makin
baik dan sehat
Kerjasama pengelolaan lingkungan waduk/danau yang makin baik

b. Indikator kinerja komponen kebijakan dan program pemerintah pusat:


Pelaksanaan program kali bersih dan superkasih yang makin efektif dan
diperluas
Peningkatan pengawasan pelaksanaan regulasi dan aturan yang makin
efektif
Pemberian insentif fiskal yang tepat pada pengelola sistem IPAL yang
berkinerja baik dan konsisten

c. Indikator kinerja komponen koordinasi dan Komitmen Dinas/Instansi di


daerah:
Kinerja staf dinas/instansi yang terkait dengan pengelolaan DAS dan
waduk/danau yang makin baik
Pelaksanaan program kegiatan dan pendanaan yang makin efektif
Angka cakupan fasilitas sanitasi masyarakat yang makin meningkat
Efektifitas sistem IPAL dan cakupan fasilitas IPAL makin meningkat

d. Indikator kinerja komponen partisipasi dan kepedulian swasta dan


masyarakat:
Jasa keahlian dan pelaksana lingkungan makin baik
Masyarakat sekitar waduk/danau makin meningkat kesejahteraannya
Investasi pengelolaan lingkungan makin meningkat

128 - Kementerian Pekerjaan Umum


Pusat Penelitian dan Pengembangan Sumber Daya Air

Kesadaran masyarakat untuk peduli dan mengawasi terjadinya


permasalahan lingkungan makin baik

e. Indikator kinerja komponen kerjasama litbang:


Permasalahan-permasalahan lingkungan dapat teridentifikasi dengan
lebih baik
Solusi-solusi ilmiah yang dihasilkan dapat diterapkan dengan baik dan
sesuai kondisi DAS dan waduk/danau
Rencana dan kebijakan pengembangan yang dihasilkan dapat diterapkan
dengan baik dan sesuai kondisi DAS dan waduk/danau

f. Indikator kinerja komponen teknologi pengendalian pencemaran air:


Pencemaran titik dan tersebar dapat dikurangi secara signifikan
Aplikasi teknologi konservasi makin meningkat
Kesadaran penggunaan teknologi 4 R (reused, recicle, reduced dan recovery)
di masyarakat yang makin meningkat

g. Indikator kinerja komponen penegakan hukum/aturan lingkungan:


Pelaksanaan penegakkan hukum dan aturan lingkungan makin baik dan
efektif
Kesadaran masyarakat untuk menerapkan hukum dan peraturan
lingkungan makin meningkat

Indikator-indikator yang terdapat pada tiap komponen-komponen tersebut


harus didefinisikan secara lebih detil dengan kriteria-kriteria yang dapat diukur
pada tiap tingkat pencapaian, sehingga keberhasilannya dapat diukur secara
kuantitatif. Hasil dari keberhasilan pelaksanaan program kegiatan pada tiap
komponen-komponen tersebut diharapkan dapat menghasilkan ekosistem DAS
dan waduk/danau yang sehat, fungsional dan berkelanjutan. Dengan demikian,
keberhasilan selanjutnya dapat diukur dengan kriteria Status Mutu Ekosistem
Danau (SMED) maupun Status Mutu Ekosistem Waduk hasil pengembangan
SMED.

Kementerian Pekerjaan Umum - 129


Eutrofikasi Waduk dan Danau : Permasalahan, Pemodelan dan Upaya Pengendalian

130 - Kementerian Pekerjaan Umum


Pusat Penelitian dan Pengembangan Sumber Daya Air

BAB VIII
KESIMPULAN DAN SARAN

8.1 Kesimpulan
Hasil pemaparan dan pembahasan dari bab-bab sebelumnya, dapat diberikan
kesimpulan sebagai berikut:
a. Danau dan waduk merupakan sumber daya air tawar yang berada di daratan
yang berpotensi sangat besar serta dapat dikembangkan dan didayagunakan
bagi pemenuhan berbagai kepentingan. Danau dan waduk merupakan
habitat air tergenang yang merupakan cekungan yang berfungsi menampung
air dan menyimpan air yang berasal dari air hujan, air tanah, mata air
ataupun air sungai. Perbedaan antara danau dan waduk terutama dalam
proses pembentukannya, karakteristik ekosistem dan dinamika pengaliran.
Danau dan waduk di Indonesia telah mengalami permasalahan eutrofikasi
yang menyebabkan gangguan terhadap fungsi dan keberlanjutan danau
atau waduk.
b. Selain akibat pencemaran dari luar perairan waduk atau danau, proses
timbulnya eutrofikasi juga bergantung pada kondisi waduk atau danau di
antaranya adalah: luas dan volume, keseimbangan hidrologi, debit inflow
dan outflow, arus dan hdrolik aliran serta kualitas badan air waduk atau
danau. Berdasarkan klasikasi tingkat trofikasi, maka waduk dan danau di
Indonesia cenderung diklasifikasikan dalam kondisi eutrofik-hipertrofik.
Kondisi tersebut berarti waduk dan danau di Indonesia cenderung tidak
layak sebagai sumber baku air minum, perikanan, tempat rekreasi,
transportasi air dan lainnya.
c. Penentuan status mutu air waduk dan danau ditentukan menggunakan
kriteria STORET, sedangkan status trofik perairan ditentukan berdasarkan
kriteria UNEP. Untuk menentukan status mutu ekosistem danau digunakan
kriteria Status Mutu Ekosistem Danau (SMED) yang terdiri dari indikator-
indikator ekosistem DAS, sempadan dan perairan danau. Sedangkan untuk
menentukan status mutu ekosistem pada waduk, maka penggunaan kriteria
SMED masih perlu pengkajian lebih lanjut.
d. Pengkajian kriteria SMED tersebut diantaranya meliputi penggabungan
beberapa indikator yang berkaitan dengan biodiversitas dan pemanfaatan
ar waduk; penyesuaian kriteria pada indikator erosi lahan yang dikaitkan
dengan desain rencana erosi waduk; Penggantian indikator dampak
pendangkalan danau dengan indikator dampak pendangkalan waduk
yang dikaitkan dengan prosentase volume terisi tampungan mati waduk;

Kementerian Pekerjaan Umum - 131


Eutrofikasi Waduk dan Danau : Permasalahan, Pemodelan dan Upaya Pengendalian

penyesuaian perhitungan jumlah kolam jaring apung yang diperbolehkan


pada perairan waduk; serta penambahan indikator korosivitas dan kualitas
sedimen dasar waduk.
e. Zat-zat hara yaitu senyawa nitrogen dan fosfor yang berlebih pada perairan
danau atau waduk akan memicu terjadinya kelimpahan plankton yang tidak
terkendali. Jenis plankton yang berlebih tersebut terutama adalah jenis
mikroorganisme primer yaitu fitoplankton. Kelimpahan fitoplankton
tersebut berpotensi menimbulkan kondisi perairan yang bersifat toksik
dan dapat menggangu operasional dan pemanfaatan waduk atau danau.
Gangguan operasional waduk atau danau diantaranya adalah gangguan
pemanfaatan air baku misalnya untuk air minum dan air irigasi, gangguan
peralatan operasional terutama peralatan PLTA, gamgguan kehidupan
perikanan misalnya kematian masal ikan, gangguan transportasi dan
estetika.
f. Sumber-sumber zat hara yang masuk ke perairan waduk atau danau
terutama adalah bersumber dari kegiatan manusia meliputi kegiatan
domestik, industri, pertanian dan peternakan yang limbahnya tidak
terkelola dengan baik. Sumber-sumber pencemar tersebut dapat berupa
sumber pencemar titik maupun sumber pencemar tersebar. Selain itu pula,
kegiatan perikanan budidaya atau kolam jaring apung (KJA) pada perairan
waduk dan danau juga menjadi sumber pemicu kelimpahan plankton akibat
limbah pakan berlebihan yang terakumulasi pada sedimen dasar.
g. Penentuan daya tampung waduk atau danau perlu memperhatikan sumber-
sumber pencemar, beban pencemar dan dampak terhadap pemanfaatan
serta kesinambungan fungsi waduk atau danau. Pemanfaatan model aplikasi
untuk pengelolaan waduk atau danau sangat diperlukan untuk
mempercepat pengambilan keputusan dan bila menggunakan data yang
real time. Sedangkan model dinamik diperlukan untuk melihat pengaruh
intevensi suatu kebijakan terhadap permasalahan pada perairan maupun
DAS dengan fungsi waktu.
h. Pengendalian pencemaran yang berakibat timbulnya permasalahan
Eutrofikasi pada waduk dan danau adalah membutuhkan perencanaan yang
baik dan implementasi yang benar dalam suatu kerangka kebijakan. Hal
tersebut sejalan dengan tujuan pengelolaan sumber daya air yaitu
penggunaan dan pengendalian badan air yang berkelanjutan berdasarkan
suatu pendekatan teknologi, sosial ekonomi, lingkungan dan pertimbangan
kesehatan manusia. Pengelolaan masalah eutrofikasi erat kaitannya dengan
tujuan dan kebijakan pengendalian kerusakan lingkungan yang disebabkan
oleh pencemaran serta tidak lestarinya penggunaan sumber daya alam.

132 - Kementerian Pekerjaan Umum


Pusat Penelitian dan Pengembangan Sumber Daya Air

i. Dampak eutrofikasi yang terjadi pada perairan waduk dan danau terutama
adalah pencemaran air baku, potensi kematian ikan masal, peningkatan
biaya pengolahan air minum, gangguan operasi dan pemeliharaan pada
bangunan operasional untuk pemanfaatan air waduk atau danau, serta
gangguan trasnportasi dan estetika badan air. Karena itu upaya
pengendalian perlu dilakukan yang diantaranya adalah melalui upaya
pengendalian alami, upaya pengendalian fisika-kimia-biologi dan upaya
bersama melalui peran serta mayarakat. Upaya pengendalian alami adalah
memanfaatkan predator fitoplankton misalnya ikan mola, Sedangkan upaya
pengendalian fisika-kimia-biologi dilakukan melalui diversi aliran,
pengerukan sedimen dasar, penambahan zat flokulan dan proses
bioremediasi. Hal penting lainnya adalah pengendalian pencemaran melalui
peran serta masyarakat misal kerjasama pengendalian pada sumber titik
dan tersebar pada DAS, sempadan maupun perairan waduk atau danau.
j. Pengendalian pencemaran secara terpadu sangat diperlukan dengan
melibatkan berbagai komponen-komponen komponen yang diantaranya
adalah komponen pengelola DAS dan waduk/danau, komponen koordinasi
dan implementasi program instansi terkait, partisipasi dan kepedulian
masyarakat termasuk investasi serta jasa keahlian dan pelaksanaan untuk
pengelolaan lingkungan, komponen teknologi pengendalian pencemaran
air termasuk teknologi konservasi, komponen kebijakan dan komitmen
pemerintah pusat, komponen penelitian dan pengembangan untuk
pengembangan dan solusi permsalahan seta komponen penegakan hukum
dan aturan lingkungan yang memayungi program dari tiaptiap komponen
tersebut.

8.2 Saran-saran
Untuk memastikan program pengendalian pencemaran berjalan efektif sangat
dibutuhkan dukungan kelembagaan dan dasar-dasar hukum yang baik, dan
kecukupan akses pada data yang benar, serta sumber daya manusia yang
terlatih dan teknologi yang tepat untuk pelaksanaan dan penerapan standar
untuk pengendalian sumber-sumber titik dan sumber tersebar yang beresiko
tinggi, sehingga lingkungan dan masyarakat terhindar permasalahan
lingkungan melalui strategi sebagai berikut:
a. Pemanfaatan teknologi ditujukan untuk penggunaan teknologi yang tepat
meminimumkan dan mengendalikan pencemaran, penurunan beban
pencemar pada sumber pencemar dan pemanfaatan prinsip 3 R yaitu reuse
atau penggunaan kembali, recycling atau daur ulang dan recovery atau
pengambilan kembali dari pembaungan, serta sistem pembuangan yang

Kementerian Pekerjaan Umum - 133


Eutrofikasi Waduk dan Danau : Permasalahan, Pemodelan dan Upaya Pengendalian

aman dari segi lingkungan. Selain itu, kebijakan pemanfaatan teknologi


lainnya adalah menurunkan kerusakan DAS, resiko terjadinya erosi dan
siltasi dari waduk dan danau dapat dikurangi. Perencaan jangka panjang
dan penggunaan teknologi yang tepat dengan biaya yang realtif rendah
adalah memerlukan perhatian khusus terutama di negara berkembang.
Kearifan tradisonal dan kebiasaan local, seharusnya dipertimbangkan
untuk pengendalian pencemaran dengan metoda-metoda yang tepat.
b. Partisipasi, kepedulian dan keterlibatan masyarakat adalah aspek yang
penting dalam program pengendalian pencemaran DAS yang akhirnya
masuk ke perairan waduk dan danau. Kegiatan tersebut terdiri dari
pembelajaran masyarakat terhadap dampak dari pencemaran air,
peningkatan kepedulian lingkungan melalui informasi dan program
pendidikan, promosi dari partisipasi publik dalam proses perencanaan
dan pembuatan keputusan serta peningkatan sensitifitas publick terhadap
penggunaan air secara rasional dan pencegahan pencemaran air.
c. Suatu kajian yang komprehensif dari suatu sumber daya air sangat
dibutuhkan untuk mengembangkan program pengendalian pencemaran air.
Program-program pemantauan yang sistematik pada kuantitas, kualitas
dan penggunaan sumber air permukaan dan tanah dan lebih disukai dengan
membentuk dan memanfaatkan pangkalan data Sistem Informasi Geografi
(SIG). Pemantauan sumber pencemaran titik dan tersebar termasuk
penggunaan pupuk kimia adalah penting dan seharusnya digabungkan
dengan survey lapangan secara teratur untuk kesesuaian dengan peraturan
dan baku-mutu kualitas air.
d. Program peningkatan kapasitas yang membangun keahlian permasalahan
air pada staf BBWS/BWS dan para pemangku kepentingan sumber daya air.
Pengendalian pencemaran air dan ekosistem membutuhkan peningkatan
kapsitas termasuk infrastruktur dan staf yang minimum dapat
mengidentifikasi dan mengimplementasikan solusi secara teknis dan
mampu menegakkan aturan dan hukum.
e. Mekanisme penggunaan instrument ekonomi diantaranya digunakan
sebagai insentif untuk mendorong adopsi teknologi yang berfokus pada
pengendalian pencemaran seharusnya diimplementasikan. Mekanisme
semacam ini, termasuk hak kepemilikan intelektual, pemanfaatan air,
instrument fiskal dan finansial, adalah secara perlahan menjadi suatu
komponen yang subtantif dari alat pengelolaan yang digunakan untuk
pengendalian pencemaran air dan keputusan pengelolaan air.
f. Pengembangan nilai ekonomi air dan internalisasi biaya lingkungan menuju
suatu kegiatan produktif. Kebijakan ini untuk mengembangkan suatu

134 - Kementerian Pekerjaan Umum


Pusat Penelitian dan Pengembangan Sumber Daya Air

kerangka pengelolaan sumber daya air yang ramah lingkungan. Keterlibatan


pihak swasta berhubungan dengan mekanisme ekonomi dan didesain untuk
insentif menyesuaikan hukum lingkungan, pengembangan pengelolaan
kualitas air, pengendalian pencemaran air, berdasarkan analisis cost-
benefit.
g. Kelembagaan dan kerangka kerja untuk program penurunan pencemaran
untuk memastikan secara fungsi dan implemetasi berkelanjutan dari
kebijakan dan tujuantujuan. Hal ini ditegaskan untuk menguatkan dan
membangun secara teknis dan kebijakan untuk prioritas lingkungan seperti
pengendalian pencemaran, pengelolaan limbah dan perbaikan kualitas
air. Pengembangan program tersebut membutuhkan dukungan legislative
dan struktur management dalam rencana penegelolaan kualitas air melalui
tata-ruang, AMDAL adalah kunci utama program penurunan pencemaran
air. Peraturan dan hukum lingkungan yang telah terbentuk membutuhkan
penegakan hukum yang konsisten.
h. Selain itu untuk kerangka kelembagaan, penguatan secara kapasitas secara
teknik dan kelembagaan mencakup pembentukan mekanisme tingkat tinggi
untuk memformulasikan kebijakan sumber daya air, hukum dan standar
teknik. Hal ini membetuhkan kerjasama antar pemangku kepentingan dari
tingkat pengguna dan masyarakt lokal, NGO, sector swasta maupun
pemerintah
i. Pembentukan jejaring kerjasama diperlukan baik dalam skala DAS, nasional
regional maupun global untuk pengelolaan waduk dan danau yang bernilai
strategis, sehingga pemanfaatan waduk dan danau tersebut tetap lestari.
Balai Besar Pengelola waduk dan Wilayah Sungai (BBWS) atau Balai
Wilayah Sungai (BWS) bekerjasama membuat program pengelolaan DAS
dan waduk. Universitas dan lembaga penelitian dan pengembangan dapat
membantu dalam hal litbnag dan ususlan kebijakan dari hasil litbnag
tersebut. Sedangkan sektor swasta dapat berpartisipasi dalam pengelolaan
potensi wisata waduk dan danau. Pengelola waduk atau BBWS/BWS dapat
bekerjasama dengan LSM serta masyarakat sekitar.

Kementerian Pekerjaan Umum - 135


Eutrofikasi Waduk dan Danau : Permasalahan, Pemodelan dan Upaya Pengendalian

136 - Kementerian Pekerjaan Umum


Pusat Penelitian dan Pengembangan Sumber Daya Air

DAFTAR PUSTAKA

Bab I
Brahmana, Moelyo,M, Rahayu,S.1993. “Eutrofikasi Waduk Saguling”, Jurnal
litbang Pengairan. 8 (28). Puslitbang Pengairan, Bandung
Bukit, N.T., 1995. “Water Quality Conservation for The Citarum River in West
Java”. Water Science Technology Vol.31(9), Pergamon, London, pp.1-10.
ICES.2009. “Human Induced Eutrophication is Minimized Especially Adverse
Effect”. Final Report, European Commision Jorgensen (2001) Lehmusluto,P.,
B.Machbub, Bukit,.N.T., Rusmiputro. S., F.Achmad., L.Boer., Brahmana, S.,
1995. “National Inventory of The Major Lakes and Reservoir in Indonesia”,
Expedition Indodanau Technical Report, In Cooperation RIWRD and
University of Helsinky (direvisi 1997)
Machbub,B., Fulazzaky, M.A., Brahmana, S. dan.Yusuf, I.A., 2003. “Eutrophication
of Lakes and Reservoir and Its Restoration in Indonesia”. Jurnal Litbang
Pengairan Vol.17(50) , Puslitbang Pengairan, Bandung.
Mukerjee,A,2009. ”Lake watershed management in developing countries through
community participation: a model”. Proseding Konferensi Danau
Berkelanjutan,13-15 Agustus. Bali
Peraturan Menteri Lingkungan Hidup Nomor 28/2009 Pasal 1
Straskraba,M and Tundisi, J.G. “Guidelines of Lake Management Volume 9:
Reservoir Water Quality Management”, ILEC,1999
Hartoto,D.I., 2001. “Dinamika Populasi Plankton Sebagai Indikator Pencemaran
pada Perairan Waduk”, Pusat Penelitian Limnologi-LIPI, Cibinong
Undang-undang Nomor: 24 tahun 2007 tentang Sumber Daya Air

Bab II
Brahmana, Moelyo,M, Rahayu,S.1993. “Eutrofikasi Waduk Saguling”, Jurnal
litbang Pengairan. 8 (28). Puslitbang Pengairan, Bandung

Kementerian Pekerjaan Umum - 137


Eutrofikasi Waduk dan Danau : Permasalahan, Pemodelan dan Upaya Pengendalian

Irianto, E.W., Yuasa. A, Machbub,B., Sudjono,P., 2006. “The Influence of Cascade


Reservoirs in The Citarum Watershed to The Water Quality of Citarum
River”. Dipresentasikan pada The fourth Southeast Asian Water Environment,
6-8 Desember,AIT Bangkok-Thailand,
Lehmusluto,P., B.Machbub, Bukit,.N.T., Rusmiputro. S., F.Achmad., L.Boer.,
Brahmana, S., 1995. “National Inventory of The Major Lakes and Reservoir
in Indonesia”, Expedition Indodanau Technical Report, In Cooperation
RIWRD and University of Helsinky (direvisi 1997)
Lehmusluto,P., B.Machbub, Bukit,.N.T., Rusmiputro. S., F.Achmad., L.Boer.,
Brahmana, S., 1995. “National Inventory of The Major Lakes and Reservoir
in Indonesia”, Expedition Indodanau Technical Report, In Cooperation
RIWRD and University of Helsinky (direvisi 1997).
Lehmusluto,P.,2006. “From Assumptions to Knowledge-Based Water Resources
Management Ecological and Environmental Issues of Lakes as Examples”.
Proceeding on International Seminar Celebration the 70th Anniversary of
the Research Center for Water Resources, Bandung
Machbub,B., Fulazzaky, M.A., Brahmana, S. dan.Yusuf, I.A., 2003. “Eutrophication
of Lakes and Reservoir and Its Restoration in Indonesia”. Jurnal Litbang
Pengairan Vol.17(50) , Puslitbang Pengairan, Bandung.
Sukimin, S. 2004. Pengelolaan Waduk Kaskade Sungai Citarum: Tinjauan Aspek
Ekologi Perairan.
Sulastri, Ami A Meutia dan Tri Suryono, 2004. Blooming Algae Dinoflagelata
Ceratium hirudinella di Waduk Karangkates, Malang Jawa Timur.,
Proseding Kolokium Puslitbang SDA, Bandung

Bab III
Kementerian Lingkungan Hidup, 2009. Peraturan Meneter Lingkungan Hidup
Nomor : 8/2009 Tentang Daya Tampung Beban Pencemaran Air Danau dan
Waduk
Kementerian Lingkungan Hidup, 2003. Keputusan Men LH Nomor 114/2003
tentang Pedoman Pengkajian untuk Menetapkan Kelas Air
Brahmana, S. dan Achmad,F., 2001. “Korosifitas Air Waduk Saguling dan waduk
Cirata terhadap Turbin dan Beton”. Jurnal Litbang Pengairan Vol.15(46),
Bandung

138 - Kementerian Pekerjaan Umum


Pusat Penelitian dan Pengembangan Sumber Daya Air

Brahmana, dkk,1993, PP: Produktifitas Primer. Jurnal Litbnag Pengairan. 28(8),


Puslitbang Pengairan, Bandung
Brahmana,S. Moelyo,M dan Rahayu, S (1993). Eutrofikasi Waduk Saguling. Jurnal
Litbang Pengairan, 8(28), Puslitbang Pengairan, Bandung
Sulastri, Ami A Meutia dan Tri Suryono, 2004. Blooming Algae Dinoflagelata
Ceratium hirudinella di Waduk Karangkates, Malang Jawa Timur.,
Proseding Kolokium Puslitbang SDA, Bandung
UNEP-IETC-ILEC, 2001. Lakes and Reservoir Water Quality: The Impact of
Eutrophication, Shiga-Japan. Vol.3, ISBN: 4-906356-31-1
Machbub,B., Fulazzaky, M.A., Brahmana, S. dan.Yusuf, I.A., 2003. “Eutrophication
of Lakes and Reservoir and Its Restoration in Indonesia”. Jurnal Litbang
Pengairan Vol.17(50) , Puslitbang Pengairan, Bandung.
Novotny, V.,Campbell,N., D’Arcy,B., Frost,A dan Sansom,A.,2004., Diffuse Pollution,
An Introduction to The Problems and Sollutions. IWA Publishing, UK.

Bab IV
Anderson, D,M., J,M, Burkholder., W,P, Cochlan., P,M, Gilbert., C,J, Gobler., C,A,
Heil., R,M, Kudela., M,L, Parsons., J,E, Jack Rensel., D,W, Townsend., V,L,
Trainer., G,A, Vargo., 2008, “Harmful Algall Blooms And Eutrophication:
Examining Linkages From Selected Coastalregion Of The United Stated”,
Harmful Algae., 8, 39-53.
Astuti, Bambang.1992. Sistem Terpadu Dalam Pengelolaan Lingkungan Waduk/
Situ Saguling/Cirata. Puslitbang Perikanan, Jakarta
Chapra, Steven.C., 1997. Surface Water Quality Modelling. Mc Graw Hill Book
Inc, NewYork
Fahmijani,Trijanto, A.Lukman, dan.Meutia,A., 2009. Keramba Jaring Apung
Ramah Lingkungan, Konferensi Danau Berkelanjutan. Denpasar-Bali
Gunawan,W., Zahidah dan Mulyanti,W., 2006. “Model Eutrofikasi untuk
Merancang Kebijakan Pengelolaan Waduk yang Berkelanjutan melalui
Sistem Dinamik”. Laporan Riset DIKTI.
Haarcoryati, A.,2008. Hubungan Rasio N/P dengan kecenderungan dominasi
komunitas mikroalga pada waduk-waduk di DAS Citarum., Buletin Keairan
Vol.1(1), Puslitbang SDA, Bandung
Goldman,C.R dan Horn, A.J.,1994. Limnology. 2nd. Mc Graw Hill.Inc

Kementerian Pekerjaan Umum - 139


Eutrofikasi Waduk dan Danau : Permasalahan, Pemodelan dan Upaya Pengendalian

ICES.2009. “Human Induced Eutrophication is Minimized Especially Adverse


Effect”. Final Report, European Commision
Irianto,E.W., Machbub,B,. Ilyas, M.T. dan Sudarna.,A.,2001 . Konsep pengelolaan
jaring apung peduli lingkungan dalam Rangka menjaga kualitas air waduk”
Buletin Keairan 2001,
M.Vesjak, T.Savsek, dan E.A. Stuhler.1997. System Dynamik of Eutrophication
process in Lakes. European Journal of Operational research. Elsevier
Science, London, hal.442-451.
Machbub,B., Fulazzaky, M.A., Brahmana, S. dan.Yusuf, I.A., 2003. “Eutrophication
of Lakes and Reservoir and Its Restoration in Indonesia”. Jurnal Litbang
Pengairan Vol.17(50) , Puslitbang Pengairan, Bandung.
Praseno, D,P. dan Sugestiningsih., 2000, Red tide di perairan Indonesia, Pusat
Penelitian dan Pengembangan Oseanologi – LIPI, Jakarta
Rees, J.A.,2008. “Urban Water and Sanitation Services; An IWRM Approach”.
Global Water partnership Technical Committee.
Straskraba,M and Tundisi, J.G. “Guidelines of Lake Management Volume 9:
Reservoir Water Quality Management”, ILEC,1999
Sumarwoto,O.2004. “Pengelolaan Jaring Apung. Seminar Pengelolaan Waduk
dan Danau”. Seminar Pengelolaan Waduk dan Danau, 12 Oktober,
Puslitbang SDA
Wiadnyana, N,N., 1996, Mikroalga berbahaya di Indonesia. Oseanology dan
Limnology di Indonesia, 29, 15 – 28.
Zahidah , 2007. “Komunitas Fitoplankton di Zona Karamba Jaring Apung (KJA)
dan Non KJA di Waduk Cirata”, Laporan Teknis Fakultas Perikanan dan
Kelautan UNPAD, Bandung.

Bab V
Caltare,Craig. 2005. “Remote Sensing Applications for Water Quality Testing”.
http://www.nmt.edu/zhou/HYD571.html.
Chapra,Steven..C,. 1997. Surface Water Quality Modelling, Mc Graw Hill Inc.,
New-York
Flowers, J.D, Hauck,L.M. dan Kiesling,L.R., 2001. “Water Quality Modelling of
Lake Waco Using CEQual-W2 for Assesment of Phosphorous Control
Strategies”. USDA: Lake Waco-Bosque River Initiative, Texas Institute for
Applied Environmental Research, Texas

140 - Kementerian Pekerjaan Umum


Pusat Penelitian dan Pengembangan Sumber Daya Air

Gunawan,W., Zahidah dan Mulyanti,W., 2006. “Model Eutrofikasi untuk


Merancang Kebijakan Pengelolaan Waduk yang Berkelanjutan melalui
Sistem Dinamik”. Laporan Riset DIKTI.
Irianto, E.W., Yuasa. A, Sudjono,P., 2009. “Application Study of Landsat Images
to Support The Water Quality Management on Polluted reservoirs in Java
Island”. Southeast Asian Water Environment Vol.3 Editor: Takizawa,S.,
Kurisu,F., dan Satoh,H, ISBN:9781843392767. IWA Publishing, , London,
Kuo,J.T., Hsieh, P.H. dan Jou,S.W., 2007. “Lake Eutrophication Management
Modelling Using Dinamic Programming ”. Journal of Environmental
Management. Elsevier Ltd.,
Machbub,B., 2007. Kajian Daya Dukung Perairan Danau, Laporan Teknis
Kementerian Negara Lingkungan Hidup.
Sukimin, S. 2004. Pengelolaan Waduk Kaskade Sungai Citarum: Tinjauan Aspek
Ekologi Perairan. Dipresentasikan pada Seminar Pengelolaan Waduk dan
Danau, 13 Oktober, Puslitbang Sumber Daya Air, Bandung
US EPA, 2008. Manual Water Analysis Simulation Program (WASP). www.usepa.
com

Bab VI
Brahmana, Moelyo,M, Rahayu,S.1993. “Eutrofikasi Waduk Saguling”, Jurnal
litbang Pengairan. 8 (28). Puslitbang Pengairan, Bandung
Brahmana.S, Suyatna. U., Fanshury, R dan Bahri. S., 2002. “Pencemaran Air dan
Eutrofikasi Waduk Karangkates dan Upaya Penanggulangannya”. Jurnal
Litbang Pengairan Vol.12(49), Pusat Litbang Pengairan, Bandung
Brahmana dan Ahmad,F. 2004. Korosifitas Air W Aduk Saguling dan Waduk
Cirata Terhadap Turbin Dan Beton, .Jurnal Litbang Pengairan.Vol. 15. No.
46. Th. 2001, Bandung
Cooke, G.D., R.T. Heath, R.H. Kennedy, dan M.R. Mc Comas. 1978. Effects Of
Diversion And Alum Application On Two Eutrophic Lakes. EPA-600/3-81-012
Cooke dan Dennis G. 1993. Restoration and Management of Lakes and Reservoirs,
Second Edition. Lewis Publishers.
Gupta,R.S. dan Deshora,H.S., 1977. Drinking Water Quality Enhancement Through
Source Protection: Algal Pollutants and Potable Water. Editor:Pojasek, R.B.,
ISBN: 0-250-40388-6. Ann Arbor Science Publisher.Inc, Michiigan-USA,
pp:431-4440

Kementerian Pekerjaan Umum - 141


Eutrofikasi Waduk dan Danau : Permasalahan, Pemodelan dan Upaya Pengendalian

Hudnell,K., Hansen, C.K., Pattarkine, VM. 2007. Approaches to freshwater HAB


control sustainable lake water quality restoration by inhibiting harmful
algal blooms using solarpowered technology,
Lehmusluto,P., B.Machbub, Bukit,.N.T., Rusmiputro. S., F.Achmad., L.Boer.,
Brahmana, S., 1995. “National Inventory of The Major Lakes and Reservoir
in Indonesia”, Expedition Indodanau Technical Report, In Cooperation
RIWRD and University of Helsinky (direvisi 1997)
Lehmusluto,P.,2006. “From Assumptions to Knowledge-Based Water Resources
Management Ecological and Environmental Issues of Lakes as Examples”.
Proceeding on International Seminar Celebration the 70th Anniversary of
the Research Center for Water Resources, Bandung
Machbub,B., Fulazzaky, M.A., Brahmana, S. dan.Yusuf, I.A., 2003. “Eutrophication
of Lakes and Reservoir and Its Restoration in Indonesia”. Jurnal Litbang
Pengairan Vol.17(50) , Puslitbang Pengairan, Bandung.
Sala, L. and Mujeriego R..2001, Cultural eutrophication control through water
reuse, Water Science and Technology, Vol.43(10), IWA Publishing,pp.109-116
Suxia,Liu dan Boxin, Jin., 1991 Diverting Changjiang River Water To Control
Eutrophication In Lake Dongfu
Sethunge, S., Pathmalal, M.M dan Jayasinghe,S.,2009, Microstrainer for removal
of algae in drinking water treatment, Report to Research & Development
Section, National Water Supply and Drainage Board, Srilangka
Soekistijono,2004. “Peningkatan peran serta masyarakat dalam pengelolaan
waduk Ir. Sutami (waduk karangkates) di Jawa Timur”. Proseding Seminar
Pengelolaan Waduk dan Danau di Indonesia, Puslitbang SDA, Bandung
Wisconsin Departemen of Natural Resources.2003,.Alum Treatments To Control
Phosphorus In Lakes, www. dnr.state.wi.us/org/water/…/alumbrochure.pdf
(diakses Agustus 2009)
Sulastri, Ami A Meutia dan Tri Suryono, 2004. “Blooming Algae Dinoflagelata
Ceratium hirudinella di Waduk Karangkates, Malang Jawa Timur”., Proseding
Kolokium Puslitbang SDA, Bandung
Sukimin, S. 2004. Pengelolaan Waduk Kaskade Sungai Citarum: Tinjauan Aspek
Ekologi Perairan.
UNEP-IETC-ILEC, 2001. Lakes and Reservoir Water Quality: The Impact of
Eutrophication, Shiga-Japan. Vol.3, ISBN: 4-906356-31-1

142 - Kementerian Pekerjaan Umum


Pusat Penelitian dan Pengembangan Sumber Daya Air

UNEP,2010. “Plan and Management of Lakes and Reservoirs: An Integrated


Approach to Eutrophication”. www.unep .org.jp/ietc/publication/inde_
pub.asp (diakses Februari 2010)
Jorgensen,P.L., 2007. “IWRM in EECA Countries”. Helsinki
Klapper, 1991. “Control Eutrophication In Inland Waters”. Ellis Horwood
Limited. England
Ryding,S.O dan Rast,W., 1989. The Control of Eutrophication of Lakes and
Reservoir. The ParthenonPublishing Group, New York
Boyd, C.E., 1983. “Evapotranspiration/Evaporation (E/E0) Ratios For Aquatic
Plants”.Jurnal Aquatic Planta Management,25:1-3.

Bab VII
Kementerian Lingkungan Hidup, 2010. Konferensi Nasional Danau Berkelanjutan,
Denpasar-Bali 13-15 Agustus 2009 (www.LH.go.id, 20 maret 2010)
Novotny,V., Campbell,N., D’Arcy, B., Frost,A dan Sansom,A., 2004. An Introduction
to The Problems and Solutions. IWA Publishing, New York,pp:11-12

Kementerian Pekerjaan Umum - 143


Eutrofikasi Waduk dan Danau : Permasalahan, Pemodelan dan Upaya Pengendalian

144 - Kementerian Pekerjaan Umum


Pusat Penelitian dan Pengembangan Sumber Daya Air

LAMPIRAN

ƵƚƌŽĨŝŬĂƐŝtĂĚƵŬĚĂŶĂŶĂƵ͗
WĞƌŵĂƐĂůĂŚĂŶ͕WĞŵŽĚĞůĂŶĚĂŶhƉĂLJĂWĞŶŐĞŶĚĂůŝĂŶ.

Kementerian Pekerjaan Umum - 145


Eutrofikasi Waduk dan Danau : Permasalahan, Pemodelan dan Upaya Pengendalian

146 - Kementerian Pekerjaan Umum


Pusat Penelitian dan Pengembangan Sumber Daya Air

Kementerian Pekerjaan Umum - 147


Eutrofikasi Waduk dan Danau : Permasalahan, Pemodelan dan Upaya Pengendalian

148 - Kementerian Pekerjaan Umum


Pusat Penelitian dan Pengembangan Sumber Daya Air

Kementerian Pekerjaan Umum - 149


Eutrofikasi Waduk dan Danau : Permasalahan, Pemodelan dan Upaya Pengendalian

150 - Kementerian Pekerjaan Umum

Anda mungkin juga menyukai