Anda di halaman 1dari 18

Makalah Kepemimpinan

“Makalah ini diajukan untuk memenuhi salah satu tugas mata kuliah Kepemimpinan”

TEORI ATRIBUSI KEPEMIMPINAN DAN KEPEMIMPINAN TRANFORMASIONAL

Disusun Oleh:

Erlin S. Uge (931419023)

Fidya Balu ( 931419173 )

Abdul Qadar

PRODI S1 MANAJEMEN

FAKULTAS EKONOMI

UNIVERSITAS NEGERI GORONTALO

2021
KATA PENGANTAR

Segala puji bagi Allah SWT berkat rahmat-Nya kami di berikan kesehatan untuk
menyelesaikan tugas-tugas perkuliahan. Dan berkat ridho-Nya pula kami diberi kekuatan untuk
membuat makalah yang berjudul “Teori Atribusi Kepemimpinan dan Teori
Tranformasional”  dalam rangka memenuhi tugas mata kuliah Kepemimpinan.
Karena kami masih dalam tahap pembelajaran, tentunya kami secara sadar mengakui
masih banyak kekurangan, untuk itu kami mohon kritik dan sarannya untuk membangun
kesempurnaan makalah ini. Dan dalam hal ini kami memohon maaf apabila terjadi kesalahan
dalam penulisan makalah ini. Semoga makalah ini bermanfaat bagi kita semua. Amiin.

Gorontalo, 6 Oktober 2021


DAFTAR ISI
BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Manusia adalah makhluk Tuhan yang paling tinggi disbanding makhluk Tuhan lainnya.
Manusia di anugerahi kemampuan untuk berpikir, kemampuan untuk memilah dan memilih
mana yang baik dan mana yang buruk. Dengan kelebihan itulah manusia seharusnya mampu
mengelola lingkungan dengan baik. Manusia merupakan makhluk sosial yang tidak dapat hidup
sendiri.Manusia selalu berinteraksi dengan lingkungan, manusia hidup berkelompok. Hidup
dalam kelompok tentulah tidak mudah. Untuk menciptakan kondisi kehidupan yang harmonis
anggota kelompok haruslah saling menghormati dan menghargai. Keteraturan hidup perlu selalu
dijaga. Hidup yang teratur adalah impian setiap insan. Menciptakan dan menjaga kehidupan yang
harmonis adalah tugas manusia.

1.2 Rumusan Masalah


1.Bagaimana teori atribusi kepemimpinan?
2.Bagaimana kepemimpinan transformasional?

1.3 Tujuan

Adapun tujuan dari makalah ini adalah sebagai pemenuhan tugas kelompok mata kuliah
Kepemimpinan dan agar kita memahami lebih lanjut dan mengetahui tentang Teori Atribusi
Kepemimpinan dan Kepemimpinan Transformasional.
BAB II PEMBAHASAN

2.1 Teori Atribusi Kepemimpinan

Teori atribusi kepemimpianan merupakan salah satu bagian dari teori kepemimpinan
kontemporer. Atribusi adalah sebuah teori yang membahas tentang upaya-upaya yang dilakukan
untuk memahami penyebab-penyebab perilaku kita dan orang lain. Definisi formalnya, atribusi
berarti upaya untuk memahami penyebab di balik perilaku orang lain, dan dalam beberapa kasus
juga penyebab di balik perilaku kita sendiri.
Teori Atribusi Kepemimpinan mengemukakan bahwa kepemimpinan adalah kemampuan
pemimpin mengelola sifat-sifat/ciri/latar belakang orang-orang yang dipimpinnya sehingga dapat
dipengaruhi untuk melakukan sesuatu demi kepentingan organisasi. Untuk mencapai
kepemimpinan yang efektif seorang pemimpin harus memiliki kemampuan untuk mempengaruhi
perilaku para bawahannya, ia mutlak perlu mengenali karakteristik, kepentingan, kebutuhan,
kecenderungan perilaku dan kemampuan mereka.
Untuk mencapai kepemimpinan yang efektif seorang pemimpin harus memiliki
kemampuan untuk mempengaruhi perilaku para bawahannya, ia mutlak perlu mengenali
karakteristik, kepentingan, kebutuhan, kecenderungan perilaku dan kemampuan mereka.
Melakukan hal tersebut jelas tidak mudah karena sesungguhnya manusia adalah mahluk yang
sangat kompleksitas. Kemampuan kepemimpinan yang fenomenal dan cerdas merupakan dasar
pemikiran dari teori atribusi kepemimpinan.
Pengertian Atribusi adalah :
1) Suatu sifat yang menjadi ciri khas suatu benda atau orang atau dapat pula diartikan sebagai
suatu proses bagaimana seseorang atau seorang pemimpin mencari kejelasan sebab-sebab dari
perilaku orang lain atau bawahan.
2) Atribusi juga merupakan sebuah teori kognitif yang digunakan untuk menjelaskan bagaimana
seorang manajer atau pimpinan menginterpretasikan informasi mengenai kinerja seorang
bawahan dan memutuskan bagaimana akan bereaksi terhadap bawahan tersebut.
3) Persepsi sosial yang menjelaskan apa yang ada dibalik gejala/sikap/perilaku yang tampak
secara inderawi pada individu. Sementara itu,
4) Atribusi disposesi adalah kemampuan, keterampilan atau motivasi internal pada individu yang
secara umum diidentifikasikan dengan perilaku seseorang/individu.
Namun, seringkali terdapat kesalahan persepsi atau kesimpulan yang salah dalam menilai
perilaku orang lain. Hal ini dapat ditemui dalam kehidupan sehari-hari, kita sering mengamati
perilaku orang lain dan segera mengambil kesimpulan dengan tidak berusaha mencari kejelasan
apa yang menyebabkan perilaku orang tersebut menjadi seperti itu dan tidak jarang dalam
mempersepsikan perilaku orang lain tersebut sesuai gambaran yang hanya terlihat saja, misalnya
apabila melihat orang memakai baju merah, orang tersebut dipersepsikan sedang senang hatinya
atau sedang jatuh cinta dan apabila memakai baju hitam dipersepsikan sedang berduka.
Dalam pengertian atribusi, persepsi yang tidak didasarkan pada suatu penyebab (alasan
tertentu) tingkat subjektivitasnya tinggi, kecuali bilamana orang yang memakai baju merah
tersebut karena warna merah merupakan warna favoritnya begitu pula dengan baju hitam. Ia
memakainya karena ada keluarganya meninggal, penyebab itulah yang mempunyai nilai atribusi.
Di samping itu sering pula terjadi distorsi persepsi antara orang yang satu dengan orang yang
lain dalam menilai perilaku orang lain. Hal ini dikarenakan penyebab kesalahan dicari dari
perilaku orangnya bukan dari penyebab lingkungannya.
Ada beberapa Teori Atribusi, di antaranya yang hingga kini masih diakui oleh banyak orang,
yaitu berikut ini.
1. Teori Penyimpulan Terkait (correspondence Inference), yakni perilaku orang lain merupakan
sumber informasi yang kaya. Perilaku yang diamati secara khusus adalah :
a. Perilaku yang timbul karena kemampuan orang itu sendiri, contoh : kasir yang cemberut,
satpam yang tersenyum.
b. Perilaku yang membuahkan hasil yang tidak lazim, contoh : kebiasaan ibu “P” selalu bekerja
individual dan hanya dapat bekerja maksimal pada waktu sore hari.
c. Perilaku yang tidak biasa, contoh: seorang pelayan toko menunjukkan toko lain yang
merupakan saingannya kepada pelanggannya.
2. Teori Sumber Perhatian dalam Kesadaran (conscious intentional resources) bahwa proses
persepsi terjadi dalam kognisi orang yang melakukan persepsi (pengamatan). Menurut Gilbert
dkk (1988), atribusi kesadaran ini harus melewati tiga tahapan, yaitu: kategorisasi, karakterisasi,
& koreksi.
3. Teori atribusi internal dan eksternal dikemukakan oleh Kelly & Micella, 1980, yaitu teori yang
berfokus pada akal sehat. Menurut teori ini ada tiga hal yang perlu diperhatikan, apakah suatu
perilaku beratribusi internal atau eksternal, yaitu:
a. konsensus;
b. konsistensi;
c. distingsi atau kekhususan.

Kelley (1967: 193 dalam Gibson, 1992:367) menekankan bahwa teori atribusi terutama
menyangkut proses kognitif dimana seseorang mengartikan perilaku sebagai disebabkan oleh
(atau diatribusikan dengan) petunjuk tertentu dalam lingkungan yang relevan. Penekanan teori
ini adalah pada “mengapa” bukan apa, yang membuat perilaku tertentu terjadi. Yang dibidik
adalah alasan sebuah perilaku terjadi.
Berkenaan dengan posisi pemimpin, Green dan Mitchell (1979 dalam Miner, 2005)
menjelaskan bahwa pemimpin, pada dasarnya, adalah seorang pengolah informasi (information
processor) dimana atribusi-atribusi kausal yang tidak dibuat-buat berperan sebagai penengah
antara perilaku bawahan (subordinates) dan perilaku pemimpin. Pemimpin sebagai pengolah
informasi bertugas untuk mencari berbagai petunjuk yang sifatnya informatif yang menjelaskan
alasan terjadinya sesuatu (perilaku). Dari petunjuk yang diperolehnya, pemimpin selanjutnya
mencoba menata penjelasan kausal sebagai pedoman bagi perilaku kepemimpinannya (Gibson,
1992: 366).
Dalam konteks ketribusian, tugas utama pemimpin adalah mengategorikan penyebab
perilaku pengikut atau bawahan ke dalam tiga dimensi sumber: orang, kesatuan (entity), atau
keadaan di sekitar yang mengelilingi sebuah peristiwa (context). Penyebab (cause) dari sebuah
peristiwa/kejadian, dalam hal ini perilaku bawahan, sangat beragam baik selama dan setelah
peristiwa itu terjadi, bukannya bersifat tetap/stabil—prinsip kovariasi. Ada tiga informasi yang
harus diperoleh oleh pemimpin berkaitan dengan perilaku (seorang) pengikut ketika pemimpin
membentuk atribusi tentang kekhususan (distinctiveness), konsistensi (consistency) dan
consensus (consensus). Ketiga informasi ini diperoleh dalam konteks proses-proses atribusi
dalam interaksi antara pemimpin dengan yang dipimpin.
Informasi tentang kekhususan bisa digali dengan mengajukan pertanyaan,”Apakah
perilaku ini terjadi hanya dalam tugas tersebut tetapi tidak terjadi dalam tugas yang lain?
Selanjutnya, konsistensi digali melalui pertanyaan,”Seberapa sering perilaku itu terjadi? dan
yang terakhir, mengenai consensus, pemimpin bisa mengajukan pertanyaan penggali,”Apakah
perilaku itu hanya dilakukan oleh seseorang tertentu saja, atau, apakah orang lain yang ada di
dalam organisasi juga menunjukkan dan melakukan perilaku yang sama? Kepemimpinan atribusi
mengacu kepada model berikut ini:

Model Dasar Atribusi

Diagram model dasar atribusi yang dikemukakan oleh Green dan Mitchell (1979 dalam
Miner, 2005) menggambarkan delapan hal terkait pemimpin dalam konteks atribusi dalam
kepemimpinan. Kedelapan hal tersebut merupakan kontribusi pokok (essensial) teori atribusi
dalam teori kepemimpinan secara umum. Delapan kontribusi tersebut semuanya berhubungan
dengan pemimpin. Delapan kontribusi tersebut adalah (Green dan Milne, 1979:451-52 dalam
Milne, 2005):
 Pertama, pemimpin bisa dipandang sebagai ilmuwan yang sedang dalam proses
pengujian hipotesis dengan mengumpulkan informasi dan mencari penjelasan-
penjelasan mengenai apa yang menyebabkan perilaku dan performansi dari
anggota/orang yang dipimpin.
 Kedua, perilaku pemimpin lebih ditentukan oleh konsistensi dan kekhususan
informasi tentang performansi orang yang dipimpin daripada informasi
consensus. Manakala yang digunakan adalah informasi consensus, kemungkinan
terbesarnya adalah informasi consensus itu adalah consensus pribadi pemimpin,
bukan konsensus kolektif.
 Ketiga, karena pemimpin lebih cenderung menjelaskan performansi orang yang
dipimpinnya dengan lebih mengacu kepada penyebab-penyebab internal bukan
penyebab eksternal, maka perilaku pemimpin lebih diarahkan kepada orang yang
dipimpin daripada faktor-faktor situasi. Karena orang yang dipimpin lebih
cenderung menjelaskan performansinya dengan mengacu kepada penyebab-
penyebab eksternal, yang berbalikan dengan penilaian pemimpin, maka perbedaan
ini dan perilaku pemimpin menjadi sumber utama terjadinya konflik dan
kesalahan komunikasi (miscommunication) antara pemimpin dengan orang yang
dipimpin.
 Kontribusi keempat berkaitan dengan kontrol dan stabilitas. Teori atribusi
memandang latar control (locus of control) dan stabilitas merupakan dua dimensi
kritis dari atribusi kausal yang menengahi/menjembatani respon pemimpin
dengan performansi orang yang dipimpin. ada lima hal terkait pemimpin yang
menjadi bagian dari control dan stabilitas.
Yang pertama adalah, seorang pemimpin memusatkan tindakan-
tindakannya pada faktor-faktor situasi manakala ia memandang performansi
disebabkan oleh berbagai penyebab internal. Contoh tindakan yang diambil
pemimpin untuk mengatasi hal ini adalah, merekomendasikan orang yang
dipimpinnya untuk mengikuti pelatihan kalau pemimpin menilai masalah
performansi timbul karena kurangnya pengetahuan orang yang dipimpinnya.
Hal kedua yang harus diperhartikan adalah, seorang pemimpin
memusatkan tindakannya pada faktor-faktor situasi manakala ia memandang
masalah performansi bawahannya timbul sebagai akibat dari penyebab eksternal.
Ketika pemimpin menemuai hal semacam ini, maka tindakan yang diambilnya
adalah, salah satunya, mengubah prosedur kerja kalau memang terbukti secara
obyektif bahwa prosedur kerja yang sudah ada sangat sulit dilakukan oleh
sebagian besar karyawan.
Evaluasi adalah hal ketiga yang perlu diperhatikan. Evaluasi pemimpin
terhadap performansi terkini (present performance) anak buahnya sangat
dipengaruhi oleh atribusi tentang upaya (internal, tidak stabil). Pemimpin menilai
baik buruknya kinerja anak buahnya berdasarkan informasi atribusi yang sudah
dimilikinya. Ketika informasi yang dimiliki pemimpin menyatakan bahwa
seseorang kurang atau tidak stabil kinerjanya, hal itu mengarahkan pemimpin
untuk memberikan penilaian minus terhadap kondisi kinerja anak buahnya saat
itu.
Setelah melakukan evaluasi terhadap kinerja terkini orang yang
dipimpinnya, sebagai akibatnya adalah, pemimpin bisa berperilaku sebagai orang
yang semakin mudah memberikan penghargaan (apabila kinerja terkini
bawahannya dinilai memuaskan) atau sebaliknya. Perilaku ini sangat dipengaruhi
oleh bagaimana penilaian pemimpin terhadap upaya yang dilakukan bawahannya
dalam melakukan dan menyelesaikan tugas-tugas mereka. Hal terakhir terkait
kinerja adalah, harapan pemimpin akan kinerja masa mendatang (future
performance) bawahannya sangat dipengaruhi oleh stabil tidaknya atribusi;
semakin stabil penyebab (kemampuan) maka semakin besar harapan pemimpin
akan konsistensi kinerja bawahannya pada masa yang akan datang.
 Kontribusi kelima berkaitan dengan proses atribusi yang secara langsung
berhubungan dengan seberapa besar tingkat ketidakpastian yang dialami oleh
seorang pemimpin dalam upayanya mengelola bawahannya.
Seorang pemimpin bisa menjadi tidak pasti karena berbagai sebab.
Ketidakpastian yang dialami oleh pemimpin membuatnya semakin berupaya keras
untuk mengetes bawahannya dan hasilnya adalah pemimpin tidak perlu
melakukan tindakan–tindakan yang terlalu berlebihan.
Disamping itu, penjelasan-penjelasan yang tidak stabil/berubah-ubah
mengenai penyebab, yang disertai dengan atribusi-atribusi eksternal yang tidak
stabil/berubah-ubahlah, yang menyebabkan ketidakpastian bagi pemimpin.
 Kontribusi keenam adalah mengenai hubungan antara pemimpin dan bawahan.
Dalam kerangka ini dipahami bahwa hubungan antara pemimpin dan bawahan
adalah penengah kritis dari atribusi-atribusi pemimpin dan perilaku yang
mengikuti. Ada tiga komponen yang terkandung dan menghubungkan keduanya,
yaitu:
Yang pertama adalah, ketika pemimpin sangat berempati dengan
bawahannya, memandang semua bawahannya sama, menghargai dan/atau
menyukai bawahannya, maka pemimpin akan membuat atribusi-atribusi yang
“baik” bagi performansi bawahan (mis. Mengatribusikan keberhasilan dengan
penyebab internal dan kegagalan disebabkan oleh faktor eksternal). Sebaliknya,
semakin jauh pemimpin dengan bawahannya (mis. Kekuasaannya semakin besar),
maka semakin berpotensi pemimpin membuat atribusi-atribusi kausal “yang tidak
baik” mengenai kinerja orang yang dipimpinnya. Pada akhirnya, atribusi-atribusi
yang baik akan membuat pemimpin mudah memberikan penghargaan dan tidak
mudah memberikan hukuman. Atribusi yang tidak baik menghasilkan pemimpin
berperilaku sebaliknya—tidak baik, dalam hubungannya dengan bawahan dan
penilaian hasil kerja mereka.
 Hak ketujuh yang dinyatakan sebagai kontibusi teori atribusi untuk
kepemimpinan adalah ekspektasi atau harapan pemimpin akan kinerja
bvawahannya. Interaksi antara harapan pemimpin akan kinerja bawahannya
berinteraksi dengan kinerja actual bawahan menentukan atribusi pemimpin.
Pemimpin akan mengatribusikan kinerja bawahannya dengan penyebab-penyebab
internal (mis. usaha/upaya) manakala apa yang diharapkan sejalan atau konsisten
dengan kinerja yang ditunjukkan. Sebaliknya, pemimpin akan mengatrinusikan
kinerja anak buahnya dengan penyebab-penyebab luar (mis. keberuntungan)
manakala diketahui ada inkonsistensi antara apa yang diharapkan dengan kinerja
yang ditunjukkan.
 Kontribusi kedelapan dan yang terakhir adalah keterkaitan antara dampak
perilaku bawahan dan kesimpulan pemimpin mengenai tingkat tanggungjawab
bawahan terhadap tugas yang diberikan atasan. Perilaku dan tanggung jawab kerja
bawahan memengaruhi sikap apa yang akan diambil oleh pemimpin. Semakin
ektrim dampak yang ditimbulkan oleh perilaku dan tanggung jawab kerja
bawahan, semakin ektrim pula respon pemimpin. Semakin besar tanggung jawab
pemimpin atas orang yang dipimpinnya, semakin besar kemungkinan pemimpin
melakukan tindakan untuk orang yang dipimpinnya dan semakin besar pula
responnya.

Merujuk kepada uraian di atas dan fakta bahwa teori atribusi memersepsi kepemimpinan
hanyalah atribut yang dibuat orang tentang orang-orang lain (Robbins, 2007) dan yang dalam
analisis terhadap perilaku bawahan atau pengikut yang penyebabnya tidak bisa diamati secara
langsung sehingga yang diandalkan adalah sepenuhnya persepsi, pertanyaan yang muncul
adalah, cukupkah seorang pemimpin bisa menjadi dan dapat dikatakan sebagai pemimpin yang
efektif dalam kerangka teori atribusi hanya atas dasar kemampuannya untuk memersepsi gejala
atau fenomena yang ada di sekitar perilaku bawahannya?
Tidak cukup. Kemampuan memersepsi saja sangat tidak mencukupi untuk membuat
seorang pemimpin menjadi pemimpin yang efektif. Dalam teori atribusi, pemimpin dikatakan
efektif adalah orang yang bisa memroyeksikan penampilan sebagai seorang pemimpin daripada
berfokus pada prestasi actual (Robbins, 2007:487). Akibatnya, para calon pemimpin berusaha
membentuk persepsi bahwa mereka itu cerdas, tampan, mahir berbicara, agresif, kerja keras dan
konsisten gayanya. Tindakan ini dilakukan untuk meningkatkan citra mereka sebagai pemimpin
yang efektif di mata bos, rekan kerja dan karyawannya. Apakah semuanya ini sudah mencukupi?
Belum. Selain membutuhkan perjalanan panjang, calon pemimpin harus memiliki
beberapa karakteristik yang diungkapkan Tannenbaum dan Schmidt (1958 dalam Purnama,
2005), berdasarkan penelitian yang dilakukan terhadap 161 manajer yang merupakan peserta
Program Pendidikan Manajemen pada Sekolah Bisnis Harvard. Karakteristik yang dimaksud
adalah pemimpin yang efektif mampu:
1. Mengembangkan, melatih dan mengayomi bawahan.
2. Berkomunikasi secara efektif dengan bawahan.
3. Memberikan informasi kepada bawahan mengenai apa yang diharapkan perusahaan dari
mereka.
4. Menetapkan standar hasil kerja yang tinggi.
5. Mengenali bawahan beserta kemampuannya.
6. Memberi peranan kepada para bawahan dalam proses pegambilan keputusan.
7. Selalu member informasi kepada bawahan mengenai kondisi perusahaan.
8. Waspada terhadap kondisi moral perusahaan dan selalu berusaha untuk meningkatkannya.
9. Bersedia melakukan perubahan dalam melakukan sesuatu, dan
10. Menghargai prestasi bawahan.
Inilah hal-hal yang mutlak harus dilakukan pemimpin dalam kegiatan kepemimpinannya
selain juga harus memiliki kompetensi yang dirangkum menjadi lima dimensi kepemimpinan
yaitu reason, source of power, knowledge, core leadership functions, dan character (Hitt, 1993
dalam Purnama, 2005). Kemampuan memersepsi, karakteristik dan kompetensi inilah yang
secara bersama-sama menggerakkan seseorang untuk menjadi pemimpin yang efektif.
Aplikasi Teori Atribusi
Salah satu masalah yang harus diselesaikan oleh pemimpin terkait dengan kinerja
bawahannya adalah rendahnya kinerja bawahan. Sebelum sampai ke pemecahan masalah,
pemimpin harus lebih dahulu memngetahui pendekatan yang akan dipakai berdasarkan acuan
teori atribusi.
Premis dasar pendekatan atribusi terhadap tindakan adalah gagasan atau pemikiran umum
bahwa sebuah penyebab dari sebuah tindakan tertentu menentukan perilaku yang mengiringi.
Dalam konteks pemecahan masalah rendahnya kinerja bawahan, pemimpin harus lebih dahulu
menemukan penyebab masalah (Weiner dalam O’Connor, 2010).
Mengenai tindakan yang dilakukan pemimpin untuk mengatasi masalah rendahnya
kinerja bawahan yang tidak bisa dilepaskan dari faktor-faktor penyebabnya, diagram berikut ini
menggambarkan saling keterkaitan antara penyebab, penghubung dan tindakan pemimpin:
Model Kepemimpinan Atribusi

Gibson (1992: 367) menunjukkan adanya dua peralihan penting yang ditekankan dalam
diagram ini. Yang pertama adalah, pada pertalian pertama, pemimpin mencoba mengatribusikan
prestasi yang buruk. Atribusi pemimpin ditengahi oleh tiga sumber informasi yakni kekhususan,
konsistensi, dan konsensus.
Pada titik pertalian kedua, menunjukkan bahwa perilaku atau tanggapan pemimpin
ditentukan oleh jenis atribusi yang ia buat. Hubungan antara atribusi dan perilaku pemimpin ini
ditengahi oleh persepsi pemimpin tentang tanggung jawab. Apakah tanggung jawab tersebut
bersifat intern atau ekstern?
Contoh sederhana aplikasi teori atribusi dalam dunia pendidikan pada skala mikro—sekolah
adalah penilian dan tindakan yang diambil oleh kepala sekolah terhadap guru karena kinerjanya
yang buruk. Kepala Sekolah menilai kinerja seorang guru kurang dari yang diharapkan. Sebelum
sampai pada penilaian ini, sang kepala sekolah berupaya mencari informasi apa yang
menyebabkan kinerja guru kurang sesuai dengan standar. Apakah penyebabnya adalah faktor
internal dari dalam diri guru, ataukah faktor eksternal, termasuk tingkat kesulitan tugas.
Tindakan yang diambil kepala sekolah sangat dipengaruhi oleh atribusinya. Sementara
itu, atribusi sangat dipengaruhi oleh petunjuk informasi yang terdiri dari tiga jenis, yaitu:
kekhususan, konsistensi dan konsensus (Gibson, 1992:367).
Dalam proses membuat penilaian, ada sebuah bahaya yang bisa menyebabkan terjadinya
konflik antara pemimpin dan bawahan. Mengingat yang dinilai adalah kinerja terkini (present
performance) bawahan, ketika jenis informasi yang diterima pemimpin tidak atau kurang pas
sehingga menyebabkan atribusinya menjadi negatif tentang kinerja bawahannya, yang
selanjutnya mendorong untuk melakukan sebuah tindakan tindakan negative pula, saat itulah
terjadi konfilk. Tingkat dan akibat konflik ini sangat variatif.
Oleh sebab itu, seorang pemimpin, untuk bisa menjadi pemimpin yang efektif, ia tidak
bisa semata-mata bisa memersepsi kondisi terkini bawahannya. Karena kemampuan memersepsi
saja tidak mencukupi, maka seorang pemimpin dituntut memiliki kematangan pribadi, mampu
berpikir komprehensif, mau melihat kondisi kinerja bawahan bukan hanya kondisi terkininya
tetapi juga seluruh rekam jejak kinerja bawahannya secara menyeluruh untuk menghindarkan
kesalahan atribusi dan pengambilan tindakan.

2.2 Kepemimpinan Transformasional


Pengertian Kepemimpinan Transformasional
Komariah dan Triatna (2008:80) menyebutkan bahwa kepemimpinan transformasional
dapat dilihat secara mikro maupun makro. Secara mikro kepemimpinan transformasional
merupakan proses mempengaruhi antar individu, sementara secara makro merupakan proses
memobilisasi kekuatan untuk mengubah sistem sosial dan mereformasi kelembagaan. Menurut
Burns (Northouse 2007:176), kepemimpinan transformasional merupakan sebuah proses saling
menguatkan diantara para pemimpin dan pengikut ke tingkat moralitas dan motivasi yang lebih
tinggi. Kepemimpinan transformasional bukan hanya langsung dan top-down (dari atas ke
bawah), namun juga dapat diamati secara tidak langsung, dari bawah ke atas (Bottom up), dan
secara horizontal. Pemimpin disini bukan hanya mereka yang berada pada level-manajerial
tertinggi didalam organisasi, tetapi juga mereka yang berada pada level formal dan informal,
tanpa memperhatikan posisi atau jabatan mereka.
Bass (1985:20) menyatakan bahwa kepemimpinan transformasional memotivasi para
pengikutnya untuk melakukan sesuatu yang lebih dari yang diharapkan dengan melakukan hal-
hal berikut ini: (a) meningkatkan tingkat kesadaran pengikut tentang arti penting dan nilai tujuan
yang ditentukan dan diiinginkan, (b) meminta para pengikut untuk mengutamakan kepentingan
tim atau organisasi di atas kepentingan pribadi, dan (c) menggerakkan pengikut untuk menuju
kebutuhan pada level yang lebih tinggi.
Kepemimpinan transformasional memiliki dampak yang melebihi kepemimpinan
transaksional, yaitu mengilhami dan memotivasi anak buah untuk berbuat lebih dari yang
diharapkan. Indikator langsung dari adanya kepemimpinan transformational ini terletak pada
perilaku para pengikutnya yang didasarkan pada persepsi mereka terhadap sang pemimpin. Oleh
karena itu teori ini dapat dikategorikan sebagai teori atribusi.
Jika kita amati panggung politik negara kita secara sepintas, kita akan menemukan
banyak contoh-contoh pemimpin dengan berbagai macam sifat, gaya dan perilakunya, yang
memiliki dampak berbeda terhadap perilaku para pengikutnya. Misalnya, di era reformasi ini kita
mengenal Amien Rais, Gus Dur dan Megawati. Kemudian kita juga bisa melihat sepak terjang
Pak Harto, Harmoko dan Habibie. Dari observasi pada perilaku para pendukung masing-masing
pemimpin tersebut, bisa dilihat bahwa ada pendukung yang rela berkorban demi pemimpinnya
tanpa mengharapkan balasan untuk dirinya sendiri. Sedang di pihak lain kita juga bisa melihat
perilaku para pendukung yang sekedar melakukan apa yang diharapkan pemimpinnya dengan
imbalan yang setimpal. Secara sederhana hal tersebut mengilustrasikan perbedaan antara
pemimpin transformasional dan transaksional.
Dalam dunia usaha, sangat lazim terjadi hubungan pimpinan-bawahan yang bersifat
transaksional sehingga kadang jika pimpinan lupa atau lalai tidak memberikan imbalan yang
setimpal maka produktivitas langsung turun. Hal semacam itu tidak akan terjadi jika sang
pemimpin memiliki kualitas yang transformasional. Bagi para pengikutnya, pemimpin
transformasional dapat mendorong mereka untuk bertindak melebihi yang diharapkan. Mereka
mau berkorban dan merasa ikhlas untuk bekerja sehingga bisa lebih mandiri dan lebih maju.
Gaya Kepemimpinanan Transformasional
Sudarwan Danim (2009: 59 ) menjelaskan kepemimpinan transformasional berasal dari
kata “to transform” yang berarti mentransformasikan atau mengubah sesuatu menjadi bentuk
yang berbeda. Misalnya mentransformasi visi menjadi realita, potensi menjadi aktual, laten
menjadi manifes dan sebagainya.
Kepemimpinan Transformasional menurut Terry (Kartono 1998 : 38) adalah aktivitas
mempengaruhi orang-orang agar mereka suka berusaha mencapai tujuan-tujuan kelompok.
Menurut Ordway Teod dalam bukunya ”The Art Of Leadership” (Kartono 1998 : 38)
merupakan kegiatan mempengaruhi orang-orang bekerja sama untuk mencapai tujuan yang
mereka inginkan. Young dalam Kartono (1998) mendefinisikan bahwa kepemimpinan adalah
bentuk dominasi yang didasari atas kemampuan pribadi yang sanggup mendorong atau mengajak
orang lain untuk berbuat sesuatu, berdasarkan akseptasi atau penerimaan oleh kelompoknya dan
memiliki keahlian khusus yang tepat bagi situasi khusus.
Esensi dari kepemimpinan transformatif adalah mengubah potensi menjadi energy nyata,
mengubah potensi institusi menjadi energi untuk meningkatkan mutu proses dan hasil belajar.
Jadi, kepemimpinnan kepala sekolah dapat didefinisiskan sebagai bentuk (gaya) yang diterapkan
dalam mempengaruhi bawahan yang terdiri dari guru, tenaga administrasi, para siswa dan
oarang tua peserta didik.
Menururt Bass (1998) dalam Swandari (2003) mendefinisiskan bahwa kepemimpinan
transformasional sebagai pemimpin yang mempunyai kekuatan untuk mempengaruhi bawahan
dengan cara-cara tertentu. Dengan penerapan kepemimpinan transformasional bawahan akan
merasa dipercaya, dihargai, loyal dan respek kepada pimpinannya. Menurut O’Leary (2001)
kepemimpinan transformasional adalah gaya kepemimpinan yang digunakan oleh seseorang
manajer bila ia ingin suatu kelompok melebarkan batas dan memiliki kinerja melampaui status
quo atau mencapai serangkaian sasaran organisasi yang sepenuhnya baru. Kepemimpinan
transformasional pada prinsipnya memotivasi bawahan untuk berbuat lebih baik dari apa yang
bisa dilakukan, dengan kata lain dapat meningkatkan kepercayaan atau keyakinan diri bawahan
yang akan berpengaruh terhadap peningkatan kinerja.
Jadi, kepemimpinan transformasionl (transformational leadership) istilah
transformasional berinduk dari kata transform, yang bermakna mentransformasilkan atau
mengubah sesuatu menjadi bentuk lain yang berbeda. Seorang pemimpin transformasional harus
mampu mentransformasikan secara optimal sumber daya organisasi dalam rangka mencapai
tujuan yang bermakna sesuai dengan target yang telah ditentukan.
Adapun indikator kepemimpinan transformationl yaitu: pembaharu, memberi teladan,
mendorong kinerja bawahan, mengharmoniskan lingkungan kerja, memberdayakn bawahan,
bertindak atas sistem nilai, meningkatkan kemampuan terus menerus, dan mampu menghadapi
situasi yang rumit (Sudarwan Danim dan Suparno, 2009:62).
Karakteristik Kepemimpinan Transformasional
Adapun karakteristik kepemimpinanan transformational menurut Avolio dkk (stone et al,
2004) adalah sebagai berikut:
1.Idealized influence (or charismatic influence)
Idealized influence mempunyai makna bahwa seorang pemimpin transformasional harus
kharisma yang mampu “menyihir” bawahan untuk bereaksi mengikuti pimppinan. Dalam bentuk
konkrit, kharisma ini ditunjukan melalui perilaku pemahaman terhadap visi dan misi organisasi,
mempunyai pendirian yang kukuh, komitmen dan konsisten terhadap setiap keputusan yang telah
diambil, dan menghargai bawahan. Dengan kata lain, pemimpin transforamsional menjadi role
model yang dikagumi, dihargai, dan diikuti oleh bawahaanya.
2.Inspirational Motivation
Inspirational Motivation berarti karakter seorang pemimpin yang mampu menerapkan standar
yang tinngi akan tetapi sekaligus mampu mendorong bawahan untuk mencapai standar tersebut.
Karakter seperti ini mampu membangkitkan optimisme dan antusiasme yang tinggi dari pawa
bawahan. Dengan kata lain, pemimpin transformasional senantiasa memberikan inspirasi dan
memotivasi bawahannya.
3.Intellectual Stimulation
Intellectual Stimulation karakter seorang pemimpin transformasional yang mampu mendorong
bawahannya untuk menyelesaikan permasalahan dengan cermat dan rasional. Selain itu, karakter
ini mendorong para bawahan untuk menemukan cara baru yang lebih efektif dalam
menyelesaikan masalah. Dengan kata lain, pemimpin transformasional mampu mendorong
(menstimulasi) bawahan untuk selalu kreatif dan inovatif
4. Individualized Consideration
Individualized Consideration berti karakter seorng pemimpin yang mampu memahami
perbedaan individual para bawahannya. Dalam hal ini, pemimpin transformasional mau dan
mampu untuk mendengar aspirasi, mendidik, dan melatih bawahan. Selain itu, seorang
pemimpin transformasional mampu melihat potensi prestasi dan kebutuhan berkembang para
bawahan serta memfasilitasinya. Dengan kata lain, pemimpin transformasional mampu
memahami dan menghargai bawahan berdasarkan kebutuhan bawahan dan memperhatikan
keinginan berprestasi dan berkembang para bawahan.
BAB III PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Kepemimpinana transformasional salah satu gaya kepemimpinan yang modern yang mampu
mengubah dari visi misi menjadi aksi dan dilakukan dengan membuat visi yang jelas,
memotivasi staf untuk menjadi kreatif, inovatif, membangun budaya belajar, serta membangun,
komunikasi yang efektif.
DAFTAR PUSTAKA
https://abangagus75.wordpress.com/kepemimpinan/
https://abangagus75.wordpress.com/kepemimpinan/
http://staffnew.uny.ac.id/upload/130682772/pengabdian/kepemimpinana-transformasional.pdf
https://media.neliti.com/media.publications/publications/56599-ID-karakteristik-kepemimpinan-
transformasio.pdf

 Bana, M.S. 2010. Attribution Theory Harold Kelley 1972, (Online),


(http://msbana.blogspot.com/2010/01/atribution-theory-harold-kelley-1972.html), diakses
18 januari 2012
 Mitchell, Terrence dan Green, Stephen. 2005. Attribution Theory: Managerial
Perceptions of the Poor Performing Subordinate. Dalam John B. Miner (Ed),
Organizational Behaviour 1 (hlm. 184-206). New York: M.E. Sharpe.
 Gibson (dkk). Agus Dharma (Ed). 1992. Organisasi: Perilaku, Struktur, Proses. Jakarta:
Erlangga.
 Weiner, Bernard. 2010. Attribution Theory. Dalam Timothy O’Connor & Constantine
Sandis (Eds), A Companion of the Philosophy of Action (hlm.367-373). Singapore:
Wiley-Blackwell.
 Purnama, Nursya’bani. 2000. Kepemimpinan Organisasi Masa Depan: Konsep dan
Strategi Keefektifan. Jurnal Siasat Bisnis, 5 (1):115-129

Anda mungkin juga menyukai