Berjuang Melawan Mis-Rekognisi, Mal-Distribusi, Dan Mis Representasi: Politik Kewargaan Petani Penggarap Menghadapi Ekspansi Perkebunan Sawit Di Lolak, Kabupaten Bolaang Mongondow
Berjuang Melawan Mis-Rekognisi, Mal-Distribusi, Dan Mis Representasi: Politik Kewargaan Petani Penggarap Menghadapi Ekspansi Perkebunan Sawit Di Lolak, Kabupaten Bolaang Mongondow
M. Taufik Poli
E-mail: taufikpoli0805@gmail.com
ABSTRAK
Indonesia mempunyai sejarah panjang mengenai politik kewargaan. Hal itu setidaknya terlihat dari
artikulasi tindakan politik kewargaan dari berbagai periode sejarah, mulai dari menentang
kolonialisme zaman Hindia-Belanda, berbagai artikulasi politik berdasrkan preferensi ideologi di
masa pasca kemerdekaan, represi dan depolitisasi politik kewargaan masa Orde Baru, hingga
kemunculannya kembali pada masa pasa Orde Baru. Seiring dengan itu, diskursus akademik
mengenai politik kewargaan bermunculan. Politik kewargaan mencoba menganalisa aktivitas politik
warga negara dalam hal politik pengakuan, politik redistribusi, dan politik representasi. Berbagai
penelitian sebelumnya secara spesifik hanya mengkaji salah satu elemen saja di dalam politik
kewargaan, padahal ketiga elemen itu saling mempengaruhi antara satu dan lainnya. Penelitian ini
mencoba mengkaji ketiganya sekaligus. Penelitian ini berfokus untuk menganalisis aktivitas politik
kewargaan para petani penggarap diantara tiga elemen tersebut. Penelitian ini memperlihatkan, di
dalam politik pengakuan, ekspansi perkebunan sawit memunculkan eksklusi budaya dan subordinasi
identitas, sehingga memunculkan kondisi mis-rekognisi. Dalam politik redistribusi, privatisasi lahan
garapan membuat para petani penggarap terisolasi dari sumber daya ekonominya, dan berakibat pada
mal-distribusi. Sedangkan dalam politik representasi, usaha memunculkan representasi formal lewat
kompetisi elektoral mengalami kegagalan dan tak berdaya mentuntaskan masalah, sehingga para
petani penggarap memanfaatkan representasi informal sebagai upaya memperbaiki kondisi mis-
representasi.
Kata Kunci: Politik Pengakuan; Politik Redistribusi; Politik Representasi; Politik Kewargaan;
Ekspansi Pekebunan Sawit; Petani Penggarap.
PENDAHULUAN
METODE PENELITIAN
Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif dengan metode studi kasus (case study).
Penelitian kualitatif adalah jenis penelitian yang bermaksud untuk mengeksplorasi dan
memahami individu-individu atau sekelompok orang yang mengalami masalah-masalah
sosial tertentu (Creswell, 2013). Pendekatan ini dipilih karena mampu mengelaborasi dan
mengeksplorasi secara lebih dalam terhadap sebuah permasalahan sosial tertentu, khususnya
dalam penelitian ini adalah politik kewargaan para petani penggarap dalam menghadapi
ekspansi perkebunan sawit. Penelitian ini menggunakan teknik wawancara dengan memilih
informan yang dapat memberikan informasi dan data yang relevan. Informan terdiri dari
petani penggarap, tokoh adat, serta elemen mahasiswa dan NGO. Data yang di dapat lalu
diolah dan dilakukan reduksi data untuk mendapatkan data-data yang mendukung penelitian
ini.
TINJAUAN TEORITIS
Politik kewargaan selalu memiliki sifat politis. Ia dibentuk dengan serangkaian pertarungan
kekuasaan, persaingan, ketegangan, serta konflik yang melibatkan berbagai aktor, baik itu
elite dominan atau agensi masyarakat sipil. Politik kewargaan juga merupakan perjuangan
merebut hak-hak kewargaan oleh mereka yang tersubordinasi dan termarjinalisasi secara
politik, ekonomi, sosial dan budaya. Sifat politis dari politik kewargaan persis ada pada
serangkaian perjuangan tersebut. Ia dibentuk dan dipraktikan melalui perjuangan politik
(Hiariej & Stokke, 2018).
Politik kewargaan masyarakat umumnya dihadapkan pada kekuatan politik elite
dominan dan serangkaian perangkat kekuasaannya untuk mengatur dan serta mendisiplinkan.
Umumnya mereka berada pada lembaga-lembaga formal dari demokrasi yang memainkan
tata aturan tertentu, dan memutuskan mana yang sesuai dan mana yang tidak sesuai. Maka
dari itu, politik kewargaan merupakan perjuangan melawan kekuasaan yang secara politik
masyarakat tidak direpresentasikan olehnya, secara ekonomi tidak terjadi distribusi yang adil,
dan secara kultural mengeksklusi kelompok tertentu. Dengan demikian, tinjauan teoritik
mengenai politik kewargaan yang akan didiskusikan di sini adalah mengenai perjuangan-
perjuangan masyarakat untuk representasi politik (politics of representation), politik
redistribusi (politics of redistribution), dan politik pengakuang (politics of recognition) (lihat
Fraser, 1995; Fraser, 2009; Fraser & Olson, 2008; Stokke, 2017).
Pemahaman yang paling umum tentang kewargaan adalah soal status keanggotaan
masyarakat di dalam sebuah komunitas. Keanggotaan tersebut menjadi basis formal seorang
warga negara beserta hak-hak dan partisipasinya. Sebagaimana digambarkan Aristoteles,
Athena sebagai negara-kota atau polis di Yunani pada masa itu hanya mengakomodir orang-
orang yang dianggap sebagai warga negara untuk berpartisipasi di rapat-rapat umum.
Sedangkan para budak, narapidana, orang asing, serta perempuan bukan bagian dari warga
negara. Dengan demikian mereka tidak berhak untuk berpartisipasi di dalam polis. Dalam hal
ini, warga negara secara status legalnya turut serta menentukan hak dan partisipasi aktif
warga negara tersebut. Namun, status legal tersebut bukan menjadi penentu tunggal dalam
mendefinisikan politik kewargaan.
Seperti telah disinggung sebelumnya, politik kewargaan tidak datang dari ruang
kosong atau terberi begitu saja (given). Melainkan ia berkaitan dengan kapasitas agensi para
aktor yang bertarung kuasa dan kepentingan dalam ruang politik yang beragam. Dengan
demikian, ia selalu kontekstual dan tidak menjadi model yang absolut dan statis. Sebagai
contoh, pertarungan politik untuk memperebutkan sumber daya di dalam konteks wilayah
tertentu yang mengeksklusi masyarakat akan turut serta hadir sebagai faktor pembentuk
politik kewargaan masyarakat tersebut. Pertarungan politik yang memarjinalisasi masyarakat
itu akan membentuk pola politik kewargaan masyarakat dalam hal memperjuangkan hak-hak
politik, ekonomi, dan budaya mereka. Dengan kata lain, hal itu muncul akibat kesadaran
masyarakat yang menilai pertarungan yang terus-menerus itu tidak berpihak pada mereka dan
tidak mendatangkan manfaat.
Kajian tentang kewargaan yang terkenal datang dari T. H Marshall (1950) yang
menganalisa bagaimana kewargaan berlangsung secara historis melalui gerak evolutif di
Inggris yang pada awalnya dari perjuangan hak-hak sipil, hak-hak politik, dan kemudian hak-
hak sosial (Marshall, 1950). Hak-hak sipil berkaitan dengan hak untuk keamanan, privasi
individu, hak untuk keadilan, hak atas properti pribadi, hak untuk bebas berpikir, berbicara,
beragama, pers dan hak lainnya yang terkait. Hak-hak politik berkaitan dengan partisipasi
dalam arena publik, terlibat dalam proses politik, hak memilih dan dipilih, membangun
organisasi dan partai politik, dan hak untuk mengekspresikan protes dan perlawanan.
Sedangkan hak-hak sosial berkaitan dengan hak untuk kesejahteraan seperti jaminan
kesehatan dan pensiun, hak memiliki kesempatan terhadap pendidikan dan pekerjaan, dan
hak redistribusi dan kompensasi seperti kompensasi pendapatan rendah dan pengangguran.
Perkembangan evolusioner ini merupakan proses inklusi dari kelas-kelas sosial yang
berbeda yang secara bertahap terinstitusionalisasi melalaui tata aturan dan regulasi yang
kemudian mengikat antara negra dan warga negara. Perkembangan kewargaan ini juga
diberengi dengan tegangan antara kapitalisme disatu sisi dan politik kelas di sisi yang lain.
Yang pertama sifatnya dominatif dan regulatif, sementara yang kedua selalu berusaha
memperluas hak-hak dan partisipasi kewargaannya.
“Contohnya kasus PT. Melisa di Poigar. Izin sawit itu digugurkan oleh pejabat Bupati,
Pemkab Bolmong digugat dan harus bayar ganti rugi Rp.6 miliar” (keterangan Yasti yang
dikutip Tribun Manado, 22 Agustus 2019).
1
Vedi R. Hadiz (2003) mengatakan bahwa “neo-institusinalisme sendiri dapat didefinisikan sebagai sebuah
aliran pemikiran pembangunan yang bermaksud menjelaskan sejarah, keberadaan, dan fungsi dari berbagai
macam institusi (pemerintah, hukum, pasar, keluarga dan sebagainya) berdasarkan asumsi-asumsi teori
ekonomi neoliberal. Dalam pengertian tersebut, neo-institusionalisme merupakan suatu varian dari ortodoksi
neoliberal yang begitu berpengaruh dalam berbagai pemerintahan, badan pembangunan internasional,
penentu kebijakan, dan sebagian besar komunitas ilmu pengetahuan sosial—khusunya saat ilmu ekonomi
mainstream semakin diserap dalam berbagai ilmu pengetahuan sosial lainnya. (Lihat Vedi R. Hadiz (2003).
Desentralisation and Democracy in Indonesia A Critique of Neo-Institusionalist Perspectives. Southeast Asia
Research Centre Working Paper Series. City University of Hongkong: No. 47, Mei 2003.
perjuangan para petani penggarap, di mana sebelum ada ekspansi perkebunan sawit oleh PT.
ASI, mereka telah membangun kesepakatan dengan perusahaan sebelumnya, yakni PT.
Mongondow Indah (PT. MI) yang menanam kelapa-dalam, agar lahan miliknya bisa dipinjam
untuk digarap. Kesepakatan para petani penggarap dengan PT. MI yakni para petani
penggarap diperbolehkan untuk melaksanakan aktivitas pertaniannya dengan sistem tumpang
sari, di mana dalam area perkebunan kelapa dalam milik PT. MI, petani penggarap
diperbolehkan menanam dengan catatan tidak menganggu dan merampas aset perusahaan.
Kesepakatan tersebut terus dipatuhi oleh petani penggarap, dan setiap panen tiba, Tumoyo’
sebagai tradisi bertani masyarakat lokal tetap dilaksanakan tanpa ada potongan dari PT.
Mongondow Indah. Hingga akhirnya pada tahun 2013 petani penggarap mengetahui bahwa
lahan garapannya akan dialih fungsikan menjadi perkebunan sawit oleh PT. ASI yang
memegang HGU seluas 609,91 hektar. Berdasarkan keterangannya:
“Kami membuat surat untuk bermohon kepada PT. Mongondow Indah untuk membuka
lahan [garapan] di sana, tapi jawabannya tetap bertahan [tidak bisa], sehingga kami undang
dewan untuk turun lapangan, dua kali turun dewan di lokasi, yang pertama periksa lapangan,
yang kedua pertemuan di kantor Camat. Nanti yang kedua kalinya baru PT. Mongondow
Indah membolehkan masyarakat berkebun di situ. Dengan catatan, pihak PT. Mongondow
Indah tidak meminta imbalan, tetapi sepersekian keuntungan dari hasil panen di kasih ke
pemerintah desa untuk diserahkan ke rumah-rumah ibadah, dan tidak boleh merusak apa-apa
yang menjadi hak dari perusahaan”. (Wawancara: M. K. Mokodompit sebagai petani dan
tokoh adat. 26 April 2021).
Ekspansi modal perkebunan kelapa sawit yang telah menjauhkan petani penggarap
dari akses terhadap sumber daya ekonominya kemudian memunculkan sentimen politik yang
berangkat dari refleksi mereka terhadap eksklusi yang terjadi. Dengan kata lain, sentimen
politik itu distimulasi oleh fakta adanya marginalisasi petani penggarap akibat ekspansi
perkebunan sawit yang merampas perekonomian dan mengeksklusi identitas kulturalnya.
Perasaan tereksklusi ini muncul dalam bentuk sentimen politik di mana pemerintah daerah di
Sulawesi Utara menurut mereka tidak memberikan perhatian kepada para petani penggarap
yang pada umumnya adalah etnis Bolaang Mongondow. Perlu diketahui bahwa, konstelasi
politik di Sulawesi Utara di dominasi oleh etnis Minahasa sebagai etnis dominan yang
mengisi posisi-posisi strategis di dalam pemerintahan sebagai elite. Etnis Bolaang
Mongondow merupakan sebagian kecil dari pada bermacam-macam etnis yang ada di
Sulawesi Utara, misalnya Sangir Talaud, Gorontalo, Tionghoa, dan seterusnya. Dengan
konteks sosial-politik seperti itu, sentimen politik yang mencuat dari suku Bolaang
Mongondow akibat menghadapi ketidakadilan, dapat dibaca sebagai fenomena mis-rekognisi,
atau tidak adanya pengakuan sebagai sebuah identitas yang menjadi bagian dari nation-state.
Sentimen politik yang mencuat tersebut merupakan konsekuensi dari terisoloasinya mereka
dari arena ekonmi dan politik, sehingga memunculkan rasa ketidakadilan. Lewat refleksi
mereka terhadap keadaan ekonomi dan politik, bahwa ketidakadilan yang mereka hadapi
mempunyai kaitannya dengan posisi identitas kultural mereka yang subordinat. Walaupun
begitu, mereka tidak menaru sinisme apalagi kebencian terhadap dominasi suku lain: “Kalau
dilihat dalam skala provinsi, biasa-biasa saja [tidak ada pertentangan], rukun-rukun saja.
Yang terpenting kesamaan itu harus ada”. (Wawancara M.K. Mokodompit, 26 April 2021).
Fenemona tersebut akan diperjelas oleh fakta bahwa tidak hadirnya aktor-aktor
politik yang merepresentasikan identitas kultural mereka. Dalam setiap pemilihan Gubernur
secara langsung, belum ada di dalam sejarah politik Sulawesi Utara bahwa aktor politik yang
mewakili identitas Bolaang Mongondow terpilih menjadi Gubernur. Sehan Lanjar, politisi
Partai Amanat Nasional (PAN) dan mantan Bupati Bolaang Mongondow Timur harus puas
dengan kekalahan saat menjadi wakil dari Christiany Eugenia Paruntu dari Partai Golongan
Karya (Golkar) saat bertarung di dalam pemilihan Gubernur 2020. Kehadiran Sehan yang
mencerminkan representasi identitas kultural dari suku Bolaang Mongondow merupakan
fenomena yang tidak biasa, di mana politisi yang berasal dari daerah Bolaang Mongondow
yang bertarung di dalam pemilihan Gubernur dengan percaya diri sangat jarang terjadi. Yang
menarik adalah, di dalam lokasi penelitian ini, yakni di Kecamatan Lolak, Pasangan
incumbent Olly Dondokambey dan Steven Kandouw kalah dalam pemilihan Gubernur 2021.
Hal ini dapat dipahami sebagai fenomena di mana masyarakat Lolak yang mengalami
ekspansi perkebunan sawit, secara demokratis melalui sarana pemilihan umum “melawan”
pemerintah yang direpresentasikan oleh incumbent yang dianggapnya telah memberikan
bentuk ketidakadilan dengan memberikan jalan masuknya perkebunan sawit. Mereka
memilih pasangan yang merepresentasikan identitas kultural dengan harapan bisa menjadi
solusi atas permasalahan yang dihadapi. Menurut mereka, Kabupaten Bolaang Mongondow
(secara lebih luas adalah Bolaang Mongondow Raya) 2 masih menjadi “halaman belakang”
dari Sulawesi Utara karena keterbelakangan pembangunan. Kalaupun ada, pembangunannya
justru mengeksklusi masyarakat, setidaknya dalam kasus ekspansi perkebunan sawit yang
dialami petani penggarap di Kecamatan Lolak.
Dalam penelitian ini, ada beberapa pilihan penyelesaian ketidakadilan yang
terungkap setelah menganalisa bagaimana ekspansi perkebunan sawit memunculkan eksklusi
bukan saja dalam hal ekonomi, tetapi juga budaya, yang kemudian memunculkan sentimen
politik yang dikarekterisasi oleh identitas kultural. Pertama adalah bentuk penyelesaian
ketidakadilan secara afirmatif yakni, (1) dibutuhkannya pengakuan terhadap eksistensi
identitas kultural beserta tradisinya yang bebas dari kooptasi modal, (2) perlunya kesempatan
yang setara dalam aktivitas politik dan posisi politik yang saling menguntungkan tanpa ada
satu pihak yang tersubordinasi, dan (3) memperjuangkan secara demokratis untuk
menghadirkan representasi politik yang mewakili identitas kulturalnya. Sedangkan yang
kedua adalah bentuk penyelesaian secara transformatif, di mana ditemukan adanya suatu
keinginan untuk menjadi daerah otonomi baru dengan membentuk provinsi sendiri, yakni
Bolaang Mongondow Raya yang dianggap sebagai sebuah solusi dari berbagai ketidakadilan.
Tetapi perlu digaris bawahi bahwa keinginan masyarakat akan daerah otonomi baru ini belum
tentu menyelesaikan permasalahan mis-rekognisi yang sifatnya structural akibat akumulasi
modal. Sementara itu, keinginan mereka juga belum bisa dikatakan sebagai keinginan
2
Bolaang Mongondow Raya merujuk pada kabupaten-kabupaten yang masih merupakan satu kesukuan, yakni
Kabupaten Bolaang Mongondow, Kabupaten Bolaang Mongondow Timur, Bolaang Mongondow Selatan,
Kabupaten Bolaang Mongondow Utara, dan Kota Kotamobagu.
mayoritas masyarakat Bolaang Mongondow Raya karena hal tersebut masih harus dilakukan
pembuktian.
“Rumah ini dibuat dari hasil berkebun. Sedangkan orang yang tidak dapat membeli motor
bisa membeli motor hanya karena berkebun. Kami berkebun di lahan itu ada sekitaran tiga
ratus kepala keluarga, dalam satu hektar kami dapat menyewa enam orang. Kalau tiga ratus
kepala keluarga itu masing-masing pakai enam orang, berapa [lahan pekerjaan] yang kami
buka di situ”. (Wawancara: Maaruf Paputungan, 26 April 2021).
Jelas bahwa, ekspansi perkebunan sawit sebagai bentuk privatisasi lahan garapan
produktif para petani penggarap mengisolasi mereka dari akses terhadap perekonomian yang
selama ini sudah banyak membantu kehidupan masyarakat.
Dalam setiap kasus di mana perusahaan masuk sebagai bentuk dari investasi, hampir
selalu membawa wacana pembukaan lapangan kerja sebagai daya tarik. Tetapi dalam kasus
ini, petani penggarap justru sudah melakukan pembukaan lapangan kerja dengan jumlah
ribuan, di mana hal tersebut justru dikelola berdasarkan prinsip solidaritas antara sesama
masyarakat dan petani dengan dan tanpa logika akumulasi modal a la kapitalisme. Logika
perusahaan yang menawari lapangan kerja dengan bayaran tetap perbulan berbanding terbalik
dengan yang selama ini telah mereka lakukan, di mana mereka memperkejakan antara
sesamanya, dan keuntungan dari hasil panen justru lebih menguntungkan dari tawaran
perusahaan. Setidaknya ada 23.125,75 hektar areal kebun kelapa-dalam di Kabupaten
Bolaang Mongondow menurut data Dinas Perkebunan setempat pada 2016, dengan hasil
panen 29.021,29 ton dari areal tersebut. Dari luasan itu, rata-rata tiap tahun petani dalam satu
kecamatan dapat memanen 1.351,16 ton. Lolak, di mana merupakan daerah ekspansi
perkebunan sawit dari PT. ASI, merupakan salah satu Kecamatan di Bolaang Mongondow
yang menghasilkan kelapa sebagai komoditas utama dibidang pertanian. Angka di atas
barulah satu jenis tanaman saja, sedangkan para petani penggarap sering menanam tanaman
bulanan seperti jagung dengan metode tumpang sari, di mana luasan dan hasilnya juga sangat
menguntungkan bagi mereka—hal di mana metode tumpang sari itu tidak bisa dilakukan
dengan tanaman kelapa sawit.
Bentuk ketidakadilan seperti privatisasi lahan garapan oleh perusahaan perkebunan
sawit memunculkan politik kewargaan petani penggarap sebagai upaya penyelesaian
ketidakadilan. Secara afirmatif, mereka menentang upaya privatisasi tersebut dengan saluran-
saluran yang demokratis. Mereka membangun jaringan formal maupun informal yang
tujuannya adalah untuk mencari kemungkinan-kemungkinan penyelesaian masalah, baik itu
melakukan lobi-lobi dengan aktor-aktor negara dalam sistem politik formal, ataupun
membangun jejaring dengan kelas menengah masyarakat sipil yang bergerak secara informal.
Dalam tindakan-tindakan politik kewargaan mereka, tercatat bahwa jalur-jalur formal yang
mereka andalkan berbasis pada relasi patronase antara mereka dan aktor-aktor negara. Relasi
patronase tersebut dilakukan dengan koneksi dengan mereka yang mempunyai akses dan
hubungan yang baik dengan Bupati. Salah satu narasumber yang diwawancara menuturkan
bahwa dirinya beberapa kali dipanggil oleh Bupati Yasti S. Mokoagow disaat sedang pulang
dari lahan garapan untuk berbicara permasalahan perkebunan sawit tersebut. Tetapi
menurutnya, hal itu selalu tidak membuahkan sebuah penyelesaian masalah yang konkret.
Selain itu, jejaring informal seperti berelasi dengan aktivis-aktivis yang berpusat di Manado
menjadi jalur alternatif politik kewargaan mereka untuk menyelesaikan ketidakadilan secara
afirmatif. Para aktivis membantu dalam hal advokasi dan kampanye media, yang dalam kasus
ini, para petani penggarap merasa sangat terbantu dengan kontribusi mereka. Berjejraing
dengan aktivis lingkungan, hak asasi manusia dan demokrasi, serta elemen mahasiswa
membuat mereka semua bersama-sama mencari bentuk politik kewargaan yang dirasa akan
efektif sebagai bagian dari penyelesain masalah. Koalisi antara petani penggarap dan para
aktivis ini beberapa kali melakukan aktivitas politik kewargaan seperti aksi massa, atau
dengar pendapat dengan pemerintah.
Sedangkan pilihan penyelesaian ketidakadilan secara transformatif tercermin dari upaya
pembangkangan para petani penggarap dengan tetap melaksanakan aktivitas pertanian di
lahan yang telah di klaim oleh perusahaan. Intimidasi dan ancaman kriminalisasi sering
mereka alami akibat upaya pembangkangan ini. Salah satu petani menuturkan: “kapanpun
kami petani bisa di usir dari lahan garapan. Kami sudah disurati oleh perusahaan [PT. ASI]
untuk segera angkat kaki dari lahan setelah lebaran, tapi kami tetap bertani karena ini
pilihan”. (Wawancara: Ludin Paputungan, 26 April 2021). Pilihan pembangkangan tersebut
mereka pilih dengan menyadari berbagai resiko yang mungkin bisa mereka terima.
Privatisasi lahan garapan ini telah mengisolasi petani penggarap dari akses terhadap
perekonomian. Struktur ekonomi politik yang membuat mereka tereksklusi dari lahan
garapan merupakan faktor di mana bentuk ketidakadilan itu dirasakan. Dengan struktur
ekonomi politik yang memarginalisasi dan mengeksklusi para petani penggarap itu pada
akhirnya tidak menciptakan redistribusi ekonomi, melainkan mal-distribusi: yakni lahan
garapan sebagai sarana produksi kolektif diprivatisasi untuk kepentingan akumulasi modal
swasta, di mana hal tersebut didukung oleh berbagai kekuatan yang oleh Hall, Hirsch, dan Li
(2020) disebut sebagai kuasa eksklusi (power of exclusion).
POLITIK REPRESENTASI: DARI MIS-REPRESENTASI POLITIK FORMAL KE
REPRESENTASI POLITIK INFORMAL
Dalam aktivitas politik kewargaan, partisipasi merupakan faktor penting untuk mewujudkan
kewargaan aktif (active citizenship). Penekanan pada kewargaan aktif ini berarti bahwa
proses untuk menjadi seorang warga negara tidak semata-mata sebagai isu identitas, status
legal, dan hak, tetapi lebih dari itu yakni menjadi bagian dan terlibat aktif di dalam komunitas
warga negara (Stokke, 2018). Selain itu, keterlibatan aktif di dalam urusan-urusan publik
secara setara merupakan faktor yang penting bagi pemajuan demokrasi (Beetham, 1999). Ada
dua model keterlibatan warga untuk berpartisipasi, yakni model partisipatoris yang
menekankan pada keterlibatan langsung warga negara terhadap pengawasan urusan publik,
dan model representasi yang didasarkan pada keterlibatan wakil-wakil masyarakat dalam
urusan dan kontrol publik yang diamanatkan oleh masyarakat itu sendiri.
Politik representasi (politics of representation) berkaitan dengan perjuangan politik
warga negara untuk menghadirkan representasi politik dan bepartisipasi dalam urusan-urusan
publik. Politik representasi muncul akibat adanya mis-representasi sebagai bentuk
ketidakadilan politik. Mis-representasi tersebut terjadi ketika wakil-wakil politik masyarakat
baik itu dalam sistem politik formal terisolasi dari masyarakat itu sendiri.
Dalam penelitian ini diketahui bahwa ada dua model perjuangan politik representasi
para petani penggarap dalam kaitannya untuk mencari jalan penyelesaian ketidakadilan. Yang
pertama yakni secara formal lewat upaya memenangkan “putra daerah” di dalam kompetisi
elektoral, dan yang kedua yaitu secara informal dengan membangun jaringan dengan aktor-
aktor pro-demokrasi yang bergerak di arena masyarakat sipil, seperti NGO, aktivis
lingkungan, dan elemen gerakan mahasiswa.
Hadirnya figur daerah seperti Sehan Lanjar (calon wakil Gubernur mendampingi
Christiany Eugenia Paruntu sebagai calon Gubernur) dalam pemilihan calon Gubernur dan
Wakil Gubernur Sulawesi Utara pada pilkada 2020 memunculkan sebuah harapan akan
kemungkinan representasi politik yang memiliki kesamaan asal-usul identitas daerah. Sehan
Lanjar merupakan figur politisi yang populis yang menarik perhatian masyarakat Bolaang
Mongondow. Sehan unggul di Kecamatan Lolak tetapi kalah di level Kabupaten dan
Provinsi. Lewat aktivitas politik elektoral ini, dapat diamati bahwa perjuangan akan
representasi politik masyarakat dipejuangkan dengan menempuh proses elektoral. Khususnya
oleh petani penggarap, di mana proses elektoral tersebut diharapkan menjadi pintu masuk
untuk memperbaiki representasi politik.
Kekalahan Sehan pada dasarnya memeperlihatkan bahwa sebenarnya cara-cara
perjuangan politik secara formal untuk mendapatkan representasi politik tersebut masih tidak
memiliki kekuatan yang cukup untuk menghadirkan representasi yang diinginkan. Hal ini
karena masih adanya fragmentasi politik masyarakat di dalam Pilkada. Fragmentasi itu
mempengaruhi agenda-agenda strategis untuk mencari jalan keluar ketiadakadilan dari
ekspansi perkebunan sawit. Masih banyak masyarakat yang belum memiliki sebuah
kesepemahaman soal bagaimana ekspansi perkebunan sawit tersebut mempengaruhi segi-segi
kehidupan masyarakat, khususnya para petani penggarap, dan bagaimana perjuangan itu
dibawa dalam suatu representasi politik formal dengan harapan untuk mendukung agenda
perjuangan. Tetapi, saluran representasi politik formal ini bukanlah sebuah jaminan akan
tuntasnya permasalahan. Seperti misalnya, Gubernur terpilih yang juga merupakan
incumbent, Olly Dondokambey, beberapa kali menyampaikan kepada media bahwa dirinya
adalah orang yang menolak perkebunan sawit. Sebagai gubernur terpilih yang juga menolak
perkebunan sawit, hal itu tidak serta merta menyelesaikan permasalahan. Faktanya sampai
saat ini ia tidak memiliki kemampuan untuk menghentikan izin opereasi perkebunan sawit
tersebut. Jadi dalam hal ini, selain masyarakat yang tidak memiliki kekuatan yang cukup
untuk memiliki representasi politik secara formal dengan berbagai kekurangannya, juga
bahwa saluran elektoral ini tidak menjamin tuntasnya permasalahan.
Langkah-langkah strategis lain tetap dibangun oleh para petani penggarap dalam
kaitannya dengan aktivitas politik kewargaan ntuk menghadirkan representasi. Selain secara
formal seperti yang didiskusikan di atas, aktivitas politik kewargaan mereka juga di lakukan
dengan membangun jejaring dengan aktor-aktor pro-demokrasi yang bergerak di arena
masyarakat sipil. Di dalam berbagai studi mengenai aktor-aktor pro-demokrasi, entitas ini
adalah syarat penting bagi kebermaknaan demokrasi (Budiman & Törnquist, 2001; Priyono,
et. All, 2007; Samadhi & Warouw, 2009; Savirani & Törnquist, 2016). Agar bisa bermakna,
hak maupun institusi demokrasi tidak sekedar harus ada, tetapi berjalan dengan baik
(Törnquist, 2005).
Hadirnya kelompok mahasiswa seperti Kerukunan Pelajar Mahasiswa Kecamatan
Lolak (KPMKL) sangat membantu dalam tugas-tugas advokasi petani penggarap. Dalam
aktivitasnya, kelompok ini menjadi salah satu motor penggerak yang melibatkan para petani
dalam aktivitas politik kewargaan. Mereka bertugas untuk mengorganisir petani untuk
berpartisipasi secara langsung di dalam kontrol publik terkait ekspansi perkebunan sawit.
Ketika isu ekspansi perkebunan sawit di daerhanya ini mengemuka, mahasiswa anggota
KPMKL yang sedang melaksanakan studi di kota-kota studi seperti Manado, Tondano, dan
Gorontalo, secara responsif langsung mengkonsolidasikan diri untuk membentuk aliansi yang
menolak ekspansi ini. Dengan berjejaring sesama mahasiswa di luar KPMKL yang juga
berasal dari Bolaang Mongondow, KPMKL membentuk Aliansi Mahasiswa Bolaang
Mongondow Raya (AMBOR) yang menhimpun elemen mahasiswa dan petani penggarap.
Dalam aktivitasnya, aliansi ini memilih strategi politik kewargaan seperti aksi massa sebagai
arena partisipasi politiknya. Tercatat pula bahwa, aliansi inilah yang pertama kali melakukan
protes ekstra parlementer untuk menolak hadirnya perkebunan sawit di daerahnya. Tanggal
22 Oktober 2018, mereka bersama para petani penggarap mendatangi kantor Bupati Bolaang
Mongondow untuk menyampaikan protes dan penolakkan. Dalam kesempatan itu, massa aksi
tidak mendapatkan kejelasan sikap dari pemerintah Kabupaten apalagi soal pemberhentian
operasi perkebunan sawit milik PT. ASI.
Sebagai kalangan terdidik dari universitas, KPMKL menjadi ujung tombak untuk
menyusun langkah-langkah strategis dan merancang bentuk pergerakan yang efektif. Selain
itu, mereka juga bertugas untuk menghimpun berbagai data-data seperti regulasi yang akan
menjadi acuan pergerakannya:
“Masyarakat menyerahkan kepada kami soal bagaimana agar supaya perusahaan itu dapat
berhenti beroperasi. Hanya saja, kami terkendala soal data-data. Kami berusaha melakukan
kesepakatan-kesepakatan dengan mereka [pemerintah dan perusahaan] yang tujuannya
melindungi hak masyarakat [petani penggarap]”. (Wawancara: Aditya Nantuju sebagai aktivis
KPMKL, 26 April 2021).
Pada tanggal 08 Agustus 2019, koalisi masyarakat sipil dan petani penggarap
melakukan aksi massa untuk menuntut pencabutan izin usaha perkebunan sawit milik PT.
ASI. Mereka menyasar lembaga-lembaga negara seperti Kepolisian Daerah Sulawesi Utara
yang anggota-anggotanya kerap kali mengintimidasi para petani di lahan garapan, lalu kantor
DPRD Provinsi untuk meminta dibuatnya pansus mengenai masalah ini, serta kantor
Gubernur untuk menagih janji Gubernur atas penolakkannya terhadap perkebunan sawit.
Semua bentuk aktivitas politik kewargaa para petani penggarap, baik secara formal
lewat kompetisi elektoral memenangkan putra daerah, ataupun secara informal dengan
membangun koalisi bersama dengan elemen masyarakat sipil, dapat dilihat sebagai upaya
mereka dalam menghadirkan representasi politik. Penelitian ini menunjukkan bahwa,
perjuangan merebut representasi politik secara informal dengan membangun koalisi yang
inklusif dengan berbagai elemen masyarakat sipil sebagai aktor demokrasi adalah jalan yang
lebih bisa diandalkan dan sangat membantu. Sedangkan upaya menghadirkan representasi
politik secara formal lewat kompetisi elektoral tidak berhasil dan belum tentu akan
menghadirkan jalan bagi upaya penyelesaian ketidakadilan. Sekalipun begitu, kedua jalan
yang dipilih tersebut sama-sama masih belum bisa menuntaskan permasalahan.
Dari pembahasan di atas, kita dapat petakan bagiaman aksi afirmatif maupun
transformatif berkaitan dengan aktivitas politik kewargaan petani penggarap dalam hal
menghadirkan representasi politik. Yang pertama, secara afirmatif, upaya-upaya yang
ditempuh dalam politik representasi ini adalah (1) melakukan upaya untuk memenangkan
putra daerah sebagai figur representatif di dalam sistem politik formal, dan (2) secara
prosedural dengan meminta membentuk pansus kepada anggota DPRD Provinsi untuk
menyelesaikan masalah tersebut. Sedangkan yang kedua yakni secara transformatif, mereka
berkoalisi dengan dengan berbagai elemen masyarakat sipil yang mempunyai kesamaan sikap
untuk menolak ekspansi perkebunan sawit sebagai arena partisipasi langsung dan juga
sebagai representasi politik alternatif.
Jelas bahwa, petani penggarap tidak memiliki representasi politik (mis-representasi) di
dalam sistem politik formal yang dapat diandalkan yang dibuktikan dengan gagalnya
menghadirkan figur representasi politik lewat kompetisi elektoral, relasi patronase dengan
pejabat yang tidak bisa menjamin menyelesaikan masalah, hingga pasifnya wakil-wakil
pemerintah daerah dalam menyelesaikan masalah. Sedangkan representasi alternatif lewat
jejaring masyarakat sipil untuk berpartisipasi langsung dalam urusannya dengan ekspansi
perkebunan sawit dalam hal ini lebih banyak membantu untuk menghadirkan representasi
politik sebagai bagian dari perjuangan politik representasi (politics of representation) akibat
suatu keadaan mis-representasi. Representasi alternatif ini yang justru lebih diandalkan dan
relatif lebih membantu ketimbang menggantungkan harapan terhadap representasi formal.
KESIMPULAN
Ada beberapa hal yang dapat disimpulkan dalam penelitian ini berkaitan dengan pola
aktivitas politik kewargaan para petani penggarap di dalam perjuangan politik pengakuan
(politics of recognition), politik redistribusi (politics of redistribution), dan politik
representasi (politics of representation). Yang pertama adalah di dalam politik pengakuan,
terjadi eksklusi identitas kultural (mis-rekognisi) akibat ekspansi perkebunan sawit yang pada
akhirnya memunculkan sentimen politik berbasis identitas yang dapat dibaca dengan adanya
keinginan para petani penggarap untuk membentuk daerah otonom pemerintahan baru
sebagai pilihan penyelesaian ketidakadilan secara transformatif. Selain itu langkah-langkah
afirmatif untuk menyelesaikan ketidakadilan juga dipilih.
Yang kedua, di dalam politik redistribusi, struktur ekonomi politik dan penetrasi
kapitalisme yang merubah status lahan dari lahan kolektif menjadi lahan privat membuat para
petani penggarap kehilangan lahan garapan dan terisolasi dari sumber daya ekonominya
(mal-distribusi). Hal tersebut membuat mereka mengambil langkah-langkah afirmatif
maupun transformatif untuk menyelesaikan ketidakadilan. Yang ketiga, pada politik
representasi (politics of representasi), para petani penggarap tidak memiliki representasi
(mis-representasi) yang bisa diandalkan. Hal ini dapat dilihat dari gagalnya figur representatif
yang mereka perjuangkan dalam kompetisi elektoral, dan pasifnya pemerintahan daerah
sebagai figur representasi formal untuk menuntaskan permasalahan. Representasi politik
informal seperti jejaring masyarakat sipil dalam hal ini menjadi pilihan, serta diambilnya
langkah-langkah afirmatif maupun transformatif untuk menyelesaikan ketidakadilan.
DAFTAR PUSTAKA
Beetham, David. 1999. Democracy and Human Rights. Cambridge: Polity Press.
Budiman, Arief. Olleh Törnquist. 2001. Aktor Demokrasi: Catatan Tentang Gerakan
Perlawanan di Indonesia. Jakarta: Institut Studi Arus Informasi (ISAI).
Creswell, John W. 2013. Reasearch Design: Pendekatan Kualitatif, Kuantitatif, dan Mixed.
Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Fraser, N. K. Olson. (ed.) 2003. Adding Insult to Injury: Nancy Fraser Debates Her Critics.
London: Verso.
Fraser, N. 2009. Scales of Justice: Reimagining Political Space in a Globalizing World. New
York: Columbia University Press.
Gastaldi, Magherita. David Jurdhus-Lier. Debi Prabawati. 2018. Pekerja Rumah Tangga,
Perjuangan Kewargaan, dan Identitas Kolektif di Indonesia. Di dalam Eric Hiariej dan
K. Stokke. (ed.) 2018. Politik Kewargaan di Indonesia. Jakarta: Yayasan Pustaka Obor
Indonesia.
Hadiz, Vedi R. Dan R. Robison. 2013. The Political Economy of Oligarchy and The
Reorganizing Power in Indonesia. Indonesia: 96: 35-57.
Hadiz, Vedi R. 2002. Kapitalisme, Kekuasaan Oligarkis dan Negara di Indonesia. Dalam
Vedi R. Hadiz. 2005. Dinamika Kekuasaan: Ekonomi Politik Indonesia Pasca-
Soeharto. Jakarta: LP3ES.
Hiariej, Eric. K. Stokke. (ed.) 2018. Politik Kewargaan di Indonesia. Jakarta: Yayasan
Pustaka Obor Indonesia.
Hiariej, Eric. Olle Törnquist. 2018. Politik Indonesia dan Kewargaan dalam Perspektif
Sejarah. Dalam Eric Hiariej dan K. Stokke. (ed.) 2018. Politik Kewargaan di Indonesia.
Jakarta: Yayasan Pustaka Obor Indonesia. 57-88.
Hieariej, Eric. Frans de Jalong. Dana Hasibuan. Ayu Diasti Rahmawati. 2018. Islamisme
Pascafundamentalis dan Politik Kewargaan di Indonesia. Di dalam Eric Hiariej dan K.
Stokke. (ed.) 2018. Politik Kewargaan di Indonesia. Jakarta: Yayasan Pustaka Obor
Indonesia.
Hall, Derek. Philip Hirsch. Tania Murray Li. 2020. Kuasa Eksklusi: Dilema Pertanahan di
Asia Tenggara. Yogyakarta: INSISTPress.
Lister, R. 2002. Sexual Citizenship. Dalam E. F. Isin dan B. S. Turner (ed.) Handbook of
Citizenship Studies. London: Sage. Hlm 191-207.
Marshall, T. H. 1992. Citizenship and Social Class. Dalam T. H. Marshall dan T. Bottomore
(ed). Citizenship and Social Class, 3-51. London: Pluto.
Mundayat, Aris Arif. AE Priyono. 2009. Rekomendasi: Blok Politik Demokratis. Dalam
Willy Purna Samadhi, Nicolaas Warouw. (ed.) 2009. Demokrasi di Atas Pasir:
Kemajuan dan Kemunduran Demokratisasi di Indonesia. Yogyakarta: PCD Press.
Priyono, AE. Willy Purna Samadhi. Olle Törnquist, dkk. 2005. Menjadikan Demokrasi
Bermakna: Masalah dan Pilihan di Indonesia. Jakarta: Demos.
Robison, R. Dan Vedi R. Hadiz. 2004. Reorganizing Power in Indonesia: The Politics of
Oligarchy in Age of Markets. London: Routledge.
Samadhi, Willy Purna. Nicolaas Warouw. (ed.) 2009. Demokrasi di Atas Pasir: Kemajuan
dan Kemunduran Demokratisasi di Indonesia. Yogyakarta: PCD Press.
Samadhi, Willy Purna. 2016. Blok Poltik Kesejahtraan: Merebut Kembali Demokrasi.
Yogyakarta: Polgov UGM.
Savirani, Amalinda. Olle Törquist. 2016. Reclaiming the State: Mengatasi Problem
Demokrasi Indonesia Pasca-Soeharto. Yogyakarta: PolGov & PCDPress.
Silitonga, Banget. (ed.) 2012. Kratos Minus Demos: Demokrasi Indonesia, Catatan dari
Bawah. Jakarta: Yayason Obor Indonesia.
Stokke, Kristian. (2018). Politik Kewargaan: Kerangka analisis. Di dalam Eric Hiariej dan K.
Stokke. (ed.) 2018. Politik Kewargaan di Indonesia. Jakarta: Yayasan Pustaka Obor
Indonesia.
Subono, Nur Imam. 2012. Dari Civil Society ke Blok Politik Demokratik. Dalam Benget
Silitonga (ed.) Kratos Minus Demos: Demokrasi Indonesia, Catatan dari Bawah.
Jakarta: Yayason Obor Indonesia. Hlm 283-307.
Törnquist, Olle. 2005. Menilai Demokrasi Indonesia dari Bawah. Dalam AE Priyono. Willy
Purna Samadhi. Olle Törnquist, dkk. 2005. Menjadikan Demokrasi Bermakna:
Masalah dan Pilihan di Indonesia. Jakarta: Demos.
Wahyono, Effendi. 2008. Minahasa dalam Jaringan Perdagangan Kopra di Hindia Belanda
1900-1941. Di dalam Djoko Marihandono, (ed.) 2008. Titik Balik: Historiograffi di
Indonesia. Jakarta: Wedatama Widya Sastra.
Young, I. M. 1998. Polity and Difference: A Critique of The Ideal of Universal Citizenship.
Dalam G. Shafir (ed.) The Citizenship Debates. Minneapolis: University of Minneasota
Press. Hlm 263-290.