Anda di halaman 1dari 5

Nama : Zaidatu Khoirun N Hari/ tanggal :

NIM : G8401201061 Selasa/ 16 Februari 2021


Kelas : ST24.1 Asisten Praktikum :
Kelompok : 12 1. Dwina Amrieta N. (A24170177)
Dosen PJP : 2. Nugroho Fadillah R. (A24180052)
Hirmas Fuady Putra, S.Si, M.Si 3. Dominikus Mario D.A. (A34170083)
4. Desi Anggrahini (A34180038)

KEANEKARAGAMAN ORGANISME MIKROSKOPIS

I TUJUAN
Praktikum ini bertujuan mempelajari bentuk dan morfologi
mikroorganisme mikroskopis serta prosedur yang digunakan untuk dapat
mengamati mikroorganisme melalui mikroskop. Prosedur yang diamati meliputi
pewarnaan gram dan pewarnaan sederhana serta penggunaan minyak imersi pada
mikroskop. Beberapa makhluk mikroskopis yang diamati dalam praktikum ini, di
antaranya Paramecium Caudatum, Euglena, Rhizopus, dan Pilobolus.

II HASIL DAN PEMBAHASAN


2.1 Mikroskop dan Pewarnaan Bakteri
Eschericia coli merupakan bakteri gram negatif yang berbentuk batang
atau basil, sedangkan Staphylococcus sp. merupakan bakteri gram positif yang
berbentuk kokus atau bulat. Dalam pengamatan yang dilakukan terhadap bakteri
tersebut, digunakan metode pewarnaan untuk mengetahui bentuk dan morfologi
bakteri tersebut.
Menurut Indan (2003) dalam Andi (2016), pewarnaan menjadi metode
standar untuk identifikasi dan karakterisasi bakteri. Penggunaan zat warna
memungkinkan pengamatan struktur dan morfologi bakteri karena sifat bakteri
yang tidak mengabsorbsi dan membiaskan cahaya diwarnai dengan zat warna
yang bersifat kebalikannya sehingga meningkatkan kekontrasan antara bakteri
dengan lingkungan. Namun, menurut Korapati (2010) dalam Andi (2016),
terdapat beberapa jenis bakteri yang tidak dapat mempertahankan zat warna, salah
satunya adalah BTA (Bakteri Tahan Asam). Berdasarkan kedua pendapat tersebut
dapat disimpulkan bahwa pewarnaan efektif digunakan dalam identifikasi dan
karakterisasi bakteri, kecuali bakteri-bakteri yang memiliki sifat khusus.
Ada beberapa jenis pewarnaan, di antaranya adalah pewarnaan sederhana
dan pewarnaan gram (diferensial). Keduanya sama-sama memberikan zat warna
pada bakteri yang akan diidentifikasi dan sama-sama meningkatkan kontras
bakteri terhadap lingkungan. Kedua metode pewarnaan ini hampir sama dalam
segi prosedur awal, tetapi memiliki perbedaan sebagai berikut.
Pewarnaan Sederhana Pewarnaan Gram
Dapat mengetahui morfologi bakteri
Hanya dapat mengetahui bentuk
(Sifat, bentuk, dan penataan sel)
Diklasifikasikan menjadi dua jenis
Tidak ada klasifikasi
(gram positif dan negatif)
Hanya menggunakan satu jenis zat Menggunakan lebih dari satu macam
warna zat warna
Penerapan : Pewarnaan asam india Penerapan : Pewarnaan gram untuk
ink digunakan untuk mengamati deteksi cepat infeksi Neisseria
kapsul bakteri (Fardiaz 2014) gonorrheae
Tabel 1. Perbedaan Metode Pewarnaan Sederhana dan Pewarnaan Gram
Metode pewarnaan sederhana hanya dapat memperlihatkan bentuk bakteri,
tetapi tidak dapat menentukan sifatnya. Di lain sisi, pewarnaan gram akan
menunjukkan morfologi bakteri secara lebih detail, meliputi bentuk, sifat, dan
penataan sel. Sifat bakteri akan diketahui dari perbedaan warna sehingga
menunjukkan jenis bakteri tersebut positif atau negatif. Dari segi jumlah zat warna
yang digunakan, pewarnaan gram membutuhkan beberapa zat warna yang berbeda,
sedangkan pewarnaan sederhana hanya membutuhkan satu jenis zat warna.
Menurut Lay (1994) dalam Nurhidayati et al. (2015), bakteri gram positif
pada pewarnaan Gram akan berwarna ungu karena kompleks zat warna kristal
violet-yodium tetap dipertahankan meskipun diberi larutan alcohol. Adapun
bakteri gram negatif berwarna merah sebab kompleks tersebut larut pada saat
pemberian larutan alkohol sehingga mengambil warna merah safranin. Perbedaan
ini dipengaruhi oleh ketebalan peptidoglikan serta keberadaan membran luar pada
bakteri gram negatif. Peptidoglikan pada bakteri gram positif terdiri dari 40
lembar yang merupakan 50% dari penyusun sel bakteri tersebut. Adapun bakteri
gram negatif dilindungi oleh membran luar dan hanya memiliki peptidoglikan
yang tipis sehingga sulit untuk menyerap warna (Hanif 2009)
Melalui metode pewarnaan, juga dapat diketahui motilitas bakteri. Selain
menggunakan metode pewarnaan, Damayanti et al. mengatakan bahwa uji
motilitas bakteri dapat dilakukan dengan menanamkan satu ose jarum bakteri
secara tegak lurus di tengah Medium SIM (Sulfit Indol Motility) dengan cara
ditusukkan dan diinkubasi pada suhu 37⁰C selama 24 jam. Bila pertumbuhan
koloni menyebar dan timbul kekeruhan seperti kabut, menandakan bahwa bakteri
bergerak.
Pengamatan bakteri melalui mikroskop dibutuhkan minimal 1 0
kaliperbesaran. Pada perbesaran 10 kali, minyak imersi harus digunakan dengan
diteteskan pada kaca preparat. Lensa yang berukuran lebih panjang dari lensa
perbesaran lainnya, menjadikan lensa perbesaran 10 kali hampir menyentuh kaca
preparat. Apabila tidak digunakan, minyak imersi akan merusak lensa dan bagian
mikroskop lainnya. Setelah menyelesaikan penggunaan mikroskop, lensa yang
terkena minyak imersi harus dibersihkan menggunakan kertas optik. Minyak yang
tertinggal pada lensa akan mengaburkan serta mengurangi kemampuan lensa.

2.2 Hasil Pengamatan pada Paramecium dan Euglena


Morfologi Paramecium Caudatum terdiri atas beberapa bagian, salah
satunya adalah inti. Inti dari makhluk ini terdiri dari dua jenis, yakni inti kecil atau
mikronukleus dan inti besar atau makronukleus. Mikronukleus berfungsi untuk
mengendalikan kegiatan reproduksi, sedangkan makronukleus digunakan untuk
mengawasi proses metabolisme, pertumbuhan, serta regenerasi (Nurhadi dan
Yanti 2018). Selain bagian inti, Paramecium Caudatum juga memiliki vakuola
kontraktil yang berperan dalam menjaga tekanan osmotik sitoplasma
(osmoregulator).

Gambar 1. Morfologi Paramecium Caudatum


Walaupun Euglena dan Paramecium termasuk dalam kingdom yang sama,
yaitu protista, keduanya memiliki perbedaan dalam penyerapan nutrisi. Sebagai
bagian dari filum Ciliaphora, Paramecium Caudatum memanfaatkan silia yang
dimilikinya sebagai alat untuk memperoleh nutrisi. Paramecium Caudatum
menangkap makanan dengan cara menggetarkan silianya sehingga terjadi aliran
air keluar masuk mulut sel. Pada saat yang bersamaan, bakteri bahan organik atau
hewan uniseluler lainnya akan ikut terbawa air yang masuk ke dalam mulut sel.
Adapun Euglena (filum Euglenophyta) adalah organisme uniseluler yang
memiliki flagela, vakuola kontraktil, stigma yang dapat menangkap cahaya, dan
kloroplas. Euglenophyta dapat hidup secara autotrof atau heterotrof. Beberapa
jenis Euglena yang autotrof dapat menjadi heterotrof ketika tingkat cahaya rendah
(Ferdinand dan Ariebowo 2009)
Gambar 2. Morfologi Euglena
Hasil pengamatan pada Rhizopus dan Pilobolus

Gambar 3. Morfologi Rhizopus sp.


Rhizopus bereproduksi dengan dua cara, seksual dan aseksual.
Perkembangbiakan secara seksual atau generatif dilakukan oleh spora berjenis
zygospora melalui pendekatan hifa (sel somatik dari cendawan) positif dan negatif
yang sama-sama berkromosom haploid (n) lalu membentuk gametangium
(perluasan hifa). Gametangium melebur dan membentuk zigosporangium
dikariotik dengan pasangan nukleus haploid yang belum bersatu. Ketika kondisi
sekitar membaik, akan terjadi kariogami atau peleburan inti sehingga
zigosporangium memiliki inti yang diploid (2n) yang kemudian membelah secara
meiosis dan kembali menjadi haploid (n).
Perkembangbiakan secara aseksual Rhizopus dilakukan melalui spora yang
disebut sporangiospora. Dalam sporangium (seperti yang terlihat pada gambar 2)
terjadi pembelahan sel secara mitosis yang kemudian menghasilkan banyak
sporangiospora dengan kromosom haploid (n). Apabila kondisi lingkungan
memadai, sporangiospora yang jatuh akan membentuk hifa baru yang haploid (n).
Pilobolus atau dikenal dengan jamur pelempar topi adalah jamur yang
biasa tumbuh pada feses hewan. Jamur ini berkembang biak dengan
menembakkan spora yang sering disebut sebagai ‘topi’. Menurut Hafizhin (2019),
cahaya menjadi salah satu faktor penting dalam tahap penembakan spora. arah
penembakan mengikuti arah cahaya akibat pigmen oranye trophocysts yang
dimiliki. Selain itu, jamur pelempar topi juga menunjukkan respon fototropik
setelah terkena cahaya. Menurut Sakes (2016) dalam Hafizhin (2019), mekanisme
shot gun pada Pilobolus juga dipengaruhi oleh tekanan air. Saat tekanan kritis
berada pada kisaran 0,55 MPa dan relatif terhadap ambien (sekitar 5,5 atm)
tercapai, paket spora istirahat bebas dari vesikel (dalam 0,01-0,03 ms) kemudian
didorong oleh jet sel getah dengan percepatan puncak hingga 21.407g dan
kecepatan peluncuran puncak 16m/s (rata-rata: 9 m/detik), sehingga menghasilkan
jarak peluncuran 2,5 m untuk sudut peluncuran 70–90° ke horizontal.
Mirip dengan Rhizopus, Pilobolus atau jamur pelempar topi juga termasuk
dalam kingdom fungi. Tidak adanya kloroplas menjadikan keduanya sebagai
makhluk saprofit yang membutuhkan bahan organik lain untuk mendapat nutrisi.
Jamur Pilobolus membutuhkan feses hewan untuk berkembang dan kacang
kedelai dibutuhkan Rhizopus oryzae untuk tumbuh.

III DAFTAR PUSTAKA

Ariebowo M, Ferdinand F. 2009. Praktis Belajar Biologi 1. Jakarta (ID) : Pusat


perbukuan departemen pendidikan nasional.
Damayanti S, Effendi E, Komala O. Identifikasi Bakteri Dari Pupuk Organik Cair
Isi Rumen Sapi. Ekologia. 18(2) : 63-71.
Faturrahman, Ghazali M, Nurhidayati S. 2015. Deteksi Bakteri Patogen Yang
Berasosiasi Dengan Kappaphycus Alvarezii (Doty) Bergejala Penyakit Ice-
Ice. Jurnal Sains Teknologi & Lingkungan. 1(2) : 24-30.
Khariri, Sariadji K. 2018. Penerapan Teknik Laboratorium Sederhana Dengan
Pewarnaan Gram Untuk Deteksi Cepat Infeksi Neisseria Gonorrhoeae Pada
Wanita Penjaja Seks (WPS). Di dalam : Suparmi, editor. Teknik,
Kedokteran Hewan, Kesehatan, Lingkungan dan Lanskap. 2018 Seminar
Nasional Cendekiawan. Jakarta (ID) : Lembaga Penelitian Universitas
Trisakti. 411-416.
Rahmadina, Febriana H. 2017. Biologi Sel Unit Terkecil Penyusunan Tubuh
Makhluk Hidup. Surabaya (ID) : CV Selembar Papyrus Manyar Sabrangan
19.
Rahmadina. 2019. Taksonomi Invertebrata. Medan (ID) : [penerbit tidak diketahui]

Anda mungkin juga menyukai