Penyusun: Kelompok 4
1. Akbar Syafa Nugraha (D0321004)
2. Dara Amarlia Karismaningrum (D0321026)
3. Indyra Bernice Azhary (D0321050)
4. Razita Sabrina Filzah (D0321086)
5. Ryan Putra Saladenta (D0321090)
6. Sahda Alifa Marrelda (D0321110)
7. Syifa Salsabila Amaya (D0321094)
ABSTRAK
PENDAHULUAN
Minyak Goreng masuk dalam daftar nama anggota bahan pokok sembako
sesuai dengan keputusan menteri Industri Perdagangan no.115/mpp/kep/1998
tanggal 27 Februari 1998. Itu artinya kebutuhan akan minyak goreng adalah
sebuah keharusan. Minyak goreng sendiri memiliki komoditas di pasar domestik
yang mana memiliki berbagai jenis dan proses yang berbeda. Sentra dan volume
produksi minyak goreng pun tersebar di seluruh wilayah Indonesia. Selanjutnya
pola produksi minyak goreng dinyatakan dalam kapasitas produksi ton/hari.
Disamping itu, terdapat pula pula faktor-faktor kritis yang mempengaruhi
produksi. Konsumen minyak goreng pun beragam serta pola konsumsi yang
berubah. Hal ini disebabkan adanya faktor-faktor kritis yang mempengaruhi
konsumsi. Struktur pasar lokal juga akan dibahas. Ditambah dengan bagaimana
Infrastruktur logistik.
Dengan adanya pembahasan di atas maka perlu adanya kebijakan pemerintah
terkait minyak goreng, agar terlahir stabilitas harga. Namun, dengan adanya
kebijakan pemerintah, maka akan timbul pengaruh terhadap perekonomian
Indonesia.
PEMBAHASAN
● Komoditas Minyak Goreng di Pasar Domestik
Secara general, terdapat dua jenis minyak goreng. Pertama, minyak nabati
atau minyak goreng yang berasal dari tumbuhan. Contoh minyak goreng jenis ini
yaitu minyak kelapa sawit, minyak kelapa, minyak jagung, minyak kedelai,
minyak zaitun, dan lain sebagainya. Kedua, minyak hewani atau minyak goreng
yang dihasilkan dari hewan. Minyak hewani dapat meliputi tallow yang
merupakan minyak atau lemak sapi dan lard yang merupakan minyak atau lemak
babi.
Selain asam lemak jenuh (stearin) dan asam lemak tak jenuh (olein)
sebagai komponen utama, minyak goreng yang dihasilkan dari kelapa sawit juga
mengandung komposisi lain. Komponen minor tersebut memiliki porsi sekitar 1%
serta mencakup karoten, vitamin E, sterol, fosfolipid, glikolipid, terpen, dan
hidrokarbon alifatik. Karoten dan vitamin E yang terdapat dalam minyak goreng
sawit dapat berkontribusi pada sifat fisiologis yang penting pada tubuh.
Rendemen
a. Mutu CPO
b. Faktor sosial
Konsumen adalah setiap orang pemakai barang atau jasa yang tersedia
dalam masyarakat, baik bagi kepentingan diri sendiri, keluarga, orang lain,
maupun makhluk hidup lain dan tidak untuk diperdagangkan Tujuan konsumsi
adalah sebagai berikut :
a. Mengurangi Nilai Guna Suatu Barang Ataupun Jasa Secara Bertahap.
b. Menghabiskan Atau Mengurangi Nilai Guna dari Suatu Barang Atau Jasa
Secara Sekaligus.
c. Memuaskan Kebutuhan Konsumen Secara Fisik.
d. Memuaskan Kebutuhan Konsumen Secara Rohani.
Terlepas dari itu semua, konsumen minyak goreng yang terbuat dari kelapa
sawit memegang peranan lebih menonjol daripada minyak goreng yang terbuat
dari minyak nabati. Hal ini dapat dilihat bahwa konsumsi minyak goreng terbuat
dari kelapa sawit sebesar 2.65 juta ton, dari kelapa sebesar 0.66 juta ton
sedangkan sisanya dari kedelai, jagung maupun bunga matahari sebesar 0.073 ton.
Pola Konsumsi
Infrastruktur Logistik
Menurut GIMNI (2010), infrastruktur logistik untuk mendukung
transportasi CPO ke pabrik-pabrik minyak goreng tidak memadai. Lebih jauh
Menurut GIMNI (2010), tingginya biaya angkut (transportasi) ini berkaitan
dengan hal-hal sebagai berikut :
Jadi, kini peraturan dan kebijakan PPN ditanggung pemerintah atas minyak
goreng sawit curah ini sudah tidak berlaku lagi. Maka, untuk minyak goreng sawit
itu sendiri kini sudah kembali dikenakan PPN.
3. Kebijakan Minyakita
Intervensi kebijakan dari sisi output minyak goreng sawit dilakukan
melalui kebijakan program Minyakita, dan hasil studi menemukan bahwa
kebijakan ini relatif tidak berpengaruh terhadap penurunan harga minyak goreng
di dalam negeri. Implementasi kebijakan Minyakita relatif belum menurunkan
harga minyak goreng (terutama kemasan) di pasar domestik dikarenakan substansi
kebijakan tersebut praktis hanya akan dimanfaatkan para pelaku usaha dalam
industri bersangkutan dalam mendiferensiasi produknya di pasar.
Dalam menjalankan kebijakan program Minyakita terdapat istilah “kartel”
yaitu suatu organisasi yang tergabung dari beberapa pelaku usaha yang bertujuan
untuk mempengaruhi harga dan/atau untuk mengatur pasokan suatu produk
tertentu ke dalam pasar sehingga mereka dapat mendapatkan keuntungan yang
lebih melalui cara tersebut. Pada dasarnya kartel dapat didefinisikan secara sempit
maupun secara luas. Secara sempit, kartel merupakan sekelompok perusahaan
yang seharusnya saling bersaing, akan tetapi mereka justru bekerja sama untuk
menetapkan harga dengan tujuan meraih keuntungan monopolis.3 Dalam
pengertian luas, kartel merupakan perjanjian di antara dua atau lebih pelaku usaha
yang melakukan suatu koordinasi perilaku atau tindakan dengan cara membagi
pasar, mengalokasikan pelanggan, dan menetapkan harga.
Kartel merupakan salah satu jenis perjanjian yang dilarang karena dapat
menimbulkan persaingan usaha tidak sehat menurut Undang-Undang Nomor 5
Tahun 1999 tentang Larangan Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat.
Kartel adalah persekongkolan atau persekutuan di antara beberapa pelaku usaha
sejenis dengan maksud mengontrol harga, produksi dan penjualannya, serta
memperoleh posisi monopoli. Dalam pasar yang berstruktur oligopoli, kartel
dapat lebih mudah untuk tumbuh dan berkembang karena di dalam pasar tersebut
hanya terdapat beberapa pelaku usaha saja, kemungkinan pelaku usaha
bekerjasama untuk menentukan harga produk dan jumlah produksi dari
masing-masing pelaku usaha menjadi lebih besar. Anggota dari asosiasi kartel
dapat menetapkan suatu harga ataupun suatu persyaratan tertentu atas suatu
produk dengan tujuan menghambat persaingan yang bertujuan untuk meraup
keuntungan yang sama besar antara sesama anggota himpunan. Dengan adanya
kualifikasi perjanjian kartel tersebut asosiasi kartel mengharapkan suatu hambatan
bisnis terjadi sehingga sulit bagi pesaing baru untuk masuk ke dalam pasar.
Salah satu contoh persaingan usaha yang tidak sehat adalah praktek kartel
minyak goreng yang dilakukan oleh 20 pelaku usaha minyak goreng di Indonesia.
Mereka terbukti melakukan kartel harga karena melanggar ketentuan Pasal 4,
Pasal 5 dan Pasal 11 UU No. 5 Tahun 1999 yang terdapat dalam putusan KPPU
No. 24/KPPU-I/2009. Praktek kartel tersebut mengakibatkan adanya kerugian
yang diderita oleh masyarakat setidak-tidaknya sebesar Rp. 1.270.000.000.000,00
untuk produk minyak goreng kemasan bermerek dan Rp. 374.300.000.000,00
untuk produk minyak goreng curah.
Kasus tersebut terkait dengan gejolak harga CPO dunia yang secara
faktual mempengaruhi terjadinya harga minyak goreng di pasar domestik.
Naiknya harga CPO dari kisaran harga US$ 1.300/ton menjadi alasan logis
tentang naiknya harga minyak goreng sawit di pasar domestik yang saat itu dari
kisaran harga Rp. 7.000/kg menjadi Rp. 12.900/kg. Namun ketika terjadi
penurunan harga di pasar dunia, harga minyak goreng pada pasar domestik tidak
merespon secara proporsional sehingga hal tersebut yang melatarbelakangi
dugaan terjadinya praktek persaingan usaha tidak sehat yang dilakukan oleh para
pelaku usaha minyak goreng di Indonesia.
Putusan KPPU tersebut sayangnya ditolak oleh Pengadilan Negeri dan
setelah melakukan pengajuan kasasi, Mahkamah Agung juga menolak putusan
KPPU atas keberatan yang dilakukan 20 produsen minyak goreng yang menjadi
terlapor. Pengadilan Negeri dan Mahkamah Agung menolak putusan KPPU
karena terkait dengan syarat materiil yang tidak terpenuhi oleh penggugat
(KPPU). Terkait hal ini, pembuktian kartel yang terdapat dalam Pasal 11 UU No.
5 Tahun 1999 menggunakan pendekatan rule of reason dimana suatu perjanjian
kartel baru dapat dikatakan melanggar peraturan perundang-undangan apabila
dalam praktik kartel tersebut dapat terbukti mengakibatkan adanya kerugian atau
membuat persaingan usaha menjadi tidak sehat. Selain menggunakan alat bukti
langsung dalam pembuktian, pendekatan rule of reason juga menggunakan
indirect evidence atau alat bukti tidak langsung yaitu bukti analisa ekonomi dan
bukti komunikasi. Akan tetapi, hukum acara di Pengadilan Negeri dan Mahkamah
Agung tidak mengenal adanya pembuktian ekonomi.
Kasus praktek kartel dalam kebijakan Minyakita ini, sebagaimana
dibuktikan oleh KPPU, merugikan masyarakat dengan adanya bukti-bukti yang
telah didapat oleh KPPU. Akan tetapi, bukti-bukti yang didapat oleh KPPU
tersebut ternyata tidak terdapat dalam hukum acara pada pengadilan umum,
keadaan yang tidak sinkron antara peradilan di KPPU dan peradilan umum
tersebut sangat menghambat proses untuk memperoleh keadilan bagi masyarakat
umum dan proses peradilan di KPPU dari mulai penyidikan sampai dengan
eksekusi menjadi sebuah tindakan yang membuang waktu dan dapat dikatakan
sebagai peraturan hukum yang tidak mempunyai asas kepastian, kemanfaatan, dan
efisiensi hukum.
PENUTUP
Kesimpulan
Minyak goreng dibagi menjadi dua jenis, yaitu nabati dan hewani.
Jenisnya pun beragam yaitu minyak kelapa, minyak kelapa sawit, dan minyak
kedelai. Pembuatan minyak goreng meliputi proses sterilisasi,
stripping/threshing/pemipilan, digesti, ekstraksi minyak, hingga penjernihan atau
clarifier. Adapun kebutuhan akan minyak goreng di Indonesia sebagian besar
didukung oleh Crude Palm Oil (CPO). Selanjutnya, kapasitas pabrik besar dalam
mengolah kelapa sawit menjadi minyak goreng sawit dapat mencapai 1,7 ton/hari.
Terdapat faktor Kritis yang Mempengaruhi Produksi, yaitu mutu CPO,
faktor sosial, harga minyak goreng sawit, jumlah CPO yang diserap industri
minyak goreng sawit, ekspor CPO pada tahun sebelumnya. Kemudian untuk
konsumen minyak goreng meliputi masyarakat, baik bagi kepentingan diri sendiri,
keluarga, orang lain, maupun makhluk hidup lain dan tidak untuk diperdagangkan.
Adapun Sentra dan Volume Produksi Minyak Goreng di Indonesia tersebar di
seluruh wilayah Indonesia.
Beranjak membahas tentang pola konsumsi dimana konsumsi minyak
goreng sawit masyarakat Indonesia terus mengalami pertumbuhan secara
signifikan. Namun, kemudian mengalami ketimpangan. Adapun faktor-faktor
kritis yang mempengaruhi konsumsi, diantaranya peningkatan jumlah penduduk,
perayaan hari-hari besar keagamaan, peningkatan pendapatan perkapita
masyarakat. Selanjutnya, minyak goreng tergolong dalam kategori struktur pasar
oligopolistik. Dan untuk Infrastruktur logistik masih kurang memadai.
Kebijakan pemerintah terkait minyak goreng memiliki dua aspek, yaitu
intervensi secara output dan input. Adapun untuk input berupa domestic market
obligation, pajak ekspor progresif, sedangkan output berupa kebijakan minyakita
dan operasi pasar
Kebijakan Pemerintah Terkait Minyak Goreng memiliki dua aspek, yaitu
intervensi secara output dan input. Adapun untuk input berupa Domestic Market
Obligation, Pajak Ekspor Progresif, sedangkan output berupa Kebijakan
Minyakita dan Operasi Pasar.
DAFTAR PUSTAKA
Akmal Huda Nasution. (2016).
"ANALISIS FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI PAJAK EKSPOR
TERHADAP PERDAGANGAN MINYAK SAWIT DI INDONESIA". 8(1): 61-72.
Annisa Fitri, Fadila Margasaty, Kusmaria, Rini Desfaryani, Vivi Utami Dewi
(2020), “Peramalan Harga Minyak Goreng Di Tengah Pandemi Covid-19 Kota
Bandar Lampung”. Jurnal dwijen AGRO. Vol 10 No 1. Program Studi Agribisnis
Pangan Politeknik Negeri Lampung. Lampung.
Andhika Bayu Alamsyah (~), “Pengaruh Jumlah Uang Beredar (M2), Harga
Cabai Merah Keriting, Harga Gula Pasir, Harga Minyak Goreng Curah Dan
Harga Beras Medium Terhadap Inflasi Di Indonesia Tahun 2011 – 2013”. Jurusan
Ilmu Ekonomi Pembangunan Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Sultan
Ageng Tirtayasa. Serang, Banten.
I Ketut Ardana dan Bonar M. Sinaga (2005), “Dampak Kebijakan Domestik Dan
Perubahan Faktor Eksternal Terhadap Industri Minyak Goreng Indonesia”.
Jurnal Littri. Vol 11 No 3. Pusat Penelitian dan Pengembangan Perkebunan serta
Institut Pertanian Bogor. Bogor.
Ketut Sunarta (2010), “Analisis Kebijakan Stabilisasi Harga Minyak Goreng
Indonesia”. Jurnal Ilmiah Manajemen dan Akuntansi Fakultas Ekonomi
(JIMAFE). Fakultas Ekonomi Universitas Pakuan. Bogor.
Khoiru Rizqy Rambe dan Nunung Kusnadi (2018), “Permintaan Dan Penawaran
Minyak Goreng Sawit Indonesia”. Forum Agribisnis. Vol 8 No 1. Departemen
Agribisnis Fakultas Ekonomi dan Manajemen Institut Pertanian Bogor. Bogor.
Yati Nuryati dan Miftah Farid. (2016). “Analisis Penetapan Kebijakan Harga
Barang Kebutuhan Pokok”. 193-199.
https://www.kemenkeu.go.id/publikasi/berita/tarif-ekspor-produk-kelapa-sawit-dis
esuaikan/
https://perpajakan.ddtc.co.id/peraturan-pajak/read/keputusan-menteri-keuangan-1
6km-42021
https://media.neliti.com/media/publications/37388-ID-kajian-kebijakan-pemerinta
h-indonesia-dalam-perdagangan-cpo-indonesia-menggunaka.pdf
https://investor.id/agribusiness/158586/wilmar-gelar-operasi-pasar-minyak-goreng
https://www.merdeka.com/uang/pemerintah-ungkap-ini-penyebab-harga-minyak-
goreng-naik.html
https://ekonomi.bisnis.com/read/20170905/12/687039/dmo-minyak-goreng-produ
sen-segera-diwajibkan-pasok-domestik