Anda di halaman 1dari 17

PARTNERSHIP BERSAMA DOKTER

DALAM PELAYANAN KEBIDANAN

Kelas/Kelompok : B/2
Nama Anggota:

Ratriana Nur R. (1810102054) Mutiara Solechah (1810102060)


Rabiatunnisa (1810102055) Rini Sartika (1810102061)
Herliyani Dwi S. (1810102056) Atik Mahmudah A.P (1810102062)
Claudia Banowati S. (1810102057) Fatimatasari (1810102063)
Linda Yulyani (1810102058) Nita Ike Dwi K. (1810102064)
Indah Wijayanti (1810102059)

Dosen Pembimbing : Andari Wuri Astuti, MPH. PhD

PROGRAM STUDI MAGISTER ILMU KEBIDANAN


FAKULTAS ILMU KESEHATAN
UNIVERSITAS AISYIYAH
YOGYAKARTA
2019

0
DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL........................................................................................................i
DAFTAR ISI....................................................................................................................ii
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang.................................................................................................2
B. Tujuan..............................................................................................................3
BAB II TINJAUAN PUSTAKA
A. Pemberdayaan dalam Pelayanan Kebidanan...................................................4
B. Kajian Literatur................................................................................................7
BAB III Rencana Usulan Program
A. Latar Belakang Program................................................................................. 11
B. Tujuan Program.............................................................................................. 11
C. Proses Implementasi Program........................................................................ 12
BAB IV
A. Kesimpulan..................................................................................................... 15
B. Saran............................................................................................................... 15
DAFTAR PUSTAKA.................................................................................................... 16

1
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Sistem kesehatan di seluruh dunia saat ini sedang mengalami kondisi krisis, yaitu
kekurangan tenaga kesehatan, distribusi serta perpaduan tenaga kesehatan yang belum merata
sehingga menyebabkan pelayanan kesehatan terfragmentasi dan kebutuhan kesehatan
masyarakat tidak terpenuhi. Jika permasalahan-permasalahan tersebut tidak segera diatasi,
dapat mempengaruhi kondisi kesehatan masyarakat dunia, salah satunya adalah kesehatan
ibu dan anak. Solusi yang bisa dilakukan untuk mengatasi permasalahan-permasalahan
tersebut yaitu dengan melakukan kolaborasi antar tenaga kesehatan. Praktek kolaborasi dapat
menurunkan angka komplikasi, lama rawat di rumah sakit, konflik diantara tim kesehatan,
dan tingkat kematian. Sedangkan dibidang kesehatan mental, praktek kolaboratif dapat
meningkatkan kepuasan pasien dan tim kesehatan, mengurangi durasi pengobatan,
mengurangi biaya perawatan, mengurangi insiden bunuh diri, dan mengurangi kunjungan
rawat jalan (WHO, 2010).
Tenaga kesehatan seharusnya tidak melaksanakan pelayanan kesehatan secara
sendiri-sendiri namun harus saling bersinergi dan berkolaborasi dalam sebuah tim. Namun
pada kenyataannya, di beberapa rumah sakit-rumah sakit besar di wilayah Indonesia belum
terlihat adanya kolaborasi tim yang setara dan kemitraan masih sekedar wacana. Perbedaan
status antar profesi,stereotyping, adanyaperasaan superiordan inferior, serta banyaknya
tindakan yang bersifat instruksi dari profesi lain masih mendominasi praktik kolaborasi,
sehingga perlunya kesepakatan antar tenaga kesehatan terhadap praktik kolaborasi
interprofesi yang baik sehingga dapat meningkatkan mutu pelayanan kesehatan (WHO,
2010).
Kejadian tumpang tindih pada tindakan pelayanan antar profesi dapat diakibatkan
karena kurangnya komunikasi antar tenaga kesehatan dalam kerjasama tim. Kurangnya
komunikasi maka akan membahayakan pasien dalam memberikan pelayanan yang bisa
menyebabkan pasien terjatuh atau dalam keadaan bahaya. Selain itu, kurangnya komunikasi
juga menyebabkan terlambatnya dalam pemberian pengobatan dan diagnosis terhadap pasien

2
yang berpengaruh terhadap outcome pasien. Kurangnya kemampuan komunikasi tersebut
terjadi karena tidak adanya pelatihan atau pendidikan penerapan kolaborasi antar tenaga
kesehatan (Sedyowinarso, 2015).
Tenaga kesehatan yang terampil mengacu pada “proses dimana seorang wanita
diberikan perawatan yang memadai selama kehamilan, persalinan dan nifas”. Proses ini
membutuhkan petugas yang terlatih dan lingkungan yang mendukung . WHO 2004
menyatakan “professional kesehatan terakreditasi seperti bidan, dokter atau perawat yang
terlatih untuk mahir dan meiliki keterampilan untuk mendeteksi, mengelola dan merujuk
komplikasi pada bud an neonatus. Serangkaian keterampilan inti akan menyiratkan bahwa
kerjasama abtar professional kesehatan mampu mengelola persalinan normal yang tidak
rumit (Munabi, et al, 2015).
Hasil penelitian Fatalina et al (2015), mengemukakan bahwa keberhasilan
pelaksanaan kolaborasi dapat ditingkatkan melalui sosialisasi Interprofesional Collaborative
Practice terhadap tenaga kesehatan, memberikan kesempatan tenaga kesehatan untuk
mengadakan pertemuan rutin antar profesi. Perencanaan pelatihan kolaborasi interprofesi
yang tepat bagi tenaga kesehatan menjadi langkah penting untuk penerapan kolaborasi.

B. Tujuan
1. Melakukan tinjauan literature tentang partnership bersama dokter dalam pelayanan
kebidanan
2. Menyusun program tentang pelatihan yang tepat untuk meningkatkan partnership dalam
pelayanan kebidanan.

3
BAB II
TINJAUAN TEORI

A. Pemberdayaan dalam Pelayanan Kebidanan


Pemberdayaan adalah upaya mengembangkan dari keadaan kurang atau tidak
berdaya menjadi punya daya dengan tujuan dapat mencapai / memperoleh  kehidupan
yang lebih baik (Satria, 2008). Perempuan harus diberdayakan untuk mampu membuat
keputusan tentang kesehatan diri dan keluarga melalui KIE & Konseling sehingga suara
perempuan lebih terdengar dan mempunyai kekuatan dalam dirinya untuk membuat suatu
keputusan yang disertai dengan informasi yang berimbang dari seorang bidan, dengan
adanya hal tersebut diharapkan perempuan dapat melewati setiap fase hidupnya dengan
aman.
Pada bulan September 1994 di Kairo, 184 negara berkumpul untuk merencanakan
suatu kesetaraan antara kehidupan manusia dan sumber daya yang ada. Untuk pertama
kalinya, perjanjian internasional mengenai kependudukan memfokuskan kesehatan
reproduksi dan hak-hak perempuan sebagai tema sentral.
Konferensi Internasional ini menyetujui bahwa secara umum akses terhadap
pelayanan kesehatan reproduksi harus dapat diwujudkan sampai tahun 2015. Tantangan
yang dihadapi para pembuat kebijakan, pelaksana-pelaksana program serta para
advokator adalah mengajak pemerintah, lembaga donor dan kelompok-kelompok
perempuan serta organisasi non pemerintah lainnya untuk menjamin bahwa perjanjian
yang telah dibuat tersebut di Kairo secara penuh dapat diterapkan di masing-masing
negara.
Pelayanan kesehatan reproduksi diperlukan untuk memenuhi kebutuhan kesehatan
perempuan dan laki-laki berhubungan dengan masalah seksualitas dan penjarangan
kehamilan. Tujuan dari program-program yang terkait serta konfigurasi dari pelayanan
tersebut harus menyeluruh, dan mengacu kepada program Keluarga Berencana (KB)
yang konvensional serta pelayanan kesehatan ibu dan anak.
Konferensi Internasional tentang Kependudukan dan Pembangunan memperkirakan
bahwa setiap tahun diperlukan dana sekitar US$17 juta sampai tahun 2000 untuk

4
menyediakan pelayanan kesehatan reproduksi di negara-negara miskin yang dapat
diakses secara umum. Yang termasuk di dalam hak reproduksi adalah:
a. Hak semua pasangan dan individual untuk memutuskan dan bertanggung jawab
terhadap jumlah, jeda dan waktu untuk mempunyai anak serta hak atas informasi
yang berkaitan dengan hal tersebut;
b. Hak untuk mendapatkan kehidupan seksual dan kesehatan reproduksi yang terbaik
serta hak untuk mendapatkan pelayanan dan informasi agar hal tersebut dapat
terwujud; dan
c. Hak untuk membuat keputusan yang berkenaan dengan reproduksi yang bebas dari
diskriminasi, pemaksaan dan kekerasan.
d. Hak hidup
e. Hak menikah
f. Hak hamil atau tidak hamil
g. Hak seksualitas
h. Hak menggunakan kontrasepsi
i. Hak terbebas dari PMS
j. Mendapat informasi & pelayanan yang berkualitas

Beberapa prinsip yang harus digaris bawahi adalah Program-program dan pelayanan
harus dirancang sesuai dengan kondisi-kondisi yang ada dan menjamin bahwa pelayanan
ini dapat dimanfaatkan dan dijangkau oleh seluruh perempuan; Rancangan program dan
penerapannya harus melibatkan perempuan dari berbagai latar-belakang; dan Program
harus mendukung baik laki-laki maupun perempuan dalam hal pembagian tanggung
jawab dari tingkah laku seksual, masa subur, dan kesehatannya serta keberadaan
pasangan dan anak-anaknya. (Erlin Purwanita, 2012).
Kriteria dan atribut yang berkaitan dengan konsep pemberdayaan berdasarkan
temuan empiris dan didukung oleh tinjauan litelatur adalah sebagai berikut:
1. Mengembangkan hubungan yang penuh kepercayaan:
a. Memberi wanita dan pasangannya waktu yang cukup
b. Menciptakan sebuah lingkungan yang penuh pengasuhan dan kepedulian
c. Merawat dan berkomitmen

5
d. Mempertahankan intergitras orangtua dan saling menghormati
e. Memberikan hubungan yang penuh dengan kedekatan dan kehangatan
f. Memberikan perhatian
g. Meminimalkan kecemasan orangtua
h. Berada disamping orang tua
2. Memulai proses kesadaran, meungkinkan untuk merfleksikan situasi yang berubah:
a. Membantu orang tua untuk meminimalkan ketidakpastian dengan
mempersiapakan mereka secara realistis
b. Meungkinkan orangtua untk mengembangkan kesadaran atas situasi yang berubah
c. Memperkuat dan memobilisasi sumberdaya yang dimiliki oleh orangtua (wanita
dan pasangannya) melalui proses pembelajaran dealitik
3. Bertindak berdasarkan sistuasi orangtua dengan syarat mereka sendiri, membuat orangtua
terlibat dan mampu membuat pilihan berdasarkan informasi:
a. Mendengarkan secara aktif untuk mempelajari situasi dan pengalaman hidup keluarga
b. Berperilaku sedimikian rupa sehingga apa yang diinginkan wanita menjadi jelas
c. Menghargai situasi orangtua
d. Memfasilitasi rasa kontrol orangtua
e. Memberikan informasi yang tepat dan memberikan kemungkinan untuk membuat
pilihan sendiri
f. Terbuka pada pertanyaan bahkan yang tampakanya tidak sginifikan
g. Memperkuat hak orangtua untuk berpartisipasi aktif dalam pengambilan keputusan
h. Negosiasi
4. Mengkonfirmasi signifikasi pribadi untuk menjadi orangtua:
a. Menberikan dukungan dan dorongan tanpa batas
b. Melibatkan waita dan pasangannya dalam proses transisi
c. Percaya pada kemampuan mereka
d. Menganggap ibu dan bayinya menjadi satu kesatuan
(Hermansson & Mårtensson, 2011)

6
B. Kajian literatur tentang Pemberdayaan dalam Partnership Bersama Dokter dalam
Pelayanan Kebidanan”
1. Artikel “Midwife–Physician Collaboration A Conceptual Framework” (Denise Colter
Smith, 2014)
Kolaborasi bidan-dokter adalah proses di mana bidan dan dokter bekerja bersama
menuju tujuan bersama: untuk memberikan keamanan, perawatan yang efektif dan
berpusat pada pasien untuk wanita dan keluarga mereka, dipandu oleh aturan dan
struktur bersama, baik formal maupun informal, yang mengatur hubungan yang
saling menguntungkan, hubungan yang dimana berusaha untuk mengoptimalkan
konteks di mana kolaborasi diselenggarakan. Dalam pernyataan bersama tentang
praktik hubungan dengan organisasi profesional bidan dan dokter di Amerika
Serikat, kedua kelompok para profesional dipandang sebagai “ahli di bidang praktik
masing-masing dan penyedia layanan yang berpendidikan, terlatih, dan berlisensi,
yang mungkin berkolaborasi satu sama lain berdasarkan kebutuhan pasien mereka”.
Ada beberapa poin penting dalam definisi ini :
1) Mengadakan hubungan yang berkaitan dengan perawatan yang berpusat pada
pasien.
2) Mengadakan hubungan praktik untuk mencapai perawatan pasien yang
berkualitas tinggi.
3) Mengadakan kerja sama yang efektif dengan menjunjung tinggi rasa saling
menghormati dan kepercayaan, tanggung jawab profesional, dan akuntabilitas.

"Op- timize the context" menekankan bahwa faktor-faktor kontekstual memainkan


peran penting dalam membangun hubungan kolaboratif. Masalah seperti lisensi dan
peraturan negara, kebijakan penggantian pembayaran dari para pembayar, dan
mekanisme untuk privilege rumah sakit semua dapat mempengaruhi atau menghambat
tingkat kemandirian bidan dan dapat menempatkan peraturan tambahan persyaratan pada
dokter.
Hasil asuhan kebidanan dari model bersalin memungkinkan wanita yang dilayani
oleh bidan akan mengalami persalinan tanpa analgesia, mengalami kelahiran vagina

7
spontan, dapat mengendalikan pengalaman persalinan dan kelahiran mereka, dan
memulai menyusui daripada wanita yang dihadiri oleh dokter. 41–43% publikasi
beberapa studi kasus menguraikan struktur, proses, dan hasil dari kolaborasi antar
profesional yang efektif, model praktik antara bidan dan dokter di beberapa pengaturan di
seluruh Amerika Serikat telah menggambarkan potensi dan upaya bidan-dokter bersama-
sama untuk meningkatkan akses perawatan. Praktik kolaboratif akan memiliki peran
semakin penting di masa depan perawatan bersalin. Mengembangkan kerangka kerja
konseptual adalah satu langkah menuju pemahaman yang lebih besar tentang bagaimana,
dan di bawah keadaan apa, kolaborasi antara istri dan dokter berhasil.

2. Artikel “Working Together Collaboration Between Midwifes and Doctor In Public


Hospital” (Kerreen M Reiger dan Karen L Lane, 2009)
Prinsip kebidanan dan dokter kandungan tidak sepenuhnya cocok, misalnya
bidan menekankan kepercayaan dan rasa hormat sementara dokter kandungan
menekankan akuntabilitas tetapi hal itu tidak menghalangi bidan dan dokter untuk dapat
membangun praktek kolaboratif.
Kehilangan beberapa keterampilan tradisional karena sifat medicalised saat
menangani pasien melahirkan telah memotivasi tenaga kerja kebidanan untuk merespons
secara efektif terhadap tuntutan baru untuk profesionalisme kebidanan. Beberapa bidan
senior mengandalkan monitor untuk mengawasi wanita yang bekerja dengan epidural.
Keterampilan tambahan yang terlibat dalam mengelola “mesin dan hal-hal” kadang-
kadang tampaknya mengorbankan pengetahuan inti kebidanan lainnya.
“Profesional courtesy” harus dituntut dalam pertemuan serta dalam pengaturan
klinis. Jika senior staf medis dan kebidanan sengaja memodelkan bekerja sama sebagai
suatu proses dialog kritis, mereka dapat membangun alternatif, budaya profesional saling
menghormati. Konsep dan prinsip-prinsip “sopan santun profesional” karena itu perlu
untuk membentuk praktek rumah sakit rutin diperkuat dalam pengembangan profesional
dan tertanam dalam proses perumusan kebijakan. Kemudian kerjasama kolaboratif akan
menjadi efektif.

8
3. Artikel Collaborative Practice among Obstetricians family physicians and Midwives
(Morgan, 2014)
Terdapat beberapa tantangan untuk mengembnagkan praktek kolaborasi di tempat
pelayanan kesehatan maternal (maternal care):
a. Tantangan terbesar adalah hambatan untuk berubah, dikarenakan sulit untuk
menyakinkan bahwa hal yang dilakukan sekarang tidak memebrikan hasil yang
optimal
b. Kebanyakan dokter dan bidan dibayardengan sistem fee-for-service (untuk dokter)
atau course-of-care (untuk bidan) sehingga menjadi penghalang untuk praktik
kolaborasi
c. Mereka (professional kesehatan) tidak di siapkan dengan Pendidikan dan paparan
tentang bekerja dengan cara berkolaborasi
d. Isu medicolegal dan peraturan juga bisa memperburuk hubungan antarpemberi
layanan di bangsal kebidanan dan juga membuat pola praktik menjadi sulit
e. Komunikasi antar tenaga kesehatan juga menghadapi tantangan sehingga
memperburuk dinamika tim

Model pelayanan kolaboratif yang kami sarankan adalah model perawatan Bersama
(shared-care-model) salah satu contoh dari model ini adalah south community Birth
program di vincounver dimana dokter keluarga, bidan, doula dan perawat komunitas dan
dokter obgyne memberikan pelayanan dengan basis komunitas yang tepat secara budaya
dan berpusat pada wanita selama proses kehamilan, persalinan, dan masa neonatal. Di
Montreal, La Maison Blue, model pelayanan Bersama diberikan kepada wanita dan
keluarga yang kurang beruntung. Team pemberi pelayanan terdiri dari bidan, dokter
keluarga, perawat, pekerja sosial dan doula. Selain kedua contoh tersebut model
pelayanan bersama juga diberlakukan di Mountario dan lokasi-lokasi lain diKanada.

Inisiatif nasional yang melibatkan kolaborasi anatar pemberi pelayanan kesehatan


maternal juga saata ini banyak dilakukan. Salah satu contohnya ialah The
Multidisciplinary Collaborative Primary Maternity Care Project yang bertujuan untuk
mengurangi hambtan-hambatan dan memfasilitasi implementasi dari strategi kolaboratif

9
secara nasional dan multidislipin untuk meningkatkan ketersediaan dan kualitas
pelayanan maternal. Team dari proyek ini merekomendasikan bahwa kegiatan
pembelajaran pelayanan kolaborasi untuk Pendidikan sarjana dan pasca sarjana sebaiknya
dikaitkan dengan kelanjutan program pengembangan profesional untuk mengekspos
pelatih mahasiswa sarajana dan pascasarjan sebagai roll model. Program a National
Birthing Iniative for Canada merekomendasikan tujuh aksi prioritas untuk pelayanan
kolaborasi:

a. Menjamin bahwa kebutuhan dan harapan perempuan selama kehamilan dan


persalinan dipenuhi dan diperhatikan diamnapun mereka berada.
b. Memfasilitasi ikatan, kolaborasi dan jejaring antar prosional kesehatan dan
perwakilan pemerintahan untuk terlibat dalam pelayanan maternal dan neonatal
c. Membangun sebuah proses untuk pengumpulan data dan informasi terkait dengan
pemberi layanan dan luaran pelayann maternal
d. Menciptakan pedoamn praktek klinik yang terstandarisasi untuk seluruh pemberi
pelayan kesehatan maternal
e. Mengadopsi kurikulum yang terstandar untuk Pendidikan pelayanan maternal
f. Memabngun kelanjutan Pendidikan interprofessional untuk memanajemen resiko,
untuk meningkatkan kemanan pasien dan memfasilitasi praktek kolaborativ yang
berpusat pad wanita
g. Memabngun model kolaborasi multidislipin untuk pelaynan maternal dan neonatal.

10
BAB III
RENCANA USULAN PROGRAM
“Sistem Bermitra Tingkatkan Kesehatan Ibu dan Anak (Si Berti Keibuan)”

A. Latar belakang Program


Profesi dokter tidak sekedar menjadi agent of treatment tetapi juga sebagai agent
social sehingga dokter tidak hanya menyembuhkan penyakit tetapi juga melakukan
edukasi kepada masyarakat. Peran bidan dalam masyarakat pun sangat dibutuhkan. Bidan
tidak lagi terbatas pada penanganan kesehatan reproduksi, tetapi ia harus mampu
memberdayakan masyarakat dan bermitra atau menjalin kolaborasi dengan dokter.
Masalah kesehatan pasien yang kompleks pun tidak dapat ditangani dengan satu profesi
medis, melainkan harus melibatkan berbagai profesi kesehatan. Praktik kolaborasi bukan
hanya diperlukan demi keselamatan pasien, tetapi juga untuk meningkatkan kepuasan
serta terciptanya mutu pelayanan kesehatan yang baik. Namun tidak dapat dipungkiri
bahwa profesi dokter dan bidan masih terbebani oleh beberapa tantangan yaitu
kompetensi tenaga kesehatan yang belum sesuai dengan kebutuhan masyarakat,
pelayanan kepada pasien yang tidak berkelanjutan (continue of care), adanya arogansi
profesi atau kompetisi antar profesi kesehatan dan kerja sama antar profesi yang masih
rendah.
Program Sistem Bermitra Tingkatkan Kesehatan Ibu dan Anak (Si BerTi
Keibuan) merupakan salah satu bentuk kegiatan pendidikan kolaborasi interprofesional
yang terintegrasi yang diusulkan oleh 11 mahasiswa Prodi S2 Kebidanan Univesitas
‘Aisyiyah Yogyakarta dalam upaya mewujudkan partnership/kolaborasi yang sinergis
antara dokter dan bidan dalam pelayanan kebidanan.

B. Tujuan Program

11
Program Sistem Bermitra Tingkatkan Kesehatan Ibu dan Anak (Si BerTi Keibuan)
bertujuan untuk menginternalisasikan lima kompetensi kolaborasi interprofesi di bidang
kesehatan yang meliputi etika dan nilai, berbagi peran dan tanggung jawab, komunikasi
interprofesi, kerjasama, dan pelayanan kesehatan yang berpusat pada individu, keluarga
dan komunitas guna mendapatkan kepuasan pasien dalam mendapatkan pelayanan

A. Proses Implementasi Program


1. Persiapan
a. Persiapan peserta
Dokter SpOG, dokter Sp.A, bidan, mahasiswa kedokteran (resident obsgyn dan
pediatric) dan mahasiswa kebidanan
b. Persiapan pembicara
 Ahli dalam medical education dan collaborative practice
 Pemangku kebijakan terkait kesehatan maternal dan neonatal
c. Persiapan sarana dan prasarana
 Ruangan pelatihan (Aula Rumah Sakit)
 Meja dan kursi
 Komputer dan LCD
 Modul pelatihan yang berisi materi-materi pelatihan
d. Persiapan Dana
Jenis Kebutuhan Jumlah Rincian harga Total Biaya
Pembuatan modul 30 80.000,- x 30 2.400.000,-
pelatihan
Konsumsi peserta 30 15.000,- x 30 450.000,-
Konsumsi pembicara 2 20.000,- x 2 40.000,-
Fee pembicara 2 1.000.000,- x 2 2.000.000,-
Total Biaya 4.890.000,-

2. Pelaksanaan
Pelatihan terdiri dari 3 tahap yaitu:
a. Tahap 1
Tahap 1 terdiri dari 4 sesi dan setiap sesinya 4 jam. Tahap ini dilakukan dalam
jangka waktu 1 bulan (1 sesi setiap minggu). Tahap ini bertujuan untuk

12
membantu peserta dalam mengembangkan dan memperkuat keterampilan
kolaboratif dan mempersiapkan menjadi panutan bagi mahasiswa untuk berlatih
kolaborasi antar tim. Sebelum pelatihan, peserta diwajibkan untuk mengisi
survey tentang pengaturan klinis sehingga pelatihan dapat disesuaikan dengan
kebutuhan dan maksud untuk meningkatkan kolaborasi antarprofesi.
Materi dalam tahap 1:
 Pengenalan konsep kolaborasi interprofesional
 Membangun kerjasama yang sinergis
 Komunikasi yang jelas, efektif dan penuh hormat antar tim
 Peran dari masing-masing tenaga kesehatan dalam sebuah tim
 Konsep kerja sama dalam tim
 Pemecahan masalah dan manajemen konflik dalam tim

b. Tahap 2
Tahap 2 terdiri dari 1 kali pertemuan dengan fokus pada membangun kenyaman
antara perseptor dan mahasiswa terutama dalam hal materi pedagogic yang akan
disampaikan pada mahasiswa. Tahap ini juga bertujuan untuk mempresentasikan
aktivitas edukasi dan materi yang telah dikembangkan untuk peserta pelatihan.
Materi dalam tahap 2 dalam pelatihan adalah pedoman kolaborasi
interprofesional

c. Tahap 3
Dalam tahap ini didesain untuk dokter dan bidan sebagai peserta pelatihan.
Tahap ini terdiri dari 4 kali pertemuan selama 90 menit dalam 6 minggu waktu
pelatihan. Peserta pelatihan terutama mahasiswa memiliki tanggung jawab
memilki tanggung jawab untuk melakukan presentasi kasus pada setiap
pertemuannya.
Materi dalam tahap ini terdiri dari:
 Membangun tanggung jawab professional secara etis moral dan hokum
berhubungan kasus yang dibahas
 Peran masing-masing profesi dalam menyelesaikan kasus klinik

13
 Membagi pengalaman praktik kolaborasi dari hari ke hari.

3. Monitoring dan Evaluasi


Evaluasi pelatihan dapat dilakukan dengan menggunakan model evaluasi
pelatihan dari Kirkpatrick’s (Four level of Traning Evaluastion in Detail). Model
evaluasi ini membentuk kerangka kerja logis untuk menilai haisl dan dampak dari
dua perspektif kinerja yaitu individu dan juga organisasi.. Model ini merupakan
model yang paling terkenal unuk mengevaluasi program pelatihan. Model ini
meliputi empat kriteria atau tingkat evaluasi yaitu reaksi, pembelajaran, kinerja
dalam bekerja, dan dampak organisasi. (Kirkpatrick & Kirkpatrick, 2006; Chang,
2010). Keberhasilan pelatihan dapat dilihat dari kemampuan komunikasi,
kemampuan bekerja dalam tim dan kepuasan pasien yang didapat diketahui dengan
kuisioner kepuasan pasien.

14
BAB IV
PENUTUP

A. Kesimpulan
Keberhasilan pelaksanaan kolaborasi dapat ditingkatkan melalui sosialisasi
Interprofesional Collaborative Practice terhadap tenaga kesehatan, memberikan
kesempatan tenaga kesehatan untuk mengadakan pertemuan rutin antar profesi.
Perencanaan pelatihan kolaborasi interprofesi yang tepat bagi tenaga kesehatan menjadi
langkah penting untuk penerapan kolaborasi

B. Saran
Diharapkan tenaga kesehatan dapat mengimplementasikan kolabirasi dalam memberikan
pelayanan kebidanan. Selain itu institusi yang menjalankan program pendidikan
kesehatan diharapkan dapat menerpakan pembelajaran Interprofesioanl Education (IPE)
dalam rangka mendukung terciptanya praktik kolabratif di dunia kesehatan.

15
DAFTAR PUSTAKA

Fatalina, F, Sunarti, Widyandana, Sedyowinarso, M. (2015). Persepsi dan Penerimaan


Interprofesioanal Collaborative Practice Bidang Maternitas Pada Tenaga Kesehatan.
Jurnal Pendidikan Dokter Indonesia. Volume 4. No 1. Halaman 28-36
Sedyowinarso, Mariyono & Mora Claramita. (2015). Buku acuan umum CFHCIPE:
Interprofessional Education (IPE), Communication And Interprofessional Teamwork.
Yogyakarta: FK UGM
World HealthOrganization (WHO). (2010). Framework for Action on Interprofessional
Education & Collaborative Practice. Switzerland: WHO Press.

16

Anda mungkin juga menyukai