Anda di halaman 1dari 5

LAPORAN PRAKTIKUM Nilai

TEKNIK ANALISIS REGIONAL



Laboratorium Kewilayahan
Fakultas Geografi, Universitas Gadjah Mada
2021
Nama: Zahra Hanifa Candra NIM: 20/455026/GE/09260
Kelas Praktikum: Selasa Pukul: 09:10
Asisten:
1. Salsabila Mihada
2. Yunita Salsabila
Acara V: Perkembangan dan Daya Dukung Wilayah

A. Tujuan
1. Mengenalkan salah satu indikator tingkat perkembangan wilayah.
2. Melakukan perwilayahan atau regionalisasi tingkat perkembangan wilayah.
3. Menghitung daya dukung wilayah dalam mendukung kehidupan di dalamnya,
khususnya pada aspek-aspek tertentu, yaitu :
a. tingkat swasembada wilayah (beras)
b. daya dukung lahan pertanian
4. Menganalisa keterkaitan dan implikasi-implikasi yang akan ditimbulkan dari hasil
perhitungan terhadap pembangunan wilayah.
B. Hasil Praktikum
1. Tabel Regionalisasi Tingkat Perkembangan Wilayah (Indikator Kesempatan Kerja)
Kulon Progo Tahun 2010 (Terlampir)
2. Tabel Analisis Daya Dukung Lahan Kab. Kulon Progo Tahun 2010 (Terlampir)
C. Pembahasan
Pada dasarnya tingkat perkembangan suatu wilayah merupakan fungsi dari
lingkungan alam, penduduk, dan kegiatan ekonomi sosial. Ketiga faktor tersebut pada
gilirannya akan memengaruhi perkembang suatu wilayah tersebut. Menurut (Matondang,
2018) perkembangan merupakan salah satu aspek penting dalam pelaksanaan
pembangunan yang juga menjadi perwujudan dari pemanfaatan potensi yang dimiliki oleh
suatu wilayah untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Regionalisasi merupakan
kegiatan mengelompokkan wilayah berdasarkan kesamaan karakteristik tertentu yang
bertujuan untuk mempermudah penganalisaan kondisi suatu wilayah. Menurut (Glasson,
1977) regionalisasi adalah proses penentuan batas daerah yang bergantung pada tujuan
pengelompokkan, kriteria yang digunakan serta ketersediaan data. Regionalisasi pada
acara kali ini didasarkan pada data jumlah penduduk di Kulon Progo 2010, data jumlah
penduduk produktif, dan data jumlah penduduk tidak produktif.
Berdasarkan data, jumlah penduduk di Kulon Progo tahun 2010 mencapai 380.685
jiwa. Wilayah dengan jumlah penduduk tertinggi adalah Kecamatan Wates, yaitu 39.838
jiwa. Wilayah dengan jumlah penduduk terendah adalah Kecamatan Temon, yaitu 23.522
jiwa. Jumlah penduduk produktif di Kabupaten Kulon Progo tahun 2010 mecapai 243.945
jiwa, berbanding lurus dengan banyaknya jumlah penduduk secara kesuluruhan, wilayah
dengan jumlah penduduk produktif tertinggi adalah Kecamatan Wates, jumlah penduduk
produktifnya mencapai 25.528 jiwa. Wilayah dengan jumlah penduduk produktif
terendah adalah Kecamatan Temon, yaitu 15.073 jiwa.
Berdasarkan perbandingan antara jumlah penduduk kesuluruhan dengan jumlah
penduduk produktif, Kecamatan Sentolo meraih persentase usia produktif tertinggi, yaitu
64,0839. Kecamatan Lendah menjadi wilayah dengan persentase usia produktif terendah,
yaitu 64,0769. Namun, secara umum setiap kecamatan memiliki persentase usia produktif
yang hampir sama, yaitu berada pada kisaran 64%. Berdasarkan hasil scalling,
Kecamatan Sentolo yang memiliki persentase usia produktif tertinggi menjadi wilayah
dengan nilai scalling tertinggi juga, yaitu 100%. Kecamatan Lendah yang memiliki
persentase usia produktif terendah memiliki nilai scalling 0%. Selanjutnya, akan
dilakukan pembobotan dengan mengalikan hasil penghitungan persnetase usia produktif
dengan persentase scalling. Berdasarkan pembobotan, Kecamatan Sentolo meraih
predikat tertinggi dengan nilai bobot mencapai 6408,4 dan Kecamatan Lendah menjadi
wilayah dengan predikat terendah, nilai bobotnya 0.
Langkah selanjutnya yang dilakukan adalah menghitung dependency ratio (DR).
Menurut (Mantra, 2003) dependency ratio adalah rasio antara penduduk umur 0-14 dan
penduduk umur 65 tahun ke atas dengan penduduk umur 15-64 tahun. Data jumlah
penduduk tidak produktif didapatkan dari pengurangan jumah penduduk Kabupaten
Kulon Progo 2010 dengan data jumlah penduduk produktif. Berdasarkan penghitungan,
wilayah dengan jumlah penduduk tidak produktif tertinggi adalah Kecamatan Wates,
yaitu 14.310 jiwa. Wilayah dengan jumlah penduduk tidak produktif terendah adalah
Kecamatan Temon, yaitu 8.449 jiwa. Dependency ratio dihasilkan dari perbandingan
antara jumlah penduduk tidak produktif dengan jumlah penduduk produktif. Berdasarkan
penghitungan, wilayah dengan nilai DR tertinggi adalah Kecamatan Lendah, yaitu
56,063%. Wilayah dengan nilai DR terendah adalah Kecamatan Sentolo, yaitu 56,045%.
Wilayah dengan nilai DR tertinggi memiliki nilai scalling 100 dan wilayah dengan nilai
DR terendah memiliki nilai scalling 0. Selanjutnya, pembobotan dilakukan dengan
mengalikan nilai persentase DR dengan nilai scalling. Wilayah dengan bobot DR
tertinggi adalah Kecamatan Sentolo, yaitu 5604,53 dan wilayah dengan bobot DR
terendah adalah Kecamatan Lendah, yaitu 0.
Dalam pengklasifikasian hierarki wilayah, nilai bobot usia produktif dan nilai bobot
dependency ratio akan dijumlahkan. Berdasarkan penjumlahan kedua nilai bobot tersebut,
wilayah dengan total bobot tertinggi adalah Kecamatan Sentolo, yaitu 12012,9. Wilayah
dengan total bobot terendah adalah Kecamatan Lendah, yaitu 0. Total bobot pada tiap
kecamatan ini akan memengaruhi klasifikasi hierarki wilayahnya. Wilayah yang
terklasifikasi sebagai hierarki I adalah Kecamatan Kokap, Kecamatan Panjatan,
Kecamatan Pengasih, dan Kecamatan Sentolo. Wilayah yang terklasifikasi sebagai
hierarki II adalah Kecamatan Girimulyo, Kecamatan Nangulan, Kecamatan Temon, dan
Kecamatan Wates. Wilayah yang terklasifikasi sebagai hierarki III adalah Kecamatan
Galur, Kecamatan Kalibawang, Kecamatan Lendah, dan Kecamatan Samigaluh. Wilayah
yang terklasifikasi sebagai hierarki I berarti memiliki kesempatan kerja yang tinggi,
hierarki II kesempatan kerjanya sedang, dan hierarki III berarti kesempatan kerjanya
rendah.
Dependency ratio atau rasio ketergantungan akan semakin berarti positif jika nilainya
semakin rendah. Kecamatan Sentolo mendapatkan rasio ketergantungan yang rendah
karena jumlah penduduk produktifnya tergolong tinggi dan jumlah penduduknya juga
tergolong rendah. Apabila kita perhatikan lagi, Kecamatan Wates merupakan wilayah
dengan jumlah penduduk produktif tertinggi, tetapi nilai rasio ketergantungannya lebih
tinggi dibandingkan Kecamatan Sentolo, Hal itu disebabkan oleh tingginya jumlah
penduduk tidak produktif di Kecamatan Wates. Semakin tinggi jumlah penduduk tidak
produktif di suatu wilayah, maka akan semakin berat pula tanggungan bagi penduduk
produktifnya, sehingga nilai rasio ketergantungannya tinggi. Sebaliknya, jika jumlah
penduduk produktif tinggi dan jumlah penduduk tidak produktifnya rendah, maka nilai
rasio ketergantungan akan rendah.
Wilayah sebagai “living system” merupakan cerminan adanya hubungan antara
pembangunan dan lingkungan. Menurut (Muta’ali, 2012) pembangunan pada hakekatnya
adalah pemanfaatan sumberdaya yang dimiliki untuk tujuan tertentu. Dalam hubungannya
dengan ketersediaan sumberdaya alam yang terbatas, pembangunan hendaknya
direncanakan dengan matang agar dapat mendukung keberlangsungan kehidupan
manusia. Ketersediaan sumberdaya dikaitkan dengan pertumbuhan penduduk dan
ketersediaan bahan pangan. Permasalahan yang umumnya akan muncul adalah tingginya
laju pertumbuhan penduduk yang tidak diikuti dengan pertambahan persediaan. Dalam
upaya pemanfaat sumberdaya, manusia cenderung bersifat mengeksploitasi alam secara
berlebihan sehingga terjadi degradasi lingkungan. Lingkungan hidup pada dasarnya
memiliki daya dukung yang terbatas. Oleh karena itu, hendaknya dalam pembangunan
juga memperhatikan komponen lingkungan.
Berdasarkan data, wilayah dengan lahan panen terluas adalah Kecamatan Girimulyo
dengan luas lahan panen mencapai 2.684 Ha. Wilayah dengan lahan panen terendah
adalah Kecamatan Samigaluh, yaitu 307 Ha. Hasil produksi beras pada tiap kecamatan
berbanding lurus dengan luas panen, Kecamatan Girimulyo menjadi wilayah dengan
produksi beras tertinggi, yaitu 17.367 ton. Wilayah dengan produksi beras terendah
adalah Kecamatan Samigaluh, yaitu 1.896 ton. Dari hasil tersebut, dapat disimpulkan
bahwa semakin luas lahan panen, maka akan semakin tinggi pula produksi beras yang
dihasilkann. Produktivitas beras adalah perbandingan antara produksi beras dan luas
panen, wilayah dengan produktivitas beras tertinggi adalah Kecamatan Lendah, yaitu
6,4707. Wilayah dengan produktivitas beras terendah adalah Kecamatan Samigaluh, yaitu
6,4691. Produktivitas lahan adalah perbandingan antara luas panen dengan jumlah
penduduk, wilayah dengan produktivitas lahan tertinggi adalah Kecamatan Girimulyo,
yaitu 0,11. Wilayah dengan produkivitas lahan terendah adalah Kecamatan Samigaluh,
yaitu 0,01.
Kecamatan Samigaluh memiliki produktivitas lahan yang rendah disebabkan oleh
tingginya jumlah penduduk yang tidak diikuti dengan tingginya luas lahan panen.
Kecamatan Samigaluh memilik sumberdaya manusia yang tinggi tapi luas lahan panen
yang dihasilkan sangat rendah. Hal tersebut menunjukkan bahwa kegiatan pertanian di
Kecamatan Samigaluh tidak produktif. Kecamatan Girimulyo mendapatkan nilai
produktivitas lahan tinggi karena jumlah penduduknya yang tinggi juga diikuti dengan
lahan panen yang luas. Hal tersebut menunjukkan bahwa kegiatan pertanian di
Kecamatan Girimulyo sangat produktif. Lahan swasembada pangan dihasilkan dari
pembagian 151,2 dengan nilai produktivitas beras. Wilayah dengan lahan swasembada
pangan tertinggi adalah Kecamatan Samigaluh, yaitu 23,373. Wilayah dengan lahan
swasembada pangan terendah adalah Kecamatan Lendah, yaitu 23,367. Dari
penghitungan tersebut dapat disimpulkan bahwa, semakin tinggi produktivitas beras,
maka akan semakin rendah lahan swasembada pangannya, begitu juga sebaliknya.
Penghitungan yang terakhir adalah penghitungan mengenai daya dukung lahan, nilai
daya dukung lahan dapat dihasilkan dari pembagian antara lahan swasembada pangan
dengan produktivitas lahan. Berdasarkan penghitungan, wilayah dengan daya dukung
lahan tertinggi adalah Kecamatan Girimulyo, dengan nilai mencapai 0,0046. Wilayah
dengan daya dukung lahan terendah adalah Kecamatan Samigaluh, dengan nilai 0,0005.
Kecamatan Girimulyo menjadi wilayah dengan daya dukung lahan tertinggi di Kabupaten
Kulon Progo karena luas panen, prduksi beras, dan produktivitas lahannya merupakan
yang tertinggi dibanding kecamatan lain.
Berdasarkan aturannya, nilai daya dukung lahan yang kurang dari 1 terklasifikasi
sebagai “tidak memenuhi”. Semua kecamatan di Kabupaten Kulon Progo memiliki nilai
daya dukung lahan dibawah 1, hal itu menunjukkan bahwa berdasarkan jumlah lahan
yang tersedia, wilayah tersebut sudah tidak mungkin lagi dilakukan pembangunan yang
bersifat ekspansif dan eksploratif lahan. Lahan-lahan yang berada pada posisi demikian
perlu mendapatkan program peningkatan produktivitas, intensifikasi dan ekstensifikasi
melalui perbaikan teknologi atau menekan pertumbuhan penduduk. Permasalahan
kependudukan yang terus berkembang menjadi fenomena baru dipengaruhi oleh
bertambahnya jumlah penduduk dan produksi yang
semakin berkurang (Herlidawati, 2018).
D. Kesimpulan
1. Salah satu indikator tingkat perkembangan wilayah dapat ditinjau dari kesempatan kerja.
Tinggi atau rendahnya kesempatan kerja di suatu wilayah dipengaruhi jumlah penduduk
produktif, jumlah penduduk produktif dan rasio ketergantungan.
2. Regionalisasi adalah upaya pengelompokan wilayah berdasarkan karakteristik tertentu
untuk memudahkan analisis. Wilayah yang terklasifikasi sebagai hierarki I adalah Kecamatan
Kokap, Kecamatan Panjatan, Kecamatan Pengasih, dan Kecamatan Sentolo. Wilayah yang
terklasifikasi sebagai hierarki II adalah Kecamatan Girimulyo, Kecamatan Nangulan,
Kecamatan Temon, dan Kecamatan Wates. Wilayah yang terklasifikasi sebagai hierarki III
adalah Kecamatan Galur, Kecamatan Kalibawang, Kecamatan Lendah, dan Kecamatan
Samigaluh. Wilayah yang terklasifikasi sebagai hierarki I berarti memiliki kesempatan kerja
yang tinggi, hierarki II kesempatan kerjanya sedang, dan hierarki III berarti kesempatan
kerjanya rendah.
3. Ditinjau dari daya dukung wilayah, hampir seluruh kecamatan di Kabupaten Kulon Progo
memiliki nilai kurang dari 1, hal itu menunjukkan bahwa semua kecamatan di Kabupaten
Kulon Progo pada tahun 2010 tergolong tidak mampu dalam swasembada pangan. Hal itu
terjadi karena jumlah penduduk melebihi batas optimal. Selain itu ketersediaan lahan
pertanian di wilayah tersebut terbatas.
4. Dengan adanya pengelompokkan wilayah berdasarkan hierarki dan kesempatan kerja,
pemerintah akan lebih mudah untuk membuat kebijakan untuk masing-masing kecamatan.
Wilayah dengan kesempatan kerja tinggi akan dipercepat pembangunan infrastruktur dan
fasilitas guna mendukung kegiatan masyarakat di dalamnya agar semakin produktif.
Sedangkan wilayah dengan kesempatan kerja yang rendah akan diberi tindakan pencegahan
makin melonjaknya pertumbuhan penduduk dengan melakukan sosialisasi KB (Keluarga
Bencana). Selanjutnya, dengan adanya klasifikasi tingkat daya dukung lahan, pemerintah
akan lebih mudah untuk menentukan kebijakan dalam pembangunan di wilayah tersebut.
Semua kecamatan di Kabupaten Kulon Progo pada tahun 2010 tergolong memiliki daya
dukung lahan yang rendah. Oleh karena itu, pemerintah diharapkan untuk lebih
memperhatikan aspek lingkungan sebelum melakukan pembangunan di wilayah tersebut.

E. Daftar Pustaka
Bagoes Mantra, Ida. (2003). Demografi Umum. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Glasson, J. (1977). Pengantar Perencanaan Regional, Terjemahan Paul Sitohang. Jakarta:
Fakultas Ekonomi UI.
Herlindawati, A., Trimo, L, dan Noor, I, T. (2018). Analisis Tekanan Penduduk Terhadap
Petani Padi Sawah (Studi kasus di Kecamatan Cilamaya Kulon, Kabupaten Karawang, Jawa
Barat). Jurnal Pemikiran Masyakat Ilmiah Berwawasan Agribisnis, 4(1), 12–24.
Matondang, M.F.G. (2018). Kajian Tingkat Perkembangan Wilayah dan Penentuan Pusat
Pertumbuhan Provinsi Sumatera Utara. Yogyakarta: Universitas Gadjah Mada.
Muta'ali, L. (2012). Daya Dukung Lingkungan untuk Perencanaan Pengembangan Wilayah.
Yogyakarta: Badan Penerbit Fakultas Geografi.

Anda mungkin juga menyukai