Anda di halaman 1dari 23

MADRASAH DINIYAH DAN TRADISI KEAGAMAAN

KAUM SANTRI DI INDONESIA

Diajukan untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah Sejarah Sosial Pendidikan Islam

Dosen Pengampu:

Dr. H. Farid Hasyim, M.Ag

Oleh:

Dimas Prayoga Saputra (17771053)

PROGRAM STUDI MAGISTER PENDIDIKAN AGAMA ISLAM

PASCASARJANA UNIVERSITAS ISLAM NEGERI (UIN)

MAULANA MALIK IBRAHIM MALANG

2018
KATA PENGANTAR

‫بسم اهلل الرمحن الرحيم‬

Segala puji bagi Allah yang telah melimpahkan ni’mat, hidayah, dan inayah-
Nya kepada kita semua sehingga penulis juga dapat menyelesaikan makalah ini tepat
waktu..
Shalawat serta salam tetap kami hadiahkan kepada sang Utusan yang terpilih
yaitu baginda Nabi Muhammad SAW. Yang telah menyempurnakan Akhlak manusia,
sehingga menjadikan agama adalah agama yang Rahmatan Lil Alamin (Rahmat bagi
semua alam).
Selesainya tugas ini tidak lepas dari dukungan dan bantuan banyak pihak,
untuk itu ucapan terima kasih kami sampaikan kepada seluruh pihak yang telah
banyak membantu dalam proses penyusunan makalah yang berjudul ” Madrasah
Diniyah dan Tradisi Keagamaan Kaum Santri di Indonesia” sehingga selesai
tepat pada waktunya.
Terimakasih kami sampaikan khusus kepada Dr. H. Farid Hasyim, M.Ag
selaku dosen pengampu mata kuliah Sejarah Sosial Pendidikan Islam, yang telah
membimbing kami di Pascasarjana UIN Maliki Malang dengan sabar dan ikhlas.
Oleh karena itu, kritik dan saran yang bersifat membangun dari pembaca
sangat penulis harapkan untuk kesempurnaan makalah ini. Akhirul Kalam, semoga
bermanfaat. Amin

Malang, 7 November 2018

Penulis

i
BAB I

PENDAHULUAN

a. Latar Belakang

Madrasah Diniyah adalah lembaga pendidikan yang memberikan pendidikan

dan pengajaran secara klasikal yang bertujuan untuk memberi tambahan pengetahuan

agama Islam kepada pelajar-pelajar yang merasa kurang menerima pelajaran agama

Islam di sekolahannya.

Keberadaan lembaga ini sangat menjamur dimasyarakat karena merupakan

sebuah kebutuhan pendidikan anak-anak pra dewasa. Apalah lagi sudah memiliki

legalitas dari pemerintah melalui perundang-undangannya. Kelegalitasan ini

menuntut Madrasah Diniyah untuk memiliki kurikulum yang mendukung,

keadminitrasian yang mapan serta managemen yang professional.

Kemudian tradisi pesantren sebagai fondasi dan tiang penyangga paling

penting bangunan peradaban indonesia sejak tahun 1200, mulai tahun 1999

meningkatkan perannya dalam pembangunan peradaban indonesia. Sejak tahun 1999

itu para kyai meningkatkan aktivitasnya agar lebih mampu mewarnai perjalanan

sejarah bangsa indonesia ke masa depan.

Dalam makalah ini penulis akan mengupas sedikit tentang seputar madrasah

diniah dan tradisi keagamaan kaum santri di indonesia yang insya Allah akan

membentuk kepercayaan masyarakat terhadap lembaga ini.

2
b. Rumusan Masalah

1. Bagaimanakah Madrasah Diniyah di Indonesia?

2. Bagaimanakah Tradisi Kaum Santri di Indonesia?

c. Tujuan

1. Untuk mengetahui Madrasah Diniyah di Indonesia

2. Untuk mengetahui Tradisi Kaum Santri di Indonesia

3
BAB I

PEMBAHASAN

MADRASAH DINIYAH DAN TRADISI KEAGAMAAN KAUM SANTRI

DI INDONESIA

A. MADRASAH DINIYAH

1. Berdirinya madrasah diniyah

Sebagai sejarah berdirinya pondok pesantren, madrasah diniyah

juga berkembang dari bentuknya yang sederhana, yaitu pengajian di

masjid-masjid, langgar, dan surau. Berawal dari bentuknya yang

sederhana ini berkembang menjadi pondok pesantren. Persinggungannya

dengan sistem madrasi, model pendidikan islam mengenal pola

pendidikan madrasah. Madrasah ini pada mulanya hanya mengajarkan

ilmu-ilmu agama dan bahasa arab. Dan berkembang selanjutnya, sebagian

di madrasah diberikan mata pelajaran umum, dan sebagian lainnya tetap

mengkhususkan diri hanya mengajarkan ilmu-ilmu agama dan bahasa

arab. Madrasah yang hanya mengajarkan ilmu-ilmu agama dan bahasa

arab inilah yang dikenal dengan madrasah diniyah.1

Madrasah Diniyah adalah suatu lembaga pendidikan nonformal

yang mengajarkan tentang nilai-nilai ke-Islaman. Nilai-nilai ke-Islaman

itu tertuang dalam bidang studi yang diajarkannya seperti adanya

pelajaran Fiqih, Tauhid, Akhlaq, Hadist, Tafsir dan pelajaran lainnya yang

tidak diperoleh murid saat belajar di sekolah formal yang bukan


1
Departemen Agama, Pondok Pesantren dan Madrasah Diniyah, Jakarta: Direktorat Jendral
Pembinaan Kelembagaam Agama Islam, Th 2003, hlm. 21

4
madrasah. Jam belajar madrasah ini pun dimulai sore hari antara pukul

14.30 hingga pukul 17.00 dengan tipe peserta didik yang bervariasi

umurnya.2

Madrasah diniyah ini ada yang diselenggarakan di luar pondok

pesantren. Lembaga pendidikan islam yang dikenal dengan nama

madrasah diniyah telah lama ada di Indonesia. Di masa pemerintahan

Hindia Belanda, hampir di semua desa di Indonesia yang penduduknya

mayoritas islam terdapat madrasah diniyah dengan berbagai nama dan

bentuk seperti “Pengajian Anak-Anak’, “Sekolah Kitab”, “Sekolah

Agama” dan lain-lain. Penyelenggaraan madrasah diniyah ini biasanya

mendapatkan bantuan dari raja-raja/sultan setempat.

Setelah Indonesia merdeka, madrasah diniyah terus berkembang

pesat seiring dengan peningkatan kebutuhan pendidikan agama oleh

masyarakat, terutama madrasah diniyah diluar pondok pesatren ini

dilatarbelakangi keinginan masyarakat menambah pendidikan agama di

sekolah yang dianggap memadai. Kesadaran masyarakat terhadap

pentingnya agama, terutama dalam menghadapi tantangan masa kini dan

masa depan, telah mendorong munculnya tingkat kebutuhan

keberagamaan yang semakin tinggi.3

2
Syahr, Zulfia Hanum Alfi. 2016. Membentuk Madrasah Diniyah Sebagai Alternatif Lembaga
Pendidikan Elite Muslim Bagi Masyarakat. Puslitbang Hukum dan Peradilan Mahkamah Agung
RI. Hlm. 394
3
Departemen Agama, Pondok Pesantren dan Madrasah Diniyah, Jakarta: Direktorat Jendral
Pembinaan Kelembagaam Agama Islam, Th 2003, hlm. 21

5
Selain itu, perbedaan Madrasah Diniyah berbeda dengan sekolah

formal Madrasah yaitu, Madrasah Ibtidaiyah, Madrasah Tsanawiyah, dan

Madrasah Aliyah adalah waktu belajar Madrasah Diniyah di luar jam

sekolah dan jumlah mata pelajarannya yang lebih sedikit yang

dikhususkan hanya untuk pelajaran-pelajaran Islam. Sedangkan sekolah

keagamaan dalam bentuk formal yaitu Madrasah Ibtidaiyah, Tsanawiyah

maupun Aliyah memiliki cakupan mata pelajaran yang lebih luas karena

tidak hanya mengajarakn tentang studi-studi Islam sebagaimana di

Madrasah Diniyah tetapi juga memberikan pelajaran umum sebagaimana

sekolah formal biasa, seperti adanya pelajaran IPA (Ilmu Pengetahuan

Alam), IPS (Ilmu Pengetahua Sosial) dan bahasa di kurikulumnya.4

Orang tua yang menyekolahkan anaknya di sekolah umum,

banyak yang merasakan bahwa pendidikan agama disekolah belum cukup

dalam menyiapkan keberagamaan anaknya sampai ke tingkat yang

memadai untuk mengarungi kehidupannya kelak. Berbagai upaya

dilakukan untuk menambah pendidikan agama yang telah diperoleh

disekolah. Salah satunya adalah memasukkan anaknya ke madrasah

diniyah.

Kebutuhan tambahan pendidikan agama ini telah mendorong

peningkatan jumlah diniyah. Hal ini menunjukkan bahwa diniyah

semakin diminati dan dioilih masyarakat, baik untuk menambah

pendidikan agama yang telah diperoleh disekolah umum mauoun untuk


4
Syahr, Zulfia Hanum Alfi. 2016. Membentuk Madrasah Diniyah Sebagai Alternatif Lembaga
Pendidikan Elite Muslim Bagi Masyarakat. Puslitbang Hukum dan Peradilan Mahkamah Agung
RI. Hlm. 394

6
memperdalam dan memperluas pemahaman, penghayatan dan

pengamalanajaran Islam bagi siswa yang hanya menempuh pendidikan

pada diniyah. Saat terdapat 18.662 buah diniyah dengan jumlah siswa

sebanyak 2.204.645. dari jumlah tersebut, sebanyak 6.798 buah diniyah

dengan jumlah siswa sebanyak 297.192 orang yang berada di pondok

pesantrendan sisanya sebanyak 11.864 buah dengan 1.907.453 orang

siswa berada di luar pondok pesantren.5

2. Bentuk-bentuk madrasah diniyah

Pendirian madrasah diniah mempunyai latar belakang

tersendiri, dan kebanyakan didirikan atas usaha perorangan yang semata-

mata untuk ibadah, maka sistem yang digunakan tergantung pada latar

belakang pendiri dan pengasuhnya, sehingga pertumbuhan madrasah

diniyah di Indonesia mengalami demikian banyak ragam dan coraknya.

Sejalan dengan munculnya pembaharuan pendidikan di

Indonesia, dunia pendidikan Islam pun ikut mengadakan pembaharuan.

Beberapa organisasi pendidikan yang menyelenggarakan madrasah

maupun madrasah diniyah, pun ikut berusaha melakukan pembaharuan

madrasah maupun madrasah diniyah. Berbeda dengan pembaharuan di

madrasah yang lebih seragam dan dekat dengan pembaruan di sekolah

umum, pembaharuan di madrasah diniyah masih tetap variatif. Upaya

5
Departemen Agama, Pondok Pesantren dan Madrasah Diniyah, Jakarta: Direktorat Jendral
Pembinaan Kelembagaam Agama Islam, Th 2003, hlm. 21

7
membakukan bentuk diniyah mulai dilakukan sejak tahun 1964, dengan

ditetapkannya peraturan Menteri Agama Nomor: 13 tahun 1964 yang

antara lain dijelaskna sebagai berikut:

a. Madrasah diniyah ialah lembaga pendidikan yang memberikan

pendidikan dan pengajaran secara klasikal dalam pengetahuan agama

Islam kepada pelajar bersama-sama sedikitnya berjumlah 10

(sepuluh) orang atau lebih, di antara anak-anak yang berusia 7

(tujuh) sampai 18 (delapan belas) tahun;

b. Pendidikan dan pengajaran pada madrasah diniyah bertujuan untuk

memberi tambahan pengetahuan agama kepada pelajar-pelajar yang

merasa kurang menerimapelajaran agama di sekolah-sekolah umum;

c. Madrasah Diniyah ada 3 (tiga) tingkatan yakni: diniyah Awaliyah,

Diniyah Wustha, dan diniyah Ulya.

Berdasarkan tingkat tersebut, pada tahun 1983 Menteri Agama

mengeluarkan peraturan nomor 3 Tahun 1983 tentang kurikulum

madarasah diniyah yang membagi madrasah diniyah menjadi 3 tingkatan,

yaitu awaliyah, Wustha dan Ulya.6

menurut Karel A. Steenbrink, madrasah ini (madrasah diniyah

awaliyah, wustho, dan aliyah) dimaksudkan sebagai lembaga yang

disediakan bagi anak-anak yang pada waktu pagi pergi ke sekolah umum.

Menurut Departemen Agama RI, madrasah diniyah adalah satu lembaga

pendidikan keagamaan pada jalur luar sekolah yang diharapkan mampu

6
Departemen Agama, Pondok Pesantren dan Madrasah Diniyah, Jakarta: Direktorat Jendral
Pembinaan Kelembagaam Agama Islam, Th 2003, hlm. 22

8
secara terus menerus memberikan pendidikan agama Islam kepada anak

didik yang tidak terpenuhi pada jalur sekolah yang diberikan melalui

sistem klasikal serta menerapkan jenjang pendidikan7

Walaupun dalam peraturan menteri agama nomor 13 tahun

1964 dinyatakan bahwa madarasah diniyah bertujuan untuk memberi

tambahan pengetahuan agama kepada pelajar-pelajar yang merasa kurang

menerima pelajaran agama di sekolah-sekolah umum, namun

kenyataannya, madrasah diniyah yang berkembang di masyarakat tidak

seluruhnya didirikan untuk tujuan tersebut. Banyak madrasah diniyah

yang didirikan semata-mata didirikan untuk melayani masyarakat yang

ingin memperdalam pengetahuan agama dan bahasa arab, bukan untuk

menambah pendidikan agama yang sudah diperoleh disekolah umum.

Siswa madrasah yang masuk madrasah diniyah ini bukan siswa yang

sedang menempuh pendidikan di sekolah umum. Mereka benar-benar

murni hanya menempuh pendidikan di madrasah diniyah. Madrasah

diniyah model ini pada umumnya berada di dalam atau lingkungan

pondok pesantren, walaupun ada juga yang berada di luar pondok

pesantren.8

3. Pontensi dan Kelemahan Madrasah Diniyah

a. Potensi Madrasah Diniyah

Kekuatan lain yang dimiliki madrasah diniyah adalah

kebebasannya memilih pola, pendekatan, bahkan sistem pembelajaran


7
Kabilah, Madrasah Diniyah Dalam Multi Perspektif, Vol. 2 No. 2 Desember 2017, hal. 254-282
8
Departemen Agama, Pondok Pesantren dan Madrasah Diniyah, Jakarta: Direktorat Jendral
Pembinaan Kelembagaam Agama Islam, Th 2003, hlm. 23

9
yang dipergunakan, tanpa terikat dengan model-model tertentu.

Biasanya pola yang dipilih adalah pendekatan yang dianggap paling

tepat untuk mencapai tujuan atau keinginan masyarakat dalam

menambah ilmu pengetahuan agama dan bahasa arab. Pendekatan

demikian sangat menguntungkan karena sesuai dan lebih dekat

dengan budaya dan lingkungan setempat.

Potensi yang juga diharapkan dapat mendukung

pengembangan madrasah diniyah dimasa-masa mendatang adalah

semakin meningkatnya semangat keberagaman masyarakat. Hal ini

semakin maraknya kehidupan beragama, seperti terekam dalam

berbagai media masa, baik media cetak maupun media elektronik,

semakin meningkatnya semangat membangun masjid atau mushalla,

semakin bertambahnya jama’ah haji.

b. Kelemahan madrasah diniyah

Meskipun jumlah diniyah dan siswanya semakin meningkat

dari tahun ketahun, lembaga pendidikan keagamaan yang berbasis

pada masyarakat ini tidak dapat berkembang secara optimal. Sebagian

besar diniyah adalah lembaga pendidikan yang melayani lapisan

masyarakat yang lemah. Pada umumnya, lembaga pendidikan islam

tersebut berada pada pedesaan atau daerah-daerah terpencil dengan

kondisi ekonomi peserta didik yang rendah. Hal ini di satu sisi

menempatkan diniyah sebagai penyelamat bagi masyarakat dalam

memenuhi kebutuhannya terhadap pendidikan agama, tetapi di sisi

10
lain berkembang dengan sumberdaya pendidikan (SDM, Sarana

Prasarana, Pembiyayaan) yang sangat lemah yang tidak saja

berdampak pada rendahnya kualitas hasil pendidikan, tetapi juga

jaminan kelangsungan hidupnya. Banyak diniyah yang saat

diddirikan cukup bagus perkembangannya ahirnya mati karena

keterbatasan sumberdaya pendidikan.

Permasalahn pokok lainnya walaupun diniyah merupakan

lembaga pendidikan yang secara historis merupakan bagian penting

dalam usaha pencerdasan rakyat dirasakan perhatian negara dan

pemerintah masih rendah. Hal ini tidak saja tampak dalam ketidak

jelasan kedudukan dan pengakuan lulusan diniyah dalam sistem

prundang undangan tentang pendidikan nasional, tetapi juga tampak

pada subtansi pelayanan/ pembinaan. Hal ini tentu kurang

menguntungkan dalam pengembangan fungsinya sebagai bagian dari

upaya pembentukan watak danm kepribadian bangsa.9

4. Tipologi Madrasah Diniyah

Dengan mengacu pada pembagian jalur pendidikan dalam

undang-undang Nomor 2 tahun 1989 tentang sistem pendidikan nasional,

yaitu jalur pendidikan sekolah dan jalur pendidikan luar sekolah,

madrasah diniyah dapat dikelompokkan kedalam kedua jalur tersebut,

karena memang di masyarakat berkembang dua bentuk madrasah diniyah,

salah satunya memenuhi kriteria sebagai satuan pendidikan jalur sekolah,

9
Departemen Agama, Pondok Pesantren dan Madrasah Diniyah, Jakarta: Direktorat Jendral
Pembinaan Kelembagaam Agama Islam, Th 2003, hlm. 24

11
yaitu berjenjang dan berkesinambungan dan lainnya tidak memenuhi

kriteria sebagai satuan pendidikan jalur sekolah, karena tidak berjenjang

atau berjenjang tapi tetapi tidak berkesinambungan.

Dalam kaitannya dengan satuan pendidikan lain, khususnya

sekolah umum dan madrasah, madrasah diniyah dapat dikelompokkan

menjadi 3 tipe, yaitu:

a. Madrasah diniyah wajib, yaitu madrasah diniyah yang menjadi bagian

tak terpisahkan dari sekolah umum atau madrasah. Siswa sekolah

umum atau madrasah yang bersangkutan wajib menjadi siswa

madrasah diniyah. Kelulusan sekolah umum atau madrasah yang

bersangkutan tergantung juga pada kelulusan madrsasah diniyah.

Madrasah diniyah ini disebut juga madrasah diniyah komplemen,

karena sifatnya komplementatif terhadap sekolah umum atau

madrasah.

b. Madrasah diniyah pelengkap, yaitu madrasah diniyah yang diikuti

oleh siswa sekolah umum atau madrasah sebagai upaya menambah

atau melengkapi pengetahuan agama dan bahasa arab yang sudah

mereka peroleh disekolah umum atau madrasah. Berbeda dengan

madrasah diniyah wajib, madrasah diniyah pelengkap ini tidak

menjadi bagian dari sekolah umum atau madrasah, tetapi berdiri

sendiri. Hanya siswanya yang berasal dari sekolah umum atau

madrasah. Madrasah diniyah ini disebut juga madrasah diniyah

12
suplemen, karena sifatnya suplementatif terhadap sekolah umum atau

madrasah.

c. Madrasah diniyah murni, yaitu madrasah diniyah yang siswanya

hanya menempuh pendidikan di madrasah diniyah tersebut, tidak

merangkap disekolah umum maupun madrasah. Madrasah diniyah ini

disebut dengan madrasah diniyah independen, karena bebas dari siswa

yang merangkap disekolah umum atau madrasah.

5. Kurikulum dan metode pembelajaran

Adapun metode pengajarannya, sebenarnya adalah suatu hal yang

setiap kali dapat berkembang dan berubah sesuai dengan penemuan

metode yang lebih efektif dan efisien untuk mengajarkan masing masing

cabang ilmu pengetahuan.10

Madrasah diniyah (MADIN) merupakan lembaga pendidikan

Islam yang secara historis tidak bisa diragukan lagi pengalamannya dalam

mendidik masyarakat Indonesia, terutama umat Islam. Dari segi usia,

MADIN merupakan kelembagaan pendidikan keagamaan Islam yang

cukup matang dalam mengajarkan dan mendidik umat Islam tentang

persoalanpersoalan keagamaan Islam. MADIN menjadi pioner lembaga

pendidikan di Indonesia, karena cikal bakal lembaga pendidikan di

Indonesia diawali dari MADIN. Pada tahap berikutnya, muncul keresahan


10
Dawam Rhardjo, Pesantren dan Perubahan,Indonesia: PT. Pustaka LP3ES. Hlm. 87

13
di sebagian umat Islam, karena madrasah hanya mempelajari ilmu agama

saja, maka memiliki kesan umat Islam mengalami kepincangan dalam

ilmu. Madrasah memiliki image jauh dari modernitas, karena tidak

mempelajari ilmu-ilmu umum yang sedang dibutuhkan jaman.11

Sebagaimana halnya pada pesantren, pengembangan kurikulum

madrasah diniyah pada dasarnya merupakan hak penyelenggara. Oleh

karena itu, tidak ada kurikulum yang seragam untuk madrasah diniyah

untuk madrasah diniyah. Akan tetapi, untuk memudahkan pelayanan dan

pembinaan, Departemen Agama mengembangkan kurikulum

standard/baku untuk ditawarkan sebagai model kurikulum madrasah

diniyah. Pengembangan kurikulum madrasah diniyah oleh departemen

agama ini sudah dilakukan pada tahun 1983 yang membagi madrasah

diniyah menjadi tiga tingkatan: (a) Diniyah Awaliyah; (b) Wustha; (c)

Ulya.

Pengemabangan terakhir kurikulum madrasah diniyah dilakukan

pada tahun 1994, khusus untuk madrasah diniyah awaliyah dan wustha,

dengan menyatukannya dalam satu perangkat, sebagai langkah

penyesuaian dengan kurikulum pendidikan dasar yang ditetapkan sebagai

satu kesatuan. Kurikulum madrasah diniyah yang dikembangkan oleh

departemen agama itu mencakup mata pelajaran agama islam dan bahasa

arab yaitu: Al-Quran, Hadis, Aqidah, Akhlaq, Fiqih, Tarikh/ sejarah

Kebudayaan Islam, dan Bahasa Arab.


11
Dwi istiyani, Eksistensi Madrasah Diniyah (MADIN) sebagai Entitas Kelembagaan Pendidikan
Keagamaan Islam di Indonesia, Edukasia Islamika: Volume 2, Nomor 1, Juni 2017/1438 148

14
Sebagai bagian madrasah yang berupa satuan pendidikan jalur

sekoah, pada umumnya madrasah diniyah menggunakan metode

pembelajaran yang dipergunakan di lembaga formal, baik madrasah

maupun sekolah. Dibeberapa tempat, ada juga madrasah diniyah yang

menggunakan metode pembelajaran sebagaimana dipesantren.

Penggunaan metode pembelajaran di madrasah diniyah ini juga

tergantung dengan tempat dan ketersediaan sarana dan prasarana.

Madrasah diniyah yang dilaksanakan di masjid-masjid, pada umumnya

melaksanakan kegiatan pembelajaran secara bandongan. Madrasah

diniyah yang mempunyai sarana pembelajaran madrasah melaksanakan

pembelajaran secara madrasi.12

6. Masa Pembelajaran dan Ijazah

Madrasah yang berjenjang, ada yang menyelenggarakan dengan

tahapan waktu seperti dimadrasah/ sekolah, enam tiga tiga, ada yang

menyelenggarakan dengan tahapan empat dua dua, empat tahun untuk

awaliyah, dua tahun untuk wustha, dan dua tahub untuk ulya. Pola empat

dua dua ini kelihatannya yang paling banyak dipergunakan. Oleh karena

itu,kurikulum madrasah diniyah yang dikembangkan oleh departemen

agama menggunakan tahapan waktu empat dua dua.

Siswa atau santri yang telah selesai atau dianggap cukup dalam

menerima pendidikan; kepada siswa madrasah diniyah yang telah tamat

juga diberikan ijazah atau surat tanda tamat belajar. Ijazah atau surat

12
Departemen Agama, Pondok Pesantren dan Madrasah Diniyah, Jakarta: Direktorat Jendral
Pembinaan Kelembagaam Agama Islam, Th 2003, hlm. 26

15
tanda tamat belajar pada madrasah diniyah ini merupakan lembaran yang

menunjukkan atau tanda bukti telah selesainya pendidikan seseorang di

suatu perguruan untuk masa pembelajaran tertentu.13

B. TRADISI KEAGAMAAN KAUM SANTRI DI INDONESIA

Pendahuluan Salah satu hasil proses Islamisasi di Jawa yang cukup

penting adalah lahirnya unsur tradisi keagamaan Santri dalam kehidupan

sosio-kultural masyarakat Jawa. Tradisi keagamaan Santri ini bersama dengan

unsur Pesantren dan Kyai telah menjadi inti terbentuknya Tradisi Besar

(Great Tradition) Islam di Jawa, yang pada hakekatnya merupakan hasil

akulturasi antara Islam dan tradisi pra-Islam di Jawa. Selain itu, Islamisasi di

Jawa juga telah melahirkan sebuah tradisi besar Kraton Islam-Jawa, yang

menjadikan keduanya, yaitu tradisi Santri dan tradisi Kraton, sebagai bagian

(subkultur) yang tidak dapat dipisahkan dari kebudayaan Jawa.

Menurut Dr. Soebardi, tradisi yang berkembang dalam lingkungan

pesantren di Jawa ini barang kali merupakan hasil akulturasi kebudayaan

antara dorongan orang jawa untuk mencari hakikat kehidupan dan

kebijaksanaan (Wisdom), dan tradisi islam dimana berkelana mencari ilmu

merupakan ciri utama sistem pendidikan zaman Abbasiyah.14

1. Tradisi Santri Kelana dan Tradisi Berdebat di Pesisir Utara Jawa.

Islam mengajarkan bahwa pelajaran atau kewajiban mencari

ilmu tidak ada ujung ahirnya sebagai akibat dari ajaran ajaran ini maka

salah satu aspek penting dalam sistem pendidikan pesantren ialah tekanan
13
Departemen Agama, Pondok Pesantren dan Madrasah Diniyah, Jakarta: Direktorat Jendral
Pembinaan Kelembagaam Agama Islam, Th 2003, hlm. 51
14
Zamakhsyari Zhofier, Tradisi Pesantren, Jakarta: LP3ES, Th.2015. Hlm. 49

16
pada murid muridnya untuk terus menerus berkelana dari satu pesantren

ke pesantren yang lain. Seorang santri sering kali dikatakan sebagai

Thalib Al-Ilm (seorang pencari ilmu), dengan demikian pengembaraan

merupakan ciri utama kehidupan pengetahuan pesantren dan

menyumbangkan terbangunnya (Homogenitas) sitem pendidikan

pesantren serta merupakan stimulasi bagi kegiatan dan kemajuan ilmu.15

Sumber lokal banyak menceriterakan adanya tradisi Santri

Kelana dan tradisi berdebat di lingkungan Pesantren pada abad ke 16-18.

Keinginan untuk mendapatkan ilmu pengetahuan yang sebanyak-

banyaknya dari guru atau Kyai mendorong para Santri berkelana dari

satu pesantren ke pesantren yang lain.Tradisi berkelana ini selain untuk

mempraktekkan ilmu yang telah diperoleh juga untuk mencari guru atau

Kyai guna melengkapi ilmunya. Kebiasaan mengembara ini telah

berlangsung pada masa kehidupan para wali. Babad menceriterakan

Raden Sahid berkelana dari satu tempat ke tempat lain hampir sepanjang

daerah pesisir utara Jawa, untuk mengejar wejangan gurunya, yaitu

Sunan Bonang. Pada setiap tempat Raden Sahid atau Lokajaya tidak

jarang harus bermukim selama beberapa tahun menuruti perintah

gurunya yaitu bertapa atau tirakat, termasuk bertapa menguburkan diri di

pinggir sebuah kali, sehingga ia disebut Kalijaga. Tradisi santri kelana

semacam ini kemudian menjadi salah satu ciri kehidupan Pesantren di

Jawa pada abad ke 19.

2. Tradisi berdebat di lingkungan pesantren


15
Zamakhsyari Zhofier, Tradisi Pesantren, Jakarta: LP3ES, Th.2015. Hlm. 49

17
Dalam kelas musyawarah, sistem pengajarannya sangat

berbeda dari sistem sorogan dan badongan. Para santri harus

mempelajara kitab-kitab yang ditunjuk dan dirujuk. Kyai memimpin

kelas musyawarah seperti dalam suatu seminar dan lebih banyak dalam

bentuk tanya jawab, biasanya hampir seluruhnya diselenggarakan

berbahasa Arab dan merupakan latihan bagi para siswa untuk menguji

keterampilannya dalam menyadap sumber-sumber argumentasi dalam

kitab-kitab klasik.16

pada hakekatnya telah berlaku pada masa Wali Sembilan.

Perdebatan antara kaum Santri ahli Sunnah wal jamaah atau pembela

Syari’at (ortodoks) di bawah pimpinan Dewan Wali Sembilan pada satu

pihak dan kaum pendukung Panteisme (heterodoks) di bawah Seh Siti

Jenar pada pihak lain, merupakan ciri sosio-kultural-religius di Jawa.

pada abad ke-16. Tradisi pertentangan antara dua golongan tersebut juga

berlanjut pada masa kehidupan santri Seh Among Raga. Demikian juga

tradisi perdebatan berlanjut sampai pada masa kerajaan Kartasura, pada

abad ke 18, sebagaimana yang tercermin dalam peristiwa perdebatan

antara Haji Mutamakin (penganut Ilmu Hakekat) dari desa Cabolek

dengan Ketib Anom Kudus ulama dari Kraton Kartasura (penganut

Syari’at), sebagaiman yang dituturkan oleh Serat Cabolek. Perdebatan itu

dimenangkan oleh golongan penganut Syari’at, sehingga pihak yang

kalah harus menerima hukuman karena dianggap telah melanggar

hukum. Seh Siti Jenar, Seh Among Raga, Sunan Panggung, Ki Bebeluk,
16
Zamakhsyari Zhofier, Tradisi Pesantren, Jakarta: LP3ES, Th.2015. Hlm. 57

18
Seh Among Raga, dan Haji Mutamakin merupakan orang-orang yang

telah dianggap mengajarkan ajaran yang sesat (bid’ah), sehingga harus

berhadapan dengan golongan yang mayoritas dan mantap, yaitu kaum

penguasa pemegang ajaran hukum agama yang “lurus” (ortodoks).yaitu

syari’ at.

3. Tradisi Intelektual Pesantren Pesisiran.

Hasil proses penyebaran Islam di Jawa telah melahirkan

kreativitas intelektual di lingkungan pesantren di Pesisir Utara Jawa pada

sekitar abad ke 16-17, berupa karya-karya pemikiran tasawuf dan mistik

Islam, karya sastra Pesisiran, Seni Arsitektur, Seni Macapat, bahasa

Pasisiran, seni pakaian, seni pewayangan dan dan sistem pendidikan

tradisional Pesantren.

Karya pemikiran teologis yang berorientasi pada ajaran

tasawuf dan mistik Islam seperti yang tertuang dalam karya sastra jenis

Suluk pada hakekatnya merupakan salah satu ciri penting dari karya

intelektual Pesantren, di daerah Pesisiran pada masa kepemimpinan para

Wali di Jawa. Karya arsitektural yang patut dicatat pada masa itu

mencakup arsitektual Mesjid Demak, dan mesjid-mesjid lain yang

sejaman, yang mengambil bentuk gaya arsitektural Islam-Jawa, yaitu

gaya arsitektur campuran antara Islam dan Hindu-Jawa (atap tumpang,

berpintu gaya candi-bentar). Banyak anggapan bahwa para Wali juga

mengembangkan penciptaan seni pewayangan kulit, seni pakaian Jawa-

Islam (ikat kepala, baju “takwa”), seni pembuatan pusaka keris, dan

19
sistem pendidikan keagamaan Pesantren ,serta pengembangan sistem

pemerintahan kesultanan. Apabila diperhatikan maka kesemuanya itu

merupakan hasil interaksi antara Islam dan tradisi Jawa, di Pesisir Jawa

pada masa sekitar abad ke-16.

BAB III

PENUTUP

A. Kesimpulan

20
Madrasah Diniyah adalah suatu lembaga pendidikan nonformal

yang mengajarkan tentang nilai-nilai ke-Islaman. Nilai-nilai ke-Islaman itu

tertuang dalam bidang studi yang diajarkannya seperti adanya pelajaran Fiqih,

Tauhid, Akhlaq, Hadist, Tafsir dan pelajaran lainnya yang tidak diperoleh

murid saat belajar di sekolah formal yang bukan madrasah.

Tradisi Besar Santri yang muncul di Jawa pada abad ke 16

merupakan hasil proses pertemuan antara unsur-unsur budaya Islam dan

budaya Jawa pra-Islam. Santri, Kyai, Pondok, dan Masjid mernjadi inti tradisi

besar Santri yang berperan dalam pembentukan kekuatan sosial, politik dan

kultural masyarakat Islam di Jawa.

Tradisi Besar Santri dapat disebut pula sebagai hasil kreatifitas

masyarakat Jawa dalam menyerap dan mengadaptasi unsur-unsur budaya luar

dengan unsur-unusr budaya yang telah dimiliki sebelumnya. Kemampuan

untuk membentuk baru dari unsur-unsur budaya yang lama dan yang baru

dari luar merupakan ciri kreatifitas masyarakat Jawa dalam menghadapi

dialog budaya. Apabila proses akulturasi, asimilasi, dan sinkretisme pada

masa kehadiran Hinduisme di Jawa telah menghasilkan corak budaya “Hindu-

Jawa”, maka pada masa kehadiran Islam juga telah menghasilkan

terbentuknya subkultur “Islam-Jawa” atau “Jawa-Islam” dalam lingkungan

kebudayaan Jawa.

DAFTAR PUSTAKA

21
Departemen Agama. 2003. Pondok Pesantren dan Madrasah Diniyah

(Pertumbuhan dan Perkembangannya). Jakarta: Direktorat Jendral

Pembinaan Kelembagaam Agama Islam.

Dwi istiyani, Eksistensi Madrasah Diniyah (MADIN) sebagai Entitas

Kelembagaan Pendidikan Keagamaan Islam di Indonesia, Edukasia

Islamika: Volume 2, Nomor 1, Juni 2017/1438 148

Kabilah, Madrasah Diniyah Dalam Multi Perspektif, Vol. 2 No. 2 Desember 2017.

Rhardjo, Dawam. 1974. Pesantren dan Perubahan,Indonesia: PT. Pustaka

LP3ES. Hlm. 87

Syahr, Zulfia Hanum Alfi. 2016. Membentuk Madrasah Diniyah Sebagai

Alternatif Lembaga Pendidikan Elite Muslim Bagi Masyarakat. Intizar,

Vol. 22, No. 2, 393. Puslitbang Hukum dan Peradilan Mahkamah Agung

RI.

Zhofier, Zamakhsyari. Tradisi Pesantren. Jakarta: LP3ES. Th.2015.

22

Anda mungkin juga menyukai