Anda di halaman 1dari 23

BERJUANG MELAWAN MIS-REKOGNISI, MAL-DISTRIBUSI, DAN MIS-

REPRESENTASI: POLITIK KEWARGAAN PETANI PENGGARAP MENGHADAPI


EKSPANSI PERKEBUNAN SAWIT DI LOLAK, KABUPATEN BOLAANG
MONGONDOW

M. Taufik Poli
E-mail: taufikpoli0805@gmail.com

ABSTRAK

Indonesia mempunyai sejarah panjang mengenai politik kewargaan. Hal itu setidaknya terlihat dari
artikulasi tindakan politik kewargaan dari berbagai periode sejarah, mulai dari menentang
kolonialisme zaman Hindia-Belanda, berbagai artikulasi politik berdasrkan preferensi ideologi di
masa pasca kemerdekaan, represi dan depolitisasi politik kewargaan masa Orde Baru, hingga
kemunculannya kembali pada masa pasa Orde Baru. Seiring dengan itu, diskursus akademik
mengenai politik kewargaan bermunculan. Politik kewargaan mencoba menganalisa aktivitas politik
warga negara dalam hal politik pengakuan, politik redistribusi, dan politik representasi. Berbagai
penelitian sebelumnya secara spesifik hanya mengkaji salah satu elemen saja di dalam politik
kewargaan, padahal ketiga elemen itu saling mempengaruhi antara satu dan lainnya. Penelitian ini
mencoba mengkaji ketiganya sekaligus. Penelitian ini berfokus untuk menganalisis aktivitas politik
kewargaan para petani penggarap diantara tiga elemen tersebut. Penelitian ini memperlihatkan, di
dalam politik pengakuan, ekspansi perkebunan sawit memunculkan eksklusi budaya dan subordinasi
identitas, sehingga memunculkan kondisi mis-rekognisi. Dalam politik redistribusi, privatisasi lahan
garapan membuat para petani penggarap terisolasi dari sumber daya ekonominya, dan berakibat pada
mal-distribusi. Sedangkan dalam politik representasi, usaha memunculkan representasi formal lewat
kompetisi elektoral mengalami kegagalan dan tak berdaya mentuntaskan masalah, sehingga para
petani penggarap memanfaatkan representasi informal sebagai upaya memperbaiki kondisi mis-
representasi.

Kata Kunci: Politik Pengakuan; Politik Redistribusi; Politik Representasi; Politik Kewargaan;
Ekspansi Pekebunan Sawit; Petani Penggarap.

PENDAHULUAN

Di Indonesia, politik kewargaan (citizenship politics) bukan hanya sekedar diskursus


akademik di antara sarjana politik, tetapi merupakan fenomena yang sudah memiliki preseden
sejarah sebelumnya. Bisa dibilang, sejarah Indonesia dibentuk dari artikulasi politik
kewargaan masyarakatnya dalam hal menuntut akan adanya distribusi ekonomi yang baik,
pengakuan sebagai bagian dari komunitas bangsa, dan sebagai bagian dari entitas politik yang
berhak mendapat ruang partisipasi. Politik kewargaan di Indonesia dapat kita analisa dengan
melihat Indonesia di era Hindia-Belanda, di mana para tokoh-tokoh pergerakan nasional
merngartikulasikan politik kewargaan dalam hal melawan ketidakadilan ekonomi, eksklusi
dalam bentuk rasial, serta perlawanan politik terhadap kolonisasi Hindia-Belanda. Dalam
periode sejarah Indonesia selanjutnya, politik kewargaan dapat diamati dengan melihat
kehidupan politik pasca kemerdekaan yang ditandai dengan pergolakan berbagai macam
spektrum politik yang menuntut berbagai hal. Kalangan komunis misalnya, menuntut akan
adanya distribusi ekonomi yang baik dengan program reforma agraria, kalangan Islam politik
yang diwakili oleh DI/TII yang menuntut sebuah bentuk negara berbasis syariat Islam.
Sedangkan pada masa Orde Baru, bisa dikatakan adalah masa di mana politik kewargaan itu
mengalami represi dan penundukan akibat negara Orde Baru yang memiliki kekuasaan yang
sangat tersentralisasi, serta dominasi peran militer tidak hanya dalam hal kemanan, tetapi juga
ekonomi dan politik. Hingga di akhir 90-an, protes-protes dari kalangan intelektual, NGO
kelas menengah, dan mahasiswa menjadi penanda kebangkitan politik kewargaan yang
berujung pada jatuhnya Soeharto dari kekuasaan. Periode pasca Orde Baru yang ditandai
dengan agenda demokratisasi membuka ruang yang lebih luas akan suatu bentuk artikulasi
politik kewargaan. Di era ini politik kewargaan tumbuh subur dengan kemunculan berbagai
elemen masyarakat sipil yang dengan agendanya masing-masing diberbagai sektor.
Studi mengenai politik kewargaan di Indoensia belakangan mulai berkembang seiring
dengan munculnya permasalahan yang terjadi di tengah kehidupan masyarakat dalam ranah
politik, ekonomi, dan budaya. Ketiga ranah ini tidak terpisah, melainkan memiliki keterkaitan
antara satu dan lainnya (Hiariej & Stokke, 2018; Klinklen & Berenschot, 2016). Studi politik
kewargaan berguna untuk melihat aktivitas politik warga dari bawah, yakni tindakan
artikulatif warga negara dalam upaya-upaya menyelesaikan ketidakadilan yang dihadapinya.
Ketidakadilan itu bisa muncul dalam beberapa ranah, misalnya dalam ranah ekonomi dengan
adanya mal-distribusi, dalam ranah politik dengan adanya mis-representasi, dan pada ranah
kebudayaan identitas dan keyakinan tercermin dengan adanya mis-rekognisi. Semua itu
adalah bentuk-bentuk ketidakadilan yang di mana lewat aktivitas politik kewargaan, hal itu
menjadi perjuangan untuk diselesaikan, baik itu secara afirmatif, ataupun transformatif.
Era pasca Orde Baru yang ditandai dengan upaya demokratisasi memunculkan
beragai masalah yang mengiringinya. Agenda pertumbuhan ekonomi yang coba dicanangkan
di era ini tidak banyak memberikan distribusi yang adil bagi warga negara. Lebih jauh, ia
malah memunculkan efek dari proses tersebut, yakni dalam penelitian ini dicerminkan
dengan adanya privatisasi lahan garapan oleh swasta yang menandai terjadinya proses
liberalisasi ekonomi. Hal ini, selain menjauhkan para petani penggarap dari sumber ekonomi,
juga mengeksklusi kebudayaan dan tradisi. Ketidakberhasilan representasi politik formal
dalam menyelesaikan permasalahan mengenai hilangnya lahan garapan petani penggarap
akibat ekspansi perkebunan perusahaan sawit membuat para petani penggarap lebih
menggantungkan nasibnya pada representasi informal seperti NGO kekas menengah, aktivis
lingkungan, dan aliansi mahasiswa.
Penelitian ini berfokus pada politik kewargaan petani penggarap dalam menghadapi
ekpansi perkebunan sawit. Beberapa hal yang akan dianalisa dalam penelitian ini yakni
politik kewargaan petani penggarap dalam kaitannya dengan politik pengakuan (politics of
recognition), politik redistribusi (politics of redistribution), dan politik representasi (politics
of representation). Beberapa penelitian mengenai politik kewargaan di Indonesia sebelumnya
hanya secara spesifik menganalisa satu elemen saja dari politik kewargaan, sehingga pola
interkoneksi antara tiga elemen tersebut kurang tersingkap. Dengan meneliti ketiga elemen
tersebut, penelitian ini memperlihatkan bahwa interkoneksi antara ketiga elemen dalam
politik kewargaan itu sangat mempengaruhi antara satu dan lainnya. Penelitian ini juga akan
melihat tindakan-tindakan politik kewargaan para petani penggarap untuk menyelesaikan
ketidakadilan yang dihadapi dengan dua klasifikasi yaitu: secara afirmatif dan transformatif.
Dengan demikian, pertanyaan yang hendak dijawab dalam penelitian ini yakni:
bagaimana pola aktivitas politik kewargaan para petani penggarap di dalam perjuangannya
atas politik pengakuan identitas kebudayaan (politics of recognition), politik redistribusi atas
hak ekonomi (politics of redistribution), dan politik representasi (politics of representation)
dalam menghadapi ekspansi perkebunan sawit, serta langkah-langkah seperti apa yang
mereka ambil sebagai jalan penyelesaian ketidakadilan.

METODE PENELITIAN
Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif dengan metode studi kasus (case study).
Penelitian kualitatif adalah jenis penelitian yang bermaksud untuk mengeksplorasi dan
memahami individu-individu atau sekelompok orang yang mengalami masalah-masalah
sosial tertentu (Creswell, 2013). Pendekatan ini dipilih karena mampu mengelaborasi dan
mengeksplorasi secara lebih dalam terhadap sebuah permasalahan sosial tertentu, khususnya
dalam penelitian ini adalah politik kewargaan para petani penggarap dalam menghadapi
ekspansi perkebunan sawit. Penelitian ini menggunakan teknik wawancara dengan memilih
informan yang dapat memberikan informasi dan data yang relevan. Informan terdiri dari
petani penggarap, tokoh adat, serta elemen mahasiswa dan NGO. Data yang di dapat lalu
diolah dan dilakukan reduksi data untuk mendapatkan data-data yang mendukung penelitian
ini.

TINJAUAN TEORITIS

Politik kewargaan selalu memiliki sifat politis. Ia dibentuk dengan serangkaian pertarungan
kekuasaan, persaingan, ketegangan, serta konflik yang melibatkan berbagai aktor, baik itu
elite dominan atau agensi masyarakat sipil. Politik kewargaan juga merupakan perjuangan
merebut hak-hak kewargaan oleh mereka yang tersubordinasi dan termarjinalisasi secara
politik, ekonomi, sosial dan budaya. Sifat politis dari politik kewargaan persis ada pada
serangkaian perjuangan tersebut. Ia dibentuk dan dipraktikan melalui perjuangan politik
(Hiariej & Stokke, 2018).
Politik kewargaan masyarakat umumnya dihadapkan pada kekuatan politik elite
dominan dan serangkaian perangkat kekuasaannya untuk mengatur dan serta mendisiplinkan.
Umumnya mereka berada pada lembaga-lembaga formal dari demokrasi yang memainkan
tata aturan tertentu, dan memutuskan mana yang sesuai dan mana yang tidak sesuai. Maka
dari itu, politik kewargaan merupakan perjuangan melawan kekuasaan yang secara politik
masyarakat tidak direpresentasikan olehnya, secara ekonomi tidak terjadi distribusi yang adil,
dan secara kultural mengeksklusi kelompok tertentu. Dengan demikian, tinjauan teoritik
mengenai politik kewargaan yang akan didiskusikan di sini adalah mengenai perjuangan-
perjuangan masyarakat untuk representasi politik (politics of representation), politik
redistribusi (politics of redistribution), dan politik pengakuang (politics of recognition) (lihat
Fraser, 1995; Fraser, 2009; Fraser & Olson, 2008; Stokke, 2017).
Pemahaman yang paling umum tentang kewargaan adalah soal status keanggotaan
masyarakat di dalam sebuah komunitas. Keanggotaan tersebut menjadi basis formal seorang
warga negara beserta hak-hak dan partisipasinya. Sebagaimana digambarkan Aristoteles,
Athena sebagai negara-kota atau polis di Yunani pada masa itu hanya mengakomodir orang-
orang yang dianggap sebagai warga negara untuk berpartisipasi di rapat-rapat umum.
Sedangkan para budak, narapidana, orang asing, serta perempuan bukan bagian dari warga
negara. Dengan demikian mereka tidak berhak untuk berpartisipasi di dalam polis. Dalam hal
ini, warga negara secara status legalnya turut serta menentukan hak dan partisipasi aktif
warga negara tersebut. Namun, status legal tersebut bukan menjadi penentu tunggal dalam
mendefinisikan politik kewargaan.
Seperti telah disinggung sebelumnya, politik kewargaan tidak datang dari ruang
kosong atau terberi begitu saja (given). Melainkan ia berkaitan dengan kapasitas agensi para
aktor yang bertarung kuasa dan kepentingan dalam ruang politik yang beragam. Dengan
demikian, ia selalu kontekstual dan tidak menjadi model yang absolut dan statis. Sebagai
contoh, pertarungan politik untuk memperebutkan sumber daya di dalam konteks wilayah
tertentu yang mengeksklusi masyarakat akan turut serta hadir sebagai faktor pembentuk
politik kewargaan masyarakat tersebut. Pertarungan politik yang memarjinalisasi masyarakat
itu akan membentuk pola politik kewargaan masyarakat dalam hal memperjuangkan hak-hak
politik, ekonomi, dan budaya mereka. Dengan kata lain, hal itu muncul akibat kesadaran
masyarakat yang menilai pertarungan yang terus-menerus itu tidak berpihak pada mereka dan
tidak mendatangkan manfaat.
Kajian tentang kewargaan yang terkenal datang dari T. H Marshall (1950) yang
menganalisa bagaimana kewargaan berlangsung secara historis melalui gerak evolutif di
Inggris yang pada awalnya dari perjuangan hak-hak sipil, hak-hak politik, dan kemudian hak-
hak sosial (Marshall, 1950). Hak-hak sipil berkaitan dengan hak untuk keamanan, privasi
individu, hak untuk keadilan, hak atas properti pribadi, hak untuk bebas berpikir, berbicara,
beragama, pers dan hak lainnya yang terkait. Hak-hak politik berkaitan dengan partisipasi
dalam arena publik, terlibat dalam proses politik, hak memilih dan dipilih, membangun
organisasi dan partai politik, dan hak untuk mengekspresikan protes dan perlawanan.
Sedangkan hak-hak sosial berkaitan dengan hak untuk kesejahteraan seperti jaminan
kesehatan dan pensiun, hak memiliki kesempatan terhadap pendidikan dan pekerjaan, dan
hak redistribusi dan kompensasi seperti kompensasi pendapatan rendah dan pengangguran.
Perkembangan evolusioner ini merupakan proses inklusi dari kelas-kelas sosial yang
berbeda yang secara bertahap terinstitusionalisasi melalaui tata aturan dan regulasi yang
kemudian mengikat antara negra dan warga negara. Perkembangan kewargaan ini juga
diberengi dengan tegangan antara kapitalisme disatu sisi dan politik kelas di sisi yang lain.
Yang pertama sifatnya dominatif dan regulatif, sementara yang kedua selalu berusaha
memperluas hak-hak dan partisipasi kewargaannya.

Kewargaan Sebagai Keanggotaan, Status Legal, Hak, dan Partisipasi


Stokke (2018) membagi kewargaan modern ke dalam empat dimensi yang saling
terkait: keanggotaan, status legal, hak, dan partisipasi. Keanggotaan dan status legal terkait
dengan inklusi kultural dalam komunitas tertentu dan aspek yuridisnya. Sedangkan hak dan
partisipasi berkaitan dengan kepemilikan atas berbagai hak dan penerimaan atas kewajiban
yang muncul akibat proses inklusi tersebut
Kewargaan sebagai keanggotaan menekankan bahwa yang medasari kewargaan
didasarkan pada sebuah upaya pembedaan antara yang di dalam komunitas, dan yang berada
di luar komunitas. Prasyarat dan kriteria seseorang dikatakan sebagai warga negara
ditentukan oleh komunitas tersebut. Dengan demikian, hal ini berkaitan dengan ruang dan
waktu yang sepsifik. Makna kewargaan sebagai keanggotaan juga terletak pada keanggotaan
dalam sebuah bangsa yang diasumsikan dibatasi oleh teritori, homogen, dan stabil.
Setelah warga negara berada dalam komunitas bangsa tertentu, negara kemudian
menerapkan status legal. Dengan demikian, kewargaan sebagai status legal adalah
konsekuensi dari terinklusinya masyarakat dalam sebuah bangsa yang kemudian secara
definitif warga negara dilihat dari aspek yuridisnya. Status legal ini memunculkan hubungan
kontraktual (social contract) antara hak dan kewajiban. Menurut Stokke (2018), kewargaan
dalam konteks ini bisa ditentukan dengan kewargaan orang tua (ius sanguinis), atau
berdasarkan tempat seorang dilahirkan (ius soli). Dalam hal lain, kewargaan juga dapat
diberikan melalui proses pernikahan seseorang (ius matrimoni) atau telah tinggal di suatu
teritori tertentu dalam beberapa periode (ius domicili). Kewargaan sebagai hak adalah
serangkaian hak yang berhubungan dengan status keanggotaan di suatu komunitas tertentu
dan kewargaannya secara formal. Ketika Marhall menjabarkan rangkaian evolutifnya tentang
hak, ia banyak dikritik karena menyajikan perkembangan kewargaan Inggris yang
evolusioner dan menjadikan Inggris sebagai sebuah model yang universal. Di sisi lain mereka
mengkritisinya karena tidak setuju dengan urutan hak-hak yang bersifat evolutif, yakni hak
sosial muncul terlebih dahulu dibandingkan hak politik (Soysal, 1994 dalam Stokke, 2018).
Kemudian adalah kewargaan sebagai partisipasi, di mana hal ini menekankan pada
serangkaian kewajiban yang muncul dari proses inklusi dalam komunitas dan partisipasi
aktifnya di komunitas tersebut. Pandangan yang paling hegemonik dalam hal ini adalah
pandangan liberal tentang partisipasi warga sebagai pemegang hak yang berkontribusi secara
aktif dalam tata kelola urusan publik serta keharusan menunaikan kewajiban-kewajibannya
sebagai warga negara. Keterlibatan warga negara dalam urusan publik tidak bisa digeneralisir
dengan menggunakan pendekatan liberal sebagai pendekatan satu-satunya. Variasi lain sesuai
konteks bisa diadopsi untuk berkontribusi pada urusan publik (lihat misalnya Priyono et.all,
2005; Samadhi & Waraou, 2009; Samadhi, 2016).

Politik Pengakuan, Politik Redistribusi, dan Politik Representasi


Politik pengakuan (politics of recognition) berkiaitan dengan budaya dan identitas
warga negara yang secara politik tereksklusi. Proses pengeksklusian ini berujung pada
perjuangan politik untuk diakuinya sekelompok identitas dan kebudayaan tersebut dalam hal
redistribusi dan representasi politik yang saling berkaitan. Politik pengakuan ini mempertegas
tentang pilihan keadilan antara politik identitas atau politik perbedaan. Pada satu sisi, politik
identitas muncul berdasarkan ketidakadilan bersama dari keanggotaan kelompok sosial dan
menuntut inklusifitas dan penyelesaian keadilan melalui aksi afirmatif, dan secara
transformatif yakni adanya kebutuhan untuk mendekonstruksi identitas dalam rangka
mencapai kewargaan yang setara dan substantif (lihat Youg, 1990; Lister, 2008, dalam
Stokke 2017).
Ketidakadilan baik secara kultural dan identitas tertentu akibat dari mis-rekognisi
menghasilkan politik pengakuan yang menuntut adanya aksi afirmatif atau transformatif
untuk diakuinya budaya dan identitas tertentu yang mengalami mis-rekognisi tersebut.
Secara sederhana, aksi afirmatif merujuk pada strategi penyelesaian yang berupaya
menghilangkan ketimpangan tanpa merubah struktur yang medasarinya. Sedangkan aksi
transformatif berkaitan dengan perubahan fundamental struktur-struktur yang membentuk
ketidakadilan (Stokke, 2018).
Sedangkan politik redistribusi lahir karena adanya mal-distribusi dari proses ekonomi
yang tidak melulu mendatangkan keuntungan material, tetapi juga menghadirkan
ketimpangan. Mal-distribusi dapat terjadi ketika oligarki memainkan politik pertahanan
kekayaan (wealth defense) yang kemudian membentuk kekuatan predatoris antara birokrasi
dan bisnis yang menyebabkan distribusi ekonomi yang tidak seimbang (Winters, 2011;
Robison & Hadiz, 2004; Hadiz & Robison 2013).
Redistribusi dengan aksi afirmatif biasanya dilakukan di dalam konteks negara
kesejahteraan liberal yang ingin menyelesaikan problem kesejahteraan tanpa mengubah
secara fundamental struktur politik dan ekonominya. Sedangkan langkah transformatif untuk
menyelesaikan ketimpangan akibat mal-distribusi biasanya dapat dilihat dari perjuangan
politik progresif untuk memperjuangkan cita-cita sosialisme.
Yang terakhir adalah politik representasi, di mana hal ini muncul karena adanya mis-
representasi (Fraser, 2009), baik representasi formal dan informal. Tidak adanya representasi
politik bisa diakibatkan karena terisolasinya wakil politik dalam sistem politik formal, di
mana secara institusional mereka gagal menjalankan fungsi-fungsi representatif dalam sistem
politik formal tersebut. Sedangkan secara struktural, yakni munculnya dominasi elite yang
memiliki kekuasaan material dan politik yang lahir akibat adanya aliansi bisnis dan politik
yang saling menguntungkan dan berjarak dengan masyarakat. Aksi afirmatif untuk
menyelesaikan masalah representasi politik ini bisa dengan adanya representasi yang
proporsional mewakili kepentingan masyarakat seperti mekainsme elektoral, atau secara
transformatif merubah bentuk representasi lebih substantif melalui kontrol langsung,
partisipasi langsung, sehingga demokrasi bisa lebih substansial. Dalam hal ini, pada intinya
adalah bagaimana mengatasi mis-representasi politik dengan membentuk model-model
representasi yang lebih efektif (lihat misalnya Mundayat & Priyono, 2009; Subono, 2012)
dengan pembentukan urusan publik, konstruksi dan pemberdayaan demos, hubungan dan
keterlibatan publik secara setara dalam urusan-urusan publik (Beetham, 1999).

EKSPANSI PERKEBUNAN SAWIT DI KABUPATEN BOLAANG MONGONDOW


Hingga saat ini, Sulawesi Utara masih berjaya dengan perkebunan kelapa yang luas
serta komoditas kopranya. Kabupaten Bolaang Mongondow merupakan salah satu daerah
penghasil komoditas kopra di Sulawesi Utara. Menurut data dari Dinas Perkebunan
Kabupaten Bolaang Mongondow, luas areal perkebunan jenis kelapa-dalam pada 2016 seluas
23.125,73 hektare dengan hasil panen 29.021,29 ton dari areal tersebut. Dengan areal
perkebunan yang luas ini, petani di satu kecamatan dapat memanen rata-rata 1.351,16 ton
setiap tahunnya.
Lolak termasuk salah satu kecamatan di Kabupaten Bolaang Mongondow penghasil
kelapa-dalam terbesar. Tetapi hal itu terancam dengan adanya ekspansi perusahaan
perkebunan sawit yang telah memiliki Hak Guna Usaha (HGU) atas tanah. Masyarakat
Bolaang Mongondow telah menganggap bahwa kelapa adalah bagian yang sudah terintegrasi
di dalam kehidupan sosioal, ekonomi, dan budaya. Hadirnya perkebunan sawit nampaknya
langsung menyambar kehidupan sosial, ekonomi, dan budaya masyarakat yang sudah
terbangun melalui proses sejarah yang panjang.
Masyarakat Lolak kebanyakan adalah petani penggarap yang menggarap lahan
pertanian berhektar-hektar. Sembari merawat kebun kelapa, mereka memanfaatkan lahan
perkebunan untuk teknik penanaman tumpang sari dengan menanam jagung disela-sela
tanaman kelapa. Menurut pengakuan para petani penggarap, sekarang mereka berkebun
dengan cemas akibat lahan garapan yang sebelumnya dikuasai oleh PT. Mongondow Indah
yang memproduksi kelapa dalam telah beralih ke PT. Anugerah Sulawesi Indah (PT. ASI)
yang memproduksi kelapa sawit.
Sebelumnya, masyarakat telah membuat perjanjian dengan PT. Mongondow Indah
agar lahan perusahaan dapat dimanfaatkan masyarakat untuk bertani berbagai komoditas
pertanian, seperti jagung dan berbagai tanaman bulanan. Hasil dari panen tersebut dikelola
secara langsung oleh masyarakat tanpa ada potongan hasil dari PT. Mongondow Indah.
Hingga akhirnya, pada 2013 masyarakat mengetahui bahwa lahan garapannya akan dialih
fungsikan menjadi perkebunan sawit PT. ASI. Sebelumnya masyarakat Lolak mengetahui
bahwa konsensi lahan yang mereka garap adalah milik PT. Mongondow Indah, tetapi pada
faktanya HGU PT. Mongondow Indah telah beralih ke tangan PT. ASI seluas 609,91 hektar
berdasarkan Surat Keputusan (SK) Bupati Bolaang Mongondow No. 31/2011 tentang Izin
Usaha Perkebunan. Diketahui, wilayah operasional PT. ASI mencakup empat desa yakni desa
Lolak, Lolak Tambolango, Padang Lalow, dan Lolak II.
Ekspansi perkebunan sawit di Kabupaten Bolaang Mongondow sudah ada sejak 2009
dengan telah dikeluarkannya izin sembilan perusahaan perkebunan sawit. Perusahaan tersebut
diantaranya adalah PT. Anugerah Bolmong Indah, PT. Anugerah Bolmong Indah, PT. Bol
Indah Utama, PT. Global Internasional Indah, PT. Inabonto Indah Perkasa, PT. Kurnia Kasih
Indah, PT. Sino Global Perkasa, dan PT. Tomini Indah Perkasa. Sembilan perusahaan itu
tergabung di dalam kelompok usaha IZZISEN Group dengan luas perkebunan yakni
79.150,30 hektar, dengan 20% kebun plasma dan 80% kebun inti, dan tersebar di enam
Kecamanatan, yakni Kecamatan Sangtombolang, Kecamatan Lolak, Kecamatan Passi,
Kecamatan Lolayan, Kecamatan Bolaang Timur, dan Kecamatan Poigar.
Hadirnya perusahaan perkebunan sawit ini memicu penolakan masyarakat Bolaang
Mongondow, khususnya di Lolak. Pada tanggal 21 Oktober 2018, dua orang petani
ditetapkan sebagai tersangka oleh Polisi akibat pembakaran pos jaga PT. ASI, dan pada
tanggal 26 mereka langsung ditahan. Respon masyarakat berlanjut hingga pada akhirnya
mereka mendatangi kantor Bupati untuk menyatakan penolakannya terhadap perkebunan
sawit. Yasti Soepredjo Mokoagow sebagai bupati Bolaang Mongondow waktu itu lewat
pernyataan persnya mengatakan bahwa izin usaha perkebunan sawit terbit pada pemerintahan
sebelumnya. Menurutnya, ia tidak bisa berbuat banyak atas keberadaan perusahaan sawit di
daerahnya karena dampak ekonomi dan hukum yang akan ditimbulkan jika pemerintah
daerah mencabut izinnya.

“Contohnya kasus PT. Melisa di Poigar. Izin sawit itu digugurkan oleh pejabat Bupati,
Pemkab Bolmong digugat dan harus bayar ganti rugi Rp.6 miliar” (keterangan Yasti yang
dikutip Tribun Manado, 22 Agustus 2019).

Karena merasa gagal untuk mendapatkan kesepakatan, masyarakat melakukan aksi


protes pada 22 Oktober 2018 di kantor Bupati. Aksi ini dimotori oleh kelompok mahasiswa
yang bersama-sama dengan para petani yang terhimpun dalam Aliansi Mahasiswa Bolaang
Mongondow Raya (AMBOR). Aksi protes yang dilakukan tidak berhasil untuk membuat
perusahaan sawit, yakni PT. ASI berhenti dan angkat kakai dari Lolak. Hingga pada akhirnya
mereka melakukan protes yang lebih besar dengan berjejaring dengan kalangan aktivis, LSM,
dan mahasiswa yang berada di Kota Manado. Aksi protes di Manado berlangsung pada
tanggal 08 Agustus 2019. Polda Sulawesi Utara menjadi titik aksi pertama yang dituju. Hal
ini dikarenakan bahwa masyarakat sering diintimidasi dan terancam dikriminalisasi oleh para
anggota polisi yang berjaga di kawasan perkebunan. Lewat informasi yang dihimpun dari
LBH Manado, bibit sawit di area perkebunan PT. ASI sering ditanam oleh anggota-anggota
kepolisian setempat. Hal tersebut membuat para petani penggarap takut untuk berkebun.
Setelah dari POLDA Sulawesi Utara, massa aksi menuju titik aksi berikutnya yakni di
kantor DPRD Provinsi Sulawesi Utara. Para petani sempat meminta anggota DPR dari daerah
pemilih Kabupaten Bolaang Mongondow untuk hadir menemui massa aksi, tetapi tidak
ditemui. Dalam kesepakatannya dengan anggota DPRD, mereka berjanji akan membentuk
Pansus untuk menyelesaikan masalah perkebunan sawit. Tetapi, hingga sampai penelitian ini
dikerjakan, Pansus tidak kunjung dibentuk. Hingga akhirnya pada kantor Gubernur,
masyarakat dijanjikan untuk mengirim utusan ke Lolak guna meninjau lokasi perkebunan.
Gubernur Olly Dondokambey tidak hadir menemui massa aksi, namun lewat keterangannya
di media, ia menyatakan menolak kehadiran kelapa sawit di Sulawesi Utara. Olly dikethui
juga sebagai pelaku usaha kopra. Ugkapannya tersebut menurut masyarakat tidak diiringi
dengan tindakan nyata untuk memberhentikan industri perkebunan sawit.

POLITIK PENGAKUAN: DARI EKSPANSI KE MIS-REKOGNISI


Politik pengakuan (politics of recognition) berangkat dari sebuah kemungkinan
tersubordinasinya sebuah budaya atau identitas tertentu dari dominasi budaya dan identitas
lain, atau kekuasaan ekonomi dan politik yang sifatnya dominatif. Faktor yang
mempengaruhi munculnya perjuang politik pengakuan pertama adalah secara kultural, yakni
sebagai respon atas dominasi kebudayaan atau identitas tertentu, dan kedua yakni secara
ekonomi-politik, yaitu suatu kondisi marginalisasi terhadap hak-hak social ekonomi, di mana
kedua hal tersebut akhirnya memunculkan problem mis-rekognisi. Di dalam politik
pengakuan, hal ini memunculkan sebuah perjuangan politik (political strugles).
Ketidakadilan kultural muncul dan berakar pada pola-pola representasi simbolik yang
diwujudkan dalam beragam bentuk dominasi budaya, tidak adanya pengakuan, dan
penghormatan (Stokke, 2017). Dalam beberapa kasus di Indonesia, tidak adanya pengakuan
(mis-recognition) menyebabkan kelompok-kelompok minoritas seperti kelompok
Ahmadiyah, penganut kepercayaan tradisional, kelompok LGBTQ, sering disubordinasi atau
bahkan direpresi karena berbeda dari identitas dominan. Contoh lainnya adalah bagaimana
gerakan politik kiri ataupun dipandang bukan menjadi bagian dari platform perjuangan
politik yang diakui di Indonesia, termasuk juga bagaimana politik eksklusi yang dialami
pekerja rumah tangga dan gerakan islamisme (Gastaldi et. All., 2018; Hiariej et. All., 2018).
Penelitian ini menemukan bagaimana munculnya eksklusi budaya dan identitas yang
terjadi akibat proses akumulasi modal dari perusahaan perkebunan sawit yang berekspansi
kemudian merampas lahan garapan petani penggarap, yang bukan hanya sebagai sarana
produksi, tetapi bagian integral dari kebudayaan serta arena solidaritas sosial. Hal ini
memunculkan sentimen politik yang terkarakterisasi oleh identitas kulutural dari para petani
penggarap yang umumnya adalah suku Bolaang Mongondow. Keadaan identitas kultural
yang tereksklusi oleh akumulasi modal dan memunculkan sentimen politik berbasis identitas
itu kemudian ingin dicarikan jalan keluar ketidakadilannya yang dalam konteks ini,
dipilihnya aksi afirmatif maupun transformatif sebagai jalan penyelesaian. Dalam aksi
afirmatif, petani penggarap menginginkan kesetaraan kesempatan yang sama di dalam politik,
yang pada konteks ini diaktualisasikan dalam kompetisi elektoral. Sedangkan aksi
transformatif, yang dalam kasus ini tercermin dari keinginan petani penggarap untuk
memekaran wilayah menjadi provinsi otonom (Bolaang Mongondow Raya) yang lepas dari
Sulawesi Utara.
Sebelum hadirnya ekspansi perkebunan sawit di Kabupaten Bolaang Mongondow,
masyarakat petani penggarap melakukan proses produksi pertaniannya secara kolektif. Lahan
garapan merupakan wilayah solidaritas sosial dan budaya di mana interaksi di antara para
petani penggarap itu berlangsung, dan bagaimana mereka mengelola secara kolektif atas hasil
panen yang mereka sebut seagai Tumoyo’, yakni sebuah sistem pengelolaan hasil panen di
mana sebagian dari hasil panen disisihkan untuk diberikan ke lembaga-lembaga adat, rumah
ibadah, yang pada intinya untuk keperluan bersama.
Dalam aktivitas bertaninya, para petani penggarap melaksanakan aktivitasnya secara
kolektif. Misalnya bahwa, dalam mempersiapkan lahan untuk proses produksi pertanian,
sesama petani penggarap bekerjasama untuk membersihkan lahan agar siap ditanami berbagai
komoditas pertanian. Hal tersebut dilakukan secara sukarela, dengan harapan bahwa mereka
juga akan dibantu oleh sesama petani penggarap untuk mempersiapkan lahan pertaniannya.
Dalam proses tersebut, solidaritas sosial antara sesama petani penggarap dapat terbentuk
sebagai bagian yang sama dari sebuah identitas, baik itu mereka sebagai petani penggarap
yang rentan, ataupun mereka sebagai suku Bolaang Mongondow.
Hadirnya ekpansi modal dengan prinsip akumulasi dalam bentuk perkebunan sawit
(dalam hal ini adalah PT. ASI) mengeksklusi petani penggarap dengan terampasnya lahan
garapan sebagai arena solidaritas sosial dan budaya para petani. Hadirnya state apparatus
(polisi) di dalam lahan garapan petani untuk menanam bibit-bibit sawit membuat para petani
penggarap merasa terintimidasi disaat melakukan aktivitas pertanian. “Sejak PT. ASI mulai
melakukan aktivitas penanaman sawit, sudah ada sekitar belasan warga petani penggarap
yang ditersangkakan oleh perusahaan dengan alasan tidak jelas. Warga kemudian dibuat
bungkam dengan ancaman kriminalisasi saat warga menuntut” (wawancara: Satryano
Pangkey dari LBH-Manado, 14 Juni 2021). Perusahaan menggunakan kepolisian sebagai
backing, di mana di antara kepolisian tersebut masih merupakan saudara dari para petani
penggarap. Hal ini dilakukan setidaknya untuk memecah solidaritas petani yang mencoba
melawan ekspansi perkebunan sawit yang telah merampas lahan garapannya.
Dalam kaitannya dengan ekspansi ini, konflik antara para petani penggarap dan
pemilik modal merupakan sebuah fenomena ekonomi-politik yang berujung pada politik
eksklusi identitas kultural, di mana kekuatan-kekuatan dominan dari politico-business
alliance yang mendapatkan keuntungan dari pertukaran material para pemilik modal dan
aktor politik daerah secara langsung menciptakan kondisi di mana keberlanjutan aktivitas
pertanian sebagai sebuah identitas kultural akhirnya terhenti. Dengan kata lain, ekspansi
perkebunan sawit ini telah meretakkan arena solidaritas sosial yang teraktualisasi di lahan
garapan. Mereka sebagai petani penggarap yang mengaktualisasikan nilai-nilai kebudayaan
dalam aktivitas bertani mengalami keterputusan (discontinuity) dengan tradisi kebudayaan
bertaninya. Dalam konteks tersebut, bisa dianalisa bagamana elite-elite predatori yang
beroperasi di daerah yang hanya mementingkan keuntungan material untuk kepentingan
kelompoknya, pada akhirnya menimbulkan praktik politik eksklusi petani penggarap, yang
pada kasus ini, koalisi antara kelompok bisnis (pasar) dan politik (negara) memuluskan jalan
bagi politik eksklusi tersebut. Petani penggarap dalam hal ini, dihadapkan pada logika pasar
yang dipercayai oleh kalangan neo-institusionalis 1 akan meneteskan keuntungan material dari
akumulasi yang terjadi (Hadiz, 2003). Alih-alih mendatangkan keuntungan, hal tersebut
justru menjauhkan petani penggarap dari akses terhadap sumber ekonomi, dalam hal ini
adalah lahan garapan, dan bagaimana ekspansi tersebut pada faktanya menciptakan
subordinasi terhadap identitas dan kebudayaan.
Proses bagi hasil panen yang menjadi bagian kebudayaan masyarakat lokal, atau yang
mereka sebut sebagai Tumoyo’ terhenti akibat ekspansi perkebunan sawit. Padahal menurut
pengakuan para petani penggarap, hal itu adalah vital karena merupakan bagian integral dari
kebudayaan yang muncul dalam aktivitas bertani dan memiliki efek sosial yang signifikan
karena dapat membantu masyarakat dan institusi sosialnya. Tumoyo’ sendiri dalah hasil

1
Vedi R. Hadiz (2003) mengatakan bahwa “neo-institusinalisme sendiri dapat didefinisikan sebagai sebuah
aliran pemikiran pembangunan yang bermaksud menjelaskan sejarah, keberadaan, dan fungsi dari berbagai
macam institusi (pemerintah, hukum, pasar, keluarga dan sebagainya) berdasarkan asumsi-asumsi teori
ekonomi neoliberal. Dalam pengertian tersebut, neo-institusionalisme merupakan suatu varian dari ortodoksi
neoliberal yang begitu berpengaruh dalam berbagai pemerintahan, badan pembangunan internasional,
penentu kebijakan, dan sebagian besar komunitas ilmu pengetahuan sosial—khusunya saat ilmu ekonomi
mainstream semakin diserap dalam berbagai ilmu pengetahuan sosial lainnya. (Lihat Vedi R. Hadiz (2003).
Desentralisation and Democracy in Indonesia A Critique of Neo-Institusionalist Perspectives. Southeast Asia
Research Centre Working Paper Series. City University of Hongkong: No. 47, Mei 2003.
perjuangan para petani penggarap, di mana sebelum ada ekspansi perkebunan sawit oleh PT.
ASI, mereka telah membangun kesepakatan dengan perusahaan sebelumnya, yakni PT.
Mongondow Indah (PT. MI) yang menanam kelapa-dalam, agar lahan miliknya bisa dipinjam
untuk digarap. Kesepakatan para petani penggarap dengan PT. MI yakni para petani
penggarap diperbolehkan untuk melaksanakan aktivitas pertaniannya dengan sistem tumpang
sari, di mana dalam area perkebunan kelapa dalam milik PT. MI, petani penggarap
diperbolehkan menanam dengan catatan tidak menganggu dan merampas aset perusahaan.
Kesepakatan tersebut terus dipatuhi oleh petani penggarap, dan setiap panen tiba, Tumoyo’
sebagai tradisi bertani masyarakat lokal tetap dilaksanakan tanpa ada potongan dari PT.
Mongondow Indah. Hingga akhirnya pada tahun 2013 petani penggarap mengetahui bahwa
lahan garapannya akan dialih fungsikan menjadi perkebunan sawit oleh PT. ASI yang
memegang HGU seluas 609,91 hektar. Berdasarkan keterangannya:

“Kami membuat surat untuk bermohon kepada PT. Mongondow Indah untuk membuka
lahan [garapan] di sana, tapi jawabannya tetap bertahan [tidak bisa], sehingga kami undang
dewan untuk turun lapangan, dua kali turun dewan di lokasi, yang pertama periksa lapangan,
yang kedua pertemuan di kantor Camat. Nanti yang kedua kalinya baru PT. Mongondow
Indah membolehkan masyarakat berkebun di situ. Dengan catatan, pihak PT. Mongondow
Indah tidak meminta imbalan, tetapi sepersekian keuntungan dari hasil panen di kasih ke
pemerintah desa untuk diserahkan ke rumah-rumah ibadah, dan tidak boleh merusak apa-apa
yang menjadi hak dari perusahaan”. (Wawancara: M. K. Mokodompit sebagai petani dan
tokoh adat. 26 April 2021).

Ekspansi modal perkebunan kelapa sawit yang telah menjauhkan petani penggarap
dari akses terhadap sumber daya ekonominya kemudian memunculkan sentimen politik yang
berangkat dari refleksi mereka terhadap eksklusi yang terjadi. Dengan kata lain, sentimen
politik itu distimulasi oleh fakta adanya marginalisasi petani penggarap akibat ekspansi
perkebunan sawit yang merampas perekonomian dan mengeksklusi identitas kulturalnya.
Perasaan tereksklusi ini muncul dalam bentuk sentimen politik di mana pemerintah daerah di
Sulawesi Utara menurut mereka tidak memberikan perhatian kepada para petani penggarap
yang pada umumnya adalah etnis Bolaang Mongondow. Perlu diketahui bahwa, konstelasi
politik di Sulawesi Utara di dominasi oleh etnis Minahasa sebagai etnis dominan yang
mengisi posisi-posisi strategis di dalam pemerintahan sebagai elite. Etnis Bolaang
Mongondow merupakan sebagian kecil dari pada bermacam-macam etnis yang ada di
Sulawesi Utara, misalnya Sangir Talaud, Gorontalo, Tionghoa, dan seterusnya. Dengan
konteks sosial-politik seperti itu, sentimen politik yang mencuat dari suku Bolaang
Mongondow akibat menghadapi ketidakadilan, dapat dibaca sebagai fenomena mis-rekognisi,
atau tidak adanya pengakuan sebagai sebuah identitas yang menjadi bagian dari nation-state.
Sentimen politik yang mencuat tersebut merupakan konsekuensi dari terisoloasinya mereka
dari arena ekonmi dan politik, sehingga memunculkan rasa ketidakadilan. Lewat refleksi
mereka terhadap keadaan ekonomi dan politik, bahwa ketidakadilan yang mereka hadapi
mempunyai kaitannya dengan posisi identitas kultural mereka yang subordinat. Walaupun
begitu, mereka tidak menaru sinisme apalagi kebencian terhadap dominasi suku lain: “Kalau
dilihat dalam skala provinsi, biasa-biasa saja [tidak ada pertentangan], rukun-rukun saja.
Yang terpenting kesamaan itu harus ada”. (Wawancara M.K. Mokodompit, 26 April 2021).
Fenemona tersebut akan diperjelas oleh fakta bahwa tidak hadirnya aktor-aktor
politik yang merepresentasikan identitas kultural mereka. Dalam setiap pemilihan Gubernur
secara langsung, belum ada di dalam sejarah politik Sulawesi Utara bahwa aktor politik yang
mewakili identitas Bolaang Mongondow terpilih menjadi Gubernur. Sehan Lanjar, politisi
Partai Amanat Nasional (PAN) dan mantan Bupati Bolaang Mongondow Timur harus puas
dengan kekalahan saat menjadi wakil dari Christiany Eugenia Paruntu dari Partai Golongan
Karya (Golkar) saat bertarung di dalam pemilihan Gubernur 2020. Kehadiran Sehan yang
mencerminkan representasi identitas kultural dari suku Bolaang Mongondow merupakan
fenomena yang tidak biasa, di mana politisi yang berasal dari daerah Bolaang Mongondow
yang bertarung di dalam pemilihan Gubernur dengan percaya diri sangat jarang terjadi. Yang
menarik adalah, di dalam lokasi penelitian ini, yakni di Kecamatan Lolak, Pasangan
incumbent Olly Dondokambey dan Steven Kandouw kalah dalam pemilihan Gubernur 2021.
Hal ini dapat dipahami sebagai fenomena di mana masyarakat Lolak yang mengalami
ekspansi perkebunan sawit, secara demokratis melalui sarana pemilihan umum “melawan”
pemerintah yang direpresentasikan oleh incumbent yang dianggapnya telah memberikan
bentuk ketidakadilan dengan memberikan jalan masuknya perkebunan sawit. Mereka
memilih pasangan yang merepresentasikan identitas kultural dengan harapan bisa menjadi
solusi atas permasalahan yang dihadapi. Menurut mereka, Kabupaten Bolaang Mongondow
(secara lebih luas adalah Bolaang Mongondow Raya) 2 masih menjadi “halaman belakang”
dari Sulawesi Utara karena keterbelakangan pembangunan. Kalaupun ada, pembangunannya
justru mengeksklusi masyarakat, setidaknya dalam kasus ekspansi perkebunan sawit yang
dialami petani penggarap di Kecamatan Lolak.
Dalam penelitian ini, ada beberapa pilihan penyelesaian ketidakadilan yang
terungkap setelah menganalisa bagaimana ekspansi perkebunan sawit memunculkan eksklusi
bukan saja dalam hal ekonomi, tetapi juga budaya, yang kemudian memunculkan sentimen
politik yang dikarekterisasi oleh identitas kultural. Pertama adalah bentuk penyelesaian
ketidakadilan secara afirmatif yakni, (1) dibutuhkannya pengakuan terhadap eksistensi
identitas kultural beserta tradisinya yang bebas dari kooptasi modal, (2) perlunya kesempatan
yang setara dalam aktivitas politik dan posisi politik yang saling menguntungkan tanpa ada
satu pihak yang tersubordinasi, dan (3) memperjuangkan secara demokratis untuk
menghadirkan representasi politik yang mewakili identitas kulturalnya. Sedangkan yang
kedua adalah bentuk penyelesaian secara transformatif, di mana ditemukan adanya suatu
keinginan untuk menjadi daerah otonomi baru dengan membentuk provinsi sendiri, yakni
Bolaang Mongondow Raya yang dianggap sebagai sebuah solusi dari berbagai ketidakadilan.
Tetapi perlu digaris bawahi bahwa keinginan masyarakat akan daerah otonomi baru ini belum
tentu menyelesaikan permasalahan mis-rekognisi yang sifatnya structural akibat akumulasi
modal. Sementara itu, keinginan mereka juga belum bisa dikatakan sebagai keinginan

2
Bolaang Mongondow Raya merujuk pada kabupaten-kabupaten yang masih merupakan satu kesukuan, yakni
Kabupaten Bolaang Mongondow, Kabupaten Bolaang Mongondow Timur, Bolaang Mongondow Selatan,
Kabupaten Bolaang Mongondow Utara, dan Kota Kotamobagu.
mayoritas masyarakat Bolaang Mongondow Raya karena hal tersebut masih harus dilakukan
pembuktian.

POLITIK REDISTRIBUSI: DARI PRIVATISASI KE MAL-DISTRIBUSI

Politik redistribusi (politics of redistribution) berkaitan dengan politik kewargaan masyarakat


yang menuntut hak atas sumber daya perekonomian (redistribusi). Politik redistribusi muncul
akibat adanya suatu proses ekonomi yang tidak menciptakan pemerataan dan memunculkan
proses distribusi yang tersumbat (mal-distribusi), di mana kekuatan-kekuatan yang memiliki
sumber daya material dan posisi politik dominan adalah yang lebih di untungkan dalam
proses tersebut. Ketidakadilan ekonomi ini memunculkan beragam kelompok sosial dan
perjuangan untuk keadilan redistribusi ekonomi (Fraser, 1995; Fraser & Olson, 2008; Stokke,
2017). Oleh karena politik kewargaan bersifat politis, perjuangan untuk keadilan ekonomi
pada umumnya memiliki sifat yang politis. Ketidakadilan ekonomi ini berakar dari sebuah
struktur ekonomi politik yang memunculkan praktik-praktik eksploitasi, marjinalisasi,
privatisasi, yang hal tersebut bekerja dalam relasi kelas sosial yang asimetris. Politik
kewargaan yang muncul dalam hal ini yakni strategi realokasi sumber daya atau
menghilangkan hambatan ekonomi untuk mengurangi ketimpangan sosial dan ekonomi
(Stokke, 2017).
Dalam penelitian ini, ketidakadilan ekonomi yang dihadapi petani penggarap adalah
bagaimana lahan perkebunan yang sudah digarap masyarakat sejak era kolonial, seiring
terciptanya negara Indonesia yang modern dan penetrasi kapitalisme, akhirnya
mengakibatkan hilangnya arena produksi mereka akibat privatisasi lahan. Lahan pertanian
yang sebelumnya adalah arena kelola kolektif masyarakat untuk berproduksi berubah status
menjadi lahan privat korporasi yang bersandar pada prinsip akumulasi kapital dengan cara-
cara akumulasi primitif. Hall, Hirsch, dan Li (2020) menjelaskan bagaimana kuasa eksklusi
(power of exclusion) berperan untuk menyingkirkan kepemilikan lahan produktif berkat
adanya sebuah interelasi antara kebijakan (regulation), kekuatan (force), pasar (the market),
dan pengabsahan (legitimation). Dalam penelitian ini, berbagai kekuatan tersebut saling
terkoneksi untuk menciptakan sebuah proses eksklusi para petani penggarap dari dari lahan
garapan.
Kebijakan pemerintah daerah untuk memberi izin usaha perkebunan bagi perusahaan
sawit di Kabupaten Bolaang Mongondow berdasarkan Surat Keputusan (SK) Bupati Bolaang
Mongondow No. 31/2011 merupakan bukti bagaimana kebijakan pemerintah (regulation)
memberikan sebuah landasan yuridis bagi perusahaan perkebunan sawit PT. ASI (the market)
untuk mengeksklusi. Hadirnya kekuatan-kekuatan pemaksa dari state apparatus (force) di
lahan garapan sebagai salah satu dari interelasi kekuatan-kekuatan tersebut menjadi bagian
dari kuasa eksklusi, dan bagaimana sebuah pengabsahan (legitimation) yang diberikan oleh
pemerintah dan masyarakat yang mendukung perusahaan menjadi suatu kesatuan dari
kekuatan eksklusi tersebut.
Lahan garapan yang berubah fungsi menjadi lahan privtat korporasi merupakan
aktualisasi kekuatan kelas-kelas sosial dominan yang menguasai sumber daya dengan
berprinsip pada akumulasi kapital. Petani penggarap dalam hal ini menjadi subordinat dari
relasi-relasi kelas sosial dominan, dan yang paling memprihatinkan, tersingkirkan dari arena
produksi sebagai sumber perekonomiannya. Struktur ekonomi politik seperti inilah yang
memunculkan praktik-praktik eksploitasi, privatisasi, dan marjinalisasi (Stokke, 2017). Selain
itu, dalam jangka yang panjang, privatisasi lahan produktif garapan petani ini akan
menciptakan suatu keadaan deagrarisasi, di mana berubahnya masyarakat agraris menjadi
buruh pekerja yang menjadi penopang proses produksi korporasi.
Di dalam kasus penelitian ini, para petani penggarap ditawarkan oleh perusahaan
untuk mengelola blok-blok sawit dengan bayaran tetap perbulan. Menurut mereka, hal
tersebut sangat tidak menguntungkan karena hasil panen para petani penggarap lebih
menguntungkan dari pada harus menerima bayaran dari perusahaan, walaupun tetap, namun
dengan nominal sedikit. Hasil pertanian yang diperoleh petani penggarap dari menggarap
lahan garapannya terbukti sangat berdampak signifikan terhadap perekonomian mereka
karena lewat produksi pertanian tersebut, mereka bisa membuka lahan pekerjaan bagi
masyarakat lokal. Dalam hal ini, proses produksi pertanian mereka sebenarnya sudah
merupakan sebuah ekosistem perekonomian yang saling menguntungkan:

“Rumah ini dibuat dari hasil berkebun. Sedangkan orang yang tidak dapat membeli motor
bisa membeli motor hanya karena berkebun. Kami berkebun di lahan itu ada sekitaran tiga
ratus kepala keluarga, dalam satu hektar kami dapat menyewa enam orang. Kalau tiga ratus
kepala keluarga itu masing-masing pakai enam orang, berapa [lahan pekerjaan] yang kami
buka di situ”. (Wawancara: Maaruf Paputungan, 26 April 2021).

Jelas bahwa, ekspansi perkebunan sawit sebagai bentuk privatisasi lahan garapan
produktif para petani penggarap mengisolasi mereka dari akses terhadap perekonomian yang
selama ini sudah banyak membantu kehidupan masyarakat.
Dalam setiap kasus di mana perusahaan masuk sebagai bentuk dari investasi, hampir
selalu membawa wacana pembukaan lapangan kerja sebagai daya tarik. Tetapi dalam kasus
ini, petani penggarap justru sudah melakukan pembukaan lapangan kerja dengan jumlah
ribuan, di mana hal tersebut justru dikelola berdasarkan prinsip solidaritas antara sesama
masyarakat dan petani dengan dan tanpa logika akumulasi modal a la kapitalisme. Logika
perusahaan yang menawari lapangan kerja dengan bayaran tetap perbulan berbanding terbalik
dengan yang selama ini telah mereka lakukan, di mana mereka memperkejakan antara
sesamanya, dan keuntungan dari hasil panen justru lebih menguntungkan dari tawaran
perusahaan. Setidaknya ada 23.125,75 hektar areal kebun kelapa-dalam di Kabupaten
Bolaang Mongondow menurut data Dinas Perkebunan setempat pada 2016, dengan hasil
panen 29.021,29 ton dari areal tersebut. Dari luasan itu, rata-rata tiap tahun petani dalam satu
kecamatan dapat memanen 1.351,16 ton. Lolak, di mana merupakan daerah ekspansi
perkebunan sawit dari PT. ASI, merupakan salah satu Kecamatan di Bolaang Mongondow
yang menghasilkan kelapa sebagai komoditas utama dibidang pertanian. Angka di atas
barulah satu jenis tanaman saja, sedangkan para petani penggarap sering menanam tanaman
bulanan seperti jagung dengan metode tumpang sari, di mana luasan dan hasilnya juga sangat
menguntungkan bagi mereka—hal di mana metode tumpang sari itu tidak bisa dilakukan
dengan tanaman kelapa sawit.
Bentuk ketidakadilan seperti privatisasi lahan garapan oleh perusahaan perkebunan
sawit memunculkan politik kewargaan petani penggarap sebagai upaya penyelesaian
ketidakadilan. Secara afirmatif, mereka menentang upaya privatisasi tersebut dengan saluran-
saluran yang demokratis. Mereka membangun jaringan formal maupun informal yang
tujuannya adalah untuk mencari kemungkinan-kemungkinan penyelesaian masalah, baik itu
melakukan lobi-lobi dengan aktor-aktor negara dalam sistem politik formal, ataupun
membangun jejaring dengan kelas menengah masyarakat sipil yang bergerak secara informal.
Dalam tindakan-tindakan politik kewargaan mereka, tercatat bahwa jalur-jalur formal yang
mereka andalkan berbasis pada relasi patronase antara mereka dan aktor-aktor negara. Relasi
patronase tersebut dilakukan dengan koneksi dengan mereka yang mempunyai akses dan
hubungan yang baik dengan Bupati. Salah satu narasumber yang diwawancara menuturkan
bahwa dirinya beberapa kali dipanggil oleh Bupati Yasti S. Mokoagow disaat sedang pulang
dari lahan garapan untuk berbicara permasalahan perkebunan sawit tersebut. Tetapi
menurutnya, hal itu selalu tidak membuahkan sebuah penyelesaian masalah yang konkret.
Selain itu, jejaring informal seperti berelasi dengan aktivis-aktivis yang berpusat di Manado
menjadi jalur alternatif politik kewargaan mereka untuk menyelesaikan ketidakadilan secara
afirmatif. Para aktivis membantu dalam hal advokasi dan kampanye media, yang dalam kasus
ini, para petani penggarap merasa sangat terbantu dengan kontribusi mereka. Berjejraing
dengan aktivis lingkungan, hak asasi manusia dan demokrasi, serta elemen mahasiswa
membuat mereka semua bersama-sama mencari bentuk politik kewargaan yang dirasa akan
efektif sebagai bagian dari penyelesain masalah. Koalisi antara petani penggarap dan para
aktivis ini beberapa kali melakukan aktivitas politik kewargaan seperti aksi massa, atau
dengar pendapat dengan pemerintah.
Sedangkan pilihan penyelesaian ketidakadilan secara transformatif tercermin dari upaya
pembangkangan para petani penggarap dengan tetap melaksanakan aktivitas pertanian di
lahan yang telah di klaim oleh perusahaan. Intimidasi dan ancaman kriminalisasi sering
mereka alami akibat upaya pembangkangan ini. Salah satu petani menuturkan: “kapanpun
kami petani bisa di usir dari lahan garapan. Kami sudah disurati oleh perusahaan [PT. ASI]
untuk segera angkat kaki dari lahan setelah lebaran, tapi kami tetap bertani karena ini
pilihan”. (Wawancara: Ludin Paputungan, 26 April 2021). Pilihan pembangkangan tersebut
mereka pilih dengan menyadari berbagai resiko yang mungkin bisa mereka terima.
Privatisasi lahan garapan ini telah mengisolasi petani penggarap dari akses terhadap
perekonomian. Struktur ekonomi politik yang membuat mereka tereksklusi dari lahan
garapan merupakan faktor di mana bentuk ketidakadilan itu dirasakan. Dengan struktur
ekonomi politik yang memarginalisasi dan mengeksklusi para petani penggarap itu pada
akhirnya tidak menciptakan redistribusi ekonomi, melainkan mal-distribusi: yakni lahan
garapan sebagai sarana produksi kolektif diprivatisasi untuk kepentingan akumulasi modal
swasta, di mana hal tersebut didukung oleh berbagai kekuatan yang oleh Hall, Hirsch, dan Li
(2020) disebut sebagai kuasa eksklusi (power of exclusion).
POLITIK REPRESENTASI: DARI MIS-REPRESENTASI POLITIK FORMAL KE
REPRESENTASI POLITIK INFORMAL

Dalam aktivitas politik kewargaan, partisipasi merupakan faktor penting untuk mewujudkan
kewargaan aktif (active citizenship). Penekanan pada kewargaan aktif ini berarti bahwa
proses untuk menjadi seorang warga negara tidak semata-mata sebagai isu identitas, status
legal, dan hak, tetapi lebih dari itu yakni menjadi bagian dan terlibat aktif di dalam komunitas
warga negara (Stokke, 2018). Selain itu, keterlibatan aktif di dalam urusan-urusan publik
secara setara merupakan faktor yang penting bagi pemajuan demokrasi (Beetham, 1999). Ada
dua model keterlibatan warga untuk berpartisipasi, yakni model partisipatoris yang
menekankan pada keterlibatan langsung warga negara terhadap pengawasan urusan publik,
dan model representasi yang didasarkan pada keterlibatan wakil-wakil masyarakat dalam
urusan dan kontrol publik yang diamanatkan oleh masyarakat itu sendiri.
Politik representasi (politics of representation) berkaitan dengan perjuangan politik
warga negara untuk menghadirkan representasi politik dan bepartisipasi dalam urusan-urusan
publik. Politik representasi muncul akibat adanya mis-representasi sebagai bentuk
ketidakadilan politik. Mis-representasi tersebut terjadi ketika wakil-wakil politik masyarakat
baik itu dalam sistem politik formal terisolasi dari masyarakat itu sendiri.
Dalam penelitian ini diketahui bahwa ada dua model perjuangan politik representasi
para petani penggarap dalam kaitannya untuk mencari jalan penyelesaian ketidakadilan. Yang
pertama yakni secara formal lewat upaya memenangkan “putra daerah” di dalam kompetisi
elektoral, dan yang kedua yaitu secara informal dengan membangun jaringan dengan aktor-
aktor pro-demokrasi yang bergerak di arena masyarakat sipil, seperti NGO, aktivis
lingkungan, dan elemen gerakan mahasiswa.
Hadirnya figur daerah seperti Sehan Lanjar (calon wakil Gubernur mendampingi
Christiany Eugenia Paruntu sebagai calon Gubernur) dalam pemilihan calon Gubernur dan
Wakil Gubernur Sulawesi Utara pada pilkada 2020 memunculkan sebuah harapan akan
kemungkinan representasi politik yang memiliki kesamaan asal-usul identitas daerah. Sehan
Lanjar merupakan figur politisi yang populis yang menarik perhatian masyarakat Bolaang
Mongondow. Sehan unggul di Kecamatan Lolak tetapi kalah di level Kabupaten dan
Provinsi. Lewat aktivitas politik elektoral ini, dapat diamati bahwa perjuangan akan
representasi politik masyarakat dipejuangkan dengan menempuh proses elektoral. Khususnya
oleh petani penggarap, di mana proses elektoral tersebut diharapkan menjadi pintu masuk
untuk memperbaiki representasi politik.
Kekalahan Sehan pada dasarnya memeperlihatkan bahwa sebenarnya cara-cara
perjuangan politik secara formal untuk mendapatkan representasi politik tersebut masih tidak
memiliki kekuatan yang cukup untuk menghadirkan representasi yang diinginkan. Hal ini
karena masih adanya fragmentasi politik masyarakat di dalam Pilkada. Fragmentasi itu
mempengaruhi agenda-agenda strategis untuk mencari jalan keluar ketiadakadilan dari
ekspansi perkebunan sawit. Masih banyak masyarakat yang belum memiliki sebuah
kesepemahaman soal bagaimana ekspansi perkebunan sawit tersebut mempengaruhi segi-segi
kehidupan masyarakat, khususnya para petani penggarap, dan bagaimana perjuangan itu
dibawa dalam suatu representasi politik formal dengan harapan untuk mendukung agenda
perjuangan. Tetapi, saluran representasi politik formal ini bukanlah sebuah jaminan akan
tuntasnya permasalahan. Seperti misalnya, Gubernur terpilih yang juga merupakan
incumbent, Olly Dondokambey, beberapa kali menyampaikan kepada media bahwa dirinya
adalah orang yang menolak perkebunan sawit. Sebagai gubernur terpilih yang juga menolak
perkebunan sawit, hal itu tidak serta merta menyelesaikan permasalahan. Faktanya sampai
saat ini ia tidak memiliki kemampuan untuk menghentikan izin opereasi perkebunan sawit
tersebut. Jadi dalam hal ini, selain masyarakat yang tidak memiliki kekuatan yang cukup
untuk memiliki representasi politik secara formal dengan berbagai kekurangannya, juga
bahwa saluran elektoral ini tidak menjamin tuntasnya permasalahan.
Langkah-langkah strategis lain tetap dibangun oleh para petani penggarap dalam
kaitannya dengan aktivitas politik kewargaan ntuk menghadirkan representasi. Selain secara
formal seperti yang didiskusikan di atas, aktivitas politik kewargaan mereka juga di lakukan
dengan membangun jejaring dengan aktor-aktor pro-demokrasi yang bergerak di arena
masyarakat sipil. Di dalam berbagai studi mengenai aktor-aktor pro-demokrasi, entitas ini
adalah syarat penting bagi kebermaknaan demokrasi (Budiman & Törnquist, 2001; Priyono,
et. All, 2007; Samadhi & Warouw, 2009; Savirani & Törnquist, 2016). Agar bisa bermakna,
hak maupun institusi demokrasi tidak sekedar harus ada, tetapi berjalan dengan baik
(Törnquist, 2005).
Hadirnya kelompok mahasiswa seperti Kerukunan Pelajar Mahasiswa Kecamatan
Lolak (KPMKL) sangat membantu dalam tugas-tugas advokasi petani penggarap. Dalam
aktivitasnya, kelompok ini menjadi salah satu motor penggerak yang melibatkan para petani
dalam aktivitas politik kewargaan. Mereka bertugas untuk mengorganisir petani untuk
berpartisipasi secara langsung di dalam kontrol publik terkait ekspansi perkebunan sawit.
Ketika isu ekspansi perkebunan sawit di daerhanya ini mengemuka, mahasiswa anggota
KPMKL yang sedang melaksanakan studi di kota-kota studi seperti Manado, Tondano, dan
Gorontalo, secara responsif langsung mengkonsolidasikan diri untuk membentuk aliansi yang
menolak ekspansi ini. Dengan berjejaring sesama mahasiswa di luar KPMKL yang juga
berasal dari Bolaang Mongondow, KPMKL membentuk Aliansi Mahasiswa Bolaang
Mongondow Raya (AMBOR) yang menhimpun elemen mahasiswa dan petani penggarap.
Dalam aktivitasnya, aliansi ini memilih strategi politik kewargaan seperti aksi massa sebagai
arena partisipasi politiknya. Tercatat pula bahwa, aliansi inilah yang pertama kali melakukan
protes ekstra parlementer untuk menolak hadirnya perkebunan sawit di daerahnya. Tanggal
22 Oktober 2018, mereka bersama para petani penggarap mendatangi kantor Bupati Bolaang
Mongondow untuk menyampaikan protes dan penolakkan. Dalam kesempatan itu, massa aksi
tidak mendapatkan kejelasan sikap dari pemerintah Kabupaten apalagi soal pemberhentian
operasi perkebunan sawit milik PT. ASI.
Sebagai kalangan terdidik dari universitas, KPMKL menjadi ujung tombak untuk
menyusun langkah-langkah strategis dan merancang bentuk pergerakan yang efektif. Selain
itu, mereka juga bertugas untuk menghimpun berbagai data-data seperti regulasi yang akan
menjadi acuan pergerakannya:
“Masyarakat menyerahkan kepada kami soal bagaimana agar supaya perusahaan itu dapat
berhenti beroperasi. Hanya saja, kami terkendala soal data-data. Kami berusaha melakukan
kesepakatan-kesepakatan dengan mereka [pemerintah dan perusahaan] yang tujuannya
melindungi hak masyarakat [petani penggarap]”. (Wawancara: Aditya Nantuju sebagai aktivis
KPMKL, 26 April 2021).

Walaupun telah melakukan aktivitas pendampingan terhadap petani penggarap, pada


dasarnya mereka tetap memiliki posisi yang lemah dalam pertarungan kekuasaan elite-
predatori. Mereka belum mempunyai posisi tawar yang signifikan yang akan menjadi
kekuatan di dalam aktivitas politik kewargaannya. Hal tersebut dapat dilihat dengan
bagaimana tuntutan-tuntutan mereka seperti pencabutan izin operasi perkebunan sawit
menjadi hal yang sulit untuk dikabulkan. Dalam struktur ekonomi politik di mana terjadi
aliansi antara kekuatan bisnis (the market) dan birokrasi pemerintahan (the state), entitas
masyarakat sipil yang tidak memiliki kecukupan kekuatan dalam aktivitasnya akan tersingkir
dengan kekuatan tersebut. PPMKL dalam hal ini masih perlu memperkuat basis dengan
mereorganisasi kekuatan-kekuatan organisatorisnya dan membangun gerakan yang lebih
inklusif dengan berjejaring antara sesama elemen masyarakat sipil untuk menghadapi struktur
ekonomi politik tersebut, serta mendapatkan dukungan publik adalah hal penting yang harus
dilakukan untuk menambah kekuatan.
Metode yang mereka gunakan untuk mendapatkan dukungan publik adalah dengan
menggunakan media massa. Peranan media dalam kasus ini berperan penting untuk
menyebarluaskan isu dan membentuk opini publik. Berkat media pula jejaring yang lebih
luas kemudian terbentuk. Aliansi ini melebar dari sebelumnya terbatas pada KPMKL dan
petani penggerap, menjadi luas dengan keterlibatan kelompok masyarakat sipil seperti LBH-
Manado, Walhi, organisasi mahasiswa seperti LMND, PMII, GMNI, serta sebagian
kelompok jurnalis. Mereka merespon dan terlibat di dalam upaya membentuk gerakan yang
lebih luas.
LBH-Manado misalnya, dalam hal ini menjadi pendamping hukum bagi para petani
penggarap dengan metode Bantuan Hukum Struktural (BHS). Dalam aktivitas advokasinya,
mereka juga melakukan pelatihan-pelatihan hukum serta berbagai bentuk pengorganisiran,
baik itu aksi massa maupun kampanye media. Kehadiran organisasi masyarakat sipil seperti
LBH-Manado menurut masyarakat sangat penting dalam pengorganisiran gerakan. Misalnya
bahwa, LBH-Manado mengorganisir aksi massa yang turut serta melibatkan petani penggarap
beserta berbagai elemen masyarakat sipil:

“Yang LBH-Manado lakukan adalah pemberdayaan hukum, pengorganisiran, akses


menyampaikan aspirasi ke pemerintahan provinsi. Hal ini penting agar warga [petani
penggarap] paham hukum, terbentuk kesadaran kritis untuk memperjuangkan hak-hak petani
penggarap”. (Wawancara: Satryano Pangkey dari LBH-Manado, 16 Juni 2021).

Pada tanggal 08 Agustus 2019, koalisi masyarakat sipil dan petani penggarap
melakukan aksi massa untuk menuntut pencabutan izin usaha perkebunan sawit milik PT.
ASI. Mereka menyasar lembaga-lembaga negara seperti Kepolisian Daerah Sulawesi Utara
yang anggota-anggotanya kerap kali mengintimidasi para petani di lahan garapan, lalu kantor
DPRD Provinsi untuk meminta dibuatnya pansus mengenai masalah ini, serta kantor
Gubernur untuk menagih janji Gubernur atas penolakkannya terhadap perkebunan sawit.
Semua bentuk aktivitas politik kewargaa para petani penggarap, baik secara formal
lewat kompetisi elektoral memenangkan putra daerah, ataupun secara informal dengan
membangun koalisi bersama dengan elemen masyarakat sipil, dapat dilihat sebagai upaya
mereka dalam menghadirkan representasi politik. Penelitian ini menunjukkan bahwa,
perjuangan merebut representasi politik secara informal dengan membangun koalisi yang
inklusif dengan berbagai elemen masyarakat sipil sebagai aktor demokrasi adalah jalan yang
lebih bisa diandalkan dan sangat membantu. Sedangkan upaya menghadirkan representasi
politik secara formal lewat kompetisi elektoral tidak berhasil dan belum tentu akan
menghadirkan jalan bagi upaya penyelesaian ketidakadilan. Sekalipun begitu, kedua jalan
yang dipilih tersebut sama-sama masih belum bisa menuntaskan permasalahan.
Dari pembahasan di atas, kita dapat petakan bagiaman aksi afirmatif maupun
transformatif berkaitan dengan aktivitas politik kewargaan petani penggarap dalam hal
menghadirkan representasi politik. Yang pertama, secara afirmatif, upaya-upaya yang
ditempuh dalam politik representasi ini adalah (1) melakukan upaya untuk memenangkan
putra daerah sebagai figur representatif di dalam sistem politik formal, dan (2) secara
prosedural dengan meminta membentuk pansus kepada anggota DPRD Provinsi untuk
menyelesaikan masalah tersebut. Sedangkan yang kedua yakni secara transformatif, mereka
berkoalisi dengan dengan berbagai elemen masyarakat sipil yang mempunyai kesamaan sikap
untuk menolak ekspansi perkebunan sawit sebagai arena partisipasi langsung dan juga
sebagai representasi politik alternatif.
Jelas bahwa, petani penggarap tidak memiliki representasi politik (mis-representasi) di
dalam sistem politik formal yang dapat diandalkan yang dibuktikan dengan gagalnya
menghadirkan figur representasi politik lewat kompetisi elektoral, relasi patronase dengan
pejabat yang tidak bisa menjamin menyelesaikan masalah, hingga pasifnya wakil-wakil
pemerintah daerah dalam menyelesaikan masalah. Sedangkan representasi alternatif lewat
jejaring masyarakat sipil untuk berpartisipasi langsung dalam urusannya dengan ekspansi
perkebunan sawit dalam hal ini lebih banyak membantu untuk menghadirkan representasi
politik sebagai bagian dari perjuangan politik representasi (politics of representation) akibat
suatu keadaan mis-representasi. Representasi alternatif ini yang justru lebih diandalkan dan
relatif lebih membantu ketimbang menggantungkan harapan terhadap representasi formal.
KESIMPULAN

Ada beberapa hal yang dapat disimpulkan dalam penelitian ini berkaitan dengan pola
aktivitas politik kewargaan para petani penggarap di dalam perjuangan politik pengakuan
(politics of recognition), politik redistribusi (politics of redistribution), dan politik
representasi (politics of representation). Yang pertama adalah di dalam politik pengakuan,
terjadi eksklusi identitas kultural (mis-rekognisi) akibat ekspansi perkebunan sawit yang pada
akhirnya memunculkan sentimen politik berbasis identitas yang dapat dibaca dengan adanya
keinginan para petani penggarap untuk membentuk daerah otonom pemerintahan baru
sebagai pilihan penyelesaian ketidakadilan secara transformatif. Selain itu langkah-langkah
afirmatif untuk menyelesaikan ketidakadilan juga dipilih.
Yang kedua, di dalam politik redistribusi, struktur ekonomi politik dan penetrasi
kapitalisme yang merubah status lahan dari lahan kolektif menjadi lahan privat membuat para
petani penggarap kehilangan lahan garapan dan terisolasi dari sumber daya ekonominya
(mal-distribusi). Hal tersebut membuat mereka mengambil langkah-langkah afirmatif
maupun transformatif untuk menyelesaikan ketidakadilan. Yang ketiga, pada politik
representasi (politics of representasi), para petani penggarap tidak memiliki representasi
(mis-representasi) yang bisa diandalkan. Hal ini dapat dilihat dari gagalnya figur representatif
yang mereka perjuangkan dalam kompetisi elektoral, dan pasifnya pemerintahan daerah
sebagai figur representasi formal untuk menuntaskan permasalahan. Representasi politik
informal seperti jejaring masyarakat sipil dalam hal ini menjadi pilihan, serta diambilnya
langkah-langkah afirmatif maupun transformatif untuk menyelesaikan ketidakadilan.
DAFTAR PUSTAKA

Beetham, David. 1999. Democracy and Human Rights. Cambridge: Polity Press.

Budiman, Arief. Olleh Törnquist. 2001. Aktor Demokrasi: Catatan Tentang Gerakan
Perlawanan di Indonesia. Jakarta: Institut Studi Arus Informasi (ISAI).

Creswell, John W. 2013. Reasearch Design: Pendekatan Kualitatif, Kuantitatif, dan Mixed.
Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Fraser, N. 1995. From Redistribution to Recognition? Dilemas of Justice in a ‘Postsocialist’


Age. New Left Review. 212: 68-93.

Fraser, N. K. Olson. (ed.) 2003. Adding Insult to Injury: Nancy Fraser Debates Her Critics.
London: Verso.

Fraser, N. 2009. Scales of Justice: Reimagining Political Space in a Globalizing World. New
York: Columbia University Press.

Gastaldi, Magherita. David Jurdhus-Lier. Debi Prabawati. 2018. Pekerja Rumah Tangga,
Perjuangan Kewargaan, dan Identitas Kolektif di Indonesia. Di dalam Eric Hiariej dan
K. Stokke. (ed.) 2018. Politik Kewargaan di Indonesia. Jakarta: Yayasan Pustaka Obor
Indonesia.

Hadiz, Vedi R. Dan R. Robison. 2013. The Political Economy of Oligarchy and The
Reorganizing Power in Indonesia. Indonesia: 96: 35-57.

Hadiz, Vedi R. 2002. Kapitalisme, Kekuasaan Oligarkis dan Negara di Indonesia. Dalam
Vedi R. Hadiz. 2005. Dinamika Kekuasaan: Ekonomi Politik Indonesia Pasca-
Soeharto. Jakarta: LP3ES.

Hadiz, Vedi R. 2005. Dinamika Kekuasaan: Ekonomi Politik Indonesia Pasca-Soeharto.


Jakarta: LP3ES.

Hadiz, Vedi R. 2003. Desentralisation and Democracy in Indonesia A Critique of Neo-


Institusionalist Perspectives. Southeast Asia Research Centre Working Paper Series.
City University of Hongkong: No. 47, Mei 2003.

Hiariej, Eric. K. Stokke. (ed.) 2018. Politik Kewargaan di Indonesia. Jakarta: Yayasan
Pustaka Obor Indonesia.

Hiariej, Eric. Olle Törnquist. 2018. Politik Indonesia dan Kewargaan dalam Perspektif
Sejarah. Dalam Eric Hiariej dan K. Stokke. (ed.) 2018. Politik Kewargaan di Indonesia.
Jakarta: Yayasan Pustaka Obor Indonesia. 57-88.

Hieariej, Eric. Frans de Jalong. Dana Hasibuan. Ayu Diasti Rahmawati. 2018. Islamisme
Pascafundamentalis dan Politik Kewargaan di Indonesia. Di dalam Eric Hiariej dan K.
Stokke. (ed.) 2018. Politik Kewargaan di Indonesia. Jakarta: Yayasan Pustaka Obor
Indonesia.

Hall, Derek. Philip Hirsch. Tania Murray Li. 2020. Kuasa Eksklusi: Dilema Pertanahan di
Asia Tenggara. Yogyakarta: INSISTPress.

Lister, R. 2002. Sexual Citizenship. Dalam E. F. Isin dan B. S. Turner (ed.) Handbook of
Citizenship Studies. London: Sage. Hlm 191-207.

Marshall, T. H. 1992. Citizenship and Social Class. Dalam T. H. Marshall dan T. Bottomore
(ed). Citizenship and Social Class, 3-51. London: Pluto.

Mundayat, Aris Arif. AE Priyono. 2009. Rekomendasi: Blok Politik Demokratis. Dalam
Willy Purna Samadhi, Nicolaas Warouw. (ed.) 2009. Demokrasi di Atas Pasir:
Kemajuan dan Kemunduran Demokratisasi di Indonesia. Yogyakarta: PCD Press.

Priyono, AE. Willy Purna Samadhi. Olle Törnquist, dkk. 2005. Menjadikan Demokrasi
Bermakna: Masalah dan Pilihan di Indonesia. Jakarta: Demos.

Robison, R. Dan Vedi R. Hadiz. 2004. Reorganizing Power in Indonesia: The Politics of
Oligarchy in Age of Markets. London: Routledge.

Samadhi, Willy Purna. Nicolaas Warouw. (ed.) 2009. Demokrasi di Atas Pasir: Kemajuan
dan Kemunduran Demokratisasi di Indonesia. Yogyakarta: PCD Press.

Samadhi, Willy Purna. 2016. Blok Poltik Kesejahtraan: Merebut Kembali Demokrasi.
Yogyakarta: Polgov UGM.

Savirani, Amalinda. Olle Törquist. 2016. Reclaiming the State: Mengatasi Problem
Demokrasi Indonesia Pasca-Soeharto. Yogyakarta: PolGov & PCDPress.

Silitonga, Banget. (ed.) 2012. Kratos Minus Demos: Demokrasi Indonesia, Catatan dari
Bawah. Jakarta: Yayason Obor Indonesia.

Stokke, Kristian. (2018). Politik Kewargaan: Kerangka analisis. Di dalam Eric Hiariej dan K.
Stokke. (ed.) 2018. Politik Kewargaan di Indonesia. Jakarta: Yayasan Pustaka Obor
Indonesia.

Stokke, Kristian. (2017). Politics of Citizenship: Towards an Analytical Framwork.


Norwegian Journal of Geography: Vol. 71: 4.

Subono, Nur Imam. 2012. Dari Civil Society ke Blok Politik Demokratik. Dalam Benget
Silitonga (ed.) Kratos Minus Demos: Demokrasi Indonesia, Catatan dari Bawah.
Jakarta: Yayason Obor Indonesia. Hlm 283-307.
Törnquist, Olle. 2005. Menilai Demokrasi Indonesia dari Bawah. Dalam AE Priyono. Willy
Purna Samadhi. Olle Törnquist, dkk. 2005. Menjadikan Demokrasi Bermakna:
Masalah dan Pilihan di Indonesia. Jakarta: Demos.

Winters, A. Jeffrey. 2011. Oligarki. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.

Wahyono, Effendi. 2008. Minahasa dalam Jaringan Perdagangan Kopra di Hindia Belanda
1900-1941. Di dalam Djoko Marihandono, (ed.) 2008. Titik Balik: Historiograffi di
Indonesia. Jakarta: Wedatama Widya Sastra.
Young, I. M. 1998. Polity and Difference: A Critique of The Ideal of Universal Citizenship.
Dalam G. Shafir (ed.) The Citizenship Debates. Minneapolis: University of Minneasota
Press. Hlm 263-290.

Anda mungkin juga menyukai