Tugas Kuliah
Oleh:
ARSYIK
NIM: 80100220079
Dosen Pengampu:
PASCASARJANA
UIN ALAUDDIN MAKASSAR
2021
KATA PENGANTAR
Puji syukur kehadirat Allah swt. yang telah memberikan rahmat kesehatan
dan kekuatan kepada umat manusia untuk senantiasa mampu menyelesaikan tugas
dan amanah yang diberikan kepadanya. Salam dan salawat semoga tetap
tercurahkan kepada Nabi Muhammad saw. Nabi yang menjadi penutup para nabi,
Sebagai salah satu landasan untuk memahami maksud atau tujuan dari
syariat Islam, maka keberadaan ilmu kaidah fikih menjadi penting untuk
dipahami. Oleh sebab itu, makalah ini membahas salah satu kaidah fikih, yaitu Lā
Masāga li al-Ijtihād fī Maurid al-Naṣ yang berarti tidak boleh berijtihad semasih
Akhirnya, apa yang tersaji dalam makalah ini merupakan usaha untuk
tersebut
Arsyik
i
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR........................................................................................ i
DAFTAR ISI...................................................................................................... ii
BAB I PENDAHULUAN................................................................................... 1
BAB II PEMBAHASAN.................................................................................... 4
A. Kesimpulan......................................................................................... 17
B. Implikasi Penelitian............................................................................ 17
DAFTAR PUSTAKA......................................................................................... 19
ii
BAB I
PENDAHULUAN
Islam adalah agama yang dianugerahkan oleh Allah swt untuk seluruh
makhluk-Nya, bukan hanya sebagai agama, tetapi juga sebagai hukum yang dapat
menjadi norm sebagai pedoman kehidupan, namun kerap gagal dipahami bukan
hanya oleh orang-orang non muslim tetapi oleh pemeluknya sendiri. 1 Sumber
hukum Islam yang utama adalah al-Qur’an dan Hadis, di dalamnya berisi panduan
hidup bagi seluruh manusia, darinya kemudian dikembangkan oleh para ahli
dinamakan sumber hukum Islam, akan tetapi dinamakan dengan metodologi yang
digunakan untuk memahami dan menangkap substansi yang ada dalam teks suci
(nas). Seperti; qiyas, istihsan, maslahah, mursalah, istishab dan banyak lainnya.
nas maupun karena adanya persoalan baru yang tidak dijelaskan dalam nas dengan
tegas. Karena itu para ulama menggunakan berbagai metode dalam memahami
nas, baik nas qat’iy maupun dzhanny, diantara metode yang digunakan adalah
diperhatikan mana yang menjadi wilayah ijtihad dan mana yang tidak boleh
1
Mohammad Daud Ali, Hukum Islam; Pengantar Ilmu Hukum dan Tata Hukum Islam di
Indonesia (Cet. XXI; Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 2015), h. 65.
1
2
menjadi sangat penting untuk menjadi acuan para mujtahid dalam berijitihad
dalam memahami hukum Islam agar tidak terjadi kekeliruan, perlu adanya kaidah
dan peranan yang sangat penting dalam pemeliharaan dan pengembangan hukum
sangat penting bagi para pemikir hukum Islam, diantaranya yaitu: Pertama, dalam
masalah fikih yang mereka hadapi, kaidah fikih itu dapat dijadikan sebagai
berfungsi sebagai media atau alat untuk menafsirkan nas-nas.2 Meskipun kaidah
fikih berfungsi sebagai media dalam menafsirkan nas, namun disisi lain, Islam
maka perlu adanya sebuah metode (ijtihat) dalam rangka mengantisipasi dan
pentingnya penerapannya. oleh karena itu makalah ini akan membahas mengenai
hal-hal penting yang berkaitan dengan kaidah lā masāga li al-ijtihād fī maurid al-
naṣ.
2
Duski Ibrahim, al-Qawa’id al-Fiqhiyyah (Kaidah-Kaidah Fikih) (Cet. I; Palembang:
Noerfikri, 2019), h. 20.
3
PEMBAHASAN
Ditinjau dari segi etimologi (ta’riful lugha) atau yang dikenal dengan
pengertian secara bahasa, kaidah ini terdapat kata اجتهاد (bersumber dari akar
mengikuti pola dari timbangan فعال- فعل – يفعل.4 Perubahan pola tersebut yang
kemudian ditarik ke kata mashdar sehingga bermakna kesungguhan. Adapun kata
kerja مساغ berarti yang diperbolehkan dan merupakan isim maf’ul (subjek) dari
kata kerja اغXX أسyang merupakan kata kerja turunan dari اغX سberarti boleh.
Selanjutnya kata موردadalah kata keterangan tempat dari kata kerja ورد berarti
(kata kerja yang dibendakan) dari kataa kerja نصyang berarti mengangkat dan
menampakan.
3
Akbar Syamsul Arifin, Hafal 3000+ Kata Bahasa Arab (Yogyakarta: Diva Press, 2016),
51; Warson Munawwir, Al Munawwir Kamu Arab-Indonesia (Surabaya: Pustaka Progresif, 1997),
h. 217.
4
Syekh Muhammad Ma’shum Ibnu A’liy, al- Amtsilatul at-Tashrifiyyah (Surabaya:
Matbah Salim Nabhan,t.t), h. 6-7.
5
perbedaan yang prinsip, salah satunya sebagaimana disampaikan oleh Imam al-
Maksudnya:
berarti usaha yang ditempuh dengan tidak sepenuh hati dan tidak bersungguh-
tidak diperbolehkan berijtihad selama ada nas. Namun, sekilas kaidah ini seakan
bertentangan dengan fungsi kaidah fikih yang berperan sebagai media untuk
menafsirkan nas, tentu jika berbicara penafsiran, maka ada titik ijtihad disana.
Tetapi, titik temu dari kontradiksi tersebut adalah fungsi kaidah fikih terkhusus
pada kaidah fikih ini, yaitu menjelaskan bahwa kaidah fikih fungsinya
disebutkan dalam sebuah kitab yang berjudul; al-wajīz fī īḍāḥ al-fiqh al-kulliyyah
5
Amir Syarifuddin, Ushul fiqh II (Cet. IV; Jakarta: Kencana Permada Media Grup, 2008),
h. 76.
6
Artinya:
yang secara terang sudah menjelaskanya (qath’iy), dalam arti apabila ijtihad
tersebut menabrak atau kontradiksi dengan nas yang benar dan jelas dari segi
menunjukkan kepada arti yang terang atau jelas sekali untuk dipahami, hingga nas
itu tidak bisa ditakwilkan dan dipahami dengan arti yang lain. 7 Artinya nas
tersebut telah memberikan makna tertentu dengan jelas dan tidak ada peluang
Kategori nas qath’iy menurut Muhammad Adib Salih adalah jika suatu lafal itu
mencakup dua hal yaitu: Pertama, mengandung nilai akidah; Kedua, lafal itu
seperti menegakkan keadilan, berbuat baik kepada kedua orang tua, menyambung
bahwa nas qath’iy tidak ada peluang untuk berijtihad untuk mengalihkan
tanpa komentar) dan ia bersifat tetap tidak berubah sampai akhir zaman.8
2. Klasifikasi mujtahid
a. Mujtahid fi al-Syar'y,
Mujtahid yang memiliki semua persyaratan yang harus ada padanya secara
optimal dan melakukan ijtihad dalam berbagai masalah hukum syar'i, tanpa terikat
oleh imam suatu mazhab, bahkan mereka mampu meng-istinbath-kan hukum dari
sumber aslinya tanpa terikat dengan pendapat para mujtahid lain, sehingga mereka
lebih dekat dengan metode tarjih Muhammadiyah yang menentukan hukum tampa
terikat dengan mazhab tertentu, dengan mimilih dalil-dalil yang dianggap paling
b. Mujtahid Muntasib
dalam melakukan ijtihadnya. Mengikuti sistem yang telah ditetapkan oleh imam
8
Jahada Mangka, Dkk, Implementasi Kaidah “Lā Masāga Li Al-Ijtihād Fī Maurid Al-
Naṣ” Dalam Fikih Islam, h. 31.
9
Andi Muhammad Akmal, Kaidah Lā Masāga Li Al-Ijtihād Fī Maurid Al-Naṣh: Hakikat
Teori Ijtihad dan Aplikasinya, Ash shahabah, Vol. VI no. 2 (2020), h. 198.
8
seorang mujtahid yang selalu berpegang teguh pada norma-norma dan kaidah-
kaidah istinbath hukum yang telah dijalani oleh imamnya, akan tetapi keputusan
keputusan yang telah diambil oleh imam mazhabnya, sebab mereka dalam hal
c. Mujtahid fi al-Mazhab
telah dipakai oleh mazhabnya dan pada masalah furu'iyyah, selalu mengikuti
belum diijtihadkan oleh para imam mazhab dan selebihnya dia melakukan
penyeleksian beberapa fatwa hukum (qaul) yang dikutip dari dokumentasi ijtihad
imam mazhab untuk dinilai mana yang shahih dan mana yang lemah;
d. Mujtahid Murajjih
antara beberapa pendapat yang berbeda dikalangan para ulama, baik yang masih
dalam satu mazhab maupun dalam beberapa mazhab. Hal ini dilakukan dengan
cara menilai mana yang lebih kuat dan lebih benar dalilnya. Makanya, selalu
terikat oleh sistem yang telah ditetapkan oleh imamnya dan juga selalu mengikuti
imamnya dalam masalah furu'iyyah, hanya saja jika ada masalah yang masih
9
hukum mana yang nilainya lebih benar dan lebih kuat dari pada
aspek, sosial, politik, dan budaya, seolah dalam penentuan hukum seperti
memesan. Oleh karena itu, dimasa sekarang sangat dibutuhkan legislator atau
melakukan istinbath hukum guna melahirkan suatu produk fikih yang mampu
3. Klasifikasi Ijtihad
hadis. Mujtahid jenis ini populer dengan sebutan golongan Ahlul-Hadis atau
b. Ijtihad Rasional, yaitu ijtihad yang dalam pengkajian dan penetapan hukumnya
kelompok ini biasa disebut ahlar-Ra'yu atau kontekstualis.11 Metode ini hidup
10
Andi Muhammad Akmal, Kaidah Lā Masāga Li Al-Ijtihād Fī Maurid Al-Naṣh: Hakikat
Teori Ijtihad dan Aplikasinya, h. 198-199.
11
Andi Muhammad Akmal, Kaidah Lā Masāga Li Al-Ijtihād Fī Maurid Al-Naṣh: Hakikat
Teori Ijtihad dan Aplikasinya, h. 198.
10
dalam tradisi bangsa Persia yang mengambil keputusan diruang diskursus atau
meja bundar untuk pertemuan banyak orang yang berdebat tentang suatu
mandiri dan oleh seorang mujtahid, baik dalam hal metode dan prosedur
keputusannya. Mujtahid jenis ini sekarang amat sulit ditemukan, karena pada
diri seorang mujtahid fardiy harus mempunyai beberapa disiplin ilmu yang
yang berbeda. Ijtihad jenis ini lebih mungkin dan bahkan layak dilakukan saat
e. Ijtihad Bayaniy, (yaitu suatu cara istimbath (penggalian dan penetapan ) hukum
sudah ada dalam nas, baik dalam al-Qur'an maupun hadis. ijtihad yang
f. Ijtihad Qiyasi, (Yaitu suatu cara istimbath (penggalian dan penetapan ) hukum
yang sudah diketahui hukumnya melalui nas dalam rangka menetapkan atau
baru yang tidak terdapat dalam al-Qur'an maupun hadis dengan cara meng-
qiyas kan terhadap sesuatu yang sudah ada ketetapan hukumnya dalam nas
syar’i. Hal ini dilakukan dengan menggunakan teori analogi atau qiyas;
g. ljtihad intiqa'iy atau tarjihiy, yaitu ijtihad yang dilakukan mujtahid dengan
pendapat yang lebih kuat dalil dan argumentasinya, serta lebih sesuai dengan
h. Ijtihad insya'iy atau ibda'iy, yaitu ijtihad yang dilakukan mujtahid untuk
Dari berbagai klasifikasi ijtihad yang sudah disampaikan tersebut, hal ini
usaha tersebut merupakan hasil kerisauan para ulama dan fuqaha terhadap
Keberadaan kaidah ini juga didukung oleh dalil-dalil yang bersumber dari
al-Qur’an dan hadis, sehingga dalil-dalil tersebut menjadi dasar hukum untuk
12
Andi Muhammad Akmal, Kaidah Lā Masāga Li Al-Ijtihād Fī Maurid Al-Naṣh: Hakikat
Teori Ijtihad dan Aplikasinya, h. 199-121.
12
menguatkan kaidah ini. Adapun dalil-dalil atau dasar hukum yang melegitimasi
a. Al-Qur’an
QS al-Ahzab/ 33 : 36
“Dan tidaklah pantas bagi laki-laki yang mukmin dan perempuan yang
mukmin, apabila Allah dan Rasul-Nya telah menetapkan suatu ketetapan,
akan ada pilihan (yang lain) bagi mereka tentang urusan mereka. Dan
barangsiapa mendurhakai Allah dan Rasul-Nya, maka sungguh, dia telah
tersesat, dengan kesesatan yang nyata”13
hukum baru yang lebih dahulu ditetapkan oleh Allah dan Rasul-Nya, demikian
b. Hadis
Artinya:
Telah menceritakan kepada kami (Hafsh bin Umar) dari (Syu'bah) dari
(Abu 'Aun) dari (Al-Harits bin 'Amru) anak saudara Al-Mughirah bin
Syu'bah, dari (beberapa orang penduduk Himsh) yang merupakan sebagian
dari sahabat Mu'adz bin Jabal. Bahwa Rasulullah shallallahu 'alaihi
wasallam ketika akan mengutus Mu'adz bin Jabal ke Yaman beliau
bersabda: "Bagaimana engkau memberikan keputusan apabila ada sebuah
peradilan yang dihadapkan kepadamu?" Mu'adz menjawab, "Saya akan
memutuskan menggunakan Kitab Allah." Beliau bersabda: "Seandainya
engkau tidak mendapatkan dalam Kitab Allah?" Mu'adz menjawab, "Saya
akan kembali kepada sunnah Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam."
bahwa tidak boleh mengambil keputusan atau berijtihat dengan keyakinan sendiri
tampa terlebih dahulu berpedoman pada al-Qur’an dan hadis. Jika dikaitkan
seorang hakim tidak boleh memutuskan suatu perkara tampa terlebih dahulu
melihat sumber hukum yang utama dalam hal ini peraturan perundang-undangan
di Indonesia.
النص, dapat dilihat dari contoh-contoh yang ada dalam literatur bahasa arab yang
membahas tentang al-Qawa’id al-Fiqhiyyah yang disebutkan dalam jurnal ilmiah
1. (Misalnya) jika seorang mujtahid berijtihad dan berkata bahwa istri yang
ditalak raj’i bahwa dipersyaratkan keridaan seorang istri terhadap
keabsahan rujuknya. Maka sesungguhnya ijtihad ini adalah tidak benar,
diharamkan dan tertolak, karena ijtihad tersebut menyelisihi atau
14
Hadits Abu Dawud Nomor 3119”, Tafsirq (Diakses pada 26 Oktober, 2021), Hadits
Abu Daud Nomor 3119 .
14
kaidah ini, juga memuat syarat-syarat diterapkannya kaidah ini, sebagai berikut:
Mufassar dan Muḥkam, selain daripada keduanya, diantaranya Ẓāhir dan Naṣ
maka tidak diperbolehkan berijtihad pada saat bersinggungan pada nas yang
Mufassar dan Muḥkam.17 Mufassar ialah lafal yang maknanya lebih jelas dari
nas dan kejelasan maknanya itu ditunjukkan oleh lafal itu sendiri. Mufassar tidak
Muhkam ialah suatu lafal yang menunjukkan kepada pengertian yang jelas
15
Jahada Mangka, Dkk, Implementasi Kaidah “Lā Masāga Li Al-Ijtihād Fī Maurid Al-
Naṣ” Dalam Fikih Islam, h. 34. Lihat juga dari sumber asli yang dikutip oleh Jahada Mangka
dkk. berikut ini: Muslim bin Muḥammad bin Mājid al-Dūsarī, al-Mumti’ fī al-Qawā’id al-
Fiqhiyyah (Cet. I; Riyāḍ: Dār Zidnī, 2007M/1428H), h. 340.
16
Jahada Mangka, Dkk, Implementasi Kaidah “Lā Masāga Li Al-Ijtihād Fī Maurid Al-
Naṣ” Dalam Fikih Islam, h. 35.
17
Jahada Mangka, Dkk, Implementasi Kaidah “Lā Masāga Li Al-Ijtihād Fī Maurid Al-
Naṣ” Dalam Fikih Islam, h. 35.
15
ini yang disebut penafsiran otentik, dalam arti langsung dijelaskan oleh undang-
Contoh dalam bidang hukum misalnya pada ayat yang berkenaan mawaris,
ض ۤارٍّ ۚ َوصِ ي ًَّة م َِّن هّٰللا ِ ۗ َوهّٰللا ُ َعلِ ْي ٌم َحلِ ْي ۗ ٌم ٍ ۙ اَ ْو دَ ي
َ ْن َغي َْر ُم –
Terjemahnya:
suami, bagian waris istri dan bagian waris saudara seibu. Bahwa setiap bagian
warisan yang telah ditetapkan oleh syariat adalah qath’iy ad-dalalah yang artinya
mengenai pembagian, tetapi hukum asalnya ayat itu jelas. Dengan demikian,
berdasarkan uraian dalam isi makalah ini, dapat dipahami bahwa kaidah ال مساغ
للاجتهاد في مورد النص, berlaku jika tidak bertentangan dengan nas yang sudah
jelas dalam menjelaskan suatu masalah.
18
Kementrian Agama RI., al-Qur’an Terjemahan An-Naja , h. 79.
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
sumber hukum kaidah ini terdapat dalam al-Qur’an dan hadis yang
hukum baru.
diperhatikan pada contoh-contoh yang ada dan tidak selamanya kaidah ini
B. Implikasi Penelitian
18
pembaca terkait kaidah ال مساغ للاجتهاد في مورد النص, beserta segala hal yang
berkaitan dengannya, mulai dari konsep hingga pada penerapan atau implementasi
kaidah ini dalam kehidupan umat Islam. Selain itu, dengan adanya makalah ini
bisa menjadi referensi bagi umat Islam untuk lebih mengetahui sejauh mana ruang
lingkup dan cakupan kaidah ini dalam memberikan kemudahan dan keringanan
Ali, Mohammad Daud. Hukum Islam; Pengantar Ilmu Hukum dan Tata Hukum
Islam di Indonesia. Cet. XXI; Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 2015.
Arifin, Akbar Syamsul. Hafal 3000+ Kata Bahasa Arab (Yogyakarta: Diva
Press, 2016), 51; Warson Munawwir, Al Munawwir Kamu Arab-
Indonesia. Surabaya: Pustaka Progresif, 1997.
Hadits Abu Dawud Nomor 3119”, Tafsirq. Diakses pada 26 Oktober, 2021.
Syarifuddin, Amir. Ushul fiqh II. Cet. IV; Jakarta: Kencana Permada Media
Grup, 2008.
19