Anda di halaman 1dari 9

MANUSIA SEBAGAI KESATUAN JIWA DAN TUBUH

Manusia sebagai rational animal, religious animal, dan symbolic animal dapat dijabarkan
dalam pengertian manusia sebagai kesatuan jiwa dan tubuh. Jiwa adalah aspek formal,
sedangkan tubuh adalah aspek material. Jadi, manusia adalah kesatuan jiwa dan tubuh, kesatuan
forma dan materi.
Kemampuan rasional, kemampuan religius, dan kemampuan simbolik mewakili unsur
immaterial dan rohani yang dinamakan jiwa. Sedangkan animal mewakili unsur material dan
fisik yang disebut tubuh. Maka topik ini sebetulnya merupakan penjabaran dari ketiga definisi
tentang manusia yang sudah dibahas.

1. Kesatuan Jiwa dan Tubuh menurut Plato, Aristoteles, dan Descartes


a. Plato: kesatuan dualistik
Kesatuan jiwa dan tubuh bersifat dualistik, sebab kodrat jiwa dan tubuh berbeda. Sebelum
bersatu dengan tubuh, jiwa tinggal di dunia ide (praeksistensi jiwa). Ketika hidup di dunia, jiwa
seakan tinggal dalam penjara tubuh. Pada saat kematian tubuh, jiwa tidak hancur tapi kembali ke
dunia ide.
b. Aristoteles: kesatuan hylemorfistik
Jiwa dan tubuh merupakan kesatuan mutlak. Jiwa adalah forma, tubuh adalah materi.
Forma berasal dari potensi materi, sebab itu pada saat kematian tubuh forma juga lenyap
(tenggelam) karena keduanya kesatuan mutlak. Tidak ada konsep praeksistensi jiwa seperti pada
Plato. Jiwa berasal dari potensi materi.
c. Rene Descartes: kesatuan dualistik
Manusia adalah kesatuan jiwa dan tubuh. Jiwa adalah rasio, dan rasio lebih unggul dari
materi tubuh. Maka Descartes menolak definisi rational animal, dan menyebut manusia sebagai a
thinking thing, a mind. Manusia adalah sesuatu yang berpikir, mengenang, merenung, ragu-ragu,
dan sebagainya. Simpul yang mempertemukan jiwa dan tubuh adalah pineal gland. Rasio itu
ibarat jam yang sangat canggih, yang bekerja secara mekanistik.

2. Tubuh
Manusia menyadari diri sebagai “aku”. “Aku” bukan badan, bukan jiwa, tapi keutuhan
diriku, keutuhan jiwa dan tubuh. Menurut N. Driyarkara, tubuh adalah unsur diriku. Ia bukan
seperti sepatu di kaki, atau topi di kepala. Tubuh itu “aku” sejauh “aku” adalah makluk jasmani.
Tubuh adalah cara penampakanku.
a. Arti tubuh
Kita memiliki tubuh. Tapi pernahkah Anda mencoba merenungkan dan bertanya apa
artinya tubuh? Menurut Prof. Dr. N. Driyarkara, ada dua arti dari tubuh, yakni aspek jasmani
manusia, dan jasmani yang dirohanikan.
1). Tubuh adalah aspek jasmani manusia
Tubuh dapat dipandang. Tubuh punya struktur biologis yang terdiri dari banyak sel. Aspek
jasmani itu penuh dengan aspek rohani. Keduanya tidak berdampingan, tapi menyatu. Tak ada
lokasi tertentu jiwa dalam tubuh. Jiwa tidak hanya ada di jantung, otak, paru-paru, tangan. Jiwa
ada di seluruh tubuh.
Ada ketegangan antara jiwa dan tubuh. Tubuh otonom, hidup menurut hukumnya. Ia
materi dan sebab itu tunduk pada hukum yang berlaku bagi barang materi. Misalnya, agar supaya
tetap hidup, kita harus makan. Ini hukum. Orang bisa saja memperbanyak makan, bisa
mengurangi makan, tapi tak dapat bebas makan.
2). Tubuh adalah jasmani yg dirohanikan
Tubuh adalah jasmani yang dirohanikan atau rohani yang menjasmani. Artinya, tubuh itu
luhur dan mulia. Tubuh baru betul-betul luhur kalau ia mengabdi roh. Tubuh adalah pancaran
atau cerminan jiwa. Tepatlah ungkapan bahasa Latin yang sering kita dengar: Mens san in
corpore sano (jiwa yang sehat ada dalam tubuh yang sehat).
b. Karakter Spesifik Tubuh
Ada dua karakter spesifik tubuh manusia, yakni posisi tegak/vertikal, serta sistem syaraf
otak yang sangat kompleks.
1). Posisi tubuh tegak
Posisi tegak (bertumpu dan berjalan dengan dua kaki) merupakan posisi yang lebih unggul
dibanding posisi hewan umumnya (empat kaki). Dengan posisi tegak manusia mampu melihat
benda-benda dari atas dan memudahkan peningkatan aktivitas rohani. Posisi tegak ini membuat
gerakan-gerakan manusia lebih fleksibel (khususnya tangan dan lengan), sehingga
memungkinkan dia melakukan aktivitas budaya.
Dari perjalanan evolusi diketahui bahwa kera besar (apes), yakni nenek moyang
hominoid, mulai mencoba berjalan tegak sekitar 6 juta tahun lalu. Sekitar 4 juta tahun lalu,
Homo Australopithecus dan Homo Neanderthalensis, yakni nenek moyang kita selalu berjalan
tegak dengan dua kaki belakang. Postur tegak membebaskan dua kaki depan untuk melakukan
kegiatan-kegiatan lain, yang terpenting di antaranya adalah membuat peralatan.
Postur tegak baru benar-benar terjadi pada Homo Erectus sekitar 1,7 juta tahun lalu, di
Afrika. Erectus sudah makan daging dan makanan tanaman. Dengan volume otak yang lebih
besar dan menggunakan peralatan, mereka lebih efisien mendapatkan makanan. Sekitar 500 ribu
tahun lalu Homo Sapiens, yang menurunkan manusia modern, sudah berjalan tegak seperti
manusia yang sekarang. Sekitar 1 juta tahun lalu, Homo Erectus sudah bermigrasi ke Timur
Dekat, Timur Jauh (Peking Man; Java Man), dan Eropa.
2). Sistem syaraf otak yang sangat kompleks
Manusia memiliki sistem syaraf otak yang lebih kompleks, sehingga manusia memiliki
jumlah korelasi yang tak terbatas. Prof. Eschbach mengatakan keunggulan manusia terletak pada
perkembangan otak. Bukan dalam hal bobot otak (karena ternyata otak mastodon lebih berat),
bukan juga dalam luas materi otak (karena ternyata otak lumba-lumba lebih luas), tapi sifat otak
yang asimetris.
Laju gerak evolusi menambah ukuran otak manusia, mulai dari 600 gram pada homo
habilis sampai 1680 gram pada homo neanderthal. Data berikut dapat memberikan gambaran
bahwa evolusi menambah brain size.

Jenis Hominoid Brain size (grams)


Homo Habilis 550-687
Homo Ergaster 700-900
Homo Erectus 600-1250
Homo Heidelbergensis 1100-1400
Homo Neanderthalensis 1200-1750
Homo Sapiens 1400
Jadi, ukuran otak homo neanderthal tercatat sebagai tertinggi, tapi sesudahnya menyusut,
sehingga kapasitas kranial homo sapiens menyusut dari 1550 gram menjadi sekitar 1400 gram
pada laki-laki, dan pada peremuan dari 1.500 gram menjadi 1.240 gram. Pengukuran lain
menunjukkan hasil sama untuk laki-laki, tapi untuk wanita penyusutan sampai 1.330 gram. Hasil
eksperimen terbaru menunjukkan bahwa penyusutan disebabkan oleh mutasi gen yang
mengakibatkan microcephaly, yakni gangguan perkembangan neural sehingga memengaruhi
volume cerebral cortex. Brain size dari neonatal (bayi yang baru lahir) manusia tercatat 364
gram, dan pada neonatal simpanse hanya 137.
Saraf otak pun sangat rumit, karena otak memiliki 86 miliar neuron, dan setiap neuron
memiliki sekitar 7000 koneksi synaptik. Sekitar 16 miliar neuron otak terdapat di cerebral
cortex. Neuron adalah sel-sel saraf yang mentransmisi informasi dalam sistem saraf sehingga
hewan dapat menangkap stimuli dari lingkungan. Otak manusia hanya 2% dari massa tubuh, tapi
mengkonsumsi energi tubuh sampai 20%.
Hewan-hewan lain tidak memiliki neuron secanggih manusia: gorilla hanya 33,4 miliar,
orangutan 32,6 miliar, simpanse 28 miliar, babon 10 miliar, singa 46 miliar, anjing 22 miliar,
kucing 760 juta, oktopus 200 juta, semut 250 ribu. Itulah keunikan tubuh manusia dibanding
tubuh hewan-hewan lain, yang menyebabkan dia mengungguli hewan-hewan lain.

3. Jiwa
Tumbuhan, hewan, dan manusia “jiwa” dan tubuh. Jiwa manusia merupakan bentuk
tertinggi dari jiwa makluk hidup. Maka ada yang berkata: kalau tumbuhan, hewan dan manusia
sama-sama memiliki jiwa, kalau begitu manusia sama dengan hewan dan tumbuhan (tidak
berbeda). Aristoteles memberikan teorinya untuk menjawab keberatan seperti itu.
a. Jiwa, Tubuh, Roh
Aristoteles, dalam upaya menunjukkan keunggulan manusia atas makluk hidup lain,
memunculkan unsur baru yang disebutnya roh. Dengan demikian pada manusia ada unsur jiwa,
tubuh dan roh. Menurut Aristoteles, manusia jauh mengungguli makluk-makluk hidup lain
karena unsur roh tersebut.
Roh adalah kemampuan reflektif manusia yang tidak dimiliki makluk hidup lain. Roh
berbeda dengan jiwa. Sifat roh adalah sangat halus, sedangkan jiwa sangat konkret. Aktivitas roh
hanya berkaitan dengan jiwa, tidak dengan tubuh.
Bagaimana roh beraktivitas? Aristoteles menjelaskan sbb: seperti indera yang menerima
kesan-kesan, roh juga menerima kesan-kesan yang bukan berupa suara atau warna seperti pada
indera, tetapi pengertian-pengertian. Roh memang melebihi indera sebab indera berkaitan dengan
kesan-kesan tertentu saja (warna bagi mata, suara bagi telinga), sedangkan roh meliputi segala
sesuatu. Indra juga berkemampuan terbatas, sebaliknya kemampuan roh tidak terbatas. Indra
memang sangat bergantung pada tubuh dan terikat pada organ-organ tertentu. Jadi, roh jauh lebih
otonom terhadap tubuh dan tidak terikat dengan organ-organ tertentu. Dengan kata lain, roh itu
bukannya merupakan sesuatu melainkan kemungkinan (potensi). Roh tidak mempunyai hakikat,
bahkan hampir mendekati ketiadaan. Oleh sebab itu roh tak dapat dilokalisir.
Hubungan jiwa dan tubuh lebih konkrit. Roh seakan-akan memperlihatkan sifat dari
dunia lain. Roh memanifestasikan diri lewat jiwa. Roh adalah prinsip aktif bagi jiwa. Dalam
kehidupan empiris, misalnya, warna tidak mungkin bisa dilihat kalau tidak ada cahaya. Nah,
cahaya merupakan prinsip aktif. Dalam jiwa terdapat roh yang bisa menerima segala sesuatu, dan
roh yang berfungsi aktif seperti cahaya. Roh aktif adalah pemikiran yang tak kunjung berhenti. Ia
bersifat terpisah dan mandiri dari jiwa. Ia juga baka dan abadi.
Jiwa dan roh juga berbeda menurut asal usulnya. Jiwa timbul dari sel telur, bukan dari
luar. Mengapa? Karena jiwa tidak mungkin ada tanpa tubuh, seperti halnya berjalan tidak
mungkin terlaksana tanpa kaki. Sebaliknya roh berasal dari luar (thyrathen) dan bersifat ilahi.
Dalam melakukan aktivitasnya roh tidak berhubungan dengan tubuh. Hubungan roh dan jiwa
lebih dekat dibanding hubungannya dengan tubuh. Roh terlepas dari tubuh, dan beraktivitas di
luar tubuh.
Aristoteles sebetulnya ingin menekankan kesatuan jiwa-tubuh pada manusia. Menurut
dia, manusia melebihi makluk-makluk hidup lain dan berdiri di luar rentetan itu berkat refleksi
rasionalnya. Aktivitas roh di satu pihak termasuk kehidupan jiwa, tetapi di lain pihak
memperlihatkan daya ilahi yang lebih tinggi. Roh adalah daya rohani yang melebihi pribadi
manusia.
Pandangan Aristoteles punya titik lemah, karena menciptakan dualisme baru (suatu yang
disangkalnya sendiri) antara jiwa-tubuh di satu pihak, dan roh-jiwa di pihak lain. Itulah
sebabnya, Thomas Aquinas menolak pandangan Aristoteles bahwa roh melampaui pribadi
manusia. Bagi Thomas, roh adalah bentuk jiwa tertinggi yang memberikan substansialitas
kepada pribadi manusia dan hidup terus sesudah kematian (bagi Aristoteles, jiwa pribadi yang
hidup terus sesudah kematian tak dapat dibayangkan, sebab jiwa justru menjadi jiwa konkrit
berkat tubuh. Dalam perkaitan dengan tubuh itu roh sendiri bersifat potensialitas dan tak dapat
ditentukan lebih konkrit, sebab untuk itu orang harus bertumpuh pada tubuh).
b. Sifat-sifat Jiwa
Tiga pandangan berbeda tentang sifat-sifat jiwa adalah sebagai berikut:
1). Jiwa bersifat pasif
Jiwa adalah penerima impresi-impresi pancaindra dari stimuli luar. Impresi-impresi itu
disimpan dalam bagian ingatan jiwa dan digunakan kemudian jika dibutuhkan. Ini diajarkan John
Locke, David Hume, B.F. Skinner.
Menurut John Locke manusia dilahirkan dengan jiwa yang merupakan tabula rasa
(kertas kosong). Baru ada catatan bila kita mengalami sesuatu. Kita punya ide tentang bunga atau
gunung hanya setelah kita melihat bunga dan gunung. Kita tahu warna merah, biru, ungu karena
sudah pernah melihat warna-warna itu.
David Hume mengatakan jiwa adalah teater dimana dan melalui mana datang banyak
persepsi dan panggung dimana para pemain datang dan pergi. Jiwa adalah kontainer atau gedung
besar di mana datang dan pergi bermacam persepsi, ide, pikiran dll.
Sedangkan Skinner tak mengakui adanya kejadian-kejadian mental (dia seorang
materialis). Dia melihat jiwa sebagai komputer yang kalau diprogram dan diberi informasi yang
tepat, akan menghasilkan output yang sepadan. Jiwa dan diri adalah satuan respons terhadap
stimuli. Dengan kata lain, otak menerima stimuli dari luar lalu menanggapinya sebagai komputer
atau mesin.
2). Jiwa bersifat aktif
Menurut Rene Descartes, jiwa bersifat aktif. Descartes mengatakan, ketika dia merasa
sangsi, ada kebenaran yang tak dapat disangsikan yaitu bahwa dia sangsi. Manusia adalah
makluk sadar yang berpikir. Dia tak mungkin sangsi jika dia tidak sadar dan tak berpikir. Cogito
ergo sum, saya berpikir maka saya ada. Bagi Descartes kesadaran adalah fakta dasar dan primer
dari eksistensi manusia. Kesadaran sulit didefinisikan. Tapi kesadaran pasti menyangkut hal-hal
seperti berpikir, imaginasi, heran, spekulasi, analisis. Kesadaran bahkan harus ada lebih dulu dari
semua itu.
3). Jiwa bersifat intensional
Pendapat ini dikemukakan oleh Edmund Husserl. Dia setuju dengan Descartes tapi
mengatakan Descartes belum memberikan keterangan tentang hakikat kesadaran (apa itu
kesadaran). Jiwa atau kesadaran selalu bersifat intensional. Artinya, mengarah ke suatu hal atau
obyek (fisik atau mental). Kesadaran tidak pernah tanpa isi, tapi selalu punya obyek. Ia bukan
saja penerima stimuli dari luar, tapi secara aktif mencari obyek-obyek internal (pikiran,
imaginasi, perasaan) dan obyek luar (pohon dll). Ia terima stimuli dari dalam dan luar diri, tapi
menerima dengan aktif, selalu menghubung-hubungkan, dan “menenun” semuanya menjadi
suatu pandangan atas realitas yang adalah milikku.
Dari perspektif filsafat, jiwa manusia bersifat spiritual dan sederhana (simplex). Spiritual
sebab berdasarkan hakikat intrinsiknya, jiwa bebas dari materi. Tapi jiwa bukan roh semata-
mata, tapi tetap bergantung pada materi. Materi jasmani merupakan syarat bagi aktivitas jiwa.
Jiwa bersifat sederhana (simplex) berarti bahwa jiwa tidak mempunyai bagian-bagian
yang sungguh-sungguh berbeda. Jiwa mempunyai bagian-bagian yang esensial atau integral.
Jiwa bersifat esensial karena ia merupakan bentuk substansial manusia. Ia bersifat integral sebab
ia bukan kuantitas yang memiliki keluasan.

c. Komponen-komponen Jiwa
Komponen-komponen jiwa adalah rasio, emosi, kehendak, dan self. Berikut dijelaskan
secara singkat.
1). Rasio
Komponen ini merupakan yang terpenting dari jiwa. Bahkan banyak filsuf menyamakan
jiwa dengan rasio (pikiran). Plato, misalnya, membedakan 3 macam jiwa, dan yang paling
penting adalah logos (rasio). Rasio inilah yang mengendalikan komponen-komponen lain.
Karena alasan ini pula manusia didefinisikan sebagai rational animal. Artinya, unsur pembeda
antara manusia dan hewan lain adalah rasionalitas.
2). Emosi
Emosi atau perasaan berbeda dengan rasio. Emosi adalah perasaan khusus yang tak dapat
diredusir, dianalisis. Ia adalah kualitas kesadaran, hadir secara langsung. Emosi bisa diketahui
dengan memilikinya, tak dapat dipandang sebagai kualitas yang dirasakan pada kesadaran
seseorang.
Emosi berhubungan dengan tingkah laku, dan memengaruhi usaha berpikir, mehamani,
konsentrasi, memilih, dan bertindak.
3). Kehendak
Kehendak (will) merupakan kapasitas untuk secara aktif menentukan apa yang dilakukan
dan tidak secara otomatis bereaksi terhadap stimuli. Mengetahui dan menghendaki merupakan
dua bentuk (modus) fundamental dari kegiatan spiritual. Obyek kehendak manusia adalah nilai
(value). Kebaikan merupakan motif bagi kehendak. Kebaikan adalah penyebab final yang
memengaruhi kehendak.
Dalam ajaran Plato dan Aristoteles tentang bagian-bagian jiwa, kehendak berada di antara
rasio dan nafsu-nafsu. Kehendak lebih dekat dengan rasio. Rasio berfungsi mengontrol
kehendak. Maka manusia harus membangun kebiasaan baik sehingga dapat mengontrol
kehendak. Sedangkan menurut Thomas Aquinas kehendak adalah appetitus intellectualis (nafsu
intelektual) yang dipengaruhi dan memengaruhi rasio.
Menurut Descartes, daya kehendak tidak terbatas dibanding daya rasio. Kekuatan
kehendak memungkinkan kebebasan manusia. Sedangkan Immanuel Kant hampir menyamakan
saja kehendak dan rasio. Penentu kegiatan kehendak adalah rasio praktis.
4). Self
Self adalah suatu yang tidak dapat dibagi-bagi dan menunjuk pada eksistensi yang terus
menerus. Self itulah yang berpikir, merenung, memutuskan, bertindak, dan menderita. Tapi self
bukan pikiran, tindakan, perasaan, dll. Pikiran, tindakan, perasaan bisa berubah, tapi self itu
permanen. Thiroux menyebut 5 karakteristik self, yaitu kontinuitas dan kesatuan, lebih dari
dunianya, bukan pengalaman, privasi, dan self-consciousness.
Self itu suatu kontinuitas, kesatuan, permanensi, dan stabilitas sepanjang kehidupan
seseorang. Pikiran perasaan dll selalu berubah, tapi “aku” yang memilikinya tetap yang sama.
Self juga lebih dari dunia yang dilihatnya. Hewan, pohon, benda mati seakan meresap dalam
alam, tapi self adalah kesadaran bahwa diri terpisah dari alam. Self berbeda dari apa yang
dialaminya. Self bersifat pribadi dan tak dapat dibagi. Self adalah self-consciousness.

d. Asal Usul Jiwa


Tentang asal usul jiwa, pandangan tradusianisme, kreasionisme, dan kresionisme lanjutan
memberikan penjelasan sebagai berikut.
1). Tradusianisme
Pandangan ini mengatakan jiwa berasal dari orangtua. Ada dua macam tradusianisme,
yakni tradusianisme spiritual dan tradusianisme material. Menurut tradusianisme spiritual, jiwa
secara langsung berasal dari jiwa orangtuanya. Tradusianisme material mengajarkan bahwa
orang tua menghasilkan badan, lalu badan mengembangkan sebuah jiwa manusia.
2). Kreasionisme
Pandangan ini mengatakan bahwa jiwa anak langsung berasal dari Tuhan, dan bukan
berasal dari tubuh orangtua. Jiwa anak juga tak dapat berasal dari jiwa orang tua. Jiwa anak
langsung dicpitakan oleh Tuhan..
3). Kreasionisme Lanjutan
Menurut pandangan ini jiwa anak diciptakan oleh Tuhan, tapi dalam arti Tuhan membuat
orang tua itu mampu mengatasi kekuatan mereka sendiri, dengan demikian menghasilkan jiwa
anak. Orangtua menghasilkan jiwa anak tapi tetap dengan daya kreatif Tuhan. Para penganut
paham ini antara lain Karl Rahner, P. Schoonenberg, dan J. Donceel. Jadi, kreasionisme lanjutan
berpendapat bahwa jiwa manusia (anak) diciptakan dalam arti sebagaimana setiap realitas baru di
dunia ini tercipta.

e. Hominisasi
Istilah “hominisasi” (berasal dari kata homo yang berarti manusia) berkaitan dengan
pertanyaan: kapan jiwa manusiawi mulai bereksistensi? Dengan kata lain, kapan persisnya
manusia itu muncul? Kapan embrio bisa dianggap sebagai pribadi manusia? Teori immediate
animation dan mediate animation menjawab pertanyaan tersebut.
Immediate animation: teori penjiwaan langsung (immediate animation) mengajarkan
bahwa jiwa muncul sejak terjadi pertemuan sel-sel reproduktif.
Mediate animation: teori penjiwaan tak langsung (mediate animation) mengatakan
bahwa jiwa baru bisa ada pada tingkat 'sentro-kompleksitas' tertentu (de Chardin). Mereka
menolak pandangan di atas karena jiwa dianggap sebagai causa efficiens yang membina
pertumbuhan, dengan berpedoman pada kode genetis dalam gen-gen.
Padahal jiwa merupakan causa formalis yang hanya dapat bereksistensi dalam kesatuan
dengan kausa material yang secukupnya. Menurut mereka, pada pertemuan sel-sel reproduktif
(pada saat pembuahan) kausa materialnya belum mencukupi, karena jiwa pada tahap itu baru
berada pada tingkat vegetatif dan animal, belum merupakan jiwa pribadi manusia.

f. Kekekalan Jiwa
Bagaimana menjelaskan bahwa jiwa itu kekal (tak dapat mati)? Kematian adalah saat
terputusnya hubungan antara jiwa dan tubuh. Menurut Plato, jiwa bersifat kekal: ia sudah ada
sebelum bersatu dengan tubuh, dan akan tetap hidup setelah kematian tubuh. Aristoteles
sebaliknya berpendapat bahwa jiwa akan habis pada saat kematian, sebab jiwa itu hanya bisa
hidup dalam persatuan dengan tubuh.
Mengapa jiwa itu kekal? Ini dijelaskan lewat teori kesepakatan umum, teori etika,
Theilhard de Cardin, argumen teknis, serta hasrat kepada hidup dan kebahagiaan.
1). Teori Kesepakatan Umum
Kekekalan itu ada karena kepercayaan terhadap kekekalan merupakan kepercayaan
umum bangsa manusia. Berbagai kepercayaan spontan mengakui adanya hidup sesudah
kematian. Ini terdapat pada semua bangsa, pada semua zaman, pada semua tingkat peradaban.
Data-data etnologi menunjukkan bahwa hanya manusia yang mengadakan persembahan kepada
orang mati dan mengenal upacara pemakaman orang mati karena percaya bahwa orang mati itu
dapat menggunakan persembahan mereka. Karena hal itu dihayati dan dipraktekkan oleh seluruh
bangsa manusia, maka adalah sangat sulit menganggap bahwa seluruh bangsa manusia keliru.
Jadi, kepercayaan akan kekekalan oleh seluruh bangsa manusia itu sendiri merupakan bukti kuat
akan adanya kekekalan jiwa.
2). Argumen dari Etika
Dalam kehidupan di dunia, sering kita temukan realitas yang saling bertolak belakang.
Kita mengalami bahwa orang-orang jujur dan baik sering mengalami kemalangan, sebaliknya
orang-orang jahat mendapat keuntungan dalam hidup ini. Di hati kecilnya manusia merasa
bahwa pasti ada sanksi moral kepada orang-orang jahat itu. Sanksi moral itu tidak mungkin
terlaksana seandainya tidak ada kehidupan sesudah kematian. Oleh sebab itu, disimpulkan bahwa
ada kehidupan sesudah kematian di dunia.
3). Teilhard de Chardin
Menurut de Chardin, evolusi telah berlangsung jutaan tahun. Evolusi itu mencapai
puncaknya dalam diri manusia. Manusia adalah makota evolusi, karena dialah makluk yang
sadar diri. Evolusi belum selesai, dan evolusi tetap berlangsung hanya dalam dan melalui
aktivitas bebas manusia. Tugas ini sangat berat, karena manusia menemui banyak hambatan.
Dalam diri manusia ada motivasi kuat sekali untuk tugas berat ini. Tapi motivasi itu akan hilang
manakala semuanya akan berakhir dengan kematian. Maka manusia yakin ada suatu yang harus
hidup terus. Sesuatu itu merupakan makota dari evolusi, suatu yang paling berharga, yakni
pribadi manusia, keakuan, jiwa. Maka evolusi memang menuntut kekekalan jiwa manusia.
4). Argumen teknis
Argumen ini mengatakan bahwa jiwa manusia tidak dapat berhenti hidup. Suatu makluk
berhenti hidup karena dua alasan, yakni alasan intrinsik (berhubungan dengan esensi) dan alasan
ekstrinsik (berhubungan dengan eksistensi). Esensi makluk hidup adalah musnah karena
pembusukan (langsung) atau kehilangan sandaran pokok (tak langsung). Eksistensi makluk
hidup hilang karena peniadaan. Menurut para penganut argumen ini, jiwa tidak mengalami kedua
jenis pemusnahan ini.
Jiwa tak dapat musnah karena pembusukan berarti kehancuran unsur-unsur konstitutif
suatu makluk. Meja, misalnya, hancur kalau dimakan api. Air hancur kalau diredusir kepada
oksigen dan hidrogen. Hanya benda tersusun atau material mengalami pembusukan. Jiwa, karena
bersifat spiritual, tidak mengalami pembusukan.
Jiwa juga tak musnah karena kehilangan sandaran esensialnya. Kehilangan sandaran
esensial berarti kehilangan sandaran material. Jiwa manusia bersifat spiritual, berarti tak
bergantung pada materi. Oleh sebab itu jiwa tak dapat hancur pada saat kehancuran tubuh.
Jiwa tak dapat musnah karena tindakan peniadaan. Peniadaan berarti berhentinya
kegiatan kreatif dari Tuhan yang merupakan sumber segala eksistensi. Tuhan tidak mungkin
akan menghentikan eksistensi hidup dari jiwa. Mengapa? Karena dua alasan. Pertama, Tuhan
mengatur segalanya menurut kodrat benda-benda itu. Kodrat jiwa adalah bahwa ia tak dapat mati
sebab bersifat spiritual dan sederhana. Jika Tuhan menghendaki jiwa mati, berarti dia tidak
konsekuen. Karena kodrat jiwa adalah spiritual, maka jiwa tidak akan mati.
Kedua, Tuhan dapat mengintervensi langsung dan mengubah alam, melalui mujizat. Tapi
itu dilakukan untuk mewujudkan rahmatNya. Hilangnya suatu hal yang dari kodratnya bersifat
kekal, tak akan mewujudkan rahmat Tuhan itu. Sebab itu adalah kebijaksanaan Tuhan untuk
mempertahankan segala sesuatu menurut kodratnya.
5). Hasrat Akan Hidup dan Kebahagiaan
Semua manusia mempunyai hasrat akan hidup dan memperoleh kebahagiaan. Fakta ini
memperlihatkan bahwa jiwa itu bersifat kekal. Kerinduan kodrati itu harus dipuaskan. Tanpa
kekekalan pribadi, hasrat kepada hidup kehilangan arti. Ini juga berarti bahwa dalam penciptaan
ada kekeliruan radikal yang harus dipertanggungjawabkan Tuhan. Tapi itu tidak mungkin.
Hasrat kepada kebahagiaan pun tidak akan berarti seandainya kehidupan itu berakhir
dengan kematian. Jadi, kerinduan akan kehidupan dan kebahagiaan merupakan petunjuk bahwa
ada kekekalan. Jika tidak, kebijaksanaan dan kebaikan Tuhan Pencipta dipersalahkan.

g. Jiwa sesudah Kematian


Tak ada jawaban yang memuaskan tentang jiwa sesudah kematian tubuh. Tapi ada dua
jawaban yang mencoba menjelaskannya.
Pertama, sesudah berpisah dari tubuh, jiwa masih beraktivitas sendiri. Walaupun ide,
keputusan, dan kehendak membutuhkan kerja sama dengan pancaindera, tapi jiwa juga memiliki
kemampuan mengenal diri sendiri tanpa unsur-unsur material tubuh. Ini merupakan pengenalan
intuitif, di mana yang mengenal sama dengan yang dikenal. Pengenalan akan diri dan hakikat diri
ini memungkinkan jiwa beraktivitas nyata dengan pengenalan dan kehendak. Ini
memungkinkannya lebih mengenal Tuhan dan roh-roh lain. Kelemahan jawaban ini:
spiritualisme. Jadi, segala aspek esensial manusia seakan-akan dikembalikan seluruhnya kepada
jiwa. Jadi, manusia sama dengan roh murni, dan ini sangat Platonistis.
Kedua, sesudah kematian jiwa (keakuan) berhubungan secara langsung dengan seluruh
kosmos. Maka jiwa akan menjadi pan-kosmis. Pendapat ini dikemukakan oleh Karl Rahner.
Menurut Rahner, ketika masih hidup (kesatuan jiwa dan tubuh) keakuan itu dimasukkan ke
dalam kosmos material karena perkembangan tubuhnya. Tubuh menghubungkan kita secara
langsung dengan obyek-obyek kosmos tertentu. Tapi kerugiannya, membatasi hubungan
langsung kita pada obyek-obyek tertentu. Padahal, melalui keterbukaan pengetahuannya,
keakuan itu berhubungan dengan seluruh alam semesta material.
Pandangan Rahner berbeda dengan neo-Platonisme. Pada neo-Platonisme kematian
berarti terputusnya keakuan secara total dengan materi. Pada Rahner, pada saat kematian jiwa
justru mampu berhubungan langsung dengan keseluruhan materi.
Sumber
1. Ernst Cassirer. (1989), Manusia dan Kebudayaan, Sebuah Esei tentang Manusia,
Jakarta: Gramedia.
2. Louis Leahy, (1985), Manusia Sebuah Misteri, Jakarta: Gramedia.
3. ---------------, (1991), Esai Filsafat Untuk Masa Kini, Jakarta: Grafiti.
4. Alexis Carrel, (1987), Misteri Manusia (terjemahan), Jakarta: Remaja Karya.
5. Van Peursen dkk, (1986), Pengantar Filsafat Ilmu, Yogyakarta: Tiara Wacana.
6. N. Drijarkara, (1969), Filsafat Manusia, Yogyakarta: Kanisius.
7. Wikipedia

Anda mungkin juga menyukai