Anda di halaman 1dari 9

TUGAS ASYNCHRONOUS 3

BENCHMARKING DAN MEMBUAT VIDEO KAMPANYE


ASN BERANEKA

NAMAKELOMPOK:
1. Wahyu Setiawan, A.Md.Kes
2. Destrianty Putri, A.Md.P.K
3. Fenty Palovi, A.Md.Farm
4. Leidiya Noviyantari, A.Md.Farm
5. Suci Restiandita, A.Md.K.G
Angkatan :XVI
Kelompok : III (1)
Pemateri : Drs. Syahrawi Hanan, M.Pd

Benchmarking dengan tokoh penting pahlawan Pendidikan Nasional Indonesia


Ki Hajar Dewantara
A. Pengertian Benchmarking
Benchmarking adalah suatu standar atau tolak ukur yang dimanfaatkan untuk
membandingkan antara satu hal dengan hal lainnya yang sejenis. Sederhananya, dengan
menggunakan tolak ukur tersebut, maka berbagai hal akan bisa diukur dengan standar baku yang
umum. Tujuan benchmarking adalah guna memberikan informasi pada organisasi terkait produk
atau performanya saat ini. Sehingga, perusahaan bisa melakukan evaluasi dan menemukan cara
yang paling tepat untuk meningkatkan performa atau kualitas produk. Disini kita melakukan
benchmarking terhadap tokoh pada masa kemerdekaan dimana dimaksudkan agar peserta mampu
mengaplikasikan nilai ANEKA yang mereka miliki untuk kita terapkan diInstansi tempat kerja
ataupun di masyarakat.
Tolak ukur dalam menilai indeks nilai-nilai dasar ANEKA (Akuntabilitas, Nasionalisme,
Etika Publik, Komitmen mutu, dan Anti Korupsi) yaitu pada masa perjuangan kemerdekaan.
Kenapa demikian, karena pada masa ini tujuannya untuk menanamkan dasar yang kuat untuk
penghayatan dan pengamalan jiwa, semangat dan nilai - nilai kemerdekaan. Melalui metode ini
kita bisa memberikan keteladanan kepada orang lain dalam menghayati dan mengamalkan jiwa,
semangat dan nilai – nilai selain itu dapat memberi ajakan,dorongan dan motivasi pada orang lain
dalam upaya untuk menyampaikan pesan yang terkandung dalam jiwa, semangat dan nilai - nilai
kemerdekaan dalam ruang lingkup masyarakat.

B. Role Model
Raden Mas Soewardi Soejaningrat atau yang lebih dikenal dengan Ki Hadjar Dewantara
adalah pendiri Perguruan Tinggi Taman Siswa, suatu lembaga pendidikan yang memberikan
kesempatan bagi pra pribumi jelata untuk bisa memperoleh hak pendidikan seperti halnya para
priyayi maupun orang Belanda. Oleh karena itu, Ia dijuluki Bapak Pendidikan Nasional. Ada tiga
semboyan Ki Hadjar Dewantara yang terkenal saat beliau mendirikan Taman Siswa. Semboyan ini
berbunyi “ Ing Ngarso Sang Tulodho, Ing Madya Mangun Karso serta Tut Wuri Handayani”.
Semboyan itu di artikan “didepan, seorang pendidik harus bisa menjadi teladan, ditengah murid
harus bida memberikan ide, serta dibelakang seorang pendidikan harus bisa memberikan dorongan”.
Seperti diketahui semboyan Tut Wuri Handayani pun menjadi slogan dari Kementerian Pendidikan
hingga saat ini.
1. Biografi Ki Hadjar Dewantara
Soewardi Soejaningrat(2 Mei 1889 – 26 April 1959) adalah aktivis pergerakan
kemerdekaan Indonesia, kolumnis, politisi, dan pelopor pendidikan bagi kaum pribumi
Indonesia dari zaman penjajahan Belanda. Tanggal kelahirannya sekarang diperingati di
Indonesia sebagai Hari Pendidikan Nasional. Namanya diabadikan sebagai salah sebuah nama
kapal perang Indonesia, KRI Ki Hajar Dewantara. Potret dirinya diabadikan pada uang kertas
pecahan 20.000 rupiah tahun edisi 1998.
Soewardiberasal dari lingkungan keluarga Kadipaten Pakualaman, putra dari Gusti
Pangeran Haryo Soerjaningrat, dan cucu dari Pakualam III. Ia menamatkan pendidikan
dasar di ELS (Sekolah Dasar Eropa/Belanda). Kemudian sempat melanjut ke STOVIA (Sekolah
Dokter Bumiputera), tetapi tidak sampai tamat karena sakit. Kemudian ia bekerja sebagai
penulis dan wartawan di beberapa surat kabar, antara lain, Sediotomo, Midden Java, De
Expres, Oetoesan Hindia, Kaoem Moeda, Tjahaja Timoer, dan Poesara. Pada masanya, ia
tergolong penulis handal. Tulisan-tulisannya komunikatif dan tajam dengan semangat
antikolonial.
Sewaktu pemerintah Hindia Belanda berniat mengumpulkan sumbangan dari warga,
termasuk pribumi, untuk perayaan kemerdekaan Belanda dari Prancis pada tahun 1913, timbul
reaksi kritis dari kalangan nasionalis, termasuk Soewardi. Ia kemudian menulis "Een voor
Allen maar Ook Allen voor Een" atau "Satu untuk Semua, tetapi Semua untuk Satu Juga".
Namun kolom Soewardi yang paling terkenal adalah "Seandainya Aku Seorang Belanda"
dimuat dalam surat kabar De Expres pimpinan Douwes Dekker, 13 Juli 1913. Isi artikel ini
terasa pedas sekali di kalangan pejabat Hindia Belanda. Kutipan tulisan tersebut antara lain
sebagai berikut. "Sekiranya aku seorang Belanda, aku tidak akan menyelenggarakan pesta-
pesta kemerdekaan di negeri yang telah kita rampas sendiri kemerdekaannya......” Beberapa
pejabat Belanda menyangsikan tulisan ini asli dibuat oleh Soewardi sendiri karena gaya
bahasanya yang berbeda dari tulisan-tulisannya sebelum ini. Kalaupun benar ia yang menulis,
mereka menganggap Douwes Dekker berperan dalam memanas-manasi Soewardi untuk
menulis dengan gaya demikian.Akibat tulisan ini ia ditangkap atas persetujuan Gubernur
Jenderal Idenburg dan akan diasingkan ke Pulau Bangka (atas permintaan sendiri). Namun
demikian kedua rekannya, Douwes Dekker dan Tjipto Mangoenkoesoemo, memprotes dan
akhirnya mereka bertiga diasingkan ke Belanda (1913). Ketiga tokoh ini dikenal sebagai "Tiga
Serangkai". Soewardi kala itu baru berusia 24 tahun.
Dalam pengasingan di Belanda, Soewardi aktif dalam organisasi para pelajar asal
Indonesia, Indische Vereeniging (Perhimpunan Hindia). Tahun 1913 dia mendirikan
Indonesisch Pers-bureau, "kantor berita Indonesia". Ini adalah penggunaan formal pertama dari
istilah "Indonesia", yang diciptakan tahun 1850 oleh ahli bahasa asal Inggeris George Windsor
Earl dan pakar hukum asal Skotlandia James Richardson Logan.
Di sinilah ia kemudian merintis cita-citanya memajukan kaum pribumi dengan belajar
ilmu pendidikan hingga memperoleh Europeesche Akta, suatu ijazah pendidikan yang
bergengsi yang kelak menjadi pijakan dalam mendirikan lembaga pendidikan yang
didirikannya. Dalam studinya ini Soewardi terpikat pada ide-ide sejumlah tokoh pendidikan
Barat, seperti Froebel dan Montessori, serta pergerakan pendidikan India, Santiniketan, oleh
keluarga Tagore. Pengaruh-pengaruh inilah yang mendasarinya dalam mengembangkan sistem
pendidikannya sendiri.
Soewardi kembali ke Indonesia pada bulan September 1919. Segera kemudian ia
bergabung dalam sekolah binaan saudaranya. Pengalaman mengajar ini kemudian
digunakannya untuk mengembangkan konsep mengajar bagi sekolah yang ia dirikan pada
tanggal 3 Juli 1922: Nationaal Onderwijs Instituut Tamansiswa atau Perguruan Nasional
Tamansiswa. Saat ia genap berusia 40 tahun menurut hitungan penanggalan Jawa, ia mengganti
namanya menjadi Ki Hadjar Dewantara. Ia tidak lagi menggunakan gelar kebangsawanan di
depan namanya. Hal ini dimaksudkan supaya ia dapat bebas dekat dengan rakyat, baik secara
fisik maupun jiwa.
Semboyan dalam sistem pendidikan yang dipakainya kini sangat dikenal di kalangan
pendidikan Indonesia. Secara utuh, semboyan itu dalam bahasa Jawa berbunyi ing ngarsa sung
tuladha, ing madya mangun karsa, tut wuri handayani. ("di depan memberi contoh, di tengah
memberi semangat, di belakang memberi dorongan"). Semboyan ini masih tetap dipakai dalam
dunia pendidikTanggal 17 Agustus 1946 ditetapkan sebagai Maha Guru pada Sekolah Polisi
Republik Indonesia bagian Tinggi di Mertoyudan Magelang, oleh P.J.M. Presiden Republik
Indonesia.
Dalam kabinet pertama Republik Indonesia, KHD diangkat menjadi Menteri Pengajaran
Indonesia (posnya disebut sebagai Menteri Pendidikan, Pengajaran dan Kebudayaan) yang
pertama. Pada tahun 1957 ia mendapat gelar doktor kehormatan (doctor honoris causa,
Dr.H.C.) dari universitas tertua Indonesia, Universitas Gadjah Mada. Atas jasa-jasanya dalam
merintis pendidikan umum, ia dinyatakan sebagai Bapak Pendidikan Nasional Indonesia dan
hari kelahirannya dijadikan Hari Pendidikan Nasional (Surat Keputusan Presiden RI no. 305
tahun 1959, tanggal 28 November 1959). Ia meninggal dunia di Yogyakarta tanggal 26 April
1959 dan dimakamkan di Taman Wijaya Brata.

2. Nilai-Nilai Dasar ANEKA yang dimiliki oleh Ki Hadjar Dewantara


Sebagai aktivis pergerakan kemerdekaan Indonesia, kolumnis, politisi, dan pelopor
pendidikan di Indonesia tentunya beliau memiliki nilai-nilai dasar ANEKA (Akuntabilitas,
Nasionalisme, Etika Publik, Komitmen mutu, dan Anti Korupsi). Berikut bentuk ANEKA yang
dimiliki oleh Ki Hadjar Dewantara.
a. Akuntabilitas
Ki Hajar Dewantara mengenalkan tiga semboyan yang jadi pegangan bagi
pendidikan di Indonesia. Semboyan tersebut dalam bahasa Jawa, yang berbunyi ing ngarso
sung tulodo, ing madyo mangun karso, dan tut wuri handayani. Sebagai bapak pelopor
pendidikan di Indonesia tentunya Ki Hadjar Dewantara memiliki jiwa kepemimpinan yang
beliau kenalkan dalam tiga semboyan di atas.
Prinsip kepemimpinan pertama dari Ki Hajar Dewantara adalah Ing ngarso sung
tulodho, yang dalam Bahasa Indonesia terjemahannya: di depan menjadi panutan atau
teladan. Sangat sederhana, pemimpin berada di depan untuk menjadi panutan dan teladan
bagi yang lain. Memberikan arah kemana seluruh organisasi atau tim melangkah, apa yang
ingin dicapai, atau seperti apa pada akhirnya organisasi atau perusahaan yang dia pimpin.
Dalam kata lain, pemimpin harus memiliki visi yang kuat bagi seluruh organisasi, dan
seorang pemimpin harus dapat menjelaskan misi yang diemban organisasi, atau apa sih
makna dari semua yang dilakukan.
Prinsip kedua dari Ki Hajar Dewantara adalah: Ing madya mangun karsa, yang
artinya: di tengah berbuat karsa. Karsa secara leksikal didefinisikan sebagai kekuatan yang
mendorong kehendak. Interpretasi saya terhadap prinsip kedua ini adalah, bahwa seorang
pemimpin berada di tengah-tengah anggotanya untuk membangun kehendak, keinginan,
atau spirit organisasi. Dengan kata lain, berada ditengah-tengah untuk
membangun passion, motivasi, atau lebih tepatnya menginspirasi pengikutnya.
Menginspirasi untuk bergerak ke arah yang diinginkan pemimpin, memimpikan apa yang
diimpikan pemimpin, mencapai apa yang dimimpikan tersebut, dengan cara dan nilai-nilai
yang digariskan pemimpin.
Prinsip ketiga dari Ki Hajar Dewantara ini mungkin sangat akrab bagi kita, karena
Tut Wuri Handayani adalah semboyan dari Kementerian Pendidikan dari jaman dahulu
kala. Makna dari Tut Wuri Handayani adalah: di belakang memberi dorongan. Pemimpin
berada di belakang dan memberikan dorongan pada pengikutnya. Dengan berada di
belakang seorang pemimpin memberikan jalan, keleluasaan, dan
memberikan kepercayaan pada pengikutnya. Dengan berada di belakang pemimpin juga
dapat mengobservasi pengikutnya dari perspektif yang berbeda, yaitu dari perspektif
‘kejauhan’, ketika ia tidak secara langsung memberikan arahan, ketika ia tidak secara
langsung berada di tengah-tengah mereka. Jadi kunci di sini adalah
kepercayaan. Kepercayaan adalah salah satu senjata yang paling efektif dalam memotivasi
pengikut. Tapi seperti yang disampaikan oleh Ki Hajar Dewantara, ‘di belakang memberi
dorongan’, dengan membiarkan pengikutnya untuk berjalan tanpa dikomandokan dari
depan, tanpa berjalan bersama-sama, bukan berarti seorang pemimpin meninggalkan
pengikutnya. Justru, pemimping harus memberikan dorongan, memberikan dukungan, dan
memfasilitasi pengikutnya.
b. Nasionalisme
Ki Hadjar Dewantara sangat berpegang teguh dengan sila-sila dalam Pancasila, yaitu
Ketuhanan Yang Maha Esa, Kemanusiaan yang Adil dan Beradab, Persatuan Indonesia,
Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmah kebijaksanaan dalam permusyawaratan
perwakilan, dan Keadilan Sosial bagi Seluruh Rakyat Indonesia. Bangsa ini perlu mewarisi
buah pemikiran Ki Hadjar Dewantara. Dalam pandangannya, tujuan pendidikan adalah
memajukan bangsa secara keseluruhan tanpa membeda-bedakan agama, etnis, suku,
budaya, adat, kebiasaan, status ekonomi, status sosial serta didasarkan kepada nilai-nilai
kemerdekaan yang asasi.
c. Etika Publik
Ki hadjar Dewantara mempunyai sifat tanggung jawab, ini dapat kita lihat dari
keseriusannya dalam berusaha memajukan pendidikan anak-anak indonesia melalui
sekolah "Taman Siswa" yang ia dirikan. Meskipun memperoleh banyak rintangan beliau
tetap berjuang keras dalam memajukan pendidikan di indonesia. Taman Siswa
menanamkan rasa kebangsaan pada anak didiknya. Metode pendidikannya merupakan
gabungan perspektif Barat dengan budaya nasional. Meski demikian, Taman Siswa tidak
mengajarkan kurikulum pemerintah Hindia Belanda. Karena mengusung nasionalisme
Indonesia itulah, pemerintah kolonial Belanda berupaya merintangi Taman Siswa dengan
mengeluarkan Ordonansi Sekolah Liar pada 1 Oktober 1932. Namun, Ki Hajar Dewantara
gigih memperjuangkan haknya hingga ordonansi itu dicabut. Itu menunjukan tanggung
jawabnya pada dunia penddikan anak-anak Indonesia.
d. Komitmen Mutu
Ki Hadjar Dewantara sangat peduli dengan karakter bangsa yang dimiliki oleh anak-
anak didiknya. Sehingga, pembentukan karakter bagi anak-anak sangat diperlukan dalam
mencetak generasi yang maju dan cerdas. Beliau mengatakan bahwa Pendidikan ialah
usaha kebudayaan yang bermaksud memberi bimbingan dalam hidup tumbuhnya jiwa raga
anak agar dalam kodrat pribadinya serta pengaruh lingkunganannya, mereka memperoleh
kemajuan lahir batin menuju ke arah adab kemanusiaan. Sedang yang dimaksud adab
kemanusiaan adalah tingkatan tertinggi yang dapat dicapai oleh manusia yang berkembang
selama hidupnya. Artinya dalam upaya mencapai kepribadian seseorang atau karakter
seseorang, maka adab kemanusiaan adalah tingkat yang tertinggi.
Ki Hadjar Dewantara lebih lanjut menegaskan bahwa pendidikan itu suatu tuntunan
dalam hidup tumbuhnya anak-anak. Ini berarti bahwa hidup tumbuhnya anakanak itu
terletak di luar kecakapan atau kehendak para pendidik. Anak itu sebagai makhluk, sebagai
manusia, sebagai benda hidup teranglah hidup dan tumbuh menurut kodratnya sendiri.
Seperti yang termaktub di muka, maka apa yang dikatakan kekuatan kodrati yang ada pada
anak itu tidak lain ialah segala kekuatan di dalam hidup batin dan hidup lahir dari anak-
anak itu, yang ada karena kekuatan kodrat. Kaum pendidik hanya dapat menuntun
tumbuhnya atau hidupnya kekuatan-kekuatan itu, agar dapat memperbaiki lakunya (bukan
dasarnya) hidup dan tumbuhnya itu.
e. Anti Korupsi
1. Jujur dan Berani : Dibuatnya karangan berjudul “Als ik een Nederlander was… “
yang artinya kalau saya seorang belanda, dimana isi dari tulisan ini terasa pedas
sekali di kalangan pejabat Hindia Belanda. Sampai beliau harus diasingkan ke
Belanda.
Sikap keberanian dari kejujuran yang ia tuangkan dalam tulisan ini patut kita
contoh demi kebaikan bersama walaupun akan ada sedikit keresahan saat
menjalaninya tetapi jika kita percaya itu dan melakukan demi suatu kebaikan pada
akhirnya hasilnya akan bagus seperti yang dialami oleh Ki Hajar Dewantara,
walaupun ia diasingkan tetapi ia memanfaatkannya untuk aktif mengikuti suatu
organisasi dan di sinilah ia kemudian merintis cita-citanya memajukan kaum pribumi
dengan belajar ilmu pendidikan hingga memperoleh Europeesche Akta, suatu ijazah
pendidikan yang bergengsi yang kelak menjadi pijakan dalam mendirikan lembaga
pendidikan yang didirikannya.
2. Sederhana : Ki Hajar Dewantara merupakan sosok yang sangat sederhana, mengapa
demikian meskipun ia terlahir dengan menggunakan gelar kebangsawanan didepan
namanya. Ia tidak lagi menggunakan nama nya tersebut dan mengganti nya di usia
sekitar 40 tahun menjadi Ki Hajar Dewantara supaya ia dapat bebas dekat dengan
rakyat, baik secara fisik maupun jiwa.
3. Mandiri : Ki Hadjar dewantara memulai karier perjuangan di lapangan jurnalistik
yang dipergunakan sebagai alat memberikan pendidikan politik kepada rakyat
melalui tulisan-tulisannya yang berisi cita-cita perjuangnya, di harian Sedyo Utomo
di Jakarta sebagai pembantu, harian bahasa Belanda “Middenjava” di
Semarang. Kemudian pindah ke Bandung menjadi Koresponden “De Expres”
pimpinan Dowes dekker. Harian De Expres dan majalah Het Tijdschrif di Bandung
pimpinan Dowes dekker menjadi pelopor lahirnya partai politik “Indschepartji” yang
merupakan partai politik pertama yang tujuannya adalah Indonesia merdeka yang
berdaulat, demokrasi serta kewarganegaraannya yang tidak membedakan asal
kebangsaannya, asal mengakui Indonesia sebagai tanah air dan kebangsaannya.

3. Perbandingan & Penerapan Nilai-Nilai ANEKA KI Hajar Dewantara Dengan Masa


Sekarang
Ki Hajar Dewantara adalah aktivis pergerakan kemerdekaan Indonesia, kolumnis,
politisi, dan pelopor pendidikan bagi kaum pribumi Indonesia dari zaman penjajahan
Belanda.KI Hajar Dewantara mendirikan Perguruan Nasional Taman Siswa (National
Onderwijs Institur Taman Siswa) pada 3 Juli 1922. Pendidikan ini didirkan bertujuan
menanamkan rasa nasionalisme dalam mencintai tanah air untuk berjuang memperoleh
kemerdekaan.Pada saat ini nilai – nilai cinta nasionalisme pada masyarakat khusunya generasi
muda mulai hilang karena negatif budaya barat yang masuk di Indonesia. Masuknya budaya
asing seperti contohnya trend, style hingga gaya berbahasa. Pada era perjuangan kemerdekaan
bahasa yang selalu digunakan masyarakat adalah bahasa nasional yaitu bahasa Indonesia tetapi
di era sekarang masyarakat khususnya generasi muda tidak menggunakan bahasa Indonesia
yang bahasa yang baik dan benar dan memakai bahasa gaul karena pengaruh budaya asing.
Pada era perintis kemerdekaan Indonesia nasionalisme masyarakat sangat tinggi dengan saling
mencintai keberagaman adat, budaya dan agama, sekarang kerukunan antara masyarakat sangat
kurang seperti saling menghina budaya dan agama. Salah satu bentuk nasionalisme lainnya
dulu dan sekarang masyarakat dulu selalu membeli dan menggunakan produk buatan lokal
indonesia akan tetapi dengan perkembangan zaman masuknya produk impor ditengah
masyarakat membuat masyarakat meninggalkan barang buatan luar negeri daripada buatan
lokal. Perlunya kesadaran untuk menumbuhkan kembali jiwa nasionalisme dalam diri bangsa
agar memperkuat bangsa dan memunculkan rasa persatuan masyarakat Indonesia.
Penerapan perilaku nasionalisme dan kepedulian KI Hajar Dewantara terhadap
pendidikan dapat diterapkan di masa sekarang yang dapat menjadi alat pemersatu bangsa
karena dapat memberikan manfaat seperti kecerdasan sehingga masyarakat tidak mudah
terpecah belah dengan saling menghina dan saling menghargai budaya, agama, suku antara
masyarakat.
KAMPANYE KELOMPOK ASN BERANEKA
Link : https://youtu.be/ziXQIBOtLC4

Anda mungkin juga menyukai