Anda di halaman 1dari 375

2nd World Head & Neck Cancer Day

“EARLY DIAGNOSIS AND CURRENT TREATMENT PARADIGM


IN
HEAD AND NECK SURGERY”
Bandung, 27-28 Juli 2016

Prosiding
Editor :
Dr. Yussy Afriani Dewi, dr., M.Kes., Sp.THT-KL (K), FICS
Sintasari Ratunanda, dr., M.Kes., Sp.THT-KL (K)

FK Universitas Padjadjaran
RSUP dr. Hasan Sadikin
PERHATI-KL Cabang Jawa Barat
PROSIDING
2nd World Head & Neck Cancer Day
Early Diagnosis and Current Treatment Paradigm in
Head and Neck Surgery
Bandung, 27 – 28 Juli 2016

Editor :
Dr. Yussy Afriani Dewi, dr., M.Kes., Sp.THT-KL (K), FICS
Sintasari Ratunanda, dr., M.Kes., Sp.THT-KL (K)

Diterbitkan oleh :
Fakultas Kedokteran Universitas Padjajaran
Jl. Eijkman No. 38 Bandung 40161
Telp. 022 – 2037823
http://www.fk.unpad.ac.id
e-mail : konaspdfi2016@gmail.com

Copyright © 2016

ISBN : 978-602-0877-06-8

Hak cipta dilindungi oleh undang – undang.


Dilarang memperbanyak sebagian atau seluruh
isi buku ini tanpa izin tertulis dari penerbit
KATA PENGANTAR

Puji syukur kehadirat Allah SWT atas limpahan rahmat dan karunianya
sehingga buku Early Diagnosis and Current Treatment Paradigm in Head
and Neck Surgery ini dapat diselesaikan. Buku panduan ini merupakan
kumpulan makalah-makalah yang telah ditampilkan dalam acara
nd
Symposium and Workshop 2 World Head&Neck Cancer Day yang
dilaksanakan pada bulan Juli 2016 lalu. Diharapkan dapat menjadi
pedoman bagi seluruh dokter umum dan dokter spesialis THT-KL dalam
mendiagnosis serta menangani kasus keganasan di daerah kepala dan
leher serta memberikan petunjuk praktis agar para dokter umum baik yang
bertugas di rumah sakit maupun Puskesmas mampu untuk melakukan
deteksi dini pada keganasan kepala leher.

Terimakasih juga disampaikan kepada Dept/SMF Ilmu Kesehatan THT-KL


Fakultas Kedokteran Universitas Padjadjaran Bandung, Rumah Sakit Hasan
Sadikin Bandung dan PERHATI-KL Cabang Jawa Barat atas kontribusi dalam
penyempurnaan buku ini. Terimakasih kepada seluruh pihak yang telah
berkontribusi dan ikut membantu dalam penyelesaian buku ini.

Semoga buku ini dapat memberi maanfaat bagi seluruh dokter umum dan
Spesialis THT-KL khususnya dan bagi semua pihak yang membutuhkan.

Bandung, Agustus 2016

DR. dr. Yussy Afriani Dewi, Sp.THT-KL(K), M.Kes

iii
iv
DAFTAR ISI

Kata Pengantar ...................................................................................... iii


Daftar Isi ............................................................................................... v

Rinoskopi Posterior ............................................................................... 1

Laringoskopi Indirek .............................................................................. 3

Rinolaringoskopi Serat Lentur .............................................................. 5

Nasoendoskopi ...................................................................................... 7

Deteksi Dini Karsinoma Nasofaring ...................................................... 11


Dr. Yussy Afriani Dewi, Sp.THT-KL(K).,M.Kes.,FICS

Tiroidektomi .......................................................................................... 39
Dr. Yussy Afriani Dewi, Sp.THT-KL(K).,M.Kes.,FICS

Deteksi Dini Keganasan Telinga dan Temporal .................................... 101


Dr. Lina Lasminingrum, Sp.THT-KL(K).,M.Kes

Bedah Minimal Invasif Tumor Sinonasal .............................................. 109


Sinta Sari Ratunanda, dr.,Sp.THT-KL(K)

Karsinoma Sinonasal ............................................................................. 119


Nur Akbar Aroeman dr.,Sp.THT-KL(K)

Kemoterapi pada Kanker Kepala dan Leher ......................................... 135


Amaylia Oehadian, dr. Sp.PD-KHOM

v
Tumor Mata dan Orbita ........................................................................ 147
Ratika, Puti Ayu Tiara, Sonie Umbara, Lenora Sandra, Grace F.
Sulaeman, Angga Kartiwa, Shanti Boesoirie, M. Rinaldi Dahlan,
Kautsar Boesoirie

Faktor Risiko Karsinoma Nasofaring di Rumah Sakit Hasan Sadikin


Bandung ................................................................................................ 203
dr. R Ayu Hardianti S, Dr. Yussy Afriani Dewi, dr., M.Kes.,
Sp.T.H.T.K.L(K), FICS, Agung Dinasti Permana, dr., Sp.T.H.T.K.L,
M.Kes., FICS

Prevalensi Nodul Tiroid di Departemen/SMF Ilmu Kesehatan THT-KL


RSHS Tahun 2010 sd.2015 .................................................................... 213
dr. Franssiskus H. Poluan, Dr. Yussy Afriani Dewi, dr., M.Kes.,
Sp.T.H.T.K.L(K), FICS, Agung Dinasti Permana, dr., Sp.T.H.T.K.L,
M.Kes., FICS

Gambaran Neutropenia pada Pasien Limfoma Non Hodgkin Kepala


dan Leher selama Kemoterapi di RSUP dr.Mohamad Hoesin
Palembang Tahun 2012-2014 ............................................................... 221
dr. Ermalinda Kurnia, dr. Denny Satria Utama Sp.THT-KL., MSI Med,
FICS

Angiofibroma nasofaring juvenile di RSUP H. Adam Malik Medan .... 229


Resta Imelda Simbolon, Rizalina A. Asnir, Farhat

Diffuse Large B-Cell Lymphoma Sinonasal Pada Laki-laki 25 Tahun 243


Sari Nurfaizah, Wifaqi Oktaria, Denny Satria Utama

Penatalaksanaan Luka Tusuk Leher Di Rumah Sakit Hasan Sadikin


Bandung ................................................................................................ 255
dr. Nurbaiti, dr. Agung Dinasti Permana, Sp.T.H.T.K.L, M.Kes., FICS

vi
Pembedahan Tumor Parotis yang Ekstensi ke Canalis Akusticus
Eksternus ............................................................................................... 267
Dina Riana, Agung Dinasti Permana, Arif Dermawan

Tatalaksana Teknik MOHS MICROSCOPIC SURGERY Pada Karsinoma


Sel Basal ................................................................................................ 277
Apriyanza Akbar, Fivien Fedriani, Denny Satria Utama

Lipoma Sel Spindle ................................................................................ 291


dr. Achmad Prihadianto, Dr. Yussy Afriani Dewi, dr., M.Kes.,
Sp.T.H.T.K.L(K), FICS, Agung Dinasti Permana, dr., Sp.T.H.T.K.L,
M.Kes., FICS

Keberhasilan Jabir Bebas Radial Forearm Pada Rekonstruksi Defek


Palatum Durum ..................................................................................... 301
dr. Billy Talakua, DR. dr. Yussy Afriani Dewi M.Kes, Sp. THTKL(K) FICS,
DR. dr. Shinta Fitri Boesoirie M.Kes, Sp. THTKL(K)

Karakteristik Angiofibroma Nasofaring Belia di SMF Ilmu Kesehatan


THT-KL Rumah Sakit Dr. Hasan Sadikin Bandung Periode 1 Januari
2011 – 20 Juni 2016 ............................................................................... 313
dr. I Putu Aditya Bawa*, Dr. Yussy Afriani Dewi, dr., M.Kes.,
Sp.T.H.T.K.L(K), FICS, Agung Dinasti Permana, dr., Sp.T.H.T.K.L,
M.Kes., FICS

Efektifitas Embolisasi Perioperatif Pada Pasien Angiofibroma


Nasofaring Belia di FK UNPAD/RS. Umum Pusat dr. Hasan Sadikin
Bandung Periode Januari 2015-Januari 2016 ....................................... 323
dr. Igor Hutabarat, Dr. Yussy Afriani Dewi,dr., M.Kes, Sp.THT-KL(K),
FICS, dr. Agung Dinasti Permana, M.Kes, Sp.THT-KL(K), FICS

Deteksi Dini Keganasan pada Laring ..................................................... 333


Agung Dinasti Permana, dr.,Sp.THT-KL(K)., M.Kes.,FICS

vii
Karakteristik Karsinoma Nasofaring di Bagian THT-KL RSUP Dr.
Moehammad Hoesin Palembang Periode Januari 2013-Desember
2015 ...................................................................................................... 353
Fivien Fedriani, Juwaika, Denny Satria Utama

viii
RINOSKOPI POSTERIOR

A. Memperkenalkan diri pada pasien


 Sapa pasien dengan ramah dan memperkenalkan diri
 Pasien diberikan penjelasan tentang tindakan yang akan
dilaksanakan dengan baik
 Cek kelengkapan alat yang akan digunakan:
 Spatula lidah
 Cermin Nasofaring ( Cermin rinoskopi Posterior)
 Lampu Kepala
 Spirtus
 Kassa
 Xylocain Spray
 Alat Perlindungan Diri

B. Persiapan
 Cuci tangan dengan sabun antiseptik dan keringkan dengan tisu
kering
 Untuk perlindungan pribadi : gunakan sarung tangan dan masker
 Gunakan Lampu kepala

C. Tahapan Prosedur Tindakan


 Pasien dalam posisi duduk di depan pemeriksa.
 Pada penderita yang sensitive diberikan topical anestesi yaitu
xylocain spray sebelum pemeriksaan dimulai, sebelum
pemeriksaan dimulai, pada dasar lidah dan dinding faring.
 Cermin nasofaring / cermin rinoskopi posterior dipanaskan
terlebih dahulu dengan menggunakan spirtus untuk mencegah
pengembunan pada cermin.
 Temperatur cermin dicek dengan menyentuhkan pada
punggung tangan pemeriksa sampai terasa hangat (tidak panas).

1
Rinoskopi Posterior

 Tangkai cermin dipegang seperti memegang pensil, cermin


diarahkan ke atas.
 Pasien diminta untuk membuka mulut tanpa mengeluarkan
lidah, 1/3 dorsal lidah ditekan dengan menggunakan spatel
lidah. Jangan melakukan penekan yang terlalu keras pada lidah
atau memasukkan spatel terlalu jauh hingga mengenai dinding
faring karena dapat merangsang refleks muntah.
 Cermin nasofaring yang sebelumnya telah dihangatkan,
dimasukkan ke belakang rongga mulut dengan permukaan
cermin menghadap ke atas. Diusahakan agar cermin tidak
menyentuh dinding dorsal faring.
 Perhatikan struktur rongga nasofaring yang terlihat pada cermin.
Amati septum nasi bagian belakang, ujung belakang konka
inferior, medius dan superior, adenoid (pada anak), ada tidak
sekret yang mengalir melalui meatus. Perhatikan pula struktur
lateral rongga nasofaring: ostium tuba, torus tubarius, fossa
Rossenmuller. Selama melakukan pemeriksaan pasien diminta
tenang dan tetap bernapas melalui hidung.

2 | 2nd World Head & Neck Cancer Day


LARINGOSKOPI INDIREK

A. Memperkenalkan diri pada pasien


 Sapa pasien dengan raman dan memperkenalkan diri,
menanyakan identitas pasien
 Informed consent : menjelaskan prosedur, tujuan pemeriksaan
dan diberikan penjelasan tentang tindakan yang akan
dilaksanakan dengan BAIK.
 Cek kelengkapan alat yang akan digunakan:
 Spatula lidah
 Cermin laring ( Cermin laringoskopi )
 Lampu Kepala
 Spirtus
 Kasa
 Xylocain Spray
 Alat Perlindungan Diri

B. Persiapan
 Cuci tangan dengan sabun antiseptik dan keringkan dengan tisu
kering
 Untuk perlindungan pribadi : gunakan sarung tangan dan
masker
 Memasang Lampu Kepala

C. Tahapan Prosedur Tindakan


 Pasien dalam posisi duduk di depan pemeriksa dan diminta
untuk membuka mulut.
 Pada penderita yang sensitive diberikan topical anestesi yaitu
xylocain spray sebelum pemeriksaan dimulai, pada dasar lidah
dan dinding faring.

3
Laringoskopi Indirek

 Cermin laring dipanaskan terlebih dahulu dengan menggunakan


spirtus/ pembakar bunsen untuk mencegah pengembunan pada
cermin.
 Temperatur cermin dicek dengan menyentuhkan pada
punggung tangan pemeriksa sampai terasa hangat (tidak panas)
 Sambil membuka mulut, instruksikan penderita untuk
menjulurkan lidah sejauh mungkin ke depan dan lidah dipegang
dengan kasa (lidah difiksasi diantara ibu jari dan jari tengah),
Pasien diinstruksikan untuk bernafas secara normal.
 Letakkan kaca laring diantara belakang palatum mole dan di
depan faring posterior, arah kaca ke bawah.
 Observasi laring pada saat pasien menarik nafas dalam.
 Observasi: dinding faring, epiglotis, aritenoid, plika ariepiglotika,
plica vocalis, plica ventrikularis, sinus piriformis, rima glotis, dan
trakea. Untuk melihat pergerakan pita suara, pasien disuruh
mengucapkan kata i..i..i

4 | 2nd World Head & Neck Cancer Day


PROSEDUR RINOLARINGOSKOPI
SERAT LENTUR

A. Memperkenalkan diri pada pasien


 Sapa pasien dengan ramah dan memperkenalkan diri
 Pasien diberikan penjelasan tentang tindakan yang akan
dilaksanakan dengan baik dan adekuat
 Cek kelengkapan alat yang akan digunakan

B. Persiapan
 Cuci tangan dengan sabun antiseptik dan keringkan dengan tisu
kering
 Untuk perlindungan pribadi : gunakan sarung tangan dan masker
 Atur posisi pasien dapat duduk atau berbaring

C. Tahapan Prosedur Tindakan


 Skope dipegang dengan tangan kiri dengan jempol diposisikan
pada tuas untuk menggerakan dan mengarahkan ujung skope
dan tangan kanan memegang ujung skope (bagian lensa)
 Ujung skope dilumuri dengan xylocan gel untuk mempermudah
saat insersi
 Skope dimasukan melalui hidung melalui rongga hidung diantara
konka inferior dan media
 Kemudian skop dimasukan melalui kavum nasi sampai
nasofaring dan pasien diminta menelan tanpa makanan (dry
swallow) untuk menilai kerapatan penutupan velofaring
(velopharingeal competence) atau dengan menyuruh
menyebutkan pi pi pi. Dinilai apakah pergerakan velofaring
simetris kanan dan kiri atau terdapat adanya gap karena
penutupan yang tidak sempurna
 Selanjutnya skope dimasukan lagi sampai posisi skope di atas
uvula agar dapat menvisualisasi struktur hipofaring di bawah

5
Prosedur Rinolaringoskopi Serat Lentur

palatum mole. Pada posisi ini, dilakukan evaluasi pangkal lidah


valekula, sinus pirimorfis kanan dan kiri, dinding posterior faring,
dan post cricoid
 Untuk mengevaluasi struktur laring skop dimasukan lebih dalam
lagi, sehingga ujungnya berada setinggi epiglottis
 Evaluasi dilakukan tehadap posisis plika vokalis saat diam dan
gerakan plika vokalis saat fonasi dengan menyebuitkan huruf “
iiiii” dan juga inspirasi

D. Pasca Tindakan
 Observasi terjadinya epistaksis
 Pasien diperbolehkan makan dan minum minimal 30 menit
setelah tindakan untuk menunggu hilangnya efek anastesi
topikal pada faring

6 | 2nd World Head & Neck Cancer Day


PROSEDUR NASOENDOSKOPI

A. Memperkenalkan diri pada pasien


 Sapa pasien dengan ramah dan memperkenalkan diri
 Pasien diberikan penjelasan tentang tindakan yang akan
dilaksanakan dengan baik dan adekuat
 Cek kelengkapan alat yang akan digunakan

B. Persiapan
 Cuci tangan dengan sabun antiseptik dan keringkan dengan tisu
kering
 Untuk perlindungan pribadi : gunakan sarung tangan dan masker
 Atur posisi pasien dapat duduk atau berbaring

C. Tahapan Prosedur Tindakan


 TAHAP PERTAMA
Evaluasi kavum nasi dari anterior :
 Perhatikan bentuk konka inferior (apakah atrofi, eutrofi,
hipertrofi dsb?).
 Perhatikan keadaan septum nasi (apakah lurus, apakah
deviasi, adakah spina atau krista?, ke arah mana?)
 Perhatikan adakah sekret di dasar hidung, apakah sekret
serosa, mukoid atau mukopurulen?
 Perhatikan dari bawah : bentuk konka inferior, bentuk konka
inferior bagian posterior dan perlekatannya dengan dinding
lateral.
 Perhatikan bentuk septum dari atas sampai dasar, adakah
kelainan dibagian tengah dan belakang septum.
 Lihat : muara tuba eustachius, mukosa nasofaring, fossa
rosenmuller, sisa adenoid, adakah massa?Apakah ada post
nasal drip (PND)? (pada sinusitis grup anterior, PND terdapat

7
Prosedur Nasoendoskopi

di anterior muara tuba, pada grup posterior PND ada di


belakang muara tuba)
 Selanjutnya tarik endoskop pelan-pelan ke arah meatus
inferior: Perhatikan dinding lateralnya, mungkin terlihat muara
duktus nasolakrimalis yang terletak di dekat perlengketan
konka inferior ke dinding lateral hidung, kira-kira 1 cm dari
ujung depan meatus.

 TAHAP KEDUA
Endoskop dimasukkan lagi mengikuti sisi bawah konka media atau
di antara konka inferior dan konka media.
 Perhatikan adanya sel agger nasi, letaknya di anterosuperior
konka media.
 Perhatikan bentuk konka media : apakah atrofi, eutrofi,
hipertrofi, konka bulosa, lengkungnya paradoksikal, bilobus
dsb.
 Perhatikan prosesus unsinatus, batas anteriornya ditandai
oleh cekungan kecil berbentuk bulan sabit dan perubahan
warna yang lebih pucat di dinding lateral kavum nasi. Batas
anterior ini kira-kira parallel dengan tepi anterior konka media.
 Cari tepi bebas prosesus unsinatus (merupakan batas anterior
hiatus semilunaris) Di belakangnya terdapat bula etmoid.
 Kenali fontanel anterior dan fontanel posterior.Bila ada
lubang pada fontanel anterior atau posterior, berarti ini ostium
assesorius sinus maksila (karena ostium alaminya terletak di
balik prosesus uncinatus bagian inferior dan baru bisa dilihat
kalau prosesus uncinatus sudah diangkat).
 Perhatikan perlengkatan konka media bagian posterior dengan
lamina basalis, yang menghubungkan konka media dengan
dinding lateral hidung.
 Coba cari dinding belakang bula, kadang-kadang ada celah di
antara dinding belakang bula dengan lamina basalis (disebut
resesus retrobula atau sinus lateralis).

8 | 2nd World Head & Neck Cancer Day


Prosedur Nasoendoskopi

 TAHAP TIGA
Endoskop diarahkan ke dinding posterior kavum nasi di atas nares
posterior, antara konka media dan septum.Lihat dari bawah ke
atas.
 Perhatikan konka superior dan meatus superior.
 Cari lubang-lubang yang merupakan muara sinus etmoid
posterior
 Perhatikan resessus sfeno-etmoidalis
 Cari muara sinus sphenoid, Letaknya kira-kira 1 cm di atas
koana. Kadang-kadang tersembunyi di belakang konka
superior sehingga untuk melihatnya konka superior harus
dipotong dulu.
 Endoskop ditarik keluar kembali mengikuti tepi bawah konka
media dengan diarahkan ke superior (sambil memperhatikan
kembali struktur yang sudah dilihat tadi) :
 Di medial konka media perhatikan lamina kribrosa.
Mukosa olfaktorius warnanya lebih kekuning-kuningan
 Di depan prosesus unsinatus, coba cari resesus frontalis.
Kadang-kadang ostium sinus frontal dapat dilihat.

Early Diagnosis and Current Treatment Paradigm in Head and Neck Surgery | 9
Prosedur Nasoendoskopi

10 | 2nd World Head & Neck Cancer Day


DETEKSI DINI KARSINOMA NASOFARING
Dr. Yussy Afriani Dewi, dr., M.Kes., SpTHT-KL(K)., FICS

Departemen Ilmu Kesehatan Telinga Hidung Tenggorok Bedah Kepala Leher


Fakultas Kedokteran Universitas Padjadjaran
Rumah Sakit Umum Pusat Hasan Sadikin Bandung

Definisi
Karsinoma nasofaring adalah keganasan yang berasal dari epitel atau
1
mukosa dan kripta yang melapisi permukaan nasofaring. Lesi awal
keganasannya terletak pada fossa Rosenmuller yang merupakan epitel sel
skuamosa di sekitar tuba Eustachius dinding lateral dan atap nasofaring,
2, 3
serta daerah tuba Eustachius sendiri.

Epidemiologi
Karsinoma nasofaring mempunyai distribusi yang berbeda berdasarkan
letak geografi dan kebiasaan hidup, jarang terjadi di beberapa negara
tertentu seperti Amerika Serikat dan Eropa dengan insidens sebesar 0,5
4, 5
dan 1 kasus per 100.000 populasi per tahun. Prevalensi tinggi terdapat di
4
Cina dan Hongkong yaitu 25 kasus per 100.000 populasi per tahun. Di
daerah Asia (Thailand, Filipina, Malaysia) sebanyak 8 kasus per 100.000
6
populasi per tahun. Insiden KNF di Taiwan dan Singapura tergolong tinggi
yaitu 18,1 dan 7,4 per 100.000 penduduk per tahun. Suatu penelitian di
Taiwan menunjukkan bahwa KNF merupakan kegasanan didaerah kepala
dan leher terbanyak sebesar 42%. Sedangkan di Selangor, Malaysia
didapatkan insidens KNF pada orang Cina sebesar 17,3 per 100.000
penduduk laki-laki dan 7,3 per 100.000 penduduk perempuan per tahun.
Insidens KNF yang relatif tinggi didapatkan pada orang Eskimo di Alaska
yaitu 13,5 per 100.000 penduduk laki-laki dan 3,7 per 100.000 penduduk
7, 8
perempuan per tahun. Keunikan insidens inilah yang melatarbelakangi
9
pemikiran keterkaitan KNF dengan faktor risiko tertentu.

11
Dr. Yussy Afriani Dewi, dr., M.Kes., SpTHT-KL(K)., FICS

Insidens KNF di Indonesia diperkirakan sebesar 6,2 kasus per


4
100.000 populasi per tahun. Sekitar 60% tumor ganas kepala leher adalah
KNF yang menduduki urutan kelima dari seluruh keganasan setelah tumor
5
ganas mulut rahim, payudara, KGB, dan kulit. Di Bagian Ilmu Kesehatan
THT-KL RSHS Bandung tahun 2010-2014 didapatkan 629 (43,7%) kasus baru
KNF dan sebagian besar datang dengan keluhan pembesaran KGB leher
10
sebesar 239 (56,5%) orang.
Karsinoma nasofaring dapat ditemukan pada semua usia, namun
jarang dibawah 20 tahun. Insiden KNF mulai meningkat pada usia 20-24
tahun dan sering dijumpai pada usia produktif yaitu usia 30-59 tahun
8
(sekitar 80%) dengan puncak antara 40-49 tahun. Kejadian KNF lebih
sering dijumpai pada laki-laki dibandingkan wanita dengan perbandingan
11
2-3:1. Di RSHS Bandung ditemukan KNF lebih banyak pada laki-laki
10
dibandingkan perempuan yaitu 2:1.

Histopatologi
Mukosa nasofaring saat lahir dilapisi oleh pseudostratified kolumnar
epitelium, pada usia sekitar 10 tahun berubah menjadi stratified skuamosa
epitelium. Pada dinding lateral nasofaring terdapat daerah yang
merupakan tempat transisi pertemuan kedua jenis epitel ini yang
berpotensi menjadi ganas. Membran mukosa nasofaring berisi jaringan
limfoid dan kelenjar air liur minor yang bisa menjadi asal keganasan di
11
nasofaring.
World Health Organization (WHO) membagi KNF atas tiga tipe. Tipe
I adalah karsinoma sel skuamosa dengan keratinisasi berdiferensiasi baik
sampai sedang dan menghasilkan banyak keratin di dalam maupun luar sel.
Tipe II yaitu karsinoma sel skuamosa tanpa keratinisasi dengan diferensiasi
baik dan sedang. Seringkali menyerupai gambaran karsinoma sel
transisional. Tipe III adalah KNF yang tidak berdiferensiasi, dikenal juga
12, 13
dengan tipe anaplastik dan berdiferensiasi buruk. Karsinoma jenis ini
mempunyai kemampuan invasi dan metastasis dibanding dengan tipe yang
lain, berhubungan erat dengan jaringan limfoid disebut sebagai
11
limfoepitelioma.

12 | 2nd World Head & Neck Cancer Day


Deteksi Dini Karsinoma Nasofaring

WHO tipe III merupakan tipe histopatologi yang paling sering dan
5
endemik, terutama di Asia Tenggara. Di RSHS Bandung tahun 2010-2014
10
ditemukan WHO tipe III sebanyak 57,3%.

Diagnosis
Diagnosis KNF dapat ditegakkan berdasarkan gejala klinis, pemeriksaan
14
nasofaring, radiologi, serologi, dan histopatologi.

1. Gejala Hidung
Gejala hidung ini memang sangat membingungkan dokter maupun petugas
kesehatan lain, terutama bila tumornya masih kecil. Pada KNF stadium dini
(tumor di nasofaring masih kecil) gejalanya mirip dengan beberapa penyakit
hidung lainnya seperti flu /rinitis akut atau kronik, nasofaringitis akut/kronik,
sinusitis dan sebagainya. Gejalanya dapat berupa pilek yang lama, keluar sekret
atau ingus yang banyak, dapat nanah encer, kental atau berbau. Ingus yang
keluar kadang-kadang bercampur darah waktu disisikan atau darah (sedikit)
itu keluar spontan. Tumor yang makin besar akan menimbulkan gejala yang
lebih nyata berupa pilek yang lama (kronis), ingus kental dan berbau busuk,
keluarnya darah dari rongga hidung (epitaksis) yang makin sering dan dalam
jumlah yang lebih banyak (profus) disertai buntu hidung dan suara bindeng.
15
Gejala hidung ini dilaporkan sekitar 56% - 79 %.

2. Gejala Telinga
Pertumbuhan tumor (kecil) di nasofaring akan menimbulkan gejala telinga
biasanya berupa telinga terasa penuh seperti terisi air, rasa tak enak, ada suara
mendengung atau gemrebeg (tinitus), dan nyeri telinga. Gangguan telinga ini
sebagai akibat oklusi tuba Eustachius, atau otitis media efusi atau supuratif.
Gejala lainnya adalah penurunan pendengaran yang biasanya tipe konduksi.
Berbagai gejala telinga ini terjadi sebagai akibat perluasan atau pendesakan
tumor disekitar tuba Eustachius, sehingga terjadi sumbatan.
Walaupun letak tuba relatif dekat dengan fosa Rosenmuller atau induk
kanker, tetapi gejala telinga relatif lebih jarang dibandingkan gejala tumor
metastase di leher (tumor leher). Gangguan pendengaran akibat kanker di

Early Diagnosis and Current Treatment Paradigm in Head and Neck Surgery | 13
Dr. Yussy Afriani Dewi, dr., M.Kes., SpTHT-KL(K)., FICS

nasofaring hanya 15 - 20%. Gangguan pendengaran ini kadang-kadang masih


dianggap ringan oleh penderita, bahkan oleh dokter. Hal ini disebabkan,
menurunnya pendengaran penderita diperkirakan akibat sumbatan tuba
Eustachius oleh karena rinitis kronik (alergi/non alergi). Bertambah
besarnya tumor dinasofaring akan mengakibatkan gejala telinga yang
15
makin nyata. Gejala telinga ini dilaporkan sekitar 59,4%.- 73,5%.

3. Gejala Tumor Leher


Pembesaran KGB leher atau tumor leher merupakan penyebaran terdekat
secara limfogen dari sel-sel kanker dinasofaring. Penyebaran ke KGB leher ini
dapat terjadi unilateral atau bilateral. Metastasis tumor ke KGB leher
(regional) sering terjadi yaitu 60% - 97,5 %. Gejala tumor leher inilah yang
seringkali mendorong penderita pergi berobat ke dokter, yaitu 70 - 90% dari
seluruh penderita KNF. Benjolan dileher dapat tunggal, multipel/
berdungkul, kecil sampai sangat besar. Lokalisasi tumor leher yang agak khas
sebagai metastasis KNF yaitu benjolan terletak dibawah ujung/prosesus
mastoid, dibelakang angulus mandibula dan di sebelah dalam (medial) dari
m.Sternokleidomastoid (KGB leher level II, III) . Tumor metastasis di KGB leher
ini teraba padat dan tidak nyeri tekan. Awalnya mudah digerakkan (mobil), tapi
semakin besar tumornya makin terfiksir (fixed). Tumor leher merupakan
gejala lanjut dari KNF. Tumor leher yang terletak setengah bagian atas leher,
harus dicurigai mempunyai induk tumor di nasofaring. Kecurigaan itu akan
bertambah besar apabila pada pemeriksaan rongga mulut (lidah, dasar lidah,
tonsil, palatum, trigonum retro molar, bukal), mesofaring dan hipofaring tidak
ditemukan kelainan. Metastasis tumor leher yang letaknya dibawah
15
thyroid nocth biasanya prognosis lebih buruk.

4. Gejala Mata
Penderita mengeluh kurang penglihatan, tetapi bila ditanyakan secara teliti,
penderita akan menerangkan bahwa melihat barang/benda menjadi dua
atau dobel. Jelas disini yang dimaksudkan adalah diplopi. Timbulnya gejala
diplopi ini oleh karena lumpuhnya (paresis) N. VI yang terletak diatas foramen
laserum sebagai akibat perluasan kanker kearah endokranium. Keadaan lain
yang dapat memberikan gejala diplopi yaitu kelumpuhan N.III dan N.IV,.

14 | 2nd World Head & Neck Cancer Day


Deteksi Dini Karsinoma Nasofaring

Lumpuhnya N. III, IV dan VI berdampak kelumpuhan otot2 pergerakan


bola mata (oftalmoplegi). Kadangkala perluasan kanker mencapai skiasma
optikus sehingga merusak N.II, penderita menjadi buta. Sebenarnya gejala
mata termasuk gejala kranii atau gejala syaraf, oleh karena kenyataannya
gejala mata disebabkan kelumpuhan syaraf. Dengan demikian, gejala mata
15
sebenarnya merupakan gejala janjut dari KNF.

5. Gejala kranii dan Syaraf Kranial


Sebelum terjadi kelumpuhan syaraf kranial biasanya didahului oleh gejala
15
subyektif yang sangat dirasakan dan menggangu penderita, antara lain:
- Sakit kepala hebat (sefalgi)
- Rasa tebal atau kepekaan kulit daerah pipi dan hidung yang menurun
(hipaestesi)
- kadang-kadang dirasakan sulit menelan makanan-minuman (disfagi).
Timbulnya gejala kranii oleh karena perluasan kanker ke endokranium
dengan menembus jaringan lunak atau tulang, biasanya melalui lobang2
didasar tengkorak. Adanya perluasan kanker nasofaring ke kranium dapat
diketahui, karena adanya gejala subyektif di atas. Bila proses sudah lanjut,
15
akan terjadi kelumpuhan syaraf kranial.
Tumor dapat meluas kearah superior menuju ke intra kranial dan
menjalar sepanjang fosa kranii media (penjalaran petrosfenoid). Biasanya
tumor masuk rongga tengkorak melalui foramen laserum, menimbulkan
kerusakan atau lesi pada grup anterior saraf otak yaitu N. III, IV, V dan N VI.
Paling sering terjadi gangguan N.VI (keluhan diplopia) yang disusul N.V
(keluhan neuralgi trigeminal dan parestesi wajah). Peneliti luar negeri
melaporkan saraf kranial yang tersering mengalami gangguan adalah N. V,
kemudian disusul N. VI. Bila semua saraf grup anterior terkena gangguan
maka timbul kumpulan gejala yang disebut sebagai sindroma petrosfenoid
yaitu neuralgia trigeminal dan oftalmoplegia unilateral, amaurosis dan
nyeri kepala hebat karena penekanan tumor pada dura mater. Terkenanya
N. III menimbulkan gejala ptosis dan klinis didapatkan fiksasi bolamata
(oftalmoplegi) kecuali untuk pergerakan ke lateral karena kelumpuhan
muskulus rektus internus superior dan inferior serta muskulus palpebrae

Early Diagnosis and Current Treatment Paradigm in Head and Neck Surgery | 15
Dr. Yussy Afriani Dewi, dr., M.Kes., SpTHT-KL(K)., FICS

inferior dan obliqus. Gangguan N.IV menimbulkan kelumpuhan muskulus


obliqus inferior bolamata. Lesi saraf ini jarang merupakan kelainan yang
berdiri sendiri tetapi lebih sering diikuti kelumpuhan N.III. Biasanya
penekanan saraf-saraf ini terjadi didalam atau pada dinding lateral sinus
kavernosus. Gangguan N.VI mengakibatkan kelumpuhan m. rektus bulbi
lateral sehingga timbul keluhan penglihatan dobel dan mata tampak juling
(strabismus konvergen). Keluhan lain akibat perluasan ke intra kranial
berupa sakit kepala yang sering kali hebat. Perluasan tumor kearah
anterior menuju rongga hidung, sinus paranasal, fosa pterigopalatina dan
dapat sampai apeks orbita.
Tumor besar dapat mendesak palatum mole, menimbulkan gejala
obstruksi jalan napas atas dan jalan makanan. Perluasan tumor kearah
postero-lateral menuju ke ruang parafaring dan fosa pterigopalatina yang
kemudian masuk foramen jugulare (penjalaran retroparotidian). Disini
yang terkena adalah grup posterior syaraf otak yaitu N. VII sampai dengan
N. XII, serta nervus simpatikus servikalis yang berjalan menuju fasia
orbitalis. Bila terjadi kelumpuhan N. IX, X, XI dan XII disebut sebagai
15
sindroma retroparotidean, atau sindroma Jackson.
15
Manifestasi kelumpuhan saraf tersebut adalah sebagai berikut:
N. IX : kesulitan menelan karena hemiparesis otot konstriktor superior,
dan gangguan pengecapan pada sepertiga belakang lidah.
N. X : hiper/hipo/anestesi mukosa palatum mole, faring dan laring
(gejala regurgitasi, bindeng) disertai gangguan menelan, respirasi
dan salivasi.
N. XI : hemiparesis palatum mole dan sulit mengangkat bahu karena
kelumpuhan atau atrofi otot trapesius dan sternokleidomastoid.
N. XII : gangguan menelan, hemiparalisis dan atrofi lidah unilateral.

Gejala penekanan saraf-saraf ini dapat disertai gejala akibat


kelumpuhan dari n. simpatikus servikalis berupa penyempitan fisura
palpebralis, enoftalmi dan miosis yang dikenal sebagai sindroma Horner.
Nervus VII dan N.VIII jarang terkena karena letaknya tinggi dan berada
dalam kanal tulang. Kelainan neurologik pada KNF ini berkisar antara 29-

16 | 2nd World Head & Neck Cancer Day


Deteksi Dini Karsinoma Nasofaring

53%. Tumor di postero-lateral nasofaring dapat menginfiltrasi otot-otot


mengunyah, terutama m. pterigoid internus yang berakibat trismus.
Perluasan tumor kearah inferior menuju rongga mulut atau regio
15
retrotonsil yang juga dapat berakibat sumbatan jalan makan dan napas.
Gejala lanjut KNF lainnya adalah metastasis jauh.Penyebaran sel-sel
kanker secara hematogen dapat sampai di organ jauh seperti tulang vertebra,
pelvis, hati, paru, ginjal, limpa dan otak. Metastasis jauh (4% - 47%)
terutama ke tulang, paru dan hati. Metastasis ke tulang (75%) terutama
tulang vertebra torako-lumbal, disusul kemudian metastasis ke paru (46%),
hati (38%) dan kelenjar getah bening retroperitoneal (10%). Metastasis
jauh yang multiple sekitar 57%. Metastasis jauh ini merupakan penyebab
15
kematian yang tersering pada KNF.

DIAGNOSIS
Diagnosis ditegakkan berdasarkan anamnesis, pemeriksaan klinis,
pemeriksaan nasofaring, biopsi nasofaring dan foto radiologi.

1. Anamnesis dan pemeriksaan klinis


Perlu melakukan anamnesis dan pemeriksaan klinis untuk menemukan
gejala telinga, hidung, tumor leher, mata dan syaraf kranial. Sebagai
penuntun atau patokan untuk lebih cepat mencurigai kemungkinan adanya
15
kanker nasofaring, dapat diajukan sebagai berikut:
1. Pilek-pilek lama tidak sembuh-sembuh, tidak keluar ingus, sedang hidung,
sinus paranasal tidak tampak kelainan, penderita sendiri merasa
membau tidak enak dari hidung. Penderita sering senggruk-senggruk.
2. Penderita pilek-pilek keluar nanah atau ingus kental, berbau busuk, sedang
hidung dan sinus tidak tampak kelainan.
3. Penderita pilek-pilek keluar nanah dengan titik-titik atau garis-garis darah.
4. Penderita pilek-pilek lama tidak sembuh-sembuh, pada pemeriksaan
hidung tidak tampak kelainan, penderita mengeluh kurang
pendengaran atau tinitus.
5. Penderita sering mimisen atau keluar dari hidung, terutama usia lebih dan
40 tahun, sedang hidung dan tekanan darah tidak menunjukkan
kelainan.

Early Diagnosis and Current Treatment Paradigm in Head and Neck Surgery | 17
Dr. Yussy Afriani Dewi, dr., M.Kes., SpTHT-KL(K)., FICS

6. Penderita pilek-pilek lama dan mata melihat bayangan dobel atau


diplopia
7. Penderita mengeluh kurang pendengaran, rasa penuh atau sakit
telinga dan ada diplopia.
8. Penderita mengeluh pilek-pilek lama dan merasa pusing, atau sakit kepala,
sedang hidung tidak tampak kelainan
9. Penderita mengeluh sakit kepala dan diplopia
10. Penderita piiek-pilek lama, sakit kepala dan kurang pendengaran atau
tinitus, sedang pemeriksaan hidung tidak tampak kelainan.
11. Setiap tumor leher yang terletak di bawah prosesus mastoid, di
sebelah dalam m. Sternokleidomastoid
12. Ada tumor leher terletak di atas pertengahan leher, di belakang
angulus mandibula, sedang tidak ada keluhan tenggorok dan suara
tidak serak.
13. Penderita pilek-pilek lama dan terdapat tumor leher yang terletak di
atas pertengahan leher.
14. Penderita sering mimisen dan tampak tumor leher di atas
pertengahan leher.
15. Penderita mengeluh kurang pendengaran atau tinitus dan tampak
tumor leher di atas pertengahan.
16. Penderita mengeluh sakit kepala dan tampak tumor di atas
pertengahan leher.
17. Penderita mengeluh diplopia atau tidak melihat dan tampak tumor di
atas pertengahan leher.
18. Penderita keluar ingus berbau dan bercampur benang-benang darah,
sedang ada tumor di atas pertengahan leher.
19. Tampak tumor di atas pertengahan leher dan tampak adanya parese
syaraf kranial.
20. Penderita mengeluh diplopia dan sering mimisan, walaupun tidak
banyak.
21. Kanker nasofaring sudah dikatakan pasti bila gejala lengkap semua ada.

18 | 2nd World Head & Neck Cancer Day


Deteksi Dini Karsinoma Nasofaring

2. Pemeriksaan Nasofaring
Pemeriksaan tumor primer di nasofaring dapat dilakukan dengan cara
rinoskopi posterior dan nasofaringoskopi. Pemeriksaan dengan rinoskopi
posterior sering ditemukan kesulitan karena yang dilihat hanya berupa
gambaran atau bayangan pada kaca. Diperlukan pemeriksaan
nasofaringoskopi dengan flexible fibrescope atau endoskop hopkins kaku
0 0 11, 14
0 dan 30 .
Pemeriksaan nasofaring yang dikerjakan dengan teliti merupakan prosedur
yang sangat penting. Pemeriksaan nasofaring dapat dilakukan dengan
15
berbagai cara yaitu:

a. Nasofaringoskopi tidak langsung (Rinoskopi Posterior)


Disini dilakukan pemeriksaan nasofaring dengan cara tidak langsung
(indirekta) yaitu menggunakan bantuan kaca laring yang kecil (ukuran 2
atau 3). Untuk dapat melihat nasofaring dengan teknik ini diperlukan
latihan–latihan (keterampilan) dan kesabaran. Teknik ini sebenarnya lebih
sulit daripada

Gambar 1. Teknik memeriksa nasofaring dengan cara rinoskopi posterior (RP).

Nasofaringoskopi secara langsung (direkta), oleh karena yang dilihat


adalah gambaran/bayangan tidak langsung yang ada di kaca. Dokter umum
yang bertugas di lini terdepan pelayanan kesehatan kepada masyarakat
(Puskesmas) seyogyanya dapat (mampu) melakukan pemeriksaan

Early Diagnosis and Current Treatment Paradigm in Head and Neck Surgery | 19
Dr. Yussy Afriani Dewi, dr., M.Kes., SpTHT-KL(K)., FICS

rinoskopi posterior (RP), oleh karenperalatan yang dibutuhkan mudah


diperoleh di toko dengan harga murah (terjangkau).
Cara ini (RP) kadang sangat sulit dilakukan bila pasiennya sensitif
(reflek muntah) atau non kooperatif meskipun sudah disemprot degan
obat anestesi lokal (Xylocaine 10% spray). Untuk mengatasinya dapat
dilakukan retraksi palatum mole dengan cara memasukkan (2) kateter
nelaton ke rongga hidung (kanan dan kiri), lalu menarik keluar lewat
rongga mulut, kemudian fiksasi dengan klem bengkok di depan hidung.
Dengan cara ini (RP dengan bantuan kateter nelaton) dapat dilakukan
pemeriksaan nasofaring lebih teliti oleh karena menggunakan kaca laring
yang lebih besar (ukuran 4 atau 5). Selain memeriksa nasofaring, sekaligus
dapat dilakukan biopsi tumor dengan menggunakan cunam biopsi (forsep
Blakesley).

Gambar 2. Cara RP dengan bantuan kateter nelaton untuk menarik palatum mole.

20 | 2nd World Head & Neck Cancer Day


Deteksi Dini Karsinoma Nasofaring

Gambar 3. RP, tampak gambaran nasofaring normal.

b. Nasofaringoskopi langsung
Disini dilakukan pemeriksaan nasofaring secara langsung (direkta) yaitu
menggunakan alat endoskop/nasofaringoskop kaku (rigid
nasopharyngoscope). Alat ini terdiri dari berbagai sudut pencahayaan,
biasanya dihubungkan dengan sumber cahaya dan monitor TV.
Penggunaan alat ini dapat melalui hidung (transnasal), atau mulut (trans
oral). Ada berbagai macam nasofaringoskop yaitu berbagai sudut
pencahayan, dilengkapi cunam / forsep biopsi (lurus, ujungnya bengkok
keatas, kekanan atau kekiri.) dan retraktor uvula. Pemeriksaan nasofaring
secara langsung juga dapat dengan menggunakan endoskop lentur yang
disebut fiberoptic nasolaryngoscope, dengan atau tanpa dilengkapi lobang

Early Diagnosis and Current Treatment Paradigm in Head and Neck Surgery | 21
Dr. Yussy Afriani Dewi, dr., M.Kes., SpTHT-KL(K)., FICS

untuk biopsi. Alat lentur ini dapat digunakan untuk memeriksa rongga
hidung, nasofaring dan laring. Dengan demikian selain melihat secara
langsung (avue), dapat dilakukan biopsi tumor di nasofaring dengan
mudah (tepat/akurat). Alat-alat ini (canggih) harganya mahal.

Gambar 5. Teleskop Hopkins untuk nasofaringoskopi

Gambar 4. Cara nasofaringoskopi dengan teleskop & retraktor uvula

Gambar 5. Cunam biopsi nasofaring tanpa teleskop (bentuk lurus dan bengkok ke atas)

22 | 2nd World Head & Neck Cancer Day


Deteksi Dini Karsinoma Nasofaring

Gambar 6. Teleskop nasofaring yang dilengkapi cunam biopsi.

Gambar 7. Fibernasolaringoskop

Early Diagnosis and Current Treatment Paradigm in Head and Neck Surgery | 23
Dr. Yussy Afriani Dewi, dr., M.Kes., SpTHT-KL(K)., FICS

Gambar 8. Nasofaringoskopi langsung, tampak massa tumor di nasofaring kanan

3. Biopsi nasofaring
Diagnosis pasti KNF ditegakkan berdasarkan hasil pemeriksaan
jaringan tumor di nasofaring (ditemukan sel-sel ganas) yang diperoleh dari

24 | 2nd World Head & Neck Cancer Day


Deteksi Dini Karsinoma Nasofaring

jaringan hasil biopsi. Penderita yang menunjukkan hasil pemeriksaan


serologi yang positif, tetapi hasil biopsi negatif tetap tidak dapat dianggap
menderita KNF dan tidak dibenarkan melakukan radiasi terhadapnya.
Penderita demikian harus diobservasi secara ketat.
Dikenal beberapa macam cara pengambilan bahan untuk
pemeriksaan histologi dan sitologi yaitu biopsi, cucian, hisapan, dan
sikatan (“ brush ”).

3. 1 Biopsi
Pada prinsipnya biopsi adalah pengambilan sebagian jaringan yang
dicurigai mengandung penyakit/kanker. Dikenal beberapa cara melakukan
biopsi :

a. Biopsi Buta
Alat-alat yang digunakan untuk melakukan biopsi buta (blind biopsy) adalah
sama dengan alat-alat untuk memeriksa nasofaring indirekta (lampu kepala,
spekulum hidung, kaca laring kecil, pinset kecil bengkok, lampu spiritus,
penekan lidah) ditambah cunam / tang biopsi. Cunam biopsi yang baik
adalah tang biopsi khusus nasofaring (misalnya forsep Blakesley).

Cara :
Rongga hidung di tempat akan dilakukan biopsi diberi anastesia lokal
dengan cara aplikasi kapas yang telah dibasahi obat pemati rasa seperti
larutan kokain 5%, pantokain 1%, prokain 2%, atau xylocain spray 10%.
Aplikasi obat anestesi dilakukan 2 kali masing-masing ± 5 menit.
Setelah kapas aplikasi diambil, dimasukkan tang/cunam biopsi ke
dalam hidung menyusuri dasar rongga hidung ke belakang sampai
menyentuh dinding belakang nasofaring. Kemudian ujung tang biopsi
digeserkan kesamping mengikuti dinding lateral sambil ditarik ke depan
perlahan-lahan. Penarikan tang biopsi ke depan ± 1 cm. Kira-kira di belakang
koana dan ± 1cm dari dinding belakang, diraba dimana kira-kira letak tumor
atau dicari fosa Rosenmulleri. Setelah menurut perasaan ujung tang biopsi
sudah tepat pada tumor, dilakukan pengambilan sebagian jaringan yang

Early Diagnosis and Current Treatment Paradigm in Head and Neck Surgery | 25
Dr. Yussy Afriani Dewi, dr., M.Kes., SpTHT-KL(K)., FICS

dicurigai. Perdarahan dirawat dengan memasukkan potongan pita yang


didtetesi obat vasokonstriktor (sol. HCL Efedrin 1-2%). Biopsi ini semata-mata
hanya mengandalkan perasaan dan pengalaman/kemahiran operator.
Jaringan hasil biopsi dimasukkan ke dalam botol kecil yang bersih berisi
larutan formalin ± 4%, lalu dikirim ke Laboratorium Patologi Anatomi.

b. Biopsi Buta Terpimpin


Teknik biopsi buta akan sedikit lebih maju jika menggunakan 2 buah
kateter nelaton untuk menarik palatum mole dan uvula. Teknik biopsi buta
terpimpin (guided biopsy) ini dilakukan dengan bantuan kaca laring ukuran
besar melalui rinoskopi posterior sehingga daerah nasofaring tampak lebih
terang dan jelas, selanjutnya jaringan tumor di biopsi lewat hidung atau
rongga mulut. Dianjurkan untuk melakukan biopsi langsung di massa
tumornya di nasofaring.Bila tumornya tidak jelas (kecil) dianjurkan lakukan
biopsi di daerah fosa Rosenmulleri kanan dan kiri sekaligus. Dibandingkan
dengan biopsi buta, cara ini seharusnya lebih baik / akurat. Bagi pasien, cara
ini lebih “menyakitkan”, sedangkan bagi pemeriksa perlu ketrampilan
khusus. Secara tehnis, cara ini lebih sulit oleh karena pemeriksa melakukan 2
pekerjaan sekaligus yaitu tangan kiri memegang kaca laring, tangan kanan
memegang cunam biopsi. Dalam keadaan tertentu misalnya penderita
yang non kooperatif, trismus atau pada anak-anak dianjurkan melakukan
eksplorasi dan biopsi nasofaring dengan bantuan anestesi umum .

c. Biopsi dengan Nasofaringoskopi Direkta


Teknik biopsi dengan anestesi lokal akan lebih baik (akurat) bila
menggunakan alat endoskop (nasofaringoskop/teleskop rigid) yang
dilengkapi cunam biopsi, sumber cahaya dan monitor TV, sehingga daerah
nasofaring dapat dilihat/diperiksa dengan terang dan jelas. Dengan cara
ini,cunam biopsi yang terdapat pada alat endoskop, atau cunam yang
besar (Takahashi atau Blakesley forceps) dapat diarahkan ke tempat yang
dicurigai dengan tepat. Tergantung macam alat endoskop yang digunakan
dan lokasi tumornya, biopsi dapat dilakukan melalui hidung (transnasal)
atau mulut (transoral). Untuk tumor nasofaring yang kecil atau residual

26 | 2nd World Head & Neck Cancer Day


Deteksi Dini Karsinoma Nasofaring

tumor, teknik endoskopik ini lebih akurat karena sensitivitas cara ini
sebesar 95 %.

Cara:
Awalnya dilakukan penyemprotan obat anestesi seperti Xylocaine 10%
spray. pada palatum mole, orofaring dan nasofaring. Lidah ditekan periahan-
lahan dengan penekan lidah. Teleskop / nasofaringoskop yang dilengkapi tang
biopsi dimasukkan dengan menyusuri spatula lidah secara pelan-pelan
menuju nasofaring. Dengan melihat pada optik diarahkan ujung tang biopsi
ke tumor atau ke tempat yang dicurigai. Jaringan diambil sebanyak mungkin,
untuk menghindari kemungkinan ulangan biopsi. Ketepatan biopsi ini kurang
lebih 90%. Bila perlu dilakukan dibeberapa tempat yang dicurigai adanya
keganasan.

d. Biopsi dengan Fleksibel Endoksopi


Digunakan fibernasolaringoskop untuk melakukan biopsi tumor di
nasofaring (lihat Bab 2). Tindakan ini biasanya dilakukan melalui hidung
(transnasal)

Cara :
Lobang hidung yang akan dilalui fibernasolaringoskop diberi anestesi lokal
dengan aplikasi kapas yang dibasahi obat pemati rasa, seperti cara pada
biopsi buta. Setelah kapas diambil, dimasukkan fibernasolaringoskop
menelusuri dasar rongga hidung sampai di belakang koana. Dengan
membengkokkan ujung dari fibernasolaringoskop dicari tumor atau
tempat yang dicurigai. Biasanya tumor tampak lebih jelas. Diambil jaringan
yang dicurigai sebanyak mungkin dan bila perlu mengambil beberapa
tempat. Ketepatan biopsi cara ini sekitar 95%.

3.2 Cara cucian


Pengambilan bahan cucian ini yang paling mudah dilakukan. Dengan cucian
ini diharapkan sel-sel kanker yang lepas ikut tercuci, sehingga akan
mendapatkan hasil positif pada pemeriksaan sitologi. Bila tumor masih

Early Diagnosis and Current Treatment Paradigm in Head and Neck Surgery | 27
Dr. Yussy Afriani Dewi, dr., M.Kes., SpTHT-KL(K)., FICS

menimbulkan lesi atau masih insitu, kemungkinan pemeriksaan sitologi


positif akan kecil. Alat-alat yang digunakan hampir sama dengan alat pada
biopsi buta, tetapi masih ditambah dengan spuit 10 cc dan larutan garam
fisiologis.
Pada umumnya, setelah dilakukan cucian juga dilakukan biopsi,
karena ketepatan hasil cucian relatif rendah pada tumor dini atau pada
tumor yang belum ada lesi.

Cara :
Sebaiknya pada hidung yang digunakan untuk memasukkan cairan
dilakukan anestesi dengan aplikasi kapas yang telah dibasahi obat pemati
rasa, seperti pada biopsi buta.
Setelah kapas diambil, penderita ditidurkan dengan kepala berada
di tepi tempat tidur. Kepala diekstensikan maksimal. Dengan spuit 10 cc
larutan garam fisiologis dimasukkan ke rongga nasofaring lewat hidung.
Untuk mempermudah cairan sampai ke nasofaring, digunakan jarum
tumpul atau sambungan plastik pada spuit.
Kepala digoyang-goyangkan untuk mengoocok cairan yang ada di
nasofaring. Setelah dianggap cukup lama, cairan dihisap kembali dengan
spuit yang digunakan sebelumnya. Penghisapan cairan diusahakan
sebanyak mungkin. Cairan yang didapat kemudian dicampur alkohol 70%
sebanyak cairan. Pengiriman bahan ke laboratorium Patologi Anatomi
dapat dilakukan dengan 2 cara :
1. Bahan seluruh cairan yang didapat dikirimkan.
Cara ini dapat dilakukan bila Laboratorium Patologi Anatomi dekat atau
kemungkinan pecahnya tempat pengiriman kecil sekali.
2. Bahan cairan yang didapat disaring dcngan kertas saring. Endapan atau
hasil saringan dibuat preparat hapus pada gelas obyek, kemudian
difiksasi dengan alkohol 95%. selanjutnya ditutup dengan gelas
penutup atau gelas pelindung. Cara pengiriman ini sebenamya lebih
praktis dan lebih mudah.

28 | 2nd World Head & Neck Cancer Day


Deteksi Dini Karsinoma Nasofaring

3.3. Cara hisapan


Cara mendapatkan bahan dengan aspirasi sebenamya tidak sulit. Alat-alat
yang digunakan antara lain: penekan lidah, tabung penampung bahan atau
"specimen colector", pompa penghisap, pipa logam dengan ujung
melengkung yang dihubungkan pompa, obat pemati rasa.
Cara:
a. Penderita diberi anestesi lokal pada mulut, orofaring dan nasofaring
dengan Xylocain spray 10% atau dengan obat anestesi lokal yang
lain.Tujuan pemberian anestesi lokal untuk mengurangi rasa sakit dan
menghilangkan refleks muntah, disamping itu akan merangsang
hipersekresi kelenjar-kelenjar ludah dan lain-lain. Hipersekresi kelenjar
nasofaring akan makin memperbanyak jumlah sel-sel kanker di
nasofaring yang lepas secara spontan. Cairan yang berasal dari
hipersekresi kelenjar ludah dimulut harus disedot (suction), agar tidak
menggangu.
b. Penderita ditidurkan terlentang dengan kepala lebih rendah dari bahu.
Alat-alat yang sudah disiapkan sebelumnya, berupa pipa logam dengan
ujung melengkung dihubungkan botol penampung bahan ("specimen
collector") dan di sambung dengan pompa penghisap.
Mula-mula lidah ditekan dengan penekan lidah, secara perlahan pipa
logam penyedot dimasukkan menyusuri penekan lidah sampai
ujungnya masuk ke nasofaring. Kemudian dilakukan penghisapan cairan
secara membuta atau didekat massa tumor di nasofaring. Bila ujung
logam penyedot diletakkan atau sedikit mengenai tumor, biasanya
terasa seperti menyentuh jaringan yang rapuh. Dengan sentuhan atau
goresan ringan, cairan (mengandung sel jaringan tumor yang lepas
dan sedikit darah) dihisap sehingga masuk kedalam tabung kaca
(specimen collector).
Refleks muntah yang terjadi sewaktu penghisapan (aspirasi) akan
membantu pipa logam penyedot menekan dinding nasofaring atau
massa tumornya, sehingga timbul lesi di tumornya yang berakibat makin
banyak sel-sel jaringan tumor yang lepas. Bahan aspirasi terdiri dari
sel-sel tumor yang lepas spontan, sel-sel tumor yang lepas akibat
trauma aspirasi dan goresan.

Early Diagnosis and Current Treatment Paradigm in Head and Neck Surgery | 29
Dr. Yussy Afriani Dewi, dr., M.Kes., SpTHT-KL(K)., FICS

c.. Hasil hisapan yang terkumpul di tabung specimen collector lalu difiksasi
dengan alhokol 95%, kemudian dikirim ke Laboratorium Patologi
Anatomi. Bila tidak mungkin dikirim segera, maka harus dibuat preparat
hapus lebih dahulu lalu difiksasi alkohol 95% .

3. 4 Cara sikatan
Cara pengambilan bahan ini dengan menggunakan sikat ("brush") berupa
pipa plastik kecil diameter 2-3 mm, panjangnya sekitar 10-15 cm, ujungnya
ada sikat yang kecil dan halus

Cara :
Setelah rongga hidung dipasang kapas ditetesi obat vasokonstriktor (sol.
Efedrin 1-2%), lalu disemprot obat anestesi lokal (Xylocain spray 10%). Sikat
ini dimasukkan rongga hidung secara pelan-pelan sampai ujung sikat
menyentuh dinding nasofaring, kemudian sikat diputar (tangkai sikat
dipelintir ke kanan-kiri dengan gerakan berputar) sehingga sikat menggores
dengan halus dinding lateral nasofaring (terutama daerah fosa
Rossenmuller). Cara ini juga dapat dilakukan dengan tuntunan alat
nasofaringoskop rigid/lentur melalui rongga hidung kontra lateral. Sikat lalu
di tarik keluar rongga hidung. Bahan atau jaringan yang menempel pada sikat
(mengandung sel-sel nasofaring yang lepas) langsung dibuat preparat hapus
(direct smear), setelah kering lalu difiksasi dengan alkohol 95%. Gelas
objek ditutup dengan gelas penutup, lalu dikirim ke Laboratorium Patologi
Anatomi.

Gambar 9. Pemgambilan bahan jaringan di nasofaring dengan cara sikatan

30 | 2nd World Head & Neck Cancer Day


Deteksi Dini Karsinoma Nasofaring

1) Pemeriksaan Radiologi
Pemeriksaan radiologi diperlukan untuk mendapatkan informasi
adanya tumor, perluasan, serta kekambuhan paska terapi.
Pemeriksaan radiologi untuk karsinoma nasofaring terdiri dari foto
11, 14, 16
polos tengkorak, CT scan, MRI, dan PET Scan.
Foto polos tengkorak dilakukan untuk mengetahui adanya
jaringan lunak di dinding posterior pada proyeksi lateral, melihat
struktur tulang dan foramen pada proyeksi basis, serta mengetahui
ekspansi tumor ke hidung dan sinus paranasal pada proyeksi antero-
posterior dan Waters. Pemeriksaan CT scan mempunyai keuntungan
dan nilai diagnosis tinggi yaitu membedakan berbagai densitas di
nasofaring dan menilai perluasan tumor, penyebaran ke kelenjar
limfa leher, destruksi tulang serta penyebaran ke intrakranial.
Pemeriksaan MRI dapat membedakan jaringan lunak dan cairan
11, 14, 16
misalnya retensi cairan akibat invasi ke sinus paranasal.
Kelebihan penggunaan CT Scan adalah gambar yang dihasilkan
memiliki resolusi yang baik dan akurat, dan tidak invasif;
kekurangannya adalah terjadinya paparan radiasi, dapat terjadi
artefak, dan reaksi alergi terhadap zat kontras yang digunakan. Ada
beberapa kelebihan MRI dibandingkan dengan pemeriksaan CT Scan
yaitu: 1) lebih baik dalam mendeteksi beberapa kelainan pada
jaringan lunak, 2) mampu memberikan gambaran anatomi secara
jelas, 3) 3) mampu membuat gambaran potongan melintang, tegak,
dan miring tanpa merubah posisi pasien, 5) tidak menggunakan
17
radiasi pengion.
Kelebihan penggunaan PET-Scan adalah tidak hanya melihat
anatomi tubuh saja tetapi metabolisme tubuh, dapat membedakan
18
neoplasma jinak dan ganas tetapi harganya relatif sangat mahal.

2) Pemeriksaan Serologi
Pada KNF dapat dideteksi antibodi IgG yang ditemukan pada awal
infeksi virus dan antibodi IgA yang ditemukan pada kapsid antigen
virus. Ig A anti VCA adalah antibodi spesifik untuk diagnosis dini KNF
dan dapat dipakai sebagai petanda tumor, dianggap positif bila

Early Diagnosis and Current Treatment Paradigm in Head and Neck Surgery | 31
Dr. Yussy Afriani Dewi, dr., M.Kes., SpTHT-KL(K)., FICS

titernya > 5. Titernya bisa meningkat sebelum gejala KNF timbul.


Pembentukan IgA anti VEB-VCA terjadi setelah sintesis DNA virus,
berkaitan dengan fase lanjut infeksi VEB. Imunoglobulin A anti VCA
akan tetap ada seumur hidup, titernya meningkat sesuai dengan
stadium penyakitnya. Imunoglobulin A anti EBV-VCA ini dapat
merupakan pertanda tumor spesifik untuk deteksi KNF terutama pada
19
stadium dini, memantau hasil pengobatan, dan rekurensi.
IgG anti EBV-EA terbentuk sebelum sintesis DNA virus yaitu pada
fase dini siklus replikasi virus. Adanya kenaikan titer IgG anti EBV-EA
sudah ditemukan sebelum metastasis secara klinik terjadi. Titer IgG
anti EBV-EA dianggap positif bila  1/80. Pemeriksaan IgG anti EBV-EA
lebih berguna untuk menentukan perjalanan penyakit dan prognosis
19
KNF.

Diketemukannya virus Epstein-Barr yang mengandung antigen virus


(antara lain EBV- VCA, EA, LMA 1-6 dan EBNA 1-3) sebagai etiologi KNF
telah membuka jalan ke arah upaya diagnosis dini dan menilai
perkembangan tumor (progresivitas) pasca radioterapi atau kemoterapi
melalui pemeriksaan serologi. Pemeriksaan ini dilakukan untuk mendeteksi
antibodi yang terbentuk yaitu IgA anti EBV-VCA, IgA anti EBV-EA, antibodi
terhadap antigen membran, antibodi terhadap inti virus (Epstein Barr
Nuclear Antigen / EBNA), antibodi terhadap EBV-Dnase dan antibody
dependent cellular cytotoxicity / ADCC. Titer antibodi spesifik terhadap EBV
ini dapat diperiksa dengan menggunakan berbagai macam cara antara lain
imunofluoresensi (IF), enzyme linked immunosorbent assay (Elisa) dan
radio-immuno assay. Beberapa antibodi terhadap virus EB pada KNF ini
ternyata sangat spesifik, tidak dijumpai pada keganasan di daerah kepala
dan leher lainnya.
Pemeriksaan antibodi spesifik sebagai tumor marker yang paling
bermanfaat untuk diagnosis KNF adalah IgA anti EBV-VCA dan IgA anti EBV-EA.
Ig A anti VCA adalah antibodi yang paling spesifik untuk diagnosis
dini KNF dan dapat dipakai sebagai tumor marker. Antibodi ini dianggap
positif bila titernya > 5. Kadang-kadang titernya meninggi sebelum gejala

32 | 2nd World Head & Neck Cancer Day


Deteksi Dini Karsinoma Nasofaring

KNF timbul. Di Cina bagian Selatan, yaitu daerah endemik KNF, peme-
riksaan Ig A anti VCA telah digunakan untuk penapisan (screening).
Suatu hasil penelitian ditemukan sebanyak 93% dari penderita KNF
didapatkan peningkatan titer IgA anti EBV-VCA, dan 73 % dijumpai titer IgA
anti EA yang meningkat Titer kedua antibodi tersebut meningkat sesuai
dengan stadium dan perkembangan tumor pasca terapi, sehingga dapat
digunakan sebagai prognostikator. Antibodi IgA terhadap viral capsid
antigen EBV ternyata lebih spesifik dibandingkan dengan IgG.
Pembentukan IgA anti EBV-VCA terjadi setelah sintesis DNA virus, dengan
demikian antibodi ini berkaitan dengan fase lanjut dari infeksi virus EB.
Imunoglobulin A anti VCA ini akan tetap ada seumur hidup, titernya akan
meningkat sesuai dengan stadium penyakitnya. Imunoglobulin A anti EBV-
VCA ini dapat merupakan petanda tumor (tumor marker) yang spesifik
untuk deteksi KNF terutama pada stadium dini (nilai diagnostik),
memantau hasil pengobatan dan memperkirakan kekambuhan (nilai
prognostik). Pemeriksaan titer IgA anti VCA dapat digunakan untuk
mendeteksi kasus KNF yang masih asimptomatik. Hal ini didasarkan atas
skrining masal di Propinsi Zhongshan di RRC yang merupakan daerah
dengan populasi KNF yang tinggi. Dari 1743 orang yang diperiksa dengan
alat nasofaringoskop, sebanyak 1279 orang didapatkan nasofaring yang
normal dan 464 orang diketemukan kelainan berupa mukosa nasofaring
yang hiperplastik (nasopharyngeal mucosal hyperplasic lesion / NPHL). Dari
464 orang dengan NPHL, ternyata pada pemeriksaan antibodi IgA anti VCA
diperoleh hasil positif pada 48 orang (10,3%), 9 orang diantaranya ternyata
menunjukkan hasil biopsi yang positif ganas. Sedang dari nasofaring
normal sebanyak 1276 orang, didapatkan 39 orang (3%) dengan seropositif
tetapi tidak seorangpun terbukti menderita KNF secara histopatologis.
Upaya menemukan diagnosis dini KNF dengan hasil yang
menggembirakan berdasarkan skrining masal dengan memeriksa IgA anti
VCA. Penelitian di Singapura menunjukkan bahwa Ig A anti EBV-VCA dapat
mendeteksi KNF jauh (16 - 41 bulan) sebelum diagnosis KNF secara klinis
dapat ditegakkan. Selain itu, IgA anti EBV-VCA sangat berguna untuk
diagnosis KNF yang “tersembunyi” (occult primary). Sampai saat ini,

Early Diagnosis and Current Treatment Paradigm in Head and Neck Surgery | 33
Dr. Yussy Afriani Dewi, dr., M.Kes., SpTHT-KL(K)., FICS

pemeriksaan IgA anti EBV-VCA dianggap yang paling spesifik dan sensitif
untuk diagnosis dini KNF. Berdasarkan teknik imunofluoresensi tak
langsung, titer antibodi ini dianggap positif bila diketemukan antibodi pada
pengenceran  1 : 10. Lebih dari 90% KNF memberikan hasil yang positif,
sedang pada group kontrol hasil positif hanya dijumpai pada 0,6 - 6% saja..
Penelitian tahun 1993 di Jakarta mendapatkan titer positip pada KNF
sebesar 97,2 %, kanker kepala-leher non KNF 8% dan neoplasma jinak
(kontrol) hanya 5%. Dilaporkan sensitivitas sebesar 97,2% dan spesivisitas
93,3%. Beberapa hasil penelitian menunjukkan bahwa IgA anti EBV-VCA
sangat sensitif dan spesifik terhadap KNF, terutama untuk jenis karsinoma
15
undifferentiated (WHO tipe3).
Ig G anti EA kurang sensitif bila dibandingkan dengan Ig A anti VCA untuk
diagnosis dini KNF. Tetapi antibodi ini berguna untuk menilai perjalanan penyakit
dan menentukan prognosis, karena titernya akan meninggi bila penyakitnya
bertambah berat. Antibodi ini dianggap positif bila titer > 10.
IgG anti EBV-EA terbentuk sebelum sintesis DNA virus yaitu pada
fase dini siklus replikasi virus. Adanya kenaikan titer IgG anti EBV-EA sudah
diketemukan sebelum metastasis secara klinik terjadi. Titer IgG anti EBV-EA
dianggap positif bila  1/80. Berdasarkan pemeriksaan imunofluoresensi,
IgG anti EBV-EA dapat dibedakan menjadi 2 tipe yaitu tipe terbatas (EA-
restricted) dan yang menyebar (EA-diffuse). Penurunan titer IgG anti EBV-
EA (D) didapatkan pada semua penderita KNF yang telah mendapatkan
pengobatan dengan radiasi dan tidak pada penderita dengan kanker kepala
dan leher lainnya. Bila titernya meningkat lagi harus dicurigai adanya
kekambuhan atau metastasis. Dengan demikian pemeriksaan IgG anti EBV-
EA (terutama tipe difus / D) lebih berguna untuk menentukan perjalanan
penyakit dan prognosis KNF (nilai prognostik). Untuk diagnosis KNF
terutama stadium dini, IgG anti EBV-EA ternyata sangat sensitif tetapi
kurang spesifik. Penelitian di Jakarta didapatkan spesivisitas pemeriksaan
IgA anti EBV-VCA sebesar 91,8%, sedangkan spesivisitas IgG anti EBV-EA
sebesar 30,6 %.
Kombinasi hasil pemeriksaan titer IgA anti EBV-VCA dan IgA anti
EBV-EA akan meningkatkan nilai ramal positif (positive predictive value)

34 | 2nd World Head & Neck Cancer Day


Deteksi Dini Karsinoma Nasofaring

yang sangat berguna untuk meningkatkan uji saring KNF dalam upaya
menemukan kasus dini, khususnya individu yang mempunyai resiko tinggi.
Bila kedua titer antibodi ini meninggi, harus dicurigai adanya (awal) proses
keganasan di nasofaring (KNF). Individu ini harus di evaluasi secara ketat,
apabila ditemukan bukti pasti terkena KNF (dini) maka segera diberikan
pengobatan definitip.

3) Pemeriksaan Histopatologi
Diagnosis pasti KNF ditegakkan berdasarkan hasil pemeriksaan
jaringan tumor di nasofaring. Penderita yang menunjukkan hasil
pemeriksaan serologi positif tetapi hasil biopsi negatif, tidak dapat
19
dianggap menderita KNF.

Stadium
Karsinoma nasofaring sering tidak terdiagnosis pada stadium dini karena
gejalanya tidak spesifik serta sulitnya pemeriksaan rongga nasofaring
sehingga angka kematian menjadi tinggi dan penderita pada umumnya
1
datang dengan stadium lanjut. Walaupun tumor primer bersifat
radiosensitif, morbiditas KNF masih tinggi dikarenakan terdapat tumor
sekunder. Pada saat didiagnosis, sebanyak 60-85% penderita KNF telah
20
mengalami metastasis KGB leher atau metastasis jauh.
Klasifikasi T pada KNF menurut American Joint Committee on Cancer
(AJCC) tahun 2010 yaitu: T1 adalah tumor yang berada pada nasofaring
atau tumor yang sudah ekstensi ke orofaring dan atau cavum nasi tanpa
ekstensi ke parafaringeal; T2 adalah tumor yang sudah ekstensi ke
parafaringeal; T3 adalah tumor yang melibatkan struktur tulang dari basis
kranii dan atau sinus paranasal; T4 adalah tumor yang sudah ekstensi dan
atau terdapatnya keterlibatan nervus kranialis, hipofaring, orbita, atau
ekstensi ke fossa infratemporal/ruang mastikator. Untuk keterlibatan KGB
leher, N1 adalah metastasis unilateral berukuran <6 cm, N2 merupakan
metastasis bilateral dengan ukuran <6 cm, dan N3 adalah tumor dengan
ukuran >6 cm (N3a) dan ekstensi ke fossa supraklavikular (N3b).
Pembagian stadium untuk KNF adalah: stadium 0 (Tis N0 M0), stadium 1

Early Diagnosis and Current Treatment Paradigm in Head and Neck Surgery | 35
Dr. Yussy Afriani Dewi, dr., M.Kes., SpTHT-KL(K)., FICS

(T1 N0 M0), stadium II (T1 N1 M0, T2 N0 M0, T2 N1 M0), stadium III (T1 N2
M0, T2 N2 M0, T3 N1 M0, T3 N2 M0), Stadium IVA (T4 N0 M0, T4 N1 M0,
T4 N2 M0), stadium IVB (semua T, N3 M0), dan stadium IVC (semua T
21
semua N M1).
Prognosis penderita KNF sangat bergantung pada stadium klinis saat
dilakukan diagnosis. Lebih dari 80% keberhasilan terapi terjadi pada
stadium awal (I-II) dan angka keberhasilannya berkurang hingga 40% bila
4
penderita ditemukan pada stadium lanjut (III-IV).

DAFTAR PUSTAKA
1. Brennan B. Nasopharyngeal carcinoma. Orphanet journal of rare
diseases. 2006;1(23):1-5.
2. Zeng MS, Zeng YX. Pathogenesis and Etiology of Nasopharyngeal
Cancer. Dalam: Lu JJ, Cooper JS, Lee AWM, penyunting.
Nasopharyngeal Cancer: Multidisciplinary Management.Edisi ke 1:
Springer Berlin Heidelberg; 2010. h. 5-25.
3. Hsu WL, Chen JY, Chien YC, Liu MY, You SL, Hsu MM, et al.
Independent effect of EBV and cigarette smoking on nasopharyngeal
carcinoma: a 20-year follow-up study on 9,622 males without family
history in Taiwan. Cancer epidemiology, biomarkers & prevention : a
publication of the American Association for Cancer Research,
cosponsored by the American Society of Preventive Oncology.
2009;18(4):1218-26.
4. Savitri E, Mubarika SH. Profil Viral Load Epstein-Barr Virus dan Titer
Antibodi IgA (VCA-P18+EBNA-1) pada Karsinoma Nasofaring di
Makassar dan Yogyakarta. J Indon Med Assoc 2012;62(5):174-7.
5. Munir D, Lutan S, Hasibun M, Henny F. Ekspresi Protein p53 Mutan
pada Karsinoma Nasofaring. Majalah Kedokteran Nusantara.
2007;40(3):167-72.
6. Chunfang Hu. Genetic and Gene Expression Analysis of
Nasopharyngeal Carcinoma (NPC) [Thesis]: University of Birmingham;
2010.

36 | 2nd World Head & Neck Cancer Day


Deteksi Dini Karsinoma Nasofaring

7. Tulalamba W, Janvilisri T. Nasopharyngeal carcinoma signaling


pathway: an update on molecular biomarkers. International journal of
cell biology. 2012:1-10.
8. Wei WI, Kwong DL. Current management strategy of nasopharyngeal
carcinoma. Clinical and experimental otorhinolaryngology.
2010;3(1):1-12.
9. Stevens SJ, Verkuijlen SA, Hariwiyanto B, Harijadi, Fachiroh J,
Paramita DK, et al. Diagnostic value of measuring Epstein-Barr virus
(EBV) DNA load and carcinoma-specific viral mRNA in relation to anti-
EBV immunoglobulin A (IgA) and IgG antibody levels in blood of
nasopharyngeal carcinoma patients from Indonesia. Journal of clinical
microbiology. 2005;43(7):3066-73.
10. Deasy Zackiah Madani, Nur Akbar Aroeman, Permana AD. Prevalenve
of Nasopharyngeal Carcinoma Patients in Department of
Otohinolaryngology-Head and Neck Surgery Dr. Hasan Sadikin
General Hospital Bandung Indonesia in 2010-2014. 7th Biannual
International Symposium of Nasopharyngeal Carcinoma; 2015;
Yogyakarta. 2015.
11. Peters LJ, Rischin D, Corry J, PM. H. Cancer of the Nasopharynx.
Dalam: Harrison LB, Sessions RB, Hong WK, penyunting. Head and
Neck Cancer: A Multidisciplinary Approach.Edisi: Lipppincott Williams
& Wilkins; 2009.
12. Thompson LD. Update on nasopharyngeal carcinoma. Head and neck
pathology. 2007;1(1):81-6.
13. Hsu WL, Yu KJ, Chien YC, Chiang CJ, Cheng YJ, Chen JY, et al. Familial
tendency and risk of nasopharyngeal carcinoma in taiwan: effects of
covariates on risk. American journal of epidemiology.
2011;173(3):292-9.
14. Wolden SL. Cancer of the Nasopharynx. Dalam: Shah JP, Patel SG,
American Cancer S, penyunting. Cancer of the Head and Neck.Edisi ke
1: BC Decker; 2001.
15. Kentjono WA. Karsinoma Nasofaring. In press 2001.

Early Diagnosis and Current Treatment Paradigm in Head and Neck Surgery | 37
Dr. Yussy Afriani Dewi, dr., M.Kes., SpTHT-KL(K)., FICS

16. King AD, Bhatia KS. Magnetic resonance imaging staging of


nasopharyngeal carcinoma in the head and neck. World journal of
radiology. 2010;2(5):159-65.
17. Goldman LW. Principles of CT and CT Technology. Journal of Nuclear
Medicine Technology. 2007;35(3):115-28.
18. Griffeth LK. Use of PET/CT scanning in cancer patients: technical and
practical considerations. Proceedings (Baylor University Medical
Center). 2005;18(4):321-30.
19. Tabuchi K, Nakayama M, Nishimura B, Hayashi K, Hara A. Early
Detection of Nasopharyngeal Carcinoma. International Journal of
Otolaryngology. 2011:1-6.
20. Wang N, Wu QL, Fang Y, Mai HQ, Zeng MS, Shen GP, et al. Expression
of chemokine receptor CXCR4 in nasopharyngeal carcinoma: pattern
of expression and correlation with clinical outcome. Journal of
translational medicine. 2005;3(26):1-8.
21. Network NCC. Head and Neck Cancer. In: Oncology NCPGi, editor.
Head and Nec; 2015.

38 | 2nd World Head & Neck Cancer Day


TIROIDEKTOMI
Dr. Yussy Afriani Dewi, dr., M.Kes., SpTHT-KL(K)., FICS

Departemen Ilmu Kesehatan Telinga Hidung Tenggorok Bedah Kepala Leher


Fakultas Kedokteran Universitas Padjadjaran
Rumah Sakit Umum Pusat Hasan Sadikin Bandung

ABSTRAK
Lebih dari 200 juta penduduk dunia menderita nodul tiroid. Risiko nodul
tiroid diperkirakan sebesar 5–10 % dan lebih sering ditemukan pada wanita
dibandingkan pria. Setiap tahun terjadi 2 sampai 4 per 100.000 penduduk,
hanya 1% dari keseluruhan merupakan keganasan dan 0,5% menyebabkan
kematian. Di Asia Tenggara termasuk Indonesia, nodul tiroid masih
merupakan penyakit epidemik, diperkirakan lebih dari 10 juta penduduk
Indonesia menderita nodul tiroid. Di rumah sakit Dr. Hasan Sadikin (RSHS)
Bandung antara tahun 1983-1986 frekuensinya sebesar 3,75%, tahun 1991
13,5% (17 dari 126), dan 16,8% (19 dari 113) dalam tahun 1992 dari
seluruh pasien yang menderita tumor ganas. Pada tahun 2005-2010
ditemukan nodul tiroid sebanyak 104 orang (5,4%) dan menempati urutan
ke-5 dari seluruh tumor kepala leher.
Karsinoma tiroid harus dapat dibedakan dari nodul jinak (adenoma
dan multinodul goiter). Secara histologi insiden karsinoma tiroid sebanyak
90% papillare, 15% folikular, 5-10% medulare, dan sebanyak 5% untuk
karsinoma anaplastik.
Diagnosis meliputi anamnesis, pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan
penunjang. Penegakkan diagnosis penting dilakukan untuk meningkatkan
kualitas hidup penderita. Diagnosis klinis merupakan dasar dalam
menentukan penatalaksanaan selanjutnya, sehingga diperlukan
pengetahuan dan keterampilan dalam menentukan diagnosis.

Kata Kunci: nodul tiroid, histologis, diagnosis

39
Dr. Yussy Afriani Dewi, dr., M.Kes., SpTHT-KL(K)., FICS

PENDAHULUAN
Kelenjar tiroid adalah kelenjar endokrin yang secara anatomis merupakan
kelenjar terbesar dibanding kelenjar lain, mempunyai keunikan karena
memerlukan iodide untuk sintesis hormon tiroid dan mempunyai deposit
hormon yang disimpan dalam koloid untuk mempertahankan kadar
1
hormon tiroid dalam batas normal.
2
Lebih dari 200 juta penduduk dunia menderita nodul tiroid. Di
Amerika Serikat tidak kurang dari 275.000 kasus nodul tiroid baru yang
terdeteksi pertahunnya, namun hanya satu dari 20 nodul tiroid secara
klinis yang didiagnosis sebagai keganasan. Risiko nodul tiroid diperkirakan
sebesar 5–10 % dan lebih sering ditemukan pada wanita dibandingkan
3
pria. Hanya sekitar 0,4% dari seluruh karsinoma tiroid yang menyebabkan
kematian dan kurang lebih sekitar 5 kasus per satu juta populasi per tahun
di Amerika Serikat. Tetapi peneliti lain mengatakan bahwa insiden
karsinoma tiroid sekitar 12.000 kasus per tahun dengan angka kematian
4
1.000 kasus per tahun.
Setiap tahun terjadi 2 sampai 4 per 100.000 penduduk, hanya 1%
dari keseluruhan merupakan keganasan dan 0,5% menyebabkan kematian.
Di Asia Tenggara termasuk Indonesia, nodul tiroid masih merupakan
penyakit epidemik, diperkirakan lebih dari 10 juta penduduk Indonesia
menderita nodul tiroid. Di rumah sakit Dr. Hasan Sadikin (RSHS) Bandung
antara tahun 1983-1986 frekuensinya sebesar 3,75%, tahun 1991 13,5%
(17 dari 126), dan 16,8% (19 dari 113) dalam tahun 1992 dari seluruh
5
pasien yang menderita tumor ganas.
Di Bagian Ilmu Kesehatan THT-KL RSHS Bandung terdapat 35 kasus
penderita nodul dingin tunggal tiroid selama jangka waktu 5 tahun (1990–
1994) yang terdiri dari 29 wanita dan 6 orang laki-laki. Angka prevalensi
adenomatous goiter/koloid goiter 45,71%. Sedangkan angka prevalensi
6
untuk keganasan hanya 8,57%. Pada tahun 2005-2010 ditemukan nodul
tiroid sebanyak 104 orang (5,4%) dan menempati urutan ke-5 dari seluruh
7
tumor kepala leher.
Karsinoma tiroid harus dapat dibedakan dari nodul jinak (adenoma
dan multinodul goiter). Insidens nodul tiroid bisa mencapai lebih dari 4%.

40 | 2nd World Head & Neck Cancer Day


Tiroidektomi

Dengan menggunakan USG, nodul dapat ditemukan lebih dari 50% kasus
pada umur lebih dari 60 tahun. Secara histologi insiden karsinoma tiroid
sebanyak 90% papillare, 15% folikular, 5-10% medulare, dan sebanyak 5%
untuk karsinoma anaplastik. Limfoma dapat terjadi juga pada tiroid
terutama karena Hashimoto’s thyroiditis. Metastasis dapat ditemukan di
4
mammae, paru-paru, ginjal, gastrointestinal, ataupun dari melanoma.
Penegakkan diagnosis penting dilakukan untuk meningkatkan
kualitas hidup penderita. Diagnosis klinis merupakan dasar dalam
menentukan penatalaksanaan selanjutnya, sehingga diperlukan
pengetahuan dan keterampilan dalam menentukan diagnosis.

PATOFISIOLOGI PEMBESARAN KELENJAR TIROID/STRUMA


Kekurangan yodium dalam waktu lama berakibat penurunan hormon tiroid
yang akan menimbulkan kenaikan kadar TSH dan ini menyebabkan
hipertrofi dan hiperplasia kelenjar tiroid yang difusa. Kalau kekurangan
yodium sudah teratasi maka kelenjar tiroid akan mengecil kembali oleh
karena terjadi fase involusi koloid dimana jumlah folikel-folikel berkurang,
sel epitel menjadi gepeng dan terjadi akumulasi koloid. Bila terjadi lagi
defisiensi yodium maka akan timbul lagi siklus baru.

Normal  hipertrofi  hiperplasi  atrofi parenkim


Involusi koloid
Goiter koloid  hipertrofi  hiperplasi  atrofi
goiter koloid
Goiter koloid  Kista  kalsifikasi  nekrosis
8
Siklus perubahan struktur tiroid pada defisiensi yodium berulang kali

Bila defisiensi yodium berlangsung lama dan berulang kali, timbulah


degenerasi pada kelenjar tiroid. Histopatologis tampak sel epitel menjadi
gepeng dengan folikel-folikel yang membesar berisi koloid yang
mengandung sedikit yodium, terbentuk kista, kalsifikasi dan nekrosis.
Mula-mula perubahan tersebut secara difus, tetapi lama kelamaan bersifat
8
fokal sehingga terbentuklah nodul-nodul.

Early Diagnosis and Current Treatment Paradigm in Head and Neck Surgery | 41
Dr. Yussy Afriani Dewi, dr., M.Kes., SpTHT-KL(K)., FICS

Taylor (1978) melaporkan perkembangan perubahan dalam kelenjar


tiroid hiperplasia yang difus pada anak muda menjadi tiroid noduler pada
orang tua, dengan melakukan pemeriksaan histologik dan radioautografi
pada penderita struma endemik dan sporadik. Hasilnya disimpulkan ada 5
8
stadium pertumbuhan tiroid yaitu:

Stadium 1 : Jenis struma masa pubertas.


Pembesaran tiroid secara difus, vaskularisasi bertambah, daya tangkap
yodium baik, gambaran radioautografi tampak hitam yang sama rata.

Stadium 2 : Kelenjar tiroid membesar secara difus.


Pada radioautografi tampak bercak-bercak hitam kecil, batas tegas,
menggambarkan adanya aktifitas fokal pada satu/beberapa tempat,
menyerupai nodul yang toksik didalam struma nodosa non toksik

Stadium 3 : kelenjar tiroid bernodul.


Ditengah-tengah nodul terjadi perdarahan. Pada radiautografi tampak di
sekitar nodul berwarna hitam, menggambarkan jaringan diluar nodul tetap
berfungsi.

Stadium 4 : Stadium resolusi.


Dimana nodul-nodul ditempati oleh koloid atau diisi masa folikel-folikel
kecil yang tidak menangkap isotop atau disebut cold nodule

Stadium 5 : Jenis struma multinodosa.


Yaitu sesudah proses tadi timbul berulang-ulang. Tampak beberapa nodul
yang hitam pada radioautografi, yang menggambarkan adanya
pembentukan hormon (nodul panas) dan nodul yang tidak menangkap
isotop (nodul dingin).
Pada mulanya terjadi pembentukan yang difus dan hiperplasi yang
homogen, kemudian terjadi area yang aktif dan tidak aktif, selanjutnya
tumbuh menjadi nodul. Nodul-nodul ini dikelilingi semacam kapsul akibat
penekanan jaringan disekitarnya. Nodul menjadi kista tiroid dan diisi oleh

42 | 2nd World Head & Neck Cancer Day


Tiroidektomi

koloid atau folikel-folikel baru, dan akhirnya terbentuk nodul-nodul dengan


8
berbagai ukuran.
Secara garis besar, diagnosis banding untuk nodul dan karsinoma
tiroid dapat dilihat pada tabel dibawah ini.

4 4
Diagnosis Banding Nodul Tiroid Diagnosis Banding Karsinoma Tiroid

STRUMA
Struma adalah tumor (pembesaran) pada kelenjar tiroid. Biasanya yang
dianggap membesar bila kelenjar tiroid lebih dari 2x ukuran normal.
Klasifikasi struma berdasarkan anatomi dan fisiologi dikenal struma difusa
dan struma nodosa. Secara klinis dibagi menurut sifat toksik–non toksik,
9-10
banyaknya nodul dan kemampuan menangkap yodium 131.
Struma difusa adalah pembesaran yang merata dengan
konsistensi lunak pada seluruh kelenjar tiroid . Struma nodosa jika
pembesaran kelenjar tiroid terjadi akibat nodul, apabila nodulnya hanya
satu maka disebut uninodosa, dan bila lebih dari satu baik terletak pada
hanya satu sisi lobus saja maupun pada kedua lobus maka disebut
9-10
multinodosa.

Early Diagnosis and Current Treatment Paradigm in Head and Neck Surgery | 43
Dr. Yussy Afriani Dewi, dr., M.Kes., SpTHT-KL(K)., FICS

Dari aspek fungsi kelenjar tiroid, yang tugasnya memproduksi


9-10
hormon tiroksin maka bisa kita bagi menjadi:
 Hipertiroid sering juga disebut sebagai toksika (walaupun pada
kenyataannya pada penderita ini tidak dijumpai adanya toksin), bila
produksi hormon tiroksin berlebihan.
 Eutiroid bila produksi hormon tiroksin dalam batas normal.
 Hipotiroid bila produksi hormon tiroksin kurang.

Pada struma tanpa tanda-tanda hipertiroid, kita sebut sebagai


struma non toksika. Dari aspek histopatologi kelenjar tiroid, maka
timbulnya struma bisa kita jumpai akibat proses hiperplasia, keradangan
9-10
/inflamasi, neoplasma jinak, neoplasma ganas.
Struma nodosa secara klinis dibagi atas 2 kelompok besar, yaitu:
1. Struma nodosa non toksik
Struma nodosa non toksik adalah struma yang secara klinis tidak
ditemukan adanya tanda-tanda hipertiroid. Yang termasuk di dalam
kelompok struma nodosa non toksik:
9-10
1.1. Struma nodosa pada struma endemik/ sporadik
Struma endemik dan struma sporadik tidak dapat dibedakan
secara klinis maupun anatomis. Nama endemik dan sporadik
terletak pada jumlah penderita struma dalam suatu populasi
tertentu. Apabila jumlah penderita struma <10% dari populasi
dikatakan struma endemik.
Gejala klinik struma nodosa pada struma endemik maupun
struma sporadik yaitu tiroidnya membesar, bernodul, non
toksik, dimana bentuk multinodular lebih banyak daripada yang
bentuk soliter.
Apabila kelenjar tiroid makin membesar, dapat menekan
esofagus dan trakea, yang menyebabkan gejala kompresi,
seperti disfagia, gangguan pernafasan. Struma ini dapat
menimbulkan rasa nyeri dan pembengkakan akut, apabila timbul
perdarahan di dalam nodul. Pada pemeriksaan sidik tiroid, sering
didapatkan hot nodul atau cold nodule.

44 | 2nd World Head & Neck Cancer Day


Tiroidektomi

11,12
1.2. Kista tiroid
Diagnosis pasti adalah dengan aspirasi memakai jarum, ini
sangat mudah, murah, dan aman tanpa komplikasi, sekaligus
bernilai sebagai terapi aspirasi, dan dapat diulang sampai
diameter <1 cm.

10-14
1.3. Tiroiditis Fokal
Tiroiditis secara klinis kadang-kadang sulit dibedakan dengan
tumor. Pembesarannya yang cepat dan asimetris, bernodul,
keras dan terfiksir pada jaringan sekitarnya dapat terjadi pada
keduanya. Diagnosis pasti didapatkan dengan pemeriksaan
histopatologis dari tiroid. Disamping gejala-gejala ini juga
terdapat perasaan nyeri pada perabaaan. Yang termasuk
tiroiditis fokal adalah: tiroiditis akut, sub akut, tiroiditis kronis
berupa tiroiditis Hashimoto dan tiroiditis Riedel.

10,11,13,14
a. Tiroiditis Akut
Sering disebut juga sebagai akut difus tiroiditis atau akut non
supuratif tiroiditis atau pseudotuberkular tiroiditis. Gejala
yang karakterisitik adalah panas badan, kelemahan yang
ekstrem (malaise), nyeri pada tiroid yang membesar. Struma
yang terjadi biasanya tidak simetris, membesarnya kadang
sampai 2- 3 kali ukuran normal. Kadang juga menimbulkan
refered pain ke persendian mandibula atau ke telinga, atau
kelenjar getah bening dekat tiroid. Keluhan lain yang
menyertai disfagia, panas badan yang tinggi terutama pada
kondisi yang sakit berat.
Pada pemeriksaan biopsi akan menunjukkan suatu
inflammatory reaction yang karakteristik dengan adanya
gambaran infiltrasi pada stroma tiroid oleh sel mononuclear,
proliferasi dari jaringan ikat, dan giant cell formation pada
beberapa spesimen.
131
Kombinasi hasil pemeriksaan uptake 1 yang rendah
dan Protein Bound Iodine (PBI) yang sedikit meningkat atau
normal, menunjukkan adanya tiroiditis.

Early Diagnosis and Current Treatment Paradigm in Head and Neck Surgery | 45
Dr. Yussy Afriani Dewi, dr., M.Kes., SpTHT-KL(K)., FICS

10,11,13,14
b. Tiroiditis sub akut
Gejalanya timbul pembengkakan akut dari sebagian tiroid
dan nyeri, kemudian pembengkakan tersebut merata
disertai nyeri menelan. Selama 2-3 minggu sebelumnya
penderita mengeluh lemah badan dan lesu, disertai panas
badan ringan sampai berat. Biasanya dalam 1-2 minggu
membaik, kadang-kadang sampai 3-6 minggu. Kira-kira
33,3% asimptomatik, selain gejala pembesaran tiroid. Pada
palpasi sebagian tiroid membesar, keras kadang-kadang
noduler. Dalam beberapa minggu bagian lainnya ikut
membesar. Pada fase awal mungkin disertai tanda-tanda
hipertiroid seperti palpitasi, gugup, akibat kerusakan
struktur folikuler yang mendadak diikuti pelepasan hormon
tiroid yang banyak kedalam sirkulasi darah.
Mikroskopis khas ditemukan deskuamasi dan
degenerasi dari epitelium folikuler, giant cells berkelompok
disekeliling koloid yang mengalami degenerasi,
pembentukan susunan pseudotuberkel dismaping adanya
invasi sel-sel PMN dan limfosit.

10,11,13,14
c. Tiroiditis Kronis
Tiroiditis Hashimoto (Struma lymphomatosa/ Lymphadenoid
goiter/Lymphocytic thyroiditis)
Penyakit tiroid akibat gangguan immunologis. Sering
menyebabkan hipotiroid pada anak dan dewasa. Laki :
wanita = 1 : 15, sering terjadi pada usia 30–50 tahun.
Klinis didapat struma multinodusa dengan batas nodul
tidak jelas, benjolan benjolan yang terjadi biasanya pada
pole bawah, tidak nyeri, tidak febris, berat badan turun.
Pada struma yang besar sering menimbulkan penekanan
pada vena kava superior.
Diagnosis Hashimoto's disease dimulai dengan
ditemukannya hipotiroid, pemeriksaan fungsi tiroid (TSH, T 3,

46 | 2nd World Head & Neck Cancer Day


Tiroidektomi

T4) didapatkan TSH normal, dan sedikit penurunan pada T 3


dan T4. Pada fase transient hipertiroid maka akan didapat
peningkatan T3 dan T4, hal ini bisa dibedakan dengan Grave's
131
disease dengan melakukan pemeriksaan I uptake. Pada
Grave's disease akan didapat peningkatan uptake yang difus
pada seluruh jaringan tiroid, sedangkan pada Hashimoto's
disease akan didapat gambaran yang normal bahkan pada
131
fase lanjut akan didapat uptake I menurun. Biopsi atau
FNAB dilakukan untuk membedakan dengan proses
keganasan.

9-13,15
Riedel’s struma
Nama lain: Invasive fibrous thyroiditis, ligneous thyroiditis.
Sangat jarang, suatu proses peradangan pada tiroid. Usia
yang mengalami berkisar antara 30-60 tahun, wanita lebih
sering dibanding pria. Penderita sering mengeluh adanya
pembesaran yang cepat pada kelenjar tiroid bilateral atau
unilateral, biasanya asimetris, disertai dengan gangguan
pada trakea atau esofagus, kadang-kadang ada gejala
hipotiroid. Konsistensinya mengeras seperti kayu, bentuk
irreguler, tanpa rasa nyeri, sering rancu dengan karsinoma
tiroid. Pada pemeriksaan laboratorium hampir tidak didapat
kelainan, hanya saja bila sudah fase akhir akan di dapat
hipotiroid. Diagnosis yang diandalkan hanyalah biopsi.
Kelainan patologi yang didapatkan adanya folikel rusak dan
diganti dengan jaringan fibrosis yang menyeluruh pada
kelenjar tiroid dan infiltrasi peradangan ini meluas
menembus kapsul tiroid sekitarnya.

8-11,14,15
1.4. Tumor Tiroid
Tumor tiroid terdiri dari:
a. Tumor jinak, yaitu adenoma
b. Tumor ganas, yaitu karsinoma

Early Diagnosis and Current Treatment Paradigm in Head and Neck Surgery | 47
Dr. Yussy Afriani Dewi, dr., M.Kes., SpTHT-KL(K)., FICS

Penyebab tumor tiroid pada manusia belum diketahui dengan


pasti. Diduga berhubungan dengan beberapa faktor:
 Defisiensi yodium
 Radiasi
 Tiroiditis otoimun
 Penyakit Graves
 Faktor Keturunan

a. Adenoma
Tumor jinak tiroid memberikan gejala berupa nodul, yang
menurut DeGroot dan Stanbury (1998) terdiri dari 75%
struma uninodosa dan 25% berupa struma multinodosa.
Sebanyak 70-80% dari struma uninodosa adalah adenoma.
Perbandingan penderita laki-laki dengan wanita adalah
7:1, berumur anatara 20-60 tahun sebanyak 80%.
Gambaran histopatologi adalah :
a. Mempunyai kapsul sempurna dari jaringan fibrous.
b. Gambaran arsitektur yang berbeda antara jaringan diluar
dan didalam kapsul
c. Menekan jaringan tiroid sekitarnya.
Adenoma mempunyai struktur yang uniform.
Gambaran histopatologi berbeda-beda sesuai dengan
tipenya. Terbagi ada 3 tipe:
 Adenoma folikuler (lebih dari 75%)
Tipe ini berdasarkan histopatologi dari isi koloidnya
dibedakan lagi menjadi adenoma embrional (adenoma
trabekuler), adenoma foetalis, adenoma mikrofolikuler,
adenoma makrofolikuler, simple adenoma, Hurthle cell
adenoma.
 Adenoma papiliferum (papillary adenocystoma,
cystadinoma)
Tipe ini masih diperdebatkan, apakah termasuk jinak
(adenoma) atau karsinoma papiliferum.

48 | 2nd World Head & Neck Cancer Day


Tiroidektomi

Menurut De Groot dan Stanbury (1975) termasuk


karsinoma yang potensi keganasannya ringan.
Histopatologis gambaran selnya kuboid atau
kolumnar, ditemukan sedikit pleomorfism seluler dan
nuklear, sedangkan mitosis jarang. Sel-sel lebih sering
membentuk folikel berisi koloid.
 Teratoma
Sangat jarang ditemukan, biasanya berupa nodul yang
soliter, terletak digaris median, berasal dari sisa jaringan
embrional. Bisa terletak diluar atau didalam tiroid dan
menekan jaringan sekitarnya. Teratoma berisi campuran
aneka macam jaringan seperti beberapa tipe epitelioma,
kartilago, dan komponen saraf.

b. Karsinoma
Menurut Cassidy dkk (1979) melaporkan 2,5-28,7 % (rata-
rata 10 %) dari struma nodosa adalah karsinoma tiroid,
sedangkan Iwan dkk (1978) mendapatkan karsinoma tiroid
8,6 ,% dan Tandjung-Lukito (1981) mendapatkan angka 15,9
%.
Groesbeck (1959) melaporkan 11,5 % struma nodosa
soliter dan 8,6 % struma nodosa multipel, 14,2 % "Cold
nodule" dan 3,6 % warm nodule adalah karsinoma tiroid,
sedangkan dari hot nodule tidak ditemukan keganasan. Di
USA perkiraan insiden kasus baru pertahun sekitar 16.000
penderita dari 1.400.000 kasus karsinoma baru. Klinis sukar
dibedakan apakah nodul pada tiroid tersebut akibat
karsinoma tiroid atau nodul dari goiter biasa. Pada nodul
yang pertumbuhannya cepat mencurigakan keganasan.
Pada kenyataannya pengobatannya sukar dan
mortalitasnya cukup tinggi. Insiden keganasan keseluruhan
dari nodul yang soliter (uninodusa) berkisar antara 10 sampai
30 %, tergantung dari seleksi pemeriksaan yang dilakukan.

Early Diagnosis and Current Treatment Paradigm in Head and Neck Surgery | 49
Dr. Yussy Afriani Dewi, dr., M.Kes., SpTHT-KL(K)., FICS

Karsinoma tiroid bisa timbul akibat paparan dengan


radioaktif intensitas rendah jangka panjang, masa laten dari
akibat radiasi ini sekitar 10-20 tahun. Hal ini terjadi di
Ukraina tahun 1986 akibat kerusakan pusat nuklir di
Chernobyl, Sekitar 75% pada kasus tersebut didapat
metastasis kelenjar getah bening leher, setengah
diantaranya adalah poorly differentiated.
Pada hasil studi epidemiologi yodium, tidak semuanya
menunjukkan adanya korelasi nyata dengan insiden
karsinoma tiroid, akan tetapi pada beberapa kesimpulan
menyatakan bahwa pada daerah gondok endemik
menunjukkan adanya peningkatan terjadinya well
differentiated thyroid carcinoma, terutama yang tipe
folikuler.

Klasifikasi Karsinoma Tiroid menurut WHO:


Tumor epitel maligna
- Karsinoma folikulare
- Karsinoma papilare
- Campuran karsinoma folikulare-papilare
- Karsinoma anaplastik (Undifferentiated)
- Karsinoma sel skuamosa
- Karsinoma Tiroid medulare

Tumor non-epitel maligna


- Fibrosarkoma

Tumor maligna lainnya


- Sarkoma
- Limfoma maligna
- Haemangiothelioma maligna
- Teratoma maligna

Tumor sekunder dan unclassified tumors

50 | 2nd World Head & Neck Cancer Day


Tiroidektomi

Spektrum gambaran karsinoma tiroid berkisar antara dua


gambaran yaitu yang relatif sering tipe papiler dengan
diferensiasi sel baik serta prognosis pada umumnya baik,
sedangkan sisi lainnya adalah karsinoma tiroid dengan
diferensiasi yang jelek yaitu tipe anaplastik dengan prognosis
yang jelek.
Untuk menyederhanakan penatalaksanaan Mc Kenzie
11,15,14,16
membedakan karsinoma tiroid atas 4 tipe yaitu:
a. Karsinoma tiroid papiliferum (adeno karsinoma
papiliferum).
Tipe ini paling banyak ditemukan, sekitar 60-70 % dari
keempat tipe diatas. Termasuk golongan yang
berdiferensiasi baik. Biasanya terdapat pada usia < 40
tahun, wanita 2-3 kali lebih sering terkena dari pada pria.
Perkembangannya biasanya lambat (tahunan) dan
penyebarannya ke kelenjar getah bening servikal,
kemudian ke mediastinal, tulang serta paru-paru. Fokus
primernya kadang tersembunyi (occult) dan biasanya
occult papilary carcinoma hanya diketahui secara
kebetulan waktu operasi karena ukurannya yang kecil,
yaitu <1,5 cm. Karakteristik papiler karsinoma tiroid
adalah metastasis limfogen, akan tetapi juga bisa
metastasis jauh, yang sering metastasis pada paru. Folikel
tiroid apabila didapatkan pada kelenjar getah bening, ada
atau tanpa gambaran papiler, maka praktis dianggap
sebagai metastasis limfogen dari karsinoma tiroid yang
mungkin secara klinis occult. Prognosis dari intra tiroid
papiler karsinoma (tumor yang masih terbatas pada
kelenjar tiroid) pada umumnya sangat baik, dengan atau
tanpa metastasis limfogen regional. Sebaliknya pada
ekstra papiler karsinoma sudah menembus kelenjar
gondok dan menginfiltrasi jaringan sekitarnya
prognosisnya lebih jelek.

Early Diagnosis and Current Treatment Paradigm in Head and Neck Surgery | 51
Dr. Yussy Afriani Dewi, dr., M.Kes., SpTHT-KL(K)., FICS

Jenis tumor ini berdiferensiasi baik dengan struktur


papiler, inti ground glass appearance. Lebih banyak
bersifat infiltratif jarang berkapsul, jarang invasi ke
pembuluh darah vaskuler. Yang menonjol adalah
ditemukannya penimbunan kalsium yang berlapis-lapis
konsentris, dikenal sebagai psammoma bodies.

b. Karsinoma tiroid folikuler.


Golongan terbanyak kedua setelah adenokarsinoma
papiler, sifatnya lebih ganas dari karsinoma papilare.
Insiden sekitar 25% dari seluruh karsinoma tiroid dan
terbanyak pada dekade ke-3 sampai ke-5. Dapat
ditemukan disemua umur, tetapi paling sering pada usia >
40 tahun. Morfologi folikuler karsinoma tiroid variabelnya
mulai well differentiated membentuk folikel berisi koloid,
sampai yang solid akibat pertumbuhan seluler. Pada yang
poorly differentiated folikel atau pola yang atipik, maka
bentukkannya bisa berupa kribiformis.
Untuk menentukan prognosisnya maka pada
folikuler tiroid karsinoma perlu diketahui derajat
invasifnya, yaitu:
1. Invasi minimal (minimally invasive /encapsulated )
2. Invasi luas (widely invasive).
Tumor ini berdiferensiasi baik dengan struktur
folikuler dan atau trabekuler, lebih sering berkapsul,
jarang bersifat infiltratif, sering sekali invasi ke pembuluh
vaskuler/kapsul. Nukleinya hiperkromatik, atau normal
atau vesikuler. Ada varian yang disebut "adenoma
maligna" oleh karena tampak sebagai benigna, hanya
ditemukan adanya invasi pembuluh darah/kapsul atau
karena adanya metastasis jauh. Pada tipe Hurthle cell
ditemukan lapisan padat dari sel-sel besar bergranuler
eosinofilik dengan banyak sitoplasma dan sedikit struktur
folikulernya.

52 | 2nd World Head & Neck Cancer Day


Tiroidektomi

c. Karsinoma tiroid meduler.


Kurang lebih 3 % dari karsinoma tiroid. Berasal dari
neural crest C cell, merupakan tumor yang agresif, bisa
sporadic atau familial. Sering ditemukan pada usia tua 50-
60 tahun. Sering didapatkan bersamaan dengan penyakit
atau gangguan hormonal lainnya seperti adenoma
paratiroid. Penyebaran melalui sistem getah bening, tidak
berhubungan dengan riwayat radiasi, sering residif dan
bisa dipantau dengan kadar kalsitonin darah. Yang khas
adalah menunjukkan gambaran kapsul yang solid, pulau-
pulau atau trabekulasi poligonal atau bentuk spindle,
dengan sel kaya sitoplasma berisi imunoreaktif kalsitonin.
Bentuk- bentuk kelainan klinis tipe medulare, yaitu:
1. Sporadik, 80 % dari tipe medulare. Biasanya
unilateral, sering pada usia 40-60 tahun, wanita lebih
sering dari pada pria dengan perbandingan 3: 2.
2. Multiple endocrine neoplasia (MEN II-A atau sipple
sindrome) yaitu karsinoma medulare bilateral, disertai
dengan hiperparatiroidisme dan bilateral
feokromositoma. Berhubungan dengan adanya defek
pada genetik, puncak onset yaitu 30 tahun, wanita
dan pria sama insidennya.
3. MEN 11-B juga disertai feokromositoma dengan
karakteristik adanya mukosal neuromata pada bibir
dan lidah, intestinal ganglioneuromatoses, gambaran
marfanoid, deformitas pada skeletal. Berhubungan
dengan adanya defek pada genetik, puncak onset
yaitu 30 tahun, wanita dan pria sama insidennya.
4. Non-MEN familial disease tanpa adanya gangguan
ekstratiroidal. Sering dijumpai pada orang dewasa,
prognosis jelek. Terapi dengan radiasi tidak
bermanfaat / efeknya minimal.

Early Diagnosis and Current Treatment Paradigm in Head and Neck Surgery | 53
Dr. Yussy Afriani Dewi, dr., M.Kes., SpTHT-KL(K)., FICS

Tumor ini berdiferensiasi baik, terdiri dari sarang-


sarang yang memadat dari sel-sel bulat kecil. Sarang ini
dipisahkan oleh struma jaringan ikat fibrous. Adanya
penimbunan amiloid adalah tanda khas tipe ini.
Dikatakan tumor ini berasal dari sel C atau sel
parafolikuler yang memproduksi kalsitonin, yaitu suatu
hormon yang menurunkan kadar kalsium didalam darah,
juga memproduksi prostaglandin, adrenokortikotropin,
serotonin dan-lain.

d. Karsinoma tiroid anaplastik.


Keganasan yang sangat malignant dengan komposisi sel
yang tidak terdifferensiasi. Mortalitasnya tinggi rata-rata
angka harapan hidup berkisar antara 6 sampai 9 bulan. Di
USA, masih tercatat banyak yang berasal dari daerah
gondok endemik, sekitar 2-5% dari karsinoma tiroid.
Pasien biasanya datang dengan keluhan pembesaran
kelenjar tiroid yang cepat, pada penderita usia tua,
keluhan sesak, suara parau, distress nafas. Kematian
biasanya akibat perkembangan penyakit lokalnya atau
akibat metastasis pada paru-paru, obstruksi jalan nafas
karena kompresi pada trakeanya, atau perdarahan intra
trakeal.
Konfirmasi diagnostik bisa dilakukan FNAB, atau
biopsi terbuka. Angka residifnya tinggi, dan eksisi total
pada umumnya sangat tidak mungkin oleh karena sudah
melibatkan struktur penting sekitarnya seperti arteri
karotis, otot pretrakeal, esofagus, trakea.
Karakteristik dari tipe ini adalah:
- Rasio wanita lebih besar dari pada pria 2 : 1
- Onset pada usia <65 tahun dan bahkan lebih muda.
- Bisa timbul pasca radiasi setelah bertahun-tahun
lamanya.

54 | 2nd World Head & Neck Cancer Day


Tiroidektomi

- Penyebaran ke KGB leher pada 90 % kasus.


- Biasanya keluhan berupa adanya kelenjar tiroid yang
berkembang sangat cepat dengan adanya riwayat
struma jinak.
- Sering menginfiltrasi trakea sampai ke lumennya
sehingga terkadang dibutuhkan tindakan trakeostomi.
- Sering terjadi metastasis jauh.

e. Karsinoma lainnya
 Karsinoma tiroid sekunder
 Limfoma
 Karsinoma epidermoid

11,15,17,14,18
2. Struma nodosa toksik
Yang dimaksud dengan struma nodosa adalah struma nodosa yang
menimbulkan hipertiroid.
a. Penyakit Plummer
Gejala klinis penyakit Plummer sama seperti halnya gejala
hipertiroid pada struma difusa toksik yaitu cepat tersinggung,
emosi labil, takikardi, motilitas usus meningkat. Hal yang lebih
menonjol dibandingkan dengan struma difusa toksik adalah
dekompensasi kordis yang agak sulit diatasi, lemah badan, fibrilasi
atrium, takikardi atrium yang berulang. Diagnosis dapat
ditegakkan dengan bantuan indeks wayne atau indeks Newcastle.
b. Hipertiroid pada karsinoma tiroid
Penyebab hipertiroid pada karsinoma tiroid adalah:
- Nodul karsinoma hiperfungsi sehingga menyebabkan keadaan
toksik.
- Tirotoksin yang berlebihan yang dihasilkan oleh metastasis
karsinoma tiroid dimana total masanya sangat besar dan
hiperfungsi.
Berdasarkan banyaknya nodul, pembagian dari struma
nodosa adalah:

Early Diagnosis and Current Treatment Paradigm in Head and Neck Surgery | 55
Dr. Yussy Afriani Dewi, dr., M.Kes., SpTHT-KL(K)., FICS

a. Struma nodosa soliter (struma uninodosa)


b. Struma nodosa multipel (struma multinodosa).
Kalau nodulnya satu maka disebut struma uninodosa
(soliter), kalau lebih dari satu disebut struma multi nodosa
(multipel). Insiden karsinoma pada struma nodosa soliter lebih
besar dari pada struma nodosa multipel. Pembagian struma
nodosa berdasarkan kemampuan nodul untuk
mengkonsentrasikan yodium radioaktif dibandingkan dengan
jaringan sekitarnya dengan pemeriksaan sidik tiroid adalah :
a. Hot nodule (hiperfungsional):
Nodul lebih mengkonsentrasi yodium radioaktif dari pada
jaringan sekitarnya.
Pada struma nodosa non toksik yang telah berlangsung
lama akan terjadi kelompok sel folikuler yang otonom sebagai
akibat terjadinya perubahan metaplastik karena hiperplasi dan
involusi yang berulang-ulang. Setelah kelompok sel folikuler ini
cukup besar dan banyak, maka TSH dan hipofise disupresi.
Pada pemeriksaan sidik tiroid tampak sebagai hot nodule.
Hot nodule terdapat pada penyakit Plummer, terutama
terdapat pada wanita menopause meskipun dapat terjadi pada
semua umur, tidak pernah terbukti sebagai suatu nodul yang
maligna.
Untuk menentukan hipertiroid, diperlukan pemeriksaan
T3, T4, dan TBG. Untuk menentukan sifat otonom atau tidak,
diperlukan pemeriksaan sidik tiroid ulang setelah pemberian
stimulasi dengan TSH dan supresi dengan T3.
b. Warm nodule (fungsional):
Nodul dan jaringan sekitarnya mengkonsentrasi yodium
radioaktif sama banyak. Warm nodule terdapat pada
adenoma, hiperplasiadenomatosa. Umumnya bersifat benigna
dan laporan adanya maligna atau keganasan hanya sedikit.
Insiden karsinoma adalah 0-8 % terutama karsinoma tiroid
folikuler.

56 | 2nd World Head & Neck Cancer Day


Tiroidektomi

c. Cold nodule (non fungsional):


Nodul tidak mengkonsentrasi yodium radioaktif, atau
mengkonsentrasi kurang dibandingkan dengan jaringan
sekitarnya. Cold nodule, apalagi yang soliter ditemukan di
daerah dimana struma endemik biasa didapatkan. Umumnya
bersifat benigna, terdapat pada kista tiroid, adenoma, tiroiditis
sub-akut/kronik, dan struma adenomatosa.

Insiden keganasan yang tinggi dihubungkan dengan keadaan


sebagai berikut:
- Cold nodule yang soliter, yang tumbuhnya cepat
- Umur penderita < 40 tahun
- Adanya riwayat radiasi didaerah kepala, leher, dan dada waktu
kecil
- Adanya suara serak, kelumpuhan pita suara, dan atau
limfadenopati
- Tidak ada respon terhadap hormon tiroid yang diberikan selama
12 minggu

DIAGNOSIS
Terdapat beberapa modalitas pemeriksaan penunjang yang dapat dipakai
untuk membantu menegakkan diagnosis nodul tiroid Pemeriksaan yang
umum dipakai berupa pemeriksaan fisik, laboratorium biokimia, sedangkan
modalitas pencitraan seperti pemeriksaan foto polos jaringan lunak leher,
USG (Ultrasonografi) dan CT Scan serta sidik kelenjar tiroid. Tahap awal
pemeriksaan laboratorium untuk nodul tiroid pada penyakit Graves yang
sangat penting dilakukan adalah TSH sensitive (TSHs), untuk menjaring
adanya hipertiroidisme atau hipotiroidisme, disamping pemeriksaan kadar
T4 dan T3 serum (bila kadar TSH berada dalam batas normal rendah atau
19,20
normal tinggi).

10,21
Anamnesis
Selain hal-hal yang mendukung terjadinya struma akibat peradangan atau
hiperplasi dan hipertrofi, maka perlu juga ditanyakan hal-hal yang diduga

Early Diagnosis and Current Treatment Paradigm in Head and Neck Surgery | 57
Dr. Yussy Afriani Dewi, dr., M.Kes., SpTHT-KL(K)., FICS

berkaitan dengan keganasan pada kelenjar tiroid, terutama pada struma


uninodusa nontoksik.

Hal-hal yang perlu ditanyakan pada anamnesis antara lain:


1. Jenis kelamin, walaupun nodul tiroid lebih sering terjadi pada
perempuan, nodul yang terdapat pada laki-laki mempunyai risiko
keganasan yang lebih tinggi serta pertumbuhannya lebih agresif.
2. Umur, pada umumnya nodul tiroid terjadi pada decade ke-3 sampai
ke-6 dalam kehidupan. Penderita dengan umur kurang dari 20 tahun
atau lebih dari 60 tahun mempunyai risiko tinggi untuk terjadinya
keganasan.
3. Riwayat pembesaran tiroid.
4. Kehamilan, insidensi terjadinya nodul tiroid dapat meningkat pada
kehamilan sebanyak 9,4% pada multipara dan 25% pada wanita
hamil. Hal ini dikarenakan TSH mungkin terdapat pada human
chorionic gonadotropin (HCG) sebagai pemicu. Pada kasus ini bisa
dilakukan evaluasi dengan BJAH dan USG. Sidik tiroid dan
pembedahan dilakukan setelah melahirkan.
5. Riwayat terpapar radiasi leher pada waktu kanak-kanak mempunyai
risiko tinggi untuk terjadinya keganasan. Radiasi diatas 0,5 Gy yang
mengenai tiroid selama 3 atau 4 tahun pertama kehidupan akan
menyebakan meningkatkan insiden terjadinya karsinoma sebanyak 1-
3% pada 10 sampai 30 tahun mendatang.
6. Pembesaran kelenjar tiroid yang cepat lebih sering terjadi pada
keganasan tiroid. Semakin besar ukuran dari nodul tiroid semakin
buruk prognosisnya bila itu adalah sebuah keganasan.
7. Neck node, adanya metastasis akan meningkatkan risiko terjadinya
rekurensi.
8. Penderita struma disertai suara serak dengan kelumpuhan plika
vocalis menandakan bahwa keganasan telah mengenai saraf.
9. Disfagi dan rasa nyeri, gejala ini merupakan gejala lanjut pada
karsinoma differentiated (seperti papilare/folikular) dan dapat juga
terjadi karena invasi pada karsinoma anaplastik.

58 | 2nd World Head & Neck Cancer Day


Tiroidektomi

10. Ada riwayat pada keluarga yang menderita karsinoma.


11. Penderita struma yang diduga hiperplasi, diterapi dengan hormon
tiroksin tetap membesar.
12. Struma dengan sesak nafas.
13. Adanya benjolan di leher juga penting untuk ditanyakan.

Onset, pembesaran, suara serak, nyeri, nodul di fossa


supraklavikular, gejala iritasi pleksus brakialis adalah merupakan tanda
keganasan. Penyebab yang tersering pada pembesaran yang cepat dan
nyeri pada nodul adalah perdarahan pada nodul jinak. Walaupun adanya
nodul yang telah ada bertahun-tahun merupakan nodul yang jinak,
beberapa karsinoma juga biasa tumbuh secara lambat.
Suatu nodul tiroid yang sudah bertahun-tahun besarnya tetap
biasanya jinak, akan tetapi apabila berubah menjadi membesar dalam
waktu yang singkat (bulan/minggu) maka perlu diwaspadai berubah
menjadi ganas.
Pada anamnesis untuk mengetahui adakah gangguan fungsi pada
penderita struma maka harus ditanyakan juga hal-hal yang mendukung
adanya tanda hipertiroid antara lain tremor, akral hangat dan basah,
takikardia, susah konsentrasi, makan banyak akan tetapi badan tetap
kurus/berat badan turun, sering diare. Sedangkan gejala hipotiroid antara
lain sikap lamban/apatis, wajah sembab, konstipasi, kulit kering, sering
mengantuk, berat badan bertambah, dan non pitting oedema pada
tungkai.

4,11,14,21
Pemeriksaan fisik
Nodul tiroid biasanya tidak terlihat atau tidak teraba kecuali bila diameter
nodulnya lebih besar dari 1,5-2cm. Nodul yang kecil biasanya terdapat
didaerah pole superior dan tengah. Ukuran nodul biasanya sulit untuk
ditentukan pada palpasi, lebih tepat diukur dengan menggunakan USG.
Pada palpasi, konsistensi kista adalah “hard dan tense” sedangkan nodul
yang solid bersifat kenyal dan soft. Juga perlu diperhatikan adanya fiksasi
nodul pada struktur disekitarnya. Nodul tiroid terdapat mulai dari sulkus
trakeoesofageal (level 6) sampai supraklavikular (level 4), mid-jugular (level

Early Diagnosis and Current Treatment Paradigm in Head and Neck Surgery | 59
Dr. Yussy Afriani Dewi, dr., M.Kes., SpTHT-KL(K)., FICS

3), sampai ke jugular digastrik (level 2). Plika vokalis juga harus
diperhatikan.
Nodul tiroid biasanya teraba sebagai pembesaran disekitar kelenjar
yang normal, dan ikut bergerak pada menelan. Keganasan perlu dicurigai
bila didapatkan adanya benjolan di leher terutama disekitar anterior
triangle adenopathy, fiksasi nodul pada strap muscles atau trakea.
Perdarahan yang terjadi di dalam nodul atau keganasan yang invasive
ditandai dengan nyeri dan pembesaran yang cepat. Suara serak dapat
terjadi karena tekanan atau infitrasi pada nervus laringeal rekuren karena
keganasan. Bila didapatkan adanya fluktuasi menandakan adanya kista dan
kebanyakan bersifat jinak.
Bila didapatkan adanya multinodular nodul yang difus pada palpasi
atau USG biasanya bersifat jinak, tetapi bila didapatkan multinodular nodul
yang berbeda dengan sekitarnya atau dua nodul yang berlainan maka
kemungkinan terjadi keganasan.
Lakukan pemeriksaan sistematis (urut dari atas ke bawah), simetris
(bandingkan kanan dan kiri), simultan (kanan dan kiri bersamaan), seksama
dan jangan lupa melihat kepala bagian belakang. Secara rutin harus
dievalusi juga keadaan kelenjar getah bening lehernya, adakah
pembesaran, lakukan evaluasi tersebut secara sistematis pula.
Pembesaran kelenjar tiroid sangat bervariasi dari tidak terlihat
sampai besar sekali dan mengadakan penekanan pada trakea, membuat
dilatasi sistem vena serta pembentukan vena kolateral.
Pada struma difusa akibat gondok endemik, Perez membagi
klasifikasinya sebagai berikut :
Derajat 0 : Tidak teraba pada pemeriksaan
Derajat I : Teraba pada pemeriksaan, terlihat hanya kalau kepala
ditengadahkan
Derajat II : Mudah terlihat pada posisi kepala normal
Derajat III : Terlihat pada jarak agak jauh
Pemeriksaan penderita struma kita lakukan dari belakang, kepala
penderita sedikit fleksi sehingga m. sternokleidomastoideus relaksasi,
dengan demikian tumor tiroid lebih mudah dievaluasi dengan palpasi.
Gunakan kedua tangan bersamaan dengan ibu jari posisi ditengkuk

60 | 2nd World Head & Neck Cancer Day


Tiroidektomi

penderita sedang ke-4 jari yang lain dari arah lateral mengevaluasi tiroid
serta mencari pole bawah kelenjar tiroid sewaktu penderita disuruh
menelan.
Pada struma yang besar dan masuk retrosternal maka kita tidak bisa
meraba trakea serta pole bawah tiroid. Kelenjar tiroid yang normal teraba
sebagai bentukan yang lunak dan ikut bergerak pada waktu menelan.
Biasanya struma masih bisa digerakkan kearah lateral, dan sukar
digerakkan kearah vertikal. Struma menjadi terfiksir apabila sangat besar,
keganasan yang sudah menembus kapsul, tiroiditis, ada jaringan fibrosis
setelah operasi.
Untuk memeriksa struma yang berasal dari satu lobus (misalnya
lobus kiri penderita), maka dilakukan sebagai berikut dengan jari tangan
kiri kita letakkan di medial dibawah kartilago tiroid, lalu kita dorong
benjolan tersebut ke kanan. Kemudian ibu jari tangan kanan kita letakkan
dipermukaan anterior benjolan. Ke-4 jari lainnya kita letakkan pada tepi
belakang m. sternokleidomastoideus untuk meraba tepi lateral kelenjar
tiroid tersebut. Pada struma yang menimbulkan pendesakan trakea bisa
menyebabkan sesak nafas, sianosis sehingga penderita gelisah.
Test Kocher, suatu cara untuk mengetahui adanya pendesakan
tersebut, caranya; tekanlah lobus lateralis yang membesar tersebut dari
arah lateral secara perlahan sambil diikuti, bila ada obstruksi maka akan
terdengar stridor.

14
Pemeriksaan Struma dari depan

Early Diagnosis and Current Treatment Paradigm in Head and Neck Surgery | 61
Dr. Yussy Afriani Dewi, dr., M.Kes., SpTHT-KL(K)., FICS

Penyempitan trakea bisa dijumpai pada:


1. Karsinoma tiroid yang menginfiltrasi trakea.
2. Retrosternal goiter.
3. Struma multinodusa yang diderita bertahun-tahun.
4. Riedel struma (Riedel tiroiditis).

Pada pemeriksaan fisik bila dijumpai nodul maka harus dideskripsikan:


1. Lokasi: lobus kanan, lobus kiri, ismus.
2. Ukuran: dalam sentimeter, diamater panjang.
3. Jumlah nodul: satu (uninodusa) atau lebih dari satu (multinodusa).
4. Konsistensinya: kistik, lunak, kenyal, keras.
5. Nyeri: ada nyeri atau tidak pada saat dilakukan palpasi
6. Mobilitas: ada/tidak ada perlekatan terhadap trakea, m.
sternokleidomastoideus.
7. Pembesaran kelenjar getah bening disekitar tiroid: ada atau tidak ada.

Meskipun keganasan dapat saja terjadi pada nodul yang multipel


(5%), namun bisa juga pada nodul yang soliter (15%-20 %). Waspada
7referat
keganasan pada struma apabila didapatkan:
- Pembesaran soliter yang cepat pada kelenjar tiroid tanpa disertai rasa
nyeri
- Pengerasan pada beberapa bagian atau menyeluruh dari suatu struma.
- Struma yang sudah lama, tiba-tiba membesar progresif.
- Hilangnya mobilitas dari struma, terjadi akibat proses infiltrasi tumor
kesekitarnya.
- Pulsasi arteri karotis teraba dari arah tepi belakang
m.sternokleidomastoideus karena terdesak oleh tumor (Berry’s sign).
- Adanya obstruksi trakea.
- Struma disertai dengan suara parau atau horner syndrome (ptosis,
miosis, enoftalmus), hal ini menunjukkan adanya infiltrasi atau
metastasis karsinoma ke jaringan sekitamya.
- Struma disertai pembesaran kelenjar limfe leher.
- Struma disertai metastasis jauh (kalvaria, kosta, kolum femuris, dan
lain-lain.)

62 | 2nd World Head & Neck Cancer Day


Tiroidektomi

Mencari tanda dari Berry (Berry’s sign)

Retrosternal goiter, terjadi pada penderita dengan leher pendek.


Pada keadaan normal tidak tampak struma, kalau batuk akan terlihat ada
massa tumor yang "meloncat", disebut plunging goiter. Retrosternal goiter
akan lebih jelas bila dikonfirmasi dengan foto toraks lateral. Sering
menimbulkan obstruksi pada thoracic outlet sehingga kalau penderita
mengangkat kedua lengannya tinggi disamping kepala, tidak lama
kemudian akan tampak kongesti pada muka dan sianosis (Pamberton’s
sign).

Pemeriksaan Laboratorium
Pemeriksaan laboratorium kadang masih diperlukan untuk menunjang
diagnosis klinis ataupun untuk menyingkirkan adanya penyakit tiroid pada
penderita dengan gambaran klinis yang mirip dengan penyakit tiroid, selain
14
untuk monitoring serta follow-up terapi.
Penderita dengan nodul tiroid biasanya eutiroid, yang ditentukan
dengan pemeriksaan kadar T4 dan TSH. Kadar T4 yang rendah dan
meningkatnya TSH menandakan adanya suatu tiroiditis. Kadar serum
tiroglobulin biasanya akan meningkat pada penderita nodul tiroid, maka
kadar serum ini tidak dapat menentukan diagnosis banding pada
keganasan. Pemeriksaan ini dapat membedakan antara hipertiroid,
4
eutiroid, ataupun hipotiroid.
Pemeriksaan hormon tiroid dan TSH paling sering menggunakan
radioimmuno-assay (RIA) dan cara enzyme-linked immunoassay (ELISA)

Early Diagnosis and Current Treatment Paradigm in Head and Neck Surgery | 63
Dr. Yussy Afriani Dewi, dr., M.Kes., SpTHT-KL(K)., FICS

dalam serum atau plasma darah. Pemeriksaan T4 total (TT4) dikerjakan


pada semua penderita dengan penyakit tiroid. T 3 total (TT3) sangat
membantu untuk hipertiroid dan TSH sangat diperlukan untuk mengetahui
14
hipotiroid.

14
a. Kadar total hormon tiroid dalam sirkulasi
Tiroksin total (TT4)
Tiroksin total (TT4) dalam serum merupakan pemeriksaan standar
untuk fungsi tiroid. Pemeriksaan T4 ini tidak dipengaruhi oleh yodium
ataupun media kontras yang berisi yodium, kecuali kalau diberikan
yodium cukup banyak yang dapat mempengaruhi fungsi tiroid sendiri.
Pada pemeriksaan ini yang diukur adalah FT4 dan yang terikat dengan
protein. Perubahan dalam ikatan dengan protein mempengaruhi
pengukuran TT4 sehingga perlu ditanyakan apakah penderita
sementara minum obat atau hamil, karena hal ini dapat menyebabkan
kesalahan interpretasi hasil pemeriksaan.
Kadar TT4 normal pada neonatus 144-400nmol/L, bayi 90-195
nmol/L, anak-anak 70-150 nmol/L, orang dewasa 60-150 nmol/L atau
50-120 ng/dl.
Kadar TT3 normal pada neonatus 0,8-7,2 nmol/L, bayi 1,6-3,8
nmol/L, anak anak 1,53,7 nmol/L, orang dewasa 1,0-2,6 nmol/L (0,65-
1,7 mg/ml).
11,14,15
b. Kadar Thyroid Stimulating Hormon (TSH)
Pengukuran kadar TSH terutama untuk diagnosis hipotiroid primer
dimana basal TSH meningkat 6 mU/L, kadang-kadang meningkat
sampai 3 kali normal. Pada hipotiroid, supresi TSH oleh hormon tiroid
berkurang sehingga kadar TSH dalam darah meningkat, maka
penetapan kadar TSH penting pada hipotiroid primer.
Pada hipertiroid, basal TSH rendah sampai tidak terukur, namun
TSH yang terukur dengan pemeriksaan biasa (RIA) dapat juga
ditemukan pada eutiroid. Pemeriksaan yang lebih spesifik,
menggunakan metode immunoradio-metricassay (IRMA) yang lebih
sensitive, kadar TSH basal dapat membedakan hipertiroid dan eutiroid

64 | 2nd World Head & Neck Cancer Day


Tiroidektomi

sehingga pemeriksaan ini dapat digunakan sebagai pilihan pertama


untuk tes fungsi tiroid. Kadar TSH normal dengan metode RIA
didapatkan rata-rata 2-4 mU/L dengan batas paling tinggi 6 mU/L baik
pada anak-anak maupun pada dewasa, pada neonatus kurang dari 25
mU/L.

Pemeriksaan kalsitonin biasanya harus dilakukan bila terdapat


riwayat nodul tiroid pada keluarga atau bila terdapat sindrom MEN tipe 2.
Walaupun karsinoma tiroid medular merupakan keganasan tiroid yang
jarang, beberapa peneliti menyarankan bahwa pemeriksaan kalsitonin
4
harus dilakukan. Tetapi pemeriksaan ini belum rutin dilakukan.
Pemeriksaan Carcinoembryonic antigen (CEA) biasanya juga akan
meningkat pada karsinoma medulare, tetapi pemeriksaan ini mempunyai
3
spesifisitas yang rendah.

Biopsi aspirasi jarum halus (FNAB = Fine needle aspiration biopsy )


Diantara semua sarana tes diagnostik untuk evaluasi nodul tiroid, yang
paling efektif adalah biopsi aspirasi jarum halus (BAJAH). Ketepatan
pengambilan spesimen akan meningkat bila prosedurnya dilakukan dengan
14
tuntunan USG.
Komplikasi yang dapat terjadi adalah perdarahan, infeksi, nekrosis,
4
atau terjadi pembentukan kista (jarang).
Pemeriksaan biopsi jarum halus merupakan diagnostik yang paling
sering dilakukan untuk mengevaluasi nodul tiroid, terutama pada nodul
tiroid dengan kecurigaan adanya keganasan, karena kemampuannya untuk
22
mendiagnosis jaringan nodul tiroid. Pengambilan sampel dan
interprestasi terhadap sediaan biopsi yang tepat dan benar sangat
tergantung pada kemampuan para ahli patologi. Ditangan yang ahli
ketepatan diagnostik biopsi jarum halus berkisar antara 70- 80%, dengan
23
negatif palsu keganasan antara 1-6%. Hasil biopsi jarum halus dibagi
menjadi (1). Non diagnostik; (2) ganas; (3) border line (curiga ganas), dan;
(4) jinak. Non diagnostik berarti tidak memenuhi suatu kriteria spesifik
23-25
sehingga harus diulangi. Pada kategori ganas, BAJAH dapat

Early Diagnosis and Current Treatment Paradigm in Head and Neck Surgery | 65
Dr. Yussy Afriani Dewi, dr., M.Kes., SpTHT-KL(K)., FICS

membedakan karsinoma papiller, karsinoma meduller, karsinoma


anaplastik dan karsinoma metastatik ke kelenjar tiroid serta limfoma
25-26
maligna.
BAJAH juga sangat murah bila dibandingkan dengan pemeriksaan
pencitraan dan USG. Beberapa studi melaporkan bahwa penggunaan
BAJAH sebagai pemeriksaan rutin dalam megevaluasi nodul tiroid dapat
mengurangi angka kebutuhan tiroidektomi diagnostik sebesar 20 sampai
50%, sementara hasil diagnosis yang mendukung kearah keganasan pada
spesimen jaringan tiroid melalui BAJAH meningkat sebesar 15 sampai
26
45%.
BAJAH juga dapat membantu menegakkan diagnosis nodul
koloid, Hashimoto thyroiditis dan subacute thyroiditis. Salah satu
kelemahan BAJAH adalah bila hasil aspirasi menunjukkan keadaan
hiposeluler dan pada aspirat yang banyak mengandung sel-sel folikel.
Aspirat yang hiposeluler dapat terjadi pada nodul kistik atau berhubungan
dengan kesalahan teknik biopsi. Untuk mengurangi kemungkinan
kesalahan, sebaiknya BAJAH dilakukan dengan bimbingan atau panduan
USG. Ketepatan diagnotik biopsi jarum halus akan meningkat bila sebelum
biopsi dilakukan penyidikan sidik kelenjar tiroid atau USG. Sidik kelenjar
tiroid diperlukan untuk menyingkirkan nodul tiroid otonom dan nodul
fungsional hiperplastik, sedangkan USG selain untuk membedakan nodul
25
kistik dari padat serta ukuran nodul juga berguna untuk penuntun biopsi.
Secara keseluruhan teknik ini mempunyai sensitifitas, spesifisitas,
dan akurasi sebesar 83%, 92%, dan 95%. Akurasi untuk mendiagnosis
karsinoma papilare sekitar 90-100%, undifferentiated (anaplastik)
karsinoma, medulare, dan limfoma sekitar 90%. Untuk karsinoma folikuler
agak sulit dibedakan dengan Gurtgle cells, akurasinya sebesar 40%.
Diagnosis untuk folikular karsinoma membutuhkan identifikasi invasi dari
kapsular dan atau vascular yang tidak dapat dilihat pada pemeriksaan
BJAH. Imunohistokimia dengan Thyroid peroxidase (TPO) dan antibody
monoclonal secara signifikan dapat meningkatkan akurasi pada karsinoma
folikular. Biopsi aspirasi yang besar juga dapat meningkatkan akurasi tetapi
kemungkinan terjadinya hematoma, terkenanya trakea, nervus laryngeal

66 | 2nd World Head & Neck Cancer Day


Tiroidektomi

atau kerusakan struktur jaringan sekitarnya. Frozen section sangat


3
diperlukan pada kasus ini.
Biopsi pada nodul yang tidak terpalpasi (kurang dari 1 cm) dapat
dilakukan dengan panduan USG dan biasanya jinak. Bila didapatkan hasil
keganasan yang positif atau curiga suatu keganasan pada aspirasi ini maka
dilakukan pembedahan karena sekitar 25% terbukti ganas pada
pembedahan. Bila tidak dilakukan pembedahan maka penderita dilakukan
observasi dan diberikan terapi tiroksin. Observasi yang dilakukan adalah
melihat tanda-tanda nyeri, pembesaran tiroid, suara serak selama jangka
4
waktu 6 sampai 12 bulan, kemudian dilakukan aspirasi ulang.
Teknik pemeriksaan ini sangat bervariasi, tetapi pada umumnya
pemeriksaan dilakukan dengan menggunakan jarum no. 21 dan 27 yang
ditempatkan pada nodul. Kemudian dilakukan aspirasi dan arahkan jarum
kebelakang dan depan dalam rentang diameter tang kecil. Setelah jarum
ditarik dan terpisah sehingga udara dapat masuk ke dalam tabung
kemudian bahan yang terkumpul dioleskan pada gelas objek dan diperiksa
4
secara sitologi.

Pemeriksaan Ultrasonografi (USG)


Menurut AACE, USG frekuensi tinggi (7-13 Mhz) adalah pemeriksaan yang
paling sensitif untuk mendeteksi nodul tiroid, mengukur dimensi dengan
akurat, mengidentifikasi struktur internal tiroid, dan mengevaluasi
27
perubahan difus pada kelenjar tiroid. USG dapat menilai nodul tiroid yang
tidak terdeteksi pada pemeriksaan fisik, sidik kelenjar tiroid, dan teknik
pencitraan lainnya. USG dapat mendeteksi lesi kistik sampai ukuran 2 mm
28,29
dan 3 mm pada lesi solid.
Di antara modalitas diagnostik pencitraan yang ada USG frekuensi
tinggi adalah yang paling akurat untuk memprediksi lesi ganas pada tiroid
yang kecil dan tidak teraba pada perabaan fisik. Karena lokasi kelenjar
tiroid yang superfisial dan terfiksasi dengan erat memudahkan untuk
28,30
diperiksa dengan USG.
USG gray scale mempunyai kelebihan dari teknik pencitraan
28,30
lainnya, yaitu:

Early Diagnosis and Current Treatment Paradigm in Head and Neck Surgery | 67
Dr. Yussy Afriani Dewi, dr., M.Kes., SpTHT-KL(K)., FICS

- Pasien dapat diperiksa setiap waktu.


- Hanya membutuhkan sedikit waktu.
- Tidak memerlukan zat kontras.
- Dapat memperlihatkan lapisan-lapisan kelenjar dengan baik.
- Sensitif dalam menentukan nodul yang kecil (pada lesi kistik dapat
mendeteksi sampai ukuran 2 mm dan 3 mm pada lesi solid).
- Tidak ada risiko radiasi pada pasien maupun operator.

Beberapa kelemahan USG gray scale dari teknik pencitraan lainnya,


28,30
antara lain;
- Sangat tergantung pada kemampuan operator.
- Tidak dapat menilai adanya aliran vaskularisasi pada lesi nodul Tiroid.

Gambaran USG pada nodul tiroid yang mengarah ke suatu nodul


ganas antara lain berupa massa yang dominan solid dengan ekogenitas
yang relatif hipoekoik atau campuran hipoekoik dan isoekoik daripada
jaringan kelenjar normal. Bentuk nodul tidak bulat atau ukuran
anteroposterior yang lebih besar dari pada transversal. Batas antara nodul
dan jaringan sekitarnya bervariasi paling sering dengan batas kabur,
iregular atau sangat jarang dengan batas tegas dan teratur. Kalsifikasi
dapat terlihat pada 50-80% kasus yang terlihat sebagai bagian yang
28,30
hiperekoik dengan bayangan akustik pada bagian dalam nodul.
Kecurigaan pada pemeriksaan USG yaitu bila didapatkan adanya
gambaran halo, batas yang ireguler, adanya komponen kistik, kalsifikasi,
4
heterogen echo, atau ekstensi ekstratiroidal.
Manfaat pemeriksaan ultrasonografi untuk pemeriksaan tiroid
2,3,5
adalah:
1. Dapat menentukan jumlah nodul
2. Dapat membedakan antara lesi tiroid padat dan kistik
3. Dapat mengukur volume dari nodul tiroid
4. Dapat mendeteksi adanya jaringan karsinoma tiroid residif yang tidak
menangkap yodium, yang tidak terlihat dengan sidik tiroid.

68 | 2nd World Head & Neck Cancer Day


Tiroidektomi

5. Pada kehamilan dimana pemeriksaan sidik tiroid adalah kontra indikasi,


Pemeriksaan USG sangat membantu mengetahui adanya pembesaran
tiroid.
6. Untuk mengetahui lokasi dengan tepat benjolan tiroid yang akan
dilakukan biopsi terarah.
7. Dapat dipakai sebagai pengamatan lanjut hasil pengobatan

Hasil pemeriksaan USG nodul tiroid dinilai batas, bentuk, ekostruktur,


ekogenitas dan kalsifikasi, serta diberi nilai menurut skoring oleh Koike
sebagai berikut:

Jenis Karakteristik Poin Keterangan


Batas Batas tegas 0 bila batas atau tepi nodul
dengan jaringan tiroid
sekitarnya dapat dibedakan
dengan rnudah
Batas kabur 1 bila batas atau tepi nodul
dengan jaringan tiroid
sekitarnya sulit dibedakan.
Bentuk Regular (bulat) 0 bila bentuk nodul bulat teratur
Iregular (tidak 1 bila bentuk nodul tidak teratur
bulat) atau diameter
anteroposterior lebih besar
dari diameter transversal
Ekostruktur Kistik 0 bila bentuk nodul kistik
Solid 1 bila bentuk nodul padat
Campuran 2 bila nodul merupakan
campuran antara padat dan
kistik

Early Diagnosis and Current Treatment Paradigm in Head and Neck Surgery | 69
Dr. Yussy Afriani Dewi, dr., M.Kes., SpTHT-KL(K)., FICS

Ekogenitas Iso/hiperkoik 0 bila ekogenitas sarna atau


lebih tinggi daripada jaringan
tiroid sekitarnya
Hipoekoik 1 bila ekogenitas lebih rendah
daripada jaringan tiroid
sekitarnya
Hipoesoekoik 2 bila ekogenitas sebagian sarna,
sebagian lebih rendah
daripada jaringan tiroid
sekitarnya
Kalsifikasi Tidak ada 0 bila tidak terdapat kalsifikasi
Beberapa/dapat 1 bila terdapat kalsifikasi yang
dihitung jumlahnya masih dapat
dihitung dengan mudah dan
jelas
Banyak/sulit 2 bila terdapat kalsifikasi yang
dihitung jumlahnya banyak dan sulit
dihitung

Batas/tepi adalah bagian terluar dari nodul tiroid yang berbatas


langsung dengan jaringan tiroid yang masih normal. Bentuk adalah
gambaran bentuk keseluruhan dari nodul tiroid. Ekostruktur adalah
struktur internal nodul yang terlihat dengan USG. Ekogenitas adalah
tampilan gradasi densitas jaringan tiroid pada USG sebagai akibat
perbedaan refleksi gelombang ultrasonik nodul tiroid dengan jaringan
sekitarnya. Kalsifikasi adalah daerah ekogenitas tinggi dengan bayangan
akustik pada USG.

Sidik Kelenjar Tiroid


Sidik kelenjar tiroid merupakan pencitraan isotopik yang memberikan
gambaran morfologi fungsional; hasil pencitraan merupakan refleksi dari
31
fungsi jaringan tiroid. Prinsip sidik tiroid adalah daerah dengan fungsi
yang lebih aktif akan menangkap radioaktivitas yang lebih tinggi. Terdapat

70 | 2nd World Head & Neck Cancer Day


Tiroidektomi

beberapa radiofarmaka yang digunakan untuk pencitraan sidik kelenjar


231 311 251 -99m
tiroid diantaranya 1 , 1 , 1 dan Tc pertechnetate. Iodine radioaktif
memiliki perilaku sama dengan iodium stabil yaitu ikut dalam proses
251
trapping dan organifikasi untuk membentuk hormon tiroid. 1 tidak
digunakan lagi saat ini karena memiliki energi yang rendah (28 KeV) dan
waktu paruh yang panjang (60 hari).
Saat ini radiofarmaka yang banyak digunakan untuk menentukan
-99m
morfologi tiroid adalah TC perthenetate, karena menilai fungsi
penangkapan sampai pada tahap trapping, memiliki waktu paruh yang
pendek (6 jam) dan biaya yang relatif rendah. Berdasarkan distribusi
radiofarmaka dapat ditemukan (1) distribusi homogen atau difus di kedua
lobi (normal); (2). Distribusi rendah atau tidak menangkap radiofarmaka
pada suatu area atau nodul disebut nodul dingin; (3). Penangkapan
radiofarmaka pada suatu area atau nodul lebih tinggi dari jaringan tiroid
sekitarnya disebut nodul panas; (4). Penangkapan radiofarmaka di suatu
daerah atau nodul hampir sama dengan jaringan tiroid sekitarnya disebut
31,32
nodul hangat.
Keganasan tiroid memberikan gambaran nodul dingin pada
pencitraan sidik kelenjar tiroid. Hal ini karena sel-sel kanker memiliki fungsi
penangkapan radiofarmaka lebih buruk dibandingkan dengan sel normal.
Sedangkan nodul jinak menunjukkan gambaran berupa nodul dingin atau
panas atau hangat, tergantung status fungsionalnya. Nodul dingin soliter
memiliki arti klinik kecenderungan 5-10% merupakan keganasan,
31,32
sedangkan nodul dingin multipel jarang merupakan keganasan.
-99m
Keuntungan sidik kelenjar tiroid Tc pertechnetate, antara
31,32
lain:
 merupakan pemeriksaan noninvasif
 waktu pemeriksaan yang relatif singkat
 pasien tidak memerlukan persiapan khusus
 memiliki waktu paruh yang pendek
 hasil pemeriksaan lebih konsisten karena menggunakan sistem
komputerisasi

Early Diagnosis and Current Treatment Paradigm in Head and Neck Surgery | 71
Dr. Yussy Afriani Dewi, dr., M.Kes., SpTHT-KL(K)., FICS

Sedangkan kerugian atau kelemahan dari pemeriksaan sidik kelenjar


31,32
tiroid ini adalah:
 tidak dapat digunakan pada wanita hamil atau menyusui
 fasilitas yang tersedia saat ini masih terbatas pada rumah sakit besar
yang memiliki kedokteran nuklir
 hanya dapat mendeteksi nodul dengan ukuran lebih dari 1 cm.

Radiasi gamma bisa digunakan untuk diagnostik tetapi harganya


relatif mahal, sulit didapat, sedangkan radiasi beta hanya penting untuk
terapi. Keduanya memiliki waktu paruh yang lama sehingga penderita akan
terpapar zat radioaktif ini dalam jangka waktu yang lama. Radiasi gamma
123
akan memberikan gambaran yang lebih jelas bila dibandingkan dengan I .
131
I memiliki waktu paruh selama 8,1 hari, harganya murah, dan sangat
27
mudah didapat.

123
Jenis Nodul Gambaran I
Functioning Adenoma Meningkat
Non-functioning Adenoma Menurun
Multinodular Goiter Meningkat dan menurun
Koloid Nodule Menurun
Kista Menurun
Keganasan Menurun
Tiroiditis Meningkat dan menurun

Di samping radioisotop tersebut tadi digunakan pula (walau masih


31,32
terbatas):
67
- Ga sitrat, untuk membedakan lesi tiroid benigna dan maligna,
anaplastik atau limfoma.
201
- T1 untuk deteksi karsinoma tiroid primer maupun metastasis dan
juga tiroiditis. Sensitifitas dan spesifisitas pemerikaan ini kurang
optimal dan harganya mahal. Berguna untuk mendeteksi adanya
metastasis pada tumor yang tidak dapat menangkap yodium atau pada
penderita yang telah dilakukan pemeriksaan dengan kontras sehingga
memiliki kadar yodium yang besar dalam tubuhnya.

72 | 2nd World Head & Neck Cancer Day


Tiroidektomi

75 131 99m 99m


- Lain-lain seperti Se selenomethionin, Cs , Tc bleomycin, Tc
diphosphate

31,32
Indikasi sidik tiroid adalah:
1. Evaluasi bentuk, letak, besar, serta distribusi radioaktivitas.
2. Deteksi varian anatomi seperti tiroid ektopik
3. Evaluasi massa tumor dileher dan mediastinum
4. Deteksi sisa jaringan tiroid pasca tiroidektomi serta anak sebar
fungsional dari karsinoma tiroid berdiferensiasi baik.
5. Memperkirakan berat kelenjar tiroid.

3
Kekurangan pemeriksaan sidik tiroid ini adalah:
1. Tidak bisa membedakan dengan jelas antara jinak dan ganas. Beberapa
penelitian mengatakan bahwa 84% nodul tiroid soliter adalah nodul
dingin, 10% nodul hangat, dan hanya 5% merupakan nodul panas.
Keganasan terdapat pada sekitar 16% dari nodul dingin, 9% nodul
hangat, dan 4% nodul panas.
2. Tidak bisa menentukan tempat dari nodul tiroid berada di perifer atau
ismus dan sering tidak akuratnya menentukan funsi status nodul tiroid
bila nodul dingin atau kelenjar tiroid yang asimetris.

Gambaran normal sidik tiroid adalah berbentuk kupu-kupu dengan


ismus menghubungkan kedua lobi. Masing-masing lobi besarnya kira-kira
sebesar ibu jari penderita dengan distribusi radioativitas rata. Ismus dan
32
lobus piramidalis kadang-kadang dapat terlihat jelas.
32
Beberapa kemungkinan kelainan yang dapat ditemukan adalah:
- Kedua lobi membesar difus dengan distribusi radioaktivitas rata
- Ada nodul soliter atau multipel, tergantung dari radioaktivitas pada
nodul, maka nodul tersebut dapat dibagi lagi menjadi :

1. Nodul hangat soliter pada umumnya jinak, nodul tiroid yang


penangkapan radiofarmaka sama intensitasnya bila dibandingkan
dengan jaringan tiroid normal sekitarnya

Early Diagnosis and Current Treatment Paradigm in Head and Neck Surgery | 73
Dr. Yussy Afriani Dewi, dr., M.Kes., SpTHT-KL(K)., FICS

2. Nodul panas jarang sekali ganas, kemungkinannya kurang dari 1%,


penangkapan radiofarmaka lebih tinggi bila dibandingkan dengan
jaringan tiroid normal sekitarnya.

3. Nodul dingin soliter lebih tinggi kemungkinan keganasannya;


frekuensi keganasan nodul dingin bervariasi antara 8-40%, 15-30%.
Perbedaan frekuensi ini mungkin disebabkan perbedaan insiden
karsinoma tiroid di berbagai negara. Pada struma multinodosa, sidik
tiroid memberikan gambaran distribusi radioaktivitas yang tidak
rata; kemungkinan keganasan pada nodul dingin multipel kecil
sekali. Nodul dingin adalah yang penangkapan radiofarmaka rendah
dibandingkan dengan jaringan tiroid yang normal disekitarnya, atau
nodul tiroid tersebut tidak menangkap radiofarmaka sama sekali.

74 | 2nd World Head & Neck Cancer Day


Tiroidektomi

4,11,14,15
Pemeriksaan Radiologis
Dengan foto rontgen leher posisi antero-posterior dan lateral dapat
memperjelas adanya deviasi trakea bila tumor lebih dari 3cm atau 4cm,
atau pembesaran struma retrosternal, dan evaluasi kondisi jalan nafas.
Adanya kalsifikasi halus pada struma menunjukkan karsinoma papilare
sedang kalsifikasi yang kasar merata dan signet ring bisa terdapat pada
endemik goiter yang lanjut atau juga bisa pada karsinoma medulare.

Pemeriksaan radiologis pada kelainan tiroid ada 2 macam:


a. Pemeriksaan radiologis tanpa zat kontras
Pada pemeriksaan ini diperhatikan apakah ada tanda-tanda
pembesaran tiroid. Dilihat didaerah mediastinum superior apakah ada
bayangan massa. Pembesaran kelenjar tiroid, misalnya pada adenoma
dapat meluas ke bawah sampai substernal, biasanya di mediastinum
superior anterior posterior. Pembesaran tiroid dapat menimbulkan
deviasi atau kompresi trakhea atau esofagus. Diperhatikan apakah ada
kelainan kardiovaskuler/ jantung. Dibandingkan dengan struma difusa
toksik maka struma nodosa toksik lebih banyak menimbulkan
pembesaran jantung dan dekompensasi kordis. Diperhatikan ada
tidaknya deposit kalsium pada kelenjar tiroid. Pada adenoma atau
struma multinoduler terdapat kalsifikasi yang lebih, difus, dense,
berbatas tegas, amorf. Pada karsinoma papiliferum, tampak kalsifikasi
sebagai butir-butir pasir halus yaitu gambaran rum/ psammoma bodies.
Pada karsinoma tiroid dengan penyebaran ke pleura mungkin akan
ditemukan efusi pleura. Diperhatikan ada tidaknya penyebaran
karsinoma tiroid ke paru-paru, tulang-tulang tengkorak, pelvis, dan
ekstremitas. Karsinoma tiroid papiliferum, terutama pada orang muda
dapat bermetastasis terutama ke paru-paru. Karsinoma tiroid folikuler,
dapat bermetastasis ke tulang, lebih dari 60 -70 % bermetastasis ke
kosta, tulang belakang dan pelvis.

b. Pemeriksaan radiologis dengan zat kontras


- Tiroidografi. Ini tidak tergantung dari status fungsional jaringan, dan
sangat berarti sekali untuk menilai apakah nodul itu benigna atau

Early Diagnosis and Current Treatment Paradigm in Head and Neck Surgery | 75
Dr. Yussy Afriani Dewi, dr., M.Kes., SpTHT-KL(K)., FICS

maligna. Dengan pemeriksaan tiroidografi dapat menentukan


struma nodosa soliter atau multipel, adanya karsinoma, adanya
hipertiroid, dapat pula menentukan kista atau solid.
- Angiografi. Secara selektif dapat menunjukan adanya karsinoma
tiroid dengan banyak vaskularisasi, tetapi sekarang sudah tidak
dilakukan lagi, karena hasilnya tidak memuaskan.

Pemeriksaan CT Scan/MRI merupakan pemeriksaan yang tidak rutin


pada nodul tiroid kecuali bila curiga sudah terjadi penekanan pada trakea
dan ekstensi ke toraks. MRI akan memberikan informasi mengenai nodul
yang sama dengan CT Scan dan harganya relative mahal. PET (positron
emission tomography) Scan untuk penderita karsinoma tiroid terutama
filokuler belum banyak digunakan.

Pemeriksaan potong beku (VC = Vries coupe)


Pemeriksaan potong beku dilakukan pada saat operasi tiroidektomi
diperlukan untuk meyakinkan bahwa nodul yang dioperasi
tersebut suatu keganasan atau bukan. Hasil pemeriksaan potong beku
menjadi dasar untuk menentukan langkah terapi definitif bila jinak (VC
negatif) maka operasi cukup hanya dilakukan lobektomi subtotal, akan
tetapi apabila ternyata ditemukan sel ganas (VC positif) maka operasi
dilanjutkan menjadi tiroidektomi total atau tiroidektomi hampir total
tergantung indikasi dan kondisi penderita. Salah satu indikasi pemeriksaan
potong beku untuk penderita struma adalah kecurigaan keganasan pada
14
struma uninodusa (10-20% ganas).

Pemeriksaan paraffin block (PA = Patologi anatomi )


Lesi tiroid atau sisa tiroid yang dilakukan VC dilakukan pemeriksaan
patologi anatomis untuk memastikan proses ganas atau jinak serta
14
mengetahui jenis kelainan histopatologis dari nodul tiroid.

76 | 2nd World Head & Neck Cancer Day


Tiroidektomi

Nodul tiroid

TSHs dan
Sidik Tiroid

Dingin Panas

TSHs TSHs
USG
normal rendah

Kista Padat Campuran Diobservasi I131/Bedah

BJAH

33
Tahapan Pemeriksaan Penderita dengan Nodul Tiroid

Early Diagnosis and Current Treatment Paradigm in Head and Neck Surgery | 77
Dr. Yussy Afriani Dewi, dr., M.Kes., SpTHT-KL(K)., FICS

Algoritma untuk mengevaluasi nodul tiroid tung

PEMBEDAHAN
Operasi tiroid ( tiroidektomi ) merupakan operasi bersih, dan tergolong
operasi besar. Berapa luas kelenjar tiroid yang akan diambil tergantung
patologinya serta ada tidaknya penyebaran dari penyakitnya karsinoma.

Ada 6 macam operasi, yaitu :


1. Lobektomi subtotal, pengangkatan sebagian lobus tiroid yang
mengandung jaringan patologis.
2. Lobektomi total (= hemitiroidektomi = ismolobektomi), pengangkatan
satu sisi lobus tiroid .
3. Strumektomi(tiroidektomi)subtotal, pengangkatan sebagian kelenjar
tiroid yang mengandung jaringan patologis, meliputi kedua lobus tiroid.
4. Tiroidektomi near total, pengangkatan seluruh lobus tiroid yang
patologis berikut sebagian besar lobus tiroid kontralateralnya.
5. Tiroidektomi total, pengangkatan seluruh kelenjar tiroid.

78 | 2nd World Head & Neck Cancer Day


Tiroidektomi

6. Operasi-operasi yang sifatnya "extended " yaitu


a. tiroidektomi total + laringektomi total
b. tiroidektomi total + reseksi trakea
c. tiroidektomi total + sternotomi
d, tiroidektomi total + FND ( functional neck dissection) atau RND
(radical neck dissection ).

9 9
Lobektomi total Tiroidektomi subtotal

9 9
Tiroidektomi near total Total tiroidektomi

Indikasi operasi ada 4, yaitu :


1. Struma difus toksik yang gagal dengan terapi medikamentosa.
2. Struma uni nodusa atau multi nodusa dengan kemungkinan keganasan.
3. Struma multi nodusa dengan gangguan tekanan.
4. Kosmetik.

Early Diagnosis and Current Treatment Paradigm in Head and Neck Surgery | 79
Dr. Yussy Afriani Dewi, dr., M.Kes., SpTHT-KL(K)., FICS

Kontraindikasi operasi ada 4, yaitu :


1. Struma toksika yang belum dipersiapkan sebelumnya.
2. Struma dengan dekompensasi kordis dan penyakit sistemik yang lain
yang belum terkontrol (diabetus mellitus; hipertensi dsb.)
3. Struma besar yang melekat erat ke jaringan leher, sehingga sulit
digerakkan (biasanya karena karsinoma). Karsinoma yang demikian
sering dari tipe anaplastik yang jelek prognosanya. Perlekatan pada
trakea ataupun laring dapat sekaligus dilakukan reseksi trakea atau
laringektomi, tetapi perlekatan dengan jaringan lunak leher yang luas
sulit dilakukan eksisi dengan baik.
4 Struma ( karsinoma ) yang disertai vena cava superior syndrome.
Biasanya karena metastase yang luas ke mediastinum, sukar eksisinya
biarpun telah dilakukan sternotomi, dan bila dipaksakan akan
memberikan mortalitas yang tinggi.

Karsinoma Tiroid Diferensiasi Baik (Papiler dan Folikuler)


1. Tiroidektomi total
Sebagian ahli bedah menganjurkan untuk melakukan tiroidektomi total
pada semua karsinoma tiroid diferensiasi baik, sebagian lagi melakukan
tiroidektomi total hanya pada penderita karsinoma tiroid diferensiasi
baik dengan faktor prognostik jelek, sebelumnya pernah mendapat
12
radiasi daerah leher, dan lobus kontralateral yang abnormal.
Keuntungan dari tiroidektomi total ialah :
131
1. Seluruh jaringan tiroid diangkat sehingga pemeriksaan sidikan I
pasca-bedah dan terapi ablasi dapat efektif.
2. Pemeriksaan tiroglobulin serum pasca-bedah dapat digunakan
untuk mendeteksi karsinoma tiroid yang resisten atau yang residif.
3. Dapat mengangkat semua tumor intratiroid multisentris yang
terdapat pada > 50% penderita.
4. Menurunkan resiko terjadinya perubahan degenerasi dari
karsinoma tiroid diferensiasi baik menjadi anaplastik.
Kerugian tiroidektomi total ialah komplikasi hipoparatiroidi dan
lesi nervus rekuren permanen pada tiroidektomi total lebih tinggi dari

80 | 2nd World Head & Neck Cancer Day


Tiroidektomi

pada hemitiroidektomi. Komplikasi tiroidektomi total berupa


hipoparatiroidi permanen terjadi 4-9%, dan lesi n.rekuren terjadi 1-8%
13,14
akan tetapi ditangan yang ahli maka komplikasi tersebut tidak
15,16
lebih dari 2 % saja.

2. Hemitiroidektomi
Sebagian ahli bedah menganjurkan melakukan hemitiroidektomi pada
penderita karsinoma tiroid diferensiasi baik dengan faktor prognostik
yang baik. Keuntungan dari hemitiroidektomi ialah bahwa satu n.
rekuren dan 2 glandula paratirod tidak terpapar dengan resiko
pembedahan sehingga komplikasi hipoparatiroidi dan lesi n.rekuren
permanen pada hemitiroidektomi lebih rendah daripada tiroidektomi
total. Keuntungan lain ialah penderita tidak perlu terapi hormon tiroid
12
seumur hidup terutama pada penderita yang tidak patuh.
Intra operatif, lobus mengandung tumor yang telah diangkat
harus dibelah dan dilihat dengan seksama. Bila didapatkan nodul satelit
yang tidak menempel pada tumor induk maka selanjutnya dilakukan
tiroidektomi total dengan mengangkat lobus kontralateral.
Tiroidekromi total dilakukan juga bila pada palpasi lobus kontralateral
teraba adanya tonjolan tiroid. Tindakan ini untuk mengatasi adanya
tumor multifokal yang terdapat sampai 88.5 % pada penderita
karsinoma papiler tiroid dan 10 % pada penderita karsinoma folikuler
17,18,19
tiroid.
Kadang ada penderita karsinoma tiroid diferensiasi baik yang baru
diketahui setelah penderita dilakukan tindakan lobektomi subtotal oleh
karena diagnosis preoperatifnya suatu struma nodosa.
Penanganan selanjutnya untuk penderita ini ialah pembedahan
ulang dengan melakukan tiroidektomi total. Bila pembedahan
sebelumnya berupa hemitiroidektomi maka untuk menentukan apakah
perlu tindakan pembedahan ulang harus dilihat faktor prognostik
penderita.
Bila terdapat salah satu faktor prognostik jelek atau riwayat
radiasi daerah leher pada penderita maka sebaiknya dilakukan
pembedahan ulang dengan mengangkat lobus tiroid yang tertinggal,

Early Diagnosis and Current Treatment Paradigm in Head and Neck Surgery | 81
Dr. Yussy Afriani Dewi, dr., M.Kes., SpTHT-KL(K)., FICS

sedangkan bila semua faktor prognostiknya baik maka tidak perlu


dilakukan pembedahan ulang.
Tindakan pembedahan ulang tersebut sebaiknya dilakukan
secepat mungkin untuk mengurangi terjadinya komplikasi pembedahan
akibat adanya jaringan fibrotik, juga untuk menghindari terjadinya
metastases regional maupun jauh. Tindakan pembedahan ulang pada
penderita yang sebelumnya telah dilakukan hemitioidektomi tersebut
20,21,22
juga masih kontroversial.

Karsinoma meduler tiroid


Terapi bedah untuk karsinoma meduler tiroid ialah total tiroidektomi
bersamaan dengan diseksi sentral leher bilateral, dengan alasan bahwa :
1. Secara klinis karsinoma meduler tiroid lebih agresif dari pada karsinoma
tiroid diferensiasi baik.
2. Tumor multisentris didapatkan pada 90 % penderita karsinoma
23
meduler tiroid yang herediter dan 20 % pada yang sporadis.
3. 50 % penderita karsinoma meduler tiroid terdapat metastase kelenjar
24,25
getah bening leher.
4. Pengukuran kadar kalsitonin serum untuk evaluasi pasca-bedah hanya
berarti bila tumor telah diangkat total.

Karsinoma anaplastik tiroid


Penderita karsinoma anaplastik tiroid hampir selalu datang berobat
dengan tumor yang sudah inoperabel. Terapi utama karsinoma anaplastik
tiroid ialah radioterapi eksterna. Penderita dengan obstruksi jalan napas
bagian atas memerlukan tindakan trakeostomi. Untuk penderita dengan
tumor yang masih operabel, dapat dilakukan tiroidektomi total sebelum
pemberian radioterapi. Penderita wanita dengan ukuran tumor <6 cm yang
masih operabel, tiroidektomi total disertai radioterapi eksternal
26
memberikan daya tahan hidup lebih lama.

15
Tehnik Operasi tiroidektomi.
1. Penderita dalam pembiusan umum dengan intubasi orotrakeal
dan fiksasi tube ke arah kontralateral dari tumor.

82 | 2nd World Head & Neck Cancer Day


Tiroidektomi

2. Posisi penderita terlentang, kepala ekstensi dengan ganjal bantal


dibawah pundak penderita, posisi meja sedikit "head up , dengan
sudut 20° - 25°.

5
Posisi operasi

3. Desinfeksi lapangan operasi dengan larutan hibitane-alkohol 70%


1:1000 dengan batas lateral adalah tepi depan m.trapesius, batas
atas adalah bibir bawah, batas bawah adalah kosta-3. Lapangan
operasi dipersempit dengan menggunakan 4 lembar doek steril,
sehingga membentuk segi empat di depan leher dan sudut-
sudutnya difiksasi.
4. Dibuat marker untuk insisi dengan menggunakan silk 2-0 pada
lipatan kulit leher ± 2 jari di atas sternal notch (atau 1 cm dibawah
kartilago krikoid), memanjang sampai ke otot
sternokleidomastoid.

Early Diagnosis and Current Treatment Paradigm in Head and Neck Surgery | 83
Dr. Yussy Afriani Dewi, dr., M.Kes., SpTHT-KL(K)., FICS

5
Lokasi insisi

5. Dilakukan insisi kolar, sesuai dengan lipatan kulit 2 cm dari jugulum


sepanjang 10 cm (tergantung besar-kecilnya struma). Insisi yang
lebar akan memudahkan langkah operasi selanjutnya, terutama
bagi pemula. Insisi diperdalam sampai memotong subkutis dan
m.platisma.

5 5
Tehnik insisi Insisi kulit dan platisma

6. Perdarahan yang terjadi dirawat dengan menggunakan kauter


koagulasi, atau dengan mengikat menggunakan benang sutera 3/0.
7. Diseksi tumpul dengan jari atau kassa pada batas platysma dengan
loose areolar tissue dibawahnya, tepat superfisial dari vena jugularis
anterior. Diseksi dilakukan ke arah kaudal (sampai sternal notch)
dan kranial (sampai terlihat cartilago thyroidea) dan dibuat flap

84 | 2nd World Head & Neck Cancer Day


Tiroidektomi

yang difiksasi ke kain drapping.

5
Diseksi tumpul

8. Insisi fascia colli superficialis secara vertikal pada garis tengah strap
muscle hingga batas bawah sampai level sternal notch, batas
atasnya sampai cartilago thyroid

5
Insisi fascia colli superficialis

9. Strap muscle (m.sternohyoid dan m.sternothyroid) diretraksi ke kiri


dan ke kanan

Early Diagnosis and Current Treatment Paradigm in Head and Neck Surgery | 85
Dr. Yussy Afriani Dewi, dr., M.Kes., SpTHT-KL(K)., FICS

5
Retraksi otot sternohioid

10. Dilakukan pemisahan kelenjar tiroid pada cleavage plane (antara


kel.tiroid dengan m.sternokleidomastoideus)

5
Pemisahan kelenjar tiroid dengan m sternokleidomastoideus

11. Pada tumor yg besar dpt dilakukan pemotongan strap muscle


secara horizontal di 1/3 proksimalnya setelah sebelumnya
v.jugularis anterior diligasi

86 | 2nd World Head & Neck Cancer Day


Tiroidektomi

5
Pemotongan strap muscle

12. Dilakukan diseksi tumpul dan tajam mulai dari tiroid di bagian
tengah dengan mengidentifikasi v.thyroid media dan vena tiroid
media diligasi dan dipotong

Identifikasi vena Lokasi ligasi vena


5 5
tiroidea media tiroidea media

13. Diseksi dilanjutkan ke pool bawah dengan mengidentifikasi arteri


dan vena tiroidea inferior, juga harus diidentifikasi dan preservasi
n.rekuren laringeus. Nervus rekuren laringeus ini berjalan pada
sulkus trakeo-esofageal dari bawah keatas menyilang diprofunda

Early Diagnosis and Current Treatment Paradigm in Head and Neck Surgery | 87
Dr. Yussy Afriani Dewi, dr., M.Kes., SpTHT-KL(K)., FICS

dari arteri tiroidea inferior ( ada beberapa varias), masuk laring


daerah krikotiroid sebelah belakang.

5
Identifikasi arteri dan vena tiroidea inferior

5
Variasi nervus rekurren

14. Identifikasi a.tiroidea inferior pada sisi lateral pertengahan kelenjar


tiroid, lalu dibuat 2 ligasi dengan benang silk 2/0 sedekat mungkin
pada tiroid kemudian dipotong diantaranya.Kelenjar paratiroid
inferior diidentifikasi dan dipreservasi
15. Vena tiroidea inferior pada pool bawah tiroid diligasi dengan silk 2/0
pada 2 tempat dan dipotong diantaranya
16. Untuk melakukan subtotal lobektomi maka dengan menggunakan
klem lurus dibuat ‘markering’ pada jaringan tiroid di atas nervus
rekuren dan kelenjar paratiroid atas bawah dan jaringan tiroid
disisakan sebesar satu ruas jari kelingking penderita (± 6-8 gram)

88 | 2nd World Head & Neck Cancer Day


Tiroidektomi

5
Lokasi reseksi lobektomi

17. Identifikasi arteri dan vena tiroidea superior pada pool atas tiroid,
kemudian dibuat 2 ligasi pada pembuluh darah tadi dan dipotong
diantaranya, yang diligasi betul-betul hanya pembuluh darah saja

5
Identifikasi arteri dan vena tiroidea superior

18. Kelenjar paratiroid dilepaskan dari kelenjar tiroid, sambil


dipreservasi arteri yg memperdarahinya
19. Diseksi dilanjutkan kearah isthmus (pada cleavage plane),
ligamentum Berry dan isthmus diklem dan dipotong

Early Diagnosis and Current Treatment Paradigm in Head and Neck Surgery | 89
Dr. Yussy Afriani Dewi, dr., M.Kes., SpTHT-KL(K)., FICS

5
Ligamentum Berry di klem dan dipotong

20. Dilakukan penjahitan “omsteking” (jahit ikat) pada jaringan tiroid


yang diklem tadi. Kontrol perdarahan, terutama dilihat pada vasa
tiroidea superior. Cuci dengan NaCl fisiologis

5
Omsteking pada jaringan tiroid

90 | 2nd World Head & Neck Cancer Day


Tiroidektomi

21. Pasang drain redon no.12 yang ditembuskan ke kulit searah dengan
tepi sayatan luka operasi, kemudian difiksasi dengan silk 3/0
22. Kalau kelenjar paratiroid terambil, sebelum menutup luka operasi
kelenjar paratiroid ditanam (replantasi) di
m.sternokleidomastoideus dengan jahitan catgut
23. Strap muscle direkatkan sedekat mungkin, kemudian fascia colli
ditutup dengan jahitan interrupted dengan chromic 2/0

5
Penjahitan interrupted strap muscle

24. Posisi leher dikembalikan dengan mengambil bantal dibawah


pundak penderita
25. Evaluasi ulang, rawat perdarahan
26. Platysma didekatkan dan dijahit interrupted dengan chromic 3/0
27. Kulit dijahit secara subkutikular dengan benang sintetis 4/0

5
Penjahitan kulit secara subkutikular

28. Luka operasi dirawat dengan kasa steril 2 lapis dan difiksasi dengan
hipafix selebar 5 cm secara silang, melintang digaris tengah
sehingga gerak leher penderita tetap bebas dan fiksasi kasa luka
operasi optimal.

Early Diagnosis and Current Treatment Paradigm in Head and Neck Surgery | 91
Dr. Yussy Afriani Dewi, dr., M.Kes., SpTHT-KL(K)., FICS

29. Pada waktu ekstubasi, perhatikan keadaan pita suara dengan


melihat laring menggunakan laringoskop adakah parese / asimetri
pada korda vokalisnya.

12
Hal-hal penting yang harus diperhatikan saat operasi :
 Cari n.laringeus rekuren pada inlet toraks superior, tepat inferior dari
pool bawah kelenjar tiroid, sebelum mengikat pembuluh darah besar.
Kadang saraf tersebut tidak rekuren (berbalik), masuk ke laring
langsung melalui jalan horisontal n.vagus.
 Diseksi secara retrograd dari bawah ke atas dengan membebaskan
n.laringeus rekuren.
 Bila terjadi perdarahan pembuluh-pembuluh kecil arteria atau vena
laringeus inferior cukup ditekan saja.
 Secara hati-hati bebaskan ligamentum suspensorium posterior (Berry)
dan potong ligamentum tersebut dengan memperhatikan cabang
n.rekuren secara a vue.
 Cabang eksterna n.laringeus superior (motorik otot-otot krikotiroid dan
tensor pita suara) terletak dekat sekali pada pembuluh darah pool atas
kelenjar tiroid. Bebaskan pembuluh darah tersebut dari bawah, dorong
keatas struktur yang mirip saraf. Setelah itu baru diligasi tanpa ada
jaringan lain yang terikut.
 Ligasi pembuluh-pembuluh darah pool atas langsung, tidak memakai
klem dulu.
 Cari dan pertahankan kelenjar paratiroid. Jika tidak sengaja terangkat,
tanamkan ke strap muscle.
 Laringoskopi dilakukan sebelum dan sesudah operasi untuk menilai
fungsi pita suara.
 Angkat seluruh isthmus pada semua lobektomi.

7,8,9
Penyulit
Penyulit-penyulit yang timbul bukan hanya langsung dari struma nodosa
saja, tetapi juga akibat terapi pada struma nodosa tersebut. Berbagai
macam penyulit yaitu :

92 | 2nd World Head & Neck Cancer Day


Tiroidektomi

Penyulit akibat langsung dari struma nodosa.


a. Gangguan mekanik Struma nodosa yang cukup besar dapat menekan
esofagus dan menimbulkan gangguan menelan, menekan trakhea
menyebabkan gangguan pernafasan , menekan n.laringeus rekuren
menyebabkan suara parau atau sesak nafas.
b. Struma nodosa yang toksik dapat menimbulkan :
penyakit jantung tiroid dengan akibat fibrilasi atrium dan dekompensasi
kordis.

Penyulit akibat pemberian terapi pada struma.


a. Akibat terapi yodium radioaktif :
 mual, muntah
 leukopeni, akibat adanya depresi sumsum tulang
 leukemi
 hipotiroidi permanen
 infertilitas (~zoospermi)
b. Akibat khemoterapi (adriamicyn, bleomicyn):
 mual, muntah, anoreksi
 kardioto~sik
 granulositopeni
 alopesia
 stomatitis dan gangguan gastrointestinal

Akibat Operasi :
 Perdarahan setempat : 0,3 %
 Hipotiroidi setelah tiroidektomi sub total : 0,3 %
 Hipotiroidi setelah tiroidektomi total :3–4%
 Hipotiroidi setelah tiroidektomi radikal : 40%
 Mortalitas akibat operasi 0,02-0,10%
dari semua struma nodosa yang dioperasi
 Mortalitas akibat anestesi : 0,5 - 0,10%
 Kerusakan n.laringeus rekuren : 1,4%

Early Diagnosis and Current Treatment Paradigm in Head and Neck Surgery | 93
Dr. Yussy Afriani Dewi, dr., M.Kes., SpTHT-KL(K)., FICS

9,10
Komplikasi Operasi Struma.
Pada tindakan operasi tiroidektomi bisa kita jumpai komplikasi awal dan
lanjut. Di samping itu ada juga yang membagi komplikasi yang terjadi
dalam metabolic dan non metabolic, dan komplikasi operasi yaitu non
metabolic yang bisa terjadi adalah perdarahan, lesi n. rekuren laringeus,
obstruksi saluran nafas atas. Walaupun komplikasi tersebut jarang terjadi,
akan tetapi memerlukan perhatian dan tindakan antisipasi yang serius dan
cepat karena bila terjadi dapat menimbulkan morbiditas bahkan
4
mortalitas.

15
Komplikasi awal, yaitu :
a. Perdarahan
- Awasi produksi drain serta pernafasan, apabila produksi drain > 100
cc dalam l jam harus cepat diantisipasi.
- Bila disertai dengan hematom pada lapangan operasi maka ancaman
pada jalan nafas cukup besar.
- Adanya stridor atau hipoksia, bengkak pada leher depan, bendungan
vena leher pada penderita pasca tiroidektomi merupakan cardinal
sign adanya perdarahan aktif. Hal ini memerlukan respon yang
serius kalau perlu segera lakukan buka jahitan kulit evakuasi
gumpalan darah, bahkan kalau perlu untuk menjamin jalan nafas
bebas maka dilakukan trakeostomi.
b. Paralise n. rekuren laringeus
95 % terjadi neuropraksi dan bila bilateral maka perlu dilakukan
intubasi ulang segera, kadang sampai perlu dilakukan trakeostomi.
Kemungkinan terjadi komplikasi gangguan n. rekuren laringeus ini akan
meningkat pada operasi kedua ini. Pada penderita yang mengalami
komplikasi seperti ini apakah perlu segera dilakukan intervensi operatif
sangat tergantung dari gangguan obstruksi jalan nafas yang dialami
Apabila tidak seberapa obstruksi maka bisa di observasi sampai 6 - 12
bulan sambil menunggu pulihnya saraf rekuren tersebut.
c. Paralise n. laringeus superior.
Gejala yang timbul adalah penderita sukar mengontrol suara nada
tinggi, melemahnya suara ini terjadi akibat pemendekan pita suara oleh

94 | 2nd World Head & Neck Cancer Day


Tiroidektomi

karena relaksasi m. krikotiroid. Hal yang perlu diperhatikan adalah


sewaktu melakukan ligasi pembuluh darah pada kutub atas kelenjar
tiroid maka usahakan dekat dengan kelenjar tiroidnya serta sebersih
mungkin (yang diligasi betul-betul hanya pembuluh darah saja) ,
demikian juga sewaktu melakukan clamping serta meluksir atau
menarik jaringan, lakukan hati-hati sehingga tidak menimbulkan
kerusakan saraf serta struktur penting dibawahnya.
d. Trakeomalasia.
Bila terjadi komplikasi ini maka perlu dilakukan trakeostomi.
Trakeostomi untuk kasus ini biasanya memerlukan waktu follow up
lebih lama untuk memberi kesempatan fibrosis / lebih kuatnya trakea
yang lembek tadi.
e. Infeksi.
Pada infeksi yang terjadi pada daerah kepala dan leher maka antibiotika
yang dianjurkan (sesuai pola kuman yang sering menimbulkan infeksi)
adalah klindamisin kombinasi dengan garamisin. Apabila sudah ada
hasil kultur maka ikuti anjuran dari hasil kultur tersebut

15
Komplikasi metabolik yang terjadi adalah :
a. Tetani hipokalsemia.
Bisa disertai dengan hipoparatiroidi ataupun tanpa hipoparatiroidi
timbul biasanya pada hari ke-3 terutama pada massive thyroidectomy
(tiroidektomi yang strumanya besar), setelah 1 minggu diikuti
hipoparatiroidism. Gejala yang kadang bisa kita jumpai pada penderita
seperti ini antara lain :
- Chvostek-Weiss sign, dengan mengetuk pada daerah pangkal n.
fasialis (depan meatus akustikus eksternus), maka akan timbul
twitching pada wajah ipsi lateral.
- Trousseau's sign, sphygmomanometer dipasang dilengan atas,
kemudian dipompa sampai 200 mmHg. Tampak tetani pada lengan
bawah, biasanya akan diikuti dengan keadaan spasme jari - jari
fleksi - adduksi disebut "obstetrician's hand ", spasme ini nyeri.

Early Diagnosis and Current Treatment Paradigm in Head and Neck Surgery | 95
Dr. Yussy Afriani Dewi, dr., M.Kes., SpTHT-KL(K)., FICS

Kedua gejala ini timbul biasanya apabila level kalsium dalam se-
rum dibawah 8.0 mg/dL. Untuk mengetahui hipokalsemia ini bisa
dilakukan pemeriksaan kadar kalsium darah pada penderita post op
tiroidektomi setiap 12 jam sekali mulai hari ke-2. Pemberian vitamin D
dan suplemen kalsium diperlukan pada penderita yang mengalami
hipokalsemia berkepanjangan. Vitamin D2 (ergocalciferol) 50.000
sampai 100.000 IU (1,25-2,50 mg) /hari, untuk memacu absorbsi
kalsium. Pemberian kalsium peroral bisa dimulai dengan 1 sampai 3
g/hari dan berangsur angsur dosisnya diturunkan. Serum kalsium perlu
dijaga jangan sampai diatas 9.0 mg/dL untuk mencegah jangan sampai
hiperkalsiuria. Bila terjadi kalsiuria, maka perlu ditambahkan diuretika
golongan thiazide untuk segera menurunkan kalsiuria.
b. Krisis tiroid, (badai tiroid = thyroid storm )
Terjadi pada operasi struma toksika yang persiapannya tidak adekwat.
Walaupun cara pengobatannya sudah cukup dikenal namun pada
kenyataanya angka kematiannya terjadi masih cukup tinggi, sekitar
75%.

15
Komplikasi lanjut, yaitu :
a. Keloid.
Sebelum waktu penyembuhan jaringan lunak mencapai maksimal maka
bisa dikatakan suatu hipertrofi scar , setelah lebih dari 6 bulan maka
akan menetap dan disebut keloid. Bisa dikurangi / dicegah dengan
penjahitan yang tidak terlalu kencang atau dengan obat sebangsa
Kenacort, Madecasol cream .
b. Hipotiroid.
Hampir 20 % penderita post operasi tiroid mengalami hal ini. Untuk
mengatasi gangguan yang berkepanjangan maka ada beberapa ahli
yang memberikan substitusi hormon sintetis, misalnya dengan
memberikan tablet Euthyrox atau Thyrax dengan dosis 1 x 50 mg/hari,
secara berangsur-angsur diturunkan sejalan dengan berfungsinya
kembali kelenjar tiroid yang masih ada.

96 | 2nd World Head & Neck Cancer Day


Tiroidektomi

8.3 Perawatan lebih lanjut (follow-up) penderita pasca operasi struma


Perawatan lebih lanjut (follow-up) tergantung hasil P.A. nya, yaitu :

a. Karsinoma tiroid jenis papiler / folikuler.


Pada penderita post tiroidektomi total, maka dilakukan total body scan
131
I . Dari hasil scanning apabila didapat metastase, maka dievaluasi
resektabel atau non resektabel , bila resektabel dilakukan operasi . Bila
131
non resektabel dilakukan radio- terapi dengan I , kemudian
dilanjutkan supressi hormonal.
b. Karsinoma tiroid jenis meduler
Setelah tiroidektomi total , dilakukan pemeriksaan kadar kalsitonin dan
CEA. Bila kadar kalsitonin > 10 nG/ml dan kadar CEA > 100 nG/ml, maka
menunjukkan masih ada jaringan tiroid yang berfungsi apakah memang
sisa tiroid yang belum total diangkat pada waktu operasinya, atau ada
metastase ditempat lain. Pada penderita post tiroidektomi total , maka
terapi hormonalnya distop dulu selama 4 minggu ( sehingga sel-sel
tiroid yang tersisa akan aktif lagi) kemudian dilakukan total body
131
scanning dengan 1 .
Seperti halnya tipe papiler/folikuler, apabila dijumpai metastase
dan resektabel maka dilakukan operasi, dan bila non resektabel maka
131
dilakukan radioterapi dengan I , kemudian dilanjutkan dengan
supressi hormonal. Kemudian 3 bulan diulang pemeriksaan kalsitonin
dan CEA. Bila pemeriksaan tumor marker ( hTG, Kalsitonin, CEA)
normal, maka jadwal pemeriksaan ulang dilakukan seperti pada jadwal
follow up.
c. Struma non karsinoma
Klinis dievaluasi adakah tanda-tanda gangguan fungsi kelenjar tiroid .
Apabila perlu dilakukan konfirmasi dengan pemeriksaan kadar T 3, T4,
TSH. Apabila hasilnya normal, maka itu yang kita harapkan, akan tetapi
apabila hasilnya hipotiroid maka bisa kita berikan suplemen Euthyrox
selama ± 2 bulan. Setelah 2 bulan maka suplemen distop selama satu
bulan dan kemudian diperiksa ulang faal tiroidnya, sudah eutiroid atau
masih hipotiroid.

Early Diagnosis and Current Treatment Paradigm in Head and Neck Surgery | 97
Dr. Yussy Afriani Dewi, dr., M.Kes., SpTHT-KL(K)., FICS

Faktor – faktor yang mempengaruhi prognosa penderita kanker tiroid


Sebagian ahli bedah menganjurkan tiroidektomi total pada setiap
karsinoma tiroid. Sebagian lagi menganjurkan cukup dilakukan
hemitiroidektomi pada penderita karsinoma tiroid dengan faktor resiko
yang rendah berdasarkan kriteria AMES ( Age, Metastases, Extent, Size),
10,11
dan tiroidektomi total pada penderita dengan faktor resiko jelek.
Shaha dan kawan-kawan menyimpulkan faktor yang paling dominan
dalam menentukan prognosa adalah umur, ukuran lesi primer, ekstensi
ekstra tiroid dan metastase jauh.

3
Klasifikasi faktor prognostik menurut sistem AMES.
Variabel Deskripsi untuk prognostik Deskripsi untuk prognostik
baik jelek
Age Wanita <50 th, pria <40 th Wanita >50 th, pria >40 th
Metastase Metastase jauh (-) Metastase jauh (+)
Extent Terbatas dalam tiroid Invasif ke jaringan sekitar atau
metastasis jauh
Size Diameter tumor < 4 cm Diameter tumor > 4 cm

DAFTAR PUSTAKA
1. Greenspan FS, Rapaport B. Thyroid Gland. In Basic and clinical
endocrinology edited by Greenspan FS 3th edit Appleton and Lange
Norwalk, San Mateo, California. 1991; 188-213.
2. Mazzaferri EL. Thyroid cancer in thyroid nodules: finding a needle in the
haystack. Am J Med. 1992;93:359-362.
3. Daniel GH. Thyroid nodules and noduler Thyroids: a Clinical Overview.
Com Therapy. 2008; 22: 239-50.
4. McCaffrey TV. Evaluation of Thyroid Nodule. Cancer Control. 2000; 7:
223-28.
5. Hasan Al. Endokrinologi Klinik II:Karsinoma tiroid. Bandung; 1995.
6. Fachruddin, Tumor ganas pada Nodul dingin Tiroid, Tesis, Fakultas
Kedokteran Universitas Padjajaran Bandung, 1995.
7. Dewi, YA. Insidensi Tumor Kepala Leher tahun 2005-2010 di Bagian Ilmu
Kesehatan THT-KL FK UNPAD/RSHS Bandung. 2011.

98 | 2nd World Head & Neck Cancer Day


Tiroidektomi

8. Christopher D. Lansford, MD, and Theodoros N. Teknos, MD, Evaluation


of thyroid nodule, Cancer Conrol: Journal of TheMoffit Cancer Center,
2006.
9. Djamzuli E. Surgical Anatomy of Thyroid Gland. Dalam Kumpulan
nd
Makalah The 2 head and Neck Course. Makassar. 2004.
10. Sjamsuhidajat R, de Jong W. Sistem Endokrin. Dalam Buku Ajar Ilmu
Bedah. Edisi revisi. EGC. Jakarta. 1997; 924-46.
11. Ballenger Jacob John., Penyakit Telinga Hidung Tenggorok, kepala dan
leher.,Edisi 13., Binarupa Aksara., hal 152 – 160 dan 273 – 295.
12. Lee KJ. Thyroid and Parathyroid Glands in Essential Otolaryngology
th
Head and Neck Surgery. 8 ed. Mc Graw-Hill. USA. 2003; 617-50.
13. Silver CR, Kim HH, Stern WBR. Thyroid Disease and Surgery in Bailey BJ
nd
Head and Neck Surgery Otolaryngology. 2 ed. Lippincott Raven.
Philadelphia, New York. 2001; 1385-402.
14. Degroot LJ et al: Thyroid gland (Part 10, Vol 2), in Endocrinology, 5th
ed, LJ DeGroot, JL Jameson (eds). Philadelphia, Elsevier Saunders, 2006
15. Schwartz SI, E, C Kaplan. Thyroid and Parathyroid in Principles of
th
Surgery, 5 ed. Mc GrawHill. Singapore. 1989; 1613 – 1685
16. Harrison's Principles of Internal Medicine. Disorders of the Thyroid
Gland (17th Edition), J. Larry Jameson Anthony P. Weetman, McGraw-
Hill, 2008 ; 2225-2247.
17. Sanusi H. Physiology of Thyroid and Parathyroid Gland. Dalam
nd
Kumpulan Makalah The 2 head and Neck Course. Makassar. 2004.
18. Oertli D, Udelsman R. Surgery of The Thyroid and Parathyroid Gland.
Springer-Verlag. Berlin Hiedelberg. 2007; 15-61.
19. AACE/AAES. Medical/ surgical guidelines for clinical practice :
management of Thyroid Carcinoma.AACE, 2001; 7:3:202-20.
20. Thyroid Nodules (diunduh 27 Agustus 2009). Tersedia dari http://e-
medicine.com.
21. Tan L. Surgical Management of the Thyroid Nodule. Dalam Kumpulan
nd
Makalah The 2 head and Neck Course. Makassar. 2004.
22. Singer PA, Cooper DS, Daniels GH, et al. Treatment guidelines for
patients with thyroid nodules and well-differentiated thyroid cancer.
American Thyroid Association.Arch Intern Med. 1996;156: 2165-2172.

Early Diagnosis and Current Treatment Paradigm in Head and Neck Surgery | 99
Dr. Yussy Afriani Dewi, dr., M.Kes., SpTHT-KL(K)., FICS

23. Cáp J, Ryska A, Rehorková P, Hovorková E, Kerekes Z, Pohnetalová D,


Sensitivity and specificity of the fine needle aspiration biopsy of the
thyroid: clinical point of view. Clin Endocrinol (Oxf). 2000 Jun;52(6):797.
24. Mikosch P, Gallowitsch HJ, Kresnik E, Jester J, Würtz FG, Kerschbaumer
K, Unterweger O, Dinges HP, Lind P. Value of ultrasound-guided fine-
needle aspiration biopsy of thyroid nodules in an endemic goitre area.
Eur J Nucl Med. 2000 Jan;27(1):62-9.
25. Tan GH, Gharib H: Thyroid incidentalomas: management approaches to
nonpalpable nodules discovered incidentally on thyroid imaging. Ann
Intern Med 1997 Feb 1; 126(3): 226-31.
26. R.Djokomoeljanto. Kelainan kelenjar tiroid: Fokus pada terapi penyakit
Graves dan nodul tiroid, Simposium nasional perkumpulan
endokrinologi Indonesia (PERKENI), 2004.
27. Kuno R, Parker JA. Thyroid Nodule.1996 (diunduh 16 April 2011).
Tersedia dari http//e-medicine html.
28. Ahuja AT, Evans RM. Practical Head & Neck Ultrasound. Greenwich:
MM ltd; 2000.
29. Mahraj S, Suhail AR. Technical Observation on The Assesment of
Thyroid Volume by Palpations and Ultrasonography. J. Ultrasound
Med. 2004; 23: 261-6.
30. Lanuccilli J, Risk For malignancy of Thyroid nodule as assessed by
sonographyc criteria.J Ultrasound Med. 2004; 23: 1455-64.
31. Rubin P, ureles A. Yuang C, Constina L., Sherman C., Cancer of the
Endocrine Glands in Clinical Oncology A Multidisciplinary Approach for
th
Physicians and Students, 7 ed., W.B Saunders Company. 1993 ; 531-
539.
32. Hee MP. Clinical Organ system study the thyroid gland. Dalam: Nuclear
medicine. Edisi ke-2. Philadelphia: Mosby Inc; 2006. I:h.790-820.
33. Adam JMF. Pengobatan Medik Nodul Tiroid. Dalam Kumpulan Makalah
nd
The 2 head and Neck Course. Makassar. 2004.

100 | 2nd World Head & Neck Cancer Day


DETEKSI DINI KEGANASAN
TELINGA DAN TEMPORAL
DR. Lina Lasminingrum, dr, SpTHT-KL(K), MKes

Departemen Ilmu Kesehatan Telinga Hidung Tenggorok Bedah Kepala Leher


Fakultas Kedokteran Universitas Padjadjaran
Rumah Sakit Umum Pusat Hasan Sadikin Bandung

Pendahuluan
Keganasan telinga dan tulang temporal merupakan keganasan yang jarang
ditemukan dengan prevalensi sekitar 0,2% dari seluruh keganasan kepala
leher. Hanya 200 kasus baru ditemukan setiap tahunnya di USA, termasuk
didalamnya adalah tumor berasal dari kulit pinna yang meluas ke tulang
temporal, tumor primer dari liang telinga luar, telinga tengah, mastoid dan
1
apeks petrosus serta metastasis tumor ke tulang temporal. Lesi di telinga
luar terutama di pinna akan mudah dicurigai sebagai lesi keganasan, tetapi
lesi di liang telinga, telinga tengah dan mastoid memberikan gejala klinis
yang menyerupai infeksi kronis telinga tengah dan memerlukan
pemeriksaan penunjang untuk konfirmasi diagnosis. Keganasan telinga
utamanya adalah karsinoma sel skuamosa, tipe lain adalah basal sel
karsinoma, melanoma, adenoid cystic dan adenocarcinoma. Pada anak-
anak rhabdomyosarcoma adalah jenis yang paling banyak ditemukan yaitu.
10% dari seluruh rhabdomyosarcoma ditemukan pada telinga.
Meningioma, chordoma, keganasan pada parotis dan karsinoma nasofaring
dapat meluas ke tulang temporal. Metastasis jauh ke tulang temporal juga
dapat terjadi dari limfoma, keganasan pada mammae, paru, ginjal atau
1,2
prostat.

Etiologi
Karena keganasan pada area ini sangat jarang, sulit untuk menentukan
etiologi yang spesifik. Otitis media kronik dan kolesteatoma sering
ditemukan pada penderita keganasan tulang temporal dan diduga sebagai

101
DR. Lina Lasminingrum, dr, SpTHT-KL(K), MKes

3,4
faktor etiologi. Inflamasi kronik dapat mengarahkan ke metaplasia
skuamosa. Human papiloma Virus dianggap berkontribusi terhadap
5
keganasan telinga tengah. Lim melaporkan serial keganasan tulang
temporal pada pasien yang menjalani radioterapi untuk karsinoma
6
nasofaring.

Patofisiologi
Anatomi tulang temporal yang cukup rumit menjadikan penyebaran tumor
sulit untuk diprediksi. Tumor pada kulit aurikula dapat meluas sepanjang
jaringan lunak leher dan telinga. Jaringan lunak adalah barier yang buruk
terhadap perluasan tumor dan akhirnya tumor dapat meluas melalui konka
ke kanalis akustikus eksternus (KAE). Kartilago KAE mempunyai resistensi
yang minimal terhadap perluasan tumor. Fissura Santorini, foramen
Huschke, pertautan tulang-kartilago di KAE merupakan tempat penyebaran
langsung tumor ke jaringan periparotid dan sendi temporomandibular.
Tumor di KAE dapat menginvasi dinding posterior melalui jaringan
lunak ke sulcus retroaurikular diatas korteks mastoid. Dinding posterior
KAE bagian tulang cukup resisten terhadap ekstensi tumor, tetapi erosi
melalui dinding posterior ini merupakan akses perluasan tumor ke rongga
mastoid. Pertumbuhan tumor ke arah medial melalui membran timpani
dan cincin timpani menyebabkan invasi ke telinga tengah. Bila tumor sudah
mencapai telinga tengah, tulang yang sangat keras pada kapsul otic
merupakan barier yang sangat baik untuk menghambat perluasan tumor,
tetapi tumor dapat dengan mudah meluas melalui tuba eustachius, round
window dan oval window, struktur neurovaskuler dan sel-sel udara di
mastoid. Tuba eustachius dan struktur neurovaskular di telinga tengah
merupakan tempat potensial untuk tumor menyebar ke fossa
7
infratemporal, nasofaring atau leher.
Tumor yang agresif dapat meluas melalui tegmen timpani atau
mastoid ke middle atau posterior fossa. Sinus sigmoid dapat terkena,
demikian juga dura yang walaupun resisten terhadap invasi tetapi
menunjukkan prognosis yang buruk bila terkena. Nervus fasialis dan
foramen stilomastoideus menjadi jalan untuk metastasis ke jaringan lunak
7
leher dan parotis.

102 | 2nd World Head & Neck Cancer Day


Deteksi Dini Karsinoma Nasofaring

Metastasis ke kelenjar getah bening jarang terjadi pada awal


3,8
penyakit tetapi terjadi 10-20% pada kasus lanjut. Drainase linfatik dari
aurikula dan KAE ke arah anterior menuju kelenjar getah bening
9
periparotis dan kelenjar parotis. Selain itu drainase terjadi ke jugular atau
nodus lateral mastoid. Drainase limfatik dari bagian medial KAE dan telinga
tengah menuju nodus retrofaringeal atau deep jugular.

Gejala Klinik
1, 8
Gejala tersering dari keganasan telinga dan tulang temporal adalah :
 Otalgia (80-85%)
 Otore / hemoragik otore (40-75%)
 Gangguan dengar progresif (45-80%)
 kadang-kadang dizziness, gangguan keseimbangan, paralisis saraf fasial
dan nyeri kepala hebat bila tumor infiltrasi ke dura

Pada pemeriksaan fisik dapat ditemukan :


 Otoskopi tampak jaringan yang mudah berdarah bila disentuh
 Destruksi membran tipani oleh jaringan granulasi
 Destruksi dinding posterior liang telinga
 Massa di parotis atau sekitarnya
 Paralisis saraf fasialis, pembesaran kelenjar getah bening regional,
gangguan dengar ringan sampai sangat berat, nistagmus spontan
 Ct scan : destruksi tulang yang ekstensif dari telinga tengah dan liang
telinga

Keganasan telinga tengah dan mastoid biasanya ditemukan pada


mereka yang mengabaikan otore kronik dan infeksi pada mastoid atau
telinga tengah. Hubungan pasti antara infeksi dengan pembentukan
keganasan sel skuamosa masih belum jelas, diduga berhubungan dengan
inflamasi kronik.
Keganasan sel skuamosa pada telinga tengah biasanya sudah
meluas sebelum diagnosis pasti ditegakkan. Nyeri merupakan gejala yang
signifikan dari keganasan sel skuamosa pada telinga tengah dan mastoid.

Early Diagnosis and Current Treatment Paradigm in Head and Neck Surgery | 103
DR. Lina Lasminingrum, dr, SpTHT-KL(K), MKes

Perdarahan intermiten dan otore jangka waktu yang lama juga merupakan
gejala keganasan ini selain gangguan dengar. Diagnosis ditegakkan
berdasarkan hasil pemeriksaan histopatologi. Kecurigaan akan jaringan
pada telinga tengah dan mastoid yang tidak sembuh dengan pengobatan
yang sesuai memerlukan tindakan biopsi. Kecurigaan harus muncul bila
terdapat jaringan yang tidak biasa terlihat melalui perforasi membran
9
timpani, terutama yang disertai rasa nyeri.

Pengobatan :
Pengobatan pada tumor liang telinga dan tulang temporal tergantung
kepada ukuran, tipe atau stadium kanker dan lokasi tumor. Pembedahan
merupakan pilihan utama dikuti dengan radioterapi bila diperlukan.
Radioterapi primer tidak efektif untuk kuratif, tetapi untuk penderita
dengan kontraindikasi pembedahan, radiasi paliatif dan kemoterapi dapat
10
menjadi pilihan.

11,12
Terdapat 3 tipe pembedahan :
1. Reseksi kanal eksterna
Pada operasi ini dilakukan pengangkatan kanalis eksterna, kulit, tulang
dan membran timpani, dan dilakukan rekonstruksi telinga.
2. Reseksi tulang temporal lateral
Struktur yang diangkat pada operasi ini adalah tipe 1 disertai
pengangkatan telinga tengah .
3. Reseksi tulang temporal radikal
Pengangkatan seluruh tulang temporal termasuk telinga tengah dan
dalam dengan ekspos terhadap otak. Diperlukan rekonstruksi tulang
temporal. Bila tumor sudah menginvasi otak, diperlukan pembedahan
bersama dengan tim bedah kepala leher dan bedah syaraf.

Keganasan pada pinna


Jenis pembedahan pada pinna tergantung pada ukuran tumor. Bila lesi
sangat kecil, tumor dapat diangkat dengan anestesi lokal. Bila tumor cukup
13,14,15
besar, pinna harus direkonstruksi.

104 | 2nd World Head & Neck Cancer Day


Deteksi Dini Karsinoma Nasofaring

Basal cell carcinoma


Nodular, ulserasi sekunder dari basal cell carcinoma dapat diterapi dengan
iradiasi kontak bila hanya terbatas pada aurikula. Tumor yang destruktif,
subkutan atau infiltratif mempunyai prognosis yang lebih buruk dan jenis
ini diltatalaksana dengan eksisi dan rekonstruksi. Radioterapi padalesi
aurikula lebih besar dari 1 cm akan meruak perikondrium sehingga terjadi
13,14,15
perikondritis. Sehinga terapi pilihan adalah pembedahan.

Keratinizing squamous cell carcinoma


Tumor yang infiltratif,, ulserasi dan 20% menunjukkan metastasis ke
kelenjar getah bening regional. Pengobatan adalah pembedahan radikal.
Radioterapi dapat berhasil pada tumor yang kurang dari 1 cm, tidak
berulserasi dan tidak infiltrasi ke periokondrium dan belum
13,14,15
bermetastase.

Carcinoma pada liang telinga


Insidensi 5% dari seluruh karsinoma pada telinga. Prognosis kurang baik
dibandingkan dengan tumor pada aurikula karena biasanya diagnosis
terlambat ditegakkan dan tumor penetrasi ke parotis atau telinga tengah.
Pilihan terapi adalah reseksi luas dari tumor dengan diseksi leher radikal
dan parotidektomi bila diperlukan. Pembedahan pada telinga hanya
13,14,15
dilakukan bila letastasis jauh sudah disingkirkan.

Simpulan
Keganasan pada telinga dan tulang temporal merupakan keganasan yang
jarang ditemukan. Gejala klinik yang menyerupai inflamasi kronik
menjadikan diagnosis sering terlambat ditegakkan. Tumor yang sudah
meluas memerlukan penatalaksanaan yang cukup agresif dan memberikan
morbiditas yang cukup tinggi. Pengenalan dan diagnosis dini diperlukan
agar pengobatan tidak terlalu ekstensif dan prognosis lebih baik.

Early Diagnosis and Current Treatment Paradigm in Head and Neck Surgery | 105
DR. Lina Lasminingrum, dr, SpTHT-KL(K), MKes

DAFTAR PUSTAKA
1. Lee’s. K. J. Sarah Mowry. Marlan. H. Tumors of The Temporal Bone in
Essential Otolaryngology Head and Neck Surgery. The 10th editions.
The McGraw-Hill Companies; 2012.p;681-93
2. Shengjuan. Z. Tao. F. Jinjie. Q. Diagnosis and Treatment of Carcinoma
in external auditory canal. Elsevier. Journal of Otolgy. 2014. 9(3);
p;146-50.
3. Moffat DA, Wagstaff SA, Hardy DG. The outcome of radical surgery
and postoperative radiotherapy for squamous carcinoma of the
temporal bone.Laryngoscope. 2005 Feb. 115(2):341-7.
4. Keereweer S, Metselaar RM, Dammers R, Hardillo JA. Chronic serous
otitis media as a manifestation of temporal meningioma. ORL J
Otorhinolaryngol Relat Spec. 2011. 73(5):287-90.
5. Han. Z. Zhibin.C. Weiming. Z. Middle ear Squamuos pappiloma; A
report of four case analyzed by HPV and EBV in situ hybridization.
Oncol Lett. 2014. 7(1).p;41-46.
6. Lim LH, Goh YH, Chan YM, Chong VF, Low WK. Malignancy of the
temporal bone and external auditory canal. Otolaryngol Head Neck
Surg. 2000 Jun. 122(6):882-6.
7. Paul. W. Gidley. Review Managing Malignances of The External
auditory Canal. Taylor & Francis Groups. 2009 9(9);p;1277-82.
8. Moody SA, Hirsch BE, Myers EN. Squamous cell carcinoma of the
external auditory canal: an evaluation of a staging system. Am J Otol.
2000 Jul. 21(4):582-8.
9. Bailey. BJ. Young S. Matthew SR, and David WE. Salivary gland
neoplasms. Head and Neck Surgery-Otolaryngology. The 5th editions,
Lippincott Co. Philladelphia. 2014; p; 1760-68.
10. Kunst H, Lavieille JP, Marres H. Squamous cell carcinoma of the
temporal bone: results and management. Otol Neurotol. 2008 Jun.
29(4):549-52.
11. Cumming. C. W. Michael. M. Editor: Temporal Bone Neoplasma and
Lateral Cranial Base Surgery in Textbook Of Otolaryngology head and
Neck Surgery. The 4th edition. Philadhelphia. Elsevier Morsby.
2005.p;162-67.

106 | 2nd World Head & Neck Cancer Day


Deteksi Dini Karsinoma Nasofaring

12. Joseph. B. Nadol. Michael J. McKenna. Textbooks Surgery of the Ear and
Temporal Bone. The 2th Edition. Lippincott William-Wilkins.
Philadhelphia. 2005. P;487-501.
13. Garth F. Essig. Leon. K. Felicity. A. Lateral Temporal Bone Resection in
Advance Cutaneus Squamous Cell Carcinoma; report of 35 patients. J
Neurol Surg B Skull Base. 2013. 74(1)p;54-59.
14. Nakagawa T, Kumamoto Y, Natori Y, et al. Squamous cell carcinoma of
the external auditory canal and middle ear: an operation combined
with preoperative chemoradiotherapy and a free surgical
margin. Otol Neurotol. 2006 Feb. 27(2):242-8; discussion 249.
15. Hirsch BE, Myers EN, Moody SA. Malignant tumors of the temporal
bone. Laercio O, Selaimen S, eds. Otologia Clinia e Cirurgica. Revinter,
Tijuca: 2016. 319-329.

Early Diagnosis and Current Treatment Paradigm in Head and Neck Surgery | 107
DR. Lina Lasminingrum, dr, SpTHT-KL(K), MKes

108 | 2nd World Head & Neck Cancer Day


BEDAH MINIMAL INVASIF
TUMOR SINONASAL
Sinta Sari Ratunanda

Departemen Ilmu Kesehatan Telinga Hidung Tenggorok Bedah Kepala Leher


Fakultas Kedokteran Universitas Padjadjaran
Rumah Sakit Umum Pusat Hasan Sadikin Bandung

ABSTRAK
Latar belakang: Tumor di area sinonasal merupakan tumor yang cukup
sering dijumpai, dapat bersifat jinak maupun ganas. Tatalaksana utama
tumor sinonasal adalah pembedahan.selain radioterapi maupun
kemoterapi. Dua dekade terakhir ini berkembang pendekatan bedah
berbasis endoskopi dengan tujuan invasif yang minimal. Tujuan: Menelaah
pendekatan bedah minimal invasif dari berbagai kepustakaan dalam
tatalaksana tumor sinonasal. Tinjauan pustaka: Perkembangan nasal
endoskopi, teknik, serta peralatan endoskopi membuat pendekatan bedah
endoskopi lebih dipilih. Kelebihan utama pendekatan ini adalah
mempermudah visualisasi berbagai area terkena tumor dengan tingkat
morbiditas yang lebih rendah dibandingkan teknik bedah terbuka. Berbagai
penelitian memperlihatkan teknik bedah endoskopi memberikan hasil
lebih baik dibandingkan teknik bedah terbuka, dilihat dari rekurensi tumor.
Tatalaksana bedah endoskopi papilloma sinonasal dan angiofibroma
nasofaring, sering dijadikan panduan dan pengembangan teknik bedah
minimal invasif pada tumor sinonasal lainnya. Kesimpulan: Pendekatan
bedah endoskopi untuk tatalaksana bedah tumor sinonasal saat ini lebih
dipilih karena lebih minimal invasif, morbiditas lebih rendah dengan
tingkat rekurensi loko-regional lebih rendah.

Kata kunci: tumor sinonasal, bedah invasif minimal, bedah endoskopi.

109
Sinta Sari Ratunanda

ABSTRACT
Background: Sinonasal neoplasms are a quite common neoplasms in ORL-
HNS practice which could be benign or malignat. The main management
for sinonasal neoplasms is surgery, beside radiotherapy and
chemotherapy. Over the last two decades, endoscopic approach has
developed with the purpose minimally invasive surgery. Purpose: To see
studies and journals about minimally invasive surgery in sinonasal
neoplasms. Results: Development of nasal endoscopy, techniques, and
endoscopic tools, has altered the surgery of snonasal neoplasms.This
approach allowed visualization of neoplasms area with low morbidity than
open surgery approach. Some studies report endoscopic approach have
superior results than open technique, especially in loco-regional control
reccurence. Sinonasal Inverted Papilloma and Juvenile Nasopharyngeal
Angiofibroma transnasal endoscopic approach, commonly use as role
model for guidelines and development of sinonasal endoscopic minimally
invasive technique surgery for others sinonasal neoplasms. Conclusion:
Minimally invasive surgery by endoscopic approach are choosen for
management of sinonasal neoplasms because more minimally invasive,
low morbidty, and low loco-regional reccurence than open surgery.

Keywords: sinonasal neoplasms, minimally invasive surgery, endoscopic


surgery.

PENDAHULUAN
Tumor sinonasal merupakan tumor yang cukup sering dijumpai dalam
praktek sehari-hari dokter spesialis THT-KL. Insidensinya berkisar sekitar
3% dari seluruh tumor saluran nafas atas. Data di Rumah Sakit Hasan
Sadikin Bandung memperlihatkan tumor-tumor di area ini menempati
urutan ke-2 dari seluruh tumor di area THT-KL.
Tumor sinonasal dapat bersifat jinak maupun ganas. Asal tumor
dapat berasal dari epitelial, non epithelial, limforetikuler dan metastase
karsinoma. Jenis tumor sinonasal jinak yang cukup sering dijumpai adalah

110 | 2nd World Head & Neck Cancer Day


Bedah Minimal Invasif Tumor Sinonasal

inverted papilloma, fibroma dan osteoma, sedangkan yang ganas adalah


karsinoma sel skuamosa, adenokarsinoma, serta olfactory neuroblastoma.
Tumor yang sering bermetastase ke area sinonasal yang cukup sering
dijumpai berasal dari ginjal, payudara dan paru paru.
Penatalaksanaan tumor sinonasal dapat berupa pembedahan,
radioterapi, kemoterapi, atau kombinasi antara ketiganya. Pembedahan
merupakan tatalaksana utama tumor sinonasal. Radioterapi dan
kemoterapi secara umum sebagai tatalaksana pilihan setelah pilihan
operasi.
Reseksi lengkap merupakan baku emas tatalaksana tumor sinonasal.
Operasi di area ini dapat dilakukan dengan pendekatan bedah terbuka dan
yang sangat berkembang saat ini adalah dengan pendekatan endoskopi.
Pada dasarnya, dengan pendekatan transnasal endoskopi didapatkan
visualisasi dan pemetaan ekstensi tumor yang lebih jelas dan lengkap
dengan tingkat morbiditas yang rendah, sehingga pendekatan ini disebut
dengan bedah invasif minimal dan berkembang dengan pesat.
Perkembangan teknologi dan peralatan endsokopi membuat
perkembangan teknik ini maju dengan pesat dalam dua dekade terakhir.
Reseksi papiloma inverted sinonasal dan angiofibroma nasofaring adalah
dua tumor yang sering dijadikan acuan dan pengembangan teknik
transnasal endoskopi.
Tujuan tinjauan pustaka ini adalah menelaah tentang pendekatan
bedah minimal invasif transnasal ensdoskopi; keuntungan dan
kerugiannya, tekniknya, serta hasilnya dibandingkan dengan bedah
terbuka.

TINJAUAN PUSTAKA
Tumor-tumor di area sinonasal merupakan tumor yang cukup sering
dijumpai dalam praktek sehari-hari dokter spesialis THT-KL. Secara umum,
tumor sinonasal yang ganas insidensinya sekitar 3% dari seluruh tumor
yang menyerang saluran nafas bagian atas. Di Departemen Ilmu Kesehatan
THT-KL Rumah Sakit Hasan Sadikin Bandung, seluruh tumor sinonasal (jinak
maupun ganas) menempati urutan ke-2 terbanyak pasien tumor yang

Early Diagnosis and Current Treatment Paradigm in Head and Neck Surgery | 111
Sinta Sari Ratunanda

berobat. Beberapa faktor yang diduga berhubungan dengan karsinogenesis


tumor sinonasal adalah : asap industri(pabrik), debu kayu, hasil proses
nikel, penyamakan kulit, pewarnaan kulit, proses solder dan welding,
pewarnaan menggunakan radium, serta tingginya insidensi pada perokok.
Tumor sinonasal dapat bersifat jinak maupun ganas. Tumor
sinonasal diklasifikasikan berdasarkan asalnya adalah (naik jinak maupun
ganas) : epithelial, non epitelial, limforetikuler serta metastase tumor ke
area sinonasal. Jenis tumor jinak epithelial antara lain: Inverted papilloma,
adenoma; tumor ganas epithelial amtara lain: karsinoma sel skuamosa,
olfactory neuroblastoma; tumor jinak non epithelial diantaranya : fibroma
dan osteoma; tumor ganas non epithelial diantaranya fibrosarkoma; tumor
limforetikuler diantaranya: limfoma, dan tumor yang cukup sering
bermetastase ke sinonasal berasala dari ginjal, payudara dan paru.
Letak tumor sinonasal berdekatan dengan organ-organ penting,
sehingga dapat menyebabkan invasi ke struktur penting di sekitarnya
seperti : orbita, intrakranial serta tulang-tulang yang berdekatan dan
menimbulkan komplikasi yang cukup serius seperti kebutaan dan
kebocoran cairan serebrospinal.
Tatalaksana tumor sinonasal (terutama yang ganas) meliputi
beberapa modalitas meliputi : pembedahan, radiasi, dan kemoterapi.
Pembedahan reseksi merupakan modalitas utama dengan tujuan kuratif,
Pembedahan meliputi drainase/debridemen pada kasus-kasus sinusitis
bakteri sekunder, operasi/reseksi dan rehabilitasi. Keberhasilan reseksi
untuk tumor sinonasal mempunyai 5-year survival rate antara 19% - 86%.
Pendekatan operasi reseksi tumor sinonasal dapat
eksternal/terbuka atau transnasal, atau kombinasi keduanya. Reseksi
tumor sinonasal terbuka antara lain Caldwell Luc dan maksilektomi.
Pendekatan transnasal dapat berupa transnasal endoskopik atau non-
endoskopik. Beberapa penelitian memperlihatkan bahwa semakin sedikit
prosedur operasi yang dilakukan berhubungan dengan semakin tingginya
rekurensi. Prosedur pembedahan yang ekstensif memperlihatkan tingkat
rekurensi tumor yang rendah. Hal ini berkaitan dengan reseksi yang
terbatas sehingga reseksi menjadi tidak komplit, kalau hanya dilakukan

112 | 2nd World Head & Neck Cancer Day


Bedah Minimal Invasif Tumor Sinonasal

prosedur yang terbatas. Pendekatan bedah terbuka mempunyai


keterbatasan karena dekatnya hubungan antara tunor dengan mata dan
dasar tengkorak, sementara pendekatan endoskopik lebih memperlihatkan
visualisasi yang jelas di area-area yang sulit dijangkau dengan pendekatan
terbuka.
Pendekatan reseksi tumor melalui transnasal endoskopik
merupakan suatu teknik reseksi transnasal dengan menggunakan teknologi
dan peralatan endoskopi. Nasal endoskopi merupakan salah satu
terobosan diagnostik penting untuk pemetaan tumor dan invasinya,
dikombinasikan dengan pemeriksaan CT Scan dan MRI. Kemajuan
peralatan dan teknologi endokopi yang berkembang pesat dalam dua
dekade terakhir ini, membuat operasi reseksi tumor sinonasal dengan
pendekatan endoskopi lebih banyak dilakukan. Pendekatan endoskopik
untuk reseksi tumor sinonasal dimulai dengan membuang tumor
makroskopik secara lengkap, diikuti reseksi di area perlekatannya dengan
tepi yang sesuai diinginkan. Tulang-tulang yang diduga terlibat dapat
dilakukan pemboran dengan mata bor berlian (diamond burr) sehingga
fokus tumor yang menginfiltrasi tulang dapat terangkat.
Ada beberapa keuntungan pendekatan endoskopik untuk reseksi
tumor sinonasal. Reseksi tumor pendekatan transnasal endoskopik dapat
mengangkat tumor sampai ke fokus lesinya misalnya di dalam tulang,
sehingga diharapkan tingkat rekurensinya menjadi lebih rendah; juga
yang utama adalah tingkat morbiditasnya lebih rendah dibandingkan
reseksi terbuka, karena tidak ada luka pasca operasi terbuka.Teknik
transnasal endoskopik ini tidak memerlukan insisi dari luar dan biasanya
memerlukan waktu perawatan pasca operasi yang lebih singkat
dibandingkan teknik terbuka. Pendekatan endoskopik juga memungkinkan
area-area yang sulit dijangkau dengan operasi terbuka (misalnya
maksilektomi media, rinotomi lateral), seperti area sinus sfenoid, bagian
lateral dinding sinus maksila, atau area superior dan lateral sinus frontal;
menjadi lebih memungkinkan terjangkau dan tervisualisasi dengan jelas.
Tumor sinonasal yang sampai ke sinus frontal misalnya, kadang-kadang
tidak melekat di sinus frontal, hanya mengisi sinus frontal, dengan

Early Diagnosis and Current Treatment Paradigm in Head and Neck Surgery | 113
Sinta Sari Ratunanda

pendekatan endoskopik, tumor dapat diangkat/dihisap dari area resesus


frontal, sehingga mukosa sinus frontal tetap intak. Kombinasi endoskop
berbagai derajat dengan alat microdebrider, diamond burr, berbagai
macam forsep yang disesuaikan dengan sinus serta berbagai macam alat
canggih lainnya; memungkinkan area-area di hidung dan sinus paranasal
lebih terlihat dan terjangkau. Pendekatan endoskopik memungkinkan tidak
hanya reseksi tumor saja yang dilakukan, tetapi kombinasi akibat
tertututpnys ostieum sinus berupa rinosinusitis dapat dilakukan operasi
untuk rinosinusitisnya. Pendekatan endoskopik disebut juga sebagai
oeprasi bedah minimal invasif, karena mukosa yang tidak perlu direseksi
diharapkan tetap terjaga. Tetapi perlu diingat, penggunaan endoakopi dan
instrument alat yang dipergunakan oleh operator yang kurang
berpengalaman, memungkinkan terjadinya komplikasi berbahaya,
diantaranya perdarahan hebat, penetrasi ke orbita maupun intrakranial.
Era awal dilakukan pembedahan tumor sinonasal dengan
pendekatan transnasal endoskopik, didapatkan tingkat rekurensi loko-
regional sebesar 17% hampir sama dengan pendekatan bedah terbuka
yaitu sebesar 19%. Semakin berkembangnya teknik dan peralatan
endsokopik, tingkat rekurensi loko-regional semakin rendah, berkisar
sebesar 12%, sedangkan pendekatan non endoskopik sebesar 20%. Di awal
penggunaan teknik ini, sebagian besar peneliti setuju, untuk tumor
sinonasal yang terbatas dan tidak ekstensif, pendekatan endoskopik lebih
disukai, sedangkan tumor yang sangat ekstensif, pemdekatan dengan
bedah terbuka lebih direkomendasikan. Berdasarkan perkembangan
kemajuan teknologi dan alat endoskopi, saat ini, tumor-tumor sinonasal
yang besar dan ekstensif, pendekatan endoskopik lebih dipilih untuk
reseksi.
Reseksi tumor sinonasal berjenis papilloma inverted dan
angiofibroma nasofaring dengan pendekatan transnasal endoskopik, sering
dijadikan sebagai panduan dan pengembangan teknik-teknik reseksi tumor
sinonasal secara umum. Perkembangan teknik transnasal endoskopik
untuk kedua jenis tumor ini terus ditingkatkan, seiring dengan peningkatan
kecanggihan dan instrument endoskopik, dikombinasikan dengan

114 | 2nd World Head & Neck Cancer Day


Bedah Minimal Invasif Tumor Sinonasal

pemeriksaan penunjang yang juga terus berkembang, misalnya CT Scan


dan MRI.
Beberapa hal penting pada reseksi tumor papilloma inverted
penting diperhatikan pada pemeriksaan pre-operatif. Hal ini menjadi
penting karena Papiloma Inverted sinonasal dapat berasosiasi dengan
keganasan sebesar 4 – 17% (rata-rata 13%), sehingga penting untuk reseksi
tumor secara komplit termasuk daerah perlekatan dengan tepi bebasnya.
Pengenalan area perlekatan dengan menganalisis CT Scan pre-operatif
sangat dianjurkan; biasanya ditemui tanda-tanda menyerupai area erosif
tulang dan “osteitis” pada tempat yang diduga perlekatan papilloma
inverted sinonasal tersebut. Perlu diingat juga bahwa ekstensi tumor ini
terbanyak adalah ke dinding lateral hidung sebesar 82%, diikuti ke sinus
maksilaris sebesar 53,9%, ke sinus ethmoid sebesar 31,6%, ke sinus frontal
sebesar 6,5%, serta ke sinus sfenoid sebesar 3,9%. Ekstensi tumor ini
bukan berarti sama dengan perlekatannya, sehingga perlu diingat tumor ini
menyerupai gambaran “dumbbell” karena perluasannya ke dalam sinus,
tanpa adanya perlekatan disana. Pemeriksaan endoskopik pre-operatif
juga sangat penting terutama untuk melihat ekstensi tumor. Pemeriksaan
endoskopik juga dapat membedakan dengan jelas antara tumor dan proses
inflamasi di sekitarnya. Beberapa penelitian memperlihatkan endoskopik
preoperatif dan intraoperatif; sensitifitas dan spesifitasnya lebih tinggi
dibandingkan CT Scan.
Reseksi transnasal endoskopik pada papilloma inverted sinonasal
perlu mempertimbangkan prinsip pembedahan onkologi, yaitu reseksi
enbloc. Pada dasarnya, teknik ini menggunakan reseksi sedikit-demi sedikit
(piecemeal resection), sehingga reseksi enbloc sulit dicapai. Secara umum
reseksi enbloc pada tumor sinonasal sulit dicapai mengingat kedekatan
anatomis sinonasal dengan orbita dan intrakranial, bahkan dengan teknik
bedah terbuka sekalipun. Sehingga pendekatan terbaik pada papilloma
inverted sinonasal secara endoskopik adalah : debulking secara cepat
tumor yang tidak melekat, diikuti dengan reseksi komplit dan agresif pada
perlekatannya. Sebagai contoh : tumor yang berasal sepanjang dinding
lateral hidung ekstensi ke sinus frontal sehingga seperti “dumbbell”, maka

Early Diagnosis and Current Treatment Paradigm in Head and Neck Surgery | 115
Sinta Sari Ratunanda

pendekatannya adalah reseksi area frontal dari resesus frontal, dan reseksi
komplit tumor di tempat perlekatannya. Reseksi tumor di area-area yang
sulit dijangkau seperti dinding anterior dan lateral sinus maksilaris, dinding
superior dan lateral dari sinus frontal, dapat dijangkau per-endoskopik
dengan mempergunakan alat-alat endoskopik yang bersudut, misalnya
bersudut sampai 45 dan 70 derajat.
Reseksi tumor sinonasal lewat pendekatan transnasal endoskopik
kadang-kadang memerlukan kombinasi dengan pendekatan lainnya, untuk
mencapai tujuan reseksi yang komplit termasuk tempat perlekatannya.
Sebagai contoh: kadang-kadang diperlukan pendekatan Caldwell-Luc,
prosedur Lothrop (Draf tipe III frontal sinusotomy), atau bedah terbuka.
Selain itu, kombinasi operasi juga diperlukan untuk penutupan daerah
operasi yang terbuka atau mengatasi komplikasi yang terjadi. Hal ini dapat
diatasi dengan bersama-sama dengan pendekatan transnasal endoskopik.

DISKUSI
Penemuan teknologi endoskopi, baik teknik maupun peralatan, telah
membawa perkembangan operasi tumor-tumor sinonasal melalui
pendekatan transnasal endoskopik menjadi pilihan utama. Visualisasi yang
jelas, kepastian perlekatan dan tepi tumor yang terlihat, identifikasi
struktur-struktur yang penting yang berdekatan, menghindari insisi yang
terlihat secara kosmetik, serta preservasi mukosa sinonasal yang normal;
menjadi alasan mengapa pendekatan operasi ini lebih dipilih. Selain itu,
tingkat rekurensi lokoregional yang lebih rendah seiring dengan kemajuan
alat dan teknik endoskopik, dibandingkan dengan pembedahan terbuka,
membuat pendekatan transnasal per endoskopik lebih dipilih.
Model teknik operasi dan peralatan endoskopik yang digunakan
pada operasi papilloma inverted sinonasal dan angiofibroma nasofaring,
menjadi contoh untuk operasi tansnasal endoskopik tumor sinonasal
secara umum. Teknik pada kedua operasi terus dikembangkan dan
sekarang bukan hanya terbatas pada reseksi tumor saja, tetapi juga
mengatasi dampak ekstensi tumor sinonasal ke area-area yang berbahaya,
seperti orbita dan intrakranial.

116 | 2nd World Head & Neck Cancer Day


Bedah Minimal Invasif Tumor Sinonasal

Diperlukan pengetahuan, peningkatan ketrampilan serta


penguasaan teknologi dan peralatan endsokopik untuk dapat mengerjakan
reseksi tumor sinonasal melalui pendekatan transnasal endoskopik.
Pelatihan dan supervisi akan meningkatkan kemampuan operator untuk
melakukan operasi ini, sehingga tujuan akhir dari operasi ini yaitu reseksi
komplit disertai tempat perlekatannya dengan tepi bebas yang cukup,
dapat tercapai. Kemampuan untuk mengatasi komplikasi yang mungkin
terjadi, melalui penilaian pre-operatif yang baik, juga sangat diperlukan.
Selain menambah ketrampilan dalam mengatasi komplikasi intraoperative,
yang juga sangat penting. Kerjasama antar tim yang sangat mungkin
melibatkan disiplin ilmu lain, seperti : bedah syaraf, anestesi, mata, syaraf,
penyakit dalam, radiologi, dan lain-lain; sangat diperlukan untuk
pemgembangan penanganan tumor sinonasal yang lebih baik.
Sebagai kesimpulan, pendekatan transnasal endoskopik untuk
reseksi tumor sinonasal, saat ini menjadi pilihan operasi dibandingkan
pendekatan bedah terbuka, terutama karena minimal invasif dengan hasil
reseksi tumor yang komplit dan tingkat rekurensi loko-regional yang
rendah.

DAFTAR PUSTAKA
1. Goyal P. Advances in endoscopic resection of sinonasal neoplasms.
Indian J. Otolaryngol Head Neck Surg (July-September 2010).
629309rhinology): 277-284.
2. Chen Mu-Kuan. Minimally invasive endoscopic resection of sinonasal
malignancies and skull base surgery. Acta Oto-Laryngologica, 2006; 126:
981 – 986.
3. Zimmer LA, Carrau RL. Neoplasms of the nose and paranasal sinuses. In:
Bailey BJ, Pillsbury III HC, Driscoll BP,editors. Head and Neck Surgery –
Otolaryngology. Philadhelpia: Lippicontt-Raven Pub; 2014. p.2044-
2062.
4. Hartl D, Brasnu D, Shah J, Hinni M, Takes R, Olsen K, Kowalski L, et.al. Is
open surgery for head and neck cancer truly declining?. European
Archives of Oto-Rhino-Laryngology. Nov2013, Vol. 270 Issue 11, p2793
– 2802.

Early Diagnosis and Current Treatment Paradigm in Head and Neck Surgery | 117
Sinta Sari Ratunanda

5. Saedi B, Aghili M, Motiee M, Valadakhani S, Niazi AB, Safavi A. Surgical


outcomes of malignant sinonasal tumours: open versus endoscopic
surgical approaches. Journal of Laryngology & Otology. Sept2014,
Vol.128 Issue 9, p784-790.
6. Tojima I, Ogawa T, Kouzaki H, Seno S, Shibayama M, Shimizu T.
Endoscopic resection of malignant sinonasal tumours with or without
chemotherapy and radiotherapy. Journal of Laryngology & Otology.
Oct2012, Vol. 12l Issue 10, p 1027-10232.
7. Data Penyakit Terbanyak Poli Rawat Jalan THT-KL RS. Hasan Sadikin
2014 – 2015.

118 | 2nd World Head & Neck Cancer Day


KARSINOMA SINONASAL
dr. Nur Akbar Aroeman, Sp.THT-KL(K)

Departemen Ilmu Kesehatan Telinga Hidung Tenggorok Bedah Kepala Leher


Fakultas Kedokteran Universitas Padjadjaran
Rumah Sakit Umum Pusat Hasan Sadikin Bandung

Pendahuluan
Tumor sinonasal adalah penyakit di mana terjadinya pertumbuhan sel
(ganas) pada sinus paranasal dan rongga hidung. Lokasi hidung dan sinus
paranasal (sinonasal) merupakan rongga yang dibatasi oleh tulang-tulang
wajah yang merupakan daerah yang terlindung sehingga tumor yang
timbul di daerah ini sulit diketahui secara dini. Tumor hidung dan sinus
paranasal pada umumnya jarang ditemukan, baik yang jinak maupun yang
ganas. Di Indonesia dan di luar negeri, angka kejadian jenis yang ganas
hanya sekitar 1% dari keganasan seluruh tubuh atau 3% dari seluruh
keganasan di kepala dan leher. Asal tumor primer juga sulit untuk
ditentukan, apakah dari hidung atau sinus karena biasanya pasien berobat
dalam keadaan penyakit telah mencapai tahap lanjut dan tumor sudah
memenuhi rongga hidung dan seluruh sinus.
Lokasi rongga hidung dan sinus paranasal membuat tumor sangat
dekat dengan struktur vital. Masalah ini diperburuk oleh fakta bahwa
manifestasi awal yang terjadi (misalnya epistaksis unilateral, obstruksi nasi)
mirip dengan kondisi awal yang umum dikeluhkan tanpa adanya keluhan
spesifik lainnya. Oleh karena itu, pasien dan dokter sering mengabaikan
atau meminimalkan presentasi awal dari tumor dan mengobati tahap awal
keganasan sebagai gangguan sinonasal jinak. Pengobatan keganasan
sinonasal paling baik dilakukan oleh tim dokter ahli dengan berbagai
disiplin ilmu.

Epidemiologi
Keganasan sinonasal jarang terjadi. Mereka lebih umum di Asia dan Afrika
daripada di Amerika Serikat. Di bagian Asia, keganasan sinonasal adalah

119
dr. Nur Akbar Aroeman, Sp.THT-KL(K)

peringkat kedua yang paling umum dan kanker leher karsinoma nasofaring
belakang. Pria terkena 1,5 kali lebih sering dibandingkan wanita, dan 80%
dari tumor ini terjadi pada orang berusia 45-85 tahun. Sekitar 60-70% dari
keganasan sinonasal terjadi pada sinus maksilaris dan 20-30% terjadi pada
rongga hidung sendiri. Diperkirakan 10-15% terjadi pada sel-sel udara
ethmoid (sinus), dengan minoritas sisa neoplasma ditemukan di sinus
frontal dan sphenoid.

Anatomi
1. Hidung
Secara umum, hidung dapat dibagi atas dua bagian, yaitu bagian luar
(eksternal) dan bagian dalam (internal). Di bagian luarnya, hidung dibentuk
oleh tulang, kulit dan otot. Osteo kartilago hidung dibungkus oleh
beberapa otot yang berfungsi dalam pergerakan hidung meski minimal.
Kulit yang melapisi tulang hidung dan tulang rawan hidung merupakan
kulit yang tipis dan mudah untuk digerakkan serta mengandung banyak
kelenjar sebasea.Sedangkan dibagian dalamnya terdiri atas dua kavum
berbentuk seperti terowongan yang dibatasi oleh septum nasi.
Setiap kavum nasi terhubung dengan nostril dibagian depan dan
choana dibagian belakang. Di dalam cavum nasi anterior inferior terdapat
vestibulum yang berisi kelenjar sebasea dan rambut hidung dan dibagian 4
lateralnya terdapat tiga susun turbin konka yang disebut konka nasalis
superior, media dan inferior. Vaskularisasi hidung berasal dari arteri karotis
baik eksterna maupun interna. Persarafan hidung terdiri atas fungsi
sensorik dan autonom. Cabang sensorik nya terbagi tiga yaitu, nervus
ethmoidalis anterior, cabang ganglion sphenopalatina dan cabang saraf
infraorbitalis, sedangkan fungsi autonomnya yang berasal dari serat saraf
parasimpatis yang berasal dari nervus petrosus superfisial terbesar.
Secara umum fungsi hidung terdiri atas fungsi respirasi, indera
penciuman sebab didalamnya terdapat nervus olfaktorius dan bulbus
olfaktori, konka dan vaskular didalamnya melembabkan udara inspirasi,
cilia dan rambut hidung yang terdapat pada antero inferior cavum nasi
melindungi saluran pernapasan atas, memperbaiki kualitas resonansi suara
yang dikeluarkan, serta fungsi refleks nasal.

120 | 2nd World Head & Neck Cancer Day


Karsinoma Sinonasal

2. Sinus paranasalis
Ada empat pasang sinus paranasal yaitu sinus maksila, sinus frontal, sinus
etmoid dan sinus sfenoid kanan dan kiri. Sinus paranasal merupakan hasil
pneumatisasi tulang-tulang kepala, sehingga terbentuk rongga di dalam
tulang. Semua sinus mempunyai muara ke rongga hidung. Secara
embriologik, sinus paranasal berasal dari invaginasi mukosa rongga hidung
dan perkembangannya dimulai pada fetus usia 3-4 bulan, kecuali sinus
sfenoid dan sinus frontal. Sinus maksila dan sinus etmoid telah ada saat
anak lahir, sedangkan sinus frontal berkembang dari sinus etmoid anterior
pada anak yang berusia kurang lebih 8 tahun. Pneumatisasi sinus sfenoid
dimulai pada usia 8-10 tahun dan berasal dari bagian postero-superior
rongga hidung. Sinus-sinus ini umumnya mencapai besar maksila 15-18
tahun.
Sinus maksila merupakan sinus paranasal yang terbesar. Saat lahir
sinus maksila bervolume 6-8 ml, sinus kemudian berkembang dengan
cepat dan akhirnya mencapai ukuran maksimal, yaitu 15 ml saat dewasa.
Sinus maksila berbentuk segitiga. Dinding anterior sinus ialah permukaan
fasial os maksila yang disebut fosa kanina, dinding posteriornya adalah
permukaan infra-temporal maksila, dinding medialnya ialah dinding lateral
rongga hidung dinding superiornya adalah dasar orbita dan dinding inferior
adalah prosesus alveolaris dan palatum. Ostium sinus maksila berada di
sebelah superior dinding medial sinus dan bermuara ke hiatus semilunaris
melalui infindibulum etmoid.
Sinus frontal yang terletak di os frontal mulai terbentuk sejak bulan
ke empat fetus, berasal dari sel-sel resesus frontal atau dari sel-sel
infundibulum etmoid. Sesudah lahir, sinus frontal mulai berkembang pada
usia 8-10 thn dan akan mencapai ukuran maksimal sebelum usia 20 thn.
Sinus frontal kanan dan kiri biasanya tidak simetris, satu lebih besar dari
pada lainnya dan dipisahkan oleh sekret yang terletak di garis tengah.
Kurang lebih 15% orang dewasa hanya mempunyai satu sinus frontal dan
kurang lebih 5% sinus frontalnya tidak berkembang. Ukurannya sinus
frontal adalah 2.8 cm tingginya, lebarnya 2.4 cm dan dalamnya 2 cm. Sinus
frontal biasanya bersekat-sekat dan tepi sinus berleku-lekuk. Tidak adanya

Early Diagnosis and Current Treatment Paradigm in Head and Neck Surgery | 121
dr. Nur Akbar Aroeman, Sp.THT-KL(K)

gambaran septum-septum atau lekuk-lekuk dinding sinus pada foto


rontgen menunjukkan adanya infeksi sinus. Sinus frontal dipisahkan oleh
tulang yang relatif tipis dari orbita dan fosa serebri anterior, sehingga
infeksi dari sinus frontal mudah menjalar ke daerah ini. Sinus frontal
berdrainase melalui ostiumnya yang terletak di resesus frontal. Resesus
frontal adalah bagian dari sinus etmoid anteroir. Sinus etmoid berongga-
rongga, terdiri dari sel-sel yang menyerupai sarang tawon, yang terdapat di
dalam massa bagian lateral os etmoid, yang terletak di antara konka media
dan dinding medial orbita. Sel-sel ini jumlahnya bervariasi antara 4-17 sel
(rata-rata 9 sel). Berdasarkan letaknya, sinus etmoid dibagi menjadi sinus
etmoid anterior yang bermuara di meatus medius dan sinus etmoid
posterior yang bermuara di meatus superior. Sel-sel sinus etmoid anterior
biasanya kecil-kecil dan banyak, letaknya di bawah perlekatan konka
media, sedangkan sel-sel sinus etmoid posterior biasanya lebih besar dan
lebih sedikit jumlahnya dan terletak di postero-superior dari perlekatan
konka media. Di bagian terdepan sinus etmoid anterior ada bagian yang
sempit, disebut resesus frontal, yang berhubungan dengan sinus frontal.
Sel etmoid yang terbesar disebut bula etmoid. Di daerah etmoid anterior
terdapat suatu penyempitan yang disebut infundibulum, tempat
bermuaranya ostium sinus maksila. Pembengkakan atau peradangan di
resesus frontal dapat menyebabkan sinusitis frontal dan pembengkakan di
infundibulum dapat menyebabkan sinusitis maksila. Atap sinus etmoid
yang disebut fovea etmoidalis berbatasan dengan lamina kribosa. Dinding
lateral sinus adalah lamina papirasea yang sangat tipis dan membatasi
sinus etmoid dari rongga orbita. Di bagian belakang sinus etmoid posterior
berbatasan dengan sinus sfenoid.
Sinus sfenoid terletak dalam os sfenoid di belakang sinus etmoid
posterior. Sinus sfenoid dibagi dua oleh sekat yang disebut septum
intersfenoid. Ukurannya adalah 2 cm tingginya, dalamnya 2,3 cm dan
lebarnya 1,7 cm. Volumenya bervariasi dari 5-7,5 ml. Saat sinus
berkembang, pembuluh darah dan nervus di bagian lateral os sfenoid akan
menjadi sangat berdekatan dengan rongga sinus dan tampak sebagai
indentasi pada dinding sinus etmoid. Batas-batasnya ialah, sebelah

122 | 2nd World Head & Neck Cancer Day


Karsinoma Sinonasal

superior terdapat fossa serebri media dan kelenjar hipofisa, sebelah


inferiornya atap nasofaring, sebelah lateral berbatasan dengan sinus
kavernosus dan a.karotis interna (sering tampak sebagai indentasi) dan di
sebelah posteriornya berbatasan dengan fossa serebri posterior di daerah
pons.
Kompleks Ostio-Meatal. Di meatus medius, ada muara-muara
saluran dari sinus maksila, sinus frontal dan sinus etmoid anterior. Daerah
ini rumit dan sempit dan dinamakan kompleks ostio-meatal (KOM), terdiri
dari infundibulum etmoid yang terdapat di belakang prosesus unsinatus,
resesus frontalis, bula etmoid dan sel-sel etmoid anterior dengan
ostiumnya dan ostium sinus maksila.
Fungsi Sinus Paranasal. Sampai saat ini belum ada kesesuaian
pendapat mengenai fisiologi sinus paranasal. Beberapa pendapat:
a. Sebagai pengatur kondisi udara (air conditioning)
Sinus berfungsi sebagai ruang tambahan untuk memanaskan dan
mengatur kelembaban udara inspirasi. Keberatan terhadap teori ini
ialah karena ternyata tidak didapati pertukaran udara yang definitif
antara sinus dan rongga hidung. Lagipula mukosa sinus tidak
mempunyai vaskularisasi dan kelenjar yang sebanyak mukosa hidung.
b. Sebagai penahan suhu (termal insulators)
Sinus paranasal berfungsi sebagai penahan (buffer) panas, melindungi
orbita dan fossa serebri dari suhu rongga hidung yang berubah-ubah.
c. Membantu keseimbangan kepala
Bila udara dalam sinus diganti dengan tulang, hanya memberikan
pertambahan berat sebesar 1% dari berat kepala, sehingga teori
dianggap tidak bermakna.
d. Membantu resonansi suara
Akan tetapi ada yang berpendapat, posisi sinus dan ostiumnya tidak
memungkinkan sinus berfungsi sebagai resonator yang efektif. Lagipula
tidak ada korelasi antara resonansi suara dan besarnya sinus pada
hewan-hewan tingkat rendah.
e. Sebagai peredam perubahan tekanan udara
Misalnya pada waktu bersin atau membuang ingus.

Early Diagnosis and Current Treatment Paradigm in Head and Neck Surgery | 123
dr. Nur Akbar Aroeman, Sp.THT-KL(K)

f. Membantu produksi mucus


Jumlahnya kecil dibandingkan dengan mucus dari rongga hidung,
namun efektif untuk membersihkan partikel yang turut masuk dengan
udara inspirasi karena mucus ini keluar dari meatus medius, tempat
yang paling strategis.

Etiologi
Perubahan dari sel normal menjadi sel kanker dipengaruhi oleh banyak
faktor (multifaktor) dan bersifat individual atau tidak sama pada setiap
orang. Faktor-faktor yang dapat meningkatkan resiko terjadinya tumor
sinonasal antara lain :
1. Penggunaan tembakau. Penggunaan tembakau (termasuk di dalamnya
adalah rokok, cerutu, rokok pipa, mengunyah tembakau, menghirup
tembakau) adalah faktor resiko terbesar penyebab kanker pada kepala
dan leher.
2. Alkohol. Peminum alkohol berat dengan frekuensi rutin merupakan
faktor resiko kanker kepala dan leher.
3. Inhalan spesifik. Menghirup substansi tertentu, terutama pada
lingkungan kerja, mungkin dapat meningkatkan resiko terjadinya
kanker kavum nasi dan sinus paranasal, termasuk diantaranya adalah:
a. Debu yang berasal dari industri kayu, tekstil, pengolahan
kulit/kulitsintetis, dan tepung.
b. Debu logam berat: kromium, asbesc.
c. Uap isoprofil alkohol, pembuatan lem, formaldehyde, radium.
d. Uap pelarut yang digunakan dalam memproduksi furniture dan
sepatu.
4. Sinar ionisasi: Sinar radiasi; Sinar UV
5. Virus: Virus HPV, Virus Epstein-barr
6. Usia penyakit keganasan ini lebih sering didapatkan pada usia antara 45
tahun hingga 85 tahun.
7. Jenis Kelamin Keganasan pada kavum nasi dan sinus paranasalis
ditemukan dua kali lebih sering pada pria dibandingkan pada wanita.

124 | 2nd World Head & Neck Cancer Day


Karsinoma Sinonasal

Efek paparan ini mulai timbul setelah 40 tahun atau lebih sejak
pertama kali terpapar dan menetap setelahnya. Paparan terhadap
thorotrast, agen kontras radioaktif juga menjadi factor resiko tambahan.

Patofisiologi
Perubahan dari sel normal menjadi sel kanker dipengaruhi oleh multifaktor
seperti yang sudah dipaparkan diatas dan bersifat individual. Faktor resiko
terjadinya tumor sinonasal semisal bahan karsinogen seperti bahan kimia
inhalan, debu industri, sinar ionisasi dan lainnya dapat menimbulkan
kerusakan ataupun mutasi pada gen yang mengatur pertumbuhan tubuh
yaitu gen proliferasi dan diferensiasi. Dalam proses diferensiasi ada dua
kelompok gen yang memegang peranan penting, yaitu gen yang memacu
diferensiasi (proto-onkogen) dan yang menghambat diferensiasi (anti-
onkogen). Untuk terjadinya transformasi dari satu sel normal menjadi sel
kanker oleh karsinogen harus melalui beberapa fase yaitu fase inisiasi dan
fase promosi serta progresi. Pada fase inisiasi terjadi perubahan dalam
bahan genetik sel yang memancing sel menjadi gana sakibat suatu
onkogen, sedangkan pada fase promosi sel yang telah mengalami inisiasi
akan berubah menjadi ganas akibat terjadinya kerusakan gen. Sel yang
tidak melewati tahap inisiasi tidak akan terpengaruh promosi sehingga
tidak berubah menjadi sel kanker. Inisiasi dan promosi dapat dilakukan
oleh karsinogen yang sama atau diperlukan karsinogen yang berbeda.
Sejak terjadinya kontak dengan karsinogen hingga timbulnya sel
kanker memerlukan waktu induksi yang cukup lama yaitu sekitar 15-
30tahun. Pada fase induksi ini belum timbu kanker namun telah terdapat
perubahan pada sel seperti displasia. Fase selanjutnya adalah fase in situ
dimana pada fase ini kanker mulai timbul namun pertumbuhannya masih
terbatas jaringan tempat asalnya tumbuh dan belum menembus membran
basalis. Fase in situ ini berlangsung sekitar 5-10 tahun. Sel kanker yang
bertumbuh ini nantinya akan menembus membran basalis dan masuk ke
jaringan atau organ sekitarnya yang berdekatan atau disebut juga dengan
fase invasif yang berlangsung sekitar 1-5 tahun. Pada fase diseminasi
(penyebaran) sel-sel kanker menyebar ke organ lain seperti kelenjar limfe
regional dan atau ke organ-organ jauh dalam kurun waktu 1-5 tahun.

Early Diagnosis and Current Treatment Paradigm in Head and Neck Surgery | 125
dr. Nur Akbar Aroeman, Sp.THT-KL(K)

Sel-sel kanker ini akan tumbuh terus tanpa batas


sehinggamenimbulkan kelainan dan gangguan. Sel kanker ini akan
mendesak (ekspansi) ke sel-sel normal sekitarnya, mengadakan infiltrasi,
invasi, serta metastasis bila tidak didiagnosis sejak dini dan di berikan
terapi.

Manifestasi Klinis
Gejala tergantung dari asal primer tumor serta arah perluasannya. Tumor
di sinus maksila biasanya tanpa gejala. Gejala timbul setelah tumor besar,
mendorong atau menembus dinding tulang meluas ke rongga hidung,
rongga mulut, pipi atau orbita. Tergantung dari perluasan tumor, gelaja
dikategorikan sebagai berikut :
1. Gejala nasal. Obstruksi hidung unilateral dan rinore. Sekretnya sering
bercampur darah atau terjadi epistaksis. Tumor yang besar dapat
mendesak tulang hidung sehingga terjadi deformitas hidung. Khas pada
tumor ganas ingusnya berbau karena mengandung jaringan nekrotik.
2. Gejala orbita. Perluasan tumor ke arah orbita menimbulkan gejala
diplopia, proptosis atau penonjolan bola mata, oftalmoplegia,
gangguan visus dan epifora.
3. Gejala oral. Perluasan tumor ke rongga mulut menyebabkan
penonjolan atau ulkus di palatum atau di prosesus alveolaris. Pasien
mengeluh gigi palsunya tidak pas atau gigi geligi goyang. Seringkali
pasien datang ke dokter gigi karena nyeri di gigi, tapi tidak sembuh
meskipun gigi yang sakit telah dicabut.
4. Gejala fasial. Perluasan kedepan akan menyebabkan penonjolan pipi.
Disertai nyeri, anestesi atau parestesia muka jika mengenai nervus
trigeminus.
5. Gejala intracranial. Perluasan tumor ke intracranial menyebabkan sakit
kepala hebat oftalmoplegia dan gangguan visus. Dapat disertai likuorea,
yaitu cairan otak yang keluar melalui hidung. Jika perluasan sampai di
fossa kranii media maka saraf cranial lainnya juga terkena. Jika tumor
meluas ke belakang, terjadi trismus akibat terkenanya muskulus
pterigoideus disertai anetesia dan parestesi daerah yang di persyarafi

126 | 2nd World Head & Neck Cancer Day


Karsinoma Sinonasal

nervus maksilaris dan mandibularis. Saat pasien berobat biasanya


tumor sudah dalam fase lanjut. Hal lain yang juga dapat menyebabkan
diagnosis terlambat adalah karena gejala dininya mirip dengan rhinitis
atau sinusitis kronis sehingga sering di abaikan pasien maupun dokter.

Diagnosis
Diagnosis pasti ditegakkan berdasarkan pemeriksaan histopatologi. Jika
tumor tampak dirongga hidung atau rongga mulut, maka biopsi mudah dan
harus segera dilakukan. Biopsi tumor sinus maksila, dapat dilakukan
melalui tindakan sinoskopi atau melalui operasi Caldwel-Luc yang insisinya
melalui sulkus ginggivo-bukal. Jika dicurigai tumor vaskuler, misalnya
angofibroma, jangan lakukan biopsi karena akan sangat sulit menghentikan
perdarahan yang terjadi. Diagnosis adalah dengan angiografi.
Pemeriksaan nasoendoskopi dan sinuskopi dapat membantu
menemukan tumor pada stadium dini. Adanya pembesaran kelenjar leher
juga perlu dicari meskipun tumor ini jarang bermetastasis ke kelenjar leher
1. Pemeriksaan fisik.
Saat memeriksa pasien, pertama- tama perhatikan wajah pasien
apakah terdapat asimetri atau tidak. Selanjutnya periksa dengan
seksama kavum nasi dan nasofaring melalui rinoskopi anterior dan
posterior. Permukaan yang licin merupakan pertanda tumor jinak
sedangkan permukaan yang berbenjol-benjol, rapuh dan mudah
berdarah merupakan pertanda tumor ganas. Jika dinding lateral kavum
nasi terdorong ke medial berarti tumor berada di sinus maksila.
2. Pemeriksaan penunjang
 Radiologi imaging
Radiologic imaging penting untuk menentukan staging. Plain film
menunjukkan destruksi tulang, meskipun demikian pada beberpa
kasus dapat menunjukkan keadaan normal.
 Screening computed tomography (CT) scan lebih akurat daripada
plain film untuk menilai struktur tulang sinus paranasal dan lebih
murah daripada plain film. Pasien beresiko tinggi dengan riwayat
terpapar karsinogen, nyeri persisten yang berat, neuropati kranial,

Early Diagnosis and Current Treatment Paradigm in Head and Neck Surgery | 127
dr. Nur Akbar Aroeman, Sp.THT-KL(K)

eksoftalmus, kemosis, penyakit sinonasal dan dengan gejala


persisten setelah pengobatan medis yang adekuat seharusnya
dilakukan pemeriksaan dengan CT scan axial dan coronal dengan
kontras atau magnetic resonance imaging (MRI). CT scanning
merupakan pemeriksaan superior untuk menilai batas tulang
traktus sinonasal dan dasar tulang tengkorak. Penggunaan kontras
dilakukan untuk menilai tumor, vaskularisasi dan hubungannya
dengan arteri carotis.
 MRI dipergunakan untuk membedakan sekitar tumor dengan soft
tissue, membedakan sekresi di dalam nasal yang tersumbat dari
space occupying lesion, menunjukkan penyebaran perineural,
membuktikan keunggulan imaging pada sagital plane, dan tidak
melibatkan paparan terhadap radiasi ionisasi. Coronal MRI image
terdepan untuk mengevaluai foramen rotundum, vidian canal,
foramen ovale dan optic canal. Sagital image berguna untuk
menunjukkan replacement signal berintensitas rendah yang normal
dari Meckel cave signal berintensitas tinggi dari lemak di dalam
pterygopalatine fossa oleh signal tumor yang mirip dengan otak.
 Positron emission tomography (PET) sering digunakan untuk
keganasan kepala dan leher untuk staging dan surveillance.
Kombinasi PET/CT scan ditambah dengan anatomic detail
membantu perencanaan pembedahan dengan cara melihat luasnya
tumor. Meskipun PET ini banyak membantu dalam menilai
keganasan kepala dan leher tetapi sangat sediki kegunaannya untuk
menilai keganasan pada nasal dan sinus paranasal.
 Angiography dengan carotid-flow study digunakan untuk penderita
yang akan menjalani operasi dengan tumor yang telah mengelilingi
arteri karotid. Tes balloon exclusion digunakan dengan single-
photon emission CT (SPECT), xenon CT scan atau trnascranial
Doppler, dianjurkan apabila diduga terjadi resiko infark otak iskemik
jika areteri karotid internal dikorbankan. Tes ini tidak dapat
memprediksi iskemik pada area marginal (watershed) atau
fenomena embolik

128 | 2nd World Head & Neck Cancer Day


Karsinoma Sinonasal

 CT scan dada dan abdomen direkomendasikan untuk pasien dengan


tumor yang bermetastasis secara hematogen, seperti sarkoma,
melanoma dan karsinoma kistik adenoid. Penilaian metastasis
penting jika reseksi luas dipertimbangkan untuk dilakukan. Lumbar
dan brain puncture serta spine imaging direkomendasikan jika
tumor telah menginvasi meningen atau otak.

Penatalaksanaan
Pasien dengan kanker sinus paranasal biasanya dirawat oleh timspesialis
menggunakan pendekatan holistik multidisiplin ilmu. Setiap pasien
menerima rencana pengobatan yang disesuaikan untuk memenuhi
kebutuhannya. Pilihan pengobatan utama untuk tumor sinus paranasal
meliputi :
1. Pembedahan
Terapi bedah yang dilakukan biasanya adalah terapi kuratif dengan reseksi
bedah. Pengobatan terapi bedah ini umumnya berdasarkan staging dari
masing-masing tumor. Secara umum, terapi bedah dilakukan pada lesi
jinak atau lesi dini (T1-T2). Terkadang, pembedahan dengan margin/batas
yang luas tidak dapat dilakukan karena dekatnya lokasi tumor dengan
struktur-struktur penting padadaerah kepala, serta batas tumor yang tidak
jelas. Radiasi post operatif sangat dianjurkan untuk mengurangi insiden
kekambuhan lokal. Pada beberapa kasus eksisi paliatif ataupun debulking
perlu dilakukan untuk mengurangi nyeri yang hebat, ataupun untuk
membebaskan dekompresi saraf optik dan rongga orbita, serta untuk
drainase sinus paranasalis yang mengalami obstruksi. Jenis reseksi dan
pendekatan bedah yang akan dilakukan bergantung pada ukuran tumor
danletaknya/ekstensinya.
Tumor yang berlokasi di kavum nasi dapat dilakukan berbagai
pendekatan bedah seperti reseksi endoskopi nasal, transnasal, sublabial,
sinus paranasalis, lateral rhinotomy atau kombinasi dari bedah endoskopi
dan bedah terbuka (open surgery). Tumor tahap lanjut mungkin
membutuhkan tindakan eksenterasi orbita, totalataupun parsial
maksilektomi ataupun reseksi anterior cranial base dan kraniotomi.

Early Diagnosis and Current Treatment Paradigm in Head and Neck Surgery | 129
dr. Nur Akbar Aroeman, Sp.THT-KL(K)

Maksilektomi kadang-kadang direkomendasikan untuk tatalaksana kanker


sinus paranasal, dan umumnya dapat menyelamatkan organ vital seperti
mata yang berada dekat dengan kanker sedangkan reseksi kraniofasial
atau skull base surgery sering direkomendasikan untuk keganasan pada
sinus paranasal.
Terapi ini mengharuskan untuk membebaskan beberapa jaringan
tambahan disamping dilakukannya maksilektomi. Kontraindikasi absolut
untuk terapi pembedahan adalah pasiendengan gangguan nutrsi, adanya
metastasis jauh, invasi tumor ganaske fascia prevertebral, ke sinus
kavernosus, dan keterlibatan arterikarotis pada pasien-pasien dengan
resiko tinggi, serta adanya invasi bilateral tumor ke nervus optik dan
chiasma optikum. Keuntungan dari pendekatan bedah endoskopik adalah
mencegah insisi pada daerahwajah, angka morbiditas rendah, dan lamanya
perawatan di rumahsakit lebih singkat. Reseksi luas dari tumor kavum nasi
dan sinus paranasalis dapat menyebabkan kecacatan/kerusakan bentuk
wajah, gangguan berbicara dan kesulitan menelan. Tujuan utama dari
rehabilitasi post pembedahan adalah penyembuhan luka,
penyelamatan/preservasi dan rekonstruksi dari bentuk wajah, restorasi
pemisahan oronasal, hingga memfasilitasi kemampuan berbicara,
menelan, dan pemisahan kavum nasi dan kavum cranii.

2. Radioterapi
Terapi radiasi juga disebut radioterapi kadang-kadang digunakan sendiri
pada stadium I dan II, atau dalam kombinasi dengan operasi dalam setiap
tahap penyakit sebagai adjuvant radioterapi (terapi radiasi yang diberikan
setelah dilakukannya terapi utama seperti pembedahan). Pada tahap awal
kanker sinus paranasal, radioterapi dianggap sebagai terapi lokal alternatif
untuk operasi. Radioterapi melibatkan penggunaan energi tinggi, penetrasi
sinar untuk menghancurkan sel-sel kanker di zona yang akan diobati.
Terapi radiasi juga digunakan untuk terapi paliatif pada pasien dengan
kanker tingkat lanjut. Jenis terapi radiasi yang diberikan dapat berupa
teleterapi (radiasi eksternal) maupun brachyterapi (radiasi internal).

130 | 2nd World Head & Neck Cancer Day


Karsinoma Sinonasal

3. Kemoterapi
Kemoterapi biasanya diperuntukkan untuk terapi tumor stadium
lanjut. Selain terapi lokal, upaya terbaik untuk mengendalikan sel-sel
kanker beredar dalam tubuh adalah dengan menggunakan terapi sistemik
(terapi yang mempengaruhi seluruh tubuh) dalam bentuk suntikan atau
obat oral. Bentuk pengobatan ini disebut kemoterapi dan diberikan dalam
siklus (setiap obat atau kombinasi obat-obatan biasanya diberikan setiap
tiga sampai empat minggu). Tujuan kemoterapi untuk terapi tumor
sinonasal adalah sebagai terapi tambahan (baik sebagai adjuvant maupun
neoadjuvant), kombinasi dengan radioterapi (concomitant), ataupun
sebagai terapi paliatif. Kemoterapi dapat mengurangi rasa nyeri akibat
tumor, mengurangi obstruksi, ataupun untuk debulking pada lesi-lesi
massif eksternal. Pemberian kemoterapi dengan radiasi diberikan pada
pasien- pasien dengan resiko tinggi untuk rekurensi seperti pasien dengan
hasil PA margin tumor positif setelah dilakukan reseksi, penyebaran
perineural,ataupun penyebaran ekstrakapsular pada metastasis regional.

Komplikasi
Komplikasi mengobati keganasan sinus berhubungan dengan pembedahan
dan rekonstruksi. Komplikasi bedah termasuk perdarahan klinis signifikan,
kebocoran LCS, infeksi, anosmia, dysgeusia, dan kerusakan saraf kranial
lainnya.
 Perdarahan
Perdarahan dapat terjadi jika kontrol dari kapal besar yang terlupakan.
Masalah ini dapat terjadi jika arteri pada awalnya di vasospasme dan
jika tidak ada perdarahan aktif dicatat sampai setelah operasi. Arteri
ethmoid dan sphenopalatina anterior dan posterior dapat dibakar,
dipotong, atau diikat untuk mencegah atau mengendalikan perdarahan.
Jika diperlukan, radiologi intervensi dapat diminta untuk membantu
dengan intra-arteri melingkar untuk mengontrol perdarahan.
 Kebocoran CSF
Selama operasi, kebocoran LCS dapat terjadi dekat dasar tengkorak.
Manajemen yang tepat dimulai dengan identifikasi.Gejala mungkin

Early Diagnosis and Current Treatment Paradigm in Head and Neck Surgery | 131
dr. Nur Akbar Aroeman, Sp.THT-KL(K)

termasuk rhinorrhea jelas, rasa asin di mulut, tanda halo, atau tanda
reservoir. Setelah mencatat, identifikasi kebocoran dapat dibuat
endoskopi atau dengan injeksi intratekal dari fluorecin. Tes, seperti tes
untuk tau atau beta transferin, mungkin yang paling spesifik, tapi
mungkin butuh beberapa hari untuk hasil untuk diproses. Manajemen
konservatif dengan istirahat dan menguras lumbal dapat digunakan
untuk 5 hari pertama di samping penempatan pada antibiotik. Jika
resolusi tidak terjadi, intervensi bedah harus digunakan, termasuk
menambal dengan allograft kulit, tulang turbinate, dan mukosa hidung.
Flaps mukosa dapat dinaikkan dan digunakan untuk menutup
kebocoran dengan tulang atau tulang rawan interpositioned. Untuk
kebocoran besar, menguras tulang belakang mungkin diperlukan untuk
memungkinkan cangkok dan teknik penyegelan untuk memperkuat dan
mengintegrasikan.
 Epiphora
Epiphora adalah komplikasi umum dari operasi yang disebabkan oleh
obstruksi pada saluran keluar lacrimalis. Hal ini dapat terjadi karena
kerusakan pada puncta lacrimalis, karung, atau saluran. Perawatan
harus diambil untuk marsupialize duktus lakrimal jika terkoyak atau
rusak dalam operasi untuk mencegah obstruksi. Tindak lanjut
dakriosistorhinostomi endoskopik atau terbuka mungkin diperlukan.
 Diplopia
Diplopia adalah komplikasi yang dikenal dalam setiap operasi yang
melibatkan kerucut orbital. Perbaikan yang tepat dari lantai orbital
adalah kunci untuk mencegah komplikasi ini, tetapi dalam beberapa
kasus itu tidak dapat dihindari bahkan dengan teliti rekonstruksi. Dalam
kasus diplopia, lensa prisma biasanya metode yang paling sederhana
untuk koreksi, sebagai koreksi bedah dengan oftalmologi dapat rumit
oleh jaringan parut dari operasi sebelumnya dan pengobatan radiasi.
Konsultasi Oftalmologi adalah standar perawatan.
 Rekonstruksi
Dalam kasus yang ideal, rekonstruksi mempertahankan bentuk dan
fungsi. Sebuah flap rektus bebas atau jaringan lain yang jauh mungkin

132 | 2nd World Head & Neck Cancer Day


Karsinoma Sinonasal

diperlukan untuk melindungi struktur vital, atau prostetik wajah dapat


digunakan. Prostesis wajah dapat ditawarkan untuk meningkatkan hasil
kosmetik, tetapi pemeliharaan teliti dari prostesis oleh tim dan pasien
adalah keharusan. Pengrusakan wajah adalah salah satu keprihatinan
pasien yang paling penting dan dapat menyebabkan stres sosial dan
psikologis yang cukup besar. Hasil ini harus ditangani pada awalnya dan
secara berkelanjutan.

Prognosis
Tingkat ketahanan hidup bagi pasien dengan rata-rata kanker sinus
maksilaris sekitar 40% selama 5 tahun. Tahap awal tumor memiliki angka
kesembuhan hingga 80%. Pasien dengan tumor dioperasi diobati dengan
radiasi memiliki tingkat kelangsungan hidup kurang dari 20%. Tingkat
ketahanan hidup untuk tumor ethmoid telah sedikit meningkat karena
kemajuan di tengkorak-basis operasi.

DAFTAR PUSTAKA
1. Arsyad efiaty dkk, 2007, Buku Ajar Ilmu Kesehatan Telinga Hidung
Tenggorokan Kepala & Leher: edisi 6, Jakarta : Fakultas Kedokteran
Universitas Indonesia
2. L . Adams, George, MD et all. BOEIS Buku Ajar Penyakit THT : edisi 6,
Jakarta : Penerbit Buku Kedokteran
3. Tumor Sinonasal , diunduh dari http://emedicine.medscape.com/
article/847189 overview#showall
4. Malignant Tumor of the Nasal Cavity, diunduh http://emedicine.
medscape.com/article/846995-overview#showall
5. L Smith, Stacey et all, Sinonasal Teratocarcinosarcoma of the Head and
Neck arch Otolaringol Head Neck Surg,2008 ; 134 (6):592-595, diunduh
dari http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pubmed/
6. Vivanco blanca et all, Benign Lesions in Mucosa Adjacent to Intestinal-
Type Sinonasal Adenocarcinoma, diunduh dari http://www.ncbi.
nlm.nih.gov/pubmed/ 16
7. Kazi Shameemus et all, Clinicopathological study of sinonasal
malignancy, Bangladesh J. Otorhinolaryngol 2009; 15(2): 55-59.

Early Diagnosis and Current Treatment Paradigm in Head and Neck Surgery | 133
dr. Nur Akbar Aroeman, Sp.THT-KL(K)

Diunduh dari : http://www.banglajol.info/index.php/BJO/article/view/


5058
8. Paranasal Sinus Cancer Gale Encyclopedia of Cancer | 2002 | Slomski,
Genevieve | 700+word diunduh dari : http://www.encyclopedia.com/
doc/ 1G2-3405200357.html

134 | 2nd World Head & Neck Cancer Day


KEMOTERAPI PADA KANKER
KEPALA DAN LEHER
Amaylia Oehadian

Divisi Hematologi Onkologi Medik,


SMF Ilmu Penyakit Dalam RSUP Hasan Sadikin Bandung

Pendahuluan
Terapi definitif lokal (operasi dan atau radioterapi) merupakan komponen
kunci terapi inisial pada kanker kepala dan leher sel skuamosa lokal lanjut(
stadium III/IV) tetapi berhubungan dengan tingginya rekuren lokoregional
dan metastase. Terapi juga dapat menimbulkan morbiditas , terutama
hilangnya fungsi menelan dan fungsi laring. Sebagai usaha untuk
meningkatkan keberhasilan terapi dan mempertahankan fungsi,
kemoterapi diintegrasikan dalam pendekatan multimodal. Pendekatan ini
diterapkan pada penderita dengan kanker yang tidak dapat direseksi atau
pada penderita yang dapat direseksi tetapi memilih tehnik preservasi
organ.1 ( Bruce B)
Pendekatan terapi kombinasi ( operasi, radioterapi dan /atau
kemoterapi ) pada umumnya diperlukan untuk kontrol penyakit jangka
panjang dengan optimal padakanker kepala dan leher lokoregional
2
lanjut. ( Pignon) . Keputusan tentang sekuen terapi yang optimal dan
pilihan operasi, radioterapi dan atau kemoterapi memerlukan pendapat
multidisiplin. Faktor-faktor kunci yang perlu dipertimbangkan adalah :
lokasi tumor primer, ekstensi penyakit , faktor individual pasien ( umur,
komorbiditas, pilihan terapi ) dan kemungkinan konsekuensi fungsional
dan morbiditas terapi. Pemilihan terapi juga harus mempertimbangkan
3
pengalaman dan teknologi yang tersedia di institusi kesehatan. (Bruce
uptodate)
Kemoterapi termasuk terapi sistemik . Terapi sistemik lainnya
adalah pemberian antibodi . Pada makalah ini akan dibahas jenis terapi

135
Amaylia Oehadian

kombinasi, dasar pemikiran, indikasi, jenis obat kemoterapi , efek samping


dan hasil-hasil penelitian terbaru tentang kemoterapi pada kanker kepala
dan leher.

Jenis terapi kombinasi


Terapi kombinasi untuk preservasi organ telah diteliti pada penderita
kanker kepala dan leher lokal lanjut sebagai tambahan radioterapi. Terapi
kombinasi tersebut adalah :
 Kemoterapi induksi (neoajuvan) : kemoterapi sebelum operasi
3
dan/atau radioterapi.
 Kemoradioterapi konkuren
Kemoterapi diberikan pada saat yang bersamaan dengan radioterapi.
Kombinasi terapi ini meliputi variasi jadwal. Terapi target terbaru dapat
3
juga dikombinasikan dengan radioterapi konkuren.
 Kemoradioterapi sekuensial
3
Kombinasi induksi kemoterapi diikuti kemoradioterapi konkuren.
(Bruce)

Dasar pemikiran
Manfaat kunci mengintegrasikan kemoterapi dengan radioterapi dalam
preservasi fungsi organ adalah :
 Kemoterapi induksi sebelum kemoterapi dapat mengurangi volume
tumor dan memperbaiki fungsi sebelum kemoradioterapi konkuren. Hal
ini memungkinkan terapi lokal yang lebih efektif dengan toksisitas yang
3
lebih sedikit..
 Kemoterapi induksi dapat meningkatkan kontrol lokoregional dan
3
preservasi organ.
 Pemberian kemoterapi konkuren dengan radioterapi dapat
meningkatkan sensitivitas sel tumor terhadap radioterapi sehingga
mengatasi resisten terhadap radiasi. Berkurangnya repppopulasi
antasa fraksi radioterapi juga berperan dalam manfaat konkuren
3
kemoterapi.

136 | 2nd World Head & Neck Cancer Day


Kemoterapi pada Kanker Kepala dan Leher

 Kemoterapi induksi dapat memberikan informasi prognostik untuk


3
memilih intensitas kemoradioterapi.
 Terapi sekuensial , kombinasi terapi induksi diikuti kemoradioterapi
konkuren dapat memberikan kombinasi manfaat kemoterapi induksi
3
dan kemoradioterapi konkuren.

Kemoradioterapi konkuren merupakan terapi terpilih karena


kemoterapi induksi sebelum radioterapi dapat meningkatkan toksisitas .
Hal ini selanjutnya akan mengurangi kepatuhan penderita dan akan
menghambat selesainya terapi lokal definitif. Penggunaan kemoterapi
induksi, baik sendiri atau diikuti kemoradioterapi konkuren dapat
menginduksi cross-resistance terhadap radioterapi atau kemoradioterapi
3
selanjutnya. ( Bruce)

Indikasi
Terapi kombinasi diindikasikan pada kanker kepala dan leher :
 Stadium lanjut ( stadium III, IVA dan IV B)
Kemoterapi diberikan sebagai bagian terapi multimodal, pada umunya
3
dengan radioterapi. (Bruce uptodate)
 Metastase
Kemoterapi paliatif dan/atau terapi suportif merupakan pilihan pada
banyak pasien dengan rekuren lokal metastase yang tidak dapat
diberikan terapi definitif , juga bagi pasien yang mengalami metastase
3
jauh dan tersebar. (Bruce uptodate)

Prinsip terapi sistemik


Prinsip terapi sistemik berdasarkan panduan NCCN ( National Cancer
4
Comprehensive Network ) tahun 2016 . Pemilihan terapi sistemik harus
individual berdasarkan karakteristik pasien ( status performan , tujuan
terapi :
 Kemoradiasi standar untuk pasien keganasan kepala dan leher stadium
lanjut dengan kondisi baik adalah konkuren cisplatin dengan
4
radioterapi.

Early Diagnosis and Current Treatment Paradigm in Head and Neck Surgery | 137
Amaylia Oehadian

 Kemoterapi induksi berbasis cisplatin dapat digunakan, diikuti dengan


radioterapi untuk terapi lokoregional (sekuensial kemoradioterapi).
Meskipun demikian, perbaikan kelangsungan hidup dengan sekuensial
kemoradioterapi dibandingkan konkuren kemoradioterapi belum
4
terbukti.
 Kemoterapi induksi dengan cisplatin diikuti kemoradioterapi dengan
2
cisplatin dosis tinggi ( 100 mg/m setiap 3 minggu ) tidak
4
direkomendasikan karena pertimbangan toksisitas.
 Setelah kemoterapi induksi, terdapat beberapa pilihan terapi yaitu :
4
- Radioterapi.
4
- Radioterapi dengan carboplatin setiap minggu atau cetuximab.

Rekomendasi terapi berdasarkan lokasi tumor :


1. Bibir, rongga mulut, orofaring, hipofaring, glotis laring, supraglotis
laring, sinus etmoid, sinus maksilaris :
 Terapi sistemik primer dan radioterapi konkuren. :
4

o Cisplatin dosis tinggi ( kategori 1)


o Cetuximab ( kategori 1)
o Carboplatin dan infus 5- fluorourasil ( kategori 1)
o 5-fluorourasil dan hidroksiurea (kategori 2A)
o Cisplatin dan paclitaxel (kategori 2A)
o Cisplatin dan infus 5- fluorourasil (kategori 2A)
o Carboplatin dan paclitaxel ( kategori 2B)
o Cisplatin 40 mg/m2 setiap minggu ( kategori 2B)
 Kemoradiasi pasca operasi.
4

o Cisplatin ( kategori 1 untuk kanker non-orofaringeal dengan


risiko tinggi)
 Kemoterapi induksi/ sekuensial. :
4

o Docetaxel , cisplatin,5-fluorouracil ( kategori 1 untuk induksi)


o Paclitaxel, cisplatin, 5-fluorouracil (kategori 2A)
o Setelah kemoterapi induksi, pilihan untuk kemoradioterapi
konkuren adalah carboplatin atau cetuximab setiap minggu
(kategori 2A)

138 | 2nd World Head & Neck Cancer Day


Kemoterapi pada Kanker Kepala dan Leher

2. Nasofaring
 Kemoradiasi diikuti kemoterapi ajuvan. :
4

Cisplatin + radioterapi diikuti cisplatin dan infus 5- fluorourasil atau


Carboplatin dan infus 5- fluorourasil (kategori 2B untuk carboplatin)
Cisplatin + radioterapi tanpa diikuti kemoterapi ajuvan ( kategori
2B)
 Kemoterapi induksi ( kategori 3) atau kemoterapi sekuensial. :
4

o Docetaxel, cisplatin, 5-fluorouracil (kategori 2A)


o Docetaxel, cisplatin (kategori 2B)
o Cisplatin dan infus 5- fluorourasil (kategori 2A)
o Cisplatin, epirubicin, paclitaxel (kategori 2A)
o Setelah kemoterapi induksi, pilihan untuk kemoradioterapi
konkuren adalah cisplatin setiap minggu atau carboplatin
(kategori 2A)

Rekomendasi terapi NCCN 2016 untuk kanker yang rekuren, tidak dapat
4
direseksi atau metastase. :
4
1. Terapi kombinasi.
 Cisplatin atau carboplatin + 5-FU + cetuximab (non-nasofaring)
(kategori 1)
 Cisplatin atau carboplatin + docetaxel atau paclitaxel (kategori 2A)
 Cisplatin/cetuximab ( non-nasofaring) (kategori 2A)
 Cisplatin + 5-FU (kategori 2A)
 Cisplatin+ docetaxel + cetuximab ( non-nasofaring) (kategori 2A)
 Cisplatin+ paclitaxel + cetuximab ( non-nasofaring)(kategori 2A)
 Carboplatin/cetuximab (nasofaring) (kategori 2A)
 Cisplatin + gemcitabine (nasofaring) (kategori 2A)
 Gemcitabine + vinorelbine (nasofaring)(kategori 2A)

4
2. Terapi tunggal.
 Cisplatin (kategori 2A)
 Carboplatin (kategori 2A)
 Paclitaxel (kategori 2A)

Early Diagnosis and Current Treatment Paradigm in Head and Neck Surgery | 139
Amaylia Oehadian

 Docetaxel (kategori 2A)


 5-FU (kategori 2A)
 Methotrexate (kategori 2A)
 Cetuximab ( non-nasofaring ) (kategori 2A)
 Gemcitabine (nasofaring) (kategori 2A)
 Capecitabine (kategori 2A)
 Vinorelbine ( non-nasofaring ) (kategori 2A)
 Afatinib ( non-nasofaring , terapi lini kedua) ( kategori 2B)

Penelitian-penelitian tentang kemoterapi untuk kepala dan leher


 The Meta-Analysis of Chemotherapy on Head and Neck Cancer (MACH-
2
NC).
Penelitian ini diupdate tahun 2009 , merupakan data dari 93 penelitian
dengan total 16.485 pasien dengan kanker kepala dan leher yang
2
resektabel dan tidak resektabe. l (Pignon JP)
Pada penelitian ini penderita dirandomisasi menjadi :
- Terapi lokoregional saja (operasi dan atau radioterapi)
- Terapi definitif lokoregioanl dengan kombinasi kemoterapi ( induksi,
konkuren atau ajuvan)
Penelitian ini meliputi pasien dengan kanker rongga mulut,
orofaring, hipofaring dan laring. Primary endpoint adalah
kelangsungan hidup.

Hasil metaanalisis :
o Kemoterapi konkuren
Kemoterapi konkuren dianalisa pada 50 penelitian yang meliputi
9605 pasien dengan pemantauan selama 5,6 tahun, Kemoterapi
konkuren secara signifikan menurunkan kematian dibandingkan
dengan terapi lokal saja alone (hazard ratio [HR] 0.81, 95% CI 0.78-
0.86). Hal ini berhubungan dengan penurunanmortalitas absolut
2
sebesar 6,5% pada 5 tahun.
- Manfaat berhubungan dengan kematian yang berhubungan
dengan kanker dan tidak didapatkan peningkatan kematian
bukan karena kanker pada kemoterapi konkuren

140 | 2nd World Head & Neck Cancer Day


Kemoterapi pada Kanker Kepala dan Leher

- Tidak terdapat perbedaan yang signifikan antara jadwal


radioterapi ( 1 kali sehari atau fraksinasi)
- Terdapat pengurangan manfaat secara signifikan dari
kemoterapi konkurean dengan peningkatan usia. Tidak
didapatkan manfaat pada penderita di atas usia 70 tahun

o Kemoterapi induksi
Pada 31 penelitian dengan 5311 pasien , tidak terdapat perbaikan
kelangsungan hidup yang signifikan dari kemoterapi induksi
dibandingkan dengan operasi dan atau radioterapi saja (HR 0.96,
95% CI 0.90-1.02) . Ketika analisa didasarkan pada regimen
kemoterapi induksi , kelangsungan hidup dengan cisplatin-5FU lebih
baik secara signifikan dibandingkan operasi dan/atau radioterapi
saja (HR 0.90, 95% CI 0.82-0.99); tidak ada perbedaan untuk
2
regimen lain atau kemoterapi tunggal.

o Kemoradioterapi konkuren dibangdingkan kemoterapi induksi


Hanya 6 penelitian, dengan 861 pasien yang membandingkan
kemoradioterapi konkuren dengan berbagai regimen kemoterapi
induksi yang diikuti terapi lokoregional. Tidak terdapat perbaikan
kelangsungan hidup yang signifikan dari terapi konkuren
dibandingkan terapi induksi (HR 0.90, p = 0.15). Analisis sekunder
menunjukkan bahwa kemoradioterapi konkuren lebih efektif dala
mencegah kegagalan lokoregional sedangkan kemoterapi induksi
2
memberikan efek yang relative lebih besar pada metastase jauh.

o Kemoterapi ajuvan
Pada 6 penelitian dengan 2567 pasien yang menilai manfaat
kemoterapi ajuvan, tidak didapatkan perbaikan kelangungan hidup
2
dibandingan terapi defenitif lokal saja (HR 1.06, 95% CI 0.95-1.16).

 Kemoterapi paliatif merupakan standar terapi untuk KNF metastasis


dan rekuren, namun tidak ada penelitian acak yang membandingkan

Early Diagnosis and Current Treatment Paradigm in Head and Neck Surgery | 141
Amaylia Oehadian

beberapa regimen dengan best supportive care. Pada penelitian


metaanalisis yang dilakukan Lee dan Kwong 2013, regimen yang dipakai
pada KNF metastasis dan rekuren terbagi atas monoterapi, kemoterapi
doublet dan polikemoterapi. Obat kemoterapi tunggal yang sering
dipakai adalah metokstreksae, bleomisin, 5-FU, epidoxorubisin,
mitoxantrone dan golongan platinum menghasilkan respons sekitar 15-
30%. Efikasi obat baru seperti gemsitabine, irinotekan, paklitaksel,
kapesitabin dan dosetaksel memberikan respons 24-48% dengan PFS
antara 4-14 bulan. Bahkan dosetaksel sebagai obat tunggal
5
memberikan respons 37% dengan median PFS 5 bulan. (Lee)

 Pada penelitian klinis, pemberian kemoterapi doublet dengan obat


dasar platinum memberikan respons 20-76%. Terapi kombinasi
2
platinum dan 5-FU dengan cisplatin 100 mg/m hari pertama dan 5-FU
2
1000 mg/m selama 3 sampai 5 hari memberikan overall respons rate
(ORR) 66-78% dengan median OS 12-14 bulan. Profil toksisitas regimen
ini cukup baik hanya imunosupresi dan neuropati perifer ringan, namun
cisplatin-induced nephrotoxicity dan ototoxicity tetap harus
diperhatikan terutama pada pasien yang telah mendapat kemoradiasi
dengan cisplatin sebelumnya. Umumnya carboplatin dapat digunakan
sebagai pengganti cisplatin, pada penelitian non inferiority didapatkan
tidak ada perbedaan DFS 3 tahun dan OS 3 tahun baik pada kelompok
6
cisplatin maupun carboplatin. Berbeda dengan penelitian sebelumnya
6
yang mendapatkan cisplatin lebih superior dalam DFS dan OS. Obat
lain yang digunakan pada platinum based ini adalah gemsitabin,
5
kapesitabin, oksaliplatin dan taksan.
Penggunaan polikemoterapi tidak lebih superior dibandingkan
kemoterapi doublet. Beberapa penelitian penggunaan polikemoterapi
menunjukkan respons rate yang lebih besar namun juga treatment-
related toxicities yang lebih tinggi. Tidak ada penelitian yang
membandingkan dengan standar kemoterapi doublet cisplatin-5FU.
Penelitian CAPABLE yang terdiri dari cisplatin, metokstreksat,
bleomisin, siklofosfamid dan doksorubisin menghasilkan respons 80%

142 | 2nd World Head & Neck Cancer Day


Kemoterapi pada Kanker Kepala dan Leher

namun angka kematian yang berhubungan dengan terapi 12%.


Penelitian fase II lain menggunakan 5-FU, mitomisin, epirubicin dan
cisplatin memberikan respons 52% dengan kematian 9%. Regimen
cisplatin, dosetaksel dan 5-FU memberikan respons 72,5% dengan
5
respon komplit 9,8%.

Seleksi pasien
Kombinasi kemoterapi dan radioterapi definitif digunakan pada pasien
dengan tumor yang resektabel dan tidak resektabel.Definisi resektable dan
tidak resektabel bervariasi di antara praktisi kesehatan. Sebagian besar
pasien dengan tumor yang resektabel dapat diterapi dengan non surgikal
3
untuk preservasi fungsi dan anatomi organ.
 Untuk penderita dengan tumor resektabel, kemoraditerpi konkuren
dengan /tanpa kemoterapi induksi merupakan terapi yang berguna
3
untuk preservasi fungsi organ.
 Pada tumor yang tidak resektabel, penambahan kemoterapi pada
radioterapi atau (pada pasien yang bukan kandidat terapi multimodal)
radioterapi saja merupakan terapi terpilih. Pada keadaan ini terapi
dapat memberikan manfaat bebas penyakit dan preservasi fungsi
organ. Pada beberapa kasus dengan penyakit persisten setelah
3
kemoteradioterapi, dapat dilanjutkan dengan operasi salvage.
 Kemoterapi induksi dan atau kemoradioterapi konkuren untuk kenker
kepala dan leher lokal lanjut berhubungan dengan toksisitas yang
signifikan yang dapat menyebabkan keterlambatan atau interupsiterapi
. Pemilihan pasien yang tepat merupakan hal yang penting untuk
keberhasilan selesainya terapi. Status performans , usia, dukungan
psikososial merupakan faktor-faktor yang penting dan harus
3
dipertimbangkan sebelum memberikan terapi multimodal. (Bruce)

Faktor-faktor penting yang harus diperhatikan adalah :


 Sebagian besar penelitian merekrut pasien dengan komorbiditas
3
minimal dan status performan yang baik (ECOG 0 dan 1).
 Pasien dengan usia tua di atas 70 tahun hanya sedikit mendapat
manfaat dari penambahan kemoterapi terhadap terapi definitif

Early Diagnosis and Current Treatment Paradigm in Head and Neck Surgery | 143
Amaylia Oehadian

lokoregional. Terdapat saran bahwa pada usia di atas 80 tahun ,


penambahan kemoterapi dapat membahayakan. Usia saja bukan
merupakan kriteria untuk pemilihan terapi ; komorbiditas dan status
performas merupakan hal yang penting dipertimbangan terutama pada
3
usia lanjut.
 Pasien dengan status performan buruk atau dengan komorbiditas
signifikan paling baik diterapi dengan radioterapi definitive saja atau
3
laringektomi untuk kanker laring.

Toksisitas obat kemoterapi yang sering digunakan


 Cisplatin.
7

- Insufisiensi renal
Insidensi 5% dengan hidrasi adekuat dan 25-45% tanpa hidrasi
- Neuropati perifer sensorik
2
Terjadi setelah pemberian 200mg/m dan dosis kumulatif melebihi
2
400 mg/m
- Ototoksisitas
Tinitus dan kehilangan pendengaran pada frekwensi tinggi
didapatkan pada 5 % pasien. Biasanya terjadi pada dosis > 100
2
mg/m dengan infusan cepat atau dosis kumulatif tinggi
- Mual dan muntah berat
- Hipokalemia
- Hipomagnesemia
- Mielosupresi ringan
- Anoreksia
- Rasa metalik

 5-FU.
7

- Mielosupresi
- Pigmentasi pada tempat infus
- Disfungsi serebelar , somnolen, konfusi atau kejang ( pada 1 %
pasien)
- Esofagitis

144 | 2nd World Head & Neck Cancer Day


Kemoterapi pada Kanker Kepala dan Leher

- Hand-foot syndrome
- Iskemi miokardial
- Tromboflebitis
- Mual dan muntah

 Paclitaxel.
7

- Neutropenia
- Hipersensitivitas (3%)
- Neuropati perifer
- Trombositopenia
- Mual dan muntah
- Mukositis
- Defek Konduksi atrioventrikular
- Takhikardi ventrikel

 Docetaxel.
7

- Mielosupresi
- Retensi cairan
- Rash maculopapular
- Kulit kering dan gatal
- Perubahan warna kuku
- Mukositis
- Diare
- Hipersensitivitas
- Neuropati perifer

Ringkasan
Penderita kanker kelapa dan leher stadium lanjut lokal dan metastase
memerlukan terapi kombinasi radioterapi dan kemoterapi untuk
mengurangi risiko residif lokal dan metastase.Keputusan tentang sekuen
terapi yang optimal dan pilihan operasi, radioterapi dan atau kemoterapi
memerlukan pendapat multidisiplin. Faktor-faktor kunci yang perlu
dipertimbangkan adalah : lokasi tumor primer, ekstensi penyakit , faktor

Early Diagnosis and Current Treatment Paradigm in Head and Neck Surgery | 145
Amaylia Oehadian

individual pasien ( umur, komorbiditas, pilihan terapi ) dan kemungkinan


konsekuensi fungsional dan morbiditas terapi. Kemoradiasi standar untuk
pasien keganasan kepala dan leher stadium lanjut dengan kondisi baik
adalah konkuren cisplatin dengan radioterapi.

Referensi
1. Brockstein BE, Vokes EE, Eisbruch A. Locally advanced squamous cell
carcinoma of the head and neck: Approaches combining chemotherapy
and radiation therapy, May 2016, [cited 7 June 2016] , available from:
www.uptodate.com.
2. Pignon JP, le Maître A, Maillard E, et al. Meta-analysis of chemotherapy
in head and neck cancer (MACH-NC): an update on 93 randomised trials
and 17,346 patients. Radiother Oncol 2009; 92:4.
3. Brockstein BE,Stenson KM, Song S. Overview of treatment for head
and neck cancer, May 2016 [cited 7 June 2016] , available from:
www.uptodate.com.
4. NCCN Guidelines version 1.2016 Head and Neck Cancers
5. Lee VHF dan Kwong DLW. Palliative Chemotherapy and Targeted
Therapy for Recurrent and Metastatic Nasopharyngeal Carcinoma:
Reminiscences and the Future. Hong Kong J Radiol 2013;16:252-60.
6. Chitapanarux I., Lorvidhaya V., Kamnerdsupaphon P., Sumitsawan Y.,
Tharavichitkul E., Sukthomya V., et al. Chemoradiation comparing
Cisplatin versus Carboplatin in Locally Advanced Nasopharyngeal
cancer: randomized, non inferiority, open trial. Eur J Cancer
2007;43:1399-406.
7. Casciato DA. Cancer chemotherapeutic agents, in Casciato DA, Territo
th
MC, eds. Manual of Clinical Oncology 6 Ed, Philadelphia : Wolters
Kluwer Lippincott Williams and Wilkins, 2009, p 46-99.

146 | 2nd World Head & Neck Cancer Day


TUMOR MATA DAN ORBITA
Ratika, Puti Ayu Tiara, Sonie Umbara, Lenora Sandra, Grace F. Sulaeman,
Angga Kartiwa, Shanti Boesoirie, M. Rinaldi Dahlan, Kautsar Boesoirie

1. Meningioma
Meningioma merupakan tumor jinak yang berasal dari bagian terluar dari
sel epitel meningen arakhnoid. Tumor ini biasanya berasal dari tulang
sphenoid dan menyebabkan permasalahan oftalmologi akibat meluasnya
masa tumor hingga menekan jaringan apeks orbita, kranium ataupun fossa
temporalis, bahkan dapat menyebabkan terjadinya hiperostosis pada
bagian posterior dari dinding orbita. Meningioma merupakan salah satu
jenis tumor intrakranial yang meliputi 18- 20% dari seluruh tumor
intrakranial. Pada tahun 2004 hingga 2007, lebih dari 60.000 wanita
dewasa didiagnosis meningioma, tumor ini merupakan tumor tersering ke
6 di Amerika dengan insidensi 2 kasus per 100.000 orang. Perbandingan
antara wanita dengan pria adalah 2:1. Sekitar 40% dari total meningioma
terjadi pada bagian anterior skull base pada bagian parasellar, dan
1,2,3
sphenoid wing meningioma dengan ekstensi orbital jarang terjadi.
Gejala klinis antara lain penurunan tajam penglihatan, penglihatan
ganda, proptosis, abnormalitas pupil, kelainan fundus berupa atrofi saraf
optik akibat kompresi saraf optik, sakit kepala, kejang, dan
hemiparese.Terdapat beberapa faktor resiko terjadinya meningioma
seperti usia, jenis kelamin, paparan radiasi, paparan hormon, kelainan
genetika, riwayat merokok, riwayat trauma kepala. Faktor yang diduga
merupakan penyebab terutama dari meningioma, yaitu radiasi ion dan
hormon. Radiasi ion meningkatkan resiko terjadinya tumor intrakranial dan
meningkatkan resiko meningioma, lesi yang disebabkan oleh radiasi bisa
merupakan lesi multiple dengan rekurensi tinggi. Beberapa penelitian
menemukan bahwa terdapat hubungan antara hormon dengan
meningioma karena terdapat reseptor estrogen dan progesteron pada sel
tumor meningioma dan ditemukan hubungan antara hormon eksogen dan

147
Ratika, Puti Ayu Tiara, Sonie Umbara, Lenora Sandra, Grace F. Sulaeman,
Angga Kartiwa, Shanti Boesoirie, M. Rinaldi Dahlan, Kautsar Boesoirie

endogen yang meningkatkan resiko terjadinya meningioma. Beberapa


penelitian menjelaskan bahwa terdapat perubahan ukuran meningioma
pada siklus menstruasi, kehamilan dan menopause. Penelitian–penelitian
tersebut menjelaskan bahwa wanita lebih sering terpapar hormon eksogen
2-7
yang terdapat pada kontrasepsi hormonal dan terapi pengganti hormon.

2. Limfoma Maligna
Limfoma maligna merupakan kelainan myeloproliferatif yang dapat
bermanifestasi pada mata. Limfoma maligna terdiri dari limfoma Hodgkin
dan non Hodgkin. Insidensi hodgkin lymphoma Amerika Serikat adalah 2-3
kasus per 100000 penduduk dan non Hodgkin limfoma 3-4 %. Limfoma
yang paling banyak bermanifestasi pada mata adalah non Hodgkin
limfoma. Salah satu penanganan limfoma maligna adalah pemberian
8,9,10
kemoterapi.
Tujuan dari kemoterapi untuk menghancurkan sel-sel kanker. Obat
kemoterapi pertama yang ditemukan adalah sulfur dan mustar nitrogen
dengan menekan sumsum tulang. Tahun 1950 ditemukan obat yang
bekerja pada DNA (Deoxyribonucleic acid) yaitu metotreksat. Sejak tahun
1970 semakin banyak obat kemoterapi yang bekerja menghambat
11
mitosis.
Limfoma maligna dibagi menjadi Hodgkin dan non Hodgkin.
Limfoma Hodgkin banyak terjadi pada usia 25-30 tahun dan usia lebih dari
50 tahun. Limfoma Non Hodgkin banyak terjadi pada usia lebih dari 60
tahun. Insidensi limfoma Hodgkin tidak dipengaruhi ras tertentu sedangkan
limfoma non Hodgkin lebih banyak ditemukan pada ras kulit putih. Stadium
12,13,14
limfoma dibagi berdasarkan Stadium Ann Arbor.

148 | 2nd World Head & Neck Cancer Day


Tumor Mata dan Orbita

Tabel 2.1 Stadium Ann Arbor

Stadium Kelenjar limfe yang terlibat


I I : Satu daerah kelenjar limfe
IE : satu area ekstralimfatik
II II : Dua atau lebih daerah kelenjar limfe pada sisi
diafragma yang sama
IIE : penyebaran ektrsalimfatik lokal ditambah saru atau
lebih daerah kelenjar limfe pada sisi diafragma yang
sama
III III : Daerah kelenjar limfe pada kedua sisi diafragma
IIIE : Disertai penyebaran ekstralimfatik
IIIS : keterlibatan limpa
IV Keterlibatan difus pada satu atau lebih organ extralimfatik
(sumsum tulang / tulang/ paru-paru)
A Tidak ada gejala kategori B
B Ditemukan 1 atau lebih gejala sebagai berikut :
 Penurunan berat badan >10% selama 6 bulan sebelum
penentuan stadium
 Fever >38° C berulang
 Berkeringat malam berulang
E Ekstra nodal
X Massa besar diameter >10 cm
15
Sumber : Smith

Early Diagnosis and Current Treatment Paradigm in Head and Neck Surgery | 149
Ratika, Puti Ayu Tiara, Sonie Umbara, Lenora Sandra, Grace F. Sulaeman,
Angga Kartiwa, Shanti Boesoirie, M. Rinaldi Dahlan, Kautsar Boesoirie

Axilla dan
pectoral

Epitrochlear
dan brachial

Inguinal dan
femoral

Gambar 2.1 Regio anatomi kelenjar limfe pada stadium limfoma


12
Sumber : Connors

2.1. Limfoma Hodgkin


Limfoma Hodgkin merupakan salah satu dari limfoma B sel dan terdiri dari
2 tipe mayor yaitu tipe klasik dengan sel Reed-Sternberg dan limfoma
Hodgkin nodular predominan limfosit. Penyebab limfoma Hodgkin belum
dapat ditentukan secara pasti. Etiologi diduga berhubungan dengan
Ebstein-Barr Virus (EBV) dan genetik pada beberapa kasus. Sel Reed-
Sternberg pada 50% kasus limfoma Hodgkin ditemukan EBV-encoded small
RNA (EBER). Limfoma Hodgkin lebih banyak ditemukan pada kembar
monozigot dibandingkan dengan kembar dizigot. Limfoma Hodgkin tidak
10,12
dipengaruhi oleh radiasi, kimia, agen biosidal.

150 | 2nd World Head & Neck Cancer Day


Tumor Mata dan Orbita

Gambar 2.2 Histologi limfoma Hodgkin tipe nodular sclerosing.


Terdapat sel lakunar, sel Reed Sternberg, limfosit, dan
eosinofil
12
Sumber : Connors

Gambar 2.3 Sel Reed Sternberg


10
Sumber : Eichenauer

Early Diagnosis and Current Treatment Paradigm in Head and Neck Surgery | 151
Ratika, Puti Ayu Tiara, Sonie Umbara, Lenora Sandra, Grace F. Sulaeman,
Angga Kartiwa, Shanti Boesoirie, M. Rinaldi Dahlan, Kautsar Boesoirie

Tabel 2.2 Subtipe Limfoma Hodgkin berdasarkan klasifikasi the Revised


European-American Lymphoma classification (REAL)

Nodular-sclerosing classic Hodgkin lymphoma


Mixed-cellularity classic Hodgkin lymphoma
Lymphocyte-rich classic Hodgkin lymphoma
Lymphocyte-depleted classic Hodgkin lymphoma
Unclassifiable classic Hodgkin lymphoma
Nodular lymphocyte–predominant Hodgkin lymphoma
10
Sumber : Eichenauer

2.2 Limfoma Non Hodgkin


Sejak 100 tahun lalu pembagian limfoma berdasarkan penemuan sel Reed-
Sternberg pada Limfoma Hodgkin dan limfoma lainnya adalah limfoma
non-Hodgkin. Sistem klasifikasi ini diubah dalam the Revised European-
American Lymphoma classification (REAL) berdasarkan morfologi,
14
imunologi, dan klinis.
Faktor-faktor yang berhubungan dengan limfoma non Hodgkin
kelainan imunitas (X-linked lymphoproliferative disorder, Acquired
immunodeficiency syndrome (AIDS) Rheumatoid arthritis, systemic lupus
erythematosus,Sjögren syndrome , Hashimoto thyroiditis), infeksi (Epstein-
Barr virus, Human T-lymphotropic virus type 1, Human herpesvirus type 8,
Hepatitis C virus, Helicobacter pylori, Borrelia burgdorferi, Chlamydia
psittaci, Campylobacter jejuni), dan lingkungan (herbisida, pelarut organik,
pewarna rambut, sinar ultraviolet, diet, rokok, dan obat-obatan). Pekerja
yang terpapar dengan zat bioaktif bertahun-taun, usia tua dan pasien
dengan penyakit autoimun beresiko terkena limfoma non-Hodgkin.
Saudara kandung dan generasi pertama dari pasien limfoma dan
14
keganasan darah lainnya beresiko tinggi.

152 | 2nd World Head & Neck Cancer Day


Tumor Mata dan Orbita

Tabel 2.3 Klasifikasi Limfoma Non Hodgkin the Revised European-


American Lymphoma classification (REAL)
PRECURSOR LYMPHOID NEOPLASMS
B-lymphoblastic leukemia/lymphoma
T-lymphoblastic leukemia/lymphoma
MATURE B-CELL NEOPLASMS
Chronic lymphocytic leukemia/small lymphocytic lymphoma
B-cell prolymphocytic leukemia
Splenic marginal zone lymphoma
Hairy cell leukemia
Splenic lymphoma/leukemia, unclassifiable
Lymphoplasmacytic lymphoma
Heavy chain diseases
Plasma cell neoplasms
Extranodal marginal zone lymphoma of mucosa-associated lymphoid tissue
(MALT lymphoma)
Nodal marginal zone lymphoma
Follicular lymphoma
Primary cutaneous follicle center lymphoma
Mantle cell lymphoma
Diffuse large B-cell lymphoma, NOS Burkitt lymphoma
B-cell lymphoma, unclassifiable, with features intermediate between diffuse
large B-cell lymphoma and Burkitt lymphoma
B-cell lymphoma, unclassifiable, with features intermediate between diffuse
large B-cell lymphoma and classical Hodgkin lymphoma
MATURE T- AND NK-CELL NEOPLASMS
Adult T-cell leukemia/lymphoma
Extranodal NK/T-cell lymphoma, nasal type
Enteropathy-associated T-cell lymphoma
Hepatosplenic T-cell lymphoma
Subcutaneous panniculitis-like T-cell lymphoma
Mycosis fungoides
Sézary syndrome
Primary cutaneous CD30+ T-cell lymphoproliferative disorders
Peripheral T-cell lymphoma, NOS
Angioimmunoblastic T-cell lymphoma
Anaplastic large cell lymphoma, ALK positive
Anaplastic large cell lymphoma, ALK negative
ALK = anaplastic lymphoma kinase; MALT = mucosa-associated lymphoid tissue;
NK = natural killer; NOS = not otherwise specified
Sumber : Bierman14

Early Diagnosis and Current Treatment Paradigm in Head and Neck Surgery | 153
Ratika, Puti Ayu Tiara, Sonie Umbara, Lenora Sandra, Grace F. Sulaeman,
Angga Kartiwa, Shanti Boesoirie, M. Rinaldi Dahlan, Kautsar Boesoirie

Gambar 2.4 Large cell lymphoma, tanda panah menunjukkan sel


neoplasma
16
Sumber : AAO

Empat tipe limfoma orbita yang paling umum berdasarkan


klasifikasi REAL antara lain limfoma Mucosa-associated lymphoid tissue
(MALT), Chronic lymphocytic lymphoma (CLL), Follicular center lymphoma,
dan high-grade lymphoma. Mucosa-associated lymphoid tissue (MALT)
lymphoma merupakan 40%-60% dari limfoma orbita. Lesi MALT 50%
berasal dari traktus gastrointestinal. Antigen seperti Helicobacter
pyloripada limfoma gaster merupakan target terapi.
Limfoma MALT memiliki tingkat keganasan yang rendah namun 50%
pasien mengalami penyebaran sistemik dalam waktu 10 tahun. Remisi
spontan ditemukan pada 5-15% kasus. Transformasi histologi menjadi lesi
yang lebih ganas terjadi pada 15-20%. Tipe kedua juga memiliki tingkat
keganasan rendah adalah chronic lymphocytic lymphoma (CLL).Tipe ketiga
adalah follicular center lymphoma terdiri dari lesi folikular dengan tingkat
keganasan rendah. Tipe keempat yaitu high-grade lymphomas termasuk
9
large cell lymphoma, lymphoblastic lymphoma, dan limfoma Burkitt.

154 | 2nd World Head & Neck Cancer Day


Tumor Mata dan Orbita

Gambar 2.5 Limfoma Mucosa-associated lymphoid tissue (MALT)).


Terdapat sel-sel plasma pada sisi kiri lapang pandang.
17
Sumber : Syed

2.3 Gejala Klinis


Gejala klinis dari limfoma maligna adalah massa yang tidak nyeri dan
progresif. Limfadenopati terutama pada daerah cervical, axilla, atau area
mediastinal. Nodal inferior dari diafragma ditemukan pada 10% pasien.
Pembesaran kelenjar limfe tidak nyeri. Gejala konstitusi ditemukan pada
25% pasien.
Gejala lain yang dapat timbul adalah penurunan berat badan >10%,
keringat malam, demam persisten, batuk yang diakibatkan penekanan
masa di mediastinal, dan nyeri tulang jika mengalami metastase, serta
anemia atau pansitopenia. Massa sering terdapat pada orbita anterior atau
pada konjungtiva yang terlihat sebagai salmon-patch appearance. Limfoma
tingkat keganasan rendah dan hiperplasia limfoid dapat membesar dalam
8,9,10,12
jangka waktu bulan sampai tahun.

Early Diagnosis and Current Treatment Paradigm in Head and Neck Surgery | 155
Ratika, Puti Ayu Tiara, Sonie Umbara, Lenora Sandra, Grace F. Sulaeman,
Angga Kartiwa, Shanti Boesoirie, M. Rinaldi Dahlan, Kautsar Boesoirie

Gambar 2.6 a. Ptosis palpebra superior dan massa yang teraba pada
orbital rim; b. Potongan coronal MRI (Magnetic Resonance
Imaging) memperlihatkan pembesaran kelenjar lakrimal
kanan dengan infiltrasi jaringan orbita anterior; c.
Potongan axial MRI menunjukkan massa di sekitar orbita;
d. Biopsi insisi memperlihatkan limfoma orbita infiltrasi
kelenjar lakrimal.
9
Sumber :AAO

156 | 2nd World Head & Neck Cancer Day


Tumor Mata dan Orbita

Gambar 2.7 Salmon patch appearance


17
Sumber : Syed

2.4 Pemeriksaan Penunjang


Pemeriksaan radiologi menunjukan massa di orbita. Lesi orbita 50%
terdapat pada fossa lakrimal. Lesi orbita bilateral terjadi pada 17%
9,10,12
kasus.
Biopsi dan pewarnaan histokimia diperlukan untuk menegakkan
diagnosis dan menentukan jenis histologi. Fine-needle aspiration biopsy
(FNAB) tidak adekuat untuk menegakkan diagnosis karena tidak dapat
menentukan karakteristik morfologi. Diagnosis klasik limfoma Hodgkin
adalah ditemukannya sel Reed-Sternberg pada pemeriksaan kelenjar limfe
12
atau organ ekstralimfatik.

2.5 Terapi
Terapi limfoma berupa kemoterapi dan radioterapi. Radioterapi
merupakan pilihan terapi pada pasien dengan kelainan okular yang
terlokalisir. Dosis radioterapi yang biasa digunakan adalah 2000- 3000 cGy.
9,12
Regimen kemoterapi dibedakan berdasarkan jenis dan stadium.

Early Diagnosis and Current Treatment Paradigm in Head and Neck Surgery | 157
Ratika, Puti Ayu Tiara, Sonie Umbara, Lenora Sandra, Grace F. Sulaeman,
Angga Kartiwa, Shanti Boesoirie, M. Rinaldi Dahlan, Kautsar Boesoirie

Diagnosis dan penentuan jenis serta stadium yang tepat dari


limfoma menentukan rencana terapi yang akan dipilih. Prinsip pemilihan
kombinasi obat yang tepat berdasarkan efikasi, toksisitas, jadwal
pemberian yang tepat, dan interaksi obat. Terapi kombinasi perlu diberikan
karena sulit menentukan obat tunggal yang paling efektif, meningkatkan
respons awal yang lebih baik, dan dapat menimbulkan efek sinergis serta
meningkatkan aktivitas total obat. Terapi kombinasi dapat mengurangi
resiko toksisitas obat karena dosis yang diberikan masing-masing obat
15,18,19
lebih kecil.
Efek samping kemoterapi dapat diatasi dengan pemberian terapi
suportif seperti pemberian medikamentosa dan pemberian growth factor
untuk menstimulasi produksi sel darah merah dan neutrofil. Efek samping
obat bervariasi seperti neuropati (vincristine), cardiotoksik (doxorubicin),
hiperglikemia (prednisone), dan supresi T cell dengan reaktivasi viral
15
(fludarabine).

Tabel 3.1 Terapi limfoma Hodgkin berdasarkan stadium

Stadium Terapi
IA atau IIA, tanpa massa diameter ABVD × 4 siklus (jika setelah siklus
≥ 10 cm ke-2 terjadi perbaikan) atau ABVD
× 2 + radioterapi
IB, IIB, II, IV, atau massa diameter ABVD sampai 2 siklus setelah
≥ 10 cm pada semua stadium terjadi perbaikan (minumun 6
siklus, maksimum 8 siklus) atau
ditambahkan BEACOPP
ABVD (Adriamycin [doxorubicin], bleomycin, vinblastine, and dacarbazine);
cBEACOPP (bleomycin, etoposide, Adriamycin [doxorubicin], cyclophosphamide,
vincristine, procarbazine, and prednisone)
12
Sumber : Connors

158 | 2nd World Head & Neck Cancer Day


Tumor Mata dan Orbita

Tabel 3.2 Regimen ABVD (Siklus 29 hari)


2
Obat Dosis (mg/m ) Rute Jadwal
Adriamycin 25 IV Hari 1 + 15
(doxorubicin)
Bleomycin 10 IV Hari 1 + 15
Vinblastine 6 IV Hari 1 + 15
Dacarbazine 375 IV Hari 1 + 15
10
Sumber : Eichenauer

Tabel 3.3 Regimen BEACOPP (Siklus 22 hari)


2
Obat Dosis (mg/m ) Rute Jadwal
Bleomycin 10 IV Hari 8
Etoposide 200 IV 1-3
Doxorubicin 35 IV 1
Siklofosfamid 1250 IV 1
Vincristine 1,4 (max 2 mg) IV 8
Procarbazine 100 Per oral 1-7
Prednisone 40 Per oral 1-14
G-CSF (granulocyte- Subcutane Dari hari ke
colony stimulating ous 8
factor)
10
Sumber : Eichenauer

Early Diagnosis and Current Treatment Paradigm in Head and Neck Surgery | 159
Ratika, Puti Ayu Tiara, Sonie Umbara, Lenora Sandra, Grace F. Sulaeman,
Angga Kartiwa, Shanti Boesoirie, M. Rinaldi Dahlan, Kautsar Boesoirie

Tabel 3.4 Regimen terapi Limfoma Non Hodgkin


2
Regimen Dosis (mg/m ) Rute Jadwal Siklus (hari)
R-CHOP 21
Siklofosfamid 750 IV 1
Doxorubicin 50 IV 1
Vincristine 1,4 (max total Infus IV 1
2mg)
Prednisone 100 mg Per oral 1-5
(dosis tetap)
Rituximab 375 IV 1
R-EPOCH 21
Etoposide 50 Infus IV 1-4
Doxorubicin 10 Infus IV 1-4
Vincristine 0,4 (max total Infus IV 1-4
2mg)
Siklofosfamid 750 IV 5
Prednisone 60 Bid, Per oral 1-5
Rituximab 375 IV 1
R-CVP 21
Siklofosfamid 1000 IV 1
Vincristine 1,4 (max total Infus IV 1
2mg)
Prednisone 100 mg Per oral 1-5
(dosis tetap)
Rituximab 375 IV 1
FCR 28
Fludarabine 25 IV 1-3
Siklofosfamid 250 IV 1-3
Rituximab 375 IV 1
B-R 28
Bendamustine 90 IV 1-2
Rituximab 375 IV 1
14
Sumber : Bierman

160 | 2nd World Head & Neck Cancer Day


Tumor Mata dan Orbita

3. Retinoblastoma
Retinoblastoma merupakan tumor ganas primer intraokular yang paling
sering terjadi pada anak-anak, yaitu 1 dari 14.000-20.000 angka kelahiran
hidup (di Amerika Serikat). Menurut Riskesdas tahun 2013, di Indonesia
kanker pada anak berupa retinoblastoma dijumpai sebanyak 5,3%.
Beberapa gejala dan tanda klinis yang paling sering ditemukan pada
retinoblastoma adalah leukokoria (refleks pupil berwarna putih),
strabismus, mata merah dan nyeri, yang jarang ditemukan yaitu tajam
penglihatan yang menurun, asimptomatis, selulitis orbita, midriasis
20,21,22
unilateral, heterokromia iris, serta hifema.
Sistem klasifikasi yang ideal untuk retinoblastoma mencakup dua
komponen yaitu pengelompokan (grouping) dan staging. Sistem
pengelompokan (grouping) merupakan sebuah sistem klinis yang
menentukan prognosis dari organ mata yang terkena, sedangkan sistem
staging menentukan prognosis harapan hidup pasien. Sistem klasifikasi
internasional retinoblastoma, mencakup grup A yaitu tumor kecil, ukuran
≤ 3mm terbatas di retina,; grup B yaitu tumor besar, ukuran >3mm
terbatas di retina; grup C yaitu tumor dengan vitreous dan atau subretinal
seeding yang terlokalisir (< 6mm dari batas tumor); group D yaitu dengan
vitreous dan atau subretinal seeding yang difus (≥ 6 mm dari batas tumor);
grup E yaitu tanpa ada potensi penglihatan, atau terdapat satu atau lebih
dari keadaan berikut yaitu tumor di dalam segmen anterior mata, tumor di
dalam atau di atas dari korpus siliaris, glaukoma neovaskular, perdarahan
vitreus menutupi tumor dengan hifema, mata ptisis atau pre-ptisis 1,8,9.
Diagnosa retinoblastoma ditegakkan dengan pemeriksaan fuduskopi
dengan keadaan anestesi (Examination under anesthesia / EUA) 11.
Pemeriksaan penunjang berupa ultrasonografi B-scan dapat
membantu menegakkan diagnosis, yaitu terdapat kalsifikasi dalam tumor.
Gambaran kalsifikasi juga dapat terlihat juga pada CT Scan dan MRI. CT
scan dan MRI umumnya dilakukan ketika ada kecurigaan eksstensi tumor
20,22,23,24
ekstraokular atau intrakranial.
Retinoblastoma dapat bermetastasis dan menimbulkan kematian
pada 50% anak-anak di seluruh dunia, namun hanya kurang dari 5% di

Early Diagnosis and Current Treatment Paradigm in Head and Neck Surgery | 161
Ratika, Puti Ayu Tiara, Sonie Umbara, Lenora Sandra, Grace F. Sulaeman,
Angga Kartiwa, Shanti Boesoirie, M. Rinaldi Dahlan, Kautsar Boesoirie

Amerika Serikat dan negara maju yang lain. Perkembangan terapi medis
diharapkan dapat mengurangi angka kematian akibat retinoblastoma.
Terapi enukleasi dan external beam radiotherapy, pada kasus
retinoblastoma minimal dan sedang, sudah sangat jarang dilakukan di
negara maju dan beralih ke kemoterapi diikuti dengan terapi fokal.
Tindakan enukleasi dilakukan pada kasus retinoblastoma lanjut. Sari
20-23
kepustakaan ini akan membahas penatalaksaan dari retinoblastoma.
Tujuan paling utama dalam penatalaksanaan retinoblastoma adalah
menyelamatkan nyawa pasien, tujuan sekunder berupa menyelamatkan
organ (mata), dan terakhir tujuan tersier yaitu menyelamatkan fungsi
penglihatan pasien. Penatalaksanaan retinoblastoma membutuhkan
kerjasama tim multidisiplin yang mencakup dokter mata-onkologi, dokter
anak-onkologi, dokter radiologi-onkologi, ahli genetik, ahli patologi
anatomi, ahli gizi dan psikolog. Penatalaksanaan retinoblastoma telah
berubah dalam beberapa tahun terakhir dan terus berkembang. Beberapa
pilihan terapi untuk retinoblastoma berupa fokal (cryotherapy, laser
photocoagulation, transpupillary thermotherapy, transcleral
thermotherapy, plaque brachytherapy), lokal (external beam radiotherapy,
enukleasi), dan sistemik (kemoterapi). Terapi fokal ditujukan terutama
untuk tumor ukuran kecil, sedangkan terapi lokal dan sistemik adalah
20,24,25
untuk retinoblastoma tahap sedang hingga lanjut.

3.1. Terapi Fokal


3.1.1 Terapi cryo
Terapi cryo pada retinoblastoma umumnya menggunakan teknik triple-
freeze-thaw dan ditujukan pada lesi yang terlokalisir, di tepi atau dekat
dengan ora serata. Dilakukan dalam EUA, probe diletakkan pada sklera
yang terdekat dari tumor menggunakan gas beku. Tindakan ini
26,27
menghancurkan tumor dan meninggalkan skar berpigmen yang flat.

162 | 2nd World Head & Neck Cancer Day


Tumor Mata dan Orbita

28
Gambar 3.1. Cryoterapi pada retinoblastoma

3.1.2 Fotokoagulasi laser


Terapi fotokoagulasi laser menggunakan gas argon dan xenon ditujukan
pada lesi ukuran kecil dan terletak di posterior ekuator. Tindakan ini
dilakukan dalam EUA, diberikan sinar dengan kekuatan tinggi melalui pupil
yang dilatasi atau melalui dinding bola mata langsung ke massa dan
jaringan sekitarnya. Proses pembakaran dari laser merusak aliran darah ke
tumor dan menyebabkan tumor menyusut. Beberapa tahun terakhir,
terapi ini telah digantikan oleh termoterapi transpupil di beberapa pusat
26,27
kesehatan.

Gambar 3.2 Retinoblastoma; A) Sebelum terapi, B) Setelah terapi laser


20
dan kemoreduksi

3.1.3 Termoterapi
Teknik yang paling popular beberapa tahun terakhir ini yaitu TTT
(transpupillary thermotherapy), digunakan sebagai terapi utama pada lesi
ukuran kecil, namun lebih sering digunakan sebagai terapi konsolidasi

Early Diagnosis and Current Treatment Paradigm in Head and Neck Surgery | 163
Ratika, Puti Ayu Tiara, Sonie Umbara, Lenora Sandra, Grace F. Sulaeman,
Angga Kartiwa, Shanti Boesoirie, M. Rinaldi Dahlan, Kautsar Boesoirie

setelah penanganan tumor dengan kemoreduksi, plaque radiotherapy,


26,27,28
atau dengan metode lain.

3.1.4 Plaque brachytherapy


Metode ini merupakan metode yang efektif untuk pelengkap atau sebagai
terapi konsolidasi dari kemoreduksi dan untuk menangani kasus tumor
rekuren akibat kegagalan dari terapi kemoreduksi, termoterapi, atau terapi
cryo. Metode ini digunakan pada tumor ukuran sedang dan terlokalisir.
7,9,10

Prosedur memerlukan dua kali tindakan operasi, pada tahap


pertama memasukkan plaque ke mata dan diletakkan selama tiga sampai
tujuh hari, setelah itu dilakukan tindakan operasi kedua untuk mengangkat
26,29
plaque.

6
Gambar 3.3 Posisi plaque pada tindakan brachytherapy

3.2. Terapi lokal


3.2.1 External Beam Radiotherapy (EBRT)
Terapi ini merupakan terapi alternatif utama selain enukleasi untuk
menyelamatkan mata yang terkena retinoblastoma pada pertengahan

164 | 2nd World Head & Neck Cancer Day


Tumor Mata dan Orbita

tahun 1990-an. Pengobatan ini dilakukan seperti mengambil foto x-ray,


namun pasien harus diam lebih lama. Sebuah mesin besar yang dinamakan
akselerator linear mengarahkan radiasi tepat di area yang membutuhkan.
Pengobatan ini diberikan dalam dosis yang diukur dalam satuan yang
disebut centigrays (cGy). Tindakan sedasi atau anastesi dibutukan
tergantung umur dari pasien. Peningkatan insidensi tumor sekunder,
khususnya di dalam area radiasi, serta masalah kosmetik (daerah wajah)
diperkirakan merupakan komplikasi terapi EBRT. Metode EBRT digunakan
26,29
untuk kasus retinoblastoma sedang hingga lanjut.

3.2.2 Enukleasi
Pada kebanyakan kasus, enukleasi masih menjadi terapi definitif yang
tersedia untuk retinoblastoma. Tindakan ini tepat untuk tumor yang
melibatkan lebih dari 50% dari bola mata, kecurigaan adanya keterlibatan
orbita dan nervus opticus, keterlibatan dari anterior segmen, terdapat
neovaskular glaukoma, dan adanya potensi keterbatasan visual pada mata
yang terkena. Pada kasus retinoblastoma bilateral, satu mata selalu lebih
berat dibandingkan mata yang lainnya, enukleasi dilakukan pada mata
yang lebih berat. Enukleasi bilateral hanya dilakukan jika fungsi penglihatan
kedua mata tidak bisa diselamatkan atau tindakan seperti kemoterapi dan
20,22,30
radiasi tidak dapat dilakukan.
Pada saat dilakukan tindakan enukleasi harus diusahakan untuk
memotong nervus optikus sejauh-jauhnya dari bola mata dan diperiksa
secara histopatologi. Infiltrasi samapi ke distal dari saraf menunjukkan
adanya penyebaran ke intra cranial. Permukaan luar dari bola mata yang di
enukleasi diamati dengan teliti untuk membuktikan adanya penyebaran ke
20,26
bagian sklera.

3.3. Terapi sistemik (kemoterapi)


Kemoterapi pada umumnya dilakukan pada kasus tumor yang meluas ke
koroid, segmen anterior mata, nervus optikus, atau ke orbita. Terapi ini
sering dikombinasikan dengan metode lain seperti EBRT. Sejak awal tahun
1990-an, kemoterapi dalam bentuk kemoreduksi (CRD) diperkenalkan.

Early Diagnosis and Current Treatment Paradigm in Head and Neck Surgery | 165
Ratika, Puti Ayu Tiara, Sonie Umbara, Lenora Sandra, Grace F. Sulaeman,
Angga Kartiwa, Shanti Boesoirie, M. Rinaldi Dahlan, Kautsar Boesoirie

Prinsip CRD yaitu menggunakan obat-obatan kemoterapi sebagai terapi


inisial dengan tujuan mengurangi ukuran tumor sehingga memungkinkan
dilakukannya metode konservatif lebih definitif pada tahap terapi
selanjutnya, selain metode enukleasi. CRD telah menjadi bagian dari terapi
atau tata laksana terkini retinoblastoma intraokular. Obat CRD yang
digunakan yaitu vinkristin, etoposid, dan karboplatin dalam regimen dosis
sebagai berikut : hari 1 adalah vinkristin + etoposid + karboplatin; hari 2
hanya etoposide; dengan dosis standar (tiap 3 minggu, 6 siklus) berupa
vinkristin 1.5 mg/m2 (0.05 mg/kg untuk anak usia < 36 bulan dengan dosis
maksimum < 2mg), etoposide 150 mg/m2 (5 mg/kg untuk anak usia < 36
bulan), serta karboplatin 560 mg/m2 (18.6 mg/kg untuk anak usia < 36
bulan). Dosis tinggi (tiap 3 minggu, 6-12 siklus) yaitu vinkristin 0.025 mg/kg,
20,26,31
etoposid 12 mg/kg, karboplatin 28 mg/kg.
CRD memberikan hasil yang memuaskan pada kasus
retinoblastoma, dimana pada klasifikasi Reese Ellsworth grup I-IV serta
pada klasifikasi ICRB grup A-C, angka kesembuhan berupa globe salvage
setelah CRD dan diikuti terapi konsolidasi fokal mencapai 90-100%. Shields
dkk. mencatat bahwa angka kegagalan CRD hanya 10%, yaitu CRD
dilanjutkan dengan tindakan EBRT serta 15% CRD dilanjutkan dengan
enukleasi. Pasien dengan retinoblastoma klasifikasi Reese Ellsworth grup V
membutuhkan external beam radiotherapy sebanyak 47% dan enukleasi
20,28,32
pada 53% dalam jangka 5 tahun pasca CRD.
Efek samping dari obat-obatan CRD harus diperhatikan, dapat
berupa depresi sumsum tulang, episode demam, neurotoksik, dan
toksisitas sistem pencernaan yang tidak khas. Tindakan kemoterapi
sebaiknya dilakukan di bawah pengawasan dokter anak-onkologi yang
29,32
berpengalaman.

166 | 2nd World Head & Neck Cancer Day


Tumor Mata dan Orbita

Gambar 3.4 Retinoblastoma; A) Sebelum kemoterapi, B)Pengurangan


20
tumor setelah 2 siklus kemoterapi

4. Melanoma Koroid
Insiden melanoma koroid primer yaitu 6 kasus per 1 juta populasi per
tahun di Amerika dan 7,5 kasus per 1 Juta populasi per tahun di Denmark.
Melanoma koroid sering terjadi pada laki-laki pada seluruh usia, sedangkan
sering terjadi pada wanita pada rentang usia 20 sampai 39 tahun.
Penegakan diagnosis melanoma koroid berdasarkan pengalaman klinis
dokter dan pemeriksaan penunjang yang canggih seperti oftalmoskopi
indirek, ultrasonografi A dan B-Scan dan Fundus Fluorescein Angiography
(FFA). Pemilihan penatalaksanaan melanoma koroid harus
mempertimbangkan beberapa faktor seperti ketajaman penglihatan pada
mata yang sakit maupun mata yang tidak sakit, ukuran tumor, lokasi,
33,34,35
struktur mata yang terlibat, dan ada atau tidaknya metastasis.

Gambar 4.1. Foto Fundus

Early Diagnosis and Current Treatment Paradigm in Head and Neck Surgery | 167
Ratika, Puti Ayu Tiara, Sonie Umbara, Lenora Sandra, Grace F. Sulaeman,
Angga Kartiwa, Shanti Boesoirie, M. Rinaldi Dahlan, Kautsar Boesoirie

Melanoma koroid merupakan salah satu melanoma uvea yang


paling sering terjadi yaitu 90%. Telah dilaporkan insiden penyakit ini 5 – 7
per 1 Juta populasi pertahun. Salah satu faktor resiko yaitu paparan sinar
UV tetapi mekanisme belum jelas. Beberapa sumber mengatakan resiko
rendah pada melanoma koroid dan badan siliar yang berhubungan denga
33,36,37
nevus pada traktus uvea.
Anamnesis pada kasus melanoma koroid dikatakan sering bersifat
asimptomatik (30%) tergantung dari besar dan lokasi tumor serta biasanya
tumor ditemukan dengan pemeriksaan oftalmologi rutin. Keluhan yang
dirasakan yaitu gangguaan penglihatan, photopsia, dan gangguan lapangan
pandang. Penurunan tajam penglhatan biasanya disebabkan oleh tumor yang
meluas ke fovea, ablasio retina eksudatif yang melibatkan macula, atau kontak
tumor terhadap lensa. Gejala nyeri biasanya tidak ada kecuali ada proses
inflamasi, ekstensi ektraokular yang luas, atau glaucoma neovaskular. Pasien
pada kasus ini hanya memiliki keluhan buram atau turunnya tajam
33,38
penglihatan. Kelainan nevus pada tempat lain juga tidak ada.
Pemeriksaan oftalmoskopi indirek merupakan pemeriksaan yang
sangat penting dalam penegakan diagnosis melanoma koroid yaitu 95%
dari kasus. Melanoma koroid biasanya berbentuk suatu masa subretinal
seperti jamur atau dome-shaped atau collar button-shaped. Pertumbuhan
tumor dapat menyebabkan retinal detachment sekunder sehingga
hilangnya penglihatan atau ruptur membrane bruch sehingga
menghasilkan gambaran seperti jamur. Warna melanoma koroid dapat
coklat sampai tidak berwarna atau amelanotic. Kelainan lainnya yang dapat
ditemukan yaitu pigmen orange yang merupakan berasal dari lipofusin
pada lapisan epitel pigmen retina. Injeksi episkleral dapat ditemukan jika
33,38,39
melanoma sudah meluas ke badan siliar.
Pemeriksaan USG juga merupakan pemeriksaan tambahan dalam
penegakan diagnosis. Melanoma koroid pada A-Scan memiliki nilai echo
yang medium sampai rendah.
Melanoma koroid memiliki 3 tanda klasik pada pemeriksaan USG B-
Scan yaitu adanya zona silent acoustic, ekskavasi koroid, dan bayangan
orbita. Melanoma koroid yang ketebalannya lebih dari 3 mm pemeriksaa
33,39,40
USG dapat menegakan diagnosis sebesar 95%.

168 | 2nd World Head & Neck Cancer Day


Tumor Mata dan Orbita

Pemeriksaan penunjang lainnya seperti Fluorescein angiography


memiliki keterbatasan dalam penegakan diagnosis melanoma koroid.
Tumor dengan ukuran yang besar menunjukkan beberapa karakteristik
tetapi tidak patognomonis. Melanoma yang besar memilikin sirkulasi
intrinsik atau double, kebocoran hebat dari flouresen, endapan yang
lambat pada lesi, dan banyaknya lokasi kebocoran (pin point/hot spots)
pada lapisan epitrl pigmen retina Optical coherence tomography (OCT)
pada melanoma akan menunjukan adanya ablasio retina seous, keadaaan
retina yang normal, skotoma absolut dan atropi dan penipisan retina, dan
keadaan sel fotoreseptor yang intak. Sel fotoreseptor retina pada
33
melanoma tidak intak sebanyak 50% kasus.
Melanoma uvea diklasifikasikan berdasarkan beberapa kategori
oleh The American Joint Committee on Cancer (AJCC) yaitu berdasarkan
dimensi basal tumor, ketebalan, lokasi pada uvea, perluasan ke
ekstrasklera, dan jenis histopatologi sel. Dalam kategori besarnya tumor
berdasarkan Collaborative Ocular Melanoma Study (COMS) dibagi dalam
kategori kecil yaitu ketebalan puncak 1.0 – 3.0 mm dengan ketebalan dasar
5.0 – 16.0 mm. kategori sedang yaitu ketebalan 3.1 – 8.0 mm dengan
diameter basal tidak lebih dari 16.0 mm. kategori besar yaitu ketebalan
41,42
lebih dari 8.0 mm atau 2.0mm dengan diameter basal lebih dari 16.0 mm.
Pembagian stadium Tumor (T), Nodul (N) dan Metastasis (M) pada
36,41,42
melanoma uvea dilakukan berdasarkan keadaan anatomi.

,41
Tabel 4.1. Stadium Tumor(T) melanoma uvea.

Ketebalan (mm) Diameter basal (mm)


>15 4 4 4 4 4 4 4
12.1-15 3 3 3 3 3 4 4
9.1-12 3 3 3 3 3 3 4
6.1-9 2 2 2 2 3 3 4
3.1-6 1 1 1 2 2 3 4
3 1 1 1 1 2 2 4
3 3.1-6 6.1-9 9.1-12 12.1-15 15.1-18 >18

Early Diagnosis and Current Treatment Paradigm in Head and Neck Surgery | 169
Ratika, Puti Ayu Tiara, Sonie Umbara, Lenora Sandra, Grace F. Sulaeman,
Angga Kartiwa, Shanti Boesoirie, M. Rinaldi Dahlan, Kautsar Boesoirie

Tumor (T) Keterangan


Ta Tanpa keterlibatan badan siliar dan perluasan ekstra
sklera
Tb Dengan keterlibatan badan siliar tetapi tanpa perluasan
ekstra sklera
Tc Tanpa keterlibatan badan siliar dengan perluasan ekstra
sklera 5 mm
Td Dengan keterlibatan badan siliar dengan perluasan ekstra
sklera  5 mm
T4e Seluruh ukuran T dengan perluasan ekstra sklera  5 mm

Pembagian Nodul (N) dari melanoma uvea yaitu Nx (tidak dapat


dinilai), N0 (tidak ada metastasis pada kelenjar limfe) dan N1 (adanya
metastasis pada kelenjar limfe). Pembagian keadaan metastasis (M) yaitu
Mx (tidak dapat dinilai), M0 (tidak ada metastasis jauh) dan M1 (adanya
metastasis jauh) dimana dibagi menjadi M1a (metastasis  3 cm), M1b
(metastasis 3.1-8.0 cm) dan M1c (metastasis  8.0 cm).
41

41
Tabel 4.2. Stadium Melanoma uvea

Stadium T N M
I T1a N0 M0
IIa T1b-d, T2a N0 M0
IIb T2b, T3a N0 M0
IIIa T2c-d, T3b-c, N0 M0
T4a
IIIb T3d, T4b-c N0 M0
IIIc T4d-e N0 M0
IV Semua T N0 M0
Semua T Semua N M1a-c
.
Penatalaksanaan pada melanoma koroid yang kecil yang tidak
memiliki kelainan yang lain dapat diobservasi 2 kali setahun. Tanda-tanda

170 | 2nd World Head & Neck Cancer Day


Tumor Mata dan Orbita

klinis dapat diperiksa setiap 4-6 bulan. Observasi pada melanoma koroid
yang kecil dapat menjadi pilihan tetapi terapi dini dapat dipertimbangkan
karena pertumbuhan tumor terjadi 21% dalam 2 tahun dan 31% dalam 5
38
tahun.
Melanoma koroid yang kecil dengan kelainan pada polus posterior,
sedang dan besar dapat ditatalaksana dengan laser fotokoagulasi, terapi
fotodinamik, plaque brachytherapy, external beam radiation therapy,
transpupillary thermotherapy (TTT), reseksi tumor dan enukleasi. Terapi
diatas merupakan terapi bersifat lokal dalam mempertahankan bola mata
tetapi terapi tersebut tidak menjamin angka survival dan resiko metastasis
33,38
sampai kematian.
Enukleasi merupakan tatalaksana standar sejak tahun 1900 dan
merupakan pilihan terapi pada melanoma koroid yang besar. Enukleasi
juga merupakan terapi yang masih dipilih baik karena besarnya tumor
maupun komplikasi yang terjadi dari metode terapi lainnya. Studi COMS
mengatakan radiasi sebelum enukleasi tidak meningkatkan angka survival
pasien oleh karena itu terapi primer dengan enukleasi merupakan pilihan
33,36,43
pada melanoma yang belum meluas ke ekstraokular.
Plaque brachytherapy merupakan terapi yang paling banyak dipilih
dalam mempertahankan bola mata pada kasus melanoma koroid. Iodine-
125, gold-198, palladium-103 dan proton lainnya digunakan untuk
meregresi secara parsial dan komplit. Rekurensi tumor kemungkinan dapat
terjadi sebanyak 12 %. Iodine-125 merupakan bahan yang secara umum
digunakan saat ini. Persiapan sebelum terapi ini sangat penting seperti
ukuran tumor yang tidak lebih 2mm dari batas plaque untuk menjamin
seluruh tumor terkena. Plaque dipasang selama 3-7 hari di mata
tergantung besar dari tumor dan besar kekuatan radiasi yang diberikan.
Terdapat komplikasi-komplikasi yang dapat terjadi pada terapi ini yaitu
retinopati, katarak, glaucoma, perdarahan viterus maupun kebutaan.
Penetilian COMS mengatakan bahwa melanoma koroid ukuran sedang
tidak memiliki perbedaan secara statistik dari angka rekurensi,
histopatologi, dan resiko metastasis pada pasien yang mendapatkan terapi
brachyterhapy dibandingkan dengan pasien yang menjalankan enukleasi.

Early Diagnosis and Current Treatment Paradigm in Head and Neck Surgery | 171
Ratika, Puti Ayu Tiara, Sonie Umbara, Lenora Sandra, Grace F. Sulaeman,
Angga Kartiwa, Shanti Boesoirie, M. Rinaldi Dahlan, Kautsar Boesoirie

Tajam penglihatan dinilai dapat dipertahankan pada pasien yang


menjalankan brachyterhapy dibandingkan mendapatkan terapi radiasi
33,36,43,44
lainnya.
Prognosis pada melanoma pada pemilihan modalitas yang
bervariasi saat ini dikatakan tidak merubah angka survival selama 30 tahun
belakangan. Angka kumulatif metastasis berdasarkan COMS yaitu 25%
dalam 5 tahun dan 34% dalam 10 tahun. Metastasis dapat terjadi di hati
37
(90%), paru-paru (24%) dan tulang (16%).

5. KARSINOMA SEL SKUAMOSA


Karsinoma Sel Skuamosa (KSS) adalah suatu tumor ganas kulit non
melanotic yang berasal dari pertumbuhan neoplastik sel skuamosa
epidermis . Karsinoma sel skuamosa dibedakan dari neoplasia insitu,
dimana pada karsinoma sudah terjadi invasi melewati lapisan membrana
basal. Insidensi KSS bervariasi berdasarkan geografis, ras, usia dan
kaitannya dengan HIV/AIDS. Secara internasional insidennya bervariasi
secara geografis, antara 0,03-3,5/100.000 penduduk/thn. Individu yang
tinggal dekat garis ekuator cenderung mengalami KSS pada usia yang lebih
muda daripada yang tinggal jauh dari garis ekuator. Karsinoma sel
skuamosa lebih dominan mengenai ras kaukasia. Karsinoma sel skuamosa
konjungtiva lebih sering terjadi pada laki laki (75%) dibandingkan wanita
(25%) dan cenderung mengenai umur yang lebih tua, namun dapat terjadi
pada usia lebih muda pada pasien dengan xeroderma pigmentosum dan
pada daerah tropis. Pasien dengan AIDS mempunyai resiko l3x untuk
45-49
berkembangnya keganasan epitel ini.
Etiologi KSS belum diketahui, namun diduga bahwa terjadi maturasi
abnormal epitel konjungtiva akibat kombinasi dari beberapa faktor resiko ,
seperti :paparan sinar ultra violet yang berlebihan, HPV tipe 16 dan l8,
diketahui dapat menyebabkan dysplasia pada lapisan skuamosa epitel,
individu dengan HIV positive dan pasien dengan Xeroderma Pigmentosum.
Pada xeroderma pigmentosum, terjadi gangguan kongenital dimana terjadi
kegagalan penyembuhan DNA akibat pengaruh UV. Faktor resiko lainnya
diduga karena inflamasi yang lama, asap rokok dan pemakaian lensa
48,49,50
kontak yang lama.

172 | 2nd World Head & Neck Cancer Day


Tumor Mata dan Orbita

Pasien dengan karsinoma sel skuamosa (KSS) sering datang adanya


massa di mata, yang bertambah ukurannya dengan cepat. Sering pula
ditemui keluhan kemerahan atau iritasi. Tumor ini sering terdapat di
daerah interpalpebral dekat nasal atau temporal limbus, namun dapat juga
mengenai konjungtiva palpebra atau kornea. Gambaran klinis dari
karsinoma sel basal bervariasi. Terdapat 3 tipe gambaran klinis ; yaitu : Lesi
Leukoplakic tampak sebagai penebalan lapisan skuamosa dengan lapisan
plak hyperkeratosis berwarna putih (A); lesi papilomatous tampak sebagai
massa lunak dengan vaskularisasi yang banyak (B); dan lesi gelatinosa
tampak sebagai penebalan lapisan gelatinosa dengan batas tidak jelas,
47-51
yang mana tidak sejelas lesi leukoplakic maupun lesi papilomatous(C).

A B

Pada palpebral, KSS mempunyai karakteristik klinis yang bervariasi


dan juga tidak memiliki tanda tanda patognomonik. Terdapat 3 bentuk KSS
,
pada palpebral antara lain : KSS Nodular (mempunyai karakteristik berupa
nodul hiperkeratotik yang dapat berkembang menjadi erosi berkrusta dan
fisura); KSS Ulcerative (mempunyai dasar kemerahan, dengan batas tegas,

Early Diagnosis and Current Treatment Paradigm in Head and Neck Surgery | 173
Ratika, Puti Ayu Tiara, Sonie Umbara, Lenora Sandra, Grace F. Sulaeman,
Angga Kartiwa, Shanti Boesoirie, M. Rinaldi Dahlan, Kautsar Boesoirie

pinggiran yang menonjol, namun pnggiran keperakkan jarang ditemukan);


46
dan Cutaneus Horn (dengan KSS pada dasarnya).

Jika terdapat kecurigaan suatu keganasan sel skuamosa konjungtiva,


biopsi eksisional dan pemeriksaan histopatologi jaringan merupakan
pemeriksaan baku emas. Untuk lesi yang sangat besar, biopsi insisional
dapat dilakukan, namun cara yang tepat dan manipulasi minimal dari
48,49
jaringan sekitarnya penting untuk mencegah penyebaran tumor. .

174 | 2nd World Head & Neck Cancer Day


Tumor Mata dan Orbita

Beberapa pemeriksaan dapat dilakukan pada Karsinoma sel


skuamosa konjungtiva. Pewarnaan Rose Bengal dapat membantu unhrk
menentukan perluasan lesi yang tepat. Pemeriksaan dengan slitlamp,
gonioskopi dilakukan jika curiga adanya keterlibatan intraokuler. Palpasi
pembesaran kelenjar limfe dilakukan untuk mencari metastase regional. CT
48
Scan dan MRI dapat membantu jika ada invasi ke orbita
Terapi pilihan dari karsinoma sel skuamous konjungtiva adalah
eksisi luas. Dianjurkan untuk batas eksisi 2-3 mm dari tumor yang terlihat.
Frozen section dapat menilai batas lateral eksisi namun tidak dapat
membantu menentukan batas dalam. Setelah eksisi dapat dilakukan
krioterapi pada batas konjungtiva yang tinggal dan dasar lesi untuk
menurunkan angka rekurensi. Krioterapi dapat menghancurkan sel tumor
melalui penghancuran oleh dingin sama seperti yang diakibatkan oleh
iskemia lokal. Radiasi dapat digunakan sebagai terapi adjuvant, pada lesi
yang luas dengan batas yang tidak jelas dan sebagai terapi paliatif pada
kasus yang tidak dapat ditoleransi dengan operasi. Enukleasi diindikasikan
jika terdapat perluasan ke intraokuler dan untuk kasus lanjut dengan
keterlibatan orbit4 eksenterasi adalah prosedur pilihan Terapi dengan anti
metabolit 5FU (5 Fluorouracil) dan Mytomicin C (MMC) telah digunakan
sebagai terapi adjuvant dalarn manajemen keganasan konjungtiva. Obat ini
diindikasikan pada lesi lesi rekuren setelah eksisi primer, batas yang tidak
47-51
bebas tumor pada pemeriksaan histopatologi dan lesi yang difus.
Untuk pencegahan KSS, dapat dilakukan melalui tindakan maupun
dengan obat obatan kemoprotektif. Secara tindakan yaitu dengan
mengurangi paparan terhadap UV, baik dengan penggunaan tabir surya
ataupun dengan menggunakan pelindung tubuh seperti pakaian berlengan
panjang. Obat obatan kemoprotektif berupa konsumsi asam retinoat
(vitamin A) yang dapat menghambat pertumbuhan KSS secara invitro, dan
menurunkan angka kejadian KSS pada populasi beresiko tinggi seperti pada
52
penderita Xeroderma pigmentosum.
Komplikasi utama adalah rekurensi, yang umumnya terjadi dalam
tahun pertama setelah eksisi, tapi juga bisa terlambat sampai 5 tahun.
Rekurensi jarang terjadi pada eksisi yang komplit. Temuan histopatologi
dan batas eksisi juga mempengaruhi angka rekurensi. Dengan eksisi

Early Diagnosis and Current Treatment Paradigm in Head and Neck Surgery | 175
Ratika, Puti Ayu Tiara, Sonie Umbara, Lenora Sandra, Grace F. Sulaeman,
Angga Kartiwa, Shanti Boesoirie, M. Rinaldi Dahlan, Kautsar Boesoirie

lengkap, angka rekurensi kurang dari l0%. Selain itu, komplikasi paling
sering adalah invasi intraokuler dan metastase, umumnya melalui kelenjar
getah bening preaurikuler dan servikal. Karsinoma sel skuamosa
konjungtiva merupakan keganasan tipe low grade malignancy. Prognosis
umumnya baik, namun hal itu juga terganrung pada ukuran lesi, temuan
48,49
histopatologis,dan eksisi yang komplit. .

6. Karsinoma Sel Basal


Karsinoma sel basal lebih sering dijumpai pada orang kulit putih dari pada
kulit berwarna dan paparan sinar matahari yang lama dan kuat berperan
dalam perkembangannya. Lebih sering dijumpai pada pria dan wanita dan
biasanya timbul setelah usia lebih dari 40 tahun. Karsinoma sel basal dapat
juga dijumpai pada anak-anak dan remaja walaupun jarang. Predileksi
kanker ini adalah di daerah muka yang terpajan sinar matahari (sinar UV).
Daerah muka yang paling sering terkena ialah daerah antara dahi dan
sudut bibir, dari daerah ini 2/3 atas yang paling sering terkena. Dari
penyelidikan yang dilakukan di Indonesia ternyata terdapat predileksi
sebagai berikut : pipi dan dahi 50% ; Hidung dan lipatan hidung 28% ; Mata
53-58
dan sekitarnya 17 % ; Bibir 5%.
Sampai saat ini masih belum diketahui pasti penyebabnya. Dari
beberapa penelitian menyatakan bahwa faktor predisposisi yang
memegang peranan penting perkembangan karsinoma sel basal. Faktor
predisposisi yang diduga sebagai penyebab yaitu : Faktor internal : umur,
ras, genetik, dan jenis kelamin. Faktor eksternal : radiasi ultraviolet (UV B
290- 320 nm), radiasi ionisasi, bahan-bahan karsinogenik, mis : arsen,
inorganik, zat-zat kimia, hidrokarbon polisiklik, trauma mekanis kulit mis :
53-58
bekas vaksin, bekas luka bakar, iritasi kronis, dll.
Karsinoma sel basal dari epidermis dan adneksa struktur (folikel
rambut, kelenjar ekstrin). Terjadinya didahului dengan regenerasi dari
kolagen yang sering dijumpai pada orang yang sedikit pigmentnya dan
sering mendapat paparan sinar matahari, sehingga nutrisi pada epidermis
terganggu dan merupakan prediksi terjadinya suatu kelainan kulit. Melanin
berfungsi sebagai energi yang dapat menyerap energi yang berbeda
jenisnya dan menghilang dalam bentuk panas. Jika energi masih terlalu

176 | 2nd World Head & Neck Cancer Day


Tumor Mata dan Orbita

besar dapat merusak sel dan mematikan sel atau mengalami mutasi untuk
selanjutnya menjadi sel kanker. Beberapa peneliti mengatakan terjadinya
karsinoma sel basal merupakan gabungan pengaruh sinar matahari, tipe
kulit, warna kulit dan faktor predisposisi lainnya. Peningkatan radiasi
ultraviolet dapat menginduksi terjadinya keganasan kulit pada manusia
melalui efek imunologi dan efek karsinogenik. Transformasi sel menjadi
ganas akibat radiasi ultraviolet diperkirakan berhubungan dengan
terjadinya perubahan pada DNA yaitu terbentuknya photo product yang
disebut dimer pirimidin yang diduga berperan pada pembentukan tumor.
Reaksi sinar ultraviolet menyebabkan efek terhadap proses karsinogenik
pada kulit antara lain : lnduksi timbulnya menjadi sel kanker, menghambat
immunosurveillance dengan menginduksi limfosit T yang spesifik untuk
59,60
tumor tertentu.
Komprecher (1903) menyatakan bahwa karsinoma sel basal berasal
dari sel basal epidermis. Adamson (1914) mengajukan teori bahwa
karsinoma sel basal dari fokus embrionik laten yang timbul dari keadaan
hormon pada usia lanjut. Lever (1948) mengemukakan bahwa karsinoma
sel basal bukan karsinoma dan tidak berasal dari sel basal tetapi adalah
tumor nevoid dan hamartama yang berasal dari sel germinativum epitel
primer (primary epithelial germ cell) yaitu sel-sel yang belum matang.
Sedangkan Pinkus mengatakan bahwa karsinoma sel basal dari sel pluri
potensial epidermal sel yang terbentuk secara kontinu sepanjang hidup
menjadi aktif pada usia tua dan mempunyai potensi untuk berdiffrensiasi
menjadi epitel gepeng belapis, membentuk rambut, kelenjar sebasea dan
kelenjar ekskrin atau apokrin. Sifat-sifat histopatologis dari karsinoma sel
basal bervariasi, namun pada umumnya mempunyai inti yang besar, oval
atau memanjang dengan sedikis sitoplasma. Sel pada karsinoma sel basal
mirip dengan sel basal pada stratum basal epidermis hanya rasio antara
inti dengan sitoplasma lebih besar atau tidak tampak adanya jembatan
antar sel. Inti dari sel karsinoma sel basal lebih seragam (tidak banyak
berbeda dalam ukuran dan intensitas perwarnaan) dan tidak tampak
53,54,59,-64
gambaran anaplastik.
Parenkim tumor pada karsinoma sel basal selalu dikelilingi oleh
stroma yang sering tampak sebagai jaringan dengan banyak fibroblast

Early Diagnosis and Current Treatment Paradigm in Head and Neck Surgery | 177
Ratika, Puti Ayu Tiara, Sonie Umbara, Lenora Sandra, Grace F. Sulaeman,
Angga Kartiwa, Shanti Boesoirie, M. Rinaldi Dahlan, Kautsar Boesoirie

muda. Oleh karena parenkim tumor berasal dari sel epitelial, dan stroma
berasal dari mesoderm, yang berperan dalam pembentukan adneksa kulit.
54,63,64,65

Karsinoma sel basal umumnya mudah didiagnosis secara klinis.


Ruam dari karsinoma sel basal terdiri dari satu atau beberapa nodul kecil
seperti lilin (waxy), semitranslusen berbentuk bundar dengan bagian
tengah lesi cekung (central depresion) dan bisa mengalami ulserasi dan
pendarahan, sedangkan bagian tepi maninggi seperti mutiara yang
merupakan tanda khas yang pada pinggiran tumor ini. Pada kulit sering
dijumpai tanda-tanda kerusakan seperti telngektase dan atropi. Lesi tumor
ini tidak menimbulkan rasa sakit. Adanya ulkus menandakan suatu proses
kronis yang berlangsung berbulan-bulan sampai bertahun-tahun dan ulkus
ini secara perahan-lahan dapat bertambah besar. Gambaran klinik
karsinoma sel basal bervariasi. Terdapat 5 tipe dan 3 sindroma klinik yaitu :
53,60,-64

1. Tipe Nodula-ulseratif (Ulkus Rodens)



Jenis ini dimulai dengan nodus kecil 2 - 4 mm, translusen, warna pucat
seperti lilin (waxy-nodulo). Dengan inspeksi yang teliti, dapat dilihat
perubahan pembuluh darah superficial melebar (telangiektasi).
Permukaan nodus mula-mula rata tetapi kalau lesi membesar, terjadi
cekungan ditengahnya dan pinggir lesi menyerupai bintil-bintil seperti
mutiara (pearly border). Nodus mudah berdarah pada trauma ringan
dan mengadakan erosi spontan yang kemudian menjadi ulkus yang
terlihat di bagian sentral lesi.
Kalau telah terjadi ulkus, bentuk ulkus
seperti kawah, berbatas tegas, dasar irreguler dan ditutupi oleh krusta.
Pada palpasi teraba adanya indurasi disekitar lesi terutama pada lesi
yang mencapai ukuran lebih dari 1 cm, biasanya berbatas tegas, tidak
sakit atau gatal. Dengan trauma ringan atau bila krusta diatasnya
diangkat, mudah berdarah.

178 | 2nd World Head & Neck Cancer Day


Tumor Mata dan Orbita

2. Tipe pigmented
Gambaran klinisnya sama dengan nodula-ulseratif, ad nya pada jenis ini
berwarna coklat atau berbintik-bintik atau homogen (hitam merata)
kadang- kadang menyerupai Melanoma. Banyak dijumpai pada orang
dengan kulit gelap yang tinggal pada daerah tropis.

3. Tipemorphea-like atau fibrosing
Merupakan jenis yang agak jarang ditemukan. Lesinya berbentuk plakat
yang berwarna kekuningan dengan tepi yang tidak jelas, kadang-kadang
tepinya meninggi. Pada permukaannya tampak beberapa folikel rambut
yang mencekung sehingga memberikan gambaran seperti sikatriks.
Kadang-kadang tertutup krusta yang melekat erat. Jarang mangalami
ulserasi. Tepi ini cenderung invasif kearah dalam.Tepi ini menyerupai
penyakit morphea atau skleroderma. 


Early Diagnosis and Current Treatment Paradigm in Head and Neck Surgery | 179
Ratika, Puti Ayu Tiara, Sonie Umbara, Lenora Sandra, Grace F. Sulaeman,
Angga Kartiwa, Shanti Boesoirie, M. Rinaldi Dahlan, Kautsar Boesoirie

4. Tipe superfisial
Berupa bercak kemerahan dengan skuama halus dan tepi yang
meninggi. Lesi dapat meluas secara lambat, tanpa mengalami ulserasi.
Umumnya multipel, terutama dijumpai pada badan, kadang-kadang
pada leher dan kepala.


5. Tipe fibroepitelial
Berupa satu atau beberapa nodul yang keras dan sering bertangkai
pendek, permukaannya halus dan sedikit kemerahan. Terutama
dijumpai dipunggung. Tipe ini sangat jarang ditemukan.

Diagnosis ditegakkan berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik


(gejala klinis), dan pemeriksaan histopatologis. Dari anamnesis terdapat
kelainan kulit terutama dimuka yang sudah berlangsung lama berupa
benjolan kecil, tahi lalat, luka yang sukar sembuh, lambat menjadi besar
dan mudah berdarah. Tidak ada rasa gatal / sakit. Pada pemeriksaan fisik
terlihat papul / ulkus dapat berwarna seperti warna kulit atau
hiperpigmentasi. Pada palpasi teraba indurasi. Tidak terdapat pembesaran
kelenjar getah bening regional. Pemeriksaan penunjang berupa
pemeriksaan histopatologi yaitu dengan dilakukan biopsi. Pada setiap
53
kelainan kulit yang tersangka KSB harus dilakukan biopsy.
Tujuan karsinoma sel basal yaitu kesembuhan dengan hasil
kosmetik yang baik karena umumnya karsinoma sel basal terdapat pada
wajah. Terapi dapat bersifat preventif dan kuratif. Banyak metode
pengobatan karsinoma sel basal yaitu :

- Preventatif :
Oleh karena sinar matahari predisposisi utama untuk
terjadi kanker kulit maka perlu diketahui perlindungan kulit terhadap
sinar matahari, terutama bagi orang-orang yang sering melakukan
aktifitas diluar rumah dengan cara memakai sunscreens (tabir surya)
selama terpajan sinar matahari. Penggunaan tabir surya untuk kegiatan
diluar rumah diperlukan tabir surya dengan SPM yang lebih tinggi (>15-
30).
Adanya hubungan antara terbentuknya berbagai radikal bebas
antara lain akibat sinar UV pada beberapa jenis kanker kulit, telah

180 | 2nd World Head & Neck Cancer Day


Tumor Mata dan Orbita

banyak dilaporkan. Pemakaian antioksidan dapat berfungsi untuk


menetralkan kerusakan atau mempertahankan fungsi dari serangan
radikal bebas. Telah banyak bukti bahwa terpaparnya jaringan dengan
radikal bebas dapat mengakibatkan berbagai gejala klinik atau penyakit
yang cukup serius.
Akibat reaksi oksidatif radikal bebas di DNA
menimbulkan mutasi yang akhirnya menyebabkan kanker. Diantara
53
antioksidan tersebut adalah ; betakaroten, vitamin E, dan vitamin C.
- Kuratif
1. Bedah eksisi atau bedah skalpel pada KSB dini memberikan tingkat
1
sembuhan yang tinggi.
2. Radioterapi
Penyinaran lokal diberikan lapangan radiasi meliputi tumor dengan
1 - 2 cm jaringan sehat disekelilingnya. Pe nyinaran dilakukan
dengan dosis 200 cGy per fraksi, 5 fraksi dalam 1 minggu dengan
total dosis 4000 cGy.
3. Kuretasi dan elektrodesikasi
Dilakukan pada tingkat yang dini, cara yang terbaik dengan cara
cutting dan koagulasi dibantu dengan curettage. Jika hendak
mengambil spesimen jaringan untuk pemeriksaan histopatologi,
dilakukan dengan electro section (pure cutting). Terlebih dahulu
diberi marker 3 - 5 mm di luar tumor.
4. Bedahbeku (cryosurgery)

Bedah beku adalah suatu metode pengobatan dengan menggunakan
bahan yang dapat menurunkan suhu jaringan tubuh dari puluhan
53
sampai ratusan derajat Celcius di bawah nol (subzero).

Rekurensi
Karsinoma sel basal mempunyai rekurensi tinggi, terutama bila
pengobatan tidak adekuat. Biasanya rekurensi terjadi 4 bulan pertama
sampai 12 bulan setelah pengobatan. Prognosis umumnya baik dengan five
53,54
year survival rate mencapai 99%.

Early Diagnosis and Current Treatment Paradigm in Head and Neck Surgery | 181
Ratika, Puti Ayu Tiara, Sonie Umbara, Lenora Sandra, Grace F. Sulaeman,
Angga Kartiwa, Shanti Boesoirie, M. Rinaldi Dahlan, Kautsar Boesoirie

Karsinoma Kelenjar Sebasea


Kelenjar sebasea (kelenjar palit) merupakan bagian dari kelenjar kulit di
lapisan dermis. Terletak di seluruh permukaan kulit manusia kecuali di
telapak tangan dan kaki. Kelenjar sebasea disebut juga kelenjar holokrin
karena tidak berlumen dan sekret kelenjar ini berasal dari dekompensasi
sel-sel kelenjar. Kelenjar sebasea biasanya terdapat di samping akar
rambut dan muaranya terdapat pada lumen akar rambut (folikel rambut).
Sebum mengandung triglyserida, asam lemak bebas, skualen, wax ester,
dan kolesterol. Sekresi dipengaruhi oleh hormon androgen, pada anak-
anak jumlah kelenjar sebasea sedikit, pada pubertas menjadi lebih besar
65
dan banyak serta mulai berfungsi secara aktif.
Neoplasma kelenjar sebasea bisa jinak, contohnya hyperplasia
sebasea atau adenoma kelenjar sebasea. Karsinoma kelenjar sebasea yang
ganas sering timbul pada area periokular. Kurang dari 120 kasus karsinoma
sel sebasea telah dilaporkan terjadi pada daerah ekstraokular. Karsinoma
kelenjar sebasea diperkirakan merupakan 1% dari semua tumor- tumor
kelopak mata dan 5% merupakan keganasan pada kelopak mata. Aurora
dan Blodi menemukan insiden 3,2% dari karsinoma sel sebasea di antara
tumor-tumor kelopak mata yang ganas dan 0,8% dari semua tumor-tumor
kelopak mata. Penyakit ini mengenai pasien-pasien berusia tua (dekade 6
hingga 7) dan kasus jarang dilaporkan sebelum umur 40 tahun biasanya
setelah terapi radiasi bagi retinoblastoma atau hemangioma kavernosa
pada wajah kecuali satu penelitian dengan 40 kasus, sejumlah besar
penelitian memperlihatkan bahwa wanita lebih banyak menderita penyakit
ini. Pada satu penelitian dengan 88 pasien di Amerika, 57% adalah wanita.
Kira-kira 2/3 dari 156 kasus dilaporkan di Shanghai mengenai wanita.
Walaupun semua ras dilaporkan dapat menderita penyakit ini, beberapa
66-72
peneliti menekankan kebanyakan kasus terjadi pada orang oriental.
Karsinoma kelenjar sebasea sering terdapat pada kulit dari kelopak
mata dibandingkan bagian kulit lain dari tubuh.Lokasi tersering pada
kelopak mata adalah pada kelenjar Meibom, tetapi dapat juga terjadi pada
kelenjar Zeis, kelenjar sebasea dari karunkel, dan kelenjar pilosebasea dari
kelopak mata dan alis mata.Kelopak mata atas terlibat pada dua-pertiga

182 | 2nd World Head & Neck Cancer Day


Tumor Mata dan Orbita

kasus, mungkin karena kelenjar Meibom lebih banyak terdapat pada tarsus
superior dibanding inferior. Lesi yang berasal dari kelenjar Zeis biasanya
kecil, nodul kekuningan berlokasi pada tepi kelopak tepat di depan garis
kelabu (gray line).Beberapa tumor dapat berasal baik dari kelenjar Meibom
ataupun kelenjar Zeis, tetapi lokasi yang tepat tidak bisa ditentukan.Tumor
yang berasal dari kelenjar sebasea dari karunkel tampak sebagai massa
yang terletak di subkonjungtiva, multi- lobulus, berwarna abu-abu
73-80
kekuningan yang biasanya ditutupi oleh epitel yang utuh.
Karsinoma kelenjar sebasea bisa menunjukkan gambaran klinis
berspektrum luas. Biasanya berbentuk nodul yang kecil, keras seperti
chalazion. Sering kelihatan seperti chalazion yang tidak khas atau berulang,
menunjukkan konsistensi yang kenyal. Beberapa pasien dengan karsinoma
kelenjar Meibom mempunyai penebalan berbentuk plak yang difus dari
tarsus atau sebuah pertumbuhan berbentuk jamur atau berbentuk
papilloma menyerupai papilloma sel skuamus atau karsinoma sel skuamus
papilla. Diagnosa dikonfirmasikan oleh demonstrasi histologis dari tumor
yang berasal dari kelenjar Meibom. Lesi lain tampak seperti massa lokal
berwarna kuning pada tepi kelopak mata atau berbentuk penebalan difus
atau nodular dari kelopak mata berhubungan dengan kehilangan bulu
mata. Ini disebabkan oleh keterlibatan neoplastik dari folikel bulu
65,66,71,72,73
mata.
Gambaran klinis yang sering dari beberapa karsinoma kelenjar
sebasea yang bisa tidak diperhatikan apabila memeriksa pasien adalah
konjungtivitis unilateral persisten, blepharitis, meibomitis, atau
blepharokonjungtivitis yang tidak berespons total kepada terapi antibiotika
(Masquerade syndrome). Gambaran ini disebabkan oleh kecenderungan
dari sel-sel karsinoma sebasea menginvasi epitel di atasnya, membentuk
sarang sel tunggal atau beberapa (invasi pagetoid) atau penggantian
67,75,78
komplit dari keseluruhan ketebalan epitel (karsinoma intra- epitelial).
Penyebaran fokal multisentris secara bebas dari sel-sel neoplastik
intra-epitelial dapat menginvasi kedua kelopak mata, konjungtiva, dan
kadang-kadang epitel kornea, di mana bisa menyebabkan keratitis
superfisial dengan area parut dan vaskularisasi. Blepharokonjungtivitis

Early Diagnosis and Current Treatment Paradigm in Head and Neck Surgery | 183
Ratika, Puti Ayu Tiara, Sonie Umbara, Lenora Sandra, Grace F. Sulaeman,
Angga Kartiwa, Shanti Boesoirie, M. Rinaldi Dahlan, Kautsar Boesoirie

ekzematoid difus yang menyertainya dapat berhubungan dengan krusta


dan ulserasi dari kelopak mata selama beberapa bulan atau tahun sebelum
karsinoma kelenjar sebasea menjadi jelas secara klinis. Pada pasien seperti
ini, penting untuk mendapatkan spesimen biopsi yang multipel dari tepi
kelopak mata demikian juga konjungtiva palpebra dan konjungtiva bulbi
untuk menentukan keterlibatan pagetoid. Banyak pasien dengan pagetoid
yang difus atau karsinoma in situ berubah dengan melibatkan kulit dari
kelopak, konjungtiva, dan/atau kornea, penanganan terbaik adalah dengan
eksenterasi orbita. Sangat jarang, karsinoma kelenjar sebasea tampak
sebagai nodul yang kecil, seperti umbi, berwarna abu-abu putih pada tepi
kelopak, menyerupai karsinoma sel basal, atau mempunyai gambaran
66,67,75,79
klinis dengan tanduk kutaneus yang besar.

Ada 4 bentuk histologis telah ditemukan: lobular, comedocarcinoma,


papillary, dan campuran.

A. Bentuk lobular
Sel-sel neoplastik membentuk lobul-lobul yang berbatas tegas dengan
ukuran yang bervariasi. Lobul-lobul menunjukkan gambaran basaloid
dengan susunan perifer dari sel basofilik dengan nukleus hiperkromik dan

184 | 2nd World Head & Neck Cancer Day


Tumor Mata dan Orbita

sitoplasma yang sedikit. Pada beberapa area, sel mempunyai gambaran


bervakuol atau bersabun merupakan gambaran karakteristik dari
diferensiasi sebasea.

B. Bentuk comedocarcinoma
Ditandai oleh lobul-lobul besar dari nekrosis dengan foci sentral yang
menonjol. Sel hidup dalam lobul dan sel tumor nekrotik sentral biasanya
terdiri dari lipid.

C. Bentuk papillary
Terdiri dari papilla yang berbentuk daun pakis dari sel neoplastik. Bisa
menyerupai papilloma sel skuamus atau karsinoma dan terjadi pada
permukaan konjungtiva. Pemeriksaan histologis yang hati-hati biasanya
menunjukkan foci dari diferensiasi sebasea.

D. Bentuk campuran
Sering menunjukkan campuran dari area seperti lobular dan
comedocarcinoma; tumor lain dapat menunjukkan kombinasi dari area
67,71
papilla dengan bentuk comedocarcinoma atau lobular.

Tumor dengan bentuk histologis berbeda bisa diklasifikasikan


berdasarkan penyebaran dari infiltrasi. Neoplasma dengan infiltrasi yang
minimal terdiri dari lobul keras dengan derajat ekstensi yang kecil dari sel
neoplastik ke dalam stroma yang berdekatan dari lobul perifer. Pada
keadaan lain, tumor dengan infiltrasi yang tinggi terdiri dari talian infiltratif
dari sel epitel menunjukkan hanya beberapa area dengan bentuk lobular.
Kadang-kadang talian infiltratif dari sel tumor disusun dalam barisan sel
67,71
tunggal (Gambaran “Indian file“)

PENATALAKSANAAN
Terapi Bedah
Pengobatan bertujuan untuk mengangkat lesi yang ganas untuk mencegah
penyebaran lokal ataupun sistemik. Pengobatan dari karsinoma kelenjar

Early Diagnosis and Current Treatment Paradigm in Head and Neck Surgery | 185
Ratika, Puti Ayu Tiara, Sonie Umbara, Lenora Sandra, Grace F. Sulaeman,
Angga Kartiwa, Shanti Boesoirie, M. Rinaldi Dahlan, Kautsar Boesoirie

sebasea adalah operasi eksisi yang adekuat, dengan batasan operasi yang
luas dan kontrol potongan beku yang segar untuk menggambarkan
pinggiran tumor. Evaluasi nodul limfatik diperlukan untuk menilai
metastase.
Jika terdapat keterlibatan difus dari kedua kelopak mata atas dan
bawah, diperlukan tindakan eksenterasi. Buatkan biopsi pada area
konjungtiva yang hiperemia yang dicurigai karsinoma kelenjar sebasea
66,67,71, 72,74
pada waktu operasi.

2. MELANOMA MALIGNA
Melanoma maligna kutaneus terjadi akibat adanya proliferasi maligna dari
sel melanosit, yang dapat muncul secara primer ataupun akibat adanya
perkembangan maligna dari nevus. Melanoma primer pada kelopak mata
sangat jarang terjadi. Prevalensinya kurang dari 1% kasus melanoma
maligna kutaneus, kurang dari 7% kasus melanoma kepala dan leher dan 1
% dari seluruh keganasan pada kelopak mata. Umumnya terjadi pada
kelopak bawah dengan frekuensi 2,6 kali lebih banyak daripada angka
kejadian melanoma maligna di kelopak atas mata. Faktor resiko terjadinya
melanoma maligna kelopak mata adalah paparan sinar UV, dimana orang
dengan warna kulit putih, adanya displasia nevus, riwayat melanoma
maligna dalam keluarga dan usia yang tua memiliki resiko lebih besar
75,76
mengalami melanoma maligna.
Proliferasi abnormal atau atipikal dari sel melanosit pada epidermis
yang berkembang menjadi melanoma dapat dibagi ke dalam empat
subtipe, yaitu : melanoma maligna lentigo, melanoma superficial,
melanoma nodular dan melanoma akral lentigenus. Tipe melanoma
maligna lentigo merupakan yang paling sering terjadi di kelopak mata,
ditandai adanya melanosit berbentuk spindel pada basal epidermis yang
dapat meluas hingga ke struktur adneksa. Umumnya muncul dari area yang
mengalami kerusakan aktinik dan area elastosis solar dengan pertumbuhan
pagetoid pada seluruh lapisan epidermis yang kemudian dapat menginvasi
dermis. Tipe melanoma superfisial ditandai sebaran dari sel epiteloid di
seluruh epidermis hingga tumbuh invasif ke dermis. Tipe melanoma

186 | 2nd World Head & Neck Cancer Day


Tumor Mata dan Orbita

nodular ditandai adanya pertumbuhan sel epiteloid secara vertikal. Tipe


melanoma akral lentiginus didapati pada daerah akral seperti tangan,
telapak kaki, di bawah kuku atau mukosa oral. Lesinya iregular, sangat
hiperpigmentosis, ditandai dadanya pertumbuhan melanosit atipikal pada
75,76,77
dermal-epidermal junction.

Patofisiologi melanoma maligna diawali adanya transformasi dari


sel melanosit normal yang terjadi akibat adanya alterasi genetik dan
molekular. Kromosom yang menunjukan kelainan antara lain kromosom 1,
6, 7, 9-11, 17 dan 20. Kunci utama dari jalur proliferatif diawali adanya

Early Diagnosis and Current Treatment Paradigm in Head and Neck Surgery | 187
Ratika, Puti Ayu Tiara, Sonie Umbara, Lenora Sandra, Grace F. Sulaeman,
Angga Kartiwa, Shanti Boesoirie, M. Rinaldi Dahlan, Kautsar Boesoirie

sinyal transduksi MAPK yang akan mengakibatkan percepatan proliferasi


sel dan meningkatkan ketahanan sel, ditambah dengan adanya diseregulasi
dari jalur apoptosis sel yang melibatkan gen supresi tumor seperti CDKN2A,
PT%# dan PTEN. Melanoma maligna diawali perkembangan jaringan tumor
secara radial superfisial intraepidermal maupun superfisial dermal yang
bertumbuh agresif secara vertikal menginvasi dermis, hingga terjadi
ulserasi hingga metastasis ke jaringan sekitar ataupun organ lain secara
75,76
hematogen maupun limfogen.

Diagnosis melanoma maligna ditegakan dengan temuan klinis yang


ditunjang dengan pemeriksaan histopatologi. Pemeriksaan harus disertai
pemeriksaan sistemik, termasuk palpasi dari kelenjar limfe. Lesi melanoma
maligna dapat muncul dimana saja berupa bercak datar maupun meninggi
dengan batas iregular yang dapat berupa lesi hiperpigmentous maupun
amelanotik, dapat disertai eritema. Pemeriksaan penunjang dapat
dilakukan dengan pemeriksaan imunohistokima jaringan dengan S100,

188 | 2nd World Head & Neck Cancer Day


Tumor Mata dan Orbita

Mart-1 dan HMB45, sedangkan untuk penentuan derajat penyakit dapat


dilakukan biopsi limfe sentinel, dengan menggunakan panduan American
75,76,78,79,80,81
Joint Committee on Cancer TNM Staging edisi ke 7.

Penatalaksanaan melanoma maligna adalah dengan eksisi luas lesi


yaitu dengan Mohs mikrografik dengan menggunakan penanda parafin
pada bedah beku lesi melanositik. National Comprehensive Cancer
Network, menyatakan eksisi Stage 0, IA, dan IB (ketebalan <0.76mm)
adalah eksisi luas hingga 5-10mm batas luar lesi. Stage IA, IB, dan II
(ketebalan >0.75mm) dapat dilakukan biopsi sentinel limfe. Melanoma
dengan keebalan >2.0mm harus dieksisi hingga 20mm di luar batas lesi.
Pasien stage III dengan biopsi sentinel limfe positif harus dievaluasi lebih
lanjut secara sistemik dan harus dilakukan eksisi dengan diseksi limfe
diikuti terapi dengan interferon alfa. Pasien dengan stage IV harus
menjalani biopsi, pemeriksaan kadar LDH dan radiologi. Tata laksana
selanjutnya meliputi kemoterapi maupun radioterapi. Survival rate 10
tahun untuk stage IA adalah 93%, 39% untuk stage IIC, 68% untuk stage
81,82,83,84
IIIA, 24% untuk stage IIC, dan 10-15% untuk stage IV.

3. Ocular Surface Squamous Neoplasia


Ocular surface squamous neoplasia (OSSN) meliputi spektrum penyakit
yang cukup luas yang mencakup seluruh pertumbuhan displastik abnormal
dari epitel skuamous di permukaan mata, yang dapat terjadi baik di

Early Diagnosis and Current Treatment Paradigm in Head and Neck Surgery | 189
Ratika, Puti Ayu Tiara, Sonie Umbara, Lenora Sandra, Grace F. Sulaeman,
Angga Kartiwa, Shanti Boesoirie, M. Rinaldi Dahlan, Kautsar Boesoirie

konjungtiva maupun kornea. Neoplasia intraepitel konjungtiva merupakan


neoplasia non invasif dimana membrana basalis tetap intak sedangkan
substansia propianya mengalami abnormalitas.
Neoplasia intraepitel konjungtiva disebut juga Bowen’s disease,
displasia sel skuamous konjungtiva, epitelioma intraepitelial dan
diskeratosis epitelial. Neoplasia yang terjadi pada kornea dapat berupa
dismaturasi epitel kornea, displasia epitel kornea maupun neoplasia
intraepitelial kornea, dengan gambaran epitelial geografikan pada kornea.
Berdasarkan studi epidemiologi, prevalensi OSSN berkisar <0,2 hingga 35
kasus tiap satu juta penduduk per tahun di seluruh dunia. Bentuk yang
terbanyak adalah neoplasia yang terjadi pada konjungtiva, yang bila terjadi
pada pasien muda umumnya bersifat lebih agresif, terutama pada pasien
HIV dan penderita xeroderma pigmentosum. Faktor resiko terjadinya OSSN
antara lain adalah paparan sinar UV, kondisi immunosupresi pada pasien
HIV ataupun pasien transplantasi organ, riwayat terjangkit human
papillomavirus, serta adanya mutasi dari gen p53. Secara histologis,
neoplasma pada konjungtiva merupakan campuran dari sel spindle dan sel
epidermoid dengan susunan sel yang tak teratur dan polaritas yang
abnormal, peningkatan rasio sitoplasma nukleus dan memiliki gambaran
mitotik. Secara patologi terdapat gambaran garis demarkasi yang tegas
antara epitel yang normal dan abnormal. Gambaran ini tak terdapat pada
papilloma skuamous. Neoplasma pada konjungtiva ini dapat berkembang
menjadi squamous cell carcinoma dengan gambaran epitel yang tak
teratur, diskeratotik dan sel akantotik yang menembus membrana basalis.
Pada dismaturasi epitel cornea didapati nukleus sel yang abnormal hingga
85-95
meingkatnya rasio sitoplasma dan diskeratosis.
Dari anamnesis umumnya pasien tak menyadari adanya neoplasia.
Seringkali pasien hanya mengeluhkan keluhan serupa iritasi, mata merah
dan berair. Sedangkan dari pemeriksaan, bervariasinya gambaran OSSN
membuat diagnosis terkadang menjadi sulit. Umumnya pasien datang
dengan gambaran plak gelatinus pada konjungtiva interpalpebra dengan
warna abu-abu ataupun putih, dimana 95% kasus terjadi pada limbus
tempat terdapatnya sel-sel yang aktif bermitosis.

190 | 2nd World Head & Neck Cancer Day


Tumor Mata dan Orbita

Lesinya dapat mendatar ataupun terangkat, dapat memiliki


pembuluh darah, terwarnai denga fluoresen, lisamin hijau maupun rose
bengal. Gambarannya berupa epitel abnormal difus granular dimana
gambaran utamanya adalah papiliform, gelatinus atau leukoplakic.
Pertumbuhan sel abnormal dapat meluas menembus limbus hingga ke
kornea. Sel skuamous yang abnormal akan memberikan gambaran
transparan keabuan. Pemeriksaan penunjang yang dapat dilakukan antara
lain sitologi impresi, konfokal mikroskopik, USG dan OCT segmen
85,86,91,92
anterior.
Penatalaksanaan umumnya dapat berupa tindakan surgikal,
medikamentosa, maupun gabungan keduanya. Tindakan surgikal berupa
eksisi dari massa, baik dengan teknik krioterapi ataupun dengan
menggunakan Beaver blade atau spons surgikal. Bila eksisi yang dilakukan
terlalu luas atau dalam dapat dilakukan lamellar skleral flap yang kemudian
ditutup dengan cangkok membran amnion setelah tindakan eksisi.
Medikamentosa yang digunakan berupa agen kemoterapeutik termasuk
interferon-α2b, mitomycin-C, 5-fluorouracil atau bahkan menggunakan
anti VEGF. Bila invasi massa dinilai terlalu luas hingga ke intraokular
ataupun orbita, dapat dilakukan enukleasi ataupun exenterasi. Dapat pula
dilakukan biopsi nodal sentinel untuk menentukan stage bila dicurigai
terdapat keganasan, dimana bila terdapat rekalsitran maka dapat
dipertimbangkan ntuk dilakukan radiasi. Rekurensi OSSN terjadi pada 50%
kasus dan terjadi beberapa tahun setelah operasi. Kurang lebih 30% terjadi
dalam 10 tahun setelah tindakan surgikal, dan memiliki prognosis buruk
bila mengenai lebihdari separuh limbus. OSSN yang rekuren akan tumbuh
85,86, 93-99
lebih agresif dan invasif.

4. Rabdomiosarkoma
Rabdomiosarkoma merupakan keganasan primer orbita yang paling sering
terjadi pada anak-anak. Rabdomiosarkoma juga merupakan keganasan
jaringan lunak paling sering pada anak-anak, meliputi 5% dari seluruh
keganasan pada anak-anak. Tumor ini berasal dari lapisan mesenkim pada
jaringan lunak orbita. Rata-rata usia saat terjadi yaitu pada usia 8-10 tahun.
100-102
Tujuh puluh persen kejadian terjadi pada dekade pertama.

Early Diagnosis and Current Treatment Paradigm in Head and Neck Surgery | 191
Ratika, Puti Ayu Tiara, Sonie Umbara, Lenora Sandra, Grace F. Sulaeman,
Angga Kartiwa, Shanti Boesoirie, M. Rinaldi Dahlan, Kautsar Boesoirie

Secara histologis, rabdomiosarkoma dapat dibagi menjadi 4 grup:


embrional, alveolar, pleomorfik dan botrioid. Tipe embrional merupakan
tipe yang paling sering terjadi, terhitung lebih dari 80% dari seluruh
kejadian rabdomiosarkoma. Tipe ini memiliki lokasi predileksi di kuadran
superonasal orbita. Rabdomiosarkoma embrional memiliki angka harapan
hidup 94%. Tipe alveolar memiliki predileksi di orbita inferior, dan meliputi
9% dari kasus rabdomiosarkoma orbita. Tipe ini merupakan bentuk paling
ganas dengan angka harapan hidup 10 tahun sebesar 10%. Tipe pleomorfik
merupakan tipe paling jarang dan paling terdiferensiasi. Prognosis tipe ini
paling baik, mencapai angka 97%. Tipe botrioid biasanya merupakan
metastasis dari sinus paranasal atau konjungtiva. Sebagian besar kasus
rabdomiosarkoma terjadi secara spontan, namun penyakit ini juga
dihubungkan dengan sindrom familial (neurofibromatosis dan Li-Fraumeni
syndrome), gen supresor tumor p53, dan malformasi kongenital (Beckwith-
100-103
Wiedemann syndrome).
Manifestasi khas dari tumor ini yaitu proptosis unilateral yang
terjadi secara tiba-tiba dan progresivitasnya cepat. Selain itu terdapat juga
pergeseran bola mata, ptosis, edema konjungtiva dan palpebra, dan nyeri
bola mata. Epifora dapat terjadi walaupun jarang, sebagai akibat obstruksi
100,101
duktus nasolakrimal oleh tumor.
Pada CT scan, tumor tampak homogenous, berbatas tegas, bentuk
bulat atau ovoid, dan isodens terhadap otot. Tumor biasanya terletak di
jaringan lunak orbita, dan tidak berasal dari otot ekstraokular.
Rabdomiosarkoma menunjukkan penyangatan kontras yang sedang atau
tinggi. Pada MRI T1, tumor tampak hipointens jika dibandingkan dengan
lemak orbita, tapi isointens terhadap otot ekstraokular. Pada pencitraan
T2, lesi tampak hiperintens terhadap lemak orbita dan otot
101,103
ekstraokular.
Diagnosis banding dari rabdomiosarkoma meliputi neuroblastoma,
chloroma, limfangioma, hemangioma infantil, selulitis, dan penyakit
inflamatori nonspesifik. Diagnosis banding histologis mencakup
neuroblastoma, neuroepithelioma, sarkoma ewing, dan tumor lainnya.
Pemeriksaan biopsi diperlukan untuk menegakkan diagnosis. Biopsi dapat

192 | 2nd World Head & Neck Cancer Day


Tumor Mata dan Orbita

insisional atau eksisional, tergantung temuan klinis dan hasil pencitraan


100-103
tumor.
Terapi rabdomiosarkoma mencakup pembedahan, radioterapi, dan
kemoterapi. Sebelum tahun 1965, eksenterasi orbita merupakan pilihan
penatalaksanaan rabdomiosarkoma, namun angka harapan hidup buruk.
Sejak tahun 1965, terapi radiasi dan kemoterapi menjadi pilihan utama,
berdasarkan petunjuk tatalaksana oleh Intergroup Rhabdomyosarcoma
Studies I-IV. Eksenterasi dilakukan pada kasus yang berulang. Total dosis
radiasi bervariasi dengan rentang 4500-6000 cGy, diberikan dalam periode
6 minggu. Tujuan dari kemoterapi sistemik yaitu mengeliminasi metastasis
selular mqwesaszikroskopis. Angka bertahan hidup dengan terapi radiasi
dan kemoterapi mencapai 90% jika tumor belum menginvasi atau
100-104
melewati dinding orbita.

Daftar Pustaka
1. Fischer BR, Brokinkel B. Meningioma Management and Surgery first
edition. Germany. Intech; 2012. 85-102.
2. Claus EB, Bondy ML et al.Epidemiology of intracranial meningioma,
Neurosurgery. 2005; 57: 1088-1095
3. Claus EB, Black MB et al. Exogenous hormone use and meningioma
risk, American Cancer Society. 2007; 471- 476
4. Qi Z-Y, Shao C et al. Reproductive and exogenous Hormone Factors in
Relation to Risk of Meningioma in Women : a meta-analysis. PloS ONE
8(12): e83261
5. Claus EB, Walsh KM, Calvocoressi L, et al. Cigarette Smoking and Risk
of Meningioma: the Effect of Gender. Cancer Epidemiol Biomarkers
prev. 2012 June ; 21(6): 943-950
6. Korhonen K, Raitenen J, Isola J, et al. Exogenous sex hormone use and
risk of meningioma: a population-based case-control study in finland.
Cancer causes control, 2010; 21: 2149-2156
7. Phillips LE, Koepsell TD, Belle GV, et al. History of Head trauma and
riskof intracranial meningioma: population-based case-control study.
Neurology, 2012;58:1849-1852

Early Diagnosis and Current Treatment Paradigm in Head and Neck Surgery | 193
Ratika, Puti Ayu Tiara, Sonie Umbara, Lenora Sandra, Grace F. Sulaeman,
Angga Kartiwa, Shanti Boesoirie, M. Rinaldi Dahlan, Kautsar Boesoirie

8. Dhaliwal RS, dan Schachat AP. Leukemia and Lymphomas. Dalam :


Ryan SJ, editor. Retina. Edisi ke-5. Philadelphia: Elsevier, 2013. Hlm.
155, 2359-72
9. American Academy of Ophtalmology. Orbit, eyelids, and lacrimal
system. Section 7. San Fransisco: American Academy of
Ophtalmology;2014. Hlm. 79-83
10. Eichenauer DA, Engert A, dan Dieghl V. Hodgkin Lymphoma: Clinical
Manifestations, Staging, And Therapy Dalam : Hoffman R, Benz EJ,
Silberstein LE, Heslop HE, Weitz JI, dan Anastasi J, editor. Hematology:
Basic Principles and Practice. Edisi ke-6. Canada; Saunders, 2013. Hlm.
1138-56
11. American Academy of Ophtalmology. Update on general medicine.
Section 1. San Fransisco: American Academy of Ophtalmology;2014.
Hlm. 235-44
12. Connors JM. Hodgkin Lymphoma. Dalam : Goldman L & Schaefer AI,
editor. Goldman-Cecil Medicine. Edisi ke-25. Philadelphia :Elsevier,
2016. Hlm 1268-73
13. Ferri FF. Lymphoma Non-Hodgkin. Dalam : Ferri’s Clinical Advisor
2017. Philadelphia : Elsevier, 2016. Hlm748-50
14. Bierman PJ & Armitage JO. Non-Hodgkin Lymphomas. Dalam :
Goldman L & Schaefer AI, editor. Goldman-Cecil Medicine. Edisi ke-
25. Philadelphia :Elsevier, 2016. Hlm 1257-67
15. Smith S. Non Hodgkin’s and Hodgkin’s Lymphoma. Dalam : Carey WD,
editor. Current Clinical Medicine. Edisi ke-2. Philadelphia : Elsevier,
2016. Hlm 631-6
16. American Academy of Ophtalmology. Ophthalmic Pathology and
Intraocular Tumors. Section 4. San Fransisco: American Academy of
Ophtalmology;2014. Hlm. 323-5
17. Syed, NA, Albert, DM, Garner A, & White VA. Principles of Pathology.
Dalam : Albert DM, Miller JW, Azar DT, Blodi BA, Cohan JE, & Perkins
T, editor. Albert & Jakobiec's Principles & Practice of Ophthalmology.
Edisi ke-3. Philadelphia : Elsevier, 2008. Hlm 3571-2

194 | 2nd World Head & Neck Cancer Day


Tumor Mata dan Orbita

18. Chu E & Sartorelli AC. Cancer Chemotherapy. Dalam : Katzung BG,
Masters SB, & Trevor AJ, editor. Basic & Clinical Pharmacology. Edisi
ke-12. New York : McGraw-Hill Companies, Inc., 2010. hlm 949-71
19. Gerson Sl, Caimi Pf, Campagnaro E, Bhalla Kn, Grant S, & Creger Rj.
Pharmacology and Molecular Mechanisms of Antineoplastic Agents
for Hematologic Malignancies. Dalam : Hoffman R. Benz EJ, Silberstein
LE, Heslop HE, Weitz JI, & Anastasi J, editor. Hematology: Basic
Principles and Practice. Edisi ke-6. Philadelphia : Elsevier, 2013. Hlm.
783-9, 818-20, 830 839-40
20. American Academy of Ophthalmology. Basic and Clinical Science
Course. Ophthalmic Pathology and Intraocular Tumors. Section 4.
Singapore: American Academy of Ophthalmology; 2011-2012 : Hal.
298 - 314.
21. Pedoman Pelayanan Medis Ikatan Dokter Anak Indonesia. Edisi II.
Editor Antonius H. Pudjiadi Badriul Hegar Setyo Handryastuti Nikmah
Salamia Idris Ellen P. Gandaputra Eva Devita Harmoniati Klara Yuliarti.
Ikatan Dokter Aak Indonesia. Jakarta. 2011.
22. American Academy of Ophthalmology. Pediatric Ophthalmology and
Strabismus. Section 6. Singapore: American Academy of
Ophthalmology; 2011-2012 : Hal. 354-362 .
23. Cancer in Children.. 2015. Tersedia dalam ttps://www.academia.edu/
4278439/Cancer_in_children.
24. Dimaras H, Kimani K, Dimba EA. Retinoblastoma. Lancet.
2012;379:1436–1446. American Cancer Society
25. Carol L. Shields, MD, and Jerry A. Shields, MD.Article review :
Diagnosis and Management of Retinoblastoma. Ocular Oncology
Service,Wills Eye Hospital, Thomas JeffersonUniversity, Philadelphia,
Pennsylvania. 2004.
26. Abramson DH, Frank CM, Susman M, Whalen MP, Dunkel IJ, Boyd NW
3rd. Presenting signs of retinoblastoma. J Pediatr. 1998; 132:505-8.
Tersedia dalam http://eyewiki.aao.org/w/images/1/f/f1/
Retinoblastoma_White_Reflex.jpeg

Early Diagnosis and Current Treatment Paradigm in Head and Neck Surgery | 195
Ratika, Puti Ayu Tiara, Sonie Umbara, Lenora Sandra, Grace F. Sulaeman,
Angga Kartiwa, Shanti Boesoirie, M. Rinaldi Dahlan, Kautsar Boesoirie

27. Linn Murphree A. Intraocular retinoblastoma: the case for a new


group classification. Ophthalmol Clin North Am. 2005;18:41-53. 24.
28. Elsworth RM. The Practical management of retinoblastoma. Trans Am
Ophthalmol Soc 1969: 67: 462-534.
29. Shields CL, Shields JA. Basic understanding of current classification
and management of retinoblastoma. Curr Opin Ophthalmol.
2006;17:228-34.
30. Chantada G, Doz F, Antoneli CB, et al. A proposal for an international
retinoblastoma staging system Pediatr Blood Cancer 2006:47;801-
805.
31. Manjandavida, fairozz P. MD; Honavar, Santosh G. MD; Shields, Carol
L. MD; Shields, Jerry A. MD. Asia-Pasific Journal of Ophthalmology.
Retinoblastoma: Recent Update and Management Frontiers.
November/December 2013-Volume 2-Issue 6-p351-353.
32. Murthy R, Honavar SG, Naik MN, Reddy VA. Retinoblastoma. In: Dutta
LC, ed. Modern Ophthalmology . New Delhi, India, Jaypee Brothers;
2004:849- 859.
33. Shields CL, Manalac J, Das C, Ferguson K, Shields JA. Choroidal
melanoma. Curr Opin Ophthalmol [Internet]. 2014;25(3):177–85.
diunduh dari: http://content.wkhealth.com/linkback/openurl?sid
=WKPTLP:landingpage&an=00055735-201405000-00006
34. American Academy of Ophthalmology. Ophthalmic Pathology and
Intraocular Tumors. Basic Clin Sci course, Sect 4. 2009;186.
35. 3. Bell DJ, Wilson MW. Choroidal melanoma: natural history and
management options. Cancer Control. 2004;11(5):296–303.
36. Cohen NP, Coupland V, Damato CK, Evans B, Fenwick J, Kirkpatrick S,
et al. Uveal Melanoma National Guidelines (NICE accredited).
Melanoma Focus. 2015;(January):1–112.
37. Klingenstein A, Fürweger C, Nentwich MM, Schaller UC, Foerster PI,
Wowra B, et al. Quality of life in the follow-up of uveal melanoma
patients after CyberKnife treatment. Melanoma Res [Internet].
2013;23(6):481–8. diunduh dari: http://www.ncbi.nlm.nih.gov/
pubmed/24048223

196 | 2nd World Head & Neck Cancer Day


Tumor Mata dan Orbita

38. Jovanovic P, Mihajlovic M, Djordjevic-jocic J, Vlajkovic S, Cekic S.


Ocular melanoma : an overview of the current status.
2013;6(7):1230–44.
39. Mensink HW, Paridaens D, de Klein A. Genetics of uveal melanoma.
Expert Rev Ophthalmol. 2009;4(6):607–16.
40. Malcle A, Kivela T, Svetlosakova Z, Jean-Louis B, Nguyen A-M, Sallit R
becca, et al. Small metastasizing choroidal melanomas. Acta
Ophthalmol. 2015;93(2):e160–6.
41. Mellen PL, Morton SJ, Shields CL. American joint committee on cancer
staging of uveal melanoma. [Internet]. Vol. 6, Oman journal of
ophthalmology. 2013. p. 116–8. diunduh dari:
http://www.pubmedcentral.nih.gov/articlerender.fcgi?artid=3779409
&tool=pmcentrez&rendertype=abstract
42. Park WL. The Collaborative Ocular Melanoma Study. J Am Optom
Assoc. 2004;11(9):304–9.
43. Leonel Kahn, Martin Fuss, David Wilson, Brandon Merz, James Tanyi,
Charles R. Thomas, Jr. AH. I-125 Plaque Brachytherapy for Choroidal
Melanoma Choroidal melanoma is a deadly cancer. 2012;
44. Simpson ER, Gallie B, Laperrierre N, Beiki-Ardakani A, Kivelä T, Raivio
V, et al. The American Brachytherapy Society consensus guidelines for
plaque brachytherapy of uveal melanoma and retinoblastoma.
Brachytherapy. 2014;13(1):1–14.
45. Sandra R, Moeloek NF, Usman TA. Virus sebagai etiologi
karsinoma sel skuamosa adneksa mata. Bagian ilmu penyakit
mata fakultas kedokteran Indonesia. Jakarta.1992. p 664-5
46. Finger PT. Squamous carcinoma and intraepithelial neoplasia of the
conjunctiva. Available from : http://www.eyecancer.com/ Patient/
Condition.aspx?
nID=38&Category=Conjunctival+Tumors&Condition=Squamous+Carci
noma+a nd+Intraepithelial+Neoplasia+of+the+Conjunctiva
47. Kloek C. Digital journal of oftalmology. Massachusetts Eye and Ear
Infirmary. 2004. Available from : http://www.djo.harvard.edu/
site.php?url=/patients.

Early Diagnosis and Current Treatment Paradigm in Head and Neck Surgery | 197
Ratika, Puti Ayu Tiara, Sonie Umbara, Lenora Sandra, Grace F. Sulaeman,
Angga Kartiwa, Shanti Boesoirie, M. Rinaldi Dahlan, Kautsar Boesoirie

48. American academy of ophtalmology. Ophtalmic Pathology and


intraocular tumor. Section 4. 2009-2010. p 66-7
49. Edge SB, Byrd DR, Compton CC, Fritz AG, Greene FL, Trotti A.
American Joint Committee on Cancer. Ed 7. p 532
50. Suhardjo SU, Siti S, Bayu MS. Degenerasi di konjungtiva. Buku ilmu
kesehatan mata. Bagian ilmu penyakit mata FKUGM. November 2007.
p 531-2
51. Augsburger JJ, Schneider S. Tumors of Conjunctiva and
Cornea. In : Opthalmology. Mosby. Spain. 2004
52. Oral D. Conjunctival squamous cell carcinoma. 2010. Available
form : http://www.osnsupersite.com/view.aspx?rid=66118.
53. Cipto H, Pratomo U.S et al : Deteksi dan Penatalaksanaan Kanker Kulit
Dini, FKUl Jakarta 2001: 15-24, 30-40, 73-85. 

54. Harahap M : llmu penyakit kulit cetakan I, Hipokrates, Jakarta 2000,
222- 226. 

55. Tambunan GW : Diagnosis dan Tata Laksana Sepuluh Jenis Kanker
Terbanyak di Indonesia, Edisi l, EGC, Jakarta 1991: 52-58. 

th
56. Arinold HL, et al : Andrew's Disesases of the skin, 9 edition, WB
Soundeos Co 2000 : 820-829. 

rd
57. Moschella SL, Hurley Hj : Dermatology 3 edition, WB Sounders Co
1995. Bol2 : 1746-1749. 

rd
58. Habib TB : Clinical Dermatology, 3 edition, mosty missaouri
1996:649- 659. 

rd
59. Fitzpatrick TB et al : Dermatology in General Medicine, 4 edition, Mc.
Graw Hill Inc 1993, Vol : 840-846. 

60. Jayanta K, Widjaya Hakim R dkk : penanganan Karsinoma Sel Basal
Dalam : Perkembangan Orkologi dan Bedah Kulit di Indonesia,
Kumpulan Makalah Lengakap PTT V Perdoski Semarang November
2000. 

61. Farmer ER, Hood AF : Pathology of Skin, Prentice Hall International
1990 : 568-579.
rd
62. Murphy F,G : Dermathology in General Medicine, 4 edition, Mc.
Graw Hill Inc 1993, Vol : 840-846.

198 | 2nd World Head & Neck Cancer Day


Tumor Mata dan Orbita

63. 11.Kanoko M : Beberapa Aspek Patologik Tumor Ganas Kulit


Melanom dan Non Melanoma. Dalam : Perkembangan Onkologi dan
Bedan Kulit di Indonesia, Pada Kumpulan Makalah Lengkap
Pertemuan Ilmiah Tahunan V Perdoski Tahun 2000 : Penerbit : Badan
Penerbit Universitas Dipenogoro, Semarang, 2000 : 24-25.
rd
64. 12.Lever WF : Histopatology of The Skin, 6 edition, JB Lippincot
Company, 1983: 562-574.
65. Wasitaatmadja SM. Anatomi Kulit Dalam: Ilmu Penyakit Kulit dan
Kelamin. Edisi ke- 2. Jakarta. Penerbit Fakultas Kedokteran UI. 1993.
h. 3-5 

66. Glassman ML. Sebaceous Gland Carcinoma. Diambil dari URL:
http://www.emedicine.com/oph/topic716.ht m. 2001 

67. Spencer WH. Sebaceous Gland Carcinoma. Dalam: Ophthalmic
Pathology (An Atlas and Textbook). Volume 3. Edisi ke-3. Philadelphia.
W.B. Saunders Company. 1986. h. 2200-2214 

68. Orbit,Eyelids and Lacrimal System. Dalam: American Academy of
Ophthalmology Basic and Clinical Science Course. Section 7. 1997-
1998. h. 184-185 

69. Ophthalmic Pathology and Intraocular Tumor. Dalam: American
Academy of Ophthalmology Basic and Clinical Science Course. Section
4. 1997-1998. h. 112-114
70. External Disease and Cornea. Dalam: American Academy of
Ophthalmology Basic and Clinical Science Course. Section 8. 1997-
1998. h. 242-243 

71. Shields JA. Secondary Orbital Tumors. Dalam: Diagnosis and
Management of 

72. Orbital Tumors. Philadelphia. W.B. Saunders Company. 1989. h. 344-
347
73. Damato B. Miscellaneous Conjunctival Tumors. Dalam: Ocular
Tumors. London. Butterworth-Heinneman. 2000. h. 36-38 

74. Kanski JJ. Sebaceous Gland Carcinoma. Dalam: Clinical Ophthalmology
A Systematic Approach. Edisi ke-4. London. Butterworth-Heinneman.
1999. h. 22-23

Early Diagnosis and Current Treatment Paradigm in Head and Neck Surgery | 199
Ratika, Puti Ayu Tiara, Sonie Umbara, Lenora Sandra, Grace F. Sulaeman,
Angga Kartiwa, Shanti Boesoirie, M. Rinaldi Dahlan, Kautsar Boesoirie

75. Millman et al. The molecular genetics of eyelid tumors: recent


advances and future directions. Arch Clin Exp Ophthalmol 2013;
251:419-433.
76. Boulos PR, Rubin PA. Cutaneous melanomas of the eyelid. Semin
Ophthalmol. 2006 Jul-Sep;21(3):195-206.
77. Bravo Puccio F1, Chian C. Acral junctional nevus versus acral
lentiginous melanoma in situ: a differential diagnosis that should be
based on clinicopathologic correlation. Arch Pathol Lab Med. 2011
Jul;135(7):847-52.
78. Sbano P, Nami N, Grimaldi L, Rubegni P. True amelanotic melanoma:
the great masquerader. J Plast Reconstr Aesthet Surg. 2010
Mar;63(3):e307-8
79. Ohsie SJ, Sarantopoulos GP, Cochran AJ, Binder SW.
Immunohistochemical characteristics of melanoma. J Cutan Pathol.
2008 May;35(5):433-44.
80. Sheffield MV1, Yee H, Dorvault CC, Weilbaecher KN, Eltoum IA, Siegal
GP, Fisher DE, Chhieng DC. Comparison of five antibodies as markers
in the diagnosis of melanoma in cytologic preparations. Am J Clin
Pathol. 2002 Dec;118(6):930-6.
81. Charles M. Balch, et al. Final Version of 2009 AJCC Melanoma Staging
and Classification. J Clin Oncol. Dec 20, 2009; 27(36): 6199–6206.
82. National Comprehensive Cancer Network. Available
online:http://www.nccn.org
83. Dawn et al. Mohs Surgery for the Treatment of Melanoma in Situ: A
Review. Dermatol Surg. 2007 Apr;33(4):395-402.
84. American Cancer Society. Available online: http://www.cancer.org/
cancer/skincancer-melanoma/detailedguide/melanoma-skin-cancer-
survival-rates
85. Krachmer JH, Mannis MJ, Holland EJ. Cornea: Fundamentals,
diagnosis and management. 2005.
86. Reidy JJ, Bouchard CS, Florakis GJ, et al. Basic and Clinical Science
Course, 2011-2012. 2011:226–233.

200 | 2nd World Head & Neck Cancer Day


Tumor Mata dan Orbita

87. Ateenyi-Agaba C. Conjunctival squamous-cell carcinoma associated


with HIV infection in Kampala, Uganda. The Lancet 1995;345:695–
696.
88. Newton R, Reeves G, Beral V, et al. Effect of ambient solar ultraviolet
radiation on incidence of squamous-cell carcinoma of the eye. The
Lancet 1996;347:1450–1451.
89. Karp CL, Scott IU, Chang TS, Pflugfelder SC. Conjunctival
Intraepithelial Neoplasia: A Possible Marker for Human
Immunodeficiency Virus Infection? Arch Ophthalmol 1996;114:257–
261.
90. Basti S, Macsai MS. Ocular surface squamous neoplasia: a review.
Cornea 2003;22:687–704.
91. Kiire CA, Srinivasan S, Karp CL. Ocular Surface Squamous Neoplasia.
International ophthalmology clinics 2010;50:35–46.
92. Lee GA, Williams G, Hirst LW, Green AC. Risk factors in the
development of ocular surface epithelial dysplasia. Ophthalmology
1994;101:360–364.
93. Spitzer MS, Batumba NH, Chirambo T, et al. Ocular surface squamous
neoplasia as the first apparent manifestation of HIV infection in
Malawi. Clin Experiment Ophthalmol 2008;36:422–425.
94. Carrilho C, Gouveia P, Yokohama H, et al. Human papillomaviruses in
intraepithelial neoplasia and squamous cell carcinoma of the
conjunctiva. European Journal of Cancer Prevention 2013;22:566–
568.
95. Galor A, Garg N, Nanji A, et al. Human Papilloma Virus Infection Does
Not Predict Response to Interferon Therapy in Ocular Surface
Squamous Neoplasia. Ophthalmology 2015;122:2210–2215.
96. Thomas BJ, Galor A, Nanji AA, et al. Ultra high-resolution anterior
segment optical coherence tomography in the diagnosis and
management of ocular surface squamous neoplasia. The Ocular
Surface 2014;12:46–58.
97. Nanji AA, Sayyad FE, Karp CL. Topical chemotherapy for ocular surface
squamous neoplasia. Curr Opin Ophthalmol 2013;24:336–342.

Early Diagnosis and Current Treatment Paradigm in Head and Neck Surgery | 201
Ratika, Puti Ayu Tiara, Sonie Umbara, Lenora Sandra, Grace F. Sulaeman,
Angga Kartiwa, Shanti Boesoirie, M. Rinaldi Dahlan, Kautsar Boesoirie

98. Özcan AA, Çiloğlu E, Esen E, Şimdivar GH. Use of topical bevacizumab
for conjunctival intraepithelial neoplasia. Cornea 2014;33:1205–1209.
99. 19. Tabin G, Levin S, Snibson G, et al. Late Recurrences and the
Necessity for Long-term Follow-up in Corneal and Conjunctival
Intraepithelial Neoplasia. Ophthalmology 1997;104:485–492.
100. Cantor LB, Rapuano CJ, Cioffi GA. Orbit, eyelids, and lacrimal system.
California: American academy of ophthalmology; 2014. hlm. 76-8
101. Possin ME, Burkat CN, Wladis. Rhabdomyosarcoma. American
academy of ophthalmology; .2016; [diunduh 31 Agustus 2016].
Tersedia dari: http://eyewiki.aao.org/Rhabdomyosarcoma
102. Shields JA, Shields CL. Orbital rhabdomyosarcoma. Dalam: Hoyt CS,
Taylor D. Pediatric ophthalmology and strabismus. Philadelphia:
Elsevier, 2013. hlm. 216-21
103. Shields CL, Shields JA. Orbital rhabdomyosarcoma. Dalam: Tindall R,
Jensvold B. Roy and fraunfelder's current ocular therapy.
Philadelphia: Elsevier, 2008. hlm 264-66
104. Diller L, Sexsmith E, Gottlieb A et al. Germline mutations are
frequently detected in young children with rhabdomyosarcoma. J Clin
Invest 1995;95: hlm.1606-11

202 | 2nd World Head & Neck Cancer Day


FAKTOR RISIKO KARSINOMA NASOFARING
DI RUMAH SAKIT HASAN SADIKIN BANDUNG
dr. R Ayu Hardianti S,
Dr. Yussy Afriani Dewi, dr., M.Kes., Sp.T.H.T.K.L(K), FICS,
Agung Dinasti Permana, dr., Sp.T.H.T.K.L, M.Kes., FICS

Departemen Ilmu Kesehatan Telinga Hidung Tenggorok Bedah Kepala Leher


Fakultas Kedokteran Universitas Padjadjaran
Rumah Sakit Dr. Hasan Sadikin

ABSTRAK
Latar Belakang : Karsinoma nasofaring (KNF) adalah keganasan sel
skuamosa pada lapisan epitel nasofaring yang merupakan keganasan THT-
KL terbanyak di Indonesia. Etiologi KNF bersifat multifaktorial yang terdiri
dari makanan, lingkungan, genetik, dan Virus Epstein-Barr. Tujuan
penelitian ini untuk mengetahui faktor risiko terbanyak terhadap kejadian
karsinoma nasofaring di THT-KL rumah sakit dr. Hasan Sadikin Bandung.

Metode: Penelitian deskriptif retrospektif berdasarkan data rekam medis


pasien KNF yang berobat ke Poli Onkologi Bedah Kepala Leher THT-KL dr.
Hasan Sadikin Bandung pada bulan Januari 2010-Desember 2015.

Hasil: Terdapat 426 pasien KNF (265 laki-laki dan 161 perempuan) dengan
tiga faktor risiko terbanyak adalah riwayat merokok (50,7%), penggunaan
obat nyamuk bakar (43,2%), dan konsumsi ikan asin (39,7%).

Kesimpulan: merokok, penggunaan obat nyamuk bakar, dan konsumsi ikan


asin mempengaruhi kejadian karsinoma nasofaring

Kata kunci: Faktor risiko, karsinoma nasofaring, rokok, obat nyamuk bakar,
ikan asin.

203
RISK FACTORS OF NASOPHARYNGEAL
CARCINOMA AT DR. HASAN SADIKIN
GENERAL HOSPITAL BANDUNG
dr. R Ayu Hardianti S,
Dr. Yussy Afriani Dewi, dr., M.Kes., Sp.T.H.T.K.L(K), FICS,
Agung Dinasti Permana, dr., Sp.T.H.T.K.L, M.Kes., FICS

Departement of Otorhinolaryngology Head and Neck Surgery


Faculty of Medicine Padjadjaran University
Dr. Hasan Sadikin General Hospital Bandung

Abstract
Background: Nasopharyngeal carcinoma (NPC) is malignancy of squamous
cells on nasopharyngeal epithelial layer and the most common
otorhinolaryngology malignancy found in Indonesia. Etiology of NPC is
multifactorial including, food, environment, genetics, and Epstein-Barr
virus infection. The study aimed to determine the highest risk factors on
the incidence of nasopharyngeal carcinoma in Otorhinolaringology-Head
and Neck Surgery Department dr. Hasan Sadikin General Hospital Bandung.

Methods: The study design was descriptive retrospective from patients


medical record on Otorhinolaringology-Head and Neck Surgery
Department dr. Hasan Sadikin General Hospital Bandung from January
2010–December 2015.

Result: There are 462 patients nasopharyngeal carcinoma (265 men and
161 women) with three most common risk factors history of smoking
(50,7%), mosquito coils use (43,2%), and consumption of salty fish (39,7%).

Conclusion: Smoking, mosquito coils use, and consumption of salty fish


affect the incidence of nasopharyngeal carcinoma.

Keywords: Risk factor, nasopharyngeal carcinoma, smoking, mosquito coils


use, consumption of salty fish.

204 | 2nd World Head & Neck Cancer Day


Faktor Risiko Karsinoma Nasofaring di Rumah Sakit Hasan Sadikin Bandung

LATAR BELAKANG
Karsinoma nasofaring (KNF) merupakan keganasan di daerah kepala dan
leher yang berasal dari epitel nasofaring dengan predileksi tersering pada
fossa Rosenmuller. Karsinoma nasofaring termasuk ke dalam lima besar
seluruh keganasan setelah kanker serviks, payudara, kelenjar getah bening
1
(KGB), dan kulit.
Angka kejadian KNF paling tinggi ditemukan di Asia dan jarang
2
ditemukan di Amerika dan Eropa. Karsinoma nasofaring dapat ditemukan
di seluruh negara dari lima benua tetapi insidensi tertinggi terdapat di Cina
bagian selatan khususnya di provinsi Guandong yaitu 17,8 per 100.000
penduduk pertahun dengan frekuensi 100 kali lebih tinggi dibanding ras
3
Kaukasia.
Angka kejadian KNF di Indonesia yaitu 4,7 kasus baru per 100.000
penduduk per tahun. Perbandingan antara laki-laki dan perempuan yaitu
4
2–3:1. Kasus KNF di Bagian Ilmu Kesehatan THT-KL menduduki peringkat
pertama keganasan pada daerah kepala dan leher. Prevalensi di
Departemen Ilmu Kesehatan THT-KL RS Dr. Hasan Sadikin Bandung selama
5
periode tahun 2010-2014 mencapai 39,4%.
Karsinoma nasofaring terjadi akibat interaksi antara faktor
genetik, infeksi Virus Epstein Barr (VEB), faktor lingkungan seperti terpapar
zat karsinogen seperti formaldehid, debu kayu serta asap kayu bakar,
merokok, dan faktor makanan yaitu mengkonsumsi ikan asin yang
6,7
mengandung nitrosamine dan makanan yang diawetkan.
Penelitian mengenai faktor risiko terjadinya KNF di Indonesia belum
pernah dilakukan. Atas dasar ini peneliti ingin melakukan penelitian.
Tujuan dilakukan penelitian ini adalah untuk mengetahui faktor
risiko terjadinya KNF di RSHS sebagai Rumah Sakit pusat rujukan di Jawa
Barat.

METODE PENELITIAN
Metode penelitian ini merupakan deskriptif retrospektif berdasarkan data
rekam medis pasien dengan keganasan kepala dan leher yang memenuhi
kriteria inklusi dan eksklusi. Kriteria inklusi adalah seluruh pasien dengan

Early Diagnosis and Current Treatment Paradigm in Head and Neck Surgery | 205
dr. R Ayu Hardianti S, Dr. Yussy Afriani Dewi, dr., M.Kes., Sp.T.H.T.K.L(K), FICS,
Agung Dinasti Permana, dr., Sp.T.H.T.K.L, M.Kes., FICS

keganasan kepala leher yang berobat ke poliklinik THT-KL subdivisi


Onkologi Bedah Kepala Leher, RSHS, Bandung periode Januari 2010-
Desember 2015. Kriteria eksklusi adalah rekam medis tidak lengkap.

HASIL PENELITIAN
Selama periode Januari 2010-Desember 2015, dilakukan penelitian
terhadap pasien 482 pasien dengan keganasan kepala leher di THT-KL
RSHS dengan hasil:

Tabel 1 Karakteristik Subjek Penelitian

Kelompok
Variabel Ca Nasofaring Non- KNF
N= 426 N= 56
Usia
Mean±STD 43.34±14.351 53.553±13.962
Median 45.00 53.500
Range (min-max) 10.00-86.00 20.00-81.00

Jenis kelamin
Laki-laki 265 (62.2%) 28 (50%)
Perempuan 161 (37.8%) 28 (50%)

Berdasarkan hasil tersebut, didapatkan perbandingan faktor risiko


keganasan kepala dan leher antara karsinoma nasofaring dan non-KNF.
Untuk kelompok KNF pada usia rata-rata sebesar 43.34±14.351 sedangkan
pada kelompok non-KNF sebesar 53.553±13.962. Jenis kelamin laki-laki
(62.2%) pada kelompok KNF lebih banyak dibandingkan perempuan
(37.8%) sedangkan pada kelompok non-KNF tidak ada perbedaan antara
jenis kelamin.

206 | 2nd World Head & Neck Cancer Day


Faktor Risiko Karsinoma Nasofaring di Rumah Sakit Hasan Sadikin Bandung

Tabel 2. Faktor Risiko pada KNF dan non-KNF

Kelompok
Variabel Ca Nasofaring Non- KNF
N= 426 N= 56
Penggunaan ONB
Ya 184 (43,2%) 15 (26,7%)
Tidak 242 (56,8%) 41 (73,3%)

Jumlah ONB
<1 24 (5.6%) 5 (33,4%)
2-4 160 (37.6%) 10 (66,7%)

Lama rokok
<10 tahun 77 (18.1%) 10 (17,8%)
>10 tahun 139 (32.6%) 23 (41%)
Tidak merokok 153 (35,9%) 19 (39,9%)
Pasif 57 (13.4%) 4 (7,3%)

Konsumsi alkohol
Ya 60 (14.1%) 20 (35.7%)
Tidak 366 (85.9%) 36 (64.3%)

Riwayat keluarga dengan


kanker
Ya 30 (7.0%) 2 (3.6%)
Tidak 396 (93.0%) 54 (96.4%)

Ikan asin
Ya 169 (39.7%) 3 (5.4%)
Tidak 257 (60.3%) 53 (94.6%)

Faktor risiko yang meningkatkan kejadian KNF terdiri dari riwayat


merokok (50,7%), penggunaan obat nyamuk bakar (43,2%), riwayat
mengkonsumsi ikan asin (39,7%), konsumsi alkohol (14,1%), dan riwayat
keluarga yang mengalami kanker (7%).

Early Diagnosis and Current Treatment Paradigm in Head and Neck Surgery | 207
dr. R Ayu Hardianti S, Dr. Yussy Afriani Dewi, dr., M.Kes., Sp.T.H.T.K.L(K), FICS,
Agung Dinasti Permana, dr., Sp.T.H.T.K.L, M.Kes., FICS

Tabel 3. Faktor Risiko Terbanyak KNF

Kelompok Penelitian
Variabel Periode Januari 2010 – Desember 2015
(n=426)
Rokok 216 (50,7%)
Obat Nyamuk Bakar 184 (43,2%)
Konsumsi ikan asin 169 (39,7%)

Faktor risiko terbanyak untuk kelompok KNF terdiri dari riwayat


merokok (50,7%) dengan lama merokok > 10 tahun (32,6%), penggunaan
obat nyamuk bakar (43,2%), dan mengkonsumsi ikan asin (39,7%).

Tabel 4. Faktor Risiko Terbanyak non-KNF

Kelompok Penelitian
Variabel Periode Januari 2010 – Desember 2015
(n=56)
Rokok 33 (58,8%)
Konsumsi alkohol 20 (35,7%)
Obat nyamuk bakar 15 (26,7%)

Pada kelompok non-KNF faktor risiko terbanyak terdiri dari riwayat


merokok sebanyak (58,8%) dengan lama merokok >10 tahun (41%),
konsumsi alkohol (35,7%), dan penggunaan obat nyamuk bakar (26,7%).

DISKUSI
Pada penelitian ini memperlihatkan jenis kelamin laki-laki lebih banyak
daripada perempuan dengan ratio 1-2:1 dan sebaliknya pada kelompok
non-KNF, tidak ada perbedaan berdasarkan jenis kelamin. Pada kebanyak
kasus KNF terjadi pada usia 29-57 tahun dan kelompok non-KNF pada usia
40-68 tahun. Di Amerika Serikat, usia dan jenis kelamin sangat penting
untuk menentukan risiko karsinoma pada kepala leher. Rata-rata usia
pasien saat di diagnosis adalah 55-65 tahun, sehingga dapat disimpulkan
orang tua dan dewasa tua memiliki risiko yang lebih besar dibandingkan
8
anak-anak dan dewasa muda.

208 | 2nd World Head & Neck Cancer Day


Faktor Risiko Karsinoma Nasofaring di Rumah Sakit Hasan Sadikin Bandung

Pada tabel 2 dijelaskan hubungan antara faktor risiko seperti


penggunaan obat nyamuk bakar, merokok, konsumsi alkohol, dan
konsumsi ikan asin dengan kejadian KNF. Faktor risiko merokok pada kasus
KNF (50,7%) lebih rendah dari kasus non-KNF (58,8%). Merokok dan
konsumsi alkohol diperkirakan sebagai faktor risiko dominan. Penelitian
yang dilakukan Menurut Stevens, merokok dapat meningkatkan risiko
karsinoma nasofaring sel skuamosa sebanyak 5,8 kali, alkohol sendiri dapat
meningkatkan risiko sebanyak 3,6 kali, sehingga keduanya dapat
9
meningkatkan risiko hingga 19 kali.
Penelitian yang dilakukan Wen-Qiong Xue menunjukkan bahwa
merokok dapat meningkatkan terjadinya KNF dibandingkan yang bukan
KNF. Rokok mengandung zat karsinogenik seperti nikotin dan hidrokarbon
aromatik polisiklik yang menyebabkan mutasi gen dan methylation yang
menyebabkan perubahan dari sel epitel pada nasofaring yang kontak
10
langsung dengan mukosa saat inhalasi.
Penggunaan obat nyamuk bakar pada pasien KNF sebesar (43,2%)
dan non-KNF (26,7%). Berdasarkan penilitian Septiani (2016), obat nyamuk
11
bakar berisiko 2,58 kali terjadi KNF. Menurut badan Penelitian Kesehatan
Dasar tahun 2013, Indonesia merupakan negara pengguna obat nyamuk
12
bakar sebesar 48,8%. Menurut Moore MA, obat nyamuk bakar
merupakan faktor risiko KNF terbanyak di negara Indonesia dan Malaysia.
Obat nyamuk bakar mengandung bahan karsinogenik berupa formaldehid
13
dan asetildehid yang dapat mengiritasi saluran pernapasan atas. Menurut
International Agency for Research on Cancer (IARC), formaldehid dan
asetildehid berisiko terjadinya KNF. Formaldehid dan asetaldehid dari obat
nyamuk bakar berikatan dengan protein intraseluler sehingga mengganggu
replikasi DNA dan menyebabkan mutasi onkogenik, dan sehingga terjadi
perubahan morfologi, fungsi sel dan kelainan reaksi imunologis pada sel
14
epitel nasofaring.
Faktor risiko lain yang mempengaruhi tingginya kejadian KNF adalah
mengkonsumsi ikan asin secara rutin. Menurut penelitian Tabuchi di
Jepang konsumsi makanan ikan asin secara rutin meningkatkan kejadian
KNF 3,15 kali. Ikan asin memiliki kandungan nitrosamine yang muncul

Early Diagnosis and Current Treatment Paradigm in Head and Neck Surgery | 209
dr. R Ayu Hardianti S, Dr. Yussy Afriani Dewi, dr., M.Kes., Sp.T.H.T.K.L(K), FICS,
Agung Dinasti Permana, dr., Sp.T.H.T.K.L, M.Kes., FICS

dalam proses pengasinan dan penjemuran ikan asin dibawah panasnya


sinar matahari. Dalam prosesnya, sinar matahari akan bereaksi dengan
nitrat pada daging ikan asin tersebut dan membentuk senyawa
nitrosamine yang meningkatkan karsinogenesis pada sel epitel
15
nasofaring.
Faktor risiko nasofaring tidak hanya dipengaruhi oleh salah satu
faktor risiko saja. Pada penelitian ini tidak semua pasien KNF berdasarkan
data rekam medis disertai data mengenai faktor risiko KNF, hal tersebut
merupakan salah satu kelemahan dari penelitian ini.

SIMPULAN
Faktor risiko yang mempengaruhi terjadinya KNF di poliklinik THT-KL RSHS
Bandung Periode Januari 2010-Desember 2015 terdiri dari pengunaan obat
nyamuk bakar, merokok, dan konsumsi ikan asin.

DAFTAR PUSTAKA
1. Vinay Kumar M, Abul K. Abbas, Nelson Fausto, Jon C. Aster, editors.
Robbins and Cotran Pathologic Basis of Disease. Eighth ed. Philadelphia:
Saunders; 2010. p. 1125
2. Cao SM, Simons MJ, Qian C. 2011. The Prevalence and Prevention of
Nasopharyngeal Carcinoma in China. Chinese Journal of Cancer,
vol.30:114-9.
3. Jia WH, Luo XY, Zeng YX. Traditional Cantonese diet and
nasopharyngeal carcinoma risk : a large scale case-control study in
Guangdong, China. BMC Cancer. 2010. 10:446.
4. Adham M, Kurniawan AN, Muhtadi AI, Roezin A, Hermani B,
Gondhowiardjo dkk. 2012. Nasopharyngeal carcinoma in Indonesia :
epidemiology, incidence, sign, and symptoms at presentation. Chin
Journal of Cancer, Vol. 31(4):185-96.
5. Madani DZ NA, Permana AD. Prevalence of Nasopharyngeal Carcinoma
Patients at Departement of Otorhinolaryngology-Head and Neck
Surgery DR. Hasan Sadikin General Hodpital, Bandung, Indonesia in
2010-2014. Indonesia: Universitas Padjadjaran; 2015.

210 | 2nd World Head & Neck Cancer Day


Faktor Risiko Karsinoma Nasofaring di Rumah Sakit Hasan Sadikin Bandung

6. Lee AW, Ng W, Chan Y, Sze H, Chan C, Lam T. The battle against


nasopharyngeal cancer. Radiotherapy and Oncology. 2012;104(3):272-
8.
7. Anghel I, Anghel A, Dumitru M, Soreanu C. Nasopharyngeal carcinoma--
analysis of risk factors and immunological markers. Chirurgia (Bucur).
2012;107(5):640-5.
8. Kim L, King T, Agulnik M. Head and Neck Cancer: Changing
Epidemiology and Public Health Implications. Oncology. 2010; 24(10):
915–9.
9. Syrigos KN, Karachalios D, Karapanagiotou EM, Nutting CM,
Manolopoulos L, Harrington KJ. Head and neck cancer in the elderly: An
overview on the treatment modalities. Cancer Treat Rev. 2009; 35:
237–45.
10. Wen-Qiong Xue Hai-De Qin, Hong-Lian Ruan, Yin Yao Shugart, and Wei-
Hua Jia. Systematic Reviews and Meta- and Pooled Analyses:
Quantitative Association of Tobacco Smoking With the Risk of
Nasopharyngeal Carcinoma: A Comprehensive Meta-Analysis of Studies
Conducted Between 1979 and 2011. American Journal of Epidemiology
Oxford Journal. 2013:1-14.
11. Septiani W, Dewi YA, Afriandi I. Association between Mosquito Coils
Use with Nasopharyngeal Carcinoma. Indonesia: Universitas
Padjadjaran; 2016.
12. Kesehatan D, RI KK. Riset Kesehatan Dasar. Jakarta: Badan Penelitian
dan Pengembangan Kesehatan Departemen Kesehatan Republik
Indonesia. 2013.
13. Moore MA, Manan A, Chow KY, Cornain SF, Devi C, Triningsih F, et al.
Cancer epidemiology and control in peninsular and island South-East
Asia-past, present and future. Asian Pac J Cancer Prev. 2010;11(Suppl
2):81-98.
14. Sharma TD, Singh TT, Laishram RS, Sharma L, Sunita A, Imchen LT.
Nasopharyngeal carcinoma-a clinico-pathological study in a regional
cancer centre of northeastern India. Asian Pac J Cancer Prev.
2011;12(6):1583-7.

Early Diagnosis and Current Treatment Paradigm in Head and Neck Surgery | 211
dr. R Ayu Hardianti S, Dr. Yussy Afriani Dewi, dr., M.Kes., Sp.T.H.T.K.L(K), FICS,
Agung Dinasti Permana, dr., Sp.T.H.T.K.L, M.Kes., FICS

15. Tabuchi K, Nakayama M, Nishimura B, Hayashi K, Hara A. Early


detection of nasopharyngeal carcinoma. International journal of
otolaryngology.

212 | 2nd World Head & Neck Cancer Day


Penelitian

PREVALENSI NODUL TIROID DI


DEPARTEMEN/SMF ILMU KESEHATAN
THT-KL RSHS TAHUN 2010 SAMPAI 2015
dr. Franssiskus H. Poluan,
Dr. Yussy Afriani Dewi, dr., M.Kes., Sp.T.H.T.K.L(K), FICS,
Agung Dinasti Permana, dr., Sp.T.H.T.K.L, M.Kes., FICS

Departemen Ilmu Kesehatan Telinga Hidung Tenggorok Bedah Kepala Leher


Fakultas Kedokteran Universitas Padjadjaran/ Rumah Sakit Dr. Hasan Sadikin
Bandung

ABSTRAK
Latar belakang: Nodul tiroid adalah pertumbuhan sel-sel tiroid yang
abnormal sehingga membentuk benjolan pada kelenjar tiroid. Nodul tiroid
sering terjadi dan disebabkan oleh berbagai macam gangguan tiroid.
Sebagian besar nodul tiroid bersifat jinak dan asimtomatis. Tujuan: Untuk
mengetahui prevalensi Nodul Tiroid di Departemen/ SMF Ilmu Kesehatan
THT-KL RSHS Bandung berdasarkan kelompok usia, jenis kelamin,
histopatologi, BAJAH, dan jenis operasi. Metode: Populasi penelitian
adalah seluruh data rekam medis penderita yang didiagnosis nodul tiroid
tahun 2010 sampai 2015. Hasil: Dari 121 sampel penelitian yang
terdiagnosa nodul tiroid ditemukan pada perempuan sebanyak 93 orang
(61%) dengan kelompok rentang usia 44 tahun. Pemeriksaan BAJAH, paling
banyak adenomatous goiter sebanyak 38 kasus (31,4%), papiler tiroid, dan
folikuler tiroid masing-masing sebanyak 34 kasus (28,1%). Pemeriksaan
histopatologi ditemukan papiler tiroid sebanyak 40 kasus (33,1%) dan
folikuler tiroid sebanyak 36 kasus (29,7%). Tindakan hemitiroidektomi
dilakukan sebanyak 62 kasus (51,2%) dan total tiroidektomi sebanyak 39
kasus (33,2%). Kesimpulan: Penelitian ini didapatkan karakteristik nodul
tiroid yang terbanyak adalah papiler tiroid. Berdasarkan jenis kelamin

213
dr. Franssiskus H. Poluan, Dr. Yussy Afriani Dewi, dr., M.Kes., Sp.T.H.T.K.L(K), FICS,
Agung Dinasti Permana, dr., Sp.T.H.T.K.L, M.Kes., FICS

ditemukan paling banyak pada wanita daripada laki-laki, Usia rentang


kejadian nodul tiroid yaitu 15 sampai 73 tahun. Pemeriksaan
histopatologis, ditemukan jenis papiler tiroid lebih banyak daripada jenis
nodul tiroid lainnya. Jenis pembedahan paling banyak dilakukan adalah
tindakan hemitiroidektomi.

Kata Kunci: Nodul tiroid, prevalensi, BAJAH, histopatologi, tiroidektomi

ABSTRACT
Background: Thyroid nodule refers to an abnormal growth of thyroid cells
that forms a lump within the thyroid gland. Thyroid nodule are common
and may be caused by variety of thyroid disorder. Majority of thyroid
nodules are benign and asymptomatic. Aims: Of this research is to
ascertain the prevalence of thyroid nodule patients in Otorhinolaringology-
Head and Neck Surgery Departement Hasan Sadikin General Hospital,
Bandung, Indonesia in 2010- 2015. Methods: : A descriptive method from
medical records of thyroid nodule patients that used the total sampling
method. Spesific characteristic studied were gender, age, FNAB,
histological type, and type of operation. Results: One hunred and twenty
one of the study were diagnosed as thyroid nodule, 93 cases (61%) found
in female with the range age is 44 years old. FNAB examination,
adenomatous goiter found 38 cases (31.4%), papillary thyroid and
follicular thyroid each as much as 34 cases (28.1%). Histopathological
examination found papillary thyroid 40 cases (33.1%) and follicular thyroid
36 cases (29.7%). Hemithyroidectomy have done as much as 62 cases
(51.2%) complete thyroidectomy 39 cases (33.2%). Conclusion: In this
research, the highest incidence of thyroid nodules is papillary thyroid with
the highest gender in women than men, age range of the incidence of
thyroid nodules are 15-73 years old. Type of papillary thyroid is the
hihghest incidence than the other type thyroid nodule. Most widely
performed surgical management is hemithyroidectomy

Keywords: Thyroid nodules, prevalence, FNAB, histopatology, thyroidectomy

214 | 2nd World Head & Neck Cancer Day


Prevalensi Nodul Tiroid di Departemen/SMF Ilmu Kesehatan THT-KL RSHS
Tahun 2010 sampai 2015

Pendahuluan
Nodul tiroid merupakan pertumbuhan sel-sel tiroid yang abnormal
sehingga membentuk benjolan pada kelenjar tiroid. Sebagian besar nodul
tiroid bersifat jinak, dan asimptomatis. Prevalensi nodul tiroid didunia
terjadi sebesar 4-7% pada pemeriksaan fisik daerah leher dan 13-67% pada
1,2
pemeriksaan ultrasonografi (USG).
Nodul tiroid lebih sering terjadi pada wanita, usia lanjut, defisiensi
yodium, dan riwayat paparan sinar radiasi. Prevalensi nodul tiroid
meningkat secara linier dengan bertambahnya usia, riwayat terkena
paparan radiasi pengion dan defisiensi yodium. Prevalensi di Amerika
Serikat sebanyak 0,1% yang menunjukkan bahwa terdapat 300.000 kasus
baru setiap tahunnya. Nodul tiroid pada orang dewasa umumnya bersifat
jinak dan diperkirakan mengalami keganasan sekitar 5-10% kasus. Nodul
tiroid yang ditemukan pada anak-anak dan dewasa muda insidennya hanya
sekitar 1,5% dan sering ditemukan dengan sifat ganas sekitar 26%. Di India
tahun 2009 prevalensi nodul tiroid berkisar 12,2%, Prevalensi nodul tiroid
1,2
di Indonesia tahun 2007 sebesar 14.7 %.
Berdasarkan anatomi dan fisiologi diketahui sebagai struma difusa
dan nodosa. Secara klinis dibagi dengan sifat toksik dan non toksik. Struma
nodosa terbagi atas uninodosa dan multinodosa. Berdasarkan fungsi
kelenjar tiroid dibagi atas hipotiroid (toksik), eutiroid, dan hipertiroid.
Struma tanpa tanda-tanda hipertiroid disebut struma non toksik.
Berdasarkan histopatologi dibagi atas hiperplasia, inflamasi, neoplasma
3-5
jinak, dan ganas.
Diagnosis nodul tiroid ditegakkan berdasarkan anamnesis, pemeriksaan
fisik. dan serangkaian pemeriksaan penunjang seperti pemeriksaan BAJAH,
histopatologis, fungsi tiroid, ultrasonografi (USG), scintigraphy (SC), CT-
6-8
Scan, dan foto polos.
Penatalaksanaan nodul tiroid meliputi pembedahan seperti
lobektomi subtotal, hemitiroidektomi, tiroidektomi subtotal, tiroidektomi
near total, total tiroidektomi, dan operasi bersifat ekstensif meliputi total
tirodektomi disertai total laringektomi/ reseksi trakea/sternomi/ diseksi
leher fungsional atau diseksi leher radikal. Ablasi dengan radioaktif yodium
,9,10
131, dan supresi TSH juga dapat dilakukan.

Early Diagnosis and Current Treatment Paradigm in Head and Neck Surgery | 215
dr. Franssiskus H. Poluan, Dr. Yussy Afriani Dewi, dr., M.Kes., Sp.T.H.T.K.L(K), FICS,
Agung Dinasti Permana, dr., Sp.T.H.T.K.L, M.Kes., FICS

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui prevalensi Nodul Tiroid


di Departemen/ SMF Ilmu Kesehatan THT-KL RSHS Bandung berdasarkan
kelompok usia, jenis kelamin, diagnosa histopatologi, BAJAH, dan jenis
operasi

Metode Penelitian
Populasi penelitian adalah seluruh data rekam medis penderita yang
didiagnosis nodul tiroid tahun 2010 sampai 2015.

Hasil
Berdasarkan penelitian yang dilakukan selama periode Januari 2010 –
Desember 2015 terhadap pasien dengan nodul tiroid di Departemen/ SMF
THT-KL RSHS, didapatkan hasil:

Tabel 1. Karakterisktik Pasien Nodul Tiroid Berdasarkan Usia dan Jenis Kelamin

Variabel Jumlah (n=121)


Jenis kelamin
Laki-laki 28 (76,8%)
Perempuan 93 (23,2%)
Usia (tahun)
Mean ± SD 44,2±11,0
Median 44
Rentang 15-73

Tabel 2. Karakterisktik Pasien Nodul Tiroid berdasarkan Pemeriksaan BAJAH

Variabel Jumlah (n=121)


Papiler tiroid 34 (28.1%)
Folikuler tiroid 34 (28.1%)
Adenomatous goiter 38 (31.4%)
Karsinoma tiroid tidak berdiferensiasi 15 (12.4%)

216 | 2nd World Head & Neck Cancer Day


Prevalensi Nodul Tiroid di Departemen/SMF Ilmu Kesehatan THT-KL RSHS
Tahun 2010 sampai 2015

Tabel 3. Karakterisktik Pasien Nodul Tiroid berdasarkan Pemeriksaan


Histopatologi

Variabel Jumlah (n=121)


Papiler tiroid 40 (33.1%)
Folikuler tiroid 36 (29.7%)
Adenomatous goiter 27 (22.3%)
Karsinoma tiroid tidak berdiferensiasi 18 (14.9%)

Tabel 4. Karakterisktik Pasien Nodul Tiroid berdasarkan Jenis Pembedahan

Variabel Jumlah (n=121)


Hemitiroidektomi 62 (51.2%)
Total tiroidektomi 39 (32.2%)
Lobektomi subtotal 15 (12.3 %)
Tiroidektomi subtotal 5 (4.3 %)

Diskusi
Nodul tiroid merupakan masalah kesehatan yang banyak ditemukan, dan
sering terjadi pada wanita. Insiden meningkat seiring bertambahnya usia.
Pada penelitian ini kejadian nodul tiroid lebih banyak pada wanita daripada
pria dengan perbandingan 3-4:1. Penelitian yang sama juga dikemukakan
oleh Whickham survey yang menyatakan bahwa nodul tiroid terjadi pada
5.3% pada wanita dan 0.8% pada pria. Kejadian nodul tiroid terjadi pada
rentang usia 15-73 tahun pada penelitian ini, hal yang sama juga
dikemukakan oleh Gharib dkk pada tahun 2006 pada rentang usia 30 – 59
tahun. Hal yang paling penting dalam melakukan evaluasi diagnosis nodul
tiroid soliter meliputi anamnesis dan pemeriksaan fisik yang teliti,
pemeriksaan kadar TSH serta BAJAH. Penatalaksanaan selanjutnya sangat
tergantung dari hasil diagnosis sitopatologi dari spesimen yg diperoleh
melalui BAJAH. Pada kebanyakan kasus nodul tiroid jinak sebaiknya
dilakukan pemantauan secara periodik. Walaupun angka kejadian false-
negative dari hasil BAJAH rendah, namun direkomendasikan BAJAH ulang
untuk konfirmasi diagnosis 6 sampai 12 bulan setelah diagnosis nodul
tiroid jinak ditegakkan atau bila terjadi perubahan karakteristik nodul pada
1-3
pemantauan.

Early Diagnosis and Current Treatment Paradigm in Head and Neck Surgery | 217
dr. Franssiskus H. Poluan, Dr. Yussy Afriani Dewi, dr., M.Kes., Sp.T.H.T.K.L(K), FICS,
Agung Dinasti Permana, dr., Sp.T.H.T.K.L, M.Kes., FICS

Tindakan operatif terhadap nodul tiroid jinak diindikasikan pada


pasien yang mempunyai gejala seperti disfagi atau disfoni yang
menunjukkan adanya penekanan jaringan sekitar atau bila ada alasan
9-12
kosmetik.
Pemeriksaan BAJAH pada penelitian ini didapatkan kejadian papiler
tiroid dan folikuler tiroid masing-masing sebesar 34%. Penelitian yang telah
dilakukan oleh Sippel dkk antara tahun 2000-2006 menyatakan bahwa
1-3
terdapat 20% dari 326 pasien merupakan kasus keganasan.
Pada pemeriksaan histopatologis didapatkan kejadian kasus
keganasan yaitu papiler tiroid sebesar 33.1% sedangkan kasus nodul jinak
sebesar 22.3%. Imaizumi dkk, melakukan investigasi yang memperkirakan
kasus keganasan sebesar 37% dan nodul jinak sebesar 31%.
Penatalaksanaan bedah pada penelitian ini dilakukan tindakan total
tiroidektomi sebanyak 39 orang dari 121 pasien. Boostrom dan Ricahrd
melakukan survei dari 297 pasien dilakukan tindakan total tiroidektomi
.2,3
sebesar 49 pasien
Pada penelitian ini diharapkan dapat ditemukan karakteristik angka
kejadian nodul tiroid di daerah jawa barat khususnya pada pasien yang
datang berobat ke RS Hasan Sadikin Bandung.

Simpulan
Didapatkan karakteristik nodul tiroid yang terbanyak adalah jenis ganas
yaitu papiler tiroid. Berdasarkan jenis kelamin ditemukan paling banyak
ditemukan pada wanita daripada laki-laki. Usia rentang kejadian nodul
tiroid yaitu 15-73 tahun. Berdasarkan pemeriksaan histopatologis,
ditemukan jenis papiler tiroid lebih banyak daripada jenis nodul tiroid
lainnya. Jenis pembedahan paling banyak dilakukan adalah tindakan
hemitiroidektomi. Keterbatasan penelitian ini adalah variabel yang sedikit
dalam menggambarkan karakteristik nodul tiroid, sehingga perlu penelitian
lanjutan dengan mempertimbangkan variabel lain yang
menggambarkan karakteristik nodul tiroid di bagian SMF Ilmu
Kesehatan THT-KL RSHS.

218 | 2nd World Head & Neck Cancer Day


Prevalensi Nodul Tiroid di Departemen/SMF Ilmu Kesehatan THT-KL RSHS
Tahun 2010 sampai 2015

Saran
Untuk menggambarkan karakterteristik nodul tiroid yang lebih baik pada
penelitian lanjutan, harus memiliki data rekam medis yang lengkap.

DAFTAR PUSTAKA
1. Gharib H, Papini E, Paschke R, Duick DS, Valcavi R, Hegedus L et al.
2010. Medical Guidelines For Clinical Practice For The Diagnosis And
Management of Thyroid Nodules. American Association of Clinical
Endocrinologist, Associazione MEDICI Endocrinologi, and European
Thyroid Association for the AACE/AME/ETA Task Force on Thyroid
Nodules. Endocrine Practice;16(1);1-43.
2. Haugen BR, Alexander EK, Bible KC, Doherty GM, Mandel SJ, Nikiforov
YE, et al. 2015. Management Guidelines for Adult Patients with Thyroid
Nodules and Differentiated Thyroid Cancer The American Thyroid
Association (ATA) Guidelines Task Force on Thyroid Nodules and
Differentiated Thyroid Cancer. American Thyroid Association;26(1);1-
133.
3. Dean D and Gharib H. 2008. Epidemiology of thyroid nodules. Best
Practice & Research Clinical Endocrinology & Metabolism; 22 (6).901–
11.
4. Sabel MS, Staren ED, Gianakakis LM. 2007. Effectiveness of the thyroid
scan in evaluation of the solitary thyroid nodule. Am Surg; 63(7): 660-3.
5. Singer PA. 2006. Evaluation and management of the solitary thyroid
nodule. Otolaryngol Clin North Am; 29(4): 577-91.
6. Tan GH, Gharib H. 2005. Thyroid incidentalomas: management
approaches to nonpalpable nodules discovered incidentally on thyroid
imaging. Ann Intern Med; 126(3): 226-31.
7. Paschke R, Hegedus L, Alexander E, Valcavi R, Papini E, Gharib H. 2011.
Thyroid Nodule guidelines: agreement,disagreement and need for
future. ResearchNat. Rev. Endocrinol;7-354–61.
8. Huang T, Hung J, Wu M, Chen s, Wu C and Tam K. 2013. Systematic
review of clinical practice guidelines in the diagnosis and management
of thyroid nodules and cancer. Huang et al. BMC Medicine;11;(191) 1-9.

Early Diagnosis and Current Treatment Paradigm in Head and Neck Surgery | 219
dr. Franssiskus H. Poluan, Dr. Yussy Afriani Dewi, dr., M.Kes., Sp.T.H.T.K.L(K), FICS,
Agung Dinasti Permana, dr., Sp.T.H.T.K.L, M.Kes., FICS

9. Bomeli S, LeBeau S and Ferris R. 2010. Evaluation of a thyroid nodule.


Otolaryngol Clin North Am; 43(2): 229–38.
10. Welker M And Orlov D. 2003. Thyroid Nodules. American Family
Physician.Am Fam Physician;67(3):559-67.

220 | 2nd World Head & Neck Cancer Day


GAMBARAN NEUTROPENIA PADA PASIEN
LIMFOMA NON HODGKIN KEPALA DAN
LEHER SELAMA KEMOTERAPI
DI RSUP Dr. MOHAMMAD HOESIN
PALEMBANG TAHUN 2012-2014
dr. Ermalinda Kurnia, dr. Denny Satria Utama Sp.THT-KL., MSI Med, FICS

Bagian/Departemen Ilmu Kesehatan THT-KL


Fakultas Kedokteran Universitas Sriwijaya
RSUP Dr. Mohammad Hoesin Palembang

ABSTRAK

Latar belakang: Neutropenia sering ditemukan pada pasien yang menjalani


kemoterapi. Kemoterapi merupakan modalitas utama tatalaksana pada
Limfoma Non Hodgkin (LNH).

Tujuan: menggambarkan kejadian neutropenia pada pasien LNH yang


menjalani kemoterapi.

Metode: Penelitian ini merupakan studi deskriptif dengan menggunakan


data rekam medis pasien karsinoma nasofaring yang menjalani kemoterapi
di Rumah Sakit Umum Pusat (RSUP) Dr. Mohammad Hoesin Palembang
pada Juli 2012 sampai Juli 2014.

Hasil: Penelitian ini melibatkan 17 pasien yang terdiri atas 14 laki-laki dan
3 perempuan. Sebanyak 11,8 % pasien mengalami neutropenia derajat I
pada awal kemoterapi. Sebelas pasien (64,8%) mengalami neutropenia
pada pertengahan siklus kemoterapi. Pada akhir siklus kemoterapi terjadi
neutropenia pada 17 pasien (100%).

Kesimpulan: Neutropenia derajat I dan II (derajat ringan) ditemukan paling


banyak pada pasien pada penelitian ini.

Kata Kunci: Neutropenia, Limfoma Non Hodgkin, kemoterapi

221
dr. Ermalinda Kurnia, dr. Denny Satria Utama Sp.THT-KL., MSI Med, FICS

INCIDENCE OF NEUTROPENIA IN NON


HODGKIN LYMPHOMA DURING
CHEMOTHERAPHY IN MOHAMMAD HOESIN
HOSPITAL PALEMBANG 2012-2014
dr. Ermalinda Kurnia, dr. Denny Satria Utama Sp.THT-KL., MSI Med, FICS

Otorhinolaryngology Head Neck Surgery Department


Medical School, Sriwijaya University
Dr. Mohammad Hoesin Hospital, Palembang, Indonesia

ABSTRACT

Background: Neutropenia is commonly found in patients who receive


chemotherapy. Chemotheraphy is the main modality for Non Hodgkin
Lmphoma (NHL).

Objective: To describe incidence of neutropenia in LNH patients receiving


chemotheraphy.

Method: A descriptive study was conducted in ENT-HNS department


Mohammad Hoesin Hospital Palembang from July 2012 to April 2014. A
secondary data where taken from hospital medical record.

Result: A total of 17 patients were included in this study, 14 where males


and 3 females. At the beginning of the study, there were two patients
(11,8%) who already in neutropenia state. In the middle of the
chemotheraphy cycle, ther were 11 patients (64,8%) who suffered
neutropenia. It was about 17 patient (100%) who suffered neutropenia at
the end of chemotheraphy cycles.

Conclusions: Neutropenia is found among people with NHL during


chemotherapy cycles.

Keywords: Neutropenia, Non Hodgkin Lymphoma, Chemotherapy

222 | 2nd World Head & Neck Cancer Day


Gambaran Neutropenia pada Pasien Limfoma Non Hodgkin Kepala dan Leher Selama Kemoterapi
di RSUP Dr. Mohammad Hoesin Palembang Tahun 2012-2014

PENDAHULUAN
Neutropenia merupakan kelainan hematologi dimana terjadi penurunan
3
jumlah neutrofil di dalam darah kurang dari 2.000 sel/mm . Klasifikasi
neutropenia menurut The Common Toxicity Criteria of The National
Cancer Institute berdasarkan hitung neutrofil absolut yang terdiri atas
3 3
derajat I (1500-2000 sel/mm ), derajat II (1000-1500 sel/mm ), derajat III
3 3
(500-1000 sel/mm ), dan derajat IV (<500 sel/mm ). Neutropenia dapat
terjadi akibat penurunan produksi sumsum tulang belakang dan
peningkatan destruksi neutrofil pada pembuluh darah perifer. Penurunan
produksi neutrofil dapat terlihat pada kelainan herediter, keganasan,
penggunaan medikamentosa. Peningkatan destruksi neutrofil ditemukan
pada anemia aplastik, kelainan autoimun, dan kemoterapi.
Chemotheraphy Induced Neutropenia (CIN) sering terjadi akibat
1,2
pemberian obat kemoterapi.
Neutropenia dapat memicu peningkatan risiko infeksi. Neutropenia
dapat tidak terdeteksi dan biasanya ditemukan ketika pasien telah
mengalami infeksi berat atau sepsis. Komplikasi berat terjadi pada 21%
pasien keganasan dengan demam neutropenia. Secara umum, neutropenia
lebih sering terjadi pada perempuan dibanding laki-laki dan usia tua lebih
berisiko terjadi neutropenia dibanding usia muda. Neutropenia ditemukan
pada pasien yang menjalani terapi limfoma atau tumor solid sebanyak
51%. Crawford dkk (2002) melaporkan sebanyak 50% pasien keganasan
dengan neutropenia mengalami infeksi, 20% mengalami bakteriemia
3
dengan neutropenia derajat berat (hitung neutrofil absolut <500sel/mm ).
Regimen kemoterapi pada LNH berisiko sedang terjadi neutropenia
sepanjang siklus kemoterapi. Crawford juga melaporkan sebanyak 63%
pasien dengan limfoma LNH dengan usia >70 tahun meninggal akibat
neutropenia pada kemoterapi seri pertama dan sebanyak 65% pasien LNH
1,3
dirawat akibat neutropenia pada kemoterapi seri pertama dan kedua.
Limfoma Non Hodgkin (LNH) adalah kelompok keganasan primer
limfosit yang dapat berasal dari limfosit B, limfosit T dan kadang (amat
jarang) berasal dari sel NK (natural killer) yang berada dalam sistem limfe,
sangat heterogen baik tipe histologis, gejala, perjalanan klinis, respon
terhadap pengobatan, maupun prognosis. Lebih dari 80% LNH berasal dari

Early Diagnosis and Current Treatment Paradigm in Head and Neck Surgery | 223
dr. Ermalinda Kurnia, dr. Denny Satria Utama Sp.THT-KL., MSI Med, FICS

sel B dan sisanya berasal dari sel T. Berdasarkan The American Cancer
Society memperkirakan terdapat 66.360 kasus baru setiap tahun dan
19.320 penderita meninggal akibat LNH pada tahun 2011. Di Indonesia,
LNH bersama dengan penyakit hodgkin dan leukemia menduduki urutan
.4,5,6
keenam keganasan tersering
LNH lebih sering terjadi pada laki-laki dan jumlahnya meningkat
seiring dengan bertambahnya usia. Peningkatan jumlah kasus LNH tidak
diketahui sebabnya. Hubungan yang erat antara penyakit AIDS dan LNH
merupakan salah satu faktor yang memperkuat dugaan adanya hubungan
antara LNH dengan infeksi. Pengobatan terutama bergantung kepada
gambaran histologi, stadium, limfoma indolen atau agresif, usia atau
penyakit sekunder seperti penyakit imunodefisiensi. Terapi untuk LNH
terdiri dari terapi spesifik untuk eradikasi sel limfoma dan terapi suportif
untuk meningkatkan keadaan umum penderita atau menanggulangi efek
4-9
samping kemoterapi.

METODE
Penelitian ini merupakan studi deskriptif menggunakan data rekam medis
pasien LNH yang menjalani kemoterapi dari bulan Juli 2012 hingga Juli
2014 di Departemen IKTHT-KL RSUP Dr. Mohammad Hoesin Palembang.
Kemoterapi pada pasien LNH tersebut adalah sebanyak satu siklus
kemoterapi yang terdiri atas 6 seri kemoterapi dengan waktu jeda antar
kemoterapi adalah tiga minggu dengan menggunakan regimen R- CHOP
(rituximab, cyclophosphamide, doxorubicine, vincristine, prednison).
Hitung neutrofil absolut pada awal siklus atau sebelum kemoterapi seri
pertama, pertengahan siklus kemoterapi atau setelah kemoterapi seri tiga
dan akhir siklus atau setelah kemoterapi seri enam. Hitung neutrofil
absolut dinilai dengan menghitung jumlah neutrofil batang dan segmen
(%) dikalikan jumlah leukosit total. Klasifikasi neutropenia yang terjadi
dibagi menjadi 4 derajat berdasarkan The Common Toxicity Criteria of The
3
National Cancer Institute yang terdiri atas derajat I (1500-2000 sel/mm ),
3 3
derajat II (1000-1500 sel/mm ), derajat III (500-1000 sel/mm ), dan derajat
3
IV (<500 sel/mm ). Kriteria inklusi adalah seluruh pasien karsinoma
nasofaring yang telah menjalani satu siklus kemoterapi dari bulan Juli

224 | 2nd World Head & Neck Cancer Day


Gambaran Neutropenia pada Pasien Limfoma Non Hodgkin Kepala dan Leher Selama Kemoterapi
di RSUP Dr. Mohammad Hoesin Palembang Tahun 2012-2014

2012 hingga Juli 2014. Kriteria eksklusi adalah pasien dengan LNH yang
belum selesai menjalani satu siklus kemoterapi dari bulan Juli 2012 hingga
Juli 2014. Seluruh data dikumpulkan dan disajikan secara deskriptif.

HASIL
Penelitian ini melibatkan 17 pasien yang terdiri atas 14 laki-laki dan 3
perempuan. Pasien paling muda berusia 22 tahun sebanyak 1 orang dan
usia paling tua pasien adalah 64 tahun sebanyak 1 orang. Kelompok usia
terbanyak adalah antara usia 31-40 tahun dan 51-60 tahun masing-masing
sebanyak 5 orang. Kelompok usia paling sedikit ialah usia 21-30 tahun
sebanyak 1 orang. Berdasarkan staging LNH menurut Ann Arbor,
sebanyak 6 pasien dengan LNH stadium I, 3 pasien dengan LNH stadium II,
7 pasien dengan LNH stadium III, dan 1 pasien dengan LNH stadium IV.
Sebanyak 16 pasien menjalani kemoterapi siklus pertama dan hanya 1
pasien yang menjalani kemoterapi siklus kedua. Lokasi primer tumor
kepala dan leher bervariasi, pada laporan kasus ini terdapat 9 pasien
dengan lokasi primer tumor di tonsila palatina, 5 pasien dengan lokasi
primer tumor di orofaring, dan masing-masing 1 pasien dengan lokasi
primer tumor di nasofaring, hipofaring, dan sinonasal.
Hitung neutrofil absolut pada awal siklus didapat dari pemeriksaan
darah sebelum dimulai kemoterapi. Hitung neutrofil absolut pada
pertengahan siklus dilakukan pada minggu kedua pasca kemoterapi ketiga.
Hitung neutrofil absolut pada akhir siklus dilakukan pada minggu kedua
pasca kemoterapi keenam. Hitung neutrofil absolut pada awal siklus
3
kemoterapi tertinggi adalah 12.616 sel/mm dan hitung neutrophil
3
absolut terendah adalah 1.595 sel/mm . Hitung neutrophil absolut
3
pertengahan siklus kemoterapi tertinggi adalah 2.747 sel/mm dan hitung
neutrofil absolut pertengahan siklus kemoterapi terendah adalah 323
3
sel/mm . Hitung neutrophil absolut pada akhir siklus kemoterapi tertinggi
3
adalah 1.728 sel/mm dan hitung neutrofil absolut pada akhir siklus
3
kemoterapi terendah adalah 320 sel/mm . Rata-rata nilai hitung neutrofil
absolut pada awal, pertengahan, dan akhir siklus kemoterapi adalah 5.328
3 3 3
sel/mm , 2.087 sel/mm , dan 1.141 sel/mm .

Early Diagnosis and Current Treatment Paradigm in Head and Neck Surgery | 225
dr. Ermalinda Kurnia, dr. Denny Satria Utama Sp.THT-KL., MSI Med, FICS

Pada awal siklus kemoterapi, terdapat dua pasien (11,8%)


mengalami neutropenia dimana kedua pasien mengalami mengalami
neutropenia derajat I. Pada pertengahan siklus kemoterapi terjadi
neutropenia pada 11 pasien (64,8%). Pasien yang mengalami neutropenia
derajat I sebanyak 3 pasien (17,7%), derajat II sebanyak 5 pasien (29,4%),
derajat III sebanyak 2 pasien (11,8%), dan derajat IV sebanyak 1 pasien
(5,9%). Sedangkan pada akhir siklus kemoterapi terdapat 17 pasien
mengalami neutropenia dimana sebanyak 6 pasien (35,2%) mengalami
neutropenia derajat I, 5 pasien (29,4%) dengan derajat II, dan masing-
masing tiga pasien (17,7%) dengan derajat III dan IV. Tatalaksana pada
pasien-pasien tersebut diberikan terapi GCSF dengan dosis 5ug/KgBB/hari
pada tiga hari sebelum jadwal kemoterapi. Target terapi GCSF adalah
3
hitung jumlah leukosit ≥ 4000 sel/mm dengan hitung neutrophil absolut
50-70% dari hitung jumlah leukosit.

DISKUSI
Limfoma Non Hodgkin merupakan keganasan pada kelompok keganasan
primer limfosit yang paling banyak terjadi. Pada laporan kasus ini ini
didapatkan prevalensi kejadian limfoma Non Hodgkin lebih banyak dialami
oleh laki-laki dibandingkan perempuan dengan rasio 4:1 dengan kelompok
usia yang paling banyak dijumpai adalah 31-40 tahun dan 51-60 tahun.
Crawford dkk (2004) melaporkan usia rerata pasien yang mengalami LNH
adalah 50-70 tahun dimana prevalensi laki-laki lebih banyak dibanding
1,3,10
dengan perempuan dengan perbandingan 3 : 1.
Pada laporan kasus ini, limfoma Non Hodgkin stadium III merupakan
stadium terbanyak yang ditemukan. Kebanyakan pasien tidak menyadari
gejala dini dari limfoma Non Hodgkin sehingga prevalensi LNH stadium
dini jarang dijumpai. Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Crawford
dkk, LNH dijumpai secara bervariasi pada semua stadium. Prevalensi
stadium III dan IV sedikit lebih banyak disbanding stadium I dan II.
Pettengel (2011) melaporkan penelitian dengan stadium LNH terbanyak
adalah stadium IV yakni sebanyak 49% diikuti dengan stadium III sebanyak
27%.

226 | 2nd World Head & Neck Cancer Day


Gambaran Neutropenia pada Pasien Limfoma Non Hodgkin Kepala dan Leher Selama Kemoterapi
di RSUP Dr. Mohammad Hoesin Palembang Tahun 2012-2014

Angka kejadian neutropenia pada limfoma Non Hodgkin yang


menjalani kemoterapi cukup tinggi. Menurut NCCN 2015, LNH
dikategorikan sebagai risiko sedang terhadap kejadian demam
neutropenia. Regimen CHOP merupakan salah satu regimen mielosupresif
yang dapat menyebabkan neutropenia pada setiap seri kemoterapi.
Vakkalanka (2011) melaporkan insiden neutropenia derajat 3 dan 4 pada
pasien limfoma Non Hodgkin bervariasi antara 10 % - 66 % dengan 8 %
memerlukan perawatan di rumah sakit. Vakkalanka juga melaporkan
sebanyak 76% pasien mengalami lebih dari satu kali episode neutropenia
selama menjalani siklus kemoterapi. Crawford melaporkan kejadian
1,12
neutropenia pada siklus pertama dan kedua sebanyak 65%.
Pada laporan kasus ini terdapat pasien limfoma Non Hodgkin
yang telah mengalami neutropenia sebelum dimulai tatalaksana
kemoterapi. Pada pasien-pasien tersebut terjadi neutropenia sepanjang
siklus kemoterapi. Menurut NCCN 2013, limfoma Non Hodgkin
dikategorikan dalam risiko sedang untuk kejadian demam neutropenia.
Derajat neutropenia yang paling banyak ditemukan pada laporan kasus ini
adalah derajat I dan II yang tergolong ringan. Pada pertengahan siklus
telah terjadi 64,8% pasien mengalami neutropenia dan pada akhir siklus
kemoterapi terjadi neutropenia pada seluruh pasien.
Kesimpulan penelitian ini adalah angka kejadian neutropenia
meningkat pada pertengahan siklus kemoterapi LNH. Derajat neutropenia
yang paling banyak terjadi adalah neutropenia derajat I-II yang tergolong
derajat ringan. Tatalaksana pada pasien-pasien tersebut diberikan terapi
GCSF dengan dosis 5ug/KgBB/hari pada tiga hari sebelum jadwal
kemoterapi. Target terapi GCSF adalah hitung jumlah leukosit ≥ 4000
3
sel/mm dengan hitung neutrofil absolut 50-70% dari hitung jumlah
leukosit.

DAFTAR PUSTAKA
1. Crawford J, Dale DC, Lymann GH, Chemotherapy-induced neutropenia
risks, consequences, and new directions of its management.
Cancer. 2004;100:228–37.

Early Diagnosis and Current Treatment Paradigm in Head and Neck Surgery | 227
dr. Ermalinda Kurnia, dr. Denny Satria Utama Sp.THT-KL., MSI Med, FICS

2. Baden LR, Bensinger W, Segal B et al. NCCN Clinical Practice


Guidelines in Oncology Prevention and Treatment of Cancer-Related
Infections Version 1. 2015. Massachusetts : National Comprehensive
Cancer Network Inc. Pg. ms1-ms60.
3. Crawford J, Kuderer N, Cosler LE, Dale DC, Lyman GH. Cost and
mortality associated with febrile neutropenia in adult cancer patients.
Proc Am Soc Clin Oncol. 2002;21:250a.
4. Reksodiputro AH, Irawan C. Limfoma Non Hodgkin. Setiati S, Alwi
I, Sudoyo AW, Simadibrata M, Setiyohadi B, Syam AF eds. Buku Ajar
Ilmu Penyakit Dalam. Jilid III. edisi VI. Jakarta: Interna Publishing Pusat
Penerbit Ilmu Penyakit Dalam; 2014. hal. 2975-86
5. Reksodiputro AH, Irawan C, Hardjolukito, Suzanna E, Rinaldi I,
Mulansari N, et al. Non-Hodgkin’s Lymphoma in Jakarta. Indonesian
Journal of Cancer 2011; 5(3): 129-33
6. Syahrir M. Managing Limfoma Non-Hodgkin: Diffuse Large B Cell
Lymphoma (DLBCL). D

228 | 2nd World Head & Neck Cancer Day


ANGIOFIBROMA NASOFARING JUVENILE
DI RSUP H. ADAM MALIK MEDAN
Resta Imelda Simbolon, Rizalina A. Asnir, Farhat

Departemen Telinga Hidung Tenggorok Kepala Leher


Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara
RSUP H. Adam Malik Medan

ABSTRAK
Latar Belakang: Angiofibroma nasofaring juvenile (ANJ) merupakan
tumor fibrovaskuler nasofaring yang secara histopatologi adalah jinak
namun mampu mendestruksi jaringan sekitarnya yang banyak mengenai
laki-laki remaja usia 5-25 tahun. Kejadian tumor ini 0,5% dari seluruh
tumor kepala dan leher. Gejala dan tanda klinis ANJ antara lain
mimisan berulang, hidung tersumbat unilateral dan massa di nasofaring.
Diagnosis ANJ ditegakkan berdasarkan pemerikaan klinis, yaitu
anamnesis yang lengkap, pemeriksaan THT dan nasoendoskopi, ditambah
pemeriksaan penunjang seperti CT scan dengan kontras dan MRI, untuk
melihat perluasan tumor. Diagnosis dikonfirmasi dengan pemeriksaan
angiografi yang bertujuan untuk melihat sumber aliran darah tumor.
Pembedahan merupakan terapi pilihan. Tujuan: Mengetahui profil
penderita angiofibroma nasofaring juvenile di RSUP H. Adam Malik
Medan. Metode: Penelitian deskriptif pada 20 penderita ANJ dari
Oktober 2010 – Oktober 2015 di Divisi Onkologi T.H.T.K.L RSUP H. Adam
Malik Medan. Hasil: Pada penelitian ini ditemukan laki-laki 95% dan
perempuan 5%. Kelompok umur terbanyak adalah 14-16 tahun yaitu
45%. Keluhan mimisan dijumpai pada seluruh kasus dan hidung
tersumbat 95%. Lokasi dan perluasan tumor berdasarkan CT scan
terbanyak di nasofaring (100%) dan rongga hidung (95%). Stadium ANJ
berdasarkan kategori Chandler terbanyak stadium II (50%). Teknik operasi
terbanyak adalah degloving midfacial (65%). Kesimpulan: Angiofibroma
nasofaring juvenile di RSUP H. Adam Malik Medan terbanyak adalah

229
Resta Imelda Simbolon, Rizalina A. Asnir, Farhat

laki-laki, kelompok umur 14-16 tahun, keluhan mimisan dan hidung


tersumbat, lokasi dan perluasan tumor berada di nasofaring dan rongga
hidung. Stadium terbanyak adalah stadium II dan teknik operasi
terbanyak adalah degloving midfacial.

Kata kunci: Angiofibroma Nasofaring Juvenile

LATAR BELAKANG
Angiofibroma nasofaring juvenile (ANJ) merupakan tumor fibrovaskuler
nasofaring yang secara histopatologi adalah jinak akan tetapi mampu
mendestruksi jaringan sekitarnya dan banyak menyerang laki-laki remaja
1
usia 5-25 tahun. Istilah ANJ ini pertama kali dikenalkan oleh Chaveau pada
tahun 1906 yang menggambarkan sebuah tumor jinak yang kaya pembuluh
darah dan mampu menginvasi nasofaring dan atau rongga hidung bagian
2
posterior.
3
Parikh & Hennemeyer menyatakan bahwa kejadian ANJ sebesar
0,5% dari tumor kepala dan leher, yang mengenai laki-laki muda pada
4
umur 7-29 tahun. Itoo et al. melaporkan dari 24 kasus ANJ, diperoleh
umur termuda adalah 9 tahun dan umur tertua adalah 26 tahun.
Gejala dan tanda klinis ANJ antara lain hidung tersumbat (80-90%),
mimisan berulang dan rinorea unilateral (45-60%). Sakit kepala (25%),
nyeri wajah dan sinusitis kronis dapat muncul akibat perluasan tumor ke
sinus paranasal. Gejala lain adalah gangguan fungsi tuba Eustachius yang
dapat menyebabkan otitis media. Perluasan ke rongga orbita akan
menyebabkan proptosis dan gangguan penglihatan. Pipi bengkak,
5
gangguan neurologis dan gangguan penciuman juga dapat terjadi.
Diagnosis ANJ ditegakkan berdasarkan pemerikaan klinis, yaitu
anamnesis yang lengkap, pemeriksaan THT dan nasoendoskopi, ditambah
pemeriksaan penunjang seperti CT scan dengan kontras dan MRI, untuk
melihat perluasan tumor. Diagnosa dikonfirmasi dengan pemeriksaan
angiografi yang bertujuan untuk melihat suplai darah tumor dan
6,7
embolisasi dapat dilakukan pada waktu yang bersamaan. Sementara

230 | 2nd World Head & Neck Cancer Day


Angiofibroma Nasofaring Juvenile di RSUP H. Adam Malik Medan

biopsi sebelum operasi merupakan kontraindikasi oleh karena dapat


8
menyebabkan perdarahan yang sulit dihentikan.
Walau radioterapi, terapi hormonal, cryotherapy, electrocoagulation
direkomendasikan di berbagai literatur dalam penatalaksanaan ANJ,
namun pembedahan masih merupakan terapi pilihan. Berbagai
pendekatan teknik operasi yang digunakan antara lain pendekatan
transpalatal, rinotomi lateral, degloving midfacial, fossa infratemporal dan
9
pendekatan dengan menggunakan endoskopi.
10
Boghani et al. dalam penelitiannya melaporkan bahwa rata-rata
umur pasien ANJ adalah 17,2 tahun (rentang umur 12,5 – 64 tahun),
dimana laki-laki sebesar 98,7%. Gejala dan tanda klinis yang ditemukan
adalah hidung tersumbat (76,2%), epistaksis (76,2), sakit kepala (16,9%),
gangguan penglihatan (12,3%), disfungsi tuba Eustachius (9,2%) dan
bengkak pada wajah (8,5%). Lokasi tumor paling banyak di nasofaring
(85,2%), kemudian di rongga hidung (66,1%), sinus sfenoid (49,8%), fossa
pterigopalatina (48,6%) dan fossa infratemporal (29,2%).
11
Penelitian Anggreani et al. melaporkan dari 27 penderita ANJ,
semua sampel adalah laki-laki dengan rentang umur 9-23 tahun, sebaran
umur yang terbanyak adalah antara 14-17 tahun. Keluhan epistaksis dan
hidung tersumbat terdapat pada semua kasus. Lama keluhan antara 6-12
bulan merupakan kelompok yang paling banyak, yaitu sebesar 44,4%. Dari
hasil CT scan berdasarkan klasifikasi Chandler, paling banyak ditemukan
stadium III yaitu 77,8%, stadium IV sebanyak 18,5% stadium II sebanyak
3,7% dan tidak didapati penderita dengan stadium I. Pendekatan operasi
paling banyak adalah dengan teknik transpalatal 96,3%.
Mengingat belum ada data mengenai penderita ANJ di RSUP H.
Adam Malik Medan, peneliti tertarik mengetahui bagaimana
angiofibroma nasofaring juvenile di RSUP H. Adam Malik Medan dari
Oktober 2010 – Oktober 2015.

METODE
Penelitian ini merupakan penelitian deskriptif untuk melihat profil 20
penderita angiofibroma nasofaring juvenile yang berobat di Divisi Onkologi
Departemen Telinga Hidung Tenggorok Kepala Leher di RSUP H. Adam

Early Diagnosis and Current Treatment Paradigm in Head and Neck Surgery | 231
Resta Imelda Simbolon, Rizalina A. Asnir, Farhat

Malik Medan. Kriteria penerimaan sampel adalah pasien telah didiagnosis


menderita ANJ berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik, nasoendoskopi,
CT scan, telah dilakukan operasi dan pemeriksaan histopatologi jaringan
paska operasi antara Oktober 2010 hingga Oktober 2015; memiliki
rekam medis lengkap.
Rekam medis penderita yang memiliki kelengkapan data seperti
nama, nomor rekam medis, jenis kelamin, umur, keluhan, lama
keluhan, pemeriksaan THT, nasoendoskopi, hasil CT scan, tindakan
operasi dan histopatologi paska operasi dicatat dalam status penelitian.
Variabel yang diteliti yaitu: jenis kelamin, umur, keluhan, lokasi dan
perluasannya massa tumor berdasarkan CT scan, stadium berdasarkan
kriteria Chandler dan teknik operasi.
Data yang diperoleh akan disajikan dalam bentuk tabel
kemudian dianalisis secara statistik untuk mengetahui persentase
penderita ANJ berdasarkan variabel penelitian diatas.

HASIL
Dalam kurun waktu bulan Oktober 2010 sampai bulan Oktober 2015
terdapat 27 penderita diduga dengan diagnosis ANJ di Divisi Onkologi
T.H.T.K.L RSUP H. Adam Malik Medan. Dari 27 penderita tersebut hanya
20 penderita yang memenuhi kriteria inklusi dan menjadi sampel
penelitian ini. Pada penelitian ini, 19 penderita adalah laki-laki dan 1
penderita adalah perempuan. Usia termuda adalah 8 tahun dan usia
tertua adalah 21 tahun. Pada tabel 1 dapat dijelaskan kelompok
umur terbanyak adalah 14-16 tahun (45%).

Tabel 1. Distribusi frekuensi penderita ANJ berdasarkan umur

Variabel umur N %
8 – 10 tahun 1 5
11 – 13 tahun 5 25
14 – 16 tahun 9 45
17 – 19 tahun 4 20
20 – 21tahun 1 5

232 | 2nd World Head & Neck Cancer Day


Angiofibroma Nasofaring Juvenile di RSUP H. Adam Malik Medan

Pada tabel 3, dari hasil pemeriksaan penunjang CT scan tampak


massa tumor berada di nasofaring pada semua kasus dan perluasan ke
rongga hidung pada 19 penderita (95%). Berdasarkan CT scan menurut
klasifikasi Chandler didapatkan stadium II merupakan kelompok yang
paling banyak, yaitu 50% (tabel 4).

Tabel 3. Distribusi frekuensi penderita ANJ berdasarkan lokasi dan


perluasan massa tumor (hasil pemeriksaan CT scan)

Variabel lokasi dan perluasan tumor n %


Nasofaring 20 100
Rongga hidung 19 95
Sinus sfenoidalis 9 45
Sinus maksilaris 7 35
Sinus etmoidalis 7 35
Fossa pterygopalatina 2 10
Fossa infratemporalis 1 5
Orofaring 2 10
Rongga orbita 2 10
Basis kranii 1 5
Intra kranial 3 15

Pada penelitian ini semua kasus telah dilakukan tindakan


pembedahan. Dari 20 penderita, tindakan pembedahan paling banyak
dilakukan dengan pendekatan degloving midfacial, yaitu 13 penderita
(65%) dan selengkapnya tercantum pada tabel 4.

Early Diagnosis and Current Treatment Paradigm in Head and Neck Surgery | 233
Resta Imelda Simbolon, Rizalina A. Asnir, Farhat

Tabel 4. Distribusi frekuensi penderita ANJ berdasarkan stadium tumor

Variabel Stadium (Klasifikasi Chandler) n %


I. Massa terbatas di nasofaring 1 5
II. Meluas ke rongga hidung dan/atau sinus 10 50
sfenoid
III. Meluas ke satu/lebih dari berikut :
Antrum, sinus etmoid, fosa 6 30
pterigopalatina atau infratemporal,
orbita dan/atau pipi

Perluasan intrakranial 3 15

Tabel 5. Distribusi frekuensi penderita ANJ berdasarkan teknik operasi

Variabel teknik operasi n %


Transpalatal 4 20
Degloving midfacial 13 65
Rinotomi lateral 2 10
Transpalatal + Rinotomi lateral 1 5

DISKUSI
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui profil penderita angiofibroma
nasofaring juvenile di RSUP H. Adam Malik Medan Dalam kurun waktu bulan
Oktober 2010 sampai bulan Oktober 2015 terdapat 27 penderita diduga
dengan diagnosis ANJ. Dari 27 penderita tersebut hanya 20 penderita yang
memenuhi kriteria inklusi dan menjadi sampel penelitian ini.
Pada penelitian ini berdasarkan kategori jenis kelamin dijumpai
penderita ANJ berjenis kelamin laki-laki lebih banyak dari pada yang
berjenis kelamin perempuan dengan persentase 95% dan 5%. Hasil
12 13
penelitian ini sesuai dengan penelitian Gupta et al. , Bleier et al. , Barreto
14 1
et al. dan Alecio et al. yang menyebutkan semua penderita ANJ berjenis
kelamin laki-laki. Hal ini disebabkan adanya hubungan ANJ dengan ketidak
seimbangan hormonal pada jenis kelamin laki-laki. Dalam kepustakaan
dikatakan ANJ memiliki keterkaitan dengan hormon steroid, dimana

234 | 2nd World Head & Neck Cancer Day


Angiofibroma Nasofaring Juvenile di RSUP H. Adam Malik Medan

pemberian flutamide (antiandrogen) pada penderita ANJ sebelum operasi


15
menunjukkan adanya pengurangan ukuran tumor.
10
Selaras dengan penelitian yang kami peroleh, Boghani et al. pada
penelitiannya menemukan empat penderita berjenis kelamin perempuan
dari total 305 penderita ANJ. Kadar estrogen yang tinggi dapat melindungi
perempuan dari ANJ. Hal ini menjelaskan mengapa di literatur kasus ANJ
sedikit atau jarang dijumpai pada perempuan. Sehingga apabila ANJ terjadi
pada perempuan kemungkinan disebabkan etiologi lain seperti kongenital
16
atau inflamasi.
Pada kategori umur, diperoleh paling banyak pada kelompok umur
14-16 tahun, yaitu 45%. Hasil tersebut selaras dengan penelitian Anggreani
11
et al. yang menyebutkan dari 27 penderita, diperoleh rentang umur
penderita 9 tahun hingga 23 tahun dan rerata umur 15,7 tahun ± 3,23
12
tahun. Dimana usia terbanyak antara 14-17 tahun. Gupta et al.
melaporkan rerata umur penderita adalah 14,75 tahun dengan rentang
14
umur dari 10 hingga 20 tahun dan Barreto et al. yang menyebutkan
rerata umur penderita adalah 16 tahun dengan rentang umur dari 10
hingga 29 tahun.
5
Nicolai et al. dalam artikelnya menyebutkan pada dasarnya etiologi
dari ANJ tidak diketahui secara pasti namun diyakini berkaitan dengan
ketidakseimbangan hormonal pada penderita laki-laki remaja dimana
massa tumor ANJ mengalami regresi setelah mengalami akil balik dan
17
Montag et al. menyebutkan adanya dijumpai reseptor androgen
disamping reaktifitas reseptor estrogen β pada massa tumor tersebut. Hal
18
ini didukung dengan penelitian Thakar et al. yang membuktikan adanya
regresi parsial tumor setelah pemberian flutamide 6 minggu sebelum
operasi dan respon paling tinggi ditunjukkan oleh penderita setelah
pubertas dibandingkan sebelum pubertas.
Pada penelitian ini, mimisan dan hidung tersumbat merupakan
keluhan yang paling banyak sedangkan penonjolan bola mata merupakan
keluhan yang paling sedikit dijumpai (tabel 1). Hasil penelitian ini sama
dengan penelitian Itoo et al., Anggreani et al., dan Lara et al. dimana
keluhan yang paling sering ditemukan adalah mimisan dan hidung

Early Diagnosis and Current Treatment Paradigm in Head and Neck Surgery | 235
Resta Imelda Simbolon, Rizalina A. Asnir, Farhat

tersumbat sementara keluhan yang yang paling jarang adalah


4,11,19
pembengkakan di pipi, penonjolan mata dan benjolan di hidung.
Dalam kepustakaan disebutkan bahwa ANJ merupakan tumor
berbatas tegas dilapisi mukosa nasofaring. Tumor terdiri dari jaringan
fibrosa dan pembuluh darah yang irreguler dimana pembuluh darah
mengandung sedikit lapisan otot polos dan elastis sehingga cenderung
20
terjadi epistaksis berat dan berulang. Secara histopatologi, ANJ bersifat
jinak, namun ANJ mampu menginvasi dan mendestruksi jaringan
sekitarnya. Perluasan ke rongga hidung menyebabkan hidung tersumbat,
mimisan dan sekret hidung. Perluasan ke sinus paranasal menyebabkan
keluhan sakit kepala dan ke orbita menyebabkan penonjolan bola mata.
Suara sengau terjadi akibat perluasan ke rongga postnasal sedang ke
21
muara tuba eustachius akan menyebabkan gangguan pendengaran.
Semua penderita dalam penelitian ini telah dilakukan pemeriksaan
penunjang berupa pemeriksaan CT scan. Lokasi dan perluasan massa
tumor dapat ditentukan berdasarkan pemeriksaan penunjang tersebut.
Pada tabel 2 menunjukkan massa tumor di nasofaring pada semua
penderita dan meluas ke rongga hidung pada 95% penderita.
Perluasan tumor hingga intrakranial dijumpai pada penderita yang
mengalami keluhan lebih dari dua tahun. Sementara lokasi tumor hingga
fossa infratemporalis dan basis kranii tampak jarang. Hasil penelitian ini
8
selaras dengan yang diperoleh Moorthy et al. dimana massa tumor ANJ
berada di nasofaring pada seluruh kasus dan meluas ke kavum nasi
sebesar 76,92%, sedangkan yang paling sedikit adalah ke fossa
infratemporalis, penonjolan pipi dan sinus kavernosus masing-masing 1
kasus (7,69%).
Pada kepustakaan disebutkan pemeriksaan penunjang CT scan dan
MRI digunakan untuk mendiagnosis ANJ dan melihat hubungan massa
tumor dengan struktur sekitarnya. Seperti pada tumor lainnya, CT scan
berguna untuk melihat destruksi tulang sedang MRI sangat berguna
menilai jaringan lunak. Pada penderita ANJ, keterlibatan regio
infratemporal menyebabkan dinding posterior sinus maksilaris menjadi
tipis dan menonjol ke anterior. Tanda destruksi yang lainnya pada CT scan

236 | 2nd World Head & Neck Cancer Day


Angiofibroma Nasofaring Juvenile di RSUP H. Adam Malik Medan

tampak pergeseran palatum durum ke arah inferior, erosi lamina


22 1
pterigoidalis dan fissura orbitalis semakin lebar. Atalar et al. dalam
penelitiannya menyebutkan bahwa angiofibroma dapat didiagnosis dengan
menggunakan CT scan, MRI dan angiografi. CT scan menjadi pemeriksaan
yang paling penting untuk melihat destruksi struktur tulang dan pelebaran
fissura dan foramen dasar tengkorak akibat perluasan tumor sebelum
dilakukan tindakan operasi. Dengan CT scan, keterlibatan tulang dan
perluasan tumor dapat dilihat pada potongan aksial dan coronal. MRI
bermanfaat untuk melihat perluasan ke intrakranial.
Berdasarkan pemeriksaan CT scan dapat ditentukan stadium tumor
ANJ. Pada penelitian ini penentuan stadium tumor ANJ menggunakan
kriteria Chandler seperti ditetapkan dalam modul ANJ oleh kolegium THT-
KL. Pada penelitian ini dijumpai stadium ANJ paling banyak adalah stadium
stadium II 50%, diikuti stadium III (30%) dan IV (15%), sedangkan 5%
penderita dengan stadium I.
23
Hasil penelitian ini berbeda dengan penelitian Naz et al.
terhadap 40 penderita dengan menggunakan kriteria yang sama,
dijumpai stadium ANJ terbanyak adalah stadium III diikuti stadium II dan I,
sedangkan stadium IV hanya satu penderita(2,5%). Hal ini disebabkan
masih kurangnya pelayanan kesehatan di pusat-pusat pelayanan setempat.
11
Selaras dengan Anggreani et al. dimana yang terbanyak adalah stadium
III, diikuti stadium IV dan stadium II. Sementara stadium I tidak ditemukan.
Hasil penelitian di atas berbeda dengan penderita ANJ yang datang ke
RSUP H. Adam Malik Medan dimana kebanyakan penderita datang setelah
keluhan dirasakan lebih dari 12 bulan.
2
Alecio et al. menyebutkan ada beberapa kriteria stadium
yang digunakan untuk menggambarkan perluasan ANJ secara anatomi.
Kriteria stadium yang paling sering dipakai adalah kriteria Fisch sedangkan
kriteria yang lain adalah kriteria menurut Session et al., Chandler et al.,
Radkowski et al. dan Andrews et al.
Pada penelitian ini semua penderita ANJ menjalani tindakan
pembedahan sebagai terapi utama. Pendekatan teknik operasi terbanyak
adalah teknik degloving midfacial (65%) dan transpalatal (20%). Satu

Early Diagnosis and Current Treatment Paradigm in Head and Neck Surgery | 237
Resta Imelda Simbolon, Rizalina A. Asnir, Farhat

penderita dilakukan gabungan transpalatal dan rinotomi lateral yaitu


penderita dengan riwayat operasi tumor ANJ satu tahun sebelumnya
secara transpalatal di RS swasta dimana tumor meluas ke fossa
infratemporalis, sinus sfenoidalis, sinus etmoidalis kanan & kiri, sinus
kavernosus, retrobulbar dan rongga parafaring.
19
Hasil penelitian ini selaras dengan yang diperoleh Lara et al.
terhadap 16 penderita ANJ, dimana pendekatan operasi yang terbanyak
adalah degloving midfacial. Akan tetapi berbeda dengan penelitian
14
Barreto et al. terhadap 20 penderita ANJ, dimana pendekatan operasi
terbanyak adalah dengan endoskopi (85%) sedangkan yang lain menjalani
pendekatan operasi gabungan endoskopi dan degloving midfacial dan
11
penelitian Anggreani et al. melaporkan bahwa dari 27 penderita, 26
penderita menjalani pendekatan operasi secara transpalatal dan satu
orang penderita menjalani pendekatan operasi secara degloving midfacial.
6
Menurut Hasan et al. pemilihan pendekatan teknik operasi
penderita ANJ didasarkan pada ukuran tumor, perluasan tumor,
7
keterlibatan intrakranial dan kemampuan ahli bedah. Panda et al.
menyebutkan teknik degloving midfacial digunakan pada tumor ANJ yang
meluas minimal ke lateral. Keuntungan teknik ini antara lain massa tumor
dapat terpapar lebih baik, perdarahan arteri maksilaris interna di fossa
pterigopalatina dapat dikontrol langsung dan lebih baik secara kosmetika.
24
Roger et al. menyebutkan pendekatan secara transpalatal dapat
dilakukan terutama bila tumor mengisi nasofaring, rongga hidung dan
sinus sfenoidalis. Pendekatan secara rinotomi lateral hanya dilakukan bila
diperlukan membuka bagian atas sinus etmoidalis.

KESIMPULAN
Penderita ANJ di RSUP H. Adam Malik Medan terbanyak adalah laki-laki,
kelompok umur 14-16 tahun, keluhan mimisan dan hidung tersumbat,
lokasi dan perluasan tumor berada di nasofaring dan rongga hidung.
Stadium terbanyak adalah stadium II dan pendekatan operasi terbanyak
adalah teknik degloving midfacial.

238 | 2nd World Head & Neck Cancer Day


Angiofibroma Nasofaring Juvenile di RSUP H. Adam Malik Medan

SARAN
1. Perlu penelitian dengan metode prosfektif untuk mengetahui
hubungan antara pendekatan operasi dengan kekambuhan pada
penderita ANJ.
2. Perlu dilakukan penelitian melihat perbedaan antara penderita ANJ
yang diembolisasi sebelum operasi dengan tanpa embolisasi sebelum
operasi.

Ucapan terima kasih :


Terima kasih yang sebesar-besarnya saya ucapkan kepada Yth: dr. Rizalina
A. Asnir, Sp.T.H.T.K.L. (K), FICS, Dr. dr. Farhat, M. Ked (ORL-HNS),
Sp.T.H.T.K.L. (K), FICS, Prof.Dr.dr. Abdul Rachman S,Sp.T.H.T.K.L.(K), Dr.dr.
T. Siti Hajar Haryuna, Sp.T.H.T.K.L., dr. AshriYu dhistira, M. Ked (ORL-
HNS), Sp.T.H.T.K.L., FICS, dr. Siti Nursiah, Sp.T.H.T.K.L.(K), Prof. Dr. Ir.
Albiner Siagian,M.Si yang telah memberikan bimbingan dan masukan
dalam penelitian ini.

DAFTAR PUSTAKA
1. Atalar M, Solak O, Muderris S. Juvenile nasopharyngeal angiofibroma:
radiologic evaluation and pre-operative embolization. KBB-Forum 2006;
5:58-60.
2. Alecio TM, Fabiano GN, Ramina R. Juvenile nasopharyngeal
angiofibroma with intracranial extension. American Academy of
Otolaryngology-Head and Neck Surgery 2011; 145:498-504.
3. Parikh V, Hennemeyer C. Microspheres embolization of juvenile
nasopharyngeal angiofibroma in an adult. International Journal of
Surgery Case Report 2014; 5:1203-6.
4. Itoo FA, Iqbal I, Chiesti LA. Juvenile nasopharyngeal angiofibroma : a
tertiary hospital-based experience. Indian Journal of Clinical Practice
2014; 25:352-4.
5. Nicolai P, Schreiber A, Bolzoni AV. Juvenile angiofibroma :
evolution of management. International Journal of Pediatrics 2012;
2012:1-7.

Early Diagnosis and Current Treatment Paradigm in Head and Neck Surgery | 239
Resta Imelda Simbolon, Rizalina A. Asnir, Farhat

6. Hasan S, Abdullah J, Abdullah B, Jihan S, Jaafar H, Abdullah S.


Appraisal of clinical profile and management of juvenile
nasopharyngeal angiofibroma in Malaysia. Malaysian Journal of
Medical Science 2007; 14:18-22.
7. Panda NK, Gupta G, Sharma S. Nasopharyngeal angiofibroma –
chaning trents in the management. Indian Journal Otolaryngology
Head and Neck Surgery 2012; 64:233-9
8. Moorthy PN, Ranagatha BR, Abdul HQ, Madhira S, Kolloju S.
Management of juvenile nasopharyngeal angiofibroma : a five
year retrospective studi. Indian Journal of Otolaryngology Head
and Neck Surgery 2010; 62:390-4.
9. Mohammadi MA, Hadyi SS, Yazdani N, Goodarzi H, Bastaninejad S.
Endoscopic approach for excision of juvenile nasopharyngeal
angiofibroma : complication and outcomes. American Journal of
Otolaryngology-Head and Neck Medicine and Surgery 2010; 3:343-9.
10. Boghani Z, Husain Q, Kanumuri V, Khan MN. Juvenile
nasopharyngeal angiofibroma: a systematic review and comparison
of endoscopic, endonasal-assistec and open ressection in 1047
cases. Laryngoscope 2013; 123:859-69.
11. Anggreani L, Adham M, Musa Z, Bardosono S. Gambaran ekspresi
reseptor estrogen β pada angiofibroma nasofaring belia dengan
menggunakan pemeriksaan imunohistokimia. ORLI 2011; 41:8-15.
12. Gupta AK, Rajiniganth MG, Gupta AK. Endoscopic approach to
juvenile nasopharyngeal angiofibroma: our experience at a tertiary
care centre. The Journal of Laryngology & Otology 2008; 122:1185.
13. Bleier BS, Kennedy DW, Palmel JN, Chiu AG, Bloom JD, O’Malley BW.
Current management of juvenile nasopharyngeal angiofibroma : a
tertiary center experience 1999-2007. American Journal of Rhinology &
Allergy 2009; 23: 328-30.
14. Barreto MB, Vinicius FF, Alberto CM, Passos EF, Cristina AG, Maria
VB, Carvalho RS. Nasopharyngeal angiofibroma : our experience and
literature review. International Archives of Otorhinolaryngology 2013;
17:14-9.

240 | 2nd World Head & Neck Cancer Day


Angiofibroma Nasofaring Juvenile di RSUP H. Adam Malik Medan

15. Persky M, Manolidis S. Vascular tumors of the head and neck. In:
th
Johnson JT, editor. Bailey’s head & neck surgery otolaryngology. 5
edition. Lippincott Williams & Wilkins: Philadelphia; 2006. p.2023-8.
16. Peloquin A, Michel JK, Basso FB, Michel JG, Toffel P, Pierre
JP. A rare case of nasopharyngeal angiofibroma in a pregnant
woman. Otolaryngology Head Neck Surgery. 1997; 117:111-4.
17. Montag AG, Tretiakova M, Richardson M. Steroid hormone
receptor expression in nasopharyngeal Angiofibromas Consistent
Expression of Estrogen Receptor β. American Journal of Clinical
Pathology 2006; 125:832.
18. Thakar A, Gupta G, Bhalla AS, Jain V, Sharma SC, Sharma R, Bahadur S,
Deka RC. Adjuvant therapy with flutamide for presurgical volume
reduction in juvenile nasopharyngeal angiofibroma. Head Neck 2011;
33:1747-53.
19. Lara AG, Menegatti VA, Belintani VP, Victor JM, Drimel FM. A seven-
year experience with patients with juvenile nasopharyngeal
angiofibroma. Brazilian Journal of Otorhinolaryngology 2010; 76:245-
50.
20. Gleeson M. Juvenile angiofibroma. In: Michael G, editor. Scott Brown’s
th
Otorhinolariyngology Head and Neck Surgery. 7 edition. Hodder
Arnold: Great Britain; 2008. p.2437-43.
th
21. Dhingra PL, Dhingra S. Disease of ear, nose & throat 5 edition.
Elsevier. India; 2010. p.263.
22. Plant RL. Neoplasma of the Nasopharynx. In: Snow JB, Wackym
th
A, editors. Ballenger’s otorhinolaryngology head & neck surgery, 17
edition. BC Decker Inc: Connecticut; 2009. p.1081-2.
23. Nas N, Ahmed Z, Muttiullah S, Saleem M. Juvenile nasopharyngeal
angiofibroma role of imaging in diagnosis, staging and recurrence.
Pakistan Journal of Surgery 2009; 25:185-9.
24. Roger D, Hartnick C, Fagan J. Juvenile nasopharyngeal angiofibroma
surgery. In: Open acces atlas of otolaryngology, head & neck operative
surgery 2014. Available from URL : http://www.entdev.uct.ac.za/
Accesed August 26, 2015.

Early Diagnosis and Current Treatment Paradigm in Head and Neck Surgery | 241
Resta Imelda Simbolon, Rizalina A. Asnir, Farhat

242 | 2nd World Head & Neck Cancer Day


DIFFUSE LARGE B-CELL LYMPHOMA
SINONASAL PADA LAKI-LAKI 25 TAHUN
Sari Nurfaizah, Wifaqi Oktaria, Denny Satria Utama

Departemen Ilmu Kesehaan THT-KL


Fakultas Kedokteran Universitas Sriwijaya
RSUP Dr. Mohammad Hoesin Palembang

Abstrak
Limfoma sel B besar difus merupakan subtipe non hodgkin limfoma
terbesar dan paling sering ekstranodal. Limfoma non hodgkin sering terjadi
pada usia rata-rata 50-70 tahun ke atas dengan insiden pria dua kali lebih
banyak dari wanita. Linfoma non hodgkin sering memiliki keterlibatan
ekstranodal dimana cincin Waldeyer merupakan lokasi yang paling sering
terlibat diikuti kavum nasi, sinus paranasal, glandula tiroid dan glandula
saliva. Penyebab Limfoma non hodgkin sampai saat ini belum diketahui
secara pasti, namun beberapa hal yang diduga berperan sebagai penyebab
antara lain infeksi virus, faktor lingkungan, supresi imun dan faktor
genetik. Terapi yang digunakan antara lain kemoterapi baik tunggal
maupun kombinasi, terapi antibodi monoklonal, radioterapi,
transplantasi sumsum tulang, transplantasi sel induk dan
imunomodulator.
Dilaporkan satu kasus limfoma non hodgkin sinonasal pada laki-laki
usia 25 tahun yang telah dilakukan kemoterapi (ifosfamid, epirubisin,
vinkristin, prednison) sebanyak enam seri.

Kata kunci : Limfoma Non Hodgkin, ekstranodal sinonasal primer, diffuse


large B-cell lymphoma.

Abstract
Diffuse large B-cell lymphoma is the largest sub type of non hodgkin’s
lympoma and most common as an extranodal. Non hodgkin lymphoma
(NHL) often occurs at median age 50-70 years old, which the incidence in

243
Sari Nurfaizah, Wifaqi Oktaria, Denny Satria Utama

men is twice as many than women. NHL often have an extranodal


involvement which Waldeyer 's ring is the most commonly site followed by
nasal cavity, paranasal sinuses, salivary glands and the thyroid gland. The
exact cause of NHL still unclear, but a few things that contribute to the
cause such as viral infections, environmental factors, immune
suppresion and genetic factors. The therapy of NHL such as single
or combination chemotherapy, monoclonal antibody therapy,
radiotherapy, bone marrow transplantation, stem cell transplantation and
immunomodulatory .
Reported one case of the sinonasal NHL in men aged 25 years
old, who has managed by six series chemotherapy (ifosfamide, epirubisin,
vincristine, prednisone).

Keywords : Non - Hodgkin's Lymphoma, primary sinonasal extranodal,


diffuse large B-cell lymphoma

Latar belakang
Limfoma sel B besar difus merupakan subtipe limfoma non hodgkin
terbesar dan paling sering ditemukan ekstranodal. Limfoma Non-Hodgkin
(LNH) merupakan suatu keganasan pada sel limfosit T maupun sel limfosit
B yang telah matur di dalam kelenjar getah bening atau sistem getah
bening secara keseluruhan. LNH dapat dibedakan dari limfoma Hodgkin
berdasarkan tampilan klinis dan histologi. LNH sering dialami orang dengan
usia rata-rata 50-70 tahun ke atas dan pria dua kali lebih banyak
kejadiannya dari wanita. Limfoma pada sinus paranasal sekitar 14% dari
seluruh jenis kanker area ini, dimana LNH berkisar 86% dari semua kasus
limfoma tersebut. DLBCL merupakan bentuk LNH paling sering di kavum
nasi dan sinus paranasal. Insiden DLBCL dari 2000-2009 berkisar 0,1 kasus
dari 100.000 orang. Pasien dengan LNH memiliki 5 tahun angka ketahanan
hidup sekitar 63%. Tingkat kelangsungan hidup terus meningkat selama 2
dekade terakhir, berkat perbaikan medis seperti munculnya strategi terapi
baru (antibodi monoklonal). Penentuan stadium sedini mungkin dan
penatalaksanaan yang tepat akan meningkatkan kualitas hidup pada LNH
1-4
sel B besar difuse.

244 | 2nd World Head & Neck Cancer Day


Diffuse Large B-Cell Lymphoma Sinonasal pada Laki-Laki 25 Tahun

Laporan Kasus
Dilaporkan satu kasus laki-laki usia 25 tahun datang ke poliklinik THT
rumah sakit dr. Mohammad Hoesin Palembang pada desember 2014
dengan keluhan utama benjolan di lubang hidung sebelah kiri sejak 2
bulan sebelum ke Rumah Sakit. Anamnesis terhadap pasien didapatkan
sejak 3 bulan sebelum ke RS, penderita mengeluhkan hidung kiri tersumbat
secara terus menerus dan kadang-kadang mengeluarkan darah yang
bercampur ingus. Sejak dua bulan yang lalu penderita merasakan timbul
benjolan di lubang hidung kirinya berwarna kemerahan, lunak dan
mudah berdarah. Benjolan tersebut dirasakan semakin lama semakin
besar sampai keluar lubang hidung. Hidung kiri terasa membengkak
dirasakan meluas ke pipi kiri yang kemudian disertai dengan mata kiri
yang menonjol, sehingga sulit menutup mata dan pandangan kabur. Sakit
kepala terutama sebelah kiri tanpa disertai pandangan ganda.
Keluhan demam, berkeringat pada malam hari, penurunan berat
badan tidak ada. Pembesaran kelenjar getah bening leher di submandibula
sebesar kelereng tanpa nyeri. Riwayat pekerjaan pegawai kantor.
Penderita berobat ke praktek dokter tht disarankan untuk operasi, os
dirujuk ke RSMH untuk di operasi bersama mata.

Gambar 1. Massa kavum nasi sinistra dengan pendesakan ke orbita

Early Diagnosis and Current Treatment Paradigm in Head and Neck Surgery | 245
Sari Nurfaizah, Wifaqi Oktaria, Denny Satria Utama

Pemeriksaan fisik didapatkan status generalisata dan tanda vital


dalam batas normal. Pemeriksaan THT didapatkan telinga kiri dan kanan
dalam batas normal. Kavum nasi sinistra dijumpai massa berwarna
merah muda memenuhi rongga hidung, permukaan tidak rata, lunak,
rapuh dan mudah berdarah. Kavum nasi dekstra tampak sempit, septum
nasi terdorong oleh massa, pasase masih baik. Rinoskopi posterior
dijumpai sekret putih kental memenuhi koana sinistra dan nasofaring.
Tidak dijumpai massa di daerah nasofaring. Pemeriksaan orofaring dalam
batas normal, tidak dijumpai perforasi ataupun massa pada palatum.

Gambar 2. (3). Rinoskopi anterior: massa cavum nasi sinistra, (2). Kavum
nasi dekstra sempit

Pemeriksaan foto toraks (26 Maret 2015) dalam batas normal,


foto sinus paranasal (posisi Water) tampak perselubungan pada sinus
maksilaris sinistra, septum nasi, konka baik, kesan sinusitis maksilaris
sinistra. Tomografi komputer sinus paranasal (12 februari 2015) dengan
kesan tampak massa di dalam kavum nasi sinistra yang meluas ke dalam
sinus maksilaris disertai destruksi dinding medial sinus maksilaris
sinistra.

246 | 2nd World Head & Neck Cancer Day


Diffuse Large B-Cell Lymphoma Sinonasal pada Laki-Laki 25 Tahun

Gambar 3. Tomografi komputer sinus paranasal

Pemeriksaan laboratorium darah (9 Mei 2015) dijumpai Hb 11,4


gr/dl, leukosit 6.600/mm3, trombosit 395.000/mm3, LED 24 mm/jam,
bilirubin direk 0,10 mg/dl, bilirubin indirek 0,11 mg/dl, SGOT 20 U/L,
SGPT 13 U/L, albumin 4,9 g/dl , globulin 3,2 g/dl, LDH 327 U/L, BSS 104
mg/dl, ureum 16 mg/dl, creatinin 0,7 mg/dl, Natrium 142 mEq/l, kalium 4,7
mEq/l. Pemeriksaan ultrasonografi abdomen
(4 April 2015) dalam batas normal.
Pasien didiagnosis dengan limfoma non-Hodgkin ekstranodal
sinonasal stadium IE ECOG I. Pasien direncanakan untuk kemoterapi CHOP
sebanyak 6 seri dengan interval 21 hari. Prognosis pada pasien ini
berdasarkan skor IPI adalah 0 dengan interpretasi resiko rendah.

Penatalaksanaan
Pasien dilakukan operasi pada tanggal 30 Maret 2015 dan dilakukan
ekstirpasi massa dari cavum nasi sinistra, ditemukkan juga massa di sinus
maksilaris sinistra dan ethmoid. Dinding medial sinus maksilaris sinistra
mengalami destruksi dan terdapat deviasi septum nasi ke arah kanan
akibat pendesakan massa cavum nasi sinistra. Jaringan yang di dapat
dilakukkan pemeriksaan patologi. Pemeriksaan patologi anatomi (4 april
2015) dengan kesan limfoma maligna pada cavum nasi dan sinus
maksilaris. Pemeriksaan Pemeriksaan laboratorium darah (9 Mei 2015)
dijumpai Hb 11,4 gr/dl, leukosit 6.600/mm3, trombosit 395.000/mm3, LED
24 mm/jam, bilirubin direk 0,10 mg/dl, bilirubin Pada tanggal 13 Mei

Early Diagnosis and Current Treatment Paradigm in Head and Neck Surgery | 247
Sari Nurfaizah, Wifaqi Oktaria, Denny Satria Utama

2015 pasien menjalani kemoterapi CHOP seri pertama. Pasien dengan


berat badan 67 kg, tinggi badan 174 cm, luas permukaan tubuh 1,79
diberikan kemoterapi dengan dosis ifosfamid 8.997 mg, epirubisin 125
mg, vinkristin 1,79 mg, prednisone 90 mg, uromiteksan 15.296 mg. Satu
hari setelah kemoterapi penderita masih merasa bengkak di hidung kiri,
pasien masih sulit menutup mata kiri dengan benar, pandangan kabur
masih dijumpai.
Pasien juga tidak mengeluhkan demam, berdebar-debar, sesak
nafas, kesemutan dan buang air kecil berwarna merah. Pada tanggal 3
Juni 2015 pasien menjalani kemoterapi CHOP kedua. Pasien merasakan
setelah kemoterapi kedua pasien merasakan sumbatan di hidung kirinya
sudah hilang. Bengkak di hidung dan mata juga menghilang 1 minggu
setelah kemoterapi pertama. Os juga mengaku pandangan kabur
menghilang. Dilakukan pemeriksaan fisik dengan telerinoskopi anterior
pada kavum nasi sinistra dijumpai kavum nasi yang lapang, tidak dijumpai
massa, konka inferior eut warna merah muda, kompleks osteomeatal
terbuka. Kavum nasi dekstra dalam batas normal.

Gambar 4. Pemeriksaan fisik pascakemoterapi

248 | 2nd World Head & Neck Cancer Day


Diffuse Large B-Cell Lymphoma Sinonasal pada Laki-Laki 25 Tahun

Tanggal 19 juni 2015 dilakukan kemoterapi CHOP ketiga. Os


mengalami penurunan berat menjadi 64 kg, pasien mengeluh sulit
menelan dikarenakan nyeri tenggorokan dan suara pasien menjadi serak.
3
Hasil laboratorium darah Hb 11,1 gr/dl, leukosit2.000/mm , trombosit
3
303.000/mm , albumin 4,7 g/dl , globulin 3,2 g/dl, , BSS 104 mg/dl, ureum
20 mg/dl, creatinin 0,87 mg/dl, Natrium 142 mEq/l, kalium 4,1 mEq/l. Pada
pemeriksaan laringoskop indirect dijumpai parese plica vocalis sinistra.
Pasien disarankan untuk istirahat suara.
Pada tanggal 9 Juli 2015 pasien menjalani kemoterapi keempat
dan tanggal 31 Juli 2015 pasien menjalani kemoterapi kelima. Pasien
mengeluhkan badan masih terasa lemas, kesemutan, mual, rambut rontok
dan suara serak. Keluhan hidung buntu dan keluar darah dari hidung tidak
dijumpai.
Pasien menyelesaikan kemoterapi seri ke enam pada tanggal 20
juli 2015 dan dilakukkan evaluasi ulang atau penentuan staging ulang.
Tomografi computer menunjukkan hasil massa yang lebih mengecil, namun
masih tampak lesi hipodens di sinus ethmoid. Pasien direncanakan untuk
kemoterapi lagi setelah staging ulang selesai.

Gambar 5. CT Scan Sinus paranasal post kemoterapi siklus 1, tampak


massa mengecil dengan terapi kemoterapi.

Early Diagnosis and Current Treatment Paradigm in Head and Neck Surgery | 249
Sari Nurfaizah, Wifaqi Oktaria, Denny Satria Utama

Diskusi
Dilaporkan satu kasus limfoma non-Hodgkin ekstranodal sinonasal pada
laki-laki usia 25 tahun. Pekerjaan penderita adalah pegawai kantor.
LNH primer pada kepala leher terjadi pada 14% kasus LNH dan 20%-30%
nya merupakan limfoma ekstranodal. Usia rata-rata adalah 50-70 tahun
dengan kejadian pada pria dua kali lebih banyak dari wanita. Etiologi tidak
diketahui secara pasti, namun diduga faktor lingkungan seperti pajanan
bahan kimia (pestisida, herbisida, bahan kimia organik dan lain-lain),
kemoterapi dan radiasi ikut berperan sebagai penyebab LNH. Berdasarkan
data di departemen THT-KL RSMH kejadian limfoma non-Hodgkin dari
bulan Januari 2011- Juni 2015 sebanyak 58 pasien dimana 22 diantaranya
1,3,4
LNH tonsil dan 5 pasien LNH sinonasal.
Anamnesis terhadap pasien didapatkan. Keluhan hidung kiri
tersumbat dan kadang- kadang mengeluarkan darah yang bercampur
ingus. Tumbuh daging di lubang hidung kirinya berwarna merah sampai
kehitaman, lunak dan mudah berdarah. Hidung kiri terasa membengkak
yang kemudian disertai penonjolan mata kiri. Sakit kepala dan sulit
menutup mata kiri. Pembesaran kelenjar getah bening leher ditemukan
pada area submandibula sinistra. Gejala LNH ekstranodal kavum nasi
biasanya berupa obstruksi kavum nasi, epistaksis, rinorea, sakit kepala
dan pembengkakan di hidung. Gejala lain yang menunjukkan infiltrasi atau
perluasan tumor seperti pembengkakan daerah pipi, perforasi palatum
durum, proptosis, diplopia, pandangan kabur dan kelumpuhan nervus
kranialis sekunder dari perluasan ke orbita atau dasar tengkorak. Sebagian
1.3,6
pasien mengeluhkan pembesaran kelenjar getah bening leher.
Pemeriksaan fisik didapatkan kavum nasi sinistra dijumpai
massa berwarna merah kehitaman memenuhi rongga hidung, permukaan
tidak rata, lunak, rapuh dan mudah berdarah. Kavum nasi dekstra tampak
sempit, septum nasi terdorong oleh massa. Terdapat pembesaran kelenjar
getah bening servikal (submandibula sinistra). Gambaran massa pada LNH
sinonasal bervariasi, sebagian besar tampak sebagai massa seperti daging
dengan warna merah sampai abu- abu yang ulseratif dan rapuh, kadang-
kadang disertai jaringan nekrotik, debris, sekret mukopurulen dan krusta.

250 | 2nd World Head & Neck Cancer Day


Diffuse Large B-Cell Lymphoma Sinonasal pada Laki-Laki 25 Tahun

Tumor primer dapat meluas ke cavum nasi, mendorong septum ke sisi


berlawanan. Permukaan kulit hidung, palatum durum dan mole, orbita dan
orofaring.
Daerah muka dapat ditemukan pembengkakan pada dorsum nasi,
daerah pipi sampai proptosis, massa atau pendorongan pada palatum serta
perforasi palatum. Pembesaran kelenjar getah bening leher dapat dijumpai
3,4,6
terutama daerah submandibula dan servikal.
Pada pemeriksaan penunjang seperti foto toraks, USG abdomen
tidak dijumpai kelainan. Tomografi komputer sinus paranasal tampak
massa didalam cavum nasi sinistra yang meluas ke dalam sinus maksila
sinistra dengan disertai destruksi dinding medial sinus maksila.
Pemeriksaan darah tidak dijumpai peningkatan kadar LDH (327 U/L).
Pemeriksaan histopatologi berupa limfoma non-Hodgkin pada kavum nasi
yang dikonfirmasi dengan imunohistokimia dengan hasil diffuse large B
cell lymphoma dengan CD20 negatif sebagai diagnosis pasti.
Pemeriksaan tomografi komputer dan Magnetic Resonance Imaging
(MRI) dilakukan untuk mengetahui lokasi, ukuran serta perluasan tumor
termasuk destruksi tulang dan identifikasi pembesaran kelenjar getah
bening leher. Diagnosis pasti LNH ditegakkan berdasarkan pemeriksaan
histopatologi yang didapat dari biopsi eksisi kelenjar getah bening atau
jaringan ekstranodal. Dilakukan klasifikasi histopatologik yang dilanjutkan
dengan pewarnaan imunohistokimia dimana berdasarkan imunohistokimia
terdapat tiga fenotip dari limfoma maligna yaitu sel T, sel NK (natural killer)
dan sel B serta pemeriksaan antibodi yang dilakukan terhadap sel B (CD-
5-7
20), sel T (CD-3) dan sel NK (CD-56).
Tatalaksana pada pasien ini adalah kemoterapi CHOP sebanyak 6
seri dengan interval 21 hari, yang sebelumnya dilakukan ekstirpasi massa
kavum nasi sinistra. Perkembangan terapi setelah kemoterapi ke-2 pasien
merasakan sumbatan di hidung kirinya sudah hilang, bengkak di hidung
serta penonjolan mata juga menghilang. Dilakukan pemeriksaan fisik
dengan telerinoskopi anterior pada kavum nasi sinistra tidak dijumpai
massa dan sekret, kompleks osteomeatal terbuka. Setelah selesai
kemoterapi seri 3 pasien merasa keluhan di hidung benar-benar hilang.

Early Diagnosis and Current Treatment Paradigm in Head and Neck Surgery | 251
Sari Nurfaizah, Wifaqi Oktaria, Denny Satria Utama

Setelah pasien menyelesaikan kemoterapi ke enam dilakukkan


pemeriksaan tomografi komputer didapatkan massa yang mengecil dari
ukuran awal. Pilihan terapi pasien LNH tergantung tipe, stadium, usia dan
kondisi kesehatan organ lainnya. Terapi yang digunakan antara lain
kemoterapi baik tunggal maupun kombinasi, terapi antibodi monoklonal,
radioterapi. Standar kemoterapi yang digunakan adalah kombinasi
cyclophosphamide, hydroxydaunomycin (doxorubicin), oncovin
(vincristine), dan prednison (CHOP) yang diberi secara intravena dengan
interval tiga minggu sebanyak enam kali pemberian. Pada pasien dengan B-
lineage phenotype, antibodi monoklonal chimeric rituximab harus
ditambahkan pada CHOP sebagai targeting therapy yang melawan antigen
1,4
CD20.
Tatalaksana pada pasien ini adalah kemoterapi CHOP sebanyak 6
seri dengan interval 21 hari, yang sebelumnya dilakukan ekstirpasi massa
kavum nasi sinistra. Perkembangan terapi setelah kemoterapi ke-2 pasien
merasakan sumbatan di hidung kirinya sudah hilang, bengkak di hidung
serta penonjolan mata juga menghilang. Dilakukan pemeriksaan fisik
dengan telerinoskopi anterior pada kavum nasi sinistra tidak dijumpai
massa dan sekret, kompleks osteomeatal terbuka. Setelah selesai
kemoterapi seri 3 pasien merasa keluhan di hidung benar-benar hilang.
Setelah pasien menyelesaikan kemoterapi ke enam dilakukkan
pemeriksaan tomografi komputer didapatkan massa yang mengecil dari
ukuran awal. Pilihan terapi pasien LNH tergantung tipe, stadium, usia dan
kondisi kesehatan organ lainnya. Terapi yang digunakan antara lain
kemoterapi baik tunggal maupun kombinasi, terapi antibodi monoklonal,
radioterapi. Standar kemoterapi yang digunakan adalah kombinasi
cyclophosphamide, hydroxydaunomycin (doxorubicin), oncovin
(vincristine), dan prednison (CHOP) yang diberi secara intravena dengan
interval tiga minggu sebanyak enam kali pemberian. Pada pasien dengan B-
lineage phenotype, antibodi monoklonal chimeric rituximab harus
ditambahkan pada CHOP sebagai targeting therapy yang melawan antigen
1,4
CD20.

252 | 2nd World Head & Neck Cancer Day


Diffuse Large B-Cell Lymphoma Sinonasal pada Laki-Laki 25 Tahun

Prognosis pada pasien ini berdasarkan skor IPI adalah 0 (tidak ada
peningkatan kadar LDH) dengan interpretasi resiko rendah.
Prognosis pasien dengan LNH sinonasal tergantung stadium yang
menurun dengan semakin tingginya tingkat stadium. Berdasarkan
penelitian Li dkk tahun 2010 menyatakan secara keseluruhan angka lima
tahun ketahanan hidup dan bebas penyakit LNH kavum nasi pada
semua kelompok adalah 63% dan 57%, stadium IE sebesar 75% dan 68%.
Prognosis juga meningkat ketika imunoterapi dengan rituximab
ditambahkan pada kemoterapi. Saat ini angka 5- tahun bebas penyakit
1,4,6,
sekitar 70-85%.

Kesimpulan
Diffuse large B-cell lymphoma merupakan subtipe limfoma non Hodgkin
terbesar dan paling sering ekstranodal. LNH sinonasal tipe sel B besar difus
sering terjadi pada laki-laki usia 50-70 tahun, namun dalam kasus ini terjadi
pada usia muda yaitu 25 tahun. Faktor- faktor yang dapat mempengaruhi
terjadinya LNH sinonasal adalah genetik, imunitas rendah, faktor
lingkungan seperti pajanan bahan kimia (pestisida, herbisida, dan lain-lain),
dan infeksi virus dan bakteri seperti Epstein-Barr virus. Penatalaksanaan
limfoma non Hodgkin stadium I dan II sesuai rekomendasi NCCN 2015
dapat dilakukan bulky bila tumor ≥ 10 cm dan dilanjutkan dengan regimen
kemoterapi RCHOP. Pada kasus ini dilakukan bulky tumor pada kavum nasi
sinistra dan dilanjutkan dengan kemoterapi regimen CHOP, hal ini
dikarenakan dari hasil imunohistokimia CD20 negatif pada tumor.
Diagnosis,dan penilaian stadium sejak dini serta penanganan dan
penatalaksanaan yang tepat akan memeberikan respon terapi yang baik,
dimana 5 tahun ketahan hidup pada pasien LNH sinonasal mencapai 63%,
1-5
merupakan angka harapan hidup yang cukup baik.

Saran
1. Deteksi dini kelainan LNH sinonasal berdasarkan gejala klinis.
2. Pemeriksaan histopatologi dan immunohistokimia untuk menegakkan
diagnosis, dilakukan sedini mungkin untuk menentukan terapi yang
akan diberikan pada pasien LNH sinonasal tipe sel B besar difus.

Early Diagnosis and Current Treatment Paradigm in Head and Neck Surgery | 253
Sari Nurfaizah, Wifaqi Oktaria, Denny Satria Utama

3. Diagnosis pasti dan penatalaksanaan yang tepat pada LNH sinonasal


tipe sel B besar difus sangat bermanfaat untuk ketahanan hidup pasien,
disini berkaitan dengan produktifitas pasien yang berusia muda.
4. Untuk melanjutkan penelitian tentang kejadian LNH sinonasal pada usia
muda dan keberhasilan pemilihan terapi pada LNH sinonasal usia
muda.

Daftar Pustaka
1. Munker R, MD et al. The Non- Hodgkin’s Lymphomas.In. Munker
R,MD et al. Modern Hematology Biology and Clinical Management.
Human Press. New Jersey. 2007. p: 237-269.
2. Annenkov alexey et al. Diffuse large B- cell lymphoma of tonsil and
testis; unexpected metastatic sequence. International journal of case
report and image. Japan. 2010. Vol 1 (1); 7-11.
3. Paksoy M, Altin G, Erdogan BA, Sanli A, Oztek I. A rare cause of nasal
septal mass: B cell lymphoma. Istanbul Med J.2013. Vol 14; 60-62.
4. Chai RL, Tassler AB, Kim seungwon. Lymphomas of head and neck.
In: Byron J. Bailey editor. Head & Neck Surgery Otolaryngology. 5nd ed.
Lippincott Williams & Wilkins. Philadelphia, USA. 2014. Vol. 2,
(128):2032-2040.
5. Jiang QP et al. CD 20-positive NK/T- cell lymphoma with indolent clinical
course: report of case and review of literature. Diagnostic pathology.
2012. Vol 7. p: 2-7.
6. Lei WC, Hong RL. Sinonasal diffuse large B cell lymphoma, a case
report. J. Cancer Res. Pract. Taiwan. 2012. Vol 28, (4);183-188.
7. Chan ACL, Chan JKC, Cheung MMC, Kapadia SB. Haematolymphoid
tumours. In; Pathology & genetic Head and neck tumours. IARC. Lyon.
2005. 58-64.

254 | 2nd World Head & Neck Cancer Day


Laporan Serial Kasus

PENATALAKSANAAN LUKA TUSUK LEHER


DI RUMAH SAKIT HASAN SADIKIN BANDUNG
dr. Nurbaiti, dr. Agung Dinasti Permana, Sp.T.H.T.K.L, M.Kes., FICS

Departemen Ilmu Kesehatan Telinga Hidung Tenggorok Kepala Leher Fakultas


Kedokteran Universitas Padjadjaran
Rumah Sakit Umum Pusat Dr. Hasan Sadikin Bandung

ABSTRAK
Luka tusuk leher adalah luka akibat benda tajam yang mengenai daerah
leher. Meskipun merupakan kasus yang relative jarang, luka tusuk leher
berpotensi menimbulkan angka kesakitan dan diperkirakan kematian
mencapai 6%. Penilaian dan manajemen pasien dengan luka tusuk leher
sesuai dengan zona yang terkena. Terbukti bahwa pemeriksaan langsung
dengan observasi dan pemeriksaan serial merupakan cara yang efektif
seperti halnya tindakan eksplorasi pada pasien tertentu. Kami melaporkan
1 kasus luka tusuk leher yang telah dilakukan tindakan pengambilan benda
asing di Departemen Ilmu Kesehatan Telinga Hidung Tenggorok dan Bedah
Kepala leher RSUP Dr. Hasan Sadikin, Bandung.

Kata Kunci : Luka tusuk leher, penilaian, manajemen,

ABSTRAC
Penetrating neck injury is an injury due to sharp object on the neck.
Although it is a relatively rare cases, penetrating neck injury potentially
cause morbidity and mortality which is estimated to reach 6%. The
assessment and management of patients with penetrating neck injury
according to highlighting areas. There is good evidence that directed
examination with observation and serial examinations may be as effective

255
dr. Nurbaiti, dr. Agung Dinasti Permana, Sp.T.H.T.K.L, M.Kes., FICS

as mandatory exploration in selected patients. We report one patient with


penetrating neck injury has been conducted extraction of foreign body at
Department of Otolaryngology – Head And Neck Surgery Faculty Of
Medicine Padjadjaran University Hasan Sadikin Hospital Bandung

Keywords : Penetration neck injury, assessment, management

PENDAHULUAN
Luka tusuk leher merupakan kejadian yang jarang dijumpai. Satu studi di
Finlandia diperkirakan insidensi luka tusuk leher non-ballistik 1.3/100.000
per tahun. Di dunia, mekanisme injury yang paling sering adalah luka
tusuk akibat kekerasan, diikuti luka tembak, kecelakaan lalu lintas dan
mekanisme lainnya. Tusuk injury pada leher diklasifikasikan sesuai dengan
level anatomy injury (Gambar 1).

Gambar 1. Klasifikasi zona luka tusuk leher. Zona I membentang dari


klavikula ke cricoid, zona II dari cricoid ke angulus mandibula.
Zona III dari angulus mandibular ke dasar tengkorak.

256 | 2nd World Head & Neck Cancer Day


Penatalaksanaan Luka Tusuk Leher di Rumah Sakit Hasan Sadikin Bandung

Zona I didefinisikan sebagai area diantara klavicula, lekuk sternum,


dan kartilago cricoid. Zona II terbentang antara cricoid dan angulus
mandibula, dan zona III antara angulus mandbula dan basis tengkorak.
Penilaian dan manajemen pembedahan zona I dan III sangat kompleks
dengan dekatnya rongga dada dan dasar tengkorak. Meskipun luka tusuk
leher hanya sebagian kecil yang dirujuk ke emergensi THT, namun
berpotensi signifikan terjadi kesakitan dan kematian. Rata-rata angka
kematian luka tusuk leher antara 3-6% dengan penyebab terbanyak
perdarahan hebat akibat injuri pembuluh darah. Penyebab kematian
lainnya termasuk sumbatan jalan nafas, iskemik otak, dan sepsis dari
injuri esophagus. Luka tusuk terbanyak terjadi di zona II. Zona dimana
1
struktur mudah dijangkau . Secara klasik, luka Zona II yang tusuk dalam ke
otot platysma dilakukan operasi explorasi segera. Hal ini bertolak belakang
dengan luka zona I dan III, karena struktur anatomi nya susah dijangkau,
penatalaksanaannya lebih selektif. Beberapa kasus baru dilakukan
observasi, kemudian berjalannya waktu algoritma pendekatan digunakan
kombinasi dengan Digital Substraction Angiography (DSA) dan endoskopi
untuk memisahkan struktur pembuluh darah dan aerodigestive pada leher
2,5
dan dada bagian atas. Indikasi evaluasi pembuluh darah pada luka tusuk
di wajah dapat di ingat 2 “P” : kedekatan dengan struktur pembuluh darah
3
besar dan luka tusuk bagian posterior dari angulus mandibular.
Pada tahun 1980 paradigma manajemen luka tusuk leher bergeser
yang awalnya perlu dilakukan explorasi menjadi selektif. Sebagai akibat
hasil explorasi yang negative tinggi. Pada penelitian retrospektif oleh Biffl
dkk.menunjukkan manajemen selective pada kasus manajemen luka tusuk
leher didasarkan pada anatomi zona luka seperti apa yang dijumpai
pada pemeriksaan fisik yang mana aman dan hemat biaya. Penemuan ini
telah dilaporkan dari beberapa penelitian dan pusat luka yang
mengadopsi manajemen selektif berdasarkan kombinasi pemeriksaan
klinik dan radiologi. Pada dekade tahun terakhir penunjang pencitraan
telah dipadukan dalam manajemen selektif. Secara khusus, perkembangan
dalam multislice, CT angiography (CTA), merupakan metoda yang akurat
2
dan non invasive untuk mengevaluasi pasein dengan luka tusuk leher.

Early Diagnosis and Current Treatment Paradigm in Head and Neck Surgery | 257
dr. Nurbaiti, dr. Agung Dinasti Permana, Sp.T.H.T.K.L, M.Kes., FICS

Presentasi kasus
Sejak ± 8 jam sebelum masuk RS pasien jatuh terguling saat membawa
traktor, kemudian pasien tersadar sudah tertusuk batang kayu dari rahang
kiri bawah tembus ke tenggorokan. Riwayat pingsan (-), perdarahan hidung
(-), telinga (-), mulut (-), sesak (-), nyeri tenggorokan (+). Karena
keluahnnya pasien dibawa ke RS Waled, kemudian dirujuk ke RS
Hasan Sadikin Bandung.

Tanggal 21-4-2016

Gambar 2. Gambaran klinis

Sistematik review pada lebih dari 2,400 pasien dengan luka tusuk
leher, McConnell dan Trunkey melaporkan bahwa struktur vital
termasuk injury trachea (10%), esofagus (9.6%), vena jugularis inerna
(9%), arteri karotis (6.7%). Secara keseluruhan kematian pada pasien
dengan luka tusuk leher berkisar antara 3-10%. Mortalitas meningkat

258 | 2nd World Head & Neck Cancer Day


Penatalaksanaan Luka Tusuk Leher di Rumah Sakit Hasan Sadikin Bandung

ketika luka tusuk leher mengenai laryngotracheal (20%) atau


4
pharyngoesophageal (22%).
Intubasi cepat dapat dipertimbangkan pada kasus dimana jalan
4
nafasnya terncam namum secara anatomi dan struktur normal. Pada
kasus ini pasien dilakukan tracheostomy dalam anestesi lokal.

Early Diagnosis and Current Treatment Paradigm in Head and Neck Surgery | 259
dr. Nurbaiti, dr. Agung Dinasti Permana, Sp.T.H.T.K.L, M.Kes., FICS

Gambar 3. Hasil foto STL Ap/Lat, thorax dan Ct Scan

Penilaian awal seharusnya mengikuti princip Advanced Luka Life


Support (ATLS). Nasoendoskopi Flexible fibreoptic penting untuk
pemeriksaan endolarynk pada pasien stabil : laserasi, hematoma,
mobilitas dan edema pita suara harus diidentifkasi pada saat penilaian
awal. Tepi mandibular, nervus hypoglossus dan assesorius khususnya
sangat rentan terkena luka tusuk leher. Pemeriksaan dengan hati-hati dan
dokumentasi fungsi saraf otak merupakan hal penting khusus lainnya.
Jika otot platysma utuh dapat disimpulkan bahwa luka lehernya
superficial. Fakta ini dikemukakan oleh beberapa algoritma manajemen
internasional dan digunakan sebagai panduan terapi. Sekitar 48 % luka
tusuk leher di RS St George’s, platysma terkena. Hal ini ditemukan bahwa
melalui anestesi lokal merupakan penilaian yang akurat pada luka. Kami
merekomendasika keterlibatan otolaryngologist dalam membuat penilaian
semua kasus luka tusuk leher.

260 | 2nd World Head & Neck Cancer Day


Penatalaksanaan Luka Tusuk Leher di Rumah Sakit Hasan Sadikin Bandung

Gambar 4. Pedoman penilaian dan manajemen luka tusuk leher RS St


2
George’s.

Early Diagnosis and Current Treatment Paradigm in Head and Neck Surgery | 261
dr. Nurbaiti, dr. Agung Dinasti Permana, Sp.T.H.T.K.L, M.Kes., FICS

Kerusakan traktus aerodigestive bagian atas terjadi sekitar 20%


pada luka tusuk leher. Dari data, satu kasus (8.3 %) melibatkan kerusakan
traktus aerodigestive, sementara pencitraan CT dapat menyingkirkan injury
ini pada 90% kasus. Sangatlah penting untuk secara cepat mengidentifikasi
dan merawat kerusakan esophagus agar dapat meminimalisir kejadian
sakit tersebut. Kelebihan pencitraan CT memberikan informasi kepad ahli
bedah mengenai keterlibatan pembuluh darah, traktus aerodigestive
bagian atas atau injuri intrathorak dan memberikan kemudahan ahli bedah
untuk pendekatan operasinya. Hal ini diperlukan adanya keterlibatan
disiplin ilmu bagian lain, seperti bedah thorax atau bedah vaskuler atau
radiologi intervensi. Penggunaan CTA juga dapat menunjukkan negative
explorasi pembedahan. Dengan demikian, disarankan pemeriksaan CT
rutin pada pasien yang stabil dan diperlukan penatalaksanaan sesuai
dengan algoritma.

Injury Pembuluh darah


Kerusakan arteri yang mengikuti luka tusuk leher mungkin memerlukan
repair pembuluh darah oleh seorang bedah vaskuler. Injury zona I
memerlukan explorasi pembedahan sesuai dengan permintaan bedah
thorax cardiovasku sebagai terapi yang memerlukan sternotomy atau
thorakotomi untuk mencapai akses proximal struktur pembuluh darah.
Hampir sama seperti injuri arteri dalam zona III atau arteri vertebra
sering di lakukan pemasangan kateter berdasar angiografi dan embolisasi
karena kesulitan akan capai akses pembuluh darah.

262 | 2nd World Head & Neck Cancer Day


Penatalaksanaan Luka Tusuk Leher di Rumah Sakit Hasan Sadikin Bandung

Gambar 5. Durante operasi

DISKUSI
Pada kasus pasien ini di dapatkan luka tusuk kayu dari angulus mandibular
kiri menembus oropharyng. Kemudian dilakukan pemeriksaan dan
penatalaksanaan sesuai prinsip ATLS. Stabilisasi kondisi pasien, Dilakukan
pemeriksaan penunjang foto rontgen STL Ap/Lat, Thorax dan CT Scan
daerah kepala leher. Dari foto rontgen STL Ap/Lat di dapat emfisema

Early Diagnosis and Current Treatment Paradigm in Head and Neck Surgery | 263
dr. Nurbaiti, dr. Agung Dinasti Permana, Sp.T.H.T.K.L, M.Kes., FICS

subkutis di daerah colli sinistra yang memungkinkan udara masuk lewat


luka tersebut. Dari CT Scan : lesi hipodens yang menembus kutis subkutis
dan sebagaian m. pterygoideus medialis dan lateralis kiri, m. levator velli
palatine, m. splenius capitis dan m. longus capitis. Tidak tampak fraktur os
calvaria dan mandibular.
Pasien kemudian dilakukan operasi untuk extraksi kayu, dengan
pendampingan dari bagain bedah vaskuler. Untuk stabilisasi jalan nafas
dilakukan tracheostomy pada pasien ini, kemudian tim bedah vaskuler
melakukan preservasi arteri karotis dengan nylon kateter. Setelah arteri
karotis aman, kemudian dilakukan extraksi kayu di angulus mandibular kiri,
kemudian tutup arteri karotis yang terekspos dilanjutkan extraksi kayu di
bagian oropharyng.
Menurut Burgess C.A dkk, alur perawatan luka tusuk leher dengan
cedera pharyngoesophageal diberikan terapi antibiotik i.v selama 7-10 hari
kemudian di lakukan pemasangan NGT.

KESIMPULAN
Pasien dengan luka tusuk leher, awalnya kita tatalaksana sesuai prinsip
ATLS. Lakukan stabilisasi pasien, kemudian pemeriksaan penunjang foto
rontgen STL Ap/Lat, thorax dan CT Scan. Jika lokasi luka termasuk zona I
dan III, perlu diperhatikan adanya injury pembuluh darah. Oleh karena itu
diperlukan kerjasama dengan tim bedah lainnya seperti bedah vaskuler
maupun bedah kardiovaskuler.

264 | 2nd World Head & Neck Cancer Day


Penatalaksanaan Luka Tusuk Leher di Rumah Sakit Hasan Sadikin Bandung

1
Gambar 6. Alur perawatan luka tusuk leher

DAFTAR PUSTAKA
1. Burgess, C.A, et all. An evidence based review of the assessment and
management of penetrating neck luka. Clin. Otolaryngol. 2012, 37, 44–
52.

Early Diagnosis and Current Treatment Paradigm in Head and Neck Surgery | 265
dr. Nurbaiti, dr. Agung Dinasti Permana, Sp.T.H.T.K.L, M.Kes., FICS

2. Siau Richard T. K. et.all. Management of penetrating neck injuries at a


London luka centre. Eur Arch Otorhinolaryngol (2013), 270:2123–
2128.
3. Byron J. Bailey. Head and Neck Surgery Otolaryngology, 5th Edition,
Volume 1. Lippincott Williams & Wilkins. 2014. p: 1131-1140.
4. Youssef Nayer, et.all. Airway management of an open penetrating
neck Injury. CJEM 2015;17(1):89-93
5. Buchalter Gregory M. et.all. Penetrating luka to the head and neck for a
nail gun: A unique mechanism of injury. ENT- Ear, Nose & Throat
journal, November 2002.
6. Daniel Yann. et.all. Use of a Gum Elastic Bougie in a Penetrating Neck
Luka. Prehosp Disaster Med. 2014;29(2):212-213.

266 | 2nd World Head & Neck Cancer Day


PEMBEDAHAN TUMOR PAROTIS YANG
EKSTENSI KE CANALIS AKUSTICUS EXSTERNUS
Dina Riana, Agung Dinasti Permana*, Arif Dermawan**

Bagian Onkologi*, Otologi**


SMF Ilmu Kesehatan Telinga Hidung Tenggorok-Kepala Leher
Fakultas Kedokteran Universitas Padjadjaran
RS Hasan Sadikin Bandung

ABSTRAK
Latar Belakang: Tumor parotis sebagian besar jinak dan terletak di lobus
superfisialis. Salah satu tumor keganasan derajat tinggi parotis yang jarang
dijumpai adalah karsinoma sel skuamosa. Pembedahan tumor parotis
tergolong sulit karena adanya N. Fasialis yang berjalan (berada) di dalam
kelenjar parotis. Ini disebabkan karena selain mengeluarkan seluruh
tumornya, harus dilakukan upaya maksimal untuk mempertahankan
(preservasi) N. Fasialis. Pemeriksaan biopsi aspirasi jarum halus dan
tomografi komputer dapat menegakkan diagnosis karsinoma parotis.
Terapi utamanya adalah parotidektomi. Tujuan: Kasus ini diajukan agar
para dokter umum dan dokter spesialis Telinga, Hidung, Tenggorok dapat
mengenali adanya karsinoma parotis yang bermanifestasi klinis dan
berekstensi ke CAE. Kasus: Dilaporkan satu pasien, laki-laki berusia 54
tahun yang didiagnosis karsinoma Squamus sel kelenjar parotis stadium IV
yang berekstensi ke CAE. Penatalaksanaan: Pada pasien ini dilakukan
operasi parotidektomi radikal disertai dengan canal wall down AS dan
eksisi luas dan direncanakan untuk radiasi. Kesimpulan: Tumor parotis
dapat menyebabkan ekstensi ke canalis akustikus eksternus,diperlukan
ketelitian dalam pembedahan karena dapat menyebabkan parese nervus
facialis.

Kata Kunci: Tumor ganas Parotis, Squamus sel, Canal wall down,
Parotidektomi, Eksisi Lua

267
Dina Riana, Agung Dinasti Permana, Arif Dermawan

PENDAHULUAN
Tumor parotis yang berekstensi ke CAE merupakan tumor di daerah
kepala-leher yang termasuk jarang diketemukan. Tumor parotis
1,2
merupakan tumor kelenjar liur yang terbanyak (75-85%). Tumor parotis
tergolong tumor yang "unik" karena banyaknya variasi sehingga seringkali
ada ketidak sesuaian antara jenis histopatologi dengan sifat/gambaran
3
kliniknya. Biasanya tumor terdapat pada lobus superfisial (90%).

3
Klasifikasi W.H.O. untuk tumor parotis sebagai berikut :
A. Tumor epitelial
B. Tumor Non Epitelial
C. Tumor yang tidak dapat diklasifikasikan
D. Keadaan lain yang berhubungan dengan:

Kelainan limfoepitelial jinak, Sialosis, Onkositosis


Pengelolaan tumor ganas parotis sehubungan dengan jenis patologi dan
sifat klinik dari tumor (biologic behavior) maka pada tumor ganas parotis
3,5
dapat dibagi dalam 2 group berdasarkan derajat keganasannya, yaitu:
1. Keganasan derajat rendah misalnya : Karsinoma muko epidermoid,
adeno karsinoma sel asinik, karsinoma adenoid kistik (silindroma)
2. Keganasan derajat tinggi misalnya : karsinoma muko epidermoid,
adeno karsinoma, karsinoma sel skuamosa/epidermoid, karsinoma
pada adenoma pleomorfik

Tumor non epitelial parotis yang jinak (hemangioma, fibroma dan


neurofibroma) maupun yang ganas (fibro sarkoma, neuro sarkoma,
hemangio sarkoma, limfoma maligna) lebih jarang dijumpai, biasanya pada
anak.
Sebagian besar (80%) tumor parotis adalah jinak, terbanyak (60-
80%) adenoma pleomorfik berupa benjolan bulat terutama disekitar liang
telinga yang biasanya tumbuh lambat meskipun kadang ada periode
pendek tumor tumbuh cepat, konsistensi lunak sampai padat, mobile,
tidak nyeri dan tanpa kelainan pada nervus fasialis. Makroskopis tumor

268 | 2nd World Head & Neck Cancer Day


Pembedahan Tumor Parotis yang Ekstensi ke Canalis Akusticus Exsternus

tampak seperti berkapsul disertai tonjolan tonjolan kearah luar,


berwarna putih, kadang ada pembentukan kista atau perdarahan. Tumor
jinak kedua tersering adalah tumor Warthin`s (6-10%). Meskipun jarang,
dapat ditemukan primary lymphoma of the parotid gland. Tumor
parotis dapat ditemukan pada semua usia. Tumor jinak sering ditemukan
pada dekade ke lima, sedangkan tumor ganas pada dekade ke enam dan
tujuh. Tumor ganas parotis yang paling sering adalah karsinoma
mukoepidermoid (10%), disusul kemudian karsinoma asinik dan adenoid
kistik karsinoma (silindroma). Biasanya tumor tumbuh cepat atau
mendadak cepat disertai nyeri dan kelumpuhan nervus fasialis (merupakan
5,6,7
gejala patognomonis). Pada anak, tumor jinak parotis yang sering
ditemukan adalah hemangioma, disusul kemudian adenoma pleomorfik
dan limfangioma. Tumor ganas kelenjar ludah pada anak sekitar 85%
diketemukan di kelenjar parotis, terutama jenis karsinoma
8,9,10
mukoepidermoid.
Dibandingkan dengan pembedahan pada tumor kelenjar liur mayor
yang lainnya, pembedahan pada tumor parotis lebih sulit dan resiko
komplikasi yang lebih banyak. Karena itu dituntut pengetahuan yang
mendalam tentang anatomi, topografi nervus fasialis (serta variasinya) dan
5,11
struktur lain yang ada disekitarnya. Sampai saat ini, pembedahan
(surgical excision) masih merupakan pilihan utama dalam penanganan
tumor parotis, baik yang jinak maupun kasus ganas yang belum
mengadakan perlekatan luas ke jaringan sekitarnya. Pertimbangan lainnya,
oleh karena kebanyakan tumor parotis terletak di bagian “ekor” (tail) dari
kelenjar parotis, dan superfisial dari nervus fasialis. Pengobatan lainnya
seperti radiasi dan sitostatika diberikan pada kasus ganas terutama pada
7,11
keganasan derajat tinggi, atau sebagai ajuvan.
Prinsip pembedahan pada tumor parotis yaitu mengangkat seluruh
tumornya (ablasi), dan preservasi nervus fasialis. Macam pembedahan
2,5,1
pada tumor parotis, dapat berupa :
1. Parotidektomi superfisial, yaitu mengangkat lobus superfisial
parotis, sebelah lateral nervus fasialis. Indikasi operasi ini untuk tumor
jinak dan tumor ganas dini (Tl, T2) dengan derajat keganasan rendah.

Early Diagnosis and Current Treatment Paradigm in Head and Neck Surgery | 269
Dina Riana, Agung Dinasti Permana, Arif Dermawan

2. Parotidektomi total, yaitu mengangkat seluruh kelenjar parotis beserta


tumornya. Indikasi operasi ini untuk tumor jinak yang rekuren,
tumor jinak lobus profunda dan tumor ganas parotis terutama
keganasan derajat tinggi.
3. Parotidektomi radikal disini dilakukan parotidektomi total disertai
pemotongan otot maseter, ramus mandibula dan jaringan sekitarnya
yang dianggap perlu. Nervus fasialis tak diperhatikan lagi karena sudah
rusak.

5,12
Komplikasi parotidektomi
1. Lesi nervus fasialis Paresis sementara (temporary facial nerve paresis)
karena neuropraksia dan udem karena manipulasi yang berlebihan,
biasanya sembuh dalam beberapa minggu sampai 3 - 9 bulan.
Dapat terjadi paralisis parsial atau komplet. Bila syaraf ter/dipotong
maka paralisis selamanya.
2. Paralisis nervus fasialis permanen akibat parotidektomi superfisialis
sekitar 3%. Perdarahan atau hematoma.
3. Infeksi.
4. Salivary fistula, atau sialokel.
5. Sindroma Frey`s

LAPORAN KASUS
Pasien laki-laki 53 tahun datang ke poli Onkologi THT pada Desember 2014,
dengan keluhan benjolan di belakang telinga kiri dan didalam CAE yang
timbul sejak 2 tahun yang lalu membesar perlahan-lahan. Benjolan tidak
dirasakan nyeri, tidak pernah bengkak, merah atau panas. Pasien
merasakan gangguan pendengaran yang tidak disadari sejak kapan. Pasien
tidak merasakan adanya sumbatan hidung, nyeri kepala, pandangan dobel.
Pemeriksaan telinga dan tenggorok dalam batas normal. Teraba massa
pada daerah parotis sinistra yang meluas sampai ke CAE dan telinga bagian
belakang. Massa tampak mendesak lobul telinga ke arah superior. Massa
berukuran 10x10x6 cm, soliter, kenyal keras, tidak nyeri tekan, permukaan
teraba tidak rata, dan tidak terdapat sikatriks pada bagian tengah benjolan.

270 | 2nd World Head & Neck Cancer Day


Pembedahan Tumor Parotis yang Ekstensi ke Canalis Akusticus Exsternus

Ditemukan adanya paresis nervus fasialis House-Brackmann. Tidak


ditemukan adanya pembesaran kelenjar getah bening leher. Foto toraks
pada 09 desember 2014 menunjukkan hasil normal. Pemeriksaan
ultrasonografi tanggal 05 januari 2015 pada regio Hepatobiller dalam batas
normal. Pemeriksaan tomografi komputer menunjukkan hasil tumor
parotis kiri yang menyangat heterogen pascapemberian kontras,
meluas ke spatium parafaring kiri, dan mendesak serta mengelilingi arteri
karotis interna sinistra pada bagian pangkalnya. Tidak tampak adanya
destruksi mandibula. Orofaring dan hipofaring baik. Tidak terdeteksi
adanya pembesaran kelenjar getah bening regional. Pasien didiagnosis
sebagai tumor ganas kelenjar parotis sinistra stadium IV (T4N0M0).

Hasil Patologi Anatomi tanggal 20 oktober 2014 squamus cell


carcinoma berdifferensiasi baik pada CAE Sinistra. Direncanakan untuk
ekstirpasi massa tumor dengan parotidektomi disertai dengan
masteidektomi canal wall down Auris Sinistra dan eksisi luas, serta radiasi
pasca operasi jika terdapat massa yang tidak bisa diangkat.
Pasien diinformasikan tentang hasil PA dan Ct-scan dan komplikasi
operasi dan pasien tetap meminta untuk dilakukan operasi dengan alasan
sosial/kosmetik.

Pada tanggal 18 Februari 2015, dilakukan:


 Parotidektomi radikal disertai dengan masteoidektomi canal wall down
AS dan eksisi luas.

Early Diagnosis and Current Treatment Paradigm in Head and Neck Surgery | 271
Dina Riana, Agung Dinasti Permana, Arif Dermawan

 Selanjutnya dilakukan insisi pada parotis, dilakukan pemberian marker,


dan dilakukan incisi berbentuk s pada marker.
 Incisi diperdalam sampai subcutis dan fascia musculus
sternocleidomasteudeus.
 Fascia di incisi, otot sternocleidomasteoideus disisihkan tampak D.O.
 Dilakukan identifikasi nervus facialis.
 Dilakukan pemisahan tumor yang patologis dari jaringan sekitarnya
dengan tumpul. Perdarahan dikontrol, dilakukan pemasangan penrose
drain.
 Luka operasi dijahit lapis demi lapis.
 Drain dilepas pada 23 februari 2015 setelah tidak ada perdarahan
keluar dari drain. Luka jahitan baik dan pada hari ketujuh dilakukan
pengangkatan jahitan. Pasien dikonsulkan ke Divisi Radioterapi bulan
maret 2015.
Pre Operasi Durante Operasi

Pasca Operasi

272 | 2nd World Head & Neck Cancer Day


Pembedahan Tumor Parotis yang Ekstensi ke Canalis Akusticus Exsternus

DISKUSI
Pasien berjenis kelamin laki-laki dan berusia 53 tahun. Hal ini sesuai
dengan literatur yang menyatakan tumor ganas kelenjar parotis banyak
6
ditemukan pada dekade kelima sampai keenam. Keluhan yang membawa
pasien untuk berobat adalah benjolan pada regio preauricula yang
dirasakan makin lama makin membesar dan sudah berlangsung selama 2
tahun.
Karsinoma sel skuamosa parotis merupakan tumor parotis derajat
tinggi yang tersering pada dewasa. Pada umumnya terjadi pada pria
usia tua yang ditandai dengan pertumbuhan yang agresif dan cepat.
2
Terdapat insiden sebesar 40% adanya metastasis. Tindakan parotidektomi
total seringkali terpaksa mengorbankan saraf fasial. Keganasan kelenjar
parotis jenis high grade biasanya ditandai oleh adanya benjolan disertai
keluhan lain. Perjalanan penyakit yang lama tetapi disertai dengan
adanya paresis saraf fasialis menandakan adanya tumor yang bersifat
ganas dan memiliki derajat keganasan high grade. Adanya paresis saraf
fasialis harus membuat kita waspada terhadap kemungkinan
5,7
metastasis jauh pada saat diagnosis awal.

Diagnosis tumor ganas kelenjar parotis dibuat berdasarkan hasil


biopsi jaringan dengan aspirasi jarum halus. Pemeriksaan biopsi jaringan
dengan aspirasi jarum halus merupakan alat diagnostik utama untuk tumor
jinak maupun ganas kelenjar parotis. Pada tumor yang berukuran kecil,
biopsi ini dapat dilakukan dengan bantuan ultrasonografi. Pemeriksaan
USG memiliki peranan terbatas untuk membedakan tumor jinak atau
ganas, kecuali bila gambaran USG sangat khas. Pada pasien ini ditemukan
gambaran yang echoic, berlobul-lobul, solid dan batasnya tegas. Hal ini
10,12
dapat mengarahkan kecurigaan adanya keganasan.
Pemeriksaan tomografi komputer dilakukan untuk mengetahui
perluasan tumor ke jaringan sekitar serta ada atau tidaknya pembesaran
5,13
kelenjar getah bening. Pasien termasuk stadium IV tumor ganas parotis
berdasarkan ukuran tumor yang lebih besar dari 6 cm dan ditemukan
paresis nervus fasialis, tidak ada pembesaran kelenjar getah bening leher,

Early Diagnosis and Current Treatment Paradigm in Head and Neck Surgery | 273
Dina Riana, Agung Dinasti Permana, Arif Dermawan

tetapi ditemukan adanya ekstensi ke CAE. Pada saat operasi, ditemukan


batas tumor yang tegas dan seperti berkapsul, sehingga parotidektomi
radikal dapat dilakukan. Hal ini sesuai dengan literatur yang menyatakan
bahwa penentuan jenis operasi yang dilakukan tergantung dari penemuan
klinis, gambaran radiologi, dan penemuan intraoperatif.
Pada pasien ini, tidak dilakukan diseksi leher dengan pertimbangan
bahwa tidak ditemukan adanya pembesaran kelenjar getah bening yang
teraba secara klinis maupun dari pemeriksaan tomografi komputer tetapi
dilakukan operasi mastoidektomi sebelumnya. Literatur menganjurkan
diseksi leher elektif untuk ukuran tumor yang besar (T3/T4), tumor yang
telah menginvasi saraf fasialis, dan tumor jenis high grade. Setelah
dilakukan tindakan parotidektomi terhadap kasus keganasan, dilanjutkan
dilakukan mastoidektomi akibat tumor yang ekstensi ke CAE, Selama
tindakan parotidektomi terhadap kasus keganasan, dilakukan inspeksi pada
kelenjar peri-parotid, upper jugular dan segitiga submandibula.
Harus dilakukan konseling preoperatif termasuk penjelasan yang
rinci mengenai tindakan operasi yang akan dilakukan dengan segala
kemungkinan gejala sisa, termasuk rasa baal di daerah yang dipersarafi n.
aurikularis magnus dan konsekuensi kosmetis. Komplikasi potensial yang
lain akibat operasi tumor kelenjar ludah harus sudah dijelaskan kepada
pasien berhubungan dengan lokasi tumor.
Dianjurkan untuk pemberian radioterapi ajuvan pascaoperasi bila
ukuran tumor yang besar dan juga tepi sayatan operasi yang dinyatakan
14
belum bebas tumor. Yang menjadi pertimbangan juga untuk pemberian
radiasi pascaoperasi antara lain adanya keterlibatan kelenjar getah
bening leher, tumor jenis high grade, dan juga tumor rekuren. Bradley
lebih rinci dalam hal indikasi pemberian radiasi pascaoperasi, yaitu:
tumor high-grade, tumor lokal yang lanjut, keterlibatan nervus
fasialis, tumor rekuren, tumor lobus dalam, keterlibatan kelenjar getah
bening, adanya invasi ke jaringan sekitar (otot, tulang) atau apabila pada
15
batas operasi masih positif tumor.
Tumor ganas parotis jenis sel skuamosa merupakan keganasan di
bidang THT yang jarang ditemukan. Tumor ini bersifat high grade, yaitu

274 | 2nd World Head & Neck Cancer Day


Pembedahan Tumor Parotis yang Ekstensi ke Canalis Akusticus Exsternus

1,2
tumbuh dengan cepat dan bermetastasis. Diagnosis ditegakkan dengan
anamnesis, pemeriksaan fisik, dan konfirmasi histopatologik dengan biopsi
10
aspirasi jarum halus. Untuk menentukan stadium, diperlukan
pemeriksaan tomografi komputer atau MRI dan foto toraks. Terapi pilihan
untuk keganasan pada kelenjar liur adalah operasi dan
radiasi. Kemoterapi diindikasikan untuk keganasan kelenjar liur yang telah
13,15
mengalami metastasis jauh.

Daftar Pustaka
1. Ghosh-Laskar S, Murthy V, Wadasadawala T, Agarwal J, Budrukkar A,
Patril N, et al. Mukoepidermoid carcinoma of the parotid gland :
Factors affecting outcome. Head and Neck 2011. 33 (4); 497-503.
2. Upton DC, McNamar JP, Connor NP, et al. Parotidectomy: ten year
review of 237 cases at a single institution. Otolaryngeal Head and Neck
Surg 2007;136:788-792.
3. Barnes L, Eveson JW, Reichart P. in World Health Organization
Classification af Tumors. Pathology and Genetics of Head and Neck
Tumours. Lyon, France: IARC Press, 2005.
4. Luksic I, Virag M, Manojlovic S, Salivary gland tumors: 25 yearso f
experience from a single institution in Croatia. J Craniomaxillofac Surg
2011; 40(3).
5. Young S. Oh, Matthew S. Russell, and David W. Eisele 2014. Salivary
gland neoplasms. Head and Neck Surgery-Otolaryngology. Bailey BJ, 5
ed, Lippincott Co., Philladelphia 1760-1768.
6. Carrol WR, Morgan CE, Disease of the salivary glands,in ballenger’s
manual otorhinolaryngology head and neck surgery, 2008, p 507-519.
7. Schwentner I, Obrist P, Thumfart W,et al. Distant metastasis of parotid
gland tumors. Acta Otolaryngol, 2006 Apr.126(4):340-4.
8. Ali s, Palmer FL, Dilorenzo M, Shah JP. 2014, Treatment of the neck in
carcinoma of the parotid gland. September 1, 2014;21(09);3042-8.
9. Travis R, Newberry, Christhoper R. Review of accessory parotid gland
tumors: Pathlogic incidence and surgical management. Departement of

Early Diagnosis and Current Treatment Paradigm in Head and Neck Surgery | 275
Dina Riana, Agung Dinasti Permana, Arif Dermawan

Otolaryngology head and neck surgery, Universitas of Texas Health


science center at san antonio.February 08 2013.
10. Knappe M, Louw M, Gregor RT. Ultrasonography-guided fine-
needle aspiration for the assessment of cervical metastases. Arch
Otolaryngol Head Neck Surg. Sep 2000;126(9):1091-6.
11. Aniel Sewnaik, Peter van Rooij. Adenoid cystic carcinoma of
parotid gland treated with surgery and radiotheraphy: long-term
outcomes. Departement of otolaryngologi, Eramus MC-Daniel den
Hoed center, Rotterdam, the netherlands. November 16,2 011.
12. Pedersen.S Malignant parotid tumors in 110 consecutive patients :
Treatment result and prognosis. Laryngoscope 1992 (102): 1064 –
1069.
13. American Join Commite on Cancer. AJCC Cancer staging manual 7 th
ed, Chicago, springer, 2010.
14. Adelstein DJ. Rodriguez CP. What is new in the management of salivary
gland cancers? Curr Opin Oncol. 2011;23:249-253.
15. Kim WS, Lee HS, Park YM, et a. SurgicalOutcomes of parotid cancer : A
10-year experience, Otoolaryngol Head Neck surg.2012 aug,147. P. 180-
181.

276 | 2nd World Head & Neck Cancer Day


TATALAKSANA TEKNIK MOHS MICROSCOPIC
SURGERY PADA KARSINOMA SEL BASAL
Apriyanza Akbar, Fivien Fedriani, Denny Satria Utama

Bagian Telinga Hidung Tenggorok Kepala Leher


Fakultas Kedokteran Universitas Sriwijaya Palembang
RSUP Dr. Mohammad Hoesin Palembang

Abstrak
Karsinoma sel basal adalah kanker kulit yang menginvasi lokal, penyebaran
lambat dan jarang terjadi metastasis, tumbuh dari epidermis atau folikel
rambut terutama sel perifer biasanya berubah menjadi sel basal dari
epidermis. Karsinoma sel basal merupakan kanker kulit non melanoma
yang paling banyak ditemukan di dunia. Gejala khas adalah pertumbuhan
yang lambat dan tidak agresif. Jaringan yang tumbuh aktif biasanya di
bagian perifer lesi dengan sel apoptosis dan ulserasi di daerah sentral.
Diagnosis penyakit ini ditegakkan berdasarkan anamnesis, pemeriksaan
fisik dan pemeriksaan penunjang. Lokasi anatomi lesi yang sering
ditemukan adalah 1/3 tubuh yang paling atas, dimana puncak hidung dan
ala nasi merupakan daerah paling banyak. Penatalaksanaan karsinoma sel
basal dapat dilakukan dengan Mohs microscopic surgery, bedah eksisi,
cryosurgery menggunakan nitrogen cair, kuretase dan elektrodesikasi serta
radioterapi. Pemilihan terapi berdasarkan gambaran histopatologi, ukuran
dan lokasi tumor, usia dan faktor lainnya. Dilaporkan satu kasus karsinoma
sel basal pada pasien yang berusia 83 tahun. Pasien ditatalaksana dengan
Mohs Microscopic Surgery dan dinyatakan bebas tumor.

Kata kunci : karsinoma sel basal, tatalaksana, Mohs microscopic surgery

Abstract
Basal cell carcinoma is cutaneous cancer as locally invasive, slowly
spreading which rarely metastasis, arising in the epidermis or hair follicles

277
Apriyanza Akbar, Fivien Fedriani, Denny Satria Utama

and in which in particular the peripheral cells usually simulate the basal
cells of epidermis. Basal cell carcinoma is non melanotic melanoma which
common found in the world. This tumour grows up slowly and non-
aggressive. The active lesion usually in the periphery and the apoptosis
ulcerative cell in the central. Diagnosis based on anamnesis, physical
examination and supportive examination. Anatomic location of this lesion
usually in 1/3 upper body, which ala nasi and tip nose is the place take the
most. Basal cell carcinoma may be treat by Mohs microscopic surgery,
excision, cryosurgery by liquid nitrogen and curettage and
electrodessication, radiotherapy. The treatment based on histopathology
size and tumour location, age and another factors. Reported one case
basal cell carcinoma on 83 years old man which treat by Mohs Microscopic
surgery and free from tumour.

Key Words : Basal cell carcinoma, treatment, Mohs microscopic surgery

LATAR BELAKANG
Karsinoma sel basal merupakan kanker kulit non melanoma yang paling
banyak ditemukan di dunia. Definisi karsinoma sel basal berdasarkan WHO
adalah kanker kulit yang menginvasi lokal, penyebaran lambat dan jarang
terjadi metastasis, tumbuh dari epidermis atau folikel rambut terutama
sel perifer biasanya berubah menjadi sel basal dari epidermis. Penyakit ini
mengenai daerah yang terpapar matahari terutama daerah kepala dan
leher, dan tempat tersering adalah hidung. Penyakit ini sering ditemukan
1-4
pada usia lanjut, dan laki-laki lebih banyak dari perempuan yaitu 3:2.

Diagnosis pasti ditegakkan berdasarkan histopatologi. Berdasarkan NCCN


2016 maka karsinoma sel basal dibagi menjadi dua kelompok yaitu risiko
rendah dan risiko tinggi. Pilihan terapi berdasarkan gambaran
histopatologi, ukuran dan lokasi tumor, usia dan kondisi medis pasien,
ketersediaan sarana, keinginan pasien serta biaya. Tujuan utama
penatalaksanaan karsinoma sel basal adalah untuk memastikan tumor

278 | 2nd World Head & Neck Cancer Day


Tatalaksana Teknik Mohs Microscopic Surgery pada Karsinoma Sel Basal

terangkat sempurna, preservasi fungsi organ dan kosmetik.


Penatalaksanaan karsinoma sel basal dapat dilakukan dengan Mohs
microscopic surgery, bedah eksisi, cryosurgery menggunakan nitrogen
cair, kuretase dan elektrodesikasi serta radioterapi. Laporan kasus ini
akan menggambarkan mengenai satu kasus karsinoma sel basal pada laki-
laki berusia 83 tahun yang di tata laksana dengan Mohs Microscopic
2,3,5,6,7
Surgery.

LAPORAN KASUS
Seorang laki laki berusia 83 tahun yang beralamat di luar kota
Palembang, datang berobat ke klinik THT RS Muhammad Husein dengan
keluhan utama koreng di hidung yang tidak sembuh sejak 4 tahun yang
lalu. Sejak 4 tahun yang lalu pasien mengeluh timbul benjolan berukuran
seperti jerawat kecil di hidung kanan, benjolan kemudian pecah dan
menjadi koreng yang semakin lama semakin membesar. Koreng tidak
menimbulkan rasa nyeri. Pada tahun 2012 pasien berobat ke dokter
kulit dan dioperasi dilanjutkan dengan disinar 1x. Pasien disarankan untuk
operasi lanjutan, namun tidak dilakukan. Koreng di hidung kanan semakin
membesar sejak 2 tahun yang lalu dan membentuk keropeng yang
mudah berdarah. Keluhan keropeng di hidung makin membesar sejak 6
bulan yang lalu. Keropeng membentuk lubang di cuping hidung. Pasien
berobat ke klinik THT RSMH dan disarankan untuk biopsi.
Pasien memiliki riwayat merokok 1 bungkus sehari sejak usia 15
tahun, riwayat hipertensi sejak 6 bulan yang lalu namun tidak minum obat
teratur. Pasien bekerja sebagai petani lada selama 50 tahun. Riwayat
paparan matahari 8 jam sehari. Riwayat penyakit yang sama tidak
ditemukan pada anggota keluarga lainnya. Pada pemeriksaan hidung
didapatkan regio ala nasi dekstra tampak destruksi ala nasi dekstra dan
septum nasi dekstra yang meluas ke regio maksilofasial dekstra disertai
lesi dan ulkus yang menggaung dengan ukuran 4x4x1 cm, tepi ireguler,
meninggi, kehitaman, krusta ada, tidak ada sekret dan darah aktif, lesi
tidak terasa nyeri (gambar 2).

Early Diagnosis and Current Treatment Paradigm in Head and Neck Surgery | 279
Apriyanza Akbar, Fivien Fedriani, Denny Satria Utama

Gambar 2. Tampak ulkus yang menggaung pada regio ala nasi dekstra
yang meluas ke maksilofasial dekstra

Kavum nasi dan ala nasi sinistra tidak dijumpai kelainan. Pasase
pada kedua hidung baik. Tidak dijumpai benjolan dibawah leher. Pasien
kemudian dilakukan biopsi secara lokal. Hasil biopsi menunjukkan
keganasan yaitu mendukung suatu karsinoma sel basal dan pasien
direncanakan operasi.
Hasil histopatologi dari biopsi lokal adalah dapat dipertimbangkan
suatu karsinoma sel basal ala nasi dekstra. Hasil pemeriksaan tomografi
komputer 18 Juni 2015 (gambar 3sinus paranasal didapatkan soft tissue
massa,semi lobulated, tepi ireguler ala nasi dekstra sampai dengan
maksilofasial dekstra ukuran potongan aksial 2,6x1,5 cm dan deviasi
septum nasi ke kanan, tak tampak erosi os maksila dekstra.

Gambar 3. Potongan Aksial CT Scan sinus paranasal pasien

280 | 2nd World Head & Neck Cancer Day


Tatalaksana Teknik Mohs Microscopic Surgery pada Karsinoma Sel Basal

Pasien didiagnosis dengan karsinoma sel basal ala nasi dekstra.


Pasien direncanakan untuk tindakan bedah eksisi dengan pendekatan
Mohs microscopic surgery. Pasien dilakukan operasi pada tanggal 1
Oktober 2015 dengan tindakan Mohs microscopic surgery. Pada saat
operasi ditemukan jaringan yang mengandung tumor. Seluruh daerah
nasoabialis yang mengandung tumor di bebaskan. Jaringan yang telah
dibebaskan langsung di potong beku ke bagian Patologi Anatomi untuk
memperlihatkan batas sel ganas dan jaringan yang sehat. Hasil
pemeriksaan menunjukkan karsinoma sel basal infiltratif (gambar 4).

Gambar 4. Eksisi yang dilakukan pada ala nasi dekstra dan maksilofasial
dekstra, Gambaran histopatologi dari jaringan yang di eksisi,
panah menunjukan gambaran sel palisade

Eksisi kedua dilakukan pada sisi kiri massa yang tidak bebas sel
tumor yaitu 0,2 cm dari vestibulum dan kartilago septum. Secara
makroskopis didapatkan empat potong jaringan dengan ukuran terbesar
2x1x0,7 cm dilapisi kulit dan terkecil ukuran 1x1x0,5 cm (gambar 5). Pada
hasil pemeriksaan histopatologi didapatkan jaringan berasal dari bagian
nasolabialis kiri masih dijumpai fokus masa tumor infiltratif. Bagian kavum
nasi sinistra dengan dua batas sayatan tidak bebas dan satu batas sayatan
bebas tumor.Atas dasar hasil histopatologi eksisi kedua, dilakukan eksisi
ketiga. Eksisi ketiga dilakukan pada sisi kiri massa yang masih tampak
tumor infiltratif, eksisi diperluas 0,5 cm didaerah vestibulum dan kartilago
septum. Secara makroskopis didapatkan dua potong jaringan ukuran
3x1x0,5cm dan 2,3x1x0,4cm berwarna putih kemerahan. Sediaan berasal
dari regio septum nasi dan mukosa septum (gambar 5).

Early Diagnosis and Current Treatment Paradigm in Head and Neck Surgery | 281
Apriyanza Akbar, Fivien Fedriani, Denny Satria Utama

a b

c d

Gambar 5. a. Eksisi kedua b. Eksisi ketiga c. Daerah maksilofasial post


eksisi d. Gambar histopatologi jaringan ke 3, panah
menunjukkan kartilago septum nasi

Operasi berlangsung dari pukul 08.30 sampai 14.30. Pasien


direncanakan menjalani rekonstruksi defek dengan menggunakan jabir
interpolasi dari kulit tempurung kepala. Sebelum dibebaskan, digambarkan
pola pada kulit donor terlebih dahulu. Jabir dibebaskan terlebih dahulu
bersama dengan pedikelnya sampai lapisan mukoperiosteum. Arteri
supratroklearis dekstra dipertahankan dan
Pada hasil pemeriksaan histopatologi didapatkan tampak dua fokus
massa tumor pada mukosa septum dan septum nasi menunjukkan bebas
massa tumor. Operasi diselesaikan setelah dipastikan tidak ada fokus
tumor. Evaluasi dilakukan setiap hari (gambar 6).

a b c

Gambar 6. a. Hari ke 3 paska operasi , b dan c hari ke 6 paska operasi

282 | 2nd World Head & Neck Cancer Day


Tatalaksana Teknik Mohs Microscopic Surgery pada Karsinoma Sel Basal

Setelah 1 minggu operasi Mohs microscopic surgery dilakukan


tindakan flap rekonstruksi pada regio ala nasi dekstra yang meluas hingga
maksilofasial dekstra. Dilakukan operasi rekonstruksi tahap pertama
terhadap pasien pada tanggal 8 Oktober 2015.
diangkat bersama dengan jabir. Dibuat insisi melingkar pada daerah
kulit kepala dengan ukuran diameter 10 cm. Setelah kulit donor
dibebaskan, selanjutnya jabir dipasang di atas defek dan dilakukan
penjahitan pada bagian distalnya. Dalam merekonstruksi daerah hidung,
dibuat 2 buah insisi melingkar pada bagian tengah jabir dengan diameter
2 cm. Area di sekitar daerah insisi tersebut kemudian dilipat ke dalam pada
bagian tengahnya dan dijahit dengan jahitan matras dengan menggunakan
benang poliglikonat berukuran 4-0. Bagian distal dari jabir dijahit dengan
ala nasi sinistra, sementara untuk membentuk ala nasi dekstra maka jabir
kembali dilipat ke arah dalam dan dijahit dengan benang polipropilen 4-0.
Dilakukan pemasangan stent pada kedua lubang hidung dengan
menggunakan selang nasogastrik berukuran 16. Pasca memasangkan jabir
pada daerah resipien, fokus operasi dialihkan pada area tempurung
kepala. Terdapat defek sekunder pada area tempurung kepala dengan
diameter 10 cm. Defek direncanakan ditutup dengan jabir rotasional
sebanyak dua buah pada sisi superior dan inferior dari defek. Jabir hanya
mampu memperkecil defek sekunder menjadi berukuran 7 x 5 cm.

Gambar 7. Hari pertama pasca rekonstruksi kesatu

Early Diagnosis and Current Treatment Paradigm in Head and Neck Surgery | 283
Apriyanza Akbar, Fivien Fedriani, Denny Satria Utama

Pasien kemudian direncanakan untuk dioperasi kembali, untuk


menutup defek di kulit kepala, pada 1 minggu pasca operasi rekonstruksi
pertama. Dilakukan pencucian terhadap defek sekunder setiap harinya
dengan menggunakan larutan garam fisiologis dan kemudian ditutup
dengan menggunakan kasa. Pasien menjalani operasi rekonstruksi kedua
pada tanggal 13 Oktober 2015. Operasi berjalan dari jam 14.30 sampai
pukul 18.00. Intra operatif, defek sekunder pada tempurung kepala pasien
ditutup dengan menambah jabir rotasional sebanyak dua buah lagi pada
sisi dekstra dan sinistra dari defek. Dilakukan insisi langsung pada dog ear.
Penutupan luka dilakukan dengan penjahitan dengan menggunakan
benang polipropilen 2-0.
Tiga hari pasca rekonstruksi kedua, tampak daerah kehitaman yang
ditutupi krusta di sebagian kulit tempurung kepala dan pada distal jabir
dengan superior bibir dan sebagian kecil ala nasi. Kulit tempurung kepala
dan kulit jabir fasialis dicuci dengan larutan garam fisiologis dan diolesi gel
PHMB (poliheksametilen biguanid)-betain 0.1% untuk memacu granulasi
jaringan, serta debridement terhadap krusta. Pasien dirawat sampai
tanggal 11 November 2015 dan kemudian dipulangkan serta direncanakan
untuk dilakukan operasi pemotongan pedikel setelah kulit kepala pasien
sembuh dengan baik. Jaringan nekrosis pada regio fasialis telah diangkat,
jabir dan kulit resipien pada area yang sebelumnya nekrosis telah bersatu
dengan baik. Stent pada lubang hidung masih dipertahankan. Area
kehitaman pada kulit kepala masih ada. Keluarga pasien diedukasi untuk
terus mencuci kulit kepala pasien dan mengganti stent pada lubang hidung
setiap 5 hari serta kontrol rutin ke klinik THTKL RS dr. Moh. Hoesin
Palembang setiap minggunya. Pada evaluasi di bulan Desember 2015
didapatkan area nekrosis pada kulit kepala pasien telah hilang dan
digantikan oleh granulasi pada daerah tersebut. Pasien selanjutnya
direncanakan untuk menjalani operasi pengangkatan pedikel.

284 | 2nd World Head & Neck Cancer Day


Tatalaksana Teknik Mohs Microscopic Surgery pada Karsinoma Sel Basal

Gambar 8. Hari pertama pasca rekonstruksi kedua

Gambar 9. Satu bulan pasca rekonstruksi

Gambar 10. Tiga bulan pasca rekonstruksi

Dilakukan operasi pengangkatan pedikel terhadap pasien pada


tanggal 12 Januari 2016. Operasi berjalan dari pukul 12.30 sampai 13.00.
Pedikel dipotong pada ujung distal dan proksimalnya. Dilakukan penutupan
luka dengan penjahitan primer menggunakan benang polipropilen 4-0.

Early Diagnosis and Current Treatment Paradigm in Head and Neck Surgery | 285
Apriyanza Akbar, Fivien Fedriani, Denny Satria Utama

Luka operasi diobservasi setiap harinya. Tidak ditemukan adanya infeksi


pada luka operasi. Pasien diizinkan rawat jalan pada tanggal 14 Januari
2016 dan disarankan untuk kembali kontrol 1 minggu kemudian ke klinik
THTKL RS dr. Moh Hoesin Palembang.

Gambar 11. Satu minggu pasca pengangkatan

Satu minggu kemudian pasien datang ke klinik THTKL RSMH. Tidak


didapatkan adanya infeksi pada luka operasi. Luka operasi telah menutup
dengan baik. Dilakukan pengangkatan jahitan pada luka operasi.

DISKUSI
Dilaporkan kasus karsinoma sel basal ala nasi pada seorang laki-laki
berusia 83 tahun. Menurut Chinem 2011 insiden karsinoma sel basal di
Asia dilaporkan rendah. Di RSUP dr. M.Husein Palembang bagian THT-KL
pada Januari 2015 sampai dengan Desember 2015 didapatkan 2 kasus
karsinoma sel basal ala nasi. Yahya dkk mendapatkan rata-rata pasien laki-
laki berusia 57 tahun dan wanita berusia 53 tahun. Rentang usia penderita
antara 35-85 tahun.3,8,9
Pada kasus ini lokasi lesi berada pada ala nasi dekstra yang meluas
pada maksilofasial dekstra. Lokasi anatomi lesi karsinoma sel basal yang
paling sering adalah pada 1/3 tubuh bagian atas, dimana 75-80% terjadi
pada daerah wajah yaitu daerah yang paling sering menerima paparan
sinar matahari. Lesi wajah tersering adalah hidung daerah ala nasi dan
puncak hidung. Sekitar 25% karsinoma sel basal berada di daerah badan,

286 | 2nd World Head & Neck Cancer Day


Tatalaksana Teknik Mohs Microscopic Surgery pada Karsinoma Sel Basal

sisanya 5% berada di daerah penis, vulva dan perianal. Berdasarkan


penelitian Yahya dkk pada tahun 2008 di RSUP M Husein Palembang
lokasi lesi terbanyak di daerah bukal (35,4%), regio ala nasi 20,8%, nostril
(pangkal dan puncak hidung) 12,5%, palpebra 12,5% lesi, regio parietal
10,4% dan 8,9 pedikel regio frontal 2,2%.
Dari anamnesis didapatkan keluhan utama koreng di hidung yang
tidak sembuh sejak 4 tahun yang lalu dengan awal berukuran seperti
jerawat kecil di hidung kanan, benjolan kemudian pecah dan menjadi
koreng yang semakin lama semakin membesar. Koreng tidak menimbulkan
rasa nyeri. Gejala klinik yang didapatkan sesuai dengan karsinoma sel basal
tipe nodular ulseratif, dimana gejala awal di tandai dengan timbulnya
papul atau jerawat kecil yang membesar kemudian papul pecah dengan
batas melingkar disertai keropeng.Lesi ini disebut juga ulcus rodent.Subtipe
noduler yang paling sering dijumpai di kepala dan leher terutama pada
hidung. Berdasarkan NCCN 2016 lokasi lesi berada pada area H yang
disebut juga area topeng yang terdiri dari pertengahan wajah, alis, kelopak
mata, periorbita, hidung, bibir, dagu, mandibular, preauricula dan
retroaurikula, telinga, genital, tangan dan kaki. Lesi karsinoma sel basal
nodular ulseratif termasuk dalam karsinoma risiko rendah , namun lesi
menetap dalam waktu yang lama dan berada di letak anatomi risiko
3,8,9,10
tinggi.
Etiopatogenesis karsinoma sel basal berhubungan dengan genetik,
lingkungan dan paparan sinar matahari. Pasien bekerja sebagai petani lada
selama 50 tahun. Pasien tinggal di dataran rendah dengan banyak paparan
sinar matahari. Riwayat paparan matahari 8 jam sehari. Hal ini sesuai
dengan faktor pencetus karsinoma sel basal dimana efek radiasi sinar
ultraviolet dapat terjadi secara akut maupun kronis. Sinar UV yang secara
kronik mengenai stem cellkulit menyebabkan photoaging, imunosupresi
dan foto karsinogen. Pekerjaan pasien sebagai petani lada menyebabkan
pasien harus memberikan pestisida dan pupuk berkala, hal ini merupakan
faktor pencetus dari lingkungan, yaitu adanya paparan zat aktif arsen yang
dapat menjadi predisposisi tumor. Akumulasi mutasi akibat foto
karsinogen termasuk genetic deletion menyebabkan gen supresor tumor

Early Diagnosis and Current Treatment Paradigm in Head and Neck Surgery | 287
Apriyanza Akbar, Fivien Fedriani, Denny Satria Utama

yang menyandi pembentukan protein penghambat proliferasi sel menjadi


tidak aktif. Akumulasi mutasi gen inilah yang berperan memicu terjadinya
5,8,9
karsinoma sel basal.
Pemeriksaan penunjang yang dilakukan pada kasus ini adalah CT
Scan karena merupakan pemeriksaan standar yang dapat mengevaluasi
adanya keterlibatan dan destruksi tulang. Pemeriksaan USG tidak dilakukan
kerena dari anamnesis dan pemeriksaan fisik pasien mengarah pada lesi
lanjut. Hasil CT Scan sinus paranasal didapatkan soft tissue massa, semi
lobulated, tepi ireguler ala nasi dekstra sampai dengan maksilofasial
dekstra ukuran potongan aksial 2,6x1,5 cm dan deviasi septum nasi ke
kanan, tak tampak erosi os maksila. Petro Ilya dkk menyatakan tomografi
komputer dapat memperlihatkan erosi dan destruksi tulang. Pada kasus
ini tidak terdapat destruksi dan erosi os maksila. Namun telah terjadi
destruksi pada ala nasi dekstra. Karakteristik utama dari karsinoma sel
basal adalah nukleus sel besar yang berbentuk oval, dengan sitoplasma
yang kecil. Tumor dikelilingi oleh lapisan sel perifer yang membentuk
palisade. Pemeriksaan histopatologi pada kasus ini ditemukan gambaran
sel yang membentuk palisadae yang sesuai dengan karakteristik
13-15
karsinoma sel basal.
Penatalaksanaan pada kasus ini adalah tindakan Mohs microscopyc
surgery. NCCN 2016 untuk tatalaksana karsinoma sel basal untuk lesi
dengan risiko tinggi, ada 3 pilihan tata laksana yaitu eksisi, Mohs
microscopyc surgery dan radioterapi. Pada kasus ini dipilih Mohs
microscopyc surgery karena tindakan ini dapat mengangkat seluruh lesi
dan memastikan tidak ada lagi fokus tumor pada daerah sekitar lesi atau
disebut juga margin negative, sehingga tidak perlu terapi adjuvan lain
seperti radioterapi dan pasien dinyatakan bebas tumor. Mohs Microscopic
Surgery menawarkan analisis histologi paling unggul dengan
mengkombinasikan reseksi berdasarkan stadium melalui penentuan batas
lesi tepi tumor. Dengan demikian hasil preservasi jaringan normal menjadi
maksimal dibandingkan dengan bedah eksisi standar.Kelebihan tindakan
ini adalah teknik yang paling efektif untuk mengangkat karsinoma sel basal
dangan tingkat kesembuhan 99% terutama pada tumor risiko tinggi dan

288 | 2nd World Head & Neck Cancer Day


Tatalaksana Teknik Mohs Microscopic Surgery pada Karsinoma Sel Basal

kambuhan. Keuntungan lain adalah dapat segera dilakukan rekonstruksi


10-12
setelah dilakukan eksisi.

Resto Vicente 2010 menyatakan rekonstruksi dapat dilakukan


bersamaan atau direncanakan kemudian. Pada kasus ini rekonstruksi
dilakukan 1 minggu setelah operasi, penutupan coronal flap dilakukan 2
minggu paska operasi. Pemotongan pedikel dilakukan 3 bulan paska
operasi. Tingkat kekambuhan sangat jarang terjadi. Pasien di evaluasi
selama 6 bulan hingga 1 tahun dan diedukasi untuk memakai pelindung
10,11,15
matahari dan memeriksa kulit secara berkala.

SARAN
1. Pada pasien yang memiiki factor resiko teradinya karsinoma sel basal
harus menghindari paparan sinar matahari yang berlebihan.
2. Penegakkan diagnosis Karsinoma sel basal cepat dan tepat dapat
memberikan prognosis yang lebih baik.
3. Mengangkat seluruh lesi dan memastikan tidak ada lagi fokus tumor
merupakan salah satu keuntungan Tatalaksana dengan Mohs
microscopyc surgery, sehingga tidak perlu terapi adjuvan lain seperti
radioterapi dan pasien dinyatakan bebas tumor.

DAFTAR PUSTAKA
1. Carucci JA, Leff el DJ. Basal Cell Carcinoma. Fitzpatrick’s dermatology in
general medicine 8th edition. New York: Mc Graw-Hill; 2013;Pg 1036-
1042.
2. Nathan Cherry Ann. Cutaneus Malignancy. In Jhonson T Jonas, editor
Bailey’s Head and Neck Surgery Otolaryngology. Fifth edition.
Philadelphia: Lippincott Williams and wilkins; 2013;113; Pg 1723-1737.
3. Chinem Valquiria Pessoa, Miot Helio Amante. Epidemiology of Basal
cell Carcinoma. An.Bras. dermatol. Vol 86 no 2 Rio de Janeiro. 2011.
4. Nakayama Masahiro, Tabuchi Keiji et all. Review article: Basal Cell
Carcinoa of the Head and Neck. Journal of Skin Cancer. Volume 2011.

Early Diagnosis and Current Treatment Paradigm in Head and Neck Surgery | 289
Apriyanza Akbar, Fivien Fedriani, Denny Satria Utama

5. VuyHybarger Patrick. Cutaneus Malignant neoplasms. In Lalwani Anil K,


editor Current diagnosis and treatment Otolaryngology head and neck
surgery. third edition. USA : Lange 2012; 9; Pg 235-252.
6. Martin Richard CW. Non-melanoma and melanoma skin cancer.
Watkinson C John, editor. Stella and Marans Textbook of Head and
Neck surgery and onkology. Fifth Edition. USA: Hodder Arnorld UK
Company 2012;38;Pg 734-750.
7. WD James, T.G Berger. Epidermal Nevi, Neoplasms and cyst in
Andrew’s Disease of the Skin. 10th edition. Philadelphia: Elsevier
Saunders 2006; 29; Pg 603-653.
8. Yahya Yulia Farida, Krisnaputri Sandra dkk. Profil karsinoma Sel basal
Primer Di RSUP M. Husein Palembang. 2011. [Diakses pada 14 Januari
2016 <www.perdoski.org.>
9. Tan Sukmawati Tansil, reginata Gabriela. Diagnosis dan tata laksana
Karsinoma Sel Basal. CDK-235 vol 42 no 12. 2015.
10. Kauvar Arielle et all. Concensus for Nonmelanoma Skin Cancer
Treatment: Basal Cell Carcinoma. American Society for Dermatology
Surgery. Dermatol surg 2015;01-22.
11. Vuyk H.D. Mohs Surgery for Non-Melanoma Facial Skin Cancer. [Diakses
6 Januari 2016 <www.vuyk.ni>]
12. Firhabour Jonathoun et all. Diagnosis and treatment of basal cell and
sqouamous cell carcinoma. [Diakses pada 18 Desember 2015
<www.aafp.org>]
13. Bader Robert S, James William D. Basal cell carcinoma workup. 2016
[Diakses pada tanggal 2 Februari 2016 <www.emedicine.
medscape.com>]
14. Wortsman Ximena. Sonography of Facial Cutaneus Basal Cell
Carcinoma. The American Institute of Ultrasound. J Ultrasound med
2013.
15. Resto Vicente, Pernas Francisco. Principles of Nasal reconstruction after
Mohs Microscopic Surgery.2010. [Diakses pada 6 Januari 2016
<www.utmb.edu>]

290 | 2nd World Head & Neck Cancer Day


Laporan Kasus

LIPOMA SEL SPINDLE


dr. Achmad Prihadianto,
Dr. Yussy Afriani Dewi, dr., M.Kes., Sp.T.H.T.K.L(K), FICS,
Agung Dinasti Permana, dr., Sp.T.H.T.K.L, M.Kes., FICS

Departemen Ilmu Kesehatan Telinga Hidung Tenggorok Kepala Leher


Fakultas Kedokteran Universitas Padjadjaran
Rumah Sakit Dr. Hasan Sadikin Bandung

ABSTRAK
Latar Belakang: Lipoma sel spindel merupakan tumor jinak jaringan lunak
yang berasal dari jaringan lemak. Tumor ini sangat jarang ditemukan,
merupakan tipe spesifik lipoma yang sering diduga sebagai liposarcoma.
Secara mikroskopis terdiri dari campuran liposit dan sel spindel dalam
matriks material mucinosa yang dikelilingi oleh sejumlah serabut kolagen.
Tujuan: Memaparkan hasil penatalaksanaan pasien dengan lipoma sel
spindle Laporan Kasus: Dilaporkan 1 kasus pasien wanita berusia 38 tahun
dasar lesi pada palatum mole sejak 14 tahun yang lalu. Ditemukan massa
pada palatum mole, dilakukan eksisi massa dan rekonstruksi pada palatum
mole, berdasarkan hasil histopatologis menunjukkan hasil Lipoma Sel
Spindle. Hasil evaluasi tidak ditemukan rekurensi atau kekambuhan,
sehingga penatalaksanaan lipoma sel spindle kasus yang kami temukan
mengindikasikan bahwa eksisi lokal merupakan terapi pilihan. Kesimpulan:
Lipoma Sel Spindle pada kasus ini mengindikasikan bahwa eksisi lokal
merupakan terapi pilihan, sehingga tidak dibutuhkan prosedur operasi
radikal.

Kata kunci : Lipoma sel spindle, Von Langenback, eksisi lokal.

ABSTRACT
Backgroud: Spindle cell lipoma are a group of benign tumor of soft tissue
that arise from fat tissue. This tumor rarely found is a specific type of

291
dr. Achmad Prihadianto, Dr. Yussy Afriani Dewi, dr., M.Kes., Sp.T.H.T.K.L(K), FICS,
Agung Dinasti Permana, dr., Sp.T.H.T.K.L, M.Kes., FICS

lipoma that often misdiagnosed as liposarcoma. Microscopically, spindle


cell lipoma consist of the mixture of intricrate liposit and uniform cell
spindle within matrix of mucinous material traversed by collagen fibers.
Aim: To elaborate end result therapy of spindle cell lipoma patients. Case
report: Reported 1 case of 38-year-old female patient base lesions on the
soft palate since 14 years ago. Mass found on the soft palate, the mass
excision and reconstruction of the soft palate, based on the results of the
histopathological shows the results of Spindle Cell Lipoma. The results of
the evaluation found no recurrence or relapse, so the management of
spindle cell lipoma cases we found indicate that local excision is the
treatment of choice. Conclusion: Spindle Cell Lipoma in this case indicates
that the local excision is the treatment of choice, and thus no radical
surgical procedure is needed. Keyword: Spindle cell Lipoma, Von
Langenback, Local excision.

PENDAHULUAN
Lipoma sel spindel pertama kali dideskripsikan oleh Enzinger dan Harvey
1,2
pada tahun 1975. Tumor ini merupakan lesi berbatas tegas yang terletak
pada leher bagian posterior dan punggung bagian atas laki-laki dewasa
3
antara usia 50-70 tahun. Secara histologis, lipoma sel spindel terdiri dari
gabungan antara sel spindel lunak dengan adiposit matang. Matriks di
sekeliling sel terdiri dari materi mukoid dan kolagen dalam jumlah yang
4
bervariasi.
Tumor pada kelompok ini seringkali diduga sebagai liposarkoma. Hal
ini dikarenakan terdapatnya proliferasi sel spindle dan tidak ada lipoblast,
serta serabut kolagen tebal di dalam matriks mukoid. Lipoma adalah
neoplasma jaringan lunak jinak yang paling sering terjadi pada orang
dewasa, yaitu sekitar 1% populasi. Lipoma paling sering ditemukan antara
usia 40-60 tahun.
Neoplasma ini bersifat jinak dan tumbuh lambat yang terdiri dari
sel-sel lemak matang. Jaringan lemak ini terdiri dari sel spesifik yang
mempunyai vaskularisasi tinggi, berlobus, dan berfungsi sebagai depot
lemak untuk keperluan metabolisme. Sel-sel lemak primitif biasanya

292 | 2nd World Head & Neck Cancer Day


Lipoma Sel Spindle

berupa butir-butir halus di dalam sitoplasma. Sel ini akan membesar


seperti mulberry sehingga derajat deposisi lemak menggeser inti ke arah
2,6
perifer. Jaringan lemak berasal dari sel-sel mesenkim yang tidak
berdifferensiasi, ditemukan di dalam tubuh, menjadi jaringan sel lemak
7, 8
yang matang dan membentuk lemak dewasa.
Pada lipoma dijumpai aktivitas lipoprotein lipase menurun.
Lipoprotein lipase penting untuk transformasi lemak di dalam darah,
sehingga asam lemak pada lipoma lebih banyak dibandingkan lemak
normal.
Apabila lipoma membesar akan tampak sebagai suatu penonjolan
yang dapat menekan jaringan di sekitarnya. Pada dasar mulut, pembesaran
lipoma dapat mengganggu fungsi pengunyahan dan bicara,
pertumbuhannya menekan gigi geligi menyebabkan tanggalnya gigi di
7, 8
sekitar lipoma tersebut.

LAPORAN KASUS
Seorang wanita berusia 38 tahun datang ke poli rawat jalan, dengan
keluhan benjolan pada palatum. Keluhan tersebut sudah dialami sejak 14
tahun yang lalu dengan proses pembengkakan yang terjadi secara
bertahap, bermula sebesar kacang tanah kemudian membesar hingga
sebesar uang logam Pembengkakan dirasakan tidak nyeri dan tidak
ditemukan kelainan kulit lain. Tidak ditemukan riwayat keluarga yang
menderita sakit serupa.
Pada pemeriksaan fisik, status generalis dalam batas normal. Status
lokalis terdapat pembengkakan pada palatum mole ukuran 2x2x0,6 cm,
batas tegas, kistik, imobile, dan tidak nyeri tekan.
Pada pemeriksaan laboratorium darah lengkap; dalam batas
normal. Pemeriksaan urinalisis, fungsi hati dan ginjal, serum profil lipid
dalam batas normal, Rontgen dada dalam batas normal .

Early Diagnosis and Current Treatment Paradigm in Head and Neck Surgery | 293
dr. Achmad Prihadianto, Dr. Yussy Afriani Dewi, dr., M.Kes., Sp.T.H.T.K.L(K), FICS,
Agung Dinasti Permana, dr., Sp.T.H.T.K.L, M.Kes., FICS

Gambar 1. Massa at regio palatum mole

Hasil pemeriksaan histopatologi dari biopsi di palatum mole menunjukkan


lipoma sel spindel terdiri dari proliferasi sel spindle uniform berinti oval
dengan ‘bipolar cytoplasmic projection’, diantara stroma miksoid dan sel
lemak, tampak pula diantaranya serabut-serabut hialin serta pembuluh
vaskular proliferatif yang bercabang-cabang.

Gambar 2. Histopatologi Lipoma Sel Spindle

294 | 2nd World Head & Neck Cancer Day


Lipoma Sel Spindle

Kemudian dilakukan eksisi tumor dengan tehnik modifikasi Von


Langenback.

Gambar 3. Tehnik Von Langenback

Flap mukoperiosteal yang besar dibuat dengan diseksi meluas sampai


periosteum palatum mole, penutupan dengan menggunakan interrupted
suture.

Early Diagnosis and Current Treatment Paradigm in Head and Neck Surgery | 295
dr. Achmad Prihadianto, Dr. Yussy Afriani Dewi, dr., M.Kes., Sp.T.H.T.K.L(K), FICS,
Agung Dinasti Permana, dr., Sp.T.H.T.K.L, M.Kes., FICS

Gambar 4. Post op dengan palatal pack

Gambar 5. Post Op hari ke 7

Gambar 6. post Op hari ke 14

296 | 2nd World Head & Neck Cancer Day


Lipoma Sel Spindle

DISKUSI
Operasi eksisi dengan pengangkatan seluruh tumor merupakan metode
standar yang digunakan, sehingga tidak dibutuhkan untuk dilakukannya
prosedur operasi radikal. Jika lesi tidak seluruhnya diangkat, maka terdapat
kemungkinan rekurensi. Pada tahun 1861, Bernard von Langenbeck
mendeskripsikan metode uraoplasty (palatoplasty) mengunakan
mucoperiosteal flaps untuk memperbaiki area palatum . Teknik ini
mempertahankan penempelan bagian mucoperiosteal flap dengan batas
alveolar untuk membuatnya menjadi bipedicle flap. Pada awalnya, hanya
ujung cleft yang diinsisi, insisi lateral dibuat, flap diangkat dari hard palate,
6
palatine musculature dibagi dan akhirnya dijahit.
Perawatan pasca operasi merupakan hal yang penting, karena
perlunya mempertahankan tingkat aktivitas minimal pada pasien hingga
luka operasi sembuh. Follow up pasca operasi dengan skrining berkala dan
4
check up juga penting terutama dalam memonitor rekurensi.
Dengan adanya laporan mengenai SCL pada daerah yang tidak biasa
seperti kavum oris, kulit kepala dan ekstremitas, diagnosis banding dari
kasus-kasus ini menjadi lebih penting. Tumor dengan gambaran histologis
yang mirip dengan Lipoma Sel Spindle, seperti myofibroblastoma tipe-
mammaria dari jaringan lunak ekstramammaria, dan tumor fibrosa soliter
telah dideskripsikan sebelumnya. Lipoma sel spindel menunjukkan nilai
positif untuk CD34 dan secara umum negatif untuk desmin. Sebuah
laporan menyatakan bahwa terdapat proporsi SCL yang mengekspresikan
desmin yang bermakna, sehingga imunoreaktivitas terhadap marker ini
tidak menyingkirkan diagnosis dan tidak dapat membantu kami
membedakan entitas dari penyakit ini.
Lipoma sel spindel menunjukkan spektrum histopatologis tumor
lipomatosa jinak yang terjadi secara predominant pada bagian posterior
dari leher dan bagian atas dari punggung dari laki-laki usia paruh baya dan
usia lanjut. Sebanyak 20% dari lipoma sel spindel atau pleomorfik terjadi di
luar daerah yamg khas. Terkadang tumor ini ditemukan di daerah wajah.
Berdasarkan pengalaman konsultasi yang kami lakukan, banyak ahli
patologi yang tidak mempertimbangkan diagnosis lipoma sel spindel/

Early Diagnosis and Current Treatment Paradigm in Head and Neck Surgery | 297
dr. Achmad Prihadianto, Dr. Yussy Afriani Dewi, dr., M.Kes., Sp.T.H.T.K.L(K), FICS,
Agung Dinasti Permana, dr., Sp.T.H.T.K.L, M.Kes., FICS

pleomorfik sebagai diagnosis banding dari neoplasma sel spindel saat


menemukan tumor pada wajah. Beberapa faktor yang berpengaruh pada
keraguan diagnosis tumor pada lokasi anatomis ini adalah gambaran
morfologis dari lipoma sel spindel untuk pleomorfik, keterkaitan otot
rangka, dan hambatan alamiah spesimen biopsi dari lokasi anatomis ini.

KESIMPULAN
Lipoma Sel Spindle pada kasus ini mengindikasikan bahwa eksisi lokal
merupakan terapi pilihan, sehingga tidak dibutuhkan prosedur operasi
radikal. Diagnosis lipoma sel spindel pada palatum sulit ditegakkan akibat
lokasi anatomis tumor yang tidak biasa. Peningkatan pengetahuan
mengenai karakteristik patologi klinis dari tumor ini dapat membantu
menentukan klasifikasi yang akurat.
Pada pasien tidak di lakukan pemeriksaan penunjang MRI guna
mengetahui batas tumor yang seharusnya di lakukan tetapi hal ini dapat di
ketahui pada saat intra op dengan pemeriksaan potong beku yang bebas
dari tumor

DAFTAR PUSTAKA
1. Nilesh P, Neeraj S, Gaurav B. Spindle cell lipoma case report.
Department of Oral and Maxillofacial Pathology,Mahatma Gandhi
Dental College & Hospital, India, 2013; 10:1-6.
2. Comunoglu N, Comunoglu C, Ekic AI, et al. Spindle cell lipoma. Pol J
Pathol. 2007;58:7–11.
3. Nil C, Cem C, Isin D. Spindle Cell Lipoma. Istanbul University, Cerrahpasa
School of Medicine Department of Pathology. 2010;15: 691-6.
4. Lester D.R, Thompson. Spindle cel lipoma. Department of patology,
woodland Hills Medical Center, Southern California. ENT-Ear, Nose &
Throat Jurnal. 2015; 9:253–9.
5. Fregnani E, Pires F, Falzoni R. Lipomas of the oral cavity: clinical
findings, histological classification and proliferative activity of 46 cases.
Int. J. Oral Maxillofac. Surg. 2003; 32: 49–53.

298 | 2nd World Head & Neck Cancer Day


Lipoma Sel Spindle

6. Agrawal K. Cleft Palate Repair and Variations. Indian J Plast Surg. 2009;
42: S102-9.
7. Gothwal A, Ajit K, Sujata K. Lipoma of The Floor of The Mouth – a Case
Report. Journal of Oral Health Research. 2010;1(2): 62-5.
8. Nayak S, Nayak P. Lipoma of the oral mucosa: a case report. Archives of
Orofacial Sciences. 2011; 6(1): 37-9.
9. Domanski H. Fine needle aspiration diagnosis of spindle cell tumors of
soft tissue, including the use of ancillary methods, and correlation with
clinical data. Lund University Libraries. 2005. Page 21-9.
10. Enzinger,Weiss’s, Silverberg. Principles and Practice of surgical
Pathology Soft tissue tumours. Fifth edition. 2015. Page 457-70.

Early Diagnosis and Current Treatment Paradigm in Head and Neck Surgery | 299
dr. Achmad Prihadianto, Dr. Yussy Afriani Dewi, dr., M.Kes., Sp.T.H.T.K.L(K), FICS,
Agung Dinasti Permana, dr., Sp.T.H.T.K.L, M.Kes., FICS

300 | 2nd World Head & Neck Cancer Day


Laporan Kasus

KEBERHASILAN JABIR BEBAS RADIAL


FOREARM PADA REKONSTRUKSI DEFEK
PALATUM DURUM
dr. Billy Talakua, DR. dr. Yussy Afriani Dewi M.Kes, Sp. THTKL(K) FICS,
DR. dr. Shinta Fitri Boesoirie M.Kes, Sp. THTKL(K)

Departemen Ilmu KesehatanTelinga Hidung Tenggorok Kepala Leher


Fakultas Kedokteran Universitas Padjadjaran
Rumah Sakit Umum Pusat Hasan Sadikin Bandung

ABSTRAK
Latar belakang: Penutupan defek palatum durum dengan jabir bebas
radial forearm adalah salah satu pilihan pada pasien pasca total
maksilektomi dan radioterapi akibat keganasan kepala leher dengan
tingkat keberhasilan yang cukup baik. Tujuan: Kasus ini diajukan untuk
memperlihatkan keberhasilan penutupan defek palatum durum dengan
jabir bebas radial forearm pasca total maksilektomi dan radioterapi pada
kasus tumor neuroendokrin sinonasal. Laporan kasus: Dilaporkan laki laki
38 tahun dengan tumor neuroendokrin sinonasal pasca total maksilektomi
dan radioterapi. Dua tahun pasca radioterapi, dilakukan penutupan defek
menggunakan jabir bebas radial forearm yang digunakan sebagai
pengganti mukosa palatum durum serta dilakukan anastomosis radial
forearm. Defek donor forearm ditutup oleh full thickness skin graft dari
kedua inguinal, defek kedua inguinal ditutup dengan pejahitan primer.
Kesimpulan: Jabir bebas radial forearm merupakan salah satu alternatif
untuk rekonstruksi defek palatum durum yang disebabkan keganasan
kepala dan leher sesudah radioterapi.

Kata kunci: Jabir bebas radial forearm, total maksilektomi, radioterapi, full
thickness skin graft

301
dr. Billy Talakua, DR. dr. Yussy Afriani Dewi M.Kes, Sp. THTKL(K) FICS,
DR. dr. Shinta Fitri Boesoirie M.Kes, Sp. THTKL(K)

ABSTRACT
Background: Radial forearm free flap is one of options for hard palate
defect caused by tumor extirpation and radiotherapy in head and neck
cancer but not the main option in head neck reconstruction and quite
successful. Purpose: To present evidence based case report in order to
showing reconstruction result pasca total maxillectomy and radiotherapy in
case of neuroendocrine tumor at sinonasal region. Case report: We
reported 1 case, a man 38 years old who had neuroendocrine tumor at
sinonasal region with undergone total maxillectomy and radiotherapy.
Defect closure of hard palate with radial forearm free flap and radial
forearm anastomosis, on the forearm covered with a full thickness skin
graft taken from both inguinal region of the patient which been closured by
primary suture. Conclusion: Radial forearm free flap can be considered as
an alternative for reconstruction of hard palate defect pasca radiotherapy.

Keywords: Radial forearm free flap, neuroendocrine tumor, total


maxillectomy, radiotherapy

PENDAHULUAN
Jabir adalah suatu unit jaringan yang dipindahkan dari satu area (donor
site) ke area yang lain (recipient site) dengan mempertahankan sistem
aliran darahnya sendiri. Jabir dapat diklasifikasikan berdasarkan; bagian-
bagian komponennya (kulit, muskulokutaneous, osseokutaneus), lokasi
defek (lokal, regional, atau jauh), sifat pensuplaian darah (random dan
aksial), atau dengan gerakan jabir untuk mengisi defek (misalnya,
1-3
kemajuan, poros, transposisi).
Jabir bebas merupakan operasi rekonstruksi mikrovaskuler dengan
memindahkan unit jaringan terpisah dari suplai darah induk dan
dipindahkan dari satu bagian tubuh ke lokasi yang baru. Jaringan yang
diambil sebagai donor memiliki arteri dan vena yang dapat diidentifikasi
dan direanastomosis dengan pembuluh darah penerima, sehingga
terbentuk aliran darah. Selain reanastomosis pada pembuluh darah,
potensi reinnervation sensorik terjadi melalui reanastomosis saraf kulit.

302 | 2nd World Head & Neck Cancer Day


Keberhasilan Jabir Bebas Radial Forearm pada Rekonstruksi Defek Palatum Durum

Operasi jabir bebas memerlukan keahlian khusus terutama keahlian bedah


2-3
mikrovaskular.
Insidensi jumlah operasi jabir bebas di salah satu rumah sakit sentra
pendidikan di Amerika selama 10 tahun (Januari 2001 – 31 Desember
4
2010) sebanyak 450 kasus atau kurang lebih 45 kasus per tahun. Salah
satu rumah sakit di India melakukan operasi jabir bebas pada kepala dan
5
leher sebanyak 22 kasus dalam 6 bulan. Rata-rata insidensi operasi jabir
4-7
bebas terjadi pada usia 50-60 tahun.
Tujuan dasar rekonstruksi palatum durum setelah dilakukan total
maksilektomi adalah untuk menggantikan jaringan lunak pada defek
tersebut, mengembalikan fungsi menelan, mengunyah, bicara serta dari
sisi kosmetik. Rekonstruksi palatum durum dengan jabir bebas
memerlukan ukuran jabir yang cukup terhadap defek, dan panjang pedikel.
Jabir bebas diartikan bahwa jaringan, bersama dengan pasokan darah,
terlepas dari lokasi asli (donor) dan kemudian dipindahkan ke lokasi lain
(bed/penerima). Berbeda dengan jabir pedicled dimana jaringan yang
tersisa melekat pada situs donor dan hanya dialihkan ke lokasi baru dengan
menjaga pedikel utuh sebagai saluran untuk memasok jaringan. Berbagai
jenis jaringan dapat ditransfer sebagai jabir bebas termasuk kulit, lemak,
8
otot, saraf, tulang, atau kombinasi.
Pasien dievaluasi untuk melihat faktor yang dapat mempengaruhi
kesembuhan, seperti ukuran luas defek dan jenis jaringan, lokasi donor,
lamanya operasi, kemampuan operator, dan faktor status kesehatan
pasien secara menyeluruh. Ekstermitas donor harus diberi tanda agar ahli
anestesi tidak melakukan pemasangan infus pada area tersebut. Obat-obat
premedikasi seperti antibiotik, steroid dan obat premedikasi lain harus
terukur dan indikatif. Untuk anestesi infiltasi digunakan lidokain 1% tanpa
efinefrin. Penggunaan antigoakulasi seperti heparin dan plasma ekspander
digunakan untuk mengurangi kemungkinan trombosis vaskular. Heparin
5000 unit dapat digunakan selama pada bagian akhir dari anastomosis
vena dan dilanjutkan sampai Prothrombin Time (PTT) sekitar 1,5 kali dari
nilai normal. Aspirin 5-10 tablet per hari. Pemberian dextran dapat
diberikan secara kontinu atau serial melalui infus. Hanasono pada
penelitiannya memperlihatkan angka keberhasilan penggunaan jabir bebas

Early Diagnosis and Current Treatment Paradigm in Head and Neck Surgery | 303
dr. Billy Talakua, DR. dr. Yussy Afriani Dewi M.Kes, Sp. THTKL(K) FICS,
DR. dr. Shinta Fitri Boesoirie M.Kes, Sp. THTKL(K)

forearm pada defek palatum durum mencapai 95%. Macnamara pada


penelitiannya menyatakan bahwa penggunan RFFF lebih baik setelah
8-9
dilakukan radioterapi.
Pada kasus ini digunakan penggunaan jabir bebas karena pada kasus
pascaradioterapi akan memberikan vaskularisasi lebih baik dengan jabir
yang luas, sedangkan kekurangannya adalah memerlukan donor yang
cukup luas sehingga menyebabkan sulitnya perawatan luka dan
3
memperpanjang waktu rawat. Jabir lepas, jabir yang bagian pangkalnya
beserta pembuluh darah arteri dan vena diputuskan, kemudian dipindah
9,10
dan ditanam pada defek dengan menyambung pembuluh darah.
Tujuan penulisan laporan kasus ini untuk mengetahui tingkat
keberhasilan penggunaan jabir bebas radial forearm pada rekonstruksi
defek palatum durum yang disebabkan keganasan kepala dan leher pasca
total maksillektomi dan radioterapi.

LAPORAN KASUS
Seorang pria berusia 38 tahun, datang ke Poliklinik THT-KL Rumah Sakit
Hasan Sadikin pada tanggal 4 januari 2016 dengan keluhan utama terdapat
lubang pada palatum durum sejak 1 tahun yang lalu. Keluhan disertai sulit
menelan, setiap kali makan atau minum os tersedak dan sisa makanan
dapat masuk kedalam hidung. Os dipasang NGT untuk jalur makanan.
Pada pemeriksaan fisik didapatkan keadaan umum baik dan dalam
batas normal. Status lokalis daerah rongga mulut terdapat fistula dari
palatum kiri. lain-lain dalam batas normal.

Gambar 1. Gambaran klinis penderita

304 | 2nd World Head & Neck Cancer Day


Keberhasilan Jabir Bebas Radial Forearm pada Rekonstruksi Defek Palatum Durum

Pada pemeriksaan penunjang berupa, laboratorium, dan foto polos dada


dalam batas normal.

Gambar 2. CT Scan Sinus Paranasal & Rekonstruksi 3D

Hasil CT Scan Sinus Paranasal (7 Januari 2016) : Terpasang surgical


mesh pada dinding anterior sinus maksilaris kiri. Tulang tulang pembentuk
dinding anteromedial sinus maksilaris kiri, palatum & sebagian dinding
sinus maksilaris kanan tidak tervisualisasi (post op?). Proses osteolitik os
zygomaticum kanan.

Early Diagnosis and Current Treatment Paradigm in Head and Neck Surgery | 305
dr. Billy Talakua, DR. dr. Yussy Afriani Dewi M.Kes, Sp. THTKL(K) FICS,
DR. dr. Shinta Fitri Boesoirie M.Kes, Sp. THTKL(K)

Gambar 3. Cone Beam CT (CBCT)

Hasil Cone Beam CT (CBCT) (22 Januari 2015) : Analisa morfometrik


dan densitas radiografi CBCT tidak memenuhi syarat pemasangan implant
dental.
Pada tanggal 4 Januari 2016, pasien kontrol dengan keluhan terdapat
lubang pada langit langit keras dengan diagnosis fistula palatum durum post
total maksilektomi (PA : Tumor neuroendkorin) post radioterapi 30x (terakhir
bulan September 2014). Pasien direncanakan untuk dilakukan pengangkatan
mesh plate dan rekonstruksi penutupan fistula palatum durum dengan
menggunakan jabir bebas radial forearm. Pasien
Pada tanggal 7 januari dilakukan pemeriksaan CT scan Sinus
Paranasal, kemudian pasien dikonsulkan ke bagian Bedah Mulut dan
Prostodontia dengan permasalahan untuk pemasangan dental implant.
Konsul dijawab oleh bagian Bedah Mulut dan Prostodontia dengan saran
pemeriksaan Cone Beam CT (CBCT).

306 | 2nd World Head & Neck Cancer Day


Keberhasilan Jabir Bebas Radial Forearm pada Rekonstruksi Defek Palatum Durum

Pada tanggal 22 Januari 2016 hasil CBCT sudah ada dan bagian
Bedah Mulut dan prostodontia menjawab konsul tersebut : pada pasien ini
tidak dapat dilakukan pemasangan implant dental.
Pada tanggal 2 Februari 2016, dilakukan operasi pengangkatan mesh
plate dengan pendekatan rinotomi lateral dan rekonstruksi penutupan fistula
palatum durum dengan menggunakan jabir bebas radial forearm.
Dilakukan insisi rinotomi lateral, periosteum dibebaskan dari infra
orbita sinistra, tampak mesh plate utuh, terpasang screw a.o sebanyak 3
buah, dilakukan insisi tumpul ke arah infra orbita sinistra, dilakukan
pelepasan mesh plate menggunakan screw driver. Selanjutnya dilakukan
rekonstruksi penutupan fistula palatum durum dengan menggunakan jabir
bebas radial forearm. Dilakukan insisi di preaurikula sinistra untuk mencari
a/v temporalis superficial sinistra sebagai resipien. Dilakukan harvesting
radial forearm free flap dari antebrachii sinistra (ukuran 12x8 cm) dengan
a/v comitan radialis (sebagai pedikel). Dilakukan anastomosis end to end
a/v radialis dengan a/v temporalis superficial sinistra dengan prolene 8.0.
skin pedikel dijahitkan untuk menutup defek. Luka dijahit subcutis dengan
vicril 4.0, kutis dengan nylon 5.0 menggunakan mattras vertical. Defek
sekunder pada donor ditutup dengan menggunakan full thickness skin
graft (FTSG) yang diambil dari inguinal kanan dan kiri dengan
menggunakan kanan dan kiri dengan menggunakan nylon 4.0 dan ditutup
dengan sofrattule. Donor FTSG dijahit dengan vicril 4.0 dan kutis dijahit
subkutikuler dengan nylon 5.0.

Gambar 4. Durante operasi Rekonstruksi Palatum Durum dengan Jabir


Bebas Radial Forearm

Early Diagnosis and Current Treatment Paradigm in Head and Neck Surgery | 307
dr. Billy Talakua, DR. dr. Yussy Afriani Dewi M.Kes, Sp. THTKL(K) FICS,
DR. dr. Shinta Fitri Boesoirie M.Kes, Sp. THTKL(K)

Perawatan selama 2 minggu dibangsal dengan memposisikan kepala


lebih tinggi 30⁰, dihangati daerah tandur dengan sinar lampu sorot 10 watt
dengan jarak 30-40 cm dari jabir pada temporal kiri, pertahankan tekanan
darah sistolik ≥ 100 mmHg dan MAP ≥ 65. Preaurikula sampai zygoma
tidak boleh tertekan, diet cair via Nasogastric tube (NGT), oral hygiene
dengan betadine kumur dan tidak boleh kumur terlalu kuat, observasi
vitalitas flap dengan menggunakan senter dan pasien membuka mulut
minimal, pengobatan yang diberikan ceftriaxone 1x2 gr injeksi selama 7
hari, ketorolak 3x10 mg injeksi selama 2 hari dan dilanjutkan asam
mefenamat 3x500 mg peroral bila nyeri, ranitidine 2x25 mg injeksi, aspirin
2x80 mg peroral selama 10 hari.

Pada tanggal 7 februari 2016 hari kelima pascaoperasi, dilakukan


ganti verband pada forearm dan inguinal, tampak jahitan pada tandur,
tampak tandur tumbuh. Tanggal 9 februari 2016 hari ke tujuh pascaoperasi
dilakukan pengangkatan seluruh jahitan pada tandur, Tampak tandur
tumbuh dan luka di daerah forearm dan inguinal telah menutup dan
kering. Tanggal 16 Februari 2016, empat belas hari pascaoperasi kondisi
tandur baik, tidak pucat, tidak terdapat hematom, dan tidak terdapat pus.
Selama 2 bulan dengan jarak kontrol per 2 minggu ke poli THT-KL, tandur
tumbuh dengan baik dan tidak didapatkan pus ataupun jaringan nekrotik.

308 | 2nd World Head & Neck Cancer Day


Keberhasilan Jabir Bebas Radial Forearm pada Rekonstruksi Defek Palatum Durum

DISKUSI
Flap radial lengan bawah paling sering digunakan untuk merekonstruksi
rongga mulut dan dasar lidah, sebagian atau seluruh faring, dan palatum
durum dan mole. Flap ini juga dapat digunakan untuk merekonstruksi
defek pada kulit mata, bibir, leher, dan kulit kepala. Saat dipindahkan
sebagai fasia flap, dapat digunakan untuk memperbaiki defek jaringan
1-5
lunak dan defek dasar tengkorak jika flap perikranial lokal tidak tersedia.
Arteri radialis dengan dua arah vena komitan di septum
intramuskular lateral dan beberapa cabang vena fasia pada lengan bawah.
Pleksus ini mensuplai sebagian besar kulit lengan bawah. Panjang pedikel
arteri dibatasi oleh arteri radial rekuren yang merupakan cabang pertama
utama dari artei radialis setelah lepas dari arteri brakialis. Flap ini
mempunyai suplai vena melaui vena komitan yang berpasangan dan sistem
vena superfisial. Vena-vena ini menyediakan drainase vena yang lebih baik.
Nervus antebrakial lateralis merupakan nervus sensorik utama daerah
lengan bawah yang sering digunakan. Nervus ini letaknya sangat dekat
dengan vena sefalika di daerah lengan atas. Nervus ini dapat dengan
mudah dilakukan anastomosis ke saraf sensorik resipien saat reinervasi
6-10
sensorik dibutuhkan.
Perhatian terbesar dari jabir bebas radial forearm adalah keutuhan
pasokan arteri ulnaris ke tangan melalui arkus palmaris. Rancangan flap
radius lengan bawah diawali dengan membuat garis jalur dari vena
dominan subkutan dan meraba denyut nadi arteri radialis. Flap ini
berorientasi pada arteri radial dan vena sefalika. Lebih baik untuk tidak
mengangkat flap diatas arteri ulnaris. Tambahan jaringan subkutan
dimasukkan dalam flap jika dibutuhkan. Diseksi setingkat subfasial sebagai

Early Diagnosis and Current Treatment Paradigm in Head and Neck Surgery | 309
dr. Billy Talakua, DR. dr. Yussy Afriani Dewi M.Kes, Sp. THTKL(K) FICS,
DR. dr. Shinta Fitri Boesoirie M.Kes, Sp. THTKL(K)

pendekatan terhadap pedikel. Pedikel diidentifikasi dibawah kaput


brahioradialis dan fleksor karpi radialis.Arteri radialis dideseksi dari
10-12
asalnya.
Pemindahan mikrovaskular jaringan bebas (microvascular free-
tissue) diperkenalkan sebagai suatu teknik untuk merekonstruksi defek
yang tidak dapat diperbaiki selain dengan rekonstruksi. Kemampuan dari
revaskularisasi jaringan dan lamanya operasi menjadi perhatian pertama
dari teknik ini. Jabir pedikel regional dibayangi teknik pemindahan
mikrovaskular jaringan bebas. Secara teknik regional jabir lebih mudah,
hanya membutuhkan satu tim operasi, dan menyiapkan jaringan yang tidak
13-15
mengalami radiasi. Mikrovaskuler rekonstruksi terus berkembang.
Kesimpulan dari kasus ini adalah pemilihan flap sebagai penutup
defek adalah alasan vaskularisasi yang buruk pada daerah resipien dan
tidak mampu memberi asupan terhadap tandur yang ditransfer.

DAFTAR PUSTAKA
1. Lalwani A. CURRENT Diagnosis & Treatment Otolaryngology--Head and
Neck Surgery.Edisi ke 3. New York: Mcgraw-hill; 2011.
2. Jewett B. Local Cutaneous Flaps and Graft. Dalam: Johnson JT, Rosen
CA, Bailey BJ, penyunting. Bailey's Head and Neck Surgery -
Otolaryngology.Edisi ke 5. Philadelphia: Wolters Kluwer
Health/Lippincott Williams & Wilkins; 2014.
3. Hatcher JL, Bell EB, Browne JD, Waltonen JD. Disposition of elderly
patients after head and neck reconstruction. JAMA Otolaryngol Head
Neck Surg. 2013;139(11):1236-41.
4. Trivedi NP, Trivedi P, Trivedi H, Trivedi S, Trivedi N. Microvascular free
flap reconstruction for head and neck cancer in a resource-constrained
environment in rural India. Indian J Plast Surg. 2013;46(1):82-6.
5. Salvatori P, Paradisi S, Calabrese L, Zani A, Cantu G, Cappiello J, et al.
Patients' survival after free flap reconstructive surgery of head and
neck squamous cell carcinoma: a retrospective multicentre study. Acta
Otorhinolaryngol Ital. 2014;34(2):99-104.

310 | 2nd World Head & Neck Cancer Day


Keberhasilan Jabir Bebas Radial Forearm pada Rekonstruksi Defek Palatum Durum

6. Hanasono,M M. Reconstructive Surgery for Head and Neck Cancer


Patients. The University of Texas M.D. Anderson Cancer Center.
Advances Article in Medicine Vol 2014, 28 pages
7. Girod DA, Tsue TT. Free Tissue Transfer. Dalam: Flint PW, Cummings
CW, penyunting. Cummings Otolaryngology Head & Neck Surgery.Edisi
ke 5. Philadelphia: Mosby/Elsevier; 2010.
8. Chepeha DB. Microvascular Free Flaps in Head and Neck
Reconstruction Dalam: Johnson JT, Rosen CA, Bailey BJ, penyunting.
Bailey's Head and Neck Surgery - Otolaryngology.Edisi ke 5.
Philadelphia: Wolters Kluwer Health/Lippincott Williams & Wilkins;
2014.
9. Magdy E,Mebed A, Mebed H. Microvascular Radial Forearm
Fasciocutaneous Free Flapfor Palatomaxillary Reconstruction Following
Malignant Tumor Resection.Journal of the Egyptian Nat. Cancer Inst.,
Vol. 20, No. 1, March: 90-97, 2008
10. Erovic BM, Lercher P. Manual of Head and Neck Reconstruction Using
Regional and Free Flaps.Edisi ke 1. Verlag-Wien: Springer Vienna; 2014.
11. Fang Q, Li Z, Xu Z, Liu F, Xu Z, Sun C. Clinical reliability of radial forearm
free flap in repair of buccal defects. World Journal of Surgical Oncology.
2013;11(1):1-4.
12. Fang Q-G, Shi S, Zhang X, Li Z-N, Liu F-Y, Sun C-F. Upper extremity
morbidity after radial forearm flap harvest: a prospective study. Journal
of International Medical Research. 2014;42(1):231-5.
13. Kao-Ping C, Ching-Hung L, Wen-Lung L, Chung-Sheng L, Sin-Daw L.
Alternative reconstruction of donor defect of free radial forearm flap in
head and neck cancer. Journal of Plastic Surgery & Hand Surgery.
2010;44(1):31-6.
14. Tamimy MS, Rashid M, Islam MZ, Sarwar S-u-R, Aman S, Aslam A. A
comparison of free transfer of radial forearm and anterolateral thigh
flaps for head and neck reconstruction. European Journal of Plastic
Surgery. 2009;32(2):95-102.
15. Wehage IC, Fansa H. Complex reconstructions in head and neck cancer
surgery: decision making. Head & Neck Oncology. 2011;3(1):14-5.

Early Diagnosis and Current Treatment Paradigm in Head and Neck Surgery | 311
dr. Billy Talakua, DR. dr. Yussy Afriani Dewi M.Kes, Sp. THTKL(K) FICS,
DR. dr. Shinta Fitri Boesoirie M.Kes, Sp. THTKL(K)

312 | 2nd World Head & Neck Cancer Day


Penelitian

KARAKTERISTIK ANGIOFIBROMA
NASOFARING BELIA
DI BAGIAN/SMF ILMU KESEHATAN THT-KL
RSHS BANDUNG
TAHUN 2011 – 2016
dr. I Putu Aditya Bawa,
Dr. Yussy Afriani Dewi, dr., M.Kes., Sp.T.H.T.K.L(K), FICS,
Agung Dinasti Permana, dr., Sp.T.H.T.K.L, M.Kes., FICS

Departemen Ilmu Kesehatan Telinga Hidung Tenggorok Bedah Kepala Leher


Fakultas Kedokteran Universitas Padjadjaran
Rumah Sakit Umum Pusat Dr. Hasan Sadikin Bandung

ABSTRAK
Latar Belakang: Angiofibroma nasofaring belia adalah suatu tumor
nasofaring yang secara histologis bersifat jinak, terdiri dari komponen
pembuluh darah (angio) dan jaringan ikat (fibroma), tetapi secara klinis
bersifat ganas karena mempunyai kemampuan mendestruksi tulang.
Tujuan: Untuk mengetahui karakteristik penderita angiofibroma nasofaring
belia di SMF Ilmu Kesehatan THT-KL RSHS Bandung. Metode: Rancangan
penelitian deskriptif retrospektif dari rekam medis RSHS Bandung dari
tahun 2011 – 2016. Diagnosis ditegakkan berdasarkan anamnesis,
pemeriksaan fisik, nasofaringoskopi, dan CT angiografi. Hasil: 65 kasus
angiofibroma nasofaring belia; laki-laki 65 pasien (100 %), terbanyak pada
rentang usia 10-20 th sebanyak 63 pasien (96,92%), keluhan utama hidung
tersumbat 31 pasien (47,69%), terdapat massa kebiruan dari
nasofaringoskopi 60 pasien (92,31%), CT angiografi menunjukkan tidak
ada perluasan ke intrakranial pada 61 pasien (93,85%), dan teknik operasi

313
dr. I Putu Aditya Bawa, Dr. Yussy Afriani Dewi, dr., M.Kes., Sp.T.H.T.K.L(K), FICS,
Agung Dinasti Permana, dr., Sp.T.H.T.K.L, M.Kes., FICS

dengan pendekatan transpalatal 61 pasien (93,85%). Kesimpulan:


Angiofibroma nasofaring belia lebih banyak pada laki-laki berusia remaja.

Kata kunci : Angiofibroma nasofaring belia, laki-laki, remaja, massa


kebiruan, transpalatal

ABSTRACT
Introduction : Juvenile Nasopharyngeal Angiofibroma is a benign, but
locally aggressive and extremely vascular Head and Neck Neoplasm. It is a
fibrovascular tumour with a tendency to erode and remodel adjacent
bone. Aim: To know the characteristic of Nasopharyngeal Angiofibroma at
Department of Otorhinolaryngology Head and Neck Surgery dr. Hasan
Sadikin Hospital Bandung. Method: Retrospective descriptive study from
medical record dr. Hasan Sadikin Hospital Bandung (2011 - 2016).
Diagnose according to history taking, physical examination,
nasopharyngoscopy examination and CT Angiography. Result: there are 65
juvenile nasopharyngeal angiofibroma cases; 65 patients are men (100%),
about 63 patients in range of 10-20 years old (96,92%), 31 patients with
chief complaint of nasal obstruction, (47,69%), 60 patients with bluish
mass in nasopharyngoscopy finding (92,31%), from CT angiography there is
no extention to intracranial in 61 patients (93,85%), and extirpation
approach transpalatal in 61 patients (93,85%). Conclusion: Juvenile
Nasopharyngeal Angiofibroma occurs in male early adolescent.

Keyword : Juvenile nasopharyngeal angiofibroma, male, early adolece nt,


bluish, transpalatal

PENDAHULUAN
Angiofibroma nasofaring belia adalah suatu tumor nasofaring yang secara
histologis bersifat jinak, terdiri dari komponen pembuluh darah (angio) dan
jaringan ikat (fibroma), tetapi secara klinis bersifat ganas karena

314 | 2nd World Head & Neck Cancer Day


Karakteristik Angiofibroma Nasofaring Belia di Bagian/SMF Ilmu Kesehatan
THT-KL RSHS Bandung Tahun 2011 – 2016

mempunyai kemampuan mendestruksi tulang dan meluas ke jaringan


sekitarnya seperti ke daerah sinus paranasal, pipi, mata, dan tengkorak,
1
serta mudah menimbulkan perdarahan dan susah untuk dihentikan.
Tumor yang kaya pembuluh darah ini memperoleh aliran darah dari arteri
2
faringealis asenden atau arteri maksilaris interna. Angiofibroma kaya
dengan jaringan fibrosa yang timbul dari atap nasofaring atau bagian
3
dalam dari fossa pterigoid.
Angiofibroma nasofaring belia merupakan tumor yang jarang
ditemukan, diperkirakan hanya 0,05% dari keseluruhan tumor kepala dan
leher. Insidensi di berbagai negara diperkirakan 1: 500.000 dari jumlah
keseluruhan pasien THT. Angiofibroma nasofaring belia paling sering
ditemukan pada anak lak-laki pre pubertas dan remaja, umumnya terdapat
pada rentang usia 7 sampai 21 tahun dengan insidens terbanyak antara
4
usia 14-18 tahun. Angiofibroma nasofaring belia jarang terjadi laki – laki
5
diatas 25 tahun dan perempuan usia remaja. Di Indonesia melaporkan dua
sampai empat kasus angiofibroma nasofaring belia dalam satu tahun.
Namun demikian, tumor ini merupakan tumor jinak nasofaring yang paling
sering ditemukan. Keterlibatan intrakranial dilaporkan terjadi pada 10-36%
kasus dengan glandula pituitari, fossa kranii anterior dan media sebagai
6
bagian yang paling sering terkena. Angka kekambuhan setelah terapi
7
dilaporkan bervariasi antara 0% hingga 57%.
Penelitian ini dilakukan untuk mengetahui prevalensi dan
karakteristik angiofibroma nasofaring belia di bagian/SMF THT-KL RSHS
Bandung, selama tahun 2011 – 2016.

METODE PENELITIAN
Dilakukan penelitian deskriptif retrospektif dari rekam medis pasien
angiofibroma nasofaring belia di bagian/SMF THT-KL RSHS Bandung,
selama tahun 2011 – 2016. Diagnosis ditegakkan berdasarkan anamnesis,
pemeriksaan fisik, dan CT angiografi.
Seluruh subyek yang memenuhi kriteria, kemudian dilakukan
pendataan dilihat dari usia, jenis kelamin, keluhan utama, pemeriksaan
nasofaringoskopi, temuan CT angiografi, dan teknik operasi.

Early Diagnosis and Current Treatment Paradigm in Head and Neck Surgery | 315
dr. I Putu Aditya Bawa, Dr. Yussy Afriani Dewi, dr., M.Kes., Sp.T.H.T.K.L(K), FICS,
Agung Dinasti Permana, dr., Sp.T.H.T.K.L, M.Kes., FICS

HASIL PENELITIAN
Selama tahun 2011 – 2016 didapatkan 65 kasus Angiofibroma nasofaring
belia. Semua pasien (100%) berjenis kelamin laki-laki. (tabel 1)

Tabel 1. Distribusi Jenis Kelamin

Jenis Kelamin Jumlah (n=65)


Laki laki 65
Perempuan 0
Jumlah 65

Dari keseluruhan kasus Angiofibroma Nasofaring belia, didapatkan


63 pasien (96,92%) berusia antara 10-20 tahun. Terdapat dua pasien
(3,07%) berusia antara 21-30 tahun.(tabel 2). Usia termuda yang
ditemukan berusia 11 tahun, dan usia tertua adalah 24 tahun.

Tabel 2. Distribusi Usia

Usia Jumlah (n=65)


10-20 63
21-30 2
Jumlah 65

Keluhan utama hidung tersumbat 31 pasien (47,69%), mimisan 29


pasien (44,61%), dan benjolan di hidung sebanyak 5 orang (7,69%).

Mimisan

Hidung
Tersumbat
Benjolan

Gambar 1. Keluhan Utama pada Angiofibroma Nasofaring belia

316 | 2nd World Head & Neck Cancer Day


Karakteristik Angiofibroma Nasofaring Belia di Bagian/SMF Ilmu Kesehatan
THT-KL RSHS Bandung Tahun 2011 – 2016

Didapatkan 60 pasien (92,31%) pada temuan nasofaringoskopi


tampak massa berwarna kebiruan rapuh mudah berdarah dan 5 pasien
(7,69%) memperlihatkan massa dengan mukosa rapuh dan mudah
berdarah.

Massa
kebiruan
Massa sewarna
mukosa

Gambar 2. Temuan Nasofaringoskopi

Didapatkan 61 pasien (93,85%) terdapat lesi isodens yang tidak meluas


ke intrakranial dengan kesimpulan massa isodens di nasofaring yang tidak
meluas ke intracranial, empat pasien (6,15%) terdapat lesi isodens yang
meluas ke intrakranial dengan kesimpulan massa isodens di nasofaring
yang meluas ke intracranial.

Tidak Meluas
ke Intrakranial
Meluas ke
intrakranial

Gambar 3. Temuan CT angiografi pada angiofibroma nasofaring belia

Didapatkan 60 pasien (92,31%) dilakukan pendekatan operasi


dengan teknik Transpalatal, didapatkan 4 pasien (6,15%) dilakukan
pendekatan operasi dengan teknik Rhinotomi lateral, didapatkan 1 pasien
(1,54%) dilakukan pendekatan operasi dengan teknik hemifacial degloving.

Early Diagnosis and Current Treatment Paradigm in Head and Neck Surgery | 317
dr. I Putu Aditya Bawa, Dr. Yussy Afriani Dewi, dr., M.Kes., Sp.T.H.T.K.L(K), FICS,
Agung Dinasti Permana, dr., Sp.T.H.T.K.L, M.Kes., FICS

Transpalatal

Rhinotomy
lateral
Hemifacial
Degloving

Gambar 4. Metode Operasi pada angiofiboma nasofaring belia

DISKUSI
Pada penelitian ini didapatkan 65 kasus pasien yang terdiagnosis
angiofibroma nasofaring belia dengan jenis kelamin laki-laki, dan memiliki
rentang usia antara 10-20 tahun. Menurut Satyaranjan dkk mengatakan
bahwa angiofibroma nasofaring belia memiliki predileksi pada remaja laki-
16
laki yang memiliki rentang usia antara 14-18 tahun. Etiologi tumor ini
masih belum dapat diketahui secara pasti, namun diketahui terdapat
4,6
beberapa teori yang dikemukakan. Salah satu diantaranya adalah teori
ketidakseimbangan hormonal, yang menyebutkan bahwa penyebab
angiofibroma adalah produksi estrogen yang berlebih atau defisiensi
4
androgen. Angiofibroma nasofaring belia paling sering ditemukan pada
anak lak-laki pre pubertas dan remaja, yang umumnya terdapat pada
rentang usia 7 sampai 21 tahun dengan insidens terbanyak antara usia 14-
4
18 tahun. Angiofibroma nasofaring jarang terjadi laki–laki diatas 25 tahun
5
dan perempuan usia remaja. Berdasarkan hal tersebut diketahui terdapat
7
hubungan antara tumor dengan jenis kelamin dan usia pasien.
Pada penelitian ini kami dapatkan keluhan yang paling banyak
dikeluhkan oleh pasien adalah hidung tersumbat. Gejala pada
angiofibroma nasofaring belia dapat berupa hidung tersumbat (80-90%),
epistaksis (45-60%), nyeri kepala (25%), dan pembengkakan wajah (10-
18%). Gejala lain seperti anosmia, rhinolalia, gangguan dengar,

318 | 2nd World Head & Neck Cancer Day


Karakteristik Angiofibroma Nasofaring Belia di Bagian/SMF Ilmu Kesehatan
THT-KL RSHS Bandung Tahun 2011 – 2016

pembengkakan palatum serta deformitas pipi juga dapat ditemukan pada


penderita angiofibroma nasofaring.
Pada angiofibroma nasofaring belia didapatkan massa kebiruan
yang rapuh dan mudah berdarah. Hal ini senada dengan Garrett dkk yang
mengatakan bahwa temuan klinis angiofibroma nasofaring belia terdapat
massa berlobus dengan permukaan halus dan berwarna biru keunguan
14
pink. beefy red Pada pemeriksaan fisik secara rinoskopi posterior dan
endoskopi hidung akan terlihat massa tumor yang konsistensinya kenyal,
warnanya bervariasi dari abu-abu sampai merah muda, dengan konsistensi
kenyal dan permukaan licin. Bagian tumor yang terlihat di nasofaring
biasanya diliputi oleh selaput lendir berwarna keunguan, sedangkan bagian
yang meluas ke luar nasofaring berwarna putih atau abu-abu. Pada usia
muda warnanya merah muda, sedangkan pada penderita yang lebih tua
warnanya kebiruan karena lebih banyak komponen fibromanya. Hal ini
disebabkan karena secara histologis angiofibroma nasofaring belia terdiri
dari komponen pembuluh darah di dalam stroma yang fibrous. Pada
pertumbuhan tumor aktif, komponen pembuluh darah menjadi
predominan. Dinding pembuluh darah secara umum terdiri dari
endothelial tunggal yang melapisi stroma fibrous yang berwarna biru
14
keunguan.
Hasil pemeriksaan CT angiografi didapatkan mayoritas belum
terdapat perluasan massa ke intracranial. Pertumbuhan tumor ke arah
superior melibatkan dasar lempengan pterygoideus dan badan dari
sphenoid. Keterlibatan intrakranial telah dilaporkan terjadi di 10% sampai
36% dari semua kasus dalam seri barat. Perluasan ke intrakranial (90%)
melalui empat rute invasi intrakranial adalah ekstensi langsung melalui
rotundum foramen, ovale, dan lacerum dari fossa infratemporal langsung
ke fossa media; dari celah pterygomaxillary melalui celah orbital inferior
dan superior dalam fossa media; jarang melalui lamina ethmoid dan
lempeng cribriform ke fossa kranial anterior dengan keterlibatan sel udara
ethmoid; dan akhirnya perpanjangan intrakranial melalui atap sinus
sfenoid ke sella dan medial ke sinus kavernosus. Bila terjadi ekstensi ke
intrakranial, akan merekrut suplai darah dari sirkulasi internal melalui

Early Diagnosis and Current Treatment Paradigm in Head and Neck Surgery | 319
dr. I Putu Aditya Bawa, Dr. Yussy Afriani Dewi, dr., M.Kes., Sp.T.H.T.K.L(K), FICS,
Agung Dinasti Permana, dr., Sp.T.H.T.K.L, M.Kes., FICS

pleksus hypophyseal. Invasi sinus kavernosus dan sella akan mengenai


15
hipofisis, kiasma optik, saraf optik serta saraf kranial 3, 4, dan 6.
Teknik operasi ekstirpasi yang sering di gunakan adalah dengan
pendekatan transpalatal. Hal ini seperti yang di katakana oleh thakar et al,
11
bahwa teknik yang sering digunakan adalah transpalatal. Pemilihan jenis
operasi bergantung pada letak tumor, kedekatan dengan struktur penting,
kontrol perdarahan, mencegah pertumbuhan sentral dan mencegah bekas
operasi pada wajah.
Penelitian ini memiliki keterbatasan belum dapat mendeskripsikan
secara lengkap tentang perjalanan penyakit, staging ,dan hasil dari
tindakan operasi yang telah dilakukan kepada pasien.

KESIMPULAN
Angiofibroma nasofaring belia yang datang ke Ilmu Kesehatan THT-KL
RSHS memiliki karakteristik yang cukup beragam. Seluruh penderita adalah
laki-laki dengan rentang usia antara 10-20 th, memiliki keluhan utama
hidung tersumbat, belum terdapat perluasan ke intrakranial, dan dilakukan
ekstirpasi massa dengan pendekatan transpalatal.
Berdasarkan pada keterbatasan dalam penelitian ini, maka saran
untuk penelitian selanjutnya untuk melengkapi dengan data deskripsi
pemeriksaan penunjang. Hal ini dikarenakan agar dapat mengetahui
staging dan prognosis pada pasien yang telah dilakukan tindakan.

DAFTAR PUSTAKA
1. Soepardi ES, Iskandar N, Bashiruddin J, Restuti RD. Buku Ajar Ilmu
Kesehatan Telinga Hidung Tenggorokan Kepala & Leher. Edisi Keenam.
Jakarta : Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. 2007 ; p 188 – 190.
2. Asroel HA, Angiofibroma Nasofaring Belia, http://library.usu.ac.id,
diakses tanggal 20 April 2007.
3. Mansfield E. Juvenile Nasopharyngeal Angiofibroma. June 26, 2006.
Available from : http:/www.emedicine.com/med/topic 2758.htm.
4. Persky M, Manolidis S. Vascular Tumors of The Head and Neck.
2014;2023-28.

320 | 2nd World Head & Neck Cancer Day


Karakteristik Angiofibroma Nasofaring Belia di Bagian/SMF Ilmu Kesehatan
THT-KL RSHS Bandung Tahun 2011 – 2016

5. Coutinho-Camillo CM. Brentani MM. Nagai MA Genetic alterations in


juvenile nasopharyngeal angiofibromas. Head Neck 2008;30:390-400.
6. Pandi PS, Rifki N. The Surgical Management of Juvenile Nasopharyngeal
Angiofibroma. Third edition. Bali: Asia Oceania Congress of OLR, 2005.
7. Scholtz AW, Apperonth E, Kammen-Jolly K, et al. Juvenile
Nasopharyngeal Angiofibroma: Management and Therapy.
Laryngoscope: 2001.
8. Howard DJ. lloyd G, Lund V. Recurrence and its avoidance in juvenile
angiofibroma. Lal}'ngoscope 2001;111:1509-1511.
9. Mokhtar Furaq, Ghanimah. Hormonal Receptor in Juvenile
Nasopharyngeal Angiofibroma. Laryngoscope, 2007.
10. Ballengger JJ.Penyakit Telinga, Hidung, Tenggorok, Kepala Dan leher,
jilid 1. Edisi 13. Jakarta: Binarupa Aksara, 1994.
11. Thakar A. Gupta G, Bhalla AS, et al. Adjuvant therapy with fl.u- tamide
fur presurgical volume reduction in juvenile nasopharyn- geal
angiofibroma. Head Neck 2011;33:1747-1753.
12. Harry A. Angiofibroma Nasofaring Belia. Journal USU. 2002.
13. GL. Penyakit - Penyakit Nasofaring dan Orofaring. Dalam : Boeis Buku
Ajar Penyakit THT. Edisi ke-6. Jakarta : EGC, 1997; 324.
14. Garrett H, Seckin U, Juvenile Nasopharyngeal Angiofibroma. UTMB
Dept of OtolaryngologyAdams. 2007
15. Danesi G, Panizza B, Mazzoni A. et al. Anterior approaches in juvenile
nasopharyngeal angiofibromas with intracranial extension. Otolaryngol
Head Neck Surg 2000;122:277-283.
16. Satyaranjan M, Praveena N. et al. Imaging in the Diagnosis of Juvenile
Nasopharyneal Angiofibroma. Jornal of Clinical Imaging Science.vol 3;
Issue 1; Jan-Mar 2013.

Early Diagnosis and Current Treatment Paradigm in Head and Neck Surgery | 321
dr. I Putu Aditya Bawa, Dr. Yussy Afriani Dewi, dr., M.Kes., Sp.T.H.T.K.L(K), FICS,
Agung Dinasti Permana, dr., Sp.T.H.T.K.L, M.Kes., FICS

322 | 2nd World Head & Neck Cancer Day


Penelitian

EFEKTIFITAS EMBOLISASI PREOPERATIF PADA


PASIEN ANGIOFIBROMA NASOFARING BELIA
Di FK UNPAD/RS UMUM PUSAT Dr. HASAN
SADIKIN BANDUNG
PERIODE JANUARI 2015 - JANUARI 2016
dr. Igor Hutabarat,
Dr. Yussy Afriani Dewi,dr., M.Kes, Sp.THT-KL(K), FICS,
dr. Agung Dinasti Permana, M.Kes, Sp.THT-KL(K), FICS

Departemen Ilmu Kesehatan Telinga Hidung Tenggorok Bedah Kepala Leher


Fakultas Kedokteran Universitas Padjadjaran
Rumah Sakit Umum Pusat Hasan Sadikin Bandung

Abstrak
Latar belakang: Angiofibroma nasofaring belia adalah suatu tumor jinak
nasofaring yang secara histologik jinak dan secara klinis bersifat ganas,
karena mempunyai kemampuan mendestruksi tulang dan meluas ke
jaringan sekitarnya, seperti ke sinus paranasal, pipi, mata dan tengkorak,
serta sangat mudah berdarah yang sulit dihentikan Tujuan: Mengetahui
karakteristik embolisasi preoperative pada penderita Angiofibroma
nasofaring belia terhadap jumlah perdarahan intraoperatif. Metode:
Penelitian ini dilakukan secara deskriptif retrospektif untuk menentukan
karakteristik embolisasi preoperasi dan perdarahan intraoperatif pada
pasien dengan Angiofibrona Nasofaring belia di Rumah Sakit Hasan Sadikin.
Parameter pada penelitian ini adalah jumlah perdarahan intraoperatif.
Hasil: Ditemukan lima belas kasus Angiofibroma nasofaring belia dengan
umur yang berkisar antara sebelas tahun sampai 25 tahun dan semua
berjenis kelamin laki-laki, yang telah menjalani embolisasi preoperatif dan
pembedahan antara Januari 2015 dan Januari 2016. Pendekatan
pembedahan dilakukan secara transpalatal dan agen embolisasi

323
dr. Igor Hutabarat, Dr. Yussy Afriani Dewi,dr., M.Kes, Sp.THT-KL(K), FICS,
dr. Agung Dinasti Permana, M.Kes, Sp.THT-KL(K), FICS

preoperatif yang digunakan adalah PVA dan Glue. Prosedur embolisasi


preoperatif menurunkan kehilangan darah intraoperatif hingga total
jumlah perdarahan intraoperatif 300 ml. Kesimpulan: Embolisasi
preoperatif seperti PVA dan Glue dapat mengurangi kehilangan darah
intraoperative secara signifikan.

Kata kunci: Embolisasi pre-operasi, Angiofibrona nasofaring belia,


kehilangan darah intraoperatif

Abstract
Background: Angiofibroma Nasopharyngeal Juvenile is a benign tumor of
the nasopharynx were histologically benign and clinically malignant,
because it has the ability to destruct the bone and spread to surrounding
tissues, such as the paranasal sinuses, cheeks, eyes and skull, as well as
very easy bleeding that is difficult to stop. Objective: to determine the
characteristic of preoperative embolization in patients with Angiofibroma
Nasopharyngeal Juvenile the number of intraoperative blood loss.
Methods: This study is a descriptive retrospective to determine the
characteristic of preoperative embolization and intraoperative bleeding in
patients with Angiofibroma Nasopharyngeal Juvenile at Hasan Sadikin
Hospital. The parameter in this study is the number of intraoperative blood
loss. Results: Found fifteen cases of Angiofibroma Nasopharyngeal Juvenile
with ages ranging from eleven to twenty-five years, and all the male sex,
who had undergone preoperative embolization and surgery between
January 2015 and January 2016. The surgical approach is done by
transpalatal and agents preoperative embolization was used PVA and Glue.
Preoperative embolization procedure can reduce intraoperative blood loss
until the total amount of intraoperative bleeding of 300 ml. Conclusion:
Preoperative Embolization such as PVA and Glue can reduce intraoperative
blood loss significantly.

Keywords: preoperative embolization, Angiofibroma Nasopharyngeal


Juvenile, intraoperative blood loss

324 | 2nd World Head & Neck Cancer Day


Efektifitas Embolisasi Preoperatif pada Pasien Angiofibroma Nasofaring Belia
di FK Unpad/RS Umum Pusat Dr. Hasan Sadikin Bandung Periode Januari 2015 - Januari 2016

Pendahuluan
Angiofibroma nasofaring belia adalah sebuah tumor jinak nasofaring yang
secara histologis terdiri dari komponen pembuluh dan jaringan ikat.
Meskipun secara histologis jinak, namun secara klinis tumor ini bersifat
seperti tumor ganas karena mempunyai daya ekspansif yang amat merusak
dan mendorong jaringan sekitarnya dan cenderung menimbulkan
perdarahan yang sulit dihentikan. Umumnya terdapat pada rentang usia 7-
21 tahun dengan insidens terbanyak antara usia 14-18 tahun dan jarang
pada usia diatas 25 tahun. Tumor ini merupakan tumor jinak nasofaring
1
terbanyak dan 0,05% dari seluruh tumor kepala dan leher.
Etiologi tumor ini masih belum jelas, berbagai jenis teori sudah
banyak diajukan. Diantaranya teori jaringan asal dan faktor ketidak-
seimbangan hormonal. Secara histopatologi tumor ini termasuk jinak
tetapi secara klinis ganas karena bersifat ekspansif dan mempunyai
kemampuan mendestruksi tulang. Tumor yang kaya pembuluh darah ini
memperoleh aliran darah dari arteri faringealis asenden atau arteri
maksilaris interna. Angiofibroma kaya dengan jaringan fibrosa yang timbul
dari atap nasofaring atau bagian dalam dari fossa pterigoid. Setelah
mengisi nasofaring, tumor ini meluas ke dalam sinus paranasal, rahang
atas, pipi dan orbita serta dapat meluas ke intra kranial setelah mengerosi
2
dasar tengkorak.
Gejala klinik terdiri dari hidung tersumbat (80-90%); merupakan
gejala yang paling sering, diikuti epistaksis (45-60%); kebanyakan unilateral
dan rekuren, nyeri kepala (25%); khususnya bila sudah meluas ke sinus
paranasal, pembengkakan wajah (10-18%) dan gejala - gejala lain seperti
anosmia, rhinolalia, deafness, pembengkakan palatum serta deformitas
pipi. Tumor ini sangat sulit untuk di palpasi, dan bila palpasi harus sangat
hati-hati karena sentuhan jari pada permukaan tumor dapat menimbulkan
3
perdarahan yang ekstensif.
Diagnosis dapat ditegakkan dengan anamnesis, pemeriksaan fisik
dan pemeriksaan penunjang seperti X-ray foto polos, CT scan, angiografi
atau MRI. Pada pemeriksaan X-ray foto polos dapat dijumpai tanda
Holman-Miller berupa lengkungan ke depan dari dinding posterior sinus

Early Diagnosis and Current Treatment Paradigm in Head and Neck Surgery | 325
dr. Igor Hutabarat, Dr. Yussy Afriani Dewi,dr., M.Kes, Sp.THT-KL(K), FICS,
dr. Agung Dinasti Permana, M.Kes, Sp.THT-KL(K), FICS

maksila. Biopsi tidak dianjurkan mengingat resiko perdarahan yang masif


dan karena teknik pemeriksaan radiologi yang modern sekarang ini dapat
menegakkan diagnosis dengan tingkat ketepatan yang tinggi. Tumor ini
dapat didiagnosis banding dengan polip koana, adenoid hipertrofi, dan
3
lain-lain.
Saat ini, klasifikasi yang paling tepat dari Angiofibroma nasofaring
4
belia adalah menurut Radkowski et al. Klasifikasi Radkowski secara akurat
mencerminkan gejala klinis, termasuk derajat ekstensi posterior fossa
pterygopalatine dan derajat erosi dasar tengkorak.
Penggunaan embolisasi angiografi preoperasi saat ini telah diterima
5
secara luas dapat mengurangi terjadinya perdarahan intraoperative.
Embolisasi biasanya dilakukan 24-72 jam sebelum reseksi untuk membantu
hemostasis selama operasi. Umumnya, pembuluh darahan yang
memberikan aliran darah kepada tumor ini berasal dari eksternal arteri
karotis (EAC) sistem, tetapi karotid internal juga dapat berkontribusi pada
suplai darah, terutama untuk tumor besar. Embolisasi tumor secara
tradisional telah dilakukan melalui pendekatan transarterial dengan
kateterisasi superselective ke cabang pembuluh darah yang memberi-kan
aliran darah ke tumor dengan menggunakan berbagai agen emboli seperti
kumparan, mikropartikel, atau agen emboli cairan seperti glue.
Penatalaksanaan tumor ini adalah dengan pembedahan eksisi
tumor sebagai pengobatan pilihan utama. Angiofibroma nasofaring belia
selalu menghadirkan tantangan manajemen untuk ahli bedah karena
sifatnya yang hipervaskular, tempat predileksi, dan derajat kerusakan
jaringan lokal. Kesulitan dalam membedakan lo-kasi yang tepat dari
perbatasan tumor adalah masalah umum yang sering mengakibatkan
reseksi tumor tidak komplit sehingga dapat terjadi rekurensi, stereotactic
radioterapi; digunakan jika ada perluasan ke intrakranial atau pada kasus-
kasus yang rekuren. Komplikasi yang timbul dapat berupa perdarahan yang
6
berlebihan dan transformasi maligna.
Tumor yang lebih kecil tanpa ekstensi intrakranial dapat secara
efektif diangkat melalui pendekatan endoskopik. Keterlibatan intrakranial
yang luas dari Angiofibroma nasofaring belia membutuhkan pendekatan
pembedahan terbuka. Namun, bahkan Angiofibroma nasofaring belia luas

326 | 2nd World Head & Neck Cancer Day


Efektifitas Embolisasi Preoperatif pada Pasien Angiofibroma Nasofaring Belia
di FK Unpad/RS Umum Pusat Dr. Hasan Sadikin Bandung Periode Januari 2015 - Januari 2016

dengan keterlibatan intrakranial dapat didekati melalui pendekatan


ekstrakranial.

Metode Penelitian
Penelitian ini dilakukan secara retrospektif deskriptif dari pasien dengan
Angiofibroma nasofaring belia, yang telah dilakukan pembedahan antara
Januari 2015 dan Januari 2016 di Rumah Sakit Hasan Sadikin Bandung
Indonesia. Informasi yang dikumpulkan dari data rekam medis adalah
sebagai berikut: usia, teknik pembedahan, agen embolisasi, dan kehilangan
darah intraoperatif. CT scan dilakukan pada semua pasien, dan diagnosis
dikonfirmasi secara histologis. Untuk merencanakan strategi embolisasi
preoperatif, digunakan angiogram diagnostik dengan kateterisasi selektif
dan superselektive untuk menilai kelayakan endovaskular atau tusukan
langsung, untuk memeriksa suplai darah ke dan dari tumor, dan untuk
membantu mengidentifikasi kemungkinan landmark/daerah berbahaya
untuk sirkulasi intrakranial. Semua prosedur embolisasi dilakukan di bawah
anestesi umum. Tumor yang diembolisai dengan, partikel (PVA) dan Glue.

Hasil Penelitian
Dari 15 pasien Angiofibroma nasofaring belia, semuanya ditemukan
berjenis kelamin laki-laki dengan rentang usia 10-16 tahun. Diagnosis
Angiofibroma nasofaring belia dikonfirmasi secara histopatologi setelah
tindakan pembedahan. Embolisasi preoperasi dilakukan pada semua
pasien. PVA digunakan dalam tiga belas, Glue dalam dua prosedur.
Dari Tabel 1, 15 operasi yang dilakukan pada pasien ini semua
dilakukan transpalatal. Kehilangan darah intraoperatif diperkirakan dengan
menghitung volume darah, yang dikumpulkan dalam tabung aspirasi.
Kehilangan darah terbanyak adalah 700ml dan paling sedikit 300ml dan
rata-rata kehilangan darah intraoperatif adalah 500 ml, analisis hasil teknik
embolisasi yang berbeda dari agen emboli menunjukkan bahwa PVA dan
Glue secara efektif menurunkan kehilangan darah intraoperatif.

Early Diagnosis and Current Treatment Paradigm in Head and Neck Surgery | 327
dr. Igor Hutabarat, Dr. Yussy Afriani Dewi,dr., M.Kes, Sp.THT-KL(K), FICS,
dr. Agung Dinasti Permana, M.Kes, Sp.THT-KL(K), FICS

Diskusi
Angiofibroma nasofaring belia merupakan tumor yang relatif jarang.
Meskipun histologi jinak, tumor ini sangat agresif dan terkait dengan
morbiditas yang signifikan. Angiofibroma nasofaring belia terdiri dari
komponen vaskular dalam stroma berserat. Dinding pembuluh umumnya
terdiri dari lapisan endotel tunggal terletak langsung terhadap stroma
fibrosa yang mengakibatkan kesempatan yang signifikan untuk perdarahan
masif, bahkan dengan hanya manipulasi minor. Angiofibroma nasofaring
belia adalah tumor yang hampir selalu menerima aliran darah dari sistem
karotis eksternal melalui rahang atas arteri atau naik faring arteri internal.
Namun, seperti tumor tumbuh yang lebih besar, mungkin
mengembangkan suplai darah kolateral dari struktur yang berdekatan
lainnya dan pembuluh darah, termasuk cabang dari ICA atau sistem karotis
7
kontralateral.
Diagnosis Angiofibroma nasofaring belia terutama didasarkan pada
pemeriksaan klinis dan radiologi. Tumor ini terjadi hampir secara eksklusif
pada orang laki-laki remaja muda, walaupun ada juga telah beberapa kasus
yang dilaporkan pada individu perempuan dalam literature, yang hadir
dengan epistaksis berulang dan hidung obstruksi unilateral kronis seperti
dalam seri kami. Dalam kebanyakan kasus, MR dan evaluasi CT
8
dikonfirmasi diagnosis.

328 | 2nd World Head & Neck Cancer Day


Efektifitas Embolisasi Preoperatif pada Pasien Angiofibroma Nasofaring Belia
di FK Unpad/RS Umum Pusat Dr. Hasan Sadikin Bandung Periode Januari 2015 - Januari 2016

Pengobatan terbaik untuk saat ini adalah operasi pengangkatan


tumor. Embolisasi dilakukan sebelum operasi pada semua kasus
Angiofibroma nasofaring belia menjalani operasi. Hal ini juga diketahui
bahwa embolisasi preoperatif seperti Angiofibroma nasofaring belia sangat
efektif mengurangi kehilangan darah intraoperatif, yang merupakan
17
penyebab utama morbiditas. Selain itu, laporan penelitian lain dari
penurunan rata-rata kehilangan darah intraoperatif dari 60% dari
9
embolisasi preoperative.
Secara umum, penggunaan terapi endovaskular dalam pengelolaan
Angiofibroma nasofaring belia dan tumor kepala dan leher pembuluh
darah lainnya telah secara bertahap berkembang sejak tahun 1970-an.
Intervensi endovascular telah menjadi alat yang berguna dalam
pengobatan preoperasi tumor hipervaskular. Keuntungan dari embolisasi
tumor sebelum operasi meliputi pengurangan secara keseluruhan dalam
kehilangan darah dan transfusi persyaratan bedah, oklusi pembuluh darah
arteri yang tidak dapat diakses pada pembedahan, penurunan waktu
operasi, dan peningkatan visualisasi, yang terakhir memungkinkan untuk
identifikasi dan perlindungan struktur yang berdekatan mengakibatkan
pengurangan komplikasi pembedahan secara keseluruhan.

10
Teknik Transarterial Embolisasi
Teknik embolisasi ini terdiri dari kateterisasi superselective coaxial dan
infus agen emboli ke dalam pembuluh darah arteri melalui microcatheter.
Prosedur kateterisasi optimal adalah kateterisasi superselektif ke
pengumpan tumor seanatomis mungkin. Digunakan dua agen emboli yang
berbeda:
• Partikel
• Glue

Partikel Embolisasi
Prosedur dimulai dengan kateterisasi arteri femoral menggunakan teknik
Seldinger ini, menghasilkan arteriografi yang selektif dari daerah vaskular
arteri karotis interna dan eksterna. Angiogram dilakukan dengan agen

Early Diagnosis and Current Treatment Paradigm in Head and Neck Surgery | 329
dr. Igor Hutabarat, Dr. Yussy Afriani Dewi,dr., M.Kes, Sp.THT-KL(K), FICS,
dr. Agung Dinasti Permana, M.Kes, Sp.THT-KL(K), FICS

®
kontras iodinasi (Visipaque 270; GE Healthcare, USA). Setelah
mengidentifikasi pembuluh darah yang memperdarahi tumor tersebut,
dilakukan kateterisasi superselektif dari arteri dengan di ikuti oleh
serangkaian selektif untuk mencari daerah sekitar yang berbahaya dan
menentukan mikrokateter tersebut. Setelah mikrokateter yang berada di
posisi, embolisasi dilakukan dengan mikropartikel dalam larutan supensi
garam sebagai larutan agen kontras. Untuk agen embolisasi, polivinil
alkohol (PVA) partikel (Cook Inc, Bloomington, IN) atau
®,
microspehe(Embozene Mikro, Celo Nova) ukuran mulai 300-500 um
digunakan untuk embolisasi transarterial. Setelah setiap langkah
embolisasi, angiogram ulangan diperoleh untuk mengontrol kemajuan
embolisasi. Embolisasi dikatakan berhasil dengan menentukan kurangnya
kontras di daerah vaskular yang terembolisasi selama angiogram
berikutnya. Berdasarkan sisa pewarnaan tumor dalam seri angiogram,
embolisasi dikategorikan sebagai sedikit (0-30%), sedang (30-70%),
subtotal(70-90%), hampir total(90-99%), dan total(100%), seperti
sebelumnya diterbitkan.

Embolisasi Glue
Prosedur angiografi adalah identik dengan pengaturan partikel embolisasi
sebelumnya, dengan kateterisasi superselektif pembuluh darah melalui
®;
arteri femoral. Untuk embolisasi, digunakan glue (Histoacryl Braun,
®
Melsungen, Jerman) dan Lipiodol (Lipiodol Ultra Fluide, Guerbet,
Solingen). Bahan-bahan ini disusun secara terpisah dan kemudian
dicampur dalam persentase tertentu. Campuran lem yang kita gunakan
untuk Angiofibroma nasofaring belia embolisasi terdiri dari 0,5ml
Histoacryl1 dan 1,5ml Lipiodol. Karakteristik angiografi yang sama
digunakan untuk kategorisasi keberhasilan embolisasi.
Namun, kedua metode embolisasi hanya menunjukkan oklusi yang
sifatnya sementara. Oleh karena itu, sangat penting untuk memastikan
tidak lebih dari 7 hari, waktu antara embolisasi partikel dan operasi
sehingga tercapai devaskularisasi pembuluh darah yang optimal.
Dengan pembedahan pendekatan transpalatal, Palatum molle dapat
digerakkan dan ditarik ke sisi berlawanan dari tumor setelah pembuluh

330 | 2nd World Head & Neck Cancer Day


Efektifitas Embolisasi Preoperatif pada Pasien Angiofibroma Nasofaring Belia
di FK Unpad/RS Umum Pusat Dr. Hasan Sadikin Bandung Periode Januari 2015 - Januari 2016

darah palatina dan persarafan di sisi ipsilateral telah di identifikasi.


Palatum durum posterior bersama dengan geraham atas posterior dapat di
reseksi dan alveolus dibor ke bawah bersama dengan palatum durum,
pterygoideus plate yang mengarah ke dasar sphenoid. Setelah di lokasi ini,
dura dari fossa media, V2 dan V3 dan foramen tulang mereka dan sinus
sphenoid dapat digunakan sebagai landmark, dasar tengkorak dapat
terekspos secara luas dan tumor dapat diangkat. Tindakan pembedahan
Facial degloving dengan Le Fort-I dapat mencapai hasil yang sangat mirip
dalam hal eksposur. Facial degloving dengan maxillectomy medial dan
reseksi dinding lateral yang posterior rahang atas dapat secara efektif
mengekspos rongga hidung, nasofaring, ruang pterygomaxillary, dan fossa
infratemporal dengan paparan tumor yang sangat baik dan pengangkatan
massa tumor. Pendekatan anterior dengan Weber-Ferguson facial incision
dapat dikombinasikan dengan pengangkatan tulang zygoma (termasuk
lantai orbital dan dinding lateral) mungkin dengan Le Fort-I osteotomi
untuk memberikan akses yang luas. Tulang dan tumor tersebut diangkat,
kemudian segmen tulang diganti dan diperbaiki dengan osteosynthesis
11
plate.
Meskipun penelitian ini bersifat deskriptif retrospektif dan
didasarkan pada jumlah data sampel yang kecil sebanyak 15 kasus, namum
penelitian ini menunjukkan bahwa embolisasi preoperasi dengan agen
embolisasi partikel dan Glue efektif mengurangi kehilangan darah
intraoperatif dari 60%. Penelitian lanjutan diperlukan untuk membuat
analisis statistik dengan ukuran sampel yang lebih besar dan data dari
multi center.
Kesimpulan penelitian ini adalah tindakan embolisasi preoperatif
pada pasien Angiofibroma nasofaring belia karena dapat menurunkan
kehilangan darah intraoperatif; embolisasi juga meningkatkan visualisasi
dari lapangan operasi, yang memungkinkan untuk lebih mudah dalam
pembedahan diseksi, dan mengurangi durasi prosedur operasi.
Daftar Pustaka
1. Persky. M, Manolidis. S; Bailey’s Head and Neck Surgery-Otolaryngology
th
5 Ed; 2014; Vol.2, Chapter 127:2021-28

Early Diagnosis and Current Treatment Paradigm in Head and Neck Surgery | 331
dr. Igor Hutabarat, Dr. Yussy Afriani Dewi,dr., M.Kes, Sp.THT-KL(K), FICS,
dr. Agung Dinasti Permana, M.Kes, Sp.THT-KL(K), FICS

2. Sivanandan R, Willard EF. Benign and malignant tumors of the na-


sopharynx. In: Cummings CW, Haughey BH, Thomas JR, Harkrt LA,
editors. Cummings otolaryngology: head and neck surgery. 4th ed.
Philadelphia: Mosby; 2005. Page 1669–84.
3. Batsakis G. Vasoformative tumors. In: Batsakis JG, editor. Tumors of the
head and neck: clinical and pathological considerations. 2nd ed.
Baltimore: Williams and Wilkins Co; 2009. Page 296–300.
4. Radkowski D, McGill T, Healy GB, Ohlms L, Jones DT. Angiofibroma:
changes in staging and treatment. Arch Otolaryngol Head Neck Surg
1996; 122:122–9.
5. Danesi G, Panizza B, Mazzoni A. et al. Anterior approaches in juvenile
nasopharyngeal angiofibromas with intracranial extension. Otolaryngol
Head Neck Surg; 2000; 122: 277-283.
6. Wu AW, Mowry SE, Vmuela F, et al. Bilateral vascular supply in juvenile
nasopharyngeal angiofibromas. Laryngoscope; 2011; 121: 639-643.
7. Danesi G, Panciera DT, Harvey RJ, Agostinis C. Juvenile nasopharyngeal
angiofibroma: evaluation and surgical management of advanced
disease. Otolaryngol Head Neck Surg. 2008; 138:581–6.
8. Roche PH, Paris J, Regis J, et al. Management of invasive juvenile
nasopharyngeal angiofibromas: the role of a multimodality approach.
Neurosurgery 2007; 61: 768-77.
9. Mann WJ, Jecker P, Amedee RG. Juvenile angiofibromas: changing
surgical concept over the last 20 years. Laryngoscope 2004; 114: 291-3.
10.Gemmete JJ, Chaudhary N, Pandey A, Gandhi D, Sullivan SE, Marentette
LJ, Chepea DB, Ansari SA. Usefulness of percutaneously injected
ethylenevinyl alcohol copolymer in conjunction with standard
endovascular embolization techniques for preoperative
devascularization of hypervascular head and neck tumors: technique,
initial experience, and correlation with surgical observations. AJNR Am J
Neuroradiol. 2010; 31: 961–6.
11.Cansiz H, Güvenç MG, Sekerciog ̆lu N. Surgical approaches to juvenile
nasopharyngeal angiofibroma. J Craniomaxillofacial Surg; 2006; 34:3–8.

332 | 2nd World Head & Neck Cancer Day


DETEKSI DINI KEGANASAN PADA LARING
Agung Dinasti Permana,dr.,SpTHT-KL.,M.Kes

Pendahuluan
Karsinoma laring adalah keganasan yang berasal dari sel epitel
laring..Insidens Karsinoma skuamosa laring terjadi sebanyak 150.000 kasus
di seluruh dunia dan memiliki angka mortalitas sebesar 83.000 individu
1
setiap tahunnya. Fungsi utama laring adalah sebagai organ fonasi,
pernafasan dan juga memiliki peran dalam proses menelan serta
meningkatkan sensasi rasa dan bau. Karena itu hilangnya fungsi laring
akan mempengaruhi proses bicara dan menelan serta beberapa sensasi
rasa yang akan mengurangi kualitas hidup. Selain itu tindakan laringektomi
total akan menghilangkan fungsi humidifikasi traktus aerodigestif bagian
atas yang akan menyebabkan masalah pulmonary toilet bagi para pasien.
Pencegahan dan deteksi dini karsinoma laring sangat mempengaruhi
prognosis dan preservasi fungsi dari organ laring. Dibandingkan dengan
keganasan lain didaerah kepala dan leher karsinoma laring seringkali dapat
didiagnosis pada stadium yang lebih awal terutama untuk karsinoma laring
yang berada di area glottis, tetapi kadang – kadang gejala karsinoma laring
juga dapat memberikan tanda yang tidak khas sehingga menyebabkan
keterlambatan diagnosis.

Anatomi Laring
Berdasarkan perkembangan embriologi laring dibagi menjadi tiga level
yaitu supraglottic, glottic, dan subglottic. Pembagian ini memiliki relevansi
klinis dan membantu dalam memprediksi gejala klinis dan pola penyebaran
tumor. Area supraglotis dimulai dari tip epiglottis sampai ke ventrikel dan
permukaan bawah dari false vocal cord termasuk permukaan lingual dan
laryngeal dari epiglottis, kartilago aritenoid, aryepiglotik fold dan pita suara
palsu. Supraglotik berkembang dari arkus brankial ke 4 dan 6 yang kaya
akan aliran limfatik bilateral. Secara klinis hal ini akan menyebabkan

333
Agung Dinasti Permana,dr.,SpTHT-KL.,M.Kes

2
tingginya kejadian metastasis sebanyak 25-75% pada seluruh stadium T.
Area glotik terdiri dari dasar ventrikel, Pita suara meliputi 0,5 cm batas
bebas dari cord, komisura anterior dan area interaaritenoid. Berbeda dari
struktur supraglotis secara embriologis area glottis terbentuk dari
penyatuan struktur di bagian lateral dari tracheobronchial anlage arkus ke
4,5,6 dan realatif memiliki struktur limfatik yang lebih sedikit. Hal ini
mengakibatkan penyebaran secara limfatik dari tumor diarea glotik
menjadi lebih sedikit dan dapat tetap berada didalam laring dalam jangka
waktu yang lebih lama. Area subglotik berada dibawah area glotik mulai
dari batas inferior sampai ke batas bawah kartilago krikoid. Area ini
berkembang dari arkus faringeal ke 4 dan 6 dan karena lokasinya maka
tumor pada aea subglotik memiliki kecenderungan untuk lebih mudah
menyebar keluar dari laring.

Evaluasi
Terdapat 3 tujuan utama dalam pemeriksaan awal ;1 menentukan apakah
lesi yang ditemukan merupakan lesi ganas atau jinak. (2) Menentukan
stadium, (3) menentukan penyebaran. Timor di area supraglottic dan
glottic merupakan lokai yang paling sering dan tumor diarea subglotik
merupakan yang paling jarang (glottic, 59%; supraglottic, 40%; subglottic,
3
1%). Pemeriksaan diawali dengan anamnesis lengkap. Riwayat keluarga,
riwayat masalah kesehatan dan gaya hidup mengenai kebiasaan merokok,
kebiasaan konsumsi alcohol ( lama dan jumlah yang dikonsumsi), riwayat
keganasan pada keluarga serta keluhan yang mungkin behubungan dengan

334 | 2nd World Head & Neck Cancer Day


Deteksi Dini Keganasan pada Laring

kemungkinan adanya metastasis perlu ditanyakan pada pasein dan


keluarganya. Anamnesis yang baik dan lengkap dapat memberikan
gambaran mengenai kemungkinan lokasi dan perluasan tumor.
Gejala suara serak, disfagia,odinofagia, benjolan di leher, otalgia,
sesak nafas dan aspirasi harus ditanyakan dan di cari pada pemeriksaan
awal pasien. Adanya suara serak merupakan tanda yang khas pada
keterlibatan area glottis. Adanya keluhan serak yang disertai dengan sesak
nafas menandakan lesi yang sudah lanjut dan menandakan adanya invasi
ke otot otot internal laring. Sesak nafas pada tumor laring disebabkan
kareana adanya gangguan gerakan pita suara atau karena obstruksi dari
massa tumor, sedangkan gangguan menelan dan nyeri menelan pada
penderita tumor laring dapat diakibatkan karena keterlibatan basis lidah
dan hipofaring. Tumor di area supraglotik akan memberikan keluhan
dysphagia, odynophagia, and otalgia. Karena keluhan yang tidak khas maka
seringkali pasien terlambat didiagnosis dan baru terdiagnosis pada stadium
yang sudah lanjut. Tumor diarea subglotik seringkali datang pada stadium
yang lanjut yang ditandai degan adanya sesak nafas dan suara serak akibat
paralisis pita suara.

Faktor resiko dan etiologi


Merokok dan konsumsi alcohol merupakan factor resiko utama untuk
4
terjadinya karsinoma laring. Perokok memiki resiko 10-20 kali lebih tinggi
5
untuk terkena tumor laring. Walaupun demikian resiko ini dapat
diturunkan dengan menghentikan kebiasaan merokok sebanyak 60%.
Faktor resiko lain adalah paparan zat karsinogenik ditempat kerja seperti
asbestos, nikel, debu kayu, produk kulit, cat, uap solar, dan glass wool juga
meningkatkan terjadinya keganasan didaerah laring. Infeksi Human
Papiloma Virus (HPV) sub tipe 16 dan 18 telah terbukti berkaitan dengan
6
kejadian tumor laring.

Pemeriksaan Fisik
Dengan pemeriksaan fisik yang baik kita dapat menentukan ekstensi
tumor, mobilitas pita suara, patensi jalan nafas,dan penyebaran

Early Diagnosis and Current Treatment Paradigm in Head and Neck Surgery | 335
Agung Dinasti Permana,dr.,SpTHT-KL.,M.Kes

lokoregional. Pemeriksaan lengkap pada region kepala dan leher termasuk


permukaan mukosa sangat penting dan dapat menentukan adanya lesi
keganasan sinkronous pada traktus aerodigestif bagian atas sebanyak 4-8%
pada penderita keganasan didaerah kepala dan leher. Visualisasi laring baik
dengan mneggunakan kaca laring ataupun pemeriksaan endoskopi harus
dilakukan. Seluruh region diatas klavikula dipalpasi secara cermatuntuk
melihat adanya metastasis atau ekstensi tumor ekstralaringeal. Hilangnya
krepitasi laring merupakan tanda adanya keterlibatan area postkrikoid.
Fiksasi laring dibagian posterior dapat menjadi tanda adanya keterlibatan
area prevertebral. Palapasi yang cermat pada tirohyoid membrane dan
pada jaringan lunak komplek laryngeal dapat memberikan gambaran yang
cukup baik dan dapat dibandingkan dengan pemeriksaan imaging lainnya.
Karsinoma laring paling sering bermetastasis ke kelenjar getah bening
leher di level II, III, dan IV.Tumor supragoltik memiliki frekwensi metastasis
cervical yang paling sering sebanyak; T1, 20%; T2, 40%; T3, 60%; dan T4,
80%. Lesi awal pada area glotik memiliki frekwensi penyebaran ke KGB
leher kurang dari 7% tetapi lesi T4 dapat menyebar ke daerah leher
7
sebanyak 40 %. Pemeriksaan fisik dan palpasi didaerah kompartemen
tengah leher juga harus dilakukan dengan cermat untuk menilai
penyebaran ke KGB diarea delphian node. Tumor subglotik memiliki
insidens penyebaran ekstralaringeal paling sering karena kedekatannya
dengan membrane krikotiroid dan kaya akan jaringan limfatik diarea
postkrikoid.

Pulmonary status
Status pulmonary pasien akan membantu dalam menentukan waktu
perencanaan endoskopi surgical dan kemungkinan dilakukannya debulking
tumor dan tracheostomi. Stridor dan retraksi otot pernafasan saat istirahat
menandakan keadaan emergensi yang memerlukan penanganan airway
segera. Tes faal paru dan review mengenai kemampuan exercise pasien
sangat penting bila direncanakan untuk dilakukan tidakan konservasi laring
karena hal ini sangat berkaitan dengan kemempuan pasien untuk
mentoleransi terjadinya aspirasi pasca operasi. Pemeriksaan laringoskopi di

336 | 2nd World Head & Neck Cancer Day


Deteksi Dini Keganasan pada Laring

poliklinikdapat menjawab beberapa pertanyaan mengenai ada tidaknya


lesi didarah laring. Area yang harus diperiksa mulai dari basis
lidah,valekula, epiglottis, ariepiglotik,aritenoid,interaritenoid, false vocal
cord,ventrikel,plika vocalis,subglotis dan area hipofaring. Adanya pooling
saliva diarea piriformis sinus dan laring menendakan adanya kondisi
patologik lain. Laringoskopi dapat digunakan untuk menentukan tampilan
gross dan pola pertumbuhan tumor (exophytic atau submucosal).
Pemeriksaan indirek laringoskopi merupkan pemeriksaan yang cukup
memeadai untuk menilai laring dan basis lidah secara keseluruhan,
walaupun kadang pemeriksaan ini cukup sulit untuk dilakukan terutama
pada pasien yang tidak kooperatif dan memeiliki reflek muntah yang
tinggi.Flexible fiber-optic laryngoscopy (FFL), dapat digabungkan dengan
pemeriksaan stroboscopy akan memberikan gambaran yang lebih jelas
pada setiap area dan dapat disimpan dalam format video untuk
dokumentasi setiap keadaan patologinya. Pasein akan lebih senang bila
dapat melihat langsung pada meonitor mengenai kondisi penyakitnya
sehingga kita dapat lebih mudah membrikan pengertian pada pasien.
Prosedur pemeriksaan dipoliklinik dapat memberikan gambaran mengenai
pergerakan pita suara dan pergerakan krikoaritenoid joint. Manuver
dengan meminta pasien batuk dapat memberikan gambaran mengenai
mobilitas aritenoid. Sangat penting untuk membedakan antara fiksasi pita
suara akibat invasi ke area paraglotik dengan keterlibatan sendi
krikoaritenoid oleh tumor. Karena hal ini akan menjadi dasar untuk
dilakukannya tindakan konservasi laring

Pemeriksaan Imaging/ Pencitraan


Pemeriksaan imaging memberikan gambaran tambahan yang penting
untuk pemeriksaan fisik. Pemeriksaan ini diperlukan untuk menentukan
stadium. Imaging dapat memberikan gambaran yang detail mengenai
ruang anatomi yang sulit diperikasa dengan pemeriksaan fisik dan
endoskopi (pre-epiglottic space, paraglottic space, thyroid cartilage
invasion). Imaging juaga dapat memberikan gambaran megenai volume
tumor dan ekstensi ekstralaringeal. Lebih jauh imaging juga dapat

Early Diagnosis and Current Treatment Paradigm in Head and Neck Surgery | 337
Agung Dinasti Permana,dr.,SpTHT-KL.,M.Kes

membantu dalam menentukan perencanaan operasi dan menetukan jenis


8
tindakan yang akan dilakukan. CT scan dan MRI merupakan pemeriksaan
imaging yang dapat dijadikan pilihan karena keduanya dapat memberikan
detail yang baik. T2-weighted MRI memberikan gambaran penyebaran ke
submukosal preepiglotik dan paglotik space dengan jelas. CT scan memiliki
specificitas yang lebih tinggi tetapi memiliki sensitivitas yang lebih rendah
dalam menentukan invasi kek kartilago tiroid dibandingkan dengan
9
pemeriksaan MRI . Imaging juga dapat menentukan apakah lesi dapat kita
reseksi atau tidak dengan memberikan gambaran keterlibatan vascular dan
prevertebral fascia atau keterlibatan mediastinal.

Pemeriksaan PET/CT
Peranan modalitas pemeriksaan positron emission tomography/computed
tomography (PET/CT) dalam diagnostik dan staging penderita dengan
metastasis dan rekuren pada kasus keganasan didaerah kepala dan leher
terus berkembang. Kombinasi PET/CT memberikan gambaran dan
informasi anatomi yang lebih detail mengenai adanya lesi ganas dengan
menunjukan peningkatan aktivitas metabolik. Kemampuan PET/CT dalam
mendeteksi adanya metastasis dan rekurensi dapat dijadikan pedoman
dalam menentukan rencana tatalaksana dan memebantu dalam
menentukan lokasi biopsi pada tumor laring. Berbagai penelitian telah
menunjukan bahwa PET/CT memiliki angka sensitivitas sebesar 93,75%
dan spesivisitas sebesar 91,67% dalam menentukan rekurensi yang
ditandai dengan peningkatan penangkapan kontras. Walaupun demikian
PET/CT masih memiliki angka false positif pada area yang mengalami
peningkatan metabolisme seperti area infeksi atau inflamsi kronis.

Metastatic work-up
Penyebaran jauh pada kasus karsinoma laring pada stadium awal tanpa
disertai metastasi cervical sangat jarang ditemukan. Spector dan kolega
mereview 1667 pasien dengan karsinoma laring menemukan angka
kejadian metastasis sebesar 3,6%, 4,4%, dan 14,2% untuk tumor
10
supraglotik ,glotik dan subglotik. Insidens metastasis jauh pada tumor

338 | 2nd World Head & Neck Cancer Day


Deteksi Dini Keganasan pada Laring

supraglotik berhubungan dengan adanya metastasis servikal sedangkan


untuk tumor glotik berhubungan dengan T-stage dan untuk tumor
subglotik tidak terdapat hubungan dengan stadium TNM. Pemeriksaan
rutin untuk pemeriksaan adanya metastasis belum disepakati secara global
dan masih sangat tergantung dengan kebijakan institusi. Paru-paru dan
hepar merupakan lokasi tersering terjadinya metastasis jauh. Pemeriksaan
rontgen thorax dan pemeriksaan fungsi hepar yang disertai dengan
pemeriksaan ultrasonografi(USG) merupakan pemeriksaan standar
2
minimal untuk menilai adanya metastasis. Penderita dengan hasil thorak x
ray yang abnormal dan mereka dengan penyakit yang lanjut memrlukan
pemeriksaan CT-scan dada dan abdomen. Pemeriksaam laboratorium
rutin diindikasikan untuk penderita sebelum dilakukan tindakan operasi
ataupun kemoradiasi. Peningkatan kadar kalsium atau alkalin fosfatase
dapat menjadi tanda adanya metastasis.

Operative assessment
Selain pemeriksaan fisik,endoskopik dan imaging, pemeriksaan
histopatologi masih merupakan pemeriksaan baku emas untuk
menentukan adanya keganasan. Walaupun sebagian besar keganasan pada
laring adalah skuamous sel karsinoma, pemeriksaan histopatologi dari
tumor primer harus dilakukan sebelum penderita diberikan terapi
definitive. Beberapa gambaran makroskopik penyakit lain pada laring
seperti tuberculosis laring, wagener granulomatosis, sarkoidosis dan fungal
laryngitis dapat menyerupai gambaran keganasan. Untuk membuktikan
adanya karsinoma invasive maka tindakan biopsy harus dilakukan dengan
cukup dalam agar dapat mencapai tumor yang viable. Lokasi biopsy harus
dilakukan pada lesi yang jelas dan lokasi lesi yang mencurigakan pada
kontralateral aritenoid, anterior komisura atau area interaritenoid. Pada
lesi yang kecil dapat dilakukan reseksi secara komplit agar didapatkan
specimen yang adekuat. Tindakan biopsy harus diulang bila masih dicurigai
adanya keganasan meskipun hasil histopatologi menunjukan hasil yang
negative keganasan.

Early Diagnosis and Current Treatment Paradigm in Head and Neck Surgery | 339
Agung Dinasti Permana,dr.,SpTHT-KL.,M.Kes

Modalitas Pemeriksaan Baru


Berbagai teknik telah dikembangkan untuk meningkatkan akurasi dari
pemeriksaan mikrolaringoskopi. Autofluorescence diagnosis merupakan
teknik pemeriksaan yang menggunakan kemampuan oxidized flavin
mononucleotide (FMN) pada sel normal untuk menangkap fluoresensi
hijau ketika dipaparkan dengan cahaya biru. Sel neoplastik akan
menunjukan kadar FMN yang rendah dan tidak memberikan gambaran
fluoresensi seperti sel normal. Kondisi ini akan meningkatkan akurasi
11
deteksi kanker laring.

Human Papiloma Virus pada Karsinoma Laring


Berbagai penelitian telah menghubungakan infeksi Human papiloma Virus (
HPV) dengan pathogenesis karsinoma laring. Tetapi perananan HPV dalam
karsinogenesis pada laring masih belum jelas. HPV 6 dan 11 dikatakan
memiliki peran dalam transformasi papiloma laring menjadi suatu
karsinoma. Dengan diketahuinya peran HPV dalam karsinogenesis
karsinoma laring maka diharapkan bahwa HPV dapat dijadikan sebagai
suatu target terapi ataupun sebagai diagnostic tools dalam menegakan
12
diagnosis karsinoma laring.

Staging Karsinoma Laring


Stadium karsinoma laring sangat berpengaruh terhadap prognostic pasien.
Penderita dengan stadium T1 –T2 dapat dilakukan tindakan preservasi
laring, baik dengan pemberian radioterapi ataupun dengan parsial
laringektomi. Sedangkan untuk karsinoma laring dengan stadium T3-T4
total laringektomi seringkali menjadi pilihan. Sistem TNM menurut AJCC
telah diterima secara luas dan digunakan untuk menentukan stadium
karsinoma laring.

Tabel 1 Sistem stadium (staging) berdasarkan “The American Joint


1
Committee On Cancer For Laryngeal Carcinoma’ 2002

340 | 2nd World Head & Neck Cancer Day


Deteksi Dini Keganasan pada Laring

Supraglotis
T1 Tumor terbatas pada satu sisi daerah supraglotis dengan mobilitas
pita suara yang normal
T2 Tumor melibatkan lebih dari satu sisi daerah supraglotis, atau glotis,
dengan mobilitas pita suara yang terganggu
T3 Tumor terbatas pada laring dengan pita suara yang terfiksasi. Tumor
dapat menginvasi area postkrikoid, sinus piriformis medial, atau
ruang pre-epiglotis
T4 Tumor menginvasi daerah kartilago tiroid dan atau sudah meluas ke
luar laring

Glotis
T1 Tumor terbatas pada pita suara (termasuk komisura anterior dan
posterior) dengan mobilitas yang normal
T1A Tumor terbatas pada satu sisi pita suara
T1B Tumor mengenai kedua sisi pita suara
T2 Tumor sudah menjalar ke daerah supraglotis dan subglotis dengan
mobilitas pita suara yang terganggu
T3 Tumor terbatas pada laring dengan pita suara yang terfiksir
T4 Tumor menginvasi melalui kartilago tiroid dan atau dengan
penyebaran langsung Ekstralaringeal

Subglotis
T1 Tumor terbatas pada daerah subglotis
T2 Tumor meluas ke daerah glotis dengan atau tanpa disertai gangguan
mobilitas pita suara
T3 Tumor terbatas pada daerah laring dengan pita suara yang terfiksasi
T4 Tumor menginvasi tulang rawan krikoid dan tiroid, dengan
penyebaran Ekstralaringeal

Penyebaran ke kelenjar limfe regional


Nx Kelenjar limfe tidak teraba
N0 Tidak terjadi metastase regional

Early Diagnosis and Current Treatment Paradigm in Head and Neck Surgery | 341
Agung Dinasti Permana,dr.,SpTHT-KL.,M.Kes

N1 Metastase ke satu kelenjar limfe servikal ipsilateral, teraba dengan


ukuran diameter kurang dari 3 cm
N2A Metastase ke kelenjar limfe servikal tunggal ipsilateral, teraba dengan
ukuran diameter lebih dari 3 cm tapi kurang dari 6 cm
N2B Metastase ke kelenjar limfe servikal multipel ipsilateral, teraba
dengan ukuran diameter tidak lebih dari 6 cm
N2C Metastase ke kelenjar limfe servikal bilateral atau kontralateral,
teraba dengan diameter tidak lebih dari 6 cm
N3 Metastase ke kelenjar limfe, diameter lebih dari 6 cm

Metastase Jauh
Mx Tidak terdapat/terdeteksi metastase jauh
M0 Tidak ada metastase jauh
M1 Terdapat metastase jauh

Stadium Karsinoma Laring

N Stage
T Stage
N0 N1 N2 N3
Tis 0 - - -
T1 I III IV IV
T2 II III IV IV
T3 III III IV IV
T4 IV IV IV IV

TERAPI
Pengelolaan karsinoma laring dapat bersifat single modality ataupun
combined modality. Dapat dilakukan dengan operatif, radioterapi,
kemoterapi serta terapi kombinasi.

342 | 2nd World Head & Neck Cancer Day


Deteksi Dini Keganasan pada Laring

Algoritma terapi Karsinoma Glotik

Early Diagnosis and Current Treatment Paradigm in Head and Neck Surgery | 343
Agung Dinasti Permana,dr.,SpTHT-KL.,M.Kes

344 | 2nd World Head & Neck Cancer Day


Deteksi Dini Keganasan pada Laring

Early Diagnosis and Current Treatment Paradigm in Head and Neck Surgery | 345
Agung Dinasti Permana,dr.,SpTHT-KL.,M.Kes

346 | 2nd World Head & Neck Cancer Day


Deteksi Dini Keganasan pada Laring

Algoritma Karsinoma Supraglotik

Early Diagnosis and Current Treatment Paradigm in Head and Neck Surgery | 347
Agung Dinasti Permana,dr.,SpTHT-KL.,M.Kes

348 | 2nd World Head & Neck Cancer Day


Deteksi Dini Keganasan pada Laring

Algoritma Karsinoma Sub Glotik

Early Diagnosis and Current Treatment Paradigm in Head and Neck Surgery | 349
Agung Dinasti Permana,dr.,SpTHT-KL.,M.Kes

Post-operative radiation therapy


Post-operative radiation dengan atau tanpa kemoterapi diindikasikan bila
ditemukan batas operasi yang positif, ;T4 disease ; adanya invasi ke
perineural/lymphatic/ vascular; multiple positif node; penyebaran
ekstrakapsular atau keterlibatan perineural; N3 node; ekstensi karsinoma
primer pada area subglotik.

Follow UP
Follow up pasca terapi dilakukan secara individual ditentukan berdasarkan
resiko rekurensi, survey untuk terjadinya tumor primer sekunder, untuk
menangani morbiditas pasca operasi, untuk penanganan masalah
psikososial,dan untuk menenagani masalah yang tidak berhubungan
langsung dengan penyakit keganasannya.
Pemeriksaan periodic diperlukan selama pasien menjalani
radioterapi untuk penanganan masalah seperti kesulitan menelan, airway
dan penanganan nyeri. Setelah terapi selesai , jadwal control dapat
dilakukan sesuai dengan karakteristik pasien, yaitu:
1 tahun paska terapi: setiap 1-3 bulan
2 tahun paska terapi: setiap 2-4 bulan
3 tahun paska terapi; setiap 3-6 bulan
4 tahun paska terapi; setiap 4-6 bulan
Setelah 5 tahun setiap 12 bulan

Rontgen dada, pemeriksaan fungsi hepar dan pemeriksaan oleh


radiasi onkologist dilakukan setiap tahun untuk menilai adanya
kekambuhan dan metastasis. Pemeriksaan fungsi tiroid juga harus
dilakukan secara rutin bila dilakukan radiasi pada leher bagian bawah.

Kesimpulan
Diagnosis dini karsinoma laring sangat berpengaruh pada prognosis dan
pilihan terapi yang akan dilakukan. Anamnesis, pemeriksaan fisik dan
pemeriksaan penunjang yang detail dan lengkap akan memberikan
gambaran yang jelas mengenai stadium karsinoma laring.

350 | 2nd World Head & Neck Cancer Day


Deteksi Dini Keganasan pada Laring

Daftar Pustaka
1. Siegel R, Ma J, Zou Z, Jemal A. Cancer statistics, 2014. CA: A Cancer
Journal for Clinicians. 2014;64(1):9-29.
2. Marioni G, Marchese-Ragona R, Cartei G, Marchese F, Staffieri A.
Current opinion in diagnosis and treatment of laryngeal carcinoma.
Cancer Treatment Reviews.32(7):504-15.
3. Jemal A, Tiwari RC, Murray T, Ghafoor A, Samuels A, Ward E, et al.
Cancer Statistics, 2004. CA: A Cancer Journal for Clinicians.
2004;54(1):8-29.
4. Sadri M, McMahon J, Parker A. Laryngeal dysplasia: aetiology and
molecular biology. The Journal of Laryngology &#x0026; Otology. 2006
2006/03/01;120(3):170-7.
5. Talamini R, Bosetti C, La Vecchia C, Dal Maso L, Levi F, Bidoli E, et al.
Combined effect of tobacco and alcohol on laryngeal cancer risk: a
case–control study. Cancer Causes & Control. 2002;13(10):957-64.
6. Gillison ML, Koch WM, Capone RB, Spafford M, Westra WH, Wu L, et al.
Evidence for a Causal Association Between Human Papillomavirus and a
Subset of Head and Neck Cancers. Journal of the National Cancer
Institute. 2000 May 3, 2000;92(9):709-20.
7. Lentsch EJ. Management of cervical metastasis. Current Oncology
Reports. 2004;6(2):141.
8. Yousem DM, Gad K, Tufano RP. Resectability Issues with Head and Neck
Cancer. American Journal of Neuroradiology. 2006 November 1,
2006;27(10):2024-36.
9. Becker M, Zbären P, Laeng H, Stoupis C, Porcellini B, Vock P. Neoplastic
invasion of the laryngeal cartilage: comparison of MR imaging and CT
with histopathologic correlation. Radiology. 1995;194(3):661-9.
10. Spector GJ. Distant Metastases from Laryngeal and Hypopharyngeal
Cancer. ORL. 2001;63(4):224-8.
11. Žargi M, Šmid L, Fajdiga I, Bubnič B, Lenarčič J, Oblak P. Detection and
localization of early laryngeal cancer with laser-induced fluorescence:
Preliminary report. European Archives of Oto-Rhino-Laryngology.
1997;254(1):S113-S6.

Early Diagnosis and Current Treatment Paradigm in Head and Neck Surgery | 351
Agung Dinasti Permana,dr.,SpTHT-KL.,M.Kes

12. Fakhry C, Westra WH, Li S, Cmelak A, Ridge JA, Pinto H, et al. Improved
Survival of Patients With Human Papillomavirus–Positive Head and
Neck Squamous Cell Carcinoma in a Prospective Clinical Trial. Journal of
the National Cancer Institute. 2008 February 20, 2008;100(4):261-9.

352 | 2nd World Head & Neck Cancer Day


KARAKTERISTIK KARSINOMA NASOFARING
DI BAGIAN THT-KL RSUP
DR. MOEHAMMAD HOESIN PALEMBANG
PERIODE JANUARI 2013-DESEMBER 2015
Fivien Fedriani, Juwaika, Denny Satria Utama

Departemen Ilmu Kesehatan Telinga Hidung Tenggorok Bedah Kepala Leher


Fakultas Kedokteran Universitas Sriwijaya
Rumah Sakit Umum Pusat Moehammmad Hoesin Palembang

Abstrak

Latar belakang: Karsinoma nasofaring adalah tumor ganas yang tumbuh


didaerah nasofaring dengan predileksi di fossa Rossenmuller dan atap
nasofaring. Karsinoma nasofaring merupakan tumor ganas terbanyak
didaerah kepala leher. Tujuan: untuk mengetahui karakteristik karsinoma
nasofaring di RSUP Dr. Moehammad Hoesin Palembang. Metode:
penelitian ini bersifat deskriptif retrospektif menggunakan data rekam
medis pasien rawat jalan dan rawat inap di bagian THT-KL RSUP
Moehammad Hoesin Palembang periode Januari 2013-Desember 2015.
Hasil: Pada penelitian ini didapatkan jumlah pasien karsinoma nasofaring
periode Januari 2013 sampai Desember 2015 adalah 164 orang. Jenis
kelamin pasien karsinoma nasofaring terbanyak adalah laki-laki
(73,78%.).Usia pasien terbanyak berkisar pada rentang 41-50 tahun
(31.10%). Gambaran histopatologi pasien yang terbanyak adalah WHO IIB
(66,46%). Berdasarkan T pasien terbanyak adalah pada T4 (35,97%). Dari
gambaran N pasien terbanyak adalah N3 (36,59%). Sebanyak 98,78%
pasien belum mengalami metastasis jauh. Pasien terbanyak datang ke
klinik THT-KL sudah berada pada stadium 4 (65,25%). Pasien terbanyak
terbanyak mendapat regimen kemoterapi karboplatin dan docetaksel.

Kata kunci: karsinoma nasofaring, karakteristik

353
Fivien Fedriani, Juwaika, Denny Satria Utama

Abstract

Background: Nasopharyngeal carcinoma is a malignant tumor that grows


in the area with a predilection nasopharyngeal fossa Rossenmuller and roof
of the nasopharynx. Nasopharyngeal carcinoma is a malignant tumor of
the neck region head. Goals: to determine the characteristics of
nasopharyngeal carcinoma in Hospital Dr. Moehammad Hoesin
Palembang. Methods: This descriptive retrospective study using medical
records outpatient and inpatient at the THT-KL Hospital Palembang
Moehammad Hoesin period January 2013-December 2015. Results: In this
study, the number of patients with nasopharyngeal carcinoma period
January 2013 to December 2015 is 164. Gender highest nasopharyngeal
carcinoma patients were male (73.78%.). The age of patients ranged
highest in the range 41-50 years (31.10%). Histopathologic features that
most patients are WHO IIB (66.46%). Based T Most patients are in T4
(35.97%). From the picture N is N3 most patients (36.59%). A total of
98.78% of patients had distant metastases. Most patients come to the
clinic ENT-TOS is already at stage 4 (65.25%). Most patients receive
chemotherapy regimens most carboplatin and docetaksel.

Keywords: nasopharyngeal carcinoma, characteristics

LATAR BELAKANG
Karsinoma nasofaring masih menjadi masalah dalam bidang kesehatan. Di
Indonesia karsinoma nasofaring menempati kanker kelima terbanyak.
Karsinoma nasofaring adalah tumor ganas yang terbanyak pada daerah
kepala leher, diikuti oleh tumor ganas kavum nasi dan sinus paranasal,
tumor ganas laring, tumor ganas rongga mulut, tumor ganas tonsil, dan
tumor ganas hipofaring. Letak nasofaring pada tempat yang relatif
tersembunyi serta gejala yang ditimbulkan sering tidak khas, membuat
tumor ini sering terlambat di diagnosis. Pasien karsinoma nasofaring
1,2
biasanya datang dengan keluhan benjolan dileher.
Karsinoma nasofaring merupakan tumor ganas yang ditandai oleh
perubahan epitel mukosa nasofaring terutama pada fossa Rosenmuller dari

354 | 2nd World Head & Neck Cancer Day


Karakteristik Karsinoma Nasofaring di Bagian THT-KL RSUP
Dr. Moehammad Hoesin Palembang Periode Januari 2013-Desember 2015

epitel kuboid menjadi epitel skuamosa. Diagnosis karsinoma nasofaring


ditegakkan dari anamnesis, pemeriksaan fisik serta pemeriksaan
penunjang. Diagnosis pasti karsinoma nasofaring tetap dengan
pemeriksaan histopatologi. Anamnesis pada penderita nasofaring stadium
dini biasanya dijumpai gejala telinga terasa tertutup pada satu sisi dan
hidung tersumbat terus menerus. Pada stadium lanjut dapat ditemukan
2-4
epistaksis dan pembesaran kelenjar getah bening pada daerah leher.
Pemeriksaan fisik dengan telenasoendoskopi dapat dijumpai massa
pada nasofaring yang berasal dari fossa Rossenmuller. Pemeriksaan
penunjang yang dilakukan adalah tomografi komputer (TK) dan Magnetic
Resonance Imaging (MRI) nasofaring unuk mengetahui perluasan tumor.
Insiden tertinggi penderita karsinoma nasofaring di dunia terdapat di Cina
bagian selatan terutama daerah Guangdong dan Guangxi. Penderita
karsinoma nasofaring terbanyak berusia 40 sampai 50 tahun, walaupun
saat ini sudah banyak dijumpai karsinoma nasofaring diderita anak-anak
dan remaja. Karsinoma nasofaring lebih banyak ditemukan pada laki-laki,
dengan perbandingan penderita karsinoma nasofaring laki-laki dan
perempuan adalah 2-3:1. Novirianti di RSUP Dr. Moehammad Hoesin
2,3,4
Palembang melaporkan kasus karsinoma nasofaring sebanyak 42 orang.
Penatalaksanaan karsinoma nasofaring tergantung dengan
stadiumnya. Modalitas utama penatalaksanaan karsinoma nasofaring
adalah radioterapi dengan atau tanpa kemoterapi. Komplikasi karsinoma
nasofaring dapat diakibatkan baik oleh tumornya maupun oleh tindakan
pengobatan kanker nasofaringnya. Komplikasi karsinoma nasofaring
meliputi komplikasi dini dan komplikasi lanjut. Pada karsinoma nasofaring
stadium awal mempunyai prognosis yang kebih baik dibandingkan dengan
karsinoma nasofaring stadium lanjut. Karsinoma nasofaring mempunyai
prognosis yang lebih buruk pada stadium lanjut, usia lebih dari 40 tahun,
4,5,6
jenis kelamin laki-laki, dan ras China.

TUJUAN
Tujuan penelitian adalah untuk memberikan data demografis pasien
karsinoma nasofaring, stadium, regimen yang digunakan serta kemajuan

Early Diagnosis and Current Treatment Paradigm in Head and Neck Surgery | 355
Fivien Fedriani, Juwaika, Denny Satria Utama

terapi karsinoma nasofaring. Diharapkan dengan adanya data ini dapat


dijadikan data dasar untuk penelitian selanjutnya.

METODE
Metode yang digunakan ada penelitian ini adalah penelitian deskiriptif
retrospektif menggunakan data pasien rawat jalan dan rawat inap di
Bagian THT-KL RS Moehammmad Hoesin Palembang dari Januari 2013
sampai Desember 2015. Tempat penelitian dilakukan di Bagian THT-KL RS
Mohammad Husein Palembang. Pengambilan sampel secara consecutive
sampling dengan kriteria semua pasien karsinoma nasofaring dari bulan
Januari 2013 sampai dengan Desember 2015. Penelitian ini
mendeskripsikan data demografis pasien yang meliputi usia, jenis kelamin,
gambaran histopatologi, letak tumor berdasarkan gambaran tomografi
komputer, pembesaran nodul kelenjar getah bening, metastasis jauh,
stadium tumor pasien. Selain itu penelitian ini juga mendeskripsikan
regimen yang di gunakan dalam terapi karsinoma nasofaring dan keadaan
pasien saat ini. Hasil penelitian disajikan secara deskriptif dalam bentuk
narasi dan tabel.

HASIL
Berdasarkan data rekam medis bagian THT-KL RSMH Palembang, jumlah
penderita karsinoma nasofaring pada Januari 2013 sampai Desember 2015
sebanyak 164 orang. Pada laporan ini dari 164 orang pasien, 121 orang
(73,78%) berjenis kelamin laki-laki dan 43 orang (26,22%) berjenis kelamin
perempuan. Distribusi pasien karsinoma nasofaring berdasarkan jenis
kelamin dapat dilihat pada tabel 1.

Tabel 1. Karakteristik pasien karsinoma nasofaring berdasarkan jenis kelamin


Jenis kelamin N %
Laki-laki 121 73,78
Perempuan 43 26,22
Total 164 100

356 | 2nd World Head & Neck Cancer Day


Karakteristik Karsinoma Nasofaring di Bagian THT-KL RSUP
Dr. Moehammad Hoesin Palembang Periode Januari 2013-Desember 2015

Pada laporan kasus ini didapatkan kelompok usia pasien karsinoma


nasofaring terbanyak adalah 41-50 tahun sebanyak 51 orang (31,10%).
Kelompok usia penderita terbanyak berikutnya adalah 31-40 tahun
sebanyak 39 orang (23,78%), kelompok usia 51-60 tahun sebanyak 30
orang (18,30%), kelompok usia sama dengan atau diatas 61 tahun
sebanyak 19 orang (11,58%). Sedangkan kelompok usia 21-30 tahun
sebanyak 16 orang (9,76%), dan kelompok usia 11-20 tahun sebanyak 9
orang (5,48%). Distribusi pasien karsinoma nasofaring berdasarkan
kelompok usia dapat dilihat pada tabel 2.

Tabel 2. Karakteristik pasien karsinoma nasofaring berdasarkan usia


Usia (tahun) N %
11-20 9 5,48
21-30 16 9,76
31-40 39 23,78
41-50 51 31,10
51-60 30 18,30
≥ 61 19 11,58
Total 164 100

Berdasarkan gambaran histopatologi, pasien karsinoma nasofaring


terbanyak adalah karsinoma nasofaring WHO IIB sebanyak 109 orang
(66,46%). Selanjutnya gambaran histopatologi karsinoma nasofaring
terbanyak adalah WHO IIA sebanyak 50 orang (30,49%) dan WHO I
sebanyak 5 orang (3,05%). Distribusi pasien karsinoma nasofaring
berdasarkan gambaran histopatologi dapat dilihat pada tabel 3.

Tabel 3. Karakteristik pasien karsinoma nasofaring berdasarkan gambaran


histopatologi
Histopatologi N %
WHO I 5 3,05
WHO IIA 50 30,49
WHO IIB 109 66,46
WHO III 0 0
Total 164 100

Early Diagnosis and Current Treatment Paradigm in Head and Neck Surgery | 357
Fivien Fedriani, Juwaika, Denny Satria Utama

Dari gambaran tomografi komputer, letak tumornya gambaran


terbanyak adalah tumor T4 sebanyak 59 orang (35,97%), selanjutnya
gambaran tumor T3 sebanyak 56 orang (34,15%), gambaran tumor
terbanyak selanjutnya adalah T2 sebanyak 36 orang (21,95%), dan yang
terbanyak terakhir adalah gambaran T1 sebanyak 13 orang (7,93%).
Distribusi gambaran tumor berdasarkan tomografi komputer dapat dilihat
pada tabel 4.

Tabel 4. Karakteristik pasien karsinoma nasofaring berdasarkan tumor


Tumor n %
T1 13 7,93
T2 36 21,95
T3 56 34,15
T4 59 35,97
Total 164 100

Berdasarkan gambaran metastasis nodul kelenjar getah bening


leher, pada laporan ini didapatkan nodul terbanyak yaitu nodul N3
sebanyak 60 orang (36,59%). Selanjutnya terbanyak kedua nodulnya N2
sebanyak 51 orang (31,10%), nodul N1 sebanyak 34 orang (20,73%) dan N0
sebanyak 19 orang (11,58%). Distribusi pasien karsinoma nasofaring
berdasarkan nodul kelenjar getah bening leher dapat dilihat pada tabel 5.

Tabel 5. Karakteristik pasien karsinoma nasofaring berdasarkan nodul


Nodul n %
N0 19 11,58
N1 34 20,73
N2 51 31,10
N3 60 36,59
Total 164 100

Pada laporan ini, pasien karsinoma nasofaring terbanyak adalah


karsinoma nasofaring stadium 4 sebanyak 107 orang (65,25%). Pasien

358 | 2nd World Head & Neck Cancer Day


Karakteristik Karsinoma Nasofaring di Bagian THT-KL RSUP
Dr. Moehammad Hoesin Palembang Periode Januari 2013-Desember 2015

dengan karsinoma nasofaring stadium 3 sebanyak 32 orang (19,51%),


karsinoma nasofaring stadium 2 sebanyak 20 orang (12,19%) dan
karsinoma nasofaring stadium 1 sebanyak 5 orang (3,05%). Distribusi
pasien karsinoma nasofaring berdasarkan stadiumnya dapat dilihat pada
tabel 6.

Tabel 6. Karakteristik pasien karsinoma nasofaring berdasarkan stadium


Stadium N %
I 5 3,05
II 20 12,19
III 32 19,51
IV 107 65,25
Total 164 100

Berdasarkan gambaran metastasis jauh, dari 164 pasien karsinoma


nasofaring, sebanyak 162 orang (98,78%) tidak ada metastasis jauh dan
sebanyak 2 orang (1,22%) terdapat metastasis jauh. Distribusi pasien
karsinoma nasofaring berdasarkan gambaran metastasis jauh dapat dilihat
pada tabel 7.

Tabel 7. Karakteristik pasien karsinoma nasofaring berdasarkan metastasis


Metastasis n %
M0 162 98,78
M1 2 1,22
Total 164 100

Berdasarkan regimen kemoterapi yang di dapat pasien karsinoma


nasofaring, sebanyak 106 orang (64,63%) mendapat regimen kombinasi
carboplatin dan docetaxel. Sebanyak 38 orang (23,17%) mendapat regimen
kombinasi cetuximab, carboplatin dan docetaxel. Pasien yang mendapat
regimen kemoterapi kombinasi eloxatin dan docetaxel sebanyak 8 orang
(4,88%), sebanyak 6 orang (3,66%) menolak kemoterapi, dan 6 orang
(3,66%) tidak sempat mendapat kemoterapi karena meninggal (tabel 8).

Early Diagnosis and Current Treatment Paradigm in Head and Neck Surgery | 359
Fivien Fedriani, Juwaika, Denny Satria Utama

Tabel 8. Karakteristik pasien karsinoma nasofaring berdasarkan regimen


kemoterapi
Regimen N %
Carboplatin + Docetaxel 106 64,63
Cetuximab + Carboplatin+Docetaxel 38 23,17
Eloxatin+Docetaxel
Menolak kemoterapi 8 4,88
Belum sempat kemoterapi 6 3,66
6 3,66
Total 164 100

Berdasarkan respon dan keadaan pasien terhadap terapi, pasien


karsinoma nasofaring saat ini yang meninggal sebanyak 48 orang (29,27%).
Sebanyak pasien 6 orang (3,65%) respon komplit dan menjadi stadium
T0N0M0, sebanyak 65 orang (39,03%) mengalami kemajuan terapi, 15
orang (9,15%) tidak respon terhadap terapi dan 31 orang (18,9%) yang
tidak kontrol lagi. Distribusi pasien karsinoma nasofaring berdasarkan
respon terhadap terapi dan keadaan saat ini dapat dilihat pada tabel 9.

Tabel 9. Karakteristik pasien berdasarkan respon terhadap dan keadaan


saat ini
Keadaan pasien n %
Meninggal 48 29,2
Respon komplit 6 3,65
Respon terapi 64 39,03
Tidak respon 15 9,15
Tidak kontrol 31 18,9
Total 164 100

DISKUSI
Karsinoma nasofaring masih merupakan masalah yang umum di negara
berkembang. Di dunia terdapat 65.000 kasus baru tiap tahun. Pada laporan
ini didapatkan jumlah pasien karsinoma nasofaring dari tahun 2013 sampai
tahun 2015 sebanyak 164 orang. Prevalensi karsinoma nasofaring lebih
dari 80% berada di China bagian selatan dan Asia tenggara. Di Inggris angka

360 | 2nd World Head & Neck Cancer Day


Karakteristik Karsinoma Nasofaring di Bagian THT-KL RSUP
Dr. Moehammad Hoesin Palembang Periode Januari 2013-Desember 2015

kejadian karsinoma nasofaring ditemukan sebanyak 0,5 dari 100.000


penduduk, dan sekitar 1-2% dari seluruh keganasan daerah kepala leher.
Sedangkan di Amerika ditemukan 2000 kasus baru pertahun.. Di Indonesia,
karsinoma nasofaring menempati urutan pertama kanker kepala leher.
Prevalensinya terus meningkat di duga karena meningkatnya konsumsi
1,2,4
makanan berpengawet dan keadaan sosial ekonomi yang buruk.
Pada laporan ini didapatkan hasil bahwa karsinoma nasofaring lebih
banyak diderita oleh laki-laki dibanding perempuan dengan rasio 3:1.
Menurut penelitian yang dilakukan oleh Adham M dkk, disebutkan bahwa
angka kejadian karsinoma nasofaring lebih banyak diderita laki-laki
dibanding perempuan dengan rasio 2-3:1. Hal ini sedikit menjelaskan
bahwa karsinoma nasofaring dipengaruhi oleh jenis kelamin. Hal ini
mungkin disebabkan karena beberapa faktor penyebab karsinoma
nasofaring sering ditemukan pada laki-laki, seperti kebiasaan merokok,
7
minum alcohol, dan paparan debu kayu.
Pada penelitian ini di dapatkan hasil bahwa pasien karsinoma
nasofaring terbanyak pada kelompok usia 41-50 tahun dengan jumlah 51
orang. Menurut penelitian Yurnadi dkk disebutkan bahwa karsinoma
nasofaring lebih banyak menyerang usia antara 40-50 tahun, hal ini
mungkin dapat dijelaskan oleh patogenesis terjadinya karsinoma
nasofaring karena proses yang kronis. Sel yang normal bertranformasi
menjadi sel kanker karena mutasi spontan atau induksi karsinogen. Diduga
penyebab utama karsinoma nasofaring adalah konsumsi makanan
berpengawet yang mengandung zat nitrosamin seperti ikan asin, dan ikan
yang di awetkan dengan pengasapan. Selain itu faktor lingkungan seperti
udara yang kotor dan pengap serta lingkungan yang kumuh juga diduga
8
berperan pada kejadian karsinoma nasofaring.
Pada laporan ini didapatkan gambaran histopatologi karsinoma
nasofaring terbanyak adalah tipe WHO IIB sebanyak 109 orang. Penelitian
yang dilakukan oleh Yenita dkk di Sumatera Barat, di dapatkan bahwa
gambaran histopatologi karsinoma nasofaring terbanyak adalah WHO IIB.
Dari penelitian ini di dapatkan bahwa gambaran WHO IIB terdapat 87
orang atau 61,28 %, WHO IIA sebanyak 50 orang (35,2%), dan WHO I

Early Diagnosis and Current Treatment Paradigm in Head and Neck Surgery | 361
Fivien Fedriani, Juwaika, Denny Satria Utama

sebanyak 5 orang (3,52%). Gambaran WHO IIB mempunyai prognosis yang


9
lebih baik.
Pada laporan ini didapatkan gambaran tomografi komputer pasien
terbanyak yaitu T4 sebanyak 59 orang, gambaran T3 sebanyak 45 orang,
gambaran T2 sebanyak 30 orang, dan gambaran T1 sebanyak 11 orang.
Tempat nasofaring yang tersembunyi dan gejala yang kadang tidak khas
sering membuat pasein datang sudah dalam keadaan tumor yang besar.
Dari gambaran nodul kelenjar getah bening leher, didapatkan bahwa
pasien terbanyak dengan pembesaran kelenjar getah bening N3 sebanyak
47 orang, N3 sebanyak 41 orang, N1 sebanyak 39 orang, dan N0 sebanyak
15 orang. Kelenjar getah bening leher yang dirasakan tidak nyeri sering
menyebabkan pasien mengabaikan keluhan dileher. Selain itu benjolan
yang membesar perlahan juga sering membuat pasien mengabaikan gejala
benjolan di lehernya, sehingga pasien datang sudah dalam stadium yang
lanjut. Pada penelitian yang dilakukan Novirianty di RSUP Dr. Moehammad
Hoesin Palembang tahun 2013 didapatkan sebanyak 16 orang (38,09%)
10
pasien karsinoma nasofaring datang dengan pembesaran nodul N3.
Pada laporan ini didapatkan sebanyak 107 orang pasien datang
dengan stadium 4, 32 orang dengan stadium 3, 20 orang datang dengan
stadium 2, dan 5 orang datang dalam stadum 1. Pada penelitian yang
dilakukan oleh Li dkk, pasien datang dalam stadium lanjut sebanyak
42,25%. Penelitian lain yang dilakukan Adelien di RSUP Dr. Moehammad
Hoesin Palembang menyebutkan sebanyak 84,1% pasien datang pada
stadium lanjut (stadium III dan IV). Faktor ketidak tahuan pasien, tempat
nasofaring yang tersembunyi, gejala yang tidak khas dari karsinoma
nasofaring sering membuat pasien datang sudah dalam stadium
lanjut.Selain itu gejala benjolan dileher yang dirasakan tidak nyeri sering
11
membuat pasien mengabaikan penyakitnya.
Pada laporan ini dari gambaran metastasis jauh, di dapatkan 2
orang pasien yang bermetastasis jauh dan 162 orang tidak bermetastasis
jauh. Metastasis jauh jarang didapatkan pada pasien karsinoma nasofaring.
Seperti laporan Li dkk, metastasis jauh pada hepar ditemukan pada 1
orang, metastasis pada paru sebanyak 3 orang dari 351 pasien pada
12
penelitiannya.

362 | 2nd World Head & Neck Cancer Day


Karakteristik Karsinoma Nasofaring di Bagian THT-KL RSUP
Dr. Moehammad Hoesin Palembang Periode Januari 2013-Desember 2015

Regimen kemoterapi terbanyak yang digunakan untuk terapi


karsinoma nasofaring pada penelitian ini adalah kombinasi regimen
carboplatin dan docetaxel sebanyak 106 orang. Sedangkan regimen
kombinasi cetuximab, carboplatin, dan docetaxel sebanyak 38 orang, dan
yang mendapat regimen terapi kombinasi oxaliplatin dan carboplatin
sebanyak 8 orang. Carboplatin adalah analog dari cisplatin. Obat ini
dikembangkan karena efek toksik cisplatin pada ginjal dan serabut syaraf.
Carboplatin menimbulkan efek samping mual, neurotoksisitas,
ototoksisitas, dan nefrotoksisitasyang lebih ringan dibanding cisplatin,
tetapi lebih banyak muncul efek mielosupresi, terutama trombositopenia.
Cetuximab digunakan sebagai terapi target. Cetuximab digunakan pada
12,13
terapi inisial pada lokoregional karsinoma nasofaring stadium lanjut.

SIMPULAN
Pada penelitian ini didapatkan jumlah pasien karsinoma nasofaring periode
Januari 2013 sampai Desember 2015 adalah 164 orang. Jenis kelamin
pasien karsinoma nasofaring terbanyak adalah laki-laki (73,78%.).Usia
pasien terbanyak berkisar pada rentang 41-50 tahun (31.10%). Gambaran
histopatologi pasien yang terbanyak adalah WHO IIB (66,46%).
Berdasarkan T pasien terbanyak adalah pada T4 (35,97%). Dari gambaran N
pasien terbanyak adalah N3 (36,59%). Sebanyak 98,78% pasien belum
mengalami metastasis jauh. Pasien terbanyak datang ke klinik THT-KL
sudah berada pada stadium 4 (65,25%). Pasien terbanyak terbanyak
mendapat regimen kemoterapi karboplatin dan docetaksel.

SARAN
Karsinoma nasofaring seringkali terlambat terdeteksi. Sehingga perlu
adanya sosialisasi kepada tenaga kesehatan layanan primer agar lebih
menyadari serta mampu mendeteksi lebih dini. Sehingga pasien dapat
ditata laksana lebih cepat dan memiliki prognosis lebih baik. Walaupun
karsinoma nasofaring masih merupakan masalah yang umum sampai saat
ini usaha untuk mencegah terjadinya penyakit ini belum menunjukkan hasil
yang maksimal. Terdapat beberapa upaya pencegahan karsinoma

Early Diagnosis and Current Treatment Paradigm in Head and Neck Surgery | 363
Fivien Fedriani, Juwaika, Denny Satria Utama

nasofaring diantaranya pemberian vaksinasi pada penduduk yang tinggal


didaerah dan ras tertentu yang mempunyai resiko tinggi. Melakukan pola
hidup sehat dengan tidak mengkonsumsi makanan berpengawet terutama
ikan asin dalam jangka waktu yang lama. Memberikan penyuluhan tentang
makanan yang sehat, cara pengawetan makanan yang benar, dan cara
hidup sehat lainnya.

DAFTAR PUSTAKA
1. Roezin A, Adham M. Karsinoma nasofaring. Dalam: Soepardi EA,
Iskandar N. Buku ajar ilmu kesehatan telinga hidung tenggorok kepala
leher. Edisi ketujuh. Jakarta: Balai penerbit FK UI; 2012. H.158-163
2. Wei WI. Nasopharyngeal cancer. In: Bailey BJ, Johnson JT, newland SD,
th
editors. Head and neck surgery-otolaryngology, 5 ed. Philadelphia:
Lippincott Williams and Wilkins,; 2012.120 p.1875-1890.
3. Plant Randal. Neoplasm of the Nasopharynx. In Ballengers
Otorhinolaryngology Head and Neck Surgery . 17 edition. Connecticut:
BC Decker Ink ; 2009;96; Pg 1081-1089
4. Ruckerstein MJ. Nasopharyngeal Carcinoma. In: Comprehensive Review
of Otolaryngology, 2014. Saunders.p.197-198.
5. Ganzer U, Arnold A. Tumours of the nasopharynx In: Anniko M,
Sprekelsen BM, Bonkowsky V, Bradley P, Lurato S, editors,. In:
Otorhinolaryngology, Head & Neck Surgery, European Manual of
Medicine, Springer,2 P. 328-329.
6. Lee N, Romanyshyn J, Caria N, Setton J. Benign & Malignat lesions of
The Oral Cavity, Oropharynx & Nasopharynx. In Lalwani AK, editors. In:
Current Diagnosis and treatment in otolaryngology-head and neck
surgery. Third Edition, Lange, 2012, p. 377-386.
7. Tan KB, Putti TC. Cyclooxygenase-2 expression in nasopharyngeal
carcinoma: immunohistochemical finding and potential implications. J
Clin Pathol 2015;589:535-538
8. Forastiere AA, Ang K, Brizel D, et al. Clinical practice guidelines in
oncology head and neck cancers. V.2.2011. National Comprehensive
Cancer Network (NCCN). [Cited January 2012]. Available from
http://www.nccn.org

364 | 2nd World Head & Neck Cancer Day


Karakteristik Karsinoma Nasofaring di Bagian THT-KL RSUP
Dr. Moehammad Hoesin Palembang Periode Januari 2013-Desember 2015

9. Soetjipto D. Karsinoma nasofaring, mungkinkah melakukan diagnosis


dini? Dalam: Kumpulan naskah ilmiah PIT Perhati. Bukittinggi;.h.284-
96.(ade)
10. Fachiroh J, Schouten T, Hariwiyanto B. Molecular diversity of Ebstein
barr virus IgG and IgA antibody responses in nasopharyngeal
carcinoma: a comparisons of Indonesian, Chinnese and European
subject. The Journal of Infectious Disease 2014; 190(1): 53-62
11. Lin HS. Malignat nasopharyngeal tumors. Updated April 2, 2012. [Cited
January 2012] Available from http://emedicine.medscape.com/
article/848163-overview
12. Licitra L, Bernier J, Cvitkovic, et al. Cancer of the nasopharynx. Critical
Reviews in Oncology/Hematology 2013;45:199-214
Fachiroh J, Schouten T, Hariwiyanto B. Molecular diversity of Ebstein barr
virus IgG and IgA antibody responses in nasopharyngeal carcinoma: a
comparisons of Indonesian, Chinnese and European subject. The
Journal of Infectious Disease 2014; 190(1): 53-62.

Early Diagnosis and Current Treatment Paradigm in Head and Neck Surgery | 365
ISBN 602087706-X

9 786020 877068

Anda mungkin juga menyukai