”Abdi dari Allah yang benar”, pemimpin bangsa Israel, perantara perjanjian
Hukum, nabi, hakim, komandan, sejarawan, dan penulis. (Ezr 3:2) Musa lahir pada
tahun 1593 SM, di Mesir, sebagai putra Amram, cucu Kohat, dan cicit Lewi. Ibunya,
Yokhebed, bersaudara dengan Kohat. (Akan tetapi, lihat YOKHEBED.) Musa tiga
tahun lebih muda daripada Harun, saudaranya. Miriam, kakak mereka, beberapa tahun
lebih tua.—Kel 6:16, 18, 20; 2:7.
Meskipun Musa memiliki kedudukan yang tinggi dan ada berbagai kesempatan
baginya di Mesir, hatinya ada pada umat Allah yang sedang diperbudak. Malah, ia
berharap akan digunakan Allah untuk membebaskan mereka. Pada tahun ke-40 dari
masa hidupnya, sementara mengamati beban pekerjaan yang harus ditanggung
saudara-saudara Ibraninya, ia melihat seorang Mesir memukul seorang Ibrani.
Sebagai upaya untuk membela sesama orang Israel, ia membunuh orang Mesir itu dan
menguburkannya di dalam pasir. Pada saat itulah Musa membuat keputusan yang
paling penting dalam kehidupannya: ”Karena beriman, setelah dewasa Musa
menolak untuk disebut sebagai putra dari putri Firaun, dan memilih untuk
diperlakukan dengan kejam bersama umat Allah sebaliknya daripada mendapatkan
kenikmatan sementara dari dosa.” Dengan demikian, Musa mengorbankan
kehormatan dan perkara-perkara materi yang sebenarnya bisa ia nikmati sebagai
anggota rumah tangga sang Firaun yang perkasa.—Ibr 11:24, 25.
Sesungguhnya, Musa merasa bahwa sudah tiba waktunya bagi dia untuk
menyelamatkan orang-orang Ibrani. Namun, mereka tidak menghargai upayanya, dan
Musa terpaksa melarikan diri dari Mesir ketika Firaun mendengar tentang
terbunuhnya orang Mesir itu.—Kel 2:11-15; Kis 7:23-29.
Empat Puluh Tahun di Midian. Musa mengadakan perjalanan jauh melintasi
daerah padang belantara ke Midian, tempat ia mencari perlindungan. Di sana, di dekat
sebuah sumur, timbul kembali keberanian dan kesediaan Musa untuk bertindak
dengan penuh kuasa guna membantu orang-orang yang menderita ketidakadilan.
Ketika para gembala mengusir ketujuh putri Yitro dan kambing-domba mereka, Musa
datang membantu wanita-wanita itu dan memberi minum kambing-domba mereka.
Oleh karena itu, ia diundang ke rumah Yitro dan mendapat pekerjaan sebagai gembala
kambing-dombanya. Belakangan, ia mengawini Zipora, salah seorang putri Yitro,
yang melahirkan baginya dua putra, Gersyom dan Eliezer.—Kel 2:16-22; 18:2-4.
Musa tidak dianggap tidak memenuhi syarat walaupun ia kurang percaya diri.
Musa memperlihatkan sikap kurang percaya diri, dengan berdalih bahwa ia tidak fasih
berbicara. Tampaknya, ia sudah berubah, berbeda sekali dengan Musa yang 40 tahun
sebelumnya, atas prakarsanya sendiri, menawarkan diri untuk menjadi pembebas
Israel. Ia terus-menerus mengajukan keberatan kepada Tuhan, dan akhirnya meminta
Tuhan membebaskannya dari tugas tersebut. Meskipun hal itu membangkitkan
kemarahan Allah, Ia tidak menolak Musa tetapi menjadikan Harun, kakak Musa,
sebagai penyambung lidah. Jadi, karena Musa adalah wakil Allah, ia menjadi seperti
”Allah” bagi Harun, yang berbicara mewakili Musa. Dalam pertemuan setelah itu
dengan para tua-tua Israel dan dalam beberapa perjumpaan dengan Firaun, tampaknya
Allah yang memberikan instruksi dan perintah kepada Musa, dan selanjutnya Musa
menyampaikannya kepada Harun. Oleh karena itu, sesungguhnya, Harun-lah yang
berbicara di hadapan Firaun (penerus dari Firaun yang memerintah 40 tahun
sebelumnya, yaitu ketika Musa melarikan diri). (Kel 2:23; 4:10-17) Belakangan,
Tuhan menyebut Harun sebagai ”nabi” bagi Musa, yang berarti bahwa,
sebagaimana Musa adalah nabi Allah dan menerima pengarahan-Nya, demikian juga
Harun harus menerima pengarahan Musa. Selain itu, Musa diberi tahu bahwa ia
dijadikan ”Allah bagi Firaun”, maksudnya, diberi kuasa dan wewenang ilahi atas
Firaun, sehingga ia tidak perlu takut kepada raja Mesir tersebut.—Kel 7:1, 2.
Belakangan Alkitab memberi tahu kita, ”Musa adalah pria yang paling lembut,
jauh melebihi semua orang yang ada di permukaan bumi.” (Bil 12:3) Sebagai orang
yang lembut hati, ia menyadari bahwa ia hanyalah manusia belaka, dengan
ketidaksempurnaan dan kelemahan. Ia tidak menonjolkan diri sebagai pemimpin
Israel yang tak terkalahkan. Ia menyatakan kesadaran yang dalam akan
keterbatasannya, bukannya perasaan takut akan Firaun.
Di hadapan Firaun Mesir. Musa dan Harun sekarang menjadi tokoh kunci dalam
’pertempuran allah-allah’. Dengan perantaraan para imam yang mempraktekkan
ilmu gaib, yang tampaknya dipimpin oleh Yanes dan Yambres (2Tim 3:8), Firaun
menghimpun kekuatan semua allah Mesir untuk melawan kekuatan Tuhan. Mukjizat
pertama yang diadakan Harun di hadapan Firaun atas pengarahan Musa membuktikan
bahwa Tuhan lebih unggul daripada allah-allah Mesir, meskipun Firaun semakin keras
kepala. (Kel 7:8-13) Belakangan, pada waktu tulah ketiga terjadi, para imam pun
terpaksa mengakui, ”Ini adalah jari Allah!” Dan mereka begitu menderita akibat
tulah bisul-bisul sehingga mereka semua bahkan tidak dapat tampil di hadapan Firaun
untuk menentang Musa selama berlangsungnya tulah itu.—Kel 8:16-19; 9:10-12.
Tulah-tulah membuat orang menjadi lebih lembut atau lebih keras. Musa dan
Harun mengumumkan tulah demi tulah di antara Sepuluh Tulah. Tulah-tulah pun
terjadi tepat sebagaimana yang diumumkan, yang membuktikan bahwa Musa adalah
wakil Tuhan. Nama Tuhan diberitakan dan banyak dibicarakan di Mesir sehingga
orang menjadi lebih lembut atau lebih keras sehubungan dengan nama itu—orang-
orang Israel dan beberapa orang Mesir menjadi lebih lembut; Firaun dan para
penasihatnya serta para pendukungnya menjadi lebih keras. (Kel 9:16; 11:10; 12:29-
39) Sebaliknya dari percaya bahwa mereka telah menyakiti hati allah-allah mereka,
orang-orang Mesir tahu bahwa Tuhan-lah yang menghakimi allah-allah mereka. Pada
waktu sembilan tulah sudah terlaksana, Musa juga menjadi ”orang yang sangat hebat
di tanah Mesir, di mata hamba-hamba Firaun dan di mata bangsa itu”.—Kel 11:3.
Keberanian dan iman diperlukan untuk menghadap Firaun. Musa dan Harun
sanggup menangani tugas yang diberikan kepada mereka hanya dengan kekuatan
Tuhan dan karena roh-Nya bekerja atas mereka. Bayangkan istana milik Firaun, raja
dari kuasa dunia yang tidak terkalahkan pada zaman itu. Di sana terdapat
kesemarakan yang tak ada bandingannya, Firaun yang angkuh, yang dianggap sebagai
suatu allah, dikelilingi oleh para penasihatnya, para komandan militer, para pengawal,
dan budak-budak. Selain itu, terdapat para pemimpin agama, para imam yang
mempraktekkan ilmu gaib, yakni orang-orang yang paling menentang Musa. Orang-
orang ini, selain Firaun sendiri, adalah orang-orang yang paling berkuasa di seluruh
kerajaan. Sederetan tokoh yang mengesankan ini bersatu untuk mendukung Firaun
dalam menjunjung allah-allah Mesir. Dan Musa serta Harun datang menghadap
Firaun, tidak hanya satu kali, tetapi berkali-kali, dan setiap kali hati Firaun semakin
keras, karena dia bertekad untuk tetap menguasai budak-budak Ibrani miliknya yang
sangat bernilai. Malah, setelah mengumumkan tulah kedelapan, Musa dan Harun
diusir dari hadapan Firaun; setelah tulah kesembilan mereka diperintahkan, di bawah
ancaman hukuman mati, untuk tidak mencoba melihat muka Firaun lagi.—Kel 10:11,
28.
Mengingat hal itu, jelas sekali mengapa Musa berulang-ulang memohon kepada
Tuhan agar diberi keyakinan dan kekuatan. Namun, perlu diperhatikan bahwa ia tidak
pernah gagal menunaikan apa yang Tuhan perintahkan. Ia tidak pernah mengurangi
sepatah kata pun dari berita yang Tuhan berikan untuk disampaikan kepada Firaun,
dan oleh karena Musa memperlihatkan kepemimpinan yang seperti itu, pada waktu
tulah kesepuluh berlangsung, ”segenap putra Israel melakukannya tepat seperti yang
Tuhan perintahkan kepada Musa dan Harun. Mereka melakukannya tepat seperti
itu”. (Kel 12:50) Musa menjadi teladan bagi orang Kristen karena imannya yang luar
biasa. Mengenai Musa, rasul Paulus mengatakan, ”Karena beriman, ia meninggalkan
Mesir, tetapi bukan karena takut akan kemarahan raja, sebab ia tetap kokoh seperti
melihat Pribadi yang tidak kelihatan.”—Ibr 11:27.
Perantara Perjanjian Hukum. Pada bulan ketiga setelah Eksodus dari Mesir,
Tuhan memperlihatkan di hadapan seluruh Israel betapa besar wewenang dan
tanggung jawab yang Ia berikan kepada Musa, hamba-Nya, maupun betapa akrabnya
hubungan Musa dengan Allah. Di hadapan seluruh Israel, yang berkumpul di kaki G.
Horeb, Tuhan memanggil Musa untuk naik ke gunung dan, dengan perantaraan
seorang malaikat, Ia berbicara kepadanya. Pada suatu peristiwa, Musa mendapat hak
istimewa untuk memperoleh pengalaman yang mungkin merupakan pengalaman yang
paling membangkitkan rasa takjub yang belum pernah dialami manusia mana pun
sebelum kedatangan Yesus Kristus. Sementara Musa sendirian di atas gunung, Tuhan
memberikan kepadanya suatu penglihatan mengenai kemuliaan-Nya. Ia menaruh
’telapak tangan-Nya’ ke atas Musa sebagai penyekat dan membiarkan Musa
melihat ’bagian belakang-Nya’, tampaknya memaksudkan kilap sisa manifestasi
kemuliaan Allah itu. Kemudian Ia berbicara kepada Musa seakan-akan secara pribadi.
—Kel 19:1-3; 33:18-23; 34:4-6.
Tuhan memberi tahu Musa, ”Engkau tidak sanggup melihat mukaku, karena
tidak seorang pun dapat melihat aku dan tetap hidup.” (Kel 33:20) Dan berabad-abad
kemudian, rasul Yohanes menulis, ”Tidak seorang pun pernah melihat Allah.” (Yoh
1:18) Stefanus, sang martir Kristen, mengatakan kepada orang-orang Yahudi, ”Inilah
dia [Musa] yang kemudian berada dalam sidang jemaat di padang belantara dengan
malaikat yang berbicara kepadanya di Gunung Sinai.” (Kis 7:38) Jadi, di gunung itu,
Tuhan diwakili oleh seorang malaikat. Meskipun demikian, oleh karena begitu
hebatnya kemuliaan Tuhan sebagaimana dipertunjukkan oleh malaikat yang menjadi
wakil Tuhan ini, kulit muka Musa memancarkan sinar yang menyebabkan putra-putra
Israel tidak tahan memandang dia.—Kel 34:29-35; 2Kor 3:7, 13.
Perantara yang cocok. Musa beberapa kali naik ke G. Horeb, dan pada dua
kesempatan ia tinggal di sana selama 40 hari dan 40 malam. (Kel 24:18; 34:28)
Setelah kesempatan yang pertama, ia kembali dengan membawa dua lempeng batu
”yang ditulisi oleh jari Allah” dan memuat ”Kesepuluh Firman” atau Sepuluh
Perintah, yaitu hukum-hukum dasar dari perjanjian Hukum. (Kel 31:18; Ul 4:13) Pada
kesempatan yang pertama ini, Musa menunjukkan bahwa ia cocok menjadi perantara
antara Tuhan dan Israel dan menjadi pemimpin dari bangsa yang besar ini yang bisa
jadi terdiri dari tiga juta orang atau lebih. Ketika Musa berada di atas gunung, Tuhan
memberi tahu dia bahwa bangsa itu telah berpaling kepada penyembahan berhala, dan
berfirmanlah Tuhan, ”Biarkanlah aku, agar kemarahanku berkobar terhadap mereka
dan aku membasmi mereka, dan aku akan menjadikan engkau suatu bangsa yang
besar.” Tanggapan yang segera dari Musa menyingkapkan bahwa penyucian nama
Tuhan adalah hal yang paling utama baginya—ia sama sekali tidak mementingkan diri
dan tidak menginginkan kemasyhuran bagi dirinya. Ia tidak meminta apa-apa bagi
dirinya tetapi, sebaliknya, ia mempedulikan nama Tuhan yang Dia muliakan tidak
lama sebelumnya melalui mukjizat di L. Merah; ia juga menghargai janji Allah
kepada Abraham, Ishak, dan Yakub. Sebagai tanggapan atas permohonan Musa,
Tuhan tidak jadi membasmi bangsa itu. Hal itu jelas memperlihatkan bahwa Tuhan
menganggap Musa memenuhi peranannya sebagai perantara dengan cara yang
memuaskan dan bahwa Ia merespek pengaturan yang digunakan-Nya ketika
mengangkat Musa kepada kedudukan tersebut. Maka, Tuhan ”menyesal atas hal
jahat yang telah ia ucapkan akan ia lakukan terhadap umatnya”—maksudnya, oleh
karena keadaan yang berubah, Ia mengubah sikap-Nya sehubungan dengan
malapetaka yang akan Ia datangkan ke atas mereka.—Kel 32:7-14.
Kegairahan Musa untuk ibadat sejati seraya ia melayani demi kepentingan Allah
diperlihatkan sewaktu ia turun dari gunung itu. Ketika melihat para penyembah
berhala yang sedang berpesta pora, ia melemparkan lempeng-lempeng itu,
menghancurkannya, dan memanggil orang-orang yang mau berpihak kepada Tuhan.
Suku Lewi bergabung dengan Musa, dan ia memerintahkan mereka untuk
menghukum mati semua orang yang terlibat dalam ibadat palsu itu. Akibatnya, kira-
kira 3.000 orang dibunuh. Kemudian ia kembali kepada Tuhan, mengakui dosa besar
yang dilakukan bangsa itu, dan memohon, ”Tetapi sekarang, kiranya engkau mau
mengampuni dosa mereka,—dan jika tidak, hapuslah kiranya aku, dari bukumu yang
telah kautulis.” Allah tidak merasa kesal akan permohonan Musa sebagai perantara,
tetapi mengatakan, ”Barang siapa berbuat dosa terhadapku, aku akan menghapus dia
dari bukuku.”—Kel 32:19-33.
Musa sering mewakili pihak Tuhan sehubungan dengan perjanjian itu, yaitu
dengan memerintahkan dijalankannya ibadat yang sejati serta murni dan dengan
melaksanakan penghukuman atas orang-orang yang tidak taat. Selain itu, lebih dari
satu kali ia menjadi penengah demi seluruh bangsa, atau perorangan, dan memohon
agar mereka tidak binasa di tangan Tuhan.—Bil 12; 14:11-21; 16:20-22, 43-50; 21:7;
Ul 9:18-20.
Meskipun ia adalah pemimpin yang dilantik Tuhan atas bangsa Israel yang
besar, Musa bersedia menerima nasihat orang lain, khususnya apabila hal tersebut
berfaedah bagi bangsa itu. Tidak lama setelah orang Israel meninggalkan Mesir, Yitro
mengunjungi Musa, dengan membawa serta istri dan putra-putra Musa. Yitro
memperhatikan bagaimana Musa bekerja keras, melelahkan diri dengan menangani
problem setiap orang yang datang kepadanya. Ia dengan bijaksana menyarankan agar
Musa membuat suatu pengaturan yang tertib, yaitu dengan mendelegasikan beberapa
tanggung jawab kepada orang-orang lain sehingga tanggungannya lebih ringan. Musa
mendengarkan nasihat Yitro, menerima sarannya, dan mengorganisasi bangsa itu
menjadi kelompok seribu, seratus, lima puluh, dan sepuluh, dan setiap kelompok
mempunyai seorang kepala yang bertindak sebagai hakim. Hanya perkara yang sukar
yang disampaikan kepada Musa. Patut diperhatikan juga bahwa ketika Musa
menjelaskan kepada Yitro apa saja yang dilakukannya, ia mengatakan, ”Sekiranya
suatu perkara timbul di antara [bangsa itu], hal itu pasti akan sampai kepadaku dan
aku harus menghakimi antara satu pihak dengan pihak yang lain, dan aku harus
memberitahukan keputusan dari Allah yang benar dan hukum-hukumnya.” Dengan
demikian, Musa menunjukkan bahwa ia mengakui kewajibannya untuk menghakimi,
bukan menurut gagasannya sendiri, melainkan menurut keputusan Tuhan dan selain
itu, ia juga bertanggung jawab untuk membantu bangsa itu mengetahui dan
menghargai hukum-hukum Allah.—Kel 18:5-7, 13-27.
Penulis. Musa adalah penulis Pentateukh, kelima buku pertama dalam Alkitab,
yakni Kejadian, Keluaran, Imamat, Bilangan, dan Ulangan. Sepanjang sejarah orang
Yahudi, mereka mengakui bahwa Musa adalah penulis bagian Alkitab ini yang
mereka kenal sebagai Taurat, atau Hukum. Yesus dan para penulis Kristen sering
menyatakan bahwa Hukum diberikan oleh Musa. Pada umumnya orang menganggap
bahwa ia adalah penulis buku Ayub, juga Mazmur 90 dan, mungkin, Mazmur 91.—
Mat 8:4; Luk 16:29; 24:27; Rm 10:5; 1Kor 9:9; 2Kor 3:15; Ibr 10:28.
Kematian dan Penguburannya. Harun, kakak Musa, meninggal dalam usia 123
tahun ketika Israel sedang berkemah di G. Hor, di perbatasan Edom, pada bulan
kelima dalam tahun ke-40 pengembaraan mereka. Musa membawa Harun naik ke
gunung itu, menanggalkan pakaian imam Harun, dan mengenakannya pada Eleazar,
yang tertua di antara dua putra Harun yang masih hidup dan yang juga menjadi
penerusnya. (Bil 20:22-29; 33:37-39) Kira-kira enam bulan kemudian, Israel tiba di
Dataran Moab. Di sini Musa, dalam serangkaian ceramah, menjelaskan Hukum
kepada bangsa yang berkumpul itu, membahasnya dengan lebih saksama disertai
penyesuaian-penyesuaian yang dibutuhkan pada waktu Israel tidak lagi hidup
mengembara dan tinggal di kemah, tetapi menetap di negeri mereka sendiri. Pada
bulan ke-12 tahun ke-40 (pada musim semi tahun 1473 SM), ia mengumumkan
kepada bangsa itu bahwa Yosua telah dilantik Tuhan untuk menggantikannya sebagai
pemimpin. Lalu, Yosua diberi amanat dan nasihat agar berlaku berani. (Ul 31:1-3, 23)
Akhirnya, setelah menyampaikan sebuah nyanyian dan memberkati bangsa itu, Musa
naik ke atas G. Nebo sesuai dengan perintah Tuhan, pertama-tama untuk memandang
Tanah Perjanjian dari tempat yang strategis di gunung itu, lalu ia mati di sana.—Ul
32:48-51; 34:1-6.
Musa meninggal pada usia 120 tahun. Mengenai kekuatan fisiknya, Alkitab
berkomentar, ”Matanya belum kabur, dan kekuatan hidupnya belum hilang.” Ia
dikuburkan oleh Tuhan di sebuah lokasi yang tidak pernah ditemukan sejak waktu itu.
(Ul 34:5-7) Kemungkinan besar, hal ini untuk mencegah orang-orang Israel terjerat ke
dalam ibadat palsu dengan menjadikan kuburannya sebagai tempat pemujaan. Pastilah
Iblis ingin menggunakan mayat Musa untuk tujuan seperti itu, karena Yudas, murid
Kristen dan adik tiri Yesus Kristus, menulis, ”Ketika Mikhael, sang penghulu
malaikat, berselisih dengan Iblis dan berbantah mengenai tubuh Musa, ia tidak berani
menghakimi dia dengan cacian, melainkan mengatakan, ’Biarlah Tuhan menghardik
engkau.’” (Yud 9) Sebelum menyeberang ke Kanaan di bawah pimpinan Yosua,
Israel berkabung bagi Musa selama 30 hari.—Ul 34:8.
Nabi yang Tuhan Kenal ”Muka dengan Muka”. Ketika Miriam dan Harun
menggugat wewenang Musa, Tuhan memberi tahu mereka, ”Jika ada nabi di
antaramu bagi Tuhan, aku akan menyatakan diriku kepadanya dalam penglihatan.
Dalam mimpi aku akan berbicara kepadanya. Tidak demikian dengan hambaku,
Musa! Seluruh rumahku telah dipercayakan kepadanya. Mulut dengan mulut aku
berbicara kepadanya, dengan jelas, dan bukan dengan teka-teki; dan rupa Tuhan-lah
yang ia lihat. Maka mengapa kamu tidak takut berbicara menentang hambaku,
Musa?” (Bil 12:6-8) Bagian penutup buku Ulangan menguraikan kedudukan Musa
yang diperkenan di hadapan Tuhan, ”Tetapi tidak pernah ada lagi nabi yang bangkit
di Israel seperti Musa, yang dikenal Tuhan muka dengan muka, dalam hal semua
tanda dan mukjizat yang dilakukannya atas perintah Tuhan di tanah Mesir terhadap
Firaun dan semua hambanya dan seluruh negerinya, dan dalam hal semua perbuatan
dengan tangan yang kuat dan segala kedahsyatan besar yang dilakukan Musa di depan
mata seluruh bangsa Israel.”—Ul 34:10-12.
Menurut firman Tuhan, meskipun Musa tidak pernah melihat pribadi Tuhan
secara harfiah, sebagaimana disebutkan sebelumnya, hubungannya dengan Tuhan
lebih langsung, lebih konstan dan lebih akrab dibandingkan dengan hubungan yang
dimiliki nabi lain mana pun sebelum Yesus Kristus. Pernyataan Tuhan, ”Mulut
dengan mulut aku berbicara kepadanya”, menunjukkan bahwa Musa berbicara
secara pribadi kepada Allah (dengan perantaraan malaikat, yang boleh menghampiri
hadirat Allah; Mat 18:10). (Bil 12:8) Sebagai perantara bagi Israel, ia dapat dikatakan
senantiasa menikmati komunikasi dua arah. Kapan pun ia dapat mengutarakan
problem-problem sehubungan dengan kepentingan bangsa itu dan dapat menerima
jawaban dari Allah. Tuhan mempercayakan ’seluruh rumah-Nya’ kepada Musa,
menggunakan Musa sebagai wakil-Nya yang akrab untuk mengorganisasi bangsa itu.
(Bil 12:7; Ibr 3:2, 5) Nabi-nabi yang kemudian hanyalah membangun di atas fondasi
yang telah diletakkan melalui Musa.
Tentu, sukses besar yang dicapai Yosua sehingga Israel dapat menetap di Tanah
Perjanjian, sampai taraf tertentu, adalah hasil dari sifat-sifat baik yang Musa
tanamkan dalam diri Yosua melalui pelatihan dan teladan. Yosua adalah pelayan Musa
”sejak mudanya”. (Bil 11:28) Agaknya ia menjadi komandan pasukan di bawah
Musa (Kel 17:9, 10) dan dekat dengan Musa sebagai pelayannya dalam banyak
peristiwa.—Kel 24:13; 33:11; Ul 3:21.
Mengenai Kristus Yesus, Musa antara lain menulis firman Tuhan yang berikut
ini, ”Seorang nabi akan kubangkitkan bagi mereka dari tengah-tengah saudara-
saudara mereka, seperti engkau; dan aku akan menaruh perkataanku pada mulutnya,
dan ia akan menyampaikan kepada mereka semua yang kuperintahkan kepadanya.”
(Ul 18:18, 19) Ketika rasul Petrus mengutip nubuat itu, ia menunjukkan dengan jelas
bahwa nubuat tersebut menunjuk ke Yesus Kristus.—Kis 3:19-23.
Dalam adegan transfigurasi yang boleh disaksikan oleh Petrus, Yakobus, dan
Yohanes, mereka melihat Musa dan Elia sedang bercakap-cakap dengan Yesus.
Dengan melihat Musa, ketiga rasul tersebut diingatkan akan perjanjian Hukum,
penyelenggaraan teokratis untuk jemaat, pembebasan Israel, dan perpindahan bangsa
itu dengan selamat ke Tanah Perjanjian. Oleh karena itu, penglihatan tersebut
menunjukkan bahwa Yesus Kristus akan melaksanakan pekerjaan yang sama seperti
yang Musa lakukan, tetapi lebih besar; juga munculnya Elia dalam penglihatan itu
memperlihatkan bahwa Yesus akan melaksanakan pekerjaan yang sama dengan
pekerjaan Elia, tetapi dalam skala yang lebih besar. Dalam penglihatan itu jelas
diperlihatkan bahwa Putra Allah memang adalah ’nabi yang lebih besar daripada
Musa’ dan layak menyandang gelar Mesias. Selain itu, Musa serta Elia
menggambarkan orang-orang Kristen yang telah diurapi roh kudus dan yang karena
itu menerima harapan untuk ”dimuliakan bersama” Yesus.—Mat 17:1-3; Rm 8:17;
Pny 11:1-6; lihat TRANSFIGURASI.
Dua nabi besar ini, Musa dan Yesus Kristus, mempunyai banyak persamaan.
Semasa bayi, keduanya lolos dari pembantaian besar-besaran yang diperintahkan oleh
penguasa pada zaman mereka masing-masing. (Kel 1:22; 2:1-10; Mat 2:13-18) Musa
dipanggil keluar dari Mesir bersama ’anak sulung’ Tuhan, yaitu bangsa Israel, dan
Musa adalah pemimpin bangsa itu. Yesus dipanggil keluar dari Mesir sebagai Anak
sulung Allah. (Kel 4:22, 23; Hos 11:1; Mat 2:15, 19-21) Keduanya berpuasa selama
40 hari di padang belantara. (Kel 34:28; Mat 4:1, 2) Keduanya datang dengan nama
Tuhan; nama Yesus pun berarti ”Tuhan Adalah Keselamatan”. (Kel 3:13-16; Mat
1:21; Yoh 5:43) Yesus, seperti halnya Musa, ”menyatakan nama Tuhan”. (Ul 32:3;
Yoh 17:6, 26) Keduanya unggul dalam hal kelembutan dan kerendahan hati. (Bil 12:3;
Mat 11:28-30) Keduanya memiliki bukti yang paling meyakinkan untuk
memperlihatkan bahwa mereka diutus oleh Allah, yaitu berbagai mukjizat yang
mencengangkan, hanya saja Yesus Kristus mengungguli Musa karena dia
membangkitkan orang-orang mati.—Kel 14:21-31; Mz 78:12-54; Mat 11:5; Mrk
5:38-43; Luk 7:11-15, 18-23.
Musa adalah perantara perjanjian Hukum antara Allah dan bangsa Israel. Yesus
adalah Perantara perjanjian baru antara Allah dan ”bangsa yang kudus”, ’Israel
rohani milik Allah’. (1Ptr 2:9; Gal 6:16; Kel 19:3-9; Luk 22:20; Ibr 8:6; 9:15)
Keduanya melayani sebagai hakim, pemberi hukum, dan pemimpin. (Kel 18:13;
32:34; Dan 9:25; Mal 4:4; Mat 23:10; Yoh 5:22, 23; 13:34; 15:10) Musa mendapat
kepercayaan untuk mengurus ’rumah Allah’, yaitu bangsa, atau jemaat, Israel, dan
ia terbukti setia menjalankan kepengurusan tersebut. Yesus sebagai Putra Allah
terbukti setia mengawasi rumah Allah yang dibangun olehnya, yaitu bangsa, atau
jemaat, Israel rohani. (Bil 12:7; Ibr 3:2-6) Bahkan, ada persamaan dalam hal kematian
mereka: Allah menyingkirkan mayat Musa maupun Yesus.—Ul 34:5, 6; Kis 2:31; Yud
9.
Dalam diri Yesus Kristus, kita menemukan persamaan dengan hal yang
disebutkan di atas. Berdasarkan apa yang diumumkan malaikat pada waktu Yesus
dilahirkan di Betlehem, ia akan menjadi ”seorang Juru Selamat, yang adalah Kristus
Tuan”. Ia menjadi Kristus, atau Orang yang Diurapi, setelah nabi Yohanes
membaptisnya di S. Yordan. (Luk 2:10, 11; 3:21-23; 4:16-21) Setelah itu, ia mengakui
bahwa ia adalah ”Kristus”, atau Mesias. (Mat 16:16, 17; Mrk 14:61, 62; Yoh 4:25,
26) Yesus Kristus, seperti halnya Musa, juga tetap mengarahkan matanya kepada
pahala dan mengabaikan keaiban yang ditimpakan manusia ke atas dirinya. (Flp 2:8,
9; Ibr 12:2) Dalam Musa yang Lebih Besar inilah sidang Kristen dibaptis—dalam
Yesus Kristus, yaitu Nabi, Pembebas, dan Pemimpin yang dinubuatkan.—1Kor 10:1,
2.