Anda di halaman 1dari 4

Matematika Kronis

Karya: Winarti

Senyap ini merongrong di tiap sudut kelasku. Diam seribu kata penuh makna. Hiruk pikuk

yang ramai dengan celotehan masa putih abu-abu, seakan senyap dalam jangka waktu enam

puluh menit. Otak teman-temanku tertekan dengan keras, berfikir sekuat-kuatnya dan

berjuang semampunya dalam jangka waktu enam puluh menit. Itulah yang sedang dirasakan

teman-teman seperjuanganku. Menghadapi ulangan matematika yang mengerikan. 

Aku bingung tak alang kepalang, teman-temanku hanya berfikir dangkal. Matematika adalah

pelajaran yang yang tidak begitu disukai di kelasku. Tapi tidak denganku, aku lebih suka

pelajaran matematika dari pada pelajaran seni tari, seperti contoh kawan sekelasku. Namanya

Yana, dia teman sebangku ku. Dia paling anti dengan yang namanya matematika, setiap

ulangan matematika tak pernah dia tidak mengeluh. "Aku tidak bisa matematika Whin, aku

benci matematika." Ucapnya dengan wajah memelas. 

Mungkin saja dia tidak suka dengan ilmu pasti, tapi kenapa dia masuk jurusan IPA yang
notabenenya setiap hari tidak akan luput dengan hitungan. Setiap hari pasti ada tiga mata

pelajaran menghitung dari matematika, fisika dan kimia. Teman-teman sekelasku pusing saat

itu juga dibuat soal hitungan pasti, yang harus segera di selesaikan dan tidak ingin

mendapatkan nilai dibawah 75. Oh teman-teman, cobalah kalian sedikit bersimpati dengan

matematika, ilmu itu tidak terlalu susah kok. Hanya ada satu kunci menyelesaikannya kawan.

Pertama sukailah guru matematika terlebih dahulu. Kedua , musnahkan prinsip-prinsip

hidupmu dengan mengandalkan kebetulan. Ketiga bukalah buku matematika mu tiap harinya

walau hanya sepuluh sampai dua pulih menit saja. Setidaknya pahami maksudnya. Keempat

yaitu jangan takut untuk mencoba.


Tragis memang melihat pusing melanda kepala teman-temanku.

"Waktu selesai harap di kumpulkan di depan!" ucap pak Agus guru matematika paling

disiplin. Teman-temanku tersentak seketika tak beraturan.

"Belum selesai pak, lima menit lagi ya pak" teriak kawan-kawanku histeris.

"Selesai tidak selesai segera di kumpulkan"

Seketika kertas ulangan yang sudah bertuliskan lambang-lambang tulis eksak sudah berada

ditangan guru matematika.

Kawan-kawanku berhamburan saat itu juga.

"Jawabanmu nomer dua berapa?" tanya Zuba kepada Yani anak rangking satu di kelasku.

"Jawabanku g(x) = 4x+20x²+25x³."

"Apa??? Jawabanku salah donk kalau gitu" balas Zuba tidak sadarkan diri. Tubuhnya

terhempas dilantai begitu saja tak beraturan, teman-teman sekelasku semuanya syok

mendadak. "Gimana ini? Zuba pingsan seketika" ucap Yani.

"Kenapa kok bisa pingsan? Bagaimana cara mengangkatnya ke UKS?" ujar Seto.

Teman-teman sekelasku bingung sekali kalau Zuba yang pingsan, kami bingung kalau Zuba

yang pingsan repot sekali membawanya, karena tubuhnya yang besar jadi harus ekstra tenaga
mengangkatnya.

Terik matahari panasnya tak terhingga menyerap tulang-tulangku tak kenal apapun. Kulit

hitamku semakin lama semakin panas, menusuk di sumsum tulang rusuk ku. Siang ini waktu

telah menunjukkan waktu 14.00 WIB, saatnya membuang rasa stress mendalam akibat ulah

matematika kronis. Mandi selama tiga jam menjadi salah satu pilihan terakhir bagi penderita

matematika kronis. Seperti tragedi siang tadi Zuba yang tengah pingsan oleh matematika.

setelah di wawancarai mengapa dia tiba-tiba pingsan dia menjawab dengan wajah memelas.

"Kepalaku pening seketika saat mendengar jawaban matematika Yani. Itu melenceng jauh

dengan jawabanku" cetusnya.


"Aku harus gimana Whin" gimana nanti kalau aku remidi? Otakku sudah buntu, mampet dan

tidak bisa di bersihkan lagi." Sambung Zuba.

Sebegitu kroniskah matematika hingga membuat kawan-kawanku tak berdaya

menghadapinya. Bermandikan air bening satu bak mandi penuh selama tiga jam memang

pilihan tepat meluruhkan lambang-lambang eksak yang tak mempunyai sentuhan seni. Aku

pun tak mau kalah, kumanjakan seluruh tubuhku dengan sentuhan klasik air bening yang

transparan. Tiga jam penuh kamar mandi ku pakai tanpa gangguan dari siapapun. Tidak pula

ibuku, ayahku, dan kakak adikku. Otakku seakan di ganti dengan otak yang baru. Segar tak

terperikan, oh nikmatnya hidup ini jika tak ada yang mengaggu.

"Tilulitt tilulitt" ponselku berdering seketika, itu tandanya ada sms yang masuk. Ku

selesaikan upacara mandiku dalam rangka membuang gejala virus-virus matematika kronis,

untuk segera membuka sms yang tengah menghiasi layar ponselku.

Upacara mandiku 3 jam penuh sukses tanpa gangguan Whin

Sender : Yana

Ah dasar Yana upacara mandiku juga berjalan dengan sangat sukses dan lancar tanpa
gangguan dari siapapun.

Upacara mandiku juga berjalan dengan lancar tanpa halangan To : Yana.

Tragedi matematika tidak berakhir sampai di sini, ada ulangan pasti juga ada hasil ulangan.

Pagi ini ada pelajaran matematika, kabarnya hari ini pak Agus akan membagikan hasil

ulangan kemarin. Kawan-kawanku sudah menyiapkan mental sekuat-kuatnya.

"Oh mimpi apa aku tadi malam, pagi-pagi begini sudah ada matematika. Oh Tuhan

selamatkan aku dari virus-virus matematika kronis ini." Ucap Uus


"Iya siapkan mental sekuat-kuatnya sajalah."

Hentakan kaki terdengar semakin keras dan mendekat ke ruang kelasku.

"Selamat pagi anak-anak" ucap pak Agus guru matermatika.

"Pagi pak……" balas kalwan-kawanku sekelas.

"Hari ini saya ingin membagikan hasil ulangan kemarin, saya sangat kecewa dengan hasil

ulangan di kelas ini. Hanya ada lima anak saja yang tuntas dan lolos dari KKM" desis pak

Agus dengan ekspresi kecewa. Saat itu juga syok melanda di otak kami masing-masing.

"Akan saya bacakan yang lolos KKM, hanya ada lima anak saja yaitu Yani, Seto, Rangga,

Tino dan Whina saja, dan yang lain tidak lulus KKM."

Braakkk aku kaget melihat kejadian di pagi ini. Teman-temanku sekelas pingsan semua

kecuali lima anak yang di sebutkan tadi. Oh syok telah melanda jiwa-jiwa kawanku. Virus

matematika kronis telah menyerang seisi kelas XI IPA 2. Sampai saat ini belum ada yang bisa

menyembuhkan penyakit matematika kronis. Oh Tuhan kelasku kacau akibat matematika

kronis.

Anda mungkin juga menyukai