0 penilaian0% menganggap dokumen ini bermanfaat (0 suara)
20 tayangan7 halaman
UU Nomor 5 Tahun 1974 mengenai pemerintahan daerah didasarkan pada prinsip otonomi daerah dan desentralisasi, namun pelaksanaannya lebih menekankan pengendalian pemerintah pusat atas daerah. Paradigma yang digunakan adalah sistem hirarkis vertikal di bawah presiden sebagai penguasa tunggal, sehingga daerah menjadi sangat tergantung dan kurang berkembang.
Deskripsi Asli:
Judul Asli
5.2. UU Nomor 5 Tahun 1974 Tentang Pokok-Pokok Pemerintahan Di Daerah
UU Nomor 5 Tahun 1974 mengenai pemerintahan daerah didasarkan pada prinsip otonomi daerah dan desentralisasi, namun pelaksanaannya lebih menekankan pengendalian pemerintah pusat atas daerah. Paradigma yang digunakan adalah sistem hirarkis vertikal di bawah presiden sebagai penguasa tunggal, sehingga daerah menjadi sangat tergantung dan kurang berkembang.
UU Nomor 5 Tahun 1974 mengenai pemerintahan daerah didasarkan pada prinsip otonomi daerah dan desentralisasi, namun pelaksanaannya lebih menekankan pengendalian pemerintah pusat atas daerah. Paradigma yang digunakan adalah sistem hirarkis vertikal di bawah presiden sebagai penguasa tunggal, sehingga daerah menjadi sangat tergantung dan kurang berkembang.
UU Nomor 5 Tahun 1974 Tentang Pokok-Pokok Pemerintahan Di Daerah
5.2.1. Dasar Filosofi yang Digunakan Penelusuran dasar filosoñ dan paradigma dalam penyelenggaraan politik desentralisasi masa Orde Baru dimulai dengan melihat Pasal 18 UUD 1945 (sebelum amendemen) Yang menentukan tentang pembagian wilayah NKRI. Pasal tersebut berbunyi: "Pembagian daerah Indonesia atas daerah besar dan kecil dengan susunan pemerintahannya ditetapkan dengan Undang-undang". Pemerintah yang sedang berkuasa berpandangan bahwa isi dan jiwa Pasal 18 UUD 1945 beserta penjelasannya menekankan bahwa pemerintah diwajibkan untuk melaksanakan politik desentralisasi dan dekonsentrasi dibidang ketatanegaraan. Konsekuensi dari prinsip tersebut adalah adanya daerah otonom dan wilayah administratif. Daerah yang dibentuk berdasarkan asas desentralisasi disebut Daerah Otonom yang selanjutnya disebut "Daerah", yang dikenal adanya Daerah Tingkat I dan Daerah Tingkat II. Sedangkan Wilayah yang dibentuk berdasar asas dekonsentrasi disebut Wilayah Administratif yang selanjutnya Wilayah-wilayah disusun secara vertikal dan merupakan lingkungan kerja perangkat Pemerintah Pusat yang menyelenggarakan urusan pemerintahan umum di daerah. Pembentukan wilayah-wilayah dalam susunan vertikal adalah untuk meningkatkan pengendalian dalam rangka menjamin kelancaran penyelenggaraan pemerintahan." Dengan penggunaan istilah Daerah Tingkat I dan Daerah Tingkat II mengunjukkan bahwa UU ini masih menggunakan pendekatan tingkatan dan berhierarki (level dan hierarchical approach) dalam membagi daerah otonom, sekaligus menggunakan pendekatan besaran (size approach), karena ada daerah besar berupa DT I dan daerah DT II. Pemerintah Pusat, dalam hal ini Presiden dan DPR-RI, pada tanggal 23 Juli 1974 sepakat menerapkan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1974 tentang Pokok- Pokok Pemerintahan Di Daerah. Salah satu pertimbangan utama diterbitkannya UU ini adalah upaya melancarkan pelaksanaan pembangunan yang tersebar diseluruh pelosok negara serta upaya membina kestabilan politik dan kesatuan Bangsa. Selain itu, diperlukan hubungan yang serasi antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah untuk menjaga keutuhan negara kesanan. Tujuan tersebut dapat dicapai melalui pelaksanaan otonomi daerah Jawab sehingga dapat menjamin perkembangan Konsep di atas sesungguhnya merupakan prinsip pokok yang tertuang dalam Ketetapan MPR Nomor IV/MPR/1966 tentang GBHN. Adapun intisari dari prinsip-prinsip pokok yang telah digariskan dalam TAP MPR yakni:(1) prinsip otonomi Daerah, (2) tujuan pemberian otonomi kepada Daerah, (3) pengarahan. pengarahan dalam pemberian otonomi kepada Daerah. (4) pelaksanaan pemberian otonomi bersama-sama dengan dekonsentrasi" Kehadiran uudang-undang Yang baru ini menegaskan implementasi politik desentralisasi Yang ingin memperbaiki kebijakan sebelumnya, yang dianggap menimbulkan kecenderungan pemikiran yang dapat membahayakan keutuhan NKRI. Keadaan ini juga dianggap tidak lagi serasi dengan maksud dan tujuan pemberian otonomi kepada Daerah sesuai dengan prinsip-prinsip yang digariskan di dalam GBHN. Oleh karena itu pokok-pokok pikiran yang terkandung dalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1974 mengakomodasi beberapa situasi yang berkembang pada saat im, karena kebijakan publik memang harus bersifat kontekstual." Adapun situasi yang dimaksud meliputi tiga aspek penting yaitu : 1) keinginan atau dominasi rezim yang berkuasa saat ini disertai faktor situasi sosial dan politik nasional yang berkembang, 2) besar kecilnya desakan atau tuntutan dari daerah terhadap mekanisme penyelenggaraan pemerintahan, dan 3) adanya pengaruh globalisasi. Gambaran dari tiga aspek tersebut dapat dijelaskan sebagai berikut. Pertama, Keinginan rezim yang berkuasa saat itu sesungguhnya mengelola Pemerintahan yang terkendali dari pusat sampai daerah. Semua entitas bangsa diarahkan mendukung program pembangunan yang diselenggarakan penguasa. Pada tahun l970-an di dunia memang sedang berkembang era pembangunandengan munculnya aliran Administrasi Pembangunan. Fokus perhatian diarahkan pada satu kendali kekuasaan yang terpusat. Searah dengan maksud tersebut pembaharuan pemerintahan daerah dilakukan dalam model yang baru, yang bertujuan mengurangi munculnya gerakan daerah yang kegaduhan politik lokal dan berdampak pada krisis politik nasional. Semangat yang diusung adalah pemerintahan daerah yang otonom dengan Pola seragam agar memudahkan pengawasan oleh Pemerintah Pusat. Kedua, besarnya tuntutan dari daerah terhadap adanya mekanisme penyelenggaraan pemerintahan yang baru, yang lebih memberi keleluasaan pada daerah untuk mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat setempat. Pada masa Orde Baru hal semacam itu sangat kecil kemungkinannya, mengingat ruang demokrasi yang hampir tidak ada. Kebijakan yang diambil adalah justru memperkuat kekuasaan pemerintah pusat sampai ke pelosok, melalui asas dekonsentrasi. Hal inilah menjadi situasi yang menguatkan dikeluarkannya UU Nomor 5 Tahun 1974 dengan model desentralisasi semu (quasi decentralization) yang dibungkus dalam bentuk argon pelaksanaan asas desentralisasi, dekonsentrasi, tugas pembantuan secara seimbang. Kenyataannya, pelaksanaan asas dekonsentrasi justru lebih menonjol dibandingkan asas lainnya. Ketiga, Adanya pengaruh globalisasi yang melanda dunia. Model penyelenggaraan pemerintahan yang sentralistik di Indonesia sesungguhnya dipengaruhi oleh perkembangan demokrasi tingkat global. Pada masa itu kecenderungan negara-negara di dunia adalah melaksanakan pemerintahan dengan sistem otoriter dan tidak mengembangkan demokrasi. Trend ini masuk dalam kategorisasi masa demokratisasi menurut Huntingt0n sebagai masa gelombang balik demokrasi. Searah dengan paparan situasi dan kondisi yang mempengaruhi kebijakan desentralisasi pada masa Orde Baru, Colins dan Ikhlasul Amal mencatat sedikitnya ada tiga faktoor yang dominan mempengaruhi proes perancangan kebijakan tentang sistem pemerintahan daerah.304* Penjelasan faktor-faktor tersebut dapat diringkas sebagai berikut : Pertama, faktor latar belakang sejarah pemerintahan daerah (ehe historical background ef local government). Pengalaman masa lalu mengenal pengaturan pemerintahan daerah yang menimbulkan beragam dinamika politik daerah dan menimbulkan potensi adanya kekacauan serupa, menjadi perhatian sungguh- sungguh para pembuat kebijakan. Adanya kekhawatiran munculnya gerakan daerah yang mengganggu stabilitas politik nasional merupakan salah satu bagianpenting yang dipertimbangkan dalam proses perumusan kebijakan Orde Baru tentang sistem pemerintahan daerah. Sebagai implikasinya dapat dilihat dariisinya yang cenderung menciptakan pemerintah pusat yang kuat dan menjadikan pemerintah daerah sebagai pendukung kebijakan pembangunan. Kebijakan yang diambil sebenarnya melanjutkan model demokrasi terpimpin Yang digagas Soekarno, yang memberi peran sangat dominan pada Pemerintah Pusatkhususnya diri presiden sebagai kepala pemerintahan. Kedua, faktor pluralitas lokal. Pertimbangan pluralitas lokalmenekankan kepada aspek karakteristik geografis dan demografis sangat heterogen. Dengan melihat kondisi ini, pemerintahan Soehartomempertimbangkan bagaimana mewujudkan suatu struktur pemerintahan yang terlaksana secara efektif dan efisien dan terkendali secara baik dalam hubungan pusat dan daerah yang harmonis. Basis pertimbangan ini sesungguhnya mengambil jalan tengah yang mengakomodasi perbedaan karakteristik geografis setiap daerah dan perbedaan lainnya yang mewarnai penduduk Indoensia sehingga terjalin dalam ikatan NKRI. Pendekatannya lebih pada aspek manajemen pemerintahan yang menekankan pada hasilguna dan dayaguna penyelenggaraan pemerintahan, agar mampu mendukung program pembangunan yang dirancang oleh Pemerintah Pusat. Ketiga, ideologi dari rezim Orde Baru itu sendiri. Hal ini berhubungan erat dengan semangat yang kuat untuk lebih memprioritaskan pembangunan ekonomi. Untuk mendukung keberhasilan pelaksanaannya maka dibutuhkan selain stabilitas politik nasional tetapi juga pemerintahan yang stabil antara pusat dan daerah. Hal inilah yang dianggap menjadi basis pertimbangan yang telah mempengaruhi terhadap reformasi sistem pemerintahan daerah yang dilakukan. Tampak dari format struktur pemerintahan daerah yang dominan diwarnai oleh pengendalian dari Pemerintah Pusat meskipun memberikan ruang bagi desentralisasi. Model pengawasan yang digunakan sebenarnya masih dengan UU Nomor 18 Tahun 1965 yakni pengawasan umum, pengawasan represif, dan pengawasan preventif. 5.2.2. Paradigma yang digunakan Pada masa UU Nomor 5 Tahun 1974 yang merujuk pada UUD 1945(sebelum diamandemen), dibangun konstruksi pemerintahan yang hirerakis vertikal ke atas. Presiden sebagai satu-satunya mandataris MPR kemudian membuat jaringan pemerintah pusat di daerah yang dinamakan Kepala Wilayah sebagai PENGUASA TUNGGAL DI PEMERINTAHAN. Penyelenggaraan pemerintahan seperti ini dapat disebutkan sebagai model " mengendalikan negara dari istana". kepentingan pemerintah pusat, sistem ini sangat efektif. Negara-negara seperti China, Korea Utara, Kuba, ataupun negara lainnya yang mengganakan sistem pemerintahan totaliter-represif menggunakan sistem ini, dengan hasil ada yang efektif untuk membangun negara (seperti China), tetapi sebagian besar gagal (Indonesia, Korea Utara, Kuba). Sedangkan dilihat dari sudut pandang pemerintah daerah, sistem ini sangat merugikan karena membuat daerah tidak berkembang dan sangat tergantung pada pemerintah pusat dalam segala hal. Kreativitas dan daya inovasi daerah berada pada titik nadir. Kebijakan dari pemerintah pusat dibuat sangat rinci disertai petunjuk pelaksanaan (Juklak) dan penunjuk teknis (Juknis) yang memudahkan perangkat pemerintah daerah menjalankannya, tetapi kemudian mereka tidak berani melakukan terobosan yang menyimpang dari Juklak dan Juknis mesldpun kondisi di lapangan membutuhkan Penyesuaian pemerintah pusat di daerah dengan tugas melakukan pembinaan dan pengawasan terhadap jalannya pemerintahan daerah serta melakukan koordinasi terhadap semua instansi vertikal dan dinas daerah yang ada pada susunan Pemerintahan yang bersangkutan. . Paradigma lainnya adalah adanya daerah yang bersifat otonom dan ada daerah yang bersifat administratif, yang kemudian memunculkan prinsip uniteritorial dan prinsip unipersonal. Prinsip uniteritorial adalah prinsip yang menjadikan batas daerah otonom berhimpit dengan batas wilayah administratif, sedangkan prinsip unipersonal adalah prinsip yang menyatukan antara perangkat daerah otonom dengan perangkat wilayah administrasi. 5.2.3. Suasana Kebatinan Para Penyusunnya Mendiskripsikan suasana kebatinan para perumus UU Nomor 5 Tahun 1974 dapat dimulai dengan menelusuri notulen rapat atau risalah rapat pleno yang tercatat waktu itu. Hal ini menjadi media pengantar menganalisis dinamika proses penyusunan UU yang didalaminya terdapat pertarungan konsep dan gagasan antar elit eksekutif maupun legislatif Keseriusan maupun semangat mereka dapat dilihat dari keaktifan atau kehadiran dalam merumuskan UU serta intensitas yang dibutuhkan dalam membahas RUU tersebut. Catatan perjalanan proses perumusan dari penyusun dapat menjelaskan pasang surut perjuangan melahirkan UU pemerintahan daerah yang baru. Hasil elaborasi terhadap ringkasan kronologis pembahasan RUU Pokok- Pokok Pemerintahan Di Daerah, ditemukan bahwa pembahasan RUU ini dilakukan dalam 4 (empat) tingkatan pembicaraan. Mekanisme ini yang harus dilalui sebagai suatu siklus dari awal sampai ditetapkannya RUU menjadi UU Yang sah. Sebelum masuk pada rincian proses setiap tahapan dalam keempat tingkatan pembicaraan tersebut, terlebih dahulu RUU ini disiapkan pemerintah disertai dengan Amanat Presiden nomor R.04/PU/IV/1974 tepatnya pada tanggal 30 April 1974. Artinya RUU ini merupakan inisiatif Presiden, karena pada Masa itu DPR RI mandul tidak perah membuat RUU inisiatif.RUU kemudian disampaikan kepada DPR untuk dibicarakan dalam sidang DPR mendapatkan persetujuan dan prosesnya mendapatkan prioritas utama. Hal tersebut diberitahukan kepada anggota DPR dalam Sidang Pleno DPR tanggal l 7 Mei 1974. RUU yang diajukan pemerintah ini sebagai pengganti dari 3 (liga) RUU sebelumnya yang telah diajukan kepada DPR Gotong royong. Pada saat itu juga pemerintah menyatakan menarik kembali 3 (tiga) RUU tersebut yaitu : 1) Rancangan UU tentang Kedudukan dan Hubungan Pemerintah dan Pemerintah Daerah, sebagaimana telah disampaikan dengan Amanat Presiden No.R.36/pres/HK/3/1968 Tanggal 16 Maret 1968. 2) Rancangan Undang-undang tentang Daerah Swatantra, sebagaimana telah disampaikan dengan Amanat Presiden No.R.36/Pres/HK/3/1968 Tanggal 16 Maret 1968, 3) Rancangan Undang-Undang tentang Dekonsentrasi, sebagaimana telah disampaikan dengan Amanat Presiden No.R.05/PU/VI 1970 tanggal 20 Juni 1970 Desakan untuk segera mengatasi kekosongan regulasi mengenal pemerintahan daerah memaksa pemerintah mengambil sikap dan memikul beban tangungjawab merumuskan sebuah RUU yang baru dan lebih komprehensif. Proses selanjutnya masuk pada pembahasan isi RUU melalui 4 (empat) tingkatan pembicaraan. Rincian tingkatan pembicaraan tersebut dapat diuraikan serta dengan deskripsi situasi dan penilaian terhadap suasana kebatinan para perumus waktu itu. Meskipun hal ini subyektif tetapi keberanian pengungkapan ini di dasarkan pada penentuan atas data yang ada. Berikut gambaran masing- masing tingkatan pembicaraan tersebut. Pembicaraan Tingkat I. Pada tahapan ini Pemerintah memberikan penjelasan maksud utama RUU dan isi yang terkandung didalamnya Dalam catasan risalah, pembicaraan tingkat I dilakukan tanggal 20 Mei 1974.312 Setelah ada penjelasan dari Pemerintah, fraksi-fraksi di DPR kemudian membahasnya dan memberikan catatan (kritikan maupun masukan) terhadap isi RUU tersebut. pembahasan Tingkat I ini dilakukan selama 2 (dua) minggu atau 14 (empat belas) hari, yakni mulai tanggal 22 Mei sampai dengan tanggal 6 Juni Pembicaraan tingkat I ini lebih banyak dilakukan oleh pihak legislatif. Masing- masing fraksi di DPR memberi tanggapan terhadap materi RUU yang disampaikan pemerintah untuk selanjutnya disampaikan dalam pemandangan umumfraksi. Pembicaraan Tingkat II. Tahapan ini terdiri dari dua kegiatan yakni pemandangan umum anggota DPR dan jawaban Pemerintah atas pemandangan umum tersebut. Setelah masing-masing fraksi membahas dalam internal anggotanya dan merumuskan kembali sikapnya terhadap naskah RUU yang ada, maka langkah selanjutnya adalah menyampaikan pemandangan umumnya dalam rapat anggota DPR. Setiap fraksi mendapatkan kesempatan yang sama. Langkah selar utnya adalah rapat internal Komisi II DPR untuk menyusun inventarisasi sementara dari fraksi-fraksi terkait persoalan pokok yang tertuang dalam RUU tersebut. Hal inilah yang akan menjadi butir penting untuk disampaikan kepada Pemerintah maupun sebagai referensi dalam pembicaraan selanjutnya. Pembicaraan Tingkat III. Tahapan ini merupakan rapat kerja terfokus terkait substansi materi antara Komisi II DPR bersama-sama dengan Pemerintah Dalam catatan risalah ataupunnotulen rapat waktu itu, kegiatanrapat kerja lobbying antar pimpinanfraksi dengan pemerintahserta rapat tim Petümus dilakukan selama 12 (dua belas) hari kerja yaitu tanggal 17 d 29 Juni 1974. Untuk rapat kerja Komisi II DPR dengan pemerintah sebanyak 7 (tujuh) kali siang maupun malam, sedangkan kegiatan lobbying dilakukan sebanyak 3 (tiga) kali. Selanjutnya rapat tim perumus dilakukan sebanyak 8 (delapan) kali siang dan malam hari. Pada tahap inilah tiru berhasil menyepakati rumusan baku RUU yang siap disahkan. Bersamaan dengan itu fraksi-fraksi di DPR pun mempersiapkan diri untuk menghadapi pembicaraan tingkat IV. Pembicaraan Tingkat IV. Tahapan ini merupakan akhir dari rangkaian pembahasan dan perumusan UU. Boleh dikatakan bahwa inilah saatnya pengesahan RUU tersebut menjadi UU. Masing-masing fraksi yang telah mempersiapkan materi ukutuk Menyampaikan pada Pembicaraan Tingkat IV pada Sidang Pleno Anggota DPR-RI, Dari Penyataan sikap tiap fraksi tersebut meskipun disertai dengan beberapa catatan perubahan untuk penyempurnaan tetapi pada intinya semua fraksi menyetujui untuk disahkan menjadi sebuah Undang-undangI Aldtirnya S e r a anggota DPR yang hadir saat itu berjumlah 376 orang secara aklamasi menyetujui RUU'tersebut untuk menjadi UU. 5.2.4. Berbagai Model yang Digunakan 1) Model Transfer Kewenangan Pada prinsipnya semangat UU Nomor 5 Tahun 1974 dalam pemberian otonomi kepada Daerah adalah memungkinkan Daerah yang bersangkutan mengatur dan mengurus rumah tangganya sendiri.Hal ini bertujuan untuk meningkatkan dayaguna dan hasilguna penyelenggaraan pemerintahan dalam rangka pelayanan terhadap masyarakat dan pelaksanaan pembangunan. 2) Model Perimbangan Keuangan Menganalisis model perimbangan keuangan masa Orde Baru tidak dapat dilepaskan dari paradigma dan semangat yang cenderung bergerak ke kutub sentralisasi. Kebijakan desentralisasi dan otonomi daerah yang dirancang oleh Orde Baru lebih difungsikan sebagai alat untuk memperlancar pelaksanaan pembangunan ekonomi di daerah. Landasan konseptual kebijakan saat itusangat berorientasi pada pencapaian pertumbuhan ekonomi, sehingga tidak dapat dipungkiri, memang lebih menghendaki adanya sentralisasi daripada desentralisasi. 3) Model Pemerintahan Daerah Analisis model pemerintahan daerah masa Orde Baru berdasarkan ketentuan UU Nomor 5 Tahun 1974 dapat dilihat dalam dua bentuk. Pertama, melihat pemerintah daerah dalam konstruksi sebagai daerah otonom, dan yang kedua, melihat konstruksi sebagai wilayah administratif. Pemerintah oleh UU diwajibkan melaksanakan politik desentralisasi dan dekonsentrasi di bidang ketatanegaraan. Sebagai konsekuensi dari prinsip tersebut maka ada daerah otonom dan wilayah administratif. Daerah yang dibentuk berdasarkan asas desentralisasi disebut daerah otonom yang selanjutnya disebut "Daerah", yang meliputi Daerah Tingkat l dan Daerah Tingkat II. Sedang wilayah yang dibentuk berdasar asas dekonsentrasi disebut wilayah administratif selanjutnya disebut "Wilayah". Wilayah-wilayah disusun secara vertikal dan merupakan lingkungan kerja perangkat pemerintah yang menyelenggarakan urusan pemerintahan umum di daerah. Pembentukan wilayah-wilayah dalam susunan vertikal adalah untuk meningkatkan pengendalian dalam rangka menjamin kelancaran penyelenggaraan pemerintahan. 4) Model Pengisian Jabatan Kepala Daerah Pengisian jabatan kepala daerah pada masa Ordo Baru menurut UU Nomor 5 Tahun 1974 dilakukan melalui dua tahap yakni melalui pemilikan secara tidak langsung oleh DPRD, dan pengangkatan oleh pejabat yang berwenang. Dikatakan pemilikan secara tidak langsung karena prosesnya dimulai dengan pencalonan oleh fraksi di DPRD. Pada tahap ini DPRD berperan sebagai wakil rakyat daerah untuk memilih calon pemimpin daerahnya. 5) Model Lembaga Perwakilan Daerah Paradigma lembaga perwakilan daerah pada masa Orde Baru sesungguhnya lebih menegaskan kedudukannya sebagai penyelenggara pemerintahan daerah dalam bidang legislatif atau aspek mengatur. Prinsipnya sama dengan yang digunakan pada UU Nomor 18 Tahun 1965, dalam arti DPRD tidak lagi terlibat dalam bidang eksekutif. DPRD diarahkan lebih fokus pada perannya bersama-sama kepala daerah menyusun anggaran pendapatan dan belanja daerah dan peraturan-peraturan daerah serta memperhatikan aspirasi dan memajukan tingkat kehidupan rakyat dengan berpegang pada program pembangunan Pemerintah. 6) Model Organisasi Perangkat Daerah Pada masa Ordo Baru, keberadaan organisasi perangkat daerah ditegaskan secara eksplisit melalui undang-undang pemerintahan daerah. Hal ini tentu berbeda dengan pengaturan pemerintahan daerah pada masa Orde Lama. KetentuanPasal 13 ayat (2) UU Nomor 5 Tahun 1974 menegaskan bahwa dalam menyelenggarakan pemerintahan daerah dibentuk sekretariat daerah dan dinas-dinas daerah. daerah adalah unsur yang menyelenggarakan tugas-tugas umum staf sedangkan dinas-dinas daerah adalah unsur pelaksana pemerintah daerah yang dibentuk untuk melaksanakan urusan- urusan pemerintahan yang telah menjadi urusan rumah tangga daerah. Artinya UU ini dalam mengatur organisasi pemerintahan daerahnya menggunakan model organisasi lini dan staf (line and stajforganization). 7) Model Pertanggungjawaban Pertanggungjawaban terhadap penyelenggaraan pemerintahan daerah pada masa Orde Baru dikonstmksi mengikuti paradigma pengisian kepala daerahnya. Hal ini juga dipengaruhi oleh kedudukan kepala daerah dalam menjalankan dua-fungsi yaitu sebagai kepala daerah otonom dan kepala wilayah. Sejalan dengan pengisian kepala daerah yang lebih dominan ditentukan melalui mekanisme pengangkatan maka konstruksi pertanggungjawabannya juga dilaksanakan secara hierarkis kepada Presiden melalui Menteri Dalam Negeri. Hal ini mengingat kedudukan Presiden sebagai penanggungjawab tertinggi dalam penyelenggaraan pemerintahan di seluruh wilayah negara.
Analisis Potensi Ekonomi Pariwisata Di Kota Bukittinggi Dan Implementasi Kebijakan Pemerintah Dalam Rangka Meningkatkan Perekonomian Di Kota Bukittinggi (Fatwa Budiyanti 121012201006)