Anda di halaman 1dari 23

ASPEK ETIK DAN ISU END OF LIFE

PADA UNIT PERAWATAN KRITIS

AGUSTINA
AHYAL MISKA
AKLIMA ARMI
EKA WARNIDAR
HAYATUL MAULIDA
MITA ENDAYANI
TEGUH MITRA SURYA

PEMBIMBING:
Ns. CUT HUSNA, MNS

PROGRAM MAGISTER KEPERAWATAN


UNIVERSITAS SYIAH KUALA
2018
KATA PENGANTAR

Puji syukur kehadirat Allah SWT atas segala rahmat dan hidayahNya sehingga

makalah yang berjudul “Aspek etik dan isu end of life pada unit perawatan kritis” dapat

terselesaikan tepat pada waktunya. Pada ranah keperawatan kritis maupun kegawat daruratan,

banyak sekali isu-isu yang terkait dengan aspek legal terkait tindakan upaya penyelamatan

hidup maupun kelalaian-kelalaian yang dilakukan. Oleh karena itu, penting bagi seorang

perawat untuk memiliki pengetahuan dan memahami isu-isu tersebut. Sehingga, hal-hal yang

tidak diinginkan seperti tuntutan hukum dapat dihindari.

Namun, makalah ini tentu saja jauh dari kata sempurna. Oleh karena itu, penulis

sangat mengharapkan saran dan kritik yang membangun demi tercapainya perbaikan tersebut.

Atas segala kekurangan yang ada, penulis memohon maaf. Akhir kata semoga makalah ini

dapat memberikan manfaar bagi kita semua. Aminn

Banda Aceh, November 2018

ii
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ................................................................ Error! Bookmark not defined.


DAFTAR ISI.............................................................................................................................. i
BAB I ......................................................................................................................................... 1
PENDAHULUAN .................................................................................................................... 1
A. Latar Belakang .......................................................................................................................... 1
B. Tujuan Penulisan ...................................................................................................................... 2
BAB II ....................................................................................................................................... 3
TINJAUAN TEORITIS .......................................................................................................... 3
A. Definisi end of life...................................................................................................................... 3
B. Prinsip-prinsip End Of Life ...................................................................................................... 3
C. Teori The Peaceful End of Life (EOL)..................................................................................... 5
D. Tinjauan terhadap area utama hukum ................................................................................... 7
E. Kelalaian perawat dalam keperawatan kritis ........................................................................ 8
F. Persetujuan Tindakan (Informed Consent)........................................................................... 11
BAB III.................................................................................................................................... 13
DAFTAR PUSTAKA ............................................................................................................. 20

i
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Kesehatan merupakan hal yang sangat penting bagi kehidupan manusia, karena tanpa

kesehatan yang baik manusia akan sulit untuk melakukan semua aktivitasnya sehari-hari.

Dewasa ini kesadaran masyarakat akan pentingnya kesehatan semakin meningkat. Dengan

semakin meningkatknya kesadaran masyarakat mengenai pentingnya kesehatan, maka

semakin meningkat pula kesadaran masyarakat terhadap hak-haknya dalam pelayanan

kesehatan dan tindakan legal, maka isu legal dan etik muncul ketika perawatan menjadi

sesuatu hal yang bisa ditawar. Kemudian pada akhirnya menyebabkan seorang pemberi

kesehatan berada dalam pengawasan yang semakin ketat (Potter & Perry, 2005). Oleh karena

itu, perawat harus senantiasa memberikan pelayanan kesehatan yang maksimal, efektif,

efiisen, dan juga aman. Jika hal tersebut diabaikan, maka tidak menutup kemungkinan,

masyarakat akan mengambil langkah hukum untuk menghadapinya.

Berdasarkan survey yang dilakukan di dua belas RS di Afrika Selatan kepada 171

orang perawat kritis dengan cara menyebarkan kuesioner untuk mengukur pengetahuan

perawat kritis terkait isu legal didapatkan hasil rata-rata persentase pengetahuan perawat

kritis sebesar 38,45% dimana indikator/standar kompetensi tersebut adalah 60%. Hal ini

menunjukkan bahwa level pengetahuan perawat kritis terkait isu legal liability di lingkungan

keperawatan kritis masih di bawah standar (Hyde, 2006)

Menurut Morton & Fontaine (2009), kepekaan dan kesadaran hukum masyarakat

yang telah semakin meningkat saat ini dibanding sebelumnya menjadikan isu legal yang

melibatkan perawatan kritis merupakan masalah yang semakin banyak muncul. Seseorang

klien memiliki hak legal dalam menerima pelayanan kesehatan yang aman dan kompeten..

1
Hak legal adalah segala hak seseorang yang diakui secara hukum . Pada saat ini jumlah

tuntutan malpraktik yang menyebut dan melibatkan perawat semakin banyak terjadi.

B. Tujuan Penulisan

Penulisan makalah ini bertujuan untuk mengetahui isu berkaitan dengan aspek dan isu

end of life pada unit perawatan kritis.

2
BAB II
TINJAUAN TEORITIS

A. Definisi end of life

End of life merupakan salah satu tindakan yang membantu meningkatkan kenyamanan

seseorang yang mendekati akhir hidup (Ichikyo, 2016). End of life care adalah perawatan

yang diberikan kepada orang-orang yang berada di bulan atau tahun terakhir kehidupan

mereka (NHS Choice, 2015). End of life akan membantu pasien meninggal dengan

bermartabat. Pasien yang berada dalam fase tersebut biasanya menginginkan perawatan yang

maksimal dan dapat meningkatkan kenyamanan pasien tersebut. End of life merupakan

bagian penting dari keperawatan paliatif yang diperuntukkan bagi pasien yang mendekati

akhir kehidupan.

End of life care bertujuan untuk membantu orang hidup dengan sebaik-baiknya dan

meninggal dengan bermartabat (Curie, 2014). End of life care adalah salah satu kegiatan

membantu memberikan dukungan psikososial dan spiritual (Putranto, 2015). Jadi dapat

disimpulkan bahwa End of life care merupakan salah satu tindakan keperawatanyang

difokuskan pada orang yang telah berada di akhir hidupnya, tindakan ini bertujuan untuk

membuat orang hidup dengan sebaik-baiknya selama sisa hidupnya dan meninggal dengan

bermartabat.

B. Prinsip-prinsip End Of Life


Menurut New South WalesHealth (NSW, 2005) Prinsip End Of Life antara lain :

1. Menghargai kehidupan dan perawatan dalam kematian

Tujuan utama dari perawatan adalah menpertahankan kehidupan, namun

ketika hidup tidak dapat dipertahankan, tugas perawatan adalah untuk

3
memberikan kenyamanan dan martabat kepada pasien yang sekarat, dan untuk

mendukung orang lain dalam melakukannya.

2. Hak untuk mengetahui dan memilih

Semua orang yang menerima perawatan kesehatan memiliki hak untuk

diberitahu tentang kondisi mereka dan pilihan pengobatan mereka.Mereka

memiliki hak untuk menerima atau menolak pengobatan dalam memperpanjang

hidup.Pemberi perawatan memiliki kewajiban etika dan hukum untuk mengakui

dan menghormati pilihan-pilihan sesuai dengan pedoman.

3. Menahan dan menghentikan pengobatan dalam mempertahankan hidup

Perawatan end of life yang tepat harus bertujuan untuk memberikan

pengobatan yang terbaik untuk individu. Ini berarti bahwa tujuan utama perawatan

untuk mengakomodasi kenyamanan dan martabat, maka menahan atau menarik

intervensi untuk mempertahankan hidup mungkin diperbolehkan dalam

kepentingan terbaik dari pasien yang sekarat.

4. Sebuah pendekatan kolaboratif dalam perawatan

Keluarga dan tenaga kesehatan memiliki kewajiban untuk bekerja sama

untuk membuat keputusan bagi pasien yang kurang bisa dalam pengambilan

keputusan, dengan mempertimbangkan keinginan pasien.

5. Transparansi dan akuntabilitas

Dalam rangka menjaga kepercayaan dari penerima perawatan, dan untuk

memastikan bahwa keputusan yang tepat dibuat, maka proses pengambilan

keputusan dan hasilnya harus dijelaskan kepada para pasien dan akurat

didokumentasikan.

4
6. Perawatan non diskriminatif

Keputusan pengobatan pada akhir hidup harus non-diskriminatif dan harus

bergantung hanya pada faktor-faktor yang relevan dengan kondisi medis, nilai-

nilai dan keinginan pasien.

7. Hak dan kewajiban tenaga kesehatan

Tenaga kesehatan tidak berkewajiban untuk memberikan perawatan yang

tidak rasional, khususnya, pengobatan yang tidak bermanfaat bagi pasien.Pasien

memiliki hak untuk menerima perawatan yang sesuai, dan tenaga kesehatan

memiliki tanggung jawab untuk memberikan pengobatan yang sesuai dengan

norma-norma profesional dan standar hukum.

8. Perbaikan terus-menerus

Tenaga kesehatan memiliki kewajiban untuk berusaha dalam memperbaiki


intervensi yang diberikan pada standar perawatan end of life baik kepada pasien
maupun kepada keluarga.

C. Teori The Peaceful End of Life (EOL)


Teori Cornelia M. Ruland (1998) Peacefull EOL ini berfokus kepada 5 Kriteria
utama dalam perawatan end of life pasien yaitu :1) bebas nyeri, 2) merasa nyaman, 3)
merasa berwibawa dan dihormati, 4) damai, 5) kedekatan dengan anggota keluarga
dan pihak penting lainnya.
1. Terbebas dari Nyeri

Bebas dari penderitaan atau gejala disstres adalah hal yang utama diinginkan

pasien dalam pengalaman EOL (The Peaceful End Of Life). Nyeri merupakan

ketidaknyamanan sensori atau pengalaman emosi yang dihubungkan dengan

aktual atau potensial kerusakan jaringan (Lenz, Suffe, Gift, Pugh, & Milligan,

1995; Pain terms, 1979).

5
2. Pengalaman Menyenangkan

Nyaman atau perasaan menyenangkan didefinisikan secara inclusive oleh

Kolcaba (1991) sebagai kebebasan dari ketidaknyamanan, keadaan tenteram dan

damai, dan apapaun yang membuat hidup terasa menyenangkan ” (Ruland and

Moore, 1998).

3. Pengalaman martabat (harga diri) dan kehormatan

Setiap akhir penyakit pasien adalah “ ingin dihormati dan dinilai sebagai

manusia” (Ruland & Moore, 1998). Di konsep ini memasukkan ide personal

tentang nilai, sebagai ekspresi dari prinsip etik otonomi atau rasa hormat untuk

orang, yang mana pada tahap ini individu diperlakukan sebagai orang yang

menerima hak otonomi, dan mengurangi hak otonomi orang sebagai awal untuk

proteksi (United states, 1978).

4. Merasakan Damai

Damai adalah “perasaan yang tenang, harmonis, dan perasaan puas, (bebas)

dari kecemasan, kegelisahan, khawatir, dan ketakutan” (Ruland & Moore, 1998).

Tenang meliputi fisik, psikologis, dan dimensi spiritual.

5. Kedekatan untuk kepentingan lainnya

Kedekatan adalah “perasaan menghubungkan antara antara manusia dengan

orang yang menerima pelayanan” (Ruland & Moore, 1998). Ini melibatkan

kedekatan fisik dan emosi yang diekspresikan dengan kehangatan, dan hubungan

yang dekat (intim).

6
D. Tinjauan terhadap area utama hukum
Menurut Morton dan Fontaine (2009) terdapat tiga area hukum yang
mempengaruhi praktik perawat perawatan kritis, yaitu hukum adminstrasi, hukum
sipil/perdata, dan hukum pidana.
1. Hukum Adminstrasi
Hukum adminstrasi merupakan suatu konsekuensi hukum dan regulasi negara bagian
dan federal yang terkait dengan praktik perawat. Di negara bagian terdapat suatu
badan legislasi yang berfungsi untuk mengukuhkan akta praktek perawat. Dalam tiap
akta tersebut, praktik keperawatan didefinisikan, dan kekuasaannya didelegasikan
pada lembaga negara bagian biasanya disebut dengan State Board of Nursing.
Lembaga ini berfungsi menyusun regulasi yang mengatur mengenai bagaimana
penafsiran dan implementasi dari akta praktek perawat seharusnya.
2. Hukum Sipil / Perdata
Hukum sipil merupakan area kedua hukum yang mempengaruhi praktik keperawatan.
Salah satu area khusus hukum sipil, hukum kerugian, membentuk landasan dari
sebagian besar kasus sipil yang melibatkan perawat.
3. Hukum Pidana
Area ketiga hukum yang relevan dengan praktik keperawatan adalah hukum pidana.
Berbeda dengan hukum sipil, dimana individu yang seteru menuntut individu yang
lain, hukum pidana terdiri atas kasus tuntutan hukum yang diajukan oleh negara
bagian, pemerintah federal atau setempat terhadap perawat. Dalam hal ini yang
termasuk kasus pidana adalah penyerangan dan pemukulan, pembunuhan akibat
kelalaian, dan pembunuhan murni.
Untuk lebih jelasnya dapat dilihat beberapa contoh praktik medis pada masing-
masing bidang hukum di Indonesia :

1. Hukum pidana

a. Menipu pasien (pasal 378 KUHP)

b. Melakukan kealpaan sehingga menyebabkan kematian/luka (pasal 359, 360, 361


KUHP)

c. Pelanggaran kesopanan (Pasal 299, 348, 349, 350 KUHP)

d. Pengguguran ( pasal 299, 348, 349, 350 KUHP)

7
e. Rahasia jabatan bocor (pasal 322 KUHP)

f. Sengaja membiarkan penderita tak tertolong (pasal 340 KUHP)

g. Tidak memberi pertolongan kepada orang yang berada dalam bahaya maut (pasal
531 KUHP)

2. Hukum Perdata

a. Melakukan wanprestasi (pasal 1239 KUH Perdata)

b. Melakukan perbuatan melanggar hukum (pasal 1365 KUH Perdata)

c. Melakukan kelalaian sehingga mengakibatkan kerugian (pasal 1366 KUH


Perdata)

d. Melalaikan pekerjaan sebagai penanggung jawab (pasal 1367 (3) KUH Perdata)

3. Hukum Adminstratif

Praktik tanpa izin

E. Kelalaian perawat dalam keperawatan kritis


Kasus kelalaian dapat terjadi di berbagai tatanan dalam praktek keperawatan,.
Kasus-kasus seperti ini berkembang dengan pesat seiring dengan perkembangan ilmu
maupun kemajuan teknologi dalam bidang kesehatan, termasuk di dalamnya dalam ranah
praktek keperawatan kritis.
Menurut Vestel KW (1995) dalam Ake (2003), menyampaikan bahwa suatu
perbuatan atau sikap tenaga kesehatan dianggap lalai, bila memenuhi empat (4) unsur,
yaitu

1. Kewajiban (Duty)
Menurut Morton& Fontaine (2009), kewajiban adalah hubungan legal antara
dua pihak atau lebih. Kewajiban ini dapat timbul dari berbagai macam situasi. Pada
ranah keperawatan sendiri, kewajiban timbul akibat adanya hubungan kontrak antara
pasien dan fasilitas perawatan kesehatan. Dimana pasien sepakat untuk membayar
layanan perawatan kesehatan, sedangkan perawat wajib memberikan perawatan pada
pasien sebagaimana mestinya.

8
Seorang perawat perawatan kritis bertanggung jawab secara legal dalam
merawat pasien dalam kondisi apapun. Jika perawat tersebut gagal memberikan
perawatan sebagaimana mestinya sesuai dengan kondisi pasien, perawat tersebut
dianggap melakukan pelanggaran pada kewajibannya.
Menurut Urden (2010), jika seorang perawat gagal memperhatikan setiap
bagian dari proses keperawatan yang terdiri dari pengkajian, diagnosa, intervensi,
implementasi dan evaluasi maka perawat tersebut dapat dianggap tidak kompeten dan
melakukan suatu kelalaian.
Dibawah ini merupakan beberapa contoh kasus kelalaian yang dilakukan oleh
seorang perawat kritis :
a. Assessment Failure
Adapun yang termasuk dalam assessment failure adalah kegagalan dalam
mengkaji maupun menganalisis data ataupun informasi mengenai pasien seperti
tanda-tanda vital, pemeriksaan laboratorium, maupun keluhan utama pasien.
Contoh Kasus :
Seorang pasien yang dirawat di ICU dan baru saja dilakukan pemasangan chest
tube pada shift malam. Pada saat itu perawat lalai dalam melakukan monitoring
pasien dari pukul 23.00 sampai pukul 03.00, ketika dilakukan pengecekan
kembali pada pukul 03.00 didapatkan keadaan pasien memburuk, pasien
mengalami penurunan kesadaran, oksimetri buruk, dan tanda-tanda vital dalam
keadaan jelek. Kemudian klien mengalami henti nafas dan henti jantung, dan
kemudian segera dilakukan resusitasi pada pasien. Namun, ternyata pasien tetap
tidak terselamatkan
b. Planning Failure
Adapun yang termasuk dalam planning failure adalah kegagalan dalam
menentukan perencanaan keperawatan yang yang berkaitan juga kegagalan dalam
menentukan diagnosa yang tepat.
c. Implementation Failure
Termasuk di dalamnya adalah kegagalan untuk berkomunikasi dengan
pihak lain yang terkait kondisi pasien, kegagalan dalam melakukan tindakan yang
tepat terhadap pasien, kegagalan dalam melakukan pendokumentaian terhadap
hasil-hasil pengkajian, intervensi, maupun respon pasien terhadap intervensi yang
diberikan, serta kegagalan untuk menjaga privasi pasien.
Contoh kasus :

9
Kegagalan dalam Melakukan Tindakan yang Tepat
Seorang wanita mengalami kejang di rumahnya, kemudian oleh suaminya segera
di bawa ke rumah sakit. Sesampainya di UGD pasien diberikan penanganan
pertama seperti memberikan obat anti kejang dan memastikan jalan nafas bersih,
kemudian sang perawat meninggalkan pasien tanpa memasang siderail. Tiba-tiba
pasien mengalami kejang berulang, suaminya berusaha untuk menolong dengan
memeganginya, namun pasien tetap terjatuh dari tempat tidur yang
mengakibatkan fraktur pada tulang bagian wajahnya.
d. Evaluation Failure
Adapun yang termasuk dalam evaluation failure mencakup kegagalan
dalam melaksanakan fungsi dan peran perawat sebagai advokat. Saat pasien
masuk dan dirawat hingga pasien pulang, perawat memiliki peran sebagai
seorang advokat. Perawat bertanggung jawab untuk mengevaluasi perawatan
yang diberikan kepada pasien.

2. Pelanggaran Kewajiban (Breach of Duty)


Pelanggaran kewajiban merupakan kegagalan untuk bertindak secara
konsisten sesuai standar perawatan (Urden, 2010). Menurut Morton & Fontaine
(2009), kelalaian terbukti benar atau salah dengan membandingkan perilaku perawat
dengan standar perawatan. Pada umumnya, kelalaian dapat berupa kelalaian biasa
atau kelalaian berat. Kelalaian biasa menunjukkan kecerobohan profesional,
sedangkan kelalaian berat menunjukkan bahwa perawat tersebut secara sengaja dan
sadar mengabaikan resiko bahaya yang telah diketahui pasien.

3. Penyebab (Cause)
Menurut Morton & Fontaine (2012), hukum malpraktik juga mencantumkan
keharusan adanya hubungan kausal antara perilaku perawat perawatan kritis dan
cedera yang terjadi pada pasien. Cedera yang diderita pasien tersebut semestinya
harus dapat dicegah.

4. Cedera (Damage)
Elemen keempat dalam kelalaian adalah cedera. Cedera adalah luka atau
sesuatu yang membahayakan yang didapatkan pasien kritis saat menjalani perawatan
dan biasannya cedera yang didapatkan ini, dihitung sebagai kerugian material. Pasien

10
harus membuktikan bahwa tindakan yang dilakukan oleh perawat tidak sesuai dengan
standar perawatan sehingga menimbulkan luka atau bahaya pada pasien. Oleh karena
itu, pasien berhak menerima kompensasi yang sesuai.

F. Persetujuan Tindakan (Informed Consent)


Informed consent merupakan suatu persetujuan tindakan medis terhadap suatu hal
yang dapat dilakukan pada dirinya. Informed consent dinyatakan valid jika memenuhi
tiga elemen yaitu : pasien harus kompeten atau sadar untuk menyetujui, pasien harus
diberikan informasi yang adekuat sehingga mampu mengambil keputusan, dan pasien
pada saat pengambilan keputusan harus bebas dari ancaman atau paksaan (Khan, Haneef,
2010).
Menurut Kepmenkes Nomor 290 Tahun 2008 tentang persetujuan tindakan
kedokteran, pasien yang kompeten adalah pasien dewasa atau bukan anak menurut
peraturan perundang-undangan atau telah/pernah menikah, tidak terganggu kesadaran
fisiknya, mampu berkomunikasi secara wajar, tidak mengalami penyakit menyal
sehingga mampu membuat keputusan secara bebas.
Namun, pada beberapa keadaan, persetujuan tindakan tersebut tidak diperlukan.
Sebagai contoh keadaan darurat yang tidak membutuhkan persetujuan tindakan dan
pasien dapat melepaskan haknya untuk memberikan persetujuan tindakan dengan
menyatakan ia tidak menginginkan informasi mengenai rencana terapi atau prosedur
(Morton, 2009).
Menurut Iwanowsky (2007), pengkajian dari kompetensi pasien untuk
memberikan informed consent merupakan isu yang terpisah. Sebuah hasil survei yang
cukup unik dilakukan pada Swedish Acute Coronary Trialist mengenai pendapat tentang
kompetensi pasien gawat darurat, bahwa sebanyak 86% dari mereka berpikir bahwa
pasien SKA tidak akan mampu menerima informasi dengan baik terkait penjelasan
tentang informed consent itu sendiri. Namun, 68% dari mereka berpikir bahwa jumlah
informasi yang biasanya mereka berikan kepada pasien sudah cukup banyak. Hasil ini
sepertinya menunjukkan apa yang banyak dipikirkan dan dirasakan oleh physicians
lainnya diluaran sana khususnya dalam memberikan informed consent : seperti halnya
pasien yang berkurang kompetensinya, bahkan yang lebih parah lagi kebanyakan dari
mereka tidak membacakan lembar informed consent ini. Jadi poin yang terpenting dari

11
hasil penelitian ini adalah bahwa defisit dari kompetensi seorang pasien tidak mudah
untuk dideteksi dengan pemeriksaan medis rutin.
Biasanya, memperoleh persetujuan tindakan dari pasien atau keluarga adalah
tanggung jawab dokter, namun perawat sering diminta untuk menyaksikan
penandatanganan formulir persetujuan tersebut. Pada kasus ini perawat bersaksi bahwa
tanda tangan pada formulir persetujuan tersebut adalah tanda tangan pasien atau
keluarga. ketika perawat menyaksikan seluruh penjelasan dokter mengenai sifat terapi
yang direncanakan, resiko, manfaat, dan kemungkin akibat perawat dapat memberikan
catatan pada formulir persetujuan tersebut atau pada catatan perawat yang menyebutkan
“prosedur disaksikan” (Morton, 2009).

12
BAB III
PEMBAHASAN
A. Analisa Jurnal
1. Judul jurnal: Pengalaman Perawat Instalasi Gawat Darurat (IGD) Dalam
Merawat Pasien Terlantar Pada Tahap End Of Life di RSUD Dr. Saiful Anwar
Malang
Sebuah Studi Fenomenologi yang dilakukan oleh Maria, dkk (2016) tentang
“Pengalaman Perawat Instalasi Gawat Darurat (IGD) Dalam Merawat Pasien
Terlantar Pada Tahap End Of Life Di RSUD Dr. Saiful Anwar Malang” menunjukan
bahwa pasien terlantar dalam keadaan kritis yang memasuki fase End Of Life sering
dirawat di IGD dengan kondisi tanpa ada keluarga yang mendampingi dan lingkungan
IGD yang sibuk dan bising menjadi hambatan juga tantangan dalam perawatan End of
Life. Perawatan pasien terlantar dalam tahap End of Life membutuhkan penanganan
yang bertujuan memberikan rasa nyaman, ketenangan, kedekatan dukungan social.
Penelitian yang dilakukan Maria, dkk (2016) bertujuan untuk mengeksplorasi
pengalaman perawat dalam merawat pasien terlantar dalam fase End of Life di ruang
IGD. Hasil penelitian menghasilkan 7 tema yaitu 1. Perawat merasakan hati tersentuh
pada pasien terlantar menjelang ajal 2. Tidak membedakan perlakuan pada pasien
terlantar dengan pasien lain yang menjelang ajal 3. Menghargai harkat dan martabat
pasien 4. Memilih perawatan suportif sebagai tindakan terbaik 5. Terpaksa
meninggalkan pasien tanpa pendampingan spritual 6. Mengalami konflik dalam
menempatkan pasien terlantar yang menjelang ajal 7. Mengharapkan situasi
lingkungan kerja yang mendukung.
Kesimpulan dari penelitian tersebut adalah perawat bersikap profesional,
menghormati harkat dan martabat dalam memberikan perawatan tanpa membedakan
perlakuan dengan pasien lain yang menjelang ajal. Perasaan hati yang tersentuh
muncul saat merawat pasien terlantar yang menjelang ajal tanpa didampingi keluarga.
Perawatan End of Life lebih berfokus pada perawatan suportif, sedangkan dukungan
spiritual tidak dapat diberikan di IGD karena karakteristik lingkungan yang sibuk dan
lebih memprioritaskan pasien kritis. Hal ini menimbulkan konflik dan dilema bagi
perawat sehingga diperlukan adanya ruangan khusus dan tim kerohanian untuk
menyiapkan kematian yang damai dan bermartabat.

13
2. Judul jurnal : Pengalaman Keluarga Dalam Aspek Keperawatan Pada Fase End
of Life Terhadap Perawatan Di ICU

Penelitian ini dilakukan oleh Lilian, dkk (2016) tentang “Pengalaman


Keluarga Dalam Aspek Keperawatan Pada Fase End of Life Terhadap Perawatan Di
ICU” yang bertujuan untuk menguji pengalaman dari keluarga dengan aspek
keperawatan terhadap perawatan End of Life di unit perawatan intensif setelah
membuat keputusan untuk mengakhiri tindakan mempertahankan hidup, dan untuk
menjelaskan apa asuhan keperawatan paling berharga atau prioritas utama dan apa
saja tindakan yang kurang dalam masa perawatan.

Penelitian Lilian (2016) ini menunjukan hasil bahwa kebanyakan anggota


keluarga mengalami ketidakpuasan dalam berkontribusi terhadap pemberian asuhan
keperawatan fase end of life dalam perawatan pasien dan perawatan suportif terhadap
pasien. Keluarga menyebutkan pemberian perawatan terhadap pasien sudah dilakukan
dengan baik, dan perawat ruangan tersedia setiap saat. Akan tetapi perawat kurang
peduli terhadap keluarga pasien, kurangnya pemberian informasi terhadap
perkembangan pasien, dan tidak memahami peran perawat untuk mengundang
keluarga berpartisipasi dalam memilih pemberian asuhan keperawatan yang akan
diberikan perawat dan ikut serta terhadap proses pengambilan keputusan tindakan.

B. Kasus
Seorang klien bernama Ny. Hasna (nama samaran), usia 50 tahun mengalami
nyeri akibat kanker rahim yang telah metastase ke paru. Ny. Hasna sudah melakukan
kemoterapi sebanyak 6 siklus, namun penyakitnya tidak kunjung sembuh. Ny. Dokter
Penanggung Jawab Pasien telah menjelaskan kepada Ny.Hasna dan keluarga tentang
kondisi penyakitnya.Hasna telah dirawat di ICU sebuah Rumah Sakit Pemerintah
untuk beberapa lama dan kondisinya terlihat kurus, tampak putus asa, tidak semangat,
lemah dan sesak nafas. Ny.Hasna tidak bisa lepas dari selang oksigen. Secara diam-
diam Ny. Hasna mengatakan kepada perawatnya suster Meri, bahwa ia sudah siap
mati dan tidak ingin memperoleh pengobatan apapun untuk memperpanjang
kehidupannya. Suster Meri merasa takut menghadapi konflik yang akan terjadi
kemudian antara dokter yang merawat, Ny. Hasna yang tidak mengharapkan
kehidupannya dan keluarga yang tidak siap dengan kematiannya.

14
Sebagai perawat pelaksana Primer Suster meri telah membina huhungan saling
percaya dengan Ny. Hasna dan keluarganya telah merasa berusaha dengan cermat
untuk bertindak sebagai advocate bagi pasiennya. Suster Meri yakin bahwa keinginan
dari pasien untuk merahasiakan masalahnya secara implicit membawa pengharapan
besar bahwa suster Meri akan menyampaikan harapan tersebut kepada dokter yang
merawatnya. Suster Meri berpikir bahwa Ny Hasna mungkin mengharapkan dia untuk
yakin bahwa harapan-harapan tersebut dapat dilaksanakan.
Untuk menghindari konflik jika suatu saat tindakan penyelamat hidup
dibutuhkan Ny. Hasna, suster Meri memutuskan untuk menghubungi dokter yang
merawat Ny. Hasna dan melaksanakan pertemuan dengan keluarga untuk
mendiskusikan rencana perawatan bagi Ny. Hasna dengan semua keluarganya, untuk
mendiskusikan prognosis penyakit Ny. Hasna yang buruk dan mencapai suatu
kesepakatan tentang jenis pengobatan apa saja yang dapat memberikan keuntungan
bagi Ny. Hasna.

C. Penyelesaian Kasus
Jika perawat menghadapi masalah diatas, maka yang harus dilakukan adalah:
1. Pengumpulan data
Perawat memerlukan pengumpulan informasi sebanyak mungkin meliputi:
a. orang yang terlibat (klien, keluarga klien, dokter, dan perawat)
b. Tindakan yang diusulkan (tidak menuruti keinginan klien untuk tidak memperoleh
pengobatan apapun untuk memperpanjang kehidupannya)
c. Maksud dari tindakan tersebut agar tidak semakin membahayakan diri klien.
d. Konsekuensi tindakan yang diusulkan, bila tidak mendapatkan pengobatan apapun
maka keluarga akan menyalahkan perawat dan dokter dan apabila keluarga klien
kecewa terhadap pelayanan di bangsal mereka bisa menuntut ke rumah sakit.
Data yang diperoleh perawat dari pengumpulan data baik dari pihak Ny.
Hasna, keluarga, dan DPJP adalah: Ny. Hasna (usia 50 tahun) mengalami nyeri akibat
kanker rahim yang telah metastase ke paru. Ny. Hasna sudah melakukan kemoterapi
sebanyak 6 siklus, namun penyakitnya tidak kunjung sembuh. Ny.Hasna telah dirawat
di ICU untuk beberapa lama dan kondisinya terlihat kurus, tampak putus asa, tidak
semangat, lemah dan sesak nafas. Ny. Hasna tidak bisa lepas dari selang oksigen.
Dokter Penanggung Jawab Pasien (DPJP) telah menjelaskan kepada Ny.Hasna dan

15
keluarga tentang kondisi penyakitnya. Secara diam-diam Ny. Hasna mengatakan
kepada perawatnya suster Meri, bahwa ia sudah siap mati dan tidak ingin memperoleh
pengobatan apapun untuk memperpanjang kehidupannya. Suster Meri merasa takut
menghadapi konflik yang akan terjadi kemudian antara dokter yang merawat, Ny.
Hasna yang tidak mengharapkan kehidupannya dan keluarga yang tidak siap dengan
kematiannya.

2. Identifikasi dilema etik


berdasarkan analisa situasi diatas maka menimbulkan permasalahan etik dan moral
jika perawat memenuhi satu permintaan dari ketiganya, yang mana pasien
mengatakan tidak ingin mendapat pengobatannya lagi, dokter meneruskan pengobatan
dan keluarga belum siap menerima kematian pasien.
Untuk menghindari konflik maka suster Meri menjadi advocate bagi kliennya. Suster
Meri melakukan pertemuan dengan dokter dan keluarga klien dengan memperhatikan
prinsip etik keperawatan sebagai berikut:
a. Autonomy/otonomi
Pada prinsip ini perawat harus menghargai apa yang menjadi keputusan klien,
akan tetapi tetap memberikan penjelasan tentang pengobatan yang akan dijalani
pasien tersebut.
b. Benefesience/kemurahan hati
Prinsip ini mendorong perawat untuk melakukan sesuatu hal atau tindakan yang
baik dan tidak merugikan terhadap Ny Hasna. Sehingga perawat dapat memilih
alternatif terhadap keputusannya.
c. Justice/keadilan
Perawat harus menerapkan prinsip moral adil dalam melayani pasien dan
keluarganya. Ny.Hasna berhak mendapatkan haknya sebagaimana pasien lain
mendapatkan haknya.
d. Nonmaleficience/tidak merugikan
Keputusan yang dibuat perawat nantinya tidak menimbulkan kerugian terhadap
Ny. Hasna dan keluarganya.
e. Veracity/kejujuran
Perawat harus bertindak jujur terhadap kondisi klien dan keuntungan terhadap
pengobatan yang akan dijalankannya. Karena hal ini merupakan ke wajiban

16
perawat untuk memberikan informasi dan perawatannya sehingga pasien dan
keluarga merasa dihargai dan terpenuhi haknya
f. Fedelity/ menepati janji
Seorang perawat harus menepati janji kepada klien dan keluarganya untuk dapat
meningkatkan kepercayaan antar perawat, klien dan keluarganya. Pada kasus ini
perawat mendapat permintaan dari klien untuk menghentikan pengobatannya.
Perawat disini menghubungi dokter dan keluarga klien untuk mendiskusikan
rencana perawatan dan pengobatan yang dapat memberikan keuntungan untuk
klien
g. Confidentiality/ kerahasiaan
Perawat berpegang teguh terhadap prinsip moral etik keperawatan untuk
menghargai apa yang menjadi keputusan klien dan keluarganya dengan menjamin
kerahasiaan segala sesuatu yang ada pada pasien kecuali atas izin pasien dan
keluarganya.

3. Identifikasi dan analisis alternatif (Option for truth)


Dalam kasus ini, pilihan yang dapat diambil adalah whole truth kepada pihak pasien,
DPJP dan juga keluarga untuk mencapai kesepakatan tentang jenis pengobatan atau
tindakan tepat bagi Ny. Hasna dengan mempertimbangkan alternatif tindakan yang
direncanakan dalam mengatasi permasalahan etik antara lain:
a. Tidak menuruti keinginan pasien untuk tidak mendapatkan pengobatannya lagi
dengan konsekuensi: tidak mempercepat kematian klien, harapan pasien tersebut
akan melewati masa sakitnya, pelanggaran terhadap hak pasien untuk menentukan
nasibnya sendiri, keluarga cemas akan situasi tersebut.
b. Menuruti keinginan pasien untuk menghentikan pengobatannya dengan
konsekuensi: bertentangan dengan tujuan proses pengobatan yang sedang dijalani
dan berlawanan dengan keinginan keluarga

4. Membuat keputusan dan implementasi


Sebagai perawat yang harus di lakukan adalah mengadvokasi dalam menyampaikan
keluhan dan keinginan pasien kepada dokter dan keluarganya serta melakukan
kompromi untuk mencapai keputusan yang terbaik bagi pasien. Perawat harus
menerapkan prinsip etik dalam setiap tindakan yang dilakukan dan memberikan
penguatan kepada pasien untuk menjalani kehidupan. Dalam hal ini, suster Meri telah

17
melakukan BHSP dengan Ny. Hasna dan keluarganya, dan berusaha untuk menjadi
advokator bagi pasiennya. Untuk menghindari konflik dikemudian hari, suster Meri
memutuskan untuk menghubungi DPJP yang merawat Ny. Hasna dan melaksanakan
pertemuan dengan keluarga untuk melakukan kompromi, kolaborasi dan
mendiskusikan tentang keinginan Ny. Hasna dan merencana perawatan bagi Ny.
Hasna dengan mempertimbangkan prognosis dan keinginan Ny. Hasna yang ingin
mengakhiri pengobatannya. Semua proses ini dilakukan untuk mencapai suatu
kesepakatan tentang pengobatan dan tindakan apa saja yang dapat memberikan
kenyamanan bagi Ny. Hasna. Dari hasil diskusi diharapkan adanya win-win solution
dimana Ny. Hasna dapat memahami keinginan tenaga kesehatan yang terus berupaya
dalam proses pengobatannya dan harapan keluarga yang mengharapkan Ny. Hasna
kembali pulih. Dengan memahami ini diharapkan adanya perubahan sikap dan
perilaku dari Ny. Hasna yang menginginkan pemberhentian pengobatannya. Dari
pihak keluarga diharapkan dapat memahami keinginan Ny. Hasna dan menyikapinya
dengan memberikan dukungan kepada Ny. Hasna agar tetap mau berusaha dalam
proses pengobatannya.

5. Evaluasi
Pada akhir ethical decition making frmaework, dilakukan evaluasi terhadap proses
yang telah dilakukan. Evaluasi terhadap perasaan pasien, keluarga pasien dan DPJP
dan perawat. Apakah sudah didapat hasil yang memang menenangkan bagi semua
pihak. Selanjutnya dilakukan evaluasi terhadap dilema etik yang ada sebelumnya,
sudah terselesaikan atau belum dan evaluasi terhadap munculnya dilema etik yang
baru diakibatkan dari proses penyelesaian masalah yang telah dilakukan. Untuk
selanjutnya dilakukan evaluasi umpan balik dari semua pihak terhadap penyelesaian
kasus yang dapat menjadikan hal ini sebagai pelajaran dan mengedapankan kompromi
dalam menyelesaikan masalah.

D. Kesimpulan

Dewasa ini kesadaran masyarakat mengenai hak.-haknya dalam pelayanan kesehatan


dan tindakan legal semakin meningkat. hal ini berarti pengawasan kepada perawat selaku
pemberi pelayanan kesehatan akan semakin meningkat.Banyak sekali isu-isu yang terkait
dengan aspek etik dan isu end of life pada unit perawatan kritis. Isu-isu tersebut terdiri dari

18
isu yang berkaitan dengan kelalaian perawat maupun isu yang terkait bantuan hidup pada
pasien.
Oleh karena itu, penting sekali bagi seorang perawat kritis untuk selalu menjalankan
peran serta fungsinya dan melakukan tindakan sesuai dengan standar keperawatan dan lebih
memahami ataupun meningkatkan pengetahuannya terkait isu yang berkaitan dengan aspek
legal khususnya pada ranah keperawatan kritis sehingga perawat dapat menghindari
timbulnya permasalahan hukum yang rentan sekali terjadi.
Agar semua tenaga kesehatan khususnya perawat dapat bertindak sesuai dengan
prinsip etik, moral dan hukum yang berlaku. Apabila terjadi dilema etik, perawat harus
melakukan kolaborasi dalam pengambilan keputusan yang terbaik agar terhindar dari
tindakan malpraktik dan melanggar hukum.

19
DAFTAR PUSTAKA

Ake, J (2003). Malpraktek dalam Keperawatan. Jakarta : EGC

Ashley, Ruth C. (2003). Understanding Negligence. The Journal for high acuty, progressive,
and critical care nursing Vol.23 pp : 72-73

Guwandi. (2004). Hukum Medik (Medical Law). Jakarta : Fakultas Kedokteran Universitas
Indonesia

Hendrik. (2011). Etika & Hukum Kesehatan. Jakarta : EGC

Hyde, Elizabeth, Maria. (2006). The Knowledge of Critical Care Nurses Regarding Legal
Liabilty Issues. Disertation. Department of Nursing Science University of Pretoria
diakses melalui http://upetd.up.ac.za/thesis/available/etd-10152007
123802/unrestricted/dissertation.pdf pada tanggal 16 Mei 2013.

Iwanowski, Piotr S. (2007). Informed Consent Procedure For Clinical Trials in Emergency
Settings : The Polish Perspective. Science English Ethics Vol 13 pp : 333-336

Keputusan Menteri Kesehatan No. 290 Tahun 2008 tentang Persetujuan Tindakan
Kedokteran

Khan,M.Kaleem, Hanif, Shaukat A. (2010). Self Autonomy and Informed Consent In


Clinical Setup. Indian Journal of Medical Science Vol 64 No. 8

Morton, Fontaine. (2009). Critical Care Nursing : A Holistic Approach. LippincotWilliams &
Wilkins.

Peraturan Pemerintah No.18 Tahun 1981 tentang bedah mayat klinis, bedah mayat anatomis,
dan transplantasi alat dan jaringan tubuh manusia

Potter & Perry. (2005). Fundamental Keperawatan : Konsep, proses, dan praktik Ed.4.
Jakarta : EGC

Richard. (2011). Advances Directives (Living wills). Diakses dari


http://www.patient.co.uk/doctor/advances-directives-living-wills pada tanggal 15 Mei
2013.

Undang-Undang Kesehatan No 36 Tahun 2009 Tentang Kesehatan

Urden et al. (2010). Critical Care Nursing : Diagnosis and Management. St.Louis : Mosby

20

Anda mungkin juga menyukai