Anda di halaman 1dari 2

C.

Syarat-syarat berhujjah dengang Mashalah Mursalah


Ulama yang berhujjah dengan mashlahah mursalah, mereka bersikap sangat berhati-
hati sehinga tidak menimbulkan pembentukan hukum berdasarkan hawa nafsu dan
keinginan tertentu. Oleh karena itu, mereka menyusun tiga syarat pada mashalah
mursalah yang dipakai sebagai dasar pembentukan hukum, yaitu:
1) Harus merupakan kemashalatan yang hakiki, bukan yang bersifat dugaan. Maksudnya
untuk membuktikan bahwa pembentukan hukum pada suatu kasus dapat
mendatangkan kemanfaatan dan penolakan bahaya. Jika sekedar dugaan bahwa
pembentukan hukum dapat menarik manfaat, tanpa mempertimbangkannya dengan
bahaya yang datang, maka kemashalatan ini bersifat dugaan semata (mashlahah
wahmiyyah).
Contohnya pencabutan hak suami untuk mentalak istrinya dan menjadikan hak talak
tersebut sebagai hak hakim dalam segala sesuatu dan kondisi.
2) Kemashalatan itu bersifat umum, bukan pribadi. Maksudnya untuk membuktikan
bahwa pembentukan hukum pada suatu kasus dapat mendatangkan manfaat bagi
mayoritas umat manusia, atau menolak bahaya dari mereka, dan bukan untuk
kemashalatan individu atau beberapa orang.
Hukum tidak boleh disyariatkan untuk mewujudkan kemaslahatan-kemashalatan
khusus bagi penguasa atau pembesar, dan memalingkan perhatian dan kemashalatan
mayoritas umat. Dengan kata lain, seluruh kemashalatan harus memberikan manfaat.
3) Bahwa pembentukan hukum berdasarkan kemashalatan, tidak nertentangan dengan
hukum atau prinsip yang berdasarkan nash atau ijma, oleh karena itu, tideak benar
mengakui kemashalatan yang menuntut persamaan antara laki-laki dan perempuan
dalam bagian warisan. Sebab maslahat yang demikian itu batal, karena bertentangan
dengan nash Al-Qur’an.
Dalam hal ini, fatwa Yahya bin Yahya Al-Litsi Al-Maliki, ulama fiqih Andalusia dan
murid imam Maliki bin Anas, adalah salah, yaitu tentang seseorang raja Andalusia
berbuka puasa dengan sengaja pada siang hari bulan Ramadhan., kemudian imam
Yahya memberikan fatwa, bahwa tidak perlu membayar kafarat namum berpuasa dua
bulan berturut-turut. Dia mendasarkan fatwanya, bahwa kemashalatan menghendaki
demikian, karena maksud kafarat adalah mencegah orang yang berbuat dosa dan
menahannya sehingga tidak mengulangi dosa serupa, dan cara inilah yang biasA
menahan raja agar tidak mengulang perbuatannya lagi. Adapun kemerdekaan seorang
budak, maka hal ini sangat mudah bagi sang raja dan tidak ada unsur prevensi di
dalamnnya.
Fatwa diatas didasarkan pada kemaslahatan, tetapi kemaslahatan yang diambil
bertentangan dengan nash, karena di dalam nash telah jelas disebutkan bahwa kafarat
orang yang berbuka puasa dengan sengaja pada siang hari di bulan Ramadhan adalah
memerdekakan seorang budak. Jika tidak mendapatkannya, maka berpuasa dua bulan
berturut-turut, jika tidak sanggup, memberi makanan kepada 60 orang miskin., tanpa
membedakkan apakah raja atau fakir yang berbuka puasa, dengan demikian,
kemaslahatan olkeh mufti dalam menetapkan kafarat bagi raja dengan berpuasa dua
bulan berturut-turut secara khusus nerupakan kemaslahatan yang keliru.
Dari uraian tersebut jelaslah, bahwa kemaslahatan atau sifat yang munasib, harus
terdapat salah satu bukti syara’ yang mengakui atau membenarkan. Sifat munasib ini
adakalanya munasib muttasir dan adakalanya munasib mualim. Dan bila tidak ada
bukti syara yang menunjukan batalnya pengakuan tersebut, maka sifat itu adalah
munasih al-mulgha (yang dibatalkan)., dan apabila tidak ada bukti syara yang
menunjukan terhadap pengkuan syar’i yang membenarkan (mengakui) atau
membatalkannya, maka sifat tersebuat adalah munasib, mursal, dengan kata lain
disebut maslahah mursalah.

D. Keraguan Orang Yang Tidak Menggunakan Maslahah Mursalah


Sebagian ualama kaum muslimin berpendapat bahwa maslahah mursalah yang tidak
terdapat bukti syari’ mengenai pengakuan dan pembatalan terhadapnya, tidak bisa
dijadikan sebagai dasar pembentukan hukum. Alasan mereka ialah:
1) Bahwa syariat telah memelihara segala kemaslahatan manusia dengan nash-nash dan
petunjuk qiyas. Sebab syari’ tidak akan menyia-nyiakan umat manusia, maksudnya
tidak akan membiarkan kemaslahatan apapun tanpa suatu bukti dari syari’ yang
mengakuinya. Sedangkan jika tidak ada bukti dari syari, maka pada hakikatnya bukan
kemaslahatan. Namun merupakan maslahah wahmiyah (kemaslahatan yang bersifat
dugaan) dan tidak sah mendasar hukum atas kemaslahatan tersebut.
2) Bahwa pembentukan hukum atas dasar kemutlakan maslahat berarti membuka pintu
hawa nafsu bagi orang yang menurutinya, baik dari kalangan penguasa, amir, dan
para mufti. Sebagian dari mereka kadangkala kalah oleh hawa nafsu dan keinginannya
sebagai akibatnya mereka bisa menghalalkan mufsadah (kerusakan) untuk
kemaslahatan. Sedangkan kemaslahatan merupakan suatu hal yang bersifat pemikiran
yang berbeda berdasarkan pendapat dan kondisi lingkungan. Oleh karena itu,
membentuk hukum berdasarkan mutlaknya kemaslahatan berarti membuka pintu
kejahatan.

Anda mungkin juga menyukai