Anda di halaman 1dari 2

Nama : Kahfi Prasetyo

NIM : 042023143006
PPAK 2021
Penulisan karya postmodernisme berkarakter sangat kaya dan berat pada teks sebagai
elemen dalam riset sosial. Posmodernis lebih menyukai cara penulisan daripada bagaimana suatu
metode dilakukan. Ada tiga cara penulisan yang dilakukan riset kualitatif yaitu: realism,
impressionic writing dan confessional ethnography. Pada realism penulis benar-benar
menghilang dari tulisan. Dua cara yang lain lebih disukai dalam postmodernisme. Impressionic
writing adalah cara yang dilakukan penulis untuk menunjukkan bukan untuk menceritakan,
sehingga tulisan harus sangat detail untuk menarik pembacanya seakan terlibat dan merasakan
pengalaman penulis. Dalam confessional ethnography pengalaman penulislah yang ditawarkan
sebagai media pembelajaran bagi pembaca.
Penelitian yang jatuh dalam ranah paradigma postmodernisme juga memerlukan
wawancara dalam penggalian bukti empiris. Namun demikian, diperlukan formulasi ulang
metode wawancara khusus untuk paradigma postmodernisme karena wawancara yang ada pada
sebagian besar penelitian kualitatif masih menekankan rasionalitas yang tidak disukai kaum
postmodernis.
Peneliti postmodernisme memiliki satu pandangan bahwa wawancara lebih menampilkan
Big Discourse. Artinya hasil dari wawancara seperti ekspresi emosi responden, tidak dianggap
sebagai motif dari responden, namun dipandang sebagai bentukan pengaruh sosial atau
kekuasaan. Pandangan interpretif dan pandangan postmodernis melihat wawancara sebagai
sesuatu yang berbeda. Kaum interpretif memaknai dari sisi peneliti, sedangkan kaum
postmodernis melihat bagaimana pelaku memaknai diri mereka serta interaksi diantara mereka.
Kaum postmodernis tidak mau melihat hasil wawancara sebagai sesuatu yang stabil dan tetap.
Makna sesuatu bisa menjadi beragam dengan adanya ruang dan waktu yang temporal.
Terdapat tiga masalah yang mendasari wawancara sebagai situasi penghasil pengetahuan
yaitu yang terletak pada pewawancara, yang diwawancara serta situasi sosial. Pewawancara
memiliki pandangan dan keinginan yang dapat mengkonstruksi jalannya wawancara. Dari sisi
yang diwawancara, bukannya tidak mungkin mereka memiliki motivasi tertentu dalam
memberikan jawaban. Situasi sosial juga memberikan masalah tersendiri, misalnya tentang
tempat wawancara (wawancara di tempat parker tentu berbeda dengan di restoran), identitas
pewawancara (pewawancara muda mungkin menemui tanggapan yang berbeda dengan yang
lebih tua), dan lain- lain.
Penolakan terhadap rasionalitas dan berbagai kritik mengakibatkan wawancara sebagai
metode tidak memiliki landasan yang dianggap kuat sebagai pembentuk pengetahuan. Namun
hal ini tidak berarti bahwa metode ini harus dihindari sama sekali. Untuk itu terdapat dua ide
yang diajukan untuk mengkonseptualisasikan wawancara dalam paradigma postmodernisme.
Pertama adalah dengan memandang wawancara sebagai suatu kondisi sosial yang kompleks, di
mana hasil wawancara dipandang sebagai suatu pencapaian pada konteks lokal dan interaktif.
Kedua, wawancara dianggap sebagai permainan kekuasaan, dan hasilnya menggambarkan mode-
mode sosial yang dominan untuk membentuk pengetahuan.
Proses formulasi ulang wawancara untuk paradigma postmodernisme dapat dilakukan
dengan memodifikasi praktik wawancara yang memungkinkan pewawancara menilai signifikansi
Nama : Kahfi Prasetyo
NIM : 042023143006
PPAK 2021
dan pengaruh tentang isu-isu, berbagai hubungan dan pengaruh interaksi yang menjadi karakter
dari wawancara. Selain itu, interpretasi harus mempertimbangkan berbagai cara memahami hasil
dari wawncara, termasuk dari berbagai pandangan logis melihat hasil wawancara tersebut
sebagai ekspresi pengetahuan responden tentang dunia di luar sana dan cara mereka
menghubungkan dirinya ke dunia itu. Terakhir, penting untuk memikirkan ulang rumusan
masalah sehingga menjadi realistis, dengan mempertimbangkan situasi wawancara yang
kompleks.
Seusai proses wawancara yang harus dilakukan adalah menginterpretasi dan menulis
hasil interpretasi tersebut. Aktivitas interpretasi memunculkan masalah dengan voice. Voice
adalah istilah yang digunakan untuk menggambarkan kesulitan yang dihadapi penulis dalam
merepresentasikan dirinya dan pada saat yang bersamaan merepresentasikan mereka yang
diwawancara. Biasanya yang lebih umum digunakan adalah fokus pada representasi lapangan,
bukan pada penulis.
Dalam menginterpretasikan voice, postmodernis menghindari kecenderungan mainstream
yang mencoba mencari pola, menemukan sistem atau menggunakan mekanisme logis yang dapat
menjelaskan inkonsistensi dan kontradiksi. Dalam ilmu sosial ada kecenderungan keterpihakan
peneliti ilmu sosial kepada minoritas, kaum yang lemah, yang terpinggirkan atau kaum yang
tidak memiliki kekuasaan. Postmodernis tidak menyukai satu voice saja, mereka menyukai multi
voice, beberapa alternative. Ini akan menimbulkan permasalahan jika peneliti harus
menyampaikan beberapa pernyataan negative suatu kelompok atas kelompok lain.
Dalam metode wawancara, interpretasi, dan penulisan yang digunakan peneliti
postmodernis, akan selalu ada trade off antara berbagai kepentingan author- reader, fieldwork-
textwork, serta subjectivity-objectivity. Namun sepertinya pluralitas postmodernisme membuat
kesulitan tersendiri tentang apa yang harus diambil. Pada akhirnya, merupakan suatu hak penulis
dengan caranya sendiri untuk melakukan apa yang diinginkannya.

Anda mungkin juga menyukai