Anda di halaman 1dari 22

SYEIKH MUHAMMAD NAFIS AL-BANJARI

Ad-Durrah an-Nafisah bahasan tasawuf, guna bahasa beradab


Bersama Wan Mohd Shaghir Abdullah

Kitab dipercayai dikarang Syeikh Muhammad Nafis al-Banjari

SEBUAH kitab tasawuf peringkat tinggi yang cukup terkenal di dunia Melayu yang banyak
kali dicetak adalah Ad-Durr an-Nafis karya Syeikh Muhammad Nafis bin Husein al-Banjari.
Kitab ini ditulis pada 1200 hijrah/1785 masihi dan dicetak pertama kalinya seratus tahun
kemudian iaitu pada 1300 hijrah/1882.

Cetakan pertama ditashhih oleh Syeikh Ahmad bin Muhammad Zain al-Fathani. Kitab yang
saya perkenalkan dalam artikel ini bukan Ad-Durr an-Nafis, tetapi Ad-Durrah an-Nafisah fi
Bayan Wahdah fi al-Af'al wa al-Asma' wa ash-Shifat wa az-Zat al-Muqaddasah yang ditulis
kira-kira 39 tahun selepas Ad-Durr an-Nafis.

Tarikh tepat penulisan mulai waktu Dhuha, Jumaat, 15 Rabiulakhir 1239/19 Disember 1823.
Ia selesai ditulis pada tengah malam Isnin, 9 Muharam 1240/3 September 1824.

Kitab ini belum pernah diterbitkan dalam bahan cetakan. Manuskrip yang ada hanya sebuah
dan ada dalam simpanan saya.

Sungguhpun tidak ada nama pengarang, dapat diduga ia adalah karangan Syeikh Muhammad
Nafis al-Banjari. Ia adlah syarah kitab beliau yang berjudul Ad-Durr an-Nafis. Jadi,
manuskrip yang sekarang menjadi koleksi peribadi saya adalah asli tulisan tangan Syeikh
Muhammad Nafis al-Banjari.

Sebelum memasuki kandungan Ad-Durrah an-Nafisah, sebagai mukadimah Syeikh


Muhammad Nafis bin Husein al-Banjari memperkenalkan dua karya ringkas mengenai
tasawuf. Sebuah 18 muka dan satu lagi 14 halaman. Kedua-duanya tanpa judul. Sebuah tanpa
tahun dan sebuah lagi selesai penulisan pada malam, 30 Jamadilawal 1235/16 Januari 1820.

Pada mukadimah risalah yang pertama, Syeikh Muhammad Nafis bin Husein al-Banjari
menyebut mengenai „diri‟ ada empat jenis.

Kata beliau: “Pertama, diri yang berdiri, iaitu diri jasad atau tubuh badan. Kedua: diri yang
terperi. Ketiga, diri yang nyata pada ilmu Allah. Keempat, diri yang sebenar-benar diri.”

Keempat-empat „diri‟ dihuraikan dengan agak panjang menurut kaedah dalam ilmu tasawuf.

Kedua-dua risalah yang dianggap sebagai mukadimah Ad-Durrah an-Nafisah, saya


tinggalkan dan langsung saja kepada manuskrip yang sedang diperkenalkan.

Syeikh Muhammad Nafis bin Husein al-Banjari memulakan bicara dengan katanya: “Aku
memulai akan risalah ini pada hijrah Nabi SAW seribu dua ratus tiga puluh sembilan tahun,
pada tahun Alif, pada lima belas hari bulan Rabiulakhir, yaum al-Jum‟ah, waktu Dhuha, jam
pukul dulapan (maksudnya: Jumaat, jam 8 pada 15 Rabiulakhir 1239 pen:)”

Sebab beliau menulis kitab itu juga dinyatakan dalam mukadimah pada halaman berikutnya.
Kata beliau: “Kemudian daripada itu, maka tatkala adalah tahun seribu dua ratus tiga puluh
lima tahun, daripada tahun hijrah, pada hari yang ketiga puluh cukup, daripada bulan
Jamadilawal, (maksudnya: pada 30 Jamadilawal 1235, pen:).”

Selanjutnya beliau jelaskan: “Sanya memintalah kepadaku setengah daripada saudaraku yang
telah dibukakan [oleh] Allah hatiku dan hatinya dengan cahaya terang musyahadah, yakni
cahaya terang memandang dan mengenal.” Beliau jelaskan selanjutnya: "Bahawa itu aku
perbuatkan baginya akan suatu risalah yang simpan (maksudnya: yang ringkas) perkataannya
dengan bahasa Jawi-Melayu yang lemah lembut...”

Barangkali oleh kerana kandungan keseluruhan Ad-Durrah an-Nafisah adalah tasawuf


peringkat tinggi, maka diperlukan bahasa yang beradab. Itulah yang dimaksudkannya dengan
„bahasa Jawi-Melayu yang lemah lembut‟ bukan bahasa Melayu yang kasar, yang tiada
beradab atau tiada berakhlak atau boleh juga dikatakan tiada berbudi bahasa.

Sebelum memasuki bahasan tasawuf, Syeikh Muhammad Nafis al-Banjari terlebih dulu
membicarakan mazhab dalam akidah. Megenai perkara ini ada yang beliau bicarakan dalam
Ad-Durr an-Nafis. Tetapi, selepas dibanding ternyata dalam manuskrip Ad-Durrah an-
Nafisah penambahan dan bahasan jauh lebih banyak serta perbicaraan jauh lebih luas dan
mendalam.

Mengenai dua mazhab iaitu Qadariyah dan Jabariyah tidak banyak tambahan, tetapi
mengenai mazhab Ahli Sunnah Wal Jamaah dalam Ad-Durrah an-Nafisah ada tambahan
yang sangat banyak.

Dalil mengenai mazhab Ahli Sunnah Wal Jamaah, beliau jelaskan ketika turun ayat al-Quran
mengenai „kaum yang kasih kepada Allah‟ salah seorang sahabat bertanya kepada Rasulullah.
Nabi menjawab dan menunjuk sahabat Baginda, Abu Musa al-Asy'ari. Manakala muncul
keturunan beliau, iaitu Imam Abu Hasan al-Asy'ari, maka sepakatlah ulama bahawa Imam
Abu Hasan al-Asy'ari R.A adalah „imam‟ mazhab Ahli Sunnah Wal Jamaah.

Syeikh Muhammad Nafis al-Banjari menyebut pula, „mazhab yang berpegang kepada iktikad
Imam al-Asy'ari ini, iaitu Imam Malik ibnu Anas dan Imam Muhammad anak Idris Syafie.
Maka, mazhab Imam Abu Hanifah ibnu Tsabit dan Imam Ahmad ibnu Hanbal itu adalah
mazhab Ahli Sunnah Wal Jamaah yang pada iktikad itu, iaitu Imam Abu Manshur Maturidi.‟

Selepas membicarakan tiga mazhab di atas, Syeikh Muhammad Nafis al-Banjari membahas
pula mazhab Ahli Sunnah Wal Jamaah golongan Ahl al-Kasyaf dan Musyahadah.

Walaupun karya Syeikh Muhammad Nafis al-Banjari judul Ad-Durr an-Nafis yang pernah
dicetak berlaku kontroversi dengan beberapa tokoh ahli zahir, namun bagi saya Ad-Durrah
an-Nafisah yang juga syarah Ad-Durr an-Nafis mesti diperkenalkan. Kedua-dua kandungan
kitab itu tidak salah menurut ulama ahli sufi

SYEIKH MUHAMMAD NAFIS AL-BANJARI


Syeikh Muhammad nafis al-Banjari
Oleh: H. Ahmadi Isa

Siapa sebenarnya Syeikh Muhammad Nafis al-Banjari? Ternyata


sampai saat ini riwayat hidupnya masih sulit untuk dilacak. Walaupun
demikian, riwayat hidup Syeikh Muhammad Nafis ini tidak seluruhnya berada
dalam kegelapan, apabila diikuti teori yang diutarakan oleh Karel A, Steenbrink
tentang cara untuk memperoleh gambaran dari sosok seorang tokoh yang pernah
membuat karya tulis.
Menurut Karel A, Steenbrink, usaha untuk menemukan gambaran dari
seseorang tokoh yang pernah menulis karya tulis dapat ditelusuri melalui dua
cara. Cara pertama melalui sumber intern, yaitu mencari data dari
karangannya sendiri, khususnya yang terdapat di dalam mukaddimah atau
khutbah al-kitab dan penutup kitab. Cara kedua, yaitu mencari data dari cerita atau
tulisan keturunannya atau orang yang datang kemudian.
Setelah diikuti cara pertama, mencari data dari karya tulis Syeikh
Muhammad Nafis al-Banjari sendiri, maka ditemui pada penutup kitab yang
ditulisnya, suatu keterangan yang menyatakan, bahwa nama lengkapnya adalah
Muhammad Nafis bin Idris bin al-Husein al-Banjari.
Kemudian di halaman pertama, di halaman judul tertera gelar yang
diberikan oleh pengagumnya, yaitu Maulana al-Allamah al-Fahhamah al-
Mursyid ila Tariq al-Salamah al-Syeikh Muhammad Nafis Ibn Idris al-Banjari.
Walaupun Syeikh Muhammad Nafis al-Banjari diberikan gelar
kehormatan yang tinggi di kalangan para pengagum sufi di zamannya, namun,
gelar itu bukan atas keinginannya sendiri, karena dia sebagai seorang sufi tentu
selalu menghindari gelar-gelar kehormatan dan hal-hal yang merupakan
kebanggaan yang bersifat duniawi, karena hal itu bisa membuat sombong atau
merasa tinggi diri. Syeikh Muhammad Nafis al-Banjari justru mengaku dirinya
“seorang , faqir yang hina, semiskin-miskin hamba Allah.
Pengakuan Syeikh Muhammad Nafis al-Banjari tentang dirinya ini, tentu
bukan dalam arti kata sebenarnya, bahwa dia seorang fakir yang hina, dan
seorang hamba Allah yang termiskin. Tetapi pernyataan seorang sufi yang
selalu bersifat merendahkan dirinya, guna menghindari perasaan riya’
(pamer), takabbur (sombong), dan ‘ujub (membanggakan diri). Hal ini sesuai
dengan ajaran tasawuf, bahwa seseorang yang berusaha menjalani kehidupan
kesufian (salik) akan gagal meraih kerelaan Allah apabila di dalam dirinya
terdapat syirik khafi (syirik tersembunyi) Syirik tersembunyi itu antara lain
dicontohkan oleh Syeikh Muhammad Nafis al-Banjari Nafis, seperti riya’
(pamer), sum’ah (memperdengarkan diri), ‘ujub (membanggakan diri), dan lain-
lain.
Syeikh Muhammad Nafis al-Banjari dilahirkan di salah satu desa
Martapura yang terletak di Kabupaten Banjar, Provinsi Kalimantan Selatan, dari
kalangan keluarga Kerajaan Banjar. Tanggal kelahirannya sampai sekarang
belum diketahui secara pasti. Yang dapat diketahui secara pasti adalah saat dia
menulis kitab karangannya yang berjudul Al-Durr al-Nafis, yaitu pada tahun
1200 H.
Andaikata pada waktu Syeikh Muhammad Nafis al-Banjari menulis kitab
tersebut (1200 H./1785 M.), dia sudah berusia 50 tahun, maka dapat
diperkirakan, bahwa dia dilahirkan pada tahun 1150 H./1735 M.
Dalam beberapa riwayat lain disebutkan, bahwa Syeikh Muhammad
Nafis al-Banjari hidup sezaman dengan Syeikh Muhammad Arsyad al-Banajari
(1710-1812M.) Jika riwayat ini benar, Maka Syeikh Muhammad Nafis al-
Banjari ini mengalami masa-masa pemerintahan Sultan Tahlilullah, Raja Banjar
XIV (1707-1745 M.), dan Sultan Tamjidillah Raja Banjar XV (1745-1778 M.),
serta Sultan Tahmidillah, Raja Banjar XVI (1778-1808 M.).
Berdasarkan pengakuan atau pernyataan Syeikh Muhammad Nafsi al-
Banjari, di dalam kitabnya Al-Durr al-Nafis, bisa kita pahami bahwa:
1. Syeikh Muhammad Nafis al-Banjari mempunyai sifat suka merendahkan diri di
hadapan manusia, apalagi di hadapan Allah. Malah dia mengaku dirinya
berdosa, kemudian mengharapkan ampunan dari Allah. Pengakuan seperti ini
adalah wajar, karena dia seorang sufi, sebentar saja terlengah dari atau
terabaikan dalam dirinya mengingat Allah, dia sudah merasa berdosa, apalagi
kalau dia bersikap atau berbuat yang melebihi dari itu. Dari pengakuan Syeikh
Muhammad Nafis al-Banjari tersebut, tersirat pula makna, dia selalu berusaha
menghindarkan dirinya dari perasaan takabbur (sombong), riya’ (pamer), ‘ujub
(membanggakan diri), sum’ah (minta didengar atau diperhatikan) karya
tulisnya.
2. Dia bernama Muhammad Nafis, orang tuanya adalah Idris dan kakeknya adalah
Husein;
3. Syeikh Muhammad Nafis al-Banjari dilahirkan di Banjarmasin, berasal dari
suku Banjar, Kalimantan Selatan;
4. Dia pernah tinggal di Makkah. Pada waktu menulis karya tulisnya Al-Durr al-
Nafis, dia berada di Makkah. Tidak diperoleh keterangan, kapan dia pergi ke
Makkah, berapa lama dia belajar di sana, dan kapan dia kembali ke kampung
halamannya atau ke Banjarmasin;
5. Syeikh Muhammad Nafis al-Banjari adalah seorang penganut maazhab Syafi‟i
dalam bidang fikih, menganut aliran Asy‟ari dalam bidang iktikad, bidang
ushuluddin/tauhid. Dalam bidang tasawuf dia adalah pengikut Junaid. Dari sini
diketahui bahwa dia adalah pengikut aliran Sunni (ahl al-sunnah wa al-
jama’ah).
6. Syeikh Muhammad Nafis al-Banjari menganut berbagai tarikat, yaitu tarikat
Qadiriah, tarikat yang mengikuti Syeikh Abd al-Qadir al-Jailani, tarikat
Sattariah, tarikat yang mengikuti aliran Abdullah al-Sattari, tarikat
Naqsabandiah, ialah tarikat yang mengikuti aliran Baha‟uddin al-Naqsabandi,
tarikat Khalwatiah yang disebut pula tarikat Anfasiah, dan tarikat Samaniyah,
ialah tarikat yang mengikuti aliran Syeikh Muhammad Ibn Abd al-Karim
Saman al-Madani.
Di dalam mengungkapkan tarikat yang dia pegang, Syeikh
Muhammad Nafis al-Banjari menggunakan simbolis, yaitu tariqah (jalan),
pakaian, makanan, dan minuman. Apakah yang dimaksud oleh Syeikh
Muhammad Nafis al-Banjari dengan kata-kata simbol yang dia pergunakan itu,
kita tidak tahu pasti. Mungkin fungsi tarikat itu bagi dirinya bagaikan jalan,
pakaian, makanan, dan minuman bagi tubuh dan jasmaninya; ataukah bermakna
semua tarikat itu diamalkannya bagaikan dia selalu harus berjalan, berpakaian,
makan dan minum setiap hari, merupakan keperluan yang sangat mendasar
dalam kehidupannya; ataukah ada makna lain lagi dari kata-kata simbolis itu,
wallahu a‟lam.
Semua tarikat yang dianut oleh Syeikh Muhammad Nafis al-Banjari ini
adalah tergolong tarikat yang masyhur atau tarikat yang mu’tabarah, tarikat
yang diakui keabsahannya oleh para sufi atau ahli tarikat.
Tasawuf sepertinya adalah bidang studi yang diminati oleh
Syeikh Muhammad Nafis al-Banjari. Bidang ini menjadi spesialisasinya, dan
kemudian dia memang dikenal dalam bidang tasawuf ini. Kecenderungannya
ke arah ilmu tasawuf ini nampaknya berasal dari pengalamannya sejak dia
belajar di tanah airnya, yang sejak Islam masuk ke sana, sudah kenal pada
tasawuf dan banyak yang meminatinya, baik di kalangan rakyat maupun di
kalangan keluarga bangsawan Banjar. Jadi besar kemungkinan dia sudah belajar
ilmu tasawuf untuk tingkat permulaan sebelum dia berangkat belajar ke
Makkah.
Pada Waktu Syeikh Muhammad Nafis al-Banjari berada di Makkah,
tepatnya pada tahun 1200 H., atas permintaan beberapa orang sahabatnya, dia
menulis kitabnya yang diberi nama Al-Durr al-Nafis. Kitab tersebut dia tulis
dengan bahasa Jawi (bahasa Melayu) huruf Arab, dengan maksud supaya dapat
dimanfaatkan oleh mereka yang belum mengerti bahasa Arab dengan baik.
Barangkali yang dimaksud oleh Syeikh Muhammad Nafis al-Banjari
dengan mereka yang belum mengerti bahasa Arab dengan baik itu adalah
mereka yang berasal dari negara-negara yang menggunakan bahasa Melayu,
termasuk negara Indonesia, dan sedang menuntut ilmu pengetahuan di Makkah
ketika itu.
Sehubungan dengan hal ini Snouck Hurgronje dalam penelitian yang
dilakukannya pada akhir abad XIX M. mengatakan, bahwa satu-satunya
lembaga yang berfungsi sebagai perguruan tinggi di Makkah adalah Masjid al-
Haram. Di sanalah para ulama besar memberikan kuliah setiap selesai
melaksanakan shalat lima waktu, masing-masing ulama besar menghadapi
sejumlah murid yang berkelompok membentuk satu lingkaran (halaqah) ; setiap
penuntut ilmu yang datang ke Tanah Suci itu belum merasa puas atau tercapai
cita-citanya kalau dia belum mampu mengikuti pelajaran di sana. Bahasa
pengantar di dalam menyampaikan pelajaran digunakan bahasa Arab, sehingga
mereka yang datang dari negara-negara yang tidak berbahasa Arab, terutama
mereka yang datang dari negara-negara yang tidak berbahasa Arab yang
berbahasa Melayu, termasuk Indonesia, kebanyakannya harus mempersiapkan
diri terlebih dahulu di bawah bimbingan para guru yang mengajar dalam bahasa
masing-masing di luar masjidil Haram itu.
Pada waktu itulah Syeikh Muhammad Nafis al-Banjari diminta oleh
beberapa orang sahabatnya untuk menulis kitab tasawuf Al-Durr al-Nafis dalam
bahasa Melayu. Hal ini barangkali disebabkan karena mereka ingin mempelajari
ilmu tasawuf, sedangkan mereka belum menguasai bahasa Arab dengan baik,
mempelajari terlebih dahulu kitab yang berbahasa Melayu, sambil mempelajari
bahasa Arab. Sehingga pada saatnya mereka sudah mampu berbahasa Arab
dengan baik, akan mudah bagi mereka mempelajari berbagai kitab yang ditulis
dengan bahasa Arab, karena mereka sudah merintisnya dengan cara
mempelajari kitab-kitab yang berbahasa Melayu.
Dalam pengetahuan kesufian dan tarikat, Syeikh Muhammad Nafis al-
Banjari pernah berguru kepada beberapa orang ahli tasawuf dan tarikat, antara
lain ialah:
a. Syeikh Abdullah Ibn Hijazi al-Syarqawi al-Misri;
b. Syeikh Siddiq Ibn „Umar Khan;
c. Syeikh Muhammad Ibn „Abd al-Karim Saman al-Madani;
d. Syeikh „Abd al-Rahman Ibn „Abd al-„Aziz al-Maghribi;
e. Syeikh Muhammad Ibn Ahmad al-Jauhari.
Nampaknya Syeikh Muhammad Nafis al-Banjari ini dalam bidang tasawuf
dan tarikat seguru dengan Syeikh Abdus Samad al-Palimbani, ternyata dia juga
pernah berguru tasawuf dan tarikat dengan guru yang sama dengan guru Syeikh
Muhammad Nafis al-Banjari, yaitu Syeikh „Abd al-Rahman Ibn „Abd al-„Aziz
al-Maghribi dan Syeikh Muhammad Ibn „Abd al-Karim Saman al-Madani,
seorang wali qutub (wali Allah yang tertinggi) pada zaman itu.
Dalam bidang tasawuf dan tarikat ini, Syeikh Muhammad Nafis al-
Banjari seguru pula dengan Syeikh Muhammad Arsyad al-Banjari, karena
Syeikh Muhammad Arsyad al-Banjari, juga pernah tasawuf dan tarikat kepada
Syeikh Muhammad Ibn „Abd al-Karim Saman al-Madani yang mengajar di
Madinah di kala itu. Dari guru tasawuf dan terikatnya inilah, Syeikh
Muhammad Arsyad al-Banjari memperoleh ijazah khalifah, yang membuatnya
berhak mengajarkan ilmu tasawuf dan tarikat yang didapatkannya dari gurunya
tersebut.
Karena ketiga tokoh ini, yaitu Syeikh Muhammad Nafis al-Banjari,
Syeikh Muhammad Arsyad al-Banjari, dan Syeikh Abdus Samad al-Palimbani
adalah seguru dalam bidang tasawuf dan tarikat, ini bisa berarti bahwa mereka
adalah hidup sezaman dan sumber-sumber ajaran tasawuf dan tarikat mereka
adalah sama pula.
Kalau Syeikh Muhammad Arsyad al-Banjari mendapat ijazah dari guru
sufi dan terikatnya, dia diperkenankan mengajarkan ajaran tasawuf dan tarikat
yang didapatkannya dari gurunya. Demikian pula halnya dengan Syeikh
Muhammad Nafis al-Banjari. Dia diakui gurunya sudah menguasai ilmu
tasawuf dan tarikat yang diajarkan kepadanya, dia pun diberi gelar oleh gurunya
dengan gelar Syeikh Mursyid, yang merupakan pengakuan dari gurunya, bahwa
dia boleh mengajarakan ilmu tasawuf dan tarikat kepada orang lain.
Setelah beberapa lama menetap dan belajar di tanah suci, Muhammad Nafis
pulang ke kampung halamannya atau Banjarmasin. Kapan ia pulang ke
kampung halamannya, tidak ada riwayat yang memberitakan secara pasti. Yang
diketahui secara pasti ialah bahwa ia menulis kitabnya Al-Durr al-Nafis pada
tahun 1200 H., dan pada saat itu dia berada di Makkah.
Andaikata Muhammad Nafis masih bermukim di Makkah selama 10 tahun
setelah dia menulis kitabnya tersebut (1200 H./1785 M.), kemudian dia pulang
ke kampung halamannya atau Banjarmasin, maka dapat diperkirakan, bahwa dia
pulang ke kampung halamannya pada tahun 1210 H./ 1795 M.
Di daerah Banjarmasin, Muhammad Nafis dikenal sebagai seorang juru
dakwah yang sering melakukan aktifitasnya berpindah-pindah dari satu daerah
ke daerah lainnya, terutama daerah-daerah terpencil yang mempunyai
kedudukan strategis dalam upaya penyebaran ajaran Islam. Diduga dia banyak
berdakwah di daerah Kelua (225 km dari Banjarmasin).
Menurut sebahagian tokoh masyarakat setempat, Muhammad Nafis pindah
ke Kelua dari Martapura, daerah kelahirannya karena dia tidak senang kepada
penjajah Belanda yang sudah mulai menguasai pusat kerajaan Islam Banjar di
kala itu, sedangkan Kelua merupakan daerah yang strategis untuk menyebarkan
ajaran Islam, karena tempat tersebut terletak di bahagian Utara kerajaan Islam
Banjar, yaitu terletak di perbatasan antara Kalimantan Selatan, Kalimantan
Tengah, dan Kalimantan Timur. Karenanya, Muhammad Nafis sebagai
seorang juru dakwah memilih daerah tersebut.
Pilihan Muhammad Nafis terhadap daerah ini ternyata sangat tepat.
Buktinya pada abad XVIII dan abad XIX M. daerah Kelua menjadi pusat
penyiaran Islam di Bahagian Utara daerah Kalimantan Selatan dan memiliki
andil yang besar dalam gerakan-gerakan penyebaran Islam sampai saat gerakan
perebutan kemerdekaan.
Kapan Muhammad Nafis wafat, tidak penulis temui keterangan tentang itu.
Dia berbeda dengan dua tokoh lainnya yang sedaerah dan hidup sezaman
dengan dia (XVIII M.), yakni Abdul Hamid dan Muhammad Arsyad . Kedua
tokoh agama ini diketahui secara pasti di mana mereka dikebumikan. Abdul
Hamid dikebumikan di Abulung, kampung Sungai Batang Martapura, dan
Muhammad Arsyad dikebumikan di kampung Dalam Pagar Martapura.
Sedangkan Muhammad Nafis diperselisihkan orang di mana dia dikebumikan.
Ada yang menyatakan bahwa dia dikebumikan di daerah Kusan Kotabaru, dan
yang lain mengatakan bahwa dia dikebumikan di desa Tungkaran Pleihari.
Pendapat lain lagi mengatakan, bahwa dia dikebumikan di desa Pakulat Kelua
Kabupaten Tabalong. Yang jelas, Muhammad Nafis dikebumikan di daerah
Kalimantan Selatan , karena semua tempat yang disebut sebagai makam
Muhammad Nafis itu adalah terletak di daerah Kalimantan Selatan.

MUHAMMAD NAFIS AL-BANJARI

Sejarah permulaan masuk dan perkembangan Islam di Banjarmasin pada dasarnya tidak lepas
dari jasa, peranan dan perjuangan para ulama dan tokoh-tokoh Islam yang hidup pada masa
dulu. Salah satu dari sekian banyak para ulama dimaksud yang cukup populer namanya tidak
hanya di banua, akan tetapi juga di Asia Tenggara adalah Syekh M. Nafis bin Ideris bin Al
Husien Al Banjary. Di samping dikenal sebagai ulama yang ahli di bidang syariat (fiqih)
beliau juga ahli di bidang tasawuf, dan telah menulis sebuah kitab yang berjudul Al-Durr al-
Nafis, di mana sampai sekarang isi dari kitab tersebut masih menjadi materi perdebatan
kontroversi para ulama, karena ajaran-ajaran tasawufnya yang dianggap beraliran Wahdatul
Wujud. Siapakah Syekh Muhammad Nafis? Bagaimana sejarah kehidupan dan perjuangan
dakwahnya? Dan bagaimanakah pemikiran paham tasawufnya? Adalah sejumkah pertanyaan
menarik untuk dikaji lebih jauh lagi. Tulisan singkat ini berusaha untuk membutiri kembali
sejarah kehidupan, perjuangan dan pemikiran beliau.

Muhammad Nafis merupakan seseorang yang berasal dari kalangan bubuhan keluarga
bangsawan kerajaan Banjar. Beliau dilahirkan di salah satu desa yang sekarang termasuk
sebagai bagian wilayah Martapura. Secara pasti tahun kelahiran beliau belum dapat
dipastikan, namun menurut Laily Mansur merujuk pada kitab Al-Durr al-Nafis yang
ditulisnya bertahun 1200 H atau 1785 M, dan jika umurnya waktu itu lebih kurang 50 tahun,
maka diperkirakan beliau dilahirkan pada tahun 1150 H/1735 M. Akan tetapi karena beliau
dikatakan hidup sezaman dengan Syekh Muhammad Arsyad Al Banjary yang lahir pada
tahun 1122 H/1710 M maka penulis lebih condong dan berasumsi bahwa umur beliau tentu
tidak jauh beda dengan usia Muhammad Arsyad. Karena itu besar kemungkinan tahun
kelahiran Muhammad Nafis sama atau mendekati tahun kelahiran Muhammad Arsyad,
bedanya hanyalah lebih muda atau lebih tua, yakni antara tahun 1700-1720.

Adanya bakat dan kecerdasan yang tinggi dibanding dengan teman-teman sebayanya waktu
itu, kelebihan-kelebihan tertentu yang tidak dimiliki oleh anak-anak yang lain, dan tanda-
tanda akan menjadi seorang ulama besar, sebagaimana yang juga terlihat dalam diri Syekh
Muhammad Arsyad, membuat Sultan Banjar tertarik. Sehingga pada akhirnya Muhammad
Nafis pun dikirim ke Mekkah bersama Muhammad. Arsyad untuk belajar dan mendalami
ilmu-ilmu agama serta ilmu-ilmu lainnya yang berguna untuk diterapkan dalam
pengembangan dan pemberdayaan masyarakat Banjar ketika itu. Salah satu dari ilmu agama
yang digelutinya, bahkan menjadikan ia populer adalah ilmu tasawuf. Dalam ilmu tasawuf
dan tariqat ini Muhammad Nafis telah berguru kepada Syekh Abdullah Ibn Hijazi al
Syarkawi al Misri, Syekh Siddiq Ibn Umar Khan, Syekh Muhammad Ibn Abdul Karim
Samman al Madani, Syekh Abdurrahman Ibn Abdul Aziz al Maghribi dan Syekh Muhammad
Ibn Ahmad al Jauhari. Karena itu sebenarnya di bidang ilmu tasawuf dan tariqat yang seguru
dengan Syekh Muhammad Arsyad Al Banjary dan Abdussamad Al Palimbani.

Ahmadi Isa memperkirakan bahwa Muhammad Nafis pulang ke Banjarmasin pada tahun
1210 H/1795. Di mana pada masa itu yang memerintah di kerajaan Banjar adalah Sultan
Tahmidillah (Raja Islam Banjar XVI, 1778-1808 M). Setelah kembali ke Banjarmasin ia
lebih mengarahkan dakwahnya ke daerah Kelua (Kabupaten Tabalong) dan sekitarnya
sebagai daerah penting di pedalaman Kalimantan Selatan, jantung penyebaran Islam dan
kunci masuk menuju daerah Kalimantan Timur. Sehingga dalam abad XVIII dan abad XIX
daerah Kelua merupakan pusat penyiaran Islam di bagian Utara Kalimantan Selatan dan
memiliki andil dalam gerakan-gerakan penyebaran Islam sampai kepada masa perjuangan
merebut kemerdekaan.

Melihat lokasi yang menjadi medan gerak dakwahnya di atas penulis berasumsi bahwa besar
kemungkinan kembalinya Syekh Muhammad Nafis ke banua terkemudian dari Syekh
Muhammad Arsyad, itulah sebabnya ia lebih mengarahkan gerakan dakwahnya ke daerah
Kelua dan sekitarnya yang masih kosong dan memerlukan pembinaan keagamaan. Karena
perjuangan dakwah untuk Banjarmasin, Martapura dan daerah sekitarnya telah diisi oleh
Syekh Muhammad Arsyad, sedangkan perjuangan dakwah untuk daerah bagian Selatan
Banjarmasin seperti Rantau, Tambarangan dan sekitarnya dilakukan oleh Datu Sanggul, dan
daerah Paringin-Balangan oleh Datu Kandang Haji.

Di samping itu boleh jadi pula bahwa dijadikannya Kelua sebagai pusat gerakan dakwahnya,
disebabkan oleh ketidaksenangan Muhammad Nafis terhadap Belanda yang waktu itu sudah
mulai ikut campur dan menguasai pusat kerajaan Islam Banjar. Kelua juga merupakan daerah
yang strategis untuk kegiatan dakwah dan penyebaran agama Islam, karena letaknya di
bagian utara kerajaan Islam Banjar waktu itu merupakan kunci masuk dan wilayah perbatasan
antara wilayah kekuasaan kerajaan Banjar (Kalimantan Selatan) dengan wilayah Kalimantan
bagian Tengah dan Kalimantan Bagian Timur.

Berbeda dengan Syekh Muhammad Arsyad yang lebih populer sebagai ulama syariat (ahli
fiqih), Muhammad Nafis lebih dikenal sebagai seorang yang ahli tasawuf atau ulama tasawuf
sampai ke negara-negara Asia Tenggara melalui bukunya Al-Durr al-Nafis. Judul lengkapnya
adalah Al Durr al Nafis fi Bayan Wahdat al Af‟al wa al Asma‟ wa al Sifat wa al Zat, Zat al
Taqdis, artinya Mutiara yang Indah yang Menjelaskan Kesatuan Perbuatan, Nama, Sifat dan
Zat yang Suci, yang menurut riwayat ditulis dalam bahasa Arab Melayu berdasarkan
permintaann kawan-kawannya dengan harapan dapat dibaca oleh mereka yang tidak pandai
berbahasa Arab, ketika ia masih mukim di Mekkah.

Sebagaimana Syekh Muhammad Arsyad yang mendapatkan ijazah khalifah dalam Tariqat
Sammaniyah (Zafri Zamzam), maka Muhammad Nafispun diakui oleh gurunya menguasai
ilmu tasawuf dan tariqat yang diajarkan kepadanya dengan baik, sehingga dia diberi gelar
oleh gurunya sebagai Syekh Mursyid. Gelar ini merupakan pengakuan bahwa ia boleh
mengajarkan tasawuf dan tariqat kepada orang lain. Ketinggian ilmu tasawuf yang dimiliki
oleh Muhammad Nafis juga terlihat dari gelar yang diberikan kepadanya, sebagaimana
tercantum pada halaman pertama kitab Al-Durr al-Nafis yang ditulisnya, yakni Maulana al
Allamah al Fahhamah al Mursyid ila Tariq al Salamah al Syekh Muhammad Nafis Ibn Idris
al Banjary. Itulah sebabnya wajar jika kitabnya tersebut memiliki pengaruh yang luas
terhadap orang-orang yang hidup di zamannya, dan sesudahnya, serta tersebar ke berbagai
daerah di Nusantara, bahkan Timur Tengah.

Berdasarkan kajian bahasan, kitab Al-Durr al-Nafis tersebut berisikan ajaran-ajaran tasawuf
yang tinggi sehingga dikatakan, “adalah rahasia yang amat halus dan perkataannyapun amat
dalam, tiada mengetahui yang demikian kecuali ulama yang rasikh/ulama yang tinggi ilmu
agama”. Sayangnya naskah asli yang di tulis tangan sendiri oleh pengarang, sampai sekarang
belum ditemukan. Padahal menurut Laily Mansur pengaruh kitab ini cukup luas di kalangan
masyarakat dan cukup dikenal oleh kaum muslimin di daerah Asia Tenggara yang berbahasa
Melayu, selalu dibaca orang sejak terbitan pertama hingga sekarang, dicetak di Saudi Arabia,
Mesir, Singapura dan Indonesia serta berpengaruh dalam risalah Amal Ma‟rifah karangan
Abdurrahman Siddiq Al Banjary tahun 1322 H dan risalah Kasyful Asrar karang Muhammad
Saleh bin Abdullah Mangkabawi tahun 1344 H.

Berdasarkan naskah kitab tersebut oleh Laily Mansur disimpulkan bahwa kitab tersebut
mengandung ajaran-ajaran tasawuf yang berintikan tauhid dalam struktur yang sistematis,
pokok-pokok ajaran tasawuf yang terkandung di dalamnya meliputi maqamat, Tuhan,
kejadian manusia, hubungan manusia dengan Tuhan yang kesemuanya mempunyai hubungan
diales antara yang satu dengan yang lain hingga bernatijah bahwa wujud itu hanya satu. Laily
Mansur menilai bahwa ajaran tasawuf Muhammad Nafis dipengaruhi oleh filsafat khususnya
filsafat Neo Platonisme. Kemudian tauhid dalam ajaran Muhammad Nafis adalah tauhid
sebagaimana yang dikembangkan oleh Ibnu Arabi dan Abdul Karim Al Jilli, yakni yang ada
hanyalah Allah dan selain Dia adalah tidak ada, kalau selain Dia itu ada maka cara beradanya
adalah melalui tajalli atau kezahiran hingga Dia berada di tiap zarrah ujud, dengan demikian
paham tasawuf yang dikandung dalam kitabnya tersebut adalah paham wahdatul wujud yang
melihat bahwa segala yang ada terdiri dari aspek luar (aradh dan al Khalq) dan aspek dalam
atau batin/jauhar (yakni al haq), paham ini dipelopori oleh Ibnu Arabi, Abdul Karim Jilli,
Jalaluddin Rumi. Pokok pembahasan tentang tauhid tersebut mencakup tauhid af‟al, tauhid
asma, tauhid sifat dan tauhid zat.
Berdasarkan gambaran di atas pemikiran tasawuf Muhammad Nafis dapat dimasukan kepada
corak pemikiran tasawuf falsafi yang berpaham Kesatuan Wujud atau Wahdatul Wujud.
Sehingga ada beberapa ulama yang secara keras menyatakan bahwa ajaran yang terkandung
dalam kitab Al-Durr al-Nafis tersebut haram untuk dipelajari dan dikaji. Bahkan ada pula
yang lebih keras menyatakan bahwa barang siapa yang mempelajari bahkan meyakini isi dan
ajaran dalam kitab tersebut maka ia menjadi kafir, sebab kitab tersebut mengajarkan paham
Wahdatul Wujud sebagaimana difatwakan oleh mufti kerajaan Johor, Sayyid Alwi Thahir
Haddad. Untuk itulah Hawash Abdullah penulis buku Perkembangan Ilmu Tasawuf dan
Tokoh-tokohnya di Nusantara menjelaskan bahwa pada zaman Indonesia dijajah oleh
Belanda, mempelajari kitab ini diharamkan. Sehingga ada ulama yang kemudian juga
menfatwakan bahwa kitab tersebut berisi ajaran yang sesat menyesatkan. Boleh jadi hal ini
merupakan salah satu siasat politik Belanda, karena Belanda paham betul bahwa apabila
orang sudah mempelajari ilmu tasawuf secara lurus dan mantap, maka orang tersebut tidak
takut mati dan berjuang waja sampai kaputing memerangi penjajah yang dianggap kafir.
Hawash Abdullah pada tahun 1972 juga pernah melakukan pelacakan ke berbagai daerah dan
kepada para ulama untuk mengetahui secara pasti tanggapan mereka terhadap isi kitab
tersebut, seperti di Pontianak Kalimantan Barat. Sayangnya di antara ulama yang mengecam
kitab tersebut ada yang belum pernah membaca atau mempelajari kitab Al-Durr al-Nafis,
tidak mengetahui secara pasti isi kitabnya dan bagian-bagian mana saja dari kitab tersebut
yang dianggap salah dan menyimpang. Karena itulah selanjutnya argumentasi kelompok
yang mengharamkan dan menganggap kitab Al-Durr al-Nafis sesat adalah lemah. Sebab
kalau kitab Al-Durr al-Nafis tersebut menyesatkan, mengapa ia dipelajari oleh para ulama di
Nusantara sejak beredarnya tahun 1200 H hingga sekarang, belum seorangpun di kalangan
ulama sufi yang mengatakan bahwa kitab ini tidak berdasarkan Al Qur‟an dan Hadits.

Ahmadi Isa berpendapat bahwa kitab Al-Durr al-Nafis yang dikarang oleh Muhammad Nafis
itu berisi ajaran-ajaran Tauhid yang terjalin kelindan dengan tasawuf yang kadang-kadang
sulit dan rumit, kecuali bagi ulama yang luas pengetahuan agamanya, paling tidak sudah
mempunyai dasar-dasar ilmu fiqih, tauhid dan tasawuf yang memadai. Pokok bahasan dan
penjelasan di dalam kitab Al-Durr al-Nafis nampaknya berangkat dari ilmu tauhid,
pengarangnya mendukung aliran tauhid Sunni Al Asy‟ari sambil mengkirtik dan menyanggah
aliran Mu‟tazilah dan Jabariyah. Kemudian dia kembangkan tauhid para sufi sambil menolak
paham hulul Al Hallaj dan Ittihad Abu Yazid Al Bustami. Di sisi lain dia menjembatani atau
memadukan ajaran tasawuf sunni dengan tasawuf filosofis, antara lain dia padukan antara
paham wahdatul syuhud dengan paham wahdatul wujud. Hal inilah yang pada akhirnya
mengundang pendapat pro dan kontra terhadap ajaran tasawuf dalam karya tulisnya Al-Durr
al-Nafis tersebut.

Akibat kontroversi, pro dan kontra tersebut setidak-tidaknya menurut Asmaran.AS. ulama
yang menilai ajaran tasawuf kitab Al-Durr al-Nafis terbagi menjadi tiga kelompok. Pertama
kelompok yang memandang bahwa kitab Al-Durr al-Nafis adalah kitab tasawuf yang tidak
boleh diajarkan, karena dianggap banyak mengandung kesalahan, atau tidak sejalan dengan
ajaran tasawuf mazhab ahlussunnah waljamaah. Kedua kelompok yang melihat bahwa karena
kitab Al-Durr al-Nafis sebagai kitab tasawuf yang mengandung ajaran tinggi, sebagaimana
dikatakan oleh pengarangnya sendiri bahwa hanya ulama yang rasikh (tinggi pengetahuan
agamanya) sajalah yang dapat memahami isi dan materi kitab tersebut, maka ia tidak boleh
diajarkan kepada sembarang orang. Karena itulah menurut kelompok kedua ini hanya orang-
orang tertentu atau mereka yang memenuhi syarat saja yang boleh mempelajari dan
membacanya. Kemudian kelompok ketiga berpendapat bahwa kitab Al-Durr al-Nafis
mempunyai kedudukan yang sama dengan kitab tasawuf pada umumnya. Karena itu sebagai
salah satu aspek ajaran Islam ia tidak boleh dirahasiakan, setiap orang mukmin boleh
mempelajari dan membacanya.

Penulis sendiri melihat bahwa adanya kontroversi terhadap isi ajaran tasawuf yang
terkandung dalam kitab tersebut merupakan salah satu kekayaan intelektual di antara mereka
yang berdebat, selama perbedaan dalam memahaminya bersifat profesional dan proporsonal
serta bisa melahirkan gagasan-gagasan baru yang lebih baik dan sempurna. Karenanya dalam
menilai permasalahan mengenai keberadaan dan paradigma pemikiran tasawuf Syekh
Muhammad Nafis ini ada beberapa hal yang menjadi catatan penulis.

Pertama, naskah asli kitab tersebut sampai sekarang masih belum ditemukan sebagaimana
pernah dilakukan oleh Ilham Masykuri Hamdi (1989) ketika melacaknya kepada beberapa
ulama dan tokoh masyarakat, sehingga naskah yang ada sekarang diragukan keasliannya
sebagai tulisan Muhammad Nafis dilihat dari sebagian isinya yang bertentangan dengan
paham tasawuf Ahlussunnah wal Jamaah sebagaimana pengakuan Muhammad Nafis bahwa
Syafi‟i adalah mazhab fiqihnya, Asy‟ary i‟tiqad tauhid atau ushuluddinnya, Junaidi ikutan
tasawufnya, Qadariyah tariqatnya, Satariyah pakaiannya, Naqsabandiyah amalnya,
Khalwatiyah makanannya dan Samaniyah minumannya. Terlebih-lebih lagi selama mengkaji
ilmu tasawuf dan tariqat Muhammad Nafis seguru dengan Muhammad Arsyad dan
Abdussamad Al Palimbani. Bahkan umumnya penerbit buku Al-Durr al-Nafis selalu
mengingatkan bahwa mereka tidak pernah secara langsung menemukan naskah asli yang
ditulis oleh Muhammad Nafis sendiri, karenanya tidak mustahil terdapat kekeliruan atau
percampuran terhadap isi kitab tersebut.

Kedua, seandainya paham dan pemikiran tasawuf Muhammad Nafis adalah Wahdatul Wujud
yang mirip dengan tasawuf Hulul Husien Mansur Al Hallaj, konsep tasawuf Al Fana dan Al
Baqa atau Al Ittihad Abu Yazid Al Bustami yang berpendapat bahwa manusia dapat bersatu
dengan Tuhan tanpa diantarai oleh sesuatu apapun, atau konsep Wahdatul Wujud (unity of
existence) Muhyidin Ibnu Arabi yang merupakan bentuk lain dari paham Ittihad, ataukah
pula Manunggaling Kawula Gustinya Syekh Siti Jenar, mengapa keberadaan Muhammad
Nafis atau bukunya Al-Durr al-Nafis tidak menimbulkan dan memicu terjadinya pergolakan
di masanya sebagaimana yang terjadi dengan Abdul Hamid Abulung, Siti Jenar, atau Hamzah
Fansuri? Lebih daripada itu sebagaimana penjelasan Ahmadi Isa di atas tasawuf yang
dikembangkan oleh Muhammad Nafis tidaklah murni wahdatul wujud, sebagaimana
kesimpulan Laily Mansur, tetapi lebih kepada wahdatul syuhud.

Ketiga, buku tersebut secara luas telah menjadi rujukan masyarakat dalam memahami ilmu
tasawuf ketika itu ––bahkan sekarangpun di beberapa daerah negara-negara di Asia Tenggara
masih dipelajari dan diajarkan secara lisan serta mengalami beberapa kali cetak ulang oleh
beberapa penerbitan yang ada di Mekkah, Mesir, Basrah, Singapura, Surabaya––, dan
mempunyai pengaruh yang sangat luas terhadap upaya pencerahan pemikiran dan spiritual
umat, sehingga menurut H. Muhammad Djanawi (Ulama dari HSU Amuntai) orang yang
sudah mempelajari ajaran tasawuf dalam kitab ini mereka akan merasa bangga. Namun
walaupun menjadi rujukan dan berpengaruh luas terhadap masyarakat Islam diberbagai
daerah, terutama di Kalimantan Selatan, namun tidak pernah terbetik adanya berita terhadap
pencekalan isi atau larangan pengajarannya oleh pihak kerajaan Banjar baik pada masa
pemerintahan Sultan Tahmidillah 1778-1808 M, Sultan Sulaiman 1808-1825 M maupun
Sultan Adam Al Watsiq Billah 1825-1857 M dan masa-masa Sultan kerajaan Islam Banjar
yang memerintahnya sesudahnya. Kecuali larangan yang dikeluarkan oleh Belanda, karena
ketakutan mereka terhadap bangkitnya semangat orang-orang bumi putera dalam berjuang,
berjihad guna mencapai kemerdekaannya. Sehingga mereka berkepentingan sekali untuk
menghembuskan isu bahwa mempelajari kitab tasawuf seperti Al-Durr al-Nafis haram
hukumnya.

Keempat, boleh jadi pasca peristiwa dihukum bunuhnya Syekh Abdul Hamid Abulung (Datu
Abulung) yang dipancung karena perkataannya yang menyatakan bahwa syariat yang
diajarkan pada masanya adalah kulit dan belum sampai kepada hakikat, untuk itu ia
menyatakan statement baru bahwa “Tiada yang maujud melainkan hanyalah Dia, tiada aku
melainkan Dia, Dialah aku dan aku adalah Dia”, serta eksistensi dan luasnya pengaruh buku
tasawuf Al-Durr al-Nafis karya syekh Muhammad Nafis ini menjadi salah satu faktor
penyebab ditulisnya risalah tasawuf Kanzul Ma‟rifah oleh Syekh Muhammad Arsyad Al
Banjary, yang menurut berita pada akhirnya dihadiahkan kepada salah seorang sultan Aceh.

Al-Durr al-Nafis dan Martabat 7:


Tajuk Asal kitab Durrun Nafis ialah Ad-Dur An-Nafis Fi Bayan Wahidah Al-Af'al wa Al-
Asma' wa As-Sifat wa Az-Zat Zat At-Taqdis, Ertinya: Permata yang bernilai pada
menerangkan keesaan perbuatan, Nama, Sifat dan Zat Allah.

Tarikh kitab ini ditulis - tahun hijrah 1200.

Martabat pertama daripada segala martabat tanazzul zat itu iaitu martabat AHADIYAH.
Maka zahir padanya segala sifat dan asma' tetapi binasa keduanya itu di dalam zat dan iaitu
martabat kunhi zat Allah s.w.t.
Tiada di atas martabat itu martabat yang lain. Sekalian martabat yang tersebut itu di bawah
martabat ini jua.

Martabat kedua daripada segala martabat tanazzul zat itu iaitu martabat WAHDAH namanya.
Iaitu zahir daripadanya segala sifat dan asma' dengan ijmal yakni perhimpunan iaitulah
hakikat nabi kita Muhammad s.a.w. yang iaitu asal daripada segala yang maujud dan
hayatnya.

Martabat ketiga daripada segala martabat tanazzul zat itu iaitu martabat WAHIDIYAH iaitu
zahir padanya segala sifat dan asma' dengan mentafsilkan akan barang yang ada ia mujmal
pada hadrat WAHDAH.
Pada hadrat WAHIDIYAH ini hasillah khitob dengan ini daripada Allah Taala itu firmannya:
INNAHU ANALLAH ertinya bahawasanya Aku Allah.

Martabat keempat daripada segala martabat tanazzul zat itu ialah martabat alam AL-ARWAH
iaitu sunyi daripada bersusun lagi keadaannya itu terhampar luas iaitulah hakikat segala ruh
yang zahir ia atas segala zatnya dan seumpamanya.

Martabat kelima daripada segala martabat tanazzul zat itu ialah martabat alam AL-MISAL
ertinya segala perkara yang dijadikannya berupa yang halus yang tiada menerima bahagi.

Martabat keenam daripada segala martabat tanazzul zat itu ialah martabat alam AL-AJSAD
ertinya iaitu segala perkara yang dijadikan berupa lagi kasar yang menerima bahagi.

Martabat ketujuh dari segala martabat tanazzul zat (penurunan Zat) itu menghimpunkan bagi
segala martabat yang enam dahulu ialah martabat tajalli dan libas (pakaian) yang akhir iaitu
martabat INSAN namanya maka inilah tujuh martabat.
SYEIKH ABDUL QADIR JAILANI

Sering kita mendengar tentang nama seorang sufi besar dan ulama besar bernama Syekh
Abdul Qodir Jaelani, atau ada yang menyebut Jiilani. Siapakah sebenarnya beliau? Apa yang
menjadi pandangan beliau yang jelas tentu tetap berpegang pada junjungan kita Nabi Besar
Sayyidina Muhammad SAW…berikut informasi dikumpulkan dari berbagai macam
sumber…
Syeikh Abdul Qodir Jaelani (bernama lengkap Muhy al-Din Abu Muhammad Abdul Qodir
ibn Abi Shalih Zango Dost al-Jaelani) lahir di Jailan atau Kailan tahun 470 H/1077 M,
sehingga diakhir nama beliau ditambahkan kata Al Jailani atau Al Kailani atau juga Al
Jiliydan.(Biaografi beliau dimuat dalam Kitab Adz Dzail „Ala Thabaqil Hanabilah I/301-390,
nomor 134, karya Imam Ibnu Rajab Al Hambali). Beliau wafat pada hari Sabtu malam,
setelah maghrib, pada tanggal 9 Rabi‟ul Akhir di daerah Babul Azajwafat di Baghdad pada
561 H/1166 M.

Dalam usia 8 tahun ia sudah meninggalkan Jilan menuju Baghdad pada tahun 488 H/1095 M.
Karena tidak diterima belajar di Madrasah Nizhamiyah Baghdad, yang waktu itu dipimpin
Ahmad al-Ghazali, yang menggantikan saudaranya Abu Hamid al-Ghazali.

Masa Muda

Beliau meninggalkan tanah kelahiran, dan merantau ke Baghdad pada saat beliau masih
muda. Di Baghdad belajar kepada beberapa orang ulama‟ seperti Ibnu Aqil, Abul Khatthat,
Abul Husein Al Farra‟ dan juga Abu Sa‟ad Al Muharrimi. Beliau belajar sehingga mampu
menguasai ilmu-ilmu ushul dan juga perbedaan-perbedaan pendapat para ulama‟. Suatu
ketika Abu Sa‟ad Al Mukharrimi membangun sekolah kecil-kecilan di daerah yang bernama
Babul Azaj. Pengelolaan sekolah ini diserahkan sepenuhnya kepada Syeikh Abdul Qadir Al
Jailani. Beliau mengelola sekolah ini dengan sungguh-sungguh. Bermukim disana sambil
memberikan nasehat kepada orang-orang yang ada tersebut. Banyak sudah orang yang
bertaubat setelah mendengar nasehat beliau. Banyak orang yang bersimpati kepada beliau,
lalu datang ke sekolah beliau, sehingga sekolah itu tidak muat menampungnya.

Murid-murid beliau banyak yang menjadi ulama‟ terkenal. Seperti Al Hafidz Abdul Ghani
yang menyusun kitab Umdatul Ahkam Fi Kalami Khairil Anam. Juga Syeikh Qudamah
penyusun kitab fiqh terkenal Al Mughni.

Perkataan ulama tentang beliau : Syeikh Ibnu Qudamah rahimahullah ketika ditanya tentang
Syeikh Abdul Qadir, beliau menjawab, ” kami sempat berjumpa dengan beliau di akhir masa
kehidupannya. Beliau menempatkan kami di sekolahnya. Beliau sangat perhatian terhadap
kami. Kadang beliau mengutus putra beliau yang bernama Yahya untuk menyalakan lampu
buat kami. Beliau senantiasa menjadi imam dalam shalat fardhu.”

Syeikh Ibnu Qudamah sempat tinggal bersama beliau selama satu bulan sembilan hari.
Kesempatan ini digunakan untuk belajar kepada Syeikh Abdul Qadir Al Jailani sampai beliau
meninggal dunia. (Siyar A‟lamin NubalaXX/442). Beliau adalah seorang „alim. Beraqidah
Ahlu Sunnah, mengikuti jalan Salafush Shalih. Dikenal banyak memiliki karamah-karamah.
Tetapi banyak (pula) orang yang membuat-buat kedustaan atas nama beliau. Kedustaan itu
baik berupa kisah-kisah, perkataan-perkataan, ajaran-ajaran, “thariqah” yang berbeda dengan
jalan Rasulullah, para sahabatnya, dan lainnya. Diantaranya dapat diketahui dari perkataan
Imam Ibnu Rajab, ”

Syeikh Abdul Qadir Al Jailani adalah seorang yang diagungkan pada masanya. Diagungkan
oleh banyak para syeikh, baik „ulama dan para ahli zuhud. Beliau banyak memiliki
keutamaan dan karamah. Tetapi ada seorang yang bernama Al Muqri‟ Abul Hasan Asy
Syathnufi Al Mishri (Nama lengkapnya adalah Ali Ibnu Yusuf bin Jarir Al Lakh-mi Asy
Syath-Nufi. Lahir di Kairo tahun 640 H, meninggal tahun 713 H. Dia dituduh berdusta dan
tidak bertemu dengan Syeikh Abdul Qadir Al Jailani) mengumpulkan kisah-kisah dan
keutamaan-keutamaan Syeikh Abdul Qadir Al Jailani dalam tiga jilid kitab. Dia telah menulis
perkara-perkara yang aneh dan besar (kebohongannya ). Cukuplah seorang itu berdusta, jika
dia menceritakan yang dia dengar. Aku telah melihat sebagian kitab ini, tetapi hatiku tidak
tentram untuk berpegang dengannya, sehingga aku tidak meriwayatkan apa yang ada di
dalamnya. Kecuali kisah-kisah yang telah masyhur dan terkenal dari selain kitab ini. Karena
kitab ini banyak berisi riwayat dari orang-orang yang tidak dikenal. Juga terdapat perkara-
perkara yang jauh ( dari agama dan akal ), kesesatan-kesesatan, dakwaan-dakwaan dan
perkataan yang batil tidak berbatas. (Seperti kisah Syeikh Abdul Qadir menghidupkan ayam
yang telah mati, dan sebagainya.) semua itu tidak pantas dinisbatkan kepada Syeikh Abdul
Qadir Al Jailani rahimahullah. Kemudian aku dapatkan bahwa Al Kamal Ja‟far Al Adfwi
(Nama lengkapnya ialah Ja‟far bin Tsa‟lab bin Ja‟far bin Ali bin Muthahhar bin Naufal Al
Adfawi. Seoarang „ulama bermadzhab Syafi‟i. Dilahirkan pada pertengahan bulan Sya‟ban
tahun 685 H. Wafat tahun 748 H di Kairo. Biografi beliau dimuat oleh Al Hafidz di dalam
kitab Ad Durarul Kaminah, biografi nomor 1452.) telah menyebutkan, bahwa Asy Syath-nufi
sendiri tertuduh berdusta atas kisah-kisah yang diriwayatkannya dalam kitab ini.”(Dinukil
dari kitab At Tashawwuf Fii Mizanil Bahtsi Wat Tahqiq, hal. 509, karya Syeikh Abdul Qadir
bin Habibullah As Sindi, Penerbit Darul Manar, Cet. II, 8 Dzulqa‟dah 1415 H / 8 April 1995
M.). Imam Ibnu Rajab juga berkata, ” Syeikh Abdul Qadir Al Jailani rahimahullah memiliki
pemahaman yang bagus dalam masalah tauhid, sifat-sifat Allah, takdir, dan ilmu-ilmu
ma‟rifat yang sesuai dengan sunnah. Beliau memiliki kitab Al Ghunyah Li Thalibi Thariqil
Haq, kitab yang terkenal. Beliau juga mempunyai kitab Futuhul Ghaib. Murid-muridnya
mengumpulkan perkara-perkara yang berkaitan dengan nasehat dari majelis-majelis beliau.
Dalam masalah-masalah sifat, takdir dan lainnya, ia berpegang dengan sunnah. Beliau
membantah dengan keras terhadap orang-orang yang menyelisihi sunnah.”

Syeikh Abdul Qadir Al Jailani menyatakan dalam kitabnya, Al Ghunyah, ” Dia (Allah ) di
arah atas, berada diatas „arsyNya, meliputi seluruh kerajaanNya. IlmuNya meliputi segala
sesuatu.” Kemudian beliau menyebutkan ayat-ayat dan hadist-hadist, lalu berkata ”
Sepantasnya menetapkan sifat istiwa‟ ( Allah berada diatas „arsyNya ) tanpa takwil (
menyimpangkan kepada makna lain ). Dan hal itu merupakan istiwa‟ dzat Allah diatas arsy.”
(At Tashawwuf Fii Mizanil Bahtsi Wat Tahqiq, hal. 515). Ali bin Idris pernah bertanya
kepada Syeikh Abdul Qadir Al Jailani, ” Wahai tuanku, apakah Allah memiliki wali (kekasih
) yang tidak berada di atas aqidah ( Imam ) Ahmad bin Hambal?” Maka beliau menjawab, ”
Tidak pernah ada dan tidak akan ada.”( At Tashawwuf Fii Mizanil Bahtsi Wat Tahqiq, hal.
516).

Perkataan Syeikh Abdul Qadir Al Jailani tersebut juga dinukilkan oleh Syeikhul Islam Ibnu
Taimiyah dalam kitab Al Istiqamah I/86. Semua itu menunjukkan kelurusan aqidahnya dan
penghormatan beliau terhadap manhaj Salaf.

Sam‟ani berkata, ” Syeikh Abdul Qadir Al Jailani adalah penduduk kota Jailan. Beliau
seorang Imam bermadzhab Hambali. Menjadi guru besar madzhab ini pada masa hidup
beliau.” Imam Adz Dzahabi menyebutkan biografi Syeikh Abdul Qadir Al Jailani dalam
Siyar A‟lamin Nubala, dan menukilkan perkataan Syeikh sebagai berikut,”Lebih dari lima
ratus orang masuk Islam lewat tanganku, dan lebih dari seratus ribu orang telah bertaubat.”

Imam Adz Dzahabi menukilkan perkataan-perkataan dan perbuatan-perbuatan Syeikh Abdul


Qadir yang aneh-aneh sehingga memberikan kesan seakan-akan beliau mengetahui hal-hal
yang ghaib. Kemudian mengakhiri perkataan, ”Intinya Syeikh Abdul Qadir memiliki
kedudukan yang agung. Tetapi terdapat kritikan-kritikan terhadap sebagian perkataannya dan
Allah menjanjikan (ampunan atas kesalahan-kesalahan orang beriman ). Namun sebagian
perkataannya merupakan kedustaan atas nama beliau.”( Siyar XX/451 ). Imam Adz Dzahabi
juga berkata, ” Tidak ada seorangpun para kibar masyasyeikh yang riwayat hidup dan
karamahnya lebih banyak kisah hikayat, selain Syeikh Abdul Qadir Al Jailani, dan banyak
diantara riwayat-riwayat itu yang tidak benar bahkan ada yang mustahil terjadi“.

Syeikh Rabi‟ bin Hadi Al Madkhali berkata dalam kitabnya, Al Haddul Fashil,hal.136, ” Aku
telah mendapatkan aqidah beliau ( Syeikh Abdul Qadir Al Jailani ) didalam kitabnya yang
bernama Al Ghunyah. (Lihat kitab Al-Ghunyah I/83-94) Maka aku mengetahui bahwa dia
sebagai seorang Salafi. Beliau menetapkan nama-nama dan sifat-sifat Allah dan aqidah-
aqidah lainnya di atas manhaj Salaf. Beliau juga membantah kelompok-kelompok Syi‟ah,
Rafidhah,Jahmiyyah, Jabariyyah, Salimiyah, dan kelompok lainnya dengan manhaj Salaf.”
(At Tashawwuf Fii Mizanil Bahtsi Wat Tahqiq, hal. 509, karya Syeikh Abdul Qadir bin
Habibullah As Sindi, Penerbit Darul Manar, Cet. II, 8 Dzulqa‟dah 1415 H / 8 April 1995 M.)

Inilah tentang beliau secara ringkas. Seorang „alim Salafi, Sunni, tetapi banyak orang yang
menyanjung dan membuat kedustaan atas nama beliau. Sedangkan beliau berlepas diri dari
semua kebohongan itu. Wallahu a‟lam bishshawwab.
Kesimpulannya beliau adalah seorang „ulama besar. Apabila sekarang ini banyak kaum
muslimin menyanjung-nyanjungnya dan mencintainya, maka itu adalah suatu kewajaran.
Bahkan suatu keharusan. Akan tetapi kalau meninggi-ninggikan derajat beliau di atas
Rasulullah shollallahu‟alaihi wasalam, maka hal ini merupakan kekeliruan yang fatal. Karena
Rasulullah shollallahu „alaihi wasalam adalah rasul yang paling mulia diantara para nabi dan
rasul. Derajatnya tidak akan terkalahkan disisi Allah oleh manusia manapun. Adapun
sebagian kaum muslimin yang menjadikan Syeikh Abdul Qadir Al Jailani sebagai wasilah (
perantara ) dalam do‟a mereka, berkeyakinan bahwa do‟a seseorang tidak akan dikabulkan
oleh Allah, kecuali dengan perantaranya. I

Jadi sudah menjadi keharusan bagi setiap muslim untuk memperlakukan para „ulama dengan
sebaik mungkin, namun tetap dalam batas-batas yang telah ditetapkan syari‟ah.

Pada tahun 521 H/1127 M, dia mengajar dan berfatwa dalam semua madzhab pada
masyarakat sampai dikenal masyarakat luas. Selama 25 tahun Abdul Qadir Jaelani
menghabiskan waktunya sebagai pengembara sufi di Padang Pasir Iraq dan akhirnya dikenal
oleh dunia sebagai tokoh sufi besar dunia Islam. Selain itu dia memimpin madrasah dan
ribath di Baghdad yang didirikan sejak 521 H sampai wafatnya di tahun 561 H. Madrasah itu
tetap bertahan dengan dipimpin anaknya Abdul Wahab (552-593 H/1151-1196 M),
diteruskan anaknya Abdul Salam (611 H/1214 M). Juga dipimpin anak kedua Abdul Qadir
Jaelani, Abdul Razaq (528-603 H/1134-1206 M), sampai hancurnya Baghdad pada tahun 656
H/1258 M.

Syeikh Abdul Qadir Jaelani juga dikenal sebagai pendiri sekaligus penyebar salah satu tarekat
terbesar didunia bernama Tarekat Qodiriyah.

Awal Kemasyhuran Al-Jaba‟I berkata bahwa Syaikh Abdul Qadir Al-Jailani juga berkata
kepadanya, “tidur dan bangunku sudah diatur. Pada suatu saat, dalam dadaku timbul
keinginan yang kuat untuk berbicara. Begitu kuatnya sampai aku merasa tercekik jika tidak
berbicara. Dan ketika berbicara, aku tidak dapat menghentikannya. Pada saat itu ada dua atau
tiga orang yang mendengarkan perkataanku. Kemudian mereka mengabarkan apa yang aku
ucapkan kepada orang-orang, dan merekapun berduyun-duyun mendatangiku di masjid Bab
Al-Halbah. Karena tidak memungkinkan lagi, aku dipindahkan ke tengah kota dan dikelilingi
dengan lampu. Orang-orang tetap datang di malam hari dan memakai lilin dan obor dan
memenuhi tempat tersebut. Kemudian aku dibawa keluar kota dan ditempatkan di sebuah
mushalla. Namun orang-orang tetap datang kepadaku, dengan mengendarai kuda, unta
bahkan keledai dan menempati tempat disekelilingku. Saat itu hadir sekitar 70 orang para
wali RadhiAllahu anhum.

Kemudian Syaikh Abdul Qadir melanjutkan, “Aku melihat Rasululloh SAW sebelum dzuhur,
beliau berkata kepadaku, ‟anakku, mengapa engkau tidak berbicara ?‟. ‟Ayahku, bagaimana
aku yang non arab ini berbicara di depan orang-orang fasih dari Baghdad?‟. Beliau berkata,
‟buka mulutmu‟, lalu beliau meniup 7 kali ke dalam mulutku kemudian berkata, ”bicaralah
dan ajak mereka ke jalan Allah dengan hikmah dan peringatan yang baik”. Setelah itu aku
shalat dzuhur dan duduk dan mendapati jumlah yang sangat luar biasa banyaknya sehingga
membuatku gemetar. Kemudian aku melihat Ali r.a. datang dan berkata, ‟buka mulutmu‟.
Beliau lalau meniup 6 kali kedalam mulutku dan ketika aku bertanya kepadanya mengapa
beliau tidak meniup 7 kali seperti yang dilakukan Rasululloh SAW, beliau menjawab bahwa
beliau melakukan itu karena rasa hormat beliau kepada RasuluLloh SAW. Kemudian akku
berkata, ‟Pikiran, sang penyelam, mencari mutiara ma‟rifah dengan menyelami laut hati,
mencampakkannya ke pantai dada , dilelang oleh lidah sang calo, kemudian dibeli dengan
permata ketaatan dalam rumah yang diizinkan Allah untuk diangkat‟”. Beliau kemudian
menyitir :

Idan untuk wanita seperti Laila seorang pria dapat membunuh dirinya, dan menjadikan maut
dan siksaan sebagai sesuatu yang manis

Dalam beberapa manuskrip saya mendapatkan Syaikh Abdul Qadir Al-Jailani berkata,
”Sebuah suara berkata kepadaku saat aku berada di pengasingan diri, „kembali ke Baghdad
dan ceramahilah orang-orang‟. Akupun masuk Baghdad dan menemukan para penduduknya
dalam kondisi yang tidak aku sukai dan karena itulah aku tidak jadi mengikuti mereka‟.
„sesungguhnya‟ kata suara tersebut ,‟mereka akan mendapatkan manfaat dari keberadaan
dirimu‟.

„Apa hubungan mereka dengan keselamatan agamaku / keyakinanku‟ tanyaku.

„Kembali (ke Baghdad) dan engkau akan mendapatkan keselamatan agamamu‟ jawab suara
itu.

Akupun menbuat 70 perjanjian dengan Allah. Diantaranya adalah tidak ada seorangpun yang
menentangku dan tidak ada seorang muridku yang meninggal kecuali dalam keadaan
bertaubat. Setelah itu, aku kembali ke Baghdad dan mulai berceramah. Suatu ketika saat aku
berceramah , aku melihat sebuah cahaya terang benderang mendatangi aku. „Apa ini dan ada
apa?‟tanyaku. „Rasululloh SAW akan datang menemuimu untuk memberikan selamat‟ jawab
sebuah suara. Sinar tersebut makin membesar dan aku mulai masuk dalam kondisi spiritual
yang membuatku setengah sadar. Lalu aku melihat RasuLulloh SAW di depan mimbar,
mengambang di udara dan memanggilku, ‟wahai Abdul Qadir‟. Begitu gembiranya aku
dengan kedatangan RasuluLloh SAW , aku melangkah naik ke udara menghampirinya.
Beliau meniup ke dalam mulutku 7 kali. Kemudian Ali datang dan meniup ke dalam mulutku
3 kali. ‟mengapa engkau tidak melakukan seperti yang dilakukan RasuluLloh SAW?‟ tanyaku
kepadanya. „sebagai rasa hormatku kepada Rasulullah SAW„ jawab beliau.

RasuluLlah SAW kemudian memakaikan jubah kehormatan kepadaku. „apa ini ?‟ tanyaku.
„ini‟ jawab Rasulullah, ‟adalah jubah kewalianmu dan dikhususkan kepada orang-orang yang
mendapat derajad Qutb dalam jenjang kewalian‟. Setelah itu , akupun tercerahkan dan mulai
berceramah.

Saat Khidir as. Datang hendak mengujiku dengan ujian yang diberikan kepada para wali
sebelumku, Allah membukakan rahasianya dan apa yang akan di katakannya kepadaku. Aku
berkata kepadanya, ”Wahai Khidir, apabila engkau berkata kepadaku ‟Engkau tidak akan
sabar kepadaku‟, maka aku akan berkata kepadamu „Engkau tidak akan sabar kepadaku‟.
Wahai Khidir, Engkau termasuk golongan Israel sedangkan aku termasuk golongan
Muhammad, maka inilah aku dan engkau. Aku dan engkau seperti sebuah bola dan lapangan,
yang ini Muhammad dan yang ini Ar-Rahman, ini kuda berpelana, busur terentang dan
pedang terhunus.” Al-Khattab pelayan Syaikh Abdul QAdir meriwayatkan bahwa suatu hari
ketika beliau sedang berceramah tiba-tiba beliau berjalan naik ke udara dan berkata, “Hai
orang Israel, dengarkan apa yang dikatakan oleh kaum Muhammad” lalu kembali ke
tempatnya. Saat ditanya mengenai hal tersebut beliau menjawab, ”Tadi Abu Abbas Al-Khidir
as lewat, maka akupun berbicara kepadanya seperti yang kalian dengar tadi dan ia berhenti”.
Guru dan teladan kita Syaikh Abdul Qadir Al-Jilli berkata,” seorang Syaikh tidak dapat
dikatakan mencapai puncak spiritual kecuali apabila karakter berikut ini telah mendarah
daging dalam dirinya yaitu :

Dua karakter dari Allah yaitu dia menjadi seorang yang Sattar (menutup aib) dan Ghaffar
(Maha pemaaf).

Dua karakter dari RasuluLlah SAW yaitu penyayang dan lembut

Dua karakter dari Abu Bakar yaitu jujur dan dapat dipercaya.

Dua karakter dari Umar yaitu amar ma‟ruf nahi munkar

Dua karakter dari Utsman yaitu dermawan dan bangun (tahajjud) pada waktu orang lain
sedang tidur.

Dua karakter dari Ali yaitu aalim (cerdas/intelek) dan pemberani.

Masih berkenaan dengan pembicaraan di atas dalam bait syair yang dinisbatkan kepada
beliau dikatakan :

Bila lima perkara tidak terdapat dalam diri seorang syaikh maka ia adalah Dajjal yang
mengajak kepada kesesatan.

Dia harus sangat mengetahui hukum-hukum syariat dzahir, mencari ilmu hakikah dari
sumbernya, hormat dan ramah kepada tamu, lemah lembut kepada si miskin, mengawasi para
muridnya sedang ia selalu merasa diawasi oleh Allah

Syaikh Abdul Qadir juga menyatakan bahwa Syaikh Al-Junaid mengajarkan standar Al-
Qur‟an dan Sunnah kepada kita untuk menilai seorang Syaikh. Apabila ia tidak hapal Al-
Qur‟an, tidak menulis dan menghapal Hadits, maka dia tidak pantas untuk diikuti.

Menurut saya (penulis buku) yang harus dimiliki seorang Syaikh ketika mendidik seseorang
adalah dia menerima si murid untuk Allah, bukan untuk dirinya atau alasan lainnya. selalu
menasihati muridnya, mengawasi muridnya dengan pandangan kasih. Lemah lembut kepada
muridnya saat sang murid tidak mampu menyelesaikan Riyadhah. Dia juga harus mendidik si
murid bagaikan anak sendiri dan orang tua penuh dengan kasih dan kelemah lembutan dalam
mendidik anakknya. Oleh karena itu dia selalu memberikan yang paling mudah kepada si
murid dan tidak membebaninya dengan sesuatu yang tidak mampu dilakukannya. Dan setelah
sang muuriid bersumpah untuk bertobat dan selalu taat kepada Allah baru sang syaikh
memberikan yang lebih berat kepadanya. Sesungguhnya bai‟at bersumber dari hadits
RasuluLlah SAW ketika beliau mengambil bai‟at para sahabatnya.

Kemudian dia harus mentalqin si murid dengan zikir lengkap dengan silsilahnya.
Sesungguhnya Ali ra. Bertanya kepada RasuluLloh SAW, „Yaa Rasulullah, jalan manakah
yang terdekat untuk sampai kepada Allah, paling mudah bagi hambanya dan paling afdhal di
sisi Nya. RasuluLlah berkata,‟Ali, hendaknya jangan putus berzikir (mengingat) kepada
Allah dalam khalwat (kontemplasinya)‟. Kemudian Ali ra. Kembali berkata , „Hanya
demikiankah fadhilah zikir, sedangkan semua orang berzikir‟. RasuluLlah berkata,‟Tidak
hanya itu wahai Ali, kiamat tidak akan terjadi di muka bumi ini selama masih ada orang yang
mengucapkan “Allah” “Allah”. „Bagai mana aku berzikir?‟. Tanya Ali. RasuluLlah bersabda,
‟dengarkan apa yang aku ucapkan. Aku akan mengucapkannya sebanyak tiga kali dan aku
akan mendengarkan engkau mengulanginya sebanyak tiga kali pula‟. Lalu RasuluLlah
berkata, “Laa ilaaha illallah” sebanyak tiga kali dengan mata terpejam dan suara kjeras.
Ucapan tersebut di ulang oleh Ali dengan cara yang sama RasuluLlah lakukan. Inilah asal
talqin kalimat Laa ilaaha Illallah. Semoga Allah memberikan taufiknya kepada kita dengan
kalimat tersebut”.

Syaikh Abdul Qadir berkata, ”Kalimat tauhid akan sulit hadir pasda seorang individu
yang belum di talqin dengan zikir bersilsilah kepada RasulluLlah oleh Mursyidnya saat
menghadapi sakaratil maut”.

Karena itulah Syaikh Abdul Qadir selalu mengulang-ulang syair yang berbunyi : Wahai yang
enak diulang dan diucapkan (kalimat tauhid) jangan engkau lupakan aku saat perpisahan
(maut).

Ensiklopedia Nusantara: Ad-Durrah an-Nafisah bahasan tasawuf, guna


bahasa beradab
Bersama Wan Mohd Shaghir Abdullah

Kitab dipercayai dikarang Syeikh Muhammad Nafis al-Banjari

SEBUAH kitab tasawuf peringkat tinggi yang cukup terkenal di dunia Melayu yang banyak kali dicetak
adalah Ad-Durr an-Nafis karya Syeikh Muhammad Nafis bin Husein al-Banjari. Kitab ini ditulis pada
1200 hijrah/1785 masihi dan dicetak pertama kalinya seratus tahun kemudian iaitu pada 1300
hijrah/1882.

Cetakan pertama ditashhih oleh Syeikh Ahmad bin Muhammad Zain al-Fathani. Kitab yang saya
perkenalkan dalam artikel ini bukan Ad-Durr an-Nafis, tetapi Ad-Durrah an-Nafisah fi Bayan Wahdah
fi al-Af'al wa al-Asma' wa ash-Shifat wa az-Zat al-Muqaddasah yang ditulis kira-kira 39 tahun selepas
Ad-Durr an-Nafis.

Tarikh tepat penulisan mulai waktu Dhuha, Jumaat, 15 Rabiulakhir 1239/19 Disember 1823. Ia
selesai ditulis pada tengah malam Isnin, 9 Muharam 1240/3 September 1824.

Kitab ini belum pernah diterbitkan dalam bahan cetakan. Manuskrip yang ada hanya sebuah dan ada
dalam simpanan saya.

Sungguhpun tidak ada nama pengarang, dapat diduga ia adalah karangan Syeikh Muhammad Nafis
al-Banjari. Ia adlah syarah kitab beliau yang berjudul Ad-Durr an-Nafis. Jadi, manuskrip yang
sekarang menjadi koleksi peribadi saya adalah asli tulisan tangan Syeikh Muhammad Nafis al-
Banjari.

Sebelum memasuki kandungan Ad-Durrah an-Nafisah, sebagai mukadimah Syeikh Muhammad Nafis
bin Husein al-Banjari memperkenalkan dua karya ringkas mengenai tasawuf. Sebuah 18 muka dan
satu lagi 14 halaman. Kedua-duanya tanpa judul. Sebuah tanpa tahun dan sebuah lagi selesai
penulisan pada malam, 30 Jamadilawal 1235/16 Januari 1820.
Pada mukadimah risalah yang pertama, Syeikh Muhammad Nafis bin Husein al-Banjari menyebut
mengenai „diri‟ ada empat jenis.

Kata beliau: “Pertama, diri yang berdiri, iaitu diri jasad atau tubuh badan. Kedua: diri yang terperi.
Ketiga, diri yang nyata pada ilmu Allah. Keempat, diri yang sebenar-benar diri.”

Keempat-empat „diri‟ dihuraikan dengan agak panjang menurut kaedah dalam ilmu tasawuf.

Kedua-dua risalah yang dianggap sebagai mukadimah Ad-Durrah an-Nafisah, saya tinggalkan dan
langsung saja kepada manuskrip yang sedang diperkenalkan.

Syeikh Muhammad Nafis bin Husein al-Banjari memulakan bicara dengan katanya: “Aku memulai
akan risalah ini pada hijrah Nabi SAW seribu dua ratus tiga puluh sembilan tahun, pada tahun Alif,
pada lima belas hari bulan Rabiulakhir, yaum al-Jum‟ah, waktu Dhuha, jam pukul dulapan
(maksudnya: Jumaat, jam 8 pada 15 Rabiulakhir 1239 pen:)”

Sebab beliau menulis kitab itu juga dinyatakan dalam mukadimah pada halaman berikutnya. Kata
beliau: “Kemudian daripada itu, maka tatkala adalah tahun seribu dua ratus tiga puluh lima tahun,
daripada tahun hijrah, pada hari yang ketiga puluh cukup, daripada bulan Jamadilawal, (maksudnya:
pada 30 Jamadilawal 1235, pen:).”

Selanjutnya beliau jelaskan: “Sanya memintalah kepadaku setengah daripada saudaraku yang telah
dibukakan [oleh] Allah hatiku dan hatinya dengan cahaya terang musyahadah, yakni cahaya terang
memandang dan mengenal.” Beliau jelaskan selanjutnya: "Bahawa itu aku perbuatkan baginya akan
suatu risalah yang simpan (maksudnya: yang ringkas) perkataannya dengan bahasa Jawi-Melayu
yang lemah lembut...”

Barangkali oleh kerana kandungan keseluruhan Ad-Durrah an-Nafisah adalah tasawuf peringkat
tinggi, maka diperlukan bahasa yang beradab. Itulah yang dimaksudkannya dengan „bahasa Jawi-
Melayu yang lemah lembut‟ bukan bahasa Melayu yang kasar, yang tiada beradab atau tiada
berakhlak atau boleh juga dikatakan tiada berbudi bahasa.

Sebelum memasuki bahasan tasawuf, Syeikh Muhammad Nafis al-Banjari terlebih dulu
membicarakan mazhab dalam akidah. Megenai perkara ini ada yang beliau bicarakan dalam Ad-Durr
an-Nafis. Tetapi, selepas dibanding ternyata dalam manuskrip Ad-Durrah an-Nafisah penambahan
dan bahasan jauh lebih banyak serta perbicaraan jauh lebih luas dan mendalam.

Mengenai dua mazhab iaitu Qadariyah dan Jabariyah tidak banyak tambahan, tetapi mengenai
mazhab Ahli Sunnah Wal Jamaah dalam Ad-Durrah an-Nafisah ada tambahan yang sangat banyak.

Dalil mengenai mazhab Ahli Sunnah Wal Jamaah, beliau jelaskan ketika turun ayat al-Quran
mengenai „kaum yang kasih kepada Allah‟ salah seorang sahabat bertanya kepada Rasulullah. Nabi
menjawab dan menunjuk sahabat Baginda, Abu Musa al-Asy'ari. Manakala muncul keturunan beliau,
iaitu Imam Abu Hasan al-Asy'ari, maka sepakatlah ulama bahawa Imam Abu Hasan al-Asy'ari R.A
adalah „imam‟ mazhab Ahli Sunnah Wal Jamaah.

Syeikh Muhammad Nafis al-Banjari menyebut pula, „mazhab yang berpegang kepada iktikad Imam
al-Asy'ari ini, iaitu Imam Malik ibnu Anas dan Imam Muhammad anak Idris Syafie. Maka, mazhab
Imam Abu Hanifah ibnu Tsabit dan Imam Ahmad ibnu Hanbal itu adalah mazhab Ahli Sunnah Wal
Jamaah yang pada iktikad itu, iaitu Imam Abu Manshur Maturidi.‟
Selepas membicarakan tiga mazhab di atas, Syeikh Muhammad Nafis al-Banjari membahas pula
mazhab Ahli Sunnah Wal Jamaah golongan Ahl al-Kasyaf dan Musyahadah.

Walaupun karya Syeikh Muhammad Nafis al-Banjari judul Ad-Durr an-Nafis yang pernah dicetak
berlaku kontroversi dengan beberapa tokoh ahli zahir, namun bagi saya Ad-Durrah an-Nafisah yang
juga syarah Ad-Durr an-Nafis mesti diperkenalkan. Kedua-dua kandungan kitab itu tidak salah
menurut ulama ahli sufi.

- dipetik dari Berita Harian, Selasa 27hb. Disember. 2005

Anda mungkin juga menyukai