Pendidikan
ITPA Press
1. Memaknai Makna Pendidikan
2. Hakekat Manusia
3. Landasan-Landasan Pendidikan
4. Asas-Asas Pendidikan
5. Komponen-Komponen Pendidikan
6. Unsur-Unsur dalam Pendidikan
7. Tripusat Pendidikan
8. Pendidikan Sepanjang Hayat
9. Aliran Pendidikan dan Kurikulum
10. Pendidikan dan Pembangunan Ekonomi
11. Pendidikan dan Pengembangan Kebudayaan
12. Pendidikan dan Pembangunan Moral Bangsa
13. Pendidikan dan Pembangunan Masa Depan
14. Negara dengan Sistem Pendidikan Terbaik Dunia
Referensi:
A. Pengertian Pendidikan
Term pendidikan bukanlah sebuah bahasa yang asing ditelinga
kita. Bahkan diyakini semua orang pernah mengucapkan kata
“pendidikan”. Tetapi untuk mengerti apa yang diucapkan dan apalagi
mengucapkan yang dimengerti bukanlah hal yang sederhana. Ia
membutuhkan pemahaman paradigmatik, teoretik, konseptual,
metodologik, strategik dan aksionalnya. Pengucapan pada level ini tidak
lagi bisa disenandungkan oleh sembarang orang. Karena membutuhkan
kualifikasi, prasyarat dan persyaratan-persyaratan tertentu, agar
pendidikan sarat dengan kebenaran, keberdayaan dan kebermaknaan.
Kata “pendidikan” yang diucapkan dari mulut seorang ahli pendidikan
bukanlah muntahan mulut bualan tetapi ungkapan yang mengucapkan
pikirannya yang telah dipikirkan oleh pikiran yang berpikir. Bunyi
ucapannya bisa jadi sama dengan ucapan kata “pendidikan” dari mulut
siapapun tetapi yang diucapkan seorang ahli memiliki konstruk filosofi,
struktur teori, dan bagan metodologi sehingga membawa berbagai
konsekwensi dan narasi yang berarti.
Definisi pendidikan bukanlah rangkaian kata yang tersusun saja
melainkan penyusunan pola kata yang bernada, bergelombang, berirama,
berfrekuwensi dan bermakna dari yang dimaknai oleh si pemakna agar
bisa mendifinisikan yang didefinisikannya dan -Nya. Oleh karena itu
definisi pendidikan memiliki tanggung jawab ilahiyah, moral dan ilmiah.
Contoh salah satu definisi pendidikan yang dituangkan dalam Undang-
undang Sistem Pendidikan Nasional No.20 Tahun 2003 mengucapkan
bahwa “pendidikan adalah usaha sadar dan berencana untuk
mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta
didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki
kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian,
kecerdasan, akhlah mulia, serta keterampilan yang diperlukan dirinya,
masyarakat, bangsa dan negara.
Definisi pendidikan dalam rumusan Undang-undang Sistem
Pendidikan Nasional mengisyaratkan beberapa konsep dan konstruk
pemikiran yang berbasis filosofis dan berlandaskan keilmiahan serta
bermuara pada budaya bangsanya sendiri, antara lain:
a. Pendidikan merupakan usaha sadar dan berencana. Usaha sadar
merupakan upaya yang dilandaskan pada adanya kesadaran atas
sesuatu yang disadari agar melahirkan kesadaran dari sesuatu yang
bisa jadi belum disadari. Kesadaran terbesar yang hendaknya menjadi
jiwa dari pendidikan adalah kesadaran untuk menyadari jati diri
bangsanya sendiri sebagai bangsa yang seharusnya mandiri.
b. Pendididikan membutuhkan suasana belajar. Suasana belajar
merupakan keadaan yang memungkinkan terjadinya proses
pembelajaran yang aktif. Suasa belajar akan terwujud apabila ruang
masalah guru dan siswa lebih kecil dari pada ruang belajar. Suasana
belajar sekurang-kurangnya terkait dengan iklim belajar yang positif
seperti nyaman, menyenangkan, menantang, mengapresiasi,
memajukan dan memberi harapan. Sedangkan suasana belajaran
negatif seperti penuh tekanan, ancaman, intimidasi, incondusivitas,
demotivation, dehumanisasi dan seterusnya.
c. Mengembangkan potensi diri. Belajar bukan bagaimana menyuapin,
mendulangin, menuangkan atau mengisi (pouring in) tetapi
mengeluarkan, membangkitkan, menumbuhkan, menstimulasi,
mengaktivasi dan mengembangkan segala potensi yang ada pada diri
anak (drawing out) agar anak bertumbuh kembang secara optimal
berdasarkan kekuatan yang ada pada dirinya sendiri.
d. Pendidikan bertujuan agar peserta didik memiliki keutuhan
perkembangan diri yang berkarakter iman yang berkecerdasan, cerdas
yang berkepribadian, kepribadian yang berketarampilan dan
keterampian yang bermanfaat bagi kehidupan diri dan lingkungannya.
Tentu saja kepribadian yang tumbuh secara utuh, berkembang dengan
seimbang dan berubah ke arah yang lebih cerah serta berkreasi secara
sinergi dan harmoni.
Bila ingin menelusuri definisi pendidikan secara formal dan baku,
maka dapat dilacak pada KBBI yang menuliskan bahwa Pendidikan
berasal dari kata ‘didik’ dan kemudian mendapatkan imbuhan ‘pe’ dan
akhirnya ‘an’, maka kata pendidikan mempunyai arti proses, cara atau
perbuatan mendidik. Sedangkan kata pendidikan menurut bahasa Kuno
yaitu dari kata “Pedagogi” kata dasarnya “Paid” yang berarti “Anak” dan
juga kata “Ogogos” artinya “Membimbing”. Dari beberapa kata tersebut
maka kita simpulkan kata pedagos dalam bahasa Yunani adalah Ilmu
yang mempelajari tentang seni mendidik anak.
Menurut Plato pendidikan adalah sesuatu yang dapat membantu
perkembangan individu dari jasmani dan akal dengan sesuatu yang dapat
memungkinkan tercapainya sebuah kesempurnaan. Menurut Plato
pendidikan direncanakan dan diprogram menjadi tiga tahap dengan
tingkat usia, tahap pertama adalah pendidikan yang diberikan kepada
murid hingga sampai dua puluh tahun; dan tahap kedua, dari usia dua
puluh tahun sampai tiga puluh tahun; sedangkan tahap ketiga, dari tiga
puluh tahun sampai usia empat puluh tahun.
Ki Hajar Dewantara menyebutkan bahwa pendidikan merupakan
tuntutan didalam hidup tumbuhnya anak-anak, dengan maksud menuntun
segala kekuatan kodrat yang ada pada anak-anak itu, agar mereka sebagai
manusia dan sebagai anggota masyarakat dapat mencapai keselamatan
dan kebahagiaan yang setinggi-tingginya.
B. Tujuan Pendidikan
Pendidikan merupakan sebuah proses untuk mencapai tujuan.
Tujuan pendidikan untuk semua Negara di dunia adalah sama. Tetapi
tujuan pendidikan di setiap Negara berbeda-beda. Apa yang menjadi
tujuan pendidikan dari semua negera? Tujuannya sama yakni good
citizenship, yakni menjadi warga Negara yang baik. Menjadi warga
Negara yang baik menjadi ukuran universal dari seluruh Negara. Tujuan
pendidikan dibedakan dari indikator sebagai warga Negara yang baik.
Warga Negara yang baik dari setiap Negara mengalami perbedaan
didasarkan pada beberapa hal berikut:
1. Falsafah bangsa. Falsafah bangsa merupakan believe system, sistem
keyakinan yang dianut oleh suatu bangsa tentang benar-salah
berdasarkan pada landasan dari falsafah bangsa itu sendiri. Falsafah
bangsa biasanya terlahir dari akumulasi sistem keyakinan, basic
value, fundamental culture, dan essential of human right. Akumulasi
dari segala yang esensi, basic, fundamental, spirit dan hakiki
mewujud dalam sebuah falsafah bangsa. Secara umum falsafah
bangsa suatu Negara ada yang: (1) Teo-centric value (nilai-nilai yang
berpusat kepada Tuhan) sehingga falsafah, tatanan nilai, tatanan
berbudaya, tatanan bernegara, tatanan bisnis, tatanan hukum dan
segala turunannya berasal dan berujung pada Tuhan. Pendidikan
berfungsi menyelamatkan dan menyematkan nilai-nilai ilahiyah
menjadi tatanan kehidupan secara totali, dari tatanan nilai yang lain,
(2) Antropo-centris Value (nilai-nilai yang berpusat pada kekuatan
manusia) sehingga mulai dari falsafah, tatanan nilai, tatanan budaya,
tatanan bernegara, tatanan hukum dan segala turunannya berpangkal
dan berpingkal pada hasil olah daya cipta manusia. Manusia sebagai
sumber kebenaran, sumber hukum dan sumber kebudayaan. Tuhan
tidak menjadi sumber nilai yang dipertimbangkan karena manusia
mampu menciptakan aturan hidup tanpa peran Tuhan, katanya, pen.
Pendidikan dalam mazhab ini diarahkan untuk mewariskan hasil cipta
karsa dan karya manusia agar bisa lestari, bertumbuh dan
berkembang sesuai dengan koridor awal humanism not Theisme. (3)
Theo-Antropo-Centris (nilai-nilai ilahiyah yang diadaptasi) sehingga
falsafat, tatanan nilai, tatanan budaya, tatanan Negara, tatanan bisnis
dan tatanan hukum serta segala turunannya bersumber dari Tuhan
yang diadaptasi melalui hasil pikiran manusia yang sangat panjang.
Pendidikan memiliki fungsi untuk mempertahankan harmoni nilai
dari kedua sumber kebenaran tersebut agar tetap berpadu untuk
memandu kerukunan ilmu yang mempersatukan budaya dan wahyu.
2. Sejarah Kemerdekaan. Kemerdekaan suatu bangsa dengan corak
perjuangan yang beragam, berwarna dan berbeda membawa
konsekwensi serta koherensi pada perbedaan tujuan pendidikan.
Negara yang dijajah oleh bangsa lain dalam kurun waktu yang sangat
lama dengan luka yang menyakitkan kehidupan dan mengiris
martabat kebangsaan serta merobek-robek lembaran kebudayaan,
menyatakan dengan bahwa tujuan pendidikan hendaknya dapat
menjaga dan memastikan tidak terulangnya penjajahan. Puncak
kesadarnya berupa deklarasi kesamaan hak dengan bangsa lain di
dunia manpun.
3. Karagaman Budaya. Indonesia dengan perbedaan suku, adat istiadat,
bahasa, budaya dan agama yang sangat kaya dengan keragaman, tentu
saja membawa berkonsekwensi pada perbedaan tujuan pendidikan
yakni Bhineka Tunggal Ika, yaitu tujuan mempersatukan keragaman
sebagai perekat persatuan. Tujuan pendidikan dengan keadaan multi
suku, adat, bahasa dan agama diarahkan untuk mempersatukan segala
keragaman menjadi kekayaan yang terinternalisasi dalam kebudayaan
nasional.
4. Negara Maritim Kepulauan. Indonesia bukan merupakan Negara
Kontinental tetapi Negara kepulauan memiliki pengaruh yang besar
terhadap tujuan pendidikan. Hal ini disebabkan pengolahan kekayaan
laut perlu mendapatkan perhatian dan sekaligus penjagaan keamaan
laut yang perlu kewaspadaan seluruh warganya akan penyeludupan
atau penjarahan kekayaan laut. Terutama menjaga NKRI agar tetap
utuh tidak terbelah atau terpecah menjadi Negara bagian atau
persemakmuran atau apapun selain NKRI, harga mati.
Terlepas dari apapun yang menjadi historisitas dari sisi latar
belakang pengokoh terjadinya tujuan pendidikan antar Negara.
Namun tujuan adalah tetap tujuan dengan hirarki yang gradual dan
sistemik. Ada 4 tingkatan tujuan yang bisa dijadikan rujukan dalam
memandang tujuan pendidikan secara makro maupun mikro:
1. Ultimate. Tujuan akhir dari hidup manusia yang melembaga pada
tujuan pendidikan, yaitu yang bersifat final, last, lattest atau ending
sehingga tidak ada lagi tujuan terakhir selain tujuan itu. Tujuan
ultimit dalam hidup adalah kehidupan akhirat yang lebih baik,
sempurna dan mendapat ridho Tuhan. Dari tujuan ini tidak ada tujuan
akhir yang dapat dirumuskan lagi karena tujuan ini merupakan tujuan
tertinggi yang bukan lagi profane tetapi eternal, tujuan yang bukan
lagi horizontal melainkan vertikal, tujuan yang ukhorwi oriented
bukan duniawi oriented. Meski dunia tetap menjadi kekuatan tetapi
tidak menjadi fokus, meski tujuan keduniawian menjadi dominan
tetapi tidak diterminan dan seterusnya.
2. Aims. Tujuan yang tingkatannya lebih rendah dibanding ultimate
namun masih di atas tingkatan goal. Tujuan aims masih bersifat
universal dan belum memiliki rumusan yang operasional, tidak
terukur dengan indikator dan tidak menampakan perbedaan yang
tegas. Misalkan tujuan yang menggambarkan kemajuan,
kesejahteraan atau kebahagiaan dengan tidak memunculkan indikator.
Tujuan ini juga penting sebab tidak semua tujuan bisa diukur dengan
jelas bahkan ada tujuan juga yang bersifat tersembunyi, bathini dan
metafisik. Dalam www.putrisafrina26.blogspot.com diuraikan
beberapa hal berkaitan dengan level tujuan dalam pendidikan. Aims of
education menurut David Puaff merupakan sebuah “tujuan pemberi
orientasi dasar dari para perancang”. Demikian pula menurut Komisal
dan Mc. Celan, mendefinisikan bahwa Aims merupakan statemen
general dengan memberikan petunjuk dan arahan dalam rancangan
untuk mencapai beberapa tujuan produk dimasa depan. Aims
merupakan panduan yang fundamental dan krusial meski tidak dapat
diteliti dan dievaluasi karena hanya pemberi orientasi dan bukan
outcome yang bisa dikuantifikasikan secara khusus.
3. Goal. Goal of education merupakan pernyataan rumusan akhir
tentang apa yang ingin dicapai dari outcome pendidikan yang
dirumuskan dalam pernyataan tujuan yang jelas baik dari aspek
refleksi dasar filosofis maupun dalam redaksional tujuan. Pernyataan-
pernyataan tujuanya berkisar : (a) belajar menjadi warga Negara yang
baik, (b) belajar menghormati orang lain, (c) belajar mencoba
memahami, (d) mengembang keterampilan berbahasa, (e) paham dan
berdemokrasi, (f) belajar memanfaatkan informasi, (g)
mengembangkan belajar masa depan, (h) memahami arti penting
kesehatan dan keamanan, (i) apresiasi kultur dan keindahan dunia dan
seterusnya.
4. Objective. Objective of education merupakan rumusan tujuan yang
merupakan produk dari kurikulum yang bisa diukur secara jelas
dalam pernyataan indikatorial. Menurut Hilda Taba bahwa objektif
pendidikan menggambarkan tentang hasil sekolah (kurikulum) dan
hasil perubahan sikap atau perilaku yang dicapai. Karena tujuan pada
level objektif sangat jelas, maka Baker dan Popham menyebutnya
sebagai tujuan pengajaran. Salah satu contoh tujuan dalam level
objektif menurut aliran Behaviorisme adalah (a) adanya perubahan
sikap yang positif dalam pembelajar, (b) siswa akif dalam
memecahkan masalah, (3) adanya peningkatan capaian keterampilan
yang khusus. Demikian pula menurut Bloom bahwa tujuan objektif
pendidikan hendaknya menggambarkan 7 kategori yakni knowledge,
comprehention, application, analysis, sintesis, dan evaluation.
Dalam konteks pendefinisian formal tujuan-tujuan hirarkis
pendidikan bisa juga dijelaskan dengan struktur yang ketat sehingga
memberikan pemahaman yang gradual operasional mulai dari tujuan
pendidikan nasional, institusional, kurikuler, instuksional umum dan
khusus sebagai berikut:
1. Tujuan Nasional. Tujuan pendidikan secara nasional yang hendak
dicapai oleh suatu Negara dalam waktu jangka panjang untuk
menunjang pembangunan nasional yang sesuai dengan karakter
bangsa itu sendiri. Apa Tujuan Pendidikan Nasional Indonesia?
Menurut Undang-undang Sistem Pendidikan Nomor 20 Tahun 2003
pasal 1 ayat 2 menyebutkan arti pendidikan nasional adalah
pendidikan yang berlandaskan Pancasila dan Undangt-undang Dasar
Tahun 1945 yang berakar pada nilai-nilai agama, kebudayaan dan
tanggap terhadap tuntutan perubahan zaman. Sedangkan Tujuannya
menurut UU No. 2 Tahun 2003 Bab II pasal 3 menyatakan bahwa
Pendidikan nasional berfungsi mengembangkan kemampuan dan
membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam
rangka mencerdasakan kehidupan bangsa, bertujuan untuk
berkembangnya potensi pesrta didik agar menjadi manusia yang
beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak
mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri dan menjadi warga
Negara yang demokratis serta bertanggung jawab. Tujuan makro dan
jangka panjang yakni (1) mengembangkan kemampuan, (2)
membentuk watak dan (3) peradaban yang bermartabat, harus dicapai
oleh tujuan pendidikan nasional dengan indikasi (1) iman, takwa dan
berakhlak mulia, (2) sehat, berilmu, cakap, kreatif dan mandiri dan
(3) demokratis dan bertanggung jawab. Tujuan nasional ini niscaya
harus mencapai manusia yang berwatak dan berperadaban yang
bermartabat bahkan berkemampuan yang berdadaya saing tinggi.
Pertanyaannya bagaimana, siapa, kapan dan berapa untuk mencapai
tujuan itu? Jelas tidak sederhana karena berbasis nilai agama dan
budaya, perlu investasi besar, sudah (20% dari APBN/APBD) dan
siapa pelaku paling harus bertanggung jawab di lapangan, tiada lain
yaitu G.U.R.U. Tetapi gurupun bergantung pada kebijakan
pemerintah? Jadi siapa yang paling bertanggung jawab, ya tentu saja
Pemerintah. Tetapi pemerintahpun tidak bisa berjalan tanpa
partisivasi masyarakat. Jadi yang paling harus bertanggung jawab
adalah pemerintah dan masyarakat. Tetapi jangan lupa pemerintah
dan masyarakat tidak bisa berjalan tanpa andil besar dari keluarga?
Jadi yang paling harus bertanggung jawab tentu saja adalah keluarga.
Tetapi keluarga juga tidak berdaya tanpa kebijakan pemerintah yang
berpihak pada kekuatan pendidikan keluarga dan peran aktif
masyarakat untuk re-schooling society. Jadi yang paling harus
bertanggung jawab mewujudkan tujuan pendidikan nasional adalah
K-I-T-A.
a. Tujuan Institusional
Tujuan pendidikan yang ditetapkan dan ingin dicapai oleh suatu
kelembagaan atau institusi pendidikan dengan produk utamana
kemampuan untuk melakukan sesuatu hal sesuai dengan tingkatannya
atau tujuan untuk melanjutkan ke jenjang berikutnya. Tujuan institusional
dicapai oleh institusi pendidikan dalam kerangka mencapai tujuan
nasional. Ini bisa disederhanakan sebagai tujuan antara, tujuan
penghubung atau terminal regional sebagai mediator,
katalisator,fasilitator dan jembatan menuju terminal pendidikan nasional.
Keberhasilan tujuan nasional bergantung pada ketercapaian tujuan
institusional, baik secara kuantitas maupun kualitas.
b. Tujuan Kurikuler.
Tujuan yang ingin dicapai dari masing-masing bidang studi atau
mata pelajaran. Hasilnya berupa penguasaan terhadap terhadap mata
pelajaran atau bidang studi yang dipelajari. Tujuan kurikuler harus sesuai
dengan tujuan nasional, misalkan tujuan mata pelajaran olah raga sehat
jasmani dan rohani serta berjiwa sportif sesuai rule of game, kolaboratif
seperti melalui olah raga tim atau grup, berakhlak mulia melalui
pembiasaan patuh pada aturan tidak melanggar, mandiri melalui peran
personal dalam tim dan iman takwa melalui pengharapan atau doa untuk
menjadi pemenang pada saat bertanding yang acapkali tidak bisa
diprediksi secara akurat.
c. Tujuan Instruksional.
Tujuan yang hendak dicapai setelah selesai satu mata pelajaran
karena itu tujuan instruksional sering disebut tujuan pengajaran (umum
dan khusus). Hasilnya berupa terbentuknya watak, kemampuan berpikir,
keterampilan, teknologi dan produk perilaku lainnya. Dalam kurikulum
2006 tujuan instruksional/pengajaran sering disebut dengan istilah
kompetensi. Standar kompetensi merupakan gambaran kemampuan pada
aspek kognitif, afektif dan psikomotorik yang diharapkan ditunjukan,
didemonstrasikan dan dipraktekan peserta didik. Tujuan Instuksional
dilakukan dalam kerangka pencapaian tujuan nasional diturunkan
kedalam tujuan yang terukur secara jelas. Misalkan tujuan mata pelajaran
agama setelah selesai mengajar PAI diharapkan siswa memiliki iman-
takwa berupa ketaatan ibadah, gemar membaca al-Quran dan seterusnya.
Tujuan sehat bisa dicapai melalui perilaku hidup bersih yang diajarkan
dalam wudhu, shalat dan termasuk berzakat, berpuasa dan seterusnya.
Demokrasi diajarkan melalui esensi shalah berjamaah, berqurban, dan
demokrasi bermuyawarah menurut ajaran Islam. Cerdas diajarkan dalam
rukun dan syarat sahnya solah yang harus khusus dan ikhlas, berpuasa
yang bisa melatih kecerdasan otak dan seterunya.
d. Tujuan Instruksional Khusus.
Tujuan yang bersifat operasional yang bertolak dari perubahan
tingkah laku yang dapat diamati dan diukur. Tujuan pengajaran khusus
merupakan pernyataan tujuan yang bisa diukur secara jelas dan tegas
terhadap apa yang menjadi tuntutan perubahan perilaku siswa yang dapat
diamati secara langsung. Tujuan pengajaran khusus dicapai setiap selasai
pembelajaran per pokok bahasan atau tema pokok bahasan. Tujuan ini
menjadi alat ukur yang paling konkret dalam kerangkan mencapai tujuan
nasional secara akumulatif.
Melalui penetapan tujuan atau istilah lain sesauai dengan
pernyataan dalam nomenklatur kurikulum baku yang ditetapkan
pemerintah maka bagi pelaku pendidikan seperti guru, penetapan tujuan
merupakan panduan, navigasi, arah, kompas dan kiblat yang
mempermudah membuat perencanaan pembelajaran. Tanpa ada tujuan,
tentu saja pembelajaran dan pengajar tidak akan memiliki focus untuk
memilih dan memilah apada yang bisa dilakukan dalam kerangka
mencapai tujuan besar, yakni tujuan nasional. Seorang guru ketika
menetapkan sebuah tujuan pengajaran yang spesifik harus diantarkan
kesadaranya akan tujuan nasional, sehingga tujuan-tujuan yang dicapai
tidak tercerabut, kerkelupas dan terlepas dari tujuan nasional.
C. Hakekat Pendidikan
Perbedaan falsafah dalam memandang, menempatkan dan
mempersepsi hakekat manusia, hakekat tujuan hidup manusia dan
hakekatnya manusia yang hakiki menyebabkan keragaman konsep
pendidikan dan praktek pendidikan. Manakala manusia ditepatkan
sebagai mahluk yang mengada dengan sendirinya, bukan mahluk yang
mengada dari Yang Maha Ada, adanya karena Ada-Nya, bukan ada
karena adanya maka pendidikanpun akan ditempatkan sesuai cara
pandangnya bukan cara pandang-Nya.
Dalam diskursus keilmuan, sekurang-kurangnya ada dua cara
pandang manusia terhadap kemanusiaannya manusia yang mempengaruhi
filsafat pendidikan manusia. Pertama, Theo- Centeris yang melahirkan
cara pandang bahwa Tuhan merupakan centry vetal dan centri fugal,
pangkal dan muara, hulu dan hilir, awal dan akhir, membagi dan menjadi
pusat dari segala pergerakan manusia. Manusia sepanjang keberadaannya
(hidup dan mati) tanpa ada pilihan selain dari-Nya, oleh-Nya, untuk-Nya,
bagi-Nya karena-Nya dan akhirnya kepada-Nya. Cara pandang ini
kemudian melahirkan pendekatan pendidikan yang Theological oriented
yakni pendidikan yang diabdikan, dibaktikan, disuguhkan,
dipersembahkan dan digadaikan hanya semata-mata untuk memperkokoh
jatidiri, memperkuat hakekat, menjaga fitrah dan memupuk
kecenderungan kuat segala pengabdian dan penghambaanya kepada-Nya.
Pendidikan diperuntukan bagi penguatan posisi manusia agar tetap berada
pada posisi-Nya. Upaya pendidikan diorientasikan untuk memartabatkan
mahluk Tuhan ditingkatkan derajat kemahlukannya kepada maqom
hamba Tuhan. Ketika manusia sudah menempati maqam hamba-Nya,
maka pendidikanpun berusaha keras agar kualitas hamba mencapai
kualitas dan kapasitas shohabat Allah dan ikhtiyar puncak dari
pendidikan hendaknya mencapai titik klimaks manusia sebagai kekasih
Allah.
Kedua, Antropho-Centres yakni cara pandang manusia terhadap
kemanusiannya manusia dari sudut pandang manusia sebagai manusia
yang mengada karena keberadaanya manusia sebagai manusianya
manusia. Manusia menganggap dan merasa bahwa manusia mampu
membuat aturannya sendiri tanpa kehadiran Tuhan. Pendekatan
pendidikanpun dikupas dan dikemas dalam selera dan sengketa
Antrophological oriented, yakni pendidikan yang beroreintasi pada
pembentukan manusia dari, oleh, bagi, dan untuk manusia sendiri.
Manusia bukan insan-ilahiyah tetapi insan-insaniyah, manusia lahir dan
akhirnya adalah manusia. Jadi manusia adagiumnya dari manusia, oleh
manusia, untuk manusia, dan kepada manusia. Manusia hanyalah sebagai
manusia, titik.
Menelisik pandangan tentang manusia (Theo-centres), maka
hakekat pendidikanpun akan mengikuti teropog dan terowong besar yang
bermuara pada Tuhan. Pada pandangan ini hakekat pendidikin merupakan
inti dan esensi dari kesadaran manusia terhadap Tuhannya, dengan ciri-
ciri utama sebagai berikut: (a) Tuhan sebagai Tujuan (the ultimate goal),
Tuhan sebagai tujuan akhir, abadi, eternal dan fundamental, (b)
Pendidikan merupakan proses mengaktivasi fitrah bertauhid agar manusia
bertumbuh dan berkembang sesuai rancangan Tuhan, (c) Materi bahan
ajar berisi semua kebenaran yang bersumber dari otoritas Tuhan, firman
Tuhan baik tekstual maupun kontekstual, hukum-hukum Tuhan
(sunnatullah) dan tidak ada hukum alam melainkan hukum Tuhan pada
alam, (d) Media dan alat hanya boleh dilakukan apabila tidak merusak
atau mereduksi serta merendahkan friman-firman Tuhan, (e). Evaluasi
hendaknya menjangkau aspek-aspek yang batini karena perubahan
perilaku hakekatnya merupakan perubahan believe system, perubahan
ideology, perubahan yang Esensi. Dengan demikian hakekat pendidikan
merupakan, berupa serta berupaya mempertahankan “kedekatan,
kelekatan dan kepadatan interaksi dengan Tuhannya.
Berbeda dengan pandangan Antropo-centris yang meneropong
dan menerawang manusia dari lubang kunci manusia dengan transparansi
tembus pandang maka manusia tidak ada perubahan selain sebagai
manusia yang hendak dijadikan Manusia yang memiliki jati diri sebagai I
bukan me. Dari pandangan paradigmatik ini, pendidikan hakekatnya
merupakan subtansi dan subversi dari kesadaran diri manusia terhadap
kediriannya manusia sendiri yang otonom dari otodidak dalam mendidik
dirinya sendiri. Ciri pendidikan dalam pandangan antopo-centris antara
lain: (a) Tujuan pendidikan mencapai pemahaman tertinggi tentang
manusia sempurna, (b) Proses pendidikan merupakan proses
memanusiakan manusia dengan cara manusiawi oleh manusia yang
berasal dari manusia, (c) Bahan ajar merupakan produk pengetahuan
yang bersumber dari kebenaran manusia yang sudah punya otoritas
membenarkan kebenaran dengan cara yang benar (metodologi), (d)
Media dan alat hanya boleh dilakukan apabila tidak mencaci, mereduksi
dan membagi nilai-nilai kemanusiaan kedalam segmentasi dan
pragmentasi yang mengiris, menguras dan mangikis manusia keluar dari
redaksi totalitas kemanusiaan dalam konteks kebartabatan hakiki
manusia, (e) Evaluasi hanya menjangkau lapisan luar perilaku dari
kedalaman pikiran yang tak terselami atau sehebat-hebatnya hanya
menjangkau cognitivisme. Dengan demikian hakekat pendidikan dalam
pandangan mazhab antropo-centris merupakan ikhtiar menjangkau sudut
humanisasi yang humanism dalam perbuatan dan perbuatan yang
mendalami (belum tentu ketemu kedalamannya perbuatan). Secara
singkat hakekat pendidikan merupakan upaya memanusiakan manusia
dengan cara manusia agar menjadi manusia yang sebenar-benarnya
manusia yang bermartabat manusia dan sekaligus manusia yang
bermartabat.
D. Memaknai Pendidikan
Ciri yang hakiki dari pendidikan yang sejati bukanlah pada proses
yang menarik atau bahan ajar yang unik atau tujuan yang spesifik tetapi
terletak pada adanya konstruksi dan konstraksi kesadaran terhadap
realiatas kedisian, kekinian dan kenantian yang saling mencari, mengisi,
dan mematri. Jelas sebagai kesadaran kepada realitas kedisian dan
kekinian, konstruk pendidikan tidak mungkin terjadi pada waktu dan
ruang hampa serta berlangsung di belantara tanpa makna. Pendidikan
adalah sebuah makna yang harus memaknai setiap yang hendak
bermakna dan menghendaki kebermaknaan yang saling memaknai.
Karena itu makna ruang dalam pendidikan merupakan lingkungan
kehidupan yang mewarnai, mempengaruhi dan mencelupkan warna bagi
kehidupan seseorang. Ia bisa berada di sekolah atau bukan di sekolah,
baik sekolah maupun tidak sekolah. Ia bisa berupa rumah atau berupa di
luar rumah, bisa merasa homy atau tidak merasa homy, bisa di
masyarakat atau di luar masyaralat, bisa bermasyarakat maupun tidak
bermasyarakat.
Jadi ruang dalam konteks kesadaran pendidikan merupakan place
dan space serta time. Ruang dalam pengertian place senantiasa berada
dalam kordinat, historis, batas waktu dan durasi. Place merupakan lokasi,
zona dan regional. Aristoteles mendefiniskan ruang adalah sebagai
tempat yang menjadi tempatnya sesuatu (place of belonging) yang
menjadi lokasi tepat dimana setiap elemen fisik cenderung berada, ( latar-
delta.blogspot.com). Pendidikan seyogianya mendidik setiap siswa dalam
kesadaran waktu, ruang geografis, ruang tempat fisik dimana anak didik
ada, ruang virtual yang berada dan mengada, agar setiap siswa menyadari
kenyataan hidup dan kehidupan nyata dari keberadaan lingkungan nyata,
baik yang bisa dinyatakan atau tidak, yang berada dihadapan atau bahkan
berhadapan. Pendidikan tidak boleh tercerabut dari medan lingkungan,
akar sosia-budaya dan psiko-fisik dengan segala altar waktu yang
mengitarinya.
Kesadaran akan keberadaan waktu sebagai bagian dari pengisi,
mengisi dan isi dari kehidupan pernah diungkapkan oleh John Dewey
dalam filsafat Instrumentalismenya dengan menyebut tiga eksistensi
waktu: (a) Temporalisme, yaitu ada gerak dan kemajuan ril dalam waktu
yang menyadarkan kita akan pentingnya menghargai dan memanfaatkan
waktu untuk kehidupan yang bermakna, karena waktu tidak bisa diulang,
tidak berulang dan tidak pernah pulang. Waktu berputar bagai spiral
menuju batas ujung yang tidak berujung, (b) Futurisme yaitu kesadaran
untuk senantiasa melihat hari esok dan tidak hari kemarin. Kita niscaya
menyadari bahwa tiga masa (the past, present dan future) sebuah masa
yang saling membelajarkan, kemarin pengalaman, hari ini kenyataan dan
besok pengharapan, (c) Meliorisme yaitu keadaan yang akan datang bisa
dibuat lebih baik dengan kekuatan yang ada pada diri kita masing-
masing.
Sedangkan ruang dalam pengertian space, merupakan ruang virtual
yang tidak dibatasi oleh sekat-sekat geografis maupun administratif
karena ia merupakan yang infinite, tak terbatasi ruang dan waktu, tak
berwujud. Apa konsekwesninya bagi pendidikan ketika pendidikan
terjadi dalam space atau ruang maya?. Ia memberikan kesadaran pada
ruang jauh, ruang angkasa yang menembus segala jarak tanpa dibatasi
oleh place maupun lokasi. Kesadaran pada ruang ini mengajarkan
kesadaran pada kemajuan teknologi yang semakin halus dengan
menembus ruang tanpa batas.
Pendidikan pada tingkatan manapun hendaknya mengajarkan peserta
didik untuk senantiasa menyadari tempat dimana kita berada, untuk bisa
mengada dengan kebaradaan yang tidak diada-ada karena penuh dengan
makna. Kesadaran akan tempat, memastikan peserta didik mengerti akan
sebuah tantangan dan sekaligus peluang yang ada disekitar tempat
tinggalnya atau tempat secara lebih luas, sehingga bisa senantiasa sadar
positioning untuk melakukan repositioning dan reactualizing. Sedangkan
kesadaran tentang waktu meniscayakan siswa memahami akan promise
dan perel dari setiap pergerkan kemajuan waktu sehingga tidak tergilas
waktu, tertindas zaman dan terhempas masa serta tergeser oleh massa.
E. Pendidikan Bermakna
Berbicang wacana tentang pendidikan pada level manapun tidak bisa
dilepaskan dari nilai-nilai fungsional apa yang diberikan dari pendidikan
sebagai konsekwensi logis infak pembelajaran. Pendidikan merupakan
wadah besar kehidupan yang ruh atau spirit atau isinya adalah
pembelajaran. Pendidikan kalau tidak memberikan nilai fungsional bagi
kehidupan tentu saja akan ditinggalkan orang. Jadi pendidikan secara
aksiologis harus nampak, terasa dan terpakai manfaatnya secara filosofis,
teoretik, konseptual, metodologik, strategic dan aksinya.
1. Fungsional Filosofis. Pendidikan sekurang-kurangnya harus mampu
mengubah cara pandang seseorang terhadap hakekat kehidupan,
esensi waktu, spirit pekerjaan, dan ruh pikiran yang menyebabkan
seseorang akan senantiasa bisa mengubah hidupnya dengan new
philosophy, new faradigm dan new mindset. Cara pandang yang terus
beradaptasi dengan perubahan yang terjadi dalam skala mikro
maupun makro niscaya harus diwariskan dan ditularkan oleh, dari dan
melalui pendidikan. Pendidikan akan dipandang gagal bila tidak
mampu mengubah manusia yang senantiasa siap diperbaharui dan
memperbaharui.
2. Fungsional Teoretikal. Cara pandang manusia terhadap dan
berhadapan dengan hidup dan kehidupan sebenarnya masih bersifat
abstrak maka abstraksinya harus terefleksi dan terwujudkan dalam
mengubah dan memperlakukan cara-cara hidup yang berbasis pada
pemikiran atau teori (live based knowledge). Sebenarnya tidak ada
kehidupan yang tidak berdasarkan pada teori yang digunakan (apapun
itu). Namun yang dimaksud dengan fungsional teoretikal dalam
pendidikan tentu bukan hanya sekedar teori tetapi new theory, teori-
teori baru yang selalu update setiap saat untuk memastikan hadirnya
kehidupan dengan kapasitas dan kapabilitas berpikir yang tercerahkan
dan tercahayakan.
3. Fungsional Konseptual. Pendidikan merupakan jalan bagi kehidupan
yang senentiasa bisa saling menghidupi antara dirinya dengan
kediriannya, sesama, lingkungan dan variable hidup lainya yang
begitu banyak. Jalan hidup selalu merupakan pilihan-pilihan konsep
yang terabtraksikan, termunculkan dan ternampakan dari teori sebagai
rumah-rumah konsep. Konsep merupakan konstruk pilihan berpikir
yang terstrukturkan dalam skema alternatif tindakan yang berbasis
konseptual yang factual.
4. Fungsional Metodological. Pendidikan menjadi niscaya untuk
mewariskan cara berpikir logis metodologis dalam kehidupan sebagai
konsekwensi dari cara-cara bekerja ilmiah yang selama ini menjadi
patsun perkuliahan. Cara berpikir metodologis diharapkan bisa
menjadi karakter si terdidik dalam menjalani kehidupan sebagai
bagian dari hasil pembelajaran. Cara pembelajaran yang melatih
peserta didik mampu menjawab soal ujian hendaknya terefleksi dalam
kehidupan untuk terampil menjawab soal-soal kehidupan dan itu yang
harus menjadi capaian setiap jenjang pendidikan. Cerdas di kelas dan
cerdas dalam kehidupan. Bukan hanya cerdas di kelas tetapi bego
dalam kehidupan.
5. Fungsional Strategik. Pendidikan sebenarnya berkewajiban untuk
mengajarkan strategi menjalankan kehidupan nyata dan menyatakan
jalan kehidupan. Sebab dalamnya pendidikan niscaya mengajarkan
strategi menstrasformasikan nilai-nilai kehidupan kedalam strategi
mencapai formula kehidupan yang terukur.
6. Fungsional Aksional. Semuan tahapan makna pendidikan mulai
filosofis sampai dengan aksional hanyalah akan bermanfaat apabila
berada dalam penyatuan tindakan yang memperhatikan koherenci
dan konsistensi filosofis dengan turunan berikutnya.
Kelas di sekolah-sekolah kita selama ini lebih mengerti, menyukai
dan terbiasa untuk mengajarkan bahan ajar ketimbang mengajarkan cara
berpikir dari bahan ajar. Begitu sedikit guru yang mampu mengajarkan
spirit bahan ajar. Ia mengajarkan teks bahan ajar bukan konsteks bahan
ajar. Guru mengajarkan siswa mampu menjawab soal ujian ketimbang
mengajarkan cara menjawab soal kehidupan. Siswapun dimotivasi,
didorong dan dilatih untuk meraih ranking pertama tetapi mengabaikan
makna penting kesadaran akan kepekaannya pada realiatas kenyataan
hidup dan kehidupan nyata. Bahkan begitu banyaknya anak yang
tercerabut dan tercabut dari akar budaya setempat. Bagimana tidak, anak
petani kini tidak lagi mau bahkan malu untuk menjadi petani. Begitu juga
anak nelayan, enggan menjadi nelayan. Secara umum pendidikan kita
telah memberikan dampat besar pada ledakan tenaga kerja sektor industri
perkotaan dan mengikis habis tenaga kerja sektor agraris. Padahal kita
masih merupakan negara agraris namun mayoritas generasi muda tak lagi
berpandangan positif terhadap dunia pertanian. Kini dunia pendidikan
mengalami krisis tenaga kerja apalagi tenaga kerja terampil dan ahli.
BAB 2
HAKEKAT MANUSIA