PENGOMPOSAN JERAMI
YAYAN MULYANTO, SP
NIP. 1967806102011011002
Salah satu limbah pertanian dari tanaman padi adalah jerami. Masyarakat
maupun petani sudah lama mengenal limbah padi ini, namun kegunaan dan manfaat
maupun cara pengelolaannya belum banyak diketahui dan diterapkan di lapangan.
Indonesia sebagai negara penghasil beras, keberadaan jerami sesuai dengan luas
lahan yang dipanen, baik di lahan sawah maupun lahan kering sangat melimpah dan
diperkirakan lebih dari 80 juta ton per tahun.
I. PENDAHULUAN ............................................................................... 1
Mengingat harga pupuk buatan yang semakin mahal dan kerusakan tanah
akibat diolah dan diusahakan secara terus menerus, maka peluang penggunaan bahan
organik sangat besar, apalagi pada daerah-daerah tertentu bahan organik banyak
tersedia. Manfaat penggunaan bahan organik untuk tanaman padi sawah telah banyak
diteliti. Pemberian bahan organik pada lahan sawah dapat memperbaiki sifat fisik
tanah seperti pembentukan agregat atau granulasi tanah serta meningkatkan
permiabilitas dan porositas tanah. Karena itu, peningkatan produktivitas padi perlu
dipacu dengan penambahan bahan organik seperti kompos jerami maupun pupuk
kandang, dan sisa panen lainnya; dengan maksud mempertahankan/ meningkatkan
kesuburan tanah.
Secara umum kandungan nutrisi hara dalam pupuk organik tergolong rendah
dan agak lambat tersedia, sehingga diperlukan dalam jumlah cukup banyak. Namun,
pupuk organik yang telah dikomposkan dapat menyediakan hara dalam waktu yang
lebih cepat dibandingkan dalam bentuk segar, karena selama proses pengomposan
telah terjadi proses dekomposisi yang dilakukan oleh beberapa macam mikroba, baik
dalam kondisi aerob maupun anaerob.
Pengomposan merupakan proses biologis yang kecepatan prosesnya
berbanding lurus dengan kecepatan aktivitas mikroba dalam mendekomposisi limbah
organik. Sedangkan kecepatan aktivitas mikroba sangat tergantung pada faktor
lingkungan yang mendukung kehidupannya. Jika kondisi lingkungan semakin
mendekati kondisi optimum yang dibutuhkan oleh mikroba maka aktivitas mikroba
semakin tinggi sehingga proses pengomposan semakin cepat. Begitu pula sebaliknya
apabila kondisi lingkungan semain jauh dari kondisi optimumnya maka kecepatan
proses dekomposisi semakin lambat atau bahkan berhenti sama sekali. Oleh karena
itu faktor lingkungan pendukung kehidupan mikroba merupakan kunci keberhasilan
proses pengomposan. Faktor-faktor lingkungan yang dimasud antara lain: kadar air,
aerasi, pH dan rasio C/N.
Menurut Wahyono, Firman dan Frank (2003), kadar air yang ideal pada
limbah padat yang dikomposkan adalah antara 50-60% dengan nilai optimum 55%.
Pada proses pengomosan, rasio C/N yang ideal antara 20-40 dengan kondisi terbaik
30. Setelah proses pengomposan selesai, rasio C/N antara 10-20. Derajat keasaman
(pH) sebaiknya dipertahankan untuk tidak melewati 8,5. Namun demikian selama
proses pengomposan akan menyebabkan tingkat kemasaman mendekati netral, yaitu
antara pH 6-8,5.
Dalam proses pengomposan jerami peranan mikroba selulolitik dan lignolitik
sangat penting, karena kedua mikroba tersebut memperoleh energi dan karbon dari
proses perombakan bahan yang mengandung karbon. Proses pengomposan secara
aerob, lebih cepat dibanding anaerob dan waktu yang diperlukan tergantung beberapa
faktor, antara lain: ukuran partikel bahan kompos, C/N rasio bahan kompos,
keberadaan udara (keadaan aerobik), dan kelembaban. Kompos yang sudah matang
diindikasikan oleh suhu yang konstan, pH alkalis, C/N rasio <20, Kapasitas Tukar
Kation > 60 me/100 g abu, dan laju respirasi <10 mg/g kompos. Sedangkan indikator
yang dapat diamati secara langsung adalah jika berwarna coklat tua (gelap) dan tidak
berbau busuk (berbau tanah).
Tabel 1. Hasil pengamatan suhu kompos jerami pada berbagai perlakuan jenis
dekomposer, Sukamandi 2009
Jerami segar pada umumnya mempunyai nilai C/N rasio yang cukup tinggi,
kemudian menurun seiring dengan tingkat pelapukannya. Oleh sebab itu tingkat C/N
rasio sering dipergunakan untuk penilaian kematangan kompos yang dihasilkan
selama proses pelapukan. Hasil pengomposan jerami menunjukkan bahwa semakin
lama waktu pengomposan C/N rasio semakin rendah. Jerami segar yang mula-mula
mempunyai C/N rasio sekitar 51 setelah seminggu dikomposkan C/N rasio turun,
dengan penurunan tingkat C/N rasio terendah sekitar 30. Namun demikian, pada
kondisi ini kompos belum dapat dikatakan matang, sebab C/N rasionya belum
mencapai ≤25 (Permentan No 02/2006). Kematangan kompos baru dicapai pada
minggu ke-3, yaitu pada kompos jerami yang dicacah dan dalam proses
pengomposannya diberikan dekomposer M-Bio, M-Dec atau Super-Dec. Tetapi
untuk jerami yang utuh tanpa dicacah kematangan kompos baru dicapai setelah 4
minggu diperam, walaupun dalam pengomposannya diberi dekomposer. Sementara
pada kompos jerami yang tidak dicacah dan tidak diberi dekomposer pada minggu
ke-4 belum juga matang (Tabel 5).
Ternyata kematangan kompos juga dapat dipercepat dengan membuat ventilasi
tempat pengomposan (Tabel 6). Udara bagian dalam dan di luar tumpukan kompos
dihubungan dengan paralon atau dibuat panggung. Melalui cara ini pada hari ke 19
kompos jerami sudah matang, terutama yang jeraminya dicacah dan diberikan
dekomposer. Pengaruh kedua metode ini nyata terlihat dengan nilai C/N ratio yang
lebih rendah dibanding metode konvensional.
Tabel 5. Hasil pengamatan C/N rasio kompos jerami pada berbagai perlakuan
dekomposer, Sukamandi 2009
Pengamatan C/N Rasio
Macam Minggu I Minggu II Minggu III Minggu IV
No.
Dekomposer TP TP TP TP
Dicacah Dicacah Dicacah Dicacah
Dicacah Dicacah Dicacah Dicacah
1 M-Bio 32,27 45,45 26,66 37,82 23,14 30,43 18,76 22,62
2 M-Dec 32,48 45,55 27,31 35,74 21,70 28,69 18,54 23,51
3 Superfarm 29,49 33,39 26,11 30,41 25,79 29,69 19,70 24,49
4 Super-Dec 31,01 33,79 29,19 30,28 22,99 30,33 19,42 23,91
5 Kontrol 36,23 49,25 32,49 45,75 26,93 36,42 24,78 26,24
Jerami segar : 50,93.
Tabel 6. Hasil pengamatan C/N rasio kompos jerami dengan perlakuan cara
pengomposan, Sukamandi 2010
Cara pengomposan Hari pengomposan ke
Kondisi bahan
1 4 7 10 13 16 19 22
Penumpukan dan
45.01 a 43.74 a 42.35 a 39.94 a 36.75 a 29.69 a 27.84 a 23.31 a
pembalikan
Ventilasi tanpa
42.14 a 41.46 a 41.15 a 39.15 a 34.88 a 27.22 b 25.40 b 21.04 a
pembalikan
Angka-angka pada kolom yang sama diikuti oleh huruf sama tidak berbeda nyata pada taraf 5% DMRT.
BPS. 2005. Statistik Indonesia 2004. Badan Pusat Statistik, Jakarta-Indoneia. P : 168-
177
Cosico, W. C., 1985. Organic fertilizer. Their Natur, Persepective and Used. Farming
System and Soil Resource Institu. UPLB Laguna. Philippines. 136 p.
Dobermann A, T Fairhurst. 2000. Rice: Nutrient Disorders & Nutrient Management.
International Rice Research Institute, MCPO Box 3127, Makati,
Philippines.191p.
Makarim, A. K, D. Pasaribu, Z. Zaini dan I. Las. 2005. Analisis dan Sintesis
Pengem-bangan Model Pengelolaan Tanaman Terpadu Padi Sawah. Balai
Penelitian Tanaman Padi, 18 p.
Rahardjo, A., L.P.S. Patuan., Sulistioningsih, Heru Prijanto, Cecilia Gunawan and Ig.
Suharto, 1981. Preliminary study of potency of agricultural waste and agro
indutrial waste as animal feedstuf. Proc. Ist ASEAN Workshop on Technology
of Animal Feed Production Utilising Food Waste Material. Bandung. Agust 24-
29. 1980
Wahyono, S., L.S. Firman dan S. Framk. 2003. Pembuatan kompos dari limbah
rumah pemotongan hewan. Pusat Pengkajian dan Penerapan Teknologi Lingkungan.
BPPT. Jakarta. 38p.