Anda di halaman 1dari 17

MEMAHAMI PROSES PEMELIHARAAN DAN KODIFIKASI

AL-QUR’AN

DOSEN :
SAADATUL JANNAH S.Th.I.MA

DISUSUN :
YUSI FAHILAH ANANDA
NUR HASANAH
VIERKHA ROANDSA
ADELWIN ZELFA RENNO

PRODI ILMU AL-QUR’AN DAN TAFSIR


FAKULTAS USHULUDDIN
INSTITUT DAARUL QUR’AN
2021
KATA PENGANTAR

Puji syukur kami panjatkan kehadirat Allah SWT, yang atas rahmat dan karunia-Nya
kami dapat menyelesaikan makalah ini tepat pada waktunya. Adapun tema dari makalah ini
adalah “Memahami Proses Pemeliharaan dan Kodifikasi Al-Qur’an”

Pada kesempatan ini kami mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada
dosen mata kuliah Pengantar Ulumul Qur’an yang telah memberikan tugas terhadap kami.
Kami juga ingin mengucapkan terima kasih kepada pihak-pihak yang turut membantu dalam
pembuatan makalah ini.

Kami jauh dari sempurna. Dan ini merupakan langkah yang baik dari studi yang
sesungguhnya. Oleh karna itu, keterbatasan waktu dan kemampuan kami, maka kritik dan
saran yang membangun senantiasa kami harapkan semoga makalah ini dapat berguna bagi
kami pada khususnya dan pihak lain yang berkepentingan pada umumnya.

Tangerang, 19 Oktober 2021

Kelompok

i
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ........................................................................................................ i

DAFTAR ISI ....................................................................................................................... ii

BAB I PENDAHULUAN .................................................................................................... 1

A. LATAR BELAKANG ....................................................................................... 1


B. RUMUSAN MASALAH ................................................................................... 2
C. TUJUAN ............................................................................................................. 2

BAB II PEMBAHASAN ...................................................................................................... 3


A. PENGERTIAN PEMELIHARAAN AL-QUR’AN ......................................... 3
B. PEMELIHARAAN AL-QUR’AN PADA MASA NABI ................................. 4
C. PEMELIHARAAN AL-QUR’AN PADA MASA KHULAFAUR
RASYIDIN........................................................................................................... 5
D. PENGERTIAN KODIFIKASI AL-QUR’AN .................................................. 6
E. SEJARAH KODIFIKASI AL-QUR’AN .......................................................... 7
F. PERBEDAAN ANTARA PROSES KODIFIKASI PADA MASA ABU
BAKAR DAN UTSMAN ................................................................................... 11

BAB III PENUTUP .............................................................................................................. 13


A. KESIMPULAN ................................................................................................... 13
B. SARAN ................................................................................................................ 13
C. DAFTAR PUSTAKA ......................................................................................... 14

ii
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang

Al-Qur’an yang secara harfiah berarti bacaan yang sempurna merupakan nama pilihan
Allah SWT yang sungguh tepat, karena tiada satu bacaan pun sejak manusia mengenal baca
tulis yang dapat menandinginya. Al-Qur’an adalah kitab suci yang diturunkan kepada Nabi
Muhammad SAW yang merupakan penyempurna kitab-kitab samawi sebelumnya, berfungsi
sebagai petunjuk bagi umat manusia serta pembeda antara yang haq dan yang batil, dan
merupakan kitab undang-undang hukum yang paling sempurna yang bisa menjawab segala
persoalan umat manusia.
Tiada satu bacaan pun seperti Al-Qur’an yang dipelajari redaksinya bukan hanya dari
segi penempatan kata demi kata, tetapi juga kandungannya yang tersurat, tersirat bahkan
sampai pada kesan-kesan yang ditimbulkan oleh pembacanya. Al-Qur’an adalah satu-satunya
kitab yang dipelajari, dibaca dengan berbagai macam lirik dan lagu serta diriwayatkan oleh
banyak orang yang menurut adat mustahil mereka sepakat berbohong.
Dengan demikian Al-Qur’an telah terpelihara keotentikannya, tidak ada satu surat,
satu ayat atau satu huruf pun yang berubah dari redaksi aslinya sejak diturunkan kepada Nabi
Muhammad saw., sampai sekarang. Meskipun semua kitab Al-Qur’an terbakar, ataupun
hilang, ayat-ayat Al-Qur’an tidak akan ikut hilang karena redaksi Al-Quran telah dihafal oleh
ribuan umat muslim di seluruh dunia. Lain halnya dengan para ahli kitab tidak ada yang
menghafal Kitab Taurat dan Injil, dan dalam menjaga keduanya, mereka hanya membaca
tulisan yang telah dibukukan saja, mereka selalu membacanya dengan mata kepala namun
tidak hafal diluar kepala, oleh karena itu keduanya bisa saja terjadi perubahan.
Al-Qur’an adalah sebuah keajaiban yang luar biasa yang diberikan Allah SWT.,
kepada Nabi-Nya yang mulia. Kemudian diteruskan kepada umat yang beriman untuk
dijadikan pedoman yang abadi dalam kehidupan.
Dari kenyataan diatas maka sepantasnyalah umat Islam untuk senantiasa memelihara
Al-Qur’an, karena Al-Qur’an disatu sisi adalah kitab yang dapat dijadikan rujukan manusia
dalam pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi. Oleh karena itu menjadi tanggung
jawab umat Islam untuk senantiasa memelihara Al-Qur’an.
Mushaf Alquran yang ada di tangan kita sekarang ternyata telah melalui perjalanan
panjang yang berliku-liku selama kurun waktu lebih dari 1400 tahun yang silam dan
mempunyai latar belakang sejarah yang menarik untuk diketahui. Selain itu jaminan atas
keotentikan Alquran langsung diberikan oleh Allah SWT yang termaktub dalam firman-Nya
Q.S Al-Hijr 15:9 : "Sesungguhnya Kamilah yang menurunkan adz-Dzikr (Alquran), dan
kamilah yang akan menjaganya".
Makalah ini akan menguraikan tentang sejarah kodifikasi Alquran dari masa
Rasulullah hingga masa khalifah Utsman bin Affan, serta penambahan tanda baca Alquran
yang banyak dilakukan setelah masa Utsman bin Affan.Usaha pengumpulan dan kodifikasi
Alquran telah dimulai sejak masa Rasulullah saw. Secara resmi kodifikasi Alquran dimulai
pada masa khalifah Abu Bakar bin Khattab. Pada masa khalifah Utsman, Alquran kemudian
diseragamkan tulisan dan bacaannya demi menghindari beberapa hal. Korpus yang
diseragamkan inilah yang kemudian dikenal dengan mushaf Utsmani. Mushaf Utsmani
kemudian diberi harakat dan tanda baca pada masa Ali bin Abi Thalib. Ada beberapa
perbedaan tentang urutan ayat maupun surah seperti yang di cantumkan dalam mushaf
Utsman, hal ini dikarenakan perbedaan pendapat para penghafal Al-qur’an dan karna
turunnya Al-qur’an memang tidak berurutan seperti yang terdapat dalam mushaf Utsman.

1
B. RumusanMasalah
1. Pengertian pemeliharaan al-qur’an
2. Pemeliharaan al-qur’an pada masa nabi
3. Pemeliharaan al-qur’an pada masa khulafa al-rasyidin
4. Perbedaan pengumpulan al-qur’an antara Abu bakar dan Utsman
5. Sejarah kodifikasi al-qur’an
6. Perbedaan antara proses kodifikasi pada masa Utsman dan Abu bakar

C. TUJUAN
1. Memahami pengertian pemeliharaan al-qur’an
2. Memahami pemeliharaan al-qur’an pada masa nabi dan khulafa al-rasyidin
3. Memahami perbedaan pengumpulan al-qur;an antara abu bakar dan utsman
4. Memahami sejarah kodifikasi al-qur’an
5. Memahami antara proses kodifikasi pada masa Utsman dan Abu bakar

2
BAB II
PEMBAHASAN

A. Pengertian pemeliharaan Al-Qur’an


Pemeliharaan Al-Qur’an terdiri atas dua kata yaitu pemeliharaan dan Al-Qur’an.
Pemeliharaan dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia adalah proses pembuatan, penjagaan dan
perawatan. Sedangkan Al-Qur’an adalah kitab suci umat islam yang berisi firman-firman
Allah yang diturunkan kepada Nabi Muhammad saw., dengan perantaraan Malaikat Jibril
untuk dibaca, dipahami, dan diamalkan sebagai petunjuk dan pedoman hidup umat manusia.
Dari pengertian itu dapat dipahami bahwa yang dimaksud pemeliharaan Al-Qur’an adalah
proses pengumpulan, penulisan dan pembukuan serta perawatan ayat-ayat Al-Qur’an
sehingga menjadi sebuah kitab seperti yang kita baca sekarang.
Dalam sebagian besar yang membahas tentang ilmu-ilmu Al-Qur’an, istilah yang
dipakai untuk menunjukkan arti penulisan, pembukuan, atau pemeliharaan Al-Qur’an adalah
Jam’ul Qur’an yang artinya pengumpulan Al-Qur’an. hanya sebagian kecil yang memakai
istilah Kitabat Al-Qur’an yang artinya penulisan Al-Quran, serta Tadwin Al-Qur’an yang
artinya pembukuan Al-Qur’an.
Apabila mencermati batasan pengertian di atas, pada dasarnya istilah-istilah yang
digunakan mempunyai maksud yang sama, yaitu proses pemeliharaan Al-Qur’an yang
dimulai pada turunnya wahyu kepada Nabi Muhammad saw., kemudian disampaikan kepada
para sahabat untuk dihafal dan ditulis sampai dihimpunnya catatan-catatan tersebut dalam
satu mushaf yang utuh dan tersusun secara tertib.
Manna Khalil al-Qattan dalam kitabnya Mabahits fii Ulumil Qur’an memberikan
pengertian pemeliharaan Al-Qur’an dalam dua kategori yaitu : pemeliharaan Al-Qur’an
dalam arti menghafalnya dalam hati dan pemeliharaan Al-Qur’an dalam arti penulisannya.

B.Pemeliharaan Al-Qur’an pada masa nabi

Pemeliharaan Al-Qur’an pada masa Rasulullah SAW. dikelompokkan menjadi dua


kategori yaitu :

1.Pemeliharaan Al-Qur’an dalam dada


Pemeliharaan Al-Qur’an dalam dada sering juga disebut pengumpulan Al-Qur’an
dalam arti hifzuhu atau menghafalnya dalam hati. kondisi masyarakat arab yang hidup pada
masa turunnya Al-Qur’an adalah masyarakat yang tidak mengenal baca tulis karena itu satu-
satunya andalan mereka adalah hafalan, mereka juga dikenal sebagai masyarakat yang
sederhana dan bersahaja. Kesederhanaan ini yang membuat mereka memiliki waktu luang
yang cukup yang digunakan unrtuk menambah ketajaman pikiran dan hafalan.
Masyarakat arab waktu itu sangat gandrung lagi membanggakan kesusatraan, mereka
membuat ratusan ribu syair kemudian dihafalnya diluar kepala, mereka bahkan melakukan
perlombaan-perlombaan dalam bidang ini pada waktu-waktu tertentu. Akan tetapi ketika Al-
Qur’an datang dengan langgam bahasa yang sangat memukau, pemberiataan gaib yang
terbukti, isyarat ilmiah yang mantap serta keseimbangan bahasa yang jelas mampu
mengalahkan syair-syairnya, sehingga mereka mengalihkan perhatian kepada kitab yang
mulia ini dengan sepenuh hati menghafal ayat-ayat dan surat-suratnya, kemudian secara
perlahan-lahan mereka meninggalkan syair-syairnya karena telah menemukan cahaya
kehidupan dalam Al-Qur’an.
Al-Quran diturunkan kepada Nabi Muhammad, maka otomatis untuk memelihara apa
yang diturunkannya kepadanya haruslah di hafal. Usaha keras Nabi Muhammad SAW., untuk
menghafal Al-Qur’an terbukti setiap malam beliau membaca Al-Qur’an dalam shalat

3
sebagai ibadah untuk merenungkan maknanya. Rasulullah sangat ingin segera menguasai Al-
Qur’an yang diturunkan, kepadanya belum selesai Malaikat Jibril membacakan ayatnya,
beliau sudah menggerakkan lidahnya untuk menghafal apa yang sedang diturunkan, karena
takut apa yang turun itu terlewatkan sehingga Allah SWT., menurunkan firman-Nya
sebagaimana yang terdapat dalam Q.S. al-Qiyamah (75) : 16-19 yang artinya “Janganlah
kamu menggerakkan lidahmu untuk membaca Qur’an karena hendak cepat-cepat
menguasainya. Sesungguhnya atas tanggungan kamilah mengumpulkannya (di dadamu) dan
(membuatmu pandai) membacanya. Apabila kami telah selesai mebacakannya, maka ikutilah
bacaannya itu. Kemudian atas tanggungna kamilah penjelasannya. “
Ayat di atas bagaikan mengatakan janganlah engkau wahai Nabi Muhammad
menggerakkan lidahmu untuk membacanya sebelum Malaikat Jibril selesai membacakannya
kepadamu, jangan sampai engkau tidak menghafalnya atau melupakan satu bagian darinya.
Allah SWT., melarang ketergesa-gesaan agar tidak terjerumus ke dalam pelanggaran.
Kata jam’ahu (penghimpunannya) dari ayat diatas bermakna penghafalannya, oleh karena itu
orang-orang yang hafal Qur’an disebut Jumma’ul Qur’an atau Huffadzul Qur’an. Makna
yang lain dari Jam’ahu adalah penulisan seluruh Al-Qur’an.
Nabi Muhammad SAW, setelah menerima wahyu langsung menyampaikan wahyu
tersebut kepada para sahabatnya sesuai dengan hapalan Nabi, tidak kurang tidak lebih.
Sehingga sahabat pun banyak sekali yang hafiz Qur’an. Manna Khlil Al-Qattan mengutip
hadits dari kitab shahih Buhari bahwa Ada tujuh hafiz di zaman Rasulullah yaitu : Abdullah
Bin Mas’ud, Salim bin Maqal, Muadz bin Jabal, Ubai Bin Ka’ab, zaid bin Tsabit, Abu Zaid
bin Zakan, dan Abu darda.
Penyebutan para hafiz yang tujuh di atas bukan berarti pembatasan, karena beberapa
keterangan dalam kitab-kitab sejarah menunjukkan bahwa para sahabat berlomba
menghafalkan Al-Qur’an dan mereka memerintahkan anak-anak dan istri-istri mereka untuk
menghafalkannya. Mereka membacanya dalam shalat sehingga alunan suaranya seperti suara
lebah.

2.Pemeliharaan Al-Qur’an dengan tulisan


Walaupun Nabi Muhammad SAW, dan para sahabat menghafal ayat-ayat Al-Qur’an
secara keseluruhan, namun guna menjamin terpeliharanya wahyu Ilahi beliau tidak hanya
mengandalkan hafalan, tetapi juga tulisan. Sejarah menginformasikan bahwa setiap ada ayat
yang turun Nabi Muhammad SAW., memanggil sahabat-sahabat yang dikenal pandai
menulis. Rasulullah mengangkat beberapa orang penulis (kuttab) wahyu seperti Ali,
Muawiyah, Ubay bin Ka’ab dan Zaid bin Tsabit. Ayat-ayat Al-Qur’an mereka tulis dalam
pelepah kurma, batu, kulit-kulit atau tulang-tulang binatang. Sebagian sahabat ada juga
sahabat yang menuliskan ayat-ayat tersebut secara pribadi. Namun karena keterbatasan alat
tulis dan kemanpuan sehingga tidak banyak yang melakukannya.
Hal lain yang menjadi bukti bahwa penulisan Al-Qur’an telah ada sejak zaman
Rasulullah SAW., dikemukkan oleh Ibrahim al-Abyari, tentang sekelumit historis Umar bin
Khattab ketika mendapat informasi bahwa saudaranya masuk islam, lalu ia marah besar
kepada adiknya setelah ditemuinya sedang membca Al-Qur’an. Namun ketika Umar telah
reda marahnya, ia melihat lembaran-lembaran di sudut rumahnya yang di dalamnya terdapat
tulisan ayat-ayat Al-Qur’an.Kemudian Umar masuk Islam setelah mendapatkan kalimat-
kalimat yang mengandung mukjizat yang bukan perkataan manusia.
Dari beberapa pernyataan tersebut, maka jelaslah bahwa sejak zaman Nabi Muhammad
SAW telah terjadi pengumpulan Al-Qur’an yang dilakukan dengan dua cara yaitu
menghafalnya dalam hati dan menulisnya di atas berbagai jenis bahan yang ada pada saat itu.

4
Meskipun saat itu belum tertulis dalam lembaran yang berbentuk mushaf sebagaimana
sekarang tetapi ini cukup menjadi bukti bahwa sudah ada penulisan Al-Qur’an pada Zaman
Nabi Muhammad SAW., bahwa pemeliharaan Al-Qur’an di masa Nabi ini dinamakan
pembukuan yang pertama.

C.Pemeliharaan AL-Qur’an pada Khulafa al-Rasyidin

1.Pemeliharaan Al-Qur’an pada Masa Abu Bakar

Tragedi berdarah di peperangan Yamamah yang menggugurkan 70 orang sahabat


yang hafidz Qur’an dicermati secara kritis oleh Umar bin Khattab, sehingga muncullah ide
brilian dari beliau dengan mengusulkan kepada Abu Bakar agar segera mengumpulkan
tulisan-tulisan Al-Qur’an yang pernah ditulis pada masa Rasulullah SAW.
Semula Abu Bakar keberatan dengan usul Umar, dengan alasan belum pernah
dilakukan oleh Nabi Muhammad SAW., tetapi akhirnya Umar Behasil meyakinkannya
sehingga dibentuklah sebuah timyang dipimpin oleh Zaid bin Tsabit dalam rangka
merealisasikan mandat dan tugas suci tersebut. Abu Bakar memilih Zaid mengingat
kedudukannya dalam qiraat, penulisan, pemahaman, dan kecerdasannya serta dia juga hadir
pada saat Al-Qur’an dibacakan oleh Rasulullah terakhir kalinya.
Zaid bin Tsabit melaksanakan tugas yang berat dan mulia tersebut dengan sangat hati-
hati di bawah petunjuk Abu Bakar dan Umar. Sumber utama penulisan tersebut adalah ayat-
ayat Al-Qur’an yang dihafal oleh para sahabat dan yang ditulis atau dicatat di hadapan Nabi.
Di samping itu untuk lebih mengetahui kalau catatan yang berisi ayat Al-Qur’an benar-benar
berasal dari Nabi Muhammad SAW., maka harus menghadirkan dua orang saksi yang adil.
Dalam rentan waktu kerja tim, Zaid mengalami kesulitan terberat dialaminya pada saat tidak
menemukan naskah mengenai Ayat 128 dari Surat At-Taubah. Ayat tersebut dihafal oleh
banyak sahabat termasuk Zaid sendiri, namun tidak ditemukan dalam bentuk tulisan.
Kesulitan itu nanti berakhir ketika naskah dari ayat tersebut ditemukan ditangan seorang
bernama Abu Khuzaimah Al-Anshari. Hasil kerja yang beruapa mushaf Al-Qur’an disimpan
oleh Abu Bakar sampai akhir hayatnya. Setelah itu berpindah ketangan Umar bin Khattab.
Sepeninggal Umar Mushaf di ambil oleh hafsah binti Umar.
Dari rekaman sejarah di atas diketahui bahwa Abu Bakar yang memerintahkan
pertama penghimpunan Al-Qur’an, Umar bin Khattab adalah pencetus ide yang brilian, serta
Zaid bin Tsabit adalah aktor utama yang melakukan kerja besar penulisan Al-Qur’an secara
utuh dan sekaligus menghimpunnya dalam bentuk mushaf. Pemeliharaan Al-Qur’an dimasa
Abu Bakar dinamakan pengumpulan yang kedua.

2.Pemeliharaan Al-Qur’an pada masa Usman bin Affan

Pada masa pemerintahan Usman, wilayah Negara Islam telah meluas sampai ke
Tripoli Barat, Armenia dan Azarbaijan. Pada waktu itu Islam sudah masuk wilayah Afrika,
Syiriah dan Persia. Para hafidz pun tersebar, sehingga menimbulkan persoalan baru, yaitu
silang pendapat mengenai qiraat Al-Qur’an.
Ketika terjadi perang Armenia dan Azarbaijan diantara orang yang ikut menyerbu
kedua kota tersebut adalah Khuzaifah bin al-Yaman. Ia menemukan banyak perbedaan dalam
cara-cara membaca Al-Qur’an, bahkan sebagian qiraat itu bercampur dengan dengan
kesalahan. Masing-masing mempertahankan bacaannya serta menentang setiap bacaaan yang
tidak berasal dari gurunya. Melihat keadaan yang memprihatinkan ini Khuzaifah segera
melaporkan kepada Khalifah Usman tentang sesuatu yang telah dilihatnya.

5
Usman segara mengundang para sahabat bermusyawarah mencari jalan keluar dari
masalah serius tersebut. Akhirnya dicapai suatu kesepakatan agar Mushaf Abu Bakar disalin
kembali menjadi beberapa mushaf untuk dijadikan rujukan apabila terjadi perselisihan
tentang cara membaca Al-Qur’an.
Untuk terlaksananya tugas tersebut Usman menunjuk satu tim yang terdiri dari empat
orang sahabat, yaitu Zaid bin Tsabit, Abdullah bin Zubair, Sa’id bin Ash dan Abdul Rahman
bin Haris bin Hisyam. Hasil kerja tersebut berwujud empat mushaf Al-Qur’an standar. Tiga
diantaranya dikirm ke Syam, Kufah dan Basrah, dan satu mushaf ditinggalakan di Madinah
untuk pegangan khalifah yang kemudian dikenal dengan al-Mushaf al-Imam. Agar persoalan
silang pendapat mengenai bacaan dapat diselesaikan hasil kerja panitia yang empat ini untuk
dibakar.
Dengan usahanya itu usman telah berhasil menghindarkan timbulnya fitnah dan
mengikis sumber perselisihan serta menjaga Qur’an dari perubahan dan penyimpangan
sepanjang zaman. mushaf yang ditulis dimasa usman inilah yang kemudian menjadi rujukan
sampai sekarang.

3.Perbedaan pengumpulan Al-Qur’an antara Abu Bakar dan Utsman

Pengumpulan mushaf oleh Abu Bakar berbeda dengan pengumpulan yang dilakukan
oleh utsman dalam motif dan caranya. Motif Abu Bakar adalah kekhawatiran beliau akan
hilangnya Qur’an karena banyaknya huffadz yang gugur dalam peperangan yang banyak
menelan korban daripada qori’. Sedang motif Usman dalam mengumpulkan al-quran adalah
karena banyaknya perbedaan dalam cara-cara membaca al-quran yang disaksikanya sendiri di
daerah-daerah dan mereka saling menyalahkan satu sama lain.
Pengumpulan qur’an yang dilakukan Abu Bakar ialah memindahkan semua tulisan
atau catatan qur’an yang semula bertebaran di kulit-kulit binatang, tulang belulang dan
pelepah kurma, kemudian dikumpulkan dalam satu mushaf dengan ayat-ayat dan surah-
surahnya yang tersusun serta terbatas pada bacaan yang tidak dimansukh dan mecakup
ketujuh huruf sebagaimana ketika qur’an itu diturunkan. Sedangkan, pengumpulan yang
dilakukan Usman adalah menyalinnya satu huruf diantara ketujuh huruf itu untuk
mempersatukan kaum muslimin dalam satu mushaf dan satu huruf.

D. Pengertian Kodifikasi Al Quran


Yang dimaksud dengan pengumpulan Qur’an (jam’ul Qur’an) oleh para ulama adalah
dalam firman salah satu dari dua pengertian berikut:

Pertama: Pengumpulan dalam arti hifzuhu (menghafalnya dalam hati). Jumma’ul


Qur’an artinya huffazuhu (penghafal-penghafalnya, orang yang menghafalkannya di dalam
hati). Inilah makna yang dimaksudkan dalam firman Allah kepada Nabi-Nabi senantiasa
menggerak-gerakkan kedua bibir dan lidahnya untuk membaca Al Qur’an ketika Al Qur’an
itu turun kepadanya sebelum jibril selesai membacakannya, karena ingin menghafalnya:
“Janganlah kamu gerakkan lidahmu untuk membaca Al Qur’an karena hendak cepat-cepat
menguasainya. Sesungguhnya atas tanggungan kamilah mengumpulkannya (di dadamu) dan
(membuatmu pandai) membacanya. Apabila kami telah selesai membacakannya maka
ikutilah bacaannya itu. Kemudian, atas tanggungan Kamilah penjelasannya.” (al-
Qiyamah:16-19). Ibn Abbas mengatakan: “Rasulullah sangat ingin segera menguasai Al
Qur’an yang diturunkan. Ia menggerakkan lidah dan kedua bibirnya karena takut apa yang
turun itu akan terlewatkan. Ia ingin segera menghafalnya. Maka Allah menurunkan ayat

6
“Janganlah kamu gerakkan lidahmu untuk membaca Al Qur’an karena hendak cepat-cepat
menguasainya. Sesungguhnya atas tanggungan Kamilah mengumpulkannya dan
membacanya” maksudnya,‘Kami yang mengumpulkannya di dadamu, kemudian Kami
membacakannya.’ Apabila Kami telah selesai membacakannya; maksudnya, ‘apabila Kami
telah menurunkannya kepadamu’ maka ikutilah bacaan itu; maksudnya. ‘dengarkan dan
perhatikanlah ia.’ Kemudian, atas tanggungan Kamilah penjelasannya, yakni ‘
menjelaskannya dengan lidahmu.‘ Dalam lafal yang lain dikatakan: ‘Atas tanggungan
Kamilah membacakannya.’ Maka setelah ayat ini turun bila jibril datang, Rasulullah diam.
Dalam lafal lain: ‘ia mendengarkan. ‘Dan bila jibril telah pergi, barulah ia membacanya
sebagaimana diperintahkan Allah’’.

Kedua: Pengumpulan dalam arti kitabatuhu kullihi (penulisan Al Qur’an semuanya) baik
dengan memisah-misahkan ayat-ayat dan surah-surahnya, atau menertibkan ayat-ayat semata
dan setiap surah ditulis dalam satu lembaran secara terpisah, ataupun menertibkan ayat-ayat
dan surah-surahnya dalam lembaran-lembaran yang terkumpul yang menghimpun semua
surah, sebagiannya ditulis sesudah bagian yang lain.

E. Sejarah Kodifikasi Alquran

1. Pada Masa Rasulullah

Pengumpulan Alquran pada zaman Rasulullah SAW ditempuh dengan dua cara:
Yang pertama: al jam’u fis sudur
Para sahabat langsung menghafalnya diluar kepala setiap kali Rasulullah SAW
menerima wahyu. Hal ini bisa dilakukan oleh mereka dengan mudah terkait dengan kultur
(budaya) orang arab yang menjaga Turast (peninggalan nenek moyang mereka diantaranya
berupa syair atau cerita) dengan media hafalan dan mereka sangat masyhur dengan kekuatan
daya hafalannya.
Yang kedua: al jam’u fis shutur
Yaitu wahyu turun kepada Rasulullah SAW ketika beliau berumur 40 tahun yaitu 12
tahun sebelum hijrah ke madinah. Kemudian wahyu terus menerus selama kurun waktu 23
tahun berikutnya dimana Rasulullah SAW setiap kali turun wahyu kepadanya, beliau selalu
membacakannya kepada para sahabat secara langsung dan menyuruh mereka untuk
menuliskannya sembari melarang para sahabat untuk menulis hadist-hadist beliau karna
khawatir akan bercampur dengan Al-Qur’an. Rasulullah SAW bersabda “Janganlah kalian
menulis sesuatu dariku kecuali Al-Qur’an, barang siapa yang menulis sesuatu dariku selain
Al-Qur’an maka hendaklah ia menghapusnya”.
Biasanya sahabat menuliskan Alquran pada media yang terdapat pada waktu itu
berupa ar-Riqa' (kulit binatang), al-Likhaf (lempengan batu), al-Aktaf (tulang binatang), al-
`Usbu (pelepah kurma). Sedangkan jumlah sahabat yang menulis Alquran waktu itu
mencapai 40 orang. Adapun hadis yang menguatkan bahwa penulisan Alquran telah terjadi
pada masa Rasulullah saw. adalah hadis yang di Takhrij (dikeluarkan) oleh al-Hakim dengan
sanadnya yang bersambung pada Anas r.a., ia berkata: "Suatu saat kita bersama Rasulullah
saw. dan kita menulis Alquran (mengumpulkan) pada kulit binatang ".

7
Dari kebiasaan menulis Alquran ini menyebabkan banyaknya naskah-naskah
(manuskrip) yang dimiliki oleh masing-masing penulis wahyu, diantaranya yang terkenal
adalah: Ubay bin Ka'ab, Abdullah bin Mas'ud, Mu'adz bin Jabal, Zaid bin Tsabit dan Salin
bin Ma'qal. Adapun hal-hal yang lain yang bisa menguatkan bahwa telah terjadi penulisan
Alquran pada waktu itu adalah Rasulullah SAW melarang membawa tulisan Alquran ke
wilayah musuh. Rasulullah s.a.w. bersabda: "Janganlah kalian membawa catatan Alquran
kewilayah musuh, karena aku merasa tidak aman (khawatir) apabila catatan Alquran tersebut
jatuh ke tangan mereka”.
Kisah masuk islamnya sahabat `Umar bin Khattab r.a. yang disebutkan dalam buku-
bukus sejarah bahwa waktu itu `Umar mendengar saudara perempuannya yang bernama
Fatimah sedang membaca awal surah Thaha dari sebuah catatan (manuskrip) Alquran
kemudian `Umar mendengar, meraihnya kemudian memba-canya, inilah yang menjadi sebab
ia mendapat hidayah dari Allah sehingga ia masuk islam. Sepanjang hidup Rasulullah s.a.w
Alquran selalu ditulis bilamana beliau mendapat wahyu karena Alquran diturunkan tidak
secara sekaligus tetapi secara bertahap.
2. Pada masa Abu Bakar
Sepeninggal Rasulullah SAW, istrinya `Aisyah menyimpan beberapa naskah catatan
(manuskrip) Alquran, dan pada masa pemerintahan Abu Bakar r.a terjadilah Jam'ul Quran
yaitu pengumpulan naskah-naskah atau manuskrip Alquran yang susunan surah-surahnya
menurut riwayat masih berdasarkan pada turunnya wahyu (hasbi tartibin nuzul). Imam
Bukhari meriwayatkan dalam shahihnya sebab-sebab yang melatarbelakangi pengumpulan
naskah-naskah Alquran yang terjadi pada masa Abu Bakar yaitu Atsar yang diriwatkan dari
Zaid bin Tsabit r.a. yang berbunyi: " Suatu ketika Abu bakar menemuiku untuk menceritakan
perihal korban pada perang Yamamah , ternyata Umar juga bersamanya. Abu Bakar berkata
:" Umar menghadap kapadaku dan mengatakan bahwa korban yang gugur pada perang
Yamamah sangat banyak khususnya dari kalangan para penghafal Alquran, aku khawatir
kejadian serupa akan menimpa para penghafal Alquran di beberapa tempat sehingga suatu
saat tidak akan ada lagi sahabat yang hafal Alquran, menurutku sudah saatnya engkau wahai
khalifah memerintahkan untuk mengumpulkan Alquran, lalu aku berkata kepada Umar : "
bagaimana mungkin kita melakukan sesuatu yang tidak pernah dilakukan oleh Rasulullah
saw ?" Umar menjawab: "Demi Allah, ini adalah sebuah kebaikan".
Selanjutnya Umar selalu saja mendesakku untuk melakukannya sehingga Allah
melapangkan hatiku, maka aku setuju dengan usul umar untuk mengumpulkan Alquran. Zaid
berkata: Abu bakar berkata kepadaku : "engkau adalah seorang pemuda yang cerdas dan
pintar, kami tidak meragukan hal itu, dulu engkau menulis wahyu (Alquran) untuk Rasulullah
saw., maka sekarang periksa dan telitilah Alquran lalu kumpulkanlah menjadi sebuah
mushaf". Zaid berkata : " Demi Allah, andai kata mereka memerintahkan aku untuk
memindah salah satu gunung tidak akan lebih berat dariku dan pada memerintahkan aku
untuk mengumpulkan Alquran. Kemudian aku teliti Alquran dan mengumpulkannya dari
pelepah kurma, lempengan batu, dan hafalan para sahabat yang lain".
Kemudian Mushaf hasil pengumpulan Zaid tersebut disimpan oleh Abu Bakar,
peristiwa tersebut terjadi pada tahun 12 H. Setelah ia wafat disimpan oleh khalifah
sesudahnya yaitu Umar, setelah ia pun wafat mushaf tersebut disimpan oleh putrinya dan
sekaligus istri Rasulullah s.a.w. yang bernama Hafsah binti Umar r.a.

8
Semua sahabat sepakat untuk memberikan dukungan mereka secara penuh terhadap
apa yang telah dilakukan oleh Abu bakar berupa mengumpulkan Alquran menjadi sebuah
Mushaf. Kemudian para sahabat membantu meneliti naskah-naskah Alquran dan menulisnya
kembali. Sahabat Ali bin Abi thalib berkomentar atas peristiwa yang bersejarah ini dengan
mengatakan :"Orang yang paling berjasa terhadap Mushaf adalah Abu bakar, semoga ia
mendapat rahmat Allah karena ialah yang pertama kali mengumpulkan Alquran, selain itu
juga Abu bakarlah yang pertama kali menyebut Alquran sebagai Mushaf).
Menurut riwayat yang lain orang yang pertama kali menyebut Alquran sebagai
Mushaf adalah sahabat Salim bin Ma'qil pada tahun 12 H lewat perkataannya yaitu : "Kami
menyebut di negara kami untuk naskah-naskah atau manuskrip Alquran yang dikumpulkan
dan di bundel sebagai MUSHAF dari perkataan salim inilah Abu bakar mendapat inspirasi
untuk menamakan naskah-naskah Alquran yang telah dikumpulkannya sebagai al-Mushaf as
Syarif (kumpulan naskah yang mulya). Dalam Alquran sendiri kata Suhuf (naskah ; jama'nya
Sahaif) tersebut 8 kali, salah satunya adalah firman Allah QS. Al Bayyinah (98):2 " Yaitu
seorang Rasul utusan Allah yang membacakan beberapa lembaran suci. (Alquran)".
3.Pada masa Umar bin Khattab
Tidak ada perkembangan yang signifikan terkait dengan kodifikasi Alquran yang
dilakukan oleh khalifah kedua ini selain melanjutkan apa yang telah dicapai oleh khalifah
pertama yaitu mengemban misi untuk menyebarkan islam dan mensosialisasikan sumber
utama ajarannya yaitu Alquran pada wilayah-wilayah daulah islamiyah baru yang berhasil
dikuasai dengan mengirim para sahabat yang kredibilitas serta kapasitas ke-Alquranan-nya
bisa dipertanggungjawabkan. Diantaranya adalah Muadz bin Jabal, `Ubadah bin Shamith dan
Abu Dardah.
4.Pada masa Utsman bin Affan
Pada masa pemerintahan Usman bin 'Affan terjadi perluasan wilayah islam di luar
Jazirah arab sehingga menyebabkan umat islam bukan hanya terdiri dari bangsa arab saja
('Ajamy). Kondisi ini tentunya memiliki dampak positif dan negatif. Salah satu dampaknya
adalah ketika mereka membaca Alquran, karena bahasa asli mereka bukan bahasa arab.
Fenomena ini di tangkap dan ditanggapi secara cerdas oleh salah seorang sahabat yang juga
sebagai panglima perang pasukan muslim yang bernama Hudzaifah bin al-yaman. Imam
Bukhari meriwayatkan dari Anas r.a. bahwa suatu saat Hudzaifah yang pada waktu itu
memimpin pasukan muslim untuk wilayah Syam (sekarang syiria) mendapat misi untuk
menaklukkan Armenia, Azerbaijan (dulu termasuk soviet) dan Iraq menghadap Usman dan
menyampaikan kepadanya atas realitas yang terjadi dimana terdapat perbedaan bacaan
Alquran yang mengarah kepada perselisihan. Ia berkata : "wahai usman, cobalah lihat
rakyatmu, mereka berselisih gara-gara bacaan Alquran, jangan sampai mereka terus menerus
berselisih sehingga menyerupai kaum yahudi dan nasrani ".Lalu Usman meminta Hafsah
meminjamkan Mushaf yang di pegangnya untuk disalin oleh panitia yang telah dibentuk oleh
Usman yang anggotanya terdiri dari para sahabat diantaranya Zaid bin Tsabit, Abdullah bin
Zubair, Sa'id bin al'Ash, Abdurrahman bin al-Haris dan lain-lain. Kodifikasi dan penyalinan
kembali Mushaf Alquran ini terjadi pada tahun 25 H, Usman berpesan apabila terjadi
perbedaan dalam pelafalan agar mengacu pada Logat bahasa suku Quraisy karena Alquran
diturunkan dengan gaya bahasa mereka. Setelah panitia selesai menyalin mushaf, mushaf
Abu bakar dikembalikan lagi kepada Hafsah. Selanjutnya Usman memerintahkan untuk

9
membakar setiap naskah-naskah dan manuskrip Alquran selain Mushaf hasil salinannya yang
berjumlah 6 Mushaf. Mushaf hasil salinan tersebut dikirimkan ke kota-kota besar yaitu
Kufah, Basrah, Mesir, Syam dan Yaman. Usman menyimpan satu mushaf untuk ia simpan di
Madinah yang belakangan dikenal sebagai Mushaf al-Imam. Tindakan Usman untuk
menyalin dan menyatukan Mushaf berhasil meredam perselisihan dikalangan umat islam
sehingga ia manual pujian dari umat islam baik dari dulu sampai sekarang sebagaimana
khalifah pendahulunya Abu bakar yang telah berjasa mengumpulkan Alquran. Adapun
Tulisan yang dipakai oleh panitia yang dibentuk Usman untuk menyalin Mushaf adalah
berpegang pada Rasm alAnbath tanpa harakat atau Syakl (tanda baca) dan Nuqath (titik
sebagai pembeda huruf).
5. Tanda yang mempermudah membaca Al-Qur’an
Sampai sekarang, setidaknya masih ada empat mushaf yang disinyalir adalah salinan
mushaf hasil panitia yang diketuai oleh Zaid bin Tsabit pada masa khalifah Usman bin Affan.
Mushaf pertama ditemukan di kota Tasyqand yang tertulis dengan Khat Kufy. Dulu sempat
dirampas oleh kekaisaran Rusia pada tahun 1917 M dan disimpan di perpustakaan Pitsgard
(sekarang St.PitersBurg) dan umat islam dilarang untuk melihatnya. Pada tahun yang sama
setelah kemenangan komunis di Rusia, Lenin memerintahkan untuk memindahkan Mushaf
tersebut ke kota Opa sampai tahun 1923 M. Tapi setelah terbentuk Organisasi Islam di
Tasyqand para anggotanya meminta kepada parlemen Rusia agar Mushaf dikembalikan lagi
ketempat asalnya yaitu di Tasyqand (Uzbekistan, negara di bagian asia tengah).
Mushaf kedua terdapat di Museum al Husainy di kota Kairo mesir dan Mushaf ketiga dan
keempat terdapat di kota Istambul Turki. Umat islam tetap mempertahankan keberadaan
mushaf yang asli apa adanya. Sampai suatu saat ketika umat islam sudah terdapat hampir di
semua belahan dunia yang terdiri dari berbagai bangsa, suku, bahasa yang berbeda-beda
sehingga memberikan inspirasi kepada salah seorang sahabat Ali bin Abi Thalib yang
menjadi khalifah pada waktu itu yang bernama Abul-Aswad as-Dualy untuk membuat tanda
baca (Nuqathu I’rab) yang berupa tanda titik.
Atas persetujuan dari khalifah, akhirnya ia membuat tanda baca tersebut dan
membubuhkannya pada mushaf. Adapun yang mendorong Abul-Aswad ad-Dualy membuat
tanda titik adalah riwayat dari Ali r.a bahwa suatu ketika Abul-Aswad adDualy menjumpai
seseorang yang bukan orang arab dan baru masuk islam membaca kasrah pada kata
"Warasuulihi" yang seharusnya dibaca "Warasuuluhu" yang terdapat pada QS. At-Taubah (9)
3 sehingga bisa merusak makna.
Abul-Aswad ad-Dualy menggunakan titik bundar penuh yang berwarna merah untuk
menandai fathah, kasrah, Dhammah, Tanwin dan menggunakan warna hijau untuk menandai
Hamzah. Jika suatu kata yang ditanwin bersambung dengan kata berikutnya yang berawalan
huruf Halq (idzhar) maka ia membubuhkan tanda titik dua horizontal seperti "adzabun alim"
dan membubuhkan tanda titik dua Vertikal untuk menandai Idgham seperti "ghafurrur
rahim".
Adapun yang pertama kali membuat Tanda Titik untuk membedakan huruf-huruf
yang sama karakternya (nuqathu hart) adalah Nasr bin Ashim (W. 89 H) atas permintaan
Hajjaj bin Yusuf as-Tsaqafy, salah seorang gubernur pada masa Dinasti Daulah Umayyah
(40-95 H). Sedangkan yang pertama kali menggunakan tanda Fathah, Kasrah, Dhammah,
Sukun, dan Tasydid seperti yang-kita kenal sekarang adalah al-Khalil bin Ahmad al-Farahidy
(W.170 H) pada abad ke II H.

10
Kemudian pada masa Khalifah Al-Makmun, para ulama selanjutnya berijtihad untuk
semakin mempermudah orang untuk membaca dan menghafal Alquran khususnya bagi orang
selain arab dengan menciptakan tanda-tanda baca tajwid yang berupa Isymam, Rum, dan
Mad. Sebagaimana mereka juga membuat tanda Lingkaran Bulat sebagai pemisah ayat dan
mencamtumkan nomor ayat, tanda-tanda waqaf (berhenti membaca), ibtida (memulai
membaca), menerangkan identitas surah di awal setiap surah yang terdiri dari nama, tempat
turun, jumlah ayat, dan jumlah 'ain. Tanda-tanda lain yang dibubuhkan pada tulisan Alquran
adalah Tajzi' yaitu tanda pemisah antara satu Juz dengan yang lainnya berupa kata Juz dan
diikuti dengan penomorannya (misalnya, al-Juz-utsalisu: untuk juz 3) dan tanda untuk
menunjukkan isi yang berupa seperempat, seperlima, sepersepuluh, setengah Juz dan Juz itu
sendiri.
Sebelum ditemukan mesin cetak, Alquran disalin dan diperbanyak dari mushaf
utsmani dengan cara tulisan tangan. Keadaan ini berlangsung sampai abad ke16 M. Ketika
Eropa menemukan mesin cetak yang dapat digerakkan (dipisah-pisahkan) dicetaklah Alquran
untuk pertama kali di Hamburg, Jerman pada tahun 1694 M. Naskah tersebut sepenuhnya
dilengkapi dengan tanda baca. Adanya mesin cetak ini semakin mempermudah umat islam
memperbanyak mushaf Alquran. Mushaf Alquran yang pertama kali dicetak oleh kalangan
umat islam sendiri adalah mushaf edisi Malay Usman yang dicetak pada tahun 1787 dan
diterbitkan di St. Pitersburg Rusia. Kemudian diikuti oleh percetakan lainnya, seperti di
Kazan pada tahun 1828, Persia Iran tahun 1838 dan Istambul tahun 1877. Pada tahun 1858,
seorang Orientalis Jerman , Fluegel, menerbitkan Alquran yang dilengkapi dengan pedoman
yang amat bermanfaat. Sayangnya, terbitan Alquran yang dikenal dengan edisi Fluegel ini
ternyata mengandung cacat yang fatal karena sistem penomoran ayat tidak sesuai dengan
sistem yang digunakan dalam mushaf standar. Mulai Abad ke-20, pencetakan Alquran
dilakukan umat islam sendiri. Pencetakannya mendapat pengawasan ketat dari para Ulama
untuk menghindari timbulnya kesalahan cetak. Cetakan Alquran yang banyak dipergunakan
di dunia islam dewasa ini adalah cetakan Mesir yang juga dikenal dengan edisi Raja Fuad
karena dialah yang memprakarsainya. Edisi ini ditulis berdasarkan Qiraat Ashim riwayat
Hafs dan pertama kali diterbitkan di Kairo pada tahun 1344 H/ 1925 M. Selanjutnya, pada
tahun 1947 M untuk pertama kalinya Alquran dicetak dengan tekhnik cetak offset yang
canggih dan dengan memakai huruf-huruf yang indah. Pencetakan ini dilakukan di Turki atas
prakarsa seorang ahli kaligrafi turki yang terkemuka SaidNursi.

F. Perbedaan Antara Proses Kodifikasi Pada Masa ‘Utsman dan Abu Bakar
Perbedaan antara proses kodifikasi pada masa ‘Utsman dan Abu Bakar, bahwa tujuan
pengkodifikasian al-Qur’an pada masa Abu Bakar radliyallâhu ‘anhu adalah menghimpun al-
Qur’an secara keseluruhan dalam satu Mushaf sehingga tidak ada satupun yang tercecer tanpa
mendorong orang-orang agar bersatu dalam satu Mushaf saja, dan hal ini dikarenakan belum
tampak implikasi yang signifikan dari adanya perbedaan seputar Qirâ`at sehingga
mengharuskan tindakan ke arah itu. Sementara tujuan kodifikasi pada masa ‘Utsman adalah
menghimpun al-Qur’an secara keseluruhan dalam satu Mushaf namun mendorong orang-
orang agar bersatu dalam satu Mushaf saja. Hal ini, karena adanya implikasi yang sangat
mengkhawatirkan dari beragam versi Qirâ`ah tersebut.
Jerih payah pengkodifikasian ini ternyata membuahkan mashlahat yang besar bagi
kaum Muslimin, yaitu bersatu-padunya umat, bersepakatnya kata serta terbitnya suasana
keakraban diantara mereka. Dengan terciptanya hal tersebut, maka kerusakan besar yang

11
ditimbulkan oleh perpecahan umat, tidak bersepakat dalam satu kata serta menyeruaknya
kebencian dan permusuhan telah dapat dibuang jauh-jauh. Hal seperti ini terus berlanjut
hingga hari ini, kaum Muslimin bersepakat atasnya, diriwayatkan secara mutawatir diantara
mereka melalui proses tranfer dari generasi tua kepada generasi muda dengan tanpa tersentuh
oleh tangan-tangan jahat dan para penghamba hawa nafsu hanya bagi Allah.
Dahulunya, Al-Quran tidaklah ditulis tapi dihafal, adapun ditulis itu karena ada orang-
orang dari luar arab, yang tidak mengerti tentang bahasa arab maka dijadikanlah AlQuran itu
ditulis. AlQuran tidaklah berbeda, bahkan rasulullah bersabda, bahwa AlQuran itu diturunkan
dengan tujuh huruf yang berarti ada tujuh cara membacanya. Nah, dari sinilah masalah ini
akhirnya membesar. Pada saat Islam sudah menyebar ke berbagai penjuru dunia, mulai dari
Spanyol, Persia sampai daratan Rusia, AlQuran ini mulai banyak orang yang membacanya
berbeda. Sampai suatu saat ada dua umat yang saling menyalahkan bacaan, dan memang
barangsiapa yang memalsukan AlQuran pada waktu itu (masih jaman shahabat, sepeninggal
rasulullah) maka hukumannya adalah penggal.
Maka para shahabat tak main-main dengan urusan ini. Dua orang yang sedang
bertengkar itu berasal dari Madinah yang satu dari Persia. Dan ketika mereka kemudian
menghadap kepada khalifah saat itu (ustman bin Affan) maka Ustman mendengarkan kedua
bacaan itu dan tak ada yang salah dari bacaan itu, namun karena perselisihan sudah banyak
dan orang-orang saling menyalahkan maka satu-satunya cara adalah dengan menulis Al
Qur'an tersebut dalam satu cara baca. Sebelumnya Al Qur'an sudah dibukukan, tapi masih
terpisah dan ada tujuh cara baca.
Dari sinilah kemudian para pembesar-pembesar shahabat berunding, kira-kira ejaan
yang manakah yang akan dijadikan sebagai satu-satunya bacaan yang dipakai di dalam Al
Qur'an. Saat itulah Ustman mengatakan , "Allah telah meridhai kaum muhajirin dan Anshar,
dan mereka juga telah ridha kepada Allah, maka kita memakai cara bacanya kaum Muhajirin
dan Anshar". Maka setelah itu dibukukanlah Al Qur'an dengan cara bacaan kaum muhajirin
dan Anshar seperti yang kita terima sampai sekarang. Dan mushaf yang disusun oleh Ustman
itu dikenal sebagai Mushaf ustmani. Sebelumnya mushaf itu tidak ada harakat, fathah,
dhomah, atau kasrah, baru ada tanda baca itu pada zaman Ali bin Abi Thalib.
Tidak aneh kalau mushaf ustmani adalah satu-satunya yang disyahkan. setelah
dibukukannya Al Qur'an dan dituliskan mushaf ustmani itu para shahabat tak ada perselisihan
lagi. Dan Mushaf-mushaf itu dikirim ke beberapa negara. 3 dikirim keluar negeri satu tinggal
di Makkah.

12
BAB III
PENUTUP

A. Kesimpulan
Terdapat tiga priode dalam penulisan dan pengumpulan naskah al-Quran yang sangat
terkenal dikalangan kaum muslimin. Dimulai dari priode Rasulullah saw sendiri yang berupa
penulisan dan pengumpulan pada media tulis namun masih bertebaran, dilanjutkan pada
priode Khalifah Abu Bakar yang berhasil mengumpulkan suhuf menjadi mushaf dengan tetap
mempertahankan tujuh dialek yang diterima dari Rasulullah, dan kembali dilanjutkan oleh
khalifah Utsman bin Affan yang berhasil mempersempit dialek al-Quran menjadi satu dialek
bangsa Quraisy.
Setelah priode kodifikasi yang paling dikenal ini, masih ada beberapa bentuk kodifikasi
namun lebih pada penyempurnaan mushaf Utsman yang ada.

B. Saran-saran

Kami menghimbau kepada para pembaca khususnya dan seluruh umat Islam untuk
mempelajari al-Quran, baik dari segi turunnya, sejarah pembukuannya, maupun pemahaman
dan artinya. Karena pada zaman yang modern ini banyak non-Muslim yang berusaha
mencemarkan Islam. Jadi kita sebagai umat Islam harus mempelajarinya agar kita tidak
mudah dibohongi dan bisa menjaga keorisinalan al-Quran dari mereka yang ingin
merubahnya.

13
DAFTAR PUSTAKA

Ali, K. 1980. A Study Of Islamic History. India: Idarah Adabiyah Delli.


Amal, Taufik Adnan. 2001. Rekonstruksi Sejarah Al-Qur’an. Yogyakarta : Forum kajian
dan Budaya.
Bucaille, Maurice. 1979. Bibel, Alquran, dan Sains Modern, ter. Rasyidi. Jakarta: Bulan
Bintang.
Hasan, Ali. 1992. Sejarah dan Metodologi Tafsir. terj Arkom. Jakarta: Rajawali.
Ridho, M. 1982. Utsman Bin Affan Al-Khalifah At-Tsalitsah. Beirut: Daar Kutub.
Shalih, Subhi. 1990 Membahas Ilmu-Ilmu Al-Qur’an. Jakarta: Pustaka Firdaus.
’Utsaimin, Muhammad bin Shalih. Ushûl Fi at-Tafsîr. Beirut: Dar Kutub al-Ilmiyah, tth.

14

Anda mungkin juga menyukai