Anda di halaman 1dari 10

Latar Belakang

Sejak 2019 lalu, dunia diguncang oleh Pandemi COVID-19 yang bermula di Wuhan, Hubei, Republik
Rakyat Tiongkok. Pandemi didefinisikan sebagai wabah penyakit menular berskala besar yang bisa
meningkatkan morbiditas dan mortalitas suatu wilayah geografis yang luas dan menyebabkan
permasalahan baik dari segi kesehatan, ekonomi, sosial, dan politik (Madhav dkk., 2017). Kini sudah
tercatat 133 juta kasus terinfeksi COVID-19 di dunia dan 1.5 juta kasus di Indonesia (WHO, 2021b)
(Satgas COVID-19, 2021a). Kondisi pandemi telah mengakibatkan suatu krisis yang berdampak terhadap
semua aspek kehidupan manusia.

Meskipun sudah tersedia banyak obat dan metode penanganan pasien COVID-19, lonjakan kasus positif
dan mortalitas masih tetap terjadi. Upaya pencegahan 3M (memakai masker, menjaga jarak, dan
mencuci tangan) dinilai kurang cukup untuk menekan penyebaran virus ini sebab diperlukan sesuatu
yang dapat menjaga kesehatan secara menyeluruh untuk mengurangi dampak sosial dan ekonomi
masyarakat (Hakam, 2021). Belum lagi ditambah dengan ketidakpatuhan warga terhadap penerapan
protokol kesehatan. Selain karena kurangnya edukasi, ketidakpatuhan warga disebabkan oleh motif
ekonomi, sikap tidak peduli, merasa berpotensi rendah terhadap penularan virus, serta
ketidakpercayaan kepada pemerintah yang mengeluarkan kebijakan dan pernyataan yang inkonsisten
(Sari, 2020). Hal ini seolah membantu membuat pandemi berlangsung lebih lama hingga saat ini.

Dalam upaya mengembalikan kondisi dunia sebagaimana sebelum pandemi, telah diusung program
vaksinasi oleh pemerintah di seluruh dunia, termasuk Indonesia. Vaksinasi COVID-19 telah mengalami
perjalanan yang panjang untuk memastikan keamanan dan keampuhannya melalui berbagai penelitian
dan uji coba. Program vaksinasi dianggap sebagai kunci dalam mengakhiri pandemi karena dapat
digunakan dalam rangka mengurangi angka morbiditas dan mortalitas serta membentuk kekebalan
kelompok terhadap virus COVID-19 (Satgas COVID-19, 2021c). Namun, perjalanan vaksin hingga diterima
dengan baik dan didistribusikan kepada masyarakat luas saat ini membutuhkan proses yang lebih
panjang karena masih terdapat pro dan kontra terhadap vaksinasi (Hakam, 2021).

Banyak dari masyarakat yang tidak mempercayai penggunaan vaksin sebagai solusi dalam mengakhiri
pandemi. Berdasarkan survei mengenai penerimaan vaksin COVID-19 yang dilakukan oleh Kementerian
Kesehatan (Kemenkes) Republik Indonesia, Indonesian Technical Advisory Group on Immunization
(ITAGI), United Nations Children’s Fund (UNICEF), dan World Health Organization (WHO) yang dilakukan
pada September 2020 dan melibatkan 115.000 responden, mendapatkan hasil bahwa masih banyak
masyarakat yang ragu bahkan menolak vaksinasi COVID-19, di mana sebanyak 7,6% menolak dan 27%
ragu-ragu. Alasan dibalik penolakan dan keraguan mengenai vaksin tersebut sangatlah beragam, seperti
tidak yakin terhadap keamanan vaksin, ragu terhadap efektivitas vaksin, takut terhadap efek samping
vaksin, tidak mempercayai kegunaan vaksin, dan karena keyakinan agama.
Ketidakpercayaan dan keraguan banyak masyarakat terhadap vaksin COVID-19 tak lepas dari banyaknya
kesimpangsiuran informasi dan minimnya edukasi yang memadai. Padahal, akses informasi edukasi
mengenai vaksinasi dalam pandemi dapat meningkatkan kepercayaan masyarakat terhadap vaksinasi,
sehingga dapat membantu proses vaksinasi oleh pemerintah. Berdasarkan latar belakang tersebut, maka
Departemen Kajian Strategis dan Advokasi BEM Fakultas Kedokteran Universitas Udayana membuat
suatu kajian edukatif mengenai vaksinasi untuk meningkatkan kepercayaan masyarakat terhadap vaksin
COVID-19 dan meluruskan segala misinformasi dan miskonsepsi mengenai vaksinasi.

Definisi COVID-19

Coronavirus disease 2019 (COVID-19) adalah penyakit yang disebabkan oleh virus severe acute
respiratory syndrome coronavirus-2 (SARS-CoV-2). Virus ini pertama kali ditemukan di Wuhan, Republik
Rakyat Tiongkok, tetapi sangat mudah menular dan kini telah menyebar ke seluruh dunia. Analisis
genomik mengungkapkan bahwa SARS-CoV-2 secara filogenetik terkait dengan virus mirip kelelawar
severe acute respiratory syndrome-like atau SARS-like. Oleh karena itu, kelelawar dikatakan menjadi
reservoir utama yang paling mungkin. Sumber perantara asal dan proses transfer virus ini ke manusia
belum diketahui, tetapi penyebaran virus dari manusia ke manusia yang sangat cepat telah dikonfirmasi
secara luas (Shereen dkk., 2020).

Mayoritas orang yang terinfeksi COVID-19 akan mengalami penyakit pernapasan ringan hingga sedang
dan sembuh tanpa memerlukan perawatan khusus. Orang tua dan mereka yang memiliki masalah medis
seperti penyakit kardiovaskular (penyakit pada jantung dan pembuluh darah), diabetes, penyakit
pernapasan kronis, dan kanker lebih mungkin untuk mengidap penyakit yang serius setelah terinfeksi
virus ini (WHO, 2021a). Hal inilah yang menyebabkan banyak pasien COVID-19 dengan gejala parah
merupakan orang-orang yang memiliki penyakit penyerta.

2.1.2 Prevalensi COVID-19 di Indonesia

Prevalensi COVID-19 meningkat secara cepat baik di dunia maupun di Indonesia dan infeksinya sudah
menyebar ke 34 provinsi di Indonesia. Berdasarkan data nasional Satgas COVID-19 (2021) pada tanggal
23 April 2021, tercatat 1.651.794 kasus terkonfirmasi, 1.506.599 kasus sembuh, dan 100.256 kasus aktif
COVID-19. Jumlah penduduk Indonesia pada tahun 2021 adalah 271.349.889 jiwa, sehingga diperoleh
prevalensi COVID-19 di Indonesia adalah 0,006 atau 6 per 1000 penduduk.
Perkembangan penanganan COVID-19 di Indonesia dinilai sejalan dengan tingkat dunia di mana
penurunan kasus positifnya kira-kira 17% dan penurunan kematiannya 10% (Satgas COVID-19, 2021b).

Vaksin

2.2.1 Definisi Vaksin

Vaksin merupakan suatu produk biologi yang berisi antigen yang apabila diberikan pada seseorang maka
dapat menimbulkan kekebalan spesifik secara aktif terhadap suatu penyakit tertentu (Kemenkes, 2020).
Pemberian vaksin biasanya dilakukan untuk mencegah maupun mengurangi pengaruh infeksi akibat
patogen tertentu. Patogen atau mikroorganisme parasit merupakan agen biologis yang menyebabkan
penyakit pada inangnya (Levinson, 2008). Vaksin dapat bersifat profilaksis, yakni mencegah ataupun
memperbaiki efek infeksi yang dapat terjadi di masa depan oleh patogen alami maupun liar serta
bersifat terapeutik, yang digunakan dalam membantu pengobatan seperti vaksin terhadap kanker
(Melief, dkk. 2015). Terdapat beberapa jenis vaksin, seperti vaksin hidup yang dilemahkan (mengandung
patogen hidup yang dilemahkan yang cukup memicu respon imun, tetapi tidak mampu menyebabkan
penyakit), vaksin inaktif (mengandung patogen tidak aktif, sehingga tidak dapat mereplikasi diri di dalam
tubuh inang), vaksin toksoid (mengandung toksin yang sudah dinonaktifkan), vaksin subunit
(mengandung antigen murni daripada mengandung seluruh patogen), dan vaksin konjugat
(mengandung protein yang digunakan untuk membawa antigen berbasis polisakarida) (WHO, 2021c).
Singkatnya, vaksin dapat diartikan sebagai suatu produk kesehatan buatan yang bertujuan untuk
menguatkan sel imun tubuh untuk mengantisipasi apabila terdapat infeksi di masa mendatang.

2.2.2 Sejarah Vaksin

Konsep dasar mengenai vaksin telah ada sejak 2000 tahun yang lalu di Tiongkok dan India, yakni
inokulasi bahan yang didapat penderita cacar yang diberikan kepada orang sehat (WHO, 2021c). Namun,
vaksin di dunia modern pertama kali ditemukan oleh Edward Jenner, seorang dokter asal Inggris. Jenner
menemukan fakta bahwa seseorang yang meminum susu dari sapi yang terinfeksi cacar relatif kebal
terhadap penyakit cacar. Hal ini membuat Jenner terpikirkan untuk mengambil eksudat dan sekresi dari
sapi yang terinfeksi cacar lalu dimasukkan ke dalam tubuh seorang anak laki-laki bernama James Phipps
pada 14 Mei 1796. Hasil percobaan Jenner tersebut sukses membuat Phipps tidak terinfeksi penyakit
cacar lagi di masa mendatang. Lalu, pada abad ke-19, Louis Pasteur mengembangkan penemuan Jenner
lewat pengembangan vaksin rabies. Hingga akhirnya pada abad yang sama undang-undang vaksinasi
wajib mulai disahkan di Inggris (Mandal, 2012). Puncak keberhasilan penggunaan vaksin adalah pada
tahun 1980, di mana program vaksinasi cacar yang dijalankan oleh WHO berbuah manis dengan
membuahkan hasil berupa dunia yang dinyatakan bebas dari penyakit cacar. Hal ini tentu saja menjadi
suatu tonggak sejarah awal kemenangan gemilang umat manusia dalam melawan penyakit berbahaya
lewat penggunaan vaksin (WHO, 2021c). Perjalanan panjang disertai keberhasilan vaksin selama ini telah
menjadi bukti nyata bahwa vaksin sangat berperan besar dalam meningkatkan taraf kesehatan
masyarakat secara global.

2.2.3 Cara Kerja Vaksin

WHO (2021c) menyatakan bahwa tujuan utama semua jenis vaksin adalah untuk merangsang sistem
kekebalan tubuh untuk membuat antibodi pada tubuh yang bertahan cukup lama untuk melawan
antigen dari patogen spesifik yang masuk kedalam tubuh orang tersebut. Dengan kata lain, vaksin
berperan dalam melatih sistem kekebalan tubuh untuk mengenali dan memerangi patogen. Ketika
vaksin yang berisi antigen yang telah dilemahkan dimasukkan ke dalam tubuh, maka sistem kekebalan
tubuh akan mendeteksinya sebagai antigen berbahaya, meskipun antigen dalam vaksin sudah didesain
untuk tidak menimbulkan penyakit. Sistem kekebalan tubuh lalu akan memproduksi antibodi dan
mengingatnya apabila antigen tersebut menyerang lagi di kemudian hari. Apabila seseorang di
kemudian hari terinfeksi oleh antigen tersebut, maka sistem kekebalan tubuh mampu mengenali
antigen secara lebih efektif, sehingga mampu melakukan penyerangan terhadap antigen secara lebih
agresif dan destruktif untuk mencegah antigen menyebar dalam tubuh dan menyebabkan penyakit.

2.2.4 Manfaat Penggunaan Vaksin

Vaksin dapat dikatakan sebagai salah satu produk peradaban manusia yang paling gemilang. Selama
penggunaannya, vaksin sangat efektif dalam melawan, memusnahkan dan meminimalisir infeksi
penyakit seperti cacar, polio, dan rubella. Contoh nyata manfaat pemberian vaksin adalah penurunan
kasus campak di Amerika Serikat. Pada tahun 1958, terdapat kurang lebih sekitar 763.094 kasus campak
di Amerika Serikat, dan 552 kasus diantaranya berakhir dengan kehilangan nyawa (Orenstein, Papania,
dan Wharton, 2004). Setelah pengadaan vaksinasi, kasus campak di Amerika Serikat menurun drastis
menjadi kurang dari 150 kasus per tahun (Redd, dkk. 2008). Selain membentuk kekebalan pada taraf
individu, vaksinasi juga dapat membantu membentuk kekebalan pada tingkat komunitas (herd
immunity). Herd immunity merupakan suatu kekebalan yang telah tercipta pada tiap individu dalam
suatu komunitas, baik kekebalan tersebut tercipta secara alami maupun buatan lewat vaksinasi. Ketika
herd immunity tercapai, maka patogen tidak akan mendapatkan inang untuk berkembang biak, sehingga
patogen dan penyakit yang disebabkannya akan menghilang dengan sendirinya (John dan Samuel,
2000). Tercapainya herd immunity ini dapat membantu dalam menangani dan menghentikan penyakit
yang telah menginfeksi orang dalam jumlah banyak dalam suatu komunitas atau dalam kata lain disebut
sebagai wabah.

Vaksin COVID-19

2.4.1 Penggunaan Vaksin di Pandemi COVID-19

Seperti vaksin lainnya, vaksin COVID-19 dapat melindungi tubuh dari penyakit yang disebabkan oleh
COVID-19 dengan cara menstimulasi imunitas spesifik tubuh dengan pemberian vaksin tersebut
(Kemenkes, 2021). Oleh karena itu, vaksin merupakan senjata utama yang digunakan dalam
menghentikan laju suatu wabah, khususnya kini pada pandemi COVID-19.

Indonesia sendiri melakukan langkah antisipasi yang ketat pencegah COVID-19 dalam bentuk program
vaksinasi. Vaksin diedarkan secara berkala dan sesuai dengan tingkat risiko pekerjaan atau usia yang
mudah terpapar virus COVID-19. Pada gelombang satu periode Januari – April 2021 pemerintah
mewacanakan distribusi vaksin tertuju kepada tenaga kesehatan, petugas pelayanan publik, dan
masyarakat lanjut usia. Tak berhenti sampai disana, pada gelombang dua periode April 2021 – Maret
2022, giliran masyarakat rentan yang tinggal di daerah mudah tertular dan masyarakat lainnya yang
mendapat vaksinasi COVID-19 (Iskandar et al., 2021). Menurunkan angka kematian akibat COVID-19,
mencapai imunisasi kelompok untuk melindungi masyarakat, melindungi dan memperkuat seluruh
sistem kesehatan, serta menjaga produktivitas untuk meminimalkan dampak sosial dan ekonomi
merupakan tujuan dari program vaksinasi COVID-19 yang dilakukan pemerintah (Satgas COVID-19,
2021c).

Ada beberapa upaya pemerintah dalam penyebarluasan vaksin COVID-19 terkhususnya di area kualitas
dan keamanan vaksin, ketersediaan vaksin, kejadian lanjutan pasca imunisasi (KIPI), dan komunikasi.
Upaya dalam area kualitas dan keamanan vaksin meliputi adanya uji klinis oleh Badan Pengawas Obat
dan Makanan (BPOM) dan diterbitkannya emergency use authorization (EUA). Upaya mewujudkan
keamanan wilayah distribusi vaksin dilakukan dengan menerapkan sistem informasi dan proses
distribusi vaksin yang terintegrasi melalui TNI/Polri, dengan penyediaan fasilitas cold chain yang
memadai sesuai standarisasi WHO. Selanjutnya, upaya dalam area ketersediaan vaksin dilakukan dengan
cara diplomasi ketersediaan vaksin (sesuai kerangka kerjasama bilateral dan multilateral) dan
pengadaan vaksin serta logistik sesuai amanah Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 99 Tahun
2020. Selain itu, dalam pelayanan vaksinasi yang baik agar ketersediaan vaksin dapat dimanfaatkan
secara maksimal, perlu diperhatikan penyediaan sumber daya manusia yang kompeten dan memadai,
penyediaan sistem informasi untuk proses registrasi, pencatatan dan pelaporan, serta penyediaan
fasilitas pelayanan kesehatan yang mampu melakukan vaksinasi. Kemudian, pada area kejadian lanjutan
pasca imunisasi (KIPI), dilakukan upaya peningkatan kapasitas SDM (Komnas, Komda dan Focal Point
KIPI) di seluruh daerah dan koordinasi intensif dengan Komnas/Komda PP KIPI. Lalu, pada area terakhir
yaitu komunikasi, upaya yang dapat dilakukan dengan cara melalui media komunikasi, informasi dan
edukasi vaksinasi dan 3M (Iskandar, H, Nugroho, R, Laudder, M & Matulessy, A, 2021).

Vaksin yang diproduksi secara massal telah melalui proses yang panjang dan harus memenuhi syarat
utama yaitu aman, efektif, stabil, dan efisien dari segi biaya. Melalui beberapa tahap uji klinis yang benar
dan sesuai terhadap prinsip dan standar ilmiah serta kesehatan, keamanan vaksin dapat dipastikan.
Intinya, pemerintah tidak terburu-buru melaksanakan vaksinasi dan terus mengedepankan keamanan,
manfaat, atau khasiat vaksin. Pemerintah saat ini menyediakan vaksin COVID-19 yang sudah terbukti
aman, telah lolos uji klinis, dan sudah mendapatkan emergency use authorization (EUA) dari BPOM.
Hingga saat ini ada beberapa jenis vaksin yang disebarluaskan dan lulus uji BPOM seperti Sinovac
Biotech Ltd, PT. Bio Farma, AstraZeneca, Sinopharm, Moderna, Pfizer-BioNTech, dan Novavax
(Kemenkes, 2021).

2.4.2 Jenis Vaksin COVID-19

Coronavirus adalah virus RNA beruntai positif dengan genomnya dikemas dalam protein nukleokapsid
(N) dan diselimuti oleh protein membran (M), protein amplop (E), dan protein spike (S). Berbagai studi
vaksin coronavirus yang menargetkan protein struktural telah dilakukan, tetapi upaya ini dihentikan
setelah wabah SARS dan MERS. Kemunculan COVID-19 mendesak penelitian vaksin coronavirus untuk
terus dilanjutkan (Ong dkk., 2020). Jenis vaksin yang memiliki potensi dan disetujui untuk melewati
tahap uji coba meliputi: (1) virus yang diinaktivasi atau dilemahkan, jenis yang tidak memiliki
kemampuan untuk menyebabkan penyakit, tetapi dapat memicu respon imun yang bersifat protektif
(CoVaxin & Sinovac Biotech); (2) protein-based, mengandung fragmen virus yang tidak berbahaya,
seperti protein spike atau cangkang protein yang menyerupai COVID-19 (Epivac Corona Vaccine); (3)
vaksin vektor virus, menggunakan carrier virus yang berfungsi untuk membawa gen yang memproduksi
protein virus korona pada inang untuk menimbulkan respon imun (Gam-Covid-Vac/Sputnik V &
AstraZeneca/Oxford Vaccine Trial); (4) vaksin RNA dan DNA, menggunakan modifikasi gen mRNA atau
DNA untuk menghasilkan protein yang menginduksi sistem imun (Moderna Vaccine Trial/mRNA 1273
dan Pfizer/BioNTech Vaccine Trial/BNT162b2) (Shmerling, 2021; Singh, 2021).

Melalui pengamatan dan penelitian yang melibatkan masyarakat sebagai sukarelawan, dihasilkan data
mengenai efektivitas masing-masing jenis vaksin. Vaksin yang diresmikan di Amerika Serikat, yaitu
Pfizer/BioNTech Vaccine Trial/BNT162b2, melibatkan 44.000 orang dan terbukti efektif hingga 95%.
Selain itu, vaksin lainnya yang juga diresmikan di Amerika Serikat, seperti Moderna Vaccine Trial/mRNA
1273 memiliki efektivitas hingga 94% dan Johnson & Johnson/Janssen memiliki efektivitas hingga 66%
secara keseluruhan. Vaksin yang diresmikan di Inggris, seperti AstraZeneca/Oxford Vaccine Trial memiliki
efektivitas hingga 70% dengan penggunaan dosis penuh dan 90% dengan penggunaan dosis yang lebih
rendah (Shmerling, 2021).

Kesimpulan

Vaksin merupakan produk biologis yang sangat berguna dalam meminimalisir kejadian penyakit yang
bekerja dengan cara melatih sistem kekebalan tubuh agar mampu menghadapi infeksi dengan
memasukkan antigen yang telah dilemahkan ke dalam tubuh. Oleh sebab itulah pemberian vaksin dalam
pengendalian pandemi COVID-19 sangat penting, utamanya dalam meminimalisir tingkat kejadian dan
sebagai upaya dalam menuju herd immunity (kekebalan komunitas) untuk memutus rantai penyebaran
COVID-19 sehingga pandemi dapat berakhir. Manfaat vaksin selama beberapa tahun terakhir telah
terbukti meminimalisir angka penyakit bahkan mengeradikasi penyakit seperti cacar dan polio. Oleh
karena itulah, program vaksinasi yang dilakukan oleh pemerintah harus didukung pelaksanaannya dalam
mengakhiri pandemi COVID-19. Segala bentuk miskonsepsi dan misinterpretasi mengenai vaksin COVID-
19 harus dihindari menggunakan edukasi yang tepat agar pandemi COVID-19 dapat segera berakhir.

Daftar Pustaka

Bahl, S., Bhatnagar, P., Sutter, R. W., Roesel, S., dan Zaffran, M. 2018. Global polio eradication – way
ahead. Indian Journal of Pediatrics, 85(2), 124–131. DOI: 10.1007/s12098-017-2586-8.

Bandyopadhyay, A. S., Garon, J., Seib, K., dan Orenstein, W. A. 2015. Polio vaccination: past, present and
future. Future Microbiology, 10(50), 791–808. DOI: 10.2217/fmb.15.19.

Calain, P., Chaine, J. P., Johnson, E., Hawley, M. Lou, O’Leary, M. J., Oshitani, H., dan Chaignat, C. L. 2004.
Can oral cholera vaccination play a role in controlling a cholera outbreak. Vaccine, 22(19), 2444–2451.
DOI: 10.1016/j.vaccine.2003.11.070.

Centers for Disease Control and Prevention (CDC). 2021a. Allergic Reactions Including Anaphylaxis After
Receipt of the First Dose of Pfizer-BioNTech COVID-19 Vaccine. MMWR Morb Mortal Wkly Rep, 70(2),
46–51. DOI: 10.15585/mmwr.mm7002e1.
Centers for Disease Control and Prevention (CDC). 2021b. Benefits of Getting a COVID-19 Vaccine.
[Daring] Centers for Disease Control and Prevention. Tersedia pada: www.cdc.gov/coronavirus/2019-
ncov/vaccines/vaccine-benefits.html (Diakses 9 April 2021).

Clemens, J. D., Nair, G. B., Ahmed, T., Qadri, F., dan Holmgren, J. 2017. Cholera. The Lancet, 390 (10101),
1539–1549. DOI: 10.1016/S0140-6736(17)30559-7.

CNN Indonesia. 2020. Selayang Pandang Gerakan Anti-Vaksin di Dunia. [Daring] CNN Indonesia. Tersedia
pada https://www.cnnindonesia.com/gaya-hidup/20201127123819-255-575265/ selayang-pandang-
gerakan-anti-vaksin-di-dunia (Diakses 9 April 2021).

Hadinegoro, S. R. S. 2016. Kejadian ikutan pasca imunisasi, Sari Pediatri, 2(1), 2-10. e-ISSN: 2338-5030.

Hakam. 2021. Understanding the Importance of Covid-19 Vaccines. [Daring] Universitas Gadjah

Mada. Tersedia pada: https://www.ugm.ac.id/en/news/20658-understanding-the-importance-of-covid-


19-vaccines (Diakses 10 April 2021).

Harris, J. B. 2018. Cholera: immunity and prospects in vaccine development. Journal of Infectious
Diseases, 218(3), 141–146. DOI: 10.1093/infdis/jiy414.

Hinman, A. R. 2017. The eradication of polio: have we succeeded?. Vaccine, 35(42), 5519–5521. DOI:
10.1016/j.vaccine.2017.09.015.

Iannelli, M. D. V. dan Hall, A. 2021. History of the Anti-Vaccine Movement. [Daring] Verywell Health.
Tersedia pada https://www.verywellhealth.com/history-anti-vaccine-movement (Diakses 9 April 2021).

Iskandar, H., Nugroho, R., Laudder, M., dan Matulessy, A. 2021. Pengendalian COVID-19 Dengan 3M, 3T,
Vaksinasi, Disiplin, Kompak, dan Konsisten: Buku 1. Jakarta: Satuan Tugas Penanganan COVID-19.
Jones, J. S. 1997. Eradicating polio. South African Medical Journal, 87(8), 1038. PMID: 9323424.

Jusuf, W. 2021. Bagaimana Gerakan Anti-vaksin Mendunia?. [Daring] Tirto. Tersedia pada
https://tirto.id/bagaimana-gerakan-anti-vaksin-mendunia-cqJn (Diakses 9 April 2021).

Kementerian Kesehatan (Kemenkes) Republik Indonesia. 2020. Buku Saku #Infovaksin. [Daring]

Dinas Kesehatan Provinsi Jawa Timur. Tersedia pada


https://dinkes.jatimprov.go.id/userimage/dokumen/Buku%20Saku.pdf (Diakses 10 April 2021).

Kementerian Kesehatan (Kemenkes) Republik Indonesia. 2021. Frequently Asked Question (FAQ)
Seputar Pelaksanaan Vaksinasi COVID-19. [Daring] Kesmas Kemkes. Tersedia pada
https://kesmas.kemkes.go.id/assets/uploads/contents/others/FAQ_VAKSINASI_COVID__call _center.pdf
(Diakses 9 April 2021).

Kementerian Kesehatan (Kemenkes) Republik Indonesia, Indonesian Technical Advisory Group on


Immunization (ITAGI), United Nations Children’s Fund (UNICEF), dan World Health Organization (WHO).
2020. Survei Penerimaan Vaksin COVID-19 di Indonesia. [Daring] Covid19.go.id. Tersedia pada
covid19.go.id/storage/app/media/Hasil%20Kajian/2020/November/vaccine-acceptance-survey-id-12-
11-2020final.pdf (Diakses 12 April 2021).

Levinson, W. 2008. Review of Medical Microbiology and Immunology. Edisi Kesepuluh. New York: The
McGraw-Hill Companies, Inc.

Madhav, N., Oppenheim, B., Gallivan, M., Mulembakani, P., Rubin, E., dan Wolfe, N., 2017. Pandemics:
Risks, Impacts, and Mitigation. Dalam D. T. Jamison (Eds.), Disease Control Priorities, Volume 9:
Improving Health and Reducing Poverty. Edisi Ketiga. Washington DC: World Bank.

Melief, C. J. M., van Hall, T., Arens, R., Ossendorp, F., dan van der Burg, S. H. 2015. Therapeutic cancer
vaccines. JCI The Journal of Clinical Investigation, 125(9), 3401-3412. DOI: 10.1172/JCI80009.
Ong, E., Wong, M. U., Huffman, A., dan He, Y. 2020. COVID-19 coronavirus vaccine design using reverse
vaccinology and machine learning. Frontiers in Immunology, 11, 1581. DOI: 10.3389/fimmu.2020.01581.

Orenstein, W. A., Papania, M. J., dan Wharton, M. E. 2004. Measles elimination in the United States. The
Journal of Infectious Diseases, 189, 1-3. DOI: 10.1086/377693.

Porter, D. dan Porter, R. 1988. The politics of prevention?: Anti-vaccinationism and public health in
nineteenth-century England. Medical History, 323(3), 231–252. DOI: 10.1017/s0025727300048225.

Redd, S. B., Kutty, P. K., Parker, A. A., LeBaron, C. W., Barskey, A. E., Seward, J. F., Rota, J. S., Rota, P. A.,
Lowe, L., dan Bellini, W. J. 2008. Measles – United States, January 1 – April 25, 2008. Morbidity and
Mortality Weekly, 57(18), 494-498. DOI: 10.1001/jama.299.22.2621.

Reiser, J. dan Altintas, M. M. 2019. Podocytes. F1000Research, 5, 1–19.


DOI: 10.12688/f1000research.7255.1.

Sari, R. K. 2020. Identifikasi penyebab ketidakpatuhan warga terhadap penerapan protokol kesehatan
3M di masa pandemi COVID-19 (studi kasus pelanggar protokol kesehatan 3M di Ciracas Jakarta Timur).
Jurnal AKRAB JUARA, 6(1), 84-94. ISSN 2620-9861.

Anda mungkin juga menyukai