Anda di halaman 1dari 27

KATA PENGANTAR

Puji syukur penulis panjatkan Kehadirat Illahi Rabbi karena berkat rahmat dan
karunia-Nya, dengan didorong semangat dan daya upaya penulis dapat
menyelesaikan penulisan makalah yang berjudul Asuhan Kegawatdaruratan Pada
Masa Nifas dengan Metritis, Peritonitis, Infeksi Payudara, dan Infeksi Nifas
Tromboplebitis.

Makalah ini diajukan untuk memenuhi salah satu tugas mata kuliah Asuhan
Kegawatdaruratan Maternal dan Neonatal. Dalam makalah ini penulis membahas
mengenai teori serta asuhan yang diberikan pada kasus kegawatdaruratan yang terjadi
pada masa nifas disertai dengan studi kasus yang didokumentasikan dalam bentuk
SOAP.

Penulis mengucapkan terimakasih kepada koordinator mata kuliah Asuhan


Kegawatdaruratan Maternal dan Neonatal Ibu Hj. Entin Jubaedah, SST, M.Keb serta
kepada Ibu Dyah widiyastuti, SST, M.Keb selaku dosen pengajar materi Asuhan
Kegawatdaruratan pada masa nifas.

Penulis berharap makalah ini dapat bermanfaat dan dapat dijadikan acuan
sebagai bahan pembelajaran mengenai asuhan yang diberikan pada kasus
kegawatdaruratan masa nifas. Penulis telah berusaha semaksimal mungkin untuk
menghasilkan yang terbaik dalam penulisan makalah ini, tetapi penulis menyadari
masih terdapat banyak kekurangan. Maka dari itu penulis sangat mengharapkan kritik
dan saran yang bersifat membangun dari semua pihak.

Cirebon, Agustus 2017

Penulis

1
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR.....................................................................................................................1
DAFTAR ISI...................................................................................................................................2

BAB I
PENDAHULUAN...........................................................................................................................3
1.1 Latar Belakang..................................................................................................................3
1.2 Rumusan Masalah.............................................................................................................4
1.3 Tujuan Penulisan...............................................................................................................4
1.3.1 Tujuan Umum............................................................................................................4
1.3.2 Tujuan Khusus...........................................................................................................4

BAB II
PEMBAHASAN..............................................................................................................................5
2.1 Konsep Dasar Masa Nifas.................................................................................................5
2.2 Infeksi Pada Masa Nifas...................................................................................................6
2.3 Asuhan Kegawatdaruratan Pada Masa Nifas dengan Metritis..........................................8
2.4 Asuhan Kegawatdaruratan Pada Masa nifas dengan Peritonitis.....................................12
2.5 Asuhan Kegawatdaruratan Pada Masa nifas dengan Infeksi Payudara
(Mastitis)....................................................................................................................................13
2.6 Asuhan Kegawatdaruratan Pada Masa nifas dengan Tromboflebitis.............................16
2.7 Studi Kasus.....................................................................................................................20

BAB III
KESIMPULAN..............................................................................................................................24

DAFTAR PUSTAKA....................................................................................................................26

2
BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Kematian ibu atau kematian maternal adalah kematian seorang ibu sewaktu
hamil atau dalam waktu 42 hari sesudah berakhirnya kehamilan, tidak
bergantung pada tempat atau usia kehamilan. Kematian ibu dibagi menjadi
kematian langsung dan tidak langsung, kematian langsung adalah sebagai akibat
komplikasi kehamilan, persalinan, atau masa nifas. Sedangkan kematian ibu
tidak langsung merupakan akibat dari penyakit yang sudah ada atau penyakit
yang timbul sewaktu kehamilan. (Sarwono, 2010)
Secara global 80 % kematian ibu tergolong pada kematian ibu langsung.
Pola penyebab langsung dimana-mana sama, yaitu perdarahan (25% biasanya
perdarahan pasca persalinan), sepsis (15%), hipertensi dalam kehamilan (12%),
partus macet (8%), komplikasi aborsi tidak aman (13%), dan sebab-sebab lain
(8%). Infeksi merupakan penyebab penting kematian dan kesakitan ibu. Insidensi
infeksi nifas sangat berhubungan dengan praktik tidak bersih pada waktu
persalinan dan masa nifas. (Sarwono, 2010)
Perlukaan karena persalinan merupakan tempat masuknya kuman ke dalam
tubuh, sehingga menimbulkan infeksi pada kala nifas. Infeksi kala nifas adalah
infeksi peradangan pada semua alat genitalia pada masa nifas oleh sebab apapun
dengan ketentuan meningkatnya suhu tubuh melebihi 38oC tanpa menghitung
hari pertama dan berturut-turut selama dua hari. (Manuaba, 2010)
Sumber terjadinya infeksi kala nifas adalah manipulasi penolong yang
terlalu sering melakukan pemeriksaan dalam atau penggunaan alat yang kurang
steril. Infeksi juga dapat diperoleh dari rumah sakit (nosokomial), hubungan seks
menjelang persalinan atau sudah terdapat infeksi intrapartum: persalinan lama
terlantar, ketuban pecah lebih dari enam jam, terdapat pusat infeksi dalam tubuh
(fokal infeksi). (Manuaba, 2010)

3
Berdasarkan masalah pada latar belakang diatas kejadian infeksi pada masa
nifas sangat erat kaitanya dengan penyebab kematian dan kesakitan ibu. Oleh
karena itu penulis tertarik untuk membahas mengenai asuhan kegawatdaruratan
pada masa nifas yang diakibatkankan oleh infeksi untuk mewujudkan persalinan
yang aman dan asuhan nifas yang sesuai sehingga komplikasi pada masa nifas
tidak lagi terjadi.

1.2 Rumusan Masalah


Berdasarkan masalah pada latar belakang diatas perumusan masalah dalam
penulisan makalah ini adalah bagaimana asuhan yang diberikan pada kasus
kegawatdaruratan pada masa nifas dengan metritis, peritonitis, infeksi payudara,
dan infeksi nifas tromboflebitis?

1.3 Tujuan Penulisan


1.3.1 Tujuan Umum
Tujuan umum dari penulisan makalah ini yaitu untuk mengetahui
asuhan yang diberikan pada kasus kegawatdaruratan pada masa nifas.

1.3.2 Tujuan Khusus


Tujuan khusus dari penulisan makalah ini diantaranya sebagai berikut :
1) Penulis mampu memahami dan menganalisa asuhan kegawatdaruratan
pada masa nifas dengan metritis berdasarkan literatur keilmuan;
2) Penulis mampu memahami dan menganalisa asuhan kegawatdaruratan
pada masa nifas dengan peritonitis berdasarkan literatur keilmuan;
3) Penulis mampu memahami dan menganalisa asuhan kegawatdaruratan
pada masa nifas dengan infeksi payudara berdasarkan literatur
keilmuan;
4) Penulis mampu memahami dan menganalisa asuhan kegawatdaruratan
pada masa nifas dengan infeksi nifas tromboflebitis berdasarkan
literatur keilmuan.

4
BAB II
PEMBAHASAN

2.1 Konsep Dasar Masa Nifas


Masa nifas (puerperium) dimulai setelah plasenta keluar sampai alat-alat
kandungan kembali normal seperti sebelum hamil. Selama masa pemulihan
tersebut berlangsung, ibu akan mengalami banyak perubahan, baik secara fisik
maupun psikologis. Perubahan tersebut sebenarnya sebagian besar bersifat
fisiologis, namun jika tidak dilakukan pendampingan melalui asuhan kebidanan,
tidak menutup kemungkinan akan terjadi keadaan patologis. Tenaga kesehatan
sudah seharusnya melaksanakan pemantauan dengan maksimal agar tidak timbul
berbagai masalah, yang mungkin saja akan berlanjut pada komplikasi masa nifas.
(Purwanti, 2012:1)
Masa nifas merupakan waktu yang diperlukan untuk pulihnya alat
kandungan pada keadaan normal, masa ini berlangsung selama enam minggu
atau 42 hari. (Manuaba, 2000)
Dapat disimpulkan bahwa masa nifas merupakan masa pemulihan alat-alat
kandungan setelah melahirkan yang berlangsung kurang lebih selama enam
minggu dan memerlukan pendampingan melalui asuhan kebidanan untuk
menghindari terjadinya komplikasi dan kegawatdaruratan pada masa nifas.
Menurut Purwanti (2012:3-4), masa nifas dibagi menjadi 3 tahap, yaitu :
1. Puerperium Dini
Puerperium dini merupakan masa kepulihan. Pada saat ini ibu sudah
diperbolehkan berdiri dan berjalan-jalan.
2. Puerperium Intermedial
Puerperium intermedial merupakan masa kepulihan alat-alat genitalia secara
menyeluruh yang lamanya sekitar 6-8 minggu.
3. Remote Puerperium
Remote puerperium merupakan masa yang diperlukan untuk pulih dan sehat
sempurna, terutama bila selama hamil atau waktu persalinan mempunyai

5
komplikasi. Waktu untuk sehat sempurna dapat berlangsung selama
berminggu-minggu, bulanan, bahkan tahunan

2.2 Infeksi Pada Masa Nifas


2.2.1 Definisi
Infeksi nifas (infeksi puerperalis) adalah infeksi luka jalan lahir
pascapersalinan, biasanya dari endometrium bekas insersi plasenta. Demam
dalam nifas sebagian besar disebabkan oleh infeksi nifas maka demam
dalam nifas merupakan gejala penting dari penyakit ini. Demam dalam
nifas sering juga disebut morbiditas nifas dan merupakan indeks kejadian
infeksi nifas. (FK Unpad, 2004)
Infeksi nifas adalah infeksi bakteri pada traktus genitalia, terjadi
sesudah melahirkan, ditandai kenaikan suhu sampai 38oC atau lebih selama
2 hari dalam 10 hari pertama pascapersalinan, dengan mengecualikan 24
jam pertama. (Mansjoer A, 2000)
Infeksi peurperium adalah infeksi bakteri yang berasal dari saluran
reproduksi selama persalinan atau puerperium. Infeksi tidak lagi
bertanggung jawab terhadap tingginya insiden mortalitas puerperium
seperti dahulu, saat lebih dikenal sebagai demam nifas. Akan tetapi, infeksi
puerperium masih tetap bertanggung jjawab terhadap presentase signifikan
morbiditas puerperium. (Varney, 2004)

2.2.2 Etiologi
Organisme infeksius pada infeksi puerperium berasal dari tiga
sumber yaitu organisme yang normalnya berada dalam saluran genetalia
bawah atau dalam usus besar, infeksi saluran genetalia bawah, dan bakteri
dalam nasofaring atau pada tangan personel yang menangani persalinan
atau di udara dan debu lingkungan. (Varney, 2004)
Organisme yang umum pada infeksi puerperium termasuk berbagai
spesies Streptococcus (termasuk S.viridans, S. pyogenes, dan S.agalactiae),

6
Staphylococcus aureus, Gardnerella vaginalis, E.Coli, spesies Klebsiella,
spesies Proteus, peptostreptococci anaerobic, spesies Bacteroides,
Ureaplasma, dan Mycooplasma. Beberapa organisme ini cukup umum
sebagai flora vagina sehingga hubungannya dengan infeksi tidak jelas.
Neisseria gonorrhoeae dan Chlamydia trachomatis juga dapat
menyebabkan infeksi genitalia pascapartum meskipun penapisan prenatal
akan meminimalkan risiko keberdaanyya. (Varney, 2004)

2.2.3 Faktor Predisposisi


Penyebab predisposisi infeksi nifas diantaranya :
a) Persalinan lama, khususnya dengan pecah ketuban
b) Pecah ketuban yang lama sebelum persalinan
c) Teknik aseptik tidak sempurna
d) Tidak memperhatikan teknik mencuci tangan
e) Manipulasi intra uteri (misal: eksplorasi uteri, pengeluaran plasenta
manual)
f) Trauma jaringan yang luas atau luka terbuka, seperti laserasi yang tidak
diperbaiki
g) Hematoma
h) Hemoragi, khususnya jika kehilangan darah lebih dari 1000 ml
i) Pelahiran operatif terutama pelahiran melalui seksio sesaria
j) Retensi sisa plasenta atau membran janin
k) Perawatan perineum tidak memadai
l) Infeksi vagina/serviks atau penyakit menular seksual yang tidak
ditangani
(Varney, 2004)

2.2.4 Tanda dan Gejala


Tanda dan gejala infeksi umumnya termasuk peningkatan suhu
tubuh, malaise umum, nyeri, dan lokhia berbau tidak sedap. Peningkatan

7
kecepatan nadi dapat terjadi, terutama pada infeksi berat. Interpretasi kultur
laboratorium dan sensitivitas, pemeriksaan lebih lanjut, dan penanganan
memerlukan diskusi dan kolaborasi dengan dokter. (Varney, 2004)

2.2.5 Manifestasi Klinis


Infeksi nifas dapat dibagi dalam 2 golongan, yaitu (1) infeksi yang
terbatas pada perineum, vulva, vagina, serviks, dan endometrium; dan (2)
penyebaran dari tempat-tempat tersebut melalui vena-vena, jalan limfe, dan
permukaan endometrium. (Mansjoer A, 2000)
Macam-macam infeksi nifas diantaranya :
 Infeksi perineum, vulvitis, vaginitis, dan servisitis
 Endometritis
 Septikemia dan piemia
 Peritonitis
 Parametritis (selulitis pelvika)
 Mastitis dan abses
 Tromboflebitis dan emboli paru

2.3 Asuhan Kegawatdaruratan Pada Masa Nifas dengan Metritis


2.3.1 Definisi
Infeksi uterus pada saat pascapersalinan dikenal sebagai endometritis,
endomiometrium, endomiometritis, dan endoparametritis. Karena infeksi
yang timbul tidak hanya mengenai desidua, myometrium, dan jaringan
parametrium, maka terminologi yang lebih disukai ialah metritis disertai
selulitis pelvis. (Sarwono, 2010)
Metritis ialah infeksi pada uterus setelah persalinan. Keterlambatan
terapi akan menyebabkan abses, peritonitis, syok, thrombosis vena, emboli
paru, infeksi panggul kronik, sumbatan tuba, dan infertilitas. (Buku Saku
Pelayanan Kesehatan Ibu di Fasilitas Kesehatan Dasar dan Rujukan, 2013)

8
2.3.2 Faktor Predisposisi
Menurut Sarwono (2010) faktor predisposisi terjadinya metritis
adalah sebagai berikut :
1) Persalinan Pervaginam
Jika dibandingkan dngan persalinan perabdominan/seksio sesarea,
maka timbulnya metritis pada persalinan pervaginam relative jarang.
Bila persalinan pervaginam disertai penyulit yaitu pada ketuban pecah
premature yang lama, partus lama dan pemeriksaan dalam berulang,
maka kejadian metritis akan meningkat sampai mendekati 6 %. Bila
terjadi korioamnionitis intrapartum, maka kejadian metritis akan lebih
tinggi yaitu mencapai 13%.
2) Persalinan Seksio Sesaria
Seksio sesarea merupakan faktor predisposisi utama timbulnya
metritis dan erat kaitannya dengan status sosioekonom penderita. Faktor
risiko penting untuk timbulnya infeksi adalah lamanyya proses
persalinan dan ketuban pecah, pemeriksaan dalam berulang dan
pemakaian alat monitoring janin internal.
3) Bakteriologi
Meskipun pada serviks umumnya terdapat bakteri, kavum uteri
biasanya steril sebelum selaput ketuban pecah. Sebagai akibat proses
persalinan dan manipulasi yang dilakukan selama proses persalinan
tersebut, cairan ketuban dan mungkin uterus akan terkontaminasi oleh
bakteri aeroob dan anaerob.

2.3.3 Gejala Klinik


Demam merupakan gejala klinik terpenting untuk mendiagnosis
metritis, dan suhu tubuh penderita umumnya berkisar melebihi 38oC-39oC.
Demam yang terjdi juga sering disertai menggigil, yang harus diwaspadai
sebagai tanda adanya bacteremia yang bisa terjadi pada 10-20% kasus.

9
Demam biasanya timbul pada hari ke-3 disertai nadi yang cepat. Penderita
biasanya mengeluhkan adanya nyeri abdomen, pada pemeriksaan bimanual
teraba agak membesar, nyeri, dan lembek. Lochia yang berbau menyengat
sering menyertai timbulnya metritis, tetapi bukan merupakan tanda pasti.
Pada infeksi oleh grup A β-hemolitik streptokokus sering disertai lochia
bening yang tidak berbau. (Sarwono, 2010)

2.3.4 Tatalaksana
Pada penderita metritis ringan pascapersalinan normal pengobatan
dengan antibiotika oral biasanya memberikan hasil yang baik. Pada
penderita metritis sedang dan berat, termasuk penderita pascaseksio
sesarea, perlu diberikan antibiotika dengan spectrum luas secara intravena,
dan biasanya penderita akan membaik dalam waktu 48-72 jam. Bila setelah
72 jam demam tidak membaik perlu dicari dengan lebih teliti penyebabnya,
karena demam yang menetap ini jarang disebabkan oleh resistensi bakteri
terhadap antibiotika atau suatu efek samping obat. Pada kasus metritis yang
berat dan disertai penyulit perlu dipertimbangkan intervensi bedah untuk
drainase abses dan/atau evakuasi jaringan yang rusak. (Sarwono, 2010)

Berdasarkan Buku Saku Pelayanan Kesehatan Ibu di Fasilitas


Kesehatan Dasar dan Rujukan (2013), tatalaksana umum untuk mengatasi
metritis diantaranya :
1. Berikan antibiotika sampai dengan 48 jam bebas demam :
 Ampisilin 2 g IV setiap 6 jam
 Ditambah gentamisin 5 mg/kg BB IV tiap 24 jam
 Ditambah metronidazole 500 mg IV tiap 8 jam
 Jika masih demam 72 jam setelah terapi, kaji ulang diagnosis dan
tatalaksana
2. Cegah dehidrasi. Berikan minum atau infus cairan kristaloid.

10
3. Pertimbangkan pemberian vaksin tetanus toksoid (TT) bila ibu dicurigai
terpapar tetanus (misalnya ibu memasukkan jamu-jamuan ke dalam
vaginanya).
4. Jika diduga ada sisa plasenta, lakukan eksplorasi digital dan keluarkan
bekuan serta sisa kotiledon. Gunakan forsep ovum atau kuret tumpul
besar bila perlu
5. Jika tidak ada kemajuan dan ada peritonitis (demam, nyeri lepas dan
nyeri abdomen), lakukan laparotomy dan drainase abdomen bila
terdapat pus
6. Jika uterus terinfeksi dan nekrotik, lakukan histerektomi subtotal.
7. Lakukan pemeriksaan penunjang yaitu pemeriksaan darah perifer
lengkap termsuk hitung jenis leukosit, golongan darah ABO dan jenis
Rh, gula darah sewaktu (GDS), analisis urin, kultur (cairan vagina,
darah, dan urin sesuai indikasi), ultrasonografi (USG) untuk
menyingkirkan kemungkinan adanya sisa plasenta dalam rongga uterus
atau massa intra abdomen-pelvik
8. Periksa suhu pada grafik (pengukuran suhu setiap 4 jam) yang
digantungkan pada tempat tidur pasien.
9. Periksa kondisi umum: tanda vital, malaise, nyeri perut dan cairan per
vaginam setiap 4 jam.
10. Lakukan tindak lanjut jumlah leukosit dan hitung jumlah leukosit per
48 jam
11. Terima, catat dan tindak lanjut hasil kultur’perbolehkan pasien pulang
jika suhu < 37,5oc selama minimal 48 jam dan hasil pemeriksaan
leukosit < 11.000/mm3.

11
2.4 Asuhan Kegawatdaruratan Pada Masa nifas dengan Peritonitis
2.4.1 Definisi
Infeksi nifas dapat menyebar melalui pembuluh limfe di dalam
uterus, langsung mencapai peritoneum dan menyebabkan peritonitis atau
melalui jaringan di antara kedua lembar ligamentum latum yang
menyebabkan parametritis. (Sulistyawati, 2009)
Peritonitis yang terlokalisir hanya dalam rongga pelvis disebut
pelvioperitonitis, bila meluas ke seluruh rongga peritoneum disebut
peritonitis umum, dan ini sangat berbahaya yang menyebabkan kematian
33% dari seluruh kematian akibat infeksi. (Rini, 2016)

2.4.2 Faktor Predisposisi


Peritonitis merupakan penyulit yang kadang-kadang terjadi pada
penderita pascaseksio sesarea yang mengalami metritis disertai nekrosis
dan dehisensi insisi uterus. Pada keadaan yang lebih jarang didapatkan
pada penderita yang sebelumnya mengalami seksio sesarea kemudian
dilakukan persalinan pervaginam (VBAC : vaginal birth after c-section).
Abses pada parametrium atau adneksa dapat pecah dan menimbulkan
peritonitis generalisata. (Sarwono, 2010)

2.4.3 Gejala Klinik


Menurut Sulistyawati (2009), gejala yang muncul pada peritonitis umum
diantaranya :
1. Suhu meningkat menjadi tinggi
2. Nadi cepat dan kecil
3. Perut kembung dan nyeri
4. Ada defense musculair
5. Muka penderita yang mula-mula kemerahan menjadi pucat, mata
cekung, kulit muka dingin, terdapat apa yang disebut fasies
hypocratica.

12
2.4.4 Tatalaksana
Menurut Nettina (2001), penatalaksanaan pada peritonitis adalah sebagai
berikut :
1. Penggantian cairan, koloid dan elektrolit merupakan focus utama dari
penatalaksanaan medik.
2. Analgesik untuk nyeri, antiemetik untuk mual dan muntah.
3. Intubasi dan penghisap usus untuk menghilangkan distensi abdomen.
4. Terapi oksigen dengan nasal kanul atau masker untuk memperbaiki
fungsi ventilasi.
5. Kadang dilakukan intubasi jalan napas dan bantuan ventilator juga
diperlukan.
6. Therapi antibiotik masif (sepsis merupakan penyebab kematian utama).
7. Tujuan utama tindakan bedah adalah untuk membuang materi
penginfeksi dan diarahkan pada eksisi, reseksi, perbaikan, dan
drainase.
8. Pada sepsis yang luas perlu dibuat diversi fekal.

2.5 Asuhan Kegawatdaruratan Pada Masa nifas dengan Infeksi Payudara


(Mastitis)
2.5.1 Definisi
Mastitis adalah infeksi payudara. Meskipun dapat terjadi pada setiap
wanita, mastitis semata-mata merupakan komplikasi pada wanita
mennyusui. Mastitis harus dibedakan dari peningkatan suhu transien dan
nyeri payudara akibat pembesaran awal karena air susu masuk ke dalam
payudara. Mastitis terjadi akibat invasi jaringan payudara oleh organisme
infeksius atau adanya cedera payudara. (Varney, 2004)

13
2.5.2 Faktor Predisposisi
Predisposisi dan faktor risiko adalah primipara, stress, teknik
meneteki yang tidak benar sehigga pengosongan payudara tidak terjadi
dengan baik, pemakaian kutang yang terlalu ketat, dan pengisapan bayi
yang kurang kuat juga dapat menyebabkan stasis dan obstruksi kelenjar
payudara. Adanya luka putting payudara juga dapat sebagai faktor risiko
terjadinya mastitis. (Sarwono, 2010)
Pada kondisi ini terjadi bendungan ASI yang merupakan permulaan
dari kemungkinan infeksi payudara. Bakteri yang sering menyebabkan
infeksi payudara adalah stafilokokus aureus yang masuk melalui luka
puting susu. Infeksi menimbulkan demam, nyeri local pada payudara,
terjadi pemadatan payudara, dan terjadi perubahan warna kulit payudara.
(Manuaba, 2010)

2.5.3 Gejala Klinik


Gejala awal mastitis adalah demam yang disertai menggigil, myalgia,
nyeri, dan takikardia. Pada pemeriksaan payudara membengkak, mengeras,
lebih hangat, kemerahan dengan batas tegas, dan disertai rasa sangat nyeri.
Mastitis biasanya terjadi unilateral dan dapat terjadi 3 bulan pertama
meneteki, tetapi jarang dapat terjadi selama ibu meneteki. Kejadian mastitis
berkisar 2-33% ibu meneteki dan lebih kurang 10 % kasus mastitis akan
berkembang menjadi abses (bernanah), dengan gejala yang makin berat.
(Sarwono, 2010)
Infeksi payudara (mastitis) dapat berkelanjutan menjadi abses dengan
kriteria warna kulit menjadi merah, terdapat rasa nyeri, dan pada
pemeriksaan terdapat pembengkakan, dibawah kulit teraba cairan. Dalam
keadaan abses payudara perlu dilakukan insisi agar pus dapat dikeluarkan
untuk mempercepat kesembuhan. (Manuaba, 2010)

14
2.5.4 Macam-Macam Mastitis
Menurut Sarwono (2010), mastitis dapat dibedakan berdasarkan
tempatnya diantaranya sebagai berikt :
1. Mastitis yang menyebabkan abses di bawah areola mammae;
2. Mastitis di tengah payudara yang menyebabkan abses di tempat itu;
3. Mastitis pada jaringan di bawah dorsal kelenjar-kelenjar yang
menyebabkan abses antara payudara dan otot-otot di bawahnya.

2.5.5 Tatalaksana Umum


Penanganan utama mastitis adalah memulihkan keadaan dan
mencegah terjadinya komplikasi yaitu abses (bernanah) dan sepsis yang
dapat terjadi bila penangan terlamat, tidak tepat, ataupun kurang efektif.
Laktasi tetap dianjurkan untuk dilanjutkan dan pengosongan payudara
sangat penting untuk keberhasilan terapi. Terapi suportif seperti bed-rest,
pemberian cairan yang cukup, antinyeri dan antiinflamasi sangat
dianjurkan. Pemberian antibiotika secara ideal berdasarkan hasil kepekaan
kultur kuman yang diambil dari air susu sehingga keberhasilan terapi dapat
terjamin. Pada sebagian kasus antibiotika dapat diberikan secara per oral
dan tidak memerlukan perawatan di rumah sakit. Pada umumnya dengan
pengobatan segera dan adekuat gejala akan menghilang dalam 24-48 jam
kemudian dan jarang terjadi komplikasi. (Sarwono, 2010)

2.5.6 Peran Bidan


Bidan sebagai tenaga medis terdepan di tengah masyarakat dapat
meningkatkan usaha preventif dan promotif payudara dengan jalan
mengajarkan pemeliharaan payudara, cara memberikan ASI yang benar,
memberikan ASI dengan frekuensi yang seimbang baik payudara kanan
maupun kiri dan diberikan sampai payudara kempes. Dalam mengahadapi
bendungan ASI dan mastitis atau abses payudara, bidan sebaiknya
melakukan konsultasi dengan dokter. (Manuaba, 2010)

15
2.6 Asuhan Kegawatdaruratan Pada Masa nifas dengan Tromboflebitis
2.6.1 Definisi
Tromboflebitis adalah invasi/perluasan mikroorganisme patogen
yang mengikuti aliran darah disepanjang vena dan cabang-cabangnya.
Tromboflebitis didahului dengan thrombosis, dapat terjadi pada kehamilan
tetapi lebih sering ditemukan pada masa nifas. (Wiknjosastro: 2002)

2.6.2 Faktor Risiko


Tromboflebitis superfisial lebih umum terjadi pada ibu yang sudah
lansia, obesitas, dan paritasnya tinggi. Mungkin ada riwayat vena varikosa.
Tromboflebitis juga dapat terjadi pada vena anggota gerak bagian atas yang
sebelumnya digunakan untuk infus intravena. Trombosis vena dalam
mempunyai faktor-faktor risiko umum diantaranya usia di atas 35 tahun,
paritas tinggi, obesitas, seksio sesaria, trauma pada tungkai, imobilitas,
dehidrasi dan kelelahan, merokok, dan penggunaan estrogen untuk
memperlancar laktasi. (Maryunani, 2002)

2.6.3 Klasifikasi
1. Pelvio tromboflebitis
Pelvio tromboflebitis mengenai vena-vena dinding uterus dan
ligamentum latum yaitu vena ovarika, vena uterina dan vena
hipogastika. Vena yang paling sering terkena adalah vena ovarika dextra
perluasan infeksi dari vena ovarika sinistra ke vena renalis, sedangkan
perluasan infeksi dari vena ovarika dextra adalah ke vena cava inferior.
(Cunningham Gary, 2005)

Gejala
 Nyeri terdapat pada perut bagian bawah atau perut bagian samping,
timbul pada hari ke 2-3 masa nifas dengan atau tanpa panas

16
 Penderita tampak sakit berat
 Menggigil berulang kali, menggigil terjadi sangat berat (30-40 menit)
dengan interval hanya beberapa jam saja dan kadang-kadang 3 hari.
Pada waktu menggigil penderita hampir tidak panas.
 Suhu badan naik turun secara tajam (36ᵒC-40ᵒC)
 Penyakit dapat berlangsung selama 1-3 bulan
 Cenderung terbentuk pus yang menjalar kemana-mana terutama ke
paru-paru
 Gambaran darah:  Terdapat leukositosis. Untuk membuat kultur
darah, darah diambil pada saat tepat sebelum mulai menggigil, kultur
darah sangat sukar dibuat karena bakterinya adalah anaerob.

Komplikasi
 Komplikais pada paru-paru infark, abses, pneumonia
 Komplikasi pada ginjal sinistra, yaitu nyeri mendadak yang diikuti
dengan proteinuria dan hematuria
 Komplikasi pada mata, persendian dan jaringan subkutan
(Cunningham Gary: 2005)

Penanganan
 Rawat inap: penderita tirah baring untuk pemantauan gejala
penyakitnya dan mencegah terjadinya emboli pulmonal.
 Therapi medic: pemberian antibiotika  atau pemberian heparin jika
terdapat tanda-tanda atau dugaan adanya emboli pulmonal
 Therapi operasi:  peningkatan vena cava inferior dan vena ovarika
jika emboli septik terus berlangsung sampai mencapai paru-paru
meskipun sedang dilakukan heparisasi.
(Wiknjosastro: 2002)
 

17
2. Tromboflebitis femoralis (Flegmasia alba dolens)
Tromboflebitis femoralis mengenai vena-vena pada tungkai
misalnya pada vena femoralis, vena poplitea dan vena safena. Edema
pada salah satu tungkai kebanyakan disebabkan oleh suatu trombosis
yaitu suatu pembekuan darah balik dengan kemungkinan timbulnya
komplikasi emboli paru-paru yang biasanya mengakibatkan kematian.
(Cunningham Gary:2005)
Tromboflebitis Femoralis yaitu suatu tromboflebitis yang
mengenai satu atau kedua vena femoralis. Hal ini disebabkan oleh
adanya trombosis atau embosis yang disebabkan karena adanya
perubahan atau kerusakan pada intima pembuluh darah, perubahan pada
susunan darah, laju peredaran darah, atau karena pengaruh infeksi atau
venaseksi.

Penilaian klinik
 Keadaan umum tetap baik
 Suhu badan subfebris 7-10 hari kemudian suhu mendadak baik kira-
kira pada hari ke 10-20 yang disertai dengan menggigil dan nyeri
sekali.

Pada salah satu kaki yang terkena, akan memberikan tanda-tanda


sebagai berikut :
 Kaki sedikit dalam keadaan fleksi dan rotasi keluar serta sukar
bergerak, lebih panas dibandingkan dengan kaki yang lain
 Seluruh bagian dari salah satu vena pada kaki terasa tegang dan keras
pada paha bagian atas
 Nyeri hebat pada lipat paha dan daerah paha
 Reflektorik akan terjadi spasmus arteria sehingga kaki menjadi
bengkak, tegang, dan nyeri

18
 Edema kadang-kadang terjadi selalu atau setelah nyeri, pada
umumnya terdapat pada paha bagian atas tetapi lebih sering dimulai
dari jari-jari kaki dan pergelangan kaki kemudian meluas dari bawah
keatas
 Nyeri pada betis
 Pada trombosis vena femoralis, vena dapat teraba didaerah lipat paha
 Oedema pada tungkai dapat dibuktikan dengan mengukur lingkaran
dari betis dan dibandingkan dengan tungkai sebelah lain yang
normal.

Penanganan
 Kaki ditinggikan untuk mengurangi oedema lakukan kompres pada
kaki
 Setelah mobilisasi kaki hendaknya tetap dibalut elastik atau memakai
kaos kaki yang panjang elastik selama mungkin
 Jangan menyusui bayinya, mengingat kondisi ibu yang sangat jelek
 Terapi pemberian antibiotik dan anti analgesik 
(Wiknjosastro:2002)

2.6.4 Tatalaksana Umum


Penanganan meliputi tirah baring, elevasi ekstremitas yang terkena,
kompres panas, stoking elastis, dan analgesia jika dibutuhkan. Sprei ayun
mungkin diperlukan jika tungkai sangat nyeri saat disentuh (cenderung
pada tromboflebitis superfisial). Rujukan ke dokter konsultan penting
untuk memutuskan penggunaan terapi antikoagulan dan antibiotic
(cenderung pada tromboflebitis vena profunda). Tidak ada kondisi apapun
yang mengharuskan masase tungkai. (Varney, 2004)

19
2.7 Studi Kasus
ASUHAN KEBIDANAN PADA NY.A
POSTPARTUM 4 HARI DENGAN METRITIS

Tanggal : 10-08-2017
Pukul : 09.00 WIB
Tempat : IGD Kebidanan RS.X

I. Pengkajian Data Subjektif (S)


A. Identitas
Nama klien : Ny. A Nama suami : Tn. U
Umur : 19 Tahun Umur : 22 Tahun
Pendidikan : SD Pendidikan : SMP
Pekerjaan : IRT Pekerjaan : Buruh Harian
Lepas
Agama : Islam Agama : Islam
Alamat : Majasem Alamat : Majasem

B. Riwayat
Ibu senang telah melahirkan anak pertama dan belum pernah keguguran, saat
ini ibu mengeluh sudah dua hari badan terasa panas dingin, nyeri perut bagian
bawah, pagi ini keluar darah kotor dari vagina dan berbau seperti nanah. Ibu
melahirkan pada tanggal 6-08-2017 pukul 22.00 WIB ditolong oleh Bidan di
Puskesmas Y, jenis persalinan spontan, tidak ada faktor penyulit, dan ada
robekan jalan lahir. Ibu mengkonsumsi obat yang diberikan oleh bidan yaitu
Amoxilin 3x/hari, Paracetamol 3x/hari, Fe 1x/hari, tidak mengkonsumsi obat
warung, obat herbal maupun jamu. Ibu makan 3x/hari sejak sakit nafsu
makan berkurang, keluarga melarang ibu untuk mengkonsumsi daging dan
telur. Dalam sehari ibu minum ± 10 gelas/ hari (gelas ukuran 200 cc).
Frekuensi BAK ± 5 - 6 x/hari dan ibu belum BAB setelah melahirkan. Ibu

20
memberikan ASI saja kepada bayinya secara on demand karena produksi ASI
sudah banyak. Ibu tidur pada malam hari selama ± 4-5 jam dan tidak tidur
siang karena pantangan dari keluarga. Ibu tidak pernah menderita penyakit
TBC, hepatitis, asma, hipertensi dan penyakit jantung. Ibu tidak memiliki
riwayat operasi dan riwayat alergi.

II. Pengkajian Data Objektif (O)


A. Keadaan Umum : Lemah Kesadaran : Composmentis
B. Tanda-Tanda Vital
1. Tekanan darah : 90/60 mmHg
2. Denyut nadi : 100 x/menit
3. Suhu : 39,5 o C
4. Pernafasan : 26 x/menit
C. Pemeriksaan Fisik
1. Wajah
Terlihat sedikit pucat dan tidak teraba oedema.
2. Mata
Konjungtiva terlihat berwarna merah muda, sklera terlihat tidak ikterik,
dan tidak ada kelainan.
3. Dada
Payudara terlihat simetris (ka/ki), terlihat hyperpigmentasi disekitar areola
mamae. Tidak teraba benjolan, putting susu teraba menonjol, terdapat
pengeluaran ASI, dan tidak ada pembesaran KGB Axilla.
4. Abdomen
TFU teraba 1 jari dibawah pusat, kontraksi uterus baik, konsistensi uterus
teraba keras, kandung kemih kosong, ibu merasakan nyeri tekan pada
perut bagian bawah.
5. Ekstremitas Atas
Tidak ada oedema, capillary refill kembali kurang dari 2 detik.
6. Ekstremitas Bawah

21
Bentuk terlihat simetris, tidak ada oedema, tidak ada varises.
7. Genitalia
Tidak terlihat oedema dan varises, tidak teraba pembesaran kelenjar
bartholini, terlihat pengeluaran darah berwarna merah kekuningan ± 30 cc,
berbau dan purulen. Terdapat luka jahitan perineum, luka tampak basah,
dan kemerahan. Tidak terdapat hematoma.
D. Pemeriksaan Laboratorium & penunjang :
Hemoglobin : 10 gr/dL
Leukosit : 20.000 UI
Golongan Darah :O

III. Analisa
Ny.A 19 tahun P1A0 4 hari post partum dengan metritis dan laktasi baik, potensial
terjadi peritonitis, perlu kolaborasi dengan Dokter SpOG untuk pemberian
therapy.

IV. Penatalaksanaan
1. Membina hubungan baik kepada ibu dan keluarga, respon ibu dan keluarga
baik.
2. Menjelaskan hasil pemeriksaan dan melakukan informed concent kepada ibu
dan keluarga mengenai tindakan yang akan dilakukan selanjutnya, ibu dan
keluarga mengetahui hasil pemeriksaan dan menyetujui tindakan yang akan
dilakukan.
3. Melakukan kolaborasi dengan dokter SpOG untuk pemberian theraphy,
dokter SpOG memberikan advis sebagai berikut :
- Memberikan infus cairan kristaloid untuk mencegah terjadinya dehidrasi
- Memberikan antibiotika sampai 48 jam bebas demam, yaitu ampisilin 2 g
IV setiap 6 jam, ditambah gentamisin 5 mg/kg BB IV tiap 24 jam,
ditambah metronidazole 500 mg IV tiap 8 jam.

22
- Melakukan observasi kemajuan pasien meliputi pemeriksaan suhu setiap
4 jam, tanda vital, malaise, myeri perut dan cairan per vaginam setiap 4
jam.
- Melakukan tindak lanjut jumlah leukosit dan hitung jenis leukosit per 48
jam
- Memperbolehkan pasien pulang jika suhu < 37,5oC selama minimal 48
jam dan hasil pemeriksaan leukosit < 11.000/mm3
4. Memberikan theraphy kepada ibu sesuai dengan advis dokter, ibu telah
dipasang infus pada lengan kiri dan telah diberikan therapy sesuai dengan
advis dokter dan jadwal pemberian obat.
5. Memberikan KIE kepada ibu mengenai :
a. Kebutuhan nutrisi dan hidrasi yaitu makan yang cukup dengan gizi
seimbang tanpa memantang makanan apapun dan memperbanyak minum
minimal 8 gelas/hari.
b. Personal hygiene yang baik yaitu dengan mandi 2x/hari, mengganti doek
minimal 3 kali atau setiap terasa penuh, melakukan vulva hygiene setiap
setelah BAK dan BAB, memakai celana yang longgar dari bahan katun
untuk mencegah lembab dan infeksi.
c. Menganjurkan kepada ibu untuk istirahat yang cukup dengan tidur malam
minimal 6 jam dan tidak memantang tidur siang.
d. Memberikan pendidikan kesehatan kepada ibu dan keluarga mengenai
mobilisasi ketika sudah pulih untuk mempercepat proses pengembalian
rahim.
e. Memberitahu ibu dan keluarga mengenai tanda bahaya pada masa nifas
dan menganjurkan untuk memberitahu tenaga kesehatan yang sedang bertugas
apabila merasakan salah satu tanda bahaya tersebut.
Ibu mengerti dan dapat mengulang kembali semua informasi yang telah
dijelaskan.
6. Melakukan observasi keadaan umum dan tanda vital ibu secara berkala, ibu
telah dilakukan observasi dan hasil terlampir.

23
BAB III
KESIMPULAN

Berdasarkan pembahasan mengenai asuhan kegawatdaruratan pada masa nifas


maka dapat disimpulkan bahwa infeksi masa nifas merupakan kegawatdaruratan
dalam kebidanan, dimana infeksi nifas menjadi salah satu faktor penyumbang
terjadinya kematian dan kesakitan ibu. Asuhan atau penatalaksanaan yang diberikan
pada kasus kegawatdaruratan pada masa nifas disesuaikan dengan tempat terjadinya
infeksi. Berikut asuhan yang diberikan pada kasus kegawatdaruratan pada masa nifas
dengan metritis, peritonitis, infeksi payudara, dan infeksi nifas tromboflebitis :

1. Asuhan kegawatdaruratan pada kasus metritis


Penatalaksanaan pada kasus metritis diantaranya dengan memberikan
antibiotika sampai dengan 48 jam bebas demam, mencegah dehidrasi dengan
memberikan minum atau infus cairan kristaloid, pertimbangkan pemberian vaksin
TT jika ibu dicurigai terpapar tetanus, lakukan eksplorasi digital jika diduga ada
sisa plasenta, lakukan laparotomy dan drainase abdomen bila terdapat pus, lakukan
histerektomi subtotal jika uterus terinfeksi dan nekrotik, lakukan pemeriksaan
penunjang, lakukan pengukuran suhu dan kondisi umum setiap 4 jam, serta
lakukan tindak lanjut jumlah leukosit per 48 jam.

2. Asuhan kegawatdaruratan pada kasus peritonitis


Penatalaksanaan pada peritonitis diantaranya : penggantian cairan koloid dan
elektrolit; analgesik untuk mengatasi nyeri serta antiemetik untuk mual dan
muntah; intubasi dan penghisap usus untuk menghilangkan distensi abdomen;
terapi oksigen dengan nasal kanul atau masker untuk memperbaiki fungsi
ventilasi; kadang dilakukan intubasi jalan napas dan bantuan ventilator; therapi
antibiotik massif; dilakukan tindakan bedah untuk membuang materi penginfeksi
dan diarahkan pada eksisi, reseksi, perbaikan, dan drainase; serta pada sepsis yang
luas perlu dibuat diversi fekal.

24
3. Asuhan kegawatdaruratan pada kasus infeksi payudara
Penanganan utama infeksi payudara (mastitis) adalah dengan memulihkan
keadaan dan mencegah terjadinya abses serta sepsis diantaranya memberikan
terapi suportif seperti bed-rest, pemberian cairan yang cukup, pemberian obat oral
antinyeri dan antiinflamasi, pemberian antibiotika yang pada sebagian kasus dapat
diberikan secara per oral dan tidak memerlukan perawatan di rumah sakit, serta
tetap menganjurkan laktasi untuk pengosongan payudara demi keberhasilan terapi.
Pada umumnya dengan pengobatan segera dan adekuat gejala akan menghilang
dalam 1-2 hari dan jarang terjadi komplikasi.

4. Asuhan kegawatdaruratan pada kasus infeksi nifas tromboflebitis


Penanganan yang diberikan pada kasus tromboflebitis disesuaikan dengan
jenisnya. Penanganan pada pelvio tromboflebitis diantaranya tirah baring untuk
pemantauan gejala penyakitnya dan mencegah terjadinya emboli pulmonal,
pemberian antibiotika atau heparin jika terdapat tanda-tanda atau dugaan adanya
emboli pulmonal. Sedangkan pada tromboflebitis femoralis penanganan yang
diberikan adalah kaki ditinggikan untuk mengurangi oedema dan dilakukan
kompres pada kaki, setelah mobilisasi kaki hendaknya tetap dibalut elastik atau
memakai kaos kaki yang panjang elastik selama mungkin, tidak dianjurkan
menyusui bayinya secara langsung mengingat kondisi ibu yang sangat jelek, serta
pemberian antibiotik dan anti analgesik.

25
DAFTAR PUSTAKA

Cunningham, F. Gray. 2005. Obstetri William. Jakarta : EGC

Fakultas Kedokteran UNPAD. 2004. Ilmu Kesehatan Reproduksi : Obstetri


Patologi. Jakarta : EGC

Kemenkes RI. 2013. Buku Saku Pelayanan Kesehatan Ibu di Fasilitas


Kesehatan Dasar dan Rujukan.

Mansjoer, A., 2000. Kapita Selekta Kedokteran Edisi ketiga. Jakarta:


MediaAesculapius

Manuaba,IBG.,2010. Ilmu Kebidanan, penyakit Kandungan dan KB untuk


Pendidikan Bidan Edisi 2. Jakarta:EGC

Maryunani, Aniek. 2002. Safe motherhood, Modul Sepsis Puerperalis :


materi pendidikan untuk kebidanan / WHO. Jakarta : EGC

Nettina, S.M. (2001). Pedoman Praktik Keperawatan. Jakarta: EGC.

Prawirohardjo, Sarwono. 2010. Ilmu Kebidanan. Jakarta : Yayasan Bina


Pustaka Ssrwono Prawirohardjo

Purwanti. E. 2012. Asuhan Kebidanan Untuk Ibu Nifas. Yogyakarta : Cakrawala


Ilmu.

Rini, Susilo. 2016. Panduan, Asuhan Nifas dan Evidence Based Practice.
Yogyakarta : Deepublish

Sulistyawati, Ari. 2009. Buku Ajar Asuhan Kebidanan Pada Masa Nifas.
Yogyakarta : Penerbit Andi

Varney, Helen. 2004. Buku Ajar Asuhan Kebidanan. Jakarta : EGC

26
Wiknjosastro, Hanifa. 2002. Ilmu Kebidanan. Jakarta: Yayasan Bina Pustaka
Sarwono Prawirohardjo

27

Anda mungkin juga menyukai