Diskusi 2 Tata Cara Perpajakan
Diskusi 2 Tata Cara Perpajakan
HUKUM BISNIS
Saudara Mahasiswa,
Setelah Anda membaca modul atau sumber bacaan lain yang mendukung materi ini.
Coba Anda diskusikan mengapa di dalam hukum perjanjian menganut sistem terbuka?
Apa Konsekuensi dari adanya sistem terbuka tersebut dan berikan contohnya!
Petunjuk Berdiskusi:
JAWAB:
Perjanjian adalah suatu perbuatan hukum antara dua pihak atau lebih yang saling mengikatkan
dirinya untuk menimbulkan hak dan kewajiban.
Di dalam hukum perjanjian menganut sistem terbuka karena dengan menganut sistem terbuka
maka setiap orang boleh mengadakan perjanjian mengenai apa saja baik yang sudah ada
ketentuannya dalam undang-undang maupun yang belum ada ketentuannya, asalkan tidak
melanggar undang-undang, ketertiban umum dan kesusilaan. Sehingga dapat dikatakan dengan
menganut sistem terbuka, kita boleh atau diberikan kebebasan dalam membuat perjanjian asalkan
tidak melanggar undang-undang. Nah, dalam hal ini berarti sistem terbukanya terkait dengan
kebebasan membuat perjajian, namun kebebasan tersebut tetap dibatasi dengan tidak melanggar
undang-undang. Karena kalau tidak dibatasi dengan undang-undang, maka perjajian yang dibuat
dapat merugikan salah satu pihak.
Apa Konsekuensi dari adanya sistem terbuka tersebut dan berikan contohnya!
Penerapan sistem terbuka di dalam sistem terbuka tentunya memiliki konsekuensi. Nah,
konsekuensi dari adanya sistem terbuka tersebut antara lain:
a. Hukum perjanjian bersikap sebagai hukum pelengkap
Hukum perjanjian bersikap sebagai hukum pelengkap artinya bahwa apabila para pihak yang
membuat perjajian membuat ketentuan sendiri, maka diperbolehkan untuk
mengesampingkan pasal-pasal yang terdapat dalam buku III KUH Perdata. Namun, apabila
para pihak tidak membuat ketentuan sendiri, maka berlakukah ketentuan yang terdapat
dalam buku III KUH Perdata. Selain itu, pasal-pasal dari hukum perjanjian dapat dikatakan
melengkapi perjanjian-perjanjian yang dibuat secara tidak lengkap. Ketidaklengkapan
tersebut dikarenakan biasanya para pihak yang mengadakan suatu perjanjian tidak mengatur
secara terperinci semua persoalan yang bersangkutan dengan perjanjian itu sebab para pihak
hanya menyetujui hal-hal yang pokok saja dengan tidak memikirkan soal-soal lainnya.
Contohnya:
Apabila ada dua pihak melakukan suatu perjanjian terkait sewa menyewa tanah beserta
bangunannya. Misal pihak A sebagai orang yang menyewakan tanah dan bangunannya yang
berupa rumah, sedangkan pihak B sebagai penyewa yang akan menyewa tanah dan
bangunan milik A selama 5 tahun. Nah, dalam perjanjian tersebut hanya menentukan terkait
jangka waktu perjanjian dan pihak mana yang membayarkan pajak bumi dan bangunan atas
tanah dan banguan tersebut.
Namun tidak memiliki ketentuan yang lain, seperti terkait apabila adanya pembatalan
perjanjian. Maka dalam hal ini, pasal-pasal dalam buku III KUH Perdata berlaku. Yaitu
Pasal 1338, yang berbunyi “Semua persetujuan yang dibuat sesuai dengan undang-undang
berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya. Persetujuan itu tidak dapat
ditarik kembali selain dengan kesepakatan kedua belah pihak, atau karena alasan-alasan
yang ditentukan oleh undang-undang. Persetujuan harus dilaksanakan dengan itikad baik.”
Sehingga dari pasal 1338 tersebut kita dapat melihat bahwa perjanjian antara pihak A dan
pihak B tidak dapat dibatalkan oleh salah satu pihak atau harus dengan kesepakatan dari
kedua belah pihak. Kecuali, dalam perjanjian yang dibuat oleh pihak A dan pihak B memuat
ketentuan yang mana salah satu pihak boleh membatalkan perjanjian apabila dikemudian
hari ditemukan kejanggalan dalam perjanjian atau hal-hal lain yang membuat salah satu
pihak merasa dirugikan, maka pasal 1338 buku III KUH Perdata tersebut tidak berlaku.
Sehingga dari contoh tersebut, kita simpulkan bahwa hukum perjajian bersikap sebagai
hukum perlengkap karena melengkapi ketentuan-ketentuan yang tidak dirinci dalam
perjanjian.
b. Hukum perjanjian bersifat konsensuil
Hukum perjanjian juga bersifat konsensuil artinya bahwa perjanjian terjadi sejak saat adanya
kata sepakat di antara para pihak yang melakukan perjanjian. Oleh karena itu, dalam hal ini
perjanjian dapat dibuat secara lisan saja dan dapat juga dalam bentuk tertulis berupa akta
jika dikehendaki sebagai alat bukti.
Contohnya:
- Perjanjian secara lisan, pihak B meminta pihak A untuk mentraktrirnya apabila pihak A
telah diangkat menjadi PNS dan pihak A pun setuju atas permintan pihak B tersebut.
Maka dalam hal ini perjanjian secara lisan tersebut berlaku karena kedua belah sepakat.
- Perjanjian tertulis, misalnya atas perjanjian tersebut, pihak B khawatir jika pihak A lupa
menepati janjinya, maka pihak A bisa membuat perjanjian secara tertulis misal dengan
tulis tangan yang mana menerangkan bahwa ia akan mentraktir B setelah ia diangkat
menjadi PNS dengan dibubuhi tanda tangan kedua belah pihak sebagai sebuah kesepatan
yang sah dan sebagai alat bukti.
Sehingga dari contoh di atas, dapat kita simpulkan bahwa hukum perjanjian bersifat
konsekuil karena perjanjian terjadi saat adanya kata sepakat di antara pihak-pihak yang
melakukan perjanjian.
Selamat berdiskusi.
JAWAB:
Official assessment system (OAS) adalah sistem penetapan pajak yang sepenuhnya tergantung
pada kegiatan oleh administrasi perpajakan atau penetapan pajak secara jabatan oleh Direktorat
Jenderal Pajak (DJP) sebagai institusi pemungut pajak. Sehingga, dalam sistem ini, besarnya
pajak yang terutang ditetapkan sepenuhnya oleh institusi pemungut pajak, sedangkan wajib pajak
bersifat pasif karena hanya menunggu penyampaian utang pajak yang ditetapkan oleh institusi
pemungut pajak.
Dalam official assessment system, paham utang pajak yang dianut adalah paham utang pajak
formal. Yang mana berdasarkan paham utang pajak formal, timbulnya utang pajak yaitu setelah
wajib pajak menerima surat ketetapan pajak (SKP) yang berfungsi sebagai pemberitahuan
besarnya utang pajak pada tahun pajak tertentu yang harus dibayar. Sehingga, tanpa SKP, wajib
pajak belum berkewajiban membayar atau melunasi utang pajaknya karena tidak tahu besarnya
utang pajak.
Adapun alur penetapan pajak dengan cara official assessment system sebagai berikut:
1. Administrasi perpajakan (petugas pajak) akan mendata wajib pajak dan mendaftar wajib
pajak.
2. Kemudian, administrasi perpajakan (petugas pajak) akan mengirimkan surat
pemberitahuan (SPT) kepada wajib pajak untuk diisi oleh wajib pajak. Pengiriman SPT
tersebut dilakukan menjelang akhir tahun pajak sebelum menetapkan pajak. SPT tersebut
berisi informasi tentang besarnya penghasilan wajib pajak, besarnya omzet usaha, biaya
yang dikeluarkan, harta atau asset wajib pajak, utang wajib pajak, dan sebagainya.
3. Berdasarkan informasi yang terdapat di dalam SPT yang diisikan oleh wajib pajak dan
data milik administrasi (jika ada), maka administrasi perpajakan (petugas pajak) akan
menghitung besarnya penghasilan kena pajak.
4. Setelah menentukan besarnya penghasilan kena pajak, administrasi perpajakan (petugas
pajak) akan menghitung besarnya pajak terutang yang kemudian dituangkan dalam surat
ketetapan pajak (SKP) yang memuat nama dan jumlah pajak yang terutang oleh wajib
pajak.
5. Setelah itu, SKP yang terbit kemudian disampaikan kepada wajib pajak.
6. Setelah menerima SKP tersebut, Wajib Pajak berkewajiban untuk membayar atau
melunasi utang pajaknya.
Nah, Surat Ketetapan Pajak (SKP) dalam official assessment system meliputi:
a. Surat Ketetapan Pajak Sementara
SKP sementara tersebut diterbitkan pada awal tahun pajak. Hal tersebut berdasarkan
anggapan bahwa pendapatan wajib pajak pada tahun berjalan sama dengan pendapatan
tahun yang lalu.
b. Surat Ketetapan Pajak Rampung
SKP Rampung diterbitkan setelah tahun pajak berakhir. Dalam SKP rampung,
penghasilan dihitung berdasarkan pendapatan riil yang diterima atau diperoleh wajib
pajak, hasilnya adalah besarnya pajak terutang dikurangkan dengan pajak terutang dalam
SKP sementara.
c. Surat Ketetapan Pajak Tagihan Kemudian
SKP Tagihan Kemudian adalah SKP yang digunakan untuk menagih kekurangan
pemotongan pajak atas gaji para karyawan.
d. Surat Ketetapan Pajak Susulan
SKP Susulan adalah SKP yang diterbitkan apabila terdapat data baru yang belum
terungkap pada waktu menerbitkan SKP rampung.
Self Assessment System (SSA) adalah sistem pemungutan yang memberikan kepercayaan
kepada wajib pajak untuk menghitung, menetapkan besarnya pajak terutang, membayar sendiri
pajak terutang berdasarkan peraturan perundang-undangan perpajakan, serta melaporkan sendiri
kepada administrasi perpajakan. Sehingga, dalam sistem ini, wajib pajak bersifat aktif,
sedangkan peran institusi pemungut pajak hanyalah mengawasi melalui serangkaian tindakan
pengawasan maupun penegakan hukum (pemeriksaan dan penyidikan pajak).
Dalam self assessment systen, falsafah tentang saat timbulnya utang pajak menganut paham
utang pajak material. Yang mana berdasarkan paham utang pajak material, timbulnya utang
pajak adalah ditetapkan oleh undang-undang dan tidak perlu menunggu penerbitan SKP.
Adapun alur penetapan pajak dengan cara self assessment system sebagai berikut:
1. Wajib Pajak (WP) mendaftar, menyampaikan laporan tentang objek dan bukan objek
pajak, dan jumlah pengeluaran.
2. Setelah itu, wajib pajak menghitung jumlah dan menetapkan sendiri jumlah pajak
terutang dengan mengisi dan menyampaikan Surat Pemberitahuan (SPT) disertai
pembayaran atas pajak terutang yang dihitung sendiri.
3. SPT yang disampaikan oleh wajib pajak tersebut merupakan bukti penetapan bukan
media informasi kepada DJP.
4. Apabila penghitungan pajak dalam SPT tidak sesuai dengan peraturan perundang-
undangan perpajakan, maka penghitungan pajak dalam SPT akan dikoreksi, dan
diterbitkan surat ketetapan pajak kurang bayar disertai sanksi administrasi.
5. Apabila penghitungan pajak dalam SPT sesuai, maka SPT yang telah disampaikan oleh
wajib pajak ke Kantor Pelayanan Pajak dijadikan sebagai bukti bahwa wajib pajak telah
melaksanakan self assessment dengan menghitung, menetapkan, dan membayar sendiri
jumlah pajak terutang.
Nah, atas SPT yang disampaikan oleh Wajib Pajak tersebut, DJP dapat menerbitkan Surat
Ketetapan Pajak yang berupa:
a. Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar
Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar adalah surat ketetapan pajak yang menentukan
besarnya jumlah pokok pajak, jumlah kredit pajak, jumlah kekurangan pembayaran
pokok pajak, besarnya sanksi administrasi, dan jumlah pajak yang masih harus dibayar.
b. Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar Tambahan
Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar Tambahan adalah surat ketetapan pajak yang
menentukan tambahan atas jumlah pajak yang telah ditetapkan.
c. Surat Ketetapan Pajak Nihil
Surat Ketetapan Pajak Nihil adalah surat ketetapan pajak yang menentukan jumlah pokok
pajak sama besarnya dengan jumlah kredit pajak atau pajak tidak terutang dan tidak ada
kredit pajak.
e. Surat Ketetapan Pajak Lebih Bayar
Surat Ketetapan Pajak Lebih Bayar adalah surat ketetapan pajak yang menentukan
jumlah kelebihan pembayaran pajak karena jumlah kredit pajak lebih besar daripada
pajak yang terutang atau seharusnya tidak terutang.
1. Perbedaan kriteria Subjek Pajak Dalam Negeri dan Subjek Pajak Luar
Negeri berdasarkan ketentuan UU PPh
2. 4 kewajiban Wajib Pajak (4M)
3. Pemotong PPh Pasal 21/26 menurut ketentuan UU PPh
JAWAB:
1. Perbedaan kriteria Subjek Pajak Dalam Negeri dan Subjek Pajak Luar Negeri
berdasarkan ketentuan UU PPh
Menurut Pasal 2 Undang-undang nomor 36 tahun 2008 tentang Perubahan Keempat atas
Undang-undang Nomor 7 tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan,
Subjek pajak dalam negeri adalah:
a. orang pribadi yang bertempat tinggal di Indonesia, orang pribadi yang berada di
Indonesia lebih dari 183 (seratus delapan puluh tiga) hari dalam jangka waktu 12
(dua belas) bulan, atau orang pribadi yang dalam suatu tahun pajak berada di
Indonesia dan mempunyai niat untuk bertempat tinggal di Indonesia;
b. badan yang didirikan atau bertempat kedudukan di Indonesia, kecuali unit tertentu
dari badan pemerintah yang memenuhi kriteria:
1. pembentukannya berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan;
2. pembiayaannya bersumber dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara atau
Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah;
3. penerimaannya dimasukkan dalam anggaran Pemerintah Pusat atau Pemerintah
Daerah; dan
4. pembukuannya diperiksa oleh aparat pengawasan fungsional negara; dan
c. warisan yang belum terbagi sebagai satu kesatuan menggantikan yang berhak.
Subjek pajak luar negeri adalah:
a. orang pribadi yang tidak bertempat tinggal di Indonesia, orang pribadi yang berada di
Indonesia tidak lebih dari 183 (seratus delapan puluh tiga) hari dalam jangka waktu
12 (dua belas) bulan, dan badan yang tidak didirikan dan tidak bertempat kedudukan
di Indonesia, yang menjalankan usaha atau melakukan kegiatan melalui bentuk usaha
tetap di Indonesia; dan
b. orang pribadi yang tidak bertempat tinggal di Indonesia, orang pribadi yang berada di
Indonesia tidak lebih dari 183 (seratus delapan puluh tiga) hari dalam jangka waktu
12 (dua belas) bulan, dan badan yang tidak didirikan dan tidak bertempat kedudukan
di Indonesia, yang dapat menerima atau memperoleh penghasilan dari Indonesia
tidak dari menjalankan usaha atau melakukan kegiatan melalui bentuk usaha tetap di
Indonesia.
Dari uraian di atas, maka dapat kita simpulkan bahwa perbedaan kriteria Subjek
Pajak Dalam Negeri dan Subjek Pajak Luar Negeri berdasarkan ketentuan UU
PPh, antara lain:
a. Dilihat dari pengenaan pajak penghasilan
Subjek pajak dalam negeri dikenai pajak atas penghasilan baik yang diterima atau
diperoleh dari Indonesia maupun dari luar Indonesia, sedangkan subjek pajak luar
negeri dikenai pajak hanya atas penghasilan yang berasal dari sumber penghasilan di
Indonesia.
b. Dilihat dari dasar pengenaan pajak
Subjek pajak dalam negeri dikenakan pajak berdasarkan penghasilan neto, sedangkan
subjek pajak luar negeri dikenai pajak berdasarkan penghasilan bruto.
c. Dilihat dari tarif pengenaan pajak
Subjek pajak dalam negeri menggunakan tarif umum (berdasarkan Undang-undang
PPh Pasal 17), sedangkan subjek pajak luar negeri menggunakan tarif sepadan
(berdasarkan Undang-udang PPh Pasal 26).
d. Dilihat dari kewajiban menyampaikan SPT
Subjek pajak dalam negeri berkewajiban menyampaikan SPT sebagai sarana untuk
menetapkan pajak yang terutang dalam suatu tahun pajak. Sedangkan subjek pajak
luar negeri tidak menyampaikan SPT Pajak Penghasilan karena kewajiban pajaknya
dipenuhi melalui pemotongan pajak yang bersifat final.
Rasmini, Mas. 2020. Pajak Penghasilan I. Edisi ke-3. Cetakan ke-5. Tangerang Selatan:
Universitas Terbuka.
Undang-undang nomor 36 tahun 2008 tentang Perubahan Keempat atas Undang-undang Nomor
7 tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan
https://www.online-pajak.com/tentang-pajak/subjek-pajak#:~:text=Perbedaan%20subjek
%20pajak%20dalam%20negeri%20dan%20luar%20negeri&text=Subjek%20pajak%20dalam
%20negeri%20dikenai,dari%20sumber%20penghasilan%20di%20Indonesia.
https://www.pajak.go.id/sites/default/files/2019-03/KUP-02%20DHBL_Rev.1.pdf
https://www.pajak.go.id/id/pph-pasal-2126
PDRD
Sebutkanlah pajak yang dipungut dan diadministrasikan oleh pemerintah pusat, tetapi hasil
pemungutannya diberikan kepada pemerintah daerah ! apakah persentase antar daerah yang satu
dengan yang lain sama atau berbeda. Berikanlah alasannya !
Selamat Mengerjakan
- Pajak pusat yang dikelola oleh Direktorat Jenderal Pajak (DJP), tetapi hasil pemungutannya
diserahkan kepada pemerintah daerah adalah sebagai berikut:
1. Pajak Bumi dan Bangunan (PBB);
2. Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan (BPHTB); dan
3. Pajak Penghasilan (PPh) Pasal 25 dan Pasal 29 Wajib Pajak Orang Pribadi Dalam
Negeri dan PPh Pasal 21.
- Pajak pusat yang dikelola oleh Direktorat Jenderal Bea dan Cukai (DJBC), tetapi hasil
pemungutannya diberikan kepada pemerintah daerah adalah Cukai Hasil Tembakau yang
disebut dengan Dana Bagi Hasil Cukai Hasil Tembakau (DHBCHT).
Untuk besaran persentase dana bagi hasil antar daerah berbeda untuk tiap daerahnya.
Dikarenakan pembagian dana bagi hasil atas pajak tersebut dilakukan berdasarkan prinsip by
origin yang artinya daerah penghasil mendapat porsi yang lebih besar dari daerah lain dalam
provinsi tersebut. Kemudian untuk daerah lainnya di dalam provinsi yang sama, mendapatkan
bagian pemerataan dengan porsi tertentu sesuai dengan yang ditetapkan dalam Undang-undang
Nomor 33 tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan
Pemerintahan Daerah untuk dana bagi hasil atas PBB, BPHTB, serta PPh Pasal 25 dan Pasal 29
Wajib Pajak Orang Pribadi Dalam Negeri dan PPh Pasal 21. Kemudian untuk DBHCHT, untuk
daerah lainnya di dalam satu provinsi yang sama mendapatkan bagian pemerataan dengan porsi
tertentu sesuai dengan yang ditetapkan dalam Undang-undang Nomor 39 tahun 2007 tentang
Cukai.
Sumber:
Ismail, Tjip dan Enceng. 2020. Pajak Daerah dan Retribusi Daerah. Edisi ke-4. Cetakan ke-3.
Tangerang Selatan: Universitas Terbuka.
Undang-undang Nomor 33 tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat
dan Pemerintahan Daerah
https://news.ddtc.co.id/apa-itu-dbh-pajak-23988?page_y=1011
AKUNTANSI BIAYA
Coba saudara mahasiswa jelaskan perusahaan yang
seperti apa menggunakan static budget dan perusahaan
yang bagaimana yang menggunakan flexible budget...
PPH III
Rekan Mahasiswa, Anda diminta untuk menguraikan
ketentuan sumber penghasilan berdasarkan UU PPh
Pasal 24 Ayat (3) dan Ayat (4) yang ditentukan dalam
menghitung batas jumlah pajak yang boleh dikreditkan!
Jelaskan dengan bahasa anda sendiri, serta tuliskan
sumber anda menjawab diskusi. Kemiripan jawaban
anda dengan rekan anda akan mempengaruhi
penilaian.
Selamat berdiskusi..!
PPH II
Rekan Mahasiswa silahkan anda diskusikan tentang :
Jelaskan dengan bahasa anda sendiri, serta tuliskan sumber anda menjawab
diskusi. Kemiripan jawaban anda dengan rekan anda akan mempengaruhi
penilaian.
AKUNTANSI MENENGAH
Diskusi 2
Dalam Forum Diskusi ini, rekan-rekan Mahasiswa diminta untuk mendiskusikan hal yang
berkaitan dengan materi Piutang Dagang, sebagai berikut:
Note :
Jangan takut salah dalam menyampaikan pendapat, karena forum diskusi ini akan sangat
membantu pemahaman rekan-rekan mahasiswa terhadap materi yang sedang dipelajari.
Sampaikan pendapat Anda dalam diskusi ini dengan menggunakan bahasa sendiri, karena
itu dapat menggambarkan sejauh mana pemahaman Anda atas materi dimaksud, dan
akan memudahkan Anda dalam memahami materi yang dipelajari.
Apabila dalam menyampaikan pendapat/argument bukan dari hasil pemikiran sendiri, jangan
lupa untuk menyebutkan “sumber”nya.