Anda di halaman 1dari 14

Saduran

PENGOMPOSAN JERAMI

YAYAN MULYANTO, SP
NIP. 1967806102011011002

KANTOR INFORMASI PENYULUHAN PERTANIAN


KABUPATEN LABUHANBATU
2013
KATA PENGANTAR

Salah satu limbah pertanian dari tanaman padi adalah jerami. Masyarakat
maupun petani sudah lama mengenal limbah padi ini, namun kegunaan dan manfaat
maupun cara pengelolaannya belum banyak diketahui dan diterapkan di lapangan.
Indonesia sebagai negara penghasil beras, keberadaan jerami sesuai dengan luas
lahan yang dipanen, baik di lahan sawah maupun lahan kering sangat melimpah dan
diperkirakan lebih dari 80 juta ton per tahun.

Pengomposan merupakan proses yang diperlukan untuk mempercepat


terjadinya dekomposisi dan pelepasan hara dari bahan organik sehingga tersedia bagi
tanaman. Pemanfaatan kompos untuk pertanian tidak saja untuk memperbaiki sifat
kimia tetapi juga dapat bermanfaat bagi perbaikan sifat fisik dan biologi tanah, yang
akhir-akhir ini dirasa sangat diperlukan.

Buku tentang pengomposan jerami padi masih sangat langka. Pada


kesempatan ini Balai Besar Penelitian Tanaman Padi telah berusaha menerbitkan
buku tentang pengomposan jerami padi, dengan harapan masyarakat (petani) dapat
mengambil hikmahnya, dimana manfaat jerami cukup besar.
DAFTAR ISI
Halaman
PENGANTAR ................................................................................................. i

DAFTAR ISI ................................................................................................... ii

I. PENDAHULUAN ............................................................................... 1

II. PROSES PENGOMPOSAN ................................................................ 3

III. CARA PEMBUATAN KOMPOS ....................................................... 5

3.1. Pengomposan jerami dengan metode tumpukan dan


pembalikan................................................................................ 5
3.2. Pengomposan jerami dengan metode ventilasi tanpa
pembalikan................................................................................ 5

IV. HASIL-HASIL PENELITIAN............................................................. 6

4.1. Suhu kompos jerami ................................................................. 6

4.2. Kondisi fisik kompos jerami .................................................... 9

4.3. C/N Rasio kompos jerami ........................................................ 10

DAFTAR PUSTAKA .......................................................................... 13


I. PENDAHULUAN

Peluang penggunaan bahan organik (kompos) untuk perbaikan sifat fisik,


kimia dan biologi tanah cukup prospektif, terutama pada daerah-daerah dimana
bahan organik cukup banyak tersedia. Hal ini terkait dengan semakin mahalnya harga
pupuk buatan disamping karena kerusakan tanah akibat diolah dan diusahakan secara
terus menerus.
Dalam proses pengomposan jerami peranan mikroba selulolitik dan lignolitik
sangat penting, karena kedua mikroba tersebut memperoleh energi dan karbon dari
proses perombakan bahan yang mengandung karbon. Pembuatan kompos jerami
dapat dilakukan dengan dua cara: (1) ditumpuk dan dibalik dan (2) ditumpuk dengan
ventilasi tanpa dibalik. Untuk mempercepat proses dekomposisinya dapat digunakan
dekomposer.
Dari hasil penelitian diperoleh bahwa untuk mendapatkan kompos matang
diperlukan waktu 19 hari, yaitu pada jerami yang dicacah dan diberikan dekomposer
serta dibuat ventilasi ketika proses pengomposan.
Dahulu, pada waktu panen padi menggunakan ani-ani, maka yang dimaksud
dengan jerami adalah limbah pertanian mulai dari bagian bawah tanaman padi
sampai dengan tangkai malai. Namun saat ini setelah panen dengan digebot
menggunakan arit bergerigi, maka yang dimaksud dengan jerami adalah bagian
tanaman padi setelah dibabat dengan arit bergerigi setinggi 15-30 cm dari tanah
sampai tangkai malai setelah gabahnya dirontok. Namun demikian, di negara-negara
maju yang menggunakan mesin pemanen (harvester) jerami padi dibabat di atas
tanah.
Di Indonesia sebagai negara penghasil beras di Asia, sudah barang tentu
jerami sebagai limbah pertanian keberadaannya sangat melimpah. Seperti kita
ketahui padi dapat ditanam di lahan sawah dan lahan kering. Luas panen padi sawah
di Indonesia adalah 10,79 juta ha, dengan rata-rata hasil 4,74 /ha dan luas panen padi
gogo 1,12 juta ha dengan hasil rata-rata 2,58 t/ha (BPS, 2005). Dengan rasio berat
gabah jerami 2/3 (Cosico, 1985), maka jerami yang diperoleh dari kedua lahan
tersebut berjumlah 80 juta ton, suatu sumber bahan organik yang tidak sedikit
jumlahnya.
Jerami padi memiliki beberapa keunggulan dibandingkan limbah yang lain,
misalnya ketebon jagung, daun ubi jalar, daun tebu, rending kacang-tanah, dan
biomas kedelai (Raharjo et al., 1981). Dengan demikian jerami sangat baik
digunakan sebagai sumber hara atau pupuk organik. Bahan organik ini merupakan
penyangga dan berfungsi untuk memperbaiki sifat-sifat fisika, kimia dan biologi
tanah. Tanah yang miskin bahan organik juga akan berkurang kemampuan daya
menyangga pupuk anorganik sehingga efisiensi pemupukan menurun karena
sebagian besar pupuk akan hilang melalui pencucian, fiksasi atau penguapan dan
sebagai akibatnya produktivitas menurun.

Mengingat harga pupuk buatan yang semakin mahal dan kerusakan tanah
akibat diolah dan diusahakan secara terus menerus, maka peluang penggunaan bahan
organik sangat besar, apalagi pada daerah-daerah tertentu bahan organik banyak
tersedia. Manfaat penggunaan bahan organik untuk tanaman padi sawah telah banyak
diteliti. Pemberian bahan organik pada lahan sawah dapat memperbaiki sifat fisik
tanah seperti pembentukan agregat atau granulasi tanah serta meningkatkan
permiabilitas dan porositas tanah. Karena itu, peningkatan produktivitas padi perlu
dipacu dengan penambahan bahan organik seperti kompos jerami maupun pupuk
kandang, dan sisa panen lainnya; dengan maksud mempertahankan/ meningkatkan
kesuburan tanah.

Dalam suatu evaluasi litkaji Pengelolaan Tanaman Terpadu (PTT), pemberian


kompos jerami mempunyai pengaruh positif terhadap hasil, diperkirakan peningkatan
hasil gabah sebesar 300 kg per ton kompos yang diberikan pada padi sawah irigasi.
Disamping itu, petani-petani PTT yang memberikan bahan organik tanah dalam
jumlah yang relatif tinggi dapat mengurangi pemakaian urea dan KCl dalam
pemupukan (Makarim, 2005).
II. PROSES PENGOMPOSAN

Secara umum kandungan nutrisi hara dalam pupuk organik tergolong rendah
dan agak lambat tersedia, sehingga diperlukan dalam jumlah cukup banyak. Namun,
pupuk organik yang telah dikomposkan dapat menyediakan hara dalam waktu yang
lebih cepat dibandingkan dalam bentuk segar, karena selama proses pengomposan
telah terjadi proses dekomposisi yang dilakukan oleh beberapa macam mikroba, baik
dalam kondisi aerob maupun anaerob.
Pengomposan merupakan proses biologis yang kecepatan prosesnya
berbanding lurus dengan kecepatan aktivitas mikroba dalam mendekomposisi limbah
organik. Sedangkan kecepatan aktivitas mikroba sangat tergantung pada faktor
lingkungan yang mendukung kehidupannya. Jika kondisi lingkungan semakin
mendekati kondisi optimum yang dibutuhkan oleh mikroba maka aktivitas mikroba
semakin tinggi sehingga proses pengomposan semakin cepat. Begitu pula sebaliknya
apabila kondisi lingkungan semain jauh dari kondisi optimumnya maka kecepatan
proses dekomposisi semakin lambat atau bahkan berhenti sama sekali. Oleh karena
itu faktor lingkungan pendukung kehidupan mikroba merupakan kunci keberhasilan
proses pengomposan. Faktor-faktor lingkungan yang dimasud antara lain: kadar air,
aerasi, pH dan rasio C/N.
Menurut Wahyono, Firman dan Frank (2003), kadar air yang ideal pada
limbah padat yang dikomposkan adalah antara 50-60% dengan nilai optimum 55%.
Pada proses pengomosan, rasio C/N yang ideal antara 20-40 dengan kondisi terbaik
30. Setelah proses pengomposan selesai, rasio C/N antara 10-20. Derajat keasaman
(pH) sebaiknya dipertahankan untuk tidak melewati 8,5. Namun demikian selama
proses pengomposan akan menyebabkan tingkat kemasaman mendekati netral, yaitu
antara pH 6-8,5.
Dalam proses pengomposan jerami peranan mikroba selulolitik dan lignolitik
sangat penting, karena kedua mikroba tersebut memperoleh energi dan karbon dari
proses perombakan bahan yang mengandung karbon. Proses pengomposan secara
aerob, lebih cepat dibanding anaerob dan waktu yang diperlukan tergantung beberapa
faktor, antara lain: ukuran partikel bahan kompos, C/N rasio bahan kompos,
keberadaan udara (keadaan aerobik), dan kelembaban. Kompos yang sudah matang
diindikasikan oleh suhu yang konstan, pH alkalis, C/N rasio <20, Kapasitas Tukar
Kation > 60 me/100 g abu, dan laju respirasi <10 mg/g kompos. Sedangkan indikator
yang dapat diamati secara langsung adalah jika berwarna coklat tua (gelap) dan tidak
berbau busuk (berbau tanah).

III. CARA PEMBUATAN KOMPOS


Pembuatan kompos jerami dapat dilakukan dengan dua cara: (1) ditumpuk dan
dibalikkan dan (2) ditumpuk dengan ventilasi tanpa dibalikkan Kemudian untuk
mempercepat proses dekomposisinya dapat digunakan dekomposer.

3.1. Pengomposan jerami dengan metode tumpukan dan pembalikan.


Bahan yang berupa jerami (lebih yang masih segar atau jika sudah kering
dilembabkan sampai k.a ±60%) ditaruh dalam bedengan secara berlapis, tiap lapis
dengan ketinggian ±30 cm, kemudian ditaburi dengan atau disiram larutan
dekomposer. Tumpukan jerami dibuat berlapis-lapis hingga ketinggian 1-1,5 m.
Jerami dalam bedengan ditutup rapat dengan terpal dan setiap minggu dilakukan
pembalikan. Apabila terlalu kering tumpukan jerami dibasahi dengan air. Jika
memungkinkan lebih baik pembuatan kompos dilakukan ditempat yang teduh.
Setelah 3 minggu, kompos biasanya sudah matang yang ditandai dengan temperatur
sudah konstan 40-50oC, remah, warna coklat kehitaman. Dari satu ton jerami
diperoleh kompos jerami sejumlah ± 300 kg dengan kualitas sebagai berikut: C-
organik >12 %, C/N ratio 15-25%, kadar air 40-50 %, dan warna coklat muda
kehitaman.

3.2. Pengomposan jerami dengan metode ventilasi tanpa pembalikan.


Jerami segar digiling hingga berukuran 1-3 cm. Hasil gilingan jerami
ditumpuk dalam lapisan setinggi 20 cm, lebar 1 m dan panjang 1 m untuk
membentuk tumpukan kompos 1 x 1 x 1 m3 (panjang x lebar x tinggi) dengan
volume bahan kompos sekitar 1 m3 (~500 kg). Untuk menghindari jatuhnya
tumpukan maka dibuatkan pagar bambu berukuran 1 x 1 x 1 m.
Teknik aerasi pengomposan dengan cara ventilasi dibuat dengan cara
menempatkan sarang bambu di dasar tumpukan jerami (kurang lebih 30 cm di atas
permukaan tanah) agar aerasi bisa terjadi dari bawah menuju ke atas tumpukan.
Teknik aerasi yang lain dapat dilakukan dengan cara membuat lubang-lubang pada
tumpukan jerami secara horinzontal menggunakan bambu atau paralon yang diberi
lubang-lubang keberbagai arah tumpukan jerami.
Jerami ditumpuk secara longgar (jangan dipadatkan) untuk memperoleh
aerasi yang baik. Kemudian tambahkan dekomposer secara merata di atas tumpukan
tersebut. Setelah itu tumpukkan lagi jerami yang telah digiling di atas tumpukan
tersebut setinggi 20 cm, dan basahi dengan air secara merata serta diinokulasi dengan
mikroba yang berasal dari dekomposer. Demikian seterusnya sampai hingga
ketinggian tumpukan sekitar 1 m.

Kompos ditutup dengan lembaran terpal/plastik untuk mempertahankan


kelembaban dan meminimalkan evaporasi maupun kehilangan amonia. Kompos akan
meningkat panasnya dalam waktu 24-48 jam dan panas ini perlu dipertahankan pada
suhu sekitar 50oC atau lebih, dan tidak dilakukan pembalikan.
Kompos yang sudah matang ditandai dengan temperatur yang sudah konstan
40-50oC, remah dan berwarna coklat kehitaman. Kompos yang didapat sejumlah ±
500 kg, dengan kualitas sebagai berikut: C-organik >12%, C/N ratio 15-25 %, kadar
air 40-50%, warna coklat muda kehitaman.
IV. HASIL-HASIL PENELITIAN

Berdasarkan uji laboratorium, macam-macam mikroba seperti Lactobaccilus


sp dan Sacharomices sp. ditemukan pada dekomposer M-Bio; Rhizobium sp.,
Streptomycetes sp., Lactobacillus sp., dan Actinomycetes sp. ditemukan pada
dekomposer M-Dec; Lactobacillus sp., Actinomycetes sp., Streptomycetes sp.,
Rhizobium sp., Acetobacter sp., dan Ectomycoriza, ditemukan pada dekomposer
Superfarm; sedangkan Lactobacilles sp., Actinomycetes sp., Rhizobium sp., dan
Streptomycetes sp. ditemukan pada dekomposer Super-Dec. Efektivitas mikroba-
mikroba tersebut di atas dalam merombak jerami dinilai melalui pengamatan
perubahan suhu, kondisi fisik, dan C/N rasio yang dihasilkan.

4.1. Suhu kompos jerami.

Pengukuran suhu di dalam tumpukan jerami yang dilakukan secara berkala


mulai dari 1 hingga 4 minggu setelah pengomposan hasilnya disajikan pada Tabel 1.

Tabel 1. Hasil pengamatan suhu kompos jerami pada berbagai perlakuan jenis
dekomposer, Sukamandi 2009

Pengamatan Suhu (0C)


Macam Minggu I Minggu II Minggu III Minggu IV
No
Dekomposer TP TP TP TP
Dicacah Dicacah Dicacah Dicacah
Dicacah Dicacah Dicacah Dicacah
1 M-Bio 56,7 a 51,7 ab 50,3 a 47,3 a 41,0 a 40,4 a 38,4 ab 38,1 a
2 M-Dec 57,3 a 54,3 a 49,0 a 47,0 a 41,3 a 39,7 a 37,7 b 38,4 a
3 Superfarm 57,0 a 53,7 a 49,0 a 47,0 a 41,3 a 40,2 a 39,0 a 38,5 a
4 Super-Dec 57,4 a 52,0 ab 50,7 a 48,0 a 40,7 a 39,5 a 39,4 a 40,1 a
5 Kontrol 57,7 a 50,7 b 49,7 a 46,3 a 40,0 a 40,2 a 40,1 a 40,2 a
Rata-rata 57,2 a 52,5 b 49,7 a 47,1 b 40,9 a 40,0 a 38,9 a 39,1 a
Angka-angka pada kolom yang sama diikuti oleh huruf sama tidak berbeda nyata pada taraf 5 % DNMRT
Suhu semakin menurun mengikuti lamanya waktu pengomposan, dari sekitar
57,2oC pada minggu pertama menjadi sekitar 39,1oC setelah minggu keempat. Suhu
yang dicapai selama proses pengomposan dipengaruhi oleh penyiapan bahan dan
macam dekomposer yang digunakan. Sampai minggu ke-dua, jerami yang dicacah
ternyata menghasilkan suhu kompos lebih tinggi. Sementara pemberian M-Bio, M-
Dec, dan Superfarm dekomposer yang pada minggu pertama mampu menghasilkan
suhu kompos lebih tinggi dibanding kontrol, ternyata pada minggu keempat suhu
yang terendah hanya pada perlakuan M-Dec dekomposer. Rendahnya suhu kompos
dengan bahan dasar jerami yang dicacah ini mengindikasikan kematangan kompos
yang dihasilkan. Di pihak lain, tingginya suhu pada awal pengomposan merupakan
kondisi yang diharapkan untuk memacu segera berlangsungnya proses pengomposan.
Cara pengomposan nyata mempengaruhi suhu jerami pada minggu ketiga,
dimana dengan metode penumpukan dan pembalikan suhu masih lebih tinggi
dibanding metode ventilasi tanpa pembalikan. Hal ini megindikasikan bahwa proses
pengomposan dapat dipercepat dengan memberikan cukup udara ke dalam tumpukan
kompos jerami melalui ventilasi (Tabel 2).

Tabel 2. Hasil pengamatan suhu kompos jerami dengan perlakuan cara


pengomposan, Sukamandi 2010

Cara Suhu kompos pada hari setelah pengomposan ke


pengomposan 1 4 7 10 13 16 19 22
Penumpukan dan
46.8 a 55.0 a 55.0 a 48.3 a 44.8 a 42.5 a 38.3 a 37.3 a
pembalikan
Ventilasi tanpa
45.0 a 49.5 a 52.3 a 46.3 a 44.0 a 39.3 a 32.5 a 34.3 b
pembalikan

4.2. Kondisi fisik kompos jerami.

Hasil pengamatan perubahan fisik jerami setelah pengomposan dipengaruhi


oleh kondisi bahan kompos dan penggunaan bahan pelapuk (dekomposer) yang
digunakan. Perubahan fisik jerami meskipun sudah mulai tampak sejak 1 minggu
pengomposan, tetapi baru pada 2 minggu berikutnya perubahan fisik tersebut terjadi
pada semua perlakuan. Tingkat perubahan fisik jerami akibat dari penggunaan
dekomposer secara fisual disajikan pada Tabel 3.

Tabel 3. Kondisi fisik jerami setelah diberi berbagai perlakuan dekomposer


selama proses pengomposan, Sukamandi 2009
Perlakuan Nilai skoring (minggu ke)
1 2 3 4
Kondisi bahan
Jerami tanpa dicacah 0 0 1 1
Jerami dicacah 1 1 2 3
Perlakuan Dekomposer
• M-Dec 0 0 1 2
• Superfarm 0 0 1 2
• Super-Dec 0 1 1 2
• Kontrol 0 0 1 1
Skor 0 = belum terjadi perubahan fisik, 1= fisik agak lapuk, 2= fisik lapuk, dan 3= fisik sangat lapuk.

Selain karena penggunaan dekomposer, perubahan fisik jerami secara fisual


selama proses pengomposan juga dipengaruhi oleh cara pengomposan. Pemberian
aerasi selama proses pengomposan diikuti oleh percepatan perubahan fisik menjadi
lebih cepat melapuk (Tabel 4).

Tabel 4. Kondisi fisik jerami dengan perlakuan cara pengomposan, Sukamandi


2010

Nilai skoring pada hari setelah pengomposan ke


Cara pengomposan
1 4 7 10 13 16 19 22
Penumpukan dan
0 0 0 0 0 0 1 1
pembalikan *)
Ventilasi tanpa
0 0 1 1 1 2 3 3
pembalikan **)

4.3. C/N Rasio kompos jerami.

Jerami segar pada umumnya mempunyai nilai C/N rasio yang cukup tinggi,
kemudian menurun seiring dengan tingkat pelapukannya. Oleh sebab itu tingkat C/N
rasio sering dipergunakan untuk penilaian kematangan kompos yang dihasilkan
selama proses pelapukan. Hasil pengomposan jerami menunjukkan bahwa semakin
lama waktu pengomposan C/N rasio semakin rendah. Jerami segar yang mula-mula
mempunyai C/N rasio sekitar 51 setelah seminggu dikomposkan C/N rasio turun,
dengan penurunan tingkat C/N rasio terendah sekitar 30. Namun demikian, pada
kondisi ini kompos belum dapat dikatakan matang, sebab C/N rasionya belum
mencapai ≤25 (Permentan No 02/2006). Kematangan kompos baru dicapai pada
minggu ke-3, yaitu pada kompos jerami yang dicacah dan dalam proses
pengomposannya diberikan dekomposer M-Bio, M-Dec atau Super-Dec. Tetapi
untuk jerami yang utuh tanpa dicacah kematangan kompos baru dicapai setelah 4
minggu diperam, walaupun dalam pengomposannya diberi dekomposer. Sementara
pada kompos jerami yang tidak dicacah dan tidak diberi dekomposer pada minggu
ke-4 belum juga matang (Tabel 5).
Ternyata kematangan kompos juga dapat dipercepat dengan membuat ventilasi
tempat pengomposan (Tabel 6). Udara bagian dalam dan di luar tumpukan kompos
dihubungan dengan paralon atau dibuat panggung. Melalui cara ini pada hari ke 19
kompos jerami sudah matang, terutama yang jeraminya dicacah dan diberikan
dekomposer. Pengaruh kedua metode ini nyata terlihat dengan nilai C/N ratio yang
lebih rendah dibanding metode konvensional.

Tabel 5. Hasil pengamatan C/N rasio kompos jerami pada berbagai perlakuan
dekomposer, Sukamandi 2009
Pengamatan C/N Rasio
Macam Minggu I Minggu II Minggu III Minggu IV
No.
Dekomposer TP TP TP TP
Dicacah Dicacah Dicacah Dicacah
Dicacah Dicacah Dicacah Dicacah
1 M-Bio 32,27 45,45 26,66 37,82 23,14 30,43 18,76 22,62
2 M-Dec 32,48 45,55 27,31 35,74 21,70 28,69 18,54 23,51
3 Superfarm 29,49 33,39 26,11 30,41 25,79 29,69 19,70 24,49
4 Super-Dec 31,01 33,79 29,19 30,28 22,99 30,33 19,42 23,91
5 Kontrol 36,23 49,25 32,49 45,75 26,93 36,42 24,78 26,24
Jerami segar : 50,93.

Tabel 6. Hasil pengamatan C/N rasio kompos jerami dengan perlakuan cara
pengomposan, Sukamandi 2010
Cara pengomposan Hari pengomposan ke
Kondisi bahan
1 4 7 10 13 16 19 22
Penumpukan dan
45.01 a 43.74 a 42.35 a 39.94 a 36.75 a 29.69 a 27.84 a 23.31 a
pembalikan
Ventilasi tanpa
42.14 a 41.46 a 41.15 a 39.15 a 34.88 a 27.22 b 25.40 b 21.04 a
pembalikan
Angka-angka pada kolom yang sama diikuti oleh huruf sama tidak berbeda nyata pada taraf 5% DMRT.

Menurut banyak pihak, pengembalian jerami dalam bentuk kompos kelahan


pertanian perlu mendapat perhatian. Hal ini terkait dengan kandungan hara yang
relatif tinggi dalam jerami. Menurut Dobermann dan Fairhurst (2000) jerami kering
mengandung sekitar 0,5-0,8% N; 0,007-0,12% P; 1,2-1,7% K; 0,05-0,10% S dan 4-
7% Si. Oleh karena itu apabila jerami tidak dikembalikan, maka berdasarkan
perhitungan akan terjadi pengurangan hara sebesar 5-8 kg N/ha; 0,7-1,2 kg P/ha; 12-
17 kg K/ha; 0,5-1,0 kg S/ha dan 40-70 kg Si/ha untuk setiap pengambilan 1 ton
jerami dari lahan.
DAFTAR PUSTAKA

BPS. 2005. Statistik Indonesia 2004. Badan Pusat Statistik, Jakarta-Indoneia. P : 168-
177
Cosico, W. C., 1985. Organic fertilizer. Their Natur, Persepective and Used. Farming
System and Soil Resource Institu. UPLB Laguna. Philippines. 136 p.
Dobermann A, T Fairhurst. 2000. Rice: Nutrient Disorders & Nutrient Management.
International Rice Research Institute, MCPO Box 3127, Makati,
Philippines.191p.
Makarim, A. K, D. Pasaribu, Z. Zaini dan I. Las. 2005. Analisis dan Sintesis
Pengem-bangan Model Pengelolaan Tanaman Terpadu Padi Sawah. Balai
Penelitian Tanaman Padi, 18 p.
Rahardjo, A., L.P.S. Patuan., Sulistioningsih, Heru Prijanto, Cecilia Gunawan and Ig.
Suharto, 1981. Preliminary study of potency of agricultural waste and agro
indutrial waste as animal feedstuf. Proc. Ist ASEAN Workshop on Technology
of Animal Feed Production Utilising Food Waste Material. Bandung. Agust 24-
29. 1980
Wahyono, S., L.S. Firman dan S. Framk. 2003. Pembuatan kompos dari limbah
rumah pemotongan hewan. Pusat Pengkajian dan Penerapan Teknologi Lingkungan.
BPPT. Jakarta. 38p.

Anda mungkin juga menyukai