Anda di halaman 1dari 28

KEBIJAKAN DAN PENGARUH STABILITAS HARGA

MINYAK GORENG TERHADAP PEREKONOMIAN


INDONESIA
Mata Kuliah Sistem Ekonomi Indonesia
Program Studi Sosiologi, Fakultas Ilmu Sosial dan Politik
Universitas Sebelas Maret

Penyusun: Kelompok 4
1. Akbar Syafa Nugraha (D0321004)
2. Dara Amarlia Karismaningrum (D0321026)
3. Indyra Bernice Azhary (D0321050)
4. Razita Sabrina Filzah (D0321086)
5. Ryan Putra Saladenta (D0321090)
6. Sahda Alifa Marrelda (D0321110)
7. Syifa Salsabila Amaya (D0321094)
ABSTRAK

Penulisan ini bertujuan untuk membahas tentang Kebijakan dan Pengaruh


Stabilitas Harga Minyak Goreng Terhadap Perekonomian. Penulisan ini
menggunakan metode studi kepustakaan yang berdasar pada jurnal penelitian
yang sudah ada.

Minyak goreng merupakan salah satu dari sembilan bahan pokok di


Indonesia. Artinya minyak goreng ini adalah barang yang menyangkut hajat hidup
orang banyak dengan skala pemenuhan kebutuhan yang tinggi. Dimana tentu
keberadaannya menjadi penting. Oleh karena itu, memastikan ketersediaan stok di
sepanjang tahun adalah sebuah keharusan. Namun, sering terjadi permasalahan
ketidakstabilan harga pada minyak goreng. Hal ini menyebabkan kesulitan bagi
masyarakat. Maka, perlu hadirnya kebijakan pemerintah. Adapun kebijakan yang
dikeluarkan pemerintah diharapkan dapat menjaga kestabilan harga minyak
goreng. Sehingga, perekonomian Indonesia dapat di skala yang baik.

Kata Kunci : Minyak Goreng, Stabilitas Harga, Kebijakan Pemerintah

PENDAHULUAN
Minyak Goreng masuk dalam daftar nama anggota bahan pokok sembako
sesuai dengan keputusan menteri Industri Perdagangan no.115/mpp/kep/1998
tanggal 27 Februari 1998. Itu artinya kebutuhan akan minyak goreng adalah
sebuah keharusan. Minyak goreng sendiri memiliki komoditas di pasar domestik
yang mana memiliki berbagai jenis dan proses yang berbeda. Sentra dan volume
produksi minyak goreng pun tersebar di seluruh wilayah Indonesia. Selanjutnya
pola produksi minyak goreng dinyatakan dalam kapasitas produksi ton/hari.
Disamping itu, terdapat pula pula faktor-faktor kritis yang mempengaruhi
produksi. Konsumen minyak goreng pun beragam serta pola konsumsi yang
berubah. Hal ini disebabkan adanya faktor-faktor kritis yang mempengaruhi
konsumsi. Struktur pasar lokal juga akan dibahas. Ditambah dengan bagaimana
Infrastruktur logistik.
Dengan adanya pembahasan di atas maka perlu adanya kebijakan pemerintah
terkait minyak goreng, agar terlahir stabilitas harga. Namun, dengan adanya
kebijakan pemerintah, maka akan timbul pengaruh terhadap perekonomian
Indonesia.

PEMBAHASAN
● Komoditas Minyak Goreng di Pasar Domestik

Deskripsi Komoditas Minyak Goreng

Minyak goreng dapat didefinisikan sebagai minyak yang dihasilkan dari


lemak tumbuhan atau hewan yang kemudian dimurnikan dan berwujud cair dalam
temperatur kamar yang digunakan untuk keperluan menggoreng. Minyak goreng
ini dapat berasal dari kelapa, kelapa sawit, kacang tanah, jagung, kedelai, bunga
matahari, dan kanola.

Secara general, terdapat dua jenis minyak goreng. Pertama, minyak nabati
atau minyak goreng yang berasal dari tumbuhan. Contoh minyak goreng jenis ini
yaitu minyak kelapa sawit, minyak kelapa, minyak jagung, minyak kedelai,
minyak zaitun, dan lain sebagainya. Kedua, minyak hewani atau minyak goreng
yang dihasilkan dari hewan. Minyak hewani dapat meliputi tallow yang
merupakan minyak atau lemak sapi dan lard yang merupakan minyak atau lemak
babi.

Minyak goreng mempunyai fungsi sebagai media penghantar energi panas,


penambah cita rasa gurih pada masakan, serta menambah kandungan gizi dan
kalori pada produk makanan yang diolah dengan cara digoreng. Minyak goreng,
baik minyak goreng jenis nabati maupun hewani, mempunyai karakteristik yang
serupa. Karakteristik-karakteristik tersebut yaitu berwarna kuning transparan,
tidak menghasilkan bau atau aroma, dan tidak mengandung rasa.
Jenis minyak goreng yang lazim digunakan di Indonesia adalah minyak
goreng sawit atau Refined Bleached Deodorized Olean/RDBO. Hal ini disebabkan
karena negara Indonesia memiliki sumber daya alam berupa perkebunan kelapa
sawit yang melimpah. Selain itu, minyak goreng sawit juga dapat dikatakan cukup
ideal dari segi harga dan ketersediaan, sesuai dengan kebiasaan menggoreng
masyarakat di Indonesia, serta mempunyai lebih banyak keunggulan daripada
minyak goreng jenis lain.

Pada masa sekarang, minyak goreng sawit mengalami peningkatan


konsumsi pada tingkat nasional, bahkan internasional. Di Indonesia, konsumsi
minyak goreng mencapai 20 kg/kapita/tahun dan diperkirakan akan dapat
bertambah. Penyebabnya yaitu sedang berkembangnya industri jasa boga dan
adanya perubahan gaya hidup masyarakat yang didukung pertumbuhan ekonomi.
Dilihat dalam aspek gizinya, minyak goreng sawit mengandung asupan gizi
berupa omega-9, vitamin A, vitamin D, dan vitamin E. Kandungan tersebut
membuat minyak goreng sawit berpotensi menjadi produk berbasis lemak yang
sehat dalam produksi berbagai makanan.

Jenis Minyak Goreng

Beberapa jenis minyak goreng yang sering digunakan dalam kehidupan


sehari-hari yaitu minyak kelapa, minyak kelapa sawit, dan minyak kedelai.
Komposisi terbesar yang terkandung dalam minyak kelapa yaitu asam lemak
jenuh sebesar 90-92%. Minyak kelapa sawit memiliki komposisi yang seimbang.
Sedangkan, minyak kedelai mengandung komposisi asam lemak tak jenuh
mencapai angka 80%. Jenis minyak kelapa dan minyak kelapa sawit dapat
dikatakan lebih unggul daripada minyak kedelai. Pernyataan itu didasarkan pada
adanya kandungan asam lemak jenuh yang tinggi pada kedua jenis minyak
tersebut yang membuat mereka lebih stabil dan tidak mudah teroksidasi dalam
temperatur yang tinggi.

Selain asam lemak jenuh (stearin) dan asam lemak tak jenuh (olein)
sebagai komponen utama, minyak goreng yang dihasilkan dari kelapa sawit juga
mengandung komposisi lain. Komponen minor tersebut memiliki porsi sekitar 1%
serta mencakup karoten, vitamin E, sterol, fosfolipid, glikolipid, terpen, dan
hidrokarbon alifatik. Karoten dan vitamin E yang terdapat dalam minyak goreng
sawit dapat berkontribusi pada sifat fisiologis yang penting pada tubuh.

Permintaan dan Penawaran Minyak Goreng di Indonesia

Terjadinya peningkatan pendapatan masyarakat Indonesia tidak


menghasilkan pengaruh yang signifikan terhadap permintaan minyak goreng
domestik, termasuk minyak goreng sawit. Oleh karena itu, dalam ekonomi,
komoditas minyak goreng dapat disebut sebagai barang normal. Kemudian,
minyak goreng juga berperan sebagai bahan makanan pokok masyarakat
Indonesia. Hal ini menyebabkan pasar domestik harus terus menyediakan produk
minyak goreng untuk memenuhi kebutuhan masyarakat dan agar tidak terjadi
lonjakan harga.

Faktor-faktor yang dapat mempengaruhi penawaran komoditas minyak


goreng sawit domestik meliputi produksi CPO dan harga riil CPO. Berkaitan
dengan hal tersebut, pemerintah terus membuat kebijakan tentang ketersediaan
CPO domestik untuk menjamin ketersediaan minyak goreng sawit bagi
masyarakat Indonesia. Penawaran komoditas ini juga dipengaruhi oleh harga
minyak goreng sawit. Harga berperan sebagai indikator bagi perusahaan yang
memproduksi minyak goreng. Apabila harga minyak goreng sedang tinggi, maka
produsen minyak goreng dapat meningkatkan kuantitas produksinya. Akan tetapi,
harga minyak goreng sawit dapat mencapai titik tidak optimal ketika tidak terjadi
keseimbangan antara permintaan dan penawaran.

Proses Produksi Minyak Goreng

Dalam proses produksi minyak goreng, terdapat sejumlah langkah-langkah


yang harus dilakukan. Secara general, tahapan tersebut dapat meliputi proses
sterilisasi, stripping atau threshing atau pemipilan, digesti, ekstraksi minyak,
hingga penjernihan atau clarifier. Tahap pertama, yaitu sterilisasi dilakukan
dengan cara memberikan uap air atau steam pada tandan kelapa sawit yang akan
diolah. Lalu, proses pemipilan bertujuan untuk memisahkan buah kelapa sawit
dari tandannya. Kemudian, tahap digesti dilakukan dengan menghancurkan buah
menggunakan suatu alat khusus. Setelah itu, ekstraksi minyak kelapa sawit
dilakukan dengan mengempa buah kelapa sawit yang telah dihancurkan tadi.
Terakhir, proses penjernihan atau pemurnian yang mempunyai tujuan untuk
mendapatkan minyak dengan mutu yang tinggi.

Sentra dan Volume Produksi Minyak Goreng

Kebutuhan akan minyak goreng di Indonesia sebagian besar didukung


oleh Crude Palm Oil (CPO). CPO ini dihasilkan dari berbagai perkebunan yang
ada di Indonesia, terutama Sumatera, Kalimantan, dan Sulawesi.
Perkebunan-perkebunan sawit ini dimiliki oleh pemerintah, perusahaan swasta,
serta rakyat. Untuk industri pengolahan atau produksi minyak goreng sawit,
sentra-sentranya tersebar di seluruh Indonesia, seperti Provinsi Sumatera Utara,
Lampung, DKI Jakarta, Jawa Timur, Nusa Tenggara Barat, serta Sulawesi Selatan.
Secara keseluruhan, pabrik minyak goreng di Indonesia dapat menghasilkan total
produk sebesar 15.456 juta ton setiap tahunnya.

Rendemen

Tingkat rendemen minyak goreng merupakan angka atau kuantitas minyak


goreng yang dapat dimanfaatkan atau diambil dari keseluruhan bahan mentah atau
CPO yang telah diolah. Faktor-faktor yang dapat mempengaruhi tingkat rendemen
yaitu sifat pohon induk dari kelapa sawit, metode penanganan pascapanen, cara
pengangkutan, hingga kegiatan pemrosesan. Setiap jenis kelapa sawit mempunyai
angka rendemen yang berbeda-beda. Namun, pada umumnya, kelapa sawit
mempunyai tingkat rendemen minyak sebesar 23% hingga 26,5%. Artinya, dari
100% jumlah CPO yang ada, minyak goreng yang dapat dihasilkan berkisar antara
23% hingga 26%.

Pola Produksi Minyak Goreng


Untuk memenuhi konsumsi masyarakat Indonesia terhadap minyak goreng
sawit, produsen diharapkan dapat memenuhi tingkat konsumsi masyarakat dan
dapat menyelaraskan pola produksi dengan pola konsumsi masyarakat terhadap
minyak goreng sawit. Pola produksi tersebut dinyatakan dalam kapasitas produksi
ton/hari. Kapasitas pabrik besar dalam mengolah kelapa sawit menjadi minyak
goreng sawit dapat mencapai 1,7 ton/hari.

Faktor-Faktor Kritis yang Mempengaruhi Produksi

Dalam proses produksi minyak goreng di Indonesia, faktor-faktor penting


yang dapat mempengaruhi proses tersebut meliputi:

a. Mutu CPO

Dalam hal ini, lahan pertanian serta tingkat kesuburannya, bibit


kelapa sawit, pupuk, obat-obatan perkebunan, dan seterusnya dapat
mempengaruhi proses produksi minyak goreng sawit.

b. Faktor sosial

Faktor sosial yang mempengaruhi produksi minyak goreng sawit


meliputi biaya produksi, harga CPO, tenaga kerja, tingkat pendidikan,
tingkat pendapatan, tingkat keuntungan, kelembagaan, ketersediaan kredit,
dan lain-lain.

c. Harga minyak goreng sawit


d. Jumlah CPO yang diserap industri minyak goreng sawit
e. Ekspor CPO pada tahun sebelumnya

Konsumen Minyak Goreng

Konsumen adalah setiap orang pemakai barang atau jasa yang tersedia
dalam masyarakat, baik bagi kepentingan diri sendiri, keluarga, orang lain,
maupun makhluk hidup lain dan tidak untuk diperdagangkan Tujuan konsumsi
adalah sebagai berikut :
a. Mengurangi Nilai Guna Suatu Barang Ataupun Jasa Secara Bertahap.
b. Menghabiskan Atau Mengurangi Nilai Guna dari Suatu Barang Atau Jasa
Secara Sekaligus.
c. Memuaskan Kebutuhan Konsumen Secara Fisik.
d. Memuaskan Kebutuhan Konsumen Secara Rohani.

Terlepas dari itu semua, konsumen minyak goreng yang terbuat dari kelapa
sawit memegang peranan lebih menonjol daripada minyak goreng yang terbuat
dari minyak nabati. Hal ini dapat dilihat bahwa konsumsi minyak goreng terbuat
dari kelapa sawit sebesar 2.65 juta ton, dari kelapa sebesar 0.66 juta ton
sedangkan sisanya dari kedelai, jagung maupun bunga matahari sebesar 0.073 ton.

Dilihat dari tingkat pertumbuhan konsumsi, minyak goreng yang terbuat


dari kelapa sawit cukup tinggi. Ini lebih tinggi daripada tingkat pertumbuhan
penduduk. Peluang pasar domestik Indonesia diperkirakan tumbuh dengan baik.

Pemanfaatan CPO untuk produk olahan diantaranya yaitu oleh industri


pangan (minyak goreng, margarin, shortening, cocoa butter substitutes, vegetable
ghee) dan industri non pangan seperti oleokimia (fatty acid, fatty alcohol, gliserin)
dan biodiesel. Konsumsi CPO dalam negeri sebagian besar digunakan untuk
industri minyak goreng sebagai konsumen utama CPO di Indonesia.

Pola Konsumsi

Dilihat dari perkembangan tahun 1990 sampai 2006, pola konsumsi


minyak goreng sawit masyarakat Indonesia terus mengalami pertumbuhan secara
signifikan. Hal ini sejalan dengan pertumbuhan penduduk.

Akan tetapi, mulai terjadi ketimpangan antara produksi dan konsumsi


minyak goreng sawit pada tahun 2005 dan 2006. Tentunya, kejadian ini belum
dapat dijadikan bukti yang kuat adanya krisis pada tahun tersebut. Selain dipenuhi
oleh produksi, ketersediaan minyak goreng sawit pun dipenuhi oleh cadangan
persediaan tahun sebelumnya. Namun, perlu diperhatikan ekspor CPO tahun
tersebut memiliki persentase cukup besar terhadap total produksi CPO Indonesia.

Faktor-Faktor Kritis yang Mempengaruhi Konsumsi

a. Peningkatan jumlah penduduk.

Apabila penduduk Indonesia bertambah, maka konsumen minyak


goreng pun ikut bertambah. Hal ini menunjukkan adanya hubungan antara
peningkatan jumlah penduduk dengan peningkatan konsumsi minyak
goreng.

b. Perayaan hari-hari besar keagamaan.

Terjadi peningkatan permintaan minyak goreng terutama pada


perayaan hari-hari besar keagamaan setiap tahunnya.

c. Peningkatan pendapatan perkapita masyarakat.

Pendapatan perkapita merupakan besarnya rata-rata pendapatan


penduduk di suatu negara. Pendapatan perkapita digunakan sebagai tolak
ukur kemakmuran sebuah negara. Jika pendapatan perkapita penduduk
tinggi, maka masyarakat semakin makmur dan permintaan minyak goreng
semakin meningkat.

Struktur Pasar Lokal

Ketua Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) menjelaskan bahwa


minyak goreng tergolong dalam kategori struktur pasar oligopolistik karena
terdapat persaingan tidak sempurna. Hingga saat ini, masih diduga adanya dugaan
kartel minyak goreng sehingga harga komoditas tersebut terus naik. Pemerintah
diminta mengintervensi sistem distribusi minyak goreng melalui pembenahan tata
niaga dan penentuan batas atas untuk menjaga stabilitas harga.

Infrastruktur Logistik
Menurut GIMNI (2010), infrastruktur logistik untuk mendukung
transportasi CPO ke pabrik-pabrik minyak goreng tidak memadai. Lebih jauh
Menurut GIMNI (2010), tingginya biaya angkut (transportasi) ini berkaitan
dengan hal-hal sebagai berikut :

a. Infrastruktur jalan yang buruk sehingga menimbulkan kemacetan jalan


raya.
b. Rendahnya perdagangan antar pulau (domestik) sehingga frekuensi kapal
sedikit dan biaya tinggi.
c. Rendahnya akses transportasi
d. Rendahnya koneksitas.
e. Dermaga pelabuhan yang tidak memadai untuk bongkar muat dan fasilitas
penunjangnya yang tidak lengkap (pelayaran-pelabuhan, angkutan laut,
angkutan sungai, danau, dan penyeberangan, jalan dan lalu lintas
angkutan, perkeretaapian, dan penerbangan)
f.
● Kebijakan Pemerintah Terkait Minyak Goreng
KEBIJAKAN STABILISASI HARGA MINYAK GORENG
Kenaikan harga barang pokok terutama pangan apalagi ketika menjelang
hari raya atau hari besar lainnya sering menimbulkan keresahan di lapisan
masyarakat. Dalam rangka mengatasi dan mencegah kenaikan harga yang tidak
terkira, pemerintah telah membuat kebijakan. Beberapa kebijakan stabilisasi harga
minyak goreng yang telah diambil pemerintah diantaranya melalui pengendalian
sisi hulu (input) berupa kebijakan Domestic Market Obligation (DMO) untuk
komoditi CPO serta kebijakan Pajak Ekspor (PE) Progressive. Pada sisi hilirnya
(output) pemerintah menerbitkan kebijakan stabilisasi harga minyak goreng secara
langsung melalui operasi pasar (OP) minyak goreng bersubsidi dan kebijakan
minyak goreng berkemasan atau program Minyakita.

Intervensi Kebijakan Pemerintah pada Sisi Input


1. Domestic Market Obligation
Domestic Market Obligation (DMO) merupakan kebijakan
pemerintah untuk menstabilkan harga minyak goreng secara tidak
langsung dengan mewajibkan produsen CPO memasok kebutuhan bahan
baku industri minyak goreng. Nantinya, akan diatur persentase besaran
minyak goreng yang diperbolehkan diekspor dan dipasarkan di dalam
negeri. Pemerintah melalui Kementerian Perdagangan memutuskan
produsen minyak goreng wajib menjual 20% dari produksinya sebagai
minyak goreng kemasan sederhana.
CPO adalah komoditi penting Indonesia. CPO adalah andalan
ekspor Indonesia dimana Indonesia adalah produsen terbesar CPO dunia
dan pangsa pasar CPO Indonesia adalah nomor 2 terbesar setelah Malaysia
yaitu sebesar 32.64 persen. Sebagai salah satu penghasil CPO terbesar di
dunia maka Indonesia seharusnya dapat mengontrol pergerakan CPO baik
dalam jumlah ataupun harganya.
Selain itu, CPO juga banyak digunakan untuk kepentingan
pemenuhan kebutuhan domestik. CPO -merupakan bahan baku utama
dalam pembuatan minyak goreng yang merupakan salah satu dari
kebutuhan pokok masyarakat Indonesia. Konsumsi minyak goreng untuk
Indonesia sendiri terus mengalami peningkatan, konsumsi per kapita
sebesar16.5 kg per orang dan khusus untuk minyak goreng sawit sebesar
12.7 kg per orang. Tahun 2005 konsumsi minyak goreng Indonesia 6 juta
ton dan 83.3 persen dari jumlah tersebut untuk penggunaan minyak goreng
sawit. Tahun 2008 total konsumsi CPO untuk keperluan pembuatan
minyak goreng dalam negeri setara dengan 24.9 persen dari produksi CPO
nasional. Untuk dapat mengakomodir seluruh kepentingan dari berbagai
elemen dimana volume perdagangan dapat ditingkatkan namun juga tetap
menjamin ketersediaan CPO dalam negeri maka pemerintah mutlak perlu
menetapkan kebijakan kebijakan terkait dengan hal tersebut. jumlah dan
harga CPO baik untuk kebutuhan domestik maupun untuk tujuan ekspor.
Berdasarkan hal tersebut pemerintah harus menerapkan suatu kebijakan
yang tepat sehingga CPO sebagai produk ekspor unggulan Indonesia dapat
bersaing di pasar internasional. Sehingga menyumbang devisa namun juga
tidak mengabaikan ketersediannya untuk memenuhi kebutuhan domestik
Tujuan ditetapkan DMO tersebut untuk memberikan harga minyak
goreng yang lebih terjangkau bagi masyarakat dan memastikan
ketersediaan minyak goreng untuk kebutuhan domestik. Selain itu,
pemerintah secara perlahan ingin menyetop penjualan minyak goreng
curah yang dinilai kurang terjamin kualitas kesehatannya.

2. Pajak Ekspor Progresif


Landasan kebijakan pemerintah mengendalikan ekspor minyak
sawit dengan mengenakan pajak ekspor adalah menjaga stabilitas harga
minyak goreng di pasaran domestik. Selain tingginya harga minyak goreng
berdampak pada inflasi, pemerintah bermaksud menyediakan barang
kebutuhan pokok masyarakat dengan harga yang terjangkau. Dalam
perkembangannya jenis minyak sawit yang dikenakan pajak ekspor makin
bertambah karena inovasi produk dari pelaku usaha dan meluasnya jenis
permintaan dari konsumen. Tujuan tidak lagi berhenti pada penciptaan
stabilitas harga minyak goreng tapi meluas pada pengembangan industri
pengolahan minyak Sawit.
Berdasar Keputusan Menteri Keuangan Republik Indonesia No
16/KM.4/2021 tentang Penetapan Harga Ekspor untuk Penghitungan Bea
Keluar Menteri Keuangan Republik Indonesia, harga referensi yang
ditetapkan oleh menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di
bidang perdagangan adalah sebagai berikut:
a. Harga referensi kelapa sawit, Crude Palm Oil (CPO), dan produk
turunannya serta produk campuran dari Crude Palm Oil (CPO) dan produk
turunannya sebesar US$ 1.110,68/MT;
b. Harga referensi Biji Kakao sebesar US$ 2.415,00/MT.
Berdasarkan harga referensi sebagaimana dimaksud pada
DIKTUM KEEMPAT, tarif bea keluar yang digunakan untuk barang
ekspor berupa:
a. Kelapa sawit, Crude Palm Oil (CPO), dan produk turunannya serta produk
campuran dari Crude Palm Oil (CPO) dan produk turunannya, adalah
sebagaimana tercantum pada Kolom 9 Lampiran II huruf C Peraturan Menteri
Keuangan Nomor 166/PMK.010/2020 tentang Perubahan Kedua Atas Peraturan
Menteri Keuangan Nomor 13/PMK.010/2017 tentang Penetapan Barang Ekspor
yang Dikenakan Bea Keluar dan Tarif Bea Keluar; dan
b. Biji kakao, adalah sebagaimana tercantum pada Kolom 2 Lampiran II
huruf B Peraturan Menteri Keuangan Nomor 166/PMK.010/2020 tentang
Perubahan Kedua Atas Peraturan Menteri Keuangan Nomor 13/PMK.010/2017
tentang Penetapan Barang Ekspor yang Dikenakan Bea Keluar dan Tarif Bea
Keluar.
Tarif pungutan ekspor produk kelapa sawit mengalami penyesuaian sesuai
Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 76/PMK.05/2021 tentang Perubahan
Kedua Atas PMK Nomor 57/PMK.05/2020 tentang Tarif Badan Layanan Umum
Badan Pengelola Dana Perkebunan Kelapa Sawit.
Batas pengenaan tarif progresif berubah yang semula pada harga CPO
US$670/MT menjadi US$750/MT. Besaran tarif pungutan ekspor produk kelapa
sawit, termasuk Crude Palm Oil (CPO) dan produk turunannya, ditetapkan
berdasarkan harga referensi Kementerian Perdagangan dengan cut off perhitungan
pungutan tarif tersebut adalah tanggal penerbitan Pemberitahuan Ekspor Barang
(PEB). Pengenaan tarif baru tersebut mulai berlaku 7 hari setelah diundangkan
pada 25 Juni 2021 (mulai berlaku pada 2 Juli 2021).
“Apabila harga CPO di bawah atau sama dengan US$750/MT, maka tarif
pungutan ekspor tetap, yaitu misalnya untuk tarif produk crude adalah sebesar
US$55/MT. Selanjutnya, setiap kenaikan harga CPO sebesar US$50/MT, maka
tarif pungutan ekspor naik sebesar US$20/MT untuk produk crude, dan
US$16/MT untuk produk turunan sampai harga CPO mencapai US$1000. Apabila
harga CPO di atas US$1000, maka tarif tetap sesuai tarif tertinggi masing masing
produk,” jelas Eddy Abdurrachman, Direktur Utama Badan Pengelola Dana
Perkebunan Kelapa Sawit (Dirut BPDP KS).
Intervensi Kebijakan Pemerintah pada Sisi Output
1. Kebijakan Minyakita
Kebijakan Minyakita, sekarang Program Minyakita diatur dalam
Peraturan Menteri Perdagangan Republik Indonesia Nomor 36 Tahun 2020
Tentang Minyak Goreng Sawit Wajib Kemasan. Program Minyakita
merupakan program kerjasama antara pemerintah dengan produsen
minyak goreng nasional untuk menyediakan produk minyak goreng
kemasan sederhana yang higienis. Alasan pemerintah melaksanakan
program Minyakita adalah masih banyaknya perdagangan minyak goreng
yang dilakukan dalam keadaan curah, di mana kondisi sanitasi, higienitas,
dan keamanannya masih sangat rendah. Tujuan utama dari program ini
adalah meningkatkan keamanan pangan dan menstabilkan harga minyak
goreng di pasar domestik.
Enggartiasto di Jakarta pernah mengatakan ada tiga kemasan
sederhana yang wajib diproduksi oleh perusahaan minyak goreng.
Pertama, kemasan minyak goreng kemasan sederhana satu liter dengan
harga eceran tertinggi (HET) Rp11 ribu. Lalu, kemasan setengah liter
dengan HET Rp 6 ribu dan kemasan seperempat liter dengan harga
Rp3.250.
(https://mediaindonesia.com/ekonomi/132513/20-produksi-minyak-goreng
-untuk-kemasan-sederhana)
2. Operasi Pasar
Peran pemerintah dalam bidang ekonomi merupakan salah satu
bentuk campur tangan pemerintah untuk menciptakan kesejahteraan.
Stabilisasi merupakan tindakan untuk mempertahankan suatu harga barang
maupun jasa pada tingkat tertentu yang dilakukan oleh pemerintah.
Banyak sekali program yang dilaksanakan pemerintah untuk menjaga
stabilitas harga demi mencukupi kebutuhan masyarakat khususnya yang
hidup dibawah standar kemiskinan salah satunya dengan cara mengadakan
Operasi Pasar Murni (OPM). Operasi Pasar merupakan suatu kegiatan
untuk menghindari terjadinya kenaikan harga suatu barang, yang
dilakukan dengan cara injeksi, untuk meningkatkan suplai melalui
pedagang swasta, BUMN, atau langsung ke pedagang eceran dengan cara
penetapan harga dengan harga dibawah harga pasarnya. Kegiatan yang
dilakukan dalam operasi pasar berupa pengawasan terhadap penggerak
utama perekonomian yaitu pasar , melakukan pematokan harga dengan
cara subsidi dan injeksi yang kemudian barang yang telah disubsidi
disalurkan melalui kegiatan ini menghentikan praktik-praktik kecurangan,
seperti penimbunan barang pokok.
3. Surat Keputusan Bersama (SKB) Tiga Menteri No. 275/KPB/XII/78 tanggal
16 Desember 1978.
Tahun 1978 pemerintah mengeluarkan kebijakan dengan mengatur pemasaran
minyak di dalam negeri terutama pengaturan kerja dan pengaturan alokasi
penggunaan produksi. Kebijakan ini bertujuan untuk menjaga stabilitas harga
minyak goreng pada tingkat konsumen, mendorong ekspor produksi nabati
yang telah diproses. Pengaturan alokasi produksi dalam negeri diatur melalui
Surat Keputusan Bersama (SKB) Tiga Menteri No. 275/KPB/XII/78 tanggal
16 Desember 1978. Berdasarkan SKB tersebut ditetapkan bahwa: (1) harga
minyak kelapa sawit untuk pembuatan minyak goreng ditetapkan di Belawan,
(2) harga minyak kelapa sawit untuk operasi pasar berdasarkan minyak
goreng dikurangi dengan biaya operasional, dan (3) harga CPO untuk industri
hilir sama dengan
harga ekspor FOB (Freight On Board) Belawan. Beberapa ketentuan pokok
dalam peraturan tersebut adalah: (1) semua produsen CPO diwajibkan
menyediakan minyak sawit untuk kebutuhan dalam negeri, (2) jumlah yang
harus disediakan oleh produsen ditetapkan oleh menteri pertanian, (3) harga
CPO untuk bahan baku industri dalam negeri ditetapkan oleh menteri
perdagangan dan koperasi dengan memperhatikan pendapat menteri pertanian
dan menteri perindustrian, harga CPO dalam negeri ditetapkan oleh menteri
perdagangan dan koperasi setiap 3 bulan sekali berdasarkan FOB Belawan,
dan (4) penyediaan CPO di dalam negeri yang tidak ditebus dapat diekspor
oleh produsen.
Tahun 1991 SKB tiga menteri dihapus dimana dengan penghapusan itu maka
melonggarkan semua ketentuan tata niaga untuk memacu ekspor dan
mendorong investasi namun akibatnya minyak goreng menjadi langka di
domestik sehingga tahun 1994 pemerintah mengeluarkan Instrumen Pajak
Ekspor (PE) melalui SK menteri keuangan No. 439/KMK.017/1994 tanggal
31 Agustus 1994, dimana terhitung mulai tanggal 1 September 1994
pemerintah akan menetapkan PE jika harga minyak goreng dalam negeri
diatas Rp 1250/kg. Adapun tujuan lainnya dari dilakukannya kebijakan ini
adalah untuk meningkatkan devisa negara melalui instrumen pajak
penghasilan dan pertambahan nilai serta retribusi. Besarnya PE ditetapkan
berdasarkan keputusan dari menteri keuangan sedangkan nilai Harga Patokan
Ekspor (HPE) ditetapkan oleh menteri perdagangan dimana Pungutan Ekspor
dihitung dari hasil perkalian antara tarif pajak ekspor, jumlah ekspor, HPE
dan nilai tukar rupiah terhadap dolar. Harga Freight on Board (FOB)
ditentukan oleh Menteri keuangan setiap bulannya berdasarkan harga dunia
dua minggu sebelumnya, sedangkan harga dasar adalah harga ekspor
maksimum yang bebas pungutan ekspor. Adapun HPE ditetapkan oleh
menteri perindustrian dan perdagangan setiap bulannya tergantung dari harga
internasional CPO dan turunannya (Rifin, 2009).

4. Pajak Pertambahan Nilai Ditanggung Pemerintah


Melalui Keputusan Menteri Keuangan nomor 188/011/2007 tanggal 24 September
2007, Pemerintah memberikan fasilitas pembebasan PPN (atau PPN ditanggung
pemerintah selanjutnya disebut PPN-DTP) untuk jenis minyak goreng curah dan
tidak bermerek di tingkat produsen terhitung mulai tanggal 25 September 2007.
Dalam pelaksanaannya, setiap faktur Pajak Keluaran produsen dan penjual
minyak goreng di-cap “DTP”. PPN sendiri merupakan pajak yang dikenakan atas
setiap pertambahan nilai dari barang dan atau jasa dalam peredarannya dari
produsen ke konsumen. Indonesia menganut sistem tarif tunggal PPN yaitu
sebesar 10%. Dengan demikian secara definitif dapat dikemukakan bahwa PPN-
DTP adalah pajak terutang suatu perusahaan, baik swasta maupun BUMN yang
ditanggung pemerintah melalui penyediaan pagu anggaran dalam subsidi pajak.
Kebijakan tersebut diadopsi pemerintah dalam rangka mendorong investasi dan
melakukan stabilisasi harga pada saat perekonomian global melambat dan harga
komoditas meningkat. Melalui mekanisme ini, PPN 10% (termasuk komponen
harga minyak goreng dari produsen ke distributor) akan disubsidi dalam bentuk
Di-Tanggung-Pemerintah (DTP) memanfaatkan dana “Subsidi Minyak Goreng”
yang sudah dialokasikan. Berdasarkan data APBN-P
Pada dasarnya peraturan ini bersifat sementara. Artinya, terdapat masa berlaku
atas peraturan tersebut. PMK 29/PMK.011/2011 tentang PPN Ditanggung
Pemerintah Atas Penyerahan minyak Goreng Sawit Curah di Dalam Negeri untuk
Tahun Anggaran 2011, mulai berlaku sejak tanggal diundangkan hingga 31
Desember 2011.

Jadi, kini peraturan dan kebijakan PPN ditanggung pemerintah atas minyak
goreng sawit curah ini sudah tidak berlaku lagi. Maka, untuk minyak goreng sawit
itu sendiri kini sudah kembali dikenakan PPN.

● Pengaruh Kebijakan Pemerintah dan Komoditas Minyak


Goreng Terhadap Sistem Perekonomian Indonesia

Indonesia seperti yang kita tahu telah menganut sistem ekonomi


yang berlandaskan Pancasila. Namun, dalam pelaksanaannya apakah
sistem ekonomi yang berjalan sesuai dengan sistem ekonomi Pancasila?
Atau malah bertentangan dengan sistem yang dianut tersebut? Berikut
kami uraikan pengaruh tiap kebijakan pemerintah terkait pengelolaan
minyak goreng sebagai data yang konkret untuk menganalisis sistem
ekonomi Indonesia yang sesuai berdasarkan implementasi
kebijakan-kebijakanya :
1. Operasi Pasar
Dalam implementasinya di lapangan, operasi pasar
biasanya dilaksanakan pada saat menjelang lebaran atau hari raya
tertentu. Pada tahun 2017, pemerintah bersama Wilmar melakukan
operasi pasar minyak goreng. Kebijakan tersebut dilakukan dengan
cara menginjeksi daerah tempat ditetapkannya operasi pasar
tersebut masing-masing sebanyak 2.000 minyak goreng per hari.
Minyak tersebut dijual dengan harga Rp. 11.000,00 per liter.
Kebijakan yang dilakukan oleh Kemendag dan Wilmar adalah
kebijakan yang dilakukan untuk menanggulangi dan mencegah
masalah kekurangan pasokan pada saat lebaran tahun 2017. Jika
pasokan pada saat lebaran meningkat maka dikhawatirkan harga
minyak goreng dapat meroket. Harga minyak goreng yang tinggi
dapat menghambat daya beli masyarakat terutama masyarakat
kelas bawah. Padahal minyak goreng adalah kebutuhan pokok
yang harus dipenuhi.
Harga minyak goreng juga melambung tinggi akibat covid
19. Hal ini disebabkan karena harga CPO dunia yang ikut tinggi.
Kenaikan harga CPO adalah akibat dari terhambatnya produksi
bahan mentah CPO yang disebabkan oleh adanya covid-19.
Covid-19 menyebabkan turunnya tingkat produksi karena adanya
berbagai macam batasan-batasan yang ditetapkan demi
meminimalisir penularan virus. Akibatnya pemerintah pun harus
ikut campur untuk meminimalisir kenaikan harga minyak goreng.
Operasi pasar pada situasi pandemi seperti ini merupakan langkah
yang tepat. Pemerintah dapat meminimalisir kenaikan harga
pasaran yang tinggi dengan cara menjual dengan harga langsung
dari produsen melalui operasi pasar.

2. DMO (Domestic Market Obligation)


DMO adalah kebijakan yang bertujuan untuk memenuhi
kebutuhan dalam negeri. Pemerintah dalam hal ini mengintervensi
penjualan minyak goreng dengan cara mewajibkan pengusaha
minyak goreng untuk mengalokasikan penjualannya untuk pasar
domestik. Kebijakan DMO pernah diterapkan pada tahun 2018.
Pada saat itu pemerintah mewajibkan pengusaha minyak goreng
untuk memasok sebanyak 20% dari total produksi, menggunakan
kemasan sederhana, dan dijual sesuai dengan HET (Harga Eceran
Tertinggi).
Selain berfokus pada pemenuhan produksi minyak secara
umum, DMO pada tahun 2018 juga bertujuan untuk meningkatkan
kualitas minyak goreng yang tersebar di pasaran. Jenis minyak
goreng yang diprioritaskan untuk memenuhi kebutuhan domestik
adalah minyak goreng sederhana. Hal tersebut dilatarbelakangi
oleh banyaknya minyak goreng curah yang dianggap tidak
memiliki mutu yang baik bagi masyarakat. Oleh karena itu
kebijakan DMO kali ini juga menyasar pada kualitas minyak yang
dikonsumsi oleh masyarakat.
Kebijakan DMO mendapat kritik dari pihak pelaku usaha.
Penerapan DMO pada tahun 2018 memiliki resiko jika jumlah
produk yang telah ditetapkan tidak terserap dengan baik oleh
konsumen. Hal tersebut dapat menimbulkan kerugian bagi
pengusaha minyak dalam skala kecil.

3. Kebijakan Minyakita
Intervensi kebijakan dari sisi output minyak goreng sawit dilakukan
melalui kebijakan program Minyakita, dan hasil studi menemukan bahwa
kebijakan ini relatif tidak berpengaruh terhadap penurunan harga minyak goreng
di dalam negeri. Implementasi kebijakan Minyakita relatif belum menurunkan
harga minyak goreng (terutama kemasan) di pasar domestik dikarenakan substansi
kebijakan tersebut praktis hanya akan dimanfaatkan para pelaku usaha dalam
industri bersangkutan dalam mendiferensiasi produknya di pasar.
Dalam menjalankan kebijakan program Minyakita terdapat istilah “kartel”
yaitu suatu organisasi yang tergabung dari beberapa pelaku usaha yang bertujuan
untuk mempengaruhi harga dan/atau untuk mengatur pasokan suatu produk
tertentu ke dalam pasar sehingga mereka dapat mendapatkan keuntungan yang
lebih melalui cara tersebut. Pada dasarnya kartel dapat didefinisikan secara sempit
maupun secara luas. Secara sempit, kartel merupakan sekelompok perusahaan
yang seharusnya saling bersaing, akan tetapi mereka justru bekerja sama untuk
menetapkan harga dengan tujuan meraih keuntungan monopolis.3 Dalam
pengertian luas, kartel merupakan perjanjian di antara dua atau lebih pelaku usaha
yang melakukan suatu koordinasi perilaku atau tindakan dengan cara membagi
pasar, mengalokasikan pelanggan, dan menetapkan harga.
Kartel merupakan salah satu jenis perjanjian yang dilarang karena dapat
menimbulkan persaingan usaha tidak sehat menurut Undang-Undang Nomor 5
Tahun 1999 tentang Larangan Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat.
Kartel adalah persekongkolan atau persekutuan di antara beberapa pelaku usaha
sejenis dengan maksud mengontrol harga, produksi dan penjualannya, serta
memperoleh posisi monopoli. Dalam pasar yang berstruktur oligopoli, kartel
dapat lebih mudah untuk tumbuh dan berkembang karena di dalam pasar tersebut
hanya terdapat beberapa pelaku usaha saja, kemungkinan pelaku usaha
bekerjasama untuk menentukan harga produk dan jumlah produksi dari
masing-masing pelaku usaha menjadi lebih besar. Anggota dari asosiasi kartel
dapat menetapkan suatu harga ataupun suatu persyaratan tertentu atas suatu
produk dengan tujuan menghambat persaingan yang bertujuan untuk meraup
keuntungan yang sama besar antara sesama anggota himpunan. Dengan adanya
kualifikasi perjanjian kartel tersebut asosiasi kartel mengharapkan suatu hambatan
bisnis terjadi sehingga sulit bagi pesaing baru untuk masuk ke dalam pasar.
Salah satu contoh persaingan usaha yang tidak sehat adalah praktek kartel
minyak goreng yang dilakukan oleh 20 pelaku usaha minyak goreng di Indonesia.
Mereka terbukti melakukan kartel harga karena melanggar ketentuan Pasal 4,
Pasal 5 dan Pasal 11 UU No. 5 Tahun 1999 yang terdapat dalam putusan KPPU
No. 24/KPPU-I/2009. Praktek kartel tersebut mengakibatkan adanya kerugian
yang diderita oleh masyarakat setidak-tidaknya sebesar Rp. 1.270.000.000.000,00
untuk produk minyak goreng kemasan bermerek dan Rp. 374.300.000.000,00
untuk produk minyak goreng curah.
Kasus tersebut terkait dengan gejolak harga CPO dunia yang secara
faktual mempengaruhi terjadinya harga minyak goreng di pasar domestik.
Naiknya harga CPO dari kisaran harga US$ 1.300/ton menjadi alasan logis
tentang naiknya harga minyak goreng sawit di pasar domestik yang saat itu dari
kisaran harga Rp. 7.000/kg menjadi Rp. 12.900/kg. Namun ketika terjadi
penurunan harga di pasar dunia, harga minyak goreng pada pasar domestik tidak
merespon secara proporsional sehingga hal tersebut yang melatarbelakangi
dugaan terjadinya praktek persaingan usaha tidak sehat yang dilakukan oleh para
pelaku usaha minyak goreng di Indonesia.
Putusan KPPU tersebut sayangnya ditolak oleh Pengadilan Negeri dan
setelah melakukan pengajuan kasasi, Mahkamah Agung juga menolak putusan
KPPU atas keberatan yang dilakukan 20 produsen minyak goreng yang menjadi
terlapor. Pengadilan Negeri dan Mahkamah Agung menolak putusan KPPU
karena terkait dengan syarat materiil yang tidak terpenuhi oleh penggugat
(KPPU). Terkait hal ini, pembuktian kartel yang terdapat dalam Pasal 11 UU No.
5 Tahun 1999 menggunakan pendekatan rule of reason dimana suatu perjanjian
kartel baru dapat dikatakan melanggar peraturan perundang-undangan apabila
dalam praktik kartel tersebut dapat terbukti mengakibatkan adanya kerugian atau
membuat persaingan usaha menjadi tidak sehat. Selain menggunakan alat bukti
langsung dalam pembuktian, pendekatan rule of reason juga menggunakan
indirect evidence atau alat bukti tidak langsung yaitu bukti analisa ekonomi dan
bukti komunikasi. Akan tetapi, hukum acara di Pengadilan Negeri dan Mahkamah
Agung tidak mengenal adanya pembuktian ekonomi.
Kasus praktek kartel dalam kebijakan Minyakita ini, sebagaimana
dibuktikan oleh KPPU, merugikan masyarakat dengan adanya bukti-bukti yang
telah didapat oleh KPPU. Akan tetapi, bukti-bukti yang didapat oleh KPPU
tersebut ternyata tidak terdapat dalam hukum acara pada pengadilan umum,
keadaan yang tidak sinkron antara peradilan di KPPU dan peradilan umum
tersebut sangat menghambat proses untuk memperoleh keadilan bagi masyarakat
umum dan proses peradilan di KPPU dari mulai penyidikan sampai dengan
eksekusi menjadi sebuah tindakan yang membuang waktu dan dapat dikatakan
sebagai peraturan hukum yang tidak mempunyai asas kepastian, kemanfaatan, dan
efisiensi hukum.

4. Pajak Ekspor Progresif


Kebijakan bea keluar ditetapkan melalui Peraturan Menteri Keuangan
Republik Indonesia No. 75 Tahun 2012 tentang Penetapan Barang Ekspor yang
Dikenakan Bea Keluar dan Tarif Bea Keluar. Peraturan tersebut dikeluarkan
dengan tujuan untuk mendukung program hilirisasi industri kelapa sawit. Pada
tanggal 15 juli 2015, Kementerian melakukan perubahan keempat kalinya
terhadap peraturan bea keluar tersebut melalui diterbitkannya Peraturan Menteri
Keuangan Republik Indonesia No. 136/PMK.010/2015. Perubahan yang
dimaksud adalah penetapan perhitungan persentase bea keluar setiap kelompok
barang yang diekspor. Bea Keluar untuk CPO tetap 0 persen apabila harga
referensi di bawah USD 750 per ton, tetapi untuk barang mentah yaitu tandan
buah segar dikenakan bea keluar 65 persen saat harga USD 750 per ton dan
persentase terus meningkat seiring peningkatan harga referensinya. Namun
menurut Rifin (2010), penerapan pajak ekspor yang dilakukan Indonesia lebih
memberikan dampak positif terhadap peningkatan pendapatan pemerintah dari
pada mengurangi harga minyak goreng sawit Indonesia.
Dampak positif dari kebijakan menurunkan pajak ekspor adalah dapat
meningkatkan ekspor yang dapat menguntungkan produsen. Namun tingginya
ekspor CPO ini mengakibatkan kelangkaan suplai minyak goreng di dalam negeri.
Kelangkaan ini karena harga CPO di pasar internasional sangat tinggi, sehingga
membuat arus ekspor CPO menjadi tak terbendung. Kebijakan pemerintah
mengenai tarif pajak ekspor di Indonesia yang mengalami fluktuasi sehingga
berpengaruh terhadap permintaan dan penawaran barang ekspor.
Menurut Wayan (2001), Pemerintah harus melakukan analisis tentang
efektivitas pajak ekspor dalam mempercepat pengembangan industri hilir
perkebunan. Dengan menggunakan empat produk ekspor perkebunan utama
(karet, CPO, kakao dan kopi), kenaikan pajak ekspor akan berpengaruh negatif
pada industri hulunya yang dicerminkan oleh penurunan tingkat produksi, areal
dan pendapatan petani. Sebaliknya industri hilir memperoleh beberapa manfaat
seperti ketersediaan bahan baku yang lebih banyak dengan harga yang lebih
rendah.
Hasan F, dkk (2001) melakukan penelitian yang hasilnya adalah dengan
menggunakan Model Autoregressive menunjukkan bahwa jumlah barang ekspor
menurun secara dramatis akibat dari pemberlakuan pajak. Bambang Drajat (1998)
dari hasil penelitiannya bahwa kenaikan harga ekspor dan produksi serta
depresiasi nilai tukar rupiah diperkirakan berpengaruh positif terhadap volume
ekspor. Kenaikan harga ekspor menimbulkan rangsangan bagi pengekspor untuk
meningkatkan volume ekspornya. Kenaikan produksi menyebabkan pengekspor
meningkatkan ekspornya karena pasar domestik mempunyai keterbatasan untuk
menampung. Sedangkan depresiasi nilai tukar di satu sisi menyebabkan harga
ekspor komoditas perkebunan dinilai murah oleh pengimpor sehingga permintaan
impor meningkat. Di sisi lain, depresiasi menyebabkan harga ekspor dalam
Rupiah meningkat sehingga merangsang kenaikan produksi dan meningkatkan
volume ekspor.

Seperti yang kita tahu bahwasanya sistem perekonomian Indonesia yang


berlaku adalah sistem ekonomi campuran (Pancasila) yang kegiatan
perekonomiannya mengedepankan nilai-nilai Pancasila salah satunya
kekeluargaan (gotong royong). Dalam sistem ini, pemerintah juga mengawasi
kegiatan yang dilakukan oleh swasta secara umum, agar terhindar dari praktik
kecurangan seperti penipuan, praktik monopoli yang merugikan, serta mafia
perdagangan. Tujuannya, agar tercipta keadilan di tengah-tengah masyarakat.
Dalam pengelolaan sumber daya alam, pemerintah menguasai produksi
barang-barang strategis yang ada di tanah air Indonesia adalah semata-mata untuk
kemakmuran rakyat. Hal tersebut sejatinya sudah diatur dalam konstitusi negara
Indonesia yaitu UUD 1945 lebih tepatnya pada Pasal 33 ayat (3) UUD Negara
Republik Indonesia 1945, yang menyatakan bahwa bumi, air, dan kekayaan alam
yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk
sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. Berdasarkan hal tersebut dapat disimpulkan
bahwa sistem ekonomi campuran (Pancasila) memfokuskan untuk kepentingan
rakyat-rakyatnya. Namun, apakah implementasi dalam realitanya sistem ekonomi
Indonesia layak disebut sebagai sistem ekonomi campuran (Pancasila)? Dari
uraian dan analisis kami di atas, menurut kami sistem ekonomi Indonesia yang
sesuai dengan realitanya cenderung sosialis yang artinya pemerintah memiliki
peranan utama dan terpenting dalam mengatur segala macam kegiatan dan
kebijakan stabilisasi dan komoditas minyak goreng di pasaran.
Menurut kami juga, sistem ekonomi Pancasila yang dianut oleh Indonesia
tidak didasarkan pada konsep manusia yang jelas. Dalam kapitalisme misalnya,
landasan teori manusianya tercermin dalam asumsi homo-economicus, sedangkan
dalam Sosialisme, landasan teorinya adalah konsep homo socius. Karena itu maka
kami cenderung merasa Sosialisme sebagai sistem ekonomi yang dianut oleh
Indonesia. Selain itu menurut kami juga, sistem ekonomi Pancasila itu tidak
memiliki landasan teori yang jelas dan juga menganggap bahwa yang sudah jelas
landasan teorinya sebagai alternatif terhadap kapitalisme adalah Sosialisme.
Namun yang kami maksud di atas adalah Sosialisme yang cocok untuk
Indonesia, yaitu Sosialisme Kerakyatan yang ditawarkan oleh Sutan Sjahrir,
pendiri Partai Sosialis Indonesia (PSI). Pada tahun 1985 Sarbini lebih
mengkongkretkan konsep Sosialisme Kerakyatan pada tingkat kebijaksanaan
menjadi konsep Ekonomi Kerakyatan dalam suatu tulisannya di jurnal ‘Prisma’.
Tapi Ekonomi Kerakyatan bukan suatu sistem ekonomi, melainkan politik
ekonomi.

PENUTUP
Kesimpulan
Minyak goreng dibagi menjadi dua jenis, yaitu nabati dan hewani.
Jenisnya pun beragam yaitu minyak kelapa, minyak kelapa sawit, dan minyak
kedelai. Pembuatan minyak goreng meliputi proses sterilisasi,
stripping/threshing/pemipilan, digesti, ekstraksi minyak, hingga penjernihan atau
clarifier. Adapun kebutuhan akan minyak goreng di Indonesia sebagian besar
didukung oleh Crude Palm Oil (CPO). Selanjutnya, kapasitas pabrik besar dalam
mengolah kelapa sawit menjadi minyak goreng sawit dapat mencapai 1,7 ton/hari.
Terdapat faktor Kritis yang Mempengaruhi Produksi, yaitu mutu CPO,
faktor sosial, harga minyak goreng sawit, jumlah CPO yang diserap industri
minyak goreng sawit, ekspor CPO pada tahun sebelumnya. Kemudian untuk
konsumen minyak goreng meliputi masyarakat, baik bagi kepentingan diri sendiri,
keluarga, orang lain, maupun makhluk hidup lain dan tidak untuk diperdagangkan.
Adapun Sentra dan Volume Produksi Minyak Goreng di Indonesia tersebar di
seluruh wilayah Indonesia.
Beranjak membahas tentang pola konsumsi dimana konsumsi minyak
goreng sawit masyarakat Indonesia terus mengalami pertumbuhan secara
signifikan. Namun, kemudian mengalami ketimpangan. Adapun faktor-faktor
kritis yang mempengaruhi konsumsi, diantaranya peningkatan jumlah penduduk,
perayaan hari-hari besar keagamaan, peningkatan pendapatan perkapita
masyarakat. Selanjutnya, minyak goreng tergolong dalam kategori struktur pasar
oligopolistik. Dan untuk Infrastruktur logistik masih kurang memadai.
Kebijakan pemerintah terkait minyak goreng memiliki dua aspek, yaitu
intervensi secara output dan input. Adapun untuk input berupa domestic market
obligation, pajak ekspor progresif, sedangkan output berupa kebijakan minyakita
dan operasi pasar
Kebijakan Pemerintah Terkait Minyak Goreng memiliki dua aspek, yaitu
intervensi secara output dan input. Adapun untuk input berupa Domestic Market
Obligation, Pajak Ekspor Progresif, sedangkan output berupa Kebijakan
Minyakita dan Operasi Pasar.
DAFTAR PUSTAKA
Akmal Huda Nasution. (2016).
"ANALISIS FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI PAJAK EKSPOR
TERHADAP PERDAGANGAN MINYAK SAWIT DI INDONESIA". 8(1): 61-72.

Annisa Fitri, Fadila Margasaty, Kusmaria, Rini Desfaryani, Vivi Utami Dewi
(2020), “Peramalan Harga Minyak Goreng Di Tengah Pandemi Covid-19 Kota
Bandar Lampung”. Jurnal dwijen AGRO. Vol 10 No 1. Program Studi Agribisnis
Pangan Politeknik Negeri Lampung. Lampung.

Andhika Bayu Alamsyah (~), “Pengaruh Jumlah Uang Beredar (M2), Harga
Cabai Merah Keriting, Harga Gula Pasir, Harga Minyak Goreng Curah Dan
Harga Beras Medium Terhadap Inflasi Di Indonesia Tahun 2011 – 2013”. Jurusan
Ilmu Ekonomi Pembangunan Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Sultan
Ageng Tirtayasa. Serang, Banten.

Astari Wirastuti dan Hamdani Surachman (2009), “Kebijakan Stabilisasi Harga


Minyak Goreng”. Buletin Ilmiah Litbang Perdagangan. Vol 3 No 1. Kementerian
Perdagangan Republik Indonesia.

Bonar M. Sinaga dan I Ketut Ardana (2005), “Struktur Produksi Dan


Kesejahteraan Pelaku Industri Minyak Goreng Indonesia”. Jurnal Sosial
Ekonomi Pertanian dan Agribisnis SOCA. Vol 5 No 1. Fakultas Pertanian
Universitas Udayana. Bali.

Dian Hafizah. "KAJIAN KEBIJAKAN PEMERINTAH INDONESIA DALAM


PERDAGANGAN CPO INDONESIA MENGGUNAKAN PENDEKATAN
ANALISIS INTEGRASI PASAR"

I Ketut Ardana dan Bonar M. Sinaga (2005), “Dampak Kebijakan Domestik Dan
Perubahan Faktor Eksternal Terhadap Industri Minyak Goreng Indonesia”.
Jurnal Littri. Vol 11 No 3. Pusat Penelitian dan Pengembangan Perkebunan serta
Institut Pertanian Bogor. Bogor.
Ketut Sunarta (2010), “Analisis Kebijakan Stabilisasi Harga Minyak Goreng
Indonesia”. Jurnal Ilmiah Manajemen dan Akuntansi Fakultas Ekonomi
(JIMAFE). Fakultas Ekonomi Universitas Pakuan. Bogor.

Khoiru Rizqy Rambe dan Nunung Kusnadi (2018), “Permintaan Dan Penawaran
Minyak Goreng Sawit Indonesia”. Forum Agribisnis. Vol 8 No 1. Departemen
Agribisnis Fakultas Ekonomi dan Manajemen Institut Pertanian Bogor. Bogor.

M. Yusuf Thoyib Wijaya (2008), “Struktur Pasar Industri Minyak Goreng Di


Indonesia Tahun 1998 – 2004”. Department of Development Economic Study
Universitas Muhammadiyah Malang. Malang.

Nita Noriko, Dewi Elfidasari, Analekta Tiara Perdana, Ninditasya Wulandari,


Widhi Wijayanti (2012), “Analisis Penggunaan Dan Syarat Mutu Minyak Goreng
Pada Penjaja Makanan Di Food Court Uai”. Jurnal Al-Azhar Indonesia Seri
Sains Dan Teknologi. Vol 1 No 3. Program Studi Biologi Fakultas Sains dan
Teknologi Universitas Al Azhar Indonesia. Jakarta.

Pemerintah Indonesia. (2021). “Profil Komoditas Minyak Goreng”. Sistem


Pemantauan Pasar Kebutuhan Pokok. Kementerian Perdagangan RI. Jakarta.

Yati Nuryati dan Miftah Farid. (2016). “Analisis Penetapan Kebijakan Harga
Barang Kebutuhan Pokok”. 193-199.

Yuniar Hayu Wintansari. (2020). "Analisis Pertimbangan Hukum Kasus Kartel


Minyak Goreng Di Indonesia". 4(5): 895-911.

https://www.kemenkeu.go.id/publikasi/berita/tarif-ekspor-produk-kelapa-sawit-dis
esuaikan/

https://perpajakan.ddtc.co.id/peraturan-pajak/read/keputusan-menteri-keuangan-1
6km-42021

https://media.neliti.com/media/publications/37388-ID-kajian-kebijakan-pemerinta
h-indonesia-dalam-perdagangan-cpo-indonesia-menggunaka.pdf
https://investor.id/agribusiness/158586/wilmar-gelar-operasi-pasar-minyak-goreng

https://www.merdeka.com/uang/pemerintah-ungkap-ini-penyebab-harga-minyak-
goreng-naik.html

https://ekonomi.bisnis.com/read/20170905/12/687039/dmo-minyak-goreng-produ
sen-segera-diwajibkan-pasok-domestik

PERATURAN MENTERI PERDAGANGAN REPUBLIK INDONESIA


NOMOR 36 TAHUN 2020 TENTANG MINYAK GORENG SAWIT WAJIB
KEMASAN.

Anda mungkin juga menyukai