Anda di halaman 1dari 142

Wawasan Dasar

Pendidikan

Dr. Mursidin, M.Pd.

ITPA Press
1. Memaknai Makna Pendidikan
2. Hakekat Manusia
3. Landasan-Landasan Pendidikan
4. Asas-Asas Pendidikan
5. Komponen-Komponen Pendidikan
6. Unsur-Unsur dalam Pendidikan
7. Tripusat Pendidikan
8. Pendidikan Sepanjang Hayat
9. Aliran Pendidikan dan Kurikulum
10. Pendidikan dan Pembangunan Ekonomi
11. Pendidikan dan Pengembangan Kebudayaan
12. Pendidikan dan Pembangunan Moral Bangsa
13. Pendidikan dan Pembangunan Masa Depan
14. Negara dengan Sistem Pendidikan Terbaik Dunia

Referensi:

1. Mursidin, Moral Sumber Pendidikan, Ghalia Indonesia, Bogor


2011.
2. Tim Dosen FIP-IKIP Malang, Pengantara Dasar-dasar
Kependidikan, 1987.
3. Hasan Langgulung, Manusia dan Pendidikan, Pustaka al
Husna , Jakarta, 1984.
4. Ngalim Purwanto, Ilmu Pendidikan Teori dan Praktis, Remaja
Rosda Karya, Bandung, 1992.
5. Dedi Supriadi, Membangun Bangsa Melalui Pendidikan,
Rosda Karya, Bandung, 2004
6. Horald G. Shane, Arti Penting Pendidikan Bagi Manusia,
RajaGrafindo, Jakarta, 2002.
7. Mohchtar Buchori, Transformasi Pendidikan, Pustaka Sinar
Harapan, Jakarta, 1965.
8. Zamroni, Paradigma Pendidikan Masa Depan, BigGraf
Publishing, Yogyakarta, 2000.
9. Sayling Wen, Future Of Education (Masa Depan Pendidikan),
Lucky Publisher, Batam , 2003.
10. Montgomery Watt W, Kejayaan Islam (terj), Tiara Wacana,
Yogyakarta, 1990.
11. Sumanto, Metodologi Penelitian Sosial dan Pendidikan, Andi
Offset, Yogyakarta, 1990.
12. Rosyid, Hamim, Psikologi Kepribadian (Paradigma Tratis,
Kognitif, Behavioristi, dan Humanistik), CV. Jaudar, Surbaya,
2015.
13. Ilyas, Yunahar, Kuliah Akhlak, Pustaka Pelajar Offset,
Yogyakarta, 2007.
BAB 1
MEMAKNAI MAKNA PENDIDIKAN

A. Pengertian Pendidikan
Term pendidikan bukanlah sebuah bahasa yang asing ditelinga
kita. Bahkan diyakini semua orang pernah mengucapkan kata
“pendidikan”. Tetapi untuk mengerti apa yang diucapkan dan apalagi
mengucapkan yang dimengerti bukanlah hal yang sederhana. Ia
membutuhkan pemahaman paradigmatik, teoretik, konseptual,
metodologik, strategik dan aksionalnya. Pengucapan pada level ini tidak
lagi bisa disenandungkan oleh sembarang orang. Karena membutuhkan
kualifikasi, prasyarat dan persyaratan-persyaratan tertentu, agar
pendidikan sarat dengan kebenaran, keberdayaan dan kebermaknaan.
Kata “pendidikan” yang diucapkan dari mulut seorang ahli pendidikan
bukanlah muntahan mulut bualan tetapi ungkapan yang mengucapkan
pikirannya yang telah dipikirkan oleh pikiran yang berpikir. Bunyi
ucapannya bisa jadi sama dengan ucapan kata “pendidikan” dari mulut
siapapun tetapi yang diucapkan seorang ahli memiliki konstruk filosofi,
struktur teori, dan bagan metodologi sehingga membawa berbagai
konsekwensi dan narasi yang berarti.
Definisi pendidikan bukanlah rangkaian kata yang tersusun saja
melainkan penyusunan pola kata yang bernada, bergelombang, berirama,
berfrekuwensi dan bermakna dari yang dimaknai oleh si pemakna agar
bisa mendifinisikan yang didefinisikannya dan -Nya. Oleh karena itu
definisi pendidikan memiliki tanggung jawab ilahiyah, moral dan ilmiah.
Contoh salah satu definisi pendidikan yang dituangkan dalam Undang-
undang Sistem Pendidikan Nasional No.20 Tahun 2003 mengucapkan
bahwa “pendidikan adalah usaha sadar dan berencana untuk
mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta
didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki
kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian,
kecerdasan, akhlah mulia, serta keterampilan yang diperlukan dirinya,
masyarakat, bangsa dan negara.
Definisi pendidikan dalam rumusan Undang-undang Sistem
Pendidikan Nasional mengisyaratkan beberapa konsep dan konstruk
pemikiran yang berbasis filosofis dan berlandaskan keilmiahan serta
bermuara pada budaya bangsanya sendiri, antara lain:
a. Pendidikan merupakan usaha sadar dan berencana. Usaha sadar
merupakan upaya yang dilandaskan pada adanya kesadaran atas
sesuatu yang disadari agar melahirkan kesadaran dari sesuatu yang
bisa jadi belum disadari. Kesadaran terbesar yang hendaknya menjadi
jiwa dari pendidikan adalah kesadaran untuk menyadari jati diri
bangsanya sendiri sebagai bangsa yang seharusnya mandiri.
b. Pendididikan membutuhkan suasana belajar. Suasana belajar
merupakan keadaan yang memungkinkan terjadinya proses
pembelajaran yang aktif. Suasa belajar akan terwujud apabila ruang
masalah guru dan siswa lebih kecil dari pada ruang belajar. Suasana
belajar sekurang-kurangnya terkait dengan iklim belajar yang positif
seperti nyaman, menyenangkan, menantang, mengapresiasi,
memajukan dan memberi harapan. Sedangkan suasana belajaran
negatif seperti penuh tekanan, ancaman, intimidasi, incondusivitas,
demotivation, dehumanisasi dan seterusnya.
c. Mengembangkan potensi diri. Belajar bukan bagaimana menyuapin,
mendulangin, menuangkan atau mengisi (pouring in) tetapi
mengeluarkan, membangkitkan, menumbuhkan, menstimulasi,
mengaktivasi dan mengembangkan segala potensi yang ada pada diri
anak (drawing out) agar anak bertumbuh kembang secara optimal
berdasarkan kekuatan yang ada pada dirinya sendiri.
d. Pendidikan bertujuan agar peserta didik memiliki keutuhan
perkembangan diri yang berkarakter iman yang berkecerdasan, cerdas
yang berkepribadian, kepribadian yang berketarampilan dan
keterampian yang bermanfaat bagi kehidupan diri dan lingkungannya.
Tentu saja kepribadian yang tumbuh secara utuh, berkembang dengan
seimbang dan berubah ke arah yang lebih cerah serta berkreasi secara
sinergi dan harmoni.
Bila ingin menelusuri definisi pendidikan secara formal dan baku,
maka dapat dilacak pada KBBI yang menuliskan bahwa Pendidikan
berasal dari kata ‘didik’ dan kemudian mendapatkan imbuhan ‘pe’ dan
akhirnya ‘an’, maka kata pendidikan mempunyai arti proses, cara atau
perbuatan mendidik. Sedangkan kata pendidikan menurut bahasa Kuno
yaitu dari kata “Pedagogi” kata dasarnya “Paid” yang berarti “Anak” dan
juga kata “Ogogos” artinya “Membimbing”. Dari beberapa kata tersebut
maka kita simpulkan kata pedagos dalam bahasa Yunani adalah Ilmu
yang mempelajari tentang seni mendidik anak.
Menurut Plato pendidikan adalah sesuatu yang dapat membantu
perkembangan individu dari jasmani dan akal dengan sesuatu yang dapat
memungkinkan tercapainya sebuah kesempurnaan. Menurut Plato
pendidikan direncanakan dan diprogram menjadi tiga tahap dengan
tingkat usia, tahap pertama adalah pendidikan yang diberikan kepada
murid hingga sampai dua puluh tahun; dan tahap kedua, dari usia dua
puluh tahun sampai tiga puluh tahun; sedangkan tahap ketiga, dari tiga
puluh tahun sampai usia empat puluh tahun.
Ki Hajar Dewantara menyebutkan bahwa pendidikan merupakan
tuntutan didalam hidup tumbuhnya anak-anak, dengan maksud menuntun
segala kekuatan kodrat yang ada pada anak-anak itu, agar mereka sebagai
manusia dan sebagai anggota masyarakat dapat mencapai keselamatan
dan kebahagiaan yang setinggi-tingginya.
B. Tujuan Pendidikan
Pendidikan merupakan sebuah proses untuk mencapai tujuan.
Tujuan pendidikan untuk semua Negara di dunia adalah sama. Tetapi
tujuan pendidikan di setiap Negara berbeda-beda. Apa yang menjadi
tujuan pendidikan dari semua negera? Tujuannya sama yakni good
citizenship, yakni menjadi warga Negara yang baik. Menjadi warga
Negara yang baik menjadi ukuran universal dari seluruh Negara. Tujuan
pendidikan dibedakan dari indikator sebagai warga Negara yang baik.
Warga Negara yang baik dari setiap Negara mengalami perbedaan
didasarkan pada beberapa hal berikut:
1. Falsafah bangsa. Falsafah bangsa merupakan believe system, sistem
keyakinan yang dianut oleh suatu bangsa tentang benar-salah
berdasarkan pada landasan dari falsafah bangsa itu sendiri. Falsafah
bangsa biasanya terlahir dari akumulasi sistem keyakinan, basic
value, fundamental culture, dan essential of human right. Akumulasi
dari segala yang esensi, basic, fundamental, spirit dan hakiki
mewujud dalam sebuah falsafah bangsa. Secara umum falsafah
bangsa suatu Negara ada yang: (1) Teo-centric value (nilai-nilai yang
berpusat kepada Tuhan) sehingga falsafah, tatanan nilai, tatanan
berbudaya, tatanan bernegara, tatanan bisnis, tatanan hukum dan
segala turunannya berasal dan berujung pada Tuhan. Pendidikan
berfungsi menyelamatkan dan menyematkan nilai-nilai ilahiyah
menjadi tatanan kehidupan secara totali, dari tatanan nilai yang lain,
(2) Antropo-centris Value (nilai-nilai yang berpusat pada kekuatan
manusia) sehingga mulai dari falsafah, tatanan nilai, tatanan budaya,
tatanan bernegara, tatanan hukum dan segala turunannya berpangkal
dan berpingkal pada hasil olah daya cipta manusia. Manusia sebagai
sumber kebenaran, sumber hukum dan sumber kebudayaan. Tuhan
tidak menjadi sumber nilai yang dipertimbangkan karena manusia
mampu menciptakan aturan hidup tanpa peran Tuhan, katanya, pen.
Pendidikan dalam mazhab ini diarahkan untuk mewariskan hasil cipta
karsa dan karya manusia agar bisa lestari, bertumbuh dan
berkembang sesuai dengan koridor awal humanism not Theisme. (3)
Theo-Antropo-Centris (nilai-nilai ilahiyah yang diadaptasi) sehingga
falsafat, tatanan nilai, tatanan budaya, tatanan Negara, tatanan bisnis
dan tatanan hukum serta segala turunannya bersumber dari Tuhan
yang diadaptasi melalui hasil pikiran manusia yang sangat panjang.
Pendidikan memiliki fungsi untuk mempertahankan harmoni nilai
dari kedua sumber kebenaran tersebut agar tetap berpadu untuk
memandu kerukunan ilmu yang mempersatukan budaya dan wahyu.
2. Sejarah Kemerdekaan. Kemerdekaan suatu bangsa dengan corak
perjuangan yang beragam, berwarna dan berbeda membawa
konsekwensi serta koherensi pada perbedaan tujuan pendidikan.
Negara yang dijajah oleh bangsa lain dalam kurun waktu yang sangat
lama dengan luka yang menyakitkan kehidupan dan mengiris
martabat kebangsaan serta merobek-robek lembaran kebudayaan,
menyatakan dengan bahwa tujuan pendidikan hendaknya dapat
menjaga dan memastikan tidak terulangnya penjajahan. Puncak
kesadarnya berupa deklarasi kesamaan hak dengan bangsa lain di
dunia manpun.
3. Karagaman Budaya. Indonesia dengan perbedaan suku, adat istiadat,
bahasa, budaya dan agama yang sangat kaya dengan keragaman, tentu
saja membawa berkonsekwensi pada perbedaan tujuan pendidikan
yakni Bhineka Tunggal Ika, yaitu tujuan mempersatukan keragaman
sebagai perekat persatuan. Tujuan pendidikan dengan keadaan multi
suku, adat, bahasa dan agama diarahkan untuk mempersatukan segala
keragaman menjadi kekayaan yang terinternalisasi dalam kebudayaan
nasional.
4. Negara Maritim Kepulauan. Indonesia bukan merupakan Negara
Kontinental tetapi Negara kepulauan memiliki pengaruh yang besar
terhadap tujuan pendidikan. Hal ini disebabkan pengolahan kekayaan
laut perlu mendapatkan perhatian dan sekaligus penjagaan keamaan
laut yang perlu kewaspadaan seluruh warganya akan penyeludupan
atau penjarahan kekayaan laut. Terutama menjaga NKRI agar tetap
utuh tidak terbelah atau terpecah menjadi Negara bagian atau
persemakmuran atau apapun selain NKRI, harga mati.
Terlepas dari apapun yang menjadi historisitas dari sisi latar
belakang pengokoh terjadinya tujuan pendidikan antar Negara.
Namun tujuan adalah tetap tujuan dengan hirarki yang gradual dan
sistemik. Ada 4 tingkatan tujuan yang bisa dijadikan rujukan dalam
memandang tujuan pendidikan secara makro maupun mikro:
1. Ultimate. Tujuan akhir dari hidup manusia yang melembaga pada
tujuan pendidikan, yaitu yang bersifat final, last, lattest atau ending
sehingga tidak ada lagi tujuan terakhir selain tujuan itu. Tujuan
ultimit dalam hidup adalah kehidupan akhirat yang lebih baik,
sempurna dan mendapat ridho Tuhan. Dari tujuan ini tidak ada tujuan
akhir yang dapat dirumuskan lagi karena tujuan ini merupakan tujuan
tertinggi yang bukan lagi profane tetapi eternal, tujuan yang bukan
lagi horizontal melainkan vertikal, tujuan yang ukhorwi oriented
bukan duniawi oriented. Meski dunia tetap menjadi kekuatan tetapi
tidak menjadi fokus, meski tujuan keduniawian menjadi dominan
tetapi tidak diterminan dan seterusnya.
2. Aims. Tujuan yang tingkatannya lebih rendah dibanding ultimate
namun masih di atas tingkatan goal. Tujuan aims masih bersifat
universal dan belum memiliki rumusan yang operasional, tidak
terukur dengan indikator dan tidak menampakan perbedaan yang
tegas. Misalkan tujuan yang menggambarkan kemajuan,
kesejahteraan atau kebahagiaan dengan tidak memunculkan indikator.
Tujuan ini juga penting sebab tidak semua tujuan bisa diukur dengan
jelas bahkan ada tujuan juga yang bersifat tersembunyi, bathini dan
metafisik. Dalam www.putrisafrina26.blogspot.com diuraikan
beberapa hal berkaitan dengan level tujuan dalam pendidikan. Aims of
education menurut David Puaff merupakan sebuah “tujuan pemberi
orientasi dasar dari para perancang”. Demikian pula menurut Komisal
dan Mc. Celan, mendefinisikan bahwa Aims merupakan statemen
general dengan memberikan petunjuk dan arahan dalam rancangan
untuk mencapai beberapa tujuan produk dimasa depan. Aims
merupakan panduan yang fundamental dan krusial meski tidak dapat
diteliti dan dievaluasi karena hanya pemberi orientasi dan bukan
outcome yang bisa dikuantifikasikan secara khusus.
3. Goal. Goal of education merupakan pernyataan rumusan akhir
tentang apa yang ingin dicapai dari outcome pendidikan yang
dirumuskan dalam pernyataan tujuan yang jelas baik dari aspek
refleksi dasar filosofis maupun dalam redaksional tujuan. Pernyataan-
pernyataan tujuanya berkisar : (a) belajar menjadi warga Negara yang
baik, (b) belajar menghormati orang lain, (c) belajar mencoba
memahami, (d) mengembang keterampilan berbahasa, (e) paham dan
berdemokrasi, (f) belajar memanfaatkan informasi, (g)
mengembangkan belajar masa depan, (h) memahami arti penting
kesehatan dan keamanan, (i) apresiasi kultur dan keindahan dunia dan
seterusnya.
4. Objective. Objective of education merupakan rumusan tujuan yang
merupakan produk dari kurikulum yang bisa diukur secara jelas
dalam pernyataan indikatorial. Menurut Hilda Taba bahwa objektif
pendidikan menggambarkan tentang hasil sekolah (kurikulum) dan
hasil perubahan sikap atau perilaku yang dicapai. Karena tujuan pada
level objektif sangat jelas, maka Baker dan Popham menyebutnya
sebagai tujuan pengajaran. Salah satu contoh tujuan dalam level
objektif menurut aliran Behaviorisme adalah (a) adanya perubahan
sikap yang positif dalam pembelajar, (b) siswa akif dalam
memecahkan masalah, (3) adanya peningkatan capaian keterampilan
yang khusus. Demikian pula menurut Bloom bahwa tujuan objektif
pendidikan hendaknya menggambarkan 7 kategori yakni knowledge,
comprehention, application, analysis, sintesis, dan evaluation.
Dalam konteks pendefinisian formal tujuan-tujuan hirarkis
pendidikan bisa juga dijelaskan dengan struktur yang ketat sehingga
memberikan pemahaman yang gradual operasional mulai dari tujuan
pendidikan nasional, institusional, kurikuler, instuksional umum dan
khusus sebagai berikut:
1. Tujuan Nasional. Tujuan pendidikan secara nasional yang hendak
dicapai oleh suatu Negara dalam waktu jangka panjang untuk
menunjang pembangunan nasional yang sesuai dengan karakter
bangsa itu sendiri. Apa Tujuan Pendidikan Nasional Indonesia?
Menurut Undang-undang Sistem Pendidikan Nomor 20 Tahun 2003
pasal 1 ayat 2 menyebutkan arti pendidikan nasional adalah
pendidikan yang berlandaskan Pancasila dan Undangt-undang Dasar
Tahun 1945 yang berakar pada nilai-nilai agama, kebudayaan dan
tanggap terhadap tuntutan perubahan zaman. Sedangkan Tujuannya
menurut UU No. 2 Tahun 2003 Bab II pasal 3 menyatakan bahwa
Pendidikan nasional berfungsi mengembangkan kemampuan dan
membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam
rangka mencerdasakan kehidupan bangsa, bertujuan untuk
berkembangnya potensi pesrta didik agar menjadi manusia yang
beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak
mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri dan menjadi warga
Negara yang demokratis serta bertanggung jawab. Tujuan makro dan
jangka panjang yakni (1) mengembangkan kemampuan, (2)
membentuk watak dan (3) peradaban yang bermartabat, harus dicapai
oleh tujuan pendidikan nasional dengan indikasi (1) iman, takwa dan
berakhlak mulia, (2) sehat, berilmu, cakap, kreatif dan mandiri dan
(3) demokratis dan bertanggung jawab. Tujuan nasional ini niscaya
harus mencapai manusia yang berwatak dan berperadaban yang
bermartabat bahkan berkemampuan yang berdadaya saing tinggi.
Pertanyaannya bagaimana, siapa, kapan dan berapa untuk mencapai
tujuan itu? Jelas tidak sederhana karena berbasis nilai agama dan
budaya, perlu investasi besar, sudah (20% dari APBN/APBD) dan
siapa pelaku paling harus bertanggung jawab di lapangan, tiada lain
yaitu G.U.R.U. Tetapi gurupun bergantung pada kebijakan
pemerintah? Jadi siapa yang paling bertanggung jawab, ya tentu saja
Pemerintah. Tetapi pemerintahpun tidak bisa berjalan tanpa
partisivasi masyarakat. Jadi yang paling harus bertanggung jawab
adalah pemerintah dan masyarakat. Tetapi jangan lupa pemerintah
dan masyarakat tidak bisa berjalan tanpa andil besar dari keluarga?
Jadi yang paling harus bertanggung jawab tentu saja adalah keluarga.
Tetapi keluarga juga tidak berdaya tanpa kebijakan pemerintah yang
berpihak pada kekuatan pendidikan keluarga dan peran aktif
masyarakat untuk re-schooling society. Jadi yang paling harus
bertanggung jawab mewujudkan tujuan pendidikan nasional adalah
K-I-T-A.
a. Tujuan Institusional
Tujuan pendidikan yang ditetapkan dan ingin dicapai oleh suatu
kelembagaan atau institusi pendidikan dengan produk utamana
kemampuan untuk melakukan sesuatu hal sesuai dengan tingkatannya
atau tujuan untuk melanjutkan ke jenjang berikutnya. Tujuan institusional
dicapai oleh institusi pendidikan dalam kerangka mencapai tujuan
nasional. Ini bisa disederhanakan sebagai tujuan antara, tujuan
penghubung atau terminal regional sebagai mediator,
katalisator,fasilitator dan jembatan menuju terminal pendidikan nasional.
Keberhasilan tujuan nasional bergantung pada ketercapaian tujuan
institusional, baik secara kuantitas maupun kualitas.
b. Tujuan Kurikuler.
Tujuan yang ingin dicapai dari masing-masing bidang studi atau
mata pelajaran. Hasilnya berupa penguasaan terhadap terhadap mata
pelajaran atau bidang studi yang dipelajari. Tujuan kurikuler harus sesuai
dengan tujuan nasional, misalkan tujuan mata pelajaran olah raga sehat
jasmani dan rohani serta berjiwa sportif sesuai rule of game, kolaboratif
seperti melalui olah raga tim atau grup, berakhlak mulia melalui
pembiasaan patuh pada aturan tidak melanggar, mandiri melalui peran
personal dalam tim dan iman takwa melalui pengharapan atau doa untuk
menjadi pemenang pada saat bertanding yang acapkali tidak bisa
diprediksi secara akurat.
c. Tujuan Instruksional.
Tujuan yang hendak dicapai setelah selesai satu mata pelajaran
karena itu tujuan instruksional sering disebut tujuan pengajaran (umum
dan khusus). Hasilnya berupa terbentuknya watak, kemampuan berpikir,
keterampilan, teknologi dan produk perilaku lainnya. Dalam kurikulum
2006 tujuan instruksional/pengajaran sering disebut dengan istilah
kompetensi. Standar kompetensi merupakan gambaran kemampuan pada
aspek kognitif, afektif dan psikomotorik yang diharapkan ditunjukan,
didemonstrasikan dan dipraktekan peserta didik. Tujuan Instuksional
dilakukan dalam kerangka pencapaian tujuan nasional diturunkan
kedalam tujuan yang terukur secara jelas. Misalkan tujuan mata pelajaran
agama setelah selesai mengajar PAI diharapkan siswa memiliki iman-
takwa berupa ketaatan ibadah, gemar membaca al-Quran dan seterusnya.
Tujuan sehat bisa dicapai melalui perilaku hidup bersih yang diajarkan
dalam wudhu, shalat dan termasuk berzakat, berpuasa dan seterusnya.
Demokrasi diajarkan melalui esensi shalah berjamaah, berqurban, dan
demokrasi bermuyawarah menurut ajaran Islam. Cerdas diajarkan dalam
rukun dan syarat sahnya solah yang harus khusus dan ikhlas, berpuasa
yang bisa melatih kecerdasan otak dan seterunya.
d. Tujuan Instruksional Khusus.
Tujuan yang bersifat operasional yang bertolak dari perubahan
tingkah laku yang dapat diamati dan diukur. Tujuan pengajaran khusus
merupakan pernyataan tujuan yang bisa diukur secara jelas dan tegas
terhadap apa yang menjadi tuntutan perubahan perilaku siswa yang dapat
diamati secara langsung. Tujuan pengajaran khusus dicapai setiap selasai
pembelajaran per pokok bahasan atau tema pokok bahasan. Tujuan ini
menjadi alat ukur yang paling konkret dalam kerangkan mencapai tujuan
nasional secara akumulatif.
Melalui penetapan tujuan atau istilah lain sesauai dengan
pernyataan dalam nomenklatur kurikulum baku yang ditetapkan
pemerintah maka bagi pelaku pendidikan seperti guru, penetapan tujuan
merupakan panduan, navigasi, arah, kompas dan kiblat yang
mempermudah membuat perencanaan pembelajaran. Tanpa ada tujuan,
tentu saja pembelajaran dan pengajar tidak akan memiliki focus untuk
memilih dan memilah apada yang bisa dilakukan dalam kerangka
mencapai tujuan besar, yakni tujuan nasional. Seorang guru ketika
menetapkan sebuah tujuan pengajaran yang spesifik harus diantarkan
kesadaranya akan tujuan nasional, sehingga tujuan-tujuan yang dicapai
tidak tercerabut, kerkelupas dan terlepas dari tujuan nasional.
C. Hakekat Pendidikan
Perbedaan falsafah dalam memandang, menempatkan dan
mempersepsi hakekat manusia, hakekat tujuan hidup manusia dan
hakekatnya manusia yang hakiki menyebabkan keragaman konsep
pendidikan dan praktek pendidikan. Manakala manusia ditepatkan
sebagai mahluk yang mengada dengan sendirinya, bukan mahluk yang
mengada dari Yang Maha Ada, adanya karena Ada-Nya, bukan ada
karena adanya maka pendidikanpun akan ditempatkan sesuai cara
pandangnya bukan cara pandang-Nya.
Dalam diskursus keilmuan, sekurang-kurangnya ada dua cara
pandang manusia terhadap kemanusiaannya manusia yang mempengaruhi
filsafat pendidikan manusia. Pertama, Theo- Centeris yang melahirkan
cara pandang bahwa Tuhan merupakan centry vetal dan centri fugal,
pangkal dan muara, hulu dan hilir, awal dan akhir, membagi dan menjadi
pusat dari segala pergerakan manusia. Manusia sepanjang keberadaannya
(hidup dan mati) tanpa ada pilihan selain dari-Nya, oleh-Nya, untuk-Nya,
bagi-Nya karena-Nya dan akhirnya kepada-Nya. Cara pandang ini
kemudian melahirkan pendekatan pendidikan yang Theological oriented
yakni pendidikan yang diabdikan, dibaktikan, disuguhkan,
dipersembahkan dan digadaikan hanya semata-mata untuk memperkokoh
jatidiri, memperkuat hakekat, menjaga fitrah dan memupuk
kecenderungan kuat segala pengabdian dan penghambaanya kepada-Nya.
Pendidikan diperuntukan bagi penguatan posisi manusia agar tetap berada
pada posisi-Nya. Upaya pendidikan diorientasikan untuk memartabatkan
mahluk Tuhan ditingkatkan derajat kemahlukannya kepada maqom
hamba Tuhan. Ketika manusia sudah menempati maqam hamba-Nya,
maka pendidikanpun berusaha keras agar kualitas hamba mencapai
kualitas dan kapasitas shohabat Allah dan ikhtiyar puncak dari
pendidikan hendaknya mencapai titik klimaks manusia sebagai kekasih
Allah.
Kedua, Antropho-Centres yakni cara pandang manusia terhadap
kemanusiannya manusia dari sudut pandang manusia sebagai manusia
yang mengada karena keberadaanya manusia sebagai manusianya
manusia. Manusia menganggap dan merasa bahwa manusia mampu
membuat aturannya sendiri tanpa kehadiran Tuhan. Pendekatan
pendidikanpun dikupas dan dikemas dalam selera dan sengketa
Antrophological oriented, yakni pendidikan yang beroreintasi pada
pembentukan manusia dari, oleh, bagi, dan untuk manusia sendiri.
Manusia bukan insan-ilahiyah tetapi insan-insaniyah, manusia lahir dan
akhirnya adalah manusia. Jadi manusia adagiumnya dari manusia, oleh
manusia, untuk manusia, dan kepada manusia. Manusia hanyalah sebagai
manusia, titik.
Menelisik pandangan tentang manusia (Theo-centres), maka
hakekat pendidikanpun akan mengikuti teropog dan terowong besar yang
bermuara pada Tuhan. Pada pandangan ini hakekat pendidikin merupakan
inti dan esensi dari kesadaran manusia terhadap Tuhannya, dengan ciri-
ciri utama sebagai berikut: (a) Tuhan sebagai Tujuan (the ultimate goal),
Tuhan sebagai tujuan akhir, abadi, eternal dan fundamental, (b)
Pendidikan merupakan proses mengaktivasi fitrah bertauhid agar manusia
bertumbuh dan berkembang sesuai rancangan Tuhan, (c) Materi bahan
ajar berisi semua kebenaran yang bersumber dari otoritas Tuhan, firman
Tuhan baik tekstual maupun kontekstual, hukum-hukum Tuhan
(sunnatullah) dan tidak ada hukum alam melainkan hukum Tuhan pada
alam, (d) Media dan alat hanya boleh dilakukan apabila tidak merusak
atau mereduksi serta merendahkan friman-firman Tuhan, (e). Evaluasi
hendaknya menjangkau aspek-aspek yang batini karena perubahan
perilaku hakekatnya merupakan perubahan believe system, perubahan
ideology, perubahan yang Esensi. Dengan demikian hakekat pendidikan
merupakan, berupa serta berupaya mempertahankan “kedekatan,
kelekatan dan kepadatan interaksi dengan Tuhannya.
Berbeda dengan pandangan Antropo-centris yang meneropong
dan menerawang manusia dari lubang kunci manusia dengan transparansi
tembus pandang maka manusia tidak ada perubahan selain sebagai
manusia yang hendak dijadikan Manusia yang memiliki jati diri sebagai I
bukan me. Dari pandangan paradigmatik ini, pendidikan hakekatnya
merupakan subtansi dan subversi dari kesadaran diri manusia terhadap
kediriannya manusia sendiri yang otonom dari otodidak dalam mendidik
dirinya sendiri. Ciri pendidikan dalam pandangan antopo-centris antara
lain: (a) Tujuan pendidikan mencapai pemahaman tertinggi tentang
manusia sempurna, (b) Proses pendidikan merupakan proses
memanusiakan manusia dengan cara manusiawi oleh manusia yang
berasal dari manusia, (c) Bahan ajar merupakan produk pengetahuan
yang bersumber dari kebenaran manusia yang sudah punya otoritas
membenarkan kebenaran dengan cara yang benar (metodologi), (d)
Media dan alat hanya boleh dilakukan apabila tidak mencaci, mereduksi
dan membagi nilai-nilai kemanusiaan kedalam segmentasi dan
pragmentasi yang mengiris, menguras dan mangikis manusia keluar dari
redaksi totalitas kemanusiaan dalam konteks kebartabatan hakiki
manusia, (e) Evaluasi hanya menjangkau lapisan luar perilaku dari
kedalaman pikiran yang tak terselami atau sehebat-hebatnya hanya
menjangkau cognitivisme. Dengan demikian hakekat pendidikan dalam
pandangan mazhab antropo-centris merupakan ikhtiar menjangkau sudut
humanisasi yang humanism dalam perbuatan dan perbuatan yang
mendalami (belum tentu ketemu kedalamannya perbuatan). Secara
singkat hakekat pendidikan merupakan upaya memanusiakan manusia
dengan cara manusia agar menjadi manusia yang sebenar-benarnya
manusia yang bermartabat manusia dan sekaligus manusia yang
bermartabat.
D. Memaknai Pendidikan
Ciri yang hakiki dari pendidikan yang sejati bukanlah pada proses
yang menarik atau bahan ajar yang unik atau tujuan yang spesifik tetapi
terletak pada adanya konstruksi dan konstraksi kesadaran terhadap
realiatas kedisian, kekinian dan kenantian yang saling mencari, mengisi,
dan mematri. Jelas sebagai kesadaran kepada realitas kedisian dan
kekinian, konstruk pendidikan tidak mungkin terjadi pada waktu dan
ruang hampa serta berlangsung di belantara tanpa makna. Pendidikan
adalah sebuah makna yang harus memaknai setiap yang hendak
bermakna dan menghendaki kebermaknaan yang saling memaknai.
Karena itu makna ruang dalam pendidikan merupakan lingkungan
kehidupan yang mewarnai, mempengaruhi dan mencelupkan warna bagi
kehidupan seseorang. Ia bisa berada di sekolah atau bukan di sekolah,
baik sekolah maupun tidak sekolah. Ia bisa berupa rumah atau berupa di
luar rumah, bisa merasa homy atau tidak merasa homy, bisa di
masyarakat atau di luar masyaralat, bisa bermasyarakat maupun tidak
bermasyarakat.
Jadi ruang dalam konteks kesadaran pendidikan merupakan place
dan space serta time. Ruang dalam pengertian place senantiasa berada
dalam kordinat, historis, batas waktu dan durasi. Place merupakan lokasi,
zona dan regional. Aristoteles mendefiniskan ruang adalah sebagai
tempat yang menjadi tempatnya sesuatu (place of belonging) yang
menjadi lokasi tepat dimana setiap elemen fisik cenderung berada, ( latar-
delta.blogspot.com). Pendidikan seyogianya mendidik setiap siswa dalam
kesadaran waktu, ruang geografis, ruang tempat fisik dimana anak didik
ada, ruang virtual yang berada dan mengada, agar setiap siswa menyadari
kenyataan hidup dan kehidupan nyata dari keberadaan lingkungan nyata,
baik yang bisa dinyatakan atau tidak, yang berada dihadapan atau bahkan
berhadapan. Pendidikan tidak boleh tercerabut dari medan lingkungan,
akar sosia-budaya dan psiko-fisik dengan segala altar waktu yang
mengitarinya.
Kesadaran akan keberadaan waktu sebagai bagian dari pengisi,
mengisi dan isi dari kehidupan pernah diungkapkan oleh John Dewey
dalam filsafat Instrumentalismenya dengan menyebut tiga eksistensi
waktu: (a) Temporalisme, yaitu ada gerak dan kemajuan ril dalam waktu
yang menyadarkan kita akan pentingnya menghargai dan memanfaatkan
waktu untuk kehidupan yang bermakna, karena waktu tidak bisa diulang,
tidak berulang dan tidak pernah pulang. Waktu berputar bagai spiral
menuju batas ujung yang tidak berujung, (b) Futurisme yaitu kesadaran
untuk senantiasa melihat hari esok dan tidak hari kemarin. Kita niscaya
menyadari bahwa tiga masa (the past, present dan future) sebuah masa
yang saling membelajarkan, kemarin pengalaman, hari ini kenyataan dan
besok pengharapan, (c) Meliorisme yaitu keadaan yang akan datang bisa
dibuat lebih baik dengan kekuatan yang ada pada diri kita masing-
masing.
Sedangkan ruang dalam pengertian space, merupakan ruang virtual
yang tidak dibatasi oleh sekat-sekat geografis maupun administratif
karena ia merupakan yang infinite, tak terbatasi ruang dan waktu, tak
berwujud. Apa konsekwesninya bagi pendidikan ketika pendidikan
terjadi dalam space atau ruang maya?. Ia memberikan kesadaran pada
ruang jauh, ruang angkasa yang menembus segala jarak tanpa dibatasi
oleh place maupun lokasi. Kesadaran pada ruang ini mengajarkan
kesadaran pada kemajuan teknologi yang semakin halus dengan
menembus ruang tanpa batas.
Pendidikan pada tingkatan manapun hendaknya mengajarkan peserta
didik untuk senantiasa menyadari tempat dimana kita berada, untuk bisa
mengada dengan kebaradaan yang tidak diada-ada karena penuh dengan
makna. Kesadaran akan tempat, memastikan peserta didik mengerti akan
sebuah tantangan dan sekaligus peluang yang ada disekitar tempat
tinggalnya atau tempat secara lebih luas, sehingga bisa senantiasa sadar
positioning untuk melakukan repositioning dan reactualizing. Sedangkan
kesadaran tentang waktu meniscayakan siswa memahami akan promise
dan perel dari setiap pergerkan kemajuan waktu sehingga tidak tergilas
waktu, tertindas zaman dan terhempas masa serta tergeser oleh massa.
E. Pendidikan Bermakna
Berbicang wacana tentang pendidikan pada level manapun tidak bisa
dilepaskan dari nilai-nilai fungsional apa yang diberikan dari pendidikan
sebagai konsekwensi logis infak pembelajaran. Pendidikan merupakan
wadah besar kehidupan yang ruh atau spirit atau isinya adalah
pembelajaran. Pendidikan kalau tidak memberikan nilai fungsional bagi
kehidupan tentu saja akan ditinggalkan orang. Jadi pendidikan secara
aksiologis harus nampak, terasa dan terpakai manfaatnya secara filosofis,
teoretik, konseptual, metodologik, strategic dan aksinya.
1. Fungsional Filosofis. Pendidikan sekurang-kurangnya harus mampu
mengubah cara pandang seseorang terhadap hakekat kehidupan,
esensi waktu, spirit pekerjaan, dan ruh pikiran yang menyebabkan
seseorang akan senantiasa bisa mengubah hidupnya dengan new
philosophy, new faradigm dan new mindset. Cara pandang yang terus
beradaptasi dengan perubahan yang terjadi dalam skala mikro
maupun makro niscaya harus diwariskan dan ditularkan oleh, dari dan
melalui pendidikan. Pendidikan akan dipandang gagal bila tidak
mampu mengubah manusia yang senantiasa siap diperbaharui dan
memperbaharui.
2. Fungsional Teoretikal. Cara pandang manusia terhadap dan
berhadapan dengan hidup dan kehidupan sebenarnya masih bersifat
abstrak maka abstraksinya harus terefleksi dan terwujudkan dalam
mengubah dan memperlakukan cara-cara hidup yang berbasis pada
pemikiran atau teori (live based knowledge). Sebenarnya tidak ada
kehidupan yang tidak berdasarkan pada teori yang digunakan (apapun
itu). Namun yang dimaksud dengan fungsional teoretikal dalam
pendidikan tentu bukan hanya sekedar teori tetapi new theory, teori-
teori baru yang selalu update setiap saat untuk memastikan hadirnya
kehidupan dengan kapasitas dan kapabilitas berpikir yang tercerahkan
dan tercahayakan.
3. Fungsional Konseptual. Pendidikan merupakan jalan bagi kehidupan
yang senentiasa bisa saling menghidupi antara dirinya dengan
kediriannya, sesama, lingkungan dan variable hidup lainya yang
begitu banyak. Jalan hidup selalu merupakan pilihan-pilihan konsep
yang terabtraksikan, termunculkan dan ternampakan dari teori sebagai
rumah-rumah konsep. Konsep merupakan konstruk pilihan berpikir
yang terstrukturkan dalam skema alternatif tindakan yang berbasis
konseptual yang factual.
4. Fungsional Metodological. Pendidikan menjadi niscaya untuk
mewariskan cara berpikir logis metodologis dalam kehidupan sebagai
konsekwensi dari cara-cara bekerja ilmiah yang selama ini menjadi
patsun perkuliahan. Cara berpikir metodologis diharapkan bisa
menjadi karakter si terdidik dalam menjalani kehidupan sebagai
bagian dari hasil pembelajaran. Cara pembelajaran yang melatih
peserta didik mampu menjawab soal ujian hendaknya terefleksi dalam
kehidupan untuk terampil menjawab soal-soal kehidupan dan itu yang
harus menjadi capaian setiap jenjang pendidikan. Cerdas di kelas dan
cerdas dalam kehidupan. Bukan hanya cerdas di kelas tetapi bego
dalam kehidupan.
5. Fungsional Strategik. Pendidikan sebenarnya berkewajiban untuk
mengajarkan strategi menjalankan kehidupan nyata dan menyatakan
jalan kehidupan. Sebab dalamnya pendidikan niscaya mengajarkan
strategi menstrasformasikan nilai-nilai kehidupan kedalam strategi
mencapai formula kehidupan yang terukur.
6. Fungsional Aksional. Semuan tahapan makna pendidikan mulai
filosofis sampai dengan aksional hanyalah akan bermanfaat apabila
berada dalam penyatuan tindakan yang memperhatikan koherenci
dan konsistensi filosofis dengan turunan berikutnya.
Kelas di sekolah-sekolah kita selama ini lebih mengerti, menyukai
dan terbiasa untuk mengajarkan bahan ajar ketimbang mengajarkan cara
berpikir dari bahan ajar. Begitu sedikit guru yang mampu mengajarkan
spirit bahan ajar. Ia mengajarkan teks bahan ajar bukan konsteks bahan
ajar. Guru mengajarkan siswa mampu menjawab soal ujian ketimbang
mengajarkan cara menjawab soal kehidupan. Siswapun dimotivasi,
didorong dan dilatih untuk meraih ranking pertama tetapi mengabaikan
makna penting kesadaran akan kepekaannya pada realiatas kenyataan
hidup dan kehidupan nyata. Bahkan begitu banyaknya anak yang
tercerabut dan tercabut dari akar budaya setempat. Bagimana tidak, anak
petani kini tidak lagi mau bahkan malu untuk menjadi petani. Begitu juga
anak nelayan, enggan menjadi nelayan. Secara umum pendidikan kita
telah memberikan dampat besar pada ledakan tenaga kerja sektor industri
perkotaan dan mengikis habis tenaga kerja sektor agraris. Padahal kita
masih merupakan negara agraris namun mayoritas generasi muda tak lagi
berpandangan positif terhadap dunia pertanian. Kini dunia pendidikan
mengalami krisis tenaga kerja apalagi tenaga kerja terampil dan ahli.
BAB 2
HAKEKAT MANUSIA

Manusia adalah manusia. Ia tak bisa digeser kearah seperti


manusia atau sejenis manusia atau bahkan bagaikan manusia. Manusia
dengan eksistensinya sebagai mahluk yang paling sempurna memiliki
jatidiri yang tidak semestinya terkontaminasi atau tereduksi oleh cara
pandang yang rendah tentang hakekat manusia. Benar, memang hingga
kini manusia belum berhasil didefinisikan secara sempurna. Mengapa
tidak berhasil didefinisikan? Jawabanya karena manusia tidak pernah
tampil apa adanya tetapi tampil adanya apa? Ketika tampil “adanya apa”,
maka saat dieksplorasi dengan mendalam lebih sering menemukan
“penampakannya” ketimbang penampaknya. Lebih mudah melihat yang
eksplisit dari pada yang tacit. Manusia ketika dikuliti akan menemukan
kulit lapisan dalam dan terus begitu, seperti menguliti bawang merah tak
pernah habis lapisan kulitnya. Manusia ketika didefinisikan seperti
bilangan 0/0, yakni tak terdefinisikan atau 0/1 tak berhingga atau paling
dekatpun definisinya seperti 10/3 = 3,3333 … dan bila dikalikan 3 akan
menghasilkan 9,999… jadi paling mungkin ketika manusia didefiniskan
akan seperti 10/3=3,333, (=) sama dengan hanya bisa mendekati tetapi
tidak bisa persis sama. Namun meski tidak pernah ada definisi yang
mampu mendefinisikan manusia persis seperti eksistensi manusia namun
manusia tetap adalah manusia.
Begitu sulit dan kompleknya dimensi manusia yang tak
terdimensikan sehingga setiap disiplin ilmu hanya bisa memberi label
dimensional belaka. Politik hanya mampu menyebutkan manusia sebagai
zoonpoliticon, yakni mahluk yang berpolitik. Ilmu Ekonomipun hanya
sanggup menyebutkan manusia sebagai homoeconomicus, mahluk yang
berekonomi. Pendidikan hanya bisa memberi label bahwa manusia
merupakan mahluk homoeducondum atau animal educondum, yakni
mahluk yang bisa didik dengan baik (homo educable). Bahkan filsafat
sekalipun tidak bisa mendefiniskan manusia selain hanya sebagai mahluk
yang bisa berpikir, hayawanun naathiq, tak lebih dari itu.
Apa definisi manusia menurut para ahli? Dalam blog,
www.pengertiandefinisi.com menjelaskan: (1) menurut Kees Berten
manusia adalah setiap mahluk yang terdiri dari dua unsur yang satunya
tidak dapat dinyatakan dalam bentuk apapun, (2) Nicolaus D dan A.
Sudiarja, bahwa manusia adalah bhineka, akan tetapi tunggal. Manusia
disebut bhineka ia mempunyai jasmani dan rohani sedangkan disebut
tunggal karena hanya berupa satu benda atau barang saja, (3) Sokrates
bahwa manusia adalah mahluk hidup yang memiliki dua kaki yang tidak
berbulu dan memiliki kuku datar berukuran besar, (4) Agung P.P
mendifinisikan bahwa manusia dapat diartikan sebagai mahluk ciptaan
Tuhan yang paling sempurna, yang tersusun atas kesatuan fisik, ruh/jiwa
dan akal pikiran yang tumbuh dan berkembang sesuai dengan
lingkungannya.
Manusia dalam term al-Qur’an, pertama, Al-Basyar, manusia
didefinisikan dalam dimensi biologis yang fisikal, suka makan, minum,
berjalan kaki, pergi ke pasar, ke kebun, berjalan-jalan ke mall, berkelahi
dan ciri-ciri lainnya yang tidak terlalu berbeda dengan ciri-ciri lain pada
mahluk yang lain. Kedua, an-Naas yaitu mahluk manusia yang berasl dari
sipsies Adam yang bukan saja makan, minum dan pergi ke pasar tetapi
juga memiliki entitas sebagai mahluk yang berinteraksi secara social,
punya kesadaran tentang dirinya, berjuang demi kepuasan, kekuasaan,
kesejahteraan, kenyamanan dan harga diri. Ketiga, al-Insaan merupakan
kualitas mahluk yang bukan saja makan-minum, berpikir dan berinteraksi
tetapi juga punya kesadaran moral (moral imparatif) dan kesadaran
spiritual (jin dan manusia untuk beribadah).
Ketiga terma manusia (tentu masih ada terma lain)
menggambarkan bahwa manusia dirancang dalam susunan kualitas yang
bisa terbaca dari beberapa karakter dasar perilaku dan hukum-hukum
yang membentuk perilaku manusia. Menurut Sumanto (1990: 191) bahwa
setiap perilaku manusia dapat dicari hukum-hukum yang
melatarbelakanginya. Para ahli dari berbagai disiplin ilmu pada umumnya
mengklasifikasikan hukum asal manusia pada tiga kategori. Pertama,
manusia merupakan mahluk dengan pembawaan atau kecenderungan
baik. Hukum Snellius menerangkan bahwa manusia terlahir dalam
kondisi terbaik dan penuh kebaikan. Tekanan hiduplah yang pada
akhirnya mengubah karakter manusia menjadi peribadi yang buruk. Hal
ini sesuai dengan hukum Snellius yang mengatakan bahwa cahaya pada
dasarnya bersifat merambat lurus tetapi sewaktu terbentur medium yang
rapat maka cahaya akan membelok arah. Pendapat seperti itu
dikemukakan oleh Hamim Rosyidi (2015) bahwa manusia pada dasarnya
baik, hanya karena faktor lingkungan yang menyebabkan anak menjadi
buruk. Pendapat ini ada benarnya tetapi tidak sepenuhnya benar, karena
istri Firaun yang hidup di lingkungan yang buruk (tidak beriman) tetapi ia
tetap beriman..
Kedua, sifat asal manusia pada dasarnya buruk. Hal ini
dikemukakan oleh Yunahar Ilyas (2007) bahwa sifat asal manusia adalah
buruk/jelek. Kecenderungan terkuat dalam diri manusia adalah berbuat
buruk atau jelek atau jahat. seperti istri nabi Nuh yang hidup di
lingkungan yang baik tetapi ia tetap menjadi seorag istri yang buruk.
Ketiga, yang memandang bahwa sifat dasar manusia itu netral
(tabularasa), sehingga peran dari luar sangatlah menentukan. W,M. Watt
(1990:172), menegaskan bahwa factor diterminan dari perilaku manusia
ditentukan dari luar. Atau bukan netral tetapi manusia sudah diberi
peluang berjuang secara alamiah agar bisa berubah lebih baik. Dalam
hokum Fisika Ohm, yaitu hokum hambatan dengan sibol R, menyakini
bahwa setiaap manusia sudah disiapkan rintangannya untuk mencapai
cita-cita. Tetapi karena hambatan merupakan jatah asal setiap manusia
maka setiap manusia tidak takut dengan rintangan melainkan semakin
yakin bahwa semakin sering ketemu dengan rintangan akan semakin
mudah menemukan jalan keluar dari setiap rintangan dan semakin dekat
dengan kesuksesan. Atau lebih mendekati dengan hokum zat Emulsigator
yaitu mempersatukan perbedaan dengan menggunakan zat pengemulsi
(emulsigator) sehingga air dengan minyak bisa bersatu. Keburukan
dengan kebaikan bisa dieliminir dengan zat emulsigator taubatan
nashuha. Begitulah berbagai kemungkinan terjadinya proses pendidikan
dalam dan terhadap diri manusia yang super kompleks untuk dapat
disederhanakan, (tersedia di www.idntimes.com tanggal 13 Maret 2018).
Teka-teki tentang manusia sebagai mahluk misterius dan
masterius memberikan informasi yang jelas dan tegas akan kemungkinan
jelas dan tegasnya ketidakjelasan tentang filsafat, teori dan praktek
pendidikan. Tetapi sekaligus juga memberikan ruang yang luas untuk
mengembangkan pendekatan pendidikan yang lebih menyediakan ruang
menghargai dan mengedepankan keragaman atau kebhinekaan yang
tunggal. Namun demikian sesulit dan serumit apapun mendefinisikan
manusia, ada beberapa pikiran pokok tentang apa, mengapa, dan
bagaimana manusia itu dipahami:
Pertama, Manusia secara Teologis merupakan mahluk Tuhan
yang paling berkuasa dengan mandate sebagai khalifah (wakil/pengganti)
Allah di dunia dan pemakmur dunia. Kedua, manusia disepakati secara
filosofis merupakan mahluk yang paling sempurna penciptaannya.
Kesempurnaan ini bisa terlihat dengan diberikannya kebebasan untuk
menentukan pilihan hidup sesuai dengan keyakinan yang dianutnya.
Ketiga, manusia secara Historis dipahami sebagai mahluk yang istimewa
diciptakan oleh Yang Maha Kuasa, karena sebelum manusia diturunkan
ke dunia sudah disediakan segala hal yang menunjang keberlangsungan
hidup manusia. Keempat, secara Antropologis, manusia mampu
membentuk tatanan kehidupan melalui interaksi daya cipta dengan
merespons keadaan sehingga senantiasa menjadi dan bereksistensi.
Kelima, secara Psikologis disepakati bahwa manusia merupakan mahluk
yang fenomenologis dengan kemampuan menyatakan yang dirasakan dan
merasakan yang dinyatakan (berkesadaran). Keenam, secara Sosiologis,
manusia merupakan mahluk yang mampu berinteraksi dengan
membangun interelasi dan koneksi yang bisa saling sinergi. Ketujuh,
secara Pedagogis dan Andragogis, manusia disepakati sebagai sesosok
mahluk menyempurna dengan kesediaan dididik dan diatik melalui suatu
metodologik yang unik serta dinamik. Kedelapan, secara Neurologis
manusia disepakati merupakan mahluk yang memiliki inti sel yang
mampu membuat perintah-perintah sempurna (genome) yang membuat
semua organ tubuhnya bisa bekerja dengan sempurna seperti system saraf
terbagi dua system sarap pusat (Otak dan Medulla Spinalis) dan system
saraf otonomo (saraf simpatis dan parsimpatis). Sistem saraf adalah
sistem kompleks yang berperan dalam mengatur dan mengoordinasikan
seluruh aktivitas tubuh. Sistem ini memungkinkan Anda untuk
melakukan berbagai kegiatan, seperti berjalan, berbicara, menelan,
bernapas, serta semua aktivitas mental, termasuk berpikir, belajar, dan
mengingat.
BAB 3
LANDASAN-LANDASAN PENDIDIKAN

Pendidikan tidaklah terjadi pada ruang hampa melaikan berada


dan mengada pada ruang penuh, asa, rasa dan makna. Sehingga
pendidikan tidak bisa berjalan seenaknya, semaunya, sejalannya atau
sesukanya dengan tanpa landasar berpijak dan tumpuan bekerja.
Landasan pendidikan didasarkan pada asumsi-asumsi yang menjadi
pijakan, titik tolah, tumpuan, landasan dan dasar agar pendidikan berjalan
on the track. Beberapa landasar pendidikan yang dapat diuraikan dalam
tulisan ini sebagai berikut:
1. Landasan Spiritual. Manusia merupakan mahluk yang memiliki
hubungan tak teruraikan dengan Tuhan sebagai penciptanya.
Kebutuhan manusia akan hubungannya dengan Tuhan bersifat
alamiah (fitrah). Tak tergantikan dan tidak bisa dialihkan atau
ditukarkan dengan hubungan apapun. Kebutuhan akan koneksitasnya
dengan Tuhan sudah dibawa sejak lahir, menempel, embedded, gifted,
dimana informasi tentang Tuhan sudah berada dalam DNA manusia.
Manusia secara alamiah dan akaliah tidak bisa berpisah dengan Tuhan
sebagai pencipta, pemelihara, pembimbing dan pendidik yang
sesungguhnya. Ciri utama dari pendidikan yang mengedepankan
landasan spiritual antara lain: (a) Tarbiyah Ruhiyah yaitu pendidikan
yang mampu memurnikan segala hubungan manusia hanya dengan-
Nya dan meniadakan segala hubungan selain kepada-Nya, (b)
Tarbiyah Akliah yaitu pendidikan yang mengedepankan akal sehat
sebagai bagian dari syarat beragama (tidak ada agama bagi yang tidak
berakal), (c) Tarbiyah Akhlaqiah yaitu pendidikan yang
mengutamakan akhlak sebagai isi dari segala proses pendidikan, (d)
Tarbiyah Amaliah yaitu pendidikan yang melatih kegemaran beramal
sholih dan shohih, (e) Tarbiyah Ijtimaiah yaitu pendidikan yang
mengutamakan pembentukan karakter masyarakat yang sebagai basis
bagi pengembangan dakwah Islam yang menyeluruh.
2. Landasan Filosofis yaitu asumsi-asumsi yang bersumber dari filsafat
yang bisa dijadikan titik tolak dalam pendidikan. Asumsi itu
didasarkan pada hakekat manusia, tujuan hidup manusia berdasarkan
filsafat yang dianutnya. Tentu saja setiap filsafat memandang manusia
secara beragam berdasarkan asumsi-asumsi yang digunakan. Filsafat
Idealisme memandang bahwa manusia merupakan mahluk yang
memiliki pikiran yang kuat untuk menemukan kebenaran dibalik
realitas. Realitas itu tidak ada karena yang ada adalah pikiran atau ide
tentang yang ada. Sedangkan filsafat Realisme memandang bahwa
benda dan ruh yang merupakan dualisme. Manusia merupakan
perpaduan antara badan dan ruh. Sedangkan filsafat Islam
memandang manusia sebagi mahluk Tuhan yang hanya bisa berjalan,
makan, berpikir dan berbuat atas kekuasaan dan kekuatan Tuhan. Dari
cara pandang filsafat inilah sebuah arah, karakter dan tujuan
pendidikan ditentukan. Sudah jelas perbedaan akan muncul sebagai
kekayaan atas perbedaan cara berpikir filsafat.
3. Landasan Sosiologis yaitu karangka acuan atau asumsi yang
didasarkan pada prinsip-prinsip social dalam penerapan pendidikan
yang bertolak dari cara berinteraksi antara individu pada kehidupan
social yang saling memberikan timbal balik. Gaya interaksi social
berpengaruh besar terhadap pola interaksi dalam pendidikan. Pada
masyarakat yang feodal pola komunikasi dan interaksi guru-murid
terbangun atas hubungan sebagai atasan-bawahan, guru memegang
supremasi terhadap murid bukan hubungan interaksi yang sepadan,
sederajat dan resiprok (saling menguntungkan). Sekolah merupakan
miniature masyarakat yang paling akurat. Sekolah merupakan
duplikasi dari struktur masyarakat yang terlembagakan. Untuk
mendapat gambaran tentang gaya dan pola interaksi masyarakat, lihat
saja bagaimana corak, stile, dan gaya interaksi yang ada di
lingkungan dunia pendidikan.
4. Landasan Budaya yaitu acuan normative dari tradisi, norma, nilai,
etika, perilaku, sains dan teknologi yang bisa dijadikan rujukan dalam
mengisi pendidikan. Isi pendidikan tidak bertentangan dengan norma
budaya yang berkembang di tengah-tengah masyarakat bahkan
pendidikan hendaknya menjadi pengembang dari kebudayaan yang
ada di masyarakat. Kebudayaan dalam pengertian tradisi mungkin
saja ada yang bertentangan dengan nilai yang lebih tinggi seperti
agama atau falsafah kemanusiaan maka sikap pendidikan mengkritisi
dan memperbaiki, mungkin dengan cara memodifikasi atau
menciptakan budaya baru yang lebih berperadaban,
berperikemanusiaan dan tidak bertentangan dengan nilai-nilai
kemanusiaan universal.
5. Landasan Hukum yaitu aturan-aturan formal berupa undang-undang
dasar, perundang-undangan, peraturan pemerintah dan turunan aturan
berikutnya menjadi acuan dan rujukan dalam pelaksanaan pendidikan
sehingga pendidikan dapat mewujudkan warga Negara yang sadar
dan taat hukum. Salah satu bukti taat pada hukum adalah mengerti
dan melaksanakan hak dan kewajiban secara tepat dan benar.
Pendidikan memiliki andil dan peran yang sangat strategis untuk
membentuk warga Negara yang good citizenship, yakni warga Negara
yang baik, taat pada hukum dan mampu berperan secara positif
dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.
6. Landasan Psikologis, yaitu landasan yang memberi dan menawarkan
acuan, patokan dan rujukan mengenai pengetahuan, pengertian,
pemahaman dan penerimaan tentang keberadaan anak didik secara
psikologis sehingga pelaksanaan pendidikan tidak keluar dari koridor
kemanusiaan dalam setiap pase perkembangan anak didik. Kesalahan
asumsi psikologis terhadap anak didik bisa melahirkan atau
memunculkan tindakan pendidikan yang salah, misalkan; (a)
memperlakukan anak seperti orang dewasa, setiap anak dewasa dalam
fasenya masing-masing, (b) kekeliruan dalam menentukan dan
memberikan bahan ajar yang tidak sesuai dengan tingkat
perkembangan anak didik, (c) kesalahan dalam memilih dan
menentukan metode mengajar yang tidak sesuai dengan usia
perkembangan anak, (d) kesalahan dalam menentukan treatment
evaluasi pembelajaran yang tidak sesuai dengan tingkat kesiapan
belajar anak, (e) bisa saja terjadi kesalahan dalam memahami proses
berpikir anak sehingga salah memberikan perlakuan terhadap hakekat
dan karakteristik belajar, (6) dan seterusnya.
7. Landasan Sejarah yaitu pemahaman dan penggalian terhadap proses
terbentuknya suatu Negara melalui cerita, peristiwa dan histori
masing-masing dengan kejadian yang spesifik. Setiap Negara atau
bangsa adalah unik. Setiap keunikan tentu bukan sekedar berbeda
tetapi suatu perbedaan yang benar-benar membedakan, memisahkan
dan mengkhususkan. Indonesia dengan perjalanan sejarah yang begitu
panjang niscaya diketahui oleh generasi berikutnya, tidak peduli ada
pihak yang merasa tidak nyaman karena masa lalunya terusik atau
sengaja diusik untuk menciptakan nasionalisme. Penjajahan bangsa
Belanda yang begitu lama atau bangsa Inggris yang membuat miris
atau penjajahan Jepang yang membuat tegang dan penuh kekang,
disukai atau tidak oleh bangsa itu hari ini, bagi Indonesia adalah
sejarah yang tidak boleh dilupakan untuk dijadikan pelajaran.
Demikian pula peristiwa G30 SPKI yang membantai 7 jenderal tidak
bisa begitu saja dihapus dari pelajaran sejarah di sekolah karena itu
adalah sejarah yang harus mensejarah bagi generasi berikutnya.
8. Landasan Ekonomi yaitu setiap Negara memiliki pilihan mazhab
ekonomi masing-masing. Konsekwensi dari pilihan mazhab ekonomi
berpengaruh terhadap pertumbuhan dan perkembangan ekonomi
suatu bangsa. Pertumbuhan dan perkembangan dengan segala
iringannya menimbulkan ekses terhadap kesejahteraan atau
ketidaksejahteraan warganya. Oleh karena itu, mazhab ekonomi dan
segala kebijakan ekonomi hendaknya menjadi rujukan bagi
perancangan pendidikan yang mampu memajukan kesejahteraan
masyarakat melalui aktivitas akademik untuk mengkritisi,
mereformulasi dan mengartikulasikan konseptual kedalam
perencanaan tindakan pendidikan yang memampukan,
memberdayakan dan mensejahterakan.
9. Landasan Ilmiah dan Teknologi yaitu landasan yang memberikan
informasi, acuan dan rujukan tentang pola dan cara kerja ilmiah dan
teknologi yang bisa dijadikan sebuah metodologi berpikir dalam
pengajaran. Ira Sor dalam buku “Menjadi Guru Merdeka”,
menyebutkan bahwa kelemahan dunia pendidikan salah satunya tidak
menjadikan penelitian (cara berpikir ilmiah) sebagai metode
pembelajaran. Penerapan landasan Ilmiah dan Teknologi dalam
pendidikan itu sangat penting bahkan mendesak untuk dijadikan basic
value atau tatanan dasar pelaksanaan pendidikan sehingga dunia
pendidikan mampu menjadi pelopor dari segala inovasi dan inovasi
serta inovasi.
Landasan pendidikan memang bukan sesuatu yang harus
diucapkan atau dinarasikan oleh guru dalam mengajar tetapi merupakan
kekuatan batin yang mempengaruhi kepribadian profesi guru.
Karakteristik profesi guru yang berhasil menjadikan landasan-landasan
pendidikan sebagai kerangka berpikir, berperasan dan bertindak dapat
dilihat dari beberapa indicator berikut: (a) mengajar didasarkan pada
tanggung jawab ilahiah bukan hanya insaniah, (b) mengajar merupakan
penyiapan generasi masa depan yang harus disiapkan secara gigih dimasa
sekarang, (c) mengajar lahir sebagai panggilan hati demi bakti pada
negeri, (d) mengajar didasarkan pada kasih saying dan rasa kemanusiaan
yang hakiki, (e) mengajar bukan untuk membentuk kecerdasan pikiran
tapi mengembangkan totalitas kepribadian anak didik, (f) mengajar
senantiasa mengajarkan pengetahuan yang terbaru, (g) mengajar bukan
melatih anak didik mampu menjawab soal ujian tertulis tetapi soal ujian
hidup yang konstektual, (h) mengajar bukan untuk menghapal tetapi
untuk membangun tradisi belajar yang berkelanjutan, (i) dan seterusnya.
BAB 4
ASAS-ASAS PENDIDIKAN

Perlu mendapatkan stressing terlebih dahulu sebelum sampai pada


pembahasan tentang asas-asas pendidikan sebagai sebuah wacana atau
diskursus yang dapat membantu penerapan asas-asas pendidikan pada
konteks yang tepat. Mengapa kita sebelum melakukan proses pendidikan
perlu memahami asas-asas pendidikan terlebih dahulu? Jawabannya, (a)
kita mendidik manusia tidak bisa digeneralisasi atau diperlakukan secara
sama, (b) manusia sebeda apapun pada kenyataannya memiliki hukum-
hukum kesamaan, (c) kesamaan dalam memperlakukan memungkinakan
sebuah proses pendidikan bisa dilakukan dalam waktu yang bersamaan,
(d) pemahaman atas perbedaan individual memungkinkan bisa
menyajikan menu pembelajaran lebih pada layanan individual.
Pendidikan dengan pemahaman pada prinsip-prinsip keragaman
dan keseragaman insani dan itulah kenyataannya manusia yang
sebenarnya, meniscayakan pelaksanaan pendidikan didasarkan atas
prinsif-prinsif alamiah dan ilmiah tentang hakekat kodrati dan mazaji
manusia untuk menghindari kekeliruan perlakuan pendidikan pada anak
didik. Karena itu, yang dimaksud dengan asas-asas pendidikan
merupakan prinsif-prinsif pokok yang harus dipedomani atau menjadi
pegangan dalam melaksanakan pendidikan agar mencapai tujuan secara
cepat, tepat dan akurat. Asas-asas pendidikan bisa saja berkembang sesuai
dengan asumsi-asumsi yang terbaru tentang manusia. Asumsi-asumsi itu
bisa muncul dari: (a) cara pandang keilmuan yang dipakai sebagai pisau
analisis terhadap hakekat manusia, (b) asumsi yang mendasar terhadap
asal- muasal manusia dan akhir dari kehidupan manusia, dari mana dan
mau kemana, (c) asumsi atas tugas utama manusia dan pemberi tugas
utama manusia, (d) asumsi atas tugas masa depan manusia, (e) dan
seterusnya.
Ada beberapa asas pokok atau prinsif-prinsif mendasar yang bisa
dipedomani, dijadikan rujukan, ditempatkan sebagai bingkai atau
diletakkan sebagai koridor utama pelaksanaan pendidikan, antara lain:
1. Asas Pertumbuhan dan Perkembangan. Pertumbuhan manusia
secara fisik menjalani hukum keseragaman dalam keragaman.
Keseragaman dalam pengertian adanya hukum-hukum umum tentang
pertumbuhan yang bisa digenaralisasi atau bisa dijadikan teori umum.
Anak bisa belajar berdiri rata-rata pada usia 12 bulan tapi ada juga
yang lebih cepat 2 bulan atau lebih lambat 2 bulan. Demikian juga
hokum perkembangan mengalami dan menjalani keseragaman dan
keragaman yang unik. Keseragaman sebagai keragaman adalah
hokum yang berjalan sebagai pada umumnya untuk pada khususnya.
Manusia 50% perkembangannya sama dan 50% lagi masing-masing
berbeda. Pendidikan seyogianya mampu melayani kesamaan dan
segaligus memberi service kekhususan. Karena itu meski pendidikan
dilakukan secara klasikal tetap ada bagian-bagian tertentu yang
bersifat personal, hakekat pendidikan adalah classical for individual.
2. Asas Humanisasi. Pendidikan adalah dari manusia, untuk manusia,
bagi manusia dan merupakan proses pemanusiaan. Proses pendidikan
tidak dibenarkan mengalami dehumanisasi. Karena prinsip
pemanusiaan berlandaskan pada hal-hal berikut: (a) manusia mahluk
yang punya jati diri, terlalu murah untuk disederhankan, (b) manusia
memiliki dignity, kehormatan dan kemuliaan hidup, (c) manusia
memiliki hak yang sama dihadapan Tuhan, pemilih hokum hanya
Tuhan, manusia menghukum hanya boleh atas nama Tuhan, (d)
manusia berubah dalam kerumitan dan kompleksitas yang tinggi,
tentu tidak terlalu elok untuk disimplifikasi, (e) manusia memiliki
harapan yang bersifat personal yang tidak bisa dikocok, dokocak dan
dikoyak oleh siapapun.
3. Asas Pendidikan Sepanjang Hayat. Pendidikan bukan proses yang
instan, apalagi yang berkaitan dengan aspek afektif (karakter). Proses
pembiasaanya membutuhkan pengulangan bisa sampai 27.000 kali
sampai terbentuk karakter. Untuk hal yang menyangkut pengetahuan
atau keterampilan dimungkinkan bisa dilatih dengan cepat, karena
sifatnya aspek luar kepribadian. Tetapi aspek afektif menyangkut
bagian dalam dari diri perlu pembentukan, perawatan dan
pemeliharaan yang berkelanjutan. Pendidikan perlu dilakukan
sepanjang kehidupan karena pendidikan adalah isi dan esensi
kehidupan. Tanpa pendidikan seseorang hanya akan mempercantik
atau bersolek wajah luar dan tanpa perawatan wajah dalam dari dalam
untuk yang paling dalam yaitu jiwa.
4. Asas Keteladanan. Pendidikan merupakan proses pengembangan
kehidupan yang sebagian besar ditransfer dan diperoleh melalui
duplikasi, imitasi, peniruan, pemodelan dan pencontohan dari apa
yang didengar, diraba, dirasa, dilihat, diamati, diteliti, dipikirkan,
dipersepsikan, diasumsikan dan sekaligus dimentalkan baik disadari
maupun tidak, disengaja atau tidak disengaja. Dalam pendidikan 100
perintah lebih tidak berharga dibangdingkan satu contoh. 1 contoh
lebih baik dari pada 1000 perintah. Karena itu prinsif pendidikan
adalah apa yang diyakini, dialami atau dijalankan dan diamalkan
secara berkesinambungan. Perintah itu penting tetapi teledan lebih
penting. Teladan itu penting tetapi menjadi teladan itu lebih penting.
Menjadi teladan itu penting tetapi diteladani jauh lebih penting. Dan
yang lebih penting bagi guru adalah mampu menjadikan anak
didiknya menjadi teladan bagi yang lainnya.
5. Asas Tripusat Pendidikan. Pendidikan itu bukan hanya di ruangan
tetapi di ruang. Artinya pada cakup dan lingkup kehidupan yang
sangat luas. Keluarga adalah sekolah dan sekolahpun adalah keluarga.
Sekolah dan rumah adalah tempat pendidikan untuk mendidik anak-
anak agar menjadi orang yang terdidik dengan baik. Selain keluarga
dan masyarakat yang perannya sangat strategis adalah pemerintah.
Jadi pendidikan itu merupakan tanggung jawab orangtua, masyarakat
dan pemerintah. Ketiga-tiganya mesti berjalan secara beriringan,
simultan dan terintegrasi. Pada masa anak-anak peran dan pengaruh
keluarga sangatlah menentukan, terutama berkaitan dengan
pembentukan moralitas, akhlak, integritas dan kepribadiannya.
Pemerintah hadir dengan segala regulasi dan pembiayaan untuk
memastikan setiap anak mengenyam pendidikan secara merata dan
merasa.
6. Asas Demokrasi. Manusia pada prinsifnya merupakan mahluk yang
memiliki kebebasan, kedaulatan dan kemerdekaan secara independen.
Tidak ada rumus penguasaan atas seseorang terhadap orang lain.
Karena interaksi yang satu dengan yang lain hanyalah hubungan
interindependensi, yaitu kemandirian yang saling membutuhkan,
kebergantungan yang saling memandirikan. Pendek kata manusia itu
otonom dan memiliki otonomi yang hakiki. Pendidikan bukanlah
proses penyeragaman tetapi proses penyegaran akan hak-hak pribadi
dihadapan, menghadapi dan berhadapan dengan publik bahkan
dipublikasikan di ruang publik. Pendidikan hendahknya melatih
kemerdekaan untuk menyatakan hak dirinya sendiri, hak menyatakan
pendapat dan menanyakan pendapatan, hak melantunkan suara dan
menyuarakan lantunan. Pendidikan bukan untuk menyeragamkan
pikiran tetapi untuk dapat menemukan pikirinnya sendiri dan mampu
meletakannya dalam kepentingan dirinya sendiri dan orng lain. Apa
ciri-ciri pendidikan yang dimokratis? Jawabanya, (a) guru
menghargai setiap perbedaan pendapat antar dirinya dengan siswa
serta antara siswa dengan siswa lainnya, (b) penentuan nilai tidak
bersifat menghukum atau menghakimi, (c) pendidikan bertujuan
untuk mendapat nilai hidup dan bukan nilai angka, (d) menegur siswa
tidak melihat kesalahanya tetapi melihat perasaanya, (e) setiap anak
dihargai ranking pertama atas pengakuan terhadap kelebihan masing-
masing, (e) guru bukan satu-satunya orang terhebat di kelas tetapi
guru orang yang bisa membuat hebat siswanya, (f) setiap anak boleh
menentukan pilihan mata pelajaran berdasarkan peminatannya, (g)
dan seterusnya.
7. Asas Globalisasi. Pendidikan ada di lokasi tetapi hadir untuk
globalisasi. Pendidikan dimanapun tempatnya (kampung atau kota)
bukanlah geografisnya yang penting tetapi kesadaran untuk go-global.
Hari ini kita hidup dalam desa dunia yang bukan lagi berpikir
lingkungan sekitar tetapi lingkungan sealtar, sejagat, semakrokosmik
dan bahkan seakhirat. Pendidikan tidak lagi disiapkan untuk mereka
tinggal di kota atau di desa tetapi hidup di dunia (think and act
globaly bukan think globaly act localy). Bagaimana pendidikan yang
menganut asas globali? Cirinya antara lain: (a) mengajarkan spirit
kehidupan global dan bukan local, (b) mempersiapkan anak didik
untuk hidup nanti bukan hari ini, (c) mengajarakan persaingan-
kolaboratif bukan persaingan kalah-menang, (d) mengajarkan materi
bahan ajar yang ter-up date setiap saat, (e) memastikan setiap anak
untuk menjadi lulusan luar negeri (setara dengan lulusan sekolah
terbaik luar negeri), (f) mampu memanfaatkan teknologi bagi
kehidupan global, (g) tidak merasa terluka dengan perubahan
kemajuan sains dan teknologi yang terjadi setiap hari (responsif dan
respektif terhadap setiap kemajuan), (h) dan seterusnya.
8. Asas Moralisasi. Setiap insan sudah dianugrahi kecenderungan pada
kebaikan yang kadarnya lebih kuat dibandingkan kecenderungan pada
keburukan. Manusia itu mahluk yang terbaik bukan terbalik, mahluk
mulia bukan durjana, mahluk yang elok bukan yang olok, mahluk
yang ramah bukan yang marah, mahluk yang amanat bukan khianat,
mahluk yang sejahtera bukan sengsara dan seterusnya. Peran kuat
pendidikan melakukan penguatan bagi pengukuhan moral sebagai jati
diri agar berhasil mencapai tingkatan moral tertinggi. Menurut
Thomas Lickona dalam Ratna Megawangi (2004:132) mereka yang
sampai pada moral tertinggi adalah mereka yang dapat
mempertahankan prinsip-prinsip moral yang menghargai hak azasi
manusia walaupun harus berseberangan dengan system social yang
buruk.
BAB 5
KOMPONEN-KOMPONEN PENDIDIKAN

Pendidikan bukanlah peristiwa tunggal yang mengantarkan suatu


kejadian dan bukan pula sebuah kejadian yang lahirkan suatu peristiwa.
Pendidikan terjadi karena banyaknya keterlibatan pulti polar yang
menyatu dan menyatukan kesatuan komponen menjadi satu tindakan
yang terintegrasi. Peristiwa pendidikan adalah peristiwa tanggal (waktu)
dan tinggal (tempat) yang diorkestra melalui rekayasa insani atas segala
komponen yang tali-temali agar bisa saling mengikat dan mengikatkan
koreksitas dan koneksitas, baik komponen biotik maupun abiotik, pasif
dan aktif, diterminan maupun dominan sehingga menjadi peristiwa yang
berdaya dan bermakna.
Berbagai komponen pendidikan agar bisa berkerja secara optimal
dan maksimal perlu diintegrasikan dan disinergikan sehingga berjalan
menjadi sebuah system yang bisa mencapai tujuan dengan cepat dan
tepat. Menurut Cambell (1979:3), yang dimasud dengan system adalah, “
a system as any group of irrelated componens or part wich function
togethers to achieve a goal”. Artinya system adalah sekumpulan
komponen atau bagian-bagian yang saling berkaitan satu sama yang lain
yang berfungsi untuk mencapai tujuan. Demikian pula menurut Elias M.
Award (1979:4), “system …can defined as an organized group of
components (subsystem) linked togather according to a plan to achieve a
specific objective”. Sistem adalah sekumpulan komponen-komponen atau
subsistem yang terorganisir satu sama lain sesuai rencana untuk mencapai
suatu tujuan. Jadi komponen-komponen pendidikan itu merupakan
sebuah sitem yang saling melengkapi dan menggenapkan agar tujaun
pendidikan bisa dicapai dengan baik, atas usaha yang baik dan berfungsi
untuk kebaikan.
Menurut PH. Coombs (1968) ada 12 komponen pendidikan,
yakni:

1. Tujuan dan prioritas. Tujuan menjadi dominan faktor yang bisa


menentukan arah dan kebijakan suatu perencanaan, pelakasanaan dan
pengawasan pendidikan. Tanpa tujuan seseorang tidak akan bisa
melakukan kegiatan yang terarah, bertujuan dan terukur dengan baik.
Tujuan merupakan titik awal dan titik akhir dari suatu proses. Suatu
proses tanpa tujuan pasti aka nada progress. Karena tanpa progres
maka selamanya juga tidak akan beres bahkan akan terus diprotes
meski tidak diproses. Itulah kekuatan real dari adanya tujuan.
2. Peserta didik. Meski sudah menentukan tujuan yang begitu jelas dan
terukur, tidaklah berarti kalo tidak ada siswanya. Karena penetapan
tujaun dalam pendidikan merupakan tujuan yang harus dicapai anak
didik melalui berbagai upaya metodologis dan teknologis dari
optimalisasi peran orang dewasa atau guru.
3. Manajemen. Ketika komponen pendidikan itu sudah ada dan bahkan
sudah berjalan, tidaklah akan ideal perjalannya bila tidak ada yang
mengelola, menggerakan dan pengawasi pelaksanaanya dengan
seksama.
4. Struktur dan jadwal waktu. Ketika perencanaan pendidikan sudah
ditetapkan tetapi tidak memiliki struktur dan waktu maka sulit untuk
bisa dijalankan. Karena sebuah proses sejatinya merupakan sebuah
cara kerja dalam ukuran tertentu dan batas waktu tertentu pula.
5. Isi dan materi. Pendidikan tanpa isi atau materi akan mengalami
kehampaan dan kehilangan subtansi. Cangkang tanpa isi. Atau isi
tanpa energi atau makanan tanpa nutrisi. Isi dalam pendidikan
merupakan esensi yang akan diajarkan kepada anak didik untuk
menstimulasi potensi-potensi insani berkembangan dengan
proporsional dan optimal.
6. Guru atau pelaksana. Ada bahan, ada isi tetapi tidak ada yang
melaksanakan atau mengajarkan maka pesan kebenarannya tidak akan
tersampaikan. Guru memiliki peran untuk mentransformasikan nilai
dan sekaligus menghasilkan nilai-nilai baru dari kontekstualisasi
bahan ajar.
7. Alat dan sumber belajar. Bahan yang akan disapai sudah tersedia,
yang menyampaikan sudah siap, jadwal sudah ready, struktur sudah
jadi tetapi jika tidak akan ada alat atau alatnya terbatas maka seluruh
tindakan pendidikan dan pengajaran sulit bisa efektif apalagi
produktif.
8. Fasilitas. Segalanya sudah siap tetapi tidak ada fasilitas maka tidak
akan bisa terselenggara dengan optimal. Fasilitas dalam komponen
pendidikan bagian yang sama sekali tidak bisa diabaikan. Sebab
fasilitas merupakan kebutuhan pokok dari keseluruhan komponen
pendidika. Seseorang yang ingin olahraga dengan kostum yang
cantik, keterampilan bermain super hebat, penonton sudah ada, wasit
ahli sudah datang dan aturan sudah disepakati tetapi sayang belum
ada lapangan olah raganya. Maka penonton, pemain dan wasitpun
bubar.
9. Teknologi. Bahan ajar yang sudah disiapkan, metode telah dirancang,
guru selesai ditrainig dan fasilitas ada tetapi manakala teknologi
untuk suatu aktivitas yang membutuhkan teknologi tetapi teknologi
tidak ada maka kulitas kegiatanpun akan hanya apa ada.
10. Pengawasan mutu. Perencanaan sudah dibuat, pelaksanaan sudah
dilakukan tetapi tidak ada pengawasan maka ancaman kegiatan asal
jadi, asal laksana dan asal-asalan akan menjadi kenyataan. Jadi suatu
kegiatan meski sudah dikatkan suatu tanggung jawab tetap saja
membuthkan pengawasan untuk memastikan pelaksnaanya berjalan
sesuai rencana, pelaksananya memuaskan dan tujuan tercapai secara
sempurna.
11. Penelitian. Meski semua poin sudah dilakukan dari poin 1-10
belumlah menjamin suatu kualitas akan tercapai, sebab apa yang
tampil ke permukaan, apa yang dilakukan, setajam apapun yang dapat
dilihat oleh pengawas belum tentu mampu mengungkapkan
kebenaran yang sesungguhnya. Karena itu butuh penggalian,
pendalaman dan pembuktian melalui penelitian.
12. Biaya pendidikan. Seandainya semua sudah disiapkan dalam ukuran
yang terbaik, kadar yang paling ideal dan rancangan yang paling
sempurna dan pengawasan yang super ketat namun bila biaya tidak
ada maka semuanya hanya akan menjadi fatamorgana saja.
BAB 6
UNSUR-UNSUR DALAM PENDIDIKAN

Unsur-unsur pendidikan merupakan bagian-bagian yang terlibat


dan saling menentukan untuk berlangsungnya proses pendidikan. Setiap
unsur memiliki peran yang khas dan punya keterkaitan fungsional dengan
unsur yang lainnya. Tidak ada unsur yang paling utama karena semua
unsur saling membutuhkan dan saling menentukan. Pada saat pendidikan
dijalankan maka semua unsur bekerja dalam sebuah system pembelajaran
yang saling melengkapi dan menggenapkan. Unsur-unsur dalam
pendidikan meliputi:
1. Unsur Tujuan. Tujuan merupakan penentu arah yang menetapkan
titik start dan batas akhir finish. Tujuan menjadi batas mana yang
boleh dan mana yang tidak boleh dilakukan. Tindakan mana yang
punya daya dukung langsung terhadap tujuan atau tindakan hanya
sebatas tipuan. Metode macam apa yang mampu mengantarkan
pencapaian tujuan dengan cepat atau lambat. Jadi dengan tujuan yang
jelas dan tegas suatu kegiatan bisa dilakukan dengan tepat dan benar.
Sebuah tujuan harus memenuhi syarat SMART: (S) Specifik
(khusus), tujuan pembelajaran tidak boleh bertujuan ganda, absur atau
terlalu luas, (M) Measurable (terukur), tujuan belajar harus bisa
diukur dengan jelas, (A) Achievement (dapat dicapai), tujuan
pembelajaran harus dapat dicapai dengan jelas, (R) Reasonable
(masuk akal), tujuan harus masuk akal, rasional, logis, (T) Time limit
(berbatas waktu), tujuan harus berbatas waktu pencapaiannya.
2. Unsur Peserta Didik. Peserta didik merupakan subjek pembelajaran
yang menentukan tujuan, arah dan cara pencapaianya. Peserta didik
bukan objek tetapi subjek pelaku aktif pembelajaran sedangkang
unsur yang lain merupakan penunjang bagi subjek agar mencapai
tujuan dengan tepat. Peserta didik sebagai subjek harus memenuhi
syarat STUDENT: (S) Subject (siswa sebagai subjek, pelaku aktif
utama dalam pembelajaran), (T) Trendy (anak didik meski bergaya
maju dan modern, mengedepan, berpikir hari esok), (U) Unussualy
(menjadi luar biasa, bertekad berada di atas rata-rata, bukan siswa
biasa tetapi siswa yang luar biasa), (D) Dependable (dapat diandalkan
untuk mencapai prestasi belajar dan belajar prestasi dengan
memuaskan), (E) Energyzing (memberi energy baru setiap waktu,
mampu mempertahankan semangat yang luar biasa), (N) New
Personality (setiap siswa hendaknya mapu menjadi dirinya sendiri
melaui proses pembalajarn yang dijalaninya, (T) Time limit (setiap
siswa hendaknya mampu menentukan batas waktu belajar dengan
tepat agar belajar menjadi efektif dan produktif).
3. Unsur Pendidik. Guru merupakan seorang professional yang
mendapat mandate untuk mendidik, mengajar, melatih siswa menuju
jalan hidup yang benar dan cepat bagi masa depan yang lebih baik.
Guru sekurang-kurangnya memiliki karakter GURU, (G) memiliki
Gagasan yang luas dan dalam, guru wajib menjadi pembelajar
berkelanjutan, (U) memilik Upaya/Usaha yang gigih untuk mendidik
dengan telaten, (R) memiliki Rasa Kasih sayang terhadap setiap anak
didiknya tanpa batas waktu, tempat dan suasana, (U) mampu menjadi
Uswatun Hasanah, contoh, teladan, dan model dalam segala sisi dan
dimensi kehidupan. Guru dalam bahasa Inggris TEACHER,
hendaknya memiliki nilai-nilai denotative yang mencerminkan
character of teacher, yakni: (T) Talent yaitu memiliki wawasan,
pemahaman dan kemampuan yang luas dan dalam khususnya pada
bidang keahliannya, baik yang explicit maupun tacit, (E) Enjoy yaitu
mampu bersikap enjoy, friendly, humanis, penuh persahabatan,
mengayomi dan berpengharapan, (A) Able yaitu memiliki kecakapan
atau keterampilan yang hebat untuk melakukan sesuatu tindakan
cekatan, (C) Consciousness yaitu memiliki kesadaran metafisika
untuk memahami perasaan anak didik, tidak hanya melihat kesalahan
anak tetapi mampu melihat perasaan anak didik, tidak hanya
mengukur apa yang sudah dicapai tetapi mengukur apa yang
memungkinkan bisa dicapai, (H) Habit yaitu memiliki kebiasaan
baik (good habit) yang bisa diteladani, dicontoh, ditiru oleh anak
didik. Beban terberat dari tugas guru bukan mengajar tetapi menjadi
teladan yang baik, (E) Egaliter yaitu sikap mendudukan diri secara
sama dihadapan siswa, tidak feodal yakni sikap merasa paling
superior dan anak didik imperior, merasa paling benar dan tidak suka
dikritik, merasa pendapatnya paling benar dan (T) Treat yaitu
memiliki kekayaan metode dan strategi mengajar yang sesuai dengan
keadaan psikologis anak didik.
4. Unsur Interaksi. Pola komunikasi yang dibangun oleh dua pihak
atau lebih untuk menyampaikan pesan yang bisa saling
mempengaruhi antara pihak yang satu dengan yang lainnya. Interaksi
dalam pendidikan merupakan proses yang terjadi karena adanya
adanya ITIL, yakni: (a) Intructing (pengajaran yang dilakukan dua
belah pihak), (b) Teaching (kegiatan mengajar yang dilakukan guru),
(c) Informating (adanya massage, konten, materi, isi dari pesan yang
disampaikan) dan (d) Learning (kegiatan belajar yang dilakukan oleh
sisiwa).
5. Unsur Alat dan Metode. Proses pengajaran membutuhkan alat dan
metode untuk mempermudah penyampaian pesan. Alat dan metode
merupakan hardware dan software dalam kegiatan pembelajaran.
Tanpa teknologi (Hardware and Software technology) pembelajaran
akan mengalami kendali teknik yang bisa menganggu efisiensi
kegiatan belajar mengajar. Teknologi yang modern dalam
pembelajaran dangat membantu pencapaian tujuan pembelajaran.
Karena itu, kehadiran teknologi dalam pembelajaran dapat
meningkatkan VALUES: (V) Valence yaitu menambah kekuatan,
kemampuan dan kapasitas proses pembelajaran menjadi lebih berhasil
guna, (A) Accurate yaitu menampilkan media menjadi begitu akurat,
sesuai dengan aslinya, (L) Long Memory yaitu mampu menyimpan
dan meninggalkan kesan yang lama dalam pikiran karena bisa
memadukan gaya belajar visual, auditorial dan kinestetik, (U) Up date
yaitu mampu dan mudah meng-up data, informasi, pengetahuan, ilmu
dan penemuan-penemuan teknologi dihadirkan di kelas secara live,
(E) Ease, yaitu mudah untuk melakukan proses belajar dengan
menggunakan berbagai fasilitas pembelajaran online, (S) Speed yaitu
bisa melakukan tindakan pembelajaran dengan system layanan cepat
dan jangkauan luas.
6. Unsur Lingkungan. Lingkungan merupakan keadaan dimana proses
pembelajaran dilakukan. Lingkungan bisa memberi dampak positif
maupun negatif terhadap pembelajaran. Lingkungan dengan keadaan
yang terlalu ramai dari tempat kegiatan seperti pasar atau terminal,
dipadang kurang menunjang terhadap kualitas pembelajaran.
Lingkungan yang baik untuk pembelajaran mencirikan indikator
EDUCATIVE: (E) Entertainment, apapun lingkungan yang bisa
digunakan untuk pendidikan memberikan nuansa keceriaan,
kesenangan, dan kebahagiaan sehingga anak didik merasa senang dan
nyaman berada di sekolah, (D) Demonstrable, yaitu lingkungan yang
dapat mengapresiasi dan merecognisi setiap prestasi anak didik
sekecil apapun, (U) Upgrade capacity, yaitu lingkungan aktif yang
menantang setiap siswa untuk meningkatkan kapasitas diri secara
optimal, (C) Creatively yaitu lingkungan yang menghargai lahirnya
berbagai kreativitas siswa, (A) Accelaration yaitu lingkungan yang
dapat mempercepat pembelajaran untuk mencapai kesuksesan, (T)
Taxonomic yaitu lingkungan yang bisa memilah-milih baik dan
buruk, benar dan salah, hak dan batil dan berani menjauhi lingkungan
yang membawa keburukan, (I) Increase yaitu lingkungan yang dapat
meningkatkan keterpaduan manusia dengan alam hayati sebagai
penghuni jagat raya yang saling kebergantungan sistemik, (V) Variant
artinya sebuah lingkungan social atau hayati yang memberikan
banyak pilihan untuk mengembangkan bakat dan minta setiap siswa,
(E) Early yaitu keadaan lingkungan yang bisa mempengaruhi sikap
responsive terhadap setiap perkembangan dan kemajuan ilmu
pengetahuan.
Dengan demikian jelas dan menyakinkan bahwa keberhasilan
pendidikan dipengaruhi pula oleh daya dukung lingkungan (dekat-jauh),
hayati atau insani, social dan spiritual, kulturan dan economical dan
seterusnya karena pendidikan tidak mungkin berjalan dalam lingkungan
hampa atau kosong. Setidak-tidaknya lingkungan yang nol atau netral
sehingga lingkungan pendidikan tidak terkontaminasi oleh keburukan
yang ada di lingkungan itu sendiri. Untuk pendidikan diperlukan hadirnya
lingkungan yang bersih, sehat, edukatif, dan religius sehingga anak didik
sadar atau tidak, sengaja atau tidak, terasa atau tidak terasa, diharapkan
atau tidak diharapkan terjadi duplikasi dan reduplikasi, imitasi dan
reimitasi, repetisi, iterasi, tautology, kristalisasi dan rekristalisasi dan
personalisasi.
BAB 7
TRIPUSAT PENDIDIKAN

Pendidikan sebenarnya bukan tempat tetapi menempatkan. Karena


menempatkan maka dimanapun bisa terjadi proses pendidikan. Sekolah
itu bukan sebagai tempat belajar tetapi menempatkan belajar di sekolah.
Sebagai tempat yang ditempati belajar maka sekolah sebagai lingkungan
fisik tidaklah terlalu besar dampaknya bila tidak dibarengi dengan
kehadiran suasana, iklim atau kondisi yang menyebabkan kenyamanan
belajar. Kenyamanan belajar bukan semata-mata terlahir dari empat
dinding yang membuat ruangan tetapi empat dinding yang membentuk
ruang. Ruang adalah space yang tanpa batas fisik atau geografis dan ia
senantiasa hadir ketika ketidak-terbatasan belajar menjadi tindakan
belajar. Anak didik hadir di ruangan kelas tetapi pikirannya berkelana dan
berpetualang di ruang tanpa kelas yang berkelas. Kelas luar dan luas
tanpa batas apalagi membatasi. Jadi belajar itu tidak terjadi di ruangan
sekolah, rumah atau masyarakat tetapi di ruang sekolah, di ruang rumah
dan di ruang masyarakat.
Apa yang terpenting dilakukan terhadap konsep tripusat
pendidikan sebagai konsep sejarah pendidikan Indonesia, kini konsep itu
perlu redefinisi sesuai dengan kemajuan teknologi digital. Dahulu
sekolah, rumah dan masyarakat menjadi simbol ilmu dimana
transpormasi pengetahuan terjadi. Namun kini pusat pembelajaran
beralih ke teknologi sebagai perpustakaan mobil yang bisa diakses
dimana, kapan dan siapa saja tentang apa saja. Keadaan seperti ini
menawarkan pembelajaran sebagai pilihan yang bersifat personal dan
bahkan dipersonalisasikan. Ke depan sekolah yang berbasis kampus akan
tiada dan beralih ke kampus digital. Sekolah akan bubar, rumah akan
runtuh dan masyarakat akan tereliminasi peran-peran edukasinya oleh
teknologi digital dan virtual. Pembelajar manual atau luring akan
ditinggalkan karena tidak lagi sesuai dengan karakteristik generasi
teknologi 4.0. yang sudah melek dan melak, dan meluk teknologi.
Di ara awal Indonesia meredeka sampai tahun 90-an pendidikan
berpusat pada sentra-sentra pendidikan utama. Rumah sebagai tempat
belajar yang:
1. Pertama, karena anak sejak lahir berada pada genggaman kedua
orangtuanya. Sejak anak dilahirkan dengan didengarkan suara adzan
dan iqomah menandakan pendidikan yang pertama berhasil direkam
oleh telingan anak yaitu pendidikan tauhid. Ajaran ini menandai
bahwa telinga merupakan organ yang paling awal berfungsi dan
sekaligus juga yang paling akhir dengan adanya perintah talqiin (baca
kalimat tauhid) saat akan menjelang sakaratul maut.
2. Utama, anak belajar tentang kehidupan yang paling utama yaitu
mendapatkan asuhan orangtua sebagai jaminan keberlangsungan
kehidupan. Mereka belajar banyak hal dan segala hal tentang
kehidupan masa awal sampai dewasa berada di rumah atau keluarga.
3. Pokok, anak mendapatkan pendidikan tentang hal yang paling pokok
yakni etika, tauhid, peribadatan, kejujuran, sopan-santun, budi
pekerta, sikap mental, baca qur’an sebagai ajaran paling pokok dari
segala materi atau pengetahuan berikutnya.
4. Urgen, anak bersama orangtua belajar beradaptasi dengan lingkungan
alam, social, psikologi, budaya, dan agama dalam lingkup keluarga.
Semua itu sebagai bekal untuk dapat beradaptasi dengan lingkungan
yang lebih besar yaitu lingkungan sosial.
5. Dasar, anak belajar tentang keterampilan dasar seperti belajar cara
minum, makan, berpakaian, bersepatu, mandi, tidur yang benar,
bermain yang benar, berbahasa, mengekpresikan rasa senang, kesal,
kecewa, marah, bahagia dan seterusnya.
Bila anak hidup dalam keluarga kecil yang hanya terdiri atas ayah
dan ibu, maka kedua orangtuanya merupakan guru yang pertama dan
utama. Sedangkan bila merupakan keluarga besar (ayah, ibu, nenek, kaki,
kakak, bibi dan seterusnya) maka anak akan lebih banyak mendapatkan
pola asuh atau didik dari berbagai pihak yang sudah tentu kepribadian
masing-masing berbeda, maka guru kehidupan anak semakin banyak dan
kaya.
Tripusat pendidikan yang kedua yaitu sekolah. sekolah
merupakan sebuah tempat bagi anak untuk melakukan dan mengalami
hal-hal berikut:
1. Sekolah sebagai laboratorium Psikologi. Anak akan belajar bergaul
dengan teman-temannya terlepas dari kehadiran orangtunya. Keadaan
seperti menguntungkan karena: (a) anak bisa belajar bergaul dengan
samasa, (b) anak bisa lebih dewasa, (c) anak bisa lebih empatik pada
sesama, (d) anak mulai tumbuh kepercayaan pada guru sebaga
pengganti orangtuanya, (e) anak dapat belajar lebih mandiri.
2. Sekolah sebagai laboratorium sosial. Anak dapat belajar berinteraksi
dengan mempertimbangkan daya terima dari orang lain. Ia belajar
bagaimana bergaul dengan mendapat simpati sesama teman,
pergaulannya diterima atau ditolak dan makin paham pola interaksi
yang bisa saling membangun. Sekolah lebih bisa berperan sebagai
laboratorium sosialisasi diri, bergaul dengan baik dan bergaul dengan
empatik.
3. Sekolah sebagai laboratorium kepemimpinan. Sekolah bukan semata-
mata tempat belajar kumpulan mata pelajaran yang menumpuk
dengan jumlah PR yang banyak tetapi sebenarnya lebih berperan
sebagai laboratorium kepemimpinan. Anak dilatih bertanggung jawab
terhadap kebersihan dengan pembagian tugas masing-masing, bertalih
menjadi KM (ketua murid) untuk bertanggung jawab mempimpin
kawan-kawannya, menjemput guru untuk mengajar, memeriksa kuku
dan kebersihan kawan lainnya, mengumpulkan PR dan
menyerahkannya kepada guru dan sederet perlakukan lain yang bisa
menumbuhkan sikap kepemimpinan.
4. Sekolah sebagai laboratorium akademik. Belajar tentang mata
pelajaran selama ini merupakan tugas konvensional guru. Tugas ini
sudah jalan meski belum berhasil menumbuhkan sikap mental gemar
belajar yang ditandai: (a) gemar membaca, (b) gemar belajar, (c)
gemar bereksperimen, (d) gemar belanja buku, (e) gemar
mengunjungi perpustakaan, (f) gemar membuka web ruang guru, (g)
gemar ikut bimbingan belajar, private dll., (h) punya obsesi memiliki
prestasi belajar atau belajar prestasi.
5. Sekolah sebagai laboratorium berbahasa santun. Ucapan yang jorok,
kasar dan tak senonoh sudah bukan rahasia lagi dikalangan anak
pelajar. Hal ini terjadi kerana sekolah tidak lagi berfungsi sebagai
laboratorium berbahasa santun melalui: (a) keteladan guru, (b)
menerapkan reward dan fanishment dalam berbahasa, (c)
menciptakan ruang, permainan dengan menggunakan bahasa sebagi
alat reward dan fanisment, misalkan: volley ball berbahasa santun,
kalau ada anak yang lupa mengucapkan bahasa kasar maka pindah
bola, atau kurangi poin dan seterusnya, (d) menetapkan hari
berbahasa santun, (e) berlatih mengarang dengan judul berkaiatan
dengan penggunaan bahasa santun, (f) dilatih mengekspresikan
perasaan bila dipanggil dengan bahasa yang kasar dan seterusnya.
6. Sekolah sebagai laboratorium kehidupan. Begitu banyak anak-anak
yang tidak mau melanjutkan sekolah ke jenjang SLTP, SLTA atau
putus sekolah. Hal ini diduga karena mereka tidak menemukan
sebuah mimpi dalam kehidupan sehari-hari. Keluarga tidak memberi
harapan untuk hidup lebih baik dan sekolah tidak membukakan
pikiran dengan harapan masa depan yang lebih sukses. Mereka lebih
banyak diajak, disuruh, ditekan harus melanjutkan. Tetapi mereka
sangat jarang mendapatkan tontonan yang menyebabkan pikiran, hati
dan harapannya makin bertumbuh dengan impian. Mereka menjadi
tipe anak yang ngotot dengan impiannya, apapun keadaan hari ini.
Untuk memahami keadaan seperti ini sekolah bisa memainkan peran:
(a) menghadirkan tokoh-tokoh kebanggaan anak yang sukses, yang
bercerita hidup sukses dan rekayasa dia supa berbagi sesuatu
langsung pada anak-anak, (b) mencari bapak angkat yang bisa
membawa anak 2-3 orang makan ke rumah makan sambil bercerita
tentang kesuksesan, (c) melakukan program sandiwara yang
melakonkan hidup sebagai orang sukses, (d) lomba baca buku-buku
kisah orang-orang sukses, (e) belajar usaha dengan program
marketing day, (f) dan seterusnya.
7. Sekolah sebagai laboratorium belajar prestasi. Diyakini 100% bahwa
setiap anak memiliki potensi yang terbaik untuk dikembangkan.
Hanya saja terkadang dan seringkali kita sebagai guru atau orangtua
lambat mengenali keunggulan setiap anak. Sebenarnya tidak harus
dan tidak mungkin setiap anak harus menjadi ahli matematika atau
sejarah tetapi yang penting setiap anak mampu menemukan bakat
khusus masing-masing dan sekolah memfasilitasinya. Apa yang bisa
dilakukan oleh sekolah? Jawabannya, (a) kembangkan asumsi dari
cara berpikir guru bahwa setiap anak adalah nomor satu, bakat kuat
yang bisa dikembangkan jadi modal kehidupan, (b) adakah
penelusuran bakat dan minat melalui tenaga ahli, (c) kembangkan
budaya sekolah kreatif, (d) beri kelonggaran anak untuk bisa
mengembangkan bakatnya tanpa harus terlalu ketat dengan jadwal
pembelajaran formal, (e) buatkan wadah kegiatan atau wadah
peminatan yang terkelola dengan baik, (f) manfaatkan kegiatan ekstra
kurikuler untuk memupuk bakat, jangan hanya formalism saja.
Masyarakat sebagai tripusat pendidikan yang ketiga. Masyarakat
bukan hanya sebagai tempat pendidikan tetapi juga sebagai produk
pendidikan. Dengan demikian masyarakat mungkin, bisa bahkan patut
dijadikan sekolah ketiga bagi masyarakat . apabila memenuhi hal-hal
berikut: (a) ada figure sentra (tokoh masyarakat) yang memiliki cara
pandang dan komitmen untuk menjadikan lingkungan masyarakat sebagai
model sekolah informal atau non formal, (b) ada lembaga yang mengatur
dan menetapkan aturan di lingkungan masyarakat sebagai lingkungan
pembelajar, jadwal nonton, jadwal bermain, jadwal mengaji, jadwal
belajar mandiri ada aturan yang disepakti bersama, (c) ada budaya saling
belajar antara masyarakat, (d) ada gerakan membangun suasana
lingkungan seperti: kampung bersih, kampung kebun anggur, kampong
pengrajin, kampung obat herbal dan seterusnya, (e) terdapat perpustaan
lingkungan tempat anak-anak belajar, (f) dan seterusnya.
Penulis berkeyakinan bahwa tripusat pendidikan tetap relevan
sebagai sarana, wadah bagi keberlanjutan pendidikan terutama dalam
menciptakan iklim lingkungan yang positif, melakukan pengawasan
dalam penggunaan teknologi, dan menciptakan pusat-pusat pembelajaran
fungsional (kelompok-kelompok masyarakat produktif).
BAB 8
PENDIDIKAN SEPANJANG HAYAT

Kekeliruan konseptual atau sekurang-kurangnya perseptual


tentang pendidikan adalah pendidikan sering kali dianggap sebagai
penjenjangan yang begitu ketat atau bahkan dianggap sebagai terminal.
SD sebagai terminal yang mengantarkan orang sampai pada satu tujuan
ahkir sehingga hanya sedikit sekali orang yang meneruskan perjalanan ke
terminal SLTP. Demikian juga bila sudah sampai di terminal SLTP orang
sudah menganggap sampai pada tujuan dan tidak mau melanjutkan
keterminal SLTA. Bila ada yang terus berjalan melanjutkan terminal
SLTA hanya sedikit sekali yang meneruskan perjalanan menuju terminal
PT dan semakin sedikit orang yang bisa sampai diterminal PT. Lebih
celaka lagi, orang yang sudah berada di terminal PT, meyakini benar-
benar sudah sampai di terminal akhir. Bila asumsi seperti ini yang berada
di pikiran guru, siswa, masyarakat dan pemerintah maka akan
mengakibatkan beberapa berikut:
1. Belajar hanya akan terjadi dalam batas empat dinding sekolah.
Belajar hanya akan terjadi bila memakai judul “sekolah”. Tanpa
sekolah tidak ada lagi belajar. Keadaan seperti ini berbahaya, karena
ilmu tidak hanya berada di sekolah dan tidak semua sanggup kalau
harus diajarkan di sekolah saja. Sekolah sehebat-hebatnya hanya
mampu melakukan transformasi ilmu kurang dari 25%, sisanya
berserakan dimana-mana yang harus diperoleh melalui pembelajaran
di luar persekolahan.
2. Belajar hanya akan terjadi apabila ada guru formal. Belajar dengan
kebergantungan yang tinggi terhadap guru formal acapkali
mengakibatkan proses belajar hanya milik guru dan siswa bersifat
pasif bahkan tanpa inisiatif. Guru hakekatnya bukan hanya guru
formal tetapi keseluruhan hal yang bisa menjadi faktor pendorong
terjadinya pembelajaran. Siapakah itu, apakah itu, bagaimanakah itu.
3. Belajar hanya akan terjadi bila ada kurikulum formal. Kurikulum
memang didefiniskan oleh Hilda Taba sebagai plan for learning,
yakni berupa rencana pembelajaran. Kurikulum berisi tentang hal
ihwal berkaitan dengan bagaimana suatu pembelajaran direncanakan,
dilaksanakan dan dievaluasi sehingga menimbulkan feedback bagi si
pembelajaran maupun guru. Tetapi bila kurikulum sebagai plan for
learning hanya diterjemahkan dalam konteks persekolahan maka
budaya belajar sepanjang hayat akan sulit bisa diwujudkan dengan
baik. Sebab belajar sepanjang hayat membutuhkan pemahaman
mendalam tentang hakekat kurikulum sebagai perencanaan kehidupan
yang salah satunya bagiannya sudah diterapkan dipersekolahan. Oleh
karena itu perlu memperluas pemaknaan terhadap hakekat kurikuler,
ko-kurikuler dan ekstra-kurikuler yang selama ini hanya dikaitkan
dengan tugas persekolahan saja, bukan tugas luas spirit kehidupan.
4. Belajar baru akan terjadi bila ada buku pelajaran. Pembelajaran yang
terlalu diformalisasi acapkali mengakibatkan kerijidan,
keterbelengguan, dan kekakuan, seakan-akan tak ada pilihan lain
yang bisa dijadikan alternative. Keadaan seperti ini jelas kurang baik,
karena sumber belara bukan hanya buku manual maupun e-book
tetapi alam, sosaal budaya dan seluruh kehidupan merupakan buku
besar yang bisa kit abaca dengan pesan, esensi, subtansi yang jauh
lebih lengkap dan sempurna.
5. Belajar hanya akan terjadi bila ada ujian formal. Pendidikan memang
penting melakukan ujian agar bisa mengevaluasi daya serap bahan
ajar serta daya makna pembelajaran. Tetapi yang jauh lebih penting
bagi para siswa bukan saja mampu menjawab soal ujian sekolah
tetapi soal ujian kehidupan yang lebih panjang. Termasuk ujian
sekolah sebagai salah satu bagian dari pembiasaan menghadapi ujian,
hanya saja soal ujiannya harus diarahkan untuk memahami kehidupan
nyata dan kenyataan hidup yang bersifat kontekstual dan komunal-
akumulatif.
6. Belajar hanya terjadi ketika ada kenaikan kelas. Kenaikan kelas
dalam system persekolahan acapkali menjadi belenggu untuk
menghambat anak yang pintar dalam pemaksaan kebersamaan.
Mestinya kenaikan kelas menjadi perlombaan yang harus dicapai
siswa tidak mesti tiap semester atau tiap tahun tetapi bisa dicapai
kapanpun selama anak bisa mencapai mastery learning. Dengan cara
itu, diharapkan anak yang pintar terlayani dengan baik dan mereka
bisa meraih doctor dalam usia yang sangat muda, mungkin usia
belasan tahun.
7. Belajar hanya terjadi bila ada perenkingan. Ranking seolah-olah
merupakan menu regognisi bagi anak. Padahal ranking merupakan
momok yang menakutkan bagi sebagian besar anak-anak, karena
bersifat hukuman bukan pengakuan. Betapa tidak bila salah seorang
anak merupakan ranking 30 dari 30 siswa, betapa hancurnya perasaan
anak dan kecewanya orangtua. Ranking mestinya merupakan bentuk
pengakuan yang mendalam akan hakekat manusia yang sebenarnya
setiap indivisu adalah ranking satu. Karena setiap orang adalah unik,
personal dan individual. Ia tidak bisa dibandingkan atau
diseragamkan. Paling mungkin diakui kelebihannya sehingga setiap
anak ranking pertama dari yang terbaik dimiliki oleh masing-masing
individu. Setiap orang pasti punya keunggulan masing-masing yang
tak terbandingkan bahkan tak terdefinisikan. Itulah manusia yang
sebenarnya manusia yang sebenar-benarnya manusia bukan proses
pemanusiaan, karena manusia adalah manusia, bukan sudah jadi
manusia atau akan jadi manusia, titik.
Pendidikan diharapkan seperti ilustrasi shalter halte bus kota
tempat orang menunggu jemputan untuk pergi ke tempat yang jadi tujuan
tetapi tidak meski turun di halte lagi. Mereka tidak beranggapan halte
adalah tempat pemberhentian tetapi tempat pemberangkatan. Bila SD,
SMP, SMA dan PT disadari sebagai tempat pemberangkatan untuk
menuju pembelajaran tanpa batas maka pembelajaran akan menjadi
kebutuhan dan kegemaran yang dialami dan dijalani oleh setiap orang
tanpa harus melihat lagi jenjang-jenjang penyekat pembelajaran. Jadi SD
adalah halte untuk menunggu pemberangkatan menuju SLTP. Dan SLTP
pun menjadi halte untuk menuju SLTA dan seterusnya. Demikian juga
PT tidak akan dianggap sebagai terminal terakhir tetapi hanya untuk
memperoleh mandate belajar sepanjang hayat. STTB bukan Surat Tanda
Tamat Belajar tetapi Surat Tanda Terus Belajar.
Pendidikan sepanjang hayat merupakan sebuah konsep yang utuh
dan menyeluruh dengan pengorganisasian belajar yang berlangsung
sepanjang hayat dan terjadi di setiap tempat oleh setiap orang. Pendidikan
sepanjang hidup (life-long education), sebuah penyajian pendidikan
sebagai kebutuhan pokok yang berkelanjutan dengan berbasis luas
(education for all) sehingga tidak mengenal: usia, jenis kelamin,
geografis, kampung-kota, tingkat pendidikan, strata social, ekonomi,
agama, budaya dan seterusnya. Menurut Stephens pokok pendidikan
hidup adalah seluruh individu harus memiliki kesempatan yang
sistematik, terorganisir untuk pengajaran, studi, learning disetiap
kesempatan sepanjang kehidupan. Silva menyatakan pendidikan seumur
hidup berkenaan dengan prinsip pengorganisasi yang akhirnya
memungkinkan pendidikan untuk melakukan fungsinya, yaitu proses
perubahan yang menuntut dan menuntun perkembangan individu.
Demikian pula menurut Cropley bahwa pendidikan seumur hidup sebagai
tujuan atau ide formal untuk pengorganisasian dan penstrukturan
pengalaman pendidikan dari rentang usia termuda sampai yang tertua.
Tersedia di (www.ayuwldr.blogspot.com, 2016).
Pendidikan seumur hidup bukanlah praktek pendidikan yang
tanpa konsep. Ia senantiasa terlahir dari cara pandang yang benar,
memiliki ikatan spiritual dan dijalankan dengan rujukan teori yang tepat:
1. Teoshofis, pendidikan seumur hidup merupakan titah dan perintah
Tuhan yang bernilai ibadah apabila dilakukan dan berdosa bila
diabaikan dengan tujuan menjaga manusia agar tetap berada pada
kejatidirian manusia sesuai dengan fitrah manusia dari-Nya (QS. Az-
Zariyat: 56).
2. Historis, pendidikan seumur hidup sama usianya dengan usia manusia
di bumi. Karena kebutuhan belajar merupakan kebutuhan asasi dari
setiap manusia. Adam diberi pelajaran oleh Tuhan tentang segala hal
yang ada di dunia (QS. Al-Baqarah: 31). Nabi Sulaeman ketika
ditawari pilihan antara harta dan ilmu, maka yang dipilih ilmu.
Menurut ilmu Biomulekuler bahwa kalau otak tidak digunakan untuk
berpikir maka akan mengalami 50-100 sel per hari dorman (tertidur
bahkan mati). Belajar merupakan suatu proses aktivasi sel-sel otak
manusia, karena itu seseorang yang dalam kehidupannya terus belajar
jarang yang mengalami kepikunan karena otaknya diaktivasi terus.
3. Teoretis, pendidikan seumur hidup merupakan konsep yang
mengiringi setiap pertumbuhan dan perkembangan individu secara
otomatik maupun sistemik yang menjadi penyempurna bagi
kebutuhan kehidupan. Herbert Spencer menyebutkan bahwa
pendidikan adalah mempersiapkan manusia supaya dapat hidup
dengan kehidupan yang sempurna.
4. Metodologis, pendidikan seumur hidup menggunakan pendekatan
pedagogic dan andragogik secara simultan sesuai dengan kebutuhan
peserta didik yang harus terus dikembangkan seiring kemajuan
zaman. Pendekatan metodologis yang memungkinkan dilakukan antar
lain: (a) belajar bersama, (b) belajar dari sesama, (c) belajar dengan
sesama, (d) belajar mencapai persamaan dan (e) belajar untuk
mempersamakan.
5. Strategis, pendidikan seumur hidup memiliki strategi pengembangan
yang bersifat kesadaran personal dan social participation. Kesadaran
individual bisa berupa; (a) belajar sendiri, (b) belajar mandiri, (c)
belajar terkoneksi (kehidupan nyata dengan kenyataan hidup), (d)
belajar komprehensif (baca buku kehidupan), (e) belajar terintegrasi
(takdir dengan kualitas ikhtiar). Sedangkan social participation bisa
berupa:
a. Subjek, pendidikan seumur hidup tidak mengenal jenis usia,
karena merupakan education for all, dan berbasis luas broad base
education, berbasis segala usia (minal mahdi ilal lahdi), terjadi
setiap tempat dan keadaan (every where and every situation) serta
berlangsung dalam waktu yang tidak terbatas (unlimited times).
b. Kurikulum, pendidikan seumur hidup memiliki cakupan
kurikulum yang luas, baik potential curriculum maupun aktual
curriculum bahkan bisa menyentul hidden curriculum. Kurikulum
pendidikan seumur hidup merupakan curriculum of live.
Kurikulum untuk sepanjang kehidupan, segenap kehidupan dan
sepenuh kehidupan yang bukan saja untuk hidup tetapi untuk
kehidupan yang saling menghidupi bahkan saling memberi
penghidupan. Kurikulum seperti ini, semestinya berada di
lingkungan keluarga dan masyarakat kemudian disinergikan
dengan kurikulum persekolahan. Dengan cara ini, setiap orang
dipastikan untuk senantiasa belajar, mengajar, membelajarkan,
mencintai belajar. Oleh karena itu jadilah guru (mursyid), atau
yang pelajar kalu tidak bisa jadilah pendengar (yang belajar) atau
sekurang-kurangnya yang mencintai ilmu dan tidak boleh jadi
yang kelima. Andai kesadaran seperti ini sudah terbangun di
masyarakat maka masyarakat pembelajar (re-learning society)
yang terwujud dengan sempurna.
c. Bahan ajar, pendidikan seumur hidup memiliki cakupan materi
yang luas, struktur yang bebas, dan kedalaman materi yang tak
terbatas. Bahan ajar senantiasa dikembangan sesuai dengan
kebutuhan dan tuntutan yang hadir dihadapan dan dimasa depan
sehingga pendidikan bukan saja mampu menjadi pengiring setiap
fase kehidupan tetapi mengisi setiap tangga kehidupan yang
senantiasa bertangga hingga mencapai puncak kehidupan yang
sempurna. Tangga kesumpurnaan hidup bisa dilihat dari beberapa
capaian yang bertingkat, seperti hidup produktif (mampu
menghidupi), hidup bermanfaat (mampu berbagi), hidup berdaya
(berdaya ungkit bagi yang lain), hidup bermartabat (berada pada
maqom dihargai, dihormati kebaikannya, tokoh), hidup bermakna
(berbahagian dengan manfaat yang diberikan pada sesama) dan
hidup berhidmat (menjadi pengabdi kebenaran Ilahi secara totaly).
d. Guru atau pendidik, pendidikan seumur hidup meniscayakan
hadirnya seseorang sebagai pigur yang dihargai, dibanggakan, dan
dipanuti siapapun dia, mungkin tokoh sukses di lingkungannya,
atau bisa saja yang penduduk setempat yang sukses di tempat lain,
para ideology pendidikan yang berjuang dan berjihad memajukan
masyarakat melalui gerakan re-learning society atau mungkin juga
Kiyai yang berhasil membangkitkan revolusi kesadaran hidup
atau bahkan bisa saja suatu peristiwa yang menimpa, kejadian
yang memaksa, kasus yang menghembus atau fakta yang
mencerca atau sejarah yang membuka mata.
e. Metodologis. Pendidikan seumur hidup menggunakan pendekatan
pedagogic dan andragogik secara simultan sesuai dengan
kebutuhan peserta didik yang harus terus dikembangkan seiring
kemajuan zaman. Metode pendidikan seumur hidup bisa dikemas
dalam pendekatan learnig by doing (belajar melalui kerja) dan
learning for doing (belajar untuk bekerja) dan atau learning by
meaningful learning (belajar dengan kebermaknaaqn belajar)
bahkan learning by meaningful doing (belajar dengan
kebermaknaa kerja atau doing by meaningful learning (kerja
dengan kebermaknaan belajar) bahkan bisa saja doing by
meaningful doing (kerja dengan kebermaknaan kerja).
f. Strategi. Pendidikan seumur hidup jelas dan tegas bukan sebuah
lembaga lembaga atau organisasi tetapi pelembagaan budaya
belajar mandiri dan pengorganisasian potensi belajar yang dipacu
dan dipandu oleh: (a) rasa ingin tahu alamiah yang mendorong
setiap orang ingin terus belajar, belajar terus dan terus-terusan
belajar (belajar sebagai kebutuhan), (b) budaya belajar di
lingkungan masyarakat (belajar sebagai candu), (c) berguru
kemajuan dari orang-orang sekitar yang telah dipandang sukses
dalam hidup (berguru ti papada urang), (d) belajar dari berbagai
sumber bahan ajar modern seperti internet, youtobe, medsos dll
(berguru tina ruang), (e) perpustakaan desa, gerakan desa
pendidikan dengan menyekolahkan kembali masyarakat melalui
budaya membaca buku dari perpustakaan desa, keliling atau pasar
buku (diajar tina daluang).
g. Aksi. Motto yang tepat untuk pelaksanaan pendidikan seumur
hidup, “ pengalaman adalah guru terbaik, (koma) dan lebih baik
bila berguru pada orang-orang yang punya pengalaman baik”.
Penerapan yang dipandang paling memungkinkan adalah
menempatkan rumah sebagai sekolah (home schooling) dengan
menempatkan: rumah sebagai sekolah, rumah untuk sekolah,
rumah dijadikan sekolah, rumah bagaikan sekolah, rumah berjiwa
sekolah, rumah dengan spirit sekolah, rumah yang disekolahkan,
sekolah yang dikerumahkan, sekolah dengan yang di rumah, dan
sekolah di rumah dan rumahpun di sekolah. Jadi inti pelaksanaan
pendidikan seumur hidup adalah menghidupkan belajar untuk
belajar kehidupan agar hidup saling menghidupkan kehidupan
dengan penghidupan yang saling menghidupi.
BAB 9
ALIRAN PENDIDIKAN DAN KURIKULUM

Sudah cukup wewasan tentang pendidikan dan segal halnya, maka


kiranya pembaca akan bisa mengikuti uraian singkat tentang spirit,
filofosi, over view, mindset, teori, konsep, metodologi, strategi dan aksi-
aksi pendidikan yang berbasis falsafah yang berbeda-beda. Aliran-aliran
pendidikan yang penulis akan uraikan tidaklah sangat lengkap karena
tujuannyapun hanya sebatas memberikan informasi betapa tindakan
pendidikan sekecil apapun, bisa dicari hukum-hukum berpikir yang
melatarbelakanginya. Keragaman model konsep pendidikan sebagaimana
yang sering kita saksikan berupa perubahan kurikulum, sebenarnya
merupakan konsekwensi perubahan filsafat yang digunakan. Sehingga
mengalami perubahan terhadap hakekat pendidikan. Bila hakekat
pendidikan mengalami perubahan maka praksis kurikulumpun
mengalami perubahan. Bila kurikulum berubah tetapi tidak pengalami
perubahan yang signifikan terhadap praktek pendidikan maka itu bisa
diduga kuat guru sebagai pelaksana kurikulum tidak paham konsep
dibalik semua perubahan kurikulum. Mereka hanya tahu kurikulum
berubah. Tetapi apa yang terjadi dibalik semua perubahan itu? Guru tidak
tahu persis spirit, filosofis, teori dan konsepnya. Maka tidak heran bila
guru bekerja hanya bagai robot kurikulum (palaksana, titik), buka
pengembang kurikulum apatah lagi sebagai pengkritisi kurikulum dan
perancang kurikulum. Jauh panggang dari api. Inilah persoalan pertama
yang selama ini melanda dunia pendidikan kita.
Kurikulum itu bukan sebatas apa yang ditulis dalam buku besar
kurikulum atau teks kurikulum yang bahan ajarnya dimuat dalam buku
pelajaran. Bila itu yang dipahami maka guru akan kehilangan spirit atau
ruh zaman kurikulum sehingga kurikulum tidak berada pada zamannya
dan apalagi mampu membuat zaman baru dimana pendidikan sebagai
“agent of social changes” , agen kemajuan, agen kesejahteraan, agen
pencerdasan dan terutama menjadi agen peradaban umat manusia.
Menurut Hasan (1988) bahwa kurikulum itu terdiri atas beberapa
esensi yakni:
1. Kurikulum As Idea yakni kurikulum sebagai sebuah ide, gagasan, atau
imajinasi yang merupakan turunan dari over view seseorang atau tim
yang tidak mungkin semuanya bisa dituliskan. Kurikulum as idea
merupakan gagasan yang masih abstrak yang bisa diabstraksikan
dalam turunan kurikulum berikutnya. Kurikulum as idea memiliki
beberapa ciri antara lain: (a) merupakan turunan terdekat dari cara
berpikir filsafat, (b) merupakan gagasan besar yang masih
membutuhkan abstraksi, (c) masih merupakan spirit atau ruh zaman
yang bersifat the big fictures, (d) kadang baru bisa dipahami bila sudah
ada produk rilnya, (e) masih merupakan konsep model yang perlu
dijabarkan menjadi model operasional. Namun demikian meski masih
abstak, tetapi menjadi induk semangat dari model kurikulum
berikutnya.
2. Kurikulum as Document yaitu kurikulum tertulis yang bisa dilihat dari
apa yang tertulis, dituliskan dan tertuliskan dalam segala hal yang
berkaitan dengan dokumen kurikulum termasuk buku bahan ajar.
Kurikulum sebagai dokumen paling mudah diketahui tetapi paling
memungkinkan menjebak atau terjebak oleh tulisan bukan oleh jalan
pikiran dari yang tulisan. Karena itu, guru acapkali menyangka bahwa
itulah kurikulum. Padahal bukan, karena itu hanya kurikulum yang
dituliskan. Kita mengetahui bahwa setiap teks yang (ditulis) senantiasa
membawa makna yang tidak ditulis yaitu makna konstekstualnya.
Makna itulah yang acapkali dilupakan oleh para guru ketika mengajar.
Kita makan nasi yang dilihat hanyalah benda putih yang disebut nasi,
tetapi gizi dan nutrisinya yang mana? Tidak bisa dilihatkan? Itulah
sebabnya mengajar itu bukan menyampaikan tulisan tetapi
menyampaikan apa yang dipikirkan, apa yang sedang berjalan dan
berkembang dalam pikiran. Kurikulum as document memiliki
beberapa ciri yakni (a) merupakan dokumen resmi kurikulum, (b)
merupakan kurikulum formal yang akan menjadi ukuran, (c) lebih
mudah untuk dipahami bersama, (d) lebih mudah untuk dilakukan
penilaian, (e) lebih mudah untuk dijadikan bukti pelaksanaannya.
Namun sekali lagi agar guru tidak terjebak pada rutinitas dan
formalitas akan saya contohkan keterjebakan kurikulum tertulis,
misalkan tentang bahan ajar wudhu yang dalam bahan ajar hanya
mempelajari bacaan wudhu, syarat rukun wudhu dan kaifiah wudhu.
Itu semua diajarkan dan mastery learning. Tetapi yang menjadi
pertanyaan, apakah wudhu pengajaran dan pembiasaan wudhu
berdampak kebersihan dan kesehatan lingkungan? Itulah problem teks
yang guru harus memahaminya.
3. Kurikulum as Process yaitu apa yang tengah berlangsung sebagai
bagian dari pelaksanaan kurikulum. Kurikulum itu bukan hanya
produk akhir tetapi sebuah proses yang dinamik yang justru akan
menentukan hasil akhir dari sebuah kurikulum. Hasil akhir merupakan
dampak dari proses, bila prosesnya baik maka diduga kuat akan
melahirkan hasil yang baik pula, “proses tidak mungkin menghianati
hasil”. Karena itu, kurikulum as process akan dipandang baik apabila
memiliki ciri-ciri sebagai berikut: (a) proses yang berjalan terlahir dari
pemahaman yang benar tentang tekstual dan kontekstual kurikulum,
(b) proses yang berjalan berlangsung dinamis dan fleksibel, (c) proses
yang berjalan benar-benar including of content, (d) proses yang
berjalan berlangsung simultan bukan pragmental, (e) proses yang
dilakukan benar-benar untuk mencapai tujuan, (f) dan seterusnya.
4. Kurikulum as Reality yaitu pelaksanaan kurikulum apa adanya bukan
apa idealnya bukan juga apa yang seharusnya bahkan bukan pula
adanya apa tetapi benar-benar apa adanya, begitu faktanya dan itulah
yang bisa dilakukan dalam kenyataannya. Kita acapkali memiliki
rancangan yang sangat ideal tentang kurikulum, misalkan kurikulum
pendekatan pembelajaran CBCA (cara belajar siswa aktif). Konsep
belajar CBSA baik, tidak ada yang menyangkal atau membantah baik
guru maupun para ahli pendidikan tetapi pelaksanaannya tidak
seindah, semulus, sehebat dan secantik yang dirancangkan. Mengapa
demikian? Jawabanya antara lain: (a) belum ada perubahan budaya
guru dari kurikulum teacher centered ke student centered, (b) murid-
murid di sekolah kita masih mengalami problem psikologis untuk
berbicara atau berpendapat, (c) murid-murid kita belum memiliki
budaya baca sehinga tidak percaya diri untuk mengemukakan
pikirannya, (d) guru-guru di sekolah kita masih beranggapan bahwa
metode ceramah lebih baik karena bisa menyampaikan materi dengan
mudah dan murah, (e) murid dan guru di sekolah kita masih belum
memiliki kompetensi yang sangat baik untuk memproseskan
pemahaman dan pengalaman.
5. Kurikulum as Product yaitu produk yang dihasilkan oleh kurikulum
atau sekolah. produk yang dihasilkan sekolah bisa berupa; (a) lulus
karena diluluskan (out put), berupa berapa banyak lulusan yang
dihasilkan oleh sebuah sekolah, (b) lulus sebagai tamatan (out come)
berupa lulusan yang pencapaiannya sudah mastery learning in life,
lulusan yang bisa membawa dampak, masukan, manfaat, dan kualitas
terhadap sekolah asal dan masyarakat. Jadi lulusan “pendidikan tinggi
bukan lulusan perguruan tinggi”. Lulus bukan karena diluluskan tetapi
lulus karena kelulusan, lulus karena mencapai standar optimal atau
maksimal kelulusan, bukan standar minimal kelulusan. (c) lulus
sebagai produk pendidikan yaitu berupa lulusan dengan kompetensi
terbaik yang bisa menunjukkan bahwa dia merupakan hasil terbaik
pendidikan dan pendidikan yang berhasil dengan baik. Mereka
merupakan lulusan yang merepresentasikan kualitas terbaik yang
diharapkan sekolah bukan diharamkan sekolah. Mereka merupakan
lulusan yang tamat bersekolah, mampu menamatkan sekolah dan
bukan hanya lulus dari sekolah. Akhirnya pembaca bisa paham apa
makna dari data atau angka statistik yang menyebutkan atau
menampilkan angka 100% SD, SMP, SMA, SMK dinyatakan LULUS
atau ditanyakan ‘LULUS”?.
6. Kurikulum as Hopeless yaitu kurikulum yang benar-benar tidak
diharapkan terjadi tetapi itulah terjadi. Kurikulum sebagai product
tidak mengharapkan lulusan SMK menganggur tetapi yang terjadi
ledakan pengangguran terbanyak justru dari lulusan SMK. Masuk
perguruan tinggi motivasi awal mereka agar setelah lulus bisa bekerja
di tempat atau perusahaan yang bonafide tetapi kenyataan malah
bekerja ditempat yang tanpa pekerjaan alias nganggur.
Uraian kurikulum di atas sama sekali belum menggambarkan
wajah kurikulum aliran apa dan mazhab apa tetapi kemudian akan
menjadi pisau analisis untuk melihat wajah kurikulum dari turunan
induknya yaitu filsafat apa? Ada beberapa aliran pendidikan yang akan
diuraikan termasuk di dalamnya tentang kurikulum turunannya. Apa saja
aliran pendidikan itu?
1. Humanisme dan Kurikulum Humanistik yaitu aliran filsafat yang
meyakini bahwa manusia menjadi sumber segala sumber kehidupan
termasuk sumber kebenaran dan sumber kebaikan. Aliran humanism
kiri meyakini bahwa manusia bisa membuat aturan sendiri bagi
kehidupan manusia dan tidak perlu Tuhan untuk mengatur kehidupan
manusia. Manusia bisa membuat aturan sendiri tidak butuh peran
yang supernatural atau spiritual. Ada beberapa ciri dari pemikiran
Filsafat humanism dalam implikasinya terhadap pendidikan: (a)
menekankan pada kebebasan berpikir dan manusia harus bertanggung
jawab atas hasil pikirannya, (b) mengembangkan potensi dan
kreativitas dengan pendekatan belajar learn how to learn
(membelajarkan proses), (c) belajar menekankan pada isi proses
untuk menghasilkan manusia yang bermartabat dan manusia sejati,
(d) belajar dimaksudkan untuk pembentukan kepribadian melalui
perubahan sikap positif dalam kehidupan, (e) belajar melalui proses
pencarian di masyarakat kemudian dikaji di sekolah dan hasilnya
dikembalikan kepada masyarakat, (f) belajar dengan memberikan
kebebasan siswa mengekslorasi potensi dirinya melalui quantum
learning, (g) humanism menolak teori yang menstranpormssikan
penelitian binattang pada perilaku mansusia karena mengabaikan sisi
unik karakter manusia tentang keyakinan, ide, nilai-nilai, berbudaya,
keberanian, cinta, humor dan lain-lain yang jauh berbeda dengan
binatang yang diteliti hanya dengan reflex conditioning, (h) tujuan
pendidikan dirumuskan setelah menentukan evaluasi, tujuan
mengikuti eveluasi, (i) perilaku manusia bersifat holism, satu
kesatuan utuh bukan rangkaian dari bagian, pendidikan membina
kepribadian utuh manusia bukan kekuatan bagian-bagian tertentu, (j)
humanism menganut psikologi humanistic dimana manusia
berkembang bukan karena lingkungan semata tetapi karena jati diri
manusia sendiri untuk mengaktualisasikan dirinya, (k) peserta didik
sebagai subjek bukan objek pendidikaan dan guru sebagai fasilitator.
Tokoh-tokoh Humanisme begitu banyak seperti Abraham Howald
Maslow dengan Hierarchy of needs, hirarki kebutuhan dan Athur
Combs sudut pandang atau persepsi tentang perilaku manusia. Dalam
aliran Humanisme pendidikan dipandang sebagai proses pemanusiaan
manusia dengan cara yang manusiawi agar melahirkan manusia yang
sebenarnya manusia. Humanisme memberikan kemerdekaan untuk
belajar yang disukai dan tidak dipaksa utuk mempelajari yang tidak
disukai. Ilmu pengetahuan dan teknologi sekalipun tidak boleh
bertentangan dengan nilai-nilai kemanusiaan sebab ilmu diciptakan
dan diabdikan demi kemanusiaan bukan untuk merusak nilai-nilai
kemanusiaan. Tidak heran bila Einstein pernah menyatakan
penyesalannya temtang penemuan atom yang telah merusak
kehidupan umat manusia
2. Rasionalisme dan Kurikulum Akademik. Tidak dapat dipungkiri dan
disangkal ataupun disanggah bahwa manusia memiliki begitu banyak
kelebihan dibandingkan hewan. Salah satu kelebihan yang luar biasa
adalah manusia memiliki pikiran, rasio, akal, otak dan minda untuk
berpikir sedangkan hewan kapasitas otaknya tidak memadai untuk
berpikir. Filsafat Rasionalime berisi pemikiran tantang (a) akal
merupakan sumber utama pengetahuan, (b) akal pikiran memiliki
otoritas untuk menyingkap ilmu dan kebenaran, (c) akal merupakan
alat terpenting yang bisa meyak yang bisa mencari dan menaggapi
kebenaran, (d) pengetahuan diperoleh dengan cara berpikir dan alat
dalam berpikir adalah kaidah-kaiah logis atau logika, (e) Heraclitu
yang merupakan perintis awal filasafat rasionalisme, meyakini bahwa
akal melebihi kemampuan indra sebagai sumber ilmu, yang
kemudiaan dilanjutkan oleh Aristoteles dan kemudian Rene Descartes
sebagai bapak filsafat Rasionalisme Modern. Apa implikasi dari
filsafat Rasionalisme terhadap pendidikan? (a) pendidikan
mengutamakan kemampuan pengembangan akal pikiran (tabiyah
aqliah), (b) belajar berawal dari akal pikiran dan didukung oleh alat
indra untuk mengativasi akal suapay optimal. Indra bukan alat utama
tetapi melenkapi saja, (c) pengajaran dimulai dari yang mudah
menuju yang komples sampai benar-benar bisa dikenali, (d) belajar
dimulai dari meragukan untuk mencari jawaban yang meyakinkan
(teliti), (e) tidak seluruh pengetahuan harus diajarkan di sekolah
karena banyak yang bisa dipikirkan, (f) pembelajaran berpusat pada
siswa dengan kemerdekaan sendiri untuk mengembangkan ilmu
pengetahuan.
3. Rekonstruksionisme dan Kurikulum Rekonstruksi, manusia memang
mahluk yang unik karena mampu menciptakan dan bukan haya
menggunakan. Burung mayar mampu membat sarang dengan indah
tetapi tidak bisa mengembangkan dengan lebih baik dan rubah
bentuk. Manusia mampu belajar, merenungkan dan kembali
merumuskan formula barunya sebagai hasil berpikir. Filsafat
rekonstruksionime memiliki inti ajaran sebagai berikut: (a)
merupakan cara pandang terhadap keadaan pemikiran yang sudah lagi
tidak modern, (b) merekonstruksi tata dan pola pikir lama diganti
dengan tata dan pola pikir maju dan modern, (c) menghadapi
masalah-malasah kontrovesial dan membahasahnya.
4. Perenialisme dan Kurikulum Mata Pelajaran. Kurikulum yang
digunakan dalam pendidikan perenialisme adalah kurikulum yang
berorientasi terhadap mata pelajaran (subject centered). Parenialisme
juga membedakan kurikulum berdasarkan dengan tingkatan
pendidikan yaitu: (a)Pendidikan dasar, pendidikan dasar bertujuan
sebagai persiapan kehidupan di tengah masyarakat. Pada pendidikan
dasar ini kurikulum difokuskan pada hal-hal
seperti membaca, menulis, dan berhitung; (b) Pendidikan Menengah,
kurikulum pendidikan menengah fokus pada latihan-latihan berfikir
(aspek kognitif) seperti bahasa asing, logika, retorika, dan lain
sebagainya; (c) Pendidikan Tinggi/Universitas, pendidikan tinggi
merupakan lanjutan dari pendidikan menegah. Pendidikan tinggi
memiliki prinsip mengarahkan yang bertujuan untuk mencapai tujuan
kebajikan intelektual “the intellectual love of God”; (d)Pendidikan
Orang Dewasa, menurut kaum parenialisme pendidikan orang dewasa
adalah untuk mengembangkan sikap bijaksana, agar orang dewasa
mampu memerankan perannya sebagai pendidik bagi anak-anaknya.
5. Progrivisme dan Kurikulum Perubahan. Aliran ini didasarkan oleh
aliran pragmatisme dalam pendidikan, tujuan dari aliran ini adalah
membangun peserta didik untuk menguasai apa yang mereka
inginkan dengan metode pembelajaranya ialah praktek atau bisa
disebut turun langsung kelapangan ini adalah terfokus pada apa yang
dipelajari dalam kurikukulum aliran filsafat progesivisme . Kata
kuncinya adalah kata progesif atau progres yaitu kemajuan yang
membuat pembaruan disetiap apa yang dipelajari. Misalnya:
Kurikulum di indonesia ada yang mengikuti aliran progesivisme
yakni tingkat SMK atau Sekolah Menengah Kejuruan. Dimana
kurikulum yang dipakai adalah siswa dapat langsung mempraktekkan
dan terjun lapang untuk mengembangkan apa yang sudah di kuasai
sesuai dengan keahliannya.
6. Esensialisme dan Kurikulum Dasar. Dalam aliran esensialisme
kurikulum yang harus dipelajari dalam aliran ini didasarkan dari
aliran idealisme dan realisme, Nah Tujuan dari esensisalisme ini
untuk peserta didik adalah agar mampu menjadi orang yang berguna
sesuai dengan apa yang mereka kuasai. Pada hakekatnya mereka
harus mengikuti pembelajaran dasar seperti Agama, Pendidikan
Kewarganegaraan, Bahasa Indonesia, Bahasa Inggris
BAB 10
PENDIDIKAN DAN PEMBANGUNAN EKONOMI

Begitu banyak survey yang dilakukan oleh begitu banyak institusi


untuk memotret, mendapat gambaran tentang begitu banyak hal berkaitan
dengan ekonomi, daya saing SDM, literasi, rata-rata lama sekolah,
APK/APM, pendapatan perkapita, gender, toleransi, sains, seni sampai
stabilitas politik. Beberapa hasil survey akan penulis sajikan untuk
melihat, mengkaji, dan menganalisis seperti apa, seberapa dan bagaimana
kaitannya dengan pendidikan.
1. Global Talent Competitiveness Indax (GTCI) adalah sebuah
pemeringkatan daya saing Negara berdasarkan kemampuan atau
talenta sumber daya manusia yang dimiliki sebuah negara. Berapa
indicator penilaian index meliputi pendapatan perkapita, pendidikan,
infrastruktur teknologi computer informasi, gender, lingkungatingkat
toleransi hingga persoalan stabilitas politik. Hasilnya untuk tingkat
ASEAN Singapura menempati peringkat pertama dengan skor 77,27,
Malaysia dengan skor 58,62, Brunei Darussalam 49,91 dan Filipina
40,94 dan sementara Indonesia berada di posisi keenam dengan skor
sebesar 38,61.
2. Human Development Report (2017) yang berdasarkan pada
Education Index dengan indicator yang menjadi ukuran antara lain
pendidikan formal, vokasi, literasi baca-tulis, peringkat internasional
universitas, jurnal ilmiah, mahasiswa internasional, relevansi
pendidikan dengan dunia bisnis dan jumlah hasil riset, dihasilkan
fakta di tingkat ASEAN Indonesia berada diperingkat ketujuh dengan
skor 0,622 dan peringkat pertama Singapura dengan skor 0,832,
disusul peringkat kedua Malaysia skor 0,719, keempat Brunei
Darussalam skor 0,704 dan pada posisi keempatTahilan dan Filifina
keduanya memiliki skor 0,661.
3. Programme for International student Assessment (PISA), melaporkan
hasil survey kemampuan membaca, matematika dan sains Indonesia
menempati posisi ke-72 dari 77 negara yang disurvei dan jauh
tertinggal dari Singapura, Malaysia, Brunei Darusalam sakalipun.
Demikian pula laporan PISA tahun 2018 yang diumumkan Totok
Suprayitno (Kepala Badan Penelitian dan Pengembangan
Kemendikbud di Jakarta 2019 dengan indikator yang dinilai
membaca, matematika, sains, literasi keuangan, dan kompetensi
global dengan melibatkan 12.089 siswa dari 399 sekolah didapatkan
hasil sebagai berikut: (a) Kemampuan Baca siswa rendah, dengan
rata-rata Negara-negara yang diteliti barada di angka 487, skor
Indonesia berada di skor rata-rata 371 dengan peringkat pertama
diraih China dengan skor angka 555, diikuti Singapura 549 dan
Makau 525, (b) Matematika dan sains dibawah rata-rata Negara
OECD 489 (OECD, organisasi kerjasama Ekonomi dan
Pembangunan). Indonesia skor matematika mencapai 379, sains 396
sedangkan China mencapai skor 591 dan Singapura 569. (tersedia di
www.edikasi.kompas.com)
4. Rata-rata lama sekolah, yang dihitung menggunakan Mean Years of
schooling and Expected Year of Schooling, dihasilkan data bahwa
rata-rata lamanya sekolah di ASEAN peringkat pertama Singapura
dengan lama sekolah 11,5 tahun, Malaysia 10,2 tahun, Filifina 9,3
tahun, dan Indonesia 8,0 tahun disusul Thailand 7,6 tahun, Laos 5,2
tahun, Myanmar 4,9 tahun dan Kamboja 4,8 tahun. Dan Indonesia
pada tahun 2018 sudah mencapai 8,58 tahun atau setara dengan SMP
kelas 8.
5. Index Pembangunan Manusia pada tahun 2018 UNDP yang
dipublikasikan tahun 2019 dari data Negara yang disurvey sejumlah
189 dengan membagi kepada 4 kategori yakni sangat tinggi, tinggi,
menengah dan rendah. Indonesia berada pada renking ke-111 yang
sejajar dengan Libya, Samoa dan 54 negara lainya berada dalam
kategori tinggi dengan raihan skor Indonesia 0.707. Posisi IPM
Indonesia dikawasan Asia Tenggara masih berada diurutan ke-6
meski IPM-nya naik 0,53 poin atau 0,74% dibanding 2018.
Dilihat dari beberapa hasil survey dengan berbagai indicator yang
diukur, nampak secara jelas bahwa Indonesia masih jauh tertinggal
dibandingkan dengan Negara lain sekalipun hanya di kawasan ASEAN
saja, terlebih bila dibandingkan dalam kontek dunia.
Untuk memberikan lebih utuh pemahaman pembaca tentang
korelat pendidikan dengan pembangunan, akan disajikan beberapa data
tentang pembangunan sektor ekonomi sebagai berikut:
1. Global Competitiveness Index tahun 2019, Indonesia mendapat
peringkat 50 dari 140 negara dan tertinggal jauh dari Malaysia ke-27,
Tahiland ke-40, serta Vietnam peringkat ke-64.
2. Survei World Competitiveness Yearbook (WCY) 2021 yang dilakukan
oleh Institute Management Development (IMD) menempatkan daya
saing Indonesia pada peringkat 37 dari total 64 negara yang didata.
Peringkat Indonesia di 2021 sedikit mengalami peningkatan dari
posisi tahun 2019 di peringkat 40.
3. Peringkat kinerja perekonomian Indonesia di tahun 2021 berada pada
posisi 35, menurun dibandingkan tahun 2020 di posisi 26.“Penurunan
peringkat tersebut didorong oleh kondisi ketenagakerjaan,
perdagangan internasional, dan tingkat harga domestik,”. Peringkat
infrastruktur Indonesia juga beranjak dari posisi 55 di tahun 2020
menjadi posisi 57 di tahun 2021.
4. Bank Dunia dalam laporan “World Bank Country Classifications by
Income Level: 2021-2022” menyatakan, pandemi Covid-19
menyebabkan penurunan pendapatan per kapita hampir semua negara
di dunia, termasuk Indonesia. Pendapatan per kapita Indonesia turun
dari 4.050 per dolar Amerika Serikat (AS) di 2019 menjadi 3.870 per
dolar AS di 2020.
Sebenarnya tak dapat disangkal ata disanggah bahwa pendidikan
merupakan engine of growth bagi ekonomi sebuah bangsa, seberapapun
pertumbuhannya, dipastikan pendidikan memiliki andil terhadap
kemajuan ekonomi. Tidak ada bangsa yang ekonominya sejahtera dengan
tanpa didukung oleh sumber daya manusia yang terdidik. Bahkan angka
lama pendidikan mempengaruhi laju pertumbuhan ekonomi. Hingga
jumlah angkatan kerja kita sebanyak 137,91 juta orang per Februari 2020
dengan jumlah terbanyak 74% atau 56,50% bekerja pada sector kegiatan
informal dan rata-rata tenega kerja kita lulusan SD 40,51%, SMA17,86%
dan PT 9,75%. Apalagi bila merujuk pada persyaratan dunia kerja pada
era industry 4.0 membutuhkan SDM yang berkualitas tinggi. Seperti di
Negara-negara yang sudah melekat dengan industry 4.0, misalkan Jerman
dan AS rata-rata pendidikan 60% penduduknya mengeyam pendidikan
tinggi. Sedangkan Indonesia diproyeksikan 2030 membutuhkan tenaga
kerja trampil sebanyak 113 juta dan kini baru tersedia 57 juta orang
dengan kebutuhan tiap tahunya 3,7 juta tenaga kerja.
Demikian pula, bila dihitung secara matematik, seharusnya bisa
ketemua Investasi dalam pendidikan memiliki economic rate of return.
Sebagai lokomotif pembangunan maka pendidikan harus menghasilkan
invention and innovation. Kegagalan pendidikan akan mengakibatkan
welfare dependency.
Pendidikan dan pembangunan merupakan dua sisi mata uang yang
tidak bisa dipisahkan antara sisi yang satu dengan sisi yang satu lainnya.
Tentu saja dipisahkan secara fisik bisa tetapi akan menghilangkan makna
dasar dan nilai utamanya. Uang akan kehilangan nilai
Bangsa yang maju dapat dipastikan adalah bangsa yang
menghargai pendidikan. Pendidikan adalah segala-galanya karena segala-
galanya butuh pendidikan. Pendidikan bukalah sektor pembangunan yang
bersifat instrumental tetapi merupakan diterminan sektor yang
fundamental dan menentukan sektor pembangunan yang lain. Dengan
demikian Pendidikan bukanlah dominan faktor tetapi diterminant factor.
BAB 11
PENDIDIKAN DAN PENGEMBANGAN KEBUDAYAAN

Manusia memang bisa disebut animal tetapi bukan minimal


melainkan animal yang maksimal. Manusia sama dengan hewan memiliki
kaki tetapi manusia sadar bahwa kecepatan kakinya bila dipakai berlari
akan kalah dengan kecepatan berlari seekor kelinci. Manusia melihat
sama halnya dengan hewan juga sama-sama melihat bahkan penglihan
hewan lebih tajam namun penglihatan hewan tidak sampai pada
kesadaran untuk menjadikan input bagi pikirannya dan mengolahnya
menjadi informasi untuk dijadikan sebagai sebuah keputusan kebijakan.
Itu tidak ada pada level hewan. Meski manusia memiliki tubuh, jelas
tubuhnya tidak sama dengan badah hewan. Tubuh memiliki ruh, jiwa atau
tubuh batini, tubuh insani yaitu tubuh yang diisi ruh kemanusiaan
sehingga manusia memiliki keluhuran tubuh dan keluhungan jiwa.
Akhirnya manusia berbudaya.
Kata kunci berbudaya adalah dinamika yaitu suatu kekuatan untuk
bergerak dengan kemampuan eksplosif yang ada pada dirinya. Manusia
memang bagai dinamik, walaupun tidak bergerak tetapi memiliki
kekuatan daya ledak yang bisa distimulasi dari internal atau eksternal.
Dinamika (daya ledak) manusia karena kekurangan nutrisi atau energy
bisa saja tertidur pulas tetapi potensinya tetap aktif tinggal menunggu
aktivasi. Dinamika manusia sebenarnya tidak pernah mati, ia hanya
ngantuk, tertidur tetapi tidak seluruh organ dinamiknya istirahat hanya
saja mengalami penurunan tensi atau energy sehingga fungsinya tidak
bisa optimal.
Pendidikan dalam konteks pengembangan kebudayaan
memberikan andil yang luar biasa terutama pada aspek-aspek sebagai
berikut:
1. Mambangunkan kesadaran insani bahwa setiap manusia memiliki
kekuatan jiwa untuk bertumbuh dan berkembang ke arah yang lebih
baik dan sempurna sesuai dengan bawaan kodrati yang hakiki.
2. Mengembangkan rasa ingin tahu (curiousity) manusia yang sudah
dibawa sejak lahir sebagai naluri untuk membangun kehidupan.
Dunia pendidikan jangan sampai membunuh rasa penasaran atau
keingintahuan alami anak sebabkan tata-titi, aturan-aturin, norma-
normi, budaya-budayi, tradasa-tradisi sekolah yang terlalu kaku, rigid
dan ketat. Fungsi utama sekolah sebenarnya menciptakan iklim,
membuat alam dan memproduksi lingkungan yang kondusif, nyaman,
aman, menyenangkan dan menantang serta memberi ruang untuk
berkembang.
3. Setiap Siswa Nomor 1, kekeliruan besar yang kini masih berlangsung
di sekolah yaitu menganggap siswa yang pintar adalah yang masuk ke
bidang Eksakta (Matematika atau IPA) sementara anak yang masuk
ke IPS merupakan anak dengan kecerdasan level dua alias bodoh
apalagi anak yang masuk kejurusan seni, bahasa dan agama serta
yang lainnya yang dikategorikan secara perseptual sebagai anak level
tiga yaitu bodoh pisan. Padahal bukan persoalan pintar atau bodoh
tetapi persoalan minat sebagai bagian dari hukum keteraturan alam
yang Allah ciptakan. Sekolah model ini, kini sudah seharusnya
disudahi keberadaannya karena: (a) bertentangan dengan hukum
Tuhan yang menetapkan setiap orang nomor satu yang Allah sudah
pilihkan, (b) keragaman orang menyukai atau tidak menyukai sesuatu
hal bukan urusan manusia tapi urusan takdir keharmonian hidup, (c)
menentang kodrat lebih berat dari pada menyalurkannya secara benar
dan tepat, (d) bila sekolah yang menghargai keragaman maka
kebudayaan akan tumbuh kembang di sekolah bersama para juara.
4. Sekolah lebih penting mengajarkan budaya atau tradisi belajar
(learning how to learn), berupa budaya baca, keterampilan belajar,
dan budaya belajar sepanjang hayat ketimbang mengajarkan bahan
ajar. Sebab learning itu konsep dasarnya membelajarkan siswa
dengan bahan ajar, baik bahan yang diajarkan, atau dipelajari sendiri,
agar setiap siswa menemukan pemahamanya sendiri. Kemudian
merekonstruksi bahan ajar dan mengkonstektualisasikannya dalam
kehidupan nyata secara berkelanjutan. Bukan menghapal bahan ajar
kemudian lupa, menghapal lagi kemudian lupa. Bila sekolah mampu
mewariskan rasa cinta terhadap belajar, maka peradaban baru akan
terbangun dengan sendirinya. Sebab peradaban merupakan kelanjutan
dari lahirnya kebudayaan bermartabat yaitu kebudayaan yang berakar
pada tradisi keilmuan yang otentik dan moral spiritual unik.
5. Sekolah menjadi pusat berbudaya bagi penumbuhan kreativitas dan
inovasi kebudayaan dalam arti luas, melalui interaksi tradisi asli
dengan budaya pikiran imajinatif dan tangan kreatif yang edukatif
maka pendidikan akan menjadi centri petal dan centri pugal, sumbu
dan cumbu, pangkal dan muara bagi tumbuhnya generasi kreatif dan
produktif.
6. Sekolah pengembang Kepribadian. Setiap anak sebenarnya dilahirkan
sudah dalam keadaan lengkap tetapi belum genap, tak kurang apapun
tetapi belum sempurna, sudah optimal tetapi belum maksimal, sudah
segala bisa tetapi belum berbisa, sudah cakep tapi belum cakap, sudah
mau tetapi belum mampu dan seterusnya. Semenjak manusia lahir
sebenarnya sudah tidak ada defines manusia yang berada dalam
kategori bad. Sekurang-kurangnya manusia berada dalam kualitas.
Pertama, Bad Personality yaitu kepribadian yang kualitas hidupnya
hanya sebatas minimal saja, cara berpikir, mengolah perasaan, usaha
dan segala hal dalam hidup hanya biasa-biasanya saja. Mereka
berpikir hanya sebatas survival life, bertahan hidup meski dalam
serba keterbatasan. Sekolah menghadapi banyak anak didik yang
tidak punya impian hidup, sekolah asal-asalan, prestasi tidak
dipikirkan, bergaul sembarangan, berbicara kasar, perilaku tidak
santun, dan sederet embel-embel lain yang benar-benar tidak
menunjukkan kualitas hidup. Menghadapi tipe anak didik seperti ini,
sekolah perlu merubah falsafah pendidikan yang mengasumsikan
semua anak didik bisa menjadi baik meski butuh cara, frekuensi dan
intensitas yang berbeda. Semua sekolah yakin bisa asal memiliki cara
pandang bahwa setiap manusia dilahirkan sudah nomor satu.
Mungkin dalam proses kehidupan awalnya tidak mendapatkan
didikan, contoh dan teladan yang baik dari kedua orangtua atau
lingkungannya. Kedua, Enough Personality yaitu kepribadian
seseorang yang berada pada standar umum, ukuran mayoritas, dan
takaran rata-rata saja. Pada tipe ini belum ditemukan kelebihan yang
mencolok, kehebatan yang minculak dan keluarbiasaan yang
memuncak tetapi hanya rata-rata saja. Semua biasa-biasanya saja
belum kelihatan pembeda belum nampak perbedaan dan belum
muncul kekhasan dalam segenap keadaan. Karenanya kelompok ini
hanya berada tepat pada garis pertengahan tidak kebawah tetapi juga
tidak ke atas. Anak didik dengan enough personality rata-rata
menunjukkan identitas: aku adalah sama, aku tidak perlu berbeda dan
aku tidak perlu menyala. Sifat anak didik pada umumnya berada pada
tipe enough personality. Dengan tipe mayoritas ini, sekolah tidak
perlu repor tapi juga tak akan punya report. Tipe ini bisa didongkrak
ke atas asal sekolah mau bekerja karas dan minimal melakukan 3 hal
secara maksimal: (1) membangun hubungan personal yang maksimal,
(2) memberikan guru yang mampu mengajar dengan maksimal dan
(3) memberi imbalan yang maksimal pada setiap kemajuan minimal.
Ketiga, Good Personality yaitu kepribadian yang mulai
menunjukkan adanya perbedaan dari berbagai indikator pembeda dari
setiap sisi kepribadian manusia yang berbeda-beda. Manusia dalam
kelas ini sudah mulai bisa dan biasa menemukan jati diri, jadi diri dan
juri dirinya sendiri. Kualitas manusia pada level good personality,
tentu saja tidak hanya survival live tetapi sudah terbiasa bersikap
positif dan berbuat produktif. Tiga ciri utama dari level good
personality: (1) memiliki kepribadian yang otonom, dengan berbuat
untuk, atas dan bagi dirinya sendiri, (2) bersikap produktif dalam
setiap kesempatan, dan (3) memiliki kesadaran untuk terus belajar
dan belajar. Demikian pula kepribadian siswa yang sampai pada level
ini ditandai dengan 3 hal utama, yakni: (1) belajar dengan titik tumpu
pada pencapaian impian hidup, (2) belajar dengan kemandirian dan
otonomi yang baik, (3) belajar sudah sampai pada reflektif atau
konstektualisasi bahan ajar. Keempat, Best Personality yaitu
kepribadian yang sudah mencapai inter-independent. Kepribadian
yang sudah berada pada puncak pemahaman posisi dirinya pada orang
lain dan orang lain dalam dirinya. Keadaan ini merupakan puncak
saling kebergantungan secara independen, saling mempengaruhi
dalam kemandiriannya dan saling mengikatkan komitmen dalam
pertanggungjawaban yang interindependen. Kepribadian dalam
maqam ini sekurang-kurangnya memiliki tiga ciri utama; (1) memiliki
jati diri yang saling melengkapi dalam kolaborasi dan sinergi yang
harmoni, ia tidak lagi bekerja dalam ego pribadi tatapi dalam
superego kolektif, atau collective dreaming yang sudah satu
gelombang, (2) memiliki produktivitas hidup yang signifikan,
reciprocal-mutualistik yang super-dinamik, (3) memili kebiasaan
belajar yang bukan saja berkelanjutan tetapi penuh kebermaknaan,
meaning full learning. Kelima, Great Personality yaitu tipe
kepribadian yang bukan saja inter-independent antar insan melainkan
sudah sampai pada kebergantungan yang penuh makna pada
Tuhannya. Tipe ini tidak lagi menggangap kesuksesan sebagai puncak
aktualisasi diri karena puncak dari aktualisasi diri hanya berada pada
puncak kebergantungan pada Yang Maha Kuasa. Ia tidak lagi
meminta dalam ungkapan permintaan pada Tuhannya tetapi
permintaan yang sudah dilarutpadukan pada totalitas kataatan kepada-
Nya. Belajar dalam maqom manusia Great Personality tidak lagi
antorpo-centries tetapi sudah berada pada puncak pembelajaran yang
berporos dan bermuara Theo-centries. Tuhan sebagai awal-proses-
akhir di, dari, dalam dan untuk segala kehidupan. Sekurang-
kurangnya ada 3 ciri utama pada level kepribadian Great Personality,
yakni: (1) pribadi yang melampaui kebergantungan antar dan inter
insani menjadi kebergantungan larut ilahiyah, ia insan paripurna dan
insan kamil, (2) belajar sudah menggunakan pendekatan, kedekatan
dan kelekatan meta-kognisi sehingga yang dipelari bukan teks tetapi
esensi konteks, pengetahuan sudah tidak ada yang salah melainkan
persoalan maslahah dan berkah yang tidak lagi bisa dipilah, dipecah,
dibelah dengan Ilahiyah , (3) hidup sepenuhnya diabdikan buat
menjelaskan esensi yang tidak ada kepada esensi yang senantiasa Ada
untuk selama-lamanya.
7. Sekolah merupakan agent of control yang ditempatkan dan
menempati posisi puncak dari segala symbol keidealan, kebenaran
dan kearifan. Sebagai agent of control sekolah senantiasa berada
untuk membuat masyarakat mengada melalui symbol kebenaran
puncak dan menjadi puncak kebenaran. Dalam sejarah, sekolah c.q.
Perguruan tinggi telah menjadi fakta sejarah yang mampu menjadi
penyeimbang, penyerang dan penendang segala bentuk kedoliman,
kelalaian, persekongkolan dan tirani para penguasa atau pengusaha
yang tidak lagi berpihak kepada symbol kebenaran atau kekuasaan
tertinggi yakni rakyat sebagai wakil Tuhan. Penguasa hanyalah
penerima mandat yang bertugas melayani rakyat, bukan menindas
rakyat. Pada keadaan seperti ini dunia pendidikan acapkali menjadi
agent of control yang paling bisa diharapkan dan diandalkan.
Demikian pula peran yang niscaya dimainkan sekolah atau dunia
pendidikan untuk melakukan control terhadap kehidupan sosial agar
masyarakat bertumbuh dan berkembang dalam sinergi kemajuan yang
syarat nilai, sarat nilai dan bukan surut nilai. Kehidupan social
melalui peran sekolah diharapkan berada pada puncak peradaban
masyarakat tertinggi, terbaik dan terintegrasi dalam sinergi dan
harmoni yang high quality yakni masyarakat madani, masyarak
modern yang berkesejahteraan, berkeadilan dan berkemajuan dengan
menempatkan spiritualitas sebagai nilai tertinggi yang menjadi celup
bagi untuk sisi, demensi, narasi dan visi sector kehidupan lainnya.
8. Sekolah merupakan agent of change yang secara narasi, discourses,
wacana, dan insight yang komprehensif memenuhi syarat dan rukun
untuk berada pada posisi dan porsi menjadi agent of change karena
sekolah atau lembaga pendidikan satu-satu lembaga atau institusi
yang mendeklarasikan diri sebagai tempat belajar dan berujar, arena
berkreasi dan berinovasi, zona evolusi dan revolusi, rona menggugah
dan mengubah dan seterusnya. Sekolah atau lembaga pendidikan
menjadi satu-satunya institusi yang paling besar mensuplai sumber
daya manusia suatu bangsa. Bila suplai SDM itu berkualitas maka
secara otomatis pergerakan ke arah perubahan suatu bangsa akan
terjadi dengan sendirinya dan sejatinya sebagai konsekwensi logis
dari SDM berkualitas yang bawaannya gatal, greget, mumet dan rudet
dengan kerigidan, kemapanan, yang stagnan dan yang anti perubahan.
Masyarakat well educated yang merupakan produk pendidikan
biasanya memiliki 4 tingkatan karakter sebagai agent of change,
yakni: (1) attention yakni sekurang-kurangnya memiliki perhatian,
ketertarikan atau tertarik dengan agenda-agenda perubahan pada
level manapun dan sektor apapun, baik skala besar mauoun kecil, (2)
caring yakni kepedulian, keberpihakan dan kecenderung kuat suka
pada perubahan yang terjadi di masyarakat meski intensitasnya masih
lemah, (3) responsibility yaitu tanggung jawab untuk melakukan
sesuatu yang semakin kuat bukan karena factor instrumental atau
finansial tetapi merupakan sebuah sikap otonom untuk bertanggungj
jawab pada perubahan kehidupan, (4) commitment yaitu suatu sikap
yang bukan saja aktif terlibat secara intensif melakukan perubahan
dengan tidak hanya melihat aspek keterpanggilan hati tetapi
komitmen yang tidak lagi ada pilihan selain keterlibatan untuk
melakukan dan melakukan, (5) loving yaitu puncak dari
keterpanggilan hati yang sudah berada dalam makom tertinggi dan
tidak ada lagi yang bisa menghalangi karena rasa cinta terhadap
perubahan masyarakat kearah yang jauh lebih baik.
Melihat dan memahat peran ideologis-stratgis dari sekolah atau
lembaga pendidikan sebagai pengembang kepribadian manusia seluruh
dan seutuhnya, maka haqqul yakin bahwa sebuah bangsa akan maju
secara sempurna apabila peran sekolah atau lembaga pendidikan tetap
berada pada posisi dan policy awal sebagai agent of control dan agent of
change tanpa diarahkan dan panah pada kepentingan politis yang lebih
mengedepankan kepentingan kekuasaan penguasa dari pada kepentingan
kemajuan masyarakat sepenuhnya dan seluruhnya.
BAB 12
PENDIDIKAN DAN PEMBANGUNAN MORAL BANGSA

Sajian paling menarik dari wajah Indonesia adalah paradok


budaya yang hampir terlihat jelas pada setiap sektor pembangunan dan
dimensi kehidupan manusia. Mulai dari rebutan kekuasaan, rubber
economic (rampog ekonomi), korupsi, jual-beli ijazah, seks bebas,
mabok, pencurian, pemerkosaan, pembunuhan, rebutan pacar, pungli dan
sampai hal sekecil-kecilnya ujian nyontek yang tidak terlepas dari
penyimpangan moral. Sedangkan disisi lain, masyarakat Indoneia
merupakan masyarakat yang religious, masyarakat beragama, punya
spiritualitas, ber-Tuhan dan yakin akan adanya hari pembalasan. Namun
nampknya shalat yang dilakukan di masjid-mesjid, peribadatan yang
dilakukan di gereja-gereja, kuil-kuil Hindu-Budha, pendidikan moral
pancasila, penatara P4 dan pendidikan agama di sekolah-sekolah nyaris
tak punya korelasi yang berarti, hubungan yang signifikan atau koneksi
yang bermakna dengan moralitas.
Kalau kita lihat data-data tentang penyimpangan moralitas,
pelanggaran hukum dan pelanggaran normasosial, kita akan mendapatkan
data yang fantastik, yang benar-benar tidak pantas terjadi pada
masyarakat yang “konon katanya beragama”. Beberapa data yang
berhasil penulis kumpulkan dari beberapa sumber sebagai berikut:
1. Data BNN tentang penyalahgunaan Narkoba di Indonesia tahun 2017
sebanyak 3,37 juta jiwa, 2019 naik menjadi 3,6 juta jiwa dan
penyalahgunaan narkoba di kalangan pelajar tahun 2018 mencapai
2,29 juta jiwa sejak usia SD dan mahasiswa. Bahkan 5,6% penduduk
dunia berusia 15-64 pernah mengkonsumsi narkoba berarti sekitar
275 juta penduduk dunia.
2. Data BNN yang meninggal akibat narkoba mencapai 50 orang per
hari dan kerugian ekonomi dan social mencapai 63 triliun per tahun
(www.kominfo.go.id).
3. Indeks Persepsi Korupsi Asia Tenggara tahun 2019, Indonesia masuk
renking ke-4 paling korup dengan skor 40, kalah dari Malaysia dan
Singapura dan ditingkat dunia pada tahun 2020 masuk ranking ke-90
dari 180 negara (kata Wakil Ketua KPK Alexander Marwata dalam
www.news,detik.com 06 Mei 2020).
4. Data Badan Pusat Statistik (BPS) 2018, menyatakan bahwa setiap 1
menit 33 detik terjadi tindak kejahatan di Indonesia dan trennya naik
terus. Dan pelaku kejahatan yang dilakukan anak-anakpun mening
dramatis hingga mencapai 1.434 orang anak tahun 2018 dengan kasus
pelanggaran geng motor, pencurian, pemerkosaan, pencurian dengan
kekerasan, sampai pembunuhan dan dominasi kasus pada kejahatan
seksual.
5. Data Direktorat Tindak Pidana Siber Bareskrip Polri sejak Januari
sampai 23 Juli 2020 melaporkan terdapat 8.394 kasus penipuan siber
dengan total kerugian Rp 20,45 miliar, www.suaramerdeka.com, 30
Juli 2020.
6. Banyaknya istilah-istilah akademik atau bahasa ilmiah berkaitan
dengan penyimpangan moral dengan berbagai istilahnya: (a) asusila
yaitu perilaku yang menyimpang dari susila (tata sopan santun)
kedidupan dalam norma social, (b) amoral yaitu penyimpangan
perilaku yang tidak mengindahkan moral yang berlaku di masyarakat,
misalkan melakukan pelecehan seks, pemalakan, mencuri, Istilah
Jawa 5 M, Maling (mencuri), Mabok (minunan keras), Mateni
(membunuh), Madon (main perempuan) dan main (berjudi), (c) moral
hazard, yaitu memanfaatkan kesempatan dalam kesempitan untuk
mengeruk keuntungan dari tanggungan orang lain (biarkan toh bukan
kita yang bertanggung jawab), (d) moral laundry yaitu tindakan
menyembunyikan kejahatan moral dengan melakukan sesuatu seakan-
akan benar atau tiadak atau menjadi tanggung jawab orang lain
(anggota DPR korupsi, presiden harus tanggung jawab, itu kata
angora Dewan, iyah tapi dewan sebagai mandat rakyatpun jangan
cuci tangan, seakan-akan hanya presdiden yang harus bertanggung
jawab, dewannya sendiri gimana?), (e) dekadensi moral yaitu
menurun, merosot, mundurnya moralitas yang berkaitan dengan
sensitivitas atau standarisasi moral yang makin rendah, makin
marahkan pelanggaran moral tetapi malah dianggap hal yang biasa,
mislkan berkatan kasar dikalangan pelajar dianggap hal yang wajar,
(f) moral evil yaitu kejahatan yang terjadi pada suatu tempat atau
waktu yang diakibatkan oleh kelalaian suatu pihak secara sengaja atau
ada unsur kesengajaan buka kejadian secara alamiah.
Bentuk, jenis, dan warna dari berbagai penyimpangan moral yang
telah diuraikan, tentu saja membuat kita semua merasa prihatin, terlebih
bagi dunia pendidikan yang merupakan symbol bagi pewarisan nilai-nilai
kebenaran dan keluhuran moral atau budi pekerti atau akhlak bangsa.
Dunia pendidikan merupakan gerbang penjaga dan garda terdepan dalam
membangun moral bangsa. Bila dunia pendidikan sudah tidak lagi
memperhatikan, memuliakan, menghargai moral sebagai kekuatan
pendidikan maka keadaan bangsa di suatu waktu sudah bisa diperkirakan
kehancurannya.
Beberapa pemikiran berkaitan dengan pengembangan sekolah
sebagai institusi atau agen besar untuk membangun suatu bangsa melalui
moral, antara lain:
1. Meletakkan moral sebagai penguat bagi seluruh mata pelajaran.
Moral tidak hanya diajarkan dalam mata pelajaran moral tetapi
dimasukkan sebagai ruh, semangat atau spirit dari esensi dan subtansi
setiap bahan ajar. Ingat, semua mata pelajaran, isi bahan ajarnya ada
sebuah peradaban. Sedangkan peradaban senantiasa berisi tradisi
keilmuan dan tradisi moral. Pantaslah bila Theodore Roosevelt
sebagaimana yang dikutif Ratna Megawangi (2004:2) menyatakan,
“To educate a person in mind and not in morals is to educate a
menace to society”. Terjemahnya, “Mendidikan seseorang hanya
dalam aspek kecerdasan otak bukan pada aspek moral adalah
ancaman marabahaya dalam masyarakat”. Demikian pula yang
ditegaskan Mahatma Gandhi dalam Ratna Megawangi (2004:2)
menegaskan bahwa, “Birth and observance of forms cannot determine
one’s superiority or inferiority. Character is the only determining
factor”. “Kelahiran dan menjalankan ritual fisik tidak dapat
menentukan derajat baik atau buruk seseorang. Kualitas karakterlah
satu-satunya factor penentu derajat seseorang”.
2. Pendidikan anak yang diterima di sekolah menetukan peran masa
depan seseorang pada saat dewasa. Bekerja atau tidak, menjadi
pengusaha atau pengangguran, ulama atau penjahat, guru atau
pecandu, dokter atau tukang bubur, politikus atau penipu, birokrat
atau pecundang pemerolehan nilainya ditentukan pada masa kanak-
kanak, pada saat sekolah awal, “ at 3, you’re made for life” (pada usia
3 tahun, kamu dibentuk untuk seumur hidup). Demikian pentingnya
pendidikan usia dini bagi masa depan seseorang, Thomas Lickona,
sebagaimana dalam Ratna Megawangi (2004:23), menyatakan, “ A
child is the only know substance from wich a responsible adult can be
made”. “Seorang anak adalah satu-satunya “bahan bangunan” yang
diketahui dapat membentuk seseorang dewasa yang bertanggung
jawab. Bila pendidikan seperti diharapkan di atas berhasil diterapkan
pada anak-anak kita maka kelak mereka akan menjadi sumber daya
manusia pembangun bangsa yang bermoral, berakhlak, beretos dan
beretis kerja yang baik.
3. Pendidikan mental yang selama ini menjadi identitas bangsa
Indonenesia sebagaimana di kemukakan Koentjaraningrat (1993:45)
ada 5 sifat mentalitas bangsa Indonesia, (a) sifat mentalitas
meremehkan mutu, (b) sifat sikap mental suka menerabas, (c) sikap
tak percaya kepada diri sendiri, (d) sifat tak berdisiplin murni dan (e)
sifat mentalitas yang suka mengabaikan tanggung jawab yang kokoh
(Koentjaraningrat, 1993:45). Sikap mental yang buruk, jelek dan bad
seperti ini niscaya harus bisa diperbaiki oleh sekolah sebab setiap
orang sebelum dewasa pasti melalui pintu pendidikan. Bila ini
berhasil dilakukan maka Indonesia sebagai sebuah bangsa bakal
memiliki sumberdaya manusia yang berkualitas.
4. UNESCO (2000:20) telah menggaungkan peran pendidikan sebagai
penegak kualitas seseorang dana suatu bangsa dengan menekankan
pada: (a) learning to know yaitu belajar dimaksudkan untuk
mengembangkan manusia yang wawasan luas, lugas dan lunas serta
tuntas, (b) learning to do yaitu belajar dimaksudkan agar manusia
memiliki kemampuan, kesanggupan, kemampuan, keterampil untuk
melakukan sesuatu hal yang didasarkan pada wawasan pada level
learning to know, (c) learning to be yaitu belajar dimaksudkan agar
manusia pernah, penuh dan pengkuh dalam mengembangkan
kreativitas dan inovasi dalam hidup didasarkan pada dua modal awal
yaitu learning to know dan learning to do), (d) learning to life
togather yaitu agar manusia dengan berbekal pengetahuan,
keterampilan dan kreativitas mampu hidup sinergi, kolaborasi, dan
harmoni dengan sesama manusia dengan prinsif hidup saling
membeli, memberi dan mendaki, silih asah, silih asuh, silih asih.
Selain 4 vilar menurut UNESCO penulis merasa penting untuk
menambahkan gagasan lain sebagai ketuntasan dari gagasan
UNESCO, yakni (e) learning to be morally yaitu agar belajar
membuat manusia semakin bermoral, berbudi pekerti, berakhlak dan
berkarakter sehingga manusia mampu menemukan jati dirinya
sebagai mahluk yang paling sempurna dan (f) learning to be
spirituality yaitu belajar hendaknya sampai kepada klimak hakekat
manusia yakni mahluk yang semakin mengenal Tuhannya
berdasarkan pengetahuan, penghayatan dan kesadaran moral
imperatif.
5. Good citizenship, membangun manusia hanya sampai pada good
personality sebenarnya bukanlah yang luar biasa karena manusia
sejak lahirpun sudah begitu adanya (gifted), namun perjuangan
pendidikan hendaknya mengusahakan dengan keras agar meningkat
dari good personality ke best personality dan kemudian menjadi great
personality dan sampai pada execellence personality (pribadi yang
sempurna) sehingga tujuan pendidikan nasional good citizenship akan
tercapai dengan sempurna.
6. Nilai Pendidikan, pendidikan resep kehidupan yang paling
mengagungkan pantas Plato pernah menyatakan, “ Ilmu yang disertai
pendidikan yang tidak baik, lebih jelek dari pada kebodohan tanpa
pendidikan”. Orang kalau bodoh tanpa pendidikan paling juga hanya
bodoh bagi dirinya sendiri tetapi pendidikan atau kepintaran yang
disertai keburuhan bisa merugikan diri dan juga orang lain.
Kebodohan rakyat Indonesia yang tidak sekolah paling hanya dia
tidak bisa mencapai hidup sejahtera tetapi orang berpendidikan yang
buruk bisa korupsi merugikan dan merusak martabat bangsa.
7. Sekolah Kehidupan, bangsa kita ini terlalu banyak belajar tentang
bahan ajar tetapi miskin belajar kehidupan. Hasilnya banyak orang
pintar tapi kehidupannya menyedihkan dan bahkan menyengsarakan.
Sir Richard Fanjuston berkata, “ Kita telah disibukan oleh proses
belajar yang banyak bersifat materi dalam kancah kehidupan. Suatu
keharusan bagi kita untuk kembali pada pengajaran kita dan
kehidupan kita yang kurang memperhatikan pengajaran keagamaan
dan filsafat kehidupan. Berkurang juga contoh yang bisa menjadi
contoh buat mendidik jiwa kita sehingga berpengaruh juga terhadap
jiwa dan kehidupan umat”, Miqdad Yaljan (2003:39). Kalau
dimisalkan, beratnya emas yang ada di permukaan bumi dan diperut
bumi tidak bisa mengimbangi utamanya pendidikan moral bagi
kehidupan terutama dimasa-masa awal kehidupan. Akhirnya kita
sangat mengerti bahwa pendidikan kehidupan adalah kehidupan
pendidikan yang membangkitkan jiwa moral bagi kehidupan lebih
utama daripada pendidikan yang kehilangan jiwa moral.
Berkata, berkaca dan bermakna dari kondisi objektif budaya
bangsa Indonesia yang terkesan hanya menjadikan moral sebagai moral
knowing (pengetahuan moral) dan bukan moral acting (tindakan
bermoral) nampaknya pendidikan moral hendaknya menjadi suatu
gerakan nasional yang didukung oleh semua komponen terutama
kekuatan pemerintah untuk menekan dan membuat aturan yang
pelaksanaanya tegas serta dukungan lingkungan yang memiliki
sensitivitas atas segala penyimpangan moral sehingga hukum-hukum
sosial bisa menjadi control kuat atas pembudayaan gerakan masyarakat
bermoral. Bila gerakan bermoral atau revolusi moral dapat berjalan
sepanjang satu generasi hidup manusia, maka akan menjadi budaya
bangsa bermoral yang terakumulasi dalam peradaban bangsa. Maka tugas
pendidikan sampai pada pencapaian tujuan Goal atau Aims dan apabila
bangunan peradaban itu atas dasar nilai-nilai ilahiyah dan ukhorwiyah
maka tugas pendidikan sampai kepada ultimate goal.
BAB 13
PENDIDIKAN DAN PEMBANGUNAN MASA DEPAN

Memang ngeri-ngeri sedap, bahwa pendidikan yang memiliki


slogan sebagai agent of social change, agen perubahan yang menjadi
pelopor kemajuan, pada kenyataannya masih tergolong miskin dari
inovasi. Sayling Wen dalam buku Future of Education (2003)
menyebutkan bahwa perubahan di dunia pendidikan hanya 1 kali terjadi
dalam kurun waktu 40 tahun. Keadan ini benar-benar dirasakan dalam
realitas dunia pendidikan di Indonesia, yang hanya untuk mengganti
kapur sebagai alat tulis dan pengapus dari bantalan kain, ke alat tulis
spidol atau white board membutuhkan waktu puluhan tahun. Keadaan
seperti ini menggambarkan betapa lambannya perubahan yang terjadi di
dunia pendidikan yang pada awalnya menjadi tumpuan dan harapan
segala perubahan. Tetapi faktanya dunia pendidikan tertinggal jauh dari
dunia luar termasuk dunia industry, bisnis dan kerja. Ketertinggalan ini
mengakibatkan besarnya angka pengangguran terdidik yang dihasilkan
dunia pendidikan yang hingga kini masih berjumlah 6,88 juta pada bulan
Februari 2020 bahkan bisa mencapai 10,58 juta akibat pandemic Covid-
19 dan yang luar biasa jumlah terbesar pengangguran justru dari SMK
yang mencapai 8,49%.
Selain gambaran ketertinggal kemajuan dengan dunia luar,
ditimpali juga dengan kesalahan dalam melakukan pendekatan, yaitu
memandang perbedaan dengan mempersamakan. Keragaman tak lagi
menjadi pertimbangan krusial dan fundamental dalam menyajikan solusi
atas fakta, data, peristiwa dan informasi betapa manusia diciptakan dalam
takaran yang berbeda-beda, dengan perbedaan yang penuh keragaman,
keragaman yang berwarna-warni, warna-warni yang bervariasi dan
variasi yang multi dimensi. Anak didik sebagai manusia itu adalah unik.
Unik artinya tak memiliki yang dimiliki, tidak mengerti apa yang
dipahami dan tidak punya apapun yang dimiliki. Kaadaan yang begitu
kontras antar pribadi yang satu dengan yang lain, keragaman yang krusial
antar personal dengan personal dan kebhinekaan yang penuh warna antar
individu dengan individu lainnya, menegasi bahwa manusia itu adalah
dirinya. Manusia itu tidak bisa diseragamkan meski berpakaian seragam
dan tidak bisa dibedakan meski sudah nyata berbeda.
Dunia pendidikan selama ini telah memberikan jawaban atas
keragaman dengan keseragaman, bak sebuah rumah sakit atau dokter
yang didatangi ratusan pasien dengan keragaman penyakit dan lalar
belakangnya namun diberikan obat yang sama. Dan apabila ini yang
dilakukan dan begitu yang terjadi maka semua rumah sakit dan dokter
dinyatakan telah dengan nyata dan terang-terangan, sengaja, terencana
untuk melakukan malpraktek bersama dan sistemik. Jika rumah sakit dan
dokter seperti ini, apa yang akan terjadi? Semua rumah sakit ditutup dan
direktur rumah sakit, dokter dan para medis sudah berada di dalam sel
penjara. Jadi betapa konyol dan songkol keadaan institusi seperti itu.
Namun lain yang terjadi dengan sekolah yang sudah tahu bahwa setiap
anak datang dengan kepribadian 50% sama dan 50% -nya berbeda tetapi
tidak menyebabkan lahirnya perlakuan yang bebeda. Bila demikian maka
institusi pendidikan dan guru-gurunya telah melakukan kegilaan,
kedunguan dan kejahilan kelas kakap yang extra-ordinary, emergency,
cyto dan harus segera diamputasi bahkan dihabisi tanpa sisa sepotongpun.
Keberanian untuk melakukan sesuatu yang berbeda dan bahkan
tak ada sisa yang dibawa dari masa lalu yang durjana, durhaka dan
malpraktek menjadi prasyarat mutlak bagi dunia pendidikan untuk
bangkit dari keterpurukan, keterbelakangan dan ketertinggalan yang
menganga dan penuh sengaja. Bill Clinton sebagaimana dikutif oleh Neil
Postman (1995) menyatakan, “untuk kemajuan Amerika, kini dibutuhkan
orang-orang yang tidak merasa ‘terluka’ oleh kemajuan sains dan
teknologi baru dan terus melakukan adaptasi untuk sukses ”. Orang-orang
terdahulu –untuk tidak menyebut guru terdahulu—yang mengalami
kesulitan beradaptasi dengan kecepatan kemajuan sains dan teknologi,
perlu segera dilakukan penyegaran –untuk tidak menyebut diberhentikan
karena terlalu menyakitkan—dan digantikan oleh generasi millenial
dengan persiapan, penyiapan dan kesiapan yang matang dengan telah
dipertimbangkan, mampu diperbandingkan, tandang untuk
dipersandingkan dan pasti menang untuk dipertandingkan. Itulah petisi,
isi dan pengisi dunia pendidikan kini dan nanti yang bukan lagi sebagai
tawaran melainkan keniscayaan. Mutlak harus dilakukan meski akan
mendapat penentangan dan reaksi berbagai aksi yang terkonsolidasi
dengan rapi. Tetapi itulah resiko dan harga mati dari sebuah perubahan
untuk kemajuan dan kesuksesan sebuah negeri.
Pergeseran paradigma yang memaksa kita semua dan menyeret
sekolah ke ujung pertarungan, hanya akan bisa dilakukan apabila
pemerintah dan dunia pendidikan mampu dengan cepat melakukan
reformasi sekolah dengan mempersiapkan hal-hal berikut:
1. Rekonstruksi Visi
Menurut Undang-Undang Dasar 1945 tujuan pendidikan nasional
diatur dalam pasal 31 ayat 3, “Pemerintah mengusahakan dan
menyelenggarakan satu system pendidikan nasional yang meningkatkan
keimanan dan ketakwaan serta akhlak mulia dalam rangkan
mencerdaskan kehidupan bangsa”. Pasal 31 ayat 5 menyatakan,
“Pemerintah memajukan ilmu pengetahuaan dan teknologi dengan
menjunjung tinggi nilai-nilai agama dan persatuan bangsa untuk
memajukan peradaban serta kesejahteraan umat manusia”. Demikian pula
menurut Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional No. 20 tahun 2003
menyatakan, “ Pendidikan Nasional berfungsi mengembangkan
kemampuan dan membentuk watak bangsa serta peradaban bangsa yang
bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan
untuk berkembangnya poteni peserta didik agar menjadi manusia yang
beriman dan bertakwa Kepada Tuhan Yng Maha Esa, berakhlak mulia,
sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri dan menjadi warga Negara yang
demokratis serta bertanggung jawab”.
Dalam konteks Undang-undang yang pelaksanaannya dijamin
oleh pemerintah terdapat beberapa tujuan pendidikan yang masih berupa
visi jangka panjang (yaitu tujuan Aims dan Goal) yang dirumuskan
secara jelas teksnya dan konteksnya masih perlu penerjemah waktu dan
tempat. kondisi dan koreksi, harapan dan kemauan, tantangan dan
peluang, kebijakan dan kebajikan agar visi itu selalu bermutu disepanjang
waktu tetapi esensi spirit zamannya tetap satu yaitu bangsa yang
bermartabat sebagai hasil dari pendidikan yang berwatak bagi peradaban
bangsa yang berkecerdasan tinggi dalam sains dan teknologi yang
dihasilkan secara mandiri.
Tawaran yang bisa dijadikan solusi untuk merekonstruksi visi
agar bisa beradaptasi dengan kemajuan sains dan teknologi dimasa kini,
antara lain terdiri: (a) jadikan harga diri bangsa atau martabat bangsa
sebagai jati diri dan filosofi pendidikan. Jadi pendidikan bukan sekedar
mencerdaskan kehidupan bangsa tetapi pertarohan dan pertarungan harga
diri bangsa dimata dunia, dimasa dunia dan dimana dunia, (b) watak
bangsa perlu dibangun dari otak bangsa bukan dari otot kuda. Jadi
pelajaran matematika hendaknya diajarkan dalam logika dan algoritma
bukan hanya belajar angka. Pelatihan keterampilan sesederhana apapun
hendaknya diajarkan berbasis konsep agar bisa menguliti dan
menginspirasi munculnya kreativitas dan difusi inovasi yang massively,
(c) peradaban bangsa, dunia pendidikan adalah pembangun peradaban
bangsa dengan syarat mutlak mampu memupuk tradisi keilmuan dan
keluhuran moral. Dunia pendidikan yang tidak membangun peradaban
berarti terjebak pada pasar pengetahuan yang hanya menjadikan ilmu
sebagai objek transaksi jual beli.
Bila dunia pendidikan terjebak pada pragmatism keterampilan
yang tidak konseptual dan melupakan basis knowledge dari keterampilan
itu sendiri maka sekolah akan tetap terperangkap pada sekedar transfer of
knowledge bukan pada transfer of added value. Dunia pendidikan perlu
senantiasa melakukan pembaharuan internal agar bisa menjadi innovator
dan bukan menjadi adopter apalagi follower. Dunia pendidikan tidak
relevan lagi bila hanya melatihkan keterampilan dan bukan melatihkan
berinovasi keterampilan. Oleh karena itu, kini guru tidak boleh lagi
bertanya pada anak didiknya, akan kerja dimana? Akan jadi apa? Itu
sudah ketinggalan abad, kelewatan zaman, kedahuluan waktu dan using
masa. Pertanyaan yang relevan adalah akan membuat apa? Akan
menciptakan apa? Akan menjadi pengusaha apa? dan seterusnya.
2. Reformasi Kebijakan
Reformasi kebijakan acapkali menemukan kegagalan, mengalami
kedangkalan dan melukai kebenaran karena tidak dibarengi dengan
kebajikan. Begitu banyak produk kebijakan (aturan) yang tidak jelas
target outcome atau produk kualitasnya disebabkan visi kebijakan yang
tidak visioner dan tidak berbasis solusi masalah. Beberapa contoh akan
diuraikan untuk koreksi kebijakan, antara lain:
a. Kegagalan wajar 12 tahun untuk mencapai rata-rata lama sekolah,
salah satunya disebabkan produk Undang-undang Sistem
Pendididikan Nasional yang tidak menetapkan sanksi hukum bagi
orangtua yang menelantarkan anaknya jika tidak sampai tamat SLTP.
Padahal dari sisi pembiayaan pemerintah sudah menyediakan bantuan
berupa BOS atau PIP dan bantuan lainya sehingga tidak ada alasan
tidak sekolah karena faktor biaya.
b. Ketika laporan PISA menohok hasil daya saing siswa yang rendah
dalam daya baca, matematika, sains dan teknologi maka pemerintah
pusat atau daerah segera membuat sekolah “Luar Biasa’, Up Student
yang diambil dari siswa-siswa luar biasa kecerdasannya yang
seringkali tidak terakomodir dalam sekolah biasa dengan fokus pada
program yang sesuai kebutuhan PISA Assessment. Ini bukan soal
regulasi tapi soal martabat bangsa sendiri. Sebuah sekolah
berkebutuhan khusus untuk anak-anak dengan potensi yang luar
biasa. Kebijakan seperti ini bukan diskriminasi tetapi melayani sesuai
dengan keadaan siswa yang sebenarnya. Bila kebutuhan khusus
“kebawah” bisa maka kebutuhan khusus “keatas” pun harusnya bisa
juga karena sama-sama berkebutuhan khusus.
c. Pengangguran yang tinggi dari lulusan SMK. BOS mestinya tidak
hanya dialokasikan untuk membiayai proses KBM dan segala embel-
embelnya tetapi bisa dirancang untuk menjadi alat intruksi dan
negosiasi bahkan voucer atau hadiah bagi SMK yang tidak
menyisakan alumninya untuk terserap pada tiga K : Kerja, Kuliah dan
Kewirausahaan. Fasilitasi setiap alumni yang ingin kerja untuk dapat
pekerjaan sebelum kelulusan. Fasilitasi setiap alumni yang ingin
kuliah untuk bisa kuliah dengan pola bapak asuh, beasiswa prestasi,
beasiswa CSR, beasiswa patungan warga, beasiswa kerja, beasiswa
KIP Kuliah dan setersunya. Fasilitasi setiap siswa yang ingin
berwirausaha untuk dapat kesempatan, permodalan dan bimbingan
berwirausaha sejak masa sekolah.
3. Reformulasi Guru
Tidak ada yang berani atau bisa menyangkal bahwa kehadiran
guru di sekolah begitu menentukan karena guru merupakan figure sentral,
contoh nomor satu, teladan nomor wahid, dan model number one bagi
bagi kesuksesan setiap siswanya. Sebab 100% keberhasilan siswa berada
dalam idealime pikiran guru, pada hati moralitasnya, berupa minda yang
mencerdaskan, rasa tanggung jawab mengemban amanah, komitmen
menjalankan profesi dan kecintaan sejati untuk berbagi. Guru penentu
keberhasilan dan siswa penyangga kesuksesan. Cerna dengan suka
pernyataan yang diungkapkan Sayling Wen (2003), “tidak ada yang
namanya kegagalan belajar yang ada adalah ketidakmampuan mengajar”.
Ketidakmampuan mengajar mungkin saja terjadi di Indonesia karena
rendahnya mutu guru. Berdasarakan data UNESCO dalam Global
Education Monitoring Report 2016 pendidikan di Indonesia menempati
peringkat ke-10 dan 14 negara berkembang dan kualitas guru menempati
urutan ke-14 dari 14 negara berkembang di dunia. Demikian juga dari 3,9
juta jumlah guru 25% belum memenuhi kualifikasi akademik (S1) dan
53% belum memiliki sertifikat profesi. Bahkan data yang lebih serem
sebagai mana yang dilansir R Ella Yulaewati Rumindasari Direktur
Penbinaan Pendidikan Anak usia Dini (PAUD) Kementerian Pendidikan
dan Kebudayaan, menyatakan bahwa dari 600 ribu guru PAUD, baru
30% yang sudah memenuhi kualifikasi S1, itupun tidak semua
merupakan lulusan dari Pendidikan Anak Usia Dini, ditulis oleh Aisya
Maura 2018 yang tersedia di www.blog.ruangguru.com
Lebih lanjut Aisya Maura (20 Desember 2018) memuat hasil
penelitiannya yang mendapatkan data fantastik bahwa dari lulusan LPTK
berakreditasi A hanya 25% lulusan sarjana pendidikannya yang benar-
benar mengabdi jadi guru sedangkan 75% lagi memilih untuk bekerja
diperusahaan swasta, multinasional, melanjutkan ke jenjang lebih tinggi
dan menjadi wirausahawan. Sementara dari 421 LPTK yang terakreditasi
A hanya 18 LPTK, 81 akreditasi B dan sisanya 322 LPTK di bawah B.
Belum lagi dilihat dari sisi personal guru atau kepribadian guru
dalam merespons perubahan sebagai penentu keberhasilan guru dan
mengajar. Menurut Rogert (1983) dala buku Reforming School terdapat 5
sikap guru dalam merespons perubahan. Pertama, Innovator yakni sikap
guru yang mampu mempelopori terjadinya perubahan atau inovasi tanpa
tesekat jerat birokrasi atau kultur hirarki, namun jumlahnya sangat kecil
sangat kecil, sehingga tak cukup untuk menjadi pencelup sekalipun, bila
rumus inovasi ada di 2% puncak piramida maka dibutuhkan guru dengan
level innovator sebanyak 78.000 guru, yakni 2% dari 3,9 juta guru.
Kedua, Early Adopter yakni sikap guru yang sanggup lebih awal
beradaptasi dengan perubahan baru, apapun resiko yang dihadapi dan
tidak butuh penguatan dari pihak lain untuk berubah. Jika rumus orang
yang lebih cepat berada hanya di 10% maka akan ada guru yang resfek
terhadap perubahan sejumlah 390.000 guru. Ketiga, Early Majority
yaitu guru yang sanggup berubah mendahului mayoritas guru pada
umumnya dengan hanya cukup sedikit motivasi eksternal. Bila ada guru
dalam kategori early majority 20% sesuai dengan rumus hukum Fareto
maka akan didapatkan guru yang mampu mempelopori kecepatan
merespon perubahan sebanyak 780.000 guru. Keempat, Late Majority
yaitu sikap guru yang perubahannya lebih lambat dari mayoritas. Respons
guru yang baru mau bergeser sedikit apabila ada ancaman dan hukuman
yang mematikan, seperti diputus hubungan kerja atau ancaman
diberhentikan dari pekerjaan baru bergeliat untuk merespon, itupun masih
tanya sana tanya sini, sembari bingung tak tahu apa yang harus dilakukan,
kapan akan memulai dan bagaimana cara memulainya. Jumlah orang atau
guru dalam kategori late majority biasanya benar-benar merupakan
mayoritas 60% makan akan dihasilkan jumlah guru malas sebanyak
2.340.000 orang. Kelima, Laggard yaitu sikap guru yang benar-benar
alergi, benci, phobia dan anti perubahan tersisa 8% maka akan ada guru
yang sudah mati tapi masih hadir ke kelas sebanyak 312.000 orang dan
kalau rumusnya 1 guru memegang satu kelas, maka akan ada 312.000
kelas yang diajar oleh mayit mengajar. Bila satu kelas rata-rata 32 siswa
maka akan ada sebanyak 9.984.000 siswa hadir di ruangan hanya
menonton kunti lanak, sundel bolong yang melakukan penampakan diri
di kelas.
Memperhatikan kondisi guru yang begitu adanya maka bagaimana
melakukan pembenahan terhadap keadaan guru agar mengalami
perubahan yang signifikan antara lain:
a. Pemerintah telah mengeluarkan Paraturan Presiden RI No. 2 tahun
2015 tentang RPJMN 2015-2019 arah kebijakan dan strategi
pembangunan bidang pendidikan, diprioritaskan pada peningkatan
profesionalisme, kualitas dan akuntabilitas guru dan tenaga
kependidikan melalui; (a) penguatan system Uji Kompetensi guru
sebagai bagian dari proses penilaian hasil belajar siswa, (b)
pelaksanaan penilaian kinerja guru yang sahih dan andal serta
dilakukan secara transparan dan berkesinambungan, (c) peningkatan
kualitas akademik dan sertifikasi guru dengan perbaikan desain
program dan keselarasan disiplin ilmu, (d) pelaksanaan
pengembangan keprofesian berkelanjutan bagi guru dalam jabatan
melalui latihan berkala dan merata serta penguatan KKG/MGMP dan
(e) pelaksanaan pembinaan karir, peningkatan kualifikasi,
pengembangan profesi/kompetensi bagi tenaga kependidikan
termasuk kepala sekolah dan pengawas tersedia di alamat
www.rise.smeru.or.id.
b. Sinergi LPTK dengan kebijakan pemerintah dalam bidang pendidikan
niscaya menjadi kebutuhan, agar calon guru yang dihasilkan dapat
menjalankan kemungkinan inovasi kurikulum ketika mereka menjadi
guru. Karena problem ini banyak dirasakan di lapangan bahwa para
guru tidak dengan cepat siap untuk menjalani perubahan atau inovasi
apalagi mempelopori terlahirnya inovasi. Matakuliah yang berkaitan
dengan pembentukan kepribadian kreatif,inovatif dan respek terhadap
perubahan nampaknya harus lebih banyak diberikan ketimbang mata
kuliah penguasaan bahan ajar dan metode mengajar. Mata kuliah
yang berkaiatan dengan bahan ajar sebaiknya dirubah pendekatanya
dengan lebih banyak mengajarkan konseptual ketimbang praktikal
agar bisa berimprovisasi ketika menghadapi kemajuan.
c. Penggajian guru sebaiknya mencukupi kesejahteraan di atas standar
agar guru menjadi kelompok menengah yang tidak perlu nyambi
sana-sini selain menjadi Guru Pembelajar. Tugasnya membimbing
anak didik dengan idealism hidup sejahtera, memperbaharui
pengetahuannya dengan membaca atau bergabung diorganisasi
profesi yang visioner, mengembangkan bahan ajar agar
menyenangkan, mengesankan dan sekaligus kontekstualisasi bahan
ajar dalam kehidupan.
d. Guru sebaiknya diberi beban mengajar dengan tidak terlalu banyak
sehingga mereka memiliki waktu yang cukup untuk mengembangkan
profesinya secara rutin, simultan dan berkelanjutan, misalkan mereka
mengajar 4 hari, 1 hari pengembangan profesi sampai mereka
mengerti bahwa pendidikan merupakan agen kunci membangun
peradaban bangsa yang bermartabat bukan sekedar sebagai
penyampaian pengetahuan yang kehilangan spirit zamannya.
4. Regulasi Kurikulum
Kurikulum itu jantungnya pendidikan. Pompa jatung bermasalah
maka masalah pula dengan seluruh organ tubuhnya. Kurikulum dunia
pendidikan kita nampaknya mengalami discleak filosofi sehingga
terkesan banyak diganti. Penggantian kurikulum bukan hanya
menggambarkan respons terhadap kemajuan tetapi respons terhadap
kebingungan. Pertama, bingun menentukan jati diri kurikulum yang
semestinya, apakah berakar dari budaya bangsa atau loncat untuk
menerkan kemajuan yang ada. Resikonya kalau berhasil hebat atau gagal
yah diterkam kemajuan. Seperti hari ini dalam bidang ekonomi yang
memangkas kemandirian karena loncat untuk menggapai yang pragmatis
untuk sekedar menjual pasar besar bagi orang luar yang mau berinvestasi.
Sehingga selamanya akan menjalani ekonomi ketergantungan bukan
interindependensi. Kedua, gugup dengan kemajuan dunia luar yang tidak
terelakan namun melupakan apa yang menjadi kebutuhan dasar dari
bangsanya sendiri. Pendidikanpun mengabaikan peran penting petani
untuk diubah maindset-nya sehingga bisa menjadi petani modern yang
sanggup “ menanam yang dijual bukan menjual yang ditanam”. Ketiga,
nampak menggunakan pendekatan kurikulum dengan turunan filsafat
yang bukan filosofi bangsanya sendiri. Ingat bahwa Indonesia ini
falsafahnya Pancasila sehingga kurikulumpun hendaknya diturunkan dari
falsafah Pancasila bukan dari filsafat humanisme, rekonstruksionisme,
empirime, idealism, nativisme, naturalime, rekonstruksi social,
perenialisme, esensialisme bahkan nihilisme dan lain-lain yang mereka
gunakan karena itu milik mereka dan bukan milik kita. Kita punya filsafat
sendiri yang bisa diturunkan kedalam pendekatan kurikulum pendidikan
agar berjiwa Indonesia dan berkarya dunia.
5. Reaktualisasi Pembelajaran
Bukan rahasia lagi, semua orang tahu, semua insan pendidikan
merasakan hal yang sama dan siswa turut merasakan hal yang tidak
berbeda bahwa apapun pergantian kurikulum yang dilakukan tidak
pernah bisa mengubah suasana kelas yang agak berbeda apalagi sangat
berbeda. Rasanya kelas dengan segala perubahan kurikulum begitu-
begitu saja. Pendekatan pembelajaran yang teacher centered, subject
matter centered, activity centered atau student centered dan pendekatan
lain sepertinya kelas belum mau diganggu, enggan diubah dan malas
diganti. Karena tidak menghasilkan perubahan maka akhirnya diganti
pendekatan baru dan bernasib sama maka lama-kelamaan jadi terbiasaan
dengan perubahan yang tidak mengubah.
Sulitnya kelas berubah sesuai kehendak perubahan kurikulum
mengisaratkan. Pertama, guru-guru Indonesia memiliki potensi,
pembiasaan dan tradisi khas yang bisa dikembangkan menjadi kekuatan
perubahan pembelajaran tetapi bergaya khas alan guru Indonesia. Kedua,
bisa juga guru-guru kita memiliki potensi, pembiasaan dan tradisi yang
sulit diubah meski dengan pendekatan struktural maupun kultural.
Struktural yaitu pendekatan kekuasaan dari atas ke bawah maupun
pendekatan kultural yaitu dengan perubahan budaya, gerakan perubahan
dari kesadaran kolektif para guru. Ketiga, kemungkinan guru-guru kita
siap berubah tetapi tidak tahu bagaimana caranya melakukan perubahan.
Keempat, guru-guru memiliki potensi, pembiasaan dan tradisi perubahan
tetapi belum menemukan momen yang tepat. Kelima, perubahan bisa saja
terjadi dengan peran kekuatan tangan Tuhan.
Seiring dengan kemajuan teknologi yang terus berkembang
dengan pesat bahkan melampaui kecepatan berpikir maka dunia
pendidikanpun mengalami perubahan yang semakin maju. System
pendidikan yang awalnya menggunakan system pengajaran konvensional
dan tradisional kini mengalami pergeseran yang sangat cepat kesistem
digital. Awalnya pembelajaran hanya terjadi di ruang kelas berbatas kini
beralih ke ruang kelas tanpa batas. Dahulu belajar benar-benar terikat
oleh ruang, waktu dan guru. Kini semuanya berada ruang virtual serba
digital, kelas maya di ruang angkasa.
Penulis akan berusaha menyajikan beberapa pendekatan
pembelajaran yang didasarkan atas perbedaan potensi, karakter,
kebutuhan, dan gaya belajar yang dimungkinkan lebih menghargai
perbedaan unik setiap individu, antara lain: Pertama, pembelajaran Aktif
yaitu pembelajaran yang didasarkan atas asumsi bahwa jika didasarkan
pada minat siswa akan mempermudah terjadinya proses pembelajaran.
Pembelajaran akatif mengedepankan murni peminatan, pelajaran mana
suka dan lebih banyak mata pelajaran pilihan, waktu pilihan dan guru
pilihan termasuk media belajar pilihan yang penting standar mastery
learning tercapai dengan baik dan pembelajaran yang dilakukan anak
termonitoring serta terdokumentasikan dengan baik. Pada pembelajaran
aktif, siswa lebih banyak porsinya untuk menentukan pilihan-pilihan
belajar yang lebih tepat dengan pilihannya masing-masing. Sekolah
ditempatkan untuk mengelola pembelajaran dalam lingkup manajemen
pembelajaran berbasis kesukaan siswa. Pembelajaran seperti ini
meniscayakan guru tidak mengukur kemampuan siswa dengan
kemampuan guru, kesadaran siswa dengan kesadaran guru atau
pengalaman guru dengan pengalaman siswa. Guru lebih percaya bahwa
anak memikiki tanggung jawab untuk belajar, punya target belajar sendiri
dan gaya belajar masing-masing. Kedua, pembelajaran Progresif, yaitu
pendekatan belajar yang menempatkan siswa sebagai perancang
pembelajaran dengan target belajar yang dipandu atau ditetapkan
bersama-sama. Pembelajaran dengan pendekatan ini disajikan atau
ditawarkan buat siswa-siswa yang memiliki kemampuan belajar kelas
menengah ke atas. Siswa seperti ini tidak perlu dikerangkeng untuk
menyelesaikan studi dengan masa sekolah yang sama dengan siswa-siswa
yang standar. Ia bisa lebih cepat atau maksimal sama. Ketiga
pembelajaran Akseleratif yaitu pendekatan pembelajaran yang lebih
memberikan tawaran untuk menyelesaikan masa studi lebih singkat dari
yang biasa (SD 4 tahu, SMP 1 tahun atau SMA 2 tahun). Manajemen
sekolah dan tentunya guru memahami betul bahwa disetiap sekolah
selalau ada anak dengan kemampuan belajar yang luar biasa. Mereka
tidak boleh disatukan dengan kelas yang biasa agar bisa bertumbuh dan
berkembang lebih cepat sesuai dengan kebutuhan dirinya masing-masing.
Kita mesti yakin dan percaya bahwa mereka akan sanggup berlari dengan
kecepatan yang mereka miliki. Gurupun harus dipilih yang respek pada
kemungkinan adanya anak yang tidak normal ke bawah dan ke atas (ada
yang di bawah standar ada yang di atas standar) meski persentasenya
sedikit. Tetapi sekolah harus menghargai hak berbeda dari setiap individu
yang Tuhan telah takdirkan berbeda dari orang lain pada umumnya.
Sedangkan pembelajaran yang didasarkan pada pendekatan
kemudahan memperoleh, mendapatkan, mengakses dan menggunakan
bahan ajar bukan atas dasar karakteristik pembelajaran siswa, sekurang-
kurangnya dapat diuraikan sebagai berikut: (a) Modul yaitu bahan ajar
yang dibuat berorentasi terhadap teknologi atau digitalisasi (b) e-
Learning, yaitu pembelajaran menggunakan internet (c) Hybrid Learning
perpaduan pembelajaran luring dan daring, tapi lebih besarnya
pembelajaran secara daring (online) (d) pembelajran Virtual.
Generasi 4.0 merupakan peralihan antara generasi Z dan genarasi
Alfa. Generasi Z adalah sebutan untuk anak-anak yang lahir tahun 1990-
an hingga 2015-a (Mccrindle, 2014). Generasi Z dicirikan dengan
karakter yang kurang fokus ketimbang generasi milenial, tetapi lebih
serba praktis; lebih individual, lebih global, lebih berpikiran terbuka,
lebih cepat terjun ke dunia kerja, lebih banyak yang berwirausaha, dan
tentu saja lebih ramah teknologi (Adam, 2018).
Pendidikan di Genarasi 4.0 merupakan istilah umum yang
digunakan untuk menggambarkan cra untuk mengintegrasikan teknologi
baik secara fisik maupun tidak ke dalam sebuah pembelajaran. Teknologi
dapat memberikan manfaat dan kekurangan, baik bagi anak-anak maupun
guru di sekolah. Bagi anak-anak, teknologi dapat membantu
memudahkan belajar. Namun teknologi juga membawa perubahan
karakteristik pada anak. Anak-anak menjadi lebih banyak berinteraksi
dengan gawai daripada dengan orang-orang di sekelilingnya (Vinayastri,
2019).
Perkembangan teknologi juga memiliki pengaruh besar pada
peran guru di kelas. Sistem manajemen sekolah yang didukung teknologi
dapat membantu guru memantau kemajuan setiap ruang kelas,
berkomunikasi dengan orang tua siswa dan memberikan respons
langsung terhadap kesulitan yang dihadapi siswa. Betapapun modern dan
pentingnya kemajuan teknologi, tidak dapat menggantikan peran guru
atau mengubah guru menjadi robot. Karena itu, bagaimana
memanfaatkan dan menguasai teknologi untuk mendukung dan
menciptakan kebebasan, kreativitas dalam pendidikan merupakan
tantangan bagi setiap guru dan lembaga sekolah.
Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi Kemendikbud
(kompas.Com, 3 November 2020) menegaskan bahwa lulusan Perguruan
Tinggi yang bisa bersaing di era 4.0 hanyalah mereka yang memiliki
keterampilan 5 C:
1. Complex problem solving, yaitu kemampuan memecahkan masalah
yang kompleks bahkan kecanggihan teknologi bisa menyelesaikan
masalah yang komplek. Itulah sebabnya tantangan bagi angkatan
kerja harus mampu memanfaatkan dan mengalahkan kemampuan
teknologi canggih dalam menyelesaikan persoalan-soalan yang super
rumit dan meta canggih.
2. Critical thinking, yaitu kemampuan berpikir yang memungkinkan
seseorang mampu membuat keputusan berdasarkan informasi yang
diperoleh dan diolah dengan menggunakan teori berpikir yang benar
dan besar. Kemampuan berpikir kritis dilakukan dengan cara
menganalisis, menilai, mengevaluasi dan merekonstruksi hasil
pikirannya kedalam sebuah formula dan pola baru yang sistemik dan
sistematik. Berpikir kritis merupakan konsep untuk merespons
pemikiran atau teorema atau masalah yang dihadapi dengan
menggunakan logika, algoritma, analisis yang mendalam dan
mendasar bahkan radiant untuk sampai kepada tingkat keyakinan
kebenarnya sehingga bisa diambil keputusan secara tepat dan benar.
Berpikir kritis bukan perkara yang mudah sebab melibatkan seluruh
kekuatan mental dan pikiran untuk memahami, membandingkan,
menganalisa dan mensitentas berbagai informs untuk diambil sebuah
keputusan yang pasti benarnya dan benar dalam kepastian. Menurut
Trudy Bayer dalam www.indopositive.org, 11/2019, ada 6 kriteria
berpikir kritis: (a) watak (dispositions) yaitu sikap terbuka terhadap
hal-hal yang baru, berintegritas tinggi, respek terhadap kejelasan dan
ketelitian, mencari pandangan yang berbeda serta kesediaanya
berubah ketika menemukan yang paling benar, (b) krietria (criteria),
berpikir kritis memerlukan patokan atau rujukan standar baku seperti
relevansi yang kuat, validitas dan akurasi data, sumber yang kredibel,
teliti, tidak bias, bebas dari logika yang keliru, logikanya konsisten
dan pertimbangan yang matang, (c) argument (argument), adalah
pernyataan atau preposisi yang dilandasi oleh data yang akurat
melalui pengenalan, penilaian dan penyusunan argument, (d)
pertimbangan atau pemikiran (reasoning), yaitu kemampuan untuk
merangkum kesimpulan ari satu atau beberapa premis melalui
tahapan analisis dasar, menguji hubungan antara beberapa pernyataan
atau data, membandingkan informasi dari berbagai sudut, (e) sudut
pandang (point of view) yaitu sebuah cara memandang atau
menafsirkan suatu data atau informasi untuk menentukan konstruksi
makna, (f) prosedur penerapan kriteria (procedures for applying
criteria), yaitu cara berpikir kritis untuk merumuskan permasalahan,
menentukan pilihan keputusan, mengidentifikasi perkiraan-perkiraan,
membuat prioritas pilihan keputusan dan keputusan yang diambil.
3. Creativity yaitu proses mental untuk menghasilkan sesuatu yang baru
(sebagian atau seluruhnya) baik produk gagasan atau ide, jasa
maupun barang dengan memunculkan keaslian atau modifikasi.
Dalam formula kreativitas biasa muncul rumus ATM, Amati Tiru
Modifikasi) amati apa yang diketahui, kenali lebih dalam, cari celah
dan temukan peluangnya. Setelah diketuai apa adanya kemudian gali
adanya apa setelah diketahu adanya apa baru dilanjutkan dengan
melakukan memodifikasi, sebagian atau keseluruhannya, menambah
fungsi baru, merubah mekanika yang ada, merubah bentuk,
mempercepat proses, menghasilkan produk yang berbeda dan
seterusnya. Setiap orang memiliki potensi kreatif dengan kekuatan
sebagai berikut: (a) setiap orang memiliki rasa ingin tahu tentang
sesuatu hal, (b) setiap orang senantiasa merasa tidak puas dengan
yang sudah ada, (c) setiap orang merasa ingin memiliki yng baru, (d)
setiap orang punya pengalaman awal yang bisa dikembangkan, (e)
setiap orang bisa melakukan atau melihat sesuatu hal dari sudut yang
berbeda (out of the box), (f) setiap orang bisa mengubah rasa takut
dengan mencoba. Graham Wallas dalam bukunya ‘The Art of
Thought” sebagaimana yang tersedia di www.akun.biz menyatakan
ada 4 tahapan proses kreatif, yakni: (a) Tahap Persiapan yaitu
mempersiapkan diri untuk memecahkan masalah dengan
mengumpulkan data dan informasi, mempelajari pola berpikir orang
lain dan bertanya pada pihak lain, (b) Tahap Inkubasi yaitu proses
menghentikan segala mencarian dengan mengendapkan segala hal
dan membawanya ke bawah sadar untuk memunculkan pikiran baru,
(c) Tahap Iluminasi yaitu tahap timbulnya “insight atau Aha Erlibnis”
semacam tahap munculnya inspirasi gagasan baru, (d) Tahap
Verifikasi yaitu tahap pengujian ide atau kreasi baru bagi suatu
praktek dengan memadukan pikiran kreatif (konvergensi) dan pikiran
kritis (divergensi).
4. Coordination flexibility yaitu suatu sikap terbuka untuk melakukan
kordinasi yang multi arah, multi pendekatan, multi sasaran dan multi
perbedaan untuk mencapai kesamaan rasa, pandangan, pikiran dan
tindakan. Kordinasi fleksibel memiliki beberapa ciri utama antara
lain: (a) adanya kebutuhan untu saling mendekat tanpa
mempersoalkan perbedaan, (b) adanya kelenturan psikologis untuk
menerima perbedaan kepentingan, (c) menyatukan kekuatan untuk
membangun kekuatan baru yang saling menguntungkan (menang-
menang bukan menang-kalah atau kalah-kalah), (d) meminimalkan
rigiditas atau kekakuan dari kedua belah pihak.
BAB 14
NEGARA DENGAN SISTEM PENDIDIKAN TERBAIK DUNIA

Kita benar-benar menyaksikan dengan mata, kepala, dan telinga


sendiri terjadinya perbedaan kemajuan yang sangat mencolok antar
berbagai Negara. Ada Negara yang sudah sangat maju mereka
menghimpun diri dalam G8 (Group Eight) negara berkembang yang
berhimpun dalam G20 (Group of Twenty) dan Negara-negara miskin atau
tertinggal yang berhimpun dalam (poor country) apakah kemajuan yang
terjadi di setiap Negara ada korelasinya dengan kemajuan pendidikan di
Negara tersebut? Meskin tulisan dalam buku ini tidak akan membahas
pertenyaan itu, namun sekurang-kurang penting untuk mengenali ciri-ciri
dari pendidikan yang baik dengan mendapat pengakuan dunia. Ada lima
Negara dengan pendidikan terbaik yang akan dibahas dalam uraian bab
ini yakni:
1. Finlandia
Negara yang terletak di ujung Benua Eropa memiliki system
pendidikan yang terbaik, unik dan menarik. Ada beberapa ciri utama dari
system pendidikan yang dijalankan di Finlandia seperti: a) suasana
pembelajaran yang tergolong santai dan informal, b) tidak adanya
seragam sekolah, c) tidak ada system ranking, tidak ada ujian kecuali satu
kali saja semasa sekolah yaitu kelulusan akhir di usia 16 tahun
(matrikulasi nasional), d) sekolah dilarang memberi banyak PR, e) biaya
pendidikan gratis betulan, f) menanamkan kegemaran membaca dan g)
setiap sekolah diajarkan dengan guru tanpa membeda-bedakan dan guru
diambil dari orang-orang kualitas terbaik, h) sebanyak 43% siswa sekolah
menengah atas bersekolah di sekolah Vokasi, i) selepas usia 16 tahun
mereka melanjutkan dengan pilihan yang bebas sesuai minat masing, j)
tidak ada sekolah swasta semua dibiayai Negara sehingga tidak ada
kesenjangan, k) sekolah tidak menekankan pada kompetisi tetapi pada
kolaborasi, kerjasama untuk bersinergi, l) jam istirah cukup banyak setiap
45 menit, 15 menit istirahat, sehari sebanyak 75 menit waktu istirahat, m)
kurukulum dirancang berupa pedoman yang luas sehingga guru bebas
menentukan gaya dan ide pembelajaran sendiri, n) profesi guru sangat
dihormati dan dihargai dengan gaji yang tinggi, o) guru harus bergelar
Magister dengan keharusan menyelesaikan program kualifikasi profesi,
p) pendidikan sangat menghargai hasil-hasil penelitian pedagosik, tidak
khawatir secara politis, tidak ada anarki kekuasan, tidak takut
berekperimen sehingga guru bisa menemukan solusi “out of the box”.
Dan r) di sana pendidikan untuk anak usia dini sangat diperhatikan
sehingga 97% anak usia 3-6 masuk Day care atau TK (diambil dari
berbagai sumber https://edukasi.kompas.com, tanggal 3 Januari 2020), s)
rata-rata orang Finlandia menguasai 4-5 bahasa Finkandia, Swedia,
Jerman, Prancis, Inggris, Spayol yang dipelajari sejak kelas 5 Sekolah
Dasar, t) 8 kunci keberhasilan dalam kompetensi pembelajaran seumur
hidup ( belajar untuk terus belajar, mampu berkomunikasi dalam bahasa
Finlandia dan asing, kompetensi dalam bidang social dan sipil, kesadaran
akan budaya dan ekspresinya, keterampilan digital, kompetensi
matematika dan ilmu teknologi dasar dan rasa untuk terus berinisiatif
dankreatif), Ratih D. Adiputri, 2020:44). Rasanya cukup untuk
memberikan alasan mengapa Finlandia pendidikannya terbaik dunia?
Jawabannya, karena tepat dengan jari diri bangsanya sendiri serta
diperjuangkan oleh semua komponen secara komunal dan konsisten serta
tidak ada konta diksi dengan kehidupan social-politik dan budaya yang
ada.
2. China
China memiliki manajemen pendidikan yang sifatnya sentral atau
tersentralisasi. Pertama basic education, technical, vocational education,
higher education dn adult educational. Untuk pendidikan prasekolah
memiliki materi permainan, olahraga, kegiatan di dalam kelas, observasi,
pekerjaan fisik dan aktivitas sehari-hari.
Untuk pengajar atau guru dalam hal ini pemerintahan china
mempersiapkan lembaga pendidikan khusus untuk guru. Selama sembilan
tahun memiliki program gratis belajar dan diberikan dana penunjang
untuk membeli buku pelajaran.
"Tuntutlah ilmu sampai ke Negeri China", kamu pasti udah
enggak asing dengan pepatah kuno ini, kan? Hampir semua orang pernah
mendengarnya. Namun yang jadi tanda tanya besar, kenapa musti ke
negeri China? Kenapa bukan Amerika atau Inggris?. Mungkin ada
benarnya China itu hebat. Pasalnya kualitas akademik pelajar disana
ternyata mengalahkan negara-negara barat, seperti Inggris dan Amerika.
Bidang kedokterannya (ilmu ketabiban) pun juga sangat diunggulkan,
bahkan sejak zaman dahulu. Belum lagi prestasi para atletnya yang
enggak perlu diragukan lagi. Berikut fakta sekolah di china yang perlu
kamu ketahui.
a. Gizi dan ilmu yang diberikan harus seimbang
Hampir sama di Indonesia, istirahatnya hanya 1 jam saja.
Biasanya waktu ini di manfaatin para murid buat makan siang di kantin.
Untuk menu yang di sediain, umumnya berupa hidangan tradisional,
seperti daging, sayur, nasi, sup, kadang juga ada buah dan yogourt. Bagi
mereka, gizi itu nomor satu. Jadi kalo sistem pembelajarannya berat, ya
pemberian gizinya harus seimbang. Bahkan ada juga sekolah yang
nerapin jam tidur siang,
b. Biar sehat, para pelajar di Negeri Tirai Bambu melakukan senam 2x
kali dalam sehari di sekolah
Senam ini dilakukan rutin setiap hari sebelum anak-anak masuk
kelas. Selain latihan pagi, ada juga senam sore sekitar pukul 2 siang.
Cuma bedanya, senam yang kedua ini dilakukan di dalam kelas sambil
diiringi musik. Tujuannya untuk ngere-charge semangat murid-murid,
jadi nantinya mereka bakal lebih fresh nerima pelajaran.
c. Grafik ranking siswa diperbaharui setiap hari. agar murid termotivasi
belajar lebih keras
Di Indonesia, biasanya ranking hanya diumumkan tiap akhir
semester saja. Nah, di China setiap hari ada pengumuman ranking. Jadi
semisal ada murid yang bisa menjawab pertanyaan guru, maka ia idapat
bintang (nilai tambahan). Begitupun kalo ada murid yang nakal atau
mengobrol saat jam pelajaran, maka bintangnya akan dikurangi. Ranking
siswa diperbarui setiap hari dan dapat dilihat oleh semua orang.
Tujuannya agar murid-murid termotivasi buat belajar lebih keras.
d. Jam belajar murid lebih dari 10 jam sehari
Pelajaran biasanya dimulai pukul 8 pagi sampe jam 4 sore.
Setelah pulang sekolah, anak-anak bakal ngerjain tugas mereka sampe
jam 9 atau 10 malem. Barulah bisa tidur. Keesokannya, mereka harus
sekolah lagi dari jam 8 - 4 sore, dan begitu seterusnya setiap hari aktif.
Sedangkan di kota-kota besar, biasanya sekolah memiliki jam pelajaran
tambahan, kayak les tutor, kelas musik, seni, atau olahraga di akhir
pekan.
e. Bahasa asing adalah subjek yang sangat penting di sekolah China
Bahasa asing menjadi subjek yang sangat penting disana.
Biasanya dalam sehari, murid harus mengikuti 2-3 kelas bahasa asing.
Sehingga di tahun ke-5, kebanyakan murid sudah fasih berbahasa asing.
Padahal bahasa dasar disana bahasa Mandarin, dan sangat jauh berbeda
dari huruf alphabet.
Dari penjelasan di atas, kita bisa menyimpulkan bahwa terdapat 3
hal dasar yang selalu diajarkan sekolah China kepada muridnya, yaitu
rasa hormat, disiplin, dan kerja keras. Mereka di didik sejak dini untuk
menjadi Best of The Best. Mungkin itulah sebabnya China berhasil
menjadi pemimpin dalam bidang pengetahuan di dunia. Dan mungkin
inilah jawaban mengapa muncul pepatah "tuntutlah ilmu hingga ke negeri
China".
3. Kanada
Adapun untuk Sistem Pendidikan di Kanada memiliki beberapa
kriteria sebagai berikut ini:
a. Usia Wajib Belajar
Ada tiga tingkatan pendidikan di Kanada yaitu pendidikan dasar,
menengah dan perguruan tinggi. Bersekolah adalah wajib di Kanada
selama 10 tahun dan ini berlaku pada semua provinsi. Pendidikan wajib
bagi penduduk Kanada sampai usia 16 tahun di seluruh provinsi di
Kanada, kecuali untuk Ontario dan New Brunswick, dimana usia wajib
sampai 18 tahun. Di beberapa provinsi ada beberapa pengecualian untuk
tidak wajib meneruskan pendidikan pada umur 14 tahun yang dapat
diberikan dalam keadaan tertentu. Anak-anak mulai masuk sekolah pada
umur 6 atau 7 tahun dan harus mengikuti pendidikan formal sampai umur
15 atau 16 tahun, tetapi gabungan sekolah dasar dan menengah
mengharuskan pendidikan berlangsung 12 tahun walaupun terdapat juga
perbedaan antar provinsi. Batasan pengertian antara pendidikan dasar
(elementary) dan pendidikan menengah (secondary) juga bervariasi antar
provinsi. Dikebanyakan provinsi, pendidikan dasar diartikan sebagai
pendidikan 6 tahun pertama, kelas 1 sampai kelas 6. Quebec memiliki
program yang unik, yaitu 5 tahun pada tingkat pendidikan menengah
(grades 7 sampai 11), diikuti 2 atau 3 tahun pada “College
D’Enseigmennt Gereal Et Profession” (CEGEP) (Sistem Pendidikan di
Kanada, 2018).
b. Kurikulum
Pendidikan di Kanada disediakan, didanai dan diawasi oleh
pemerintah federal, provinsi, dan pemerintah daerah. Pendidikan berada
di yurisdiksi pemerintahan provinsi. Pada setiap provinsi-provinsi
terdapat dewan sekolah yang mengawasi pelayanan pendidikan dan
penyelenggaraan program-program pendidikan.
Kanada mewajibkan sekolah selama rata-rata 180-200 hari belajar
dalam setahun, secara resmi dimulai dari bulan September (setelah Hari
Buruh) sampai akhir bulan Juni (biasanya hari Jumat terakhir bulan),
kecuali beberapa kasus di Quebec hanya sampai sebelum 24 Juni.
Kurikulum juga sering mengalami revisi. Kurikulum pendidikan dasar
dan menengah mencakup bidang matematika, sains, bahasa dan ilmu
sosial (sejarah dan geografi). Kurikulum sekarang memasukkan teknologi
komputer, berfikir kreatif, belajar mandiri dan pendidikan lingkungan.
Empat inti kurikulum yang diterapkan Kanada (Sistem Pendidikan
di Kanada, 2018), yaitu:
1) Pendidikan sekitar sasaran sosial, tujuan-tujuan publik, biaya-biaya,
manfaat-manfaat dan etika kewarganegaraan untuk memungkinkan
seseorang untuk menilai keadaan tindakan-tindakannya.
2) Kapasitas untuk menganalisa identitas diri sendiri melalui studi
lingkungan, agama, filsafat, dan literature.
Beberapa praktek di dalam negosiasi dunia nyata, di dalam psikologi
konsultasi dan berupa kepemimpinan di dalam lingkungan
pengetahuan.
Perspektif global dan satu sikap dari tanggung jawab pribadi untuk
hasil yang umum tentang kehidupan secara umum.
c. Jenjang Pendidikan
Pendidikan di kanada banyak dipengaruhi oleh sosial, politik,
ekonomi dan agama, hal ini dengan menerapkan konsep baru tentang
kesempatan pendidikan bagi semua orang. Pendidikan di Kanada pada
umumnya dibagi menjadi tiga (Sistem Pendidikan di Kanada, 2018).
Berikut uraiannya.
1) Pendidikan SD, meliputi pra TK, TK, dan SD. Untuk pendidikan
dasar, ada yang menyelenggarakan dari kelas 1 sampai 6, dan 1-8.
Kurikulumnya meliputi Bahasa, Matematika, Sosial, Seni.
2) Pendidikan Menengah, Umumnya di Kanada Berlaku Sistem SMA 3
tahun. Tetapi terdapat perbedaan lama waktu tempuh di sekolah
menengah ini bisa terjadi antara provinsi satu dengan yang lainnya.
Pendidikan menengah ini disahkan untuk mempersiapkan masuk ke
perguruan tinggi dan menyiapkan keahlian tertentu.
3) Pendidikan Tinggi, meliputi universitas dan sekolah Tinggi. Pada
tingkat ini ada universitas berbahasa pengantar Inggris, misalnya
Universitas British Colombia, ada jua yang berbahasa pengantar
Perancis misalnya Universitas Montreal, dan ada juga menggunakan
kedua bahasa tersebut misalnya Universitas Ottawa.
d. Proses Pembelajaran
Proses pembelajaran di Kanada menggunakan model
pembelajaran Problem Based Learning (PBL). PBL merupakan salah satu
model pembelajaran yang dapat menolong siswa untuk meningkatkan
keterampilan yang dibutuhkan pada era globalisasi saat ini. Problem
Based Learning (PBL) dikembangkan pertama kali oleh Prof. Howard
Barrows sekitar tahun 1970-an dalam pembelajaran ilmu medis di
McMaster University Canada. Model pembelajaran ini menyajikan suatu
masalah nyata bagi siswa sebagai awal pembelajaran kemudian
diselesaikan melalui penyelidikan dan diterapkan dengan menggunakan
pendekatan pemecahan masalah. PBL merupakan model pembelajaran
yang menghadapkan siswa pada masalah dunia nyata (real world) untuk
memulai pembelajaran dan merupakan salah satu model pembelajaran
yang inovatif yang dapat memberikan kondisi belajar aktif kepada siswa.
PBL adalah perkembangan kurikulum dan proses pembelajaran.
e. Media Pembelajaran
Fasilitas-fasilitas yang ada di sekolah-sekolah sudah sangat
canggih sehingga semakin memudahkan guru untuk menjelaskan dan
para siswa pun dapat dengan mudah menyimak dan memahaminya.
Kanada juga termasuk satu diantara negara pertama di dunia yang melihat
kebutuhan untuk menghubungkan sekolah dan perpustakaan dengan
internet, dan program SchoolNet telah dicontoh di berbagai belahan
dunia. Industri Kanada SchoolNet juga berhasil membuat Kanada
menjadi negara pertama di dunia yang menghubungkan sekolah dan
perpustakaannya dengan informasi jalan raya.
f. Struktur Pendidikan
1) Pendidikan Dasar, Menengah dan Pendidikan Tinggi
Ada tiga tingkat pendidikan di Kanada, yaitu tingkat pendidikan
dasar, menengah dan pendidikan tinggi. Sistem pendidikan di Kanada
mencakup sekolah yang dibiayai pemerintah maupun swasta, mulai dari
taman kanak-kanak sampai dengan pra-universitas. Semua universitas di
Kanada adalah milik pemerintahah; program yang ditawarkan mulai dari
undergraduate hingga doctorate dan biasanya dimulai pada bulan
September.
Secara umum, lamanya pendidikan dasar dan menengah di Kanada yaitu
11, 12 atau 13 tahun tergantung pada provinsinya. Dari sini pelajar dapat
meneruskan ke universitas dan perguruan tinggi, atau di Quebec mereka
dapat melanjutkan di CEGEP (Perguruan Tinggi Pendidikan Umum dan
Kejuruan).
2) Pendidikan Prasekolah
Walaupun permulaan pendidikan pada Grade I dimulai waktu
anak berusia 6-7 tahun, pendidikan prasekolah yang biasanya dinamakan
“Taman Kanak-Kanak” diadakan hampir disemua provinsi dan
diselenggarakan pada sekolah-sekolah dasar negeri bagi anak-anak usia 5
tahun. Beberapa dewan pendidikan (School Board) di Manitoba, Ontario
dan Quebec memasukkan anak-anak usia 4 dan 5 tahun ke sekolah bukan
wajib belajar yang diselenggarakan selama 2 tahun. Alberta
melaksanakan program yang unik dengan dukungan pemerintah yang
dinamakan “Early childhood services” (Sekolah bagi anak-anak kecil)
yang melayani anak umur 3,5 tahun. Kurikulumnya mengintegrasikan
aspek pendidikan, kesehatan, sosial dan rekreasi.
3) Pendidikan Khusus
Semenjak tahun 1970-an sudah ada kecenderungan untuk
mengintegrasikan siswa dengan kebutuhan khusus (special needs
students) ke dalam kelas-kelas regular. Ini memerlukan penyesuaian yang
cukup berat dalam hal kurikulum dan pendidikan gurunya karena begitu
banyaknya variasi kelompok siswa yang termasuk dalam kategori ini.
Termasuk di dalamnya kelompok anak yang cacat secara fisik, serta yang
memiliki hambatan belajar, disamping anak-anak yang memiliki
kemampuan akademik yang istimewa yang biasanya diarahkan pada
program-program pengayaan untuk percepatan. Pemerintah juga
memikirkan pendidikan bahasa khusus, selain dari bahasa Inggris dan
Perancis, serta kebutuhan budaya bagi anak-anak yang baru saja
bermigrasi ke Kanada, atau bagi anak-anak penduduk asli yang masuk ke
sekolah-sekolah pemerintah. Juga ada sekolah-sekolah tersendiri, baik
negeri maupun swasta yang menyelenggarakan berbagai kategori
pendidikan luar biasa seperti tuna grahita (cacat mental) yang berat, tuna
netra dan tuna rungu.
4) Pendidikan Vokasional, Teknik dan Bisnis
Persiapan keterampilan dan kejuruan atau vokasional semakin
memegang peranan penting pada sekolah tingkat atas dalam tahun
1980an. Walaupun sistem sebelumnya untuk mengarahkan siswa pada
program-program vokasional pada anak usia 14 tahun tidak dihilangkan.
Tujuannya yaitu untuk memberikan kepada generasi muda keterampilan
yang lebih umum sifatnya serta dapat ditransferkan atau dialihkan,
sehingga siswa lebih memungkinkan memiliki fungsi dalam masyarakat
dan pasar kerja yang menuntut fleksibilitas dalam menghadapi perubahan
teknologi yang sangat cepat. Pandangan Kanada secara umum tentang
pendidikan ialah bahwa pendidikan merupakan persiapan untuk pekerjaan
dan bahwaada hubungan antara pendapatan dan kualifikasi pendidikan.
5) Pendidikan Orang Dewasa dan Pendidikan Nonformal
Meneruskan pendidikan setelah terputus di tengah jalan,
merupakan elemen penting di Kanada, dan lebih dari 3 juta penduduk
Kanada terdaftar pada program pendidikan orang dewasa setiap tahun.
Kuliah diberikan oleh berbagai institusi termasuk oleh dewan-dewan
pendidikan, kantor departemen pendidikan provinsi, universitas dan
akademi. Program serupa juga disponsori dan diselenggarakan oleh
organisasi-organisasi nirlaba (nonprofit), organisasi profesional, kantor-
kantor pemerintah, lembaga bisnis dan industri. Teknologi komunikasi
telah mempopulerkan “belajar di luar kelas” dan sistem ini memberi
kesempatan kepada peserta di daerah-daerah yang jauh untuk
mendapatkan akses terhadap kesempatan pendidikan.
Pendidikan di Kanada umumnya dibagi pada pendidikan Dasar
(Primary School, Public School), kemudian pendidikan Menengah (High
School) dan pendidkan tinggi (University, College). Pada setiap provinsi-
provinsi terdapat ada dewan sekolah yang mengawasi pelayanan
pendidikan dan penyelenggaraan program-program pendidikan.
Pendidikan wajib bagi penduduk kanada sampai usia 16 tahun di seluruh
provinsi di Kanada, kecuali untuk Ontario dan New Brunswick, di mana
usia wajib sampai 18 tahun. Di beberapa provinsi ada beberapa
pengecualian untuk tidak wajib meneruskan pendidkan pada umur 14
tahun yang dapat diberikan dalam keadaan tertentu. Kanada mewajibkan
sekolah selama 190 hari dalam setahun, secara resmi dimulai dari bulan
September (setelah Hari Buruh) sampai akhir bulan Juni (biasanya hari
Jumat terakhir bulan, kecuali dalam beberapa kasus di Quebec ketika itu
4. Korea Selatan
Korea Selatan yang merupakan Negara Ginseng dan Samsung
merupakan salah satu Negara dengan pendidikan terbaik dunia. Tujuan
pendidikan diarahkan pada tiga hal utama yakni pengembangan sumber
daya manusia, penguatan pada kesejahteraan pendidikan dan
pembangunan system desentralisasi dan reformasi daerah.
Perkembangan industry senantiasa disesuaikan dengan ketersediaan SDM
yang dihasilkan lembaga pendidikan
a. Lama waktu belajar hingga 16 jam per hari berarti belajar sampai
malam
b. Lima mata pelajar utama matematika, sains, bahasa korea, studi
social bahasa Inggris
c. Memiliki akses internet di semua sekolah secara gratis dengan
kecepatan sangat tinggi 10 Gbps
d. Profesi guru dihargai dan dijunjung tinggi, dengan gaji terbesar se
Asia sehingga seorang guru bisa mencapai 1 milyar rupiah per tahun,
dengan pola pendidikan yang tegas dank eras.
e. Sekolah full sampai hari Sabtu
f. Siswa wajib mengikuti bimbingan belajar
g. Menjurusakan minat dan bakat sejak dini seperti sejak SMP
h. Guru untuk jenjang SMP/SMA harus berpendidikan S2/S3 bidang
studi
i. Fasilitas pendidikan sangat lengkap , www.refondation.ecole.net
j. Lulusan SMA mencapai 97% yang tertinggi diantara Negara-negara
maju
k. 80% sekolah memperbolehkan hukuman fisik
l. Kemajuan teknologi yang pesat sehingga menjadi Negara pertama
yang menyediakan layanan akses internet tercapat untuk SD, SMP
dan SMA
Secara umum system pendidikan di korea Selatan terdiri dari empat
jenjang pendidikan formal yaitu : Sekolah dasar, Sekolah Menengah
Tingkat Pertama, SLTA dan pendidikan tinggi. Keempat jenjang
pendidikan ini adalah: grade 1-6 (SD), grade 7-9 (SLTP), 10-12
(SLTA), dan grade 13-16 (pendidikan tinggi/program S1), serta
program pasca sarjana (S2/S3).
Visualisasi grade pendidikan yang dimaksud adalah:
a. Sekolah dasar merupakan pendidikan wajib selama 6 tahun bagi anak
usia 6 dan 11 tahun, dengan jumlah lulusan SD mencapai 99,8%, dan
putus sekolah SD 0,2%.
b. SMP merupakan kelanjutan SD bagi anak usia 12-14 tahun, selama 3
tahun pendidikan.
c. Kemudian melanjutkan ke SLTA pada grade 10-11 dan 12, dengan
dua pilihan yaitu: umum dan sekolah kejuruan.
d. Sekolah kejuruan meliputi pertanian, perdagangan, perikanan dan
teknik. Selain itu ada sekolah komperhensif yang merupakan
gabungan antara sekolah umum dan sekolah kejuruan, yang
merupakan bekal untuk melanjutkan ke akademik (yunior college)
atau universitas (senior college).
e. Pendidikan tinggi/akademik (yunior college) atau universitas program
S1 (senior college), pada grade 13-16, dan selanjutnya ke program
pasca sarjana (graduate school) gelar master/doktor.
Terdapat dua jenis pendidikan guru, yaitu tingkat akademik (grade
13-14) untuk guru SD, dan pendidikan guru empat tahun untuk guru
sekolah menengah. Dengan biaya ditanggung oleh Pemerintah untuk
pendidikan guru negeri. Kemudian guru mendapat sertifikat yaitu:
sertifikat guru pra sekolah, guru SD, dan guru sekolah menengah.
Sertifikat ini diberikan oleh kepala sekolah dengan kategori guru magang,
guru biasa dua (yang telah diselesaikan onjob training) dan lesensi bagi
guru magang dikeluarkan bagi mereka yang telah lulus ujian kualifikasi
lulusan program empat tahun dalam bidang engineering, perikanan,
perdagangan, dan pertanian. Sedangkan untuk menjadi dosen yunior
college, harus berkualifikasi master (S2) dengan pengalaman dua tahun
dan untuk menjadi dosen di senior college harus berkualifikasi dokter
(S3).
Reformasi kurikulum pendidikan di korea, dilaksanakan sejak
tahun 1970-an dengan mengkoordinasikan pembelajaran teknik dalam
kelas dan pemanfaatan teknologi, adapun yang dikerjakan oleh guru,
meliputi lima langkah yaitu (1) perencanaan pengajaran, (2) Diagnosis
murid (3) membimbing siswa belajar dengan berbagai program, (4) test
dan menilai hasil belajar. Di sekolah tingkat menengah tidak diadakan
saringan masuk, hal ini dikarenakan adanya kebijakan walikota daerah
khusus atau gubernur propinsi, ke sekolah menengah di daerahnya.
Untuk sistem Pembelajaran di Korea Selatan teridir dari:
a. Sekolah selama 16 jam dalam sehari
Para siswa sekolah menengah atas di Korea Selatan rata-rata
memiliki durasi jam pelajaran dimulai dari jam 09.30 atau 10.00, sampai
larut malam. Pemerintah mengatakan, tujuannya adalah agar siswa
mampu masuk ke perguruan tinggi yang baik, setelah melewati kompetisi
yang tinggi. Akibatnya, banyak siswa juga akan menghadiri
programpembelajaran lain di luar jam sekolah. Setelah program
sekolahmemperkuat pendidikan dan pembelajaran bahasa Inggris,
sehingga ada permintaan yang tinggi bagi mereka, dan bagi siswa, ini
mungkin, satu sarana sosial mereka dan cara untuk bertemu teman-teman
lain. Ini berartirata-rata remaja Korea tidak pulang ke rumah sampai
tengah malam, dan makan siang hingga makan malam-pun sampai
disajikan di sekolah. Metode pembelajaran dengan waktu "gila-gilaan"
seperti ini sebenarnya sudah mulai menuai kritik dari para pengamat
pendidikan di Korea sendiri.
b. Sekolah di hari Sabtu
Bahkan, di hari sabtu mereka juga masih harus sekolah dengan
jam pelajaran penuh ! Sampai saat ini, hari-hari sekolah adalah Senin
sampai Sabtu. Hari ini, guru Korea bahkan jauh lebih bahagia, karena
mereka memiliki dua kali waktu akhir pekan dalam sebulan, sementara
siswanya tidak !
c. Honorable Teacher
Di Korea, ada pepatah "Guru setinggi Tuhan". Anda tidak dapat
memandang status guru dari skala gaji mereka, tetapi guru memegang
posisi sosial yangberharga dan tinggi di masyarakat. Usia pensiun guru
tidak sampai 65tahun. Senioritas berarti gaji meningkat dan jam terbang
dikatakan lebih baik dari pekerjaan biasanya (meskipun ini sulit untuk
percaya).
d. Mahalnya sarana proses pengajaran
Setiap ruang kelas dilengkapi dengan komputer (atau komputer /
mediapodium) yang terhubung ke salah satu sistem proyektor overhead
atau layardatar LCD. Walaupun keadaan sudah sedemikian canggih, ini
tidak berartisemua guru sangat melek teknologi.
e. Proses pemindahan guru selama 5 tahun sekali
Guru digilir bertugas di sekolah yang berbeda-beda setiap 5 tahun.
Sistem ini lahir untuk memberikan setiap guru kesempatan yang adil di
bekerja di sebuah sekolah yang baik atau buruk.
f. Role playing via Hollywood style
Beberapa sekolah memiliki teknologi layar biru atau kamar
dengan peralatan canggih yang memungkinkan situasi dalam ruangan
tersebut sama seperti keadaan lingkungan di luar sana dimana seorang
anak akan mempraktekkan ilmu pembelajarannya. Salah satu contoh
kelas yang kita lihat adalah kelas ekkonomi, yang lengkap dengan lorong,
rak, pasar mini, dan sebagainya. Bahkan, untuk pembelajaran praktek
kesehatan, memerka seperti memiliki rumah sakit sendiri.
g. Siswa bertanggung jawab atas kebersihan sekolah mereka
Seperti sekolah-sekolah di Indonesia, sistem sekolah Korea
mengajarkansiswa untuk bertanggung jawab atas perawatan sekolah
mereka. Sementarapetugas kebersihan cenderung melakukan tugas-tugas
utama sepertimembersihkan kamar mandi, membersihkan lorong-lorong,
ruang kelas,tangga, dan soal memungut sampah di halaman sekolah,
semua dilakukan oleh siswa di pagi hari sebelum bel berbunyi.
h. Siswa diperbolehkan menggunakan sandal di dalam kelas
Anda tahu bahwa tradisi orang Asia Timur, mengambil sepatu dan
menepikannya dalam rak ketika memasuki rumah ? Korea memiliki
sesuatu permasalahan yang mirip, mereka berpikir bahwa memakai
sepatu di dalam ruangan akan membuat ruangan itu kotor. Guru dan
siswa harus berganti sepatu dari satu sepatu ke sepatu lain yang khusus
digunakan saat di dalam runangan saat memasuki gedung sekolah.
5. Singapura
Pendidikan merupakan salah satu pilar utama dalam memajukan
kehidupan sebuah bangsa, sehingga banyak negara yang memacu
kualitas pendidikan di negaranya agar bisa menghasilkan generasi bangsa
yang lebih baik. Salah satunya Singapura, yang dikenal banyak
menghasilkan anak-anak cerdas karena sistem pendidikannya yang patut
diacungi jempol.
Ya, selain maju dalam perekonomian, sistem pendidikan di
Singapura tak dimungkiri juga telah menunjukan hasil yang positif,
bahkan menjadi salah satu kiblat bagi para pelajar Internasional untuk
menempuh pendidikan di luar negeri. Tak heran, jika sistem pendidikan
di negeri ini menjadi ‘panutan’ bagi negara Asia lainnya. Tak terkecuali
Indonesia.
Hal tersebut terbukti, pendidikan di Singapuran murpakan
pendidikan terbaik di Asia Tenggara khususnya untuk perguruan tinggi
dengan alasan a) Standar pendidikan global, b)memiliki banyak siswa
Internasional, c) pendidikan yang terjangkau, d) peluang kerja, e) tempat
yang menarik (www.hotcourses.com.id tanggal 31 Oktober 2019 dan
www.merdeka.com, tanggal 3 Mei 2020)
Nah, memangnya sebagus apa sih sistem pendidikan di Singapura,
berikut adalah beberapa fakta mengenai pendidikan di Singapura:
a. Kurikulum berfokus pada pengajaran mata pelajaran tertentu dan
keterampilan memecahkan masalah
Sistem sekolah Singapura mendorong kerja proyek dan pemikiran
kreatif. Akibatnya, kelas fokus pada membekali siswa dengan
keterampilan dan pengetahuan pemecahan masalah tertentu dalam mata
pelajaran tertentu. Tujuan dari kurikulum ini adalah untuk membekali
siswa dengan pengetahuan dan keterampilan praktis yang akan membantu
memecahkan tantangan di dunia nyata.
Selain itu, pihak berwenang di Singapura lebih aktif dan terus
menilai ulang serta meningkatkan sistem sekolah untuk meningkatkan
kinerja dan kebugaran siswa. Misalnya, sekitar tahun 2017, siswa
melaporkan meningkatnya tingkat stres dan masalah psikologis akibat
kekakuan akademis. Sebagai tanggapan, otoritas pendidikan berhenti
mencantumkan pencetak gol terbanyak dalam ujian untuk mengurangi
tekanan dari siswa. Selain itu, negara tersebut memperkenalkan strategi
Teach Less, Learn More, yang menginspirasi guru untuk fokus pada
kualitas daripada kuantitas pendidikan.
b. Kualitas Guru menjadi kunci utama
Guru di Singapura memiliki kualitas yang sangat baik dan
merupakan para lulusan terbaik. Bagi Singapura kualitas guru menjadi
kunci utama dalam mencapai sistem pendidikan kelas dunia. Bahkan,
untuk menambal kekurangan tenaga pengajar profesional, Singapura
bahkan berani mengimpor guru untuk mendukung sistem pendidikan
berkelas dunia.
c. Memberikan Fasilitas lengkap dan Terbaik
Fasilitas pendidikan yang disediakan di setiap sekolah di
Singapura merupakan yang terbaik, mulai dari ruang kelas, perpustakaan,
fasilitas olahraga, kantin hingga ruang interaksi disediakan dan tertata
dengan apik.
d. Pengawasan bakat terpadu
Setiap murid sekolah di Singapura diawasi dan diarahkan sesuai
dengan bakatnya masing-masing sejak menginjak pendidikan dasar
hingga sekolah menengah atas. Pengawasan terpadu ini dilakukan kepada
para seluruh siswa dan hasil pantauan tersebut sekalian diarahkan untuk
mendapat pendidikan yang cocok sesuai bakatnya.
e. Tes ujian sangat menentukan
Untuk dapat menembus Universitas lokal saja bukan hal yang
mudah, siswa harus belaksanakan tes ujian yang ketat dan lolos dengan
nilai terbaik. Jika tidak berhasil lolos dalam tes ujian masuk, maka
siswa akan dibebaskan kuliah di negeri lain sesuai kemampuan orangtua,
termasuk mencari beasiswa.
f. Biaya sekolah yang murah
Biaya sekolah di Singapura relatif murah dan mendapatkan
subsidi dari pemerintah. Biaya tersebut termasuk untuk penunjang
kelancaran sekolah, transportasi, dan sebagainya. Pemerintah Singapura
menegaskan bahwa keterbatasan ekonomi bukan menjadi alasan untuk
tidak mampu bersekolah atau menimba ilmu.
g. Jalur pembelajaran yang dibedakan
Dari usia enam tahun, siswa masuk sekolah dasar selama 10
sampai 11 tahun, yang kemudian dilanjutkan dengan sekolah menengah
selama 4 sampai 5 tahun. Setelah itu, siswa memiliki pilihan untuk dua
jalur pembelajaran kejuruan, politeknik, dan perguruan tinggi junior,
yang keduanya mengarah ke pendidikan universitas.
Yang jelas dalam jalur pembelajaran yang dibedakan ini adalah
penerimaan bahwa setiap siswa belajar secara berbeda dan memiliki
kekuatan tertentu. Dengan demikian, sistem ini dirancang untuk
mempromosikan berbagai kemampuan belajar untuk mendorong setiap
siswa mencapai yang terbaik dengan kecepatannya sendiri. Ini
memastikan bahwa semua siswa mendapatkan kesempatan yang sama di
dunia nyata.

Anda mungkin juga menyukai