WĞƌŵĂƐĂůĂŚĂŶ͕WĞŵŽĚĞůĂŶ,ĚĂŶhƉĂLJĂWĞŶŐĞŶĚĂůŝĂŶ
ƵƚƌŽĨŝŬĂƐŝtĂĚƵŬĚĂŶĂŶĂƵ
WĞƌŵĂƐĂůĂŚĂŶ͕WĞŵŽĚĞůĂŶ,ĚĂŶhƉĂLJĂWĞŶŐĞŶĚĂůŝĂŶ
ŬŽtŝŶĂƌ/ƌŝĂŶƚŽ
Z͘t͘dƌŝǁĞŬŽ
,ĂŬĐŝƉƚĂΞƉĂĚĂƉĞŶƵůŝƐĚĂŶĚŝůŝŶĚƵŶŐŝhŶĚĂŶŐͲƵŶĚĂŶŐ,ĂŬ
ƉĞŶĞƌďŝƚĂŶƉĂĚĂ/dWƌĞƐƐ
ŝůĂƌĂŶŐŵĞŶŐƵƚŝƉƐĞďĂŐŝĂŶĂƚĂƵƉƵŶƐĞůƵƌƵŚďƵŬƵŝŶŝĚĂůĂŵďĞŶƚƵŬĂƉĂƉƵŶ
ƚĂŶƉĂŝnjŝŶĚĂƌŝƉĞŶƵůŝƐĚĂŶƉĞŶĞƌďŝƚ͘
ƵƚƌŽĨŝŬĂƐŝtĂĚƵŬĚĂŶĂŶĂƵ͗WĞƌŵĂƐĂůĂŚĂŶ͕WĞŵŽĚĞůĂŶ,
ĚĂŶhƉĂLJĂWĞŶŐĞŶĚĂůŝĂŶ
WĞŶƵůŝƐ ͗ŬŽtŝŶĂƌ/ƌŝĂŶƚŽΘZ͘t͘dƌŝǁĞŬŽ
ĚŝƚŽƌ ͗ĚŝtĂƌƐŝĚŝ
ĞƐĂŝŶĞƌ^ĂŵƉƵů ͗ŶŐŐŽƌŽ
ĞƚĂŬĂŶ/ ͗ϮϬϭϵ
/^E ͗978-623-7165-26-2
SAMBUTAN
MENTERI PEKERJAAN UMUM
Diiringi dengan rasa syukur kehadirat Allah SWT, saya menyambut baik atas
penerbitan buku ƵƚƌŽĨŝŬĂƐŝtĂĚƵŬĚĂŶĂŶĂƵ͗WĞƌŵĂƐĂůĂŚĂŶ͕WĞŵŽĚĞůĂŶĚĂŶ
hƉĂLJĂ WĞŶŐĞŶĚĂůŝĂŶ. Melalui buku ini dapat diperoleh informasi bagi
masyarakat, khususnya para pemangku kepentingan waduk dan danau,
sehinggan waduk dan danau yang merupakan bagian dari pengelolaan sumber
daya air terpadu di Indonesia dapat tetap dijaga kelestarian dan kelangsungan
fungsifungsinya. Karena itu, pembangunan infrastruktur SDA untuk mengelola
waduk dan danau tersebut, sebaiknya merupakan suatu konsep pengembangan
wilayah yang berwawasan dan terpadu.
Saya berharap kiranya buku ini dapat dijadikan sebagai sumber informasi
dan pedoman atau acuan bagi masyarakat pemakai dan pihak-pihak terkait
lainnya, dalam melaksanakan pembangunan infrastruktur bidang sumber daya
air yang ramah lingkungan. Dengan informasi ini diharapkan masyarakat
pemakai dapat ikut berperan serta dalam upaya-upaya pengelolaan SDA serta
pengamanan infrastruktur tersebut dengan baik agar dapat meningkatkan
manfaat pengelolaan sumber daya air untuk kesejahteraan rakyat.
Djoko Kirmanto
Berkat Rahmat Tuhan Yang Maha Esa dan kerja keras para Peneliti Balai
Lingkungan Keairan – Pusat Penelitian dan Pengembangan Sumber Daya Air
bekerja sama dengan staf pengajar Pasca Sarjana Universitas Parahyangan
dan Jurusan Teknik Lingkungan ITB, telah diterbitkan buku ƵƚƌŽĨŝŬĂƐŝtĂĚƵŬ
ĚĂŶ ĂŶĂƵ͗ WĞƌŵĂƐĂůĂŚĂŶ͕ WĞŵŽĚĞůĂŶ ĚĂŶ hƉĂLJĂ WĞŶŐĞŶĚĂůŝĂŶ͘ Buku Ini
memberikan informasi, data teknis dan upaya pengendalian pemasalahan
eutrofikasi pada waduk dan danau, yang merupakan bagian dari pengelolaan
sumber daya air secara terpadu.
Waduk dan Danau memiliki fungsi-fungsi yang penting diantaranya, sebagai
sumber penyedia air baku, pengendalian banjir, pembangkit energi, dan
merupakan bagian dari daur hidrologi yang harus dijaga kelestariannya.
Semoga dengan terbit dan disebarluaskannya buku ƵƚƌŽĨŝŬĂƐŝ tĂĚƵŬ ĚĂŶ
ĂŶĂƵ͗WĞƌŵĂƐĂůĂŚĂŶ͕WĞŵŽĚĞůĂŶĚĂŶhƉĂLJĂWĞŶŐĞŶĚĂůŝĂŶini, Badan Litbang
PU dapat memberikan andil penting dalam pembangunan infrastruktur bidang
sumber daya air di Indonesia. Kepada Pusat Litbang Sumber Daya Air, kami
sampaikan ucapan terima kasih atas upaya penelitian ini sehingga menjadi
buku acuan yang dapat dimanfaatkan secara luas demi kesejahteraan rakyat
dan pembangunan bangsa dan negara Indonesia.
Dengan mengucapkan puji syukur kehadirat Tuhan Yang Maha Kuasa, penulis
telah menyelesaikan Tulisan tentang Permasalahan Waduk dan Danau. Waduk
dan danau merupakan bagian dari sumber daya alam yang harus dilestarikan
keberadaannya, agar kehidupan di alam termasuk manusia tetap dapat
menjalankan fungsinya dan memenuhi kebutuhannya secara wajar. Namun
demikian, akibat tingginya kerusakan pada DAS termasuk tingginya beban
pencemaran pada badan air yang menyebabkan timbulnya kerusakan ekosistem
waduk dan danau, terutama permasalahan eutrofikasi.
Terkait dengan permasalahan tersebut, penulis berupaya menyampaikan
gagasan untuk mengidentifikasi permasalahan-permsalahan dan upaya untuk
mengurangi dampak terjadinya eutrofikasi melalui langkah pengelolaan
ekosistem waduk dan danau secara terpadu, mulai dari ekosistem DAS,
ekosistem sempadan maupun ekosistem pada perairan waduk dan danau.
Karena itu, tulisan ini diberi judul “Eutrofikasi Waduk dan Danau:
Permasalahan, Pemodelan dan Upaya Penanganan”, Melalui tulisan ini,
penulis berharap para pembaca dapat lebih memahamikonsep-konsep
pengelolaan ekosistem waduk dan danau secara terpadu, sehingga dampak
permasalahan eutrofikasi yang timbul pada badan air dapat dikurangi.
Penulis menyadari bahwa, tulisan ini tidak mungkin diselesaikan tanpa
bantuan dan dukungan pihak-pihak yang telah memberikan bantuan berupa
wawancara, data-data maupun makalahmakalah hasil kajian yang bermanfaat
dalam penyusunan tulisan ini. Karena itu, pada kesempatan ini pula penulis
mengucapkan terima-kasih kepada pihak-pihak yang membantu penulisan ini,
terutama kepada:
a. Dr.Ir.Arie Setiadi Moerwanto,MSc., selaku Kepala Pusat Litbang Sumber
Daya Air beserta jajarannya yang telah mengizinkan penulis untuk
menggunakan data-data dan kajian-kajian yang ada di Puslitbang SDA;
b. Dr.Ir Badruddin Machbub, Dipl.HE., profesional dan Ahli Peneliti Utama
Bidang Lingkungan Keairan yang telah memberikan waktunya untuk
berdiskusi dan membagi pengalamannya dengan penulis;
c. Dr. Simon Brahmana,CES., Peneliti Utama Bidang Teknik Lingkungan Sumber
Daya Air yang bersedia berbagi data dan makalah hasil kajian untuk
melengkapi tulisan ini;
d. Ir. Ratna Hidayat, Peneliti Madya Bidang Teknik Lingkungan Sumber Daya
Air yang juga bersedia berbagi data serta hasil kajian untuk
mengembangkan tulisan ini; dan
Halaman
KATA SAMBUTAN
Sambutan Menteri Pekerjaan Umum ..................................................... i
Sambutan Kepala Badan Litbang Pekerjaan umum ............................ iii
Sambutan Kepala Puslitbang sumber Daya Air ..... ............................ v
BAB I
PENDAHULUAN
pengelolaan sumber daya air secara terpadu, seperti yang telah diamanatkan
dalam UU Nomor: 4 Tahun 2004. Selain itu, tulisan ini diharapkan dapat menjadi
rujukan dalam pengelolaan ekosistem di sekitar kawasan danau dan waduk,
dan menjadi pedoman terwujudnya langkah-langkah pengelolaan danau dan
waduk secara efisien untuk mencegah timbulnya penyuburan yang berlebihan
dengan mempertimbangkan aspek lingkungan serta keterpaduan antar sektor.
Tulisan ini diharapkan juga memberi manfaat antara lain: (1)
teridentifikasinya potensi dan permasalahan terjadinya proses eutrofikasi
atau penyuburan di kawasan danau dan waduk; (2) terwujudnya strategi
pengelolaan danau dan waduk yang berwawasan lingkungan terutama untuk
mencegah timbulnya penyuburan berlebihan; (3) terumuskannya kebutuhan
sarana dan prasarana yang mendukung pengembangan dan pengelolaan danau
dan waduk; serta (4) terbentuknya acuan pengelolaan waduk dan danau secara
ramah lingkungan dan berkelanjutan.
Pada Bab III ini dijelaskan kriteria status ekosistem danau, indikator
potensial timbulnya eutrofikasi, serta klasifikasi eutrofikasi berdasarkan
standar yang telah ditetapkan, baik secara nasional maupun internasional.
Penyebab timbulnya eutrofikasi dibahas pada Bab IV. Dalam bab ini
dibahas beberapa penyebab timbulnya eutrofikasi, antara lain meningkatnya
kelimpahan plankton yaitu fitoplankton dan zooplankton, meningkatnya zat
hara yang terdiri dari konsentrasi senyawa nitrogen terlarut serta senyawa
fosfor sebagai faktor pembatas. Selain itu, pada bab ini juga dibahas sumber
pencemaran dari kolam jaring apung (KJA) dan pencemaran DAS yang terdiri
dari berbagai sumber, yaitu sumber alami, perkotaan, pertanian dan
peternakan.
Untuk dapat melakukan pengelolaan dengan baik diperlukan pengetahuan
tentang proses terjadinya eutrofikasi, yang dijelaskan dengan pemodelan
secara matematik. Masalah tersebut dibahas dalam Bab V yang membahas
korelasi antara parameter eutrofikasi, penentuan daya tampung beban
pencemaran, contoh model aplikasi seperti CE-Qual-2E dan WASP (Water
Analysis Simulation Programs) juga pemodelan dinamik untuk pengambilan
keputusan dan pemodelan kualitas air waduk melalui teknologi penginderaan
jauh.
Timbulnya permasalahan eutrofikasi pada danau dan waduk
menyebabkan berbagai dampak terhadap estetika, ekologi, kesehatan manusia
serta dampak secara fisik dan ekonomi. Dengan teridentifikasinya dampak
permasalahan eutrofikasi, maka dapat dilakukan upaya-upaya
pengendaliannya. Upaya-upaya yang dibahas dalam penulisan ini adalah
upaya secara alami, secara fisika-kimia dan upaya terpadu melalui
pengelolaan DAS. Permasalahan dan upaya pengendalian eutrofikasi tersebut
dibahas dalam Bab VI pada laporan ini. Pada Bab VI ini juga dibahas mengenai
pendekatan-pendekatan yang harus dilakukan untuk menghindarkan waduk
dan danau dari ancaman eutrofikasi. Sedangkan strategi untuk pengelolaan
terpadu ekosistem waduk dan danau, baik dalam lingkup nasional maupun
dalam skala DAS, dibahas pada Bab VII. Pada Bab VII tersebut dibahas pula
analisis SWOT untuk mengidentifikasi kekuatan, kelemahan, peluang dan
ancaman pada tiap komponen pendukung keberhasilan pengendalian
pencemaran DAS dan waduk atau danau secara terpadu.
Penulisan ini diakhiri pada Bab VIII dengan bab penutup yang berisi
kesimpulankesimpulan yang bermanfaat untuk pengembangan pengelolaan
danau dan waduk yang berwawasan lingkungan terutama dalam rangka
mencegah atau bahkan mengatasi timbulnya permasalahan eutrofikasi.
BAB II
KONDISI WADUK DAN DANAU DI INDONESIA
waduk besar adalah bila tinggi bendungan lebih dari 15 meter dengan daya
tampung minimal 500.000 m3. Sedangkan embung merupakan waduk kecil
dan tinggi bendungannya kurang dari 15 m. Embung banyak dibangun di Nusa
Tenggara Timur dan Nusa Tenggara Barat.
Pembangunan waduk besar di Indonesia sampai tahun 1995 kurang lebih 100
buah, yang sekitar 80% nya berlokasi di Pulau Jawa. Sejak terjadi krisis moneter
pada tahun 1998, pembangunan waduk besar di Indonesia belum dilakukan
lagi, kecuali perencanaan Waduk Jatigede di Kabupaten Sumedang, Provinsi
Jawa Barat. Sistem tata air waduk berbeda dengan sistem tata-air danau alami.
Pada waduk, komponen tata airnya telah direncanakan sedemikian rupa
sehingga volume, kedalaman, luas, presipitasi, debit inflow/outflow, serta
waktu tinggal air diketahui dengan pasti. Sedangkan pada danau masih
diperlukan penelitian yang lebih mendalam tentang dimensi danau sebenarnya
yang dilakukan melalui suatu upaya pemeruman (echo sounding).
Berdasarkan luas dan volume nya danau dan waduk dapat diklasifikasikan
menjadi danau atau waduk besar, medium, kecil dan sangat kecil sebagaimana
terlihat pada Tabel 2.1. Luas dan volume waduk dan danau tersebut sangat
berpengaruh dengan kondisi hidraulik aliran. Kondisi hidraulik aliran tersebut
berpengaruh pada waktu tinggal aliran serta tingkat pencampuran air yang
pada akhirnya juga berpengaruh pada kondisi trofik waduk atau danau, seperti
terlihat pada Tabel 2.2.
Pada Tabel 2.2 diperlihatkan danau atau waduk dengan waktu tinggal kurang
dari 20 hari, yang dikategorikan sebagai danau atau waduk berarus cepat,
yang sekaligus memiliki sifat pencampuran yang sempurna. Kondisi tersebut
korosi atau berkarat, sebagaimana terlihat pada Gambar 2.3. Pencemaran air
Waduk Sutami yang menyebabkan terjadinya alga bloom adalah limbah
penduduk, peternakan dan pertanian. Brahmana, dkk (2002) menyatakan
bahwa dampak yang paling serius dari alga bloom pada waduk adalah produksi
toksin oleh ganggang Microcystis yang disebut Mycrocystein yang dapat
menyerang syaraf dan mengakibatkan kematian.
Parameter zat organik dan partikel tersuspensi pada waduk dan danau di
Indonesia berada dalam kategori klas I sampai III. Tingkat keasaman yang
terukur pada perairan waduk dan danau di Indonesia umumnya berada pada
kondisi normal, meskipun cenderung basa terutama pada lapisan hipolimnion.
Data pada Tabel 2.5 dan 2.6 menggunakan pengukuran transparansi kedalaman
minimum yang terukur dengan cakram sechi. Keasamann waduk dan danau
diukur pada lapisan epilimnion dengan pH meter dan dicatat nilai pH
maksimumnya. Parameter nitrogen diukur sebagai Total Nitrogen, yaitu pada
konsentrasi L= 0-0,250 mg/l, M= 0.250-0.500 mg/l dan H= >0.500 mg/l.
Parameter fosfor diukur sebagai Total P yaitu dinyatakan dengan tingkat
konsentrasi pada: L= 0 – 0,025 mg/l, M= 0,025-0,050 mg/l dan H= >0,050 mg/l.
Sedangkan statustrofik (ST) dinyatakan dengan klasifikasi Status Trofik: O =
oligotrofik, M = mesotrofik, E = eutrofik dan H= Hipereutrofik.
Data-data yang tercantum pada Tabel 2.5 dan 2.6 memberikan gambaran bahwa
waduk maupun danau di Indonesia memiliki kecenderungan mesotrofik dan
eutrofik dan beberapa hipereutrofik. Dengan demikian, dapat diketahui status
mutu perairan waduk maupun danau, sehingga dapat ditentukan program
prioritas penanganan kualitas perairan serta penentuan peruntukan air waduk
dan danau. Brahmana, dkk (1993) menyarankan pemanfaatan air waduk dan
danau agar disesuaikan dengan status mutu airnya, yaitu:
a. Waduk Oligotrofik, adalah waduk yang kandungan nutrien dan
produktivitasnya sedang. Waduk dengan status trofik tersebut sangat cocok
untuk perikanan dan pemanfaatan lainnya;
b. Waduk eutrofik, adalah waduk yang kandungan nutrient dan
produktivitasnya tinggi, sedangkan kandungan oksigen pada lapisan
hipolimnion rendah. Waduk dengan status trofik tersebut cocok untuk
perikanan dan irigasi; serta
Karena itu, perairan waduk yang status trofiknya termasuk kategori eutrofik
atau hypereutrofik, maka perairan tersebut tidak layak digunakan untuk sumber
baku air minum, perikanan, tempat berkreasi, transportasi air dan peruntukan
lainnya. Hal ini disebabkan kualitas fisika, kimia dan biologi dari air waduk
tersebut sudah sangat jelek.
Sukimin (2004) menjelaskan bahwa permasalahan eutrofikasi waduk atau
danau disebabkan adanya pencemaran dari sumber eksternal dan internal.
Pencemararan eksternal berasal dari DAS yang disebabkan oleh adanya
kegiatan manusia, yaitu permsalahan urbanisasi, pertambahan penduduk dan
industri (Gambar 2.4). Permasalahan eksternal tersebut menyebabkan
penggunaan air yang berlebihan, pemanfaatan lahan yang tidak terkendali
dan peningkatan laju erosi. Gambar 2.4 juga menunjukkan permasalahan yang
menyebabkan timbulnya beban pencemaran internal pada waduk atau danau
yaitu berkembangnya budidaya keramba jaring apung (KJA). Beban pencemaran
Gambar 2.5 Skema Waduk Kaskade Citarum dan Lokasi Pengambilan Sampel
(Irianto, 2006)
(Irianto, 2006)
Pusat Penelitian dan Pengembangan Sumber Daya Air
f. Penurunan pH
Gambar 2.9 menunjukkan profil pH sepanjang Sungai Citarum yang cenderung
basa tahun 1990 dan makin meningkat kebasaannya pada tahun 2000 terutama
pada bagian hulu. Hal ini kemungkinan disebabkan meningkatnya pencemaran
Reaksi yang cenderung mengasamkan air waduk sehingga pH air waduk menjadi
netral pada tahun 2000, disebabkan oleh peruraian pakan organik dari kolam
jaring apung. Tepung pakan ikan cenderung menurunkan pH air menjadi asam,
karena proses penguraian zat organik (Machbub, 2003). Namun, apabila
perkembangan jaring apung tidak terkendali dan pH air sungai netral, maka
dikhawatirkan akan terjadi pengasaman air waduk dan bersifat korosif pada
PLTA.
(Irianto, 2006)
Pusat Penelitian dan Pengembangan Sumber Daya Air
rata-rata 11 mg/L BOD pada tahun 1990. Sedangkan pada tahun 2000 terlihat
bahwa kadar organik cenderung mengalami peningkatan dibandingkan tahun
1999 pada bulan yang sama, yaitu 20 mg/L BOD pada tahun 2000. Kondisi ini
menunjukkan bahwa beban pencemaran organik di Citarum terutama bagian
hulu, mengalami peningkatan. Namun, bila dilihat pada Gambar 2.10 lokasi
Bendung Curug menunjukkan adanya perbaikan kandungan zat organik
S.Citarum setelah melewati waduk kaskade, yaitu rata-rata 2 mg/L (1990)
menjadi 5 mg/L BOD pada tahun 2000.
Gambar 2.10 juga memperlihatkan bahwa pengaruh musim kurang
menunjukkan perubahan yang berarti, yang dapat dilihat bahwa pada musim
kemarau kadar pencemaran organik tinggi. Demikian juga pada musim hujan,
tingkat pencemaran juga tetap tinggi atau tidak terjadi pengenceran. Hal ini
kemungkinan akibat adanya pencemaran dari sumber tersebar atau non point
source dari limbah domestik, pertanian, peternakan, dan terutama limbah
pakan ikan dari jaring apung.
d. Senyawa Nutrien
Gambar 2.9 pada lokasi Nanjung menunjukkan bahwa kandungan amonium
menurun pada tahun 2000, yaitu rata-rata 0,4 mg/L dibandingkan tahun 1990
yaitu rata-rata 1,28 mg/L. Sedangkan bila ditinjau di lokasi B.Curug
menunjukkan bahwa kandungan amonium meningkat, yaitu dari rata-rata 0,06
mg/l pada tahun 1990 rata-rata 0,09 mg/L pada tahun 2000. Kondisi tersebut
diakibatkan oleh perikanan jaring apung yang jumlahnya meningkat pada saat
level muka air waduk meningkat pada musim hujan.
Gambar 2.14. Kondisi kualitas air di sekitar tubuh bendung Waduk Jatiluhur
(Perum Jasa Tirta II, 2004)
N dan P dicantumkan dalam standar air limbah pada semua jenis industri di
Citarum selain parameter lainnya.
Dengan demikian, agar beban pencemaran yang akan memasuki waduk
kaskade Citarum tidak semakin berat, maka diperlukan langkah-langkah
pengendalian pencemaran terutama pada bagian hulu dari S.Citarum yang
merupakan input dari Waduk Saguling. Selain itu, perikanan kolam jaring
apung hendaknya dikendalikan untuk tidak melebihi kuota yang telah
ditetapkan.
BAB III
KRITERIA, INDIKATOR DAN PARAMETER EUTROFIKASI
a. Kriteria STORET
Kriteria STORET dibutuhkan untuk menentukan status mutu air berdasarkan
hasil pengukuran parameter-parameter kualitas air. Nilai yang terukur tersebut
dibandingkan dengan standar baku mutu kualitas air sesuai Peraturan
Pemerintah Nomor 82 Tahun 2001 tentang Pengelolaan dan Pengendalian
Pencemaran Air. Hasil perhitungan menggunakan Tabel 3.1 selanjutnya
dibandingkan dengan kriteria STORET seperti tercantum pada Tabel 3.2.
1 < 10 Maksimal -1 -2 -3
Minimal -1 -2 -3
Rata-rata -3 -6 -9
2 > 10 Maksimal -2 -4 -6
Minimal -2 -4 -6
Rata-rata -6 -12 -18
1 Baik sekali 0
2 Baik - 1 s.d. – 10
3 Sedang -11 s.d. – 30
4 Buruk > - 31
Sumber: Kementerian Lingkungan Hidup, 2008
b. Kriteria Korosivitas
Kriteria korosivitas secara resmi memang belum ditetapkan. Namun kriteria
ini perlu diperhitungkan, mengingat banyak bangunan operasional waduk yang
telah mengalami permasalahan korosi. Karena itu, sebelum kriteria korosivitas
ditetapkan untuk status mutu perairan waduk, maka digunakan standar DIN
1969 seperti yang digunakan oleh Brahmana dan Achmad (2001) untuk
penelitian di Waduk Saguling dan Cirata sebagaimana diperlihatkan pada
Kotak 3.2. Adapun parameter kualitas air yang harus diukur untuk menentukan
tingkat korosivitas perairan waduk diperlihatkan pada Tabel 3.3.
Ke tiga kriteria status mutu ekosistem tersebut telah menunjukkan kajian yang
cukup lengkap status mutu suatu perairan danau. Meskipun terdapat kesamaan
karakteristik antara danau dan waduk, namun demikian karena ada beberapa
perbedaan karakteristik antara ekosistem danau dan waduk, maka penerapan
kriteria SMED untuk penentuan status mutu ekosistem waduk, masih
memerlukan kajian lebih lanjut.
Usulan indikator untuk penyempurnaan kriteria yang terdapat pada SMED untuk
pengelolaan ekosistem waduk antara lain : (a) Penggabungan indikator alga
biru, jejaring atau rantai makanan (food web) dan keanekaragaman hayati
menjadi indikator keanekaragaman hayati; (b) Penyesuaian kriteria pada
indikator erosi lahan dikaitkan dengan perkiraan awal tingkat erosi waduk;
(c) Penggantian indikator dampak pendangkalan danau dengan indikator
dampak pendangkalan waduk; (d) Penggabungan indikator pengambilan air
untuk PLTA dan air baku menjadi indikator pemanfaatan air waduk; (e)
Penyesuaian perhitungan jumlah kolam jaring apung yang diperbolehkan pada
perairan waduk; (f) Penyesuaian indikator status mutu air dikaitkan dengan
baku-mutu air yang telah ditetapkan; (g) Penambahan indikator korosivitas;
(h) Penambahan indikator kualitas sedimen dasar waduk; (i) Penambahan
indikator kualitas sedimen dasar waduk.
Penggabungan indikator alga biru, jejaring atau rantai makanan (food web)
dan keanekaragaman hayati menjadi indikator keanekaragaman hayati atau
biodiversitas karena keterkaitan ketiganya sangat erat. Keanekaragaman hayati
atau biodiversitas yang rendah berarti telah terjadi dominasi salah satu jenis
mikroalga, misalny kelompok Cyanophita pada rantai makanan (Haarcoryati,
2008). Dominasi salah satu jenis mikroorganisme berakibat terganggunya
Penyesuaian indikator status mutu air dikaitkan dengan baku-mutu air yang
telah ditetapkan, sehingga status mutu air waduk dapat dievaluasi. Pusat
Penelitian Sumber Daya Alam dan Lingkungan (PPSDAL) UNPAD (2002)
menggunakan metoda STORET untuk mengevaluasi status mutu air Waduk
Saguling sesuai Kepmen LH 115/2003 tentang penentuan status mutu air. Pada
waduk terstratifikasi, penentuan status mutu air disesuaikan dengan stratifikasi
waduk, yaitu status mutu lapisan epilimnion dan status mutu lapisan
hipolimnion.
Penambahan indikator korosivitas, mengingat banyaknya bangunan
operasional waduk yang mengalami korosi. Untuk mengukur tingkat korosivitas
perairan waduk diusulkan menggunakan Indeks Korosivitas Langilier. Indeks
korosivitas tersebut telah digunakan oleh Brahmana dan Ahmad (2001) untuk
penentuan korosivitas perairan Waduk Saguling dan Cirata .
Penambahan indikator kualitas sedimen dasar waduk, mengingat logam berat
dan senyawa fosfor dapat terikat secara mudah dengan partikel tererosi dari
DAS dan selanjutnya terakumulasi di dalam waduk. Senyawa-senyawa yang
terikat pada sedimen tersebut berpengaruh pada ekosistem waduk bila terlepas
pada perairan. Untuk itu diusulkan, agar parameter yang diukur untuk penentuan
kualitas sedimen adalah senyawa fosfor, karena dapat memicu eutrofikasi
(Lerman, 1974), sedangkan kandungan logam berat yang dianalisis pada
sedimen dasar waduk meliputi Cr, Cu, Pb, Cd dan Hg. Berdasarkan hasil studi
yang dilakukan oleh Sutrisno, dkk (2002) diketahui bahwa akumulasi
kandungan logam berat pada sedimen dasar di Waduk Saguling, Cirata dan
Jatiluhur terdeteksi lebih besar daripada kandungan logam berat dalam tubuh
ikan.
Agar usulan-usulan tersebut di atas dapat digunakan sebagai tolok ukur
pengelolaan ekosistem waduk dan pengambilan keputusan, maka diperlukan
sejumlah kajian lebih lanjut. Pengkajian yang dilakukan meliputi indikator-
indikator serta dampak yang ditimbulkan secara kuantitatif. Dengan demikian,
penentuan status mutu ekosistem waduk secara lebih terukur dapat dilakukan
melalui suatu pemantauan kualitas air.
Dimana :
TSI-TP : trofik Status Indeks untuk Total Fosfor, dalam ug/L
TSI-Klorofil-a : nilai Trofik Status Indeks untuk klorofil-a, dalam ug/L
TSI-SD : nilai Trofik Status Indeks untuk kedalaman cakram Sechi, dalam meter.
sumber asal; (4) emisi zat pencemar akibat kondisi geologis lahan yang
tergerus; (5) emisi zat pencemar tersebar dari suatu kegiatan yang
menghasilkan partikel tersuspensi, zat hara, bakteri patogen dan senyawa
beracun.
Machbub, dkk (2003) mengemukakan bahwa terjadinya eutrofikasi di suatu
perairan danau dan waduk dapat dideteksi melalui berbagai indikator, yaitu:
(1) menurunnya konsentrasi oksigen terlarut di zona hipolimninion; (2)
meningkatnya zat hara yaitu nitrogen dan fosfor badan air; (3) menurunnya
transparansi perairan, serta (4) meningkatnya padatan tersuspensi, terutama
yang mengandung bahan organik. Indikator-indikator tersebut merupakan tanda
umum, namun pemantauan paramater kualitas air tetap harus dilakukan,
terutama parameter terkait dengan proses eutrofikasi.
d. Warna Perairan
Warna perairan dikelompokkan menjadi warna sesungguhnya (true Color) dan
warna tampak (apparent color). Warna sesungguhnya dari perairan adalah
warna yang hanya disebabkan oleh bahan-bahan terlarut, sedangkan warna
tampak adalah warna yang disebabkan oleh bahan tersuspensi dan juga
disebabkan oleh bahan organik dan anorganik yang sulit terlarut. Warna
tampak umumnya dapat di turunkan melalui proses koagulasi (Sawyer, dkk.,
2003).
Bahan-bahan organik seperti tanin, lignin dan asam humus dapat menimbulkan
warna kecoklatan di perairan. Perairan yang berwarna dapat menghambat
penetrasi cahaya ke dalam air, sehingga proses fotosintesis menjadi terganggu.
Berdasarkan Peraturan Menteri Kesehatan Nomor: 907/Menkes/SK/VII/2002
warna air sebaiknya tidak melebihi 15 unit PtCo. Sedangkan pada PP Nomor
82/2001 tidak mengatur tingkat warna air baku.
Pada perairan danau ataupun waduk, oksigen lebih banyak dihasilkan oleh
proses fotosintesis alga yang banyak terdapat pada zona epilimnion, sedangkan
pada perairan tergenang yang dangkal dan banyak ditumbuhi tanaman air
pada zone litoral, keberadaaan oksigen lebih banyak dihasilkan oleh aktivitas
fotosintesis tumbuhan air. Keberadaan oksigen terlarut di perairan sangat
dipengaruhi oleh suhu, salinitas, turbulensi air, dan tekanan atmosfer
(Sawyer,2003).
Berdasarkan PP Nomor 82 tahun 2001, badan air dengan kadar oksigen terlarut
lebih besar dari 6 mg/l masuk dalam kategori Klas 1, kadar oksigen terlarut
antara 4-6 termasuk dalam kategori Klas 2, kadar oksigen terlarut 3-4 mg/l
berkategori Klas 3, sedangkan kadar oksigen terlarut kurang dari 3 termasuk
dalam kategori Klas 4.
e. Senyawa-senyawa Nitrogen
Nitrogen di perairan terdapat dalam bentuk gas N2, NO2-, NO3-, NH3 dan NH4+
serta sejumlah N yang berikatan dalam organik kompleks (Sawyer, 2003).
Sumber nitrogen terbesar berasal dari udara, sekitar 80% dalam bentuk nitrogen
bebas yang masuk melalui sistem fiksasi biologis dalam kondisi aerobik.
Menurut Chester (1990), keberadaan nitrogen di perairan dapat berupa nitrogen
anorganik dan organik. Nitrogen anorganik terdiri atas ion nitrit (NO2-), ion
nitrat (NO3-), ammonia (NH3), ion ammonium (NH4 +) dan molekul N2 yang larut
dalam air, sedangkan nitrogen organik berupa protein, asam amino dan urea
akan mengendap dalam air.
Proses reduksi nitrat berjalan optimal pada kondisi anoksik (tak ada oksigen).
Dinitrogen oksida (N2O) adalah produk utama dari denitrifikasi pada perairan
dengan kadar oksigen sangat rendah, sedangkan molekul nitrogen (N2) adalah
produk utama dari proses denitrifikasi pada kondisi anaerob. Proses
denitrifikasi akan berkurang atau lambat pada kondisi pH dan suhu rendah,
tetapi akan berjalan optimum pada suhu rata-rata danau pada umumnya.
Kondisi anaerob pada lapisan sedimen membuat proses denitrifikasi lebih
besar, yaitu dengan laju ratarata 1 mg/L per hari (Jorgensen, 1980).
Kadar nitrogen yang tinggi dalam perairan dapat merangsang pertumbuhan
algae secara tak terkendali (blooming). Berdasarkan PP Nomor 21/2008,
kandungan zat hara persenyawaan nitrogen dalam perairan adalah maksimum
kadar senyawa nitrat (NO3-) adalah 10 mg/l untuk Klas 1 dan 2, sedangkan
untuk Klas 3 dan 4 maksimum adalah 20 mg/l. Parameter nitrit (NO2 -) kandungan
maksimum pada badan air adalah 0,06 mg/l, lebih dari angka tersebut masuk
kategori klas 4. Sedangkan kandungan amonia (NH3-N) maksimum adalah 0,5
mg/l, untuk perikanan tidak lebih dari 0,02 mg/l. Sedangkan standar kualitas
air untuk air minum, menurut Permenkes Nomor: 907/Menkes/SK/VII/2002
menegaskan bahwa kadar maksimum amonia dan amonium masing-masing
adalah 1,5 mg/l dan 0,2 mg/l.
e. Fosfat
Fosfor dalam perairan tawar ataupun air limbah pada umumnya dalam bentuk
fosfat, yaitu ortofosfat, fosfat terkondensasi seperti pirofosfat (P2O7), metafosfat
(P3O9 3-) dan polifosfat (P4O13 6- dan P3O10 5-) serta fosfat yang terikat secara
organik. Senyawa ini berada sebagai larutan, partikel atau detritus atau berada
di dalam tubuh organisme akuatik (AWWA, 1995). Fosfat dalam perairan yang
dapat dimanfaatkan secara langsung oleh tumbuhan akuatik adalah dalam
bentuk ortofosfat, yaitu hasil hidrolisis dari polifosfat sebelum dapat
dimanfaatkan sebagai sumber fosfor.
Perairan yang mengandung kadar fosfat yang cukup tinggi melebihi kebutuhan
normal organisme akuatik akan menyebabkan terjadinya proses eutrofikasi.
Berdasarkan PP Nomor 21/2008, kandungan zat hara Total Fosfat dalam
perairan maksimum adalah 0,2 mg/l untuk klas 1 dan 2, sedangkan untuk klas
3 dan 4 masing-masing maksimum 1 mg/l dan 5 mg/l. Sedangkan standar
kualitas air untuk air minum parameter fosfor tidak diatur.
f. Pestisida
Limpasan dari daerah pertanian, aliran dari persawahan, buangan limbah
domestik, limbah perkotaan dan industri merupakan sumber Pestisida yang
masuk ke badan air Pada umumnya pestisida dalam badan air terserap pada
partikel tersuspensi dan partikel yang diam atau terpisah ke dalam subtrat
organik. Penggunaan dampak negatif yang berlebihan terutama pada bidang
pertanian dapat menimbulkan pencemaran terhadap lingkungan, baik
lingkungan perairan, tanah dan udara maupun mahluk hidup yang bukan
sasaran. Pestisida cenderung sulit mengalami degradasi atau persisten, dan
akan terakumulasi, meskipun ada yang bersifat terdegradasi secara alami.
Kadar pestisida yang tinggi dapat menimbulkan kematian organisme akuatik
secara langsung (keracunan akut), yaitu kontak langsung atau melalui jasad
lainnya seperti plankton, perifiton dan bentos, sedangkan kadar rendah dalam
badan air kemungkinan besar menyebabkan kematian organisme dalam waktu
yang lama, yaitu akibat akumulasi pestisida dalam organ tubuhnya
(Soemarwoto et al., 1979). Pada umumnya, pestisida memperlihatkan sifat
lebih toksik terhadap zooplankton dan bentos dengan tingkat toksik yang
bervariasi, tergantung jenis pestisida dan tingkat stadia komunitas yang
bersangkutan.
g. Parameter Mikrobiologi
Keberadaan parameter mikrobiologi terutama bakteri digunakan sebagai
indikator untuk menilai tingkat higienisitas suatu perairan. Mikroorganisme
pathogen atau mikroorganisme yang bersifat berbahaya dari berbagai sumber,
seperti permukiman, pertanian dan peternakan mudah, masuk dan mencemari
perairan. Bakteri coli merupakan kelompok bakteri yang sangat sering
digunakan sebagai indikator pencemaran badan air. Sedangkan Escherichia
coli, yang tergolong bakteri koli yang hidup normal di dalam kotoran manusia
dan hewan, sehingga kehadirannya dalam perairan menjadi petunjuk adanya
pencemaran dari manusia atau hewan. Pencemaran bakteri sangat tidak
dikehendaki, baik ditinjau dari segi estetika, kebersihan, sanitasi maupun
kemungkinan terjadinya infeksi berbahaya.
BAB IV
PEMICU EUTROFIKASI PADA WADUK DAN DANAU
Di alam ini termasuk pada badan air terdapat suatu mata rantai makanan
atau biasa disebut dengan siklus makanan. Fitoplankton merupakan dasar
dari rantai makanan atau biasa disebut dengan produsen primer pada badan
air. Meningkatnya biomassa jenis organisme primer merupakan gejala
terjadinya eutrofikasi pada perairan danau atau waduk. Gejala tersebut
biasanya juga ditunjukkan dengan menurunnya jenis konsumer akibat
melimpahnya konsentrasi unsur hara dan perubahan parameter kimia lainnya
seperti oksigen terlarut (OT), kadar klorofil-a, turbiditas serta produktivitas
primer (Vesjak,dkk,1997).
Meningkatnya konsentrasi biomasa di bagian epilimnion dan tingginya laju
pengendapan alga pada dalam kolom air, menyebabkan timbulnya kondisi
anaerobik pada daerah hipolimnion danau. Pertumbuhan populasi
fitoplankton yang terdiri dari karbon, oksigen, hidrogen, nitrogen dan fosfor
merupakan salah satu indikator utama terjadinya eutrofikasi di suatu perairan.
Pengaruh dari eutrofikasi pada danau dan waduk selain pertumbuhan
fitoplankton dan alga yang berlebihan, juga kekeruhan, penurunan kadar
oksigen badan air. Komposisi fitoplankton pada badan air tidak konstan tapi
dapat menggambarkan konsentrasinya dalam badan air (Vesjak,dkk,1997)
Pada fitoplankton terdapat klorofil yang berperan dalam proses fotosintesis
untuk menghasilkan bahan organik dan oksigen dalam air yang digunakan
sebagai dasar kehidupan. Populasi fitoplankton yang berlebih, terutama yang
bersifat toksik yang berada pada ekosistem perairan, dapat menyebabkan
berkurangnya oksigen di dalam air yang dapat menyebabkan kematian berbagai
makhluk air lainnya. Fakta menunjukkan bahwa beberapa jenis fitoplankton
yang mempunyai potensi marak adalah yang bersifat toksik (Wiadnyana, 1996).
Mengingat dampak kerugian ledakan fitoplankton yang tinggi, di beberapa
negara maju permasalahan tersebut mendapat prioritas penanganan yang
serius. Dampak utama dari ledakan populasi fitoplankton adalah timbulnya
Harmful Algae Blooms (HABs), yaitu fenomena marak fitoplankton toksik pada
suatu badan air yang menyebabkan kematian biota lain (Anderson, dkk, 2008).
Semua jenis fitoplankton yang beracun di atas dijumpai pada beberapa perairan
pesisir Indonesia. Racun-racun tersebut sangat berbahaya, karena di antaranya
Gambar 4.2. Diagram senyawa nitrogen pada badan air (Chapra, 1997)
Diagram senyawa fosfor dalam badan air seperti terlihat pada Gambar 4.3.
Pengukuran senyawa fosfat dalam badan air terutama diukur sebagai ortofosfat
atau fosfat terlarut dan sebagai Total Fosfat yang sering digunakan untuk
mengetahui kondisi eutrofikasi badan air.
Gambar 4.3. Diagram senyawa nitrogen pada badan air (Chapra, 1997)
Jaring apung sangat produktif dan memiliki keuntungan yang besar, namun
menimbulkan dampak sosial-ekonomi dan biogeofisik. Dampak sosial-ekonomi
KJA meliputi: (a) ketergantungan pada benih dan pakan; (b) petani ikan tidak
menguasai pasar; dan (c) masuknya modal besar dari luar daerah dan
berakibat marjinalisasi pengusaha lokal. Sedangkan dampak biogeofisik
adalah pencemaran oleh sisa makanan dan kotoran ikan, terjadinya kematian
massal ikan pada waktu terjadi pembalikan dan terjadinya eutrofikasi,
pertumbuhan masal ganggang microcystis, masukan zat pencemar dari DAS
hulu dan kandungan zat racun dalam pakan (Soemarwoto, 2004).
Eutrofikasi yang sangat cepat pada waduk dan danau di Indonesia tersebut
diyakini oleh banyak peneliti dipicu dan dipacu oleh aktivitas manusia yang
memanfaatkan badan air tersebut sebagai areal produksi ikan dalam KJA yang
berlebihan. Disamping itu, aktivitas-aktivitas lainnya pada daerah aliran
sungai yang membuang limbah yang pada akhirnya masuk ke dalam waduk.
Sisa pakan yang terakumulasi di dasar perairan akan terdekomposisi menjadi
nitrogen.
Zahidah (2007) pada penelitiannya di Waduk Cirata menyatakan bahwa bahwa
indeks keanekaragaman fitoplankton pada semua stasiun di semua kedalaman
menunjukkan angka yang sangat rendah, yaitu kurang dari 0,5 bahkan angka
rata-ratanya untuk semua stasiun kurang dari 0,3. Rendahnya nilai indeks
keanekaragaman menunjukkan ekosistem berada dalam kondisi yang tidak
stabil sebagaimana yang dilaporkan oleh Odum (1992) pada Zahidah (2007).
Keanekaragaman yang rendah menunjukkan di ekosistem tersebut terdapat
jenis tertentu yang memiliki kelimpahan sangat tinggi, atau dengan kata lain
terdapat kecenderungan dominasi. Adanya kecenderungan dominasi terlihat
dari tingginya kelimpahan genus Microcystis pada seluruh stasiun dengan
nilai persen dominansi berkisar antara (60 – 99).
Haarcoryati, (2008) juga menyatakan bahwa terdapat kaitan yang erat antara
rasio nitrogen dan fosfor dengan dominasi kelompok mikroalga pada waduk
dan danau di Indonesia. Rasio N/P kurang dari 10 maka pertumbuhan
kelompok Cyanophyta dengan spesies Microcystis sp akan mendominasi
perairan (Ryding dan Rast, 1989 ).
Zahidah (2007) menjelaskan bahwa kualitas air Waduk Cirata berada dalam
status eutrofik, diperkuat juga dengan banyaknya fitoplankton dari kelas
Cyanophyceae (terutama Microcystis sp) memiliki rasio antara N (dalam bentuk
NO3) dan P (dalam bentuk PO4) dengan nilai rendah, Hal ini sesuai dengan
pendapat Reynold (1990) yang menyatakan bahwa Cyanophyceae adalah
kelompok fitoplankton yang mampu bertahan dan berkembang dengan baik
pada kondisi N/P yang rendah.
Lebih lanjut dikemukakan bahwa kemampuan kelas ini untuk bertahan dan
memenangkan persaingan serta berkembang biak lebih cepat didukung oleh
kemampuan fiksasi nitrogen dari atmosfir pada sebagian jenis Cyanophyceae
serta adanya fenomena Luxury consumption of Phosphorous pada hampir
semua jenis Cyanophyceae. Zahidah (2007) menyatakan bahwa kondisi kualitas
air yang buruk tidak hanya ditemukan pada zona KJA, tapi juga pada zone non
KJA. Hal ini terutama ditunjukkan oleh melimpahnya fitoplankton dari kelas
Cyanophyceae, terutama Microcystis.
Untuk mencegah timbulnya eutrofikasi berlebihan akibat fenomena jaring
apung ini adalah pengaturan KJA yaitu maksimum hanya 1% luas permukaan
dan jarak antara jaring minimum 50 meter. Sedangkan Sukimin (2004)
mengusulkan adanya penentuan daya tampung waduk dan danau terhadap
pencemaran pakan untuk mencegah timbulnya pencemaran badan air tersebut
sebagaimana tercantum dalam Pedoman Pengelolaan Danau yang telah
ditetapkan pada tahun 2009.
Langkah yang dapat dilakukan oleh petani jaring apung adalah menggunakan
teknologi aerasi, terutama pada saat tengah malam sampai menjelang fajar
dan terutama sekali setelah terjadi umbalan (upwelling). Selain itu, dengan
pengaturan pola makan ikan, pemakaian jaring yang mengurangi pengendapan
sisa pakan dan metabolit ikan, pengaturan kepadatan benih dan tidak
menggunakan rumah jaga sebagai hunian keluarga adalah tindakan yang baik
demi terjaganya kualitas air waduk (Irianto, dkk, 2001). Sedangkan Fahmijani,
dkk (2009) mengusulkan menggunakan pola KJA berlapis, untuk mengurangi
pakan ikan yang terbuang agar dimakan ikan pada lapis bawahnya.
Pengelola waduk berkewajiban sebagai regulator, terutama dalam hal
menetapkan lokasi termasuk jarak antar jaring apung, pemantauan kualitas
air secara kontinyu, dan pengelolaan lingkungan di sekitar waduk. Selain itu,
pengelola waduk dapat berperan sebagai fasilitator dalam hal pengembangan
pemasaran, sehingga pendapatan petani meningkat, maka para petani jaring
apung tersebut akan lebih mudah untuk diajak peduli dan menjaga kualitas
lingkungan di sekitar waduk. Koordinasi dengan instasi terkait juga sangat
diperlukan dalam hal pengelolaan waduk/danau setingkat DAS (Irianto, dkk.,
2001). Sedangkan pola hubungan antara petani jaring apung dan pengelola
waduk adalah terlihat pada Gambar 4.4.
Gambar 4.4 Diagram pola hubungan antara petani jaring apung dan
pengelola waduk (Irianto, dkk, 2001)
dinyatakan oleh Rees (2009), aktifitas-aktifitas manusia pada DAS yang dapat
berdampak pada sistem sumber daya air diantaranya (a) deforestasi dan
urbanisasi akan merubah limpasan permukaan dan rejim aliran yang
mempengaruhi penggunaan air, resiko banjir dan kelongsoran; (b) kuantitas,
waktu dan lokasi pengambilan air baik permukaan maupun tanah berdampak
pada penggunaan sumber daya air pada sebelah hilir; (c) perubahan tata-
guna lahan dapat merubah laju evapotranspirasi, laju sedimentasi dan
pengambilan air dapat mempengaruhi kestersediaan dan biaya suplai air
bersih; (d) produk air limbah pertanian, air limbah industri dan rumah-tangga
akan berpengaruh pada kualitas air pada air tanah dan air di hilir. Hal tersebut
berpengaruh pada pengolahan air limbah, menurunkan produksi pertanian,
ekonomi, lingkungan dan penggunaan rekreasi.
Berdasarkan pedoman pengelolaan danau (Kementerian Lingkungan Hidup,
2008), ekosistem danau terdiri dari ekosistem perairan (akuatik), ekosistem
sempadan (sebagai ekosistem peralihan) dan ekosistem daratan (terestrial).
Ketiga ekosistem tersebut menghadapi berbagai kerusakan lingkungan yang
berdampak pada keberlanjutan dan fungsi waduk sebagai sumber daya air.
Berbagai sumber dan dampak permasalahan tersebut telah merusak ekosistem
waduk juga berpotensi dan telah terjadi pada beberapa waduk di Indonesia.
Machbub, dkk (2003) menyatakan bahwa kerusakan yang terjadi pada danau
dan waduk di Indonesia antara lain (a) pendangkalan dan penyempitan
sempadan, yang dapat merusak ekosistem; (b) pencemaran kualitas air yang
menggangu pemanfaatan air dan pertumbuhan biota akuatik; (c) kehilangan
keanekaragaman hayati (biodiversity); (d) pertumbuhan gulma air dan marak
alga disebabkan proses penyuburan air waduk sebagai akibat pencemaran
limbah organik dan zat hara (unsur nitrogen dan fosfor) dan zat penyubur; (e)
perubahan fluktuasi muka air danau, yang disebabkan oleh kerusakan DAS
serta pengambilan air dan tenaga air tanpa memperhatikan keseimbangan
hidrologi dapat mengganggu keseimbangan ekologis daerah sempadan. Karena
itu pengelolaan lingkungan daerah aliran sungai menjadi penting dalam
ramgka perlindungan waduk dan danau dari permasalahan tersebut diatas.
Dari penjelasan diatas menunjukkan bahwa sumber-sumber zat hara yang
masuk keperairan waduk atau danau terutama adalah bersumber dari kegiatan
manusia meliputi kegiatan domestik, industri, pertanian dan peternakan yang
limbahnya tidak terkelola dengan baik, sehingga memicu timbulnya
permasalahan eutrofikasi. Sumber-sumber pencemar tersebut dapat berupa
sumber pencemar titik maupun sumber pencemar tersebar. Selain itu, kegiatan
perikanan budidaya atau kolam jaring apung pada perairan waduk dan danau
juga menjadi pemicu kelimpahan plankton karena limbah pakan berlebihan
BAB V
PEMODELAN EUTROFIKASI
Gambar 5.3 menunjukkan skema penentuan status eutrofik melalui suatu model
korelasi antara konsentrasi senyawa fosphor, transparansi dan klorofil-a.
dimana :
Z = Kedalaman rata-rata danau dan waduk (m)
V = Volume air danau dan waduk (juta m3)
A = Luas perairan danau dan waduk (Ha)
ρ = Qo / V (5.2)
dimana :
ρ = Laju penggantian air danau dan waduk (1/tahun)
Qo = Jumlah debit air keluar danau (juta m3/tahun), pada tahun kering
dimana :
[Pa]STD : Syarat kadar parameter Pa maksimal sesuai Kelas Air (mg/m3)
[Pa]i : Kadar parameter Pa hasil pemantauan (mg/m3)
[Pa]DAS : Jumlah alokasi beban Pa pada DAS (mg/m3)
[Pa]d : Alokasi beban Pa limbah kegiatan danau dan waduk (mg/m3)
Daya tampung beban pencemaran air parameter Pa pada air danau dan waduk
L = [Pa]dZ.ρ./ (1-R) (5.5)
R = 1 / (1 + 0,747.ρ0,507) (5.6)
La = L x A/100 = [Pa]d . A.Z ρ/100.(1-R) (5.7)
dimana
L : Daya tampung limbah Pa per satuan luas danau (mg Pa/m3.tahun)
La : Jumlah daya tampung limbah (juta m3/tahun), pada tahun kering
R : Total Pa yang tinggal bersama sedimen
Dengan demikian, untuk memenuhi daya tampung danau dan waduk terhadap
beban pencemaran serta untuk memenuhi status mutu air yang diinginkan,
maka sasaran pengendalian pencemaran air pada berbagai sektor kegiatan
perlu dilaksanakan secara konsisten.
Pendugaan daya dukung danau atau waduk untuk alokasi beban limbah
perikanan ditentukan berdasarkan beban limbah P yang hanya berasal dari
kegiatan budidaya KJA tanpa memperhitungkan beban limbah P yang bukan
berasal dari non-budidaya. Sebagai contoh beban P yang berasal dari budidaya
KJA sebesar 20,62 kg/ton ikan. Maximum Acceptable P sebesar 60 mg/m3
(Beveridge, 1996 pada Sukimin,2004). Ilustrasi penentuan alokasi beban
pencemaran dari KJA dapat dilihat pada Gambar 5.5.
Machbub (2007) memberikan contoh aplikasi penentuan daya tampung Waduk
Saguling, Cirata, Jatiluhhur dan Darma terhadap beban limbah KJA sebagaimana
terlihat pada Tabel 5.1.
Tabel 5.1. Aplikasi Daya Tampung Beban Pencemaran Air (DTBPA) Waduk
untuk Budidaya Perikanan KJA (Machbub,2007)
Branch 2
North Bosque River
Tributary 1
Tennant Branch
Tributary 5
Speegleville Creek
Tributary 3
Hog Creek
Tributary 4
Branch 3
Middle Bosque River
Tributary 2
South Bosque River
Gambar 5.7. Contoh potongan vertikal grid dan segmentasi model aplikasi
CE-QUAL-W2 pada Danau Wako, Amerika Serikat ( Flowers, dkk.2001)
Gambar 5.8 Hubungan parameter kualitas air pada model WASP (WASP, 2008)
Gambar 5.10 Diagram model dinamik pengelolaan waduk (Zahidah dkk, 2007)
( IP IN
G = G1 (I,T) X min
( (5.8)
Kmp + IP ’ Kmn + IN ,
Gambar 5.11. Model kinetika interaksi pada siklus alga, senyawa Nitrogen (N)
dan Fosfor (P) pada model aliran tunak Waduk dan Danau,
sumber (Kuo, dkk, 2007)
dP
V = V(G - D)P - VK saP + Q in P in - Q in P out = F(P,P 1,P 2,N 1,N 2,N 3), (5.9)
dt
dP1
V = VDC PP - VK P1 - VK SP1 - Q OUT P 1 + Q in P 1in = G (P,P 1 ,P 2,N 1,N 2,N 3) (5.10)
dt
dP2
V = VK P1P 1 - VGC P P - Q OUT P 2 + Q in P 1in = H (P,P 1,P 2,N 1,N 2,N 3) (5.11)
dt
dN1
V = VDC NP-VK N1 N1-VK SN1N 1+Q in N 1in+Q OUT N 1= I (P,P 1,P 2,N 1,N 2,N 3) (5.12)
dt
dN2 N2
V = VK N1 N1-VGC NP - VK N2 N2-Q OUT N 2 +Q inN 2in =
dt N2 + N2
J (P,P 1,P 2,N1,N2,N3) (5.13)
dN3 N3
V = VK N2 N 2-VGC N P - Q OUTN3+Q inN 3in = K(P,P 1,P 2,N 1,N 2,N 3) (5.14)
dt N2 + N3
Dimana an0 dan ap0 masing-masing adalah rasio dari Nitrogen dan Fosfor
terhadap Oksigen; OP dan R masing-masing adalah laju produksi oksigen rata-
rata dan laju respirasi Fitoplankton. Oleh Thoman dan Mueller (1987) pada
Kuo (2007) dinyatakan bahwa nilai OP dan R dapat diperkirakan dengan
persamaan berikut :
OP = 0.25C, (5.18)
R = 0.025C, (5.19)
(a) (b)
Gambar 5.12 Perbandingan hasil sebelum proses dan setelah proses dengan
kanal Band-5 untuk menentukan wilayah interes (Irianto dkk, 2002)
(a) (b)
Gambar 5.13 Penentuan wilayah interes (a) Hasil rasio antara kanal biru
dan Infra-merah Tengah pada Waduk Cirata (Irianto dkk,2002)
Gambar 5.14 Estimasi dan zonasi kandungan klorofil-a di Waduk Cirata (a), Waduk
Saguling (b), Waduk Jatiluhur (c), and Waduk Wonogiri (Irianto dkk, 2002)
R1
Chlorofil = 0,221 x ( )0,908 (5.20)
R5
R1
Ln(Chl) = 0,908*Ln ( ) + Ln(0,221) (5.21)
R5
Secara umum :
R1
Ln(Chl) = a + b*Ln ( ) (5.22)
R5
RED
Ln(Chl) = a + b*Ln ( ) (5.23)
NIR
Harding dkk (1995) pada Craig (2005) juga menggambarkan bahwa estimasi
klorofil-a dengan teknologi penginderaan jauh (indraja) memiliki persamaan
sebagai berikut :
BAB VI
DAMPAK DAN UPAYA PENGENDALIAN EUTROFIKASI
sangat rendah yaitu 0,3 mg/l dan naik ke permukaan, mengakibatkan kematian
ikan di jala terapung atau ikan liar lainnya.
Kematian ikan secara masal pada umumnya terjadi pada malam hari,
sebagaimana penelitian Brahmana, dkk (1993). Hal tersebut dikarenakan kadar
oksigen terlarut di air permukaan akan turun drastis bahkan bisa mencapai
nol. Kondisi tersebut disebabkan proses fotosintesa yang tidak berjalan
sempurna karena karena sinar matahari tidak ada. Rendahnya kadar oksigen
terlarut juga disebabkan timbulnya Gas Amonia dan H2S yang tinggi akibat
dari kandungan oksigen yang rendah di dasar waduk atau dalam kondisi
anaerob. Kondisi tersebut menyebabkan terjadinya proses reduksi ion sulfat
(S04 2-) yang menghasilkan gas amonia dan H2S. Makin tinggi beban
pencemaran organik, maka Gas Ammonia dan H2S di bagian dasar waduk
akan makin tinggi. Rendahnya oksigen terlarut dan tinggginya senyawa
ammonia dan H2S inilah yang mengakibatkan timbulnya kematian ikan serta
organisme lainnya pada waduk .
Albaster (1984) pada Sulastri dkk, 2004 menyatakan kadar amoniak sebesar
0,6-2 mg/l dapat dapat mematikan ikan. Menurut Peraturan Pemerintah Nomor
82 Tahun 2001 tentang standar maksimum kadar H2S adalah 0,002 mg/l. Oleh
karena itu kesehatan waduk atau danau perlu dijaga agar oksigen terlarut
dalam waduk minimal 2 mg/l. UNEP-IETC (1999) pada Sulastri,dkk (2004)
menggambarkan tentang mekanisme kematian ikan masal akibat adanya marak
aklga atau blooming algae sebagaimana ditunjukkan pada Gambar 6.1.
Bakteri
Gambar 6.1 Skema kejadian kematian ikan secara masal pada perairan
waduk dan danau hipereutrofik (UNEP-IETC, 1999 pada Sulastri, dkk., 2004)
Gambar 6.2 Mikrostrainer untuk pra pengolahan air baku tercemar akibat
eutrofikasi (Setunghe,dkk, 2009)
OECD (1982), menyatakan bahwa dampak dari eutrofikasi yang paling sensitif
bagi masyarakat adalah yang berkaitan dengan fungsi danau sebagai tempat
rekreasi dan wisata air. Aspek-aspek seperti menurunnya transparansi, warna,
rasa dan bau, serta meningkatnya penyakit kulit sangat mengurangi daya tarik
dan nilai estetika dari obyek wisata tersebut.
Pertumbuhan dan keberadaan eceng gondok, terutama pada bagian hulu, secara
berkala harus dikendalikan dan dibersihkan dari badan air agar tidak menggangu
arus air ke arah hilir. Disamping itu eceng gondok dapat tersebar keseluruh perairan
waduk. Keadaan tersebut memerlukan biaya tambahan sebagai biaya
pemeliharaan dan operasional waduk akibat maraknya eceng gondok sebagai
gulma air.
Kuantitas air waduk pun dapat terpengaruh akibat kehadiran eceng gondok yang
berlebihan, yaitu adanya pengurangan volume air waduk akibat evapotranspirasi.
badan air yang tertutup oleh eceng gondok memiliki potensi kehilangan air 32-
52% lebih besar dibandingkan dengan permukaan air waduk tanpa eceng gondok
akibat transpirasi eceng gondok yang sangat aktif (Boyd, 1987).
Hundel, dkk (2007) menggambarkan bahwa LDC diletakkan dalam suatu ponton
dilengkapi pompa efisiensi tinggi dengan daya dari bateri aki yang diisi dari
panel energi matahari. Secara ideal, LDC harus didesain sebagai sirkulator
buatan dan mampu beroperasi selama 24 jam untuk 25 tahun dengan sistem
pemeliharaan minimal. Pada saat ini, sirkulator terbesar yang pernah dibuat
adalah berkapasitas transport 38.000 L/menit dari air zona dasar sampai ke
permukaan.dengan kemampuan pengendalian sekitar 14 hektar (Gambar 6.5).
Keuntungan menerapkan sistem sirkulasi buatan pada waduk. khususnya
waduk penampung air baku sebagai sumber air minum, adalah juga mencegah
timbulnya bau dan rasa akibat pembusukan, menurunkan konsentrasi
klorofil-a, meningkatkan transparansi dan oksigen terlarut pada badan air.
Kondisi tersebut tidak hanya meningkatkan kualitas perairan juga
memperbaiki ekosistem sehingga meningkatkan produksi perikanan pada
waduk atau danau, sehingga zooplankton dan ikan dapat memakan
fitoplankton dengan lebih baik, sehingga mengurangi potensi eutrofikasi.
kimia yang tidak beracun atau bersifat non toksik. Senyawa ini sering digunakan
sebagai bahan koagulan untuk instalasi pengolahan air minum agar dapat
diendapkan pada bak pengendap. Untuk pengelolaan danau dan waduk, alum
digunakan untuk menurunkan senyawa fosfor dalam air. Cooke, dkk (1978)
menjelaskan bahwa penurunan konsentrasi fosfor pada air danau dapat terjadi
karena terbentuknya presipitat Aluminium fosfat yang dapat mengendap ke
dasar waduk sebagaimana persamaan reaksi berikut :
FeSO4.H2O (300 mg/L) + CaCl2 (300 mg/L) + Alum (50 mg/L) (Reaksi 6.2)
Cook dan Denis (1998) menyatakan apabila pada dasar waduk atau danau
dalam kondisi anaerob yang disebabkan adanya stratifikasi waduk dan deplesi
oksigen pada dasar waduk, maka fosfor dapat terlepas dari sedimen. Karena
itu, meskipun fosfor dari ekternal danau sudah dapat dikendalikan, tetapi
siklus internal lepasnya fosfor dari sedimen dasar masih dapat menjadi pemicu
terjadinya pertumbuhan alga yang berlebihan atau terjadi eutrofikasi. Namun
demikian, Perbaikan kualitas air waduk dengan cara penambahan alum,
meskipun tidak beracun, namun tetap dapat mengakibatkan gangguan
ekosistem, bersifat jangka pendek dan hanya dapat diterapkan untuk waduk
atau danau yang relatif kecil.
f. Proses Bioremediasi
Prinsip dari bioremediasi waduk atau danau yang mengalami eutrofikasi
adalah berdasarkan kebutuhan bakteri untuk pembentukan bakteri baru,
sehingga membutuhkan bahan nutrisi yaitu zat organik serta zat hara yang
telah tersedia dalam air. Untuk pertumbuhannya bakteri juga memerlukan
sumber energi pada proses reaksi biosintetik dari asam amino dan RNA dan
DNA dari nukleotida dengan memanfaatkan energy matahari. Bakteri yang
berguna untuk menguraikan organisme yang telah mati adalah bakteri jenis
Kemoorganotrof dan jenis Kemolitotrof. Bakteri jenis Kemoorganotrof berguna
untuk menguraikan senyawa organik, sedangkan bakteri Kemolitotrof berguna
untuk menguraikan Senyawa Nitrogen yaitu Amonia, Nitrit dan Nitrat. Senyawa
fosfor juga dapat diuraikan oleh jenis bakteri ini.
Bakteri jenis tersebut menggunakan senyawa organik terutama glukosa dari
biomasa yang telah mati sebagai sumber energi. Bakteri jenis Kemoorganotrof
tersebut mendapatkan energi melalui penggunaan hydrogen yang bereaksi
dengan oksigen, sebagaimana persamaan reaksi berikut:
Adapun penguraian sumber fosfor dalam air yang telah mengalami eutrofikasi
adalah melalui pemanfaatan fosfor oleh bakteri sebagai sumber energi untuk
menguraikan ortofosfat atau fosfat terlarut pada penguraian zat organik
misalnya glukosa. Contoh reaksi penguraian fosfat terlarut pada proses
intermediasi penguraian zat organik adalah sebagai berikut :
Ortofosfat —› Organic fosfat —› DNA, RNA dan fosfat organik ester (Reaksi 6.6)
BAB VII
STRATEGI PENGELOLAAN TERPADU EKOSISTEM
DANAU DAN WADUK
Tabel 7.1 Kondisi Danau dan Kebutuhan Rencana Aksi (Machbub, 2003)
Gambar 7.1 Kondisi Danau Tempe saat musim kering dan musim hujan
(Menteri PU, Konferenasi Danau berkelanjutan, 13-15 Agustus 2009)
Kotak 7.1 dan 7.2 menunjukkan contoh pola penanganan dan pengelolaan
danau secara terpadu terutama pada Danau Tempe dan Danau Limboto. Tujuan
dari penanganan pada ke dua danau tersebut adalah pengelolaan pemanfaatan
air dan ekosistem danau yang berkelanjutan mulai dari daerah aliran sungai
hingga pengaturan badan air danau. Untuk pembentukan kepedulian
masyarakat dalam pengelolaan dibentuk juga pusat informasi danau.
Pencemaran Tersebar
- Domestik
- Industri Tersebar
- Pertanian
- Peternakan
- Perkebunan
- Kehutanan
a. Strategi S-O :
Melaksanakan pengendalian pencemaran air pada DAS dan ekosistem perairan
danau/waduk secara terpadu untuk mewujudkan DAS dan danau/waduk yang
lestari dan berkelanjutan melalui peningkatan efektifitas koordinasi dan
komitmen lembaga/dinas terkait pada forum Dewan SDA Daerah; mengefektifkan
kerjasama litbang dengan lembaga litbang dan perguruan tinggi; penegakkan
hukum lingkungan dan tata-ruang; peningkatan partisipasi masyarakat dan
swasta; mengembangkan peluang potensi ekonomi pada DAS dan waduk/danau;
memanfaatkan jaringan pengelola danau/waduk secara nasional, regional
dan internasional; peningkatan kerjasama pendanaan dan teknologi dari
lembaga donor dalam dan luar negeri; dan memanfaatkan dukungan dari
pemerintah pusat termasuk prokasih dan superkasih
b. Strategi S-T:
Melaksanakan pengendalian pencemaran air pada DAS dan ekosistem perairan
danau/waduk secara terpadu untuk mewujudkan DAS dan danau/waduk yang
lestari dan berkelanjutan melalui peningkatan efektifitas dan komitmen
koordinasi dinas terkait pada forum Dewan SDA Daerah; komitmen penegakkan
hukum dan tata ruang; mereduksi beban pencemaran limbah ke badan air
pada sumber pencemar; mencegah alih fungsi lahan yang berlebihan; serta
meningkatkan kesadaran dan pemberdayaan ekonomi dalam rangka partisipasi
masyarakat/swasta
c. Strategi W-O:
Melaksanakan pengendalian pencemaran air pada DAS dan ekosistem perairan
danau/waduk secara terpadu untuk mewujudkan DAS dan danau/waduk yang
lestari dan berkelanjutan melalui optimalisasi anggaran sesuai prioritas
sumber dan beban pencemar; meningkatkan kapasitas staf yang bertugas
sebagai pengelola dan penegak hukum lingkungan; meningkatkan efektifitas
fasilitas pengendalian pencemaran; peningkatan koordinasi antar sektor dan
antar wilayah; serta memberikan insentif bagi masyarakat/swasta yang
berkomitmen untuk pengendalian pencemaran;
d. Strategi W-T:
Melaksanakan pengendalian pencemaran air pada DAS dan ekosistem perairan
danau/waduk secara terpadu untuk mewujudkan DAS dan danau/waduk yang
lestari dan berkelanjutan melalui optimalisasi anggaran sesuai prioritas
sumber dan beban pencemar; meningkatkan efektifitas fasilitas pengendalian
pencemaran; peningkatan koordinasi antar sektor dan antar wilayah; serta
memberikan insentif bagi masyarakat/swasta yang berkomitmen untuk
pengendalian pencemaran;
Hasil perumusan strategi kombinasi S-O, S-T, W-O dan W-T diatas menunjukkan
adanya strategi yang saling melengkapi yaitu melanjutkan dan meningkatkan
kekuatan yang telah ada dengan memanfaatkan peluang-peluang, serta dengan
memperbaiki kelemahan-kelemahan dan mereduksi potensi ancaman. Karena
itu, untuk mengimplementasikan strataegi dalam bentuk program-program,
selayaknya diketahui komponen-komponen utama yang mendukung
pelaksanaan program program pengendalian pencemaran air pada DAS dan
ekosistem perairan danau/waduk secara terpadu, sebagaiman tercantum
dalam Gambar 7.5.
BAB VIII
KESIMPULAN DAN SARAN
8.1 Kesimpulan
Hasil pemaparan dan pembahasan dari bab-bab sebelumnya, dapat diberikan
kesimpulan sebagai berikut:
a. Danau dan waduk merupakan sumber daya air tawar yang berada di daratan
yang berpotensi sangat besar serta dapat dikembangkan dan didayagunakan
bagi pemenuhan berbagai kepentingan. Danau dan waduk merupakan
habitat air tergenang yang merupakan cekungan yang berfungsi menampung
air dan menyimpan air yang berasal dari air hujan, air tanah, mata air
ataupun air sungai. Perbedaan antara danau dan waduk terutama dalam
proses pembentukannya, karakteristik ekosistem dan dinamika pengaliran.
Danau dan waduk di Indonesia telah mengalami permasalahan eutrofikasi
yang menyebabkan gangguan terhadap fungsi dan keberlanjutan danau
atau waduk.
b. Selain akibat pencemaran dari luar perairan waduk atau danau, proses
timbulnya eutrofikasi juga bergantung pada kondisi waduk atau danau di
antaranya adalah: luas dan volume, keseimbangan hidrologi, debit inflow
dan outflow, arus dan hdrolik aliran serta kualitas badan air waduk atau
danau. Berdasarkan klasikasi tingkat trofikasi, maka waduk dan danau di
Indonesia cenderung diklasifikasikan dalam kondisi eutrofik-hipertrofik.
Kondisi tersebut berarti waduk dan danau di Indonesia cenderung tidak
layak sebagai sumber baku air minum, perikanan, tempat rekreasi,
transportasi air dan lainnya.
c. Penentuan status mutu air waduk dan danau ditentukan menggunakan
kriteria STORET, sedangkan status trofik perairan ditentukan berdasarkan
kriteria UNEP. Untuk menentukan status mutu ekosistem danau digunakan
kriteria Status Mutu Ekosistem Danau (SMED) yang terdiri dari indikator-
indikator ekosistem DAS, sempadan dan perairan danau. Sedangkan untuk
menentukan status mutu ekosistem pada waduk, maka penggunaan kriteria
SMED masih perlu pengkajian lebih lanjut.
d. Pengkajian kriteria SMED tersebut diantaranya meliputi penggabungan
beberapa indikator yang berkaitan dengan biodiversitas dan pemanfaatan
ar waduk; penyesuaian kriteria pada indikator erosi lahan yang dikaitkan
dengan desain rencana erosi waduk; Penggantian indikator dampak
pendangkalan danau dengan indikator dampak pendangkalan waduk
yang dikaitkan dengan prosentase volume terisi tampungan mati waduk;
i. Dampak eutrofikasi yang terjadi pada perairan waduk dan danau terutama
adalah pencemaran air baku, potensi kematian ikan masal, peningkatan
biaya pengolahan air minum, gangguan operasi dan pemeliharaan pada
bangunan operasional untuk pemanfaatan air waduk atau danau, serta
gangguan trasnportasi dan estetika badan air. Karena itu upaya
pengendalian perlu dilakukan yang diantaranya adalah melalui upaya
pengendalian alami, upaya pengendalian fisika-kimia-biologi dan upaya
bersama melalui peran serta mayarakat. Upaya pengendalian alami adalah
memanfaatkan predator fitoplankton misalnya ikan mola, Sedangkan upaya
pengendalian fisika-kimia-biologi dilakukan melalui diversi aliran,
pengerukan sedimen dasar, penambahan zat flokulan dan proses
bioremediasi. Hal penting lainnya adalah pengendalian pencemaran melalui
peran serta masyarakat misal kerjasama pengendalian pada sumber titik
dan tersebar pada DAS, sempadan maupun perairan waduk atau danau.
j. Pengendalian pencemaran secara terpadu sangat diperlukan dengan
melibatkan berbagai komponen-komponen komponen yang diantaranya
adalah komponen pengelola DAS dan waduk/danau, komponen koordinasi
dan implementasi program instansi terkait, partisipasi dan kepedulian
masyarakat termasuk investasi serta jasa keahlian dan pelaksanaan untuk
pengelolaan lingkungan, komponen teknologi pengendalian pencemaran
air termasuk teknologi konservasi, komponen kebijakan dan komitmen
pemerintah pusat, komponen penelitian dan pengembangan untuk
pengembangan dan solusi permsalahan seta komponen penegakan hukum
dan aturan lingkungan yang memayungi program dari tiaptiap komponen
tersebut.
8.2 Saran-saran
Untuk memastikan program pengendalian pencemaran berjalan efektif sangat
dibutuhkan dukungan kelembagaan dan dasar-dasar hukum yang baik, dan
kecukupan akses pada data yang benar, serta sumber daya manusia yang
terlatih dan teknologi yang tepat untuk pelaksanaan dan penerapan standar
untuk pengendalian sumber-sumber titik dan sumber tersebar yang beresiko
tinggi, sehingga lingkungan dan masyarakat terhindar permasalahan
lingkungan melalui strategi sebagai berikut:
a. Pemanfaatan teknologi ditujukan untuk penggunaan teknologi yang tepat
meminimumkan dan mengendalikan pencemaran, penurunan beban
pencemar pada sumber pencemar dan pemanfaatan prinsip 3 R yaitu reuse
atau penggunaan kembali, recycling atau daur ulang dan recovery atau
pengambilan kembali dari pembaungan, serta sistem pembuangan yang
DAFTAR PUSTAKA
Bab I
Brahmana, Moelyo,M, Rahayu,S.1993. “Eutrofikasi Waduk Saguling”, Jurnal
litbang Pengairan. 8 (28). Puslitbang Pengairan, Bandung
Bukit, N.T., 1995. “Water Quality Conservation for The Citarum River in West
Java”. Water Science Technology Vol.31(9), Pergamon, London, pp.1-10.
ICES.2009. “Human Induced Eutrophication is Minimized Especially Adverse
Effect”. Final Report, European Commision Jorgensen (2001) Lehmusluto,P.,
B.Machbub, Bukit,.N.T., Rusmiputro. S., F.Achmad., L.Boer., Brahmana, S.,
1995. “National Inventory of The Major Lakes and Reservoir in Indonesia”,
Expedition Indodanau Technical Report, In Cooperation RIWRD and
University of Helsinky (direvisi 1997)
Machbub,B., Fulazzaky, M.A., Brahmana, S. dan.Yusuf, I.A., 2003. “Eutrophication
of Lakes and Reservoir and Its Restoration in Indonesia”. Jurnal Litbang
Pengairan Vol.17(50) , Puslitbang Pengairan, Bandung.
Mukerjee,A,2009. ”Lake watershed management in developing countries through
community participation: a model”. Proseding Konferensi Danau
Berkelanjutan,13-15 Agustus. Bali
Peraturan Menteri Lingkungan Hidup Nomor 28/2009 Pasal 1
Straskraba,M and Tundisi, J.G. “Guidelines of Lake Management Volume 9:
Reservoir Water Quality Management”, ILEC,1999
Hartoto,D.I., 2001. “Dinamika Populasi Plankton Sebagai Indikator Pencemaran
pada Perairan Waduk”, Pusat Penelitian Limnologi-LIPI, Cibinong
Undang-undang Nomor: 24 tahun 2007 tentang Sumber Daya Air
Bab II
Brahmana, Moelyo,M, Rahayu,S.1993. “Eutrofikasi Waduk Saguling”, Jurnal
litbang Pengairan. 8 (28). Puslitbang Pengairan, Bandung
Bab III
Kementerian Lingkungan Hidup, 2009. Peraturan Meneter Lingkungan Hidup
Nomor : 8/2009 Tentang Daya Tampung Beban Pencemaran Air Danau dan
Waduk
Kementerian Lingkungan Hidup, 2003. Keputusan Men LH Nomor 114/2003
tentang Pedoman Pengkajian untuk Menetapkan Kelas Air
Brahmana, S. dan Achmad,F., 2001. “Korosifitas Air Waduk Saguling dan waduk
Cirata terhadap Turbin dan Beton”. Jurnal Litbang Pengairan Vol.15(46),
Bandung
Bab IV
Anderson, D,M., J,M, Burkholder., W,P, Cochlan., P,M, Gilbert., C,J, Gobler., C,A,
Heil., R,M, Kudela., M,L, Parsons., J,E, Jack Rensel., D,W, Townsend., V,L,
Trainer., G,A, Vargo., 2008, “Harmful Algall Blooms And Eutrophication:
Examining Linkages From Selected Coastalregion Of The United Stated”,
Harmful Algae., 8, 39-53.
Astuti, Bambang.1992. Sistem Terpadu Dalam Pengelolaan Lingkungan Waduk/
Situ Saguling/Cirata. Puslitbang Perikanan, Jakarta
Chapra, Steven.C., 1997. Surface Water Quality Modelling. Mc Graw Hill Book
Inc, NewYork
Fahmijani,Trijanto, A.Lukman, dan.Meutia,A., 2009. Keramba Jaring Apung
Ramah Lingkungan, Konferensi Danau Berkelanjutan. Denpasar-Bali
Gunawan,W., Zahidah dan Mulyanti,W., 2006. “Model Eutrofikasi untuk
Merancang Kebijakan Pengelolaan Waduk yang Berkelanjutan melalui
Sistem Dinamik”. Laporan Riset DIKTI.
Haarcoryati, A.,2008. Hubungan Rasio N/P dengan kecenderungan dominasi
komunitas mikroalga pada waduk-waduk di DAS Citarum., Buletin Keairan
Vol.1(1), Puslitbang SDA, Bandung
Goldman,C.R dan Horn, A.J.,1994. Limnology. 2nd. Mc Graw Hill.Inc
Bab V
Caltare,Craig. 2005. “Remote Sensing Applications for Water Quality Testing”.
http://www.nmt.edu/zhou/HYD571.html.
Chapra,Steven..C,. 1997. Surface Water Quality Modelling, Mc Graw Hill Inc.,
New-York
Flowers, J.D, Hauck,L.M. dan Kiesling,L.R., 2001. “Water Quality Modelling of
Lake Waco Using CEQual-W2 for Assesment of Phosphorous Control
Strategies”. USDA: Lake Waco-Bosque River Initiative, Texas Institute for
Applied Environmental Research, Texas
Bab VI
Brahmana, Moelyo,M, Rahayu,S.1993. “Eutrofikasi Waduk Saguling”, Jurnal
litbang Pengairan. 8 (28). Puslitbang Pengairan, Bandung
Brahmana.S, Suyatna. U., Fanshury, R dan Bahri. S., 2002. “Pencemaran Air dan
Eutrofikasi Waduk Karangkates dan Upaya Penanggulangannya”. Jurnal
Litbang Pengairan Vol.12(49), Pusat Litbang Pengairan, Bandung
Brahmana dan Ahmad,F. 2004. Korosifitas Air W Aduk Saguling dan Waduk
Cirata Terhadap Turbin Dan Beton, .Jurnal Litbang Pengairan.Vol. 15. No.
46. Th. 2001, Bandung
Cooke, G.D., R.T. Heath, R.H. Kennedy, dan M.R. Mc Comas. 1978. Effects Of
Diversion And Alum Application On Two Eutrophic Lakes. EPA-600/3-81-012
Cooke dan Dennis G. 1993. Restoration and Management of Lakes and Reservoirs,
Second Edition. Lewis Publishers.
Gupta,R.S. dan Deshora,H.S., 1977. Drinking Water Quality Enhancement Through
Source Protection: Algal Pollutants and Potable Water. Editor:Pojasek, R.B.,
ISBN: 0-250-40388-6. Ann Arbor Science Publisher.Inc, Michiigan-USA,
pp:431-4440
Bab VII
Kementerian Lingkungan Hidup, 2010. Konferensi Nasional Danau Berkelanjutan,
Denpasar-Bali 13-15 Agustus 2009 (www.LH.go.id, 20 maret 2010)
Novotny,V., Campbell,N., D’Arcy, B., Frost,A dan Sansom,A., 2004. An Introduction
to The Problems and Solutions. IWA Publishing, New York,pp:11-12
LAMPIRAN
ƵƚƌŽĨŝŬĂƐŝtĂĚƵŬĚĂŶĂŶĂƵ͗
WĞƌŵĂƐĂůĂŚĂŶ͕WĞŵŽĚĞůĂŶĚĂŶhƉĂLJĂWĞŶŐĞŶĚĂůŝĂŶ.