Anda di halaman 1dari 66

 

Bab II 
TATA KELOLA (GOVERNANCE)  
 
 
Indikator Keberhasilan 
Setelah mengikuti pemelajaran ini diharapkan peserta diklat memiliki pengetahuan mengenai 
 tata kelola organisasi yang baik (good governance)  
 
 

Tuntutan  gencar  yang  dilakukan  masyarakat  kepada  pemerintah  untuk  menjalankan 


penyelenggaraan  pemerintahan  yang  baik,  sejalan  dengan  meningkatnya  tingkat  pengetahuan 
masyarakat, merupakan hal yang sedang hangat terjadi dalam kehidupan bernegara saat ini.  

Krisis  mutidimensi  yang  diawali  oleh  krisis  finansial  pada  tahun  1997‐1998,  telah  mendorong 
arus  balik  yang  menuntut  perbaikan  atau  reformasi  dalam  penyelenggaraan  negara  termasuk 
birokrasi pemerintahannya. Salah satu penyebab terjadinya krisis multidimensi yang kita alami 
tersebut adalah buruknya atau salah kelola dalam penyelengaraan tata kepemerintahan (poor 
governance), yang antara lain diindikasikan oleh beberapa masalah, antara lain:  

ƒ dominasi kekuasaan oleh satu pihak terhadap pihak‐pihak lainnya, sehingga pengawasan 
menjadi sulit dilakukan;  

ƒ terjadinya tindakan korupsi, kolusi, dan nepotisme (KKN); dan 

ƒ rendahnya kinerja aparatur termasuk dalam pelayanan kepada publik atau masyarakat di 
berbagai bidang. 

Secara eksternal, pengaruh globalisasi juga telah memaksa setiap pimpinan instansi pemerintah 
untuk  menerapkan  good  governance.  Pendekatan  atau  cara  yang  digunakan  setiap  pimpinan 
instansi dalam menerapkan tata kelola pemerintahan yang baik (good governance) tidak sama, 
namun  semua  berorientasi  pada  masyarakat  melalui  peningkatan  kualitas  layanan  dan 
perbaikan sistem manajemen pemerintahan. Pemahaman mengenai revolusi manajemen sektor 
publik berikut akan memberikan wacana dasar untuk pemelajaran tata kelola (governance). 

Tata Kelola, Manajemen Risiko, dan Pengendalian Intern 5


 
A. REVOLUSI MANAJEMEN SEKTOR PUBLIK  

Seiring  dengan  meningkatnya  peran  swasta  dan  masyarakat  dalam  penyelenggaraan 


pemerintahan, manajemen sektor publik telah mengalami perubahan yang cukup signifikan. Hal 
ini  antara  lain  dipicu  oleh  pemikiran  Osborne  dan  Gaebler  dalam  bukunya  Reinventing 
Government  (1992)  atau  pemerintahan  wirausaha.  Perubahan  tersebut  pada  dasarnya 
diarahkan  pada  penciptaan  manajemen  publik  yang  handal  dan  peningkatan  kualitas 
penyelenggaraan  administrasi  publik.  Konsep  dan  sistem  administrasi  publik  yang  kaku, 
struktural/hirarkis,  dan  birokratis  telah  ditinggalkan  dan  sebagai  gantinya  telah  dikembangkan 
suatu konsep manajemen publik yang fleksibel dan berorientasi kepada pasar. Dalam paradigma 
manajemen  sektor  publik  yang  baru,  birokrasi  pemerintah  dibuat  seefisien  dan  seefektif 
mungkin  sehingga  dapat  bergerak  fleksibel  dalam  mengikuti  tuntutan  masyarakat  dan 
perubahan  lingkungan.  Paradigma  baru  ini  dianggap  sebagai  solusi  atas  berbagai  label  negatif 
yang  melekat  pada  sektor  publik    yaitu  dengan  mengacu  pada  kaidah‐kaidah  new  public 
management (NPM). 

Menurut C. Hood (1991) terdapat 7 karakteristik New Public Management, yaitu: 

1. Hands‐on  professional  management  (Pelaksanaan  tugas  manajemen  pemerintahaan 


diserahkan kepada manajer profesional). 

2. Explicit standards and measures of performance (Adanya standar dan ukuran kinerja yang 
jelas). 

3. Greater  emphasis  on  output  controls  (Lebih  ditekankan  pada  pengendalian 


hasil/keluaran). 

4. A shift to desegregations of units in the public sector (Pembagian tugas ke dalam unit‐unit 
yang di bawah). 

5. A shift to greater competition in the public sector (Ditumbuhkannya persaingan di sektor 
publik). 

6. A  stress  on  private  sectore  styles  of  management  practice  (Lebih  menekankan 
diterapkannya gaya manajemen sektor privat). 

6    2014 |Pusdiklatwas BPKP


 
7. A  stress  on  greater  discipline  and  parsimony  in  resource  use  (Lebih  menekankan  pada 
kedisiplinan  yang  tinggi  dan  tidak  boros  dalam  menggunakan  berbagai  sumber).  Sektor 
publik seyogianya bekerja lebih keras dengan sumber‐sumber yang terbatas (to do more 
with less). 

Perubahan  ini  bukan  perubahan  sederhana  dalam  “management  style”  administrasi  publik. 
Akan tetapi, perubahan ini merupakan perubahan peranan pemerintah dalam masyarakat dan 
hubungan antara pemerintah dengan masyarakatnya. Paradigma baru ini merupakan tantangan 
langsung  atas  berbagai  prinsip  administrasi  publik  yang  telah  diyakini  sebagai  paradigma 
terpenting selama hampir 20 abad. Dalam paradigma baru, birokrat dan pemerintah bukanlah 
satu‐satunya  penyedia  barang  dan  jasa  masyarakat.  Perspektif  ini  menempatkan  organisasi 
swasta  sebagai  mitra  pemerintah  untuk  menyediakan  berbagai  kebutuhan  publik.  Pemerintah 
berperan  dalam  memfasilitasi  kebutuhan  masyarakatnya  melalui  subsidi,  pengaturan 
perundang‐undangan dan pengaturan kontrak. Keterbukaan pemerintah juga ditekankan dalam 
paradigma  baru  ini,  yang  ditunjukkan  dengan  diadopsinya  berbagai  prinsip  dan  sistem 
manajemen sektor swasta ke dalam sektor publik untuk memperbaiki kinerja birokrasi. 

Dalam  mekanisme  dan  pola  hubungan  ini  akuntabilitas  yang  ada  tidak  hanya  mengalir  dari 
bawah  ke  atas,  dalam  arti  pegawai  secara  hierarkis  mempertanggungjawabkan  kegiatan  yang 
dilakukannya  kepada  pejabat  di  atasnya,  namun  pertanggungjawaban  juga  dilakukan  kepada 
pihak luar (eksternal) organisasi publik (misalnya masyarakat ataupun kepada sektor swasta). 

B. PERGESERAN PARADIGMA NEW PUBLIC MANAGEMENT KE GOVERNANCE  

Orientasi  “privatisasi”  yang  terdapat  pada  new  public  management  tidak  berarti  bahwa  peran 
pemerintah  berkurang.  Peran  pemerintah  ini  tetap  terwujud  dengan  munculnya  peranan 
pengaturan  (regulations)  terhadap  keterlibatan  sektor  swasta  dan  juga  dengan  mengelola 
respon  yang  efektif  terhadap  tuntuntan  sosial  dan  ekonomi  masyarakat.  World  Bank  (1997) 
menyebutkan bahwa meskipun terjadi kecenderungan “privatisasi” terhadap berbagai kegiatan 
pemerintah,  hal  ini  tidak  berarti  bahwa  peran  pemerintah  menjadi  berkurang.  Peran 
pemerintah  masih  sangat  penting/dominan  dalam  manajemen  pembangunan.  Peran 
pemerintah  mungkin  akan  berkurang  dalam    memberikan  arahan  dan  petunjuk  dari  pusat 
pemerintahan. Akan tetapi, pemerintah masih tetap bertanggung jawab terhadap perancangan 
dan  pelaksanaan  kebijakan  publik,  terutama  yang  berkaitan  dengan  transformasi  ekonomi, 

Tata Kelola, Manajemen Risiko, dan Pengendalian Intern 7


 
pengurangan kemiskinan, peningkatan kinerja sektor pertanian, ketenagakerjaan, fasilitas sosial 
dan umum, serta pengelolaan lingkungan hidup.  

Hal lain yang mendukung bahwa peran pemerintah masih sangat dibutuhkan dalam pelayanan 
publik adalah kenyataan bahwa prinsip ekonomi dan efisiensi tidak selalu dapat diterapkan pada 
semua  aktivitas  pemerintah  (misalnya  fasilitas  sosial  dan  fasilitas  umum).  Pemerintahan  yang 
modern tidak hanya mencakup efisiensi dan peningkatan keekonomisan, tetapi juga merupakan 
hubungan  akuntabilitas  antara  negara  dengan  warga  negara,  dimana  warga  negara  tidak 
diberlakukan hanya sebagai konsumen tapi juga sebagai warga negara yang memiliki hak untuk 
mendapatkan  jaminan  atas  kebutuhan  dasar  dan  menuntut  pemerintah  untuk  bertanggung 
jawab atas berbagai kebijakan yang dilakukan. Hal ini merupakan perubahan pandangan dalam 
manajemen  publik  dari  penekanan  pada  hubungan  antara  negara  dengan  pasar  ke  hubungan 
antara negara dengan warga negaranya. Pandangan ini dikenal dengan governance.  

World  Bank  mendefinisikan  governance sebagai:  “the  way  state  power  is  used  in  managing 
economic and social resources for development of society”; suatu penyelenggaraan manajemen 
pembangunan  yang  solid  dan  bertanggungjawab  yang  sejalan  dengan  prinsip  demokrasi  dan 
pasar  yang  efisien,  penghindaran  salah  alokasi  dana  investasi,  dan  pencegahan  korupsi  baik 
secara  politik  maupun  administratif,  menjalankan  disiplin  anggaran  serta  penciptaan legal  and 
political framework bagi tumbuhnya aktivitas usaha 

Governance  atau  kepemerintahan  diartikan  oleh  UNDP  (United  Nations  Development 


Programme)  sebagai  “…  the  exercise  of  political,  economic and  administrative  authority  in  the 
management  of  a  country’s  affairs  at  all  level…comprises  the  complex  mechanisms,  processes 
and  institutions  through  which  citizens  and  groups  articulate  their  interests,  mediate  their 
differences and exercise legal rights and obligations” (UNDP, 1995).  

Dengan  kata  lain,  governance  meliputi  berbagai  kewenangan  baik  yang  menyangkut 
kewenangan politik, ekonomi, dan administrasi berinteraksi satu dengan lainnya. Hubungan ini 
mencakup  hubungan  yang  komplek  antar  berbagai  kewenangan  dalam  semua  level 
pemerintahan dalam bentuk mekanisme, proses dan pembentukan institusi dimana masyarakat 
dan kelompok masyarakat dapat menyampaikan keinginan, mengatur berbagai perbedaan, dan 
juga mendapatkan jaminan hukum (dan pengaturannya). 

Pengertian  governance  yang  dijelaskan  oleh  UNDP  mengandung  aspek  politik,  ekonomi  dan 
administratif,  yang  disebut  dengan  three  legs  (tiga  kaki),  yaitu  economic,  political,  dan 

8    2014 |Pusdiklatwas BPKP


 
administrative.  Economic  governance  meliputi  proses‐proses  pembuatan  keputusan  (decision 
making  process)  yang  memfasilitasi  aktivitas  ekonomi  di  dalam  negeri  dan  interaksi  di  antara 
penyelenggara  ekonomi.  Karena  itulah,  economic  governance  mempunyai  pengaruh  atau 
implikasi terhadap equity, poverty, dan quality of life. Political governance adalah proses‐proses 
pembuatan  keputusan  untuk  formulasi  kebijakan.  Dengan  kata  lain,  political  governance 
menunjuk  pada  proses  pembuatan  keputusan  dan  implementasi  kebijakan  suatu  negara  yang 
legitimate  dan  authoritatif.  Itu  sebabnya,  di  sini  negara  terdiri  dari  tiga  lembaga  negara  yang 
terpisah  yaitu  legislatif,  eksekutif  dan  yudikatif.  Administrative  governance  adalah  sistem 
implementasi proses kebijakan yang melaksanakan sektor publik secara efisien, tidak memihak, 
akuntabel dan terbuka. 

Pemerintah 
(Good Public 
Governance)

Dunia Usaha Swasta
Masyarakat (Good Corporate 
Governance)
 
Gambar 2.1 
Tiga Pilar Good Governance 
 

Konsep  ini  lebih  luas  dari  fungsi  dan  kapasitas  sektor  publik,  akan  tetapi  konsep  ini  berkaitan 
dengan  manajemen  proses  pembangunan  yang  melibatkan  pemerintah,  swasta,  dan 
masyarakat sebagai pilar good governance (lihat gambar 2.1). Idealnya, hubungan semua pihak 
ini bukan merupakan kerangka kegiatan yang terpisah melainkan dalam kerangka keterpaduan 
dan  kerja  sama  yang  harmonis  untuk  pencapaian  tujuan  dan  kepentingan  bersama.  Tujuan 
interaksi  sosial‐politik‐ekonomi  dalam  pengertian  ini  adalah  tercapainya  suatu  keseimbangan 
dan sinergi dalam pemenuhan kebutuhan dan kepentingan masing‐masing institusi dalam satu 
keselarasan dan keseimbangan. 

Sedangkan konsep governance menurut IIA adalah sebagai berikut. 

Tata Kelola, Manajemen Risiko, dan Pengendalian Intern 9


 
The  combination  of  processes  and  structures  implemented  by  the  board  of  directors  in 
order  to  inform,  direct,  manage  and  monitor  the  activities  of  the  organization  toward 
achieving its objectives. 

Menurut  IIA,  tata  kelola  adalah  kombinasi  dari  proses  dan  struktur  yang  dilaksanakan  oleh 
dewan  direksi  untuk  menginformasikan,  mengarahkan,  mengelola  dan  memantau  kegiatan 
organisasi dalam mencapai tujuannya. 

Secara garis besar, konsep tata kelola menurut IIA dapat digambarkan sebagai berikut. 

 
Governance Umbrella 
  Board of Directors 

 
Strategic  Governance 
Direction  Oversight 
 

Gambar 2.2 
Konsep Tata Kelola Menurut IIA 
 

Gambar  2.2  menunjukkan  bahwa  ada  dua  area  penting  dari  tata  kelola,  yaitu  arah  strategis 
(strategic  direction)  dan  pengawasan  tata  kelola  (governance  oversight).  Poin  penting  dari 
gambar tersebut adalah sebagai berikut: 

• Tata  kelola  dimulai  dari  pimpinan  organisasi  dan  jajarannya,  berperan  sebagai  ‘payung’ 
bagi  organisasi.  Jajaran  pimpinan  memberi  arah  kepada  manajemen,  memberikan 
wewenang  kepada  manajemen  untuk  bertindak  dan  mengawasi  hasilnya.  (Lihat  gambar 
2.3) 

• Jajaran  pimpinan  harus  mengetahui  dan  fokus  terhadap  pemenuhan  kebutuhan 


stakeholders. 

• Secara  harian,  tata  kelola  dilaksanakan  oleh  manajemen  melalui  kegiatan  manajemen 
risiko. 

10    2014 |Pusdiklatwas BPKP


 
• Aktivitas  internal  dan  eksternal  memberikan  jaminan  kepada  manajemen  dan  pimpinan 
terhadap efektivitas proses tata kelola 

Untuk pengawasan terhadap tata kelola, bisa digambarkan sebagai berikut. 

  Stakeholders

  Governance Umbrella 
Board of Directors 
 

 
Risk Management Assurance
  Senior Management

  Internal External
Risk Owner Activitie Activities
 

Gambar 2.3 
Komponen Kunci Pengawasan Tata Kelola 

C. KONSEP GOOD GOVERNANCE (TATA KELOLA YANG BAIK)  

Menurut  Bank  Dunia  (World  Bank),  good  governance  merupakan  cara  kekuasaan  yang 
digunakan  dalam  mengelola  berbagai  sumber  daya  sosial  dan  ekonomi  untuk  pengembangan 
masyarakat  (Mardoto,  2009).  Sedangkan  menurut  UNDP  (United  National  Development 
Planning), good governance merupakan praktek penerapan kewenangan pengelolaan berbagai 
urusan penyelenggaraan negara secara politik, ekonomi dan administratif di semua tingkatan.  

Dalam konsep di atas, ada tiga pilar good governance yang penting, yaitu: 

a. Kesejahteraan rakyat (economic governance). 

b. Proses pengambilan keputusan (political governance). 
c. Tata laksana pelaksanaan kebijakan (administrative governance) (Prasetijo, 2009). 

Tata Kelola, Manajemen Risiko, dan Pengendalian Intern 11


 
Menurut  Bappenas,  penerapan  tata  kepemerintahan  yang  baik  di  lingkungan  pemerintahan 
tidak  terlepas  dari  penerapan  sistem  manajemen  kepemerintahan  yang  merupakan  rangkaian 
hasil  dari  pelaksanaan  fungsi‐fungsi  manajemen  (planning,  organizing,  actuating,  dan 
controlling) yang dilaksanakan secara profesional dan konsisten. Penerapan sistem manajemen 
tersebut  mampu  menghasilkan  kemitraan  positif  antara  pemerintah,  dunia  usaha  swasta,  dan 
masyarakat.  Dengan  demikian,  lingkungan  instansi  pemerintah  diharapkan  dapat  memberikan 
pelayanan prima kepada masyarakat. 

Gambar 2.2 menjelaskan proses pengembangan nilai tambah berkelanjutan di antara tiga pilar 
tata  kepemerintahan  yang  baik,  yakni  pemerintah,  dunia  usaha  swasta,  dan  masyarakat. 
Kepercayaan,  dukungan,  dan  legitimasi  politik  dari  masyarakat  akan  diperoleh  apabila 
pemerintah  dapat  menyediakan  pelayanan  publik  yang  memadai  dan  menjalankan  fungsi 
perlindungan pada masyarakat. Di sisi lain pemerintah juga harus mampu menciptakan stabilitas 
politik, hukum, pertahanan dan keamanan, ekonomi, serta sosial dan budaya untuk mendorong 
peran dunia usaha swasta dalam pembangunan ekonomi. Dunia usaha swasta yang sehat akan 
menghasilkan kualitas layanan serta memberikan nilai tambah yang positif bagi masyarakat. Hal 
ini  tentunya  juga  akan  menghasilkan  pertumbuhan  kegiatan  usaha  yang  tinggi  sehingga  dapat 
menumbuhkan loyalitas konsumen dan kontribusi keuntungan yang lebih besar dari masyarakat 
sebagai  target  pasar.  Integrasi  pengelolaan  ketiga  rantai  nilai  tersebut  secara  selaras  akan 
menghasilkan nilai tambah bagi masyarakat. 

12    2014 |Pusdiklatwas BPKP


 

 
Gambar 2.4 
Membangun Nilai Tambah Berkelanjutan 

D. PRINSIP‐PRINSIP GOOD GOVERNANCE  

Kunci  utama  untuk  memahami  good  governance  adalah  pemahaman  terhadap  kaidah‐kaidah 
yang ada di dalamnya. Pengertian kaidah sendiri menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia adalah 
rumusan asas yang menjadi hukum, aturan yang sudah pasti, patokan. Dengan demikian, prinsip 
berarti asas (kebenaran yang menjadi pokok dasar berpikir, bertindak, dan sebagainya). Bertolak 
dari  prinsip‐prinsip  ini  akan  didapatkan  tolok  ukur  kinerja  suatu  pemerintahan.  Baik‐buruknya 
pemerintahan bisa dinilai bila ia telah bersinggungan dengan semua unsur prinsip‐prinsip good 
governance. 

Tata Kelola, Manajemen Risiko, dan Pengendalian Intern 13


 
Menyadari  pentingnya  masalah  ini    dan  dalam  rangka  mengembangkan  strategi  yang  lebih 
implementatif,  terdapat  banyak  karakteristik  dan  prinsip  tentang  good  governance.  Prinsip‐
prinsip good governance yang dikemukakan oleh UNDP adalah sebagai berikut: 

1. Partisipasi (Participation) 

Terdapat jaminan kesamaan hak bagi setiap individu dalam pengambilan keputusan (baik 
secara  langsung  maupun  melalui  lembaga  perwakilan).  Dalam  kaitannya  dengan 
partisipasi ini, terdapat tuntutan agar pemerintah meningkatkan fungsi kontrol terhadap 
manajemen  pemerintah  dan  pembangunan  dengan  melibatkan  organisasi  non‐
pemerintah.  Peran  organisasi  non‐pemerintah  sangat  penting  dalam  konteks  ini  karena 
diyakini organisasi ini memiliki kontak yang lebih baik dengan masyarakat miskin, memiliki 
hubungan  yang  baik  dengan  daerah  pedalaman  dan  pedesaan,  mampu  menyediakan 
metode  alternatif  pelayanan  publik  dengan  harga  yang  murah  dan  sebagai  mediator 
dalam menyampaikan berbagai pandangan dan kebutuhan masyarakat. 

2. Penegakan Hukum (Rule of Law) 

Kerangka hukum harus adil dan diberlakukan tanpa pandang bulu, termasuk di dalamnya 
hukum‐hukum yang menyangkut hak asasi manusia. 

3. Transparansi (Transparency) 

Adanya  kebebasan  dan  kemudahan  dalam  memperoleh  informasi  yang  akurat  dan 
memadai bagi mereka yang memerlukan. Informatif, mutakhir, dapat diandalkan, mudah 
diperoleh  dan  dimengerti  adalah  beberapa  parameter  yang  digunakan  untuk  mengecek 
keberhasilan tranparansi. 

4. Daya Tanggap (Responsiveness) 

Dalam  melaksanakan  kepemerintahan  semua  institusi  dan  proses  yang  dilaksanakan 


pemerintah harus melayani semua stakeholders secara tepat, baik dan dalam waktu yang 
tepat (tanggap terhadap kemauan masyarakat). 

14    2014 |Pusdiklatwas BPKP


 
5. Orientasi pada Kesepakatan (Consensus Orientation) 

Tata pemerintahan yang baik menjembatani kepentingan‐kepentingan yang berbeda demi 
terbangunnya  suatu  konsensus  menyeluruh  dalam  hal  apa  yang  terbaik  bagi  kelompok‐
kelompok  masyarakat,  dan  bila  mungkin,  konsensus  dalam  hal  kebijakan‐kebijakan  dan 
prosedur‐prosedur. 

6. Kesetaraan (Equity) 

Terdapat jaminan bagi masyarakat untuk mendapatkan pelayanan dan kesempatan yang 
sama dalam menjalankan kehidupannya. Sifat adil ini diperoleh dari aspek ekonomi, sosial 
dan politik. Adil ini juga berarti terdapat jaminan akan kesejahteraan masyarakat dimana 
semua masyarakat merasa bahwa mereka memiliki hak dan tidak merasa diasingkan dari 
kehidupan masyarakat. 

7. Efektivitas dan Efisiensi (Effectiveness and Efficiency) 

Proses‐proses pemerintahan dan lembaga‐lembaga membuahkan hasil sesuai kebutuhan 
warga  masyarakat  dan  dengan  menggunakan  sumber‐sumber  daya  yang  ada  seoptimal 
mungkin. 

8. Akuntabilitas (Accountability) 

Semua  pihak  (baik  pemerintah,  swasta  dan  masyarakat)  harus  mampu  memberikan 
pertanggungjawaban  atas  mandat  yang  diberikan  kepadanya  (stakeholders‐nya).  Secara 
umum organisasi atau institusi harus akuntabel kepada mereka yang terpengaruh dengan 
keputusan atau aktivitas yang mereka lakukan. 

9. Visi Strategis (Strategic Vision) 

Para pemimpin dan masyarakat memiliki perspektif yang luas dan jauh ke depan atas tata 
pemerintahan yang baik dan pembangunan manusia, serta kepekaan akan apa saja yang 
dibutuhkan  untuk  mewujudkan  perkembangan  tersebut.  Selain  itu  mereka  juga  harus 
memiliki  pemahaman  atas  kompleksitas  kesejarahan,  budaya  dan  sosial  yang  menjadi 
dasar bagi perspektif tersebut. 

Tata Kelola, Manajemen Risiko, dan Pengendalian Intern 15


 
Berdasarkan  konsep  di  atas,  dapat  dilihat  bahwa  good  governance  mempunyai  tujuan  yang 
lebih besar dari sekedar manajemen yang efisien dan penggunaan sumber daya yang ekonomis. 
Good  governance  adalah  strategi  untuk  menciptakan  institusi  masyarakat  yang  kuat,  dan  juga 
untuk  membuat  pemerintah/publik  sektor  semakin  terbuka,  responsif,  akuntabel  dan 
demokratis.  Di  samping  itu,  konsep  good  governance  jika  dikembangkan  akan  menciptakan 
modern  governance  (baik  good  ‘national’  governance  maupun  good  local  governance)  yang 
handal  yang  tidak  hanya  menekankan  aktivitasnya  dalam  kerangka  efisiensi  tetapi  juga 
akuntabilitasnya di mata publik.  

Yang tidak kalah pentingnya, penerapan good governance sangat berperan dalam pencegahan 
dan pemberantasan praktik‐praktik KKN. Hal ini berarti bahwa dengan adanya good governance 
maka penyalahgunaan fasilitas publik untuk kepentingan pribadi dapat dihindarkan semaksimal 
mungkin. Hal tersebut selaras dengan sasaran penciptaan tata kepemerintahan yang baik yaitu: 

1. berkurangnya secara nyata praktik korupsi kolusi dan nepotisme di birokrasi, yang dimulai 
dari jajaran pejabat yang paling atas; 

2. terciptanya  sistem  kelembagaan  &  ketatalaksanaan  pemerintah  yang  efisien,  efektif  dan 
profesional transparan dan akuntabel; 

3. terhapusnya peraturan dan praktik yang bersifat diskriminatif terhadap warga negara; 

4. meningkatnya partisipasi masyarakat dalam pengambilan kebijakan publik; 

5. terjaminnya konsistensi seluruh peraturan pusat dan daerah 

Penerapan  good  governance  tidak  hanya  di  tingkat  institusi,  misalnya  pemerintah  daerah  dan 
kementerian/ lembaga namun harus dilaksanakan juga di tingkat unit kerja, misalnya organisasi 
APIP, dinas ataupun direktorat teknis. 

16    2014 |Pusdiklatwas BPKP


 

Bab III 
MANAJEMEN RISIKO  
 
 
Indikator Keberhasilan 
Setelah mengikuti pemelajaran ini diharapkan peserta diklat mampu menjelaskan  
mengenai manajemen risiko 
 
 

Aktivitas organisasi sektor publik dan bisnis senantiasa berubah dan berkembang seiring dengan 
perubahan  di  lingkungan  internal  dan  eksternal  organisasi.  Perubahan  di  lingkungan  internal 
biasanya  dapat  dikendalikan  oleh  manajemen.  Sedangkan  perubahan  di  lingkungan  eksternal, 
seperti perubahan iklim demokrasi dan peraturan, berada di luar kontrol organisasi. 

Tuntutan  perubahan  dan  peningkatan  kapabilitas  organisasi  memunculkan  risiko (risk)  dan 


sekaligus  peluang  (opportunities)  bagi  organisasi.  Risiko  berkenaan  dengan  kemungkinan 
terjadinya kegagalan dan kerugian bagi organisasi. Risiko berskala rendah tidak mengkuatirkan 
bagi  organisasi.  Namun,  risiko  berskala  besar  dapat  berdampak  pada  tidak  tercapainya  tujuan 
dan misi organisasi. 

Kegagalan  tujuan  dan  misi  bagi  organisasi  publik  dapat  mengakibatkan  ketidakpercayaan 
(distrust)  dari  publik  atas  pelayanan  yang  diberikan.  Dalam  kondisi  terjelek  dan  sebagaimana 
yang pernah terjadi, distrust dapat menyebabkan hilangnya organisasi yang bersangkutan. 

Manajemen  risiko  (risk  management)  menjadi  kebutuhan  yang  strategis  dan  menentukan 
perbaikan  kinerja  dari  organisasi.  Risiko  yang  dikelola  dengan  optimal  bahkan  memunculkan 
berbagai  peluang  bagi  organisasi  yang  bersangkutan.  Manajemen  risiko  diperlukan  untuk 
mengoptimalkan  penggunaan  sumber  daya  terbatas  yang  dimiliki  organisasi.  Pengalokasian 
sumber daya didasarkan pada prioritas risiko yang dimulai dari risiko skala tertinggi. Demikian 
pula, manajemen risiko yang ada perlu dievaluasi secara periodik melalui aktivitas pengendalian 
(internal control). 
 
 
 
 

Tata Kelola, Manajemen Risiko, dan Pengendalian Intern 17


 
A. RISIKO  

1. Pengertian Risiko 

Banyak  definisi  atau  pengertian  yang  diberikan  oleh  para  ahli  mengenai  risiko  sesuai 
dengan  disiplin  keilmuan  dan  lingkup  keahliannya.  Risiko  memiliki  keterkaitan  dengan 
ketidakpastian.  Peraturan  Pemerintah  Nomor  60  Tahun  2008  menyatakan  bahwa  risiko 
adalah suatu kejadian yang mungkin terjadi dan apabila terjadi akan memberikan dampak 
negatif pada pencapaian tujuan instansi pemerintah.  

Menurut  Badan  Sertifikasi  Manajemen  Risiko  (2007),  definisi  risiko  adalah  peluang 
terjadinya bencana, kerugian atau hasil yang buruk. Risiko terkait dengan situasi dimana 
hasil negatif dapat terjadi dan besar kecilnya kemungkinan terjadinya hasil tersebut dapat 
diperkirakan.  Menurut  Namee  dan  Salim  (1998)  dalam  makalah  “Risk  Management, 
Changing the Auditor Paradigm”, pengertian risiko (risk) adalah: 

“Risk is a concept used to express uncertainty about events and/ or their outcomes 
that could have a material effect on the goals of the organizations.” 

Adapun  definisi  risiko  menurut  AS/NZS  4360:2004  adalah  “the  chance    of  something 
happening  that  will  have  an  impact  on  objectives.”  Sedangkan  definisi  risiko  menurut 
Enterprise  Risk  Management  ‐  COSO  adalah  “events  with  a  negative  impact  represent 
risks, which can prevent value creation or erode existing value.”  

 
Kemungkinan  Yang membawa  Tujuan  Strategi  
 akibat  Sasaran dan 
  terjadinya 
peristiwa  yang tidak diinginkan   atau Target 

Dari berbagai definisi tersebut, risiko selalu dihubungkan dengan kemungkinan terjadinya 
akibat buruk (kerugian) yang tidak diinginkan, atau tidak terduga. Dengan kata lain, risiko 
terdiri dari unsur‐unsur berikut ini. 

18    2014 |Pusdiklatwas BPKP


 
• Kemungkinan kejadian atau peristiwa 

• Dampak  atau  konsekuensi  (jika  terjadi,  risiko  akan  membawa  akibat  atau 
konsekuensi) 

• Kemungkinan kejadian (risiko masih berupa kemungkinan atau diukur dalam bentuk 
probabilitas) 

Contoh: 

“Risiko  kebakaran  akan  berdampak  kerugian  material  dan  korban  jiwa,  dengan 
kemungkinan kejadian tinggi pada musim kemarau.”  

Semua unsur risiko terpenuhi: 

• adanya kejadian atau peristiwa yang mungkin terjadi: risiko kebakaran; 

• adanya dampak: kerugian material dan korban jiwa; 

• adanya  probabilitas/kemungkinan  kejadian:  potensi  kejadian  tinggi  pada  musim 


kemarau. 

Risiko dapat terjadi pada pelayanan, kinerja, dan reputasi dari institusi yang bersangkutan. 
Risiko  yang  terjadi  dapat  disebabkan  oleh  berbagai  faktor  antara  lain  kejadian  alam, 
operasional, manusia, politik, teknologi, pegawai, keuangan, hukum, dan manajemen dari 
organisasi.  Suatu  risiko  yang  terjadi  dapat  berasal  dari  risiko  lainnya,  dan  dapat 
disebabkan oleh berbagai faktor. Risiko rendahnya kinerja suatu instansi berasal dari risiko 
rendahnya  mutu  pelayanan  kepada  publik.  Risiko  terakhir  disebabkan  oleh  faktor‐faktor 
sumber daya manusia yang dimiliki organisasi dan operasional seperti keterbatan fasilitas 
kantor.  Risiko  yang  terjadi  akan  berdampak  pada  tidak  tercapainya  misi  dan  tujuan  dari 
instansi tersebut, dan timbulnya ketidakpercayaan dari publik. 

Risiko  berbeda  dengan  masalah.  Apabila  salah  satu  dari  ketiga  unsur  risiko  tidak 
terpenuhi,  maka  suatu  pernyataan  tidak  dapat  dikategorikan  sebagai  risiko,  melainkan 
suatu masalah.  

Tata Kelola, Manajemen Risiko, dan Pengendalian Intern 19


 
Contoh: 

Koran Tempo, tanggal 20 Januari 2009  halaman 1 menyajikan sebuah berita yang bertajuk 
“Petaka 21.30”, sebagai berikut: 

“Sebuah  ledakan  besar  mengawali  terbakarnya  tangki  bahan  bakar  di  Depo  Unit 
Pemasaran  dan  Pembekalan  Dalam  Negeri  III  Plumpang,  Jakarta,  Ahad  malam  lalu 
sekitar  pukul  21.30.  Ledakan  itu  kemudian  disusul  lidah  api  yang  menjilat  tangki 
nomor  24  yang  berisi  1.500  ‐  2.000  kiloliter  premium.  Baru  sepuluh  jam  kemudian 
api  akhirnya  padam.  Seorang  pegawai  ditemukan  tewas  terbakar  dan  kerugian 
diperkirakan mencapai Rp15 miliar .... “ 

Pertanyaan:  Risiko  apa  saja  yang  akan  dihadapi  Pertamina  atas  kejadian  kebakaran 
tersebut? 

Untuk  menjawabnya,  harus  dilakukan  analisis  terlebih  dahulu  terhadap  pemenuhan 


unsur‐unsur risiko, sebagai berikut: 

Pertama  :  Apakah  terjadinya  kebakaran  di  Depo  Plumpang  adalah  sebuah  kejadian? 
Jawabannya ya. 

Kedua  :  Apakah  kebakaran  tersebut  merupakan  kemungkinan?  Tidak,  karena  sudah 


terjadi. 

Ketiga  :  Apakah terjadi kerugian? Ya.  

Karena  salah  satu  dari  tiga  kriteria  yang  ada  mengenai  risiko  tidak  terpenuhi,  maka 
pernyataan tersebut tidak bisa dikategorikan sebagai risiko. 

Berkenaan  dengan  sektor  publik  yang  menuntut  transparansi  dan  peningkatan  kinerja 
dengan  dana  yang  terbatas,  risiko  yang  dihadapi  instansi  pemerintah  akan  semakin 
bertambah  dan  meningkat.  Oleh  karenanya,  pemahaman  terhadap  risiko  menjadi  suatu 
keharusan  untuk  dapat  menentukan  prioritas  strategi  dan  program  dalam  pencapaian 
tujuan organisasi. 

20    2014 |Pusdiklatwas BPKP


 
2. Perilaku Organisasi terhadap Risiko 

a. Risk Appetite  

Risk  appetite  (selera  risiko)  adalah  suatu  tingkatan  dari  sekelompok  risiko  dimana 
organisasi  akan  menerima  dan  dapat  mengelola  dalam  suatu  periode  tertentu. 
Dengan  kata  lain,  risk  appetite  adalah  sejumlah  risiko  dalam  organisasi  yang  akan 
diterima  dalam  rangka  pencapaian  misi  atau  visi.  Hal  itu  mencerminkan  sikap 
organisasi  terhadap  risiko  dan  akan  mepengaruhi  budaya  dan  gaya  pengoperasian 
organisasi tersebut. 

Salah  satu  cara  yang  paling  jitu  ketika  sebuah  organisasi  dapat  menanamkan 
pertimbangan  risiko  ke  dalam  proses  eksekusi  strategi  adalah  melalui  penyataan 
tertulis  perihal  risk  appetite.  Hal  ini  akan  memberikan  jaminan  yang  cukup  kuat 
kepada  stakeholders  bahwa  organisasi  telah  sangat  paham  dengan  sejumlah  risiko 
yang dihadapi dan risiko‐risiko tersebut berada dalam pengendalian yang tepat dan 
cermat. 

Bukan  sekadar  strategi  sederhana  menjadi  seperangkat  tujuan  dan  mendefinisikan 


key  performance  indicator  (KPI),  seperti  pada  pendekatan  balanced  scorecard, 
organisasi  harus  mengambil  langkah  tambahan:  mengevaluasi  tingkat  risiko  yang 
akan mereka ambil untuk mencapai tujuan mereka. Dengan mengambil langkah ini, 
organisasi‐organisasi  telah  berada  pada  proses  pengembangan  dari  pendekatan 
terintegrasi  dan  selaras  dengan  pelaksanaan  strategi  yang  menggabungkan  risiko 
dan tata kelola organisasi. 

Risk  appetite  bisa  dinyatakan  secara  kuantitatif  dan  kualitatif  tergantung  pada 
kualitas  tingkat  pengukuran  risiko  di  suatu  organisasi.  Intinya,  risk  appetite  harus 
mencerminkan  strategi  bisnis,  ekspektasi  dari  stakeholders,  sifat  dan  karakteristik 
risiko  yang  diambil,  dan  kemungkinan  contagion  dari  situasi  risiko  tertentu  lintas 
unit organisasi. Proses  pendefinisian risk appetite ini tentu harus didahului dengan 
terdapatnya perangkat untuk menentukan profil risiko pada suatu organisasi untuk 
semua  kategori  risiko  yang  dianggap  dapat  berpengaruh  pada  pencapaian  tujuan 
organisasi yang tercantum dalam pernyataan visi dan misi organisasi. 

Tata Kelola, Manajemen Risiko, dan Pengendalian Intern 21


 
b. Risk Tolerance 

Risk tolerance ( toleransi risiko) sering digunakan bergantian dengan istilah ambang 
risiko atau limit risiko. Risk tolerance meliputi pemahaman tentang jenis risiko, cara 
menyikapi  risiko,  dan  metode  pengambilan  risiko.  Risk  tolerance  adalah  batas 
pengambilan  risiko  yang  dapat  diterima  dari  variasi  relatif  pada  pencapaian  tujuan 
dalam  tingkat  toleransi  yang  diperkenankan  dalam  konteks  organisasi  secara 
keseluruhan. 

Suatu organisasi harus membuat ketentuan yang informatif tentang seberapa besar 
risiko dapat diterima (acceptable) sebagai bagian dari praktik manajemen organisasi 
yang wajar. Tingkat risiko yang dapat diterima tersebut dikenal sebagai risiko yang 
ditoleransi  atau  tingkat  toleransi  risiko.  Toleransi  terhadap  risiko  merupakan  salah 
satu  faktor  yang  mempengaruhi  sikap  pengambilan  risiko,  di  samping  faktor 
keterampilan  kerja,  pendidikan,  intelegensi,  lingkungan  kerja,  rasa  aman,  dan 
kemampuan dalam pengambilan keputusan.  

Contoh:  

Terhadap  risiko  “kebakaran  di  gedung  kantor  instansi”,  instansi  A  berbeda  risk 
appetite‐nya dibandingkan instansi B.  

ƒ instansi  A:  risk  taker,  lebih  banyak  mengalokasikan  sumber  daya  yang 
dimilikinya  untuk  menghadapi  risiko  kebakaran  setelah  mempertimbangkan 
toleransi  instansi  tersebut  terhadap  risikonya.  Misalnya  akan  lebih  banyak 
memasang  alat  pemadam  kebakaran  di  lingkungan  kantornya,  memasang 
petunjuk evakuasi, menyelenggarakan pelatihan simulasi situasi gawat darurat 
secara berkala, dan selalu mengecek kesiapan alat damkarnya.  

ƒ instansi  B:  risk  avoidance,  cenderung  membatasi  risiko  kebakaran.  Misalnya 


tidak  memperbolehkan  peralatan  atau  benda/material  yang  mudah 
menimbulkan  kebakaran  di  lingkungan  kantornya,  pelarangan  kegiatan  yang 
dapat menimbulkan percikan atau yang menggunakan api.  

22    2014 |Pusdiklatwas BPKP


 
3.  Klasifikasi Risiko 

Ada beberapa kategori risiko, tergantung dari sudut pandang kita melihatnya. 

a. Risiko dari Sudut Pandang Penyebab 

Dilihat dari sebab terjadinya, ada dua macam risiko, yaitu: 

1) Risiko keuangan  :  Risiko yang disebabkan oleh faktor‐faktor keuangan. 

2) Risiko operasional :  Risiko yang disebabkan oleh faktor‐faktor non keuangan, 
misalnya  manusia,  teknologi,  sistem  dan  prosedur,  dan 
alam. 

b. Risiko dari Sudut Pandang Akibat 

Dilihat dari akibat yang ditimbulkan, ada dua macam risiko, yaitu: 

1) Risiko murni  :  Apabila  suatu  kejadian  berakibat  hanya  merugikan  dan 


tidak  memungkinkan  adanya  keuntungan,  misalnya 
terjadi kebakaran. 

2) Risiko spekulatif  :  Risiko yang tidak saja memungkinkan terjadinya kerugian 
tetapi  juga  memungkinkan  terjadinya  keuntungan, 
misalnya risiko melakukan investasi. 

c. Risiko dari Sudut Pandang Aktivitas 

 Ada  berbagai  macam  aktivitas  yang  dapat  menimbulkan  risiko,  misalnya  aktivitas 
pemberian kredit oleh bank, aktivitas pelayanan kepada masyarakat. 

d. Aktivitas dari Sudut Pandang Kejadian 

 Risiko dilihat dari sudut pandang kejadiannya, misalnya risiko kebakaran. 

Tata Kelola, Manajemen Risiko, dan Pengendalian Intern 23


 
e. Risiko dari Sudut Pandang Jenis Risiko 

 Risiko dari sudut pandang jenis risikonya, mencakup: 

1) Risiko teknologi 

2) Risiko keuangan/ ekonomi 

3) Risiko sumber daya manusia (kapasitas, hak intelektual) 

4) Risiko kesehatan 

5) Risiko politik  

6) Risiko hukum 

7) Risiko keamanan, dan lain‐lain. 

f. Risiko dari Sudut Pandang Sumbernya 

Risiko dari sudut pandang sumbernya, meliputi: 

1) Risiko eksternal (politik, ekonomi, bencana alam) 

2) Risiko internal (reputasi, keamanan, manajemen, informasi untuk pengambilan 
keputusan) 

g. Risiko dari Sudut Pandang Penerima Risiko 

Risiko  dari  sudut  pandang  penerima  risiko  mencakup  orang  (human  risk),  risiko 
reputasi, hasil program, bangunan dan aset, lingkungan, peyananan dan lain lain. 

h. Risiko dari Sudut Pandang Tingkat Kemungkinan (Level/Status Risiko): 

1) Risiko rendah 

2) Risiko menengah 

3) Risiko tinggi 

24    2014 |Pusdiklatwas BPKP


 
i. Risiko dari Sudut Pandang Kemampuan Mengendalikan: 

1) Risiko yang dangat terkendali (highly controllable risk) 

2) Risiko yang kurang terkendali (low controllable risk) 

3) Risiko yang tidak atau sangat sulit dikendalikan (uncontrollable risk) 

j. Risiko dari Sudut Pandang Hierarki Risiko: 

1) Risiko Strategis 

2) Risiko Program 

3) Risiko Proyek 

4) Risiko Operasional 

k. Risiko dari Sudut Pandang Penetapan Tujuan Organisasi: 

1) Risiko Strategis, berhubungan dengan keselarasan dengan selera risiko 

2) Risiko  Operasional,  berhubungan  dengan  efektivitas  dan  efisiensi  aktivitas 


operasi 

3) Risiko Pelaporan, berhubungan dengan keandalan dalam proses pengambilan 
keputusan 

4) Risiko  Ketaatan,  berhubungan  dengan  kesesuaian  terhadap  regulasi  yang 


berlaku. 

B. MANAJEMEN RISIKO  

1.   Pengertian Manajemen Risiko 

Risiko  tidak  tercapainya  tujuan  dan  program  organisasi  tidak  semata  terjadi  di  sektor 
bisnis,  namun  juga  di  sektor  publik.  Oleh  karena  itu,  instansi  pemerintah  perlu 
menyelenggarakan manajemen risiko. 

Definisi  Manajemen  Risiko  menurut  AS/NZ  Standard  4360:  2004  adalah  “the  culture, 
processes,  structures  that  are  directed  towards  realizing  potential  opportunities  whils 

Tata Kelola, Manajemen Risiko, dan Pengendalian Intern 25


 
managing  adverse  effects.”  Sedangkan  menurut  COSO, risk  management   (manajemen 
resiko)  dapat  diartikan  sebagai  “a process,  effected  by  an  entity’s  board  of  directors, 
management  and  other  personnel,  applied  in  strategy  setting  and  across  the  enterprise, 
designed to identify potential events that may affect the entity, manage risk to be within 
its  risk  appetite,  and  provide  reasonable  assurance  regarding  the  achievement  of  entity 
objectives.”  

Definisi manajemen  risiko  di  atas  dapat  dijabarkan  lebih  lanjut  berdasarkan  kata‐kata 
kunci sebagai berikut: 

• On Going Process 

Manajemen  risiko  dilaksanakan  secara  terus  menerus  dan  dimonitor  secara 


berkala. Manajemen  risiko bukanlah  suatu  kegiatan  yang  dilakukan  sesekali  (one 
time event). 

• Effected by People 

 Manajemen  risiko   ditentukan  oleh  pihak‐pihak  yang  berada  di  lingkungan 


organisasi.  Untuk  lingkungan  institusi  pemerintah, Manajemen  risiko   dirumuskan 
oleh pimpinan dan pegawai institusi/ departemen yang bersangkutan. 

• Applied in Strategy Setting 

 Manajemen  risiko   telah  disusun  sejak  dari  perumusan  strategi  organisasi  oleh 
manajemen puncak organisasi. Dengan penggunaan manajemen risiko, strategi yang 
disiapkan  disesuaikan  dengan  risiko  yang  dihadapi  oleh  masing‐masing  bagian/unit 
dari organisasi. 

• Applied Across The Enterprise 

 Strategi  yang  telah  dipilih  berdasarkan manajemen  risiko diaplikasikan  dalam 


kegiatan  operasional,  dan  mencakup  seluruh  bagian/unit  pada  organisasi. 
Mengingat  risiko  masing‐masing  bagian  berbeda,  maka  penerapan manajemen 
risiko berdasarkan penentuan risiko oleh masing‐masing bagian. 

26    2014 |Pusdiklatwas BPKP


 
• Designed to Identify Potential Events 

 Manajemen  risiko  dirancang  untuk  mengidentifikasi  kejadian  atau  keadaan  yang 


secara potensial menyebabkan terganggunya pencapaian tujuan organisasi. 

• Provide Reasonable Assurance 

Risiko  yang  dikelola  dengan  tepat  dan  wajar  akan  menyediakan  jaminan  bahwa 
kegiatan dan pelayanan oleh organisasi dapat berlangsung secara optimal. 

• Geared to Achieve Objectives 

Manajemen  risiko  diharapkan  dapat  menjadi  pedoman  bagi  organisasi  dalam 


mencapai tujuan yang telah ditentukan. 

Manajemen risiko yang dilaksanakan secara efektif dan wajar dapat memberikan manfaat 
bagi organisasi, yakni: 

• Membantu pencapaian tujuan organisasi. 

• Mencapai  kesinambungan  pemberian  pelayanan  kepada  stakeholder,  sehingga 


meningkatkan kualitas dan nilai organisasi. 

• Mencapai  hasil  yang  lebih  baik  berupa  efisiensi  dan  efektivitas  pelayanan,  seperti: 
meningkatkan pelayanan kepada publik dan atau meningkatkan penggunaan sumber 
daya yang lebih baik (masyarakat, informasi, dana, dan peralatan). 

• Memberikan  dasar  penyusunan  rencana  strategi  sebagai  hasil  dari  pertimbangan 


yang terstruktur terhadap unsur kunci risiko. 

• Menghindari  biaya‐biaya  yang  mengejutkan,  karena  perusahaan  mengidentifikasi 


dan mengelola risiko yang tidak diperlukan, termasuk menghindari biaya dan waktu 
yang dihabiskan dalam suatu perkara. 

• Menghindari  pemborosan,  dan  membuka  peluang  bagi  organisasi  untuk 


memberikan pelayanan yang terbaik. 

Tata Kelola, Manajemen Risiko, dan Pengendalian Intern 27


 
• Mencapai  pengambilan  keputusan  yang  terbuka  dan  berjalannya  proses 
manajemen. 

• Meningkatkan akuntabilitas dan corporate governance. 

• Mengubah pandangan terhadap risiko menjadi lebih terbuka, ada toleransi terhadap 
kesalahan  tapi  tidak  terhadap  kekeliruan  yang  disembunyikan.  Perubahan 
pandangan ini memungkinkan organisasi belajar dari kesalahan masa lalunya untuk 
terus memperbaiki kinerjanya. 

• Organisasi  akan  lebih  fokus  dalam  melaksanakan  kebijakan‐kebijakannya  sehingga 


dapat meminimalkan ‘gangguan‐gangguan’ yang tidak dikehendaki. 

Selain itu, agar manajemen rirsko dapat terlaksana secara efektif, suatu organisasi harus 
mengikuti prinsip‐prinsip dasar sebagai berikut: 

a. Manajemen risiko menciptakan nilai tambah (creates value) 

Manajemen  risiko  berkontribusi  terhadap  pencapaian  nyata  objektif  dan 


peningkatan, antara lain, kesehatan dan keselamatan manusia, kepatuhan terhadap 
hukum  dan  peraturan,  penerimaan  publik,  perlindungan  lingkungan,  kinerja 
keuangan,  kualitas  produk,  efisiensi  operasi,  serta  tata  kelola  dan  reputasi 
perusahaan. 

b. Manajemen risiko adalah bagian integral proses dalam organisasi (an integral part of 
organizational processes) 

Manajemen risiko adalah bagian tanggung jawab manajemen dan merupakan suatu 
bagian integral dalam proses normal organisasi seperti juga merupakan bagian dari 
seluruh  proses  proyek  dan  manajemen  perubahan.  Manajemen  risiko  bukanlah 
merupakan aktivitas yang berdiri sendiri yang terpisah dari aktivitas‐aktivitas utama 
dan proses dalam organisasi. 

28    2014 |Pusdiklatwas BPKP


 
c. Manajemen  risiko  adalah  bagian  dari  pengambilan  keputusan  (part  of  decision 
making) 

Manajemen  risiko  membantu  pengambil  keputusan  mengambil  keputusan  dengan 


informasi  yang  cukup.  Manajemen  risiko  dapat  membantu  memprioritaskan 
tindakan  dan  membedakan  berbagai  pilihan  alternatif  tindakan.  Pada  akhirnya, 
manajemen risiko dapat membantu memutuskan apakah suatu risiko dapat diterima 
atau apakah suatu penanganan risiko telah memadai dan efektif. 

d. Manajemen  risiko  secara  eksplisit  menangani  ketidakpastian  (explicitly  addresses 


uncertainty) 

Manajemen  risiko  menangani  aspek‐aspek  ketidakpastian  dalam  pengambilan 


keputusan, sifat alami dari ketidakpastian itu, dan bagaimana menanganinya. 

e. Manajemen  risiko  bersifat  sistematis,  terstruktur,  dan  tepat  waktu  (systematic, 


structured and timely) 

Suatu  pendekatan  sistematis,  tepat  waktu,  dan  terstruktur  terhadap  manajemen 


risiko  memiliki  kontribusi  terhadap  efisiensi  dan  hasil  yang  konsisten,  dapat 
dibandingkan, serta andal. 

f. Manajemen  risiko  berdasarkan  informasi  terbaik  yang  tersedia  (based  on  the  best 
available information) 

Masukan untuk proses pengelolaan risiko didasarkan oleh sumber informasi seperti 
pengalaman,  umpan  balik,  pengamatan,  prakiraan,  dan  pertimbangan  pakar. 
Meskipun  demikian,  pengambil  keputusan  harus  terinformasi  dan  harus 
mempertimbangkan  segala  keterbatasan  data  atau  model  yang  digunakan  atau 
kemungkinan perbedaan pendapat antar pakar. 

g. Manajemen risiko dibuat sesuai kebutuhan (tailored) 

Manajemen  risiko  diselaraskan  dengan  konteks  eksternal  dan  internal  organisasi 


serta profil risikonya. 

Tata Kelola, Manajemen Risiko, dan Pengendalian Intern 29


 
h. Manajemen risiko memperhitungkan faktor manusia dan budaya (takes human and 
cultural factors into account) 

Manajemen risiko organisasi mengakui kapabilitas, persepsi, dan tujuan pihak‐ pihak 
eksternal dan internal yang dapat mendukung atau malah menghambat pencapaian 
tujuan organisasi. 

i. Manajemen risiko bersifat transparan dan inklusif (transparent and inclusive) 

Pelibatan  para  pemangku  kepentingan,  terutama  pengambil  keputusan,  dengan 


sesuai  dan  tepat  waktu  pada  semua  tingkatan  organisasi,  memastikan  manajemen 
risiko tetap relevan dan mengikuti perkembangan. Pelibatan ini juga memungkinkan 
pemangku  kepentingan  untuk  cukup  terwakili  dan  diperhitungkan  sudut 
pandangnya dalam menentukan kriteria risiko. 

j. Manajemen  risiko  bersifat  dinamis,  iteratif,  dan  responsif  terhadap  perubahan 


(dynamic, iterative and responsive to change) 

Seiring  dengan  timbulnya  peristiwa internal  dan  eksternal, perubahan konteks  dan 


pengetahuan,  serta  diterapkannya  pemantauan  dan  peninjauan,  risiko‐risiko  baru 
bermunculan,  sedangkan  yang  ada  bisa  berubah  atau  hilang.  Karenanya,  suatu 
organisasi  harus  memastikan  bahwa  manajemen  risiko  terus  menerus  memantau 
dan menanggapi perubahan. 

k. Manajemen  risiko  memfasilitasi  perbaikan  dan  pengembangan  berkelanjutan 


organisasi (facilitates continual improvement and enhancement of the organization) 

Organisasi  harus  mengembangkan  dan  mengimplementasikan  strategi  untuk 


memperbaiki  kematangan  manajemen  risiko  mereka  bersama  aspek‐aspek  lain 
dalam organisasi mereka.  

2.   Elemen Manajemen Risiko 

Pemahaman  manajemen  risiko  memungkinkan  manajemen  untuk  terlibat  secara  efektif 


dalam menghadapi  ketidakpastian atas risiko dan peluang yang terkait dan meningkatkan 
kemampuan  organisasi  untuk  memberikan  nilai  tambah.  Ada  beberapa  kerangka 

30    2014 |Pusdiklatwas BPKP


 
(framework) yang  dikembangkan  oleh  beberapa  pihak  seperti  oleh  AS/NZS,  COSO,  CAS, 
dan terakhir yang dikeluarkan oleh ISO.  

Pada  tahun  1995  sebuah task‐force mengembangkan The  Australian  and  New  Zealand 


Standard  for  risk  management –  AS/NZS  4360:1995.  Standard  ini  kemudian 
disempurnakan pada  tahun  1999  menjadi AS/NZS4360:1999,  terakhir disempurnakan 
lagi pada tahun 2004 menjadi AS/NZS 4360:2004.  

Menurut AS/NZS, elemen‐elemen dalam manajemen risiko (Gambar 2.1) dapat dijelaskan 
sebagai berikut: 

a. Komunikasi dan Konsultasi  

Proses  komunikasi  dan  konsultasi  bertujuan  memperoleh  informasi  yang  relevan 


serta mengkomunikasikan setiap tahapan proses manajemen risiko sehingga pihak‐
pihak yang terkait dapat menjalankan tanggungjawabnya dengan baik. Proses yang 
melekat  pada  seluruh  proses  manajemen  risiko  ini  dilakukan  dengan  cara 
mengembangkan komunikasi dengan stakeholder internal maupun eksternal.  

b. Penetapan Konteks  

Penetapan  konteks  bertujuan  untuk  mengidentifikasi  dan  menganalisis  organisasi 


sebagai  lingkungan  tempat  manajemen  risiko  akan  diterapkan.  Dalam  proses  ini 
diidentifikasi  pihak‐pihak  yang  paling  berkepentingan  dengan  proses  penerapan 
manajemen risiko, ruang lingkup dan tujuan proses, kondisi yang membatasi, serta 
hasil  yang  diharapkan  dari  penerapan  manajemen  risiko.  Sebagai  bagian  dari 
penetapan konteks, disusunlah kriteria untuk menganalisis dan mengevaluasi risiko.  

c. Identifikasi Risiko  

Identifikasi  risiko  bertujuan  untuk  mengidentifikasi  seluruh  jenis  risiko  yang 


berpotensi  menghalangi,  menurunkan,  atau  menunda  tercapainya  sasaran  Unit 
Pemilik  Risiko  yang  ada  dalam  organisasi.  Proses  ini  dilakukan  dengan  cara 
mengidentifikasi  lokasi,  waktu,  sebab  dan  proses  terjadinya  peristiwa  risiko  yang 
dapat menghalangi, menurunkan, atau menunda tercapainya sasaran. 

Tata Kelola, Manajemen Risiko, dan Pengendalian Intern 31


 
d. Analisis Risiko  

Analisis risiko bertujuan untuk mengetahui profil dan peta dari risiko‐risiko yang ada 
di  organisasi  dan  akan  digunakan  dalam  proses  evaluasi  dan  strategi  penanganan 
risiko.  Proses  analisis  risiko  dilakukan  dengan  cara  mencermati  sumber  risiko  dan 
tingkat  pengendalian  yang  ada  serta  dilanjutkan  dengan  menilai  risiko  dari  sisi 
konsekuensi dan kemungkinan terjadinya.  

e. Evaluasi Risiko  

Evaluasi risiko bertujuan untuk menetapkan prioritas risiko yang telah diidentifikasi 
dan dianalisis. Evaluasi risiko dilakukan agar para pengambil keputusan di organisasi 
bisa  mempertimbangkan  perlu  tidaknya  dilakukan  penanganan  risiko  lebih  lanjut 
serta  prioritas  penanganannya.  pada  langkah  ini  dilakukan  pembandingan  antara 
nilai patokan resiko yang ingin dicapai organisasi (lihat langkah 1) dengan nilai hasil 
perhitungan resiko yang dihasilkan langkah 3 di atas. Setelah itu dipilah‐pilah mana 
resiko yang masuk dalam kriteria organisasi dan mana yang tidak masuk kriteria. 

f. Penanganan Risiko  

Proses penanganan risiko bertujuan menentukan jenis penanganan yang efektif dan 
efisien  untuk  suatu  risiko.  Penanganan  risiko  dilakukan  dengan  mengidentifikasi 
berbagai  opsi  penanganan  risiko  yang  tersedia  dan  memutuskan  opsi  penanganan 
risiko yang terbaik yang dilanjutkan dengan pengembangan rencana mitigasi risiko.  

g. Monitoring dan Review  

Monitoring  dan  review  bertujuan  mengantisipasi  perubahan  risiko  yang  bersifat 


mendadak  dan  persistent  baik  pada  tingkat  risiko  maupun  arah  risiko  yang 
berdampak  negatif  pada  profil  risiko.  Proses  monitoring  dan  review  dilakukan 
dengan cara memantau efektivitas rencana penanganan risiko, strategi, dan sistem 
manajemen risiko.  

32    2014 |Pusdiklatwas BPKP


 
Komunikasi 
Penetapan  Identifikasi  Analisis  Evaluasi  Penanganan  Monitor & 

Konteks Risiko Risiko Risiko Risiko Reviu
Konsultansi
 

Penetapan konteks
Komunikasi dan Konsultansi

Monitoring dan reviu
Identifikasi risiko
Penilaian risiko
Analisis risiko

Evaluasi risiko

Penanganan risiko

 
 
Gambar 3.1 
Elemen/Proses Manajemen Risiko 
 

Secara detail akan dijelaskan di bawah ini. 

a. Komunikasi dan Konsultasi 

Komunikasi  dan  konsultasi  melekat  di  setiap  tahap  proses  manajemen  risiko. 
Komunikasi  dan  konsultasi  harus  melibatkan  dialog  dua  arah  dengan  stakeholders, 
difokuskan  pada  konsultasi  daripada  dialog  satu  arah  dari  pembuat  keputusan 
kepada stakeholders. Sangatlah penting untuk mengembangkan rencana komunikasi 
kepada  stakeholders  internal  maupun  eksternal  di  tahap  awal  proses  manajemen 
risiko. Rencana tersebut harus mengakomodir hal yang berkaitan dengan risiko dan 
proses untuk mengelolanya. 

Komunikasi  internal  maupun  eksternal  yang  efektif  sangat  penting  untuk 


memastikan  bahwa  pihak‐pihak  yang  bertanggung  jawab  atas  implementasi 
manajemen  risiko  mengerti  terhadap  dasar  keputusan  diambil  dan  mengapa 
kegiatan  tertentu  diperlukan.  Stakeholders  memiliki  sudut  pandang  dan  pendapat 

Tata Kelola, Manajemen Risiko, dan Pengendalian Intern 33


 
yang  sangat  beragam.  Untuk  itu,  perlu  dipastikan  bahwa  komunikasi  harus 
memperoleh informasi yang relevan. 

Di  sisi  konsultasi,  adanya  pendekatan  mengenai  tim  konsultan  akan  membantu 
dalam penetapan konteks secara tepat, membantu memastikan bahwa risiko telah 
diidentifikasi  secara  efektif,  memberi  masukan  dalam  menganalisa  dan 
mengevaluasi risiko dari berbagai sudut pandang keahlian.  

b. Penetapan Konteks 

1) Gambaran umum 

Penetapan konteks adalah tahap penentuan parameter internal dan eksternal, 
lingkup kerja dan kriteria risiko. Penetapan konteks merupakan dasar/ pijakan 
bagi  proses  manajemen  risiko  selanjutnya.  Perolehan  gambaran  menyeluruh 
dari parameter dasar; ruang lingkup, dan kerangka kerja, bertujuan untuk: 

ƒ mengidentifikasi lingkungan penerapan manajemen risiko; 

ƒ mengetahui  dan  menetapkan  pihak  yang  paling  berkepentingan 


(stakeholders utama) 

ƒ menetapkan  ruang  lingkup,  tujuan,  kondisi  yang  membatasi  dan  hasil 


yang diharapkan; dan 

ƒ menetapkan kriteria untuk menganalisis dan mengevaluasi risiko. 

Langkah‐langkah dalam penetapan konteks adalah:  

a) menetapkan konteks eksternal‐internal,  

b) menetapkan konteks manajemen risiko, dan  

c) menetapkan kriteria penilaian risiko. 

2) Penetapan konteks ekternal ‐ internal 

Dalam  penetapan  konteks  eksternal,  dilakukan  analisis  hubungan  organisasi 


dan lingkungan eksternalnya seperti: 

34    2014 |Pusdiklatwas BPKP


 
ƒ Lingkungan politik, ekonomi, sosial, budaya, hukum, teknologi, alam, dan 
lain‐lain. 

ƒ Persepsi dan nilai para pemangku kepentingan eksternal. 

Sedangkan penetapan konteks internal adalah untuk memastikan keselarasan 
manajemen  risiko  harus  dengan  budaya,  proses  dan  struktur  organisasi 
dengan mempertimbangkan: 

ƒ kapabilitas organisasi; 

ƒ sistem informasi dan komunikasi; 

ƒ struktur organisasi; 

ƒ kebijakan, sasaran, strategi; 

ƒ persepsi, nilai dan budaya organisasi; dan 

ƒ pemangku kepentingan internal. 

3) Penetapan konteks manajemen risiko 

Penetapan konteks manajemen risiko adalah untuk menentukan: 

ƒ sasaran, tujuan, strategi, dan kebijakan manajemen risiko; 

ƒ lingkup dan luas cakupan manajemen risiko; 

ƒ sumber daya yang diperlukan; 

ƒ jadwal waktu penyelesaian; dan 

ƒ dokumentasi dan catatan yang harus dibuat. 

4) Penetapan kriteria risiko 

Penetapan  kriteria  terkait  risiko  dapat  dilakukan  dengan  mempertimbangkan 


kriteria operasional, teknis, keuangan, hukum, sosial, lingkungan, budaya dan 
kriteria lainnya, tergantung kebijakan internal, tujuan dan sasaran organisasi. 

Kerangka acuan bagaimana mengukur risiko adalah sebagai berikut: 

Tata Kelola, Manajemen Risiko, dan Pengendalian Intern 35


 
a) Tingkat Konsekuensi Risiko:   Kriteria  penilaian  akibat 
timbulnya  risiko  finansial, 
hukum,  politik,  citra,  dan  lain‐
lain. 

b) Tingkat Kemungkinan Terjadinya Risiko: Ukuran kemungkinan terjadinya 
risiko  berdasarkan  probabilitas, 
frekuensi  kejadian  maupun 
expert judgement. 

c) Level Risiko:   Menentukan  tingkat  risiko 


untuk  mengambil  keputusan 
dilakukannya  upaya  penangan‐
an atau tidak. 

c. Identifikasi Risiko 

Tahap identifikasi risiko merupakan tahap untuk mengenali seluruh aktivitas entitas, 
baik yang sedang maupun yang baru berjalan. Identifikasi risiko dilaksanakan dengan 
tujuan  untuk  mengenali  faktor‐faktor  risiko  yang  dapat  menghambat  pencapaian 
tujuan  entitas,  menyebabkan  kerugian,  dan  bahkan  merusak  reputasi  entitas 
tersebut.  Tahap  ini  menetapkan  apa,  dimana,  kapan,  mengapa,  dan  bagaimana 
sesuatu  dapat  terjadi,  sehingga  dapat  berdampak  negatif  terhadap    pencapaian 
tujuan (4w + h). 

Identifikasi risiko secara menyeluruh yang ada di dalam entitas akan menghasilkan 
suatu daftar risiko (risk register). Seluruh risiko yang telah teridentifikasi kemudian 
dikelompokkan  ke  dalam  kategori‐kategori  tertentu  seperti  risiko  strategis,  risiko 
gangguan operasional, risiko finansial, risiko reputasi, risiko kepegawaian, dan lain‐
lain. Aktivitas identifikasi risiko merupakan tanggung jawab masing‐masing pemillik 
risiko (risk owner) untuk proses dan unit terkait. 

Tahap  identifikasi  atas  risiko  yang  mengancam  capaian  tujuan  organisasi  dapat 
dilakukan dengan menggunakan beberapa teknik antara lain: 

36    2014 |Pusdiklatwas BPKP


 

ƒ   interviu  ƒ brainstorming 
ƒ   survei melalui internet  ƒ focus group discussion 
ƒ   review dokumen  ƒ pengalaman lalu 
ƒ   review target kinerja  ƒ praktik di lapangan 
ƒ   workshop yang difasilitasi  ƒ pengetahuan terbaru 
ƒ   analisis pohon bercabang  ƒ investigasi kasus 
 

d. Analisis Risiko 

Setelah  merumuskan  risiko,  tahap  selanjutnya  adalah  menganalisis  risiko  tersebut. 


Dalam melakukan analisis risiko, dapat menggunakan sumber yang memadai, antara 
lain: 

ƒ   dokumen‐dokumen terdahulu  ƒ survei kepuasan publik 
ƒ   pengalaman yang relevan  ƒ eksperimen dan prototipe 
ƒ   praktik‐praktik terbaik yang pernah ada  ƒ pertimbangan dari ahli/pakar 
ƒ   literatur yang relevan  ƒ brainstorming 
 

Dari beberapa macam metode analisis risiko tersebut, untuk efisiensi proses tahap 
awal  penilaian  risiko  digunakan  teknik  brainstroming  melalui  workshop  yang 
difasilitasi. 

Analisis  risiko  merupakan  langkah  untuk  menentukan  nilai  dari  suatu  risiko  yang 
telah  diidentifikasi  dengan  mengukur  nilai  kemungkinan  dan  dampaknya. 
Berdasarkan  hasil  penilaian  tersebut,  suatu  risiko  dapat  ditentukan  tingkat  dan 
status  risikonya  sehingga  dapat  dihasilkan  suatu  informasi  untuk  menciptakan 
desain pengendaliannya. 

Secara sederhana, level risiko dihitung dengan rumus berikut. 

  Level Risiko = Kemungkinan x Dampak 

Pengukuran  risiko  akan  dilihat  dari  dua  perspektif  yaitu  kemungkinan  keterjadian 
(likelihood) dan besarnya pengaruh/ dampak risiko terhadap entitas (impact). Risiko 
dinilai dengan mengacu kepada tabel kriteria yang terkait dengan likelihood maupun 
impact.  Kriteria  sebagai  acuan  penilaian  dimaksud  akan  terus  berkembang  dan 

Tata Kelola, Manajemen Risiko, dan Pengendalian Intern 37


 
berubah  untuk  disesuaikan  dengan  perkembangan  aktivitas  entitas  dan  perubahan 
risk appetite entitas. Hasil penilaian keseluruhan risiko tersebut kemudian dipetakan 
ke dalam Peta Risiko (Risk Map).  

Peta risiko merupakan penggambaran secara visual tingkat masing‐masing individual 
risiko  yang  telah  teridentifikasi  dengan  diberi  warna‐warna  menurut  tinggi 
rendahnya.  Risiko‐risiko  yang  sangat  tinggi  (very  high)  diindikasikan  dengan  warna 
merah  dan  masuk  dalam  kategori  risiko  yang  memerlukan  perhatian  manajemen. 
Risiko‐risiko  ini  memerlukan  perhatian  segera  dari  manajemen  karena 
membutuhkan mitigasi/ rencana aksi yang segera untuk dapat mengurangi besarnya 
pengaruh  dampak  dan/atau  kemungkinan  keterjadian  risiko  tersebut.  Risiko‐risiko 
tinggi  (high)  dan  menengah  (medium)  secara  berturut‐turut  diindikasikan  dengan 
warna  oranye  dan  kuning.  Risiko‐  risiko  yang  masuk  dalam  kwadran  tinggi  dan 
medium  (oranye  dan  kuning),  bersama‐sama  dengan  risiko‐  risiko  dengan  katagori 
sangat tinggi merupakan risiko organisasi yang harus menjadi pertimbangan Internal 
Audit  dalam  menentukan  fokus  dan  Rencana  Kerja  Internal  Audit.  Risiko‐risiko 
rendah  (low)  dan  sangat  rendah  (very  low)  diindikasikan  dengan  warna  biru  dan 
hijau.  Risiko‐risiko  ini  harus  dikelola  melalui  tindakan  pemantauan  (monitoring) 
untuk meyakinkan dampak dan kemungkinan tetap berada di kwadran rendah dan 
sangat rendah, atau dapat dikurangi ke tingkat minimum secara ideal. 

Dalam  melakukan  analisis  dampak  dan  probabilitas  dari  suatu  risiko  dapat 
menggunakan  skala  yang  umumnya  menggunakan  skala  3,  skala  4,  skala  5.  Unit 
organisasi  dapat  menggunakan  ukuran  tersebut  sesuai  dengan  kondisi  masing‐
masing.  Berdasarkan  praktik  percontohan  yang  dilakukan  di  beberapa  K/L/Pemda, 
skala risiko yang digunakan adalah skala 4, dengan pertimbangan untuk menghindari 
peserta memilih angka/ukuran yang di tengah. 

Apabila skala 4 yang dipakai, maka contoh penilaian atas dampak dan kemungkinan 
dapat diuraikan sebagai berikut. 

38    2014 |Pusdiklatwas BPKP


 
No.  Dampak  Uraian 
1  Sangat Rendah  Pengaruh terhadap capaian tujuan sangat rendah 
2  Rendah  Pengaruh terhadap capaian tujuan rendah 
3  Besar  Pengaruh terhadap capaian tujuan besar 
4  Sangat Besar  Pengaruh terhadap capaian tujuan sangat besar 
 
Tabel 3.1 
Skala Dampak Risiko 
 
 
No.  Kemungkinan  Uraian 
1  Sangat Jarang  Hampir tidak pernah terjadi 
2  Jarang  Mungkin terjadi tetapi tidak sering 
3  Sering  Mungkin terjadi dan kejadiannya cukup banyak 
4  Sangat Sering  Dapat terjadi dan kejadiannya sangat banyak 
 
Tabel 3.2 
Skala Kemungkinan Terjadi Risiko 
 

Penentuan ukuran atas dampak dan kemungkinan secara kuantitas dapat ditentukan 
oleh  tiap  unit  organisasi  sesuai  kebijakan  masing‐masing.  Besarnya  dampak  atau 
kemungkinan  tiap  unit  organisasi  mungkin  berbeda  satu  sama  lain.  Kejadian  atas 
risiko sebanyak 2 kali dalam sebulan mungkin masih dianggap jarang bagi suatu unit 
organisasi, sementara bagi unit organisasi lainnya bisa dianggap sering. 

Hasil  dari  analisis  risiko  adalah  profil  dan  peta  dari  risiko‐risiko  yang  ada.  Setelah 
menilai  risiko  terkait  dengan  dampak  dan  probabilitas  terhadap  masing‐masing 
risiko, proses selanjutnya adalah melakukan prioritas risiko berdasarkan status risiko 
dari perkalian dampak dan probabilitas atau dengan melihat peta risikonya. 

Contoh peta risiko dapat dilihat pada gambar berikut. 

Tata Kelola, Manajemen Risiko, dan Pengendalian Intern 39


 

  
Gambar 3.2 
Peta Risiko 
 

Pada gambar diatas terdapat peta status risiko, yang terdiri dari 4 (empat) tingkatan, 
yaitu: 

ƒ Tingkat I adalah status risiko sangat rendah 

ƒ Tingkat II adalah status risiko rendah 

ƒ Tingkat III adalah status risiko tinggi 

ƒ Tingkat IV adalah status risiko sangat tinggi 

Status risiko menunjukkan prioritas risiko yang akan ditangani. Semakin  tinggi status 
risiko,  maka  penanganannya  harus  diprioritaskan.  Demikian  juga  sebaliknya, 
semakin  rendah  status  risikonya,  maka  penanganan  atas  risiko  tersebut  bukan 
menjadi  prioritas  utama,  bahkan  dapat  diabaikan.  Hal  ini  terkait  dengan  biaya  dan 
manfaat  suatu  pengendalian  yang  akan  dibangun.  Biaya  yang  dikeluarkan  untuk 
melaksanakan  pengendalian  tersebut  adalah  sesuai  dengan  manfaat  yang  diterima 
oleh suatu organisasi. 

40    2014 |Pusdiklatwas BPKP


 
Dalam  menetapkan  skala  risiko  biasanya  menggunakan  beberapa  jenis  skala  yaitu 
skala  3,  skala  4,  dan  skala  5.  Penetapan  skala  tersebut  adalah  tergantung  dari 
kebijakan pimpinan unit organisasi. Semakin tinggi skala risiko yang digunakan, maka 
akan semakin banyak pilihan pengendalian yang akan digunakan. 

e. Evaluasi Risiko 

Berdasarkan hasil analisis risiko, dilakukan evaluasi risiko yang bertujuan untuk: 

ƒ Mengetahui risiko yang memiliki tingkat prioritas tertinggi hingga terendah 

ƒ Menentukan  risiko  mana  yang  ditindaklanjuti  dengan  penanganan  dan  risiko 


mana saja yang hanya perlu dipantau  

Pada tahap ini dilakukan penilaian setiap level risiko ke dalam urutan prioritas risiko, 
yang  akan  menjadi  dasar  bagi  kegiatan  mitigasi  risiko.  Evaluasi  harus 
mempertimbangkan  selera  risiko  yang  telah  ditetapkan  organisasi  pada  tahap 
penetapan konteks. Prioritas dapat didasarkan pada level risiko atau hal lain seperti: 

ƒ Besarnya dampak penanganan tersebut terhadap konteks yang lebih luas 

ƒ Kemungkinan suatu peristiwa tertentu 

ƒ Efek kumulatif dari beberapa peristiwa  

ƒ Tingkat ketidakpastian level risiko pada tingkat keyakinan tertentu 

f. Penanganan Risiko 

Tujuan penanganan risiko adalah untuk menentukan jenis penanganan yang efektif 
dan  efisien  untuk  suatu  risiko.  Penanganan  risiko  melibatkan  pemilihan  cara‐cara 
untuk penanganan risiko, memperkirakan cara‐cara tersebut beserta persiapan serta 
rencana  penerapannya.  Titik  awal  dari  identifikasi  cara‐cara  penanganan  risiko 
seringkali merupakan peninjauan kembali panduan penanganan risiko jenis tertentu, 
yang sudah ada. 

Beberapa konsep penting terkait penanganan risiko sebagai berikut. 

Tata Kelola, Manajemen Risiko, dan Pengendalian Intern 41


 
ƒ Menggunakan  pemahaman  mendalam,  pendekatan  sistematis  dan 
komprehensif  antara  lain:  risiko‐risiko  yang  perlu  mendapatkan  penanganan; 
prioritas  penanganannya;  dan  besarnya  dampak  penanganan  tersebut 
terhadap konteks yang lebih luas;  

ƒ Mempertimbangkan Cost and Benefit Analysis; 

ƒ Penanganan  risiko  diarahkan  pada  penanganan  akar  permasalahan  (root 


cause) dan bukan hanya gejala permasalahan. 

Proses penanganan risiko dapat dijelaskan sebagai berikut. 

1) Identifikasi opsi penanganan 

Beberapa opsi dalam penanganan risiko adalah sebagai berikut. 

ƒ Menghindari  risiko,  yaitu  memutuskan  untuk  tidak  memulai  atau 


meneruskan satu aktivitas yang meningkatkan risiko. 

ƒ Menerima  risiko,yaitu    memutuskan  untuk  tidak  melakukan  langkah 


mitigasi risiko. 

ƒ Mengurangi  konsekuensi  risiko,  yaitu  mengurangi  potensi  kerugian  dari 


dampak yang dihasilkan melalui penanganan dampak risiko (risiko telah 
terjadi). 

ƒ Mengurangi frekuensi risiko, yaitu mengurangi frekuensi terjadinya risiko 
melalui langkah‐langkah preventif. 

ƒ Membagi risiko, yaitu melibatkan pihak lain atau mengalihkan sebagian 
risiko kepada pihak lain, umumnya dengan suatu hubungan timbal balik 
yang  disepakati. 

2) Evaluasi opsi penanganan 

Evaluasi  dilakukan  untuk  menilai  kelebihan  dan  kekurangan  setiap  opsi  yang 
mungkin untuk diterapkan, dengan mempertimbangkan: 

42    2014 |Pusdiklatwas BPKP


 
ƒ opsi yang dipilih harus kompatibel dengan seluruh tujuan organisasi dan 
kriteria evaluasi risiko; 

ƒ unsur kepraktisan dan kelangsungannya; 

ƒ biaya dan kemungkinan penerapan langkah penanganan risiko. 

3) Pemilihan opsi penanganan 

Tujuannya  adalah  untuk  memutuskan  opsi  penanganan  risiko  yang  diambil 


sebagai langkah mitigasi risiko. Dasar pemilihan adalah: 

ƒ keuntungan penanganan risiko; 

ƒ biaya yang dikeluarkan; 

ƒ periode waktu pelaksanaan; 

ƒ ketidakmenentuan kondisi di masa yang akan datang; 

ƒ pengharapan (ekspektasi) sosial; 

ƒ adanya  penolakan  penanganan  risiko,  baik  oleh  personil  atau  oleh 


organisasi. 

4) Penyiapan rencana penanganan 

Tujuannya adalah untuk meningkatkan kesuksesan langkah penanganan risiko 
dan  mengontrol  langkah  aksi  penanganan  risiko.  Rencana  penanganan  risiko 
seharusnya: 

ƒ mengidentifikasikan tanggung jawab, jadwal, outcome yang diharapkan, 
anggaran  dana,  pengukuran  kinerja  dan  proses  review  yang  harus 
dijalankan; 

ƒ mencakup mekanisme untuk menilai dan memonitor efektivitas langkah 
penanganan risiko; 

Tata Kelola, Manajemen Risiko, dan Pengendalian Intern 43


 
ƒ mendokumentasikan  bagaimana  secara  praktisnya  opsi  yang  dipilih  itu 
akan diimplementasikan. 

5) Implementasi penanganan risiko 

Tujuannya  untuk  mengimplementasikan  rencana  penanganan  risiko  sehingga 


risiko  residual  sesuai  dengan  yang  diharapkan.  Implementasi  penanganan 
risiko seharusnya: 

ƒ memastikan  penanggung  jawab,  jadwal,  outcome  yang  diharapkan, 


anggaran  dana,  pengukuran  kinerja  dan  proses  review  telah  berjalan 
sesuai dengan rencana; 

ƒ mencakup mekanisme untuk menilai dan memonitor efektivitas langkah 
penanganan risiko; 

ƒ mendokumentasikan  hasil  dan  hambatan  serta  jalan  keluar  dalam 


implementasi penanganan risiko. 

6) Penilaian risiko residual 

Risiko  residual  adalah  risiko  yang  tetap  ada  setelah  opsi  penanganan  risiko 
diputuskan  dan  rencana  penanganan  risiko  telah  diimplementasikan.  Risiko 
residual  seharusnya  terdokumentasikan  dan  senantiasa  dimonitor  dan  di‐
review. 

g. Monitoring dan Review 

Monitoring  merupakan  pengamatan  terus  menerus  terhadap  kinerja  yang 


sebenarnya  dibandingkan  kinerja  yang  diharapkan.  Sedangkan  review  merupakan 
pemeriksaan  periodik  terhadap  kondisi  terkini  dan  biasanya  terfokus  pada  hal 
tertentu.  Monitoring  dan  review  amat  penting  dalam  proses  manajemen  risiko. 
Monitoring dan review dilakukan terhadap risiko itu sendiri, efektivitas penanganan 
risiko,  perencanaan  manajemen  risiko,  dan  sistem  manajemen  risiko  secara 
keseluruhan.    Ketika  terjadi  perubahan  organisasi  atau  terdapat  faktor  eksternal 
yang  berubah,  unit  kerja  pemilik  risiko  juga  akan  mengalami  perubahan  dalam  hal 

44    2014 |Pusdiklatwas BPKP


 
konteks  organisasi  (seperti  tujuan,  atau  kriteria  risiko),  risiko  dan  level  risiko,  dan 
efektivitas penanganan risiko.  

Tujuan monitoring dan review adalah:  

1) Memastikan  langkah  penanganan  risiko  benar‐benar  dilaksanakan  sesuai 


dengan rencana;  

2) Mengantisipasi  adanya  perubahan  risiko  yang  bersifat  mendadak  yang  dapat 


berpengaruh pada profil risiko;  

3) Mengetahui kondisi akhir dari profil risiko dalam satu unit kerja;  

4) Mengetahui  adanya  penyimpangan  atau  perbedaan  antara  harapan  dengan 


kenyataan atas proses manajemen risiko;  

5) Menentukan  langkah  selanjutnya  yang  diperlukan,  terkait  dengan  proses 


manajemen risiko.  

C. DOKUMENTASI MANAJEMEN RISIKO  

Masing‐masing  tahap  proses  manajemen  risiko  harus  didokumentasikan  secara  layak. 


Dokumentasi  harus  meliputi  asumsi,  metode,  sumber  data,  analisis,  hasil  serta  alasan 
pengambilan keputusan. 

Alasan untuk pendokumentasian adalah sebagai berikut: 

1. Menggambarkan proses manajemen risiko yang dilaksanakan telah berjalan dengan tepat. 

2. Memberikan masukan data dan informasi untuk proses identifikasi dan analisis risiko. 

3. Menyediakan daftar risiko yang ada dan mengembangkan database organisasi. 

4. Menyediakan  informasi  untuk  proses  pengambilan  keputusan  yang  relevan  dengan 


rencana dan pelaksanaan manajemen risiko.  

5. Menyediakan informasi untuk mekanisme tanggung gugat dan peralatan. 

6. Memfasilitasi pengawasan dan review yang berkelanjutan. 

Tata Kelola, Manajemen Risiko, dan Pengendalian Intern 45


 
7. Menyediakan informasi yang diperlukan untuk uji coba audit, dan 

8. Mensosialisasikan  dan  mengkomunikasikan  informasi  yang  berhubungan  dengan 


manajemen risiko. 

Dari setiap tahap manajemen risiko di atas, contoh dokumentasi hasil setiap tahap adalah: 
Proses  Dokumen Terkait 

Menetapkan konteks   1) Kebijakan /Piagam Manajemen Risiko  
2) Kriteria Evaluasi Risiko  

Mengidentifikasi risiko dan  1) Daftar Hasil Identifikasi Risiko  
melakukan asesmen risiko  2) Matriks Analisis Risiko  
(menganalisis dan mengevaluasi 
risiko)   3) Asumsi, Metode dan Sumber Data yang 
Digunakan  

Memberi tanggapan dan perlakuan  Daftar Rencana Tindakan/Mitigasi Risiko (Tanggapan 
atas risiko   dan Perlakuan)  

Memantau dan mengkaji‐ulang serta  1) Daftar Hasil Monitoring Risiko 
melakukan komunikasi dan  2) Laporan Status dan Kemajuan serta Rekomendasi 
konsultansi   Penyempurnaan atau Laporan Hasil Monev 
3) Catatan Komunikasi dan Konsultansi  
 

Dalam  membangun  budaya  peduli  risiko,  terdapat  beberapa  hambatan  dalam  menerapkan 
manajemen risiko, diantaranya:  

• Risiko pada sektor publik seringkali masih dipandang sebagai sesuatu yang negatif, jadi jika 
ditampilkan dikhawatirkan akan memberi kesan buruk. Padahal, jika risiko tersebut benar 
terjadi, maka dampaknya bisa jadi lebih buruk.  

• Risiko dipandang sebagai sumber pemborosan biaya. Meskipun pada umumnya pimpinan 
instansi  menyadari  bahwa  biaya/kerugian  yang  timbul  akibat  kegagalan  dalam 
mengatasi/memitigasi risiko yang harus ditanggung mungkin lebih besar. 

• Daya  tarik  terhadap  potensi  untuk  melakukan  penyimpangan  yang  menjurus  kepada 
perbuatan  fraud  dianggap  lebih  memberikan  keuntungan  yang  besar,  sehingga  mereka 
cenderung  mengabaikan  peringatan  terhadap  dampak  risiko.  Contohnya  adalah  risiko 

46    2014 |Pusdiklatwas BPKP


 
penunjukkan  langsung  dalam  pemilihan  penyedia  barang  dan  jasa  mempunyai  risiko 
terjadinya kecurangan yang tinggi, namun justru cara penunjukkan langsung banyak dipilih 
oleh pembuat keputusan.  

• Tata Kelola Pemerintahan yang lemah, karena control dari unit pengawasan baik internal 
maupun eksternal masih sangat lemah dan mudah dikompromikan. 
 
 
 

Tata Kelola, Manajemen Risiko, dan Pengendalian Intern 47


 

Bab IV 
PENGENDALIAN INTERN 
 
 
Indikator Keberhasilan  
Setelah mengikuti pemelajaran ini diharapkan peserta diklat memiliki pengetahuan  
mengenai pengendalian intern organisasi.  
 
 

Banyaknya  permasalahan  yang  terjadi  dalam  penyelenggaraan  pemerintahan  menjadi  isu 


penting  yang  harus  segera  diselesaikan.  Untuk  itu,  dituntut  adanya  penyelenggaraan 
pemerintahan yang yang transparan, akuntabel, dan terukur serta menjalankan prinsip‐prinsip 
good  governance.  Untuk  mewujudkannya  diperlukan  suatu  sistem  pengendalian  intern  yang 
dapat  memberikan  keyakinan  yang  memadai  atas  tercapainya  tujuan  organisasi  secara  efektif 
dan  efisien, keandalan  pelaporan  keuangan,  pengamanan  aset  negara, dan  ketaatan  terhadap 
peraturan perundang‐undangan yang berlaku.  

Sistem  pengendalian  intern  lebih  dahulu  berkembang  pesat  di  sektor  swasta  atau  korporasi. 
Selanjutnya,  mengingat  pentingnya  sistem  pengendalian  tersebut  bagi  sektor  publik,  konsep 
pengendalian sektor korporasi ini kemudian diadopsi untuk diterapkan di sektor publik. 

A. DEFINISI DAN TUJUAN PENGENDALIAN INTERN 

Perkembangan  sistem  pengendalian  intern  sektor  publik  dipengaruhi  oleh  perkembangan  di 
sektor  korporasi.  Tahun  1992,  The  Committee  of  Sponsoring  Organizations  of  the  Treadway 
Commission  (COSO),    grup  studi  yang  populer  dengan  nama  COSO,  pada  September  1992 
menyampaikan laporan dengan judul “Internal Control – Integrated Framework”. COSO adalah 
suatu  komisi  yang  bertujuan  merumuskan  Pengendalian  Intern  secara  lebih  mendalam  dan 
beranggotakan  wakil‐wakil  dari  Financial  Executives  Institute,  AICPA,  American  Accounting 
Associations, The Institute of Internal Auditors, dan Institute of Management Accountants.  

Dengan  mengacu  pada  sistem  pengendalian  intern  yang  dikembangkan  COSO  tersebut,  untuk 
sektor publik, General Accounting Office (GAO) pada tahun 1999 mendefinisikan pengendalian 
intern sebagai berikut: 

Tata Kelola, Manajemen Risiko, dan Pengendalian Intern 49


 
“Internal Control : a process, affected by an entity’s board of directors, management, and 
other  personil,  designed  to  provide  reasonable  assurance  regarding  the  improvement  of 
objectives in the following categories: 
- Effectiveness and efficiency of operation, 
- Reliability of financial reporting, 
- Compliance with applicable laws and regulations” 

Yang dapat diterjemahkan sebagai berikut:  

Pengendalian  intern  merupakan  suatu  proses,  yang  dipengaruhi  oleh  dewan  komisaris 
suatu entitas, manajemen, dan personil lainnya, dirancang untuk menyediakan keyakinan 
yang memadai berkaitan dengan pencapaian tujuan dalam berbagai kategori: 
- Efektivitas dan efisiensi kegiatan 
- Keandalan pelaporan keuangan 
- Ketaatan pada peraturan dan ketentuan yang berlaku 
 

Pada tahun 2001, International Organization of Supreme Audit Instituitions (INTOSAI) membuat 
exposure  draft  yang  berjudul  "Guidelines  for  Internal Control  Standards  for  the  Public  Sector", 
yakni  penerapan  konsep  pengendalian  intern  untuk  sektor  publik.  Menurut  INTOSAI  Internal 
Control  Standards  Committee,  dalam  Guidelines  for  Internal  Control  Standards  for  the  Public 
Sector, Budapest 2004, sistem pengendalian intern didefinisikan sebagai : 

"An  integral  process  that  effected  by  an  entity's  management  and  personnel  and  is 
designed to address risk and to provide reasonable assurance that in pursuit of the entity's 
mission, the following general objectives are being achieved: 
1) Executing orderly, ethical, economical, efficient and effective operations ; 
2) Fulfilling accountability obligations;  
3) Complying applicable laws and regulations ; and 
4) Safeguarding resources againts loss, misuse and damage."  
 

Selanjutnya,  Institute  of  Internal  Auditors  (IIA)  mendefinisikan  internal  control   sebagai  "Any 
action  taken  by  management,  the  board,  and  other  parties  to  enhance  risk  management  and 
increase  the  likelihood  that  established  objectives  and  goals  will  be  achieved.  Management 
plans,  organizes,  and  directs  the  performance  of  sufficient  actions  to  provide  reasonable 
assurance that objectives and goals will be achieved "  

Pengendalian intern dibangun untuk mencapai tujuan organisasi melalui pemanfaatan seluruh 
sumber daya secara ekonomis, efisien, efektif dan sesuai dengan ketentuan yang berlaku. Pada 
prinsipnya  fungsi  pengendalian  internal  bertujuan  untuk  mengidentifikasi  terjadinya  deviasi 

50    2014 |Pusdiklatwas BPKP


 
atau  penyimpangan  atas  pelaksanaan  kegiatan  dibandingkan  dengan  rencana  yang  telah 
ditetapkan,  sehingga  dapat  dilakukan  tindakan  koreksi  oleh  pihak  manajemen.    Pengendalian 
intern  dapat  mencakup  pengendalian  yang  bersifat  preventif  yaitu  berupa  perancangan  suatu 
sistem pengendalian, ataupun detektif untuk mengatasi penyimpangan yang sudah terjadi. 

Dari  pengertian  pengendalian  intern  yang  diberikan  oleh  Committee  of  sponsoring 
Organizations  of  the  Treadway  Commission  (COSO)  dapat  disimpulkan  bahwa  dengan  adanya 
pengendalian intern diharapkan: 

1. Suatu  organisasi  sebagai  suatu  entitas    dapat  mencapai  tujuan  organisasi  dengan  efektif 
dan efisien. 

2. Laporan keuangan dapat diandalkan. 

3. Organisasi taat terhadap peraturan perundang‐undangan yang berlaku. 

Di lain pihak, Institute  of Internal Auditor (IIA), merinci tujuan dan sasaran pengendalian, yaitu 
untuk memperoleh jaminan yang memadai bahwa: 

1. Informasi keuangan dan operasional  layak dipercaya. 

2. Seluruh  transaksi  atau  kegiatan,  dilaksanakan  berdasarkan  ketaatan  terhadap  kebijakan, 


rencana, prosedur, dan peraturan perundang‐undangan yang berlaku. 

3. Terselenggaranya pengamanan aset dengan baik. 

4. Penggunaan sumber daya dilakukan secara ekonomis. 

5. Kegiatan  operasional  telah  ditangani  sesuai  rencana  dan  hasilnya  telah  sesuai  dengan 
tujuan dan sasaran yang telah ditetapkan. 

Terkait  sektor  pemerintahan  di  Indonesia,  pendekatan  terkini  dari  sistem  pengendalian  intern 
adalah  Sistem  Pengendalian  Intern  Pemerintah  (SPIP)  yang  didasarkan  pada  Peraturan 
Pemerintah Nomor 60 Tahun 2008. Pengertian Sistem Pengendalian Intern menurut PP Nomor 
60 Tahun 2008 tentang SPIP adalah: 

"Proses  yang  integral  pada  tindakan  dan  kegiatan  yang  dilakukan  secara  terus  menerus 
oleh  pimpinan  dan  seluruh  pegawai  untuk  memberikan  keyakinan  memadai  atas 
tercapainya  tujuan  organisasi  melalui  kegiatan  yang  efektif  dan  efisien,  keandalan 

Tata Kelola, Manajemen Risiko, dan Pengendalian Intern 51


 
pelaporan  keuangan,  pengamanan  aset  negara,  dan  ketaatan  terhadap  peraturan 
perundang‐undangan." 

Tujuan SPIP adalah memberikan keyakinan memadai atas tercapainya tujuan organisasi melalui:  

1. kegiatan yang efektif dan efisien;  

2. laporan keuangan yang dapat diandalkan;  

3. pengamanan aset negara; serta  

4. ketaatan terhadap peraturan perundang‐undangan.  

Keempat tujuan tersebut di atas tidak perlu dicapai secara khusus atau terpisah‐pisah. Dengan 
kata  lain,  instansi  pemerintah  tidak  harus  merancang  secara  khusus  pengendalian  untuk 
mencapai  satu  tujuan.  Suatu  kebijakan  atau  prosedur  dapat  saja  dikembangkan  untuk  dapat 
mencapai lebih dari satu tujuan pengendalian. 

Menurut  SPIP,  terdapat  lima  unsur  yang  menjadi  substansi  dari  sistem  pengendalian,  yakni: 
Lingkungan  Pengendalian,  Penilaian  Risiko,  Aktivitas  Pengendalian,  Informasi  dan  Komunikasi, 
serta  Pemantauan  Pengendalian  Intern.  Kelima  unsur    sistem  pengendalian  intern  merupakan 
komponen  yang  terjalin  erat  satu  dengan  yang  lainnya  dengan  komponen  lingkungan 
pengendalian sebagai fondasinya. Unsur lingkungan pengendalian memiliki dampak yang sangat 
kuat  terhadap  struktur  kegiatan,  penetapan  tujuan  dan  penilaian  risiko.  Lingkungan 
pengendalian juga mempengaruhi kegiatan pengendalian, sistem informasi dan komunikasi, dan 
pemantauan pengendalian intern. Gambar kubus di bawah ini menjelaskan bahwa semua unsur 
pengendalian  disusun  dengan  urutan  kronologisnya  yang  bertujuan  (kubus  paling  atas)  untuk 
memperoleh kegiatan operasi yang efisien dan efektif, pengamanan aset, pelaporan keuangan 
yang dapat diandalkan, dan ketaatan kepada peraturan dan ketentuan yang berlaku. Sedangkan 
sisi  kanan  kubus  menjelaskan  bahwa  implementasi  kelima  unsur  pengendalian  tersebut  dapat 
diterapkan  untuk  aktivitas  unit  atau  kegiatan  tertentu.  Hubungan  kelima  unsur  dapat 
digambarkan sebagai berikut. 

52    2014 |Pusdiklatwas BPKP


 

 
Gambar 4.1 
Sistem Pengendalian Intern Pemerintah 
 

Penjelasan yang lebih rinci dari masing‐masing unsur SPIP disampaikan pada sub bab berikut. 

B. UNSUR PENGENDALIAN INTERN 

COSO memberikan suatu kerangka kerja pengendalian intern secara umum, yang didesain untuk 
memuaskan  kebutuhan  semua  kelompok  yang  berhubungan  dengan  sistem  pengendalian 
intern,  yaitu  manajemen  entitas,  auditor  ekstern  dan  intern,  manajemen  keuangan,  akuntan 
manajemen, dan pemegang otoritas (pasar modal). Tujuan sistem pengendalian intern menjadi 
luas, mencakup tidak hanya untuk menjamin keandalan pelaporan keuangan, tetapi juga untuk 
efektivitas dan efesiensi operasi, serta kepatuhan terhadap hukum dan peraturan yang berlaku. 

COSO merumuskan 5 unsur utama pengendalian intern yang saling berkaitan, yaitu: 

1. Lingkungan pengendalian (control environment) 

2. Penilaian risiko (risk assessment) 

3. Aktivitas pengendalian (control activities) 

4. Informasi dan komunikasi (information and communication) 

5. Pemantauan (monitoring) 

Tata Kelola, Manajemen Risiko, dan Pengendalian Intern 53


 
Menurut  COSO,  unsur‐unsur  tersebut  bersumber  dari  cara  manajemen  (pimpinan) 
menyelenggarakan  tugasnya  dan  oleh  karena  itu  unsur  ini  menyatu  (built  in)  dan  terjalin 
(permeatted) dalam proses bisnis. 

Konsep  COSO  tersebut  kemudian  diadopsi  dalam  PP  Nomor  60  Tahun  2008  tentang  Sistem 
Pengendalian Intern Pemerintah (SPIP), dengan penjelasan masing‐masing unsur pengendalian 
intern adalah sebagai berikut: 

1. Lingkungan Pengendalian 

PP Nomor 60 Tahun 2008 mewajibkan pimpinan instansi pemerintah untuk menciptakan 
dan memelihara lingkungan pengendalian yang menimbulkan perilaku positif dan kondusif 
untuk  penerapan  sistem  pengendalian  intern  dalam  lingkungan  kerjanya.  Hal  ini 
merupakan  komponen  yang  sangat  penting  dan  menjadi  unsur  dasar  di  dalam  SPIP. 
Kemampuan  pimpinan  untuk  menciptakan  dan  memelihara  lingkungan  kerja  yang 
kondusif  akan  menjadi motivasi  kuat  bagi  para  pegawai  untuk  memberikan  yang  terbaik 
dalam  pelaksanaan  pekerjaannya.  Sebaliknya,  pimpinan  yang  tidak/kurang  kompeten 
dalam  menciptakan  lingkungan  yang  positif  akan  berpotensi  mempengaruhi  pegawai 
untuk melakukan hal‐hal negatif yang dapat merugikan instansinya. 

Untuk  menciptakan  lingkungan  pengendalian  seperti  dimaksud  PP  tersebut,  pimpinan 


instansi  dapat  menerapkannya  melalui  sub  unsur‐sub  unsur  lingkungan  pengendalian 
sebagai berikut: 

a. Penegakan integritas dan nilai etika; 

b. Komitmen terhadap kompetensi; 

c. Kepemimpinan yang kondusif; 

d. Pembentukan struktur organisasi yang sesuai dengan kebutuhan; 

e. Pendelegasian wewenang dan tanggung jawab yang tepat; 

f. Penyusunan dan penerapan kebijakan yang sehat tentang pembinaan sumber daya 
manusia; 

g. Perwujudan peran aparat pengawasan intern pemerintah yang efektif; dan 

h. Hubungan kerja yang baik dengan Instansi Pemerintah terkait. 

54    2014 |Pusdiklatwas BPKP


 
2. Penilaian Risiko 

Tahap  penilaian  risiko  (risk  assessment)  merupakan  tahap  awal  dalam  pembangunan 
infrastruktur  pengendalian.  Melalui  penilaian  risiko  dapat  diketahui  risiko  yang  dihadapi 
unit kerja, untuk kemudian ditetapkan kebijakan respon terhadap risiko (mitigate, avoid, 
transfer,  share),  serta  kegiatan  pengendalian  yang  diperlukan.  Risiko  diidentifikasi  pada 
konteks  terkait  tujuan  entitas  maupun  aktivitas.  Agar  risiko  tersebut  dapat  diidentifikasi 
dengan baik, maka perlu terlebih dahulu dipahami proses bisnis/kegiatan organisasi.  

Penilaian risiko  terdiri dari empat sub unsur yaitu: 

a. Penetapan Tujuan Instansi  

Identifikasi  risiko  dimulai  dengan  penetapan  konteks/tujuan  organisasi  yang  jelas 


dan  konsisten,  Penetapan  konteks  dilakukan  dengan  menjabarkan  latar  belakang, 
ruang  lingkup,  tujuan  dan  hubungan  organisasi  dengan  lingkungan  eksternal  dan 
internal.  Oleh  karena  itu,  sebelum  melakukan  penilaian  risiko,  organisasi  perlu 
melakukan analisis lingkungan internal dan eksternal yang dapat menimbulkan risiko 
dan mempengaruhi pencapaian tujuan organisasi. 

b. Penetapan Tujuan Kegiatan 

Penetapan  konteks/tujuan  secara  jelas  dan  konsisten  juga  dilakukan  di  tingkat 
kegiatan/aktivitas. 

c. Identifikasi Risiko  

Sebelum  identifikasi  risiko,  kriteria  evaluasi  dan  struktur  analisis  risiko  perlu 
ditetapkan dalam rangka menentukan strategi aktivitas yang konsisten dan strategi 
manajemen  terintegrasi  dengan  rencana  penilaian  risiko.  Strategi  aktivitas 
diperlukan  untuk  menentukan  kriteria  evaluasi  mana  yang  akan  dianalisis  sesuai 
dengan struktur analisis 

Identifikasi  risiko  adalah  proses  menetapkan  apa,  dimana,  kapan,  mengapa,  dan 
bagaimana  sesuatu  dapat  terjadi,  sehingga  dapat  berdampak  negatif  terhadap 
pencapaian tujuan. Proses ini meliputi identifikasi risiko yang mungkin terjadi pada 

Tata Kelola, Manajemen Risiko, dan Pengendalian Intern 55


 
level  entitas  maupun  aktivitas.  Salah  satu  aspek  penting  dalam  identifikasi  risiko 
adalah memperoleh data risiko sebanyak‐banyaknya.  

d. Analisis Risiko  

Semua  risiko  yang  telah  diidentifikasi  harus  dianalisis  untuk  mengestimasi 


kemungkinan  munculnya  (probabilitas)  dan  besaran  dampak  risiko  terhadap 
pencapaian tujuan entitas maupun aktivitas.  

Hasil  penilaian  risiko  ini  kemudian  digunakan  sebagai  dasar  dalam  membangun 
infrastruktur dan melakukan aktivitas pengendalian. 

3. Kegiatan Pengendalian 

Unsur  sistem  pengendalian  intern  yang  ketiga  adalah  kegiatan  pengendalian.  Kegiatan 
pengendalian  intern  adalah  kebijakan  dan  prosedur  yang  dapat  membantu  memastikan 
dilaksanakannya arahan pimpinan Instansi Pemerintah untuk mengurangi risiko yang telah 
diidentifikasi selama proses penilaian risiko. 

Kebijakan  dibuat  untuk  mengarahkan  apa  yang  seharusnya  dikerjakan  dan  berfungsi 
sebagai dasar bagi penyusunan prosedur. Prosedur adalah rangkaian urut‐urutan tindakan 
yang  dilakukan  oleh  satu  atau  beberapa  orang  dalam  melaksanakan  kegiatan  tertentu. 
Kebijakan  dan  prosedur  tertulis  harus  ditetapkan  oleh  manajemen,  sebagai  dasar 
pelaksanaan kegiatan pengendalian.  

Pengertian yang lebih luas dari kegiatan pengendalian mencakup bukan hanya kebijakan 
dan  prosedur  tetapi  juga  teknik  dan  mekanismenya.  Teknik  merupakan  penjelasan  yang 
lebih  rinci  dari  prosedur  sedangkan  mekanisme  menjelaskan  siapa  dan  bagaimana  
menjalankan teknik tersebut.  

Kegiatan  pengendalian  yang  diterapkan  dalam  suatu  Instansi  Pemerintah  dapat  berbeda 
dengan  yang  diterapkan  pada  Instansi  Pemerintah  lain.  Perbedaan  penerapan  ini  antara 
lain disebabkan oleh perbedaan: 

a. visi, misi, dan tujuan; 

b. lingkungan dan cara beroperasi; 

56    2014 |Pusdiklatwas BPKP


 
c. tingkat kerumitan organisasi; 

d. sejarah atau latar belakang serta budaya; dan 

e. risiko yang dihadapi. 

Pimpinan  Instansi  pemerintah  wajib  menyelenggarakan  kegiatan  pengendalian  sesuai 


dengan  ukuran,  kompleksitas,  serta  sifat  dari  tugas  dan  fungsi  instansi  pemerintah  yang 
bersangkutan.  Dalam  pelaksanaannya,  unsur  kegiatan  pengendalian  memiliki  beberapa 
sub‐unsur, sebagai berikut:  

a. Review atas kinerja Instansi Pemerintah yang bersangkutan; 

b. Pembinaan sumber daya manusia; 

c. Pengendalian atas pengelolaan sistem informasi; 

d. Pengendalian fisik atas aset; 

e. Penetapan dan review atas indikator dan ukuran kinerja; 

f. Pemisahan fungsi; 

g. Otorisasi atas transaksi dan kejadian yang penting; 

h. Pencatatan yang akurat dan tepat waktu atas transaksi dan kejadian; 

i. Pembatasan akses atas sumber daya dan pencatatannya; 

j. Akuntabilitas terhadap sumber daya dan pencatatannya; dan 

k. Dokumentasi yang baik atas Sistem Pengendalian Intern serta transaksi dan kejadian 
penting. 

Dalam  mengembangkan  kegiatan  pengendalian,  instansi  pemerintah  harus  mencapai 


keseimbangan  yang  tepat  antara  kegiatan  pengendalian  yang  bersifat  detektif  dengan  
preventif.  Kegiatan  pengendalian  yang  didominasi  oleh  pengendalian  preventif  seperti 
prosedur  otorisasi  yang  berbelit‐belit,  akan  mengganggu  kelancaran  kegiatan  layanan 
publik. 

Tata Kelola, Manajemen Risiko, dan Pengendalian Intern 57


 
Berdasarkan  tujuan  instansi  pemerintah,  kegiatan  pengendalian  berkaitan  dengan  
operasi,  laporan keuangan, dan ketaatan terhadap peraturan perundang‐undangan serta 
pengamanan aset negara. Meskipun  kegiatan pengendalian berkaitan dengan salah satu 
tujuan  pengendalian  tersebut,  namun  dalam  praktiknya  saling  berhubungan,  tergantung 
dari  lingkungannya.  Kegiatan  pengendalian  tertentu  dapat  membantu  pencapaian  lebih 
dari satu tujuan instansi pemerintah tersebut. Jadi pengendalian untuk operasi juga dapat 
membantu menjamin keandalan laporan keuangan. Pengawasan laporan keuangan dapat 
memengaruhi ketaatan dan meningkatkan pengamanan aset negara. 

Kegiatan  pengendalian  terjadi  di  semua  tingkat  organisasi,  kegiatan,  unit  dan  fungsi 
instansi  pemerintah.Kegiatan  pengendalian  merupakan  suatu  bagian  yang  tidak 
terpisahkan dari perencanaan, penerapan, serta review kinerja dari instansi pemerintah. 

Dalam  menetapkan  kegiatan  pengendalian,  harus  didasarkan  pada  hasil  penilaian  risiko 
dan  mempertimbangkan  kecukupan  kegiatan  pengendalian.  Berdasarkan  pertimbangan 
tersebut,  kegiatan  untuk  mengendalikan  risiko  dikategorikan  dalam  dua  hal  yaitu 
prevention  dan  mitigation.  Perbedaan  pengendalian  tersebut  digambarkan  sebagai 
berikut. 

 
Gambar 4.2   
Hubungan Pengendalian Risiko 
 

Berdasarkan  gambar  di  atas,  prevention  digambarkan  sebagai  kegiatan  pengendalian 


untuk  mengurangi  probabilitasnya,  sedang  mitigasi  digambarkan  sebagai  kegiatan 

58    2014 |Pusdiklatwas BPKP


 
pengendalian  yang  dimaksudkan  untuk  mengurangi  dampak  dari  suatu  kerugian  yang 
mungkin terjadi.  

Bagaimana  bentuk  kedua  kegiatan  pengendalian  ini  dicontohkan  dalam  kegiatan 


pengendalian  kebakaran.  Kegiatan  prevention  diibaratkan  sebagai  kegiatan  terhadap 
pembatasan  penggunaan  bahan‐bahan  yang  mudah  terbakar  dan  pelarangan  kegiatan 
yang  membahayakan  seperti  merokok.  Sedangkan  kegiatan  mitigasi  diibaratkan  sebagai 
kegiatan menyiapkan alat pemadam kebakaran, sehingga apabila terjadi kebakaran dapat 
digunakan untuk mengurangi dampaknya. 

Untuk  mengelola  risiko  yang  berkaitan  dengan  pencapaian  tujuan  masing‐masing 


kegiatan,  pimpinan  instansi  pemerintah  harus  selalu  memperhatikan  kedua  aspek 
pengendalian  di  atas.  Dengan  demikian,  setiap  kali  melakukan  penilaian  risiko  selalu 
diiringi dengan kegiatan pengendalian untuk mengurangi probabilitas dan dampaknya. 

Selain  hal  tersebut  di  atas,  berkaitan  dengan  perkembangan  penggunaan  teknologi 
informasi,  analisis  dan  evaluasi  kecukupan  kegiatan  pengendalian  juga  mencakup 
pengendalian  terhadap  sistem  informasi  terkomputerisasi  yaitu,  meliputi  pengendalian 
umum dan pengendalian aplikasi.  

Agar kegiatan pengendalian menjadi efektif, maka harus memenuhi kriteria: 

a. pengendalian yang tepat pada tempat yang tepat dan terhadap risiko terkait; 

b. sesuai dengan rencana organisasi yang ditetapkan; 

c. memperhatikan biaya dan manfaatnya; 

d. bersifat  komprehensif,  logis,  dan  berhubungan  langsung  dengan  tujuan 


pengendalian. 

4. Informasi dan Komunikasi 

Unsur  pengendalian  intern  keempat  adalah  informasi  dan  komunikasi.  Sub  unsur  dari 
unsur informasi dan komunikasi adalah: 

a. Sarana Komunikasi 

b. Manajemen sistem informasi 

Tata Kelola, Manajemen Risiko, dan Pengendalian Intern 59


 
Instansi  pemerintah  harus  memiliki  informasi  yang  relevan  dan  dapat  diandalkan  baik 
informasi keuangan maupun nonkeuangan, yang berhubungan dengan peristiwa‐peristiwa 
eksternal  serta  internal.  Informasi  tersebut  harus  direkam  dan  dikomunikasikan  kepada 
pimpinan  instansi  pemerintah  dan  lainnya  di  seluruh  instansi  pemerintah  yang 
memerlukannya  dalam  bentuk  serta  dalam  kerangka  waktu,  yang  memungkinkan  yang 
bersangkutan melaksanakan pengendalian intern dan tanggung jawab operasional. 

Informasi  adalah  data  yang  telah  diolah,  yang  dapat  digunakan  untuk  pengambilan 
keputusan dalam rangka penyelenggaraan tugas dan fungsi instansi pemerintah.  Instansi 
pemerintah  harus  memiliki  informasi  yang  relevan  dan  dapat  diandalkan,  baik  informasi 
keuangan maupun non keuangan yang berhubungan dengan peristiwa‐teristiwa eksternal 
serta internal. Informasi yang relevan dan dapat diandalkan tersebut harus diidentifikasi, 
diperoleh, dan didistribusikan kepada pimpinan semua tingkatan dan pihak yang berhak; 
dengan  rincian  yang  memadai,  bentuk,  dan  waktu  yang  tepat  sehingga  memungkinkan 
mereka  dapat  melaksanakan  tugas  dan  tanggung  jawab  pengendalian  intern  dan 
operasional secara efisien dan efektif. 

Informasi  dari  sumber  internal  dan  eksternal  didapat  dan disampaikan  kepada  pimpinan 
instansi  pemerintah  sebagai  bagian  dari  pelaporan  instansi  sehubungan  dengan 
pencapaian kinerja operasi dalam mencapai tujuan instansi yang telah ditetapkan. 

Informasi  yang  perlu  diidentifikasi,  diperoleh,  dan  dilaporkan  adalah  informasi  internal 
yang  penting  dalam  mencapai  tujuan  instansi  pemerintah,  termasuk  informasi  yang 
berkaitan  dengan  faktor‐faktor  keberhasilan  yang  kritis  dan  informasi  eksternal  yang 
relevan,  yang  dapat  mempengaruhi  tercapainya  misi,  maksud  dan  tujuan  instansi 
pemerintah,  terutama  yang  berkaitan  dengan  perkembangan  peraturan  perundang‐
undangan  serta  perubahan  politik  dan  ekonomis.  Agar  informasi  yang  diidentifikasi  dan 
dilaporkan  adalah  informasi  yang  berkualitas,  maka  informasi  tersebut  harus  memenuhi 
syarat sebagai berikut. 

a. Sesuai kebutuhan, yaitu informasi yang diperlukan telah tersedia. 

b. Tepat waktu, yaitu informasi tersedia ketika diperlukan. 

c. Mutakhir, yaitu informasi yang terkini, telah tersedia. 

60    2014 |Pusdiklatwas BPKP


 
d. Akurat, yaitu informasi yang diperoleh adalah benar. 

e. Dapat  diakses,  yaitu  informasi  dapat  diperoleh  dengan  mudah  oleh  pihak‐pihak 
yang terkait. 

Komunikasi  adalah  proses  penyampaian  pesan  atau  informasi  dengan  menggunakan 


simbol  atau  lambang  tertentu  baik  secara  langsung  maupun  tidak  langsung  untuk 
mendapatkan  umpan  balik.  Proses  komunikasi  merupakan  tahap‐tahap    antara 
komunikator  dengan  komunikan  yang  menghasilkan  pentransferan  dan  pemahaman 
makna. Menurut Stephen P. Robbins, proses komunikasi meliputi 7 (tujuh) bagian, yakni: 

a. sumber komunikasi (komunikator), 

b. pengkodean, 

c. pesan, 

d. saluran, 

e. pendekodean, 

f. penerima (komunikan), 

g. umpan balik. 

Efektivitas  dari  komunikasi  terlihat  dari  umpan  balik  yang  ditunjukkan  oleh  pihak  yang 
menerima  pesan.  Umpan  balik  itu  akan  menunjukkan  apakah  telah  terjadi  kesamaan 
pemahaman atas makna pesan yang disampaikan.   

Komunikasi  terdiri  dari  komunikasi  internal  dan  eksternal.  Komunikasi  internal  dan 
eksternal  yang  efektif  harus  terjadi  baik  secara  vertikal  maupun  horizontal  melalui 
komunikasi dua arah serta lintas unit/instansi. 

Pimpinan  instansi  pemerintah  harus  memastikan  terjalinnya  komunikasi  internal  dan 


eksternal  yang  efektif  terutama  yang  memberikan  dampak  signifikan  terhadap  program, 
proyek, operasi, dan kegiatan lainnya termasuk penganggaran dan pendanaannya. Untuk 
menyelenggarakan  komunikasi  yang  efektif,  pimpinan  instansi  pemerintah  harus 
menyediakan  dan  memanfaatkan  berbagai  bentuk  sarana  komunikasi  dalam 
mengomunikasikan informasi penting kepada pimpinan, pegawai dan pihak lainnya, serta 
mengelola,  mengembangkan,  dan  memperbarui  sistem  informasi  secara  terus  menerus 
untuk meningkatkan kegunaan dan keandalan informasi. 

Tata Kelola, Manajemen Risiko, dan Pengendalian Intern 61


 
Dukungan/komitmen  pimpinan  instansi  pemerintah  terhadap  pengembangan  teknologi 
informasi  ditunjukkan  dengan  menyediakan  sumber  daya  manusia  dan  pendanaan  yang 
memadai terhadap upaya pengembangan tersebut. 

5. Pemantauan Pengendalian Intern 

Pemantauan  merupakan  unsur  pengendalian  intern  yang  kelima  atau  terakhir. 


Pemantauan Sistem Pengendalian Intern dilaksanakan melalui pemantauan berkelanjutan, 
evaluasi  terpisah,  dan  tindak  lanjut  rekomendasi  hasil  audit  dan  review  lainnya. 
Pemantauan berkelanjutan diselenggarakan melalui kegiatan pengelolaan rutin, supervisi, 
pembandingan, rekonsiliasi, dan tindakan lain yang terkait dalam pelaksanaan tugas.  

Evaluasi  terpisah  diselenggarakan  melalui  penilaian  sendiri,  review,  dan  pengujian 


efektivitas  Sistem  Pengendalian  Intern  yang  dapat  dilakukan  oleh  aparat  pengawasan 
intern  pemerintah  atau  pihak  eksternal  pemerintah  dengan  menggunakan  daftar  uji 
pengendalian intern. 

Tindak  lanjut  rekomendasi  hasil  audit  dan  review  lainnya  harus  segera  diselesaikan  dan 
dilaksanakan sesuai dengan mekanisme penyelesaian rekomendasi hasil audit dan review 
lainnya yang ditetapkan. 

a. Pemantauan Berkelanjutan (on‐going monitoring) 

Pemantauan atas pengendalian intern  yang sedang berjalan menyatu pada kegiatan 
rutin  dan  berulang.  Pemantauan  ini  mencakup  setiap  komponen  sistem 
pengendalian  internal  dan  kegiatan  untuk  mencegah  terjadinya  kondisiyang  tidak 
lazim,  tidak  etis,  tidak  ekonomis,  tidak  efisien  dan  tidak  efektif  dalam  pelaksanaan 
kegiatan.  Kegiatan  monitoring  dalam  suatu  organisasi  merupakan  tangungjawab 
seluruh jenjang organisasi namun dengan fokus yang berbeda‐beda, yaitu berikut. 

1) Bagi  pegawai,  fokus  pemantauan  adalah  untuk  mengetahui  bahwa  pekerjaan 


dilaksanakan  sebagaimana  mestinya.  Setiap  pegawai  hendaknya  melakukan 
pengecekan  terhadap  pekerjaan  sebelum  disampaikan  kepada  atasannya. 
Penyimpangan pada tingkat ini segera dapat dideteksi. 

62    2014 |Pusdiklatwas BPKP


 
2) Di  tingkat  penyelia,  pemantauan  dilakukan  atas  seluruh  kegiatan  di  bawah 
kendalinya  guna  memastikan  bahwa  seluruh  pegawai  yang  ada  di  bawah 
kendalinya telah melaksanakan tanggungjawabnya masing‐masing. 

3) Pada  tingkat  manajer,  pemantauan  dilakukan  untuk  menilai  apakah  sistem 


pengendalian intern telah berfungsi pada masing‐masing unit dalam organisasi 
dan sejauhmana para penyelia telah melakukan pemantauan pada bagian yang 
menjadi tanggung jawabnya. 

4) Pada  tingkat  pimpinan  eksekutif,  fokus  pemantauan  adalah  pada  organisasi 


dalam  lingkup  yang  menyeluruh,  yaitu  pemantauan  apakah  tujuan  organisasi 
telah  tercapai.  Pimpinan  juga  melakukan  pemantauan  atas  keberadaan 
tantangan dan peluang, baik dari sisi internal maupun eksternal yang mungkin 
membutuhkan perubahan dalam perencanaan organisasi. 

Dalam  melakukan  pemantauan  pengendalian  intern,  hal‐hal  yang  menjadi  titik 


perhatian adalah berikut. 

1) Pimpinan memiliki strategi untuk memastikan bahwa monitoring yang sedang 
berjalan  efektif  dan  melaksanakan  evaluasi  terpisah  apabila  terjadi  keadaan 
kritis. 

2) Dalam  kegiatan  rutin,  terdapat  informasi  yang  menggambarkan  apakah  


pengendalian internal berfungsi dengan baik. 

3) Komunikasi  dengan  pihak  luar  dikonfirmasikan  dengan  data  intern  yang 


dimiliki organisasi. 

4) Struktur  organisasi  yang  sesuai  kebutuhan  dan  adanya  supervisi  untuk 


mengawasi fungsi  pengendalian internal. 

5) Terdapat pembandingan data yang dicatat dengan fisiknya secara periodik. 

6) Terdapat  respon  yang  segera  terhadap  rekomendasi  auditor  ekstern  dan 


intern sebagai alat untuk memperkuat  pengendalian internal.  

Tata Kelola, Manajemen Risiko, dan Pengendalian Intern 63


 
7) Pertemuan  rutin  pimpinan  denganstaf  dan  pelaksanaan  pelatihan  digunakan 
untuk memperoleh umpan balik untuk mengetahui apakah pengendalian telah 
berjalan efektif. 

8) Terdapat  pemantauan  secara  teratur  kepada  seluruh  karyawan  untuk 


mengetahui  tingkat  pemahaman  dan  kepatuhan  terhadap  aturan  perilaku 
yangberlaku. 

9) Terdapat efektivitas kegiatan audit internal. 
 

b. Evaluasi yang Terpisah (separate evaluations) 

Evaluasi  terpisah  adalah  penilaian  secara  periodik  atas  kinerja  organisasi 


dibandingkan  dengan  standar  pengukuran  yang  ada  atau  yang  telah  disepakati. 
Ruang lingkup dan frekuensi evaluasi yang terpisah bergantung pada penilaian risiko 
dan  efektivitas  prosedur  pemantauan  yang  sedang  diterapkan.  Evaluasi  ini 
bermanfaat  untuk  memusatkan  secara  langsung  kepada  efektivitas  pengendalian 
pada suatu waktu tertentu dan dapat berbentuk penilaian mandiri (self assessment). 

Semua  penyimpangan  yang  dijumpai  dalam  pemantauan  pengendalian  intern  ini 


baik  yang  sedang  berlangsung  maupun  yang  telah  berjalan  harus  dikomunikasikan 
kepada pihak yang terkait untuk mengambil tindakan perbaikan.  

Dalam melakukan evaluasi terpisah, perlu memperhatikan hal‐hal sebagai berikut. 

1) Ruang  lingkup  dan  frekuensi  evaluasi  yang  terpisah  terhadap  sistem 


pengendalian intern. 

2) Terdapat  metode  yang  logis  dan  sesuai  kebutuhan  untuk  mengevaluasi 


pengendalian intern. 

3) Bila evaluasi terpisah dilakukan oleh auditor internal maka harus dilaksanakan 
oleh  sumber  daya  manusia  yang  memiliki  kemampuan  yang  memadai  dan 
independen. 

4) Kelemahan yang ditemukan selama evaluasi terpisah segera diatasi. 

64    2014 |Pusdiklatwas BPKP


 
Tindak lanjut atas temuan audit dilakukan untuk memastikan bahwa temuan audit 
dan  review  lainnya  segera  diselesaikan.  Hal‐hal  yang  harus  dilakukan  organisasi 
dalam tindak lanjut atas temuan audit adalah sebagai berikut. 

1) Organisasi  memiliki  mekanisme  untuk  memastikan  adanya  penyelesaian  atas 


temuan hasil audit dan review lainnya dengan segera. 

2) Pimpinan organisasi tanggap atas temuan‐temuan dan rekomendasi audit dan 
review lainnya yang bertujuan memperkuat sistem pengendalian internal. 

3) Organisasi  melakukan  tindak  lanjut  yang  sesuai  dengan  temuan  dan 


rekomendasi audit serta review lainnya.  

Dalam  tahap  penyelenggaraan  SPIP,  langkah‐langkah  penyelenggaraan  SPIP 


didasarkan  pada  kerangka  pemikiran  siklus  penyelenggaraan  SPIP  sebagaimana 
terlihat  pada  gambar  4.3.  Meskipun  dengan  menggunakan  pendekatan  siklus, 
pembangunan SPIP tidak secara kaku harus selalu mulai dari satu tahapan tertentu 
karena dengan siklus penyelenggaraan SPIP maka tahapan akan selalu berputar dan 
kembali pada suatu tahapan yang sama secara terus menerus dengan mendasarkan 
seluruh siklus pada dokumen yang disebut rencana tindak pengendalian (RTP). Siklus 
penyelenggaraan  SPIP,  diharapkan  secara  kontinyu  akan  dapat  mengintegrasikan 
SPIP  ke  dalam  proses‐proses  penyelenggaraan  pemerintahanPenyelenggaraan 
sistem  pengendalian  intern  pemerintah  (SPIP)  harus  disesuaikan  dengan 
karakteristik  setiap  instansi,  yang  meliputi  tugas  dan  fungsi  utama  instansi,  sifat, 
tujuan,  dan  kompleksitas,  serta  risiko‐risiko  yang  dihadapi  oleh  masing‐masing 
instansi. 

Tata Kelola, Manajemen Risiko, dan Pengendalian Intern 65


 

 
Gambar 4.3 
Siklus Penyelenggaraan SPIP 
 

C. KETERBATASAN PENGENDALIAN INTERN 

Beberapa  hal  merupakan  keterbatasan    dan  dapat  mengakibatkan  kegagalan  suatu  sistem 
pengendalian.  Kegagalan  yang  sering  terjadi  dalam  sistem  pengendalian  intern  antara  lain 
dikarenakan hal‐hal sebagai berikut : 

1. Pertimbangan yang kurang matang 

Efektivitas pengendalian dibatasi dengan adanya keterbatasan manusia itu sendiri dalam 
pengambilan  keputusan.  Keputusan  yang  diambil  sangat  dipengaruhi  oleh  beberapa 
pertimbangan atas waktu yang tersedia, informasi yang dimiliki dan tekanan yang berasal 
dari  lingkungan  tertentu.  Ada  kalanya  bahwa  beberapa  keputusan  yang  diambil  secara 
demikian ini akan memberikan hasil yang kurang efektif dari yang diharapkan sebelumnya. 

66    2014 |Pusdiklatwas BPKP


 
2. Gagal menterjemahkan suatu perintah 

Walaupun sistem pengendalian intern telah dirancang dengan baik, sistem tersebut masih 
mungkin mengalami kegagalan. Kegagalan dalam hal ini diakibatkan adanya pegawai yang 
mungkin menyalahartikan suatu perintah. 

Mereka  membuat  pertimbangan  yang  salah  atau  membuat  kesalahan  sebagai  akibat 
ketidaktahuan,  keteledoran,  ataupun  kealpaan.  Kegagalan  sistem  ini  akan  lebih  besar 
pengaruhnya  jika  yang  membuat  kesalahan  adalah  seorang  pimpinan,  karena  secara 
otomatis akan berdampak pada pengambilan keputusan pimpinan di bawahnya. 

3. Pengabaian Manajemen 

Pengendalian  intern    hanya  dapat  berjalan  secara  efektif  jika  masing‐masing  pelaksana 
dari atas sampai ke bawah melaksanakan tugas dan fungsinya sesuai dengan kewenangan 
dan  tanggung  jawabnya.  Meskipun  suatu  organisasi  memiliki  sistem  pengendalian  yang 
memadai,      jika  salah  satu  atau  beberapa  dari  unsur  pimpinan  atau  pelaksana, 
mengabaikan  pengendalian  tersebut  akan    mengakibatkan  tidak  efektifnya  sistem 
pengendalian  yang bersangkutan. 

Istilah  “pengabaian  manajemen”  ini  ditujukan  pada  tindakan  manajemen  yang 


mengabaikan  pengendalian  dengan  tujuan  untuk  kepentingan  pribadi  atau  untuk 
meningkatkan  penyajian  kondisi  laporan  kegiatan  atau  keuangan  organisasi  yang 
bersangkutan.  

Seorang  pimpinan  unit  atau  bahkan  pimpinan  suatu  organisasi,  mungkin  mengabaikan 
sistem  pengendalian  dengan  berbagai  alasan,  misalnya  meningkatkan  laporan 
kegiatan/kinerja  organisasi  untuk  menutupi  terjadinya  ketidaktepatan  dalam  pencapaian 
target  yang  telah  ditentukan,  meningkatkan  laporan  pendapatan  untuk  memenuhi 
anggaran  pendapatan  yang  tidak  realistis,  untuk  memenuhi  proyeksi  pendapatan  guna 
mendukung  laporan  realisasi  pendapatan  secara  keseluruhan,  atau  bahkan  untuk 
menyembunyikan adanya tindakan melawan hukum/ketentuan yang berlaku.  

Praktik‐praktik pengabaian sistem pengendalian intern ini juga termasuk penyalahgunaan 
data/laporan  kepada  Bank,  Konsultan  Hukum,  Instansi  Pengawasan,  Pemasok  dan 
sebagainya dengan cara menerbitkan dokumen palsu. Istilah “pengabaian pengawasan” di 

Tata Kelola, Manajemen Risiko, dan Pengendalian Intern 67


 
sini  berbeda  dengan  istilah  “intervensi  manajemen”  yang  merupakan  tindakan 
manajemen  mengabaikan/mengesampingkan  kebijakan  atau  prosedur  yang  ada,  tetapi 
justru  ditujukan  untuk  kepentingan  organisasi.  Intervensi  manajemen  diperlukan  untuk 
mengatasi  adanya  kejadian/transaksi  yang  tidak  biasa  dan  tidak  akan  mengakibatkan 
kerugian  bagi  organisasi  jika  ditangani  dengan  tidak  tepat  melalui  sistem  pengendalian. 
Hal ini karena tidak ada satu sistem pun yang dapat dirancang untuk mengantisipasi setiap 
kondisi yang terjadi atau akan terjadi secara mendadak. 

4. Kolusi 

Terjadinya kolusi dari dua pihak atau lebih dapat mengakibatkan kegagalan dalam sistem 
pengendalian  intern.  Para  pelaku  melakukan  perubahan  atau  menyembunyikan  data 
keuangan  atau  informasi  manajemen  lainnya  dengan  suatu  cara  yang  tidak  dapat 
diidentifikasikan oleh pengawasan melekat.  

Kolusi antara pegawai yang memiliki kewenangan penting dengan pemasok atau pegawai 
lainnya,  dapat  dicontohkan  sebagai  berikut:  pemasok  memberikan  barang  yang  dipesan 
dengan kualitas/ kuantitas yang berbeda tetapi dinyatakan dalam faktur penagihan sesuai 
dengan  yang  dipesan.  Di  lain  pihak,  si  penerima  barang  memproses  penerimaan  barang 
tersebut seolah‐olah telah diterima sesuai dengan kualitas/kuantitas yang dipesan. 

D. PERKEMBANGAN TERKINI KONSEP PENGENDALIAN INTERN 

Pada tanggal 14 Mei 2013, COSO mempublikasikan Kerangka Pengendalian Intern Terintegrasi 
yang telah diperbarui (COSO Internal Control Integrated Framework 2013, dikenal dengan COSO 
2013).  Dengan  tetap  menggunakan  pendekatan  prinsipil,  kerangka  terbaru  ini  menyediakan 
tuntunan  yang  lebih  terperinci  dalam  mengilustrasikan  dan  menjelaskan  konsep‐konsep  yang 
ada  dengan  tujuan  untuk  membantu  organisasi  beradaptasi  dengan  lingkungan  bisnis  yang 
semakin kompleks dan terus berubah dengan cepat. 

Latar  belakang  meng‐update  Original  Framework  COSO’s  Internal  Control–Integrated 


Framework (1992 Edition) yang sudah baik dan diadopsi di seluruh dunia adalah: 

1. Lingkungan  bisnis  dan  operasional  berubah  sangat  cepat,  menjadi  semakin  kompleks, 
technology driven, dan global 

68    2014 |Pusdiklatwas BPKP


 
2. Ekspektasi yang besar terhadap governance 

3. Stakeholders lebih terlibat, menginginkan transparansi dan akuntabilitas 

4. Meningkatnya  ekspektasi  akan  penilaian  risiko  di  semua  tingkat  organisasi  (keuangan, 
operasi, regulasi, IT) 

5. Kompleksitas  dalam  undang‐undang,  peraturan  dan  standar  telah  meningkat  secara 


signifikan  

6. Telah terjadi kerusakan dalam skala besar terhadap tata kelola dan pengendalian internal 
dalam 20 tahun terakhir 

7. Adanya ekspektasi yang besar terkait pencegahan dan deteksi fraud di setiap tingkatan 

8. Permintaan akan pelaporan internal dan eksternal yang update dan bermutu 

Berikut ini perbandingan antara COSO 1992 dan COSO 2013. 

                       
Gambar 4.4 
Perbandingan COSO 1992 dan COSO 2013 
 

Tata Kelola, Manajemen Risiko, dan Pengendalian Intern 69


 
Beberapa hal baru yang diakomodasi dalam COSO 2013 adalah: 

1. Perluasan  ruang  lingkup  dari  tujuan  pelaporan,  bukan  hanya  pelaporan  informasi 
keuangan 

2. Mempertimbangkan perubahan dalam lingkungan bisnis dan operasional 

3. Formalisasi konsep dasar dalam COSO 1992 menjadi 17 prinsip 

4. Adanya  titik  fokus  (points  of  focus)  yang  menyoroti  karakteristik  penting  dari  masing‐
masing prinsip 

5. Tambahan pendekatan dan contoh‐contoh yang relevan dari tujuan operasi, compliance, 
dan nonfinancial reporting 

6. Pertimbangan  eksplisit  penyedia  layanan  outsourcing  dan  pihak  ketiga  lainnya  yang 
mempengaruhi pengendalian internal 

7. Pertimbangan yang eksplisit tentang potensi fraud dalam penilaian risiko 

8. Pentingnya  peran  judgement  dalam  desain,  implementasi,  dan  dalam  mengassess 


efektivitas pengendalian internal 

9. Prinsip spesifik terkait dengan teknologi informasi 

Ada  17  prinsip  dari  komponen‐komponen  pengendalian  internal  dalam  COSO  2013  seperti 
dijabarkan berikut. 

70    2014 |Pusdiklatwas BPKP


 
 
  1. Menunjukkan komitmen terhadap integritas dan 
 
nilai‐nilai etika 
Lingkungan  2. Melakukan pengawasan yang bertanggung jawab 
 
Pengendalian  3. Menetapkan struktur, wewenang dan tanggung 
  jawab 
 
4. Menunjukkan komitment terhadap kompetensi 
  5. Menegakkan akuntabilitas  

    6. Menentukan tujuan yang sesuai 
7. Identifikasi dan analisis risiko 
  Penilaian Risiko 
8. Penilaian risiko atas fraud 
 
  9. Identifikasi dan analisis perubahan yang signifikan  

 
  10. Pemilihan dan pengembangan kegiatan pengendalian  
  Kegiatan   11. Pemilihan dan pengembangan pengendalian terhadap 
Pengendalian  terknologi 
  12. Implementasi melalui kebijakan dan prosedur  

 
13. Menggunakan informasi yang relevan  
Informasi dan 
Komunikasi  14. Komunikasi secara internal 
 
  15. Komunikasi secara eksternal 
 
16. Melakukan evaluasi berkelanjutan dan/atau terpisah 
  Pemantauan 
17. Mengevaluasi dan mengkomunikasikan ‘deficiencies’ 
 
(kelemahan) 
 

Sumber: COSO Internal Control ‐ Integrated Framework 2013, diolah. 
 
Tabel 4.1  
Prinsip Pengendalian Intern COSO 2013 
 

Tata Kelola, Manajemen Risiko, dan Pengendalian Intern 71

Anda mungkin juga menyukai