Anda di halaman 1dari 8

Terakreditasi Dirjen Dikti SK No.

26/DIKTI/Kep/2005

Televisi dan Fenomena Kekerasan


Perspektif Teori Kultivasi
Nova Yuliati

ABSTRACT

TV violence becomes one of the main polemics nowadays. Communication experts,


media activists, and parents are strongly opposed and debated bad TV content due to its effect
on children’s aggressive behavior. As stated by George Gerbner, communication expert
who theorized Cultivation Theory, TV power comes from the symbolic content of the real-life
drama shown hour per hour, week after week. Furthermore, television is easy to access
and relatively cheap. More than 90 percent residents watch TV everyday. Cultivation theory
theorized by Gerbner recently has developed and gave birth many other theories
such as mainstreaming, resonance, desensitization, and priming.

Kata kunci: kekerasan, teori kultivasi, mainstreaming, resonance

1. Pendahuluan Lippman menguraikan hal itu sebagai bagian


dari ulasannya tentang opini publik dan surat kabar.
Di era informasi seperti saat ini, media massa Namun, konsepsinya bisa diterapkan ke semua
berperan penting dalam kehidupan kita. Boleh jenis media. Sebagai sumber pengetahuan, media
dikata, hampir sebagian besar penduduk dunia menyajikan informasi dunia luar kepada orang-or-
melek media. Media memberi implikasi besar pada ang, yang kemudian menggunakannya untuk
kehidupan kita di masa kini dengan bobot yang membentuk atau menyesuaikan gambaran
semakin hari semakin besar (banyak) baik secara mentalnya tentang dunia (Rivers, Jense, &
kuantitas maupun kualitas. Salah satu kekuatan Peterson: 2003:30). Gagasan Lippman mengenai
media massa adalah kemampuannya menciptakan kenyataan bentukan media massa yang
“lingkungan semu” bagi khalayaknya. Walter diutarakannya di tahun 1922 semakin menemukan
Lippman dalam bukunya yang berjudul Public bentuknya di era informasi sekarang. Pada titik ini,
Opinion (1922) menguraikan gagasannya sebagai mau tidak mau kita harus mengakui bahwa media
berikut: massa memiliki daya pengaruh terhadap cara
“Biasanya, kita tidak melihat dulu sesuatu untuk pandang, perasaan, bahkan perilaku kita melalui
mendefinisikannya; biasanya kita mendefinisikan ‘objektivitas semu’ yang dapat dikonstruksinya.
dulu, baru melihat. Ketika diliputi ketidaktahuan Setiap bentuk media massa memiliki
tentang dunia luar, kita begitu saja karakteristik khas dengan berbagai kelebihan dan
membayangkannya berdasarkan apa yang sudah kekurangannya. Di antara berbagai bentuk media
kita ketahui. Karena itulah kita sering terjebak ste-
massa, yang mungkin paling kontroversial adalah
reotype….” (Rivers, Jense, & Peterson: 2000:29).
televisi. Televisi (melalui program-programnya)

Nova Yuliati. Televisi dan Fenomena Kekerasan Perspektif Teori Kultivasi 159
tidak saja memasuki wilayah publik, juga menyerbu menewaskan tidak kurang 12 orang murid dan
wilayah-wilayah pribadi kita. Televisi memasuki seorang guru tewas, serta lebih dari 20 orang luka-
kantor, ruang-ruang keluarga, bahkan kamar tidur luka. Kedua pelaku –Dylan dan Eric- seusai
berjam-jam setiap harinya. kejadian mengerikan itu bunuh diri dengan
menembak d irinya send iri. Pad a akhirnya
terungkap bahwa para pelaku adalah penggemar
2. Fenomena Televisi acara-acara kekerasan di televisi. (Astuti, 2004)
Televisi membawa berbagai kandungan
informasi atau pesan yang menyebar dalam 3. Teori Kultivasi
kecepatan tinggi ke seluruh pelosok. Ia menjadi Pencetus Teori Kultivasi, George Gerbner,
alat bagi aneka kelompok untuk menyampaikan menganggap televisi sebagai sebuah kekuatan yang
aneka pesan bagi berbagai khalayak. Melalui dominan dalam kehidupan di zaman modern ini.
berbagai macam program tayangannya, baik yang Argumen Gerbner didasarkan pada kenyataan
berdasarkan realitas maupun rekaan, televisi bisa bahwa televisi telah menjadi semacam ‘anggota
menjadi wahana belajar bagi siapa saja; televisi keluarga baru’ di mana ia memiliki akses tak terbatas
telah menjadi second mother, di mana anak belajar terhadap setiap anggota keluarga. Dalam bahasa
dari televisi. Seorang anak melompat dari atap yang lebih ekstrim, Gerbner bahkan menuding
rumah setelah menonton seorang jagoan yang televisi sebagai agama baru, karena menonton
melompat dari atap gedung pada sebuah tayangan televisi tidak ubahnya bagaikan ritual keagamaan
televisi. Pada kali lain, seorang anak menyerahkan seperti pergi ke gereja bagi pemeluk Kristiani.
celengannya hasil menabung berbulan-bulan yang Lantas, apa yang paling mengasyikkan yang
tadinya akan digunakan untuk membeli apa yang ditonton pemirsa televisi setiap harinya? Gerbner
diinginkannya pada korban tsunami di Aceh menunjuk tayangan-tayangan kekerasan-lah yang
setelah ia melihat musibah itu di televisi. mereka sukai. Pendapat Gerbner tentang efek negatif
Namun, tanpa mengabaikan dampak positif televisi hanya salah satu dari banyak teori yang
yang ditimbulkannya, banyak kalangan menghubungkan efek media dengan kekerasan.
mencemaskan pengaruh negatif televisi terhadap Ditengarai bahwa selain televisi, jenis-jenis media
perilaku khalayak. Maraknya tayangan-tayangan lain semacam buku-buku komik, atau video games
kekerasan di televisi menyulut kembali efek media juga mengakibatkan efek negatif, tapi bagi Gerbner,
violence. Hal ini bukan tak berdasar, kita perhatikan televisi adalah ‘tersangka utama’. Keyakinannya itu
hasil penelitian Amirudin pada tahun 1996: berdasarkan pada penelitian yang telah
“Sebanyak 33 anak dari 40 anak usia 5 sampai dilakukannya. Selama hampir dua dekade, Gerbner
dengan 14 tahun di Semarang mengaku telah telah memelopori riset yang intensif tentang
memperoleh pengetahuan kekerasan melalui televisi. hubungan tayangan (program) televisi dengan
Di antara mereka, 26 orang anak merasa terdorong tingkat kekerasan, ia juga mengategorisasikan atau
dan ikut serta melakukan tindak kekerasan setelah mengelompokkan penonton berdasarkan intensitas
mereka menikmati berbagai adegan kekerasan yang
(lamanya) mereka menonton televisi, serta perilaku-
ditayangkan flm-film di televisi.
(Amirudin:2000:29).
perilaku lainnya.
Televisi-berbeda dari media massa lainnya,
Peristiwa di Amerika Serikat berikut ini juga memproduksi beragam acara di mana pesan-pesan
menunjukkan gejala serupa. yang disampaikannya membentuk citra realitas yang
Pada 20 April 1999 di Columbine High School, begitu logis, yang lantas disampaikan kepada
Littleton, Colorado Amerika Serikat terjadi khalayak luas. Televisi ditonton khalayak dengan
penembakan yang dilakukan dua siswa pemuda
tingkat selektivitas yang rendah, di mana agenda
sekolah tersebut , Dylan Klebold (18 th) dan Eric
Harris (17 th). Mereka secara membabi buta menonton masyarakat nyaris merupakan sebuah
menembaki sekolah itu. Insiden tersebut ritual. Oleh karenanya, televisi melalui pesan-

160 M EDIATOR, Vol. 6 No.1 Juni 2005


Terakreditasi Dirjen Dikti SK No. 26/DIKTI/Kep/2005

pesannya mengonstruksi suatu cara pandang baru dari televisi. Menurut Gerbner,
tentang dunia kehidupan, bahkan menciptakan “TV’s power comes from the symbolic content of
semacam ideologi baru bagi masyarakat. the real-life drama shown hour per hour, week after
Teori Kultivasi George Gerbner menyoroti efek week. At its root, television is society,s institutional
televisi yang kumulatif dan akhirnya membentuk story teller, and a society,s stories give “ a coherent
picture of what exist, what is important, what is
sebuah realitas baru sesuai citra realitas yang
related to what, and what is right.” (Griffin:380)
ditampilkan di televisi. Artinya, kita memandang Gerbner melihat bahwa setiap masyarakat
dunia di mana kita tinggal sesuai dengan citra yang memiliki serangkaian penjelasan tentang realitas.
ditampilkan melalui televisi. Dengan kata lain, Teori Realitas tersebut adalah gambaran terpadu dan
Kultivasi menekankan pengaruh televisi yang homogen apa yang penting, apa-apa saja yang
sangat kuat terhadap pembentukan persepsi publik saling terkait, dan apa yang benar. Setiap kita
yang pada akhirnya melahirkan kontruksi sosial berusaha menanamkan sejenis aturan yang
(Miller:270). menegaskan mana yang boleh dan mana yang tidak
George Gerbner tidak puas terhadap penelitian- boleh. Aturan inilah yang disebut dengan ideologi.
penelitian tradisional yang menelaah media massa Dalam konteks media, ideologi ini mewujud dalam
sebagai suatu gejala yang terpisah dari sistem sosial. bentuk teks, atau pesan-pesan yang diproduksi.
Tanpa mengesampingkan perlunya menelaah Distribusi pesanlah yang lalu menciptakan
spesifikasi program, tingkat selektivitas ataupun lingkungan simbolis yang mencerminkan struktur
perbedaan-perbedaan individu dan kelompok,
dan fungsi lembaga yang memproduksi pesan itu
penelitian-penelitian tradisional memiliki risiko luput
(Rakhmat: 283).
mengamati kekuatan televisi sebagai –dalam bahasa
Gerbner- the common story teller yang begitu 3.1 Asumsi Dasar Teori Kultivasi
signifikan dan nyata di abad ini.
Penelitian-penelitian terdahulu berfokus hanya Secara skematis, Teori Kultivasi George
pada efek-efek kognitif, afektif, dan behavioral Gerbner didasarkan pada beberapa asumsi seperti
semata, dan tidak mengikutsertakan ‘efek ideologis’ tampak pada Tabel 1.

Tabel 1. Asumsi Dasar Teori Kultivasi

Televisi adalah media yang unik yang memerlukan studi pendekatan yang spesifik pula

Pesan-pesan televisi membentuk sistem yang koheren, membentuk cara


berpikir, cara bertindak, yang pada akhirnya menjadi budaya kita

Sistem Pesan ( isi pesan misalnya ) menciptakan tanda-tanda penanaman realitas

Fokus analisa Kultivasi adalah kontribusi menonton televisi yang berlebihan


terhadap pola pikir dan perilaku

Teknologi-teknologi baru lebih banyak menyimpangkan jangkauan pesan-pesan televisi

Fokus Kultivasi terletak pada pemantapan yang meluas dan konsekuensi-konsekuensi yang sama

Sumber: Miller (2002:270)

Nova Yuliati. Televisi dan Fenomena Kekerasan Perspektif Teori Kultivasi 161
Dari tabel asumsi-asumsi teori kultivasi di cenderung tidak memiliki selektivitas dan hal ini
atas, merujuk pada Miller, terdapat sekurangnya telah menjadi semacam kebiasaan yang selalu
tiga hal yang menjadi objek telaahnya, yaitu: berulang.
(1) Faktor Televisi. (3) Efek Kultivasi
Fokus sentral dari analisis kultivasi adalah Menilik pada keunikan dan pada peran
medium televisi yang khas (unik). Berbagai sentralnya dalam kehidupan kita, Gerbner dkk
karakteristik yang dimilikinya menjadikan televisi mengemukakan bahwa televisi akan ‘menanamkan’
memiliki kekuatan sebagai sebuah bentuk media. cara pandang terhadap dunia. Gagasannya terletak
Pertama, televisi sudah sangat meluas. Di Amerika pada efek penanaman realitas yang meyakini
Serikat saja, kini hampir semua keluarga memiliki bahwa televisi dapat menciptakan seperangkat
pesawat televisi, bahkan satu keluarga bisa memiliki kepercayaan atau nilai-nilai baru tentang realitas
lebih dari satu buah televisi. Di Indonesia sendiri, yang disosialisasikannya dalam jangka waktu yang
televisi kini bukan lagi menjadi barang mewah, lama.
televisi hampir menjadi perabot rumah tangga yang Di antara berbagai media, televisi adalah mesin
utama yang harus tersedia di setiap rumah tangga. ideologi yang paling ideal (Rakhmat : 283). Televisi
Menilik penempatan televisi yang ditempatkan di adalah sarana utama di mana kita belajar tentang
ruang-ruang keluarga sebagai sentral ruang, bisa masyarakat dan kultur dan melalui kontak kita
dibayangkan berapa jam yang dihabiskan setiap dengan televisi kita belajar tentang dunia, orang-
anggota keluarga menikmati acara-acara televisi. orangnya, nilai-nilainya serta adat kebiasaannya.
Di Amerika, dilaporkan rata-rata televisi ditonton Persepsi tentang dunia ciptaan televisi
tujuh jam per hari, di mana setiap anggota keluarga terbentuk melalui lingkungan simbolis dan sebagai
menonton rata-rata selama tiga jam setiap harinya. alat untuk menelaahnya, Gerbner menggunakan
Bandingkan dengan di Indonesia yang memiliki apa yang dinamakan sebagai indikator kultural.
kebiasaan budaya menontonnya cukup tinggi. Rakhmat menunjukkan indikator kultural
Berdasarkan pengamatan selintas, orang Indone- melingkupi aspek-aspek:
sia bisa menghabiskan berjam-jam waktunya di - Apa hubungan antara lembaga media massa
depan televisi. Ketika tidak memiliki aktivitas, kita dengan lembaga-lembaga lain?
lebih banyak memilih menonton televisi daripada - Bagaimana dan pada tingkat mana diambil
membaca buku atau beraktivitas lainnya. keputusan tentang pesan?
Kedua, televisi begitu mudah diakses. Televisi - Apa pengaruh kekuasaan, peranan, dan
relatif hanya memerlukan sedikit usaha untuk hubungan sosial terhadap proses pemilihan,
mengaksesnya, bahkan seorang buta aksara pun perumusan dan penyebaran pesan? (1988:283).
bisa menikmatinya.
Ketiga, televisi begitu koheren, melalui pro- 3.2 Kekerasan dalam Perspektif Teori
gram-programnya, televisi mengirimkan pesan- Kultivasi
pesan yang dikemas sedemikian rupa dan
Eskalasi kekerasan di layar televisi
tersosialisasi melintasi jarak ruang dan waktu.
mencemaskan banyak pihak mulai dari orang-tua,
(2) Faktor “menonton” televisi guru, sampai pemerhati media. Tapi kemudian
Teori Kultivasi berkembang dari ide tentang muncul pertanyaan ‘apa yang dimaksud dengan
bagaimana kita menonton televisi. Gerbner dkk kekerasan? Apa saja yang terkategorisasi sebagai
berpendapat bahwa masyarakat menonton televisi kekerasan? Gerbner membuat kategori kekerasan
tidak kenal waktu. Teori kultivasi meyakini bahwa dengan seperangkat pengukuran yang objektif, ia
seseorang tidak menonton televisi berdasarkan memilah mana yang termasuk siaran televisi yang
pilihannya, mereka biasanya menonton apa saja ‘bersahabat’, dan mana yang menjadi ‘musuh’.
yang tersaji. Pada situasi seperti ini, maka penonton Gerbner merumuskan bahwa kekerasan (di televisi)

162 M EDIATOR, Vol. 6 No.1 Juni 2005


Terakreditasi Dirjen Dikti SK No. 26/DIKTI/Kep/2005

adalah yang termasuk heavy viewers? Mereka adalah


“ekspresi atau tampilan yang nyata (gamblang) dari penonton yang menonton televisi sedikitnya
pamer kekuatan fisik (dengan atau tanpa senjata, empat jam setiap harinya. Merekalah yang
termasuk di dalamnya menyakiti diri sendiri atau dimaksud sebagai pecandu berat televisi. Mereka
orang lain), adegan-adegan pemaksaan yang dianggap mengunyah habis apa yang disajikan
menyebabkan orang lain menderita dan terluka serta
oleh televisi. Heavy viewers-lah yang menganggap
bentuk-bentuk ancaman terhadap orang lain (Grif-
fin: 381). realitas di televisi sebagai realitas yang sebenarnya,
Termasuk di dalam kekerasan di sini adalah mereka secara konsisten meyakini bahwa realitas
kekerasan fisikal yang ditampilkan dalam film-film di dunia nyata sama persis seperti apa yang
kartun. Sebagai contoh, adegan Power Rangers ditayangkan pada televisi.
menghabisi musuh-musuhnya, atau adegan Teori kultivaasi berpendapat bahwa pecandu
pemukulan dalam film kartun, Gerbner menunjuk berat televisi membentuk suatu citra realitas yang
adegan-adegan tersebut sebagai ‘kekerasan’. Juga tidak konsisten dengan kenyataan. Sebagai
tayangan-tayangan bencana alam dan kecelakaan contoh, pecandu berat televisi menganggap
karena walaupun sudah diperhalus sedemikian kemungkinan seseorang untuk menjadi korban
rupa (untuk alasan artistik), tetap saja tayangan- kejahatan adalah 1 berbanding 10. dalam
tayangan tadi bukan suatu kebetulan belaka. Sang kenyataan, angkanya adalah 1 berbanding 50
penulis naskah telah menyisipkan efek dramatik (DeVito : 527).
yang traumatis karena ada karater-karakter yang
tercederai atau bahkan mati. 3.4 Konsep – Konsep dalam Teori
Untuk melihat betapa banyaknya tayangan Kultivasi
kekerasan di televisi, mungkin data yang (1) Mainstreaming
disampaikan Nancy Signorielli ini membuat kita Mainstreaming adalah istilah yang digunakan
terhenyak. Menurutnya, terhitung tahun 1967- Gerbner untuk mendeskripsikan ‘kekaburan,
1985, sekitar 71% dari tayangan prime time diisi pencamburbauran dan penyimpangan’ yang
kekerasan. Sementara 94 % tayangan week-end menimpa heavy viewers akibat overdosis
dipenuhi adegan-adegan kekerasan. menonton televisi. Mainstreaming sendiri berarti
mengikuti arus. Mainstreaming dimaksudkan
3.3 Penonton Televisi dalam Perspektif sebagai kesamaan di antara pemirsa berat (heavy
Teori Kultivasi viewers) pada berbagai kelompok demografis, dan
Selain mendefinikan dan mengategorisasikan perbedaan dari kesamaan itu pada pemirsa ringan
jenis-jenis kekerasan dalam tayangan televisi, (light viewers). Bila televisi sering kali menyajikan
Gerbner dkk. juga melengkapi analisisnya dengan adegan kekerasan, maka penonton berat akan
tipikal penonton televisi. Gerbner mayakini bahwa melihat dunia ini dipenuhi kekerasan. Sementara
efek menonton terlalu banyak tayangan televisi itu penonton ringan akan melihat dunia tidak
tidaklah terbentuk secara instan, ia juga sesuram seperti penonton berat (Rakhmat,
mengabaikan peranan kelompok sebagai kekuatan 1988:284)
pengontrol. Dalam Teori Kultivasi terdapat (2) Resonance
pengelompokan antara light viewers (penonton Resonance adalah proses kecemasan yang
ringan) dan heavy viewers (penonton berat). menghinggapi para penonton berat akibat terpaan
Termasuk ke dalam kelompok light viewers ‘ideologi’ televisi. Dalam kehidupan kesehariannya,
adalah mereka yang menonton televisi sekitar dua kebanyakan penonton televisi mungkin pernah
jam setiap harinya. Merekalah penonton yang mengalami kekerasan – dirampok, berkelahi,
selektif, yang lebih memilih mematikan layar televisi kecelakaan mobil, atau sekedar berselisih dengan
manakala acara kesukaan mereka usai. Lantas, siapa pacar. Kejadian nyata itu saja sudah demikian

Nova Yuliati. Televisi dan Fenomena Kekerasan Perspektif Teori Kultivasi 163
buruk. Jika kemudian adegan-adegan kekerasan seperti apa yang mereka lihat pada televisi. Berbagai
diulang secara terus-menerus di televisi, maka hal bentuk kekerasan dan konflik di layar kaca baik
itu seperti memutar kembali peristiwa-peristiwa berupa drama, pemberitaan, film, dan lain-lain,
buruk yang dialami oleh pemirsa. Peristiwa itu terus diyakini sebagai realitas yang sesungguhnya.
melekat dalam benak mereka. Kejadian Televisi, berhasil menanamkan realitas bentukannya
sesungguhnya bersama dengan tayangan kepada penonton, ia tidak lagi hanya sekedar
kekerasan yang terus ditonton akan selalu melaporkan dan menginformasikan suatu peristiwa.
‘bergema’ dalam benak penonton dan semakin kuat Menurut Gerbner dkk., karena televisi
membentuk pola-pola penanaman realitas. Pada merupakan pengalaman besar bersama hampir
heavy viewers yang pernah mengalami kekerasan, setiap orang, televisi menyediakan cara bersama
maka tingkat kecemasannya menjadi dua kali lipat. melihat dunia (Mulyana, 2004). Lebih jauh, Gerner
Mainstreaming dan resonance ini menjelaskan bagi orang-orang yang banyak
menumbuhkan keyakinan dalam diri penonton meluangkan waktunya dengan media hiburan,
berat bahwa dunia tempat mereka tinggal adalah sebenarnya menaruh harapan atas dasar fiksi,
tempat yang menakutkan bukan atas dasar fakta (Jahi, 1988:82). Efek kultivasi
ini akan semakin lengkap bila media berhadapan
4. Realitas Media dan Realitas Nyata dengan penonton yang pasif, yang tidak memiliki
daya analisa dan tidak bertindak kritis terhadap
Realitas media merupakan realitas semu yang
sajian-sajian media. Pada akhirnya, mereka
lantas diyakini oleh khalayak sebagai realitas yang
cenderung percaya begitu saja terhadap segala
sebenarnya. Dalam konteks penelitian Gerbner, inilah
yang ditampilkan lewat media.
pengaruh televisi terhadap khalayak. Lebih spesifik
Sementara Denis McQuail dan Sven Windahl
lagi, ia menyoroti pengaruh kekerasan yang
menyebut faktor ‘belajar’ dan ‘konstruksi’ yang
ditayangkan televisi terhadap khalayak. Hasil
merupakan aspek potensial pencetus efek kultivasi.
penelitiannya menunjukkan adanya efek penanaman
Mereka menggambarkannya dalam bentuk
realitas atau kultivasi pada heavy viewers. Pecandu
sebagaimana tampak pada Gambar 1.
berat televisi ini menyamakan realitas dunia nyata

Gambar 1. Model Pengkondisian Efek Penanaman Realitas.

TV Incidental Social
Viewing Information Reality
(Learning) (Construction)

Capacity, Inference Skills,


Focusing, Social Structure,
Strategies, Other Experiences
Attention,
Involment

164 M EDIATOR, Vol. 6 No.1 Juni 2005


Terakreditasi Dirjen Dikti SK No. 26/DIKTI/Kep/2005

Dari model pada Gambar 1, secara sederhana memasalahkan tayangan televisi saja tidak cukup
dapat diurutkan bagaimana efek kultivasi dapat tanpa mempertimbangkan kualitas kehidupan
dimunculkan. Namun, proses penanaman efek keluarga. Kehidupan keluarga yang berkualitas ia
kultivasi, bila mengacu pada pendapat McQuail, artikan sebagai adanya pegangan nilai etik moral
tidaklah tunggal namun berlangsung kompleks dalam keluarga yang sepenuhnya dijungjung
karena dipengaruhi berbagai faktor. Seandainya tinggi. Dalam hal ini, orang tua menjadi model atau
pun televisi sangat berpengaruh, kita tidak dapat anutan bagi anak, sehingga anak tidak rawan oleh
mengabaikan berbagai variabel moderator atau tayangan televisi (Supriadi, 1993:78-79).
moderator perantara yang ikut mempengaruhi pola Agaknya masih sulit menarik kesimpulan yang
hubungan (Supriadi, 1993:78). meyakinkan tentang seberapa besar dampak siaran
Namun, terlepas dari banyaknya variabel televisi, terutama ekspose siaran kekerasan. Kasus-
yang memengaruhi pola hubungan televisi dengan kasus kekerasan di masyarakat tentu saja tidak
kekerasan, kita tidak dapat mengabaikan efek dapat digeneralisasikan sebagai akibat siaran
penanaman realitas yang dikemukakan Gerbner, televisi saja, karena begitu banyak stimulus yang
karena bagaimanapun, dalam masyarakat disebabkan oleh faktor-faktor lain.
kontemporer televisi merupakan salah satu
kekuatan yang dapat membentuk opini publik atau 6. Penutup
bahkan menciptakan citra baru dalam masyarakat.
Maraknya tayangan kekerasan di televisi,
Pandangan Amirudin yang juga peneliti ini
sudah selayaknya membuat banyak pihak prihatin.
mungkin bisa sedikit mendeskripsikan efek
Televisi sebagai sumber utama sistem simbol yang
penanaman realitas dalam kehidupan sehari-hari
repetitive dan ritual, mampu menanamkan
yang kadang-kadang luput diperhatikan;
Bisa dibayangkan, seandainya dalam satu film
kesadaran umum tentang massa khalayak yang
ditampilkan tiga puluh kali adegan kekerasan, paling besar dan heterogen. Keyakinan ini salah
sedangkan dalam setiap hari mereka (anak-anak) satu yang mendasari munculnya Teori Kultivasi
menonton dua atau bahkan tiga film, maka dalam yang dikemukakan George Gerbner.
setiap harinya berarti mereka menyaksikan Televisi dengan berbagai kekuatannya seperti
sebanyak 30-90 adegan kekerasan. Jika kemudian telah dipaparkan sebelumnya, membawa implikasi
dihitung dalam satu minggu, ini berarti terdapat yang sangat signifikan terhadap kehidupan kita,
sekitar 630 adegan kekerasan yang dinikmati. Lalu juga disertai dengan efek-efek yang tidak kita
jika dihitung dalam satu bulan berarti ada sekitar
bayangkan sebelumnya. Terlepas dari segala
18.900 adegan kekerasan atau bahkan jika dihitung
dalam satu tahun berarti ada kekerasan sekitar
kontroversinya, Teori Kultivasi menyadarkan kita
1.927.800. Sepertinya, anak-anak hidup dalam untuk mewaspai televisi. Bila Gerbner dkk.
wilayah persona, dimana atmosfer kekerasan telah mewaspadai televisi dalam konteks isi atau pesan-
menjadi bagian dari hidupnya, ‘diajarkan’ dan pesannya yang dikemas sedemikian rupa, maka
seolah-olah mereka “diminta” menyelesaikan segala Tony Buzan, seorang pengarang bestseller,
persoalan hidup dengan kekerasan (2000: 31-32). penceramah, dan juga trainer ‘mendunia’, ia
memberi anjuran bagi kita untuk “menjaga jarak”
5. Kritik terhadap Teori Kultivasi dengan televisi. Inilah apa yang disarankan Buzan:
“Periksa lingkungan dan kegiatan Anda di rumah.
Tentu saja, pada setiap pemunculan gagasan,
Ciptakan, daerah bebas televisi. Putuskan untuk
terdapat pro dan kontra. Studi Robert Coles, pakar tidak mendengarkan atau menonton semua siaran
psikiatri dari Universitas Harvard menemukan, berita (mana pernah acara ini menyiarkan berita
bahwa situasi keluargalah yang menjadi variable gembira?). Jika Anda punya anak, Anda akan tahu
moderator hubungan antara tayangan tindak bahwa anak-anak menjadi lebih suka mengomel,
kekerasan di televisi dengan perilaku tertentu pada mudah marah, dan bersikap tidak patuh jika
anak-anak. Coles menunjukkan bahwa mereka terlalu sering bergonta-ganti hiburan.

Nova Yuliati. Televisi dan Fenomena Kekerasan Perspektif Teori Kultivasi 165
Mereka jauh lebih senang, gembira dan tenang
jika dibiarkan menyibukkan diri dengan membaca,
Jennings. Bryant, Dolf Zillmann. 2002. Media Ef-
atau membiarkannya hanyut dalam imajinasi dan fects Advances In Theory And Research. Sec-
fantasinya sendiri” (203:130-131). ond Edition. Lawrence Erlbaum Associates,
Publisher.
Littlejohn. S.W. 2005. Theories of Human Commu-
Daftar Pustaka nication. Eighth Edition. Belmont CA.
Wadsworth
Amirudin. 2000. Industri Media Dan Wacana
Budaya Kekerasan. Jurnal Ikatan Sarjana McQuail. Denis, Sven Windahl. 1993. Communi-
Komunikasi. Pt Remaja Rosdakarya. cation Models. Second Edition. Longman.
London and New York.l
Astuti. S.I. 2004. “Kekerasan Kriminalitas Di
Televisi.” Pikiran Rakyat Miller, Katherine. 2002. Communication Theories,
Perspektives, Proceses, And Contexts. The
Buzan, Tony. 2003. Sepuluh Cara Jadi Orang Yang McGraw-Hill Companies. Inc.
Cerdas Secara Spiritual. Gramedia.
Mulyana. Deddy. 2004. “Menangkal Dampak
DeVito, Joseph. 1997. Komunikasi Antar Manusia. Tayangan Kekerasan, Seksual, Dan Mistik TV
Professional Books. Jakarta. Terhadap Anak Dan Remaja.” Makalah.
Griffin. EM. 2003. A First Look At Communication Unisba.
Theory. Fifth Edition. The McGraw-Hill Com- Rakhmat. Jalaluddin. 1988. Psikologi Komunikasi.
panies, Inc. Remadja Karya CV.
Jahi. Amri. 1988. Komunikasi Massa Dan
Pembangunan Pedesaan Di Dunia Ketiga.
Gramedia. Jakarta

166 M EDIATOR, Vol. 6 No.1 Juni 2005

Anda mungkin juga menyukai