Prosiding
Editor :
Dr. Yussy Afriani Dewi, dr., M.Kes., Sp.THT-KL (K), FICS
Sintasari Ratunanda, dr., M.Kes., Sp.THT-KL (K)
FK Universitas Padjadjaran
RSUP dr. Hasan Sadikin
PERHATI-KL Cabang Jawa Barat
PROSIDING
2nd World Head & Neck Cancer Day
Early Diagnosis and Current Treatment Paradigm in
Head and Neck Surgery
Bandung, 27 – 28 Juli 2016
Editor :
Dr. Yussy Afriani Dewi, dr., M.Kes., Sp.THT-KL (K), FICS
Sintasari Ratunanda, dr., M.Kes., Sp.THT-KL (K)
Diterbitkan oleh :
Fakultas Kedokteran Universitas Padjajaran
Jl. Eijkman No. 38 Bandung 40161
Telp. 022 – 2037823
http://www.fk.unpad.ac.id
e-mail : konaspdfi2016@gmail.com
Copyright © 2016
ISBN : 978-602-0877-06-8
Puji syukur kehadirat Allah SWT atas limpahan rahmat dan karunianya
sehingga buku Early Diagnosis and Current Treatment Paradigm in Head
and Neck Surgery ini dapat diselesaikan. Buku panduan ini merupakan
kumpulan makalah-makalah yang telah ditampilkan dalam acara
nd
Symposium and Workshop 2 World Head&Neck Cancer Day yang
dilaksanakan pada bulan Juli 2016 lalu. Diharapkan dapat menjadi
pedoman bagi seluruh dokter umum dan dokter spesialis THT-KL dalam
mendiagnosis serta menangani kasus keganasan di daerah kepala dan
leher serta memberikan petunjuk praktis agar para dokter umum baik yang
bertugas di rumah sakit maupun Puskesmas mampu untuk melakukan
deteksi dini pada keganasan kepala leher.
Semoga buku ini dapat memberi maanfaat bagi seluruh dokter umum dan
Spesialis THT-KL khususnya dan bagi semua pihak yang membutuhkan.
iii
iv
DAFTAR ISI
Nasoendoskopi ...................................................................................... 7
Tiroidektomi .......................................................................................... 39
Dr. Yussy Afriani Dewi, Sp.THT-KL(K).,M.Kes.,FICS
v
Tumor Mata dan Orbita ........................................................................ 147
Ratika, Puti Ayu Tiara, Sonie Umbara, Lenora Sandra, Grace F.
Sulaeman, Angga Kartiwa, Shanti Boesoirie, M. Rinaldi Dahlan,
Kautsar Boesoirie
vi
Pembedahan Tumor Parotis yang Ekstensi ke Canalis Akusticus
Eksternus ............................................................................................... 267
Dina Riana, Agung Dinasti Permana, Arif Dermawan
vii
Karakteristik Karsinoma Nasofaring di Bagian THT-KL RSUP Dr.
Moehammad Hoesin Palembang Periode Januari 2013-Desember
2015 ...................................................................................................... 353
Fivien Fedriani, Juwaika, Denny Satria Utama
viii
RINOSKOPI POSTERIOR
B. Persiapan
Cuci tangan dengan sabun antiseptik dan keringkan dengan tisu
kering
Untuk perlindungan pribadi : gunakan sarung tangan dan masker
Gunakan Lampu kepala
1
Rinoskopi Posterior
B. Persiapan
Cuci tangan dengan sabun antiseptik dan keringkan dengan tisu
kering
Untuk perlindungan pribadi : gunakan sarung tangan dan
masker
Memasang Lampu Kepala
3
Laringoskopi Indirek
B. Persiapan
Cuci tangan dengan sabun antiseptik dan keringkan dengan tisu
kering
Untuk perlindungan pribadi : gunakan sarung tangan dan masker
Atur posisi pasien dapat duduk atau berbaring
5
Prosedur Rinolaringoskopi Serat Lentur
D. Pasca Tindakan
Observasi terjadinya epistaksis
Pasien diperbolehkan makan dan minum minimal 30 menit
setelah tindakan untuk menunggu hilangnya efek anastesi
topikal pada faring
B. Persiapan
Cuci tangan dengan sabun antiseptik dan keringkan dengan tisu
kering
Untuk perlindungan pribadi : gunakan sarung tangan dan masker
Atur posisi pasien dapat duduk atau berbaring
7
Prosedur Nasoendoskopi
TAHAP KEDUA
Endoskop dimasukkan lagi mengikuti sisi bawah konka media atau
di antara konka inferior dan konka media.
Perhatikan adanya sel agger nasi, letaknya di anterosuperior
konka media.
Perhatikan bentuk konka media : apakah atrofi, eutrofi,
hipertrofi, konka bulosa, lengkungnya paradoksikal, bilobus
dsb.
Perhatikan prosesus unsinatus, batas anteriornya ditandai
oleh cekungan kecil berbentuk bulan sabit dan perubahan
warna yang lebih pucat di dinding lateral kavum nasi. Batas
anterior ini kira-kira parallel dengan tepi anterior konka media.
Cari tepi bebas prosesus unsinatus (merupakan batas anterior
hiatus semilunaris) Di belakangnya terdapat bula etmoid.
Kenali fontanel anterior dan fontanel posterior.Bila ada
lubang pada fontanel anterior atau posterior, berarti ini ostium
assesorius sinus maksila (karena ostium alaminya terletak di
balik prosesus uncinatus bagian inferior dan baru bisa dilihat
kalau prosesus uncinatus sudah diangkat).
Perhatikan perlengkatan konka media bagian posterior dengan
lamina basalis, yang menghubungkan konka media dengan
dinding lateral hidung.
Coba cari dinding belakang bula, kadang-kadang ada celah di
antara dinding belakang bula dengan lamina basalis (disebut
resesus retrobula atau sinus lateralis).
TAHAP TIGA
Endoskop diarahkan ke dinding posterior kavum nasi di atas nares
posterior, antara konka media dan septum.Lihat dari bawah ke
atas.
Perhatikan konka superior dan meatus superior.
Cari lubang-lubang yang merupakan muara sinus etmoid
posterior
Perhatikan resessus sfeno-etmoidalis
Cari muara sinus sphenoid, Letaknya kira-kira 1 cm di atas
koana. Kadang-kadang tersembunyi di belakang konka
superior sehingga untuk melihatnya konka superior harus
dipotong dulu.
Endoskop ditarik keluar kembali mengikuti tepi bawah konka
media dengan diarahkan ke superior (sambil memperhatikan
kembali struktur yang sudah dilihat tadi) :
Di medial konka media perhatikan lamina kribrosa.
Mukosa olfaktorius warnanya lebih kekuning-kuningan
Di depan prosesus unsinatus, coba cari resesus frontalis.
Kadang-kadang ostium sinus frontal dapat dilihat.
Early Diagnosis and Current Treatment Paradigm in Head and Neck Surgery | 9
Prosedur Nasoendoskopi
Definisi
Karsinoma nasofaring adalah keganasan yang berasal dari epitel atau
1
mukosa dan kripta yang melapisi permukaan nasofaring. Lesi awal
keganasannya terletak pada fossa Rosenmuller yang merupakan epitel sel
skuamosa di sekitar tuba Eustachius dinding lateral dan atap nasofaring,
2, 3
serta daerah tuba Eustachius sendiri.
Epidemiologi
Karsinoma nasofaring mempunyai distribusi yang berbeda berdasarkan
letak geografi dan kebiasaan hidup, jarang terjadi di beberapa negara
tertentu seperti Amerika Serikat dan Eropa dengan insidens sebesar 0,5
4, 5
dan 1 kasus per 100.000 populasi per tahun. Prevalensi tinggi terdapat di
4
Cina dan Hongkong yaitu 25 kasus per 100.000 populasi per tahun. Di
daerah Asia (Thailand, Filipina, Malaysia) sebanyak 8 kasus per 100.000
6
populasi per tahun. Insiden KNF di Taiwan dan Singapura tergolong tinggi
yaitu 18,1 dan 7,4 per 100.000 penduduk per tahun. Suatu penelitian di
Taiwan menunjukkan bahwa KNF merupakan kegasanan didaerah kepala
dan leher terbanyak sebesar 42%. Sedangkan di Selangor, Malaysia
didapatkan insidens KNF pada orang Cina sebesar 17,3 per 100.000
penduduk laki-laki dan 7,3 per 100.000 penduduk perempuan per tahun.
Insidens KNF yang relatif tinggi didapatkan pada orang Eskimo di Alaska
yaitu 13,5 per 100.000 penduduk laki-laki dan 3,7 per 100.000 penduduk
7, 8
perempuan per tahun. Keunikan insidens inilah yang melatarbelakangi
9
pemikiran keterkaitan KNF dengan faktor risiko tertentu.
11
Dr. Yussy Afriani Dewi, dr., M.Kes., SpTHT-KL(K)., FICS
Histopatologi
Mukosa nasofaring saat lahir dilapisi oleh pseudostratified kolumnar
epitelium, pada usia sekitar 10 tahun berubah menjadi stratified skuamosa
epitelium. Pada dinding lateral nasofaring terdapat daerah yang
merupakan tempat transisi pertemuan kedua jenis epitel ini yang
berpotensi menjadi ganas. Membran mukosa nasofaring berisi jaringan
limfoid dan kelenjar air liur minor yang bisa menjadi asal keganasan di
11
nasofaring.
World Health Organization (WHO) membagi KNF atas tiga tipe. Tipe
I adalah karsinoma sel skuamosa dengan keratinisasi berdiferensiasi baik
sampai sedang dan menghasilkan banyak keratin di dalam maupun luar sel.
Tipe II yaitu karsinoma sel skuamosa tanpa keratinisasi dengan diferensiasi
baik dan sedang. Seringkali menyerupai gambaran karsinoma sel
transisional. Tipe III adalah KNF yang tidak berdiferensiasi, dikenal juga
12, 13
dengan tipe anaplastik dan berdiferensiasi buruk. Karsinoma jenis ini
mempunyai kemampuan invasi dan metastasis dibanding dengan tipe yang
lain, berhubungan erat dengan jaringan limfoid disebut sebagai
11
limfoepitelioma.
WHO tipe III merupakan tipe histopatologi yang paling sering dan
5
endemik, terutama di Asia Tenggara. Di RSHS Bandung tahun 2010-2014
10
ditemukan WHO tipe III sebanyak 57,3%.
Diagnosis
Diagnosis KNF dapat ditegakkan berdasarkan gejala klinis, pemeriksaan
14
nasofaring, radiologi, serologi, dan histopatologi.
1. Gejala Hidung
Gejala hidung ini memang sangat membingungkan dokter maupun petugas
kesehatan lain, terutama bila tumornya masih kecil. Pada KNF stadium dini
(tumor di nasofaring masih kecil) gejalanya mirip dengan beberapa penyakit
hidung lainnya seperti flu /rinitis akut atau kronik, nasofaringitis akut/kronik,
sinusitis dan sebagainya. Gejalanya dapat berupa pilek yang lama, keluar sekret
atau ingus yang banyak, dapat nanah encer, kental atau berbau. Ingus yang
keluar kadang-kadang bercampur darah waktu disisikan atau darah (sedikit)
itu keluar spontan. Tumor yang makin besar akan menimbulkan gejala yang
lebih nyata berupa pilek yang lama (kronis), ingus kental dan berbau busuk,
keluarnya darah dari rongga hidung (epitaksis) yang makin sering dan dalam
jumlah yang lebih banyak (profus) disertai buntu hidung dan suara bindeng.
15
Gejala hidung ini dilaporkan sekitar 56% - 79 %.
2. Gejala Telinga
Pertumbuhan tumor (kecil) di nasofaring akan menimbulkan gejala telinga
biasanya berupa telinga terasa penuh seperti terisi air, rasa tak enak, ada suara
mendengung atau gemrebeg (tinitus), dan nyeri telinga. Gangguan telinga ini
sebagai akibat oklusi tuba Eustachius, atau otitis media efusi atau supuratif.
Gejala lainnya adalah penurunan pendengaran yang biasanya tipe konduksi.
Berbagai gejala telinga ini terjadi sebagai akibat perluasan atau pendesakan
tumor disekitar tuba Eustachius, sehingga terjadi sumbatan.
Walaupun letak tuba relatif dekat dengan fosa Rosenmuller atau induk
kanker, tetapi gejala telinga relatif lebih jarang dibandingkan gejala tumor
metastase di leher (tumor leher). Gangguan pendengaran akibat kanker di
Early Diagnosis and Current Treatment Paradigm in Head and Neck Surgery | 13
Dr. Yussy Afriani Dewi, dr., M.Kes., SpTHT-KL(K)., FICS
4. Gejala Mata
Penderita mengeluh kurang penglihatan, tetapi bila ditanyakan secara teliti,
penderita akan menerangkan bahwa melihat barang/benda menjadi dua
atau dobel. Jelas disini yang dimaksudkan adalah diplopi. Timbulnya gejala
diplopi ini oleh karena lumpuhnya (paresis) N. VI yang terletak diatas foramen
laserum sebagai akibat perluasan kanker kearah endokranium. Keadaan lain
yang dapat memberikan gejala diplopi yaitu kelumpuhan N.III dan N.IV,.
Early Diagnosis and Current Treatment Paradigm in Head and Neck Surgery | 15
Dr. Yussy Afriani Dewi, dr., M.Kes., SpTHT-KL(K)., FICS
DIAGNOSIS
Diagnosis ditegakkan berdasarkan anamnesis, pemeriksaan klinis,
pemeriksaan nasofaring, biopsi nasofaring dan foto radiologi.
Early Diagnosis and Current Treatment Paradigm in Head and Neck Surgery | 17
Dr. Yussy Afriani Dewi, dr., M.Kes., SpTHT-KL(K)., FICS
2. Pemeriksaan Nasofaring
Pemeriksaan tumor primer di nasofaring dapat dilakukan dengan cara
rinoskopi posterior dan nasofaringoskopi. Pemeriksaan dengan rinoskopi
posterior sering ditemukan kesulitan karena yang dilihat hanya berupa
gambaran atau bayangan pada kaca. Diperlukan pemeriksaan
nasofaringoskopi dengan flexible fibrescope atau endoskop hopkins kaku
0 0 11, 14
0 dan 30 .
Pemeriksaan nasofaring yang dikerjakan dengan teliti merupakan prosedur
yang sangat penting. Pemeriksaan nasofaring dapat dilakukan dengan
15
berbagai cara yaitu:
Early Diagnosis and Current Treatment Paradigm in Head and Neck Surgery | 19
Dr. Yussy Afriani Dewi, dr., M.Kes., SpTHT-KL(K)., FICS
Gambar 2. Cara RP dengan bantuan kateter nelaton untuk menarik palatum mole.
b. Nasofaringoskopi langsung
Disini dilakukan pemeriksaan nasofaring secara langsung (direkta) yaitu
menggunakan alat endoskop/nasofaringoskop kaku (rigid
nasopharyngoscope). Alat ini terdiri dari berbagai sudut pencahayaan,
biasanya dihubungkan dengan sumber cahaya dan monitor TV.
Penggunaan alat ini dapat melalui hidung (transnasal), atau mulut (trans
oral). Ada berbagai macam nasofaringoskop yaitu berbagai sudut
pencahayan, dilengkapi cunam / forsep biopsi (lurus, ujungnya bengkok
keatas, kekanan atau kekiri.) dan retraktor uvula. Pemeriksaan nasofaring
secara langsung juga dapat dengan menggunakan endoskop lentur yang
disebut fiberoptic nasolaryngoscope, dengan atau tanpa dilengkapi lobang
Early Diagnosis and Current Treatment Paradigm in Head and Neck Surgery | 21
Dr. Yussy Afriani Dewi, dr., M.Kes., SpTHT-KL(K)., FICS
untuk biopsi. Alat lentur ini dapat digunakan untuk memeriksa rongga
hidung, nasofaring dan laring. Dengan demikian selain melihat secara
langsung (avue), dapat dilakukan biopsi tumor di nasofaring dengan
mudah (tepat/akurat). Alat-alat ini (canggih) harganya mahal.
Gambar 5. Cunam biopsi nasofaring tanpa teleskop (bentuk lurus dan bengkok ke atas)
Gambar 7. Fibernasolaringoskop
Early Diagnosis and Current Treatment Paradigm in Head and Neck Surgery | 23
Dr. Yussy Afriani Dewi, dr., M.Kes., SpTHT-KL(K)., FICS
3. Biopsi nasofaring
Diagnosis pasti KNF ditegakkan berdasarkan hasil pemeriksaan
jaringan tumor di nasofaring (ditemukan sel-sel ganas) yang diperoleh dari
3. 1 Biopsi
Pada prinsipnya biopsi adalah pengambilan sebagian jaringan yang
dicurigai mengandung penyakit/kanker. Dikenal beberapa cara melakukan
biopsi :
a. Biopsi Buta
Alat-alat yang digunakan untuk melakukan biopsi buta (blind biopsy) adalah
sama dengan alat-alat untuk memeriksa nasofaring indirekta (lampu kepala,
spekulum hidung, kaca laring kecil, pinset kecil bengkok, lampu spiritus,
penekan lidah) ditambah cunam / tang biopsi. Cunam biopsi yang baik
adalah tang biopsi khusus nasofaring (misalnya forsep Blakesley).
Cara :
Rongga hidung di tempat akan dilakukan biopsi diberi anastesia lokal
dengan cara aplikasi kapas yang telah dibasahi obat pemati rasa seperti
larutan kokain 5%, pantokain 1%, prokain 2%, atau xylocain spray 10%.
Aplikasi obat anestesi dilakukan 2 kali masing-masing ± 5 menit.
Setelah kapas aplikasi diambil, dimasukkan tang/cunam biopsi ke
dalam hidung menyusuri dasar rongga hidung ke belakang sampai
menyentuh dinding belakang nasofaring. Kemudian ujung tang biopsi
digeserkan kesamping mengikuti dinding lateral sambil ditarik ke depan
perlahan-lahan. Penarikan tang biopsi ke depan ± 1 cm. Kira-kira di belakang
koana dan ± 1cm dari dinding belakang, diraba dimana kira-kira letak tumor
atau dicari fosa Rosenmulleri. Setelah menurut perasaan ujung tang biopsi
sudah tepat pada tumor, dilakukan pengambilan sebagian jaringan yang
Early Diagnosis and Current Treatment Paradigm in Head and Neck Surgery | 25
Dr. Yussy Afriani Dewi, dr., M.Kes., SpTHT-KL(K)., FICS
tumor, teknik endoskopik ini lebih akurat karena sensitivitas cara ini
sebesar 95 %.
Cara:
Awalnya dilakukan penyemprotan obat anestesi seperti Xylocaine 10%
spray. pada palatum mole, orofaring dan nasofaring. Lidah ditekan periahan-
lahan dengan penekan lidah. Teleskop / nasofaringoskop yang dilengkapi tang
biopsi dimasukkan dengan menyusuri spatula lidah secara pelan-pelan
menuju nasofaring. Dengan melihat pada optik diarahkan ujung tang biopsi
ke tumor atau ke tempat yang dicurigai. Jaringan diambil sebanyak mungkin,
untuk menghindari kemungkinan ulangan biopsi. Ketepatan biopsi ini kurang
lebih 90%. Bila perlu dilakukan dibeberapa tempat yang dicurigai adanya
keganasan.
Cara :
Lobang hidung yang akan dilalui fibernasolaringoskop diberi anestesi lokal
dengan aplikasi kapas yang dibasahi obat pemati rasa, seperti cara pada
biopsi buta. Setelah kapas diambil, dimasukkan fibernasolaringoskop
menelusuri dasar rongga hidung sampai di belakang koana. Dengan
membengkokkan ujung dari fibernasolaringoskop dicari tumor atau
tempat yang dicurigai. Biasanya tumor tampak lebih jelas. Diambil jaringan
yang dicurigai sebanyak mungkin dan bila perlu mengambil beberapa
tempat. Ketepatan biopsi cara ini sekitar 95%.
Early Diagnosis and Current Treatment Paradigm in Head and Neck Surgery | 27
Dr. Yussy Afriani Dewi, dr., M.Kes., SpTHT-KL(K)., FICS
Cara :
Sebaiknya pada hidung yang digunakan untuk memasukkan cairan
dilakukan anestesi dengan aplikasi kapas yang telah dibasahi obat pemati
rasa, seperti pada biopsi buta.
Setelah kapas diambil, penderita ditidurkan dengan kepala berada
di tepi tempat tidur. Kepala diekstensikan maksimal. Dengan spuit 10 cc
larutan garam fisiologis dimasukkan ke rongga nasofaring lewat hidung.
Untuk mempermudah cairan sampai ke nasofaring, digunakan jarum
tumpul atau sambungan plastik pada spuit.
Kepala digoyang-goyangkan untuk mengoocok cairan yang ada di
nasofaring. Setelah dianggap cukup lama, cairan dihisap kembali dengan
spuit yang digunakan sebelumnya. Penghisapan cairan diusahakan
sebanyak mungkin. Cairan yang didapat kemudian dicampur alkohol 70%
sebanyak cairan. Pengiriman bahan ke laboratorium Patologi Anatomi
dapat dilakukan dengan 2 cara :
1. Bahan seluruh cairan yang didapat dikirimkan.
Cara ini dapat dilakukan bila Laboratorium Patologi Anatomi dekat atau
kemungkinan pecahnya tempat pengiriman kecil sekali.
2. Bahan cairan yang didapat disaring dcngan kertas saring. Endapan atau
hasil saringan dibuat preparat hapus pada gelas obyek, kemudian
difiksasi dengan alkohol 95%. selanjutnya ditutup dengan gelas
penutup atau gelas pelindung. Cara pengiriman ini sebenamya lebih
praktis dan lebih mudah.
Early Diagnosis and Current Treatment Paradigm in Head and Neck Surgery | 29
Dr. Yussy Afriani Dewi, dr., M.Kes., SpTHT-KL(K)., FICS
c.. Hasil hisapan yang terkumpul di tabung specimen collector lalu difiksasi
dengan alhokol 95%, kemudian dikirim ke Laboratorium Patologi
Anatomi. Bila tidak mungkin dikirim segera, maka harus dibuat preparat
hapus lebih dahulu lalu difiksasi alkohol 95% .
3. 4 Cara sikatan
Cara pengambilan bahan ini dengan menggunakan sikat ("brush") berupa
pipa plastik kecil diameter 2-3 mm, panjangnya sekitar 10-15 cm, ujungnya
ada sikat yang kecil dan halus
Cara :
Setelah rongga hidung dipasang kapas ditetesi obat vasokonstriktor (sol.
Efedrin 1-2%), lalu disemprot obat anestesi lokal (Xylocain spray 10%). Sikat
ini dimasukkan rongga hidung secara pelan-pelan sampai ujung sikat
menyentuh dinding nasofaring, kemudian sikat diputar (tangkai sikat
dipelintir ke kanan-kiri dengan gerakan berputar) sehingga sikat menggores
dengan halus dinding lateral nasofaring (terutama daerah fosa
Rossenmuller). Cara ini juga dapat dilakukan dengan tuntunan alat
nasofaringoskop rigid/lentur melalui rongga hidung kontra lateral. Sikat lalu
di tarik keluar rongga hidung. Bahan atau jaringan yang menempel pada sikat
(mengandung sel-sel nasofaring yang lepas) langsung dibuat preparat hapus
(direct smear), setelah kering lalu difiksasi dengan alkohol 95%. Gelas
objek ditutup dengan gelas penutup, lalu dikirim ke Laboratorium Patologi
Anatomi.
1) Pemeriksaan Radiologi
Pemeriksaan radiologi diperlukan untuk mendapatkan informasi
adanya tumor, perluasan, serta kekambuhan paska terapi.
Pemeriksaan radiologi untuk karsinoma nasofaring terdiri dari foto
11, 14, 16
polos tengkorak, CT scan, MRI, dan PET Scan.
Foto polos tengkorak dilakukan untuk mengetahui adanya
jaringan lunak di dinding posterior pada proyeksi lateral, melihat
struktur tulang dan foramen pada proyeksi basis, serta mengetahui
ekspansi tumor ke hidung dan sinus paranasal pada proyeksi antero-
posterior dan Waters. Pemeriksaan CT scan mempunyai keuntungan
dan nilai diagnosis tinggi yaitu membedakan berbagai densitas di
nasofaring dan menilai perluasan tumor, penyebaran ke kelenjar
limfa leher, destruksi tulang serta penyebaran ke intrakranial.
Pemeriksaan MRI dapat membedakan jaringan lunak dan cairan
11, 14, 16
misalnya retensi cairan akibat invasi ke sinus paranasal.
Kelebihan penggunaan CT Scan adalah gambar yang dihasilkan
memiliki resolusi yang baik dan akurat, dan tidak invasif;
kekurangannya adalah terjadinya paparan radiasi, dapat terjadi
artefak, dan reaksi alergi terhadap zat kontras yang digunakan. Ada
beberapa kelebihan MRI dibandingkan dengan pemeriksaan CT Scan
yaitu: 1) lebih baik dalam mendeteksi beberapa kelainan pada
jaringan lunak, 2) mampu memberikan gambaran anatomi secara
jelas, 3) 3) mampu membuat gambaran potongan melintang, tegak,
dan miring tanpa merubah posisi pasien, 5) tidak menggunakan
17
radiasi pengion.
Kelebihan penggunaan PET-Scan adalah tidak hanya melihat
anatomi tubuh saja tetapi metabolisme tubuh, dapat membedakan
18
neoplasma jinak dan ganas tetapi harganya relatif sangat mahal.
2) Pemeriksaan Serologi
Pada KNF dapat dideteksi antibodi IgG yang ditemukan pada awal
infeksi virus dan antibodi IgA yang ditemukan pada kapsid antigen
virus. Ig A anti VCA adalah antibodi spesifik untuk diagnosis dini KNF
dan dapat dipakai sebagai petanda tumor, dianggap positif bila
Early Diagnosis and Current Treatment Paradigm in Head and Neck Surgery | 31
Dr. Yussy Afriani Dewi, dr., M.Kes., SpTHT-KL(K)., FICS
KNF timbul. Di Cina bagian Selatan, yaitu daerah endemik KNF, peme-
riksaan Ig A anti VCA telah digunakan untuk penapisan (screening).
Suatu hasil penelitian ditemukan sebanyak 93% dari penderita KNF
didapatkan peningkatan titer IgA anti EBV-VCA, dan 73 % dijumpai titer IgA
anti EA yang meningkat Titer kedua antibodi tersebut meningkat sesuai
dengan stadium dan perkembangan tumor pasca terapi, sehingga dapat
digunakan sebagai prognostikator. Antibodi IgA terhadap viral capsid
antigen EBV ternyata lebih spesifik dibandingkan dengan IgG.
Pembentukan IgA anti EBV-VCA terjadi setelah sintesis DNA virus, dengan
demikian antibodi ini berkaitan dengan fase lanjut dari infeksi virus EB.
Imunoglobulin A anti VCA ini akan tetap ada seumur hidup, titernya akan
meningkat sesuai dengan stadium penyakitnya. Imunoglobulin A anti EBV-
VCA ini dapat merupakan petanda tumor (tumor marker) yang spesifik
untuk deteksi KNF terutama pada stadium dini (nilai diagnostik),
memantau hasil pengobatan dan memperkirakan kekambuhan (nilai
prognostik). Pemeriksaan titer IgA anti VCA dapat digunakan untuk
mendeteksi kasus KNF yang masih asimptomatik. Hal ini didasarkan atas
skrining masal di Propinsi Zhongshan di RRC yang merupakan daerah
dengan populasi KNF yang tinggi. Dari 1743 orang yang diperiksa dengan
alat nasofaringoskop, sebanyak 1279 orang didapatkan nasofaring yang
normal dan 464 orang diketemukan kelainan berupa mukosa nasofaring
yang hiperplastik (nasopharyngeal mucosal hyperplasic lesion / NPHL). Dari
464 orang dengan NPHL, ternyata pada pemeriksaan antibodi IgA anti VCA
diperoleh hasil positif pada 48 orang (10,3%), 9 orang diantaranya ternyata
menunjukkan hasil biopsi yang positif ganas. Sedang dari nasofaring
normal sebanyak 1276 orang, didapatkan 39 orang (3%) dengan seropositif
tetapi tidak seorangpun terbukti menderita KNF secara histopatologis.
Upaya menemukan diagnosis dini KNF dengan hasil yang
menggembirakan berdasarkan skrining masal dengan memeriksa IgA anti
VCA. Penelitian di Singapura menunjukkan bahwa Ig A anti EBV-VCA dapat
mendeteksi KNF jauh (16 - 41 bulan) sebelum diagnosis KNF secara klinis
dapat ditegakkan. Selain itu, IgA anti EBV-VCA sangat berguna untuk
diagnosis KNF yang “tersembunyi” (occult primary). Sampai saat ini,
Early Diagnosis and Current Treatment Paradigm in Head and Neck Surgery | 33
Dr. Yussy Afriani Dewi, dr., M.Kes., SpTHT-KL(K)., FICS
pemeriksaan IgA anti EBV-VCA dianggap yang paling spesifik dan sensitif
untuk diagnosis dini KNF. Berdasarkan teknik imunofluoresensi tak
langsung, titer antibodi ini dianggap positif bila diketemukan antibodi pada
pengenceran 1 : 10. Lebih dari 90% KNF memberikan hasil yang positif,
sedang pada group kontrol hasil positif hanya dijumpai pada 0,6 - 6% saja..
Penelitian tahun 1993 di Jakarta mendapatkan titer positip pada KNF
sebesar 97,2 %, kanker kepala-leher non KNF 8% dan neoplasma jinak
(kontrol) hanya 5%. Dilaporkan sensitivitas sebesar 97,2% dan spesivisitas
93,3%. Beberapa hasil penelitian menunjukkan bahwa IgA anti EBV-VCA
sangat sensitif dan spesifik terhadap KNF, terutama untuk jenis karsinoma
15
undifferentiated (WHO tipe3).
Ig G anti EA kurang sensitif bila dibandingkan dengan Ig A anti VCA untuk
diagnosis dini KNF. Tetapi antibodi ini berguna untuk menilai perjalanan penyakit
dan menentukan prognosis, karena titernya akan meninggi bila penyakitnya
bertambah berat. Antibodi ini dianggap positif bila titer > 10.
IgG anti EBV-EA terbentuk sebelum sintesis DNA virus yaitu pada
fase dini siklus replikasi virus. Adanya kenaikan titer IgG anti EBV-EA sudah
diketemukan sebelum metastasis secara klinik terjadi. Titer IgG anti EBV-EA
dianggap positif bila 1/80. Berdasarkan pemeriksaan imunofluoresensi,
IgG anti EBV-EA dapat dibedakan menjadi 2 tipe yaitu tipe terbatas (EA-
restricted) dan yang menyebar (EA-diffuse). Penurunan titer IgG anti EBV-
EA (D) didapatkan pada semua penderita KNF yang telah mendapatkan
pengobatan dengan radiasi dan tidak pada penderita dengan kanker kepala
dan leher lainnya. Bila titernya meningkat lagi harus dicurigai adanya
kekambuhan atau metastasis. Dengan demikian pemeriksaan IgG anti EBV-
EA (terutama tipe difus / D) lebih berguna untuk menentukan perjalanan
penyakit dan prognosis KNF (nilai prognostik). Untuk diagnosis KNF
terutama stadium dini, IgG anti EBV-EA ternyata sangat sensitif tetapi
kurang spesifik. Penelitian di Jakarta didapatkan spesivisitas pemeriksaan
IgA anti EBV-VCA sebesar 91,8%, sedangkan spesivisitas IgG anti EBV-EA
sebesar 30,6 %.
Kombinasi hasil pemeriksaan titer IgA anti EBV-VCA dan IgA anti
EBV-EA akan meningkatkan nilai ramal positif (positive predictive value)
yang sangat berguna untuk meningkatkan uji saring KNF dalam upaya
menemukan kasus dini, khususnya individu yang mempunyai resiko tinggi.
Bila kedua titer antibodi ini meninggi, harus dicurigai adanya (awal) proses
keganasan di nasofaring (KNF). Individu ini harus di evaluasi secara ketat,
apabila ditemukan bukti pasti terkena KNF (dini) maka segera diberikan
pengobatan definitip.
3) Pemeriksaan Histopatologi
Diagnosis pasti KNF ditegakkan berdasarkan hasil pemeriksaan
jaringan tumor di nasofaring. Penderita yang menunjukkan hasil
pemeriksaan serologi positif tetapi hasil biopsi negatif, tidak dapat
19
dianggap menderita KNF.
Stadium
Karsinoma nasofaring sering tidak terdiagnosis pada stadium dini karena
gejalanya tidak spesifik serta sulitnya pemeriksaan rongga nasofaring
sehingga angka kematian menjadi tinggi dan penderita pada umumnya
1
datang dengan stadium lanjut. Walaupun tumor primer bersifat
radiosensitif, morbiditas KNF masih tinggi dikarenakan terdapat tumor
sekunder. Pada saat didiagnosis, sebanyak 60-85% penderita KNF telah
20
mengalami metastasis KGB leher atau metastasis jauh.
Klasifikasi T pada KNF menurut American Joint Committee on Cancer
(AJCC) tahun 2010 yaitu: T1 adalah tumor yang berada pada nasofaring
atau tumor yang sudah ekstensi ke orofaring dan atau cavum nasi tanpa
ekstensi ke parafaringeal; T2 adalah tumor yang sudah ekstensi ke
parafaringeal; T3 adalah tumor yang melibatkan struktur tulang dari basis
kranii dan atau sinus paranasal; T4 adalah tumor yang sudah ekstensi dan
atau terdapatnya keterlibatan nervus kranialis, hipofaring, orbita, atau
ekstensi ke fossa infratemporal/ruang mastikator. Untuk keterlibatan KGB
leher, N1 adalah metastasis unilateral berukuran <6 cm, N2 merupakan
metastasis bilateral dengan ukuran <6 cm, dan N3 adalah tumor dengan
ukuran >6 cm (N3a) dan ekstensi ke fossa supraklavikular (N3b).
Pembagian stadium untuk KNF adalah: stadium 0 (Tis N0 M0), stadium 1
Early Diagnosis and Current Treatment Paradigm in Head and Neck Surgery | 35
Dr. Yussy Afriani Dewi, dr., M.Kes., SpTHT-KL(K)., FICS
(T1 N0 M0), stadium II (T1 N1 M0, T2 N0 M0, T2 N1 M0), stadium III (T1 N2
M0, T2 N2 M0, T3 N1 M0, T3 N2 M0), Stadium IVA (T4 N0 M0, T4 N1 M0,
T4 N2 M0), stadium IVB (semua T, N3 M0), dan stadium IVC (semua T
21
semua N M1).
Prognosis penderita KNF sangat bergantung pada stadium klinis saat
dilakukan diagnosis. Lebih dari 80% keberhasilan terapi terjadi pada
stadium awal (I-II) dan angka keberhasilannya berkurang hingga 40% bila
4
penderita ditemukan pada stadium lanjut (III-IV).
DAFTAR PUSTAKA
1. Brennan B. Nasopharyngeal carcinoma. Orphanet journal of rare
diseases. 2006;1(23):1-5.
2. Zeng MS, Zeng YX. Pathogenesis and Etiology of Nasopharyngeal
Cancer. Dalam: Lu JJ, Cooper JS, Lee AWM, penyunting.
Nasopharyngeal Cancer: Multidisciplinary Management.Edisi ke 1:
Springer Berlin Heidelberg; 2010. h. 5-25.
3. Hsu WL, Chen JY, Chien YC, Liu MY, You SL, Hsu MM, et al.
Independent effect of EBV and cigarette smoking on nasopharyngeal
carcinoma: a 20-year follow-up study on 9,622 males without family
history in Taiwan. Cancer epidemiology, biomarkers & prevention : a
publication of the American Association for Cancer Research,
cosponsored by the American Society of Preventive Oncology.
2009;18(4):1218-26.
4. Savitri E, Mubarika SH. Profil Viral Load Epstein-Barr Virus dan Titer
Antibodi IgA (VCA-P18+EBNA-1) pada Karsinoma Nasofaring di
Makassar dan Yogyakarta. J Indon Med Assoc 2012;62(5):174-7.
5. Munir D, Lutan S, Hasibun M, Henny F. Ekspresi Protein p53 Mutan
pada Karsinoma Nasofaring. Majalah Kedokteran Nusantara.
2007;40(3):167-72.
6. Chunfang Hu. Genetic and Gene Expression Analysis of
Nasopharyngeal Carcinoma (NPC) [Thesis]: University of Birmingham;
2010.
Early Diagnosis and Current Treatment Paradigm in Head and Neck Surgery | 37
Dr. Yussy Afriani Dewi, dr., M.Kes., SpTHT-KL(K)., FICS
ABSTRAK
Lebih dari 200 juta penduduk dunia menderita nodul tiroid. Risiko nodul
tiroid diperkirakan sebesar 5–10 % dan lebih sering ditemukan pada wanita
dibandingkan pria. Setiap tahun terjadi 2 sampai 4 per 100.000 penduduk,
hanya 1% dari keseluruhan merupakan keganasan dan 0,5% menyebabkan
kematian. Di Asia Tenggara termasuk Indonesia, nodul tiroid masih
merupakan penyakit epidemik, diperkirakan lebih dari 10 juta penduduk
Indonesia menderita nodul tiroid. Di rumah sakit Dr. Hasan Sadikin (RSHS)
Bandung antara tahun 1983-1986 frekuensinya sebesar 3,75%, tahun 1991
13,5% (17 dari 126), dan 16,8% (19 dari 113) dalam tahun 1992 dari
seluruh pasien yang menderita tumor ganas. Pada tahun 2005-2010
ditemukan nodul tiroid sebanyak 104 orang (5,4%) dan menempati urutan
ke-5 dari seluruh tumor kepala leher.
Karsinoma tiroid harus dapat dibedakan dari nodul jinak (adenoma
dan multinodul goiter). Secara histologi insiden karsinoma tiroid sebanyak
90% papillare, 15% folikular, 5-10% medulare, dan sebanyak 5% untuk
karsinoma anaplastik.
Diagnosis meliputi anamnesis, pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan
penunjang. Penegakkan diagnosis penting dilakukan untuk meningkatkan
kualitas hidup penderita. Diagnosis klinis merupakan dasar dalam
menentukan penatalaksanaan selanjutnya, sehingga diperlukan
pengetahuan dan keterampilan dalam menentukan diagnosis.
39
Dr. Yussy Afriani Dewi, dr., M.Kes., SpTHT-KL(K)., FICS
PENDAHULUAN
Kelenjar tiroid adalah kelenjar endokrin yang secara anatomis merupakan
kelenjar terbesar dibanding kelenjar lain, mempunyai keunikan karena
memerlukan iodide untuk sintesis hormon tiroid dan mempunyai deposit
hormon yang disimpan dalam koloid untuk mempertahankan kadar
1
hormon tiroid dalam batas normal.
2
Lebih dari 200 juta penduduk dunia menderita nodul tiroid. Di
Amerika Serikat tidak kurang dari 275.000 kasus nodul tiroid baru yang
terdeteksi pertahunnya, namun hanya satu dari 20 nodul tiroid secara
klinis yang didiagnosis sebagai keganasan. Risiko nodul tiroid diperkirakan
sebesar 5–10 % dan lebih sering ditemukan pada wanita dibandingkan
3
pria. Hanya sekitar 0,4% dari seluruh karsinoma tiroid yang menyebabkan
kematian dan kurang lebih sekitar 5 kasus per satu juta populasi per tahun
di Amerika Serikat. Tetapi peneliti lain mengatakan bahwa insiden
karsinoma tiroid sekitar 12.000 kasus per tahun dengan angka kematian
4
1.000 kasus per tahun.
Setiap tahun terjadi 2 sampai 4 per 100.000 penduduk, hanya 1%
dari keseluruhan merupakan keganasan dan 0,5% menyebabkan kematian.
Di Asia Tenggara termasuk Indonesia, nodul tiroid masih merupakan
penyakit epidemik, diperkirakan lebih dari 10 juta penduduk Indonesia
menderita nodul tiroid. Di rumah sakit Dr. Hasan Sadikin (RSHS) Bandung
antara tahun 1983-1986 frekuensinya sebesar 3,75%, tahun 1991 13,5%
(17 dari 126), dan 16,8% (19 dari 113) dalam tahun 1992 dari seluruh
5
pasien yang menderita tumor ganas.
Di Bagian Ilmu Kesehatan THT-KL RSHS Bandung terdapat 35 kasus
penderita nodul dingin tunggal tiroid selama jangka waktu 5 tahun (1990–
1994) yang terdiri dari 29 wanita dan 6 orang laki-laki. Angka prevalensi
adenomatous goiter/koloid goiter 45,71%. Sedangkan angka prevalensi
6
untuk keganasan hanya 8,57%. Pada tahun 2005-2010 ditemukan nodul
tiroid sebanyak 104 orang (5,4%) dan menempati urutan ke-5 dari seluruh
7
tumor kepala leher.
Karsinoma tiroid harus dapat dibedakan dari nodul jinak (adenoma
dan multinodul goiter). Insidens nodul tiroid bisa mencapai lebih dari 4%.
Dengan menggunakan USG, nodul dapat ditemukan lebih dari 50% kasus
pada umur lebih dari 60 tahun. Secara histologi insiden karsinoma tiroid
sebanyak 90% papillare, 15% folikular, 5-10% medulare, dan sebanyak 5%
untuk karsinoma anaplastik. Limfoma dapat terjadi juga pada tiroid
terutama karena Hashimoto’s thyroiditis. Metastasis dapat ditemukan di
4
mammae, paru-paru, ginjal, gastrointestinal, ataupun dari melanoma.
Penegakkan diagnosis penting dilakukan untuk meningkatkan
kualitas hidup penderita. Diagnosis klinis merupakan dasar dalam
menentukan penatalaksanaan selanjutnya, sehingga diperlukan
pengetahuan dan keterampilan dalam menentukan diagnosis.
Early Diagnosis and Current Treatment Paradigm in Head and Neck Surgery | 41
Dr. Yussy Afriani Dewi, dr., M.Kes., SpTHT-KL(K)., FICS
4 4
Diagnosis Banding Nodul Tiroid Diagnosis Banding Karsinoma Tiroid
STRUMA
Struma adalah tumor (pembesaran) pada kelenjar tiroid. Biasanya yang
dianggap membesar bila kelenjar tiroid lebih dari 2x ukuran normal.
Klasifikasi struma berdasarkan anatomi dan fisiologi dikenal struma difusa
dan struma nodosa. Secara klinis dibagi menurut sifat toksik–non toksik,
9-10
banyaknya nodul dan kemampuan menangkap yodium 131.
Struma difusa adalah pembesaran yang merata dengan
konsistensi lunak pada seluruh kelenjar tiroid . Struma nodosa jika
pembesaran kelenjar tiroid terjadi akibat nodul, apabila nodulnya hanya
satu maka disebut uninodosa, dan bila lebih dari satu baik terletak pada
hanya satu sisi lobus saja maupun pada kedua lobus maka disebut
9-10
multinodosa.
Early Diagnosis and Current Treatment Paradigm in Head and Neck Surgery | 43
Dr. Yussy Afriani Dewi, dr., M.Kes., SpTHT-KL(K)., FICS
11,12
1.2. Kista tiroid
Diagnosis pasti adalah dengan aspirasi memakai jarum, ini
sangat mudah, murah, dan aman tanpa komplikasi, sekaligus
bernilai sebagai terapi aspirasi, dan dapat diulang sampai
diameter <1 cm.
10-14
1.3. Tiroiditis Fokal
Tiroiditis secara klinis kadang-kadang sulit dibedakan dengan
tumor. Pembesarannya yang cepat dan asimetris, bernodul,
keras dan terfiksir pada jaringan sekitarnya dapat terjadi pada
keduanya. Diagnosis pasti didapatkan dengan pemeriksaan
histopatologis dari tiroid. Disamping gejala-gejala ini juga
terdapat perasaan nyeri pada perabaaan. Yang termasuk
tiroiditis fokal adalah: tiroiditis akut, sub akut, tiroiditis kronis
berupa tiroiditis Hashimoto dan tiroiditis Riedel.
10,11,13,14
a. Tiroiditis Akut
Sering disebut juga sebagai akut difus tiroiditis atau akut non
supuratif tiroiditis atau pseudotuberkular tiroiditis. Gejala
yang karakterisitik adalah panas badan, kelemahan yang
ekstrem (malaise), nyeri pada tiroid yang membesar. Struma
yang terjadi biasanya tidak simetris, membesarnya kadang
sampai 2- 3 kali ukuran normal. Kadang juga menimbulkan
refered pain ke persendian mandibula atau ke telinga, atau
kelenjar getah bening dekat tiroid. Keluhan lain yang
menyertai disfagia, panas badan yang tinggi terutama pada
kondisi yang sakit berat.
Pada pemeriksaan biopsi akan menunjukkan suatu
inflammatory reaction yang karakteristik dengan adanya
gambaran infiltrasi pada stroma tiroid oleh sel mononuclear,
proliferasi dari jaringan ikat, dan giant cell formation pada
beberapa spesimen.
131
Kombinasi hasil pemeriksaan uptake 1 yang rendah
dan Protein Bound Iodine (PBI) yang sedikit meningkat atau
normal, menunjukkan adanya tiroiditis.
Early Diagnosis and Current Treatment Paradigm in Head and Neck Surgery | 45
Dr. Yussy Afriani Dewi, dr., M.Kes., SpTHT-KL(K)., FICS
10,11,13,14
b. Tiroiditis sub akut
Gejalanya timbul pembengkakan akut dari sebagian tiroid
dan nyeri, kemudian pembengkakan tersebut merata
disertai nyeri menelan. Selama 2-3 minggu sebelumnya
penderita mengeluh lemah badan dan lesu, disertai panas
badan ringan sampai berat. Biasanya dalam 1-2 minggu
membaik, kadang-kadang sampai 3-6 minggu. Kira-kira
33,3% asimptomatik, selain gejala pembesaran tiroid. Pada
palpasi sebagian tiroid membesar, keras kadang-kadang
noduler. Dalam beberapa minggu bagian lainnya ikut
membesar. Pada fase awal mungkin disertai tanda-tanda
hipertiroid seperti palpitasi, gugup, akibat kerusakan
struktur folikuler yang mendadak diikuti pelepasan hormon
tiroid yang banyak kedalam sirkulasi darah.
Mikroskopis khas ditemukan deskuamasi dan
degenerasi dari epitelium folikuler, giant cells berkelompok
disekeliling koloid yang mengalami degenerasi,
pembentukan susunan pseudotuberkel dismaping adanya
invasi sel-sel PMN dan limfosit.
10,11,13,14
c. Tiroiditis Kronis
Tiroiditis Hashimoto (Struma lymphomatosa/ Lymphadenoid
goiter/Lymphocytic thyroiditis)
Penyakit tiroid akibat gangguan immunologis. Sering
menyebabkan hipotiroid pada anak dan dewasa. Laki :
wanita = 1 : 15, sering terjadi pada usia 30–50 tahun.
Klinis didapat struma multinodusa dengan batas nodul
tidak jelas, benjolan benjolan yang terjadi biasanya pada
pole bawah, tidak nyeri, tidak febris, berat badan turun.
Pada struma yang besar sering menimbulkan penekanan
pada vena kava superior.
Diagnosis Hashimoto's disease dimulai dengan
ditemukannya hipotiroid, pemeriksaan fungsi tiroid (TSH, T 3,
9-13,15
Riedel’s struma
Nama lain: Invasive fibrous thyroiditis, ligneous thyroiditis.
Sangat jarang, suatu proses peradangan pada tiroid. Usia
yang mengalami berkisar antara 30-60 tahun, wanita lebih
sering dibanding pria. Penderita sering mengeluh adanya
pembesaran yang cepat pada kelenjar tiroid bilateral atau
unilateral, biasanya asimetris, disertai dengan gangguan
pada trakea atau esofagus, kadang-kadang ada gejala
hipotiroid. Konsistensinya mengeras seperti kayu, bentuk
irreguler, tanpa rasa nyeri, sering rancu dengan karsinoma
tiroid. Pada pemeriksaan laboratorium hampir tidak didapat
kelainan, hanya saja bila sudah fase akhir akan di dapat
hipotiroid. Diagnosis yang diandalkan hanyalah biopsi.
Kelainan patologi yang didapatkan adanya folikel rusak dan
diganti dengan jaringan fibrosis yang menyeluruh pada
kelenjar tiroid dan infiltrasi peradangan ini meluas
menembus kapsul tiroid sekitarnya.
8-11,14,15
1.4. Tumor Tiroid
Tumor tiroid terdiri dari:
a. Tumor jinak, yaitu adenoma
b. Tumor ganas, yaitu karsinoma
Early Diagnosis and Current Treatment Paradigm in Head and Neck Surgery | 47
Dr. Yussy Afriani Dewi, dr., M.Kes., SpTHT-KL(K)., FICS
a. Adenoma
Tumor jinak tiroid memberikan gejala berupa nodul, yang
menurut DeGroot dan Stanbury (1998) terdiri dari 75%
struma uninodosa dan 25% berupa struma multinodosa.
Sebanyak 70-80% dari struma uninodosa adalah adenoma.
Perbandingan penderita laki-laki dengan wanita adalah
7:1, berumur anatara 20-60 tahun sebanyak 80%.
Gambaran histopatologi adalah :
a. Mempunyai kapsul sempurna dari jaringan fibrous.
b. Gambaran arsitektur yang berbeda antara jaringan diluar
dan didalam kapsul
c. Menekan jaringan tiroid sekitarnya.
Adenoma mempunyai struktur yang uniform.
Gambaran histopatologi berbeda-beda sesuai dengan
tipenya. Terbagi ada 3 tipe:
Adenoma folikuler (lebih dari 75%)
Tipe ini berdasarkan histopatologi dari isi koloidnya
dibedakan lagi menjadi adenoma embrional (adenoma
trabekuler), adenoma foetalis, adenoma mikrofolikuler,
adenoma makrofolikuler, simple adenoma, Hurthle cell
adenoma.
Adenoma papiliferum (papillary adenocystoma,
cystadinoma)
Tipe ini masih diperdebatkan, apakah termasuk jinak
(adenoma) atau karsinoma papiliferum.
b. Karsinoma
Menurut Cassidy dkk (1979) melaporkan 2,5-28,7 % (rata-
rata 10 %) dari struma nodosa adalah karsinoma tiroid,
sedangkan Iwan dkk (1978) mendapatkan karsinoma tiroid
8,6 ,% dan Tandjung-Lukito (1981) mendapatkan angka 15,9
%.
Groesbeck (1959) melaporkan 11,5 % struma nodosa
soliter dan 8,6 % struma nodosa multipel, 14,2 % "Cold
nodule" dan 3,6 % warm nodule adalah karsinoma tiroid,
sedangkan dari hot nodule tidak ditemukan keganasan. Di
USA perkiraan insiden kasus baru pertahun sekitar 16.000
penderita dari 1.400.000 kasus karsinoma baru. Klinis sukar
dibedakan apakah nodul pada tiroid tersebut akibat
karsinoma tiroid atau nodul dari goiter biasa. Pada nodul
yang pertumbuhannya cepat mencurigakan keganasan.
Pada kenyataannya pengobatannya sukar dan
mortalitasnya cukup tinggi. Insiden keganasan keseluruhan
dari nodul yang soliter (uninodusa) berkisar antara 10 sampai
30 %, tergantung dari seleksi pemeriksaan yang dilakukan.
Early Diagnosis and Current Treatment Paradigm in Head and Neck Surgery | 49
Dr. Yussy Afriani Dewi, dr., M.Kes., SpTHT-KL(K)., FICS
Early Diagnosis and Current Treatment Paradigm in Head and Neck Surgery | 51
Dr. Yussy Afriani Dewi, dr., M.Kes., SpTHT-KL(K)., FICS
Early Diagnosis and Current Treatment Paradigm in Head and Neck Surgery | 53
Dr. Yussy Afriani Dewi, dr., M.Kes., SpTHT-KL(K)., FICS
e. Karsinoma lainnya
Karsinoma tiroid sekunder
Limfoma
Karsinoma epidermoid
11,15,17,14,18
2. Struma nodosa toksik
Yang dimaksud dengan struma nodosa adalah struma nodosa yang
menimbulkan hipertiroid.
a. Penyakit Plummer
Gejala klinis penyakit Plummer sama seperti halnya gejala
hipertiroid pada struma difusa toksik yaitu cepat tersinggung,
emosi labil, takikardi, motilitas usus meningkat. Hal yang lebih
menonjol dibandingkan dengan struma difusa toksik adalah
dekompensasi kordis yang agak sulit diatasi, lemah badan, fibrilasi
atrium, takikardi atrium yang berulang. Diagnosis dapat
ditegakkan dengan bantuan indeks wayne atau indeks Newcastle.
b. Hipertiroid pada karsinoma tiroid
Penyebab hipertiroid pada karsinoma tiroid adalah:
- Nodul karsinoma hiperfungsi sehingga menyebabkan keadaan
toksik.
- Tirotoksin yang berlebihan yang dihasilkan oleh metastasis
karsinoma tiroid dimana total masanya sangat besar dan
hiperfungsi.
Berdasarkan banyaknya nodul, pembagian dari struma
nodosa adalah:
Early Diagnosis and Current Treatment Paradigm in Head and Neck Surgery | 55
Dr. Yussy Afriani Dewi, dr., M.Kes., SpTHT-KL(K)., FICS
DIAGNOSIS
Terdapat beberapa modalitas pemeriksaan penunjang yang dapat dipakai
untuk membantu menegakkan diagnosis nodul tiroid Pemeriksaan yang
umum dipakai berupa pemeriksaan fisik, laboratorium biokimia, sedangkan
modalitas pencitraan seperti pemeriksaan foto polos jaringan lunak leher,
USG (Ultrasonografi) dan CT Scan serta sidik kelenjar tiroid. Tahap awal
pemeriksaan laboratorium untuk nodul tiroid pada penyakit Graves yang
sangat penting dilakukan adalah TSH sensitive (TSHs), untuk menjaring
adanya hipertiroidisme atau hipotiroidisme, disamping pemeriksaan kadar
T4 dan T3 serum (bila kadar TSH berada dalam batas normal rendah atau
19,20
normal tinggi).
10,21
Anamnesis
Selain hal-hal yang mendukung terjadinya struma akibat peradangan atau
hiperplasi dan hipertrofi, maka perlu juga ditanyakan hal-hal yang diduga
Early Diagnosis and Current Treatment Paradigm in Head and Neck Surgery | 57
Dr. Yussy Afriani Dewi, dr., M.Kes., SpTHT-KL(K)., FICS
4,11,14,21
Pemeriksaan fisik
Nodul tiroid biasanya tidak terlihat atau tidak teraba kecuali bila diameter
nodulnya lebih besar dari 1,5-2cm. Nodul yang kecil biasanya terdapat
didaerah pole superior dan tengah. Ukuran nodul biasanya sulit untuk
ditentukan pada palpasi, lebih tepat diukur dengan menggunakan USG.
Pada palpasi, konsistensi kista adalah “hard dan tense” sedangkan nodul
yang solid bersifat kenyal dan soft. Juga perlu diperhatikan adanya fiksasi
nodul pada struktur disekitarnya. Nodul tiroid terdapat mulai dari sulkus
trakeoesofageal (level 6) sampai supraklavikular (level 4), mid-jugular (level
Early Diagnosis and Current Treatment Paradigm in Head and Neck Surgery | 59
Dr. Yussy Afriani Dewi, dr., M.Kes., SpTHT-KL(K)., FICS
3), sampai ke jugular digastrik (level 2). Plika vokalis juga harus
diperhatikan.
Nodul tiroid biasanya teraba sebagai pembesaran disekitar kelenjar
yang normal, dan ikut bergerak pada menelan. Keganasan perlu dicurigai
bila didapatkan adanya benjolan di leher terutama disekitar anterior
triangle adenopathy, fiksasi nodul pada strap muscles atau trakea.
Perdarahan yang terjadi di dalam nodul atau keganasan yang invasive
ditandai dengan nyeri dan pembesaran yang cepat. Suara serak dapat
terjadi karena tekanan atau infitrasi pada nervus laringeal rekuren karena
keganasan. Bila didapatkan adanya fluktuasi menandakan adanya kista dan
kebanyakan bersifat jinak.
Bila didapatkan adanya multinodular nodul yang difus pada palpasi
atau USG biasanya bersifat jinak, tetapi bila didapatkan multinodular nodul
yang berbeda dengan sekitarnya atau dua nodul yang berlainan maka
kemungkinan terjadi keganasan.
Lakukan pemeriksaan sistematis (urut dari atas ke bawah), simetris
(bandingkan kanan dan kiri), simultan (kanan dan kiri bersamaan), seksama
dan jangan lupa melihat kepala bagian belakang. Secara rutin harus
dievalusi juga keadaan kelenjar getah bening lehernya, adakah
pembesaran, lakukan evaluasi tersebut secara sistematis pula.
Pembesaran kelenjar tiroid sangat bervariasi dari tidak terlihat
sampai besar sekali dan mengadakan penekanan pada trakea, membuat
dilatasi sistem vena serta pembentukan vena kolateral.
Pada struma difusa akibat gondok endemik, Perez membagi
klasifikasinya sebagai berikut :
Derajat 0 : Tidak teraba pada pemeriksaan
Derajat I : Teraba pada pemeriksaan, terlihat hanya kalau kepala
ditengadahkan
Derajat II : Mudah terlihat pada posisi kepala normal
Derajat III : Terlihat pada jarak agak jauh
Pemeriksaan penderita struma kita lakukan dari belakang, kepala
penderita sedikit fleksi sehingga m. sternokleidomastoideus relaksasi,
dengan demikian tumor tiroid lebih mudah dievaluasi dengan palpasi.
Gunakan kedua tangan bersamaan dengan ibu jari posisi ditengkuk
penderita sedang ke-4 jari yang lain dari arah lateral mengevaluasi tiroid
serta mencari pole bawah kelenjar tiroid sewaktu penderita disuruh
menelan.
Pada struma yang besar dan masuk retrosternal maka kita tidak bisa
meraba trakea serta pole bawah tiroid. Kelenjar tiroid yang normal teraba
sebagai bentukan yang lunak dan ikut bergerak pada waktu menelan.
Biasanya struma masih bisa digerakkan kearah lateral, dan sukar
digerakkan kearah vertikal. Struma menjadi terfiksir apabila sangat besar,
keganasan yang sudah menembus kapsul, tiroiditis, ada jaringan fibrosis
setelah operasi.
Untuk memeriksa struma yang berasal dari satu lobus (misalnya
lobus kiri penderita), maka dilakukan sebagai berikut dengan jari tangan
kiri kita letakkan di medial dibawah kartilago tiroid, lalu kita dorong
benjolan tersebut ke kanan. Kemudian ibu jari tangan kanan kita letakkan
dipermukaan anterior benjolan. Ke-4 jari lainnya kita letakkan pada tepi
belakang m. sternokleidomastoideus untuk meraba tepi lateral kelenjar
tiroid tersebut. Pada struma yang menimbulkan pendesakan trakea bisa
menyebabkan sesak nafas, sianosis sehingga penderita gelisah.
Test Kocher, suatu cara untuk mengetahui adanya pendesakan
tersebut, caranya; tekanlah lobus lateralis yang membesar tersebut dari
arah lateral secara perlahan sambil diikuti, bila ada obstruksi maka akan
terdengar stridor.
14
Pemeriksaan Struma dari depan
Early Diagnosis and Current Treatment Paradigm in Head and Neck Surgery | 61
Dr. Yussy Afriani Dewi, dr., M.Kes., SpTHT-KL(K)., FICS
Pemeriksaan Laboratorium
Pemeriksaan laboratorium kadang masih diperlukan untuk menunjang
diagnosis klinis ataupun untuk menyingkirkan adanya penyakit tiroid pada
penderita dengan gambaran klinis yang mirip dengan penyakit tiroid, selain
14
untuk monitoring serta follow-up terapi.
Penderita dengan nodul tiroid biasanya eutiroid, yang ditentukan
dengan pemeriksaan kadar T4 dan TSH. Kadar T4 yang rendah dan
meningkatnya TSH menandakan adanya suatu tiroiditis. Kadar serum
tiroglobulin biasanya akan meningkat pada penderita nodul tiroid, maka
kadar serum ini tidak dapat menentukan diagnosis banding pada
keganasan. Pemeriksaan ini dapat membedakan antara hipertiroid,
4
eutiroid, ataupun hipotiroid.
Pemeriksaan hormon tiroid dan TSH paling sering menggunakan
radioimmuno-assay (RIA) dan cara enzyme-linked immunoassay (ELISA)
Early Diagnosis and Current Treatment Paradigm in Head and Neck Surgery | 63
Dr. Yussy Afriani Dewi, dr., M.Kes., SpTHT-KL(K)., FICS
14
a. Kadar total hormon tiroid dalam sirkulasi
Tiroksin total (TT4)
Tiroksin total (TT4) dalam serum merupakan pemeriksaan standar
untuk fungsi tiroid. Pemeriksaan T4 ini tidak dipengaruhi oleh yodium
ataupun media kontras yang berisi yodium, kecuali kalau diberikan
yodium cukup banyak yang dapat mempengaruhi fungsi tiroid sendiri.
Pada pemeriksaan ini yang diukur adalah FT4 dan yang terikat dengan
protein. Perubahan dalam ikatan dengan protein mempengaruhi
pengukuran TT4 sehingga perlu ditanyakan apakah penderita
sementara minum obat atau hamil, karena hal ini dapat menyebabkan
kesalahan interpretasi hasil pemeriksaan.
Kadar TT4 normal pada neonatus 144-400nmol/L, bayi 90-195
nmol/L, anak-anak 70-150 nmol/L, orang dewasa 60-150 nmol/L atau
50-120 ng/dl.
Kadar TT3 normal pada neonatus 0,8-7,2 nmol/L, bayi 1,6-3,8
nmol/L, anak anak 1,53,7 nmol/L, orang dewasa 1,0-2,6 nmol/L (0,65-
1,7 mg/ml).
11,14,15
b. Kadar Thyroid Stimulating Hormon (TSH)
Pengukuran kadar TSH terutama untuk diagnosis hipotiroid primer
dimana basal TSH meningkat 6 mU/L, kadang-kadang meningkat
sampai 3 kali normal. Pada hipotiroid, supresi TSH oleh hormon tiroid
berkurang sehingga kadar TSH dalam darah meningkat, maka
penetapan kadar TSH penting pada hipotiroid primer.
Pada hipertiroid, basal TSH rendah sampai tidak terukur, namun
TSH yang terukur dengan pemeriksaan biasa (RIA) dapat juga
ditemukan pada eutiroid. Pemeriksaan yang lebih spesifik,
menggunakan metode immunoradio-metricassay (IRMA) yang lebih
sensitive, kadar TSH basal dapat membedakan hipertiroid dan eutiroid
Early Diagnosis and Current Treatment Paradigm in Head and Neck Surgery | 65
Dr. Yussy Afriani Dewi, dr., M.Kes., SpTHT-KL(K)., FICS
Early Diagnosis and Current Treatment Paradigm in Head and Neck Surgery | 67
Dr. Yussy Afriani Dewi, dr., M.Kes., SpTHT-KL(K)., FICS
Early Diagnosis and Current Treatment Paradigm in Head and Neck Surgery | 69
Dr. Yussy Afriani Dewi, dr., M.Kes., SpTHT-KL(K)., FICS
Early Diagnosis and Current Treatment Paradigm in Head and Neck Surgery | 71
Dr. Yussy Afriani Dewi, dr., M.Kes., SpTHT-KL(K)., FICS
123
Jenis Nodul Gambaran I
Functioning Adenoma Meningkat
Non-functioning Adenoma Menurun
Multinodular Goiter Meningkat dan menurun
Koloid Nodule Menurun
Kista Menurun
Keganasan Menurun
Tiroiditis Meningkat dan menurun
31,32
Indikasi sidik tiroid adalah:
1. Evaluasi bentuk, letak, besar, serta distribusi radioaktivitas.
2. Deteksi varian anatomi seperti tiroid ektopik
3. Evaluasi massa tumor dileher dan mediastinum
4. Deteksi sisa jaringan tiroid pasca tiroidektomi serta anak sebar
fungsional dari karsinoma tiroid berdiferensiasi baik.
5. Memperkirakan berat kelenjar tiroid.
3
Kekurangan pemeriksaan sidik tiroid ini adalah:
1. Tidak bisa membedakan dengan jelas antara jinak dan ganas. Beberapa
penelitian mengatakan bahwa 84% nodul tiroid soliter adalah nodul
dingin, 10% nodul hangat, dan hanya 5% merupakan nodul panas.
Keganasan terdapat pada sekitar 16% dari nodul dingin, 9% nodul
hangat, dan 4% nodul panas.
2. Tidak bisa menentukan tempat dari nodul tiroid berada di perifer atau
ismus dan sering tidak akuratnya menentukan funsi status nodul tiroid
bila nodul dingin atau kelenjar tiroid yang asimetris.
Early Diagnosis and Current Treatment Paradigm in Head and Neck Surgery | 73
Dr. Yussy Afriani Dewi, dr., M.Kes., SpTHT-KL(K)., FICS
4,11,14,15
Pemeriksaan Radiologis
Dengan foto rontgen leher posisi antero-posterior dan lateral dapat
memperjelas adanya deviasi trakea bila tumor lebih dari 3cm atau 4cm,
atau pembesaran struma retrosternal, dan evaluasi kondisi jalan nafas.
Adanya kalsifikasi halus pada struma menunjukkan karsinoma papilare
sedang kalsifikasi yang kasar merata dan signet ring bisa terdapat pada
endemik goiter yang lanjut atau juga bisa pada karsinoma medulare.
Early Diagnosis and Current Treatment Paradigm in Head and Neck Surgery | 75
Dr. Yussy Afriani Dewi, dr., M.Kes., SpTHT-KL(K)., FICS
Nodul tiroid
TSHs dan
Sidik Tiroid
Dingin Panas
TSHs TSHs
USG
normal rendah
BJAH
33
Tahapan Pemeriksaan Penderita dengan Nodul Tiroid
Early Diagnosis and Current Treatment Paradigm in Head and Neck Surgery | 77
Dr. Yussy Afriani Dewi, dr., M.Kes., SpTHT-KL(K)., FICS
PEMBEDAHAN
Operasi tiroid ( tiroidektomi ) merupakan operasi bersih, dan tergolong
operasi besar. Berapa luas kelenjar tiroid yang akan diambil tergantung
patologinya serta ada tidaknya penyebaran dari penyakitnya karsinoma.
9 9
Lobektomi total Tiroidektomi subtotal
9 9
Tiroidektomi near total Total tiroidektomi
Early Diagnosis and Current Treatment Paradigm in Head and Neck Surgery | 79
Dr. Yussy Afriani Dewi, dr., M.Kes., SpTHT-KL(K)., FICS
2. Hemitiroidektomi
Sebagian ahli bedah menganjurkan melakukan hemitiroidektomi pada
penderita karsinoma tiroid diferensiasi baik dengan faktor prognostik
yang baik. Keuntungan dari hemitiroidektomi ialah bahwa satu n.
rekuren dan 2 glandula paratirod tidak terpapar dengan resiko
pembedahan sehingga komplikasi hipoparatiroidi dan lesi n.rekuren
permanen pada hemitiroidektomi lebih rendah daripada tiroidektomi
total. Keuntungan lain ialah penderita tidak perlu terapi hormon tiroid
12
seumur hidup terutama pada penderita yang tidak patuh.
Intra operatif, lobus mengandung tumor yang telah diangkat
harus dibelah dan dilihat dengan seksama. Bila didapatkan nodul satelit
yang tidak menempel pada tumor induk maka selanjutnya dilakukan
tiroidektomi total dengan mengangkat lobus kontralateral.
Tiroidekromi total dilakukan juga bila pada palpasi lobus kontralateral
teraba adanya tonjolan tiroid. Tindakan ini untuk mengatasi adanya
tumor multifokal yang terdapat sampai 88.5 % pada penderita
karsinoma papiler tiroid dan 10 % pada penderita karsinoma folikuler
17,18,19
tiroid.
Kadang ada penderita karsinoma tiroid diferensiasi baik yang baru
diketahui setelah penderita dilakukan tindakan lobektomi subtotal oleh
karena diagnosis preoperatifnya suatu struma nodosa.
Penanganan selanjutnya untuk penderita ini ialah pembedahan
ulang dengan melakukan tiroidektomi total. Bila pembedahan
sebelumnya berupa hemitiroidektomi maka untuk menentukan apakah
perlu tindakan pembedahan ulang harus dilihat faktor prognostik
penderita.
Bila terdapat salah satu faktor prognostik jelek atau riwayat
radiasi daerah leher pada penderita maka sebaiknya dilakukan
pembedahan ulang dengan mengangkat lobus tiroid yang tertinggal,
Early Diagnosis and Current Treatment Paradigm in Head and Neck Surgery | 81
Dr. Yussy Afriani Dewi, dr., M.Kes., SpTHT-KL(K)., FICS
15
Tehnik Operasi tiroidektomi.
1. Penderita dalam pembiusan umum dengan intubasi orotrakeal
dan fiksasi tube ke arah kontralateral dari tumor.
5
Posisi operasi
Early Diagnosis and Current Treatment Paradigm in Head and Neck Surgery | 83
Dr. Yussy Afriani Dewi, dr., M.Kes., SpTHT-KL(K)., FICS
5
Lokasi insisi
5 5
Tehnik insisi Insisi kulit dan platisma
5
Diseksi tumpul
8. Insisi fascia colli superficialis secara vertikal pada garis tengah strap
muscle hingga batas bawah sampai level sternal notch, batas
atasnya sampai cartilago thyroid
5
Insisi fascia colli superficialis
Early Diagnosis and Current Treatment Paradigm in Head and Neck Surgery | 85
Dr. Yussy Afriani Dewi, dr., M.Kes., SpTHT-KL(K)., FICS
5
Retraksi otot sternohioid
5
Pemisahan kelenjar tiroid dengan m sternokleidomastoideus
5
Pemotongan strap muscle
12. Dilakukan diseksi tumpul dan tajam mulai dari tiroid di bagian
tengah dengan mengidentifikasi v.thyroid media dan vena tiroid
media diligasi dan dipotong
Early Diagnosis and Current Treatment Paradigm in Head and Neck Surgery | 87
Dr. Yussy Afriani Dewi, dr., M.Kes., SpTHT-KL(K)., FICS
5
Identifikasi arteri dan vena tiroidea inferior
5
Variasi nervus rekurren
5
Lokasi reseksi lobektomi
17. Identifikasi arteri dan vena tiroidea superior pada pool atas tiroid,
kemudian dibuat 2 ligasi pada pembuluh darah tadi dan dipotong
diantaranya, yang diligasi betul-betul hanya pembuluh darah saja
5
Identifikasi arteri dan vena tiroidea superior
Early Diagnosis and Current Treatment Paradigm in Head and Neck Surgery | 89
Dr. Yussy Afriani Dewi, dr., M.Kes., SpTHT-KL(K)., FICS
5
Ligamentum Berry di klem dan dipotong
5
Omsteking pada jaringan tiroid
21. Pasang drain redon no.12 yang ditembuskan ke kulit searah dengan
tepi sayatan luka operasi, kemudian difiksasi dengan silk 3/0
22. Kalau kelenjar paratiroid terambil, sebelum menutup luka operasi
kelenjar paratiroid ditanam (replantasi) di
m.sternokleidomastoideus dengan jahitan catgut
23. Strap muscle direkatkan sedekat mungkin, kemudian fascia colli
ditutup dengan jahitan interrupted dengan chromic 2/0
5
Penjahitan interrupted strap muscle
5
Penjahitan kulit secara subkutikular
28. Luka operasi dirawat dengan kasa steril 2 lapis dan difiksasi dengan
hipafix selebar 5 cm secara silang, melintang digaris tengah
sehingga gerak leher penderita tetap bebas dan fiksasi kasa luka
operasi optimal.
Early Diagnosis and Current Treatment Paradigm in Head and Neck Surgery | 91
Dr. Yussy Afriani Dewi, dr., M.Kes., SpTHT-KL(K)., FICS
12
Hal-hal penting yang harus diperhatikan saat operasi :
Cari n.laringeus rekuren pada inlet toraks superior, tepat inferior dari
pool bawah kelenjar tiroid, sebelum mengikat pembuluh darah besar.
Kadang saraf tersebut tidak rekuren (berbalik), masuk ke laring
langsung melalui jalan horisontal n.vagus.
Diseksi secara retrograd dari bawah ke atas dengan membebaskan
n.laringeus rekuren.
Bila terjadi perdarahan pembuluh-pembuluh kecil arteria atau vena
laringeus inferior cukup ditekan saja.
Secara hati-hati bebaskan ligamentum suspensorium posterior (Berry)
dan potong ligamentum tersebut dengan memperhatikan cabang
n.rekuren secara a vue.
Cabang eksterna n.laringeus superior (motorik otot-otot krikotiroid dan
tensor pita suara) terletak dekat sekali pada pembuluh darah pool atas
kelenjar tiroid. Bebaskan pembuluh darah tersebut dari bawah, dorong
keatas struktur yang mirip saraf. Setelah itu baru diligasi tanpa ada
jaringan lain yang terikut.
Ligasi pembuluh-pembuluh darah pool atas langsung, tidak memakai
klem dulu.
Cari dan pertahankan kelenjar paratiroid. Jika tidak sengaja terangkat,
tanamkan ke strap muscle.
Laringoskopi dilakukan sebelum dan sesudah operasi untuk menilai
fungsi pita suara.
Angkat seluruh isthmus pada semua lobektomi.
7,8,9
Penyulit
Penyulit-penyulit yang timbul bukan hanya langsung dari struma nodosa
saja, tetapi juga akibat terapi pada struma nodosa tersebut. Berbagai
macam penyulit yaitu :
Akibat Operasi :
Perdarahan setempat : 0,3 %
Hipotiroidi setelah tiroidektomi sub total : 0,3 %
Hipotiroidi setelah tiroidektomi total :3–4%
Hipotiroidi setelah tiroidektomi radikal : 40%
Mortalitas akibat operasi 0,02-0,10%
dari semua struma nodosa yang dioperasi
Mortalitas akibat anestesi : 0,5 - 0,10%
Kerusakan n.laringeus rekuren : 1,4%
Early Diagnosis and Current Treatment Paradigm in Head and Neck Surgery | 93
Dr. Yussy Afriani Dewi, dr., M.Kes., SpTHT-KL(K)., FICS
9,10
Komplikasi Operasi Struma.
Pada tindakan operasi tiroidektomi bisa kita jumpai komplikasi awal dan
lanjut. Di samping itu ada juga yang membagi komplikasi yang terjadi
dalam metabolic dan non metabolic, dan komplikasi operasi yaitu non
metabolic yang bisa terjadi adalah perdarahan, lesi n. rekuren laringeus,
obstruksi saluran nafas atas. Walaupun komplikasi tersebut jarang terjadi,
akan tetapi memerlukan perhatian dan tindakan antisipasi yang serius dan
cepat karena bila terjadi dapat menimbulkan morbiditas bahkan
4
mortalitas.
15
Komplikasi awal, yaitu :
a. Perdarahan
- Awasi produksi drain serta pernafasan, apabila produksi drain > 100
cc dalam l jam harus cepat diantisipasi.
- Bila disertai dengan hematom pada lapangan operasi maka ancaman
pada jalan nafas cukup besar.
- Adanya stridor atau hipoksia, bengkak pada leher depan, bendungan
vena leher pada penderita pasca tiroidektomi merupakan cardinal
sign adanya perdarahan aktif. Hal ini memerlukan respon yang
serius kalau perlu segera lakukan buka jahitan kulit evakuasi
gumpalan darah, bahkan kalau perlu untuk menjamin jalan nafas
bebas maka dilakukan trakeostomi.
b. Paralise n. rekuren laringeus
95 % terjadi neuropraksi dan bila bilateral maka perlu dilakukan
intubasi ulang segera, kadang sampai perlu dilakukan trakeostomi.
Kemungkinan terjadi komplikasi gangguan n. rekuren laringeus ini akan
meningkat pada operasi kedua ini. Pada penderita yang mengalami
komplikasi seperti ini apakah perlu segera dilakukan intervensi operatif
sangat tergantung dari gangguan obstruksi jalan nafas yang dialami
Apabila tidak seberapa obstruksi maka bisa di observasi sampai 6 - 12
bulan sambil menunggu pulihnya saraf rekuren tersebut.
c. Paralise n. laringeus superior.
Gejala yang timbul adalah penderita sukar mengontrol suara nada
tinggi, melemahnya suara ini terjadi akibat pemendekan pita suara oleh
15
Komplikasi metabolik yang terjadi adalah :
a. Tetani hipokalsemia.
Bisa disertai dengan hipoparatiroidi ataupun tanpa hipoparatiroidi
timbul biasanya pada hari ke-3 terutama pada massive thyroidectomy
(tiroidektomi yang strumanya besar), setelah 1 minggu diikuti
hipoparatiroidism. Gejala yang kadang bisa kita jumpai pada penderita
seperti ini antara lain :
- Chvostek-Weiss sign, dengan mengetuk pada daerah pangkal n.
fasialis (depan meatus akustikus eksternus), maka akan timbul
twitching pada wajah ipsi lateral.
- Trousseau's sign, sphygmomanometer dipasang dilengan atas,
kemudian dipompa sampai 200 mmHg. Tampak tetani pada lengan
bawah, biasanya akan diikuti dengan keadaan spasme jari - jari
fleksi - adduksi disebut "obstetrician's hand ", spasme ini nyeri.
Early Diagnosis and Current Treatment Paradigm in Head and Neck Surgery | 95
Dr. Yussy Afriani Dewi, dr., M.Kes., SpTHT-KL(K)., FICS
Kedua gejala ini timbul biasanya apabila level kalsium dalam se-
rum dibawah 8.0 mg/dL. Untuk mengetahui hipokalsemia ini bisa
dilakukan pemeriksaan kadar kalsium darah pada penderita post op
tiroidektomi setiap 12 jam sekali mulai hari ke-2. Pemberian vitamin D
dan suplemen kalsium diperlukan pada penderita yang mengalami
hipokalsemia berkepanjangan. Vitamin D2 (ergocalciferol) 50.000
sampai 100.000 IU (1,25-2,50 mg) /hari, untuk memacu absorbsi
kalsium. Pemberian kalsium peroral bisa dimulai dengan 1 sampai 3
g/hari dan berangsur angsur dosisnya diturunkan. Serum kalsium perlu
dijaga jangan sampai diatas 9.0 mg/dL untuk mencegah jangan sampai
hiperkalsiuria. Bila terjadi kalsiuria, maka perlu ditambahkan diuretika
golongan thiazide untuk segera menurunkan kalsiuria.
b. Krisis tiroid, (badai tiroid = thyroid storm )
Terjadi pada operasi struma toksika yang persiapannya tidak adekwat.
Walaupun cara pengobatannya sudah cukup dikenal namun pada
kenyataanya angka kematiannya terjadi masih cukup tinggi, sekitar
75%.
15
Komplikasi lanjut, yaitu :
a. Keloid.
Sebelum waktu penyembuhan jaringan lunak mencapai maksimal maka
bisa dikatakan suatu hipertrofi scar , setelah lebih dari 6 bulan maka
akan menetap dan disebut keloid. Bisa dikurangi / dicegah dengan
penjahitan yang tidak terlalu kencang atau dengan obat sebangsa
Kenacort, Madecasol cream .
b. Hipotiroid.
Hampir 20 % penderita post operasi tiroid mengalami hal ini. Untuk
mengatasi gangguan yang berkepanjangan maka ada beberapa ahli
yang memberikan substitusi hormon sintetis, misalnya dengan
memberikan tablet Euthyrox atau Thyrax dengan dosis 1 x 50 mg/hari,
secara berangsur-angsur diturunkan sejalan dengan berfungsinya
kembali kelenjar tiroid yang masih ada.
Early Diagnosis and Current Treatment Paradigm in Head and Neck Surgery | 97
Dr. Yussy Afriani Dewi, dr., M.Kes., SpTHT-KL(K)., FICS
3
Klasifikasi faktor prognostik menurut sistem AMES.
Variabel Deskripsi untuk prognostik Deskripsi untuk prognostik
baik jelek
Age Wanita <50 th, pria <40 th Wanita >50 th, pria >40 th
Metastase Metastase jauh (-) Metastase jauh (+)
Extent Terbatas dalam tiroid Invasif ke jaringan sekitar atau
metastasis jauh
Size Diameter tumor < 4 cm Diameter tumor > 4 cm
DAFTAR PUSTAKA
1. Greenspan FS, Rapaport B. Thyroid Gland. In Basic and clinical
endocrinology edited by Greenspan FS 3th edit Appleton and Lange
Norwalk, San Mateo, California. 1991; 188-213.
2. Mazzaferri EL. Thyroid cancer in thyroid nodules: finding a needle in the
haystack. Am J Med. 1992;93:359-362.
3. Daniel GH. Thyroid nodules and noduler Thyroids: a Clinical Overview.
Com Therapy. 2008; 22: 239-50.
4. McCaffrey TV. Evaluation of Thyroid Nodule. Cancer Control. 2000; 7:
223-28.
5. Hasan Al. Endokrinologi Klinik II:Karsinoma tiroid. Bandung; 1995.
6. Fachruddin, Tumor ganas pada Nodul dingin Tiroid, Tesis, Fakultas
Kedokteran Universitas Padjajaran Bandung, 1995.
7. Dewi, YA. Insidensi Tumor Kepala Leher tahun 2005-2010 di Bagian Ilmu
Kesehatan THT-KL FK UNPAD/RSHS Bandung. 2011.
Early Diagnosis and Current Treatment Paradigm in Head and Neck Surgery | 99
Dr. Yussy Afriani Dewi, dr., M.Kes., SpTHT-KL(K)., FICS
Pendahuluan
Keganasan telinga dan tulang temporal merupakan keganasan yang jarang
ditemukan dengan prevalensi sekitar 0,2% dari seluruh keganasan kepala
leher. Hanya 200 kasus baru ditemukan setiap tahunnya di USA, termasuk
didalamnya adalah tumor berasal dari kulit pinna yang meluas ke tulang
temporal, tumor primer dari liang telinga luar, telinga tengah, mastoid dan
1
apeks petrosus serta metastasis tumor ke tulang temporal. Lesi di telinga
luar terutama di pinna akan mudah dicurigai sebagai lesi keganasan, tetapi
lesi di liang telinga, telinga tengah dan mastoid memberikan gejala klinis
yang menyerupai infeksi kronis telinga tengah dan memerlukan
pemeriksaan penunjang untuk konfirmasi diagnosis. Keganasan telinga
utamanya adalah karsinoma sel skuamosa, tipe lain adalah basal sel
karsinoma, melanoma, adenoid cystic dan adenocarcinoma. Pada anak-
anak rhabdomyosarcoma adalah jenis yang paling banyak ditemukan yaitu.
10% dari seluruh rhabdomyosarcoma ditemukan pada telinga.
Meningioma, chordoma, keganasan pada parotis dan karsinoma nasofaring
dapat meluas ke tulang temporal. Metastasis jauh ke tulang temporal juga
dapat terjadi dari limfoma, keganasan pada mammae, paru, ginjal atau
1,2
prostat.
Etiologi
Karena keganasan pada area ini sangat jarang, sulit untuk menentukan
etiologi yang spesifik. Otitis media kronik dan kolesteatoma sering
ditemukan pada penderita keganasan tulang temporal dan diduga sebagai
101
DR. Lina Lasminingrum, dr, SpTHT-KL(K), MKes
3,4
faktor etiologi. Inflamasi kronik dapat mengarahkan ke metaplasia
skuamosa. Human papiloma Virus dianggap berkontribusi terhadap
5
keganasan telinga tengah. Lim melaporkan serial keganasan tulang
temporal pada pasien yang menjalani radioterapi untuk karsinoma
6
nasofaring.
Patofisiologi
Anatomi tulang temporal yang cukup rumit menjadikan penyebaran tumor
sulit untuk diprediksi. Tumor pada kulit aurikula dapat meluas sepanjang
jaringan lunak leher dan telinga. Jaringan lunak adalah barier yang buruk
terhadap perluasan tumor dan akhirnya tumor dapat meluas melalui konka
ke kanalis akustikus eksternus (KAE). Kartilago KAE mempunyai resistensi
yang minimal terhadap perluasan tumor. Fissura Santorini, foramen
Huschke, pertautan tulang-kartilago di KAE merupakan tempat penyebaran
langsung tumor ke jaringan periparotid dan sendi temporomandibular.
Tumor di KAE dapat menginvasi dinding posterior melalui jaringan
lunak ke sulcus retroaurikular diatas korteks mastoid. Dinding posterior
KAE bagian tulang cukup resisten terhadap ekstensi tumor, tetapi erosi
melalui dinding posterior ini merupakan akses perluasan tumor ke rongga
mastoid. Pertumbuhan tumor ke arah medial melalui membran timpani
dan cincin timpani menyebabkan invasi ke telinga tengah. Bila tumor sudah
mencapai telinga tengah, tulang yang sangat keras pada kapsul otic
merupakan barier yang sangat baik untuk menghambat perluasan tumor,
tetapi tumor dapat dengan mudah meluas melalui tuba eustachius, round
window dan oval window, struktur neurovaskuler dan sel-sel udara di
mastoid. Tuba eustachius dan struktur neurovaskular di telinga tengah
merupakan tempat potensial untuk tumor menyebar ke fossa
7
infratemporal, nasofaring atau leher.
Tumor yang agresif dapat meluas melalui tegmen timpani atau
mastoid ke middle atau posterior fossa. Sinus sigmoid dapat terkena,
demikian juga dura yang walaupun resisten terhadap invasi tetapi
menunjukkan prognosis yang buruk bila terkena. Nervus fasialis dan
foramen stilomastoideus menjadi jalan untuk metastasis ke jaringan lunak
7
leher dan parotis.
Gejala Klinik
1, 8
Gejala tersering dari keganasan telinga dan tulang temporal adalah :
Otalgia (80-85%)
Otore / hemoragik otore (40-75%)
Gangguan dengar progresif (45-80%)
kadang-kadang dizziness, gangguan keseimbangan, paralisis saraf fasial
dan nyeri kepala hebat bila tumor infiltrasi ke dura
Early Diagnosis and Current Treatment Paradigm in Head and Neck Surgery | 103
DR. Lina Lasminingrum, dr, SpTHT-KL(K), MKes
Perdarahan intermiten dan otore jangka waktu yang lama juga merupakan
gejala keganasan ini selain gangguan dengar. Diagnosis ditegakkan
berdasarkan hasil pemeriksaan histopatologi. Kecurigaan akan jaringan
pada telinga tengah dan mastoid yang tidak sembuh dengan pengobatan
yang sesuai memerlukan tindakan biopsi. Kecurigaan harus muncul bila
terdapat jaringan yang tidak biasa terlihat melalui perforasi membran
9
timpani, terutama yang disertai rasa nyeri.
Pengobatan :
Pengobatan pada tumor liang telinga dan tulang temporal tergantung
kepada ukuran, tipe atau stadium kanker dan lokasi tumor. Pembedahan
merupakan pilihan utama dikuti dengan radioterapi bila diperlukan.
Radioterapi primer tidak efektif untuk kuratif, tetapi untuk penderita
dengan kontraindikasi pembedahan, radiasi paliatif dan kemoterapi dapat
10
menjadi pilihan.
11,12
Terdapat 3 tipe pembedahan :
1. Reseksi kanal eksterna
Pada operasi ini dilakukan pengangkatan kanalis eksterna, kulit, tulang
dan membran timpani, dan dilakukan rekonstruksi telinga.
2. Reseksi tulang temporal lateral
Struktur yang diangkat pada operasi ini adalah tipe 1 disertai
pengangkatan telinga tengah .
3. Reseksi tulang temporal radikal
Pengangkatan seluruh tulang temporal termasuk telinga tengah dan
dalam dengan ekspos terhadap otak. Diperlukan rekonstruksi tulang
temporal. Bila tumor sudah menginvasi otak, diperlukan pembedahan
bersama dengan tim bedah kepala leher dan bedah syaraf.
Simpulan
Keganasan pada telinga dan tulang temporal merupakan keganasan yang
jarang ditemukan. Gejala klinik yang menyerupai inflamasi kronik
menjadikan diagnosis sering terlambat ditegakkan. Tumor yang sudah
meluas memerlukan penatalaksanaan yang cukup agresif dan memberikan
morbiditas yang cukup tinggi. Pengenalan dan diagnosis dini diperlukan
agar pengobatan tidak terlalu ekstensif dan prognosis lebih baik.
Early Diagnosis and Current Treatment Paradigm in Head and Neck Surgery | 105
DR. Lina Lasminingrum, dr, SpTHT-KL(K), MKes
DAFTAR PUSTAKA
1. Lee’s. K. J. Sarah Mowry. Marlan. H. Tumors of The Temporal Bone in
Essential Otolaryngology Head and Neck Surgery. The 10th editions.
The McGraw-Hill Companies; 2012.p;681-93
2. Shengjuan. Z. Tao. F. Jinjie. Q. Diagnosis and Treatment of Carcinoma
in external auditory canal. Elsevier. Journal of Otolgy. 2014. 9(3);
p;146-50.
3. Moffat DA, Wagstaff SA, Hardy DG. The outcome of radical surgery
and postoperative radiotherapy for squamous carcinoma of the
temporal bone.Laryngoscope. 2005 Feb. 115(2):341-7.
4. Keereweer S, Metselaar RM, Dammers R, Hardillo JA. Chronic serous
otitis media as a manifestation of temporal meningioma. ORL J
Otorhinolaryngol Relat Spec. 2011. 73(5):287-90.
5. Han. Z. Zhibin.C. Weiming. Z. Middle ear Squamuos pappiloma; A
report of four case analyzed by HPV and EBV in situ hybridization.
Oncol Lett. 2014. 7(1).p;41-46.
6. Lim LH, Goh YH, Chan YM, Chong VF, Low WK. Malignancy of the
temporal bone and external auditory canal. Otolaryngol Head Neck
Surg. 2000 Jun. 122(6):882-6.
7. Paul. W. Gidley. Review Managing Malignances of The External
auditory Canal. Taylor & Francis Groups. 2009 9(9);p;1277-82.
8. Moody SA, Hirsch BE, Myers EN. Squamous cell carcinoma of the
external auditory canal: an evaluation of a staging system. Am J Otol.
2000 Jul. 21(4):582-8.
9. Bailey. BJ. Young S. Matthew SR, and David WE. Salivary gland
neoplasms. Head and Neck Surgery-Otolaryngology. The 5th editions,
Lippincott Co. Philladelphia. 2014; p; 1760-68.
10. Kunst H, Lavieille JP, Marres H. Squamous cell carcinoma of the
temporal bone: results and management. Otol Neurotol. 2008 Jun.
29(4):549-52.
11. Cumming. C. W. Michael. M. Editor: Temporal Bone Neoplasma and
Lateral Cranial Base Surgery in Textbook Of Otolaryngology head and
Neck Surgery. The 4th edition. Philadhelphia. Elsevier Morsby.
2005.p;162-67.
12. Joseph. B. Nadol. Michael J. McKenna. Textbooks Surgery of the Ear and
Temporal Bone. The 2th Edition. Lippincott William-Wilkins.
Philadhelphia. 2005. P;487-501.
13. Garth F. Essig. Leon. K. Felicity. A. Lateral Temporal Bone Resection in
Advance Cutaneus Squamous Cell Carcinoma; report of 35 patients. J
Neurol Surg B Skull Base. 2013. 74(1)p;54-59.
14. Nakagawa T, Kumamoto Y, Natori Y, et al. Squamous cell carcinoma of
the external auditory canal and middle ear: an operation combined
with preoperative chemoradiotherapy and a free surgical
margin. Otol Neurotol. 2006 Feb. 27(2):242-8; discussion 249.
15. Hirsch BE, Myers EN, Moody SA. Malignant tumors of the temporal
bone. Laercio O, Selaimen S, eds. Otologia Clinia e Cirurgica. Revinter,
Tijuca: 2016. 319-329.
Early Diagnosis and Current Treatment Paradigm in Head and Neck Surgery | 107
DR. Lina Lasminingrum, dr, SpTHT-KL(K), MKes
ABSTRAK
Latar belakang: Tumor di area sinonasal merupakan tumor yang cukup
sering dijumpai, dapat bersifat jinak maupun ganas. Tatalaksana utama
tumor sinonasal adalah pembedahan.selain radioterapi maupun
kemoterapi. Dua dekade terakhir ini berkembang pendekatan bedah
berbasis endoskopi dengan tujuan invasif yang minimal. Tujuan: Menelaah
pendekatan bedah minimal invasif dari berbagai kepustakaan dalam
tatalaksana tumor sinonasal. Tinjauan pustaka: Perkembangan nasal
endoskopi, teknik, serta peralatan endoskopi membuat pendekatan bedah
endoskopi lebih dipilih. Kelebihan utama pendekatan ini adalah
mempermudah visualisasi berbagai area terkena tumor dengan tingkat
morbiditas yang lebih rendah dibandingkan teknik bedah terbuka. Berbagai
penelitian memperlihatkan teknik bedah endoskopi memberikan hasil
lebih baik dibandingkan teknik bedah terbuka, dilihat dari rekurensi tumor.
Tatalaksana bedah endoskopi papilloma sinonasal dan angiofibroma
nasofaring, sering dijadikan panduan dan pengembangan teknik bedah
minimal invasif pada tumor sinonasal lainnya. Kesimpulan: Pendekatan
bedah endoskopi untuk tatalaksana bedah tumor sinonasal saat ini lebih
dipilih karena lebih minimal invasif, morbiditas lebih rendah dengan
tingkat rekurensi loko-regional lebih rendah.
109
Sinta Sari Ratunanda
ABSTRACT
Background: Sinonasal neoplasms are a quite common neoplasms in ORL-
HNS practice which could be benign or malignat. The main management
for sinonasal neoplasms is surgery, beside radiotherapy and
chemotherapy. Over the last two decades, endoscopic approach has
developed with the purpose minimally invasive surgery. Purpose: To see
studies and journals about minimally invasive surgery in sinonasal
neoplasms. Results: Development of nasal endoscopy, techniques, and
endoscopic tools, has altered the surgery of snonasal neoplasms.This
approach allowed visualization of neoplasms area with low morbidity than
open surgery approach. Some studies report endoscopic approach have
superior results than open technique, especially in loco-regional control
reccurence. Sinonasal Inverted Papilloma and Juvenile Nasopharyngeal
Angiofibroma transnasal endoscopic approach, commonly use as role
model for guidelines and development of sinonasal endoscopic minimally
invasive technique surgery for others sinonasal neoplasms. Conclusion:
Minimally invasive surgery by endoscopic approach are choosen for
management of sinonasal neoplasms because more minimally invasive,
low morbidty, and low loco-regional reccurence than open surgery.
PENDAHULUAN
Tumor sinonasal merupakan tumor yang cukup sering dijumpai dalam
praktek sehari-hari dokter spesialis THT-KL. Insidensinya berkisar sekitar
3% dari seluruh tumor saluran nafas atas. Data di Rumah Sakit Hasan
Sadikin Bandung memperlihatkan tumor-tumor di area ini menempati
urutan ke-2 dari seluruh tumor di area THT-KL.
Tumor sinonasal dapat bersifat jinak maupun ganas. Asal tumor
dapat berasal dari epitelial, non epithelial, limforetikuler dan metastase
karsinoma. Jenis tumor sinonasal jinak yang cukup sering dijumpai adalah
TINJAUAN PUSTAKA
Tumor-tumor di area sinonasal merupakan tumor yang cukup sering
dijumpai dalam praktek sehari-hari dokter spesialis THT-KL. Secara umum,
tumor sinonasal yang ganas insidensinya sekitar 3% dari seluruh tumor
yang menyerang saluran nafas bagian atas. Di Departemen Ilmu Kesehatan
THT-KL Rumah Sakit Hasan Sadikin Bandung, seluruh tumor sinonasal (jinak
maupun ganas) menempati urutan ke-2 terbanyak pasien tumor yang
Early Diagnosis and Current Treatment Paradigm in Head and Neck Surgery | 111
Sinta Sari Ratunanda
Early Diagnosis and Current Treatment Paradigm in Head and Neck Surgery | 113
Sinta Sari Ratunanda
Early Diagnosis and Current Treatment Paradigm in Head and Neck Surgery | 115
Sinta Sari Ratunanda
pendekatannya adalah reseksi area frontal dari resesus frontal, dan reseksi
komplit tumor di tempat perlekatannya. Reseksi tumor di area-area yang
sulit dijangkau seperti dinding anterior dan lateral sinus maksilaris, dinding
superior dan lateral dari sinus frontal, dapat dijangkau per-endoskopik
dengan mempergunakan alat-alat endoskopik yang bersudut, misalnya
bersudut sampai 45 dan 70 derajat.
Reseksi tumor sinonasal lewat pendekatan transnasal endoskopik
kadang-kadang memerlukan kombinasi dengan pendekatan lainnya, untuk
mencapai tujuan reseksi yang komplit termasuk tempat perlekatannya.
Sebagai contoh: kadang-kadang diperlukan pendekatan Caldwell-Luc,
prosedur Lothrop (Draf tipe III frontal sinusotomy), atau bedah terbuka.
Selain itu, kombinasi operasi juga diperlukan untuk penutupan daerah
operasi yang terbuka atau mengatasi komplikasi yang terjadi. Hal ini dapat
diatasi dengan bersama-sama dengan pendekatan transnasal endoskopik.
DISKUSI
Penemuan teknologi endoskopi, baik teknik maupun peralatan, telah
membawa perkembangan operasi tumor-tumor sinonasal melalui
pendekatan transnasal endoskopik menjadi pilihan utama. Visualisasi yang
jelas, kepastian perlekatan dan tepi tumor yang terlihat, identifikasi
struktur-struktur yang penting yang berdekatan, menghindari insisi yang
terlihat secara kosmetik, serta preservasi mukosa sinonasal yang normal;
menjadi alasan mengapa pendekatan operasi ini lebih dipilih. Selain itu,
tingkat rekurensi lokoregional yang lebih rendah seiring dengan kemajuan
alat dan teknik endoskopik, dibandingkan dengan pembedahan terbuka,
membuat pendekatan transnasal per endoskopik lebih dipilih.
Model teknik operasi dan peralatan endoskopik yang digunakan
pada operasi papilloma inverted sinonasal dan angiofibroma nasofaring,
menjadi contoh untuk operasi tansnasal endoskopik tumor sinonasal
secara umum. Teknik pada kedua operasi terus dikembangkan dan
sekarang bukan hanya terbatas pada reseksi tumor saja, tetapi juga
mengatasi dampak ekstensi tumor sinonasal ke area-area yang berbahaya,
seperti orbita dan intrakranial.
DAFTAR PUSTAKA
1. Goyal P. Advances in endoscopic resection of sinonasal neoplasms.
Indian J. Otolaryngol Head Neck Surg (July-September 2010).
629309rhinology): 277-284.
2. Chen Mu-Kuan. Minimally invasive endoscopic resection of sinonasal
malignancies and skull base surgery. Acta Oto-Laryngologica, 2006; 126:
981 – 986.
3. Zimmer LA, Carrau RL. Neoplasms of the nose and paranasal sinuses. In:
Bailey BJ, Pillsbury III HC, Driscoll BP,editors. Head and Neck Surgery –
Otolaryngology. Philadhelpia: Lippicontt-Raven Pub; 2014. p.2044-
2062.
4. Hartl D, Brasnu D, Shah J, Hinni M, Takes R, Olsen K, Kowalski L, et.al. Is
open surgery for head and neck cancer truly declining?. European
Archives of Oto-Rhino-Laryngology. Nov2013, Vol. 270 Issue 11, p2793
– 2802.
Early Diagnosis and Current Treatment Paradigm in Head and Neck Surgery | 117
Sinta Sari Ratunanda
Pendahuluan
Tumor sinonasal adalah penyakit di mana terjadinya pertumbuhan sel
(ganas) pada sinus paranasal dan rongga hidung. Lokasi hidung dan sinus
paranasal (sinonasal) merupakan rongga yang dibatasi oleh tulang-tulang
wajah yang merupakan daerah yang terlindung sehingga tumor yang
timbul di daerah ini sulit diketahui secara dini. Tumor hidung dan sinus
paranasal pada umumnya jarang ditemukan, baik yang jinak maupun yang
ganas. Di Indonesia dan di luar negeri, angka kejadian jenis yang ganas
hanya sekitar 1% dari keganasan seluruh tubuh atau 3% dari seluruh
keganasan di kepala dan leher. Asal tumor primer juga sulit untuk
ditentukan, apakah dari hidung atau sinus karena biasanya pasien berobat
dalam keadaan penyakit telah mencapai tahap lanjut dan tumor sudah
memenuhi rongga hidung dan seluruh sinus.
Lokasi rongga hidung dan sinus paranasal membuat tumor sangat
dekat dengan struktur vital. Masalah ini diperburuk oleh fakta bahwa
manifestasi awal yang terjadi (misalnya epistaksis unilateral, obstruksi nasi)
mirip dengan kondisi awal yang umum dikeluhkan tanpa adanya keluhan
spesifik lainnya. Oleh karena itu, pasien dan dokter sering mengabaikan
atau meminimalkan presentasi awal dari tumor dan mengobati tahap awal
keganasan sebagai gangguan sinonasal jinak. Pengobatan keganasan
sinonasal paling baik dilakukan oleh tim dokter ahli dengan berbagai
disiplin ilmu.
Epidemiologi
Keganasan sinonasal jarang terjadi. Mereka lebih umum di Asia dan Afrika
daripada di Amerika Serikat. Di bagian Asia, keganasan sinonasal adalah
119
dr. Nur Akbar Aroeman, Sp.THT-KL(K)
peringkat kedua yang paling umum dan kanker leher karsinoma nasofaring
belakang. Pria terkena 1,5 kali lebih sering dibandingkan wanita, dan 80%
dari tumor ini terjadi pada orang berusia 45-85 tahun. Sekitar 60-70% dari
keganasan sinonasal terjadi pada sinus maksilaris dan 20-30% terjadi pada
rongga hidung sendiri. Diperkirakan 10-15% terjadi pada sel-sel udara
ethmoid (sinus), dengan minoritas sisa neoplasma ditemukan di sinus
frontal dan sphenoid.
Anatomi
1. Hidung
Secara umum, hidung dapat dibagi atas dua bagian, yaitu bagian luar
(eksternal) dan bagian dalam (internal). Di bagian luarnya, hidung dibentuk
oleh tulang, kulit dan otot. Osteo kartilago hidung dibungkus oleh
beberapa otot yang berfungsi dalam pergerakan hidung meski minimal.
Kulit yang melapisi tulang hidung dan tulang rawan hidung merupakan
kulit yang tipis dan mudah untuk digerakkan serta mengandung banyak
kelenjar sebasea.Sedangkan dibagian dalamnya terdiri atas dua kavum
berbentuk seperti terowongan yang dibatasi oleh septum nasi.
Setiap kavum nasi terhubung dengan nostril dibagian depan dan
choana dibagian belakang. Di dalam cavum nasi anterior inferior terdapat
vestibulum yang berisi kelenjar sebasea dan rambut hidung dan dibagian 4
lateralnya terdapat tiga susun turbin konka yang disebut konka nasalis
superior, media dan inferior. Vaskularisasi hidung berasal dari arteri karotis
baik eksterna maupun interna. Persarafan hidung terdiri atas fungsi
sensorik dan autonom. Cabang sensorik nya terbagi tiga yaitu, nervus
ethmoidalis anterior, cabang ganglion sphenopalatina dan cabang saraf
infraorbitalis, sedangkan fungsi autonomnya yang berasal dari serat saraf
parasimpatis yang berasal dari nervus petrosus superfisial terbesar.
Secara umum fungsi hidung terdiri atas fungsi respirasi, indera
penciuman sebab didalamnya terdapat nervus olfaktorius dan bulbus
olfaktori, konka dan vaskular didalamnya melembabkan udara inspirasi,
cilia dan rambut hidung yang terdapat pada antero inferior cavum nasi
melindungi saluran pernapasan atas, memperbaiki kualitas resonansi suara
yang dikeluarkan, serta fungsi refleks nasal.
2. Sinus paranasalis
Ada empat pasang sinus paranasal yaitu sinus maksila, sinus frontal, sinus
etmoid dan sinus sfenoid kanan dan kiri. Sinus paranasal merupakan hasil
pneumatisasi tulang-tulang kepala, sehingga terbentuk rongga di dalam
tulang. Semua sinus mempunyai muara ke rongga hidung. Secara
embriologik, sinus paranasal berasal dari invaginasi mukosa rongga hidung
dan perkembangannya dimulai pada fetus usia 3-4 bulan, kecuali sinus
sfenoid dan sinus frontal. Sinus maksila dan sinus etmoid telah ada saat
anak lahir, sedangkan sinus frontal berkembang dari sinus etmoid anterior
pada anak yang berusia kurang lebih 8 tahun. Pneumatisasi sinus sfenoid
dimulai pada usia 8-10 tahun dan berasal dari bagian postero-superior
rongga hidung. Sinus-sinus ini umumnya mencapai besar maksila 15-18
tahun.
Sinus maksila merupakan sinus paranasal yang terbesar. Saat lahir
sinus maksila bervolume 6-8 ml, sinus kemudian berkembang dengan
cepat dan akhirnya mencapai ukuran maksimal, yaitu 15 ml saat dewasa.
Sinus maksila berbentuk segitiga. Dinding anterior sinus ialah permukaan
fasial os maksila yang disebut fosa kanina, dinding posteriornya adalah
permukaan infra-temporal maksila, dinding medialnya ialah dinding lateral
rongga hidung dinding superiornya adalah dasar orbita dan dinding inferior
adalah prosesus alveolaris dan palatum. Ostium sinus maksila berada di
sebelah superior dinding medial sinus dan bermuara ke hiatus semilunaris
melalui infindibulum etmoid.
Sinus frontal yang terletak di os frontal mulai terbentuk sejak bulan
ke empat fetus, berasal dari sel-sel resesus frontal atau dari sel-sel
infundibulum etmoid. Sesudah lahir, sinus frontal mulai berkembang pada
usia 8-10 thn dan akan mencapai ukuran maksimal sebelum usia 20 thn.
Sinus frontal kanan dan kiri biasanya tidak simetris, satu lebih besar dari
pada lainnya dan dipisahkan oleh sekret yang terletak di garis tengah.
Kurang lebih 15% orang dewasa hanya mempunyai satu sinus frontal dan
kurang lebih 5% sinus frontalnya tidak berkembang. Ukurannya sinus
frontal adalah 2.8 cm tingginya, lebarnya 2.4 cm dan dalamnya 2 cm. Sinus
frontal biasanya bersekat-sekat dan tepi sinus berleku-lekuk. Tidak adanya
Early Diagnosis and Current Treatment Paradigm in Head and Neck Surgery | 121
dr. Nur Akbar Aroeman, Sp.THT-KL(K)
Early Diagnosis and Current Treatment Paradigm in Head and Neck Surgery | 123
dr. Nur Akbar Aroeman, Sp.THT-KL(K)
Etiologi
Perubahan dari sel normal menjadi sel kanker dipengaruhi oleh banyak
faktor (multifaktor) dan bersifat individual atau tidak sama pada setiap
orang. Faktor-faktor yang dapat meningkatkan resiko terjadinya tumor
sinonasal antara lain :
1. Penggunaan tembakau. Penggunaan tembakau (termasuk di dalamnya
adalah rokok, cerutu, rokok pipa, mengunyah tembakau, menghirup
tembakau) adalah faktor resiko terbesar penyebab kanker pada kepala
dan leher.
2. Alkohol. Peminum alkohol berat dengan frekuensi rutin merupakan
faktor resiko kanker kepala dan leher.
3. Inhalan spesifik. Menghirup substansi tertentu, terutama pada
lingkungan kerja, mungkin dapat meningkatkan resiko terjadinya
kanker kavum nasi dan sinus paranasal, termasuk diantaranya adalah:
a. Debu yang berasal dari industri kayu, tekstil, pengolahan
kulit/kulitsintetis, dan tepung.
b. Debu logam berat: kromium, asbesc.
c. Uap isoprofil alkohol, pembuatan lem, formaldehyde, radium.
d. Uap pelarut yang digunakan dalam memproduksi furniture dan
sepatu.
4. Sinar ionisasi: Sinar radiasi; Sinar UV
5. Virus: Virus HPV, Virus Epstein-barr
6. Usia penyakit keganasan ini lebih sering didapatkan pada usia antara 45
tahun hingga 85 tahun.
7. Jenis Kelamin Keganasan pada kavum nasi dan sinus paranasalis
ditemukan dua kali lebih sering pada pria dibandingkan pada wanita.
Efek paparan ini mulai timbul setelah 40 tahun atau lebih sejak
pertama kali terpapar dan menetap setelahnya. Paparan terhadap
thorotrast, agen kontras radioaktif juga menjadi factor resiko tambahan.
Patofisiologi
Perubahan dari sel normal menjadi sel kanker dipengaruhi oleh multifaktor
seperti yang sudah dipaparkan diatas dan bersifat individual. Faktor resiko
terjadinya tumor sinonasal semisal bahan karsinogen seperti bahan kimia
inhalan, debu industri, sinar ionisasi dan lainnya dapat menimbulkan
kerusakan ataupun mutasi pada gen yang mengatur pertumbuhan tubuh
yaitu gen proliferasi dan diferensiasi. Dalam proses diferensiasi ada dua
kelompok gen yang memegang peranan penting, yaitu gen yang memacu
diferensiasi (proto-onkogen) dan yang menghambat diferensiasi (anti-
onkogen). Untuk terjadinya transformasi dari satu sel normal menjadi sel
kanker oleh karsinogen harus melalui beberapa fase yaitu fase inisiasi dan
fase promosi serta progresi. Pada fase inisiasi terjadi perubahan dalam
bahan genetik sel yang memancing sel menjadi gana sakibat suatu
onkogen, sedangkan pada fase promosi sel yang telah mengalami inisiasi
akan berubah menjadi ganas akibat terjadinya kerusakan gen. Sel yang
tidak melewati tahap inisiasi tidak akan terpengaruh promosi sehingga
tidak berubah menjadi sel kanker. Inisiasi dan promosi dapat dilakukan
oleh karsinogen yang sama atau diperlukan karsinogen yang berbeda.
Sejak terjadinya kontak dengan karsinogen hingga timbulnya sel
kanker memerlukan waktu induksi yang cukup lama yaitu sekitar 15-
30tahun. Pada fase induksi ini belum timbu kanker namun telah terdapat
perubahan pada sel seperti displasia. Fase selanjutnya adalah fase in situ
dimana pada fase ini kanker mulai timbul namun pertumbuhannya masih
terbatas jaringan tempat asalnya tumbuh dan belum menembus membran
basalis. Fase in situ ini berlangsung sekitar 5-10 tahun. Sel kanker yang
bertumbuh ini nantinya akan menembus membran basalis dan masuk ke
jaringan atau organ sekitarnya yang berdekatan atau disebut juga dengan
fase invasif yang berlangsung sekitar 1-5 tahun. Pada fase diseminasi
(penyebaran) sel-sel kanker menyebar ke organ lain seperti kelenjar limfe
regional dan atau ke organ-organ jauh dalam kurun waktu 1-5 tahun.
Early Diagnosis and Current Treatment Paradigm in Head and Neck Surgery | 125
dr. Nur Akbar Aroeman, Sp.THT-KL(K)
Manifestasi Klinis
Gejala tergantung dari asal primer tumor serta arah perluasannya. Tumor
di sinus maksila biasanya tanpa gejala. Gejala timbul setelah tumor besar,
mendorong atau menembus dinding tulang meluas ke rongga hidung,
rongga mulut, pipi atau orbita. Tergantung dari perluasan tumor, gelaja
dikategorikan sebagai berikut :
1. Gejala nasal. Obstruksi hidung unilateral dan rinore. Sekretnya sering
bercampur darah atau terjadi epistaksis. Tumor yang besar dapat
mendesak tulang hidung sehingga terjadi deformitas hidung. Khas pada
tumor ganas ingusnya berbau karena mengandung jaringan nekrotik.
2. Gejala orbita. Perluasan tumor ke arah orbita menimbulkan gejala
diplopia, proptosis atau penonjolan bola mata, oftalmoplegia,
gangguan visus dan epifora.
3. Gejala oral. Perluasan tumor ke rongga mulut menyebabkan
penonjolan atau ulkus di palatum atau di prosesus alveolaris. Pasien
mengeluh gigi palsunya tidak pas atau gigi geligi goyang. Seringkali
pasien datang ke dokter gigi karena nyeri di gigi, tapi tidak sembuh
meskipun gigi yang sakit telah dicabut.
4. Gejala fasial. Perluasan kedepan akan menyebabkan penonjolan pipi.
Disertai nyeri, anestesi atau parestesia muka jika mengenai nervus
trigeminus.
5. Gejala intracranial. Perluasan tumor ke intracranial menyebabkan sakit
kepala hebat oftalmoplegia dan gangguan visus. Dapat disertai likuorea,
yaitu cairan otak yang keluar melalui hidung. Jika perluasan sampai di
fossa kranii media maka saraf cranial lainnya juga terkena. Jika tumor
meluas ke belakang, terjadi trismus akibat terkenanya muskulus
pterigoideus disertai anetesia dan parestesi daerah yang di persyarafi
Diagnosis
Diagnosis pasti ditegakkan berdasarkan pemeriksaan histopatologi. Jika
tumor tampak dirongga hidung atau rongga mulut, maka biopsi mudah dan
harus segera dilakukan. Biopsi tumor sinus maksila, dapat dilakukan
melalui tindakan sinoskopi atau melalui operasi Caldwel-Luc yang insisinya
melalui sulkus ginggivo-bukal. Jika dicurigai tumor vaskuler, misalnya
angofibroma, jangan lakukan biopsi karena akan sangat sulit menghentikan
perdarahan yang terjadi. Diagnosis adalah dengan angiografi.
Pemeriksaan nasoendoskopi dan sinuskopi dapat membantu
menemukan tumor pada stadium dini. Adanya pembesaran kelenjar leher
juga perlu dicari meskipun tumor ini jarang bermetastasis ke kelenjar leher
1. Pemeriksaan fisik.
Saat memeriksa pasien, pertama- tama perhatikan wajah pasien
apakah terdapat asimetri atau tidak. Selanjutnya periksa dengan
seksama kavum nasi dan nasofaring melalui rinoskopi anterior dan
posterior. Permukaan yang licin merupakan pertanda tumor jinak
sedangkan permukaan yang berbenjol-benjol, rapuh dan mudah
berdarah merupakan pertanda tumor ganas. Jika dinding lateral kavum
nasi terdorong ke medial berarti tumor berada di sinus maksila.
2. Pemeriksaan penunjang
Radiologi imaging
Radiologic imaging penting untuk menentukan staging. Plain film
menunjukkan destruksi tulang, meskipun demikian pada beberpa
kasus dapat menunjukkan keadaan normal.
Screening computed tomography (CT) scan lebih akurat daripada
plain film untuk menilai struktur tulang sinus paranasal dan lebih
murah daripada plain film. Pasien beresiko tinggi dengan riwayat
terpapar karsinogen, nyeri persisten yang berat, neuropati kranial,
Early Diagnosis and Current Treatment Paradigm in Head and Neck Surgery | 127
dr. Nur Akbar Aroeman, Sp.THT-KL(K)
Penatalaksanaan
Pasien dengan kanker sinus paranasal biasanya dirawat oleh timspesialis
menggunakan pendekatan holistik multidisiplin ilmu. Setiap pasien
menerima rencana pengobatan yang disesuaikan untuk memenuhi
kebutuhannya. Pilihan pengobatan utama untuk tumor sinus paranasal
meliputi :
1. Pembedahan
Terapi bedah yang dilakukan biasanya adalah terapi kuratif dengan reseksi
bedah. Pengobatan terapi bedah ini umumnya berdasarkan staging dari
masing-masing tumor. Secara umum, terapi bedah dilakukan pada lesi
jinak atau lesi dini (T1-T2). Terkadang, pembedahan dengan margin/batas
yang luas tidak dapat dilakukan karena dekatnya lokasi tumor dengan
struktur-struktur penting padadaerah kepala, serta batas tumor yang tidak
jelas. Radiasi post operatif sangat dianjurkan untuk mengurangi insiden
kekambuhan lokal. Pada beberapa kasus eksisi paliatif ataupun debulking
perlu dilakukan untuk mengurangi nyeri yang hebat, ataupun untuk
membebaskan dekompresi saraf optik dan rongga orbita, serta untuk
drainase sinus paranasalis yang mengalami obstruksi. Jenis reseksi dan
pendekatan bedah yang akan dilakukan bergantung pada ukuran tumor
danletaknya/ekstensinya.
Tumor yang berlokasi di kavum nasi dapat dilakukan berbagai
pendekatan bedah seperti reseksi endoskopi nasal, transnasal, sublabial,
sinus paranasalis, lateral rhinotomy atau kombinasi dari bedah endoskopi
dan bedah terbuka (open surgery). Tumor tahap lanjut mungkin
membutuhkan tindakan eksenterasi orbita, totalataupun parsial
maksilektomi ataupun reseksi anterior cranial base dan kraniotomi.
Early Diagnosis and Current Treatment Paradigm in Head and Neck Surgery | 129
dr. Nur Akbar Aroeman, Sp.THT-KL(K)
2. Radioterapi
Terapi radiasi juga disebut radioterapi kadang-kadang digunakan sendiri
pada stadium I dan II, atau dalam kombinasi dengan operasi dalam setiap
tahap penyakit sebagai adjuvant radioterapi (terapi radiasi yang diberikan
setelah dilakukannya terapi utama seperti pembedahan). Pada tahap awal
kanker sinus paranasal, radioterapi dianggap sebagai terapi lokal alternatif
untuk operasi. Radioterapi melibatkan penggunaan energi tinggi, penetrasi
sinar untuk menghancurkan sel-sel kanker di zona yang akan diobati.
Terapi radiasi juga digunakan untuk terapi paliatif pada pasien dengan
kanker tingkat lanjut. Jenis terapi radiasi yang diberikan dapat berupa
teleterapi (radiasi eksternal) maupun brachyterapi (radiasi internal).
3. Kemoterapi
Kemoterapi biasanya diperuntukkan untuk terapi tumor stadium
lanjut. Selain terapi lokal, upaya terbaik untuk mengendalikan sel-sel
kanker beredar dalam tubuh adalah dengan menggunakan terapi sistemik
(terapi yang mempengaruhi seluruh tubuh) dalam bentuk suntikan atau
obat oral. Bentuk pengobatan ini disebut kemoterapi dan diberikan dalam
siklus (setiap obat atau kombinasi obat-obatan biasanya diberikan setiap
tiga sampai empat minggu). Tujuan kemoterapi untuk terapi tumor
sinonasal adalah sebagai terapi tambahan (baik sebagai adjuvant maupun
neoadjuvant), kombinasi dengan radioterapi (concomitant), ataupun
sebagai terapi paliatif. Kemoterapi dapat mengurangi rasa nyeri akibat
tumor, mengurangi obstruksi, ataupun untuk debulking pada lesi-lesi
massif eksternal. Pemberian kemoterapi dengan radiasi diberikan pada
pasien- pasien dengan resiko tinggi untuk rekurensi seperti pasien dengan
hasil PA margin tumor positif setelah dilakukan reseksi, penyebaran
perineural,ataupun penyebaran ekstrakapsular pada metastasis regional.
Komplikasi
Komplikasi mengobati keganasan sinus berhubungan dengan pembedahan
dan rekonstruksi. Komplikasi bedah termasuk perdarahan klinis signifikan,
kebocoran LCS, infeksi, anosmia, dysgeusia, dan kerusakan saraf kranial
lainnya.
Perdarahan
Perdarahan dapat terjadi jika kontrol dari kapal besar yang terlupakan.
Masalah ini dapat terjadi jika arteri pada awalnya di vasospasme dan
jika tidak ada perdarahan aktif dicatat sampai setelah operasi. Arteri
ethmoid dan sphenopalatina anterior dan posterior dapat dibakar,
dipotong, atau diikat untuk mencegah atau mengendalikan perdarahan.
Jika diperlukan, radiologi intervensi dapat diminta untuk membantu
dengan intra-arteri melingkar untuk mengontrol perdarahan.
Kebocoran CSF
Selama operasi, kebocoran LCS dapat terjadi dekat dasar tengkorak.
Manajemen yang tepat dimulai dengan identifikasi.Gejala mungkin
Early Diagnosis and Current Treatment Paradigm in Head and Neck Surgery | 131
dr. Nur Akbar Aroeman, Sp.THT-KL(K)
termasuk rhinorrhea jelas, rasa asin di mulut, tanda halo, atau tanda
reservoir. Setelah mencatat, identifikasi kebocoran dapat dibuat
endoskopi atau dengan injeksi intratekal dari fluorecin. Tes, seperti tes
untuk tau atau beta transferin, mungkin yang paling spesifik, tapi
mungkin butuh beberapa hari untuk hasil untuk diproses. Manajemen
konservatif dengan istirahat dan menguras lumbal dapat digunakan
untuk 5 hari pertama di samping penempatan pada antibiotik. Jika
resolusi tidak terjadi, intervensi bedah harus digunakan, termasuk
menambal dengan allograft kulit, tulang turbinate, dan mukosa hidung.
Flaps mukosa dapat dinaikkan dan digunakan untuk menutup
kebocoran dengan tulang atau tulang rawan interpositioned. Untuk
kebocoran besar, menguras tulang belakang mungkin diperlukan untuk
memungkinkan cangkok dan teknik penyegelan untuk memperkuat dan
mengintegrasikan.
Epiphora
Epiphora adalah komplikasi umum dari operasi yang disebabkan oleh
obstruksi pada saluran keluar lacrimalis. Hal ini dapat terjadi karena
kerusakan pada puncta lacrimalis, karung, atau saluran. Perawatan
harus diambil untuk marsupialize duktus lakrimal jika terkoyak atau
rusak dalam operasi untuk mencegah obstruksi. Tindak lanjut
dakriosistorhinostomi endoskopik atau terbuka mungkin diperlukan.
Diplopia
Diplopia adalah komplikasi yang dikenal dalam setiap operasi yang
melibatkan kerucut orbital. Perbaikan yang tepat dari lantai orbital
adalah kunci untuk mencegah komplikasi ini, tetapi dalam beberapa
kasus itu tidak dapat dihindari bahkan dengan teliti rekonstruksi. Dalam
kasus diplopia, lensa prisma biasanya metode yang paling sederhana
untuk koreksi, sebagai koreksi bedah dengan oftalmologi dapat rumit
oleh jaringan parut dari operasi sebelumnya dan pengobatan radiasi.
Konsultasi Oftalmologi adalah standar perawatan.
Rekonstruksi
Dalam kasus yang ideal, rekonstruksi mempertahankan bentuk dan
fungsi. Sebuah flap rektus bebas atau jaringan lain yang jauh mungkin
Prognosis
Tingkat ketahanan hidup bagi pasien dengan rata-rata kanker sinus
maksilaris sekitar 40% selama 5 tahun. Tahap awal tumor memiliki angka
kesembuhan hingga 80%. Pasien dengan tumor dioperasi diobati dengan
radiasi memiliki tingkat kelangsungan hidup kurang dari 20%. Tingkat
ketahanan hidup untuk tumor ethmoid telah sedikit meningkat karena
kemajuan di tengkorak-basis operasi.
DAFTAR PUSTAKA
1. Arsyad efiaty dkk, 2007, Buku Ajar Ilmu Kesehatan Telinga Hidung
Tenggorokan Kepala & Leher: edisi 6, Jakarta : Fakultas Kedokteran
Universitas Indonesia
2. L . Adams, George, MD et all. BOEIS Buku Ajar Penyakit THT : edisi 6,
Jakarta : Penerbit Buku Kedokteran
3. Tumor Sinonasal , diunduh dari http://emedicine.medscape.com/
article/847189 overview#showall
4. Malignant Tumor of the Nasal Cavity, diunduh http://emedicine.
medscape.com/article/846995-overview#showall
5. L Smith, Stacey et all, Sinonasal Teratocarcinosarcoma of the Head and
Neck arch Otolaringol Head Neck Surg,2008 ; 134 (6):592-595, diunduh
dari http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pubmed/
6. Vivanco blanca et all, Benign Lesions in Mucosa Adjacent to Intestinal-
Type Sinonasal Adenocarcinoma, diunduh dari http://www.ncbi.
nlm.nih.gov/pubmed/ 16
7. Kazi Shameemus et all, Clinicopathological study of sinonasal
malignancy, Bangladesh J. Otorhinolaryngol 2009; 15(2): 55-59.
Early Diagnosis and Current Treatment Paradigm in Head and Neck Surgery | 133
dr. Nur Akbar Aroeman, Sp.THT-KL(K)
Pendahuluan
Terapi definitif lokal (operasi dan atau radioterapi) merupakan komponen
kunci terapi inisial pada kanker kepala dan leher sel skuamosa lokal lanjut(
stadium III/IV) tetapi berhubungan dengan tingginya rekuren lokoregional
dan metastase. Terapi juga dapat menimbulkan morbiditas , terutama
hilangnya fungsi menelan dan fungsi laring. Sebagai usaha untuk
meningkatkan keberhasilan terapi dan mempertahankan fungsi,
kemoterapi diintegrasikan dalam pendekatan multimodal. Pendekatan ini
diterapkan pada penderita dengan kanker yang tidak dapat direseksi atau
pada penderita yang dapat direseksi tetapi memilih tehnik preservasi
organ.1 ( Bruce B)
Pendekatan terapi kombinasi ( operasi, radioterapi dan /atau
kemoterapi ) pada umumnya diperlukan untuk kontrol penyakit jangka
panjang dengan optimal padakanker kepala dan leher lokoregional
2
lanjut. ( Pignon) . Keputusan tentang sekuen terapi yang optimal dan
pilihan operasi, radioterapi dan atau kemoterapi memerlukan pendapat
multidisiplin. Faktor-faktor kunci yang perlu dipertimbangkan adalah :
lokasi tumor primer, ekstensi penyakit , faktor individual pasien ( umur,
komorbiditas, pilihan terapi ) dan kemungkinan konsekuensi fungsional
dan morbiditas terapi. Pemilihan terapi juga harus mempertimbangkan
3
pengalaman dan teknologi yang tersedia di institusi kesehatan. (Bruce
uptodate)
Kemoterapi termasuk terapi sistemik . Terapi sistemik lainnya
adalah pemberian antibodi . Pada makalah ini akan dibahas jenis terapi
135
Amaylia Oehadian
Dasar pemikiran
Manfaat kunci mengintegrasikan kemoterapi dengan radioterapi dalam
preservasi fungsi organ adalah :
Kemoterapi induksi sebelum kemoterapi dapat mengurangi volume
tumor dan memperbaiki fungsi sebelum kemoradioterapi konkuren. Hal
ini memungkinkan terapi lokal yang lebih efektif dengan toksisitas yang
3
lebih sedikit..
Kemoterapi induksi dapat meningkatkan kontrol lokoregional dan
3
preservasi organ.
Pemberian kemoterapi konkuren dengan radioterapi dapat
meningkatkan sensitivitas sel tumor terhadap radioterapi sehingga
mengatasi resisten terhadap radiasi. Berkurangnya repppopulasi
antasa fraksi radioterapi juga berperan dalam manfaat konkuren
3
kemoterapi.
Indikasi
Terapi kombinasi diindikasikan pada kanker kepala dan leher :
Stadium lanjut ( stadium III, IVA dan IV B)
Kemoterapi diberikan sebagai bagian terapi multimodal, pada umunya
3
dengan radioterapi. (Bruce uptodate)
Metastase
Kemoterapi paliatif dan/atau terapi suportif merupakan pilihan pada
banyak pasien dengan rekuren lokal metastase yang tidak dapat
diberikan terapi definitif , juga bagi pasien yang mengalami metastase
3
jauh dan tersebar. (Bruce uptodate)
Early Diagnosis and Current Treatment Paradigm in Head and Neck Surgery | 137
Amaylia Oehadian
2. Nasofaring
Kemoradiasi diikuti kemoterapi ajuvan. :
4
Rekomendasi terapi NCCN 2016 untuk kanker yang rekuren, tidak dapat
4
direseksi atau metastase. :
4
1. Terapi kombinasi.
Cisplatin atau carboplatin + 5-FU + cetuximab (non-nasofaring)
(kategori 1)
Cisplatin atau carboplatin + docetaxel atau paclitaxel (kategori 2A)
Cisplatin/cetuximab ( non-nasofaring) (kategori 2A)
Cisplatin + 5-FU (kategori 2A)
Cisplatin+ docetaxel + cetuximab ( non-nasofaring) (kategori 2A)
Cisplatin+ paclitaxel + cetuximab ( non-nasofaring)(kategori 2A)
Carboplatin/cetuximab (nasofaring) (kategori 2A)
Cisplatin + gemcitabine (nasofaring) (kategori 2A)
Gemcitabine + vinorelbine (nasofaring)(kategori 2A)
4
2. Terapi tunggal.
Cisplatin (kategori 2A)
Carboplatin (kategori 2A)
Paclitaxel (kategori 2A)
Early Diagnosis and Current Treatment Paradigm in Head and Neck Surgery | 139
Amaylia Oehadian
Hasil metaanalisis :
o Kemoterapi konkuren
Kemoterapi konkuren dianalisa pada 50 penelitian yang meliputi
9605 pasien dengan pemantauan selama 5,6 tahun, Kemoterapi
konkuren secara signifikan menurunkan kematian dibandingkan
dengan terapi lokal saja alone (hazard ratio [HR] 0.81, 95% CI 0.78-
0.86). Hal ini berhubungan dengan penurunanmortalitas absolut
2
sebesar 6,5% pada 5 tahun.
- Manfaat berhubungan dengan kematian yang berhubungan
dengan kanker dan tidak didapatkan peningkatan kematian
bukan karena kanker pada kemoterapi konkuren
o Kemoterapi induksi
Pada 31 penelitian dengan 5311 pasien , tidak terdapat perbaikan
kelangsungan hidup yang signifikan dari kemoterapi induksi
dibandingkan dengan operasi dan atau radioterapi saja (HR 0.96,
95% CI 0.90-1.02) . Ketika analisa didasarkan pada regimen
kemoterapi induksi , kelangsungan hidup dengan cisplatin-5FU lebih
baik secara signifikan dibandingkan operasi dan/atau radioterapi
saja (HR 0.90, 95% CI 0.82-0.99); tidak ada perbedaan untuk
2
regimen lain atau kemoterapi tunggal.
o Kemoterapi ajuvan
Pada 6 penelitian dengan 2567 pasien yang menilai manfaat
kemoterapi ajuvan, tidak didapatkan perbaikan kelangungan hidup
2
dibandingan terapi defenitif lokal saja (HR 1.06, 95% CI 0.95-1.16).
Early Diagnosis and Current Treatment Paradigm in Head and Neck Surgery | 141
Amaylia Oehadian
Seleksi pasien
Kombinasi kemoterapi dan radioterapi definitif digunakan pada pasien
dengan tumor yang resektabel dan tidak resektabel.Definisi resektable dan
tidak resektabel bervariasi di antara praktisi kesehatan. Sebagian besar
pasien dengan tumor yang resektabel dapat diterapi dengan non surgikal
3
untuk preservasi fungsi dan anatomi organ.
Untuk penderita dengan tumor resektabel, kemoraditerpi konkuren
dengan /tanpa kemoterapi induksi merupakan terapi yang berguna
3
untuk preservasi fungsi organ.
Pada tumor yang tidak resektabel, penambahan kemoterapi pada
radioterapi atau (pada pasien yang bukan kandidat terapi multimodal)
radioterapi saja merupakan terapi terpilih. Pada keadaan ini terapi
dapat memberikan manfaat bebas penyakit dan preservasi fungsi
organ. Pada beberapa kasus dengan penyakit persisten setelah
3
kemoteradioterapi, dapat dilanjutkan dengan operasi salvage.
Kemoterapi induksi dan atau kemoradioterapi konkuren untuk kenker
kepala dan leher lokal lanjut berhubungan dengan toksisitas yang
signifikan yang dapat menyebabkan keterlambatan atau interupsiterapi
. Pemilihan pasien yang tepat merupakan hal yang penting untuk
keberhasilan selesainya terapi. Status performans , usia, dukungan
psikososial merupakan faktor-faktor yang penting dan harus
3
dipertimbangkan sebelum memberikan terapi multimodal. (Bruce)
Early Diagnosis and Current Treatment Paradigm in Head and Neck Surgery | 143
Amaylia Oehadian
- Insufisiensi renal
Insidensi 5% dengan hidrasi adekuat dan 25-45% tanpa hidrasi
- Neuropati perifer sensorik
2
Terjadi setelah pemberian 200mg/m dan dosis kumulatif melebihi
2
400 mg/m
- Ototoksisitas
Tinitus dan kehilangan pendengaran pada frekwensi tinggi
didapatkan pada 5 % pasien. Biasanya terjadi pada dosis > 100
2
mg/m dengan infusan cepat atau dosis kumulatif tinggi
- Mual dan muntah berat
- Hipokalemia
- Hipomagnesemia
- Mielosupresi ringan
- Anoreksia
- Rasa metalik
5-FU.
7
- Mielosupresi
- Pigmentasi pada tempat infus
- Disfungsi serebelar , somnolen, konfusi atau kejang ( pada 1 %
pasien)
- Esofagitis
- Hand-foot syndrome
- Iskemi miokardial
- Tromboflebitis
- Mual dan muntah
Paclitaxel.
7
- Neutropenia
- Hipersensitivitas (3%)
- Neuropati perifer
- Trombositopenia
- Mual dan muntah
- Mukositis
- Defek Konduksi atrioventrikular
- Takhikardi ventrikel
Docetaxel.
7
- Mielosupresi
- Retensi cairan
- Rash maculopapular
- Kulit kering dan gatal
- Perubahan warna kuku
- Mukositis
- Diare
- Hipersensitivitas
- Neuropati perifer
Ringkasan
Penderita kanker kelapa dan leher stadium lanjut lokal dan metastase
memerlukan terapi kombinasi radioterapi dan kemoterapi untuk
mengurangi risiko residif lokal dan metastase.Keputusan tentang sekuen
terapi yang optimal dan pilihan operasi, radioterapi dan atau kemoterapi
memerlukan pendapat multidisiplin. Faktor-faktor kunci yang perlu
dipertimbangkan adalah : lokasi tumor primer, ekstensi penyakit , faktor
Early Diagnosis and Current Treatment Paradigm in Head and Neck Surgery | 145
Amaylia Oehadian
Referensi
1. Brockstein BE, Vokes EE, Eisbruch A. Locally advanced squamous cell
carcinoma of the head and neck: Approaches combining chemotherapy
and radiation therapy, May 2016, [cited 7 June 2016] , available from:
www.uptodate.com.
2. Pignon JP, le Maître A, Maillard E, et al. Meta-analysis of chemotherapy
in head and neck cancer (MACH-NC): an update on 93 randomised trials
and 17,346 patients. Radiother Oncol 2009; 92:4.
3. Brockstein BE,Stenson KM, Song S. Overview of treatment for head
and neck cancer, May 2016 [cited 7 June 2016] , available from:
www.uptodate.com.
4. NCCN Guidelines version 1.2016 Head and Neck Cancers
5. Lee VHF dan Kwong DLW. Palliative Chemotherapy and Targeted
Therapy for Recurrent and Metastatic Nasopharyngeal Carcinoma:
Reminiscences and the Future. Hong Kong J Radiol 2013;16:252-60.
6. Chitapanarux I., Lorvidhaya V., Kamnerdsupaphon P., Sumitsawan Y.,
Tharavichitkul E., Sukthomya V., et al. Chemoradiation comparing
Cisplatin versus Carboplatin in Locally Advanced Nasopharyngeal
cancer: randomized, non inferiority, open trial. Eur J Cancer
2007;43:1399-406.
7. Casciato DA. Cancer chemotherapeutic agents, in Casciato DA, Territo
th
MC, eds. Manual of Clinical Oncology 6 Ed, Philadelphia : Wolters
Kluwer Lippincott Williams and Wilkins, 2009, p 46-99.
1. Meningioma
Meningioma merupakan tumor jinak yang berasal dari bagian terluar dari
sel epitel meningen arakhnoid. Tumor ini biasanya berasal dari tulang
sphenoid dan menyebabkan permasalahan oftalmologi akibat meluasnya
masa tumor hingga menekan jaringan apeks orbita, kranium ataupun fossa
temporalis, bahkan dapat menyebabkan terjadinya hiperostosis pada
bagian posterior dari dinding orbita. Meningioma merupakan salah satu
jenis tumor intrakranial yang meliputi 18- 20% dari seluruh tumor
intrakranial. Pada tahun 2004 hingga 2007, lebih dari 60.000 wanita
dewasa didiagnosis meningioma, tumor ini merupakan tumor tersering ke
6 di Amerika dengan insidensi 2 kasus per 100.000 orang. Perbandingan
antara wanita dengan pria adalah 2:1. Sekitar 40% dari total meningioma
terjadi pada bagian anterior skull base pada bagian parasellar, dan
1,2,3
sphenoid wing meningioma dengan ekstensi orbital jarang terjadi.
Gejala klinis antara lain penurunan tajam penglihatan, penglihatan
ganda, proptosis, abnormalitas pupil, kelainan fundus berupa atrofi saraf
optik akibat kompresi saraf optik, sakit kepala, kejang, dan
hemiparese.Terdapat beberapa faktor resiko terjadinya meningioma
seperti usia, jenis kelamin, paparan radiasi, paparan hormon, kelainan
genetika, riwayat merokok, riwayat trauma kepala. Faktor yang diduga
merupakan penyebab terutama dari meningioma, yaitu radiasi ion dan
hormon. Radiasi ion meningkatkan resiko terjadinya tumor intrakranial dan
meningkatkan resiko meningioma, lesi yang disebabkan oleh radiasi bisa
merupakan lesi multiple dengan rekurensi tinggi. Beberapa penelitian
menemukan bahwa terdapat hubungan antara hormon dengan
meningioma karena terdapat reseptor estrogen dan progesteron pada sel
tumor meningioma dan ditemukan hubungan antara hormon eksogen dan
147
Ratika, Puti Ayu Tiara, Sonie Umbara, Lenora Sandra, Grace F. Sulaeman,
Angga Kartiwa, Shanti Boesoirie, M. Rinaldi Dahlan, Kautsar Boesoirie
2. Limfoma Maligna
Limfoma maligna merupakan kelainan myeloproliferatif yang dapat
bermanifestasi pada mata. Limfoma maligna terdiri dari limfoma Hodgkin
dan non Hodgkin. Insidensi hodgkin lymphoma Amerika Serikat adalah 2-3
kasus per 100000 penduduk dan non Hodgkin limfoma 3-4 %. Limfoma
yang paling banyak bermanifestasi pada mata adalah non Hodgkin
limfoma. Salah satu penanganan limfoma maligna adalah pemberian
8,9,10
kemoterapi.
Tujuan dari kemoterapi untuk menghancurkan sel-sel kanker. Obat
kemoterapi pertama yang ditemukan adalah sulfur dan mustar nitrogen
dengan menekan sumsum tulang. Tahun 1950 ditemukan obat yang
bekerja pada DNA (Deoxyribonucleic acid) yaitu metotreksat. Sejak tahun
1970 semakin banyak obat kemoterapi yang bekerja menghambat
11
mitosis.
Limfoma maligna dibagi menjadi Hodgkin dan non Hodgkin.
Limfoma Hodgkin banyak terjadi pada usia 25-30 tahun dan usia lebih dari
50 tahun. Limfoma Non Hodgkin banyak terjadi pada usia lebih dari 60
tahun. Insidensi limfoma Hodgkin tidak dipengaruhi ras tertentu sedangkan
limfoma non Hodgkin lebih banyak ditemukan pada ras kulit putih. Stadium
12,13,14
limfoma dibagi berdasarkan Stadium Ann Arbor.
Early Diagnosis and Current Treatment Paradigm in Head and Neck Surgery | 149
Ratika, Puti Ayu Tiara, Sonie Umbara, Lenora Sandra, Grace F. Sulaeman,
Angga Kartiwa, Shanti Boesoirie, M. Rinaldi Dahlan, Kautsar Boesoirie
Axilla dan
pectoral
Epitrochlear
dan brachial
Inguinal dan
femoral
Early Diagnosis and Current Treatment Paradigm in Head and Neck Surgery | 151
Ratika, Puti Ayu Tiara, Sonie Umbara, Lenora Sandra, Grace F. Sulaeman,
Angga Kartiwa, Shanti Boesoirie, M. Rinaldi Dahlan, Kautsar Boesoirie
Early Diagnosis and Current Treatment Paradigm in Head and Neck Surgery | 153
Ratika, Puti Ayu Tiara, Sonie Umbara, Lenora Sandra, Grace F. Sulaeman,
Angga Kartiwa, Shanti Boesoirie, M. Rinaldi Dahlan, Kautsar Boesoirie
Early Diagnosis and Current Treatment Paradigm in Head and Neck Surgery | 155
Ratika, Puti Ayu Tiara, Sonie Umbara, Lenora Sandra, Grace F. Sulaeman,
Angga Kartiwa, Shanti Boesoirie, M. Rinaldi Dahlan, Kautsar Boesoirie
Gambar 2.6 a. Ptosis palpebra superior dan massa yang teraba pada
orbital rim; b. Potongan coronal MRI (Magnetic Resonance
Imaging) memperlihatkan pembesaran kelenjar lakrimal
kanan dengan infiltrasi jaringan orbita anterior; c.
Potongan axial MRI menunjukkan massa di sekitar orbita;
d. Biopsi insisi memperlihatkan limfoma orbita infiltrasi
kelenjar lakrimal.
9
Sumber :AAO
2.5 Terapi
Terapi limfoma berupa kemoterapi dan radioterapi. Radioterapi
merupakan pilihan terapi pada pasien dengan kelainan okular yang
terlokalisir. Dosis radioterapi yang biasa digunakan adalah 2000- 3000 cGy.
9,12
Regimen kemoterapi dibedakan berdasarkan jenis dan stadium.
Early Diagnosis and Current Treatment Paradigm in Head and Neck Surgery | 157
Ratika, Puti Ayu Tiara, Sonie Umbara, Lenora Sandra, Grace F. Sulaeman,
Angga Kartiwa, Shanti Boesoirie, M. Rinaldi Dahlan, Kautsar Boesoirie
Stadium Terapi
IA atau IIA, tanpa massa diameter ABVD × 4 siklus (jika setelah siklus
≥ 10 cm ke-2 terjadi perbaikan) atau ABVD
× 2 + radioterapi
IB, IIB, II, IV, atau massa diameter ABVD sampai 2 siklus setelah
≥ 10 cm pada semua stadium terjadi perbaikan (minumun 6
siklus, maksimum 8 siklus) atau
ditambahkan BEACOPP
ABVD (Adriamycin [doxorubicin], bleomycin, vinblastine, and dacarbazine);
cBEACOPP (bleomycin, etoposide, Adriamycin [doxorubicin], cyclophosphamide,
vincristine, procarbazine, and prednisone)
12
Sumber : Connors
Early Diagnosis and Current Treatment Paradigm in Head and Neck Surgery | 159
Ratika, Puti Ayu Tiara, Sonie Umbara, Lenora Sandra, Grace F. Sulaeman,
Angga Kartiwa, Shanti Boesoirie, M. Rinaldi Dahlan, Kautsar Boesoirie
3. Retinoblastoma
Retinoblastoma merupakan tumor ganas primer intraokular yang paling
sering terjadi pada anak-anak, yaitu 1 dari 14.000-20.000 angka kelahiran
hidup (di Amerika Serikat). Menurut Riskesdas tahun 2013, di Indonesia
kanker pada anak berupa retinoblastoma dijumpai sebanyak 5,3%.
Beberapa gejala dan tanda klinis yang paling sering ditemukan pada
retinoblastoma adalah leukokoria (refleks pupil berwarna putih),
strabismus, mata merah dan nyeri, yang jarang ditemukan yaitu tajam
penglihatan yang menurun, asimptomatis, selulitis orbita, midriasis
20,21,22
unilateral, heterokromia iris, serta hifema.
Sistem klasifikasi yang ideal untuk retinoblastoma mencakup dua
komponen yaitu pengelompokan (grouping) dan staging. Sistem
pengelompokan (grouping) merupakan sebuah sistem klinis yang
menentukan prognosis dari organ mata yang terkena, sedangkan sistem
staging menentukan prognosis harapan hidup pasien. Sistem klasifikasi
internasional retinoblastoma, mencakup grup A yaitu tumor kecil, ukuran
≤ 3mm terbatas di retina,; grup B yaitu tumor besar, ukuran >3mm
terbatas di retina; grup C yaitu tumor dengan vitreous dan atau subretinal
seeding yang terlokalisir (< 6mm dari batas tumor); group D yaitu dengan
vitreous dan atau subretinal seeding yang difus (≥ 6 mm dari batas tumor);
grup E yaitu tanpa ada potensi penglihatan, atau terdapat satu atau lebih
dari keadaan berikut yaitu tumor di dalam segmen anterior mata, tumor di
dalam atau di atas dari korpus siliaris, glaukoma neovaskular, perdarahan
vitreus menutupi tumor dengan hifema, mata ptisis atau pre-ptisis 1,8,9.
Diagnosa retinoblastoma ditegakkan dengan pemeriksaan fuduskopi
dengan keadaan anestesi (Examination under anesthesia / EUA) 11.
Pemeriksaan penunjang berupa ultrasonografi B-scan dapat
membantu menegakkan diagnosis, yaitu terdapat kalsifikasi dalam tumor.
Gambaran kalsifikasi juga dapat terlihat juga pada CT Scan dan MRI. CT
scan dan MRI umumnya dilakukan ketika ada kecurigaan eksstensi tumor
20,22,23,24
ekstraokular atau intrakranial.
Retinoblastoma dapat bermetastasis dan menimbulkan kematian
pada 50% anak-anak di seluruh dunia, namun hanya kurang dari 5% di
Early Diagnosis and Current Treatment Paradigm in Head and Neck Surgery | 161
Ratika, Puti Ayu Tiara, Sonie Umbara, Lenora Sandra, Grace F. Sulaeman,
Angga Kartiwa, Shanti Boesoirie, M. Rinaldi Dahlan, Kautsar Boesoirie
Amerika Serikat dan negara maju yang lain. Perkembangan terapi medis
diharapkan dapat mengurangi angka kematian akibat retinoblastoma.
Terapi enukleasi dan external beam radiotherapy, pada kasus
retinoblastoma minimal dan sedang, sudah sangat jarang dilakukan di
negara maju dan beralih ke kemoterapi diikuti dengan terapi fokal.
Tindakan enukleasi dilakukan pada kasus retinoblastoma lanjut. Sari
20-23
kepustakaan ini akan membahas penatalaksaan dari retinoblastoma.
Tujuan paling utama dalam penatalaksanaan retinoblastoma adalah
menyelamatkan nyawa pasien, tujuan sekunder berupa menyelamatkan
organ (mata), dan terakhir tujuan tersier yaitu menyelamatkan fungsi
penglihatan pasien. Penatalaksanaan retinoblastoma membutuhkan
kerjasama tim multidisiplin yang mencakup dokter mata-onkologi, dokter
anak-onkologi, dokter radiologi-onkologi, ahli genetik, ahli patologi
anatomi, ahli gizi dan psikolog. Penatalaksanaan retinoblastoma telah
berubah dalam beberapa tahun terakhir dan terus berkembang. Beberapa
pilihan terapi untuk retinoblastoma berupa fokal (cryotherapy, laser
photocoagulation, transpupillary thermotherapy, transcleral
thermotherapy, plaque brachytherapy), lokal (external beam radiotherapy,
enukleasi), dan sistemik (kemoterapi). Terapi fokal ditujukan terutama
untuk tumor ukuran kecil, sedangkan terapi lokal dan sistemik adalah
20,24,25
untuk retinoblastoma tahap sedang hingga lanjut.
28
Gambar 3.1. Cryoterapi pada retinoblastoma
3.1.3 Termoterapi
Teknik yang paling popular beberapa tahun terakhir ini yaitu TTT
(transpupillary thermotherapy), digunakan sebagai terapi utama pada lesi
ukuran kecil, namun lebih sering digunakan sebagai terapi konsolidasi
Early Diagnosis and Current Treatment Paradigm in Head and Neck Surgery | 163
Ratika, Puti Ayu Tiara, Sonie Umbara, Lenora Sandra, Grace F. Sulaeman,
Angga Kartiwa, Shanti Boesoirie, M. Rinaldi Dahlan, Kautsar Boesoirie
6
Gambar 3.3 Posisi plaque pada tindakan brachytherapy
3.2.2 Enukleasi
Pada kebanyakan kasus, enukleasi masih menjadi terapi definitif yang
tersedia untuk retinoblastoma. Tindakan ini tepat untuk tumor yang
melibatkan lebih dari 50% dari bola mata, kecurigaan adanya keterlibatan
orbita dan nervus opticus, keterlibatan dari anterior segmen, terdapat
neovaskular glaukoma, dan adanya potensi keterbatasan visual pada mata
yang terkena. Pada kasus retinoblastoma bilateral, satu mata selalu lebih
berat dibandingkan mata yang lainnya, enukleasi dilakukan pada mata
yang lebih berat. Enukleasi bilateral hanya dilakukan jika fungsi penglihatan
kedua mata tidak bisa diselamatkan atau tindakan seperti kemoterapi dan
20,22,30
radiasi tidak dapat dilakukan.
Pada saat dilakukan tindakan enukleasi harus diusahakan untuk
memotong nervus optikus sejauh-jauhnya dari bola mata dan diperiksa
secara histopatologi. Infiltrasi samapi ke distal dari saraf menunjukkan
adanya penyebaran ke intra cranial. Permukaan luar dari bola mata yang di
enukleasi diamati dengan teliti untuk membuktikan adanya penyebaran ke
20,26
bagian sklera.
Early Diagnosis and Current Treatment Paradigm in Head and Neck Surgery | 165
Ratika, Puti Ayu Tiara, Sonie Umbara, Lenora Sandra, Grace F. Sulaeman,
Angga Kartiwa, Shanti Boesoirie, M. Rinaldi Dahlan, Kautsar Boesoirie
4. Melanoma Koroid
Insiden melanoma koroid primer yaitu 6 kasus per 1 juta populasi per
tahun di Amerika dan 7,5 kasus per 1 Juta populasi per tahun di Denmark.
Melanoma koroid sering terjadi pada laki-laki pada seluruh usia, sedangkan
sering terjadi pada wanita pada rentang usia 20 sampai 39 tahun.
Penegakan diagnosis melanoma koroid berdasarkan pengalaman klinis
dokter dan pemeriksaan penunjang yang canggih seperti oftalmoskopi
indirek, ultrasonografi A dan B-Scan dan Fundus Fluorescein Angiography
(FFA). Pemilihan penatalaksanaan melanoma koroid harus
mempertimbangkan beberapa faktor seperti ketajaman penglihatan pada
mata yang sakit maupun mata yang tidak sakit, ukuran tumor, lokasi,
33,34,35
struktur mata yang terlibat, dan ada atau tidaknya metastasis.
Early Diagnosis and Current Treatment Paradigm in Head and Neck Surgery | 167
Ratika, Puti Ayu Tiara, Sonie Umbara, Lenora Sandra, Grace F. Sulaeman,
Angga Kartiwa, Shanti Boesoirie, M. Rinaldi Dahlan, Kautsar Boesoirie
,41
Tabel 4.1. Stadium Tumor(T) melanoma uvea.
Early Diagnosis and Current Treatment Paradigm in Head and Neck Surgery | 169
Ratika, Puti Ayu Tiara, Sonie Umbara, Lenora Sandra, Grace F. Sulaeman,
Angga Kartiwa, Shanti Boesoirie, M. Rinaldi Dahlan, Kautsar Boesoirie
41
Tabel 4.2. Stadium Melanoma uvea
Stadium T N M
I T1a N0 M0
IIa T1b-d, T2a N0 M0
IIb T2b, T3a N0 M0
IIIa T2c-d, T3b-c, N0 M0
T4a
IIIb T3d, T4b-c N0 M0
IIIc T4d-e N0 M0
IV Semua T N0 M0
Semua T Semua N M1a-c
.
Penatalaksanaan pada melanoma koroid yang kecil yang tidak
memiliki kelainan yang lain dapat diobservasi 2 kali setahun. Tanda-tanda
klinis dapat diperiksa setiap 4-6 bulan. Observasi pada melanoma koroid
yang kecil dapat menjadi pilihan tetapi terapi dini dapat dipertimbangkan
karena pertumbuhan tumor terjadi 21% dalam 2 tahun dan 31% dalam 5
38
tahun.
Melanoma koroid yang kecil dengan kelainan pada polus posterior,
sedang dan besar dapat ditatalaksana dengan laser fotokoagulasi, terapi
fotodinamik, plaque brachytherapy, external beam radiation therapy,
transpupillary thermotherapy (TTT), reseksi tumor dan enukleasi. Terapi
diatas merupakan terapi bersifat lokal dalam mempertahankan bola mata
tetapi terapi tersebut tidak menjamin angka survival dan resiko metastasis
33,38
sampai kematian.
Enukleasi merupakan tatalaksana standar sejak tahun 1900 dan
merupakan pilihan terapi pada melanoma koroid yang besar. Enukleasi
juga merupakan terapi yang masih dipilih baik karena besarnya tumor
maupun komplikasi yang terjadi dari metode terapi lainnya. Studi COMS
mengatakan radiasi sebelum enukleasi tidak meningkatkan angka survival
pasien oleh karena itu terapi primer dengan enukleasi merupakan pilihan
33,36,43
pada melanoma yang belum meluas ke ekstraokular.
Plaque brachytherapy merupakan terapi yang paling banyak dipilih
dalam mempertahankan bola mata pada kasus melanoma koroid. Iodine-
125, gold-198, palladium-103 dan proton lainnya digunakan untuk
meregresi secara parsial dan komplit. Rekurensi tumor kemungkinan dapat
terjadi sebanyak 12 %. Iodine-125 merupakan bahan yang secara umum
digunakan saat ini. Persiapan sebelum terapi ini sangat penting seperti
ukuran tumor yang tidak lebih 2mm dari batas plaque untuk menjamin
seluruh tumor terkena. Plaque dipasang selama 3-7 hari di mata
tergantung besar dari tumor dan besar kekuatan radiasi yang diberikan.
Terdapat komplikasi-komplikasi yang dapat terjadi pada terapi ini yaitu
retinopati, katarak, glaucoma, perdarahan viterus maupun kebutaan.
Penetilian COMS mengatakan bahwa melanoma koroid ukuran sedang
tidak memiliki perbedaan secara statistik dari angka rekurensi,
histopatologi, dan resiko metastasis pada pasien yang mendapatkan terapi
brachyterhapy dibandingkan dengan pasien yang menjalankan enukleasi.
Early Diagnosis and Current Treatment Paradigm in Head and Neck Surgery | 171
Ratika, Puti Ayu Tiara, Sonie Umbara, Lenora Sandra, Grace F. Sulaeman,
Angga Kartiwa, Shanti Boesoirie, M. Rinaldi Dahlan, Kautsar Boesoirie
A B
Early Diagnosis and Current Treatment Paradigm in Head and Neck Surgery | 173
Ratika, Puti Ayu Tiara, Sonie Umbara, Lenora Sandra, Grace F. Sulaeman,
Angga Kartiwa, Shanti Boesoirie, M. Rinaldi Dahlan, Kautsar Boesoirie
Early Diagnosis and Current Treatment Paradigm in Head and Neck Surgery | 175
Ratika, Puti Ayu Tiara, Sonie Umbara, Lenora Sandra, Grace F. Sulaeman,
Angga Kartiwa, Shanti Boesoirie, M. Rinaldi Dahlan, Kautsar Boesoirie
lengkap, angka rekurensi kurang dari l0%. Selain itu, komplikasi paling
sering adalah invasi intraokuler dan metastase, umumnya melalui kelenjar
getah bening preaurikuler dan servikal. Karsinoma sel skuamosa
konjungtiva merupakan keganasan tipe low grade malignancy. Prognosis
umumnya baik, namun hal itu juga terganrung pada ukuran lesi, temuan
48,49
histopatologis,dan eksisi yang komplit. .
besar dapat merusak sel dan mematikan sel atau mengalami mutasi untuk
selanjutnya menjadi sel kanker. Beberapa peneliti mengatakan terjadinya
karsinoma sel basal merupakan gabungan pengaruh sinar matahari, tipe
kulit, warna kulit dan faktor predisposisi lainnya. Peningkatan radiasi
ultraviolet dapat menginduksi terjadinya keganasan kulit pada manusia
melalui efek imunologi dan efek karsinogenik. Transformasi sel menjadi
ganas akibat radiasi ultraviolet diperkirakan berhubungan dengan
terjadinya perubahan pada DNA yaitu terbentuknya photo product yang
disebut dimer pirimidin yang diduga berperan pada pembentukan tumor.
Reaksi sinar ultraviolet menyebabkan efek terhadap proses karsinogenik
pada kulit antara lain : lnduksi timbulnya menjadi sel kanker, menghambat
immunosurveillance dengan menginduksi limfosit T yang spesifik untuk
59,60
tumor tertentu.
Komprecher (1903) menyatakan bahwa karsinoma sel basal berasal
dari sel basal epidermis. Adamson (1914) mengajukan teori bahwa
karsinoma sel basal dari fokus embrionik laten yang timbul dari keadaan
hormon pada usia lanjut. Lever (1948) mengemukakan bahwa karsinoma
sel basal bukan karsinoma dan tidak berasal dari sel basal tetapi adalah
tumor nevoid dan hamartama yang berasal dari sel germinativum epitel
primer (primary epithelial germ cell) yaitu sel-sel yang belum matang.
Sedangkan Pinkus mengatakan bahwa karsinoma sel basal dari sel pluri
potensial epidermal sel yang terbentuk secara kontinu sepanjang hidup
menjadi aktif pada usia tua dan mempunyai potensi untuk berdiffrensiasi
menjadi epitel gepeng belapis, membentuk rambut, kelenjar sebasea dan
kelenjar ekskrin atau apokrin. Sifat-sifat histopatologis dari karsinoma sel
basal bervariasi, namun pada umumnya mempunyai inti yang besar, oval
atau memanjang dengan sedikis sitoplasma. Sel pada karsinoma sel basal
mirip dengan sel basal pada stratum basal epidermis hanya rasio antara
inti dengan sitoplasma lebih besar atau tidak tampak adanya jembatan
antar sel. Inti dari sel karsinoma sel basal lebih seragam (tidak banyak
berbeda dalam ukuran dan intensitas perwarnaan) dan tidak tampak
53,54,59,-64
gambaran anaplastik.
Parenkim tumor pada karsinoma sel basal selalu dikelilingi oleh
stroma yang sering tampak sebagai jaringan dengan banyak fibroblast
Early Diagnosis and Current Treatment Paradigm in Head and Neck Surgery | 177
Ratika, Puti Ayu Tiara, Sonie Umbara, Lenora Sandra, Grace F. Sulaeman,
Angga Kartiwa, Shanti Boesoirie, M. Rinaldi Dahlan, Kautsar Boesoirie
muda. Oleh karena parenkim tumor berasal dari sel epitelial, dan stroma
berasal dari mesoderm, yang berperan dalam pembentukan adneksa kulit.
54,63,64,65
2. Tipe pigmented
Gambaran klinisnya sama dengan nodula-ulseratif, ad nya pada jenis ini
berwarna coklat atau berbintik-bintik atau homogen (hitam merata)
kadang- kadang menyerupai Melanoma. Banyak dijumpai pada orang
dengan kulit gelap yang tinggal pada daerah tropis.
3. Tipemorphea-like atau fibrosing
Merupakan jenis yang agak jarang ditemukan. Lesinya berbentuk plakat
yang berwarna kekuningan dengan tepi yang tidak jelas, kadang-kadang
tepinya meninggi. Pada permukaannya tampak beberapa folikel rambut
yang mencekung sehingga memberikan gambaran seperti sikatriks.
Kadang-kadang tertutup krusta yang melekat erat. Jarang mangalami
ulserasi. Tepi ini cenderung invasif kearah dalam.Tepi ini menyerupai
penyakit morphea atau skleroderma.
Early Diagnosis and Current Treatment Paradigm in Head and Neck Surgery | 179
Ratika, Puti Ayu Tiara, Sonie Umbara, Lenora Sandra, Grace F. Sulaeman,
Angga Kartiwa, Shanti Boesoirie, M. Rinaldi Dahlan, Kautsar Boesoirie
4. Tipe superfisial
Berupa bercak kemerahan dengan skuama halus dan tepi yang
meninggi. Lesi dapat meluas secara lambat, tanpa mengalami ulserasi.
Umumnya multipel, terutama dijumpai pada badan, kadang-kadang
pada leher dan kepala.
5. Tipe fibroepitelial
Berupa satu atau beberapa nodul yang keras dan sering bertangkai
pendek, permukaannya halus dan sedikit kemerahan. Terutama
dijumpai dipunggung. Tipe ini sangat jarang ditemukan.
Rekurensi
Karsinoma sel basal mempunyai rekurensi tinggi, terutama bila
pengobatan tidak adekuat. Biasanya rekurensi terjadi 4 bulan pertama
sampai 12 bulan setelah pengobatan. Prognosis umumnya baik dengan five
53,54
year survival rate mencapai 99%.
Early Diagnosis and Current Treatment Paradigm in Head and Neck Surgery | 181
Ratika, Puti Ayu Tiara, Sonie Umbara, Lenora Sandra, Grace F. Sulaeman,
Angga Kartiwa, Shanti Boesoirie, M. Rinaldi Dahlan, Kautsar Boesoirie
kasus, mungkin karena kelenjar Meibom lebih banyak terdapat pada tarsus
superior dibanding inferior. Lesi yang berasal dari kelenjar Zeis biasanya
kecil, nodul kekuningan berlokasi pada tepi kelopak tepat di depan garis
kelabu (gray line).Beberapa tumor dapat berasal baik dari kelenjar Meibom
ataupun kelenjar Zeis, tetapi lokasi yang tepat tidak bisa ditentukan.Tumor
yang berasal dari kelenjar sebasea dari karunkel tampak sebagai massa
yang terletak di subkonjungtiva, multi- lobulus, berwarna abu-abu
73-80
kekuningan yang biasanya ditutupi oleh epitel yang utuh.
Karsinoma kelenjar sebasea bisa menunjukkan gambaran klinis
berspektrum luas. Biasanya berbentuk nodul yang kecil, keras seperti
chalazion. Sering kelihatan seperti chalazion yang tidak khas atau berulang,
menunjukkan konsistensi yang kenyal. Beberapa pasien dengan karsinoma
kelenjar Meibom mempunyai penebalan berbentuk plak yang difus dari
tarsus atau sebuah pertumbuhan berbentuk jamur atau berbentuk
papilloma menyerupai papilloma sel skuamus atau karsinoma sel skuamus
papilla. Diagnosa dikonfirmasikan oleh demonstrasi histologis dari tumor
yang berasal dari kelenjar Meibom. Lesi lain tampak seperti massa lokal
berwarna kuning pada tepi kelopak mata atau berbentuk penebalan difus
atau nodular dari kelopak mata berhubungan dengan kehilangan bulu
mata. Ini disebabkan oleh keterlibatan neoplastik dari folikel bulu
65,66,71,72,73
mata.
Gambaran klinis yang sering dari beberapa karsinoma kelenjar
sebasea yang bisa tidak diperhatikan apabila memeriksa pasien adalah
konjungtivitis unilateral persisten, blepharitis, meibomitis, atau
blepharokonjungtivitis yang tidak berespons total kepada terapi antibiotika
(Masquerade syndrome). Gambaran ini disebabkan oleh kecenderungan
dari sel-sel karsinoma sebasea menginvasi epitel di atasnya, membentuk
sarang sel tunggal atau beberapa (invasi pagetoid) atau penggantian
67,75,78
komplit dari keseluruhan ketebalan epitel (karsinoma intra- epitelial).
Penyebaran fokal multisentris secara bebas dari sel-sel neoplastik
intra-epitelial dapat menginvasi kedua kelopak mata, konjungtiva, dan
kadang-kadang epitel kornea, di mana bisa menyebabkan keratitis
superfisial dengan area parut dan vaskularisasi. Blepharokonjungtivitis
Early Diagnosis and Current Treatment Paradigm in Head and Neck Surgery | 183
Ratika, Puti Ayu Tiara, Sonie Umbara, Lenora Sandra, Grace F. Sulaeman,
Angga Kartiwa, Shanti Boesoirie, M. Rinaldi Dahlan, Kautsar Boesoirie
A. Bentuk lobular
Sel-sel neoplastik membentuk lobul-lobul yang berbatas tegas dengan
ukuran yang bervariasi. Lobul-lobul menunjukkan gambaran basaloid
dengan susunan perifer dari sel basofilik dengan nukleus hiperkromik dan
B. Bentuk comedocarcinoma
Ditandai oleh lobul-lobul besar dari nekrosis dengan foci sentral yang
menonjol. Sel hidup dalam lobul dan sel tumor nekrotik sentral biasanya
terdiri dari lipid.
C. Bentuk papillary
Terdiri dari papilla yang berbentuk daun pakis dari sel neoplastik. Bisa
menyerupai papilloma sel skuamus atau karsinoma dan terjadi pada
permukaan konjungtiva. Pemeriksaan histologis yang hati-hati biasanya
menunjukkan foci dari diferensiasi sebasea.
D. Bentuk campuran
Sering menunjukkan campuran dari area seperti lobular dan
comedocarcinoma; tumor lain dapat menunjukkan kombinasi dari area
67,71
papilla dengan bentuk comedocarcinoma atau lobular.
PENATALAKSANAAN
Terapi Bedah
Pengobatan bertujuan untuk mengangkat lesi yang ganas untuk mencegah
penyebaran lokal ataupun sistemik. Pengobatan dari karsinoma kelenjar
Early Diagnosis and Current Treatment Paradigm in Head and Neck Surgery | 185
Ratika, Puti Ayu Tiara, Sonie Umbara, Lenora Sandra, Grace F. Sulaeman,
Angga Kartiwa, Shanti Boesoirie, M. Rinaldi Dahlan, Kautsar Boesoirie
sebasea adalah operasi eksisi yang adekuat, dengan batasan operasi yang
luas dan kontrol potongan beku yang segar untuk menggambarkan
pinggiran tumor. Evaluasi nodul limfatik diperlukan untuk menilai
metastase.
Jika terdapat keterlibatan difus dari kedua kelopak mata atas dan
bawah, diperlukan tindakan eksenterasi. Buatkan biopsi pada area
konjungtiva yang hiperemia yang dicurigai karsinoma kelenjar sebasea
66,67,71, 72,74
pada waktu operasi.
2. MELANOMA MALIGNA
Melanoma maligna kutaneus terjadi akibat adanya proliferasi maligna dari
sel melanosit, yang dapat muncul secara primer ataupun akibat adanya
perkembangan maligna dari nevus. Melanoma primer pada kelopak mata
sangat jarang terjadi. Prevalensinya kurang dari 1% kasus melanoma
maligna kutaneus, kurang dari 7% kasus melanoma kepala dan leher dan 1
% dari seluruh keganasan pada kelopak mata. Umumnya terjadi pada
kelopak bawah dengan frekuensi 2,6 kali lebih banyak daripada angka
kejadian melanoma maligna di kelopak atas mata. Faktor resiko terjadinya
melanoma maligna kelopak mata adalah paparan sinar UV, dimana orang
dengan warna kulit putih, adanya displasia nevus, riwayat melanoma
maligna dalam keluarga dan usia yang tua memiliki resiko lebih besar
75,76
mengalami melanoma maligna.
Proliferasi abnormal atau atipikal dari sel melanosit pada epidermis
yang berkembang menjadi melanoma dapat dibagi ke dalam empat
subtipe, yaitu : melanoma maligna lentigo, melanoma superficial,
melanoma nodular dan melanoma akral lentigenus. Tipe melanoma
maligna lentigo merupakan yang paling sering terjadi di kelopak mata,
ditandai adanya melanosit berbentuk spindel pada basal epidermis yang
dapat meluas hingga ke struktur adneksa. Umumnya muncul dari area yang
mengalami kerusakan aktinik dan area elastosis solar dengan pertumbuhan
pagetoid pada seluruh lapisan epidermis yang kemudian dapat menginvasi
dermis. Tipe melanoma superfisial ditandai sebaran dari sel epiteloid di
seluruh epidermis hingga tumbuh invasif ke dermis. Tipe melanoma
Early Diagnosis and Current Treatment Paradigm in Head and Neck Surgery | 187
Ratika, Puti Ayu Tiara, Sonie Umbara, Lenora Sandra, Grace F. Sulaeman,
Angga Kartiwa, Shanti Boesoirie, M. Rinaldi Dahlan, Kautsar Boesoirie
Early Diagnosis and Current Treatment Paradigm in Head and Neck Surgery | 189
Ratika, Puti Ayu Tiara, Sonie Umbara, Lenora Sandra, Grace F. Sulaeman,
Angga Kartiwa, Shanti Boesoirie, M. Rinaldi Dahlan, Kautsar Boesoirie
4. Rabdomiosarkoma
Rabdomiosarkoma merupakan keganasan primer orbita yang paling sering
terjadi pada anak-anak. Rabdomiosarkoma juga merupakan keganasan
jaringan lunak paling sering pada anak-anak, meliputi 5% dari seluruh
keganasan pada anak-anak. Tumor ini berasal dari lapisan mesenkim pada
jaringan lunak orbita. Rata-rata usia saat terjadi yaitu pada usia 8-10 tahun.
100-102
Tujuh puluh persen kejadian terjadi pada dekade pertama.
Early Diagnosis and Current Treatment Paradigm in Head and Neck Surgery | 191
Ratika, Puti Ayu Tiara, Sonie Umbara, Lenora Sandra, Grace F. Sulaeman,
Angga Kartiwa, Shanti Boesoirie, M. Rinaldi Dahlan, Kautsar Boesoirie
Daftar Pustaka
1. Fischer BR, Brokinkel B. Meningioma Management and Surgery first
edition. Germany. Intech; 2012. 85-102.
2. Claus EB, Bondy ML et al.Epidemiology of intracranial meningioma,
Neurosurgery. 2005; 57: 1088-1095
3. Claus EB, Black MB et al. Exogenous hormone use and meningioma
risk, American Cancer Society. 2007; 471- 476
4. Qi Z-Y, Shao C et al. Reproductive and exogenous Hormone Factors in
Relation to Risk of Meningioma in Women : a meta-analysis. PloS ONE
8(12): e83261
5. Claus EB, Walsh KM, Calvocoressi L, et al. Cigarette Smoking and Risk
of Meningioma: the Effect of Gender. Cancer Epidemiol Biomarkers
prev. 2012 June ; 21(6): 943-950
6. Korhonen K, Raitenen J, Isola J, et al. Exogenous sex hormone use and
risk of meningioma: a population-based case-control study in finland.
Cancer causes control, 2010; 21: 2149-2156
7. Phillips LE, Koepsell TD, Belle GV, et al. History of Head trauma and
riskof intracranial meningioma: population-based case-control study.
Neurology, 2012;58:1849-1852
Early Diagnosis and Current Treatment Paradigm in Head and Neck Surgery | 193
Ratika, Puti Ayu Tiara, Sonie Umbara, Lenora Sandra, Grace F. Sulaeman,
Angga Kartiwa, Shanti Boesoirie, M. Rinaldi Dahlan, Kautsar Boesoirie
18. Chu E & Sartorelli AC. Cancer Chemotherapy. Dalam : Katzung BG,
Masters SB, & Trevor AJ, editor. Basic & Clinical Pharmacology. Edisi
ke-12. New York : McGraw-Hill Companies, Inc., 2010. hlm 949-71
19. Gerson Sl, Caimi Pf, Campagnaro E, Bhalla Kn, Grant S, & Creger Rj.
Pharmacology and Molecular Mechanisms of Antineoplastic Agents
for Hematologic Malignancies. Dalam : Hoffman R. Benz EJ, Silberstein
LE, Heslop HE, Weitz JI, & Anastasi J, editor. Hematology: Basic
Principles and Practice. Edisi ke-6. Philadelphia : Elsevier, 2013. Hlm.
783-9, 818-20, 830 839-40
20. American Academy of Ophthalmology. Basic and Clinical Science
Course. Ophthalmic Pathology and Intraocular Tumors. Section 4.
Singapore: American Academy of Ophthalmology; 2011-2012 : Hal.
298 - 314.
21. Pedoman Pelayanan Medis Ikatan Dokter Anak Indonesia. Edisi II.
Editor Antonius H. Pudjiadi Badriul Hegar Setyo Handryastuti Nikmah
Salamia Idris Ellen P. Gandaputra Eva Devita Harmoniati Klara Yuliarti.
Ikatan Dokter Aak Indonesia. Jakarta. 2011.
22. American Academy of Ophthalmology. Pediatric Ophthalmology and
Strabismus. Section 6. Singapore: American Academy of
Ophthalmology; 2011-2012 : Hal. 354-362 .
23. Cancer in Children.. 2015. Tersedia dalam ttps://www.academia.edu/
4278439/Cancer_in_children.
24. Dimaras H, Kimani K, Dimba EA. Retinoblastoma. Lancet.
2012;379:1436–1446. American Cancer Society
25. Carol L. Shields, MD, and Jerry A. Shields, MD.Article review :
Diagnosis and Management of Retinoblastoma. Ocular Oncology
Service,Wills Eye Hospital, Thomas JeffersonUniversity, Philadelphia,
Pennsylvania. 2004.
26. Abramson DH, Frank CM, Susman M, Whalen MP, Dunkel IJ, Boyd NW
3rd. Presenting signs of retinoblastoma. J Pediatr. 1998; 132:505-8.
Tersedia dalam http://eyewiki.aao.org/w/images/1/f/f1/
Retinoblastoma_White_Reflex.jpeg
Early Diagnosis and Current Treatment Paradigm in Head and Neck Surgery | 195
Ratika, Puti Ayu Tiara, Sonie Umbara, Lenora Sandra, Grace F. Sulaeman,
Angga Kartiwa, Shanti Boesoirie, M. Rinaldi Dahlan, Kautsar Boesoirie
Early Diagnosis and Current Treatment Paradigm in Head and Neck Surgery | 197
Ratika, Puti Ayu Tiara, Sonie Umbara, Lenora Sandra, Grace F. Sulaeman,
Angga Kartiwa, Shanti Boesoirie, M. Rinaldi Dahlan, Kautsar Boesoirie
Early Diagnosis and Current Treatment Paradigm in Head and Neck Surgery | 199
Ratika, Puti Ayu Tiara, Sonie Umbara, Lenora Sandra, Grace F. Sulaeman,
Angga Kartiwa, Shanti Boesoirie, M. Rinaldi Dahlan, Kautsar Boesoirie
Early Diagnosis and Current Treatment Paradigm in Head and Neck Surgery | 201
Ratika, Puti Ayu Tiara, Sonie Umbara, Lenora Sandra, Grace F. Sulaeman,
Angga Kartiwa, Shanti Boesoirie, M. Rinaldi Dahlan, Kautsar Boesoirie
98. Özcan AA, Çiloğlu E, Esen E, Şimdivar GH. Use of topical bevacizumab
for conjunctival intraepithelial neoplasia. Cornea 2014;33:1205–1209.
99. 19. Tabin G, Levin S, Snibson G, et al. Late Recurrences and the
Necessity for Long-term Follow-up in Corneal and Conjunctival
Intraepithelial Neoplasia. Ophthalmology 1997;104:485–492.
100. Cantor LB, Rapuano CJ, Cioffi GA. Orbit, eyelids, and lacrimal system.
California: American academy of ophthalmology; 2014. hlm. 76-8
101. Possin ME, Burkat CN, Wladis. Rhabdomyosarcoma. American
academy of ophthalmology; .2016; [diunduh 31 Agustus 2016].
Tersedia dari: http://eyewiki.aao.org/Rhabdomyosarcoma
102. Shields JA, Shields CL. Orbital rhabdomyosarcoma. Dalam: Hoyt CS,
Taylor D. Pediatric ophthalmology and strabismus. Philadelphia:
Elsevier, 2013. hlm. 216-21
103. Shields CL, Shields JA. Orbital rhabdomyosarcoma. Dalam: Tindall R,
Jensvold B. Roy and fraunfelder's current ocular therapy.
Philadelphia: Elsevier, 2008. hlm 264-66
104. Diller L, Sexsmith E, Gottlieb A et al. Germline mutations are
frequently detected in young children with rhabdomyosarcoma. J Clin
Invest 1995;95: hlm.1606-11
ABSTRAK
Latar Belakang : Karsinoma nasofaring (KNF) adalah keganasan sel
skuamosa pada lapisan epitel nasofaring yang merupakan keganasan THT-
KL terbanyak di Indonesia. Etiologi KNF bersifat multifaktorial yang terdiri
dari makanan, lingkungan, genetik, dan Virus Epstein-Barr. Tujuan
penelitian ini untuk mengetahui faktor risiko terbanyak terhadap kejadian
karsinoma nasofaring di THT-KL rumah sakit dr. Hasan Sadikin Bandung.
Hasil: Terdapat 426 pasien KNF (265 laki-laki dan 161 perempuan) dengan
tiga faktor risiko terbanyak adalah riwayat merokok (50,7%), penggunaan
obat nyamuk bakar (43,2%), dan konsumsi ikan asin (39,7%).
Kata kunci: Faktor risiko, karsinoma nasofaring, rokok, obat nyamuk bakar,
ikan asin.
203
RISK FACTORS OF NASOPHARYNGEAL
CARCINOMA AT DR. HASAN SADIKIN
GENERAL HOSPITAL BANDUNG
dr. R Ayu Hardianti S,
Dr. Yussy Afriani Dewi, dr., M.Kes., Sp.T.H.T.K.L(K), FICS,
Agung Dinasti Permana, dr., Sp.T.H.T.K.L, M.Kes., FICS
Abstract
Background: Nasopharyngeal carcinoma (NPC) is malignancy of squamous
cells on nasopharyngeal epithelial layer and the most common
otorhinolaryngology malignancy found in Indonesia. Etiology of NPC is
multifactorial including, food, environment, genetics, and Epstein-Barr
virus infection. The study aimed to determine the highest risk factors on
the incidence of nasopharyngeal carcinoma in Otorhinolaringology-Head
and Neck Surgery Department dr. Hasan Sadikin General Hospital Bandung.
Result: There are 462 patients nasopharyngeal carcinoma (265 men and
161 women) with three most common risk factors history of smoking
(50,7%), mosquito coils use (43,2%), and consumption of salty fish (39,7%).
LATAR BELAKANG
Karsinoma nasofaring (KNF) merupakan keganasan di daerah kepala dan
leher yang berasal dari epitel nasofaring dengan predileksi tersering pada
fossa Rosenmuller. Karsinoma nasofaring termasuk ke dalam lima besar
seluruh keganasan setelah kanker serviks, payudara, kelenjar getah bening
1
(KGB), dan kulit.
Angka kejadian KNF paling tinggi ditemukan di Asia dan jarang
2
ditemukan di Amerika dan Eropa. Karsinoma nasofaring dapat ditemukan
di seluruh negara dari lima benua tetapi insidensi tertinggi terdapat di Cina
bagian selatan khususnya di provinsi Guandong yaitu 17,8 per 100.000
penduduk pertahun dengan frekuensi 100 kali lebih tinggi dibanding ras
3
Kaukasia.
Angka kejadian KNF di Indonesia yaitu 4,7 kasus baru per 100.000
penduduk per tahun. Perbandingan antara laki-laki dan perempuan yaitu
4
2–3:1. Kasus KNF di Bagian Ilmu Kesehatan THT-KL menduduki peringkat
pertama keganasan pada daerah kepala dan leher. Prevalensi di
Departemen Ilmu Kesehatan THT-KL RS Dr. Hasan Sadikin Bandung selama
5
periode tahun 2010-2014 mencapai 39,4%.
Karsinoma nasofaring terjadi akibat interaksi antara faktor
genetik, infeksi Virus Epstein Barr (VEB), faktor lingkungan seperti terpapar
zat karsinogen seperti formaldehid, debu kayu serta asap kayu bakar,
merokok, dan faktor makanan yaitu mengkonsumsi ikan asin yang
6,7
mengandung nitrosamine dan makanan yang diawetkan.
Penelitian mengenai faktor risiko terjadinya KNF di Indonesia belum
pernah dilakukan. Atas dasar ini peneliti ingin melakukan penelitian.
Tujuan dilakukan penelitian ini adalah untuk mengetahui faktor
risiko terjadinya KNF di RSHS sebagai Rumah Sakit pusat rujukan di Jawa
Barat.
METODE PENELITIAN
Metode penelitian ini merupakan deskriptif retrospektif berdasarkan data
rekam medis pasien dengan keganasan kepala dan leher yang memenuhi
kriteria inklusi dan eksklusi. Kriteria inklusi adalah seluruh pasien dengan
Early Diagnosis and Current Treatment Paradigm in Head and Neck Surgery | 205
dr. R Ayu Hardianti S, Dr. Yussy Afriani Dewi, dr., M.Kes., Sp.T.H.T.K.L(K), FICS,
Agung Dinasti Permana, dr., Sp.T.H.T.K.L, M.Kes., FICS
HASIL PENELITIAN
Selama periode Januari 2010-Desember 2015, dilakukan penelitian
terhadap pasien 482 pasien dengan keganasan kepala leher di THT-KL
RSHS dengan hasil:
Kelompok
Variabel Ca Nasofaring Non- KNF
N= 426 N= 56
Usia
Mean±STD 43.34±14.351 53.553±13.962
Median 45.00 53.500
Range (min-max) 10.00-86.00 20.00-81.00
Jenis kelamin
Laki-laki 265 (62.2%) 28 (50%)
Perempuan 161 (37.8%) 28 (50%)
Kelompok
Variabel Ca Nasofaring Non- KNF
N= 426 N= 56
Penggunaan ONB
Ya 184 (43,2%) 15 (26,7%)
Tidak 242 (56,8%) 41 (73,3%)
Jumlah ONB
<1 24 (5.6%) 5 (33,4%)
2-4 160 (37.6%) 10 (66,7%)
Lama rokok
<10 tahun 77 (18.1%) 10 (17,8%)
>10 tahun 139 (32.6%) 23 (41%)
Tidak merokok 153 (35,9%) 19 (39,9%)
Pasif 57 (13.4%) 4 (7,3%)
Konsumsi alkohol
Ya 60 (14.1%) 20 (35.7%)
Tidak 366 (85.9%) 36 (64.3%)
Ikan asin
Ya 169 (39.7%) 3 (5.4%)
Tidak 257 (60.3%) 53 (94.6%)
Early Diagnosis and Current Treatment Paradigm in Head and Neck Surgery | 207
dr. R Ayu Hardianti S, Dr. Yussy Afriani Dewi, dr., M.Kes., Sp.T.H.T.K.L(K), FICS,
Agung Dinasti Permana, dr., Sp.T.H.T.K.L, M.Kes., FICS
Kelompok Penelitian
Variabel Periode Januari 2010 – Desember 2015
(n=426)
Rokok 216 (50,7%)
Obat Nyamuk Bakar 184 (43,2%)
Konsumsi ikan asin 169 (39,7%)
Kelompok Penelitian
Variabel Periode Januari 2010 – Desember 2015
(n=56)
Rokok 33 (58,8%)
Konsumsi alkohol 20 (35,7%)
Obat nyamuk bakar 15 (26,7%)
DISKUSI
Pada penelitian ini memperlihatkan jenis kelamin laki-laki lebih banyak
daripada perempuan dengan ratio 1-2:1 dan sebaliknya pada kelompok
non-KNF, tidak ada perbedaan berdasarkan jenis kelamin. Pada kebanyak
kasus KNF terjadi pada usia 29-57 tahun dan kelompok non-KNF pada usia
40-68 tahun. Di Amerika Serikat, usia dan jenis kelamin sangat penting
untuk menentukan risiko karsinoma pada kepala leher. Rata-rata usia
pasien saat di diagnosis adalah 55-65 tahun, sehingga dapat disimpulkan
orang tua dan dewasa tua memiliki risiko yang lebih besar dibandingkan
8
anak-anak dan dewasa muda.
Early Diagnosis and Current Treatment Paradigm in Head and Neck Surgery | 209
dr. R Ayu Hardianti S, Dr. Yussy Afriani Dewi, dr., M.Kes., Sp.T.H.T.K.L(K), FICS,
Agung Dinasti Permana, dr., Sp.T.H.T.K.L, M.Kes., FICS
SIMPULAN
Faktor risiko yang mempengaruhi terjadinya KNF di poliklinik THT-KL RSHS
Bandung Periode Januari 2010-Desember 2015 terdiri dari pengunaan obat
nyamuk bakar, merokok, dan konsumsi ikan asin.
DAFTAR PUSTAKA
1. Vinay Kumar M, Abul K. Abbas, Nelson Fausto, Jon C. Aster, editors.
Robbins and Cotran Pathologic Basis of Disease. Eighth ed. Philadelphia:
Saunders; 2010. p. 1125
2. Cao SM, Simons MJ, Qian C. 2011. The Prevalence and Prevention of
Nasopharyngeal Carcinoma in China. Chinese Journal of Cancer,
vol.30:114-9.
3. Jia WH, Luo XY, Zeng YX. Traditional Cantonese diet and
nasopharyngeal carcinoma risk : a large scale case-control study in
Guangdong, China. BMC Cancer. 2010. 10:446.
4. Adham M, Kurniawan AN, Muhtadi AI, Roezin A, Hermani B,
Gondhowiardjo dkk. 2012. Nasopharyngeal carcinoma in Indonesia :
epidemiology, incidence, sign, and symptoms at presentation. Chin
Journal of Cancer, Vol. 31(4):185-96.
5. Madani DZ NA, Permana AD. Prevalence of Nasopharyngeal Carcinoma
Patients at Departement of Otorhinolaryngology-Head and Neck
Surgery DR. Hasan Sadikin General Hodpital, Bandung, Indonesia in
2010-2014. Indonesia: Universitas Padjadjaran; 2015.
Early Diagnosis and Current Treatment Paradigm in Head and Neck Surgery | 211
dr. R Ayu Hardianti S, Dr. Yussy Afriani Dewi, dr., M.Kes., Sp.T.H.T.K.L(K), FICS,
Agung Dinasti Permana, dr., Sp.T.H.T.K.L, M.Kes., FICS
ABSTRAK
Latar belakang: Nodul tiroid adalah pertumbuhan sel-sel tiroid yang
abnormal sehingga membentuk benjolan pada kelenjar tiroid. Nodul tiroid
sering terjadi dan disebabkan oleh berbagai macam gangguan tiroid.
Sebagian besar nodul tiroid bersifat jinak dan asimtomatis. Tujuan: Untuk
mengetahui prevalensi Nodul Tiroid di Departemen/ SMF Ilmu Kesehatan
THT-KL RSHS Bandung berdasarkan kelompok usia, jenis kelamin,
histopatologi, BAJAH, dan jenis operasi. Metode: Populasi penelitian
adalah seluruh data rekam medis penderita yang didiagnosis nodul tiroid
tahun 2010 sampai 2015. Hasil: Dari 121 sampel penelitian yang
terdiagnosa nodul tiroid ditemukan pada perempuan sebanyak 93 orang
(61%) dengan kelompok rentang usia 44 tahun. Pemeriksaan BAJAH, paling
banyak adenomatous goiter sebanyak 38 kasus (31,4%), papiler tiroid, dan
folikuler tiroid masing-masing sebanyak 34 kasus (28,1%). Pemeriksaan
histopatologi ditemukan papiler tiroid sebanyak 40 kasus (33,1%) dan
folikuler tiroid sebanyak 36 kasus (29,7%). Tindakan hemitiroidektomi
dilakukan sebanyak 62 kasus (51,2%) dan total tiroidektomi sebanyak 39
kasus (33,2%). Kesimpulan: Penelitian ini didapatkan karakteristik nodul
tiroid yang terbanyak adalah papiler tiroid. Berdasarkan jenis kelamin
213
dr. Franssiskus H. Poluan, Dr. Yussy Afriani Dewi, dr., M.Kes., Sp.T.H.T.K.L(K), FICS,
Agung Dinasti Permana, dr., Sp.T.H.T.K.L, M.Kes., FICS
ABSTRACT
Background: Thyroid nodule refers to an abnormal growth of thyroid cells
that forms a lump within the thyroid gland. Thyroid nodule are common
and may be caused by variety of thyroid disorder. Majority of thyroid
nodules are benign and asymptomatic. Aims: Of this research is to
ascertain the prevalence of thyroid nodule patients in Otorhinolaringology-
Head and Neck Surgery Departement Hasan Sadikin General Hospital,
Bandung, Indonesia in 2010- 2015. Methods: : A descriptive method from
medical records of thyroid nodule patients that used the total sampling
method. Spesific characteristic studied were gender, age, FNAB,
histological type, and type of operation. Results: One hunred and twenty
one of the study were diagnosed as thyroid nodule, 93 cases (61%) found
in female with the range age is 44 years old. FNAB examination,
adenomatous goiter found 38 cases (31.4%), papillary thyroid and
follicular thyroid each as much as 34 cases (28.1%). Histopathological
examination found papillary thyroid 40 cases (33.1%) and follicular thyroid
36 cases (29.7%). Hemithyroidectomy have done as much as 62 cases
(51.2%) complete thyroidectomy 39 cases (33.2%). Conclusion: In this
research, the highest incidence of thyroid nodules is papillary thyroid with
the highest gender in women than men, age range of the incidence of
thyroid nodules are 15-73 years old. Type of papillary thyroid is the
hihghest incidence than the other type thyroid nodule. Most widely
performed surgical management is hemithyroidectomy
Pendahuluan
Nodul tiroid merupakan pertumbuhan sel-sel tiroid yang abnormal
sehingga membentuk benjolan pada kelenjar tiroid. Sebagian besar nodul
tiroid bersifat jinak, dan asimptomatis. Prevalensi nodul tiroid didunia
terjadi sebesar 4-7% pada pemeriksaan fisik daerah leher dan 13-67% pada
1,2
pemeriksaan ultrasonografi (USG).
Nodul tiroid lebih sering terjadi pada wanita, usia lanjut, defisiensi
yodium, dan riwayat paparan sinar radiasi. Prevalensi nodul tiroid
meningkat secara linier dengan bertambahnya usia, riwayat terkena
paparan radiasi pengion dan defisiensi yodium. Prevalensi di Amerika
Serikat sebanyak 0,1% yang menunjukkan bahwa terdapat 300.000 kasus
baru setiap tahunnya. Nodul tiroid pada orang dewasa umumnya bersifat
jinak dan diperkirakan mengalami keganasan sekitar 5-10% kasus. Nodul
tiroid yang ditemukan pada anak-anak dan dewasa muda insidennya hanya
sekitar 1,5% dan sering ditemukan dengan sifat ganas sekitar 26%. Di India
tahun 2009 prevalensi nodul tiroid berkisar 12,2%, Prevalensi nodul tiroid
1,2
di Indonesia tahun 2007 sebesar 14.7 %.
Berdasarkan anatomi dan fisiologi diketahui sebagai struma difusa
dan nodosa. Secara klinis dibagi dengan sifat toksik dan non toksik. Struma
nodosa terbagi atas uninodosa dan multinodosa. Berdasarkan fungsi
kelenjar tiroid dibagi atas hipotiroid (toksik), eutiroid, dan hipertiroid.
Struma tanpa tanda-tanda hipertiroid disebut struma non toksik.
Berdasarkan histopatologi dibagi atas hiperplasia, inflamasi, neoplasma
3-5
jinak, dan ganas.
Diagnosis nodul tiroid ditegakkan berdasarkan anamnesis, pemeriksaan
fisik. dan serangkaian pemeriksaan penunjang seperti pemeriksaan BAJAH,
histopatologis, fungsi tiroid, ultrasonografi (USG), scintigraphy (SC), CT-
6-8
Scan, dan foto polos.
Penatalaksanaan nodul tiroid meliputi pembedahan seperti
lobektomi subtotal, hemitiroidektomi, tiroidektomi subtotal, tiroidektomi
near total, total tiroidektomi, dan operasi bersifat ekstensif meliputi total
tirodektomi disertai total laringektomi/ reseksi trakea/sternomi/ diseksi
leher fungsional atau diseksi leher radikal. Ablasi dengan radioaktif yodium
,9,10
131, dan supresi TSH juga dapat dilakukan.
Early Diagnosis and Current Treatment Paradigm in Head and Neck Surgery | 215
dr. Franssiskus H. Poluan, Dr. Yussy Afriani Dewi, dr., M.Kes., Sp.T.H.T.K.L(K), FICS,
Agung Dinasti Permana, dr., Sp.T.H.T.K.L, M.Kes., FICS
Metode Penelitian
Populasi penelitian adalah seluruh data rekam medis penderita yang
didiagnosis nodul tiroid tahun 2010 sampai 2015.
Hasil
Berdasarkan penelitian yang dilakukan selama periode Januari 2010 –
Desember 2015 terhadap pasien dengan nodul tiroid di Departemen/ SMF
THT-KL RSHS, didapatkan hasil:
Tabel 1. Karakterisktik Pasien Nodul Tiroid Berdasarkan Usia dan Jenis Kelamin
Diskusi
Nodul tiroid merupakan masalah kesehatan yang banyak ditemukan, dan
sering terjadi pada wanita. Insiden meningkat seiring bertambahnya usia.
Pada penelitian ini kejadian nodul tiroid lebih banyak pada wanita daripada
pria dengan perbandingan 3-4:1. Penelitian yang sama juga dikemukakan
oleh Whickham survey yang menyatakan bahwa nodul tiroid terjadi pada
5.3% pada wanita dan 0.8% pada pria. Kejadian nodul tiroid terjadi pada
rentang usia 15-73 tahun pada penelitian ini, hal yang sama juga
dikemukakan oleh Gharib dkk pada tahun 2006 pada rentang usia 30 – 59
tahun. Hal yang paling penting dalam melakukan evaluasi diagnosis nodul
tiroid soliter meliputi anamnesis dan pemeriksaan fisik yang teliti,
pemeriksaan kadar TSH serta BAJAH. Penatalaksanaan selanjutnya sangat
tergantung dari hasil diagnosis sitopatologi dari spesimen yg diperoleh
melalui BAJAH. Pada kebanyakan kasus nodul tiroid jinak sebaiknya
dilakukan pemantauan secara periodik. Walaupun angka kejadian false-
negative dari hasil BAJAH rendah, namun direkomendasikan BAJAH ulang
untuk konfirmasi diagnosis 6 sampai 12 bulan setelah diagnosis nodul
tiroid jinak ditegakkan atau bila terjadi perubahan karakteristik nodul pada
1-3
pemantauan.
Early Diagnosis and Current Treatment Paradigm in Head and Neck Surgery | 217
dr. Franssiskus H. Poluan, Dr. Yussy Afriani Dewi, dr., M.Kes., Sp.T.H.T.K.L(K), FICS,
Agung Dinasti Permana, dr., Sp.T.H.T.K.L, M.Kes., FICS
Simpulan
Didapatkan karakteristik nodul tiroid yang terbanyak adalah jenis ganas
yaitu papiler tiroid. Berdasarkan jenis kelamin ditemukan paling banyak
ditemukan pada wanita daripada laki-laki. Usia rentang kejadian nodul
tiroid yaitu 15-73 tahun. Berdasarkan pemeriksaan histopatologis,
ditemukan jenis papiler tiroid lebih banyak daripada jenis nodul tiroid
lainnya. Jenis pembedahan paling banyak dilakukan adalah tindakan
hemitiroidektomi. Keterbatasan penelitian ini adalah variabel yang sedikit
dalam menggambarkan karakteristik nodul tiroid, sehingga perlu penelitian
lanjutan dengan mempertimbangkan variabel lain yang
menggambarkan karakteristik nodul tiroid di bagian SMF Ilmu
Kesehatan THT-KL RSHS.
Saran
Untuk menggambarkan karakterteristik nodul tiroid yang lebih baik pada
penelitian lanjutan, harus memiliki data rekam medis yang lengkap.
DAFTAR PUSTAKA
1. Gharib H, Papini E, Paschke R, Duick DS, Valcavi R, Hegedus L et al.
2010. Medical Guidelines For Clinical Practice For The Diagnosis And
Management of Thyroid Nodules. American Association of Clinical
Endocrinologist, Associazione MEDICI Endocrinologi, and European
Thyroid Association for the AACE/AME/ETA Task Force on Thyroid
Nodules. Endocrine Practice;16(1);1-43.
2. Haugen BR, Alexander EK, Bible KC, Doherty GM, Mandel SJ, Nikiforov
YE, et al. 2015. Management Guidelines for Adult Patients with Thyroid
Nodules and Differentiated Thyroid Cancer The American Thyroid
Association (ATA) Guidelines Task Force on Thyroid Nodules and
Differentiated Thyroid Cancer. American Thyroid Association;26(1);1-
133.
3. Dean D and Gharib H. 2008. Epidemiology of thyroid nodules. Best
Practice & Research Clinical Endocrinology & Metabolism; 22 (6).901–
11.
4. Sabel MS, Staren ED, Gianakakis LM. 2007. Effectiveness of the thyroid
scan in evaluation of the solitary thyroid nodule. Am Surg; 63(7): 660-3.
5. Singer PA. 2006. Evaluation and management of the solitary thyroid
nodule. Otolaryngol Clin North Am; 29(4): 577-91.
6. Tan GH, Gharib H. 2005. Thyroid incidentalomas: management
approaches to nonpalpable nodules discovered incidentally on thyroid
imaging. Ann Intern Med; 126(3): 226-31.
7. Paschke R, Hegedus L, Alexander E, Valcavi R, Papini E, Gharib H. 2011.
Thyroid Nodule guidelines: agreement,disagreement and need for
future. ResearchNat. Rev. Endocrinol;7-354–61.
8. Huang T, Hung J, Wu M, Chen s, Wu C and Tam K. 2013. Systematic
review of clinical practice guidelines in the diagnosis and management
of thyroid nodules and cancer. Huang et al. BMC Medicine;11;(191) 1-9.
Early Diagnosis and Current Treatment Paradigm in Head and Neck Surgery | 219
dr. Franssiskus H. Poluan, Dr. Yussy Afriani Dewi, dr., M.Kes., Sp.T.H.T.K.L(K), FICS,
Agung Dinasti Permana, dr., Sp.T.H.T.K.L, M.Kes., FICS
ABSTRAK
Hasil: Penelitian ini melibatkan 17 pasien yang terdiri atas 14 laki-laki dan
3 perempuan. Sebanyak 11,8 % pasien mengalami neutropenia derajat I
pada awal kemoterapi. Sebelas pasien (64,8%) mengalami neutropenia
pada pertengahan siklus kemoterapi. Pada akhir siklus kemoterapi terjadi
neutropenia pada 17 pasien (100%).
221
dr. Ermalinda Kurnia, dr. Denny Satria Utama Sp.THT-KL., MSI Med, FICS
ABSTRACT
PENDAHULUAN
Neutropenia merupakan kelainan hematologi dimana terjadi penurunan
3
jumlah neutrofil di dalam darah kurang dari 2.000 sel/mm . Klasifikasi
neutropenia menurut The Common Toxicity Criteria of The National
Cancer Institute berdasarkan hitung neutrofil absolut yang terdiri atas
3 3
derajat I (1500-2000 sel/mm ), derajat II (1000-1500 sel/mm ), derajat III
3 3
(500-1000 sel/mm ), dan derajat IV (<500 sel/mm ). Neutropenia dapat
terjadi akibat penurunan produksi sumsum tulang belakang dan
peningkatan destruksi neutrofil pada pembuluh darah perifer. Penurunan
produksi neutrofil dapat terlihat pada kelainan herediter, keganasan,
penggunaan medikamentosa. Peningkatan destruksi neutrofil ditemukan
pada anemia aplastik, kelainan autoimun, dan kemoterapi.
Chemotheraphy Induced Neutropenia (CIN) sering terjadi akibat
1,2
pemberian obat kemoterapi.
Neutropenia dapat memicu peningkatan risiko infeksi. Neutropenia
dapat tidak terdeteksi dan biasanya ditemukan ketika pasien telah
mengalami infeksi berat atau sepsis. Komplikasi berat terjadi pada 21%
pasien keganasan dengan demam neutropenia. Secara umum, neutropenia
lebih sering terjadi pada perempuan dibanding laki-laki dan usia tua lebih
berisiko terjadi neutropenia dibanding usia muda. Neutropenia ditemukan
pada pasien yang menjalani terapi limfoma atau tumor solid sebanyak
51%. Crawford dkk (2002) melaporkan sebanyak 50% pasien keganasan
dengan neutropenia mengalami infeksi, 20% mengalami bakteriemia
3
dengan neutropenia derajat berat (hitung neutrofil absolut <500sel/mm ).
Regimen kemoterapi pada LNH berisiko sedang terjadi neutropenia
sepanjang siklus kemoterapi. Crawford juga melaporkan sebanyak 63%
pasien dengan limfoma LNH dengan usia >70 tahun meninggal akibat
neutropenia pada kemoterapi seri pertama dan sebanyak 65% pasien LNH
1,3
dirawat akibat neutropenia pada kemoterapi seri pertama dan kedua.
Limfoma Non Hodgkin (LNH) adalah kelompok keganasan primer
limfosit yang dapat berasal dari limfosit B, limfosit T dan kadang (amat
jarang) berasal dari sel NK (natural killer) yang berada dalam sistem limfe,
sangat heterogen baik tipe histologis, gejala, perjalanan klinis, respon
terhadap pengobatan, maupun prognosis. Lebih dari 80% LNH berasal dari
Early Diagnosis and Current Treatment Paradigm in Head and Neck Surgery | 223
dr. Ermalinda Kurnia, dr. Denny Satria Utama Sp.THT-KL., MSI Med, FICS
sel B dan sisanya berasal dari sel T. Berdasarkan The American Cancer
Society memperkirakan terdapat 66.360 kasus baru setiap tahun dan
19.320 penderita meninggal akibat LNH pada tahun 2011. Di Indonesia,
LNH bersama dengan penyakit hodgkin dan leukemia menduduki urutan
.4,5,6
keenam keganasan tersering
LNH lebih sering terjadi pada laki-laki dan jumlahnya meningkat
seiring dengan bertambahnya usia. Peningkatan jumlah kasus LNH tidak
diketahui sebabnya. Hubungan yang erat antara penyakit AIDS dan LNH
merupakan salah satu faktor yang memperkuat dugaan adanya hubungan
antara LNH dengan infeksi. Pengobatan terutama bergantung kepada
gambaran histologi, stadium, limfoma indolen atau agresif, usia atau
penyakit sekunder seperti penyakit imunodefisiensi. Terapi untuk LNH
terdiri dari terapi spesifik untuk eradikasi sel limfoma dan terapi suportif
untuk meningkatkan keadaan umum penderita atau menanggulangi efek
4-9
samping kemoterapi.
METODE
Penelitian ini merupakan studi deskriptif menggunakan data rekam medis
pasien LNH yang menjalani kemoterapi dari bulan Juli 2012 hingga Juli
2014 di Departemen IKTHT-KL RSUP Dr. Mohammad Hoesin Palembang.
Kemoterapi pada pasien LNH tersebut adalah sebanyak satu siklus
kemoterapi yang terdiri atas 6 seri kemoterapi dengan waktu jeda antar
kemoterapi adalah tiga minggu dengan menggunakan regimen R- CHOP
(rituximab, cyclophosphamide, doxorubicine, vincristine, prednison).
Hitung neutrofil absolut pada awal siklus atau sebelum kemoterapi seri
pertama, pertengahan siklus kemoterapi atau setelah kemoterapi seri tiga
dan akhir siklus atau setelah kemoterapi seri enam. Hitung neutrofil
absolut dinilai dengan menghitung jumlah neutrofil batang dan segmen
(%) dikalikan jumlah leukosit total. Klasifikasi neutropenia yang terjadi
dibagi menjadi 4 derajat berdasarkan The Common Toxicity Criteria of The
3
National Cancer Institute yang terdiri atas derajat I (1500-2000 sel/mm ),
3 3
derajat II (1000-1500 sel/mm ), derajat III (500-1000 sel/mm ), dan derajat
3
IV (<500 sel/mm ). Kriteria inklusi adalah seluruh pasien karsinoma
nasofaring yang telah menjalani satu siklus kemoterapi dari bulan Juli
2012 hingga Juli 2014. Kriteria eksklusi adalah pasien dengan LNH yang
belum selesai menjalani satu siklus kemoterapi dari bulan Juli 2012 hingga
Juli 2014. Seluruh data dikumpulkan dan disajikan secara deskriptif.
HASIL
Penelitian ini melibatkan 17 pasien yang terdiri atas 14 laki-laki dan 3
perempuan. Pasien paling muda berusia 22 tahun sebanyak 1 orang dan
usia paling tua pasien adalah 64 tahun sebanyak 1 orang. Kelompok usia
terbanyak adalah antara usia 31-40 tahun dan 51-60 tahun masing-masing
sebanyak 5 orang. Kelompok usia paling sedikit ialah usia 21-30 tahun
sebanyak 1 orang. Berdasarkan staging LNH menurut Ann Arbor,
sebanyak 6 pasien dengan LNH stadium I, 3 pasien dengan LNH stadium II,
7 pasien dengan LNH stadium III, dan 1 pasien dengan LNH stadium IV.
Sebanyak 16 pasien menjalani kemoterapi siklus pertama dan hanya 1
pasien yang menjalani kemoterapi siklus kedua. Lokasi primer tumor
kepala dan leher bervariasi, pada laporan kasus ini terdapat 9 pasien
dengan lokasi primer tumor di tonsila palatina, 5 pasien dengan lokasi
primer tumor di orofaring, dan masing-masing 1 pasien dengan lokasi
primer tumor di nasofaring, hipofaring, dan sinonasal.
Hitung neutrofil absolut pada awal siklus didapat dari pemeriksaan
darah sebelum dimulai kemoterapi. Hitung neutrofil absolut pada
pertengahan siklus dilakukan pada minggu kedua pasca kemoterapi ketiga.
Hitung neutrofil absolut pada akhir siklus dilakukan pada minggu kedua
pasca kemoterapi keenam. Hitung neutrofil absolut pada awal siklus
3
kemoterapi tertinggi adalah 12.616 sel/mm dan hitung neutrophil
3
absolut terendah adalah 1.595 sel/mm . Hitung neutrophil absolut
3
pertengahan siklus kemoterapi tertinggi adalah 2.747 sel/mm dan hitung
neutrofil absolut pertengahan siklus kemoterapi terendah adalah 323
3
sel/mm . Hitung neutrophil absolut pada akhir siklus kemoterapi tertinggi
3
adalah 1.728 sel/mm dan hitung neutrofil absolut pada akhir siklus
3
kemoterapi terendah adalah 320 sel/mm . Rata-rata nilai hitung neutrofil
absolut pada awal, pertengahan, dan akhir siklus kemoterapi adalah 5.328
3 3 3
sel/mm , 2.087 sel/mm , dan 1.141 sel/mm .
Early Diagnosis and Current Treatment Paradigm in Head and Neck Surgery | 225
dr. Ermalinda Kurnia, dr. Denny Satria Utama Sp.THT-KL., MSI Med, FICS
DISKUSI
Limfoma Non Hodgkin merupakan keganasan pada kelompok keganasan
primer limfosit yang paling banyak terjadi. Pada laporan kasus ini ini
didapatkan prevalensi kejadian limfoma Non Hodgkin lebih banyak dialami
oleh laki-laki dibandingkan perempuan dengan rasio 4:1 dengan kelompok
usia yang paling banyak dijumpai adalah 31-40 tahun dan 51-60 tahun.
Crawford dkk (2004) melaporkan usia rerata pasien yang mengalami LNH
adalah 50-70 tahun dimana prevalensi laki-laki lebih banyak dibanding
1,3,10
dengan perempuan dengan perbandingan 3 : 1.
Pada laporan kasus ini, limfoma Non Hodgkin stadium III merupakan
stadium terbanyak yang ditemukan. Kebanyakan pasien tidak menyadari
gejala dini dari limfoma Non Hodgkin sehingga prevalensi LNH stadium
dini jarang dijumpai. Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Crawford
dkk, LNH dijumpai secara bervariasi pada semua stadium. Prevalensi
stadium III dan IV sedikit lebih banyak disbanding stadium I dan II.
Pettengel (2011) melaporkan penelitian dengan stadium LNH terbanyak
adalah stadium IV yakni sebanyak 49% diikuti dengan stadium III sebanyak
27%.
DAFTAR PUSTAKA
1. Crawford J, Dale DC, Lymann GH, Chemotherapy-induced neutropenia
risks, consequences, and new directions of its management.
Cancer. 2004;100:228–37.
Early Diagnosis and Current Treatment Paradigm in Head and Neck Surgery | 227
dr. Ermalinda Kurnia, dr. Denny Satria Utama Sp.THT-KL., MSI Med, FICS
ABSTRAK
Latar Belakang: Angiofibroma nasofaring juvenile (ANJ) merupakan
tumor fibrovaskuler nasofaring yang secara histopatologi adalah jinak
namun mampu mendestruksi jaringan sekitarnya yang banyak mengenai
laki-laki remaja usia 5-25 tahun. Kejadian tumor ini 0,5% dari seluruh
tumor kepala dan leher. Gejala dan tanda klinis ANJ antara lain
mimisan berulang, hidung tersumbat unilateral dan massa di nasofaring.
Diagnosis ANJ ditegakkan berdasarkan pemerikaan klinis, yaitu
anamnesis yang lengkap, pemeriksaan THT dan nasoendoskopi, ditambah
pemeriksaan penunjang seperti CT scan dengan kontras dan MRI, untuk
melihat perluasan tumor. Diagnosis dikonfirmasi dengan pemeriksaan
angiografi yang bertujuan untuk melihat sumber aliran darah tumor.
Pembedahan merupakan terapi pilihan. Tujuan: Mengetahui profil
penderita angiofibroma nasofaring juvenile di RSUP H. Adam Malik
Medan. Metode: Penelitian deskriptif pada 20 penderita ANJ dari
Oktober 2010 – Oktober 2015 di Divisi Onkologi T.H.T.K.L RSUP H. Adam
Malik Medan. Hasil: Pada penelitian ini ditemukan laki-laki 95% dan
perempuan 5%. Kelompok umur terbanyak adalah 14-16 tahun yaitu
45%. Keluhan mimisan dijumpai pada seluruh kasus dan hidung
tersumbat 95%. Lokasi dan perluasan tumor berdasarkan CT scan
terbanyak di nasofaring (100%) dan rongga hidung (95%). Stadium ANJ
berdasarkan kategori Chandler terbanyak stadium II (50%). Teknik operasi
terbanyak adalah degloving midfacial (65%). Kesimpulan: Angiofibroma
nasofaring juvenile di RSUP H. Adam Malik Medan terbanyak adalah
229
Resta Imelda Simbolon, Rizalina A. Asnir, Farhat
LATAR BELAKANG
Angiofibroma nasofaring juvenile (ANJ) merupakan tumor fibrovaskuler
nasofaring yang secara histopatologi adalah jinak akan tetapi mampu
mendestruksi jaringan sekitarnya dan banyak menyerang laki-laki remaja
1
usia 5-25 tahun. Istilah ANJ ini pertama kali dikenalkan oleh Chaveau pada
tahun 1906 yang menggambarkan sebuah tumor jinak yang kaya pembuluh
darah dan mampu menginvasi nasofaring dan atau rongga hidung bagian
2
posterior.
3
Parikh & Hennemeyer menyatakan bahwa kejadian ANJ sebesar
0,5% dari tumor kepala dan leher, yang mengenai laki-laki muda pada
4
umur 7-29 tahun. Itoo et al. melaporkan dari 24 kasus ANJ, diperoleh
umur termuda adalah 9 tahun dan umur tertua adalah 26 tahun.
Gejala dan tanda klinis ANJ antara lain hidung tersumbat (80-90%),
mimisan berulang dan rinorea unilateral (45-60%). Sakit kepala (25%),
nyeri wajah dan sinusitis kronis dapat muncul akibat perluasan tumor ke
sinus paranasal. Gejala lain adalah gangguan fungsi tuba Eustachius yang
dapat menyebabkan otitis media. Perluasan ke rongga orbita akan
menyebabkan proptosis dan gangguan penglihatan. Pipi bengkak,
5
gangguan neurologis dan gangguan penciuman juga dapat terjadi.
Diagnosis ANJ ditegakkan berdasarkan pemerikaan klinis, yaitu
anamnesis yang lengkap, pemeriksaan THT dan nasoendoskopi, ditambah
pemeriksaan penunjang seperti CT scan dengan kontras dan MRI, untuk
melihat perluasan tumor. Diagnosa dikonfirmasi dengan pemeriksaan
angiografi yang bertujuan untuk melihat suplai darah tumor dan
6,7
embolisasi dapat dilakukan pada waktu yang bersamaan. Sementara
METODE
Penelitian ini merupakan penelitian deskriptif untuk melihat profil 20
penderita angiofibroma nasofaring juvenile yang berobat di Divisi Onkologi
Departemen Telinga Hidung Tenggorok Kepala Leher di RSUP H. Adam
Early Diagnosis and Current Treatment Paradigm in Head and Neck Surgery | 231
Resta Imelda Simbolon, Rizalina A. Asnir, Farhat
HASIL
Dalam kurun waktu bulan Oktober 2010 sampai bulan Oktober 2015
terdapat 27 penderita diduga dengan diagnosis ANJ di Divisi Onkologi
T.H.T.K.L RSUP H. Adam Malik Medan. Dari 27 penderita tersebut hanya
20 penderita yang memenuhi kriteria inklusi dan menjadi sampel
penelitian ini. Pada penelitian ini, 19 penderita adalah laki-laki dan 1
penderita adalah perempuan. Usia termuda adalah 8 tahun dan usia
tertua adalah 21 tahun. Pada tabel 1 dapat dijelaskan kelompok
umur terbanyak adalah 14-16 tahun (45%).
Variabel umur N %
8 – 10 tahun 1 5
11 – 13 tahun 5 25
14 – 16 tahun 9 45
17 – 19 tahun 4 20
20 – 21tahun 1 5
Early Diagnosis and Current Treatment Paradigm in Head and Neck Surgery | 233
Resta Imelda Simbolon, Rizalina A. Asnir, Farhat
Perluasan intrakranial 3 15
DISKUSI
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui profil penderita angiofibroma
nasofaring juvenile di RSUP H. Adam Malik Medan Dalam kurun waktu bulan
Oktober 2010 sampai bulan Oktober 2015 terdapat 27 penderita diduga
dengan diagnosis ANJ. Dari 27 penderita tersebut hanya 20 penderita yang
memenuhi kriteria inklusi dan menjadi sampel penelitian ini.
Pada penelitian ini berdasarkan kategori jenis kelamin dijumpai
penderita ANJ berjenis kelamin laki-laki lebih banyak dari pada yang
berjenis kelamin perempuan dengan persentase 95% dan 5%. Hasil
12 13
penelitian ini sesuai dengan penelitian Gupta et al. , Bleier et al. , Barreto
14 1
et al. dan Alecio et al. yang menyebutkan semua penderita ANJ berjenis
kelamin laki-laki. Hal ini disebabkan adanya hubungan ANJ dengan ketidak
seimbangan hormonal pada jenis kelamin laki-laki. Dalam kepustakaan
dikatakan ANJ memiliki keterkaitan dengan hormon steroid, dimana
Early Diagnosis and Current Treatment Paradigm in Head and Neck Surgery | 235
Resta Imelda Simbolon, Rizalina A. Asnir, Farhat
Early Diagnosis and Current Treatment Paradigm in Head and Neck Surgery | 237
Resta Imelda Simbolon, Rizalina A. Asnir, Farhat
KESIMPULAN
Penderita ANJ di RSUP H. Adam Malik Medan terbanyak adalah laki-laki,
kelompok umur 14-16 tahun, keluhan mimisan dan hidung tersumbat,
lokasi dan perluasan tumor berada di nasofaring dan rongga hidung.
Stadium terbanyak adalah stadium II dan pendekatan operasi terbanyak
adalah teknik degloving midfacial.
SARAN
1. Perlu penelitian dengan metode prosfektif untuk mengetahui
hubungan antara pendekatan operasi dengan kekambuhan pada
penderita ANJ.
2. Perlu dilakukan penelitian melihat perbedaan antara penderita ANJ
yang diembolisasi sebelum operasi dengan tanpa embolisasi sebelum
operasi.
DAFTAR PUSTAKA
1. Atalar M, Solak O, Muderris S. Juvenile nasopharyngeal angiofibroma:
radiologic evaluation and pre-operative embolization. KBB-Forum 2006;
5:58-60.
2. Alecio TM, Fabiano GN, Ramina R. Juvenile nasopharyngeal
angiofibroma with intracranial extension. American Academy of
Otolaryngology-Head and Neck Surgery 2011; 145:498-504.
3. Parikh V, Hennemeyer C. Microspheres embolization of juvenile
nasopharyngeal angiofibroma in an adult. International Journal of
Surgery Case Report 2014; 5:1203-6.
4. Itoo FA, Iqbal I, Chiesti LA. Juvenile nasopharyngeal angiofibroma : a
tertiary hospital-based experience. Indian Journal of Clinical Practice
2014; 25:352-4.
5. Nicolai P, Schreiber A, Bolzoni AV. Juvenile angiofibroma :
evolution of management. International Journal of Pediatrics 2012;
2012:1-7.
Early Diagnosis and Current Treatment Paradigm in Head and Neck Surgery | 239
Resta Imelda Simbolon, Rizalina A. Asnir, Farhat
15. Persky M, Manolidis S. Vascular tumors of the head and neck. In:
th
Johnson JT, editor. Bailey’s head & neck surgery otolaryngology. 5
edition. Lippincott Williams & Wilkins: Philadelphia; 2006. p.2023-8.
16. Peloquin A, Michel JK, Basso FB, Michel JG, Toffel P, Pierre
JP. A rare case of nasopharyngeal angiofibroma in a pregnant
woman. Otolaryngology Head Neck Surgery. 1997; 117:111-4.
17. Montag AG, Tretiakova M, Richardson M. Steroid hormone
receptor expression in nasopharyngeal Angiofibromas Consistent
Expression of Estrogen Receptor β. American Journal of Clinical
Pathology 2006; 125:832.
18. Thakar A, Gupta G, Bhalla AS, Jain V, Sharma SC, Sharma R, Bahadur S,
Deka RC. Adjuvant therapy with flutamide for presurgical volume
reduction in juvenile nasopharyngeal angiofibroma. Head Neck 2011;
33:1747-53.
19. Lara AG, Menegatti VA, Belintani VP, Victor JM, Drimel FM. A seven-
year experience with patients with juvenile nasopharyngeal
angiofibroma. Brazilian Journal of Otorhinolaryngology 2010; 76:245-
50.
20. Gleeson M. Juvenile angiofibroma. In: Michael G, editor. Scott Brown’s
th
Otorhinolariyngology Head and Neck Surgery. 7 edition. Hodder
Arnold: Great Britain; 2008. p.2437-43.
th
21. Dhingra PL, Dhingra S. Disease of ear, nose & throat 5 edition.
Elsevier. India; 2010. p.263.
22. Plant RL. Neoplasma of the Nasopharynx. In: Snow JB, Wackym
th
A, editors. Ballenger’s otorhinolaryngology head & neck surgery, 17
edition. BC Decker Inc: Connecticut; 2009. p.1081-2.
23. Nas N, Ahmed Z, Muttiullah S, Saleem M. Juvenile nasopharyngeal
angiofibroma role of imaging in diagnosis, staging and recurrence.
Pakistan Journal of Surgery 2009; 25:185-9.
24. Roger D, Hartnick C, Fagan J. Juvenile nasopharyngeal angiofibroma
surgery. In: Open acces atlas of otolaryngology, head & neck operative
surgery 2014. Available from URL : http://www.entdev.uct.ac.za/
Accesed August 26, 2015.
Early Diagnosis and Current Treatment Paradigm in Head and Neck Surgery | 241
Resta Imelda Simbolon, Rizalina A. Asnir, Farhat
Abstrak
Limfoma sel B besar difus merupakan subtipe non hodgkin limfoma
terbesar dan paling sering ekstranodal. Limfoma non hodgkin sering terjadi
pada usia rata-rata 50-70 tahun ke atas dengan insiden pria dua kali lebih
banyak dari wanita. Linfoma non hodgkin sering memiliki keterlibatan
ekstranodal dimana cincin Waldeyer merupakan lokasi yang paling sering
terlibat diikuti kavum nasi, sinus paranasal, glandula tiroid dan glandula
saliva. Penyebab Limfoma non hodgkin sampai saat ini belum diketahui
secara pasti, namun beberapa hal yang diduga berperan sebagai penyebab
antara lain infeksi virus, faktor lingkungan, supresi imun dan faktor
genetik. Terapi yang digunakan antara lain kemoterapi baik tunggal
maupun kombinasi, terapi antibodi monoklonal, radioterapi,
transplantasi sumsum tulang, transplantasi sel induk dan
imunomodulator.
Dilaporkan satu kasus limfoma non hodgkin sinonasal pada laki-laki
usia 25 tahun yang telah dilakukan kemoterapi (ifosfamid, epirubisin,
vinkristin, prednison) sebanyak enam seri.
Abstract
Diffuse large B-cell lymphoma is the largest sub type of non hodgkin’s
lympoma and most common as an extranodal. Non hodgkin lymphoma
(NHL) often occurs at median age 50-70 years old, which the incidence in
243
Sari Nurfaizah, Wifaqi Oktaria, Denny Satria Utama
Latar belakang
Limfoma sel B besar difus merupakan subtipe limfoma non hodgkin
terbesar dan paling sering ditemukan ekstranodal. Limfoma Non-Hodgkin
(LNH) merupakan suatu keganasan pada sel limfosit T maupun sel limfosit
B yang telah matur di dalam kelenjar getah bening atau sistem getah
bening secara keseluruhan. LNH dapat dibedakan dari limfoma Hodgkin
berdasarkan tampilan klinis dan histologi. LNH sering dialami orang dengan
usia rata-rata 50-70 tahun ke atas dan pria dua kali lebih banyak
kejadiannya dari wanita. Limfoma pada sinus paranasal sekitar 14% dari
seluruh jenis kanker area ini, dimana LNH berkisar 86% dari semua kasus
limfoma tersebut. DLBCL merupakan bentuk LNH paling sering di kavum
nasi dan sinus paranasal. Insiden DLBCL dari 2000-2009 berkisar 0,1 kasus
dari 100.000 orang. Pasien dengan LNH memiliki 5 tahun angka ketahanan
hidup sekitar 63%. Tingkat kelangsungan hidup terus meningkat selama 2
dekade terakhir, berkat perbaikan medis seperti munculnya strategi terapi
baru (antibodi monoklonal). Penentuan stadium sedini mungkin dan
penatalaksanaan yang tepat akan meningkatkan kualitas hidup pada LNH
1-4
sel B besar difuse.
Laporan Kasus
Dilaporkan satu kasus laki-laki usia 25 tahun datang ke poliklinik THT
rumah sakit dr. Mohammad Hoesin Palembang pada desember 2014
dengan keluhan utama benjolan di lubang hidung sebelah kiri sejak 2
bulan sebelum ke Rumah Sakit. Anamnesis terhadap pasien didapatkan
sejak 3 bulan sebelum ke RS, penderita mengeluhkan hidung kiri tersumbat
secara terus menerus dan kadang-kadang mengeluarkan darah yang
bercampur ingus. Sejak dua bulan yang lalu penderita merasakan timbul
benjolan di lubang hidung kirinya berwarna kemerahan, lunak dan
mudah berdarah. Benjolan tersebut dirasakan semakin lama semakin
besar sampai keluar lubang hidung. Hidung kiri terasa membengkak
dirasakan meluas ke pipi kiri yang kemudian disertai dengan mata kiri
yang menonjol, sehingga sulit menutup mata dan pandangan kabur. Sakit
kepala terutama sebelah kiri tanpa disertai pandangan ganda.
Keluhan demam, berkeringat pada malam hari, penurunan berat
badan tidak ada. Pembesaran kelenjar getah bening leher di submandibula
sebesar kelereng tanpa nyeri. Riwayat pekerjaan pegawai kantor.
Penderita berobat ke praktek dokter tht disarankan untuk operasi, os
dirujuk ke RSMH untuk di operasi bersama mata.
Early Diagnosis and Current Treatment Paradigm in Head and Neck Surgery | 245
Sari Nurfaizah, Wifaqi Oktaria, Denny Satria Utama
Gambar 2. (3). Rinoskopi anterior: massa cavum nasi sinistra, (2). Kavum
nasi dekstra sempit
Penatalaksanaan
Pasien dilakukan operasi pada tanggal 30 Maret 2015 dan dilakukan
ekstirpasi massa dari cavum nasi sinistra, ditemukkan juga massa di sinus
maksilaris sinistra dan ethmoid. Dinding medial sinus maksilaris sinistra
mengalami destruksi dan terdapat deviasi septum nasi ke arah kanan
akibat pendesakan massa cavum nasi sinistra. Jaringan yang di dapat
dilakukkan pemeriksaan patologi. Pemeriksaan patologi anatomi (4 april
2015) dengan kesan limfoma maligna pada cavum nasi dan sinus
maksilaris. Pemeriksaan Pemeriksaan laboratorium darah (9 Mei 2015)
dijumpai Hb 11,4 gr/dl, leukosit 6.600/mm3, trombosit 395.000/mm3, LED
24 mm/jam, bilirubin direk 0,10 mg/dl, bilirubin Pada tanggal 13 Mei
Early Diagnosis and Current Treatment Paradigm in Head and Neck Surgery | 247
Sari Nurfaizah, Wifaqi Oktaria, Denny Satria Utama
Early Diagnosis and Current Treatment Paradigm in Head and Neck Surgery | 249
Sari Nurfaizah, Wifaqi Oktaria, Denny Satria Utama
Diskusi
Dilaporkan satu kasus limfoma non-Hodgkin ekstranodal sinonasal pada
laki-laki usia 25 tahun. Pekerjaan penderita adalah pegawai kantor.
LNH primer pada kepala leher terjadi pada 14% kasus LNH dan 20%-30%
nya merupakan limfoma ekstranodal. Usia rata-rata adalah 50-70 tahun
dengan kejadian pada pria dua kali lebih banyak dari wanita. Etiologi tidak
diketahui secara pasti, namun diduga faktor lingkungan seperti pajanan
bahan kimia (pestisida, herbisida, bahan kimia organik dan lain-lain),
kemoterapi dan radiasi ikut berperan sebagai penyebab LNH. Berdasarkan
data di departemen THT-KL RSMH kejadian limfoma non-Hodgkin dari
bulan Januari 2011- Juni 2015 sebanyak 58 pasien dimana 22 diantaranya
1,3,4
LNH tonsil dan 5 pasien LNH sinonasal.
Anamnesis terhadap pasien didapatkan. Keluhan hidung kiri
tersumbat dan kadang- kadang mengeluarkan darah yang bercampur
ingus. Tumbuh daging di lubang hidung kirinya berwarna merah sampai
kehitaman, lunak dan mudah berdarah. Hidung kiri terasa membengkak
yang kemudian disertai penonjolan mata kiri. Sakit kepala dan sulit
menutup mata kiri. Pembesaran kelenjar getah bening leher ditemukan
pada area submandibula sinistra. Gejala LNH ekstranodal kavum nasi
biasanya berupa obstruksi kavum nasi, epistaksis, rinorea, sakit kepala
dan pembengkakan di hidung. Gejala lain yang menunjukkan infiltrasi atau
perluasan tumor seperti pembengkakan daerah pipi, perforasi palatum
durum, proptosis, diplopia, pandangan kabur dan kelumpuhan nervus
kranialis sekunder dari perluasan ke orbita atau dasar tengkorak. Sebagian
1.3,6
pasien mengeluhkan pembesaran kelenjar getah bening leher.
Pemeriksaan fisik didapatkan kavum nasi sinistra dijumpai
massa berwarna merah kehitaman memenuhi rongga hidung, permukaan
tidak rata, lunak, rapuh dan mudah berdarah. Kavum nasi dekstra tampak
sempit, septum nasi terdorong oleh massa. Terdapat pembesaran kelenjar
getah bening servikal (submandibula sinistra). Gambaran massa pada LNH
sinonasal bervariasi, sebagian besar tampak sebagai massa seperti daging
dengan warna merah sampai abu- abu yang ulseratif dan rapuh, kadang-
kadang disertai jaringan nekrotik, debris, sekret mukopurulen dan krusta.
Early Diagnosis and Current Treatment Paradigm in Head and Neck Surgery | 251
Sari Nurfaizah, Wifaqi Oktaria, Denny Satria Utama
Prognosis pada pasien ini berdasarkan skor IPI adalah 0 (tidak ada
peningkatan kadar LDH) dengan interpretasi resiko rendah.
Prognosis pasien dengan LNH sinonasal tergantung stadium yang
menurun dengan semakin tingginya tingkat stadium. Berdasarkan
penelitian Li dkk tahun 2010 menyatakan secara keseluruhan angka lima
tahun ketahanan hidup dan bebas penyakit LNH kavum nasi pada
semua kelompok adalah 63% dan 57%, stadium IE sebesar 75% dan 68%.
Prognosis juga meningkat ketika imunoterapi dengan rituximab
ditambahkan pada kemoterapi. Saat ini angka 5- tahun bebas penyakit
1,4,6,
sekitar 70-85%.
Kesimpulan
Diffuse large B-cell lymphoma merupakan subtipe limfoma non Hodgkin
terbesar dan paling sering ekstranodal. LNH sinonasal tipe sel B besar difus
sering terjadi pada laki-laki usia 50-70 tahun, namun dalam kasus ini terjadi
pada usia muda yaitu 25 tahun. Faktor- faktor yang dapat mempengaruhi
terjadinya LNH sinonasal adalah genetik, imunitas rendah, faktor
lingkungan seperti pajanan bahan kimia (pestisida, herbisida, dan lain-lain),
dan infeksi virus dan bakteri seperti Epstein-Barr virus. Penatalaksanaan
limfoma non Hodgkin stadium I dan II sesuai rekomendasi NCCN 2015
dapat dilakukan bulky bila tumor ≥ 10 cm dan dilanjutkan dengan regimen
kemoterapi RCHOP. Pada kasus ini dilakukan bulky tumor pada kavum nasi
sinistra dan dilanjutkan dengan kemoterapi regimen CHOP, hal ini
dikarenakan dari hasil imunohistokimia CD20 negatif pada tumor.
Diagnosis,dan penilaian stadium sejak dini serta penanganan dan
penatalaksanaan yang tepat akan memeberikan respon terapi yang baik,
dimana 5 tahun ketahan hidup pada pasien LNH sinonasal mencapai 63%,
1-5
merupakan angka harapan hidup yang cukup baik.
Saran
1. Deteksi dini kelainan LNH sinonasal berdasarkan gejala klinis.
2. Pemeriksaan histopatologi dan immunohistokimia untuk menegakkan
diagnosis, dilakukan sedini mungkin untuk menentukan terapi yang
akan diberikan pada pasien LNH sinonasal tipe sel B besar difus.
Early Diagnosis and Current Treatment Paradigm in Head and Neck Surgery | 253
Sari Nurfaizah, Wifaqi Oktaria, Denny Satria Utama
Daftar Pustaka
1. Munker R, MD et al. The Non- Hodgkin’s Lymphomas.In. Munker
R,MD et al. Modern Hematology Biology and Clinical Management.
Human Press. New Jersey. 2007. p: 237-269.
2. Annenkov alexey et al. Diffuse large B- cell lymphoma of tonsil and
testis; unexpected metastatic sequence. International journal of case
report and image. Japan. 2010. Vol 1 (1); 7-11.
3. Paksoy M, Altin G, Erdogan BA, Sanli A, Oztek I. A rare cause of nasal
septal mass: B cell lymphoma. Istanbul Med J.2013. Vol 14; 60-62.
4. Chai RL, Tassler AB, Kim seungwon. Lymphomas of head and neck.
In: Byron J. Bailey editor. Head & Neck Surgery Otolaryngology. 5nd ed.
Lippincott Williams & Wilkins. Philadelphia, USA. 2014. Vol. 2,
(128):2032-2040.
5. Jiang QP et al. CD 20-positive NK/T- cell lymphoma with indolent clinical
course: report of case and review of literature. Diagnostic pathology.
2012. Vol 7. p: 2-7.
6. Lei WC, Hong RL. Sinonasal diffuse large B cell lymphoma, a case
report. J. Cancer Res. Pract. Taiwan. 2012. Vol 28, (4);183-188.
7. Chan ACL, Chan JKC, Cheung MMC, Kapadia SB. Haematolymphoid
tumours. In; Pathology & genetic Head and neck tumours. IARC. Lyon.
2005. 58-64.
ABSTRAK
Luka tusuk leher adalah luka akibat benda tajam yang mengenai daerah
leher. Meskipun merupakan kasus yang relative jarang, luka tusuk leher
berpotensi menimbulkan angka kesakitan dan diperkirakan kematian
mencapai 6%. Penilaian dan manajemen pasien dengan luka tusuk leher
sesuai dengan zona yang terkena. Terbukti bahwa pemeriksaan langsung
dengan observasi dan pemeriksaan serial merupakan cara yang efektif
seperti halnya tindakan eksplorasi pada pasien tertentu. Kami melaporkan
1 kasus luka tusuk leher yang telah dilakukan tindakan pengambilan benda
asing di Departemen Ilmu Kesehatan Telinga Hidung Tenggorok dan Bedah
Kepala leher RSUP Dr. Hasan Sadikin, Bandung.
ABSTRAC
Penetrating neck injury is an injury due to sharp object on the neck.
Although it is a relatively rare cases, penetrating neck injury potentially
cause morbidity and mortality which is estimated to reach 6%. The
assessment and management of patients with penetrating neck injury
according to highlighting areas. There is good evidence that directed
examination with observation and serial examinations may be as effective
255
dr. Nurbaiti, dr. Agung Dinasti Permana, Sp.T.H.T.K.L, M.Kes., FICS
PENDAHULUAN
Luka tusuk leher merupakan kejadian yang jarang dijumpai. Satu studi di
Finlandia diperkirakan insidensi luka tusuk leher non-ballistik 1.3/100.000
per tahun. Di dunia, mekanisme injury yang paling sering adalah luka
tusuk akibat kekerasan, diikuti luka tembak, kecelakaan lalu lintas dan
mekanisme lainnya. Tusuk injury pada leher diklasifikasikan sesuai dengan
level anatomy injury (Gambar 1).
Early Diagnosis and Current Treatment Paradigm in Head and Neck Surgery | 257
dr. Nurbaiti, dr. Agung Dinasti Permana, Sp.T.H.T.K.L, M.Kes., FICS
Presentasi kasus
Sejak ± 8 jam sebelum masuk RS pasien jatuh terguling saat membawa
traktor, kemudian pasien tersadar sudah tertusuk batang kayu dari rahang
kiri bawah tembus ke tenggorokan. Riwayat pingsan (-), perdarahan hidung
(-), telinga (-), mulut (-), sesak (-), nyeri tenggorokan (+). Karena
keluahnnya pasien dibawa ke RS Waled, kemudian dirujuk ke RS
Hasan Sadikin Bandung.
Tanggal 21-4-2016
Sistematik review pada lebih dari 2,400 pasien dengan luka tusuk
leher, McConnell dan Trunkey melaporkan bahwa struktur vital
termasuk injury trachea (10%), esofagus (9.6%), vena jugularis inerna
(9%), arteri karotis (6.7%). Secara keseluruhan kematian pada pasien
dengan luka tusuk leher berkisar antara 3-10%. Mortalitas meningkat
Early Diagnosis and Current Treatment Paradigm in Head and Neck Surgery | 259
dr. Nurbaiti, dr. Agung Dinasti Permana, Sp.T.H.T.K.L, M.Kes., FICS
Early Diagnosis and Current Treatment Paradigm in Head and Neck Surgery | 261
dr. Nurbaiti, dr. Agung Dinasti Permana, Sp.T.H.T.K.L, M.Kes., FICS
DISKUSI
Pada kasus pasien ini di dapatkan luka tusuk kayu dari angulus mandibular
kiri menembus oropharyng. Kemudian dilakukan pemeriksaan dan
penatalaksanaan sesuai prinsip ATLS. Stabilisasi kondisi pasien, Dilakukan
pemeriksaan penunjang foto rontgen STL Ap/Lat, Thorax dan CT Scan
daerah kepala leher. Dari foto rontgen STL Ap/Lat di dapat emfisema
Early Diagnosis and Current Treatment Paradigm in Head and Neck Surgery | 263
dr. Nurbaiti, dr. Agung Dinasti Permana, Sp.T.H.T.K.L, M.Kes., FICS
KESIMPULAN
Pasien dengan luka tusuk leher, awalnya kita tatalaksana sesuai prinsip
ATLS. Lakukan stabilisasi pasien, kemudian pemeriksaan penunjang foto
rontgen STL Ap/Lat, thorax dan CT Scan. Jika lokasi luka termasuk zona I
dan III, perlu diperhatikan adanya injury pembuluh darah. Oleh karena itu
diperlukan kerjasama dengan tim bedah lainnya seperti bedah vaskuler
maupun bedah kardiovaskuler.
1
Gambar 6. Alur perawatan luka tusuk leher
DAFTAR PUSTAKA
1. Burgess, C.A, et all. An evidence based review of the assessment and
management of penetrating neck luka. Clin. Otolaryngol. 2012, 37, 44–
52.
Early Diagnosis and Current Treatment Paradigm in Head and Neck Surgery | 265
dr. Nurbaiti, dr. Agung Dinasti Permana, Sp.T.H.T.K.L, M.Kes., FICS
ABSTRAK
Latar Belakang: Tumor parotis sebagian besar jinak dan terletak di lobus
superfisialis. Salah satu tumor keganasan derajat tinggi parotis yang jarang
dijumpai adalah karsinoma sel skuamosa. Pembedahan tumor parotis
tergolong sulit karena adanya N. Fasialis yang berjalan (berada) di dalam
kelenjar parotis. Ini disebabkan karena selain mengeluarkan seluruh
tumornya, harus dilakukan upaya maksimal untuk mempertahankan
(preservasi) N. Fasialis. Pemeriksaan biopsi aspirasi jarum halus dan
tomografi komputer dapat menegakkan diagnosis karsinoma parotis.
Terapi utamanya adalah parotidektomi. Tujuan: Kasus ini diajukan agar
para dokter umum dan dokter spesialis Telinga, Hidung, Tenggorok dapat
mengenali adanya karsinoma parotis yang bermanifestasi klinis dan
berekstensi ke CAE. Kasus: Dilaporkan satu pasien, laki-laki berusia 54
tahun yang didiagnosis karsinoma Squamus sel kelenjar parotis stadium IV
yang berekstensi ke CAE. Penatalaksanaan: Pada pasien ini dilakukan
operasi parotidektomi radikal disertai dengan canal wall down AS dan
eksisi luas dan direncanakan untuk radiasi. Kesimpulan: Tumor parotis
dapat menyebabkan ekstensi ke canalis akustikus eksternus,diperlukan
ketelitian dalam pembedahan karena dapat menyebabkan parese nervus
facialis.
Kata Kunci: Tumor ganas Parotis, Squamus sel, Canal wall down,
Parotidektomi, Eksisi Lua
267
Dina Riana, Agung Dinasti Permana, Arif Dermawan
PENDAHULUAN
Tumor parotis yang berekstensi ke CAE merupakan tumor di daerah
kepala-leher yang termasuk jarang diketemukan. Tumor parotis
1,2
merupakan tumor kelenjar liur yang terbanyak (75-85%). Tumor parotis
tergolong tumor yang "unik" karena banyaknya variasi sehingga seringkali
ada ketidak sesuaian antara jenis histopatologi dengan sifat/gambaran
3
kliniknya. Biasanya tumor terdapat pada lobus superfisial (90%).
3
Klasifikasi W.H.O. untuk tumor parotis sebagai berikut :
A. Tumor epitelial
B. Tumor Non Epitelial
C. Tumor yang tidak dapat diklasifikasikan
D. Keadaan lain yang berhubungan dengan:
Early Diagnosis and Current Treatment Paradigm in Head and Neck Surgery | 269
Dina Riana, Agung Dinasti Permana, Arif Dermawan
5,12
Komplikasi parotidektomi
1. Lesi nervus fasialis Paresis sementara (temporary facial nerve paresis)
karena neuropraksia dan udem karena manipulasi yang berlebihan,
biasanya sembuh dalam beberapa minggu sampai 3 - 9 bulan.
Dapat terjadi paralisis parsial atau komplet. Bila syaraf ter/dipotong
maka paralisis selamanya.
2. Paralisis nervus fasialis permanen akibat parotidektomi superfisialis
sekitar 3%. Perdarahan atau hematoma.
3. Infeksi.
4. Salivary fistula, atau sialokel.
5. Sindroma Frey`s
LAPORAN KASUS
Pasien laki-laki 53 tahun datang ke poli Onkologi THT pada Desember 2014,
dengan keluhan benjolan di belakang telinga kiri dan didalam CAE yang
timbul sejak 2 tahun yang lalu membesar perlahan-lahan. Benjolan tidak
dirasakan nyeri, tidak pernah bengkak, merah atau panas. Pasien
merasakan gangguan pendengaran yang tidak disadari sejak kapan. Pasien
tidak merasakan adanya sumbatan hidung, nyeri kepala, pandangan dobel.
Pemeriksaan telinga dan tenggorok dalam batas normal. Teraba massa
pada daerah parotis sinistra yang meluas sampai ke CAE dan telinga bagian
belakang. Massa tampak mendesak lobul telinga ke arah superior. Massa
berukuran 10x10x6 cm, soliter, kenyal keras, tidak nyeri tekan, permukaan
teraba tidak rata, dan tidak terdapat sikatriks pada bagian tengah benjolan.
Early Diagnosis and Current Treatment Paradigm in Head and Neck Surgery | 271
Dina Riana, Agung Dinasti Permana, Arif Dermawan
Pasca Operasi
DISKUSI
Pasien berjenis kelamin laki-laki dan berusia 53 tahun. Hal ini sesuai
dengan literatur yang menyatakan tumor ganas kelenjar parotis banyak
6
ditemukan pada dekade kelima sampai keenam. Keluhan yang membawa
pasien untuk berobat adalah benjolan pada regio preauricula yang
dirasakan makin lama makin membesar dan sudah berlangsung selama 2
tahun.
Karsinoma sel skuamosa parotis merupakan tumor parotis derajat
tinggi yang tersering pada dewasa. Pada umumnya terjadi pada pria
usia tua yang ditandai dengan pertumbuhan yang agresif dan cepat.
2
Terdapat insiden sebesar 40% adanya metastasis. Tindakan parotidektomi
total seringkali terpaksa mengorbankan saraf fasial. Keganasan kelenjar
parotis jenis high grade biasanya ditandai oleh adanya benjolan disertai
keluhan lain. Perjalanan penyakit yang lama tetapi disertai dengan
adanya paresis saraf fasialis menandakan adanya tumor yang bersifat
ganas dan memiliki derajat keganasan high grade. Adanya paresis saraf
fasialis harus membuat kita waspada terhadap kemungkinan
5,7
metastasis jauh pada saat diagnosis awal.
Early Diagnosis and Current Treatment Paradigm in Head and Neck Surgery | 273
Dina Riana, Agung Dinasti Permana, Arif Dermawan
1,2
tumbuh dengan cepat dan bermetastasis. Diagnosis ditegakkan dengan
anamnesis, pemeriksaan fisik, dan konfirmasi histopatologik dengan biopsi
10
aspirasi jarum halus. Untuk menentukan stadium, diperlukan
pemeriksaan tomografi komputer atau MRI dan foto toraks. Terapi pilihan
untuk keganasan pada kelenjar liur adalah operasi dan
radiasi. Kemoterapi diindikasikan untuk keganasan kelenjar liur yang telah
13,15
mengalami metastasis jauh.
Daftar Pustaka
1. Ghosh-Laskar S, Murthy V, Wadasadawala T, Agarwal J, Budrukkar A,
Patril N, et al. Mukoepidermoid carcinoma of the parotid gland :
Factors affecting outcome. Head and Neck 2011. 33 (4); 497-503.
2. Upton DC, McNamar JP, Connor NP, et al. Parotidectomy: ten year
review of 237 cases at a single institution. Otolaryngeal Head and Neck
Surg 2007;136:788-792.
3. Barnes L, Eveson JW, Reichart P. in World Health Organization
Classification af Tumors. Pathology and Genetics of Head and Neck
Tumours. Lyon, France: IARC Press, 2005.
4. Luksic I, Virag M, Manojlovic S, Salivary gland tumors: 25 yearso f
experience from a single institution in Croatia. J Craniomaxillofac Surg
2011; 40(3).
5. Young S. Oh, Matthew S. Russell, and David W. Eisele 2014. Salivary
gland neoplasms. Head and Neck Surgery-Otolaryngology. Bailey BJ, 5
ed, Lippincott Co., Philladelphia 1760-1768.
6. Carrol WR, Morgan CE, Disease of the salivary glands,in ballenger’s
manual otorhinolaryngology head and neck surgery, 2008, p 507-519.
7. Schwentner I, Obrist P, Thumfart W,et al. Distant metastasis of parotid
gland tumors. Acta Otolaryngol, 2006 Apr.126(4):340-4.
8. Ali s, Palmer FL, Dilorenzo M, Shah JP. 2014, Treatment of the neck in
carcinoma of the parotid gland. September 1, 2014;21(09);3042-8.
9. Travis R, Newberry, Christhoper R. Review of accessory parotid gland
tumors: Pathlogic incidence and surgical management. Departement of
Early Diagnosis and Current Treatment Paradigm in Head and Neck Surgery | 275
Dina Riana, Agung Dinasti Permana, Arif Dermawan
Abstrak
Karsinoma sel basal adalah kanker kulit yang menginvasi lokal, penyebaran
lambat dan jarang terjadi metastasis, tumbuh dari epidermis atau folikel
rambut terutama sel perifer biasanya berubah menjadi sel basal dari
epidermis. Karsinoma sel basal merupakan kanker kulit non melanoma
yang paling banyak ditemukan di dunia. Gejala khas adalah pertumbuhan
yang lambat dan tidak agresif. Jaringan yang tumbuh aktif biasanya di
bagian perifer lesi dengan sel apoptosis dan ulserasi di daerah sentral.
Diagnosis penyakit ini ditegakkan berdasarkan anamnesis, pemeriksaan
fisik dan pemeriksaan penunjang. Lokasi anatomi lesi yang sering
ditemukan adalah 1/3 tubuh yang paling atas, dimana puncak hidung dan
ala nasi merupakan daerah paling banyak. Penatalaksanaan karsinoma sel
basal dapat dilakukan dengan Mohs microscopic surgery, bedah eksisi,
cryosurgery menggunakan nitrogen cair, kuretase dan elektrodesikasi serta
radioterapi. Pemilihan terapi berdasarkan gambaran histopatologi, ukuran
dan lokasi tumor, usia dan faktor lainnya. Dilaporkan satu kasus karsinoma
sel basal pada pasien yang berusia 83 tahun. Pasien ditatalaksana dengan
Mohs Microscopic Surgery dan dinyatakan bebas tumor.
Abstract
Basal cell carcinoma is cutaneous cancer as locally invasive, slowly
spreading which rarely metastasis, arising in the epidermis or hair follicles
277
Apriyanza Akbar, Fivien Fedriani, Denny Satria Utama
and in which in particular the peripheral cells usually simulate the basal
cells of epidermis. Basal cell carcinoma is non melanotic melanoma which
common found in the world. This tumour grows up slowly and non-
aggressive. The active lesion usually in the periphery and the apoptosis
ulcerative cell in the central. Diagnosis based on anamnesis, physical
examination and supportive examination. Anatomic location of this lesion
usually in 1/3 upper body, which ala nasi and tip nose is the place take the
most. Basal cell carcinoma may be treat by Mohs microscopic surgery,
excision, cryosurgery by liquid nitrogen and curettage and
electrodessication, radiotherapy. The treatment based on histopathology
size and tumour location, age and another factors. Reported one case
basal cell carcinoma on 83 years old man which treat by Mohs Microscopic
surgery and free from tumour.
LATAR BELAKANG
Karsinoma sel basal merupakan kanker kulit non melanoma yang paling
banyak ditemukan di dunia. Definisi karsinoma sel basal berdasarkan WHO
adalah kanker kulit yang menginvasi lokal, penyebaran lambat dan jarang
terjadi metastasis, tumbuh dari epidermis atau folikel rambut terutama
sel perifer biasanya berubah menjadi sel basal dari epidermis. Penyakit ini
mengenai daerah yang terpapar matahari terutama daerah kepala dan
leher, dan tempat tersering adalah hidung. Penyakit ini sering ditemukan
1-4
pada usia lanjut, dan laki-laki lebih banyak dari perempuan yaitu 3:2.
LAPORAN KASUS
Seorang laki laki berusia 83 tahun yang beralamat di luar kota
Palembang, datang berobat ke klinik THT RS Muhammad Husein dengan
keluhan utama koreng di hidung yang tidak sembuh sejak 4 tahun yang
lalu. Sejak 4 tahun yang lalu pasien mengeluh timbul benjolan berukuran
seperti jerawat kecil di hidung kanan, benjolan kemudian pecah dan
menjadi koreng yang semakin lama semakin membesar. Koreng tidak
menimbulkan rasa nyeri. Pada tahun 2012 pasien berobat ke dokter
kulit dan dioperasi dilanjutkan dengan disinar 1x. Pasien disarankan untuk
operasi lanjutan, namun tidak dilakukan. Koreng di hidung kanan semakin
membesar sejak 2 tahun yang lalu dan membentuk keropeng yang
mudah berdarah. Keluhan keropeng di hidung makin membesar sejak 6
bulan yang lalu. Keropeng membentuk lubang di cuping hidung. Pasien
berobat ke klinik THT RSMH dan disarankan untuk biopsi.
Pasien memiliki riwayat merokok 1 bungkus sehari sejak usia 15
tahun, riwayat hipertensi sejak 6 bulan yang lalu namun tidak minum obat
teratur. Pasien bekerja sebagai petani lada selama 50 tahun. Riwayat
paparan matahari 8 jam sehari. Riwayat penyakit yang sama tidak
ditemukan pada anggota keluarga lainnya. Pada pemeriksaan hidung
didapatkan regio ala nasi dekstra tampak destruksi ala nasi dekstra dan
septum nasi dekstra yang meluas ke regio maksilofasial dekstra disertai
lesi dan ulkus yang menggaung dengan ukuran 4x4x1 cm, tepi ireguler,
meninggi, kehitaman, krusta ada, tidak ada sekret dan darah aktif, lesi
tidak terasa nyeri (gambar 2).
Early Diagnosis and Current Treatment Paradigm in Head and Neck Surgery | 279
Apriyanza Akbar, Fivien Fedriani, Denny Satria Utama
Gambar 2. Tampak ulkus yang menggaung pada regio ala nasi dekstra
yang meluas ke maksilofasial dekstra
Kavum nasi dan ala nasi sinistra tidak dijumpai kelainan. Pasase
pada kedua hidung baik. Tidak dijumpai benjolan dibawah leher. Pasien
kemudian dilakukan biopsi secara lokal. Hasil biopsi menunjukkan
keganasan yaitu mendukung suatu karsinoma sel basal dan pasien
direncanakan operasi.
Hasil histopatologi dari biopsi lokal adalah dapat dipertimbangkan
suatu karsinoma sel basal ala nasi dekstra. Hasil pemeriksaan tomografi
komputer 18 Juni 2015 (gambar 3sinus paranasal didapatkan soft tissue
massa,semi lobulated, tepi ireguler ala nasi dekstra sampai dengan
maksilofasial dekstra ukuran potongan aksial 2,6x1,5 cm dan deviasi
septum nasi ke kanan, tak tampak erosi os maksila dekstra.
Gambar 4. Eksisi yang dilakukan pada ala nasi dekstra dan maksilofasial
dekstra, Gambaran histopatologi dari jaringan yang di eksisi,
panah menunjukan gambaran sel palisade
Eksisi kedua dilakukan pada sisi kiri massa yang tidak bebas sel
tumor yaitu 0,2 cm dari vestibulum dan kartilago septum. Secara
makroskopis didapatkan empat potong jaringan dengan ukuran terbesar
2x1x0,7 cm dilapisi kulit dan terkecil ukuran 1x1x0,5 cm (gambar 5). Pada
hasil pemeriksaan histopatologi didapatkan jaringan berasal dari bagian
nasolabialis kiri masih dijumpai fokus masa tumor infiltratif. Bagian kavum
nasi sinistra dengan dua batas sayatan tidak bebas dan satu batas sayatan
bebas tumor.Atas dasar hasil histopatologi eksisi kedua, dilakukan eksisi
ketiga. Eksisi ketiga dilakukan pada sisi kiri massa yang masih tampak
tumor infiltratif, eksisi diperluas 0,5 cm didaerah vestibulum dan kartilago
septum. Secara makroskopis didapatkan dua potong jaringan ukuran
3x1x0,5cm dan 2,3x1x0,4cm berwarna putih kemerahan. Sediaan berasal
dari regio septum nasi dan mukosa septum (gambar 5).
Early Diagnosis and Current Treatment Paradigm in Head and Neck Surgery | 281
Apriyanza Akbar, Fivien Fedriani, Denny Satria Utama
a b
c d
a b c
Early Diagnosis and Current Treatment Paradigm in Head and Neck Surgery | 283
Apriyanza Akbar, Fivien Fedriani, Denny Satria Utama
Early Diagnosis and Current Treatment Paradigm in Head and Neck Surgery | 285
Apriyanza Akbar, Fivien Fedriani, Denny Satria Utama
DISKUSI
Dilaporkan kasus karsinoma sel basal ala nasi pada seorang laki-laki
berusia 83 tahun. Menurut Chinem 2011 insiden karsinoma sel basal di
Asia dilaporkan rendah. Di RSUP dr. M.Husein Palembang bagian THT-KL
pada Januari 2015 sampai dengan Desember 2015 didapatkan 2 kasus
karsinoma sel basal ala nasi. Yahya dkk mendapatkan rata-rata pasien laki-
laki berusia 57 tahun dan wanita berusia 53 tahun. Rentang usia penderita
antara 35-85 tahun.3,8,9
Pada kasus ini lokasi lesi berada pada ala nasi dekstra yang meluas
pada maksilofasial dekstra. Lokasi anatomi lesi karsinoma sel basal yang
paling sering adalah pada 1/3 tubuh bagian atas, dimana 75-80% terjadi
pada daerah wajah yaitu daerah yang paling sering menerima paparan
sinar matahari. Lesi wajah tersering adalah hidung daerah ala nasi dan
puncak hidung. Sekitar 25% karsinoma sel basal berada di daerah badan,
Early Diagnosis and Current Treatment Paradigm in Head and Neck Surgery | 287
Apriyanza Akbar, Fivien Fedriani, Denny Satria Utama
SARAN
1. Pada pasien yang memiiki factor resiko teradinya karsinoma sel basal
harus menghindari paparan sinar matahari yang berlebihan.
2. Penegakkan diagnosis Karsinoma sel basal cepat dan tepat dapat
memberikan prognosis yang lebih baik.
3. Mengangkat seluruh lesi dan memastikan tidak ada lagi fokus tumor
merupakan salah satu keuntungan Tatalaksana dengan Mohs
microscopyc surgery, sehingga tidak perlu terapi adjuvan lain seperti
radioterapi dan pasien dinyatakan bebas tumor.
DAFTAR PUSTAKA
1. Carucci JA, Leff el DJ. Basal Cell Carcinoma. Fitzpatrick’s dermatology in
general medicine 8th edition. New York: Mc Graw-Hill; 2013;Pg 1036-
1042.
2. Nathan Cherry Ann. Cutaneus Malignancy. In Jhonson T Jonas, editor
Bailey’s Head and Neck Surgery Otolaryngology. Fifth edition.
Philadelphia: Lippincott Williams and wilkins; 2013;113; Pg 1723-1737.
3. Chinem Valquiria Pessoa, Miot Helio Amante. Epidemiology of Basal
cell Carcinoma. An.Bras. dermatol. Vol 86 no 2 Rio de Janeiro. 2011.
4. Nakayama Masahiro, Tabuchi Keiji et all. Review article: Basal Cell
Carcinoa of the Head and Neck. Journal of Skin Cancer. Volume 2011.
Early Diagnosis and Current Treatment Paradigm in Head and Neck Surgery | 289
Apriyanza Akbar, Fivien Fedriani, Denny Satria Utama
ABSTRAK
Latar Belakang: Lipoma sel spindel merupakan tumor jinak jaringan lunak
yang berasal dari jaringan lemak. Tumor ini sangat jarang ditemukan,
merupakan tipe spesifik lipoma yang sering diduga sebagai liposarcoma.
Secara mikroskopis terdiri dari campuran liposit dan sel spindel dalam
matriks material mucinosa yang dikelilingi oleh sejumlah serabut kolagen.
Tujuan: Memaparkan hasil penatalaksanaan pasien dengan lipoma sel
spindle Laporan Kasus: Dilaporkan 1 kasus pasien wanita berusia 38 tahun
dasar lesi pada palatum mole sejak 14 tahun yang lalu. Ditemukan massa
pada palatum mole, dilakukan eksisi massa dan rekonstruksi pada palatum
mole, berdasarkan hasil histopatologis menunjukkan hasil Lipoma Sel
Spindle. Hasil evaluasi tidak ditemukan rekurensi atau kekambuhan,
sehingga penatalaksanaan lipoma sel spindle kasus yang kami temukan
mengindikasikan bahwa eksisi lokal merupakan terapi pilihan. Kesimpulan:
Lipoma Sel Spindle pada kasus ini mengindikasikan bahwa eksisi lokal
merupakan terapi pilihan, sehingga tidak dibutuhkan prosedur operasi
radikal.
ABSTRACT
Backgroud: Spindle cell lipoma are a group of benign tumor of soft tissue
that arise from fat tissue. This tumor rarely found is a specific type of
291
dr. Achmad Prihadianto, Dr. Yussy Afriani Dewi, dr., M.Kes., Sp.T.H.T.K.L(K), FICS,
Agung Dinasti Permana, dr., Sp.T.H.T.K.L, M.Kes., FICS
PENDAHULUAN
Lipoma sel spindel pertama kali dideskripsikan oleh Enzinger dan Harvey
1,2
pada tahun 1975. Tumor ini merupakan lesi berbatas tegas yang terletak
pada leher bagian posterior dan punggung bagian atas laki-laki dewasa
3
antara usia 50-70 tahun. Secara histologis, lipoma sel spindel terdiri dari
gabungan antara sel spindel lunak dengan adiposit matang. Matriks di
sekeliling sel terdiri dari materi mukoid dan kolagen dalam jumlah yang
4
bervariasi.
Tumor pada kelompok ini seringkali diduga sebagai liposarkoma. Hal
ini dikarenakan terdapatnya proliferasi sel spindle dan tidak ada lipoblast,
serta serabut kolagen tebal di dalam matriks mukoid. Lipoma adalah
neoplasma jaringan lunak jinak yang paling sering terjadi pada orang
dewasa, yaitu sekitar 1% populasi. Lipoma paling sering ditemukan antara
usia 40-60 tahun.
Neoplasma ini bersifat jinak dan tumbuh lambat yang terdiri dari
sel-sel lemak matang. Jaringan lemak ini terdiri dari sel spesifik yang
mempunyai vaskularisasi tinggi, berlobus, dan berfungsi sebagai depot
lemak untuk keperluan metabolisme. Sel-sel lemak primitif biasanya
LAPORAN KASUS
Seorang wanita berusia 38 tahun datang ke poli rawat jalan, dengan
keluhan benjolan pada palatum. Keluhan tersebut sudah dialami sejak 14
tahun yang lalu dengan proses pembengkakan yang terjadi secara
bertahap, bermula sebesar kacang tanah kemudian membesar hingga
sebesar uang logam Pembengkakan dirasakan tidak nyeri dan tidak
ditemukan kelainan kulit lain. Tidak ditemukan riwayat keluarga yang
menderita sakit serupa.
Pada pemeriksaan fisik, status generalis dalam batas normal. Status
lokalis terdapat pembengkakan pada palatum mole ukuran 2x2x0,6 cm,
batas tegas, kistik, imobile, dan tidak nyeri tekan.
Pada pemeriksaan laboratorium darah lengkap; dalam batas
normal. Pemeriksaan urinalisis, fungsi hati dan ginjal, serum profil lipid
dalam batas normal, Rontgen dada dalam batas normal .
Early Diagnosis and Current Treatment Paradigm in Head and Neck Surgery | 293
dr. Achmad Prihadianto, Dr. Yussy Afriani Dewi, dr., M.Kes., Sp.T.H.T.K.L(K), FICS,
Agung Dinasti Permana, dr., Sp.T.H.T.K.L, M.Kes., FICS
Early Diagnosis and Current Treatment Paradigm in Head and Neck Surgery | 295
dr. Achmad Prihadianto, Dr. Yussy Afriani Dewi, dr., M.Kes., Sp.T.H.T.K.L(K), FICS,
Agung Dinasti Permana, dr., Sp.T.H.T.K.L, M.Kes., FICS
DISKUSI
Operasi eksisi dengan pengangkatan seluruh tumor merupakan metode
standar yang digunakan, sehingga tidak dibutuhkan untuk dilakukannya
prosedur operasi radikal. Jika lesi tidak seluruhnya diangkat, maka terdapat
kemungkinan rekurensi. Pada tahun 1861, Bernard von Langenbeck
mendeskripsikan metode uraoplasty (palatoplasty) mengunakan
mucoperiosteal flaps untuk memperbaiki area palatum . Teknik ini
mempertahankan penempelan bagian mucoperiosteal flap dengan batas
alveolar untuk membuatnya menjadi bipedicle flap. Pada awalnya, hanya
ujung cleft yang diinsisi, insisi lateral dibuat, flap diangkat dari hard palate,
6
palatine musculature dibagi dan akhirnya dijahit.
Perawatan pasca operasi merupakan hal yang penting, karena
perlunya mempertahankan tingkat aktivitas minimal pada pasien hingga
luka operasi sembuh. Follow up pasca operasi dengan skrining berkala dan
4
check up juga penting terutama dalam memonitor rekurensi.
Dengan adanya laporan mengenai SCL pada daerah yang tidak biasa
seperti kavum oris, kulit kepala dan ekstremitas, diagnosis banding dari
kasus-kasus ini menjadi lebih penting. Tumor dengan gambaran histologis
yang mirip dengan Lipoma Sel Spindle, seperti myofibroblastoma tipe-
mammaria dari jaringan lunak ekstramammaria, dan tumor fibrosa soliter
telah dideskripsikan sebelumnya. Lipoma sel spindel menunjukkan nilai
positif untuk CD34 dan secara umum negatif untuk desmin. Sebuah
laporan menyatakan bahwa terdapat proporsi SCL yang mengekspresikan
desmin yang bermakna, sehingga imunoreaktivitas terhadap marker ini
tidak menyingkirkan diagnosis dan tidak dapat membantu kami
membedakan entitas dari penyakit ini.
Lipoma sel spindel menunjukkan spektrum histopatologis tumor
lipomatosa jinak yang terjadi secara predominant pada bagian posterior
dari leher dan bagian atas dari punggung dari laki-laki usia paruh baya dan
usia lanjut. Sebanyak 20% dari lipoma sel spindel atau pleomorfik terjadi di
luar daerah yamg khas. Terkadang tumor ini ditemukan di daerah wajah.
Berdasarkan pengalaman konsultasi yang kami lakukan, banyak ahli
patologi yang tidak mempertimbangkan diagnosis lipoma sel spindel/
Early Diagnosis and Current Treatment Paradigm in Head and Neck Surgery | 297
dr. Achmad Prihadianto, Dr. Yussy Afriani Dewi, dr., M.Kes., Sp.T.H.T.K.L(K), FICS,
Agung Dinasti Permana, dr., Sp.T.H.T.K.L, M.Kes., FICS
KESIMPULAN
Lipoma Sel Spindle pada kasus ini mengindikasikan bahwa eksisi lokal
merupakan terapi pilihan, sehingga tidak dibutuhkan prosedur operasi
radikal. Diagnosis lipoma sel spindel pada palatum sulit ditegakkan akibat
lokasi anatomis tumor yang tidak biasa. Peningkatan pengetahuan
mengenai karakteristik patologi klinis dari tumor ini dapat membantu
menentukan klasifikasi yang akurat.
Pada pasien tidak di lakukan pemeriksaan penunjang MRI guna
mengetahui batas tumor yang seharusnya di lakukan tetapi hal ini dapat di
ketahui pada saat intra op dengan pemeriksaan potong beku yang bebas
dari tumor
DAFTAR PUSTAKA
1. Nilesh P, Neeraj S, Gaurav B. Spindle cell lipoma case report.
Department of Oral and Maxillofacial Pathology,Mahatma Gandhi
Dental College & Hospital, India, 2013; 10:1-6.
2. Comunoglu N, Comunoglu C, Ekic AI, et al. Spindle cell lipoma. Pol J
Pathol. 2007;58:7–11.
3. Nil C, Cem C, Isin D. Spindle Cell Lipoma. Istanbul University, Cerrahpasa
School of Medicine Department of Pathology. 2010;15: 691-6.
4. Lester D.R, Thompson. Spindle cel lipoma. Department of patology,
woodland Hills Medical Center, Southern California. ENT-Ear, Nose &
Throat Jurnal. 2015; 9:253–9.
5. Fregnani E, Pires F, Falzoni R. Lipomas of the oral cavity: clinical
findings, histological classification and proliferative activity of 46 cases.
Int. J. Oral Maxillofac. Surg. 2003; 32: 49–53.
6. Agrawal K. Cleft Palate Repair and Variations. Indian J Plast Surg. 2009;
42: S102-9.
7. Gothwal A, Ajit K, Sujata K. Lipoma of The Floor of The Mouth – a Case
Report. Journal of Oral Health Research. 2010;1(2): 62-5.
8. Nayak S, Nayak P. Lipoma of the oral mucosa: a case report. Archives of
Orofacial Sciences. 2011; 6(1): 37-9.
9. Domanski H. Fine needle aspiration diagnosis of spindle cell tumors of
soft tissue, including the use of ancillary methods, and correlation with
clinical data. Lund University Libraries. 2005. Page 21-9.
10. Enzinger,Weiss’s, Silverberg. Principles and Practice of surgical
Pathology Soft tissue tumours. Fifth edition. 2015. Page 457-70.
Early Diagnosis and Current Treatment Paradigm in Head and Neck Surgery | 299
dr. Achmad Prihadianto, Dr. Yussy Afriani Dewi, dr., M.Kes., Sp.T.H.T.K.L(K), FICS,
Agung Dinasti Permana, dr., Sp.T.H.T.K.L, M.Kes., FICS
ABSTRAK
Latar belakang: Penutupan defek palatum durum dengan jabir bebas
radial forearm adalah salah satu pilihan pada pasien pasca total
maksilektomi dan radioterapi akibat keganasan kepala leher dengan
tingkat keberhasilan yang cukup baik. Tujuan: Kasus ini diajukan untuk
memperlihatkan keberhasilan penutupan defek palatum durum dengan
jabir bebas radial forearm pasca total maksilektomi dan radioterapi pada
kasus tumor neuroendokrin sinonasal. Laporan kasus: Dilaporkan laki laki
38 tahun dengan tumor neuroendokrin sinonasal pasca total maksilektomi
dan radioterapi. Dua tahun pasca radioterapi, dilakukan penutupan defek
menggunakan jabir bebas radial forearm yang digunakan sebagai
pengganti mukosa palatum durum serta dilakukan anastomosis radial
forearm. Defek donor forearm ditutup oleh full thickness skin graft dari
kedua inguinal, defek kedua inguinal ditutup dengan pejahitan primer.
Kesimpulan: Jabir bebas radial forearm merupakan salah satu alternatif
untuk rekonstruksi defek palatum durum yang disebabkan keganasan
kepala dan leher sesudah radioterapi.
Kata kunci: Jabir bebas radial forearm, total maksilektomi, radioterapi, full
thickness skin graft
301
dr. Billy Talakua, DR. dr. Yussy Afriani Dewi M.Kes, Sp. THTKL(K) FICS,
DR. dr. Shinta Fitri Boesoirie M.Kes, Sp. THTKL(K)
ABSTRACT
Background: Radial forearm free flap is one of options for hard palate
defect caused by tumor extirpation and radiotherapy in head and neck
cancer but not the main option in head neck reconstruction and quite
successful. Purpose: To present evidence based case report in order to
showing reconstruction result pasca total maxillectomy and radiotherapy in
case of neuroendocrine tumor at sinonasal region. Case report: We
reported 1 case, a man 38 years old who had neuroendocrine tumor at
sinonasal region with undergone total maxillectomy and radiotherapy.
Defect closure of hard palate with radial forearm free flap and radial
forearm anastomosis, on the forearm covered with a full thickness skin
graft taken from both inguinal region of the patient which been closured by
primary suture. Conclusion: Radial forearm free flap can be considered as
an alternative for reconstruction of hard palate defect pasca radiotherapy.
PENDAHULUAN
Jabir adalah suatu unit jaringan yang dipindahkan dari satu area (donor
site) ke area yang lain (recipient site) dengan mempertahankan sistem
aliran darahnya sendiri. Jabir dapat diklasifikasikan berdasarkan; bagian-
bagian komponennya (kulit, muskulokutaneous, osseokutaneus), lokasi
defek (lokal, regional, atau jauh), sifat pensuplaian darah (random dan
aksial), atau dengan gerakan jabir untuk mengisi defek (misalnya,
1-3
kemajuan, poros, transposisi).
Jabir bebas merupakan operasi rekonstruksi mikrovaskuler dengan
memindahkan unit jaringan terpisah dari suplai darah induk dan
dipindahkan dari satu bagian tubuh ke lokasi yang baru. Jaringan yang
diambil sebagai donor memiliki arteri dan vena yang dapat diidentifikasi
dan direanastomosis dengan pembuluh darah penerima, sehingga
terbentuk aliran darah. Selain reanastomosis pada pembuluh darah,
potensi reinnervation sensorik terjadi melalui reanastomosis saraf kulit.
Early Diagnosis and Current Treatment Paradigm in Head and Neck Surgery | 303
dr. Billy Talakua, DR. dr. Yussy Afriani Dewi M.Kes, Sp. THTKL(K) FICS,
DR. dr. Shinta Fitri Boesoirie M.Kes, Sp. THTKL(K)
LAPORAN KASUS
Seorang pria berusia 38 tahun, datang ke Poliklinik THT-KL Rumah Sakit
Hasan Sadikin pada tanggal 4 januari 2016 dengan keluhan utama terdapat
lubang pada palatum durum sejak 1 tahun yang lalu. Keluhan disertai sulit
menelan, setiap kali makan atau minum os tersedak dan sisa makanan
dapat masuk kedalam hidung. Os dipasang NGT untuk jalur makanan.
Pada pemeriksaan fisik didapatkan keadaan umum baik dan dalam
batas normal. Status lokalis daerah rongga mulut terdapat fistula dari
palatum kiri. lain-lain dalam batas normal.
Early Diagnosis and Current Treatment Paradigm in Head and Neck Surgery | 305
dr. Billy Talakua, DR. dr. Yussy Afriani Dewi M.Kes, Sp. THTKL(K) FICS,
DR. dr. Shinta Fitri Boesoirie M.Kes, Sp. THTKL(K)
Pada tanggal 22 Januari 2016 hasil CBCT sudah ada dan bagian
Bedah Mulut dan prostodontia menjawab konsul tersebut : pada pasien ini
tidak dapat dilakukan pemasangan implant dental.
Pada tanggal 2 Februari 2016, dilakukan operasi pengangkatan mesh
plate dengan pendekatan rinotomi lateral dan rekonstruksi penutupan fistula
palatum durum dengan menggunakan jabir bebas radial forearm.
Dilakukan insisi rinotomi lateral, periosteum dibebaskan dari infra
orbita sinistra, tampak mesh plate utuh, terpasang screw a.o sebanyak 3
buah, dilakukan insisi tumpul ke arah infra orbita sinistra, dilakukan
pelepasan mesh plate menggunakan screw driver. Selanjutnya dilakukan
rekonstruksi penutupan fistula palatum durum dengan menggunakan jabir
bebas radial forearm. Dilakukan insisi di preaurikula sinistra untuk mencari
a/v temporalis superficial sinistra sebagai resipien. Dilakukan harvesting
radial forearm free flap dari antebrachii sinistra (ukuran 12x8 cm) dengan
a/v comitan radialis (sebagai pedikel). Dilakukan anastomosis end to end
a/v radialis dengan a/v temporalis superficial sinistra dengan prolene 8.0.
skin pedikel dijahitkan untuk menutup defek. Luka dijahit subcutis dengan
vicril 4.0, kutis dengan nylon 5.0 menggunakan mattras vertical. Defek
sekunder pada donor ditutup dengan menggunakan full thickness skin
graft (FTSG) yang diambil dari inguinal kanan dan kiri dengan
menggunakan kanan dan kiri dengan menggunakan nylon 4.0 dan ditutup
dengan sofrattule. Donor FTSG dijahit dengan vicril 4.0 dan kutis dijahit
subkutikuler dengan nylon 5.0.
Early Diagnosis and Current Treatment Paradigm in Head and Neck Surgery | 307
dr. Billy Talakua, DR. dr. Yussy Afriani Dewi M.Kes, Sp. THTKL(K) FICS,
DR. dr. Shinta Fitri Boesoirie M.Kes, Sp. THTKL(K)
DISKUSI
Flap radial lengan bawah paling sering digunakan untuk merekonstruksi
rongga mulut dan dasar lidah, sebagian atau seluruh faring, dan palatum
durum dan mole. Flap ini juga dapat digunakan untuk merekonstruksi
defek pada kulit mata, bibir, leher, dan kulit kepala. Saat dipindahkan
sebagai fasia flap, dapat digunakan untuk memperbaiki defek jaringan
1-5
lunak dan defek dasar tengkorak jika flap perikranial lokal tidak tersedia.
Arteri radialis dengan dua arah vena komitan di septum
intramuskular lateral dan beberapa cabang vena fasia pada lengan bawah.
Pleksus ini mensuplai sebagian besar kulit lengan bawah. Panjang pedikel
arteri dibatasi oleh arteri radial rekuren yang merupakan cabang pertama
utama dari artei radialis setelah lepas dari arteri brakialis. Flap ini
mempunyai suplai vena melaui vena komitan yang berpasangan dan sistem
vena superfisial. Vena-vena ini menyediakan drainase vena yang lebih baik.
Nervus antebrakial lateralis merupakan nervus sensorik utama daerah
lengan bawah yang sering digunakan. Nervus ini letaknya sangat dekat
dengan vena sefalika di daerah lengan atas. Nervus ini dapat dengan
mudah dilakukan anastomosis ke saraf sensorik resipien saat reinervasi
6-10
sensorik dibutuhkan.
Perhatian terbesar dari jabir bebas radial forearm adalah keutuhan
pasokan arteri ulnaris ke tangan melalui arkus palmaris. Rancangan flap
radius lengan bawah diawali dengan membuat garis jalur dari vena
dominan subkutan dan meraba denyut nadi arteri radialis. Flap ini
berorientasi pada arteri radial dan vena sefalika. Lebih baik untuk tidak
mengangkat flap diatas arteri ulnaris. Tambahan jaringan subkutan
dimasukkan dalam flap jika dibutuhkan. Diseksi setingkat subfasial sebagai
Early Diagnosis and Current Treatment Paradigm in Head and Neck Surgery | 309
dr. Billy Talakua, DR. dr. Yussy Afriani Dewi M.Kes, Sp. THTKL(K) FICS,
DR. dr. Shinta Fitri Boesoirie M.Kes, Sp. THTKL(K)
DAFTAR PUSTAKA
1. Lalwani A. CURRENT Diagnosis & Treatment Otolaryngology--Head and
Neck Surgery.Edisi ke 3. New York: Mcgraw-hill; 2011.
2. Jewett B. Local Cutaneous Flaps and Graft. Dalam: Johnson JT, Rosen
CA, Bailey BJ, penyunting. Bailey's Head and Neck Surgery -
Otolaryngology.Edisi ke 5. Philadelphia: Wolters Kluwer
Health/Lippincott Williams & Wilkins; 2014.
3. Hatcher JL, Bell EB, Browne JD, Waltonen JD. Disposition of elderly
patients after head and neck reconstruction. JAMA Otolaryngol Head
Neck Surg. 2013;139(11):1236-41.
4. Trivedi NP, Trivedi P, Trivedi H, Trivedi S, Trivedi N. Microvascular free
flap reconstruction for head and neck cancer in a resource-constrained
environment in rural India. Indian J Plast Surg. 2013;46(1):82-6.
5. Salvatori P, Paradisi S, Calabrese L, Zani A, Cantu G, Cappiello J, et al.
Patients' survival after free flap reconstructive surgery of head and
neck squamous cell carcinoma: a retrospective multicentre study. Acta
Otorhinolaryngol Ital. 2014;34(2):99-104.
Early Diagnosis and Current Treatment Paradigm in Head and Neck Surgery | 311
dr. Billy Talakua, DR. dr. Yussy Afriani Dewi M.Kes, Sp. THTKL(K) FICS,
DR. dr. Shinta Fitri Boesoirie M.Kes, Sp. THTKL(K)
KARAKTERISTIK ANGIOFIBROMA
NASOFARING BELIA
DI BAGIAN/SMF ILMU KESEHATAN THT-KL
RSHS BANDUNG
TAHUN 2011 – 2016
dr. I Putu Aditya Bawa,
Dr. Yussy Afriani Dewi, dr., M.Kes., Sp.T.H.T.K.L(K), FICS,
Agung Dinasti Permana, dr., Sp.T.H.T.K.L, M.Kes., FICS
ABSTRAK
Latar Belakang: Angiofibroma nasofaring belia adalah suatu tumor
nasofaring yang secara histologis bersifat jinak, terdiri dari komponen
pembuluh darah (angio) dan jaringan ikat (fibroma), tetapi secara klinis
bersifat ganas karena mempunyai kemampuan mendestruksi tulang.
Tujuan: Untuk mengetahui karakteristik penderita angiofibroma nasofaring
belia di SMF Ilmu Kesehatan THT-KL RSHS Bandung. Metode: Rancangan
penelitian deskriptif retrospektif dari rekam medis RSHS Bandung dari
tahun 2011 – 2016. Diagnosis ditegakkan berdasarkan anamnesis,
pemeriksaan fisik, nasofaringoskopi, dan CT angiografi. Hasil: 65 kasus
angiofibroma nasofaring belia; laki-laki 65 pasien (100 %), terbanyak pada
rentang usia 10-20 th sebanyak 63 pasien (96,92%), keluhan utama hidung
tersumbat 31 pasien (47,69%), terdapat massa kebiruan dari
nasofaringoskopi 60 pasien (92,31%), CT angiografi menunjukkan tidak
ada perluasan ke intrakranial pada 61 pasien (93,85%), dan teknik operasi
313
dr. I Putu Aditya Bawa, Dr. Yussy Afriani Dewi, dr., M.Kes., Sp.T.H.T.K.L(K), FICS,
Agung Dinasti Permana, dr., Sp.T.H.T.K.L, M.Kes., FICS
ABSTRACT
Introduction : Juvenile Nasopharyngeal Angiofibroma is a benign, but
locally aggressive and extremely vascular Head and Neck Neoplasm. It is a
fibrovascular tumour with a tendency to erode and remodel adjacent
bone. Aim: To know the characteristic of Nasopharyngeal Angiofibroma at
Department of Otorhinolaryngology Head and Neck Surgery dr. Hasan
Sadikin Hospital Bandung. Method: Retrospective descriptive study from
medical record dr. Hasan Sadikin Hospital Bandung (2011 - 2016).
Diagnose according to history taking, physical examination,
nasopharyngoscopy examination and CT Angiography. Result: there are 65
juvenile nasopharyngeal angiofibroma cases; 65 patients are men (100%),
about 63 patients in range of 10-20 years old (96,92%), 31 patients with
chief complaint of nasal obstruction, (47,69%), 60 patients with bluish
mass in nasopharyngoscopy finding (92,31%), from CT angiography there is
no extention to intracranial in 61 patients (93,85%), and extirpation
approach transpalatal in 61 patients (93,85%). Conclusion: Juvenile
Nasopharyngeal Angiofibroma occurs in male early adolescent.
PENDAHULUAN
Angiofibroma nasofaring belia adalah suatu tumor nasofaring yang secara
histologis bersifat jinak, terdiri dari komponen pembuluh darah (angio) dan
jaringan ikat (fibroma), tetapi secara klinis bersifat ganas karena
METODE PENELITIAN
Dilakukan penelitian deskriptif retrospektif dari rekam medis pasien
angiofibroma nasofaring belia di bagian/SMF THT-KL RSHS Bandung,
selama tahun 2011 – 2016. Diagnosis ditegakkan berdasarkan anamnesis,
pemeriksaan fisik, dan CT angiografi.
Seluruh subyek yang memenuhi kriteria, kemudian dilakukan
pendataan dilihat dari usia, jenis kelamin, keluhan utama, pemeriksaan
nasofaringoskopi, temuan CT angiografi, dan teknik operasi.
Early Diagnosis and Current Treatment Paradigm in Head and Neck Surgery | 315
dr. I Putu Aditya Bawa, Dr. Yussy Afriani Dewi, dr., M.Kes., Sp.T.H.T.K.L(K), FICS,
Agung Dinasti Permana, dr., Sp.T.H.T.K.L, M.Kes., FICS
HASIL PENELITIAN
Selama tahun 2011 – 2016 didapatkan 65 kasus Angiofibroma nasofaring
belia. Semua pasien (100%) berjenis kelamin laki-laki. (tabel 1)
Mimisan
Hidung
Tersumbat
Benjolan
Massa
kebiruan
Massa sewarna
mukosa
Tidak Meluas
ke Intrakranial
Meluas ke
intrakranial
Early Diagnosis and Current Treatment Paradigm in Head and Neck Surgery | 317
dr. I Putu Aditya Bawa, Dr. Yussy Afriani Dewi, dr., M.Kes., Sp.T.H.T.K.L(K), FICS,
Agung Dinasti Permana, dr., Sp.T.H.T.K.L, M.Kes., FICS
Transpalatal
Rhinotomy
lateral
Hemifacial
Degloving
DISKUSI
Pada penelitian ini didapatkan 65 kasus pasien yang terdiagnosis
angiofibroma nasofaring belia dengan jenis kelamin laki-laki, dan memiliki
rentang usia antara 10-20 tahun. Menurut Satyaranjan dkk mengatakan
bahwa angiofibroma nasofaring belia memiliki predileksi pada remaja laki-
16
laki yang memiliki rentang usia antara 14-18 tahun. Etiologi tumor ini
masih belum dapat diketahui secara pasti, namun diketahui terdapat
4,6
beberapa teori yang dikemukakan. Salah satu diantaranya adalah teori
ketidakseimbangan hormonal, yang menyebutkan bahwa penyebab
angiofibroma adalah produksi estrogen yang berlebih atau defisiensi
4
androgen. Angiofibroma nasofaring belia paling sering ditemukan pada
anak lak-laki pre pubertas dan remaja, yang umumnya terdapat pada
rentang usia 7 sampai 21 tahun dengan insidens terbanyak antara usia 14-
4
18 tahun. Angiofibroma nasofaring jarang terjadi laki–laki diatas 25 tahun
5
dan perempuan usia remaja. Berdasarkan hal tersebut diketahui terdapat
7
hubungan antara tumor dengan jenis kelamin dan usia pasien.
Pada penelitian ini kami dapatkan keluhan yang paling banyak
dikeluhkan oleh pasien adalah hidung tersumbat. Gejala pada
angiofibroma nasofaring belia dapat berupa hidung tersumbat (80-90%),
epistaksis (45-60%), nyeri kepala (25%), dan pembengkakan wajah (10-
18%). Gejala lain seperti anosmia, rhinolalia, gangguan dengar,
Early Diagnosis and Current Treatment Paradigm in Head and Neck Surgery | 319
dr. I Putu Aditya Bawa, Dr. Yussy Afriani Dewi, dr., M.Kes., Sp.T.H.T.K.L(K), FICS,
Agung Dinasti Permana, dr., Sp.T.H.T.K.L, M.Kes., FICS
KESIMPULAN
Angiofibroma nasofaring belia yang datang ke Ilmu Kesehatan THT-KL
RSHS memiliki karakteristik yang cukup beragam. Seluruh penderita adalah
laki-laki dengan rentang usia antara 10-20 th, memiliki keluhan utama
hidung tersumbat, belum terdapat perluasan ke intrakranial, dan dilakukan
ekstirpasi massa dengan pendekatan transpalatal.
Berdasarkan pada keterbatasan dalam penelitian ini, maka saran
untuk penelitian selanjutnya untuk melengkapi dengan data deskripsi
pemeriksaan penunjang. Hal ini dikarenakan agar dapat mengetahui
staging dan prognosis pada pasien yang telah dilakukan tindakan.
DAFTAR PUSTAKA
1. Soepardi ES, Iskandar N, Bashiruddin J, Restuti RD. Buku Ajar Ilmu
Kesehatan Telinga Hidung Tenggorokan Kepala & Leher. Edisi Keenam.
Jakarta : Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. 2007 ; p 188 – 190.
2. Asroel HA, Angiofibroma Nasofaring Belia, http://library.usu.ac.id,
diakses tanggal 20 April 2007.
3. Mansfield E. Juvenile Nasopharyngeal Angiofibroma. June 26, 2006.
Available from : http:/www.emedicine.com/med/topic 2758.htm.
4. Persky M, Manolidis S. Vascular Tumors of The Head and Neck.
2014;2023-28.
Early Diagnosis and Current Treatment Paradigm in Head and Neck Surgery | 321
dr. I Putu Aditya Bawa, Dr. Yussy Afriani Dewi, dr., M.Kes., Sp.T.H.T.K.L(K), FICS,
Agung Dinasti Permana, dr., Sp.T.H.T.K.L, M.Kes., FICS
Abstrak
Latar belakang: Angiofibroma nasofaring belia adalah suatu tumor jinak
nasofaring yang secara histologik jinak dan secara klinis bersifat ganas,
karena mempunyai kemampuan mendestruksi tulang dan meluas ke
jaringan sekitarnya, seperti ke sinus paranasal, pipi, mata dan tengkorak,
serta sangat mudah berdarah yang sulit dihentikan Tujuan: Mengetahui
karakteristik embolisasi preoperative pada penderita Angiofibroma
nasofaring belia terhadap jumlah perdarahan intraoperatif. Metode:
Penelitian ini dilakukan secara deskriptif retrospektif untuk menentukan
karakteristik embolisasi preoperasi dan perdarahan intraoperatif pada
pasien dengan Angiofibrona Nasofaring belia di Rumah Sakit Hasan Sadikin.
Parameter pada penelitian ini adalah jumlah perdarahan intraoperatif.
Hasil: Ditemukan lima belas kasus Angiofibroma nasofaring belia dengan
umur yang berkisar antara sebelas tahun sampai 25 tahun dan semua
berjenis kelamin laki-laki, yang telah menjalani embolisasi preoperatif dan
pembedahan antara Januari 2015 dan Januari 2016. Pendekatan
pembedahan dilakukan secara transpalatal dan agen embolisasi
323
dr. Igor Hutabarat, Dr. Yussy Afriani Dewi,dr., M.Kes, Sp.THT-KL(K), FICS,
dr. Agung Dinasti Permana, M.Kes, Sp.THT-KL(K), FICS
Abstract
Background: Angiofibroma Nasopharyngeal Juvenile is a benign tumor of
the nasopharynx were histologically benign and clinically malignant,
because it has the ability to destruct the bone and spread to surrounding
tissues, such as the paranasal sinuses, cheeks, eyes and skull, as well as
very easy bleeding that is difficult to stop. Objective: to determine the
characteristic of preoperative embolization in patients with Angiofibroma
Nasopharyngeal Juvenile the number of intraoperative blood loss.
Methods: This study is a descriptive retrospective to determine the
characteristic of preoperative embolization and intraoperative bleeding in
patients with Angiofibroma Nasopharyngeal Juvenile at Hasan Sadikin
Hospital. The parameter in this study is the number of intraoperative blood
loss. Results: Found fifteen cases of Angiofibroma Nasopharyngeal Juvenile
with ages ranging from eleven to twenty-five years, and all the male sex,
who had undergone preoperative embolization and surgery between
January 2015 and January 2016. The surgical approach is done by
transpalatal and agents preoperative embolization was used PVA and Glue.
Preoperative embolization procedure can reduce intraoperative blood loss
until the total amount of intraoperative bleeding of 300 ml. Conclusion:
Preoperative Embolization such as PVA and Glue can reduce intraoperative
blood loss significantly.
Pendahuluan
Angiofibroma nasofaring belia adalah sebuah tumor jinak nasofaring yang
secara histologis terdiri dari komponen pembuluh dan jaringan ikat.
Meskipun secara histologis jinak, namun secara klinis tumor ini bersifat
seperti tumor ganas karena mempunyai daya ekspansif yang amat merusak
dan mendorong jaringan sekitarnya dan cenderung menimbulkan
perdarahan yang sulit dihentikan. Umumnya terdapat pada rentang usia 7-
21 tahun dengan insidens terbanyak antara usia 14-18 tahun dan jarang
pada usia diatas 25 tahun. Tumor ini merupakan tumor jinak nasofaring
1
terbanyak dan 0,05% dari seluruh tumor kepala dan leher.
Etiologi tumor ini masih belum jelas, berbagai jenis teori sudah
banyak diajukan. Diantaranya teori jaringan asal dan faktor ketidak-
seimbangan hormonal. Secara histopatologi tumor ini termasuk jinak
tetapi secara klinis ganas karena bersifat ekspansif dan mempunyai
kemampuan mendestruksi tulang. Tumor yang kaya pembuluh darah ini
memperoleh aliran darah dari arteri faringealis asenden atau arteri
maksilaris interna. Angiofibroma kaya dengan jaringan fibrosa yang timbul
dari atap nasofaring atau bagian dalam dari fossa pterigoid. Setelah
mengisi nasofaring, tumor ini meluas ke dalam sinus paranasal, rahang
atas, pipi dan orbita serta dapat meluas ke intra kranial setelah mengerosi
2
dasar tengkorak.
Gejala klinik terdiri dari hidung tersumbat (80-90%); merupakan
gejala yang paling sering, diikuti epistaksis (45-60%); kebanyakan unilateral
dan rekuren, nyeri kepala (25%); khususnya bila sudah meluas ke sinus
paranasal, pembengkakan wajah (10-18%) dan gejala - gejala lain seperti
anosmia, rhinolalia, deafness, pembengkakan palatum serta deformitas
pipi. Tumor ini sangat sulit untuk di palpasi, dan bila palpasi harus sangat
hati-hati karena sentuhan jari pada permukaan tumor dapat menimbulkan
3
perdarahan yang ekstensif.
Diagnosis dapat ditegakkan dengan anamnesis, pemeriksaan fisik
dan pemeriksaan penunjang seperti X-ray foto polos, CT scan, angiografi
atau MRI. Pada pemeriksaan X-ray foto polos dapat dijumpai tanda
Holman-Miller berupa lengkungan ke depan dari dinding posterior sinus
Early Diagnosis and Current Treatment Paradigm in Head and Neck Surgery | 325
dr. Igor Hutabarat, Dr. Yussy Afriani Dewi,dr., M.Kes, Sp.THT-KL(K), FICS,
dr. Agung Dinasti Permana, M.Kes, Sp.THT-KL(K), FICS
Metode Penelitian
Penelitian ini dilakukan secara retrospektif deskriptif dari pasien dengan
Angiofibroma nasofaring belia, yang telah dilakukan pembedahan antara
Januari 2015 dan Januari 2016 di Rumah Sakit Hasan Sadikin Bandung
Indonesia. Informasi yang dikumpulkan dari data rekam medis adalah
sebagai berikut: usia, teknik pembedahan, agen embolisasi, dan kehilangan
darah intraoperatif. CT scan dilakukan pada semua pasien, dan diagnosis
dikonfirmasi secara histologis. Untuk merencanakan strategi embolisasi
preoperatif, digunakan angiogram diagnostik dengan kateterisasi selektif
dan superselektive untuk menilai kelayakan endovaskular atau tusukan
langsung, untuk memeriksa suplai darah ke dan dari tumor, dan untuk
membantu mengidentifikasi kemungkinan landmark/daerah berbahaya
untuk sirkulasi intrakranial. Semua prosedur embolisasi dilakukan di bawah
anestesi umum. Tumor yang diembolisai dengan, partikel (PVA) dan Glue.
Hasil Penelitian
Dari 15 pasien Angiofibroma nasofaring belia, semuanya ditemukan
berjenis kelamin laki-laki dengan rentang usia 10-16 tahun. Diagnosis
Angiofibroma nasofaring belia dikonfirmasi secara histopatologi setelah
tindakan pembedahan. Embolisasi preoperasi dilakukan pada semua
pasien. PVA digunakan dalam tiga belas, Glue dalam dua prosedur.
Dari Tabel 1, 15 operasi yang dilakukan pada pasien ini semua
dilakukan transpalatal. Kehilangan darah intraoperatif diperkirakan dengan
menghitung volume darah, yang dikumpulkan dalam tabung aspirasi.
Kehilangan darah terbanyak adalah 700ml dan paling sedikit 300ml dan
rata-rata kehilangan darah intraoperatif adalah 500 ml, analisis hasil teknik
embolisasi yang berbeda dari agen emboli menunjukkan bahwa PVA dan
Glue secara efektif menurunkan kehilangan darah intraoperatif.
Early Diagnosis and Current Treatment Paradigm in Head and Neck Surgery | 327
dr. Igor Hutabarat, Dr. Yussy Afriani Dewi,dr., M.Kes, Sp.THT-KL(K), FICS,
dr. Agung Dinasti Permana, M.Kes, Sp.THT-KL(K), FICS
Diskusi
Angiofibroma nasofaring belia merupakan tumor yang relatif jarang.
Meskipun histologi jinak, tumor ini sangat agresif dan terkait dengan
morbiditas yang signifikan. Angiofibroma nasofaring belia terdiri dari
komponen vaskular dalam stroma berserat. Dinding pembuluh umumnya
terdiri dari lapisan endotel tunggal terletak langsung terhadap stroma
fibrosa yang mengakibatkan kesempatan yang signifikan untuk perdarahan
masif, bahkan dengan hanya manipulasi minor. Angiofibroma nasofaring
belia adalah tumor yang hampir selalu menerima aliran darah dari sistem
karotis eksternal melalui rahang atas arteri atau naik faring arteri internal.
Namun, seperti tumor tumbuh yang lebih besar, mungkin
mengembangkan suplai darah kolateral dari struktur yang berdekatan
lainnya dan pembuluh darah, termasuk cabang dari ICA atau sistem karotis
7
kontralateral.
Diagnosis Angiofibroma nasofaring belia terutama didasarkan pada
pemeriksaan klinis dan radiologi. Tumor ini terjadi hampir secara eksklusif
pada orang laki-laki remaja muda, walaupun ada juga telah beberapa kasus
yang dilaporkan pada individu perempuan dalam literature, yang hadir
dengan epistaksis berulang dan hidung obstruksi unilateral kronis seperti
dalam seri kami. Dalam kebanyakan kasus, MR dan evaluasi CT
8
dikonfirmasi diagnosis.
10
Teknik Transarterial Embolisasi
Teknik embolisasi ini terdiri dari kateterisasi superselective coaxial dan
infus agen emboli ke dalam pembuluh darah arteri melalui microcatheter.
Prosedur kateterisasi optimal adalah kateterisasi superselektif ke
pengumpan tumor seanatomis mungkin. Digunakan dua agen emboli yang
berbeda:
• Partikel
• Glue
Partikel Embolisasi
Prosedur dimulai dengan kateterisasi arteri femoral menggunakan teknik
Seldinger ini, menghasilkan arteriografi yang selektif dari daerah vaskular
arteri karotis interna dan eksterna. Angiogram dilakukan dengan agen
Early Diagnosis and Current Treatment Paradigm in Head and Neck Surgery | 329
dr. Igor Hutabarat, Dr. Yussy Afriani Dewi,dr., M.Kes, Sp.THT-KL(K), FICS,
dr. Agung Dinasti Permana, M.Kes, Sp.THT-KL(K), FICS
®
kontras iodinasi (Visipaque 270; GE Healthcare, USA). Setelah
mengidentifikasi pembuluh darah yang memperdarahi tumor tersebut,
dilakukan kateterisasi superselektif dari arteri dengan di ikuti oleh
serangkaian selektif untuk mencari daerah sekitar yang berbahaya dan
menentukan mikrokateter tersebut. Setelah mikrokateter yang berada di
posisi, embolisasi dilakukan dengan mikropartikel dalam larutan supensi
garam sebagai larutan agen kontras. Untuk agen embolisasi, polivinil
alkohol (PVA) partikel (Cook Inc, Bloomington, IN) atau
®,
microspehe(Embozene Mikro, Celo Nova) ukuran mulai 300-500 um
digunakan untuk embolisasi transarterial. Setelah setiap langkah
embolisasi, angiogram ulangan diperoleh untuk mengontrol kemajuan
embolisasi. Embolisasi dikatakan berhasil dengan menentukan kurangnya
kontras di daerah vaskular yang terembolisasi selama angiogram
berikutnya. Berdasarkan sisa pewarnaan tumor dalam seri angiogram,
embolisasi dikategorikan sebagai sedikit (0-30%), sedang (30-70%),
subtotal(70-90%), hampir total(90-99%), dan total(100%), seperti
sebelumnya diterbitkan.
Embolisasi Glue
Prosedur angiografi adalah identik dengan pengaturan partikel embolisasi
sebelumnya, dengan kateterisasi superselektif pembuluh darah melalui
®;
arteri femoral. Untuk embolisasi, digunakan glue (Histoacryl Braun,
®
Melsungen, Jerman) dan Lipiodol (Lipiodol Ultra Fluide, Guerbet,
Solingen). Bahan-bahan ini disusun secara terpisah dan kemudian
dicampur dalam persentase tertentu. Campuran lem yang kita gunakan
untuk Angiofibroma nasofaring belia embolisasi terdiri dari 0,5ml
Histoacryl1 dan 1,5ml Lipiodol. Karakteristik angiografi yang sama
digunakan untuk kategorisasi keberhasilan embolisasi.
Namun, kedua metode embolisasi hanya menunjukkan oklusi yang
sifatnya sementara. Oleh karena itu, sangat penting untuk memastikan
tidak lebih dari 7 hari, waktu antara embolisasi partikel dan operasi
sehingga tercapai devaskularisasi pembuluh darah yang optimal.
Dengan pembedahan pendekatan transpalatal, Palatum molle dapat
digerakkan dan ditarik ke sisi berlawanan dari tumor setelah pembuluh
Early Diagnosis and Current Treatment Paradigm in Head and Neck Surgery | 331
dr. Igor Hutabarat, Dr. Yussy Afriani Dewi,dr., M.Kes, Sp.THT-KL(K), FICS,
dr. Agung Dinasti Permana, M.Kes, Sp.THT-KL(K), FICS
Pendahuluan
Karsinoma laring adalah keganasan yang berasal dari sel epitel
laring..Insidens Karsinoma skuamosa laring terjadi sebanyak 150.000 kasus
di seluruh dunia dan memiliki angka mortalitas sebesar 83.000 individu
1
setiap tahunnya. Fungsi utama laring adalah sebagai organ fonasi,
pernafasan dan juga memiliki peran dalam proses menelan serta
meningkatkan sensasi rasa dan bau. Karena itu hilangnya fungsi laring
akan mempengaruhi proses bicara dan menelan serta beberapa sensasi
rasa yang akan mengurangi kualitas hidup. Selain itu tindakan laringektomi
total akan menghilangkan fungsi humidifikasi traktus aerodigestif bagian
atas yang akan menyebabkan masalah pulmonary toilet bagi para pasien.
Pencegahan dan deteksi dini karsinoma laring sangat mempengaruhi
prognosis dan preservasi fungsi dari organ laring. Dibandingkan dengan
keganasan lain didaerah kepala dan leher karsinoma laring seringkali dapat
didiagnosis pada stadium yang lebih awal terutama untuk karsinoma laring
yang berada di area glottis, tetapi kadang – kadang gejala karsinoma laring
juga dapat memberikan tanda yang tidak khas sehingga menyebabkan
keterlambatan diagnosis.
Anatomi Laring
Berdasarkan perkembangan embriologi laring dibagi menjadi tiga level
yaitu supraglottic, glottic, dan subglottic. Pembagian ini memiliki relevansi
klinis dan membantu dalam memprediksi gejala klinis dan pola penyebaran
tumor. Area supraglotis dimulai dari tip epiglottis sampai ke ventrikel dan
permukaan bawah dari false vocal cord termasuk permukaan lingual dan
laryngeal dari epiglottis, kartilago aritenoid, aryepiglotik fold dan pita suara
palsu. Supraglotik berkembang dari arkus brankial ke 4 dan 6 yang kaya
akan aliran limfatik bilateral. Secara klinis hal ini akan menyebabkan
333
Agung Dinasti Permana,dr.,SpTHT-KL.,M.Kes
2
tingginya kejadian metastasis sebanyak 25-75% pada seluruh stadium T.
Area glotik terdiri dari dasar ventrikel, Pita suara meliputi 0,5 cm batas
bebas dari cord, komisura anterior dan area interaaritenoid. Berbeda dari
struktur supraglotis secara embriologis area glottis terbentuk dari
penyatuan struktur di bagian lateral dari tracheobronchial anlage arkus ke
4,5,6 dan realatif memiliki struktur limfatik yang lebih sedikit. Hal ini
mengakibatkan penyebaran secara limfatik dari tumor diarea glotik
menjadi lebih sedikit dan dapat tetap berada didalam laring dalam jangka
waktu yang lebih lama. Area subglotik berada dibawah area glotik mulai
dari batas inferior sampai ke batas bawah kartilago krikoid. Area ini
berkembang dari arkus faringeal ke 4 dan 6 dan karena lokasinya maka
tumor pada aea subglotik memiliki kecenderungan untuk lebih mudah
menyebar keluar dari laring.
Evaluasi
Terdapat 3 tujuan utama dalam pemeriksaan awal ;1 menentukan apakah
lesi yang ditemukan merupakan lesi ganas atau jinak. (2) Menentukan
stadium, (3) menentukan penyebaran. Timor di area supraglottic dan
glottic merupakan lokai yang paling sering dan tumor diarea subglotik
merupakan yang paling jarang (glottic, 59%; supraglottic, 40%; subglottic,
3
1%). Pemeriksaan diawali dengan anamnesis lengkap. Riwayat keluarga,
riwayat masalah kesehatan dan gaya hidup mengenai kebiasaan merokok,
kebiasaan konsumsi alcohol ( lama dan jumlah yang dikonsumsi), riwayat
keganasan pada keluarga serta keluhan yang mungkin behubungan dengan
Pemeriksaan Fisik
Dengan pemeriksaan fisik yang baik kita dapat menentukan ekstensi
tumor, mobilitas pita suara, patensi jalan nafas,dan penyebaran
Early Diagnosis and Current Treatment Paradigm in Head and Neck Surgery | 335
Agung Dinasti Permana,dr.,SpTHT-KL.,M.Kes
Pulmonary status
Status pulmonary pasien akan membantu dalam menentukan waktu
perencanaan endoskopi surgical dan kemungkinan dilakukannya debulking
tumor dan tracheostomi. Stridor dan retraksi otot pernafasan saat istirahat
menandakan keadaan emergensi yang memerlukan penanganan airway
segera. Tes faal paru dan review mengenai kemampuan exercise pasien
sangat penting bila direncanakan untuk dilakukan tidakan konservasi laring
karena hal ini sangat berkaitan dengan kemempuan pasien untuk
mentoleransi terjadinya aspirasi pasca operasi. Pemeriksaan laringoskopi di
Early Diagnosis and Current Treatment Paradigm in Head and Neck Surgery | 337
Agung Dinasti Permana,dr.,SpTHT-KL.,M.Kes
Pemeriksaan PET/CT
Peranan modalitas pemeriksaan positron emission tomography/computed
tomography (PET/CT) dalam diagnostik dan staging penderita dengan
metastasis dan rekuren pada kasus keganasan didaerah kepala dan leher
terus berkembang. Kombinasi PET/CT memberikan gambaran dan
informasi anatomi yang lebih detail mengenai adanya lesi ganas dengan
menunjukan peningkatan aktivitas metabolik. Kemampuan PET/CT dalam
mendeteksi adanya metastasis dan rekurensi dapat dijadikan pedoman
dalam menentukan rencana tatalaksana dan memebantu dalam
menentukan lokasi biopsi pada tumor laring. Berbagai penelitian telah
menunjukan bahwa PET/CT memiliki angka sensitivitas sebesar 93,75%
dan spesivisitas sebesar 91,67% dalam menentukan rekurensi yang
ditandai dengan peningkatan penangkapan kontras. Walaupun demikian
PET/CT masih memiliki angka false positif pada area yang mengalami
peningkatan metabolisme seperti area infeksi atau inflamsi kronis.
Metastatic work-up
Penyebaran jauh pada kasus karsinoma laring pada stadium awal tanpa
disertai metastasi cervical sangat jarang ditemukan. Spector dan kolega
mereview 1667 pasien dengan karsinoma laring menemukan angka
kejadian metastasis sebesar 3,6%, 4,4%, dan 14,2% untuk tumor
10
supraglotik ,glotik dan subglotik. Insidens metastasis jauh pada tumor
Operative assessment
Selain pemeriksaan fisik,endoskopik dan imaging, pemeriksaan
histopatologi masih merupakan pemeriksaan baku emas untuk
menentukan adanya keganasan. Walaupun sebagian besar keganasan pada
laring adalah skuamous sel karsinoma, pemeriksaan histopatologi dari
tumor primer harus dilakukan sebelum penderita diberikan terapi
definitive. Beberapa gambaran makroskopik penyakit lain pada laring
seperti tuberculosis laring, wagener granulomatosis, sarkoidosis dan fungal
laryngitis dapat menyerupai gambaran keganasan. Untuk membuktikan
adanya karsinoma invasive maka tindakan biopsy harus dilakukan dengan
cukup dalam agar dapat mencapai tumor yang viable. Lokasi biopsy harus
dilakukan pada lesi yang jelas dan lokasi lesi yang mencurigakan pada
kontralateral aritenoid, anterior komisura atau area interaritenoid. Pada
lesi yang kecil dapat dilakukan reseksi secara komplit agar didapatkan
specimen yang adekuat. Tindakan biopsy harus diulang bila masih dicurigai
adanya keganasan meskipun hasil histopatologi menunjukan hasil yang
negative keganasan.
Early Diagnosis and Current Treatment Paradigm in Head and Neck Surgery | 339
Agung Dinasti Permana,dr.,SpTHT-KL.,M.Kes
Supraglotis
T1 Tumor terbatas pada satu sisi daerah supraglotis dengan mobilitas
pita suara yang normal
T2 Tumor melibatkan lebih dari satu sisi daerah supraglotis, atau glotis,
dengan mobilitas pita suara yang terganggu
T3 Tumor terbatas pada laring dengan pita suara yang terfiksasi. Tumor
dapat menginvasi area postkrikoid, sinus piriformis medial, atau
ruang pre-epiglotis
T4 Tumor menginvasi daerah kartilago tiroid dan atau sudah meluas ke
luar laring
Glotis
T1 Tumor terbatas pada pita suara (termasuk komisura anterior dan
posterior) dengan mobilitas yang normal
T1A Tumor terbatas pada satu sisi pita suara
T1B Tumor mengenai kedua sisi pita suara
T2 Tumor sudah menjalar ke daerah supraglotis dan subglotis dengan
mobilitas pita suara yang terganggu
T3 Tumor terbatas pada laring dengan pita suara yang terfiksir
T4 Tumor menginvasi melalui kartilago tiroid dan atau dengan
penyebaran langsung Ekstralaringeal
Subglotis
T1 Tumor terbatas pada daerah subglotis
T2 Tumor meluas ke daerah glotis dengan atau tanpa disertai gangguan
mobilitas pita suara
T3 Tumor terbatas pada daerah laring dengan pita suara yang terfiksasi
T4 Tumor menginvasi tulang rawan krikoid dan tiroid, dengan
penyebaran Ekstralaringeal
Early Diagnosis and Current Treatment Paradigm in Head and Neck Surgery | 341
Agung Dinasti Permana,dr.,SpTHT-KL.,M.Kes
Metastase Jauh
Mx Tidak terdapat/terdeteksi metastase jauh
M0 Tidak ada metastase jauh
M1 Terdapat metastase jauh
N Stage
T Stage
N0 N1 N2 N3
Tis 0 - - -
T1 I III IV IV
T2 II III IV IV
T3 III III IV IV
T4 IV IV IV IV
TERAPI
Pengelolaan karsinoma laring dapat bersifat single modality ataupun
combined modality. Dapat dilakukan dengan operatif, radioterapi,
kemoterapi serta terapi kombinasi.
Early Diagnosis and Current Treatment Paradigm in Head and Neck Surgery | 343
Agung Dinasti Permana,dr.,SpTHT-KL.,M.Kes
Early Diagnosis and Current Treatment Paradigm in Head and Neck Surgery | 345
Agung Dinasti Permana,dr.,SpTHT-KL.,M.Kes
Early Diagnosis and Current Treatment Paradigm in Head and Neck Surgery | 347
Agung Dinasti Permana,dr.,SpTHT-KL.,M.Kes
Early Diagnosis and Current Treatment Paradigm in Head and Neck Surgery | 349
Agung Dinasti Permana,dr.,SpTHT-KL.,M.Kes
Follow UP
Follow up pasca terapi dilakukan secara individual ditentukan berdasarkan
resiko rekurensi, survey untuk terjadinya tumor primer sekunder, untuk
menangani morbiditas pasca operasi, untuk penanganan masalah
psikososial,dan untuk menenagani masalah yang tidak berhubungan
langsung dengan penyakit keganasannya.
Pemeriksaan periodic diperlukan selama pasien menjalani
radioterapi untuk penanganan masalah seperti kesulitan menelan, airway
dan penanganan nyeri. Setelah terapi selesai , jadwal control dapat
dilakukan sesuai dengan karakteristik pasien, yaitu:
1 tahun paska terapi: setiap 1-3 bulan
2 tahun paska terapi: setiap 2-4 bulan
3 tahun paska terapi; setiap 3-6 bulan
4 tahun paska terapi; setiap 4-6 bulan
Setelah 5 tahun setiap 12 bulan
Kesimpulan
Diagnosis dini karsinoma laring sangat berpengaruh pada prognosis dan
pilihan terapi yang akan dilakukan. Anamnesis, pemeriksaan fisik dan
pemeriksaan penunjang yang detail dan lengkap akan memberikan
gambaran yang jelas mengenai stadium karsinoma laring.
Daftar Pustaka
1. Siegel R, Ma J, Zou Z, Jemal A. Cancer statistics, 2014. CA: A Cancer
Journal for Clinicians. 2014;64(1):9-29.
2. Marioni G, Marchese-Ragona R, Cartei G, Marchese F, Staffieri A.
Current opinion in diagnosis and treatment of laryngeal carcinoma.
Cancer Treatment Reviews.32(7):504-15.
3. Jemal A, Tiwari RC, Murray T, Ghafoor A, Samuels A, Ward E, et al.
Cancer Statistics, 2004. CA: A Cancer Journal for Clinicians.
2004;54(1):8-29.
4. Sadri M, McMahon J, Parker A. Laryngeal dysplasia: aetiology and
molecular biology. The Journal of Laryngology & Otology. 2006
2006/03/01;120(3):170-7.
5. Talamini R, Bosetti C, La Vecchia C, Dal Maso L, Levi F, Bidoli E, et al.
Combined effect of tobacco and alcohol on laryngeal cancer risk: a
case–control study. Cancer Causes & Control. 2002;13(10):957-64.
6. Gillison ML, Koch WM, Capone RB, Spafford M, Westra WH, Wu L, et al.
Evidence for a Causal Association Between Human Papillomavirus and a
Subset of Head and Neck Cancers. Journal of the National Cancer
Institute. 2000 May 3, 2000;92(9):709-20.
7. Lentsch EJ. Management of cervical metastasis. Current Oncology
Reports. 2004;6(2):141.
8. Yousem DM, Gad K, Tufano RP. Resectability Issues with Head and Neck
Cancer. American Journal of Neuroradiology. 2006 November 1,
2006;27(10):2024-36.
9. Becker M, Zbären P, Laeng H, Stoupis C, Porcellini B, Vock P. Neoplastic
invasion of the laryngeal cartilage: comparison of MR imaging and CT
with histopathologic correlation. Radiology. 1995;194(3):661-9.
10. Spector GJ. Distant Metastases from Laryngeal and Hypopharyngeal
Cancer. ORL. 2001;63(4):224-8.
11. Žargi M, Šmid L, Fajdiga I, Bubnič B, Lenarčič J, Oblak P. Detection and
localization of early laryngeal cancer with laser-induced fluorescence:
Preliminary report. European Archives of Oto-Rhino-Laryngology.
1997;254(1):S113-S6.
Early Diagnosis and Current Treatment Paradigm in Head and Neck Surgery | 351
Agung Dinasti Permana,dr.,SpTHT-KL.,M.Kes
12. Fakhry C, Westra WH, Li S, Cmelak A, Ridge JA, Pinto H, et al. Improved
Survival of Patients With Human Papillomavirus–Positive Head and
Neck Squamous Cell Carcinoma in a Prospective Clinical Trial. Journal of
the National Cancer Institute. 2008 February 20, 2008;100(4):261-9.
Abstrak
353
Fivien Fedriani, Juwaika, Denny Satria Utama
Abstract
LATAR BELAKANG
Karsinoma nasofaring masih menjadi masalah dalam bidang kesehatan. Di
Indonesia karsinoma nasofaring menempati kanker kelima terbanyak.
Karsinoma nasofaring adalah tumor ganas yang terbanyak pada daerah
kepala leher, diikuti oleh tumor ganas kavum nasi dan sinus paranasal,
tumor ganas laring, tumor ganas rongga mulut, tumor ganas tonsil, dan
tumor ganas hipofaring. Letak nasofaring pada tempat yang relatif
tersembunyi serta gejala yang ditimbulkan sering tidak khas, membuat
tumor ini sering terlambat di diagnosis. Pasien karsinoma nasofaring
1,2
biasanya datang dengan keluhan benjolan dileher.
Karsinoma nasofaring merupakan tumor ganas yang ditandai oleh
perubahan epitel mukosa nasofaring terutama pada fossa Rosenmuller dari
TUJUAN
Tujuan penelitian adalah untuk memberikan data demografis pasien
karsinoma nasofaring, stadium, regimen yang digunakan serta kemajuan
Early Diagnosis and Current Treatment Paradigm in Head and Neck Surgery | 355
Fivien Fedriani, Juwaika, Denny Satria Utama
METODE
Metode yang digunakan ada penelitian ini adalah penelitian deskiriptif
retrospektif menggunakan data pasien rawat jalan dan rawat inap di
Bagian THT-KL RS Moehammmad Hoesin Palembang dari Januari 2013
sampai Desember 2015. Tempat penelitian dilakukan di Bagian THT-KL RS
Mohammad Husein Palembang. Pengambilan sampel secara consecutive
sampling dengan kriteria semua pasien karsinoma nasofaring dari bulan
Januari 2013 sampai dengan Desember 2015. Penelitian ini
mendeskripsikan data demografis pasien yang meliputi usia, jenis kelamin,
gambaran histopatologi, letak tumor berdasarkan gambaran tomografi
komputer, pembesaran nodul kelenjar getah bening, metastasis jauh,
stadium tumor pasien. Selain itu penelitian ini juga mendeskripsikan
regimen yang di gunakan dalam terapi karsinoma nasofaring dan keadaan
pasien saat ini. Hasil penelitian disajikan secara deskriptif dalam bentuk
narasi dan tabel.
HASIL
Berdasarkan data rekam medis bagian THT-KL RSMH Palembang, jumlah
penderita karsinoma nasofaring pada Januari 2013 sampai Desember 2015
sebanyak 164 orang. Pada laporan ini dari 164 orang pasien, 121 orang
(73,78%) berjenis kelamin laki-laki dan 43 orang (26,22%) berjenis kelamin
perempuan. Distribusi pasien karsinoma nasofaring berdasarkan jenis
kelamin dapat dilihat pada tabel 1.
Early Diagnosis and Current Treatment Paradigm in Head and Neck Surgery | 357
Fivien Fedriani, Juwaika, Denny Satria Utama
Early Diagnosis and Current Treatment Paradigm in Head and Neck Surgery | 359
Fivien Fedriani, Juwaika, Denny Satria Utama
DISKUSI
Karsinoma nasofaring masih merupakan masalah yang umum di negara
berkembang. Di dunia terdapat 65.000 kasus baru tiap tahun. Pada laporan
ini didapatkan jumlah pasien karsinoma nasofaring dari tahun 2013 sampai
tahun 2015 sebanyak 164 orang. Prevalensi karsinoma nasofaring lebih
dari 80% berada di China bagian selatan dan Asia tenggara. Di Inggris angka
Early Diagnosis and Current Treatment Paradigm in Head and Neck Surgery | 361
Fivien Fedriani, Juwaika, Denny Satria Utama
SIMPULAN
Pada penelitian ini didapatkan jumlah pasien karsinoma nasofaring periode
Januari 2013 sampai Desember 2015 adalah 164 orang. Jenis kelamin
pasien karsinoma nasofaring terbanyak adalah laki-laki (73,78%.).Usia
pasien terbanyak berkisar pada rentang 41-50 tahun (31.10%). Gambaran
histopatologi pasien yang terbanyak adalah WHO IIB (66,46%).
Berdasarkan T pasien terbanyak adalah pada T4 (35,97%). Dari gambaran N
pasien terbanyak adalah N3 (36,59%). Sebanyak 98,78% pasien belum
mengalami metastasis jauh. Pasien terbanyak datang ke klinik THT-KL
sudah berada pada stadium 4 (65,25%). Pasien terbanyak terbanyak
mendapat regimen kemoterapi karboplatin dan docetaksel.
SARAN
Karsinoma nasofaring seringkali terlambat terdeteksi. Sehingga perlu
adanya sosialisasi kepada tenaga kesehatan layanan primer agar lebih
menyadari serta mampu mendeteksi lebih dini. Sehingga pasien dapat
ditata laksana lebih cepat dan memiliki prognosis lebih baik. Walaupun
karsinoma nasofaring masih merupakan masalah yang umum sampai saat
ini usaha untuk mencegah terjadinya penyakit ini belum menunjukkan hasil
yang maksimal. Terdapat beberapa upaya pencegahan karsinoma
Early Diagnosis and Current Treatment Paradigm in Head and Neck Surgery | 363
Fivien Fedriani, Juwaika, Denny Satria Utama
DAFTAR PUSTAKA
1. Roezin A, Adham M. Karsinoma nasofaring. Dalam: Soepardi EA,
Iskandar N. Buku ajar ilmu kesehatan telinga hidung tenggorok kepala
leher. Edisi ketujuh. Jakarta: Balai penerbit FK UI; 2012. H.158-163
2. Wei WI. Nasopharyngeal cancer. In: Bailey BJ, Johnson JT, newland SD,
th
editors. Head and neck surgery-otolaryngology, 5 ed. Philadelphia:
Lippincott Williams and Wilkins,; 2012.120 p.1875-1890.
3. Plant Randal. Neoplasm of the Nasopharynx. In Ballengers
Otorhinolaryngology Head and Neck Surgery . 17 edition. Connecticut:
BC Decker Ink ; 2009;96; Pg 1081-1089
4. Ruckerstein MJ. Nasopharyngeal Carcinoma. In: Comprehensive Review
of Otolaryngology, 2014. Saunders.p.197-198.
5. Ganzer U, Arnold A. Tumours of the nasopharynx In: Anniko M,
Sprekelsen BM, Bonkowsky V, Bradley P, Lurato S, editors,. In:
Otorhinolaryngology, Head & Neck Surgery, European Manual of
Medicine, Springer,2 P. 328-329.
6. Lee N, Romanyshyn J, Caria N, Setton J. Benign & Malignat lesions of
The Oral Cavity, Oropharynx & Nasopharynx. In Lalwani AK, editors. In:
Current Diagnosis and treatment in otolaryngology-head and neck
surgery. Third Edition, Lange, 2012, p. 377-386.
7. Tan KB, Putti TC. Cyclooxygenase-2 expression in nasopharyngeal
carcinoma: immunohistochemical finding and potential implications. J
Clin Pathol 2015;589:535-538
8. Forastiere AA, Ang K, Brizel D, et al. Clinical practice guidelines in
oncology head and neck cancers. V.2.2011. National Comprehensive
Cancer Network (NCCN). [Cited January 2012]. Available from
http://www.nccn.org
Early Diagnosis and Current Treatment Paradigm in Head and Neck Surgery | 365
ISBN 602087706-X
9 786020 877068