OLEH KELOMPOK : IV
NAMA : NIM
TANA TORAJA
2021
KATA PENGANTAR
Puji syukur penyusun ucapkan kepada Tuhan Yang Maha Esa, yang telah memberikan
rahmat dan karunia-Nya sehingga Makalah Obat-obatan ini dapat diselesaikan dengan baik.
Makalah ini kami buat untuk melengkapi tugas mata pelajaran Farmakologi Dasar. Kami
ucapkan terima kasih kepada semua pihak yang telah membantu dalam penyusunan Makalah
Obat-obatan ini. Dan kami juga menyadari pentingnya akan sumber bacaan dan referensi
internet yang telah membantu dalam memberikan informasi yang akan menjadi bahan makalah.
Kami juga mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang telah memberikan
arahan serta bimbingannya selama ini sehingga penyusunan makalah dapat dibuat dengan
sebaik-baiknya. Kami menyadari masih banyak kekurangan dalam penulisan Makalah Obat-
obatan ini sehingga kami mengharapkan kritik dan saran yang bersifat membangun demi
penyempurnaan makalah ini.
Kami mohon maaf jika di dalam makalah ini terdapat banyak kesalahan dan kekurangan,
karena kesempurnaan hanya milik Yang Maha Kuasa yaitu Tuhan Yang Maha Esa, dan
kekurangan pasti milik kita sebagai manusia. Semoga Makalah Obat-obatan ini dapat
bermanfaat bagi kita semuanya.
Penyusun
BAB I
PENDAHULUAN
A. PENGERTIAN OBAT
1. Pengertian Obat Secara Umum
Definisi obat adalah semua bahan tunggal atau campuran yang dipergunakan
oleh semua makhluk untuk bagian dalam maupun luar, guna mencegah,
meringankan ataupun menyembuhkan penyakit. Menurut undang-undang yang
dimaksud obat ialah suatu bahan atau bahan-bahan yang dimaksudkan untuk
dipergunakan dalam menetapkan diagnosa, mencegah, mengurangi,
menghilangkan, menyembuhkan penyakit atau gejala penyakit, luka atau kelainan
badaniah atau rohaniah pada manusia atau hewan, untuk memperelok badan atau
bagian badan manusia.
2. Pengertian Obat Secara Khusus
a. Obat jadi, adalah obat dalam keadaan murni atau campuran dalam bentuk
serbuk, cairan, salep, tablet, pil, suppositoria, atau bentuk lain yang
mempunyai teknis sesuai dengan Farmakope Indonesia atau buku lain yang
ditetapkan oleh pemerintah.
b. Obat paten, adalah obat jadi dengan nama dagang yang terdaftar atas nama si
pembuat yang dikuasakannya dan dijual dalam bungkus asli dari pabrik yang
memproduksinya.
c. Obat asli, adalah obat yang didapat langsung dari bahan-bahan alamiah
Indonesia, terolah secara sederhana atas dasar pengalaman dan digunakan
dalam pengobatan tradisional.
d. Obat esensial, adalah obat yang paling dibutuhkan untuk pelayanan kesehatan
masyarakat terbanyak dan tercantum dalam daftar obat esensial yang
ditetapkan oleh menteri kesehatan.
e. Obat generik, adalah obat dengan nama resmi yang ditetapkan dalam
farmakope Indonesia untuk zat berkhasiat yang dikandungnya.
B. PENGGOLONGAN OBAT
1. Penggolongan Obat Menurut Kegunaannya
a. Terapeutic, untuk menyembuhkan.
b. Prophylactic, untuk mencegah.
c. Diagnostic, untuk diagnosa.
2. Penggolongan Obat Menurut Cara Penggunaannya
a. Medicamentum ad usum internum (pemakaian dalam), adalah obat yang
digunakan melalui orang dan diberi tanda etiket putih.
b. Medicamentum ad usum externum (pemakaian luar), adalah obat yang cara
penggunaannya selain melalui oral dan diberi tanda etiket biru. Contohnya
implantasi, injeksi, topikal, membran mukosal, rektal, vaginal, nasal, opthal,
aurical, collutio/gargarisma.
3. Penggolongan Obat Menurut Cara Kerjanya
a. Obat lokal adalah obat yang bekerjanya pada jaringan setempat, seperti obat-
obat yang digunakan secara topikal pemakaian topikal. Contohnya salep,
linimenta, dan cream.
b. Obat sistemis adalah obat yang didistribusikan ke seluruh tubuh. Contohnya
tablet, kapsul, obat minum, dan lain-lain.
4. Penggolongan Obat Menurut Undang-Undang Kesehatan
a. Obat narkotika (obat bius), adalah obat yang diperlukan dalam bidang
pengobatan dan ilmu pengetahuan dan dapat pula menimbulkan ketergantungan
yang sangat merugikan apabila dipergunakan tanpa pembatasan dan
pengawasan.
b. Obat psikotropika (obat berbahaya), adalah obat yang mempengaruhi proses
mental, merangsang atau menenangkan, mengubah pikiran, perasaan, dan
kelakuan orang.
c. Obat keras adalah semua obat yang 1) mempunyai takaran maksimum atau yang
tercantum dalam daftar obat keras; 2) diberi tanda khusus lingkaran bulat
berwarna merah dengan garis tepi berwarna hitam dengan huruf K yang
menyentuh garis tepi; 3) obat baru, kecuali dinyatakan oleh Kementerian
Kesehatan tidak membahayakan; dan 4) semua sediaan parenteral.
d. Obat bebas adalah obat yang dapat dibeli secara bebas, dan tidak
membahayakan bagi si pemakai dan diberi tanda lingkaran hijau dengan garis
tepi berwarna hitam.
e. Obat bebas terbatas adalah obat keras yang dapat diserahkan tanpa resep dokter
dengan penyerahan dalam bungkus aslinya dan diberi tanda peringatan (P1 s.d.
P6).
Tahun Temuan
1842 Eter diperkenalkan sebagai anestetika oleh Long.
1867 Lister memelopori pemakaian fenol sebagai antiseptika dalam
pembedahan
1869 Kloralhidrat ditemukan memiliki sifat hipnotik oleh Liebreich
1876 Sifat analgesik asam salisilat ditemukan oleh Stricker
1891 Paul Erlich membuat istilah kemoterapi
1899 – 1901 Meyer dan Overton menyusun teori distribusi minyak/air untuk
menerangkan efek anestetika
1903 Veronal, turunan barbiturat yang pertama disintesis oleh Conrad dan
Guthzeit di tahun 1882, ditunjukkan memiliki sifat hipnotik oleh
Fischer dan von Mering
1906 Asetilkolin (1) disintesis dan efek vasopresornya diteliti oleh Hunt
dan Taveau
CH3CO2CH2+NMe3OH– (1)
1912 Fischer dan von Mering memperkenalkan fenobarbital untuk
pengobatan epilepsi
1921 Loewl menunjukkan bahwa asetilkolin adalah suatu mediator untuk
transmisi saraf
1922 Insulin dimurnikan oleh Banting dan Best dan dikristalkan oleh Abel
pada tahun 1926
1927 – 1928 Szent – Gyorgyi mengisolasi asam askorbat
1929 – 1931 Ditemukan konsep isosterisme yaitu sifat berbeda gugus fungsi
kimia dengan kesamaan aktivitas biologik
1929 Senyawa aurotio dicadangkan sebagai terapi untuk artritis
1932 Metode modern untuk uji analgetika ditemukan oleh Eddy
1932 Prontosil (2) diperkenalkan sebagai bahan yang secara klinis bersifat
antistreptokokus oleh Mietzach, Klarer dan Domagk.
Tahun Temuan
1933 Reichstein, Haworth mensintesis asam askorbat.
1934 Progestron (3) disintesis oleh Ruzicka
1937 Putnam dan Merrit memperkenalkan pemakaian hidantoin (4)
sebagai antikonvulsan
1940 Chain dan Florey memabrikkan penisilin (5) yang ditemukan
pertama kali olef Fleming pada tahun 1929
1942 Sintesis analgetika meperidin (6) dan metadon (7) yang dihasilkan
oleh Ehrhart dan Sghauman
1943 A. Hoffman mensintesis LSD (8) dan menemukan aktivitas
halusinogeniknya
Tahun Temuan
1943 Klorokuin (9) sebagai antimalaria
1945 Woodward dan Doering mensintesis kuinin (10)
1946 – 1948 Kelompok dari Sarrett, Kendall, Mason dan Mattox, Julian dan
Gallagher mensintesis kortison dan kortisol
1947 Isoproterenol (11) diperkenalkan sebagai bronkodilator oleh Lands
1948 du Vigneaud mensintesis penisilin
1948 α- dan β-Adrenergik reseptor dipostulasikan;
1949 Ion Litium digunakan untuk mengontrol mania; Senyawa-senyawa
analog Purin ditemukan bersifat antitumor
1950 Oksitetrasiklin pertama kali ditemukan
1951 Sejumlah kelompok termasuk kelompok Woodward dkk.
mempublikasikan sintesis keseluruhan senyawa steroid dan sterol
1952 Charpentier menunjukkan bahwa kloropromazin (12) memiliki
aktivitas psikofarmaka
Tahun Temuan
1952 Isoniazida ditemukan sebagai tuberkulostatika
1953 du Vigneaud menyempurnakan sintesis yang pertama dari hormon
polipeptida
1953 Struktur DNA diumumkan
1955 α-Metildopa (13) ditunjukkan sebagai antihipertensi
1955 Asam γ-aminobutirat (14) diisolasi dari otak
H2N(CH2)3COOH (14)
1956 Prototipe cefalosporin (15) ditemukan
1957 Interferon ditunjukkan sebagai penghambat pertumbuhan virus
1957 Imipramina (16) ditemukan sebagai antidepresan
1958 Haloperidol (17) sebagai antipsikotik
1959 Laboratorium Beecham menggunakan asam aminopenisilanat (18)
sebagai sumber berbagai penisilina semisintetik
Tahun Temuan
1959 Enovid (19) yang dibuat pabrik Searle diusulkan sebagai pil
kontrasepsi yang pertamakalinya
1960 Klordiazepoksida (20) diuji sebagai bahan anxiolitik oleh Hoffman
La Roche
1961 Tranilsipromina (21) diperkenalkan sebagai antidepresan
1962 Analisis statistik, regresi dan orbital molekul mulai digunakan dalam
Kimia Medisinal oleh sejumlah ahli terutama Hansch, Pullman, Free
dan Wilson
1963 Asam valproat (22) ditemukan sebagai antikonvulsan
1964 Black memperkenalkan propanolol (23) sebagai pengeblok β-
adrenergik
1965 Jansen menunjukkan bahwa tetramisol (24) adalah antelmintika
spektrum luas
Tahun Temuan
1967 1-Aminoadamantan (25) ditunjukkan sebagai bahan anti-influenza
1967 Cotzias memolopori pemakaian L-dopa (26) sebagai terapi untuk
parkinsonisme
1967 Fisons memperkenalkan intal (27) sebagai bahan antialergi
profilaktik
1968 Karbenoksolon (28) sebagai bahan anti-inflamasi anti-ulkus
1971 Emas-trietilfosfin sebagai antiartritis
1975 Ditemukan peptida lir-morfin endogen
1977 Simetidin (29) diperkenalkan oleh Smith, Kline dan French sebagai
antagonis histamin H-2
Obat antikanker
Gugus ureida nitrogen A (asam, pKa 7,0), gugus ureida nitrogen B
(asam sangat lemah, pKa 13,00)
Koofesien partisi dalam bentuk tak terionisasi P = ± 0,13 (oktanol/air)
Molekul cukup stabil.
d. Sulfadiazin
Obat antibakteri
Gugus cincin diazin (basa sangat lemah, pKa 2), gugus nitrogen
sulfonamid (asam lemah, pKa 6,5), gugus amin aromatis (basa lemah,
pKa < 2).
Koofesian partisi dalam bentuk tak terionisasi P = ± 0,55 (oktanol/air)
e. Sulfadiazin
Obat simpatomimetik
Gugus amin sekunder (basa, pKa 8,6), gugus katekol (asam lemah, pKa
10-12)
Koofesien partisi dalam bentuk tak terionisasi sangat mudah larut dalam
air
Molekul mudah dioksidasi paparan sinar/udara.
f. Prednisolon
Obat kortikosteroid
Gugus keton (netral), gugus alkohol primer, sekunder, tersier (netral).
Koofesien partisi dalam P = ± 70 (oktanol/air), tidak mengalami ionisasi.
Reaksi eliminasi karena pengaruh panas pada ester berlangsung secara
cepat.
E. INTERAKSI OBAT DALAM TUBUH
Menurut Food and Drugs Administration (FDA), interaksi obat bisa muncul
akibat tiga interaksi. Interaksi pertama adalah interaksi obat dengan obat yang lainnya,
yang akan dijelaskan lebih lanjut setelah ini. Interaksi kedua adalah interaksi obat
dengan makanan atau minuman yang dikonsumsi. Misalnya, obat yang diminum
dengan susu akan menurunkan efektivitas obat tersebut. Interaksi ketiga adalah
interaksi obat dengan kondisi medis seseorang. Misalnya pemberian beberapa jenis
obat flu akan memberikan efek samping yang kurang baik pada pasien dengan tekanan
darah tinggi. Secara umum, interaksi obat terbagi menjadi dua, yaitu interaksi
farmakodinamik dan interaksi farmakokinetik.
1. INTERAKSI FARMAKODINAMIK
Interaksi farmakodinamik Dilansir dari Pusat Informasi Obat Nasional Badan
Pengawan Obat dan Makanan (Pionas BPOM), interaksi farmakodinamik adalah
interaksi antara obat-obatan yang mempunyai efek farmakologi atau efek samping
yang serupa atau yang berlawanan.
Interaksi ini terjadi karena obat bekerja pada reseptor atau tempat yang sama.
Interaksi ini dapat diprediksi dengan memahami klasifikasi mekanisme kerja obat.
Contoh interaksi obat farmakodinamik adalah penggunaan obar beta blocker untuk
tekanan darah tinggi dengan verapamil yang justru memicu gagal jantung atau
bradikardi berat.
2. INTERAKSI FARMAKOKINETIK
Interaksi farmakokinetik adalah interaksi yang mempengaruhi absopsi,
distribusi, metabolisme, dan ekskresi obat lain. Maksudnya, obat ini akan
mengurangi fungsi dari obat lainnya di dalam tubuh sehingga terapi menjadi tidak
efektif.
Selain mengurangi efektivitas obat lain, interaksi ini juga bisa menyebabkan
fungsi obat meningkat hingga menyebabkan toksisitas. Efek ini muncul dengan
adanya perubahan pada ikatan protein obat ke reseptor tubuh, mempengaruhi
metabolisme obat, atau dengan mempengaruhi ekskresi ginjal.
Berbeda dengan interaksi farmakodinamik, interaksi farmakokinetik lebih sulit
diprediksi. Hal ini disebabkan karena interaksi obat ini tidak hanya dipengaruhi
mekanisme kerja obat atau golongan obat saja. Oleh karena itu, interaksi
farmakokinetik bisa saja hanya terjadi kepada sebagai pasien dan tidak
menimbulkan reaksi apapun pada pasien lain dengan kombinasi obat yang sama.
Contoh interaksi farmakokinetik adalah penggunaan obat antiepilepsi yang bisa
mempengaruhi orang yang mengonsumsi kontrasepsi oral dan warfarin (obat
pengencer darah).
Apakah obat ini aman dikonsumsi dengan obat-obatan lain yang sedang
dikonsumsi?
Apakah saya harus menghindari makanan atau minuman tertentu?
Efek samping apa yang mungkin timbul setelah mengonsumsi obat ini?
Bagaimana mekanisme kerja obat ini terhadap tubuh saya?
Apakah ada rujukan di internet tentang obat ini atau kondisi yang saya alami?
Bagaimana cara aman mengonsumsi obat ini?
Secara umum, interaksi obat tidak berbahaya bagi pasien. Namun, pada beberapa
pasien, interaksi obat berpotensi membahayakan. Diantara kelompok pasien yang
berisiko mengalami interaksi obat adalah orang tua dan penderita gagal ginjal atau
hati.
F. BENTUK SEDIAAN OBAT
Bentuk sediaan obat merupakan sediaan farmasi dalam bentuk tertentu sesuai
dengan kebutuhan, mengandung satu zat aktif atau lebih dalam pembawa yang
digunakan sebagai obat dalam ataupun obat luar. Ada berbagai bentuk sediaan obat di
bidang farmasi, yang dapat diklasifikasikan menurut wujud zat dan rute pemberian
sediaan.
Berdasarkan wujud zat, bentuk sediaan obat dapat dibedakan menjadi tiga, yaitu
sediaan bentuk cair (larutan sejati, suspensi, dan emulsi), bentuk sediaan semipadat
(krim, lotion, salep, gel, supositoria), dan bentuk sediaan solida/padat (tablet, kapsul,
pil, granul, dan serbuk).
a. Pulvis (serbuk)
Jenis pulvis/serbuk adalah campuran serbuk kering obat atau zat kimia yang
dibuat dengan proses penghalusan. Sediaan pulvis umumnya adalah obat pemakaian
luar seperti vitamin serbuk dan bedak tabur.
Pulveres (serbuk bagi) adalah bentuk sediaan obat serbuk yang bobotnya dibagi
sesuai dengan dosis dan dibungkus dengan pengemas sekali minum. Contoh dari
sediaan ini adalah puyer.
b. Tablet
Tablet adalah jenis sediaan farmasi padat yang dibuat dengan metode kempa
dan granulasi. Umumnya tablet berbentuk tabung pipih dengan permukaan rata atau
cembung. Tablet bisa mengandung satu atau lebih jenis obat dengan atau tanpa zat
tambahan.
Pil adalah bentuk sediaan pemakaian oral yang berbentuk bulat dan umumnya
lebih kecil dari ukuran tablet dan kapsul.
Kapsul merupakan bentuk sediaan obat oral yang memiliki cangkang yang
mampu larut dalam air dan di dalamnya terdapat jenis sediaan serbuk atau
lainnya.
Kaplet (kapsul tablet) adalah sediaan farmasi yang memiliki bentuk kombinasi
dari tablet dan kapsul. Kaplet tidak memiliki pembungkus seperti tablet namun
bentuknya menyerupai kapsul.
c. Larutan
Sediaan obat jenis larutan memiliki bentuk cairan dengan kandungan satu atau
lebih jenis obat atau zat kimia yang mampu terlarut dalam air. Berdasarkan
penggunaannya, jenis sediaan larutan dibagi menjadi dua yaitu larutan oral dan larutan
topikal/kulit.
Suspensi adalah sediaan jenis cair yang mengandung zat padat tidak larut
terdispersi pada fase cair. Contoh dari suspensi adalah obat maag, antibiotik
dan lotion.
Emulsi adalah campuran dari dua fase pada proses dispersi yaitu fase cairan
yang terdispersi halus pada fase cairan lainnya. Obat emulsi juga terdiri dari
dari dua jenis yaitu emulsi oral dan topikal.
Galenik adalah jenis sediaan obat yang terbuat dari bahan baku sari hewani
atau nabati.
Ekstrak merupakan obat konsentrasi pekat yang diperoleh dari proses ekstraksi
zat dari simplisia nabati atau hewani dengan menggunakan zat pelarut.
Sediaan infusa adalah jenis sediaan cair yang terbuat dari proses ekstraksi
simplisia nabati dengan menggunakan air pada suhu dan waktu tertentu.
Imunoserum adalah sediaan yang mengandung imun yang diperoleh dari serum
hewan melalui proses pemurnian. Contoh dari sediaan ini adalah antitoksin.
Salep merupakan jenis sediaan dengan tekstur tidak terlalu padat. Salep
termasuk obat pemakaian luar yang digunakan dengan cara mengoles pada
permukaan kulit.
Injeksi adalah sediaan cair steril berupa larutan, emulsi, atau suspensi, yang
dipakai dengan cara penyuntikan melalui saluran infus atau alat suntik.
G. CARA PEMBERIAAN OBAT
Rute oral
Banyak obat dapat diberikan secara oral dalam bentuk tablet, cairan
(sirup, emulsi), kapsul, atau tablet kunyah. Rute ini paling sering digunakan
karena paling nyaman dan biasanya yang paling aman dan tidak mahal. Namun,
rute ini memiliki keterbatasan karena jalannya obat biasanya bergerak melalui
saluran pencernaan. Untuk obat diberikan secara oral, penyerapan (absorpsi)
bisa terjadi mulai di mulut dan lambung. Namun, sebagian besar obat biasanya
diserap di usus kecil. Obat melewati dinding usus dan perjalanan ke hati
sebelum diangkut melalui aliran darah ke situs target. Dinding usus dan hati
secara kimiawi mengubah (memetabolisme) banyak obat, mengurangi jumlah
obat yang mencapai aliran darah. Akibatnya, ketika obat yang sama diberikan
secara suntikan (intravena), biasanya diberikan dalam dosis yang lebih kecil
untuk menghasilkan efek yang sama.
Ketika obat diambil secara oral, makanan dan obat-obatan lainnya dalam
saluran pencernaan dapat mempengaruhi seberapa banyak dan seberapa cepat
obat ini diserap. Dengan demikian, beberapa obat harus diminum pada saat
perut kosong, beberapa obat lain harus diambil dengan makanan, beberapa obat
lain tidak harus diambil dengan obat-obatan tertentu lainnya, dan beberapa obat
yang lain tidak dapat diambil secara oral sama sekali.
Rute sublingual dan rute bukal
Beberapa obat ditempatkan di bawah lidah (secara sublingual) atau
antara gusi dan gigi (secara bucal) sehingga mereka dapat larut dan diserap
langsung ke dalam pembuluh darah kecil yang terletak di bawah lidah. Obat ini
tidak tertelan. Rute sublingual sangat baik untuk nitrogliserin, yang digunakan
untuk meredakan angina, karena penyerapan yang cepat dan obat segera
memasuki aliran darah tanpa terlebih dahulu melewati dinding usus dan hati.
Namun, sebagian besar obat tidak bisa digunakan dengan cara ini karena obat
dapat diserap tidak lengkap atau tidak teratur.
Rute dubur (rektal)
Banyak obat yang diberikan secara oral dapat juga diberikan secara
rektal sebagai supositoria. Dalam bentuk ini, obat dicampur dengan zat lilin
yang larut atau mencairkan setelah itu dimasukkan ke dalam rektum. Karena
dinding rektum adalah tipis dan kaya pasokan darah, obat ini mudah diserap.
Supositoria diresepkan untuk orang-orang yang tidak bisa menggunakan obat
oral karena mereka mengalami mual, tidak bisa menelan, atau memiliki
pembatasan makan, seperti yang diperlukan sebelum dan setelah operasi bedah.
Obat-obatan yang dapat diberikan secara rektal termasuk asetaminofen atau
parasetamol (untuk demam), diazepam (untuk kejang), dan obat pencahar
(konstipasi). Obat yang membuat perih dalam bentuk supositoria mungkin harus
diberikan melalui suntikan.
Rute okular (mata)
Obat yang digunakan untuk mengobati gangguan mata (seperti
glaukoma, konjungtivitis, dan luka) dapat dicampur dengan zat aktif untuk
membuat cairan, gel, atau salep sehingga mereka dapat diberikan pada mata.
Tetes mata cair relatif mudah digunakan, namun mudah keluar dari mata terlalu
cepat untuk diserap dengan baik. Formulasi gel dan salep menjaga obat kontak
dengan permukaan mata, tetapi mereka mungkin mengaburkan penglihatan.
Obat mata yang hampir selalu digunakan untuk efek lokal. Misalnya, air mata
buatan yang digunakan untuk meredakan mata kering. Obat lain (misalnya,
yang digunakan untuk mengobati glaukoma, seperti asetazolamid dan
betaksolol, dan yang digunakan untuk melebarkan pupil, seperti fenilefrin dan
tropikamid) menghasilkan efek lokal (beraksi langsung pada mata) setelah obat
diserap melalui kornea dan konjungtiva. Beberapa obat ini maka memasuki
aliran darah dan dapat menyebabkan efek samping yang tidak diinginkan pada
bagian tubuh lainnya.
Rute telinga (otic)
Obat yang digunakan untuk mengobati radang telinga dan infeksi dapat
diberikan secara langsung ke telinga. Tetes telinga yang mengandung larutan
atau suspensi biasanya diberikan hanya pada liang telinga luar. Sebelum
meneteskan obat tetes telinga, orang harus benar-benar membersihkan telinga
dengan kain lembab dan kering. Kecuali obat yang digunakan untuk waktu yang
lama atau digunakan terlalu banyak, sedikit obat masuk ke aliran darah,
sehingga efek samping pada tubuh tidak ada atau minimal. Obat-obatan yang
dapat diberikan melalui rute otic termasuk hidrokortison (untuk meredakan
peradangan), siprofloksasin (untuk mengobati infeksi), dan benzokain (untuk
memati-rasakan telinga).
Rute nasal
Untuk pemberian obat melalui rute ini, obat harus diubah menjadi
tetesan kecil di udara (dikabutkan, aerosol) supaya bisa dihirup dan diserap
melalui membran mukosa tipis yang melapisi saluran hidung. Setelah diserap,
obat memasuki aliran darah. Obat yang diberikan dengan rute ini umumnya
bekerja dengan cepat. Beberapa dari obat mengiritasi saluran hidung. Obat-
obatan yang dapat diberikan melalui rute hidung termasuk nikotin (untuk
berhenti merokok), kalsitonin (osteoporosis), sumatriptan (untuk sakit kepala
migrain), dan kortikosteroid (untuk alergi).
Rute inhalasi
Obat diberikan dengan inhalasi melalui mulut harus dikabutkan menjadi
tetesan lebih kecil dibanding pada rute hidung, sehingga obat dapat melewati
tenggorokan (trakea) dan ke paru-paru. Seberapa dalam obat bisa ke paru-paru
tergantung pada ukuran tetesan. Tetesan kecil pergi lebih dalam, yang
meningkatkan jumlah obat yang diserap. Di dalam paru-paru, mereka diserap
ke dalam aliran darah.
Relatif sedikit obat yang diberikan dengan cara ini karena inhalasi harus
dimonitor untuk memastikan bahwa seseorang menerima jumlah yang tepat dari
obat dalam waktu tertentu. Selain itu, peralatan khusus mungkin diperlukan
untuk memberikan obat dengan rute ini. Biasanya, metode ini digunakan untuk
pemberian obat yang bekerja secara khusus pada paru-paru, seperti obat
antiasma aerosol dalam wadah dosis terukur (disebut inhaler), dan untuk
pemberian gas yang digunakan untuk anestesi umum.
Rute nebulisasi
Serupa dengan rute inhalasi, obat yang diberikan dengan nebulisasi
(dikabutkan) harus diubah menjadi aerosol berupa partikel kecil untuk
mencapai paru-paru. Nebulisasi memerlukan penggunaan perangkat khusus,
paling sering sistem nebulizer ultrasonik atau jet. Menggunakan perangkat
benar membantu memaksimalkan jumlah obat dikirim ke paru-paru. Obat-obat
yang diberikan melalaui rute ini misalnya tobramisin (untuk cystic fibrosis),
pentamidin (pneumonia Pneumocystis jirovecii), dan albuterol atau salbutamol
(untuk serangan asma).
Rute kutanea
Obat diterapkan pada kulit biasanya digunakan untuk efek lokal dan
dengan demikian yang paling sering digunakan untuk mengobati gangguan kulit
yang dangkal, seperti psoriasis, eksim, infeksi kulit (virus, bakteri, dan jamur),
gatal-gatal, dan kulit kering. Obat ini dicampur dengan bahan tidak aktif sebagai
pembawa. Tergantung pada konsistensi bahan pembawa, formulasi bisa berupa
salep, krim, losion, larutan, bubuk, atau gel.
Rute transdermal
Beberapa obat dihantarkan ke seluruh tubuh melalui patch (bentuknya
semacam koyo) pada kulit. Obat ini kadang-kadang dicampur dengan bahan
kimia (seperti alkohol) yang meningkatkan penetrasi melalui kulit ke dalam
aliran darah tanpa injeksi apapun. Melalui patch, obat dapat dihantarkan secara
perlahan dan terus menerus selama berjam-jam atau hari atau bahkan lebih
lama. Akibatnya, kadar obat dalam darah dapat disimpan relatif konstan. Patch
sangat berguna untuk obat yang cepat dieliminasi dari tubuh karena obat
tersebut, jika diambil dalam bentuk lain, harus sering digunakan. Namun, patch
dapat mengiritasi kulit beberapa orang. Selain itu, patch dibatasi oleh seberapa
cepat obat dapat menembus kulit. Hanya obat yang akan diberikan dalam dosis
harian yang relatif kecil dapat diberikan melalui patch. Contoh obat tersebut
termasuk nitrogliserin (untuk nyeri dada), skopolamin (untuk mabuk
perjalanan), nikotin (untuk berhenti merokok), klonidin (untuk tekanan darah
tinggi), dan fentanil (untuk menghilangkan rasa sakit).
Rute injeksi
Pemberian dengan suntikan (parenteral) meliputi rute berikut:
o Subkutan (di bawah kulit)
o Intramuskular (dalam otot)
o Intravena (dalam pembuluh darah)
o Intratekal (sekitar sumsum tulang belakang)
Suatu obat dapat dibuat atau diproduksi dengan cara yang memperpanjang
penyerapan obat dari tempat suntikan selama berjam-jam, hari, atau lebih lama.
Produk tersebut tidak perlu diberikan sesering produk obat dengan penyerapan
yang lebih cepat.
BAB II
OBAT-OBAT SUSUNAN SARAF OTONOM
A. PENDAHULUAN
Obat otonom adalah obat yang bekerja pada berbagai bagian susunan saraf
otonom, mulai dari sel saraf sampai dengan sel efektor. Obat-obat otonom adalah obat-
obat yang dapat mempengaruhi penerusan impuls dalam SSO dengan jalan
mengganggu sintesa, penimbunan, pembebasan, dan penguraian neurotransmitter atau
mempengaruhi kerja neurotransmitter terhadap reseptor khusus, akibatnya adalah
dipengaruhinya fungsi organ otot polos, jantung, dan kelenjar.
Susunan saraf otonom adalah susunan saraf yang bekerja tanpa mengikuti
kehendak kita. Misalnya detak jantung, mata berkedip, kesadaran, pernafasan maupun
pencernaan makanan. Menurut fungsinya, susunan saraf otonom dibagi menjadi 2
bagian, antara lain:
Susunan saraf simpatis (adrenergikdan adrenolitik)
Susunan saraf parasimpatis (kolinergikdan anti kolinergik)
Pada umumnya kedua saraf ini bekerja berlawanan tetapi dalam beberapa hal
khasiatnya berlainan sekali atau bahkan bersifat sinergis. Rangsangan dari susunan
saraf pusat untuk sampai ke ganglion efektor memerlukan suatu penghantar yang
disebut transmiter neurohormon atau neurotransmiter. Bila rangsangan tersebut
berasal dari saraf simpatis maka neurohormon yang bekerja adalah noradrenalin
(adrenalin) atau norepinephrin (epinefrin).
Sebaliknya apabila rangsangan tersebut berasal dari saraf parasimpatis, maka
yang neurohormon yang bekerja adalah asetilkolin. Untuk menghindarkan kumulasi
dari neurohormon yang dapat mengakibatkan perangsangan saraf terus menerus
maka neurohormon harus diuraikan oleh enzim khusus yang terdapat dalam darah
maupun jaringan. Untuk neurohormon noradrenalin diuraikan oleh enzim metil
transferase dan didalam hati oleh Mono Amin Oksidase (MAO) sedangkan
neurohormon asetilkolin diuraikan oleh enzim kolinesterase. Obat-obat otonom
bekerja mempengaruhi penerusan impuls dalam susunan saraf otonom dengan jalan
mengganggu sintesa, penimbunan, pembebasan atau penguraian neurohormon
tersebut dan khasiatnya atas reseptor spesifik.
Penggolongan
Berdasarkan khasiatnya obat-obat saraf otonom dibagi menjadi :
a. Obat yang berkhasiat terhadap saraf simpatis:
1) Simpatomimetik/adrenergik, yaitu obat yang meniru efek perangsangan
dari saraf simpatis (oleh noradrenalin), contohnya efedrin, isoprenalin
dll.
2) Simpatolitik/adrenolitik, yaitu obat yang meniru efek bila saraf
parasimpatis ditekan atau melawan efek adrenergik, contohnya
alkaloida sekale, propanolol, dll
b. Obat yang berkhasiat terhadap saraf parasimpatis:
1) Para simpatomimetik / kolinergik, yaitu obat yang meniru perangsangan
dari saraf parasimpatis oleh asetilkolin, contohnya pilokarpin dan
phisostigmin.
2) Parasimpatolitik/anti kolinergik, yaitu obat yang meniru bila saraf
parasimpatis ditekan atau melawan efek kolinergik, contohnya alkaloida
belladonna
1. Saraf Simpatis
a. Adrenergik (simpatomimetik)
Berdasarkan titik kerjanya pada sel-sel efektor dari organ ujung adrenergik
dibagi menjadi reseptor Ɐ (alfa) dan Ǝ (beta), dan berdasarkan efek
fisiologisnya dibagi menjadi Ɐ1 (alfa-1) dan Ɐ2 (alfa-2) serta Ǝ1 (beta-1) dan
Ǝ2 (beta-2). Pada umumnya stimulasi pada reseptor menghasilkan efek-
efek sebagai berikut:
Alfa-1, mengaktivasi organ-organ efektor seperti otot-otot polos
(vasokontriksi) dan sel-sel kelenjar dengan efek bertambahnya sekresi
ludah dan keringat.
Alfa-2, yaitu menghambat pelepasan noradrenalin pada saraf-saraf
adrenergik dengan efek turunnya tekanan darah.
Beta-1, yaitu memperkuat daya dan frekuensi kontraksi jantung.
Beta-2, yaitu bronkodilatasi dan stimulasi metabolisme glikogen dan
lemak
Penggunaan
Penggunaan obat-obat adrenergik, antara lain:
Shock, dengan memperkuat kerja jantung (Ǝ1) dan melawan hipotensi (Ɐ),
contohnya adrenalin dan noradrenalin
Asma, dengan mencapai bronkodilatasi (Ǝ2), contohnya salbutamol dan
turunannya, adrenalin dan efedrin.
Hipertensi, dengan menurunkan daya tahan perifer dari dinding pembuluh
melalui penghambatan pelepasan noradrenalin (Ɐ2), contohnya metildopa
dan klonidin.
Vasodilator perifer, dengan menciutkan pembuluh darah di pangkal betis
dan paha (claudicatio intermitens).
Pilek (rhinitis), guna menciutkan selaput lendir yang bengkak (Ɐ)
contohnya imidazolin, efedrin dan adrenalin.
Midriatikum, yaitu dengan memperlebar pupil mata (Ɐ), contohnya
fenilefrin dan nafazolin.
Anoreksans, dengan mengurangi nafsu makan pada obesitas (Ǝ 2),
contohnya fenfluramin dan mazindol.
Penghambat his dan nyeri haid (dysmenore) dengan relaksasi pada
otot rahim (Ǝ2), contohnya isoxuprin dan ritordin.
Zat tersendiri
Adrenalin atau epinefrin
Memiliki semua khasiat adrenergik Ɐ dan Ǝ dengan efek Ǝ lebih kuat
seperti stimulasi jantung dan bronkodilatasi. Obat ini digunakan pada
o Kolaps, shock, atau jantumg berhenti
o Asma (diberikan dalam bentuk injeksi karena terurai oleh asam
lambung)
o Glaukoma dengan efek midriatik
o Pilek dan hidung tersumbat dengan efek dekongestif
o Anestetika lokal guna memperpanjang efeknya
Efek samping pada dosis tinggi adalah nekrosis jaringan menjadi mati
karena vasokontriksi, dan akhirnya kolaps.
Dopamin
Bekerja meningkatkan tekanan sistolik pada penderita shock serta
meningkatkan aliran darah ginjal dan glomerulus. Efek samping pada
dosis tinggi menimbulkan efek adrenergik yang hebat dengan efek lain
berupa nausea, muntah, takikardia, aritmia, nyeri dada, kepala dan
hipertensi.
Efedrin
Alkaloida dari tumbuhan Ephedra vulgarisyang sekarang ini dibuat
secara sintetis. Digunakan pada penderita asma atas dasar efek
bronkodilatasinya yang lama, dekongestiv dan midriatik. Efek samping
dosis tinggi pada jantung yaitu cemas, gelisah, sukar tidur, gemetaran dan
takikardia serta kerja sentral.
Pseudo efedrin merupakan isomer efedrin yang dikombinasikan
dengan dengan obat-obat batuk dan pilek sedangkan norefedriun adalah
turunan efedrin yang dikombinasikan dengan obat-obat asma dan batuk.
Isoprenalin
Memiliki efek bronkodilatasi dan stimulasi jantung maka
digunakan untuk pengobatan dan pencegahan serangan asma. Karena
absorbsi dalam usus tidak sempurna maka biasanya digunakan dalam
bentuk sublingual, inhalasi atau spray.
Efek samping dosis tinggi pada jantung adalah berdebar, gelisah,
gemetaran dan muka merah. Turunan yang paling sering digunakan
adalah feneterol, terbutalin dan salbutamol.
b. Adrenolitik (simpatolitik)
Berdasarkan mekanisme kerjanya pada adrenoreseptor dapat digolongkan:
Alfa bloker
Adalah zat-zat yang memblokir dan menduduki reseptor alfa
sehingga melawan vasokontriksi perifer yang disebabkan noradrenalin.
Efek utamanya adalah vasodilatasi perifer dan digunakan pada gangguan
sirkulasi untuk memperlancar darah dibagian kulit. Contohnya derivat
imidazolin (tolazin, fentolamin), derivat haloalkilamin (dibenamin,
fenoksi-benzamin), alkaloida secale (ergotamin, rrgotoksin, dll), prazosin,
tetrazosin dan yohimbin.
Beta Bloker
Zat-zat yang menduduki reseptor beta sehingga melawan efek
stimulasi noradrenalin pada jantung dan efek bronchodilatasinya.
Digunakan pada pengobatan gangguan jantung (angina pectoris dan
aritmia), hipertensi dan meringankan kepekaan jantung oleh rangsangan
stress, emosional dan kerja berat. Contohnya propanol dan turunannya.
Penghambat neuron-neuron adrenergik post ganglion
Bekerja terhadap neuron-neuron post ganglion adrenergikdengan
mencegah pembentukan atau pembebasan neurohormon. Efeknya
dilatasi otot-otot polos dari dinding pembuluh darah dan turunnya
tekanan darah.
2. Saraf Parasimpatis
a. Kolinergik (parasimpatomimetik)
Efek yang ditimbulkan oleh kolinergik adalah :
Stimulasi aktivitas saluran cerna, peristaltik diperkuat, sekresi kelenjar-
kelenjar ludah, getah lambung, air mata dan lain-lain
Memperlambat sirkulasi darah dan mengurangi kegiatan jantung,
vasodilatasi dan penurunan tekanan darah.
Memperlambat pernafasan dengan menciutkan saluran nafas
(bronkokontriksi) dan meningkatkan sekresi dahak.
Kontraksi otot mata dengan penyempitan pupil mata (miosis) dan
menurunkan tekanan intra okuler dan memperlancar keluarnya airmata.
Kontraksi kandung kemih dan ureter dengan efek memperlancar
keluarnya air seni.
Efek samping dari obat-obat kolinergik adalah mual, muntah, diare,
sekresi ludah dahak, keringat dan airmata yang berlebihan,
penghambatan kerja jantung (bradikardia), bronkokontriksi dan
kelumpuhan pernafasan.
Penggunaan
Kolinergik terutama digunakan pada:
Glaukoma, yaitu suatu penyakit mata dengan ciri tekanan intra okuler
meningkat dengan akibat kerusakan mata dan dapat menyebabkan
kebutaan. Obat ini bekerja dengan jalan midriasis seperti pilokarpin,
karbakol dan fluostigmin.
Myastenia gravis, yaitu suatu penyakit terganggunya penerusan
impuls di pelat ujung motoris dengan gejala berupa kelemahan otot-
otot tubuh hingga kelumpuhan. Contohnya neostigmin dan
piridostigmin.
Atonia, yaitu kelemahan otot polos pada saluran cerna atau kandung
kemih setelah operasi besar yang menyebabkan stres bagi tubuh.
Akibatnya timbul aktivitas saraf adrenergik dengan efek obstipasi,
sukar buang air kecil atau lumpuhnya gerakan peristaltik dengan
tertutupnya usus (ielus paralitikus). Contohnya prostigmin (neostigmin).
b. Antikolinergik (parasimpatolitik)
Semua antikolinergik memperlihatkan kerja yang hampir sama tetapi
daya afinitasnya berbeda terhadap berbagai organ, misalnya atropin hanya
menekan sekresi liur, mukus bronkus dan keringat pada dosis kecil, tetapi
pada dosis besar dapat menyebabkan dilatasi pupil mata, gangguan
akomodasi dan penghambatan saraf fagus pada jantung. Antikolinergik juga
memperlihatkan efek sentral yaitu merangsang padadosis kecil tetapi
mendepresi pada dosis toksik.
Penggunaan
Obat-obat ini digunakan dalam pengobatan untuk bermacam-macam
gangguan, tergantung dari khasiat spesifiknya masing-masing, antara lain:
Spasmolitika, dengan meredakan ketegangan otot polos, terutama
merelaksasi kejang dan kolik di saluran lambung-usus, empedu dan
kemih.
Midriatikum, dengan melebarkan pupil mata dan melemahkan akomodasi
mata.
Borok lambung-usus, dengan menekan sekresi dan mengurangi
peristaltik
Hiperhidrosis, dengan menekan sekresi keringat yang berlebihan
Berdasarkan efeknya terhadap sistim saraf sentral
o Sedatif pada premedikasi operasi bersama anestetika umum.
o Parkinson
Contoh penyakit pada susunan saraf otonom adalah sebagai berikut :
HIPOTENSI ORTOSTATIK
Hipotensi ortostatik adalah kondisi di mana penderitanya merasakan pusing
ketika beranjak dari duduk atau berbaring, misalnya muncul rasa pusing saat bangun
tidur. Kondisi tersebut muncul karena tekanan darah menurun, dan respons alami
tubuh dalam mengembalikan tekanan darah menjadi normal mengalami gangguan.
Hipotensi ortostatik ringan umumnya hanya berlangsung selama beberapa
menit. Apabila terjadi lebih lama, hal itu dapat menjadi tanda ada gangguan medis
lain yang lebih diderita, seperti penyakit jantung. Bila tidak ditangani, dapat memicu
munculnya kondisi lain, seperti stroke dan gagal jantung.
Diagnosis hipotensi ortostatik ditentukan atas dasar wawancara medis
mendetail untuk mengetahui adanya keluhan penderita. Selain itu dokter juga akan
melakukan pemeriksaan penunjang tambahan.Pemeriksaan tambahan yang dimaksud
dilakukan dengan menggunakan suatu meja yang dapat diubah posisinya menjadi
tegak. Hal ini memungkinkan penderita yang berbaring di atas meja tersebut berubah
menjadi berdiri.Dokter juga akan melakukan pemeriksaan darah. Pada orang dengan
hipotensi ortostatik didapatkan perubahan tekanan darah dari duduk atau tidur ke
posisi berdiri.
Perubahan tekanan darah ini adalah sebesar 20 mmHg untuk tekanan sistolik
dan 10 mmHg untuk diastolik. Perubahan tekanan darah ini juga disertai dengan
keluhan yang cukup mengganggu seperti pusing, mual, pandangan kabur hingga
pingsan.Pemeriksaan penunjang lainnya dilakukan dengan menggunakan
elektrokardiogram (ECG) dan ekokardiogram. ECG dilakukan dengan tujuan untuk
mendapatkan gambaran detak jantung, struktur jantung, serta kondisi patokan darah
dan oksigen ke otot jantung penderita.
B. GEJALA DAN FAKTOR PENYEBAB
1. Gejala Hipotensi Ortostatik
Penderita hipotensi ortostatik akan mengalami pusing ketika beranjak dari
duduk atau berbaring. Selain pusing, penderita hipotensi ortostatik juga dapat
merasakan gejala lain, seperti:
o Penglihatan kabur.
o Badan terasa lemas.
o Linglung.
o Mual.
o Pingsan.
2. Penyebab dan Faktor Risiko Hipotensi Ortostatik
Ketika seseorang beranjak dari duduk atau berbaring, darah dengan
sendirinya akan mengalir ke kaki, sehingga mengurangi sirkulasi darah ke jantung
dan menyebabkan penurunan tekanan darah. Normalnya tubuh memiliki respons
alami dalam menangani kondisi tersebut. Namun pada penderita hipotensi
ortostatik, respons alami tubuh dalam mengembalikan tekanan darah yang
menurun tidak bekerja sebagaimana mestinya.
Terdapat beberapa faktor yang diduga menyebabkan gangguan pada respons
alami tubuh, terhadap menurunnya tekanan darah yang menimbulkan hipotensi
ortostatik, yakni:
o Ketidaknormalan fungsi jantung, seperti bradikardia, penyakit jantung
koroner, atau gagal jantung.
o Gangguan kelenjar endokrin, seperti penyakit Addison atau hipoglikemia.
o Dehidrasi, misalnya akibat kurang minum air putih, demam, muntah, diare,
dan berkeringat yang berlebihan.
o Gangguan sistem saraf, seperti penyakit Parkinson atau multiple system
atrophy.
o Setelah makan. Kondisi ini dapat terjadi pada pasien lanjut usia.
o Penggunaan obat, seperti ACE inhibitors, angiotensin receptor blockers
(ARB), dan penghambat beta.
Selain itu, terdapat pula beberapa faktor lain yang dapat meningkatkan risiko
seseorang mengalami hipotensi ortostatik, yaitu:
o Berusia 65 tahun atau lebih. Terkadang tekanan darah rendah akibat hipotensi
ortostatik juga dapat terjadi pada anak-anak.
o Berada di lingkungan bersuhu panas.
o Tidak beraktivitas atau bergerak dalam waktu yang lama, seperti ketika
dirawat di rumah sakit (bed rest).
o Sedang hamil.
o Mengonsumsi minuman beralkohol.
3. Diagnosis Hipotensi Ortostatik
Dalam mendiagnosis hipotensi ortostatik, dokter akan melakukan pengamatan
terhadap gejala yang muncul, riwayat penyakit, dan kondisi pasien secara
menyeluruh. Dokter juga akan menggunakan serangkaian tes untuk memastikan
kondisi sekaligus mencari tahu penyebabnya. Beberapa tes yang digunakan untuk
mendiagnosis hipotensi ortostatik meliputi:
Pemeriksaan tekanan darah. Tes ini menggunakan alat khusus yang
disebut tensimeter. Dalam prosesnya, dokter akan memeriksa tekanan darah
ketika pasien duduk dan berdiri, kemudian membandingkannya.
Tes darah. Tes ini digunakan untuk memeriksa kondisi kesehatan pasien
secara menyeluruh. Tes darah juga digunakan untuk mendeteksi
hipoglikemia atau anemia yang dapat menjadi pemicu menurunnya tekanan
darah.
Elektrokardiografi. Elektrokardiografi (EKG) menggunakan alat khusus
berupa elektrode yang diletakkan di dada, kaki, dan tangan pasien. Alat
tersebut berfungsi untuk mendeteksi aktivitas listrik dalam jantung.
Ekokardiografi. Ekokardiografi menggunakan gelombang suara (USG)
untuk menghasilkan gambar kondisi jantung.
Stress test. Tes ini dilakukan ketika jantung bekerja lebih keras, seperti saat
berolahraga (berlari di mesin treadmill), kemudian kondisi jantung pasien
akan diamati menggunakan EKG atau ekokardiografi.
Tilt table test atau tes meja miring. Dalam prosesnya, pasien akan diminta
untuk berbaring pada ranjang khusus yang dapat diputar. Setelah pasien
berbaring, dokter akan memeriksa tekanan darah pasien pada posisi yang
berbeda-beda.
Manuver valsalva. Dalam tes ini, pasien akan diminta untuk mengikuti
gerakan yang diinstruksikan dokter. Hal itu bertujuan untuk memeriksa
fungsi sistem saraf otonom, dengan menilai denyut jantung dan tekanan
darah.
C. PENGOBATAN
Pengobatan dan Pencegahan Hipotensi Ortostatik
Metode pengobatan yang dilakukan dapat berbeda pada tiap pasien, tergantung
penyebab yang menyertainya. Jika pasien mengalami pusing saat berdiri, pasien dapat
segera duduk atau tiduran untuk meredakan gejala. Untuk gejala hipotensi ortostatik
yang muncul disebabkan karena penggunaan obat, akan lebih baik jika pasien segera
berkonsultasi dengan dokter. Dokter dapat mengurangi dosis atau menganjurkan pasien
untuk berhenti menggunakan obat.Dokter juga dapat menganjurkan metode lain untuk
menangani hipotensi ortostatik, seperti:
Stoking atau kaus kaki kompresi. Stoking kompresi berfungsi untuk mencegah
penumpukan darah di kaki sehingga gejala hipotensi ortostatik yang muncul dapat
berkurang.
Obat, seperti pyridostigimine atau heptaminol. Dosis yang digunakan akan
disesuaikan dengan kondisi yang ada.
Selain metode di atas, ada beberapa hal yang dapat Anda lakukan untuk
menangani, sekaligus mencegah hipotensi ortostatik. Di antarnya adalah:
A. KESIMPULAN
1. Obat adalah semua bahan tunggal atau campuran yang dipergunakan oleh
semua makhluk untuk bagian dalam maupun luar, guna mencegah,
meringankan ataupun menyembuhkan penyakit. Menurut undang-undang yang
dimaksud obat ialah suatu bahan atau bahan-bahan yang dimaksudkan untuk
dipergunakan dalam menetapkan diagnosa, mencegah, mengurangi,
menghilangkan, menyembuhkan penyakit atau gejala penyakit, luka atau
kelainan badaniah atau rohaniah pada manusia atau hewan, untuk memperelok
badan atau bagian badan manusia.
2. Obat otonom adalah obat yang bekerja pada berbagai bagian susunan saraf
otonom, mulai dari sel saraf sampai dengan sel efektor. Obat-obat otonom
adalah obat-obat yang dapat mempengaruhi penerusan impuls dalam SSO
dengan jalan mengganggu sintesa, penimbunan, pembebasan, dan penguraian
neurotransmitter atau mempengaruhi kerja neurotransmitter terhadap reseptor
khusus, akibatnya adalah dipengaruhinya fungsi organ otot polos, jantung, dan
kelenjar.