Anda di halaman 1dari 7

5.2.

UU Nomor 5 Tahun 1974 Tentang Pokok-Pokok Pemerintahan Di Daerah


5.2.1. Dasar Filosofi yang Digunakan
Penelusuran dasar filosoñ dan paradigma dalam penyelenggaraan politik desentralisasi
masa Orde Baru dimulai dengan melihat Pasal 18 UUD 1945 (sebelum amendemen) Yang
menentukan tentang pembagian wilayah NKRI. Pasal tersebut berbunyi: "Pembagian daerah
Indonesia atas daerah besar dan kecil dengan susunan pemerintahannya ditetapkan dengan
Undang-undang". Pemerintah yang sedang berkuasa berpandangan bahwa isi dan jiwa Pasal
18 UUD 1945 beserta penjelasannya menekankan bahwa pemerintah diwajibkan untuk
melaksanakan politik desentralisasi dan dekonsentrasi dibidang ketatanegaraan. Konsekuensi
dari prinsip tersebut adalah adanya daerah otonom dan wilayah administratif. Daerah yang
dibentuk berdasarkan asas desentralisasi disebut Daerah Otonom yang selanjutnya disebut
"Daerah", yang dikenal adanya Daerah Tingkat I dan Daerah Tingkat II. Sedangkan Wilayah
yang dibentuk berdasar asas dekonsentrasi disebut Wilayah Administratif yang selanjutnya
Wilayah-wilayah disusun secara vertikal dan merupakan lingkungan kerja perangkat
Pemerintah Pusat yang menyelenggarakan urusan pemerintahan umum di daerah.
Pembentukan wilayah-wilayah dalam susunan vertikal adalah untuk meningkatkan
pengendalian dalam rangka menjamin kelancaran penyelenggaraan pemerintahan."
Dengan penggunaan istilah Daerah Tingkat I dan Daerah Tingkat II mengunjukkan
bahwa UU ini masih menggunakan pendekatan tingkatan dan berhierarki (level dan
hierarchical approach) dalam membagi daerah otonom, sekaligus menggunakan pendekatan
besaran (size approach), karena ada daerah besar berupa DT I dan daerah DT II.
Pemerintah Pusat, dalam hal ini Presiden dan DPR-RI, pada tanggal 23 Juli 1974
sepakat menerapkan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1974 tentang Pokok- Pokok
Pemerintahan Di Daerah. Salah satu pertimbangan utama diterbitkannya UU ini adalah upaya
melancarkan pelaksanaan pembangunan yang tersebar diseluruh pelosok negara serta upaya
membina kestabilan politik dan kesatuan Bangsa. Selain itu, diperlukan hubungan yang serasi
antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah untuk menjaga keutuhan negara kesanan.
Tujuan tersebut dapat dicapai melalui pelaksanaan otonomi daerah Jawab sehingga dapat
menjamin perkembangan
Konsep di atas sesungguhnya merupakan prinsip pokok yang tertuang dalam
Ketetapan MPR Nomor IV/MPR/1966 tentang GBHN. Adapun intisari dari prinsip-prinsip
pokok yang telah digariskan dalam TAP MPR yakni:(1) prinsip otonomi Daerah, (2) tujuan
pemberian otonomi kepada Daerah, (3) pengarahan. pengarahan dalam pemberian otonomi
kepada Daerah. (4) pelaksanaan pemberian otonomi bersama-sama dengan dekonsentrasi"
Kehadiran uudang-undang Yang baru ini menegaskan implementasi politik
desentralisasi Yang ingin memperbaiki kebijakan sebelumnya, yang dianggap menimbulkan
kecenderungan pemikiran yang dapat membahayakan keutuhan NKRI. Keadaan ini juga
dianggap tidak lagi serasi dengan maksud dan tujuan pemberian otonomi kepada Daerah
sesuai dengan prinsip-prinsip yang digariskan di dalam GBHN. Oleh karena itu pokok-pokok
pikiran yang terkandung dalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1974 mengakomodasi
beberapa situasi yang berkembang pada saat im, karena kebijakan publik memang harus
bersifat kontekstual."
Adapun situasi yang dimaksud meliputi tiga aspek penting yaitu : 1) keinginan atau
dominasi rezim yang berkuasa saat ini disertai faktor situasi sosial dan politik nasional yang
berkembang, 2) besar kecilnya desakan atau tuntutan dari daerah terhadap mekanisme
penyelenggaraan pemerintahan, dan 3) adanya pengaruh globalisasi. Gambaran dari tiga
aspek tersebut dapat dijelaskan sebagai berikut.
Pertama, Keinginan rezim yang berkuasa saat itu sesungguhnya mengelola
Pemerintahan yang terkendali dari pusat sampai daerah. Semua entitas bangsa diarahkan
mendukung program pembangunan yang diselenggarakan penguasa. Pada tahun l970-an di
dunia memang sedang berkembang era pembangunandengan munculnya aliran Administrasi
Pembangunan. Fokus perhatian diarahkan pada satu kendali kekuasaan yang terpusat. Searah
dengan maksud tersebut pembaharuan pemerintahan daerah dilakukan dalam model yang
baru, yang bertujuan mengurangi munculnya gerakan daerah yang kegaduhan politik lokal
dan berdampak pada krisis politik nasional. Semangat yang diusung adalah pemerintahan
daerah yang otonom dengan Pola seragam agar memudahkan pengawasan oleh Pemerintah
Pusat.
Kedua, besarnya tuntutan dari daerah terhadap adanya mekanisme penyelenggaraan
pemerintahan yang baru, yang lebih memberi keleluasaan pada daerah untuk mengatur dan
mengurus kepentingan masyarakat setempat. Pada masa Orde Baru hal semacam itu sangat
kecil kemungkinannya, mengingat ruang demokrasi yang hampir tidak ada. Kebijakan yang
diambil adalah justru memperkuat kekuasaan pemerintah pusat sampai ke pelosok, melalui
asas dekonsentrasi. Hal inilah menjadi situasi yang menguatkan dikeluarkannya UU Nomor 5
Tahun 1974 dengan model desentralisasi semu (quasi decentralization) yang dibungkus
dalam bentuk argon pelaksanaan asas desentralisasi, dekonsentrasi, tugas pembantuan secara
seimbang. Kenyataannya, pelaksanaan asas dekonsentrasi justru lebih menonjol dibandingkan
asas lainnya.
Ketiga, Adanya pengaruh globalisasi yang melanda dunia. Model penyelenggaraan
pemerintahan yang sentralistik di Indonesia sesungguhnya dipengaruhi oleh perkembangan
demokrasi tingkat global. Pada masa itu kecenderungan negara-negara di dunia adalah
melaksanakan pemerintahan dengan sistem otoriter dan tidak mengembangkan demokrasi.
Trend ini masuk dalam kategorisasi masa demokratisasi menurut Huntingt0n sebagai masa
gelombang balik demokrasi.
Searah dengan paparan situasi dan kondisi yang mempengaruhi kebijakan
desentralisasi pada masa Orde Baru, Colins dan Ikhlasul Amal mencatat sedikitnya ada tiga
faktoor yang dominan mempengaruhi proes perancangan kebijakan tentang sistem
pemerintahan daerah.304* Penjelasan faktor-faktor tersebut dapat diringkas sebagai berikut :
Pertama, faktor latar belakang sejarah pemerintahan daerah (ehe historical
background ef local government). Pengalaman masa lalu mengenal pengaturan pemerintahan
daerah yang menimbulkan beragam dinamika politik daerah dan menimbulkan potensi
adanya kekacauan serupa, menjadi perhatian sungguh- sungguh para pembuat kebijakan.
Adanya kekhawatiran munculnya gerakan daerah yang mengganggu stabilitas politik
nasional merupakan salah satu bagianpenting yang dipertimbangkan dalam proses perumusan
kebijakan Orde Baru tentang sistem pemerintahan daerah. Sebagai implikasinya dapat dilihat
dariisinya yang cenderung menciptakan pemerintah pusat yang kuat dan menjadikan
pemerintah daerah sebagai pendukung kebijakan pembangunan. Kebijakan yang diambil
sebenarnya melanjutkan model demokrasi terpimpin Yang digagas Soekarno, yang memberi
peran sangat dominan pada Pemerintah Pusatkhususnya diri presiden sebagai kepala
pemerintahan.
Kedua, faktor pluralitas lokal. Pertimbangan pluralitas lokalmenekankan kepada
aspek karakteristik geografis dan demografis sangat heterogen. Dengan melihat kondisi ini,
pemerintahan Soehartomempertimbangkan bagaimana mewujudkan suatu struktur
pemerintahan yang terlaksana secara efektif dan efisien dan terkendali secara baik dalam
hubungan pusat dan daerah yang harmonis. Basis pertimbangan ini sesungguhnya mengambil
jalan tengah yang mengakomodasi perbedaan karakteristik geografis setiap daerah dan
perbedaan lainnya yang mewarnai penduduk Indoensia sehingga terjalin dalam ikatan NKRI.
Pendekatannya lebih pada aspek manajemen pemerintahan yang menekankan pada hasilguna
dan dayaguna penyelenggaraan pemerintahan, agar mampu mendukung program
pembangunan yang dirancang oleh Pemerintah Pusat.
Ketiga, ideologi dari rezim Orde Baru itu sendiri. Hal ini berhubungan erat dengan
semangat yang kuat untuk lebih memprioritaskan pembangunan ekonomi. Untuk mendukung
keberhasilan pelaksanaannya maka dibutuhkan selain stabilitas politik nasional tetapi juga
pemerintahan yang stabil antara pusat dan daerah. Hal inilah yang dianggap menjadi basis
pertimbangan yang telah mempengaruhi terhadap reformasi sistem pemerintahan daerah yang
dilakukan. Tampak dari format struktur pemerintahan daerah yang dominan diwarnai oleh
pengendalian dari Pemerintah Pusat meskipun memberikan ruang bagi desentralisasi. Model
pengawasan yang digunakan sebenarnya masih dengan UU Nomor 18 Tahun 1965 yakni
pengawasan umum, pengawasan represif, dan pengawasan preventif.
5.2.2. Paradigma yang digunakan
Pada masa UU Nomor 5 Tahun 1974 yang merujuk pada UUD 1945(sebelum
diamandemen), dibangun konstruksi pemerintahan yang hirerakis vertikal ke atas. Presiden
sebagai satu-satunya mandataris MPR kemudian membuat jaringan pemerintah pusat di
daerah yang dinamakan Kepala Wilayah sebagai PENGUASA TUNGGAL DI
PEMERINTAHAN. Penyelenggaraan pemerintahan seperti ini dapat disebutkan sebagai
model " mengendalikan negara dari istana". kepentingan pemerintah pusat, sistem ini sangat
efektif. Negara-negara seperti China, Korea Utara, Kuba, ataupun negara lainnya yang
mengganakan sistem pemerintahan totaliter-represif menggunakan sistem ini, dengan hasil
ada yang efektif untuk membangun negara (seperti China), tetapi sebagian besar gagal
(Indonesia, Korea Utara, Kuba). Sedangkan dilihat dari sudut pandang pemerintah daerah,
sistem ini sangat merugikan karena membuat daerah tidak berkembang dan sangat tergantung
pada pemerintah pusat dalam segala hal. Kreativitas dan daya inovasi daerah berada pada titik
nadir. Kebijakan dari pemerintah pusat dibuat sangat rinci disertai petunjuk pelaksanaan
(Juklak) dan penunjuk teknis (Juknis) yang memudahkan perangkat pemerintah daerah
menjalankannya, tetapi kemudian mereka tidak berani melakukan terobosan yang
menyimpang dari Juklak dan Juknis mesldpun kondisi di lapangan membutuhkan
Penyesuaian pemerintah pusat di daerah dengan tugas melakukan pembinaan dan
pengawasan terhadap jalannya pemerintahan daerah serta melakukan koordinasi terhadap
semua instansi vertikal dan dinas daerah yang ada pada susunan Pemerintahan yang
bersangkutan. .
Paradigma lainnya adalah adanya daerah yang bersifat otonom dan ada daerah yang
bersifat administratif, yang kemudian memunculkan prinsip uniteritorial dan prinsip
unipersonal. Prinsip uniteritorial adalah prinsip yang menjadikan batas daerah otonom
berhimpit dengan batas wilayah administratif, sedangkan prinsip unipersonal adalah prinsip
yang menyatukan antara perangkat daerah otonom dengan perangkat wilayah administrasi.
5.2.3. Suasana Kebatinan Para Penyusunnya
Mendiskripsikan suasana kebatinan para perumus UU Nomor 5 Tahun 1974 dapat
dimulai dengan menelusuri notulen rapat atau risalah rapat pleno yang tercatat waktu itu. Hal
ini menjadi media pengantar menganalisis dinamika proses penyusunan UU yang
didalaminya terdapat pertarungan konsep dan gagasan antar elit eksekutif maupun legislatif
Keseriusan maupun semangat mereka dapat dilihat dari keaktifan atau kehadiran dalam
merumuskan UU serta intensitas yang dibutuhkan dalam membahas RUU tersebut. Catatan
perjalanan proses perumusan dari penyusun dapat menjelaskan pasang surut perjuangan
melahirkan UU pemerintahan daerah yang baru. Hasil elaborasi terhadap ringkasan
kronologis pembahasan RUU Pokok- Pokok Pemerintahan Di Daerah, ditemukan bahwa
pembahasan RUU ini dilakukan dalam 4 (empat) tingkatan pembicaraan. Mekanisme ini yang
harus dilalui sebagai suatu siklus dari awal sampai ditetapkannya RUU menjadi UU Yang
sah. Sebelum masuk pada rincian proses setiap tahapan dalam keempat tingkatan
pembicaraan tersebut, terlebih dahulu RUU ini disiapkan pemerintah disertai dengan Amanat
Presiden nomor R.04/PU/IV/1974 tepatnya pada tanggal 30 April 1974. Artinya RUU ini
merupakan inisiatif Presiden, karena pada Masa itu DPR RI mandul tidak perah membuat
RUU inisiatif.RUU kemudian disampaikan kepada DPR untuk dibicarakan dalam sidang
DPR mendapatkan persetujuan dan prosesnya mendapatkan prioritas utama. Hal tersebut
diberitahukan kepada anggota DPR dalam Sidang Pleno DPR tanggal l 7 Mei 1974. RUU
yang diajukan pemerintah ini sebagai pengganti dari 3 (liga) RUU sebelumnya yang telah
diajukan kepada DPR Gotong royong. Pada saat itu juga pemerintah menyatakan menarik
kembali 3 (tiga) RUU tersebut yaitu :
1) Rancangan UU tentang Kedudukan dan Hubungan Pemerintah dan Pemerintah
Daerah, sebagaimana telah disampaikan dengan Amanat Presiden
No.R.36/pres/HK/3/1968 Tanggal 16 Maret 1968.
2) Rancangan Undang-undang tentang Daerah Swatantra, sebagaimana telah
disampaikan dengan Amanat Presiden No.R.36/Pres/HK/3/1968 Tanggal 16
Maret 1968,
3) Rancangan Undang-Undang tentang Dekonsentrasi, sebagaimana telah
disampaikan dengan Amanat Presiden No.R.05/PU/VI 1970 tanggal 20 Juni 1970
Desakan untuk segera mengatasi kekosongan regulasi mengenal pemerintahan daerah
memaksa pemerintah mengambil sikap dan memikul beban tangungjawab merumuskan
sebuah RUU yang baru dan lebih komprehensif. Proses selanjutnya masuk pada pembahasan
isi RUU melalui 4 (empat) tingkatan pembicaraan. Rincian tingkatan pembicaraan tersebut
dapat diuraikan serta dengan deskripsi situasi dan penilaian terhadap suasana kebatinan para
perumus waktu itu. Meskipun hal ini subyektif tetapi keberanian pengungkapan ini di
dasarkan pada penentuan atas data yang ada.
Berikut gambaran masing- masing tingkatan pembicaraan tersebut. Pembicaraan
Tingkat I. Pada tahapan ini Pemerintah memberikan penjelasan maksud utama RUU dan isi
yang terkandung didalamnya Dalam catasan risalah, pembicaraan tingkat I dilakukan tanggal
20 Mei 1974.312 Setelah ada penjelasan dari Pemerintah, fraksi-fraksi di DPR kemudian
membahasnya dan memberikan catatan (kritikan maupun masukan) terhadap isi RUU
tersebut. pembahasan Tingkat I ini dilakukan selama 2 (dua) minggu atau 14 (empat belas)
hari, yakni mulai tanggal 22 Mei sampai dengan tanggal 6 Juni Pembicaraan tingkat I ini
lebih banyak dilakukan oleh pihak legislatif. Masing- masing fraksi di DPR memberi
tanggapan terhadap materi RUU yang disampaikan pemerintah untuk selanjutnya
disampaikan dalam pemandangan umumfraksi.
Pembicaraan Tingkat II. Tahapan ini terdiri dari dua kegiatan yakni pemandangan
umum anggota DPR dan jawaban Pemerintah atas pemandangan umum tersebut. Setelah
masing-masing fraksi membahas dalam internal anggotanya dan merumuskan kembali
sikapnya terhadap naskah RUU yang ada, maka langkah selanjutnya adalah menyampaikan
pemandangan umumnya dalam rapat anggota DPR. Setiap fraksi mendapatkan kesempatan
yang sama. Langkah selar utnya adalah rapat internal Komisi II DPR untuk menyusun
inventarisasi sementara dari fraksi-fraksi terkait persoalan pokok yang tertuang dalam RUU
tersebut. Hal inilah yang akan menjadi butir penting untuk disampaikan kepada Pemerintah
maupun sebagai referensi dalam pembicaraan selanjutnya.
Pembicaraan Tingkat III. Tahapan ini merupakan rapat kerja terfokus terkait substansi
materi antara Komisi II DPR bersama-sama dengan Pemerintah Dalam catatan risalah
ataupunnotulen rapat waktu itu, kegiatanrapat kerja lobbying antar pimpinanfraksi dengan
pemerintahserta rapat tim Petümus dilakukan selama 12 (dua belas) hari kerja yaitu tanggal
17 d 29 Juni 1974. Untuk rapat kerja Komisi II DPR dengan pemerintah sebanyak 7 (tujuh)
kali siang maupun malam, sedangkan kegiatan lobbying dilakukan sebanyak 3 (tiga) kali.
Selanjutnya rapat tim perumus dilakukan sebanyak 8 (delapan) kali siang dan malam hari.
Pada tahap inilah tiru berhasil menyepakati rumusan baku RUU yang siap disahkan.
Bersamaan dengan itu fraksi-fraksi di DPR pun mempersiapkan diri untuk menghadapi
pembicaraan tingkat IV.
Pembicaraan Tingkat IV. Tahapan ini merupakan akhir dari rangkaian pembahasan
dan perumusan UU. Boleh dikatakan bahwa inilah saatnya pengesahan RUU tersebut menjadi
UU. Masing-masing fraksi yang telah mempersiapkan materi ukutuk Menyampaikan pada
Pembicaraan Tingkat IV pada Sidang Pleno Anggota DPR-RI, Dari Penyataan sikap tiap
fraksi tersebut meskipun disertai dengan beberapa catatan perubahan untuk penyempurnaan
tetapi pada intinya semua fraksi menyetujui untuk disahkan menjadi sebuah Undang-undangI
Aldtirnya S e r a anggota DPR yang hadir saat itu berjumlah 376 orang secara aklamasi
menyetujui RUU'tersebut untuk menjadi UU.
5.2.4. Berbagai Model yang Digunakan
1) Model Transfer Kewenangan
Pada prinsipnya semangat UU Nomor 5 Tahun 1974 dalam pemberian otonomi kepada
Daerah adalah memungkinkan Daerah yang bersangkutan mengatur dan mengurus rumah
tangganya sendiri.Hal ini bertujuan untuk meningkatkan dayaguna dan hasilguna
penyelenggaraan pemerintahan dalam rangka pelayanan terhadap masyarakat dan
pelaksanaan pembangunan.
2) Model Perimbangan Keuangan
Menganalisis model perimbangan keuangan masa Orde Baru tidak dapat dilepaskan
dari paradigma dan semangat yang cenderung bergerak ke kutub sentralisasi. Kebijakan
desentralisasi dan otonomi daerah yang dirancang oleh Orde Baru lebih difungsikan sebagai
alat untuk memperlancar pelaksanaan pembangunan ekonomi di daerah. Landasan konseptual
kebijakan saat itusangat berorientasi pada pencapaian pertumbuhan ekonomi, sehingga tidak
dapat dipungkiri, memang lebih menghendaki adanya sentralisasi daripada desentralisasi.
3) Model Pemerintahan Daerah
Analisis model pemerintahan daerah masa Orde Baru berdasarkan ketentuan UU
Nomor 5 Tahun 1974 dapat dilihat dalam dua bentuk. Pertama, melihat pemerintah daerah
dalam konstruksi sebagai daerah otonom, dan yang kedua, melihat konstruksi sebagai
wilayah administratif. Pemerintah oleh UU diwajibkan melaksanakan politik desentralisasi
dan dekonsentrasi di bidang ketatanegaraan. Sebagai konsekuensi dari prinsip tersebut maka
ada daerah otonom dan wilayah administratif. Daerah yang dibentuk berdasarkan asas
desentralisasi disebut daerah otonom yang selanjutnya disebut "Daerah", yang meliputi
Daerah Tingkat l dan Daerah Tingkat II. Sedang wilayah yang dibentuk berdasar asas
dekonsentrasi disebut wilayah administratif selanjutnya disebut "Wilayah". Wilayah-wilayah
disusun secara vertikal dan merupakan lingkungan kerja perangkat pemerintah yang
menyelenggarakan urusan pemerintahan umum di daerah. Pembentukan wilayah-wilayah
dalam susunan vertikal adalah untuk meningkatkan pengendalian dalam rangka menjamin
kelancaran penyelenggaraan pemerintahan.
4) Model Pengisian Jabatan Kepala Daerah
Pengisian jabatan kepala daerah pada masa Ordo Baru menurut UU Nomor 5 Tahun
1974 dilakukan melalui dua tahap yakni melalui pemilikan secara tidak langsung oleh DPRD,
dan pengangkatan oleh pejabat yang berwenang. Dikatakan pemilikan secara tidak langsung
karena prosesnya dimulai dengan pencalonan oleh fraksi di DPRD. Pada tahap ini DPRD
berperan sebagai wakil rakyat daerah untuk memilih calon pemimpin daerahnya.
5) Model Lembaga Perwakilan Daerah
Paradigma lembaga perwakilan daerah pada masa Orde Baru sesungguhnya lebih
menegaskan kedudukannya sebagai penyelenggara pemerintahan daerah dalam bidang
legislatif atau aspek mengatur. Prinsipnya sama dengan yang digunakan pada UU Nomor 18
Tahun 1965, dalam arti DPRD tidak lagi terlibat dalam bidang eksekutif. DPRD diarahkan
lebih fokus pada perannya bersama-sama kepala daerah menyusun anggaran pendapatan dan
belanja daerah dan peraturan-peraturan daerah serta memperhatikan aspirasi dan memajukan
tingkat kehidupan rakyat dengan berpegang pada program pembangunan Pemerintah.
6) Model Organisasi
Perangkat Daerah Pada masa Ordo Baru, keberadaan organisasi perangkat daerah
ditegaskan secara eksplisit melalui undang-undang pemerintahan daerah. Hal ini tentu
berbeda dengan pengaturan pemerintahan daerah pada masa Orde Lama. KetentuanPasal 13
ayat (2) UU Nomor 5 Tahun 1974 menegaskan bahwa dalam menyelenggarakan
pemerintahan daerah dibentuk sekretariat daerah dan dinas-dinas daerah. daerah adalah unsur
yang menyelenggarakan tugas-tugas umum staf sedangkan dinas-dinas daerah adalah unsur
pelaksana pemerintah daerah yang dibentuk untuk melaksanakan urusan- urusan
pemerintahan yang telah menjadi urusan rumah tangga daerah. Artinya UU ini dalam
mengatur organisasi pemerintahan daerahnya menggunakan model organisasi lini dan staf
(line and stajforganization).
7) Model Pertanggungjawaban
Pertanggungjawaban terhadap penyelenggaraan pemerintahan daerah pada masa Orde
Baru dikonstmksi mengikuti paradigma pengisian kepala daerahnya. Hal ini juga dipengaruhi
oleh kedudukan kepala daerah dalam menjalankan dua-fungsi yaitu sebagai kepala daerah
otonom dan kepala wilayah. Sejalan dengan pengisian kepala daerah yang lebih dominan
ditentukan melalui mekanisme pengangkatan maka konstruksi pertanggungjawabannya juga
dilaksanakan secara hierarkis kepada Presiden melalui Menteri Dalam Negeri. Hal ini
mengingat kedudukan Presiden sebagai penanggungjawab tertinggi dalam penyelenggaraan
pemerintahan di seluruh wilayah negara.

Anda mungkin juga menyukai