Anda di halaman 1dari 12

Tingkah Laku Ikan dan Daerah

Penangkapan Ikan

Tugas Mata Kuliah TLI dan DPI


Program Studi Perikanan Tangkap

Nicholas Yosua Silitonga


20.1.07.107

POLITEKNIK KELAUTAN DAN PERIKANAN JEMBRANA


BADAN RISET DAN SUMBERDAYA MANUSIA KELAUTAN DAN
PERIKANAN
KEMENTERIAN KELAUTAN DAN PERIKANAN
2021
KATA PENGANTAR

Puji syukur bagi Allah SWT yang telah memberikan kemudahan dalam
menyelesaikan makalah tepat waktu. Tanpa rahmat dan pertolongan-Nya,
penulis tidak akan mampu menyelesaikan makalah ini dengan baik.

Penulis mengucapkan syukur kepada Allah SWT atas limpahan nikmat


sehat-Nya, sehingga makalah Tingkah Laku Ikan dan Daerah Penangkapan Ikan
(TLI dan DPI) dapat diselesaikan. Makalah ini disusun guna memenuhi tugas
mata kuliah TLI dan DPI. Penulis berharap makalah tentang TLI dan DPI dapat
menjadi referensi bagi masyarakat agar mengetahui lebih dalam lagi tentang
Tingkah laku ikan dan Daerah penangkapan ikan.

Penulis menyadari makalah bertema Tingkah laku ikan dan Daerah


penangkapan ikan ini masih perlu banyak penyempurnaan karena kesalahan dan
kekurangan. Penulis terbuka terhadap kritik dan saran pembaca agar makalah ini
dapat lebih baik. Apabila terdapat banyak kesalahan pada makalah ini, baik
terkait penulisan maupun konten, penulis memohon maaf.

Demikian yang dapat penulis sampaikan. Akhir kata, semoga makalah ini dapat
bermanfaat bagi pengembangan ilmu, khususnya ilmu kelautan dan perikanan.

Badung, 12 Mei 2021

Penulis

i
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ii
DAFTAR ISI iii
BAB I PENDAHULUAN 1
1.1 Latar Belakang 1
1.2 Rumusan Masalah 1
1.3 Tujuan 2
BAB II PEMBAHASAN 3
2.1 Ikan Tuna Mata Besar (Thunnus obesus) 3
2.1.1 Tingkah Laku dan Kebiasaan Hidup Tuna Mata Besar 3
2.1.2 Daerah Penangkapan Ikan Tuna Mata Besar 3
2.1.3 Alat Tangkap Ikan Tuna Mata Besar 4
2.2 Ikan Tuna Sirip Kuning (Thunnus albacares) 5
2.2.1 Tingkah Laku dan Kebiasaan Hidup Tuna Sirip Kuning 5
2.2.2 Daerah Penangkapan Ikan Tuna Sirip Kuning 5
2.2.3 Alat Tangkap Ikan Tuna Sirip Kuning 6
2.3 Ikan Tongkol (Euthynnus affins) 6
2.3.1 Tingkah Laku dan Kebiasaan Hidup Ikan Tongkol 6
2.3.2 Daerah Penangkapan Ikan Tongkol 6
2.3.3 Alat Tangkap Ikan Tongkol 7
BAB III PENUTUP 8
3.1 Kesimpulan 8
3.2 Saran 8
DAFTAR PUSTAKA 9

ii
BAB I
PENDAHULUAN

1.1 LATAR BELAKANG


Sektor perikanan memiliki peranan strategis dalam pembangunan
nasional. Indonesia memiliki potensi kekayaan sumber daya perikanan yang
melimpah. Menjadikan sektor perikanan salah satu sektor yang perlu
dikembangkan. Kegiatan perikanan tangkap adalah salah satu bentuk usaha
yang dilakukan untuk mengelola sumber daya hayati yang ada.
Pemanfaatan potensi sumberdaya laut telah mengalami berbagai
peningkatan pada beberapa aspek, namun secara signifikan belum dapat
memberi kekuatan dan peran yang lebih kuat terhadap pertumbuhan ekonomi
dan pendapatan masyarakat nelayan. Oleh karena itu diperlukan pengembangan
perikanan tangkap untuk dapat memberi kekuatan dan peran dalam
meningkatkan kesejahteraan masyarakat nelayan.
Indonesia merupakan negara kepulauan yang memiliki 17.504 pulau
dengan garis pantai sepanjang 81.000 km, yang merupakan garis pantai
terpanjang kedua di dunia setelah Kanada. Ditambah lagi, wilayah laut Indonesia
yang lebih luas dibanding daratannya, yakni sekitar 73,1% dari total wilayah
Indonesia, membuat kekayaan laut di Indonesia sangat banyak. Kekayaan laut
mulai dari sumber daya yang bisa membuat seperti perikanan, karang karang,
mangrove, rumput laut, hingga sumber daya yang tidak dapat disebutkan seperti
minyak bumi, gas bumi, barang tambang, mineral, serta energi kelautan seperti
gelombang dan angin. Di antara aspek tersebut yang memberi kontribusi besar
terhadap perekonomian Indonesia tersebut adalah perikanan.

1.2 RUMUSAN MASALAH


Fokus permasalahan yang akan di bahas dalam makalah ini antara lain :
1. Bagaimana tingkah laku dan kebiasaan hidup ikan di perairan ?
2. Bagaimana penangkapan ikan di perairan dan alat tangkap apa saja
yang di gunakan ?
3. Bagaimana cara menentukan daerah penangkapan dari masing
masing tingkah laku ikannya ?

1
1.2 TUJUAN
Adapun tujuan yang ingin di capai adalah :
1. Untuk mengetahui tingkah laku ikan dan kebiasaan hidup ikan di
perairan.
2. Untuk mengetahui cara – cara penangkapan ikan beserta alat
tangkap yang di gunakan.
3. Untuk mengetahui daerah penangkapan ikan dari masing – masing
tingkah laku ikannya.

2
BAB II
PEMBAHASAN

2.1 Ikan Tuna Mata Besar (Thunnus obesus)


2.1.1 Tingkah Laku dan Kebiasaan Hidup Ikan Tuna Mata Besar
lingkungan hidup atau habitat ikan tuna mata besar berada pada
kedalaman 0 – 250 m, biasanya 0 – 50 m. Ikan ini juga termasuk ikan pelagis
oseanik yang melakukan migrasi ke berbagai perairan samudera. Hidupnya
terutama di perairan subtropis, yakni pada lintang 45° LU - 43° LS, serta 180° BB
– 180° BT, yang berada pada kisaran suhu 13° - 29° C. (Rabby. 2014)
Sedangkan suhu perairan yang optimum bagi ikan tuna mata besar
adalah berada pada rentang 17° - 22° C. Hal ini berkaitan dengan kisaran suhu
termoklin yang tetap. Bahkan, di perairan Pasifik tropis bagian barat dan tengah,
konsentrasi utama Thunnus obesus berkaitan erat dengan perubahan musim
dan iklim pada suhu permukaan dan termoklin. Kelompok juvenil dan dewasa
kecil dari tuna ini membetuk schooling di permukaan dalam kelompok yang
sejenis atau bersama-sama dengan tuna sirip kuning dan/atau cakalang.
Gerombolan tersebut dapat berasosiasi dengan benda-benda yang
mengambang. Pembentukan gerombolan (schooling) ini biasanya terjadi saat
tuna mata besar melakukan migrasi. (Rabby. 2014)
Selain itu, salah satu faktor yang menyebabkan penyebaran ikan ini dapat
meliputi wilayah geografis yang cukup luas adalah kecepatan renangnya yang
mencapai 50 km/jam, serta kemampuannya dalam penyebaran dan migrasi lintas
samudera. Ikan tuna mata besar juga memiliki pola tingkah laku renang yang
khas berdasarkan kedalaman. Pada malam hari, ikan ini berenang pada lapisan
permukaan hingga kedalaman kira-kira 50 m, sedangkan pada siang hari tuna
mata besar mampu menyelam hingga kedalaman 500 m. (Rabby 2014)
2.1.2 Daerah Penangkapan Tuna Mata Besar
Pada penangkapan tuna mata besar dalam skala Internasional, Jepang
menempati urutan pertama, diikuti oleh Republik Korea dengan perbedaan yang
jauh lebih tinggi. Secara global, penangkapan tuna jenis ini meningkat dari
sekitar 164.000 ton di tahun 1974 hingga mencapai 201.000 ton persegi pada
tahun 1980, dan mencapai puncaknya sebesar 214000 ton pada tahun 1977.
Dari tahun 1981 diperkirakan terjadi penurunan menjadi sekitar 167.000 ton. Di
Samudera Hindia, penangkapan tuna mata besar didominasi oleh armada

3
Jepang hingga akhir tahun 60-an, tapi kemudian operasi kapal dari Republik
Korea menjadi lebih berperan, dan telah menyumbang lebih dari 60% dari hasil
tangkapan di akhir 70-an. (Rabby. 2014)
Teknik memancing yang paling penting adalah dengan alat tangkap
longline (rawai tuna) yang terdiri dari sekitar 400 rangkaian (terdiri dari 5 branch
line, dan masing-masing dengan kail berumpan) dan memperluas hingga
mencapai 130 km. Spesies yang biasa digunakan sebagai umpan meliputi
(dalam bentuk beku) Yellowtail Pasifik (Cololabis saira), Chub mackerel
(Scomber japonicus), jack mackerel (Trachurus) dan cumi-cumi. Operasi pada
waktu siang dan malam umumnya dilakukan sepanjang tahun, tetapi ada variasi
kelimpahan musiman yang jelas nampak dalam perubahan effort. Pada tahun
70-an, longline untuk perairan dalam memasang 10 sampai 15 branch line per
rangkaian longline. Jenis baru dari alat tangkap ini secara teoritis mampu
memancing sampai pada kedalaman 300 m, dimana biasanya hanya mencapai
170 m dengan alat tangkap longline tradisional. (Rabby. 2014)
2.1.3 Alat Tangkap Ikan Tuna Mata Besar
Alat tangkap pancing tuna oleh masyarakat nelayan Sangihe dikenal
dengan nama lokal latage, sehingga operasional penangkapan ikan tuna ini
sering dinamakan melatage. Peningkatan efektifitas dan produktivitas hasil
tangkapan dilakukan dengan cara memodifikasi konstruksi. Modifikasi
operasional penangkapan ikan dilakukan dengan cara menyuntikan ekstrak
cumi-cumi (cisabu) pada umpan yaitu ikan layang (Decapterus sp.) sebagai
media atraktor (Tamarol. 2013) . Secara umum konstruksi pancing tuna terdiri
dari penggulung tali pancing, tali utama, tali cabang, pemberat, kili-kili, mata kail
dengan uraian sebagai berikut:
1. Tali utama, berfungsi untuk dapat mengikatkan pemberat dan tali cabang
berbahan Polyamide monofilament (PA mono) no. 170, 435 m.
2. Tali cabang, ada dua jenis tali yang dipakai, yang pertama berfungsi sebagai
tempat untuk mengikatkan mata kail, sedangkan yang kedua untuk membuat
cisabu pecah dari kantong plastik. Kedua tali cabang ini memiliki ukuran yang
tidak sama. Nomor 150 untuk tali yang digunakan mengikat mata kail sedangkan
yang satunya bernomor 40.
3. Pemberat yang digunakan ada dua macam, yaitu timah sebagai pemberat
pancing dan batu Sebagi pemberat sementara dan tempat untuk meletakkan
potongan ikan umpan.

4
4. Kili-kili terdiri dari tiga bagian. Bagian pertama dan kedua letaknya pada
pemberat yang berfungsi untuk menyambungkan tali dengan pemberat.
Sedangkan bagian yang ketiga berfungsi untuk menyambungkan tali cabang ke
tali utama.
5. Mata kail, berfungsi sebagai tempat mengaitkan umpan yang digunakan. Mata
kail yang dipakai bernomor 12 (cicago) yang terbuat dari besi.
6. Penggulung tali pancing, berfungsi sebagai tempat menata tali pancing.
2.2 Ikan Tuna Sirip Kuning (Thunnus albacares)
2.2.1 Tingkah Laku dan Kebiasaan Ikan Tuna Sirip Kuning
Tuna sirip kuning (Thunnus albacares) ialah ikan epipelagis yang
menyukai perairan Samudera di atas lapisan termoklin serta memiliki perilaku
yang menyukai dan berasosiasi dengan benda mengapung di perairan. Tuna
jenis sirip kuning di Samudera Hindia telah ditetapkan dalam kondisi over fishing
yang disebabkan dengan meningkatnya upaya tangkap. Selanjutnya,
meningkatnya produksi hasil tangkapan, tekanan penangkapan ikan berukuran
kecil atau belum matang gonad serta rendahnya tingkat recruitment sebagai
dampak langsung akibat pemanfaatan sumberdaya yang berlebih (Nurdin, 2017
dalam Burhanis et al., 2018)
Ikan tuna melakukan migrasi dalam wilayah geografis yang luas, serta
senantiasa berpindah setiap waktu. Wilayah perairan Indonesia menjadi lokasi
migrasi ikan tuna yang berpusat di perbatasan perairan Samudera Hindia dan
Samudera Pasifik (Saputra et al., 2011 dalam Burhanis et al., 2018).
2.2.2 Daerah penangkapan Tuna Sirip Kuning
Suhu perairan yang hangat sangat disukai oleh ikan tuna dan merupakan
predator yang selalu berada di lapisan permukaan pada siang hari untuk berburu
mangsanya. Tuna sirip kuning atau tuna madidihang merupakan jenis ikan
pelagis besar yang beruaya sedikit di atas lapisan termoklin pada siang hari dan
akan beruaya ke lapisan permukaan pada sore hari. Suhu perairan 18- 31oC
disukai oleh ikan tuna madidihang, dengan demikian suhu perairan yang ada di
Laut Seram masih berada dalam kisaran suhu yang di sukai oleh ikan tuna
madidihang (Paillin et al., 2020)
Suhu di suatu perairan merupakan faktor penting bagi kehidupan
organisme, baik dalam aktivitas metabolisme dan menentukan keberadaan serta
penyebaran ikan. Jika suatu perairan dengan penyebaran suhu permukaan laut
optimum antara 29oC-30oC, maka daerah penangkapan ikan tersebut

5
dikategorikan potensial. ukuran ikan tuna madidihang yang dikatakan layak
tangkap adalah ikan tuna yang memiliki bobot ≥ 20 kg karena ukuran tersebut
merupakan ukuran yang pernah memijah sekali. (Paillin et al., 2020)
2.2.3 Alat Tangkap Ikan Tuna Sirip Kuning
Perairan Nusa Tenggara Barat merupakan salah satu lokasi utama
penangkapan ikan tuna untuk bagian Indonesia Timur. Kegiatan penangkapan
ikan pelagis khususnya ikan tuna sirip kuning (Thunnus albacares) berpusat di
Lombok Timur yang berfungsi sebagai fishing base dan tempat pendaratan ikan
hasil tangkapan. Di PPP Labuhan Lombok dapat ditemukan nelayan penangkap
tuna dengan alat tangkap hand line (pancing ulur), troll line (tonda), dan pole and
line (huhate). Alat tangkap pancing ulur lebih khusus digunakan untuk
menangkap ikan tuna besar, salah satunya yaitu ikan tuna sirip kuning (Thunnus
albacares). (Setyaningrum. 2016)
Kapal yang digunakan untuk menangkap ikan tuna sirip kuning (Thunnus
albacares) dengan alat tangkap pancing ulur adalah kapal mandar yang memiliki
ukuran 9-10 GT. Lokasi daerah penangkapan nelayan pancing ulur dibagi
menjadi dua yaitu sebelah utara dan selatan. (Setyaningrum. 2016)
2.3 Ikan Tongkol (Euthynnus affinis)
2.3.1 Tingkah Laku dan Kebiasaan Hidup ikan Tongkol
Beberapa penelitian mengenai tingkah laku ikan terhadap cahaya
menyebutkan bahwa spesies ikan tongkol, teri, tembang, talang-talang, kuweh,
layur, peperek, alu-alu, kerong-kerong, bawal hitam, udang putih, dan cumi-cumi
termasuk dalam spesies yang memiliki sifat fototaksis posistif yang kuat terhadap
cahaya dengan iluminasi tinggi. (Bubun et al., 2015)
Tingkah laku ikan terhadap cahaya lampu di daerah penangkapan ikan
yaitu bergerak mengelilingi cahaya dan cenderung membentuk lingkaran.
kelompok ikan ada yang langsung menuju cahaya dan ada yang tidak, kelompok
ikan datang dari berbagai kedalaman sesuai kedalaman renang masing-masing
spesies. kelompok ikan yang langsung mendekati cahaya umumnya spesies ikan
yang berfototaksis positif terhadap cahaya dan yang tidak langsung mendekati
cahaya umumnya spesies yang mencari makan disekitar cahaya. (Bubun et al.,
2015)
2.3.2 Daerah Penangkapan Ikan Tongkol
terbentuknya daerah penangkapan ikan dengan pemasangan atraktor
cahaya lampu pada malam hari dapat menarik jenis ikan berkumpul di catchable

6
area. Berkumpulnya ikan di catchable area disebabkan pengaruh cahaya
sehingga terjadi proses pemangsaan. (Simbolon et al., 2010 dalam Bubun et al.,
2015)
Proses Terbentuknya Daerah Penangkapan Ikan dengan Menggunakan
Light Fishing. Komposisi spesies ikan yang fototaksis posistif terhadap cahaya
umumnya adalah jenis ikan pelagis seperti cakalang, madidihang, tongkol,
layang, lemuru, teri, kembung, tembang, selar, kuweh, talang-talang dan
lemadang. Interaksi fisik antara spesies dengan light fishing dapat menarik
beberapa spesies yang berasal dari dasar perairan datang mendekati cahaya.
(Bubun et al., 2015)
Interaksi fisik antara spesies dengan cahaya lampu pada unit
penangkapan light fishing memberikan pengaruh secara tidak langsung terhadap
interaksi biologi antara spesies dengan spesies lainnya (Simbolon et al., 2010
dalam Bubun et al., 2015)
2.3.3 Alat Tangkap Ikan Tongkol
Pemilihan alat tangkap mengacu pada tingkah laku jenis ikan dan habitat
dimana ikan berada. Perairan Selatan Jawa yang memiliki industri penangkapan
dari skala masyarakat sampai besar, merupakan perairan laut dalam Samudera
Hindia. Berbagai jenis ikan pelagis besar lainnya menjadi komoditi primadona
hasil tangkap, sehingga nelayan di perairan Selatan Jawa banyak menggunakan
alat tangkap gill net dan long line. (Kholilullah et al., 2018)
Gill net disebut juga jaring insang karena cara tangkapnya di bagian
insang pada mata jaring karena menabrak jaring. Bagian utamanya berupa
selembar jaring yang dilengkapi dengan tali ris atas dan bawah. Ukuran mata
jaring disesuaikan dengan ukuran ikan yang menjadi target tangkapan utama.
Tali ris atas ditambahkan tali berpelampung dan pada tali ris bawah dilengkapi
tali berpemberat (Puspito. 2009 dalam Kholilullah et al., 2018)
Long line dalam bahasa lokal disebut rawai, alat tangkap ini merupakan
alat tangkap yang sederhana yang terbuat dari pancing yang ditambatkan
(diikatkan) pada seutas tali yang panjang dan mata pancing. Long line
digolongkan menjadi dua yaitu long line dasar (set longlines) dan long line hanyut
(drifting longlines). (Kholilullah et al., 2018)

7
BAB III
PENUTUP

3.1 Kesimpulan
Kesimpulan yang dapat di ambil penulis setelah pembuatan makalah ini
yaitu :
1. Ikan tuna mata besar, ikan tuna sirip kuning, dan ikan tongkol
merupakan jenis ikan pelagis besar. Berdasarkan tingkah lakunya,
ikan jenis pelagis besar biasanya hidup di kedalaman 0 – 250 M dan
mampu berenang dengan kecepatan yang tinggi serta
kemampuannya dalam migrasi lintas Samudra.
2. Ikan pelagis besar biasanya menyukai suhu perairan yang hangat dan
biasanya akan melakukan ruaya pada siang hari. Suhu di perairan
merupakan faktor yang penting dalam menentukan keberadaan ikan,
penyebaran ikan, dan daerah penangkapan ikan yg optimal.
3. Pemilihan alat tangkap dalam menangkap ikan pelagis besar
mengacu pada tingkah laku dan kebiasaan ikannya. Habitat dimana
ikan berada juga sangat mempengaruhi dalam penangkapan ikan,
Sebagian besar alat tangkap ikan pelagis besar yaitu long line, gill
net, dan Hand line.
3.2 Saran
1. Melihat bahwa intensitas tangkapan di Indonesia sangat besar, maka dari
itu perlu di pikirkan Kembali mengenai kebijakan dalam menanggulangi
atau mencegah kegiatan overfishing yang ada di lautan Indonesia.
2. Penanganan kasus kasus maritime saat ini masih di nilai kurang optimal
di lihat dari masih banyaknya kapal – kapal asing yang masuk ke laut
Indonesia untuk melakukan illegal fishing. Maka dari itu perlu dio
optimalkan lagi dalam menanggulangi IUU Fishing.

8
DAFTAR PUSTAKA

Bubun RL, Simbulon D, Nurani TW, Wisudo SH. 2015. Terbentuknya Daerah
Penangkapan Ikan Dengan Light Fishing. Jurnal Airaha. 4(1) : 27 – 36.
Burhanis, Bengen DG, Baskoro MS. 2018. Karakter Morfometrik dan Asosiasi
Tuna Sirip Kuning Thunnus albacares dan Tuna Bambulo Gymnosarda
unicolor (Ruppell) di Perairan Simuele, Provinsi Aceh. Jurnal Ilmu dan
Teknologi Kelautan Tropis. 10(2) : 455 – 466.
Kholilulah I, Yusfiandayani R, Koropitan AF. 2018. Sebaran Daerah Tangkap
Ikan Tongkol (Euthynnus sp.) di Perairan Selatan Jawa. Jurnal Teknologi
Perikanan dan Kelautan. 9(2) : 123 – 136.
Paillin JB, Matrutty DPP, Siahainenia SR, Tawari RHS, Talahatu P, Haruna.
2020. Daerah Penangkapan Potensial Tuna Madidihang Thunnus albacares,
Bonnaterre, 1788 (Teleostei:Scombridae) di Laut Seram. Jurnal Kelautan
Tropis. 23(2) : 207 – 216.
Rabby W. 2014. Tingkah Laku Ikan Big Eye Tuna (Thunnus obesus). Finding
Rabbs Way.
Tamarol J, Wuaten JF. 2013. Daerah Penangkapan Ikan Tuna (Thunnus sp.) di
Sangihe, Sulawesi Utara. Jurnal Perikanan dan Kelautan Tropis 9(2) : 54 –
59.

Anda mungkin juga menyukai