A. DATA PASIEN
Nama : Iqra Trisnawati Septiani S.
Alamat : Baruga
Hasil : 7 U/L
III. PEMBAHASAN
Gangguan fungsi hati masih menjadi masalah kesehatan besar di negara
maju maupun negara berkembang. Indonesia merupakan negara dalam
peringkat endemik yang tinggi mengenai penyakit hati. Angka kejadian
kerusakan hati sangat tinggi, dimulai dari kerusakan yang tidak tetap namun
dapat berlangsung lama. Salah satu penyebab kerusakan hati adalah obat–
obatan (Lucena, dkk.,2008).
Gangguan fungsi hati seringkali dihubungkan dengan beberapa penyakit
hati tertentu. Beberapa pendapat membedakan penyakit hati menjadi penyakit
hati akut atau kronis.Dikatakan akut apabila kelainan – kelainan yang terjadi
berlangsung sampai dengan 6 bulan, sedangkan penyakit hati kronis berarti
gangguan yang terjadi sudah berlangsung lebih dari 6 bulan (Depkes RI,
2007). Ada satu bentuk penyakit hati akut yang fatal, yakni kegagalan hati
fulminan, yang berarti perkembangan mulai dari timbulnya penyakit hati
hingga kegagalan hati yang berakibat kematian (fatal) terjadi kurang dari
empat minggu (Depkes RI, 2007).
Tes yang lazim dilakukan untuk mengetahui ada atau tidaknya
kerusakan hati pada umumya dilakukan berdasarkan deteksi kebocoran zat –
zat tertentu dari sel hati ke dalam peredaran darah. Sebagian besar dari tes
tersebut merupakan tes yang mengukur aktivitas enzim dalam serum atau
plasma. Aktivitas enzim yang paling sering diukur adalah aktivitas enzim
transaminase ( Ali Sulaiman, 2007).
Dua macam enzim yang sering dihubungkan dengan kerusakan sel hati
yang termasuk dalam golongan aminotransferase adalah enzim yang
mengkatalisis pemindahan gugus asam amino dan asam alfa keto. SGOT
(Serum Glutamat Oksaloasetat Transaminase) mengkatalisis reaksi antara
asam aspartat dengan asam alfa-ketoglutamat. Sedangkan SGPT (Serum
Glutamat Piruvat Transaminase) mengkatalisis reaksi antara alanin dengan
asam alfa-ketoglutamat ( Ali Sulaiman, 2007).
Berdasarkan interpretasi, semua sel prinsipnya mengandung enzim
ini.Namun, enzim transaminase mayoritas terdapat di dalam sel hati, jantung,
dan otak. Pada keadaan adanya nekrosis sel yang parah, perubahan
permeabilitas membran atau kapiler enzim ini akan bocorke dalam sirkulasi.
Oleh karena itu,jumlah enzim ini akan meningkat pada keadaan nekrosis sel
atau proses radang akut maupun kronis (Panil, 2007).
Aminotransferase tersebar luas di dalam tubuh, terutama banyak
dijumpai di hati karena peran penting organ ini dalam sintesis protein dan
dalam menyalurkan asam – asam amino ke jalur – jalur biokimiawi lainnya.
Hepatosit pada dasarnya adalah satu – satunya sel dengan konsentrasi SGPT
yang tinggi, sedangkan ginjal, jantung, dan otot rangka mengandung
kadaryang sedang (Sacher dan McPherson, 2002).
SGPT dalam jumlah yang lebih sedikit dapat dijumpai di pankreas, paru
– paru, limfa, dan eritosit. Dengan demikian, SGPT serum memiliki spesifitas
yang relatif tinggi untuk mendeteksi kerusakan hati.Sedangkan sejumlah besar
SGOT (Serum Glutamat Oxaloacetat Transaminase) terdapat di hati,
miokardium, dan otot rangka; eritrosit juga memiliki SGOT dalam jumlah
sedang.Hepatosit mengandung SGOT tiga sampai empat kali lebih banyak
daripada SGPT (Sacher dan McPherson, 2002).
Kadar SGPT meningkat terutama pada penyakit hati dan dapat
digunakan untuk memantau perjalanan penyakit hepatitis, sirosis atau hasil
pengobatan yang mungkin toksik bagi hati.SGOT terdapat dalam jaringan
yang memiliki aktivitas metabolik yang tinggi: jadi, enzim ini dapat
meningkat pada kerusakan atau kematian jaringan organ seperti jantung, hati,
otot, skeletal, dan ginjal. Meskipun tidak spesifik bagi penyakit hati,
kadarSGOT dapat meningkat pada sirosis, hepatitis, dan penyakit kanker hati
(Sacher dan McPherson, 2002).
Enzim SGPT juga digunakan untuk membedakan penyebab kerusakan
hati dan ikterik hemolitik. Pada ikterik, kadar SGPT yang berasal dari hati
nilainya lebih dari 300 U/l, sedangkan yang bukan berasal dari hati kadar
SGPT kurang dari 300 U/l. Kadar SGPT serum biasanya meningkat
sebelum tampak ikterik (Kee, 2007). Kadar SGPT seringkali dibandingkan
dengan SGOT untuk tujuan diagnostik.Kadar SGPT meningkat lebih khas
pada kasus nekrosis hati dan hepatitis akut.Kadar SGPT ditemukan
dalam kisaran normal atau sedikit meningkat pada kasus nekrosis
miokardium. Pada kasus hati, kadarSGPT lebih lama kembali ke batas normal
dibandingkan dengan enzim SGOT (Kee, 2007).
Kadar SGPT ditentukan menggunakan metode kinetik enzimatik ( sesuai
dengan IFCC (International Federation of Clinical Chemistry)). Prinsip dari
pemeriksaan ini adalah Serum Glutamat Piruvat Transaminase
(SGPT) mengkatalis transaminase dari L – alanine dan alfa - ketoglutarat
membentuk L glutamate dan pyruvat (Sardini, 2007). Pyruvat yang terbentuk
direduksi menjadi laktat oleh enzim Laktat Dehydrogenase (LDH) dan
Nicotinamide Adenine Dinucleotide (NADH) yang kemudian teroksidasi
menjadi NAD.Banyaknya NADH yang teroksidasi hasil penurunan serapan
(absorban) berbanding langsung dengan aktivitas SGPT.Dikur secara
fotometrik dengan panjang gelombang 340 nm (Sardini, 2007).
o
Nilai normal SGPT adalah 2 – 23 U/L. Cara optimized UV, 25 C
( antaralaboratorium bisa berbeda – beda). Sama dengan SGOT, tes SGPT
juga dianggap sebagai tes kelainan parenkim hati.Dapat dianggap ada
sangkaan kelainan faal, apabila nilai SGPT lebih besar dari dua sampai tiga
kali batas atas nilai normal (Kosasih, 2008).
IV. KESIMPULAN
V. DAFTAR PUSTAKA