Anda di halaman 1dari 17

HUKUM ARISAN BARANG

Posted By: Adminon: January 10, 2017In: UncategorisedNo Comments

Ditulis dan dijawab oleh Ust. Muafa, Pengasuh Ponpes Irtaqi

Pertanyaan:

Assalamu’alaikum ustad Muafa, mohon ijin tuk bertanya.

Banyak di antara kita yang karena keterbatasan ekonomi dalam membeli barang yang mendesak tidak
mampu membeli secara tunai sehingga seringkali dihadapkan dengan tawaran pembelian skema kredit.
Sayangnya, kebanyakan aktifitas kredit di masyarakat kita di penuhi oleh transaksi-taransaksi ribawi.
Untuk berhindar dari aktftas ribawi tersebut , kini mulai marak skema-skema transaksi yang
memudahkan dan saling menguntungkan. Dengan skema arisan barang, dimana pihak penjual
menawarkan barang kepada sekelompok orang ( yang punya keinginan yang sama untuk membeli
barang tersebut), dengan harga yang sudah disepakati dan dibayar secara kredit dalam jangka tertentu.
Uang yang terkumpul dari peserta, secara bergiliran dibelikan barang oleh pengelola. Sehingga semua
peserta dalam jangka tertentu semuanya mendapatkan barang tersebut. Pertanyannya: Bagaimanakah
tinjauan hukum fikih mengenai transaksi sebagaimana di atas (arisan barang)?

Jazakumullah khairan katsir atas jawabannya.

Zaenal Alim, Surabaya

Jawaban:

Jual beli dengan sistem arisan barang hukumnya mubah tanpa membedakan apakah pembayaran
harganya kontan (naqdan) ataukah tidak kontan (nasi-atan), dilakukan pada komoditi yang bergerak
(seperti kendaraan, binatang ternak, dan lain-lain.) ataukah tidak bergerak (seperti rumah, tanah, dan
lain-lain), setoran arisan diserahkan kepada penjual ataukah koordinator arisan. Semuanya mubah
selama harga barang yang dijual tidak mengandung ghobn fahisy (rekayasa harga keterlaluan), harga
barang tidak berubah, dan nilai angsuran bersifat tetap. Adapun jika arisan barang itu tidak melibatkan
akad jual beli maka disyaratkan harta yang disetor harus sama dengan harta yang diperoleh. Jika harta
yang disetor dalam arisan tersebut berbeda jenisnya maka arisan barang seperti ini hukumnya haram.
Yang dimaksud jual beli (dengan) sistem arisan barang (selanjutnya akan disebut Jual-Beli SAB ) di sini
adalah transaksi jual beli yang mana penjual sudah memiliki barang (bukan barang yang masih belum
dimiliki atau baru mau diproduksi) dan pembelinya membeli secara kontan, tetapi uang yang dipakai
pembeli untuk membayar adalah uang hasil menghimpun dari sejumlah orang yang sepakat bergabung
dengan sistem tersebut. Fakta Jual-Beli SAB sebenarnya adalah jual beli biasa. Hanya saja mengingat
harga barang yang cukup mahal bagi sebagian orang, maka digagas sistem arisan untuk “saling
membantu” membayarkan sehingga masing-masing anggota arisan bisa mendapatkan barang tersebut
sesuai gilirannya. Jadi, Jual-Beli SAB adalah akad jual beli biasa namun dengan cara pembayaran yang
khas. Pembayaran dalam Jual-Beli SAB tidak dilakukan oleh satu orang pembeli sebagai individu (atau
badan yang semakna dengan individu) sebagaimana biasanya, namun dibayarkan dengan “bantuan”
orang lain dengan sistem arisan. Ilustrasinya adalah sebagai berikut;

Seorang pedagang menjual buku dengan harga Rp.3.000.000,- perbuah. Oleh karena harga perbuku
cukup mahal, agar ringan, cara pembayarannya dilakukan dengan sistem arisan. Caranya, pedagang
menawarkan kepada sejumlah orang yang sudah dibatasi (misalnya 10 orang) untuk bergabung
(tentunya setelah sebelumnya dijelaskan secara lengkap sistemnya). Jika disepakati, 10 orang ini nanti
semuanya akan mendapatkan buku. Hanya saja, dari kesepuluh orang tersebut siapa yang akan
mendapatkan buku pertama kali, kedua, ketiga dan seterusnya, semuanya ditentukan melalui undian.
Setelah diundi dan jelas urutan gilirannya, 10 orang ini kemudian diminta untuk menyetorkan sejumlah
uang secara periodik (misalnya setiap satu bulan sekali). Jumlah yang disetor adalah harga buku dibagi
10 orang, yakni Rp.300.000,-. Uang sejumlah Rp.300.000,- ini disetorkan setiap bulan, sehingga setiap
bulan akan terkumpul uang sejumlah Rp.3.000.000,-. Setelah uang terkumpul dan diterima penjual,
maka penjual menyerahkan/mengirimkan barang kepada pembeli sesuai dengan urutan undian.
Demikian terus dilakukan sampai bulan kesepuluh sehingga seluruh anggota arisan mendapatkan buku
tersebut.

Ilustrasi di atas adalah salah satu contoh Jual-Beli SAB. Pada kasus lain barangkali ada sedikit variasi yang
berbeda, namun esensinya sama yakni jual beli dengan memanfaatkan teknik arisan dalam hal
pembayaran dengan tujuan meringankan pembeli. Teknik jual beli seperti ini seolah-olah membeli
barang secara kredit (dari sisi ringannya cara membayar), namun secara fakta adalah pembelian barang
secara kontan kepada penjual karena penjual hanya menyerahkan/mengirimkan barang setelah harga
satu buku tersebut lengkap diterima.

Dengan demikian Jual-Beli SAB adalah akad jual beli/bai’ (‫)البَيْع‬, bukan akad hutang/qordh (‫)القَرْ ض‬. Dalam
Jual-Beli SAB, yang disebut penjual adalah orang yang menawarkan barang (dalam ilustrasi di atas
adalah penjual buku) sementara yang disebut pembeli adalah orang-orang yang bersedia bergabung
dam sistem arisan barang tersebut dan bersedia menyetor sejumlah uang secara berkala (dalam ilustrasi
di atas adalah 10 orang anggota arisan). Fakta Jual-Beli SAB adalah fakta jual beli/bai’ dan telah
memenuhi definisi jual beli/bai’. Definisi jual beli/bai’ adalah;
)134 /1( ‫معجم لغة الفقهاء‬

‫ ج بُيُوْ ع‬، ‫ أَ ْعطَى ال َّش ْيء بِثَ َم ٍن‬، ‫ مص‍ بَا َع‬: ‫ البَيْع‬. O ‫ َور ْكنَاهُ ا ِإل ْي َجابُ َوالقَبُوْ ل‬، ‫اض‬ ِ ‫ال عَلى َسبِي ِْل التَّ ْملِ ْي‬
ٍ ‫ك ع َْن ت ََر‬ ٍ ‫ُمبَا َدلَةُ َم‬
ٍ ‫ال بِ َم‬

“Al-Bai’ yang merupakan bentuk mashdar ba’a (َ‫ )بَاع‬adalah memberi sesuatu dengan (kompensasi)
harga. (definisinya): Pertukaran harta dengan harta yang bersifat penetapan hak milik secara suka rela
dari kedua belah pihak. Rukun (sendi)nya adalah ijab dan kabul.”

Tampak dalam definisi di atas bahwa jual beli itu adalah aktifitas pertukaran harta. Dalam contoh
ilustrasi Jual-Beli SAB di atas, pertukaran harta telah terealisasi yakni pertukaran antara buku dengan
uang sejumlah Rp.3.000.000,-. Pertukaran harta dalam jual beli harus bersifat penetapan hak milik.
Dalam Jual-Beli SAB hal ini juga telah terwujud, karena setelah uang lengkap disetorkan, penjual berhak
memiliki uang Rp.3.000.000,- itu, sementara pembeli juga berhak memiliki buku tersebut. Pertukaran
dalam jual beli juga harus terjadi secara suka rela dari kedua belah pihak. Dalam Jual-Beli SAB,
pertukaran antara uang dengan buku terjadi secara sukarela, tanpa paksaan karena penjual sejak awal
menawarkan kepada siapapun yang bersedia bergabung dengan sistem arisan barang tanpa ada
paksaan. Jadi, Jual-Beli SAB adalah akad jual beli biasa.

Jual-Beli SAB bukan akad hutang/qordh, karena anggota arisan tidak pernah berhutang kepada penjual
dan penjual juga tidak pernah berutang kepada pembeli. Lebih dari itu Jual-Beli SAB tidak bisa disebut
akad hutang karena tidak memenuhi definisi hutang. Menurut Al-Jauhari, definisi hutang adalah;

)‫ بترقيم الشاملة آليا‬،71 /2( ‫الصحاح في اللغة‬

ُ‫ ما تعطيه من المال لتَ ْقضاه‬: ُ‫والقَرْ ض‬

“Qordh/hutang-piutang adalah harta yang engkau berikan dengan maksud engkau menagihnya lagi (di
masa mendatang)”

Dalam Jual-Beli SAB, tidak ada pihak yang menyerahkan harta dengan maksud ditagih di masa yang akan
datang. Yang ada adalah fakta pertukaran harta, sehingga akad ini lebih tepat disebut akad jual beli/bai’
bukan akad hutang/qordh.
Jual-Beli SAB hukumnya mubah berdasarkan ayat berikut ini;

{‫[ } َوأَ َح َّل هَّللا ُ ْالبَ ْي َع‬275 :‫]البقرة‬

“… Allah menghalalkan jual beli…”

ْ
Dalam ayat di atas, secara lugas Allah menegaskan bahwa Dia menghalalkan jual beli. Lafaz bai’ ( ‫)البَ ْي َع‬
yang diterjemahkan jual beli adalah isim jenis yang dilekati alif lam. Karena itu, lafaz ini bermakna umum
sehingga jual beli yang dihalalkan Allah adalah mencakup semua jenis jual beli. Keumuman jual beli ini
tidak bisa dikhususkan kecuali berdasarkan dalil seperti haramnya jual beli yang mengandung riba, jual
beli ghoror, jual beli najasy dan lain-lain. Dengan demikian Jual-Beli SAB dihukumi mubah karena
termasuk dalam keumuman kehalalan jual beli yang ada dalam ayat ini.

Adapun masalah pembayarannya dengan sistem arisan, maka hal tersebut tidak perlu dipersoalkan dan
tidak perlu dijadikan sebagai masalah. Alasannya, cara pembayaran dengan sistem arisan adalah perkara
teknis/uslub/wasilah bukan perkara ashl hukum (induk hukum). Hukum asal semua perkara teknis
adalah mubah selama tidak bertentangan dengan hukum syara’ berdasarkan keumuman bolehnya
isytiroth (menetapkan syarat). At-Tirmidzi meriwayatkan;

)‫ بترقيم الشاملة آليا‬،341 /5( ‫سنن الترمذى – مكنز‬

‫صلى‬- ِ ‫ف ْال ُم َزنِ ُّى ع َْن أَبِي ِه ع َْن َج ِّد ِه أَ َّن َرسُو َل هَّللا‬
ٍ ْ‫َح َّدثَنَا ْال َح َسنُ بْنُ َعلِ ٍّى ْالخَ الَّ ُل َح َّدثَنَا أَبُو عَا ِم ٍر ْال َعقَ ِدىُّ َح َّدثَنَا َكثِي ُر بْنُ َع ْب ِد هَّللا ِ ْب ِن َع ْم ِرو ْب ِن عَو‬
‫ قَا َل « الصُّ ْل ُح َجائِ ٌز بَ ْينَ ْال ُم ْسلِ ِمينَ إِالَّ ص ُْلحًا َح َّر َم َحالَالً أَوْ أَ َح َّل َح َرا ًما َو ْال ُم ْسلِ ُمونَ َعلَى ُشرُو ِط ِه ْم إِالَّ شَرْ طًا َح َّر َم َحالَالً أَوْ أَ َح َّل‬-‫هللا عليه وسلم‬
‫» َح َرا ًما‬.

“Telah menceritakan kepada kami Al Hasan bin Ali Al Khallal, telah menceritakan kepada kami Abu Amir
Al ‘Aqadi, telah menceritakan kepada kami Katsir bin Abdullah bin Amr bin ‘Auf Al Muzani dari ayahnya
dari kakeknya bahwa Rasulullah ‫ ﷺ‬bersabda: ‘Perdamaian diperbolehkan di antara kaum
muslimin kecuali perdamaian yang mengharamkan yang halal atau menghalalkan yang haram. Dan kaum
muslimin boleh menentukan syarat kecuali syarat yang mengharamkan yang halal atau menghalalkan
yang haram.’”
Dalam hadis di atas, Rasulullah ‫ ﷺ‬menegaskan bahwa kaum muslimin boleh menentukan
syarat dalam akad apapun selama syarat tersebut tidak mengharamkan yang halal atau menghalalkan
yang haram. Hal ini menunjukkan hukum asal isytiroth (menetapkan syarat) adalah mubah. Dalam kasus
perkontrakan misalnya, seorang ayah yang mengkontrak seorang mahasiswa untuk memberi tambahan
pelajaran bagi anaknya boleh menetapkan syarat pembayaran gaji sebulan sekali misalnya, atau sepekan
sekali, atau per-pertemuan dan seterusnya. Prinsipnya, semua hal teknis yang tidak diatur dalam dalil,
maka kaum muslimin boleh menetapkannya sebagai syarat dalam akad-akad yang dilakukannya.

Hukum arisan dari sisi arisan itu sendiri adalah mubah karena termasuk akad utang piutang atau yang
disebut dalam fikih dengan istilah qordh (‫)القَرْ ض‬. Orang yang mendapatkan arisan pada giliran pertama
bermakna berhutang kepada anggota arisan lain, orang yang mendapatkan arisan pada giliran terakhir
bermakna setoran yang selama ini diberikan adalah memberi piutang kepada anggota arisan yang lain.
Jika dia mendapatkan arisan pada giliran di tengah, hal itu bermakna dia memberi piutang dan juga
berhutang kepada anggota arisan. Hutang-piutang dari segi hutang-piutang itu sendiri hukumnya mubah
berdasarkan banyak dalil. Di antaranya;

)298 /8( ‫صحيح مسلم‬

ُ‫ض َي ال َّر ُج َل بَ ْك َره‬ِ ‫ص َدقَ ِة فَأ َ َم َر أَبَا َرافِ ٍع أَ ْن يَ ْق‬ َ ِ ‫ع َْن أَبِي َرافِ ٍع أَ َّن َرسُو َل هَّللا‬
mْ ‫صلَّى هَّللا ُ َعلَ ْي ِه َو َسلَّ َم ا ْستَ ْسلَفَ ِم ْن َرج ٍُل بَ ْكرًا فَقَ ِد َم‬
َّ ‫ت َعلَ ْي ِه إِبِ ٌل ِم ْن إِبِ ِل ال‬
‫ضا ًء‬َ َ‫اس أَحْ َسنُهُ ْم ق‬ِ َّ‫ال لَ ْم أَ ِج ْد فِيهَا إِاَّل ِخيَارًا َربَا ِعيًا فَقَا َل أَ ْع ِط ِه إِيَّاهُ إِ َّن ِخيَا َر الن‬ َ َ‫فَ َر َج َع إِلَ ْي ِه أَبُو َرافِ ٍع فَق‬

“Dari Abu Rafi’, bahwa Rasulullah ‫ ﷺ‬pernah berhutang unta muda kepada seorang laki-laki.
Ketika unta sedekah tiba, maka beliau pun memerintahkan Abu Rafi’ untuk membayar unta muda yang
dihutangnya kepada laki-laki tersebut. Lalu Abu Rafi’ kembali kepada beliau seraya berkata, “Aku tidak
mendapatkan unta muda kecuali unta yang sudah dewasa.” Beliau bersabda: “Berikanlah kepadanya,
sebaik-baik manusia adalah yang paling baik dalam membayar hutang.”

Dalam riwayat di atas Rasulullah ‫ ﷺ‬berhutang seekor unta muda. Perbuatan Rasulullah
‫ ﷺ‬ini menunjukkan berhutang hukumnya mubah. Adapun menghutangi, perbuatan ini
bukan hanya mubah, tetapi malah sunnah/mandub karena menghutangi bermakna menolong orang
lain. Muslim meriwayatkan;

)212 /13( ‫صحيح مسلم‬

‫ب يَوْ ِم ْالقِيَا َم ِة َو َم ْن‬


ِ ‫س هَّللا ُ َع ْنهُ ُكرْ بَةً ِم ْن ُك َر‬
َ َّ‫ب ال ُّد ْنيَا نَف‬
ِ ‫س ع َْن ُم ْؤ ِم ٍن ُكرْ بَةً ِم ْن ُك َر‬ َ َّ‫صلَّى هَّللا ُ َعلَ ْي ِه َو َسلَّ َم َم ْن نَف‬
َ ِ ‫ال َرسُو ُل هَّللا‬ َ َ‫ع َْن أَبِي هُ َري َْرةَ قَا َل ق‬
‫ْس ٍر يَ َّس َر هَّللا ُ َعلَ ْي ِه فِي ال ُّد ْنيَا َواآْل ِخ َر ِة َو َم ْن َست ََر ُم ْسلِ ًما َست ََرهُ هَّللا ُ فِي ال ُّد ْنيَا َواآْل ِخ َر ِة َوهَّللا ُ فِي عَوْ ِن ْال َع ْب ِد َما َكانَ ْال َع ْب ُد فِي عَوْ ِن أَ ِخي ِه‬
ِ ‫يَس ََّر َعلَى ُمع‬
“Dari Abu Hurairah Radhiyallahu ‘anhu dia berkata; Rasulullah ‫ ﷺ‬bersabda: ‘Barang siapa
membebaskan seorang mukmin dari suatu kesulitan dunia, maka Allah ‫ ﷻ‬akan membebaskannya
dari suatu kesulitan pada hari kiamat. Barang siapa memberi kemudahan kepada orang yang berada
dalam kesulitan, maka Allah ‫ ﷻ‬akan memberikan kemudahan di dunia dan akhirat. Barang siapa
menutupi aib seorang muslim, maka Allah akan menutup aibnya di dunia dan akhirat. Allah ‫ ﷻ‬akan
selalu menolong hamba-Nya selama hamba tersebut menolong saudaranya sesama muslim”

Oleh karena arisan termasuk akad hutang-piutang/qordh, maka selama tidak melanggar hukum-hukum
qordh , status arisan adalah mubah. Jika arisan melanggar hukum qordh, misalnya diberlakukan denda
karena terlambat setor arisan, maka arisan seperti itu haram karena denda dalam akad qordh adalah
riba. Termasuk juga aksi “membeli” giliran arisan, yakni menyerahkan sejumlah uang tertentu dengan
maksud memperoleh giliran awal untuk mendapatkan uang arisan, hal ini terlarang karena termasuk
riba.

Adapun cara perolehan uang arisan dengan cara diundi, maka hal ini juga tidak masalah karena
undian/qur’ah (‫ )القُرْ عَة‬dari sisi undian itu sendiri hukumnya juga mubah, bukan termasuk
qimar/maisir/judi, berdasarkan af’al (perbuatan) Rasulullah ‫ ﷺ‬yang mengundi istri-istrinya
jika hendak melakukan safar untuk menentukan siapa yang akan menemani beliau dalam safar. Bukhari
meriwayatkan;

)48 /9( ‫صحيح البخاري‬

ُ‫ َخ َر َج بِهَا َم َعه‬m‫صلَّى هَّللا ُ َعلَ ْي ِه َو َسلَّ َم إِ َذا أَ َرا َد َسفَرًا أَ ْق َر َع بَ ْينَ نِ َسائِ ِه فَأَيَّتُه َُّن َخ َر َج َس ْه ُمهَا‬
َ ِ ‫ت َكانَ َرسُو ُل هَّللا‬
ْ َ‫ض َي هَّللا ُ َع ْنهَا قَال‬
ِ ‫ع َْن عَائِ َشةَ َر‬

“Dari ‘Aisyah dia berkata: “Adalah Rasulullah ‫ ﷺ‬apabila hendak mengadakan suatu
perjalanan, beliau melakukan undian di antara isteri-isteri beliau. Siapapun yang keluar namanya maka
dia turut serta bersama beliau”

Undian jika dipakai hanya untuk menentukan siapa yang paling berhak secara adil pada orang-orang
yang memiliki hak sama, yang demikian itu hukumnya mubah sebagaimana Rasulullah ‫ﷺ‬
mengundi istri-istrinya. Undian menjadi judi yang bersifat haram jika disertai setoran harta yang
mengandung unsur menunggu kemungkinan untung dan rugi seperti undian pada togel. Jika arisan
disamakan dengan judi, maka hal ini tidak tepat mengingat dalam arisan tidak mengandung unsur
rugi/ghurmun (‫ )ال ُغرْ م‬sebagaimana pada judi. Dalam arisan orang tidak pernah menunggu ghunmun
(untung) atau ghurmun (rugi). Dalam arisan, orang hanya menunggu giliran, kapan mendapatkan uang
yang telah dihutangkan kepada orang lain atau menunggu uang yang dia berhutang kepada orang lain.
Jumlahnya sama persis. Tidak lebih dan tidak kurang serta tidak merugikan siapapun.

Arisan tidak bisa disamakan dengan judi karena tidak ada unsur intidhor ghurm wa ghunm (menunggu
peluang untung/rugi) melalui undian sebagaimana pada togel. Jika orang membeli togel, maka dia
berharap untung, tapi juga siap dengan kemungkinan rugi. Hal ini berbeda dengan arisan, karena arisan
tidak mengandung unsur kerugian sama sekali. Juga tidak mengandung unsur keuntungan. Jika orang
mendapatkan arisan pada giliran pertama kali, maka harta yang didapatkan tidak bisa disebut
keuntungan, karena dia masih punya kewajiban membayar sampai semua anggota juga mendapatkan
harta arisan. Jika orang mendapatkan arisan pada giliran terakhir, maka hal itu tidak bisa disebut
kerugian, karena dia akan tetap mendapatkan uang sama persis seperti yang dibayarkan jika sudah tiba
waktunya. Tidak ada akad murokkab (akad ganda) dalam arisan. Dalam arisan, akadnya jelas yaitu:
Utang-piutang. sementara utang piutang halal dalam Islam. Orang yang mendapat arisan, secara fakta
akadnya adalah hutang-piutang, karena dia punya kewajiban membayar hutang itu kepada anggota
arisan yang lain. Jika ditanyakan; “Kepada siapa dia berhutang?” Jawabannya: “Dia berutang kepada
anggota-anggota yang terlibat dalam arisan tersebut”. Pihak-pihak yang berakad dalam muamalah tidak
harus syakhshun mu’ayyan (orang tertentu), tetapi juga bisa berupa syakhshun ma’nawi (orang yang
bersifat maknawi). Contoh dalam hal ini adalah akad jual beli dengan perusahaan. Perusahaan bukan
orang, tapi sebuah saykhshun ma’nawi. Katakanlah ia sebuah badan. Demikian pula akad menjadi PNS
(pegawai negeri sipil). Akad PNS adalah akad ijaroh (perkontrakan) antara orang tertentu dengan negara
sebagai syakhshun ma’nawi/badan.

Jika yang dipersoalkan dalam sistem arisan adalah akad perpindahan harta, maka akad yang terjadi pada
sistem arisan adalah akad utang-piutang/qordh, dan dalil-dalil telah menunjukkan bahwa akad hutang
piutang hukumnya mubah. Seseorang yang membayarkan uang arisan bermakna bersedia menghutangi
orang lain dan siap berhutang kepada orang lain. Jika dia mendapatkan pertama, maka dia berhutang
kepada sejumlah orang, dan jika dia mendapatkan terakhir maka dia menghutangi sejumlah orang. Jika
dia mendapatkan di tengah-tengah maka dia mengambil piutangnya dari sejumlah orang dan berhutang
kepada sejumlah orang yang lainnya. Berhutang boleh saja kepada satu orang atau sejumlah orang,
sebagimana menghutangi juga boleh kepada satu orang atau sejumlah orang. Jadi akadnya jelas. Tidak
ada satupun yang dizalimi. Juga bukan termasuk riba, karena tidak ada ziyadah (tambahan) apapun.
Malah mestinya hal ini dipahami sebagai kemuliaan karena mengandung unsur muwasat (menolong
orang) sebagaimana kebiasaan kaum Asy’ariyyin dalam hadis berikut ini;

)387 /8( ‫صحيح البخاري‬


‫ط َعا ُم ِعيَالِ ِه ْم بِ ْال َم ِدينَ ِة َج َمعُوا َما َكانَ ِع ْن َدهُ ْم فِي‬
َ ‫صلَّى هَّللا ُ َعلَ ْي ِه َو َسلَّ َم إِ َّن اأْل َ ْش َع ِريِّينَ إِ َذا أَرْ َملُوا فِي ْالغ َْز ِو أَوْ قَ َّل‬
َ ‫ال النَّبِ ُّي‬ َ َ‫ع َْن أَبِي ُمو َسى ق‬
َ َ‫ال ق‬
ْ َ ِّ َ ْ ُ
ِ ‫اح ٍد ث َّم اقتَ َس ُموهُ بَ ْينَهُ ْم فِي إِنَا ٍء َو‬
‫اح ٍد بِالس َِّويَّ ِة فهُ ْم ِمني َوأنَا ِمنهُ ْم‬ ِ ‫ب َو‬
ٍ ْ‫ثو‬ َ

“Dari Abu Musa berkata; Nabi ‫ ﷺ‬bersabda: “Sesungguhnya orang-orang Asy’ariy jika
mereka kehabisan bekal saat berperang atau menipis persediaan makan keluarga mereka di Madinah,
maka mereka mengumpulkan apa saja milik mereka pada satu kain lalu mereka membagi rata di antara
mereka pada tiap masing-masing. Mereka adalah bagian dariku dan aku adalah bagian dari mereka”.

Secara fakta, sistem arisan pada Jual-Beli SAB ini justru mengandung manfaat mulia karena terjadi
aktivitas saling menolong sesama anggota arisan. Hal itu dikarenakan dalam Jual-Beli SAB, anggota
arisan membeli sebuah barang dengan bantuan utang anggota arisan yang lain, sementara yang lainnya
membeli barang setelah memberi piutang kepada anggota yang lain. Oleh karena “ruh” sistem arisan ini
sifatnya saling menolong, maka dalam bahasa Arab di antara istilah yang dipakai adalah jam’iyyah
ta’awuniyyah (‫ )ال َج ْم ِعيَّة التَّ َعا ُونِيَّة‬yang bermakna kelompok/grup /kumpulan yang bersifat saling menolong.

Jadi, sistem arisan pada Jual-Beli SAB sebenarnya adalah kesepakatan terkait cara pembayaran. Cara
pembayaran dengan teknik arisan adalah uslub/wasilah yang tidak bertentangan dengan nash-nash yang
terkait jual beli.

Adapun adanya dua akad dalam Jual-Beli SAB, yakni akad jual beli dan akad utang-piutang dalam sistem
arisannya, maka hal ini tidak perlu menjadi keberatan dan tidak perlu dipersoalkan. Alasannya, akad
dalam Jual-Beli SAB bukan termasuk dua akad dalam satu akad yang dilarang dalam hadis Nabi
‫ﷺ‬. Akad dalam Jual-Beli SAB hanya satu yaitu akad bai’/jual beli antara penjual buku (dalam
ilustrasi di atas) dengan pembeli buku (yang terkumpul dalam kelompok arisan). Akad utang-piutang
tidak terjadi antara penjual dan pembeli, tetapi terjadi di antara sesama pembeli sehingga tidak bisa
dimasukkan dalam status dua akad dalam satu akad. Contoh dua akad dalam satu akad yang dilarang
Nabi ‫ ﷺ‬adalah seperti seorang penjual yang berkata kepada pembeli; “ Aku menjual
rumahku dengan syarat engkau menikahkan aku dengan putrimu”. Ini adalah dua akad dalam satu akad,
yaitu akad jual beli dan akad nikah. Akad seperti ini batil berdasarkan hadis Nabi ‫ﷺ‬:

)130 /8( ‫مسند أحمد‬

ِ ‫ص ْفقَ ٍة َو‬
‫اح َد ٍة‬ َ ‫ص ْفقَتَ ْي ِن فِي‬ َ ِ ‫ض َي هَّللا ُ َع ْنهُ َما ع َْن أَبِي ِه قَا َل نَهَى َرسُو ُل هَّللا‬
َ ‫صلَّى هَّللا ُ َعلَ ْي ِه َو َسلَّ َم ع َْن‬ ِ ‫ع َْن َع ْب ِد الرَّحْ َم ِن ب ِْن َع ْب ِد هَّللا ِ ب ِْن َم ْسعُو ٍد َر‬
“Dari Abdurrahman bin Abdullah bin Mas’ud dari ayahnya dia berkata: Rasulullah ‫ﷺ‬
melarang dua akad/transaksi dalam satu akad/transaksi”

Sampai di sini bisa ditegaskan bahwa Jual-Beli SAB adalah akad jual beli biasa bukan akad utang-piutang
atau kombinasi antara akad jual beli dengan utang-piutang. Oleh karena itu hukumnya mubah, dan tidak
bisa diharamkan karena tidak ada dalil yang bisa dipakai untuk mengharamkan transaksi tersebut.

Akad Jual-Beli SAB selain tergolong akad jual beli biasa, akad tersebut juga termasuk akad jual beli
kontan yang sudah sangat umum dilakukan di masyarakat. Sudah disepakati kehalalan dan kemubahan
akad jual beli yang dilakukan secara kontan (berbeda dengan akad jual beli tidak kontan yang masih
menyisakan sedikit ikhtilaf). Jika akad dalam Jual-Beli SAB adalah akad jual beli kontan, maka
kemubahan akad Jual-Beli SAB lebih jelas lagi.

Bukti yang menunjukkan bahwa akad Jual-Beli SAB adalah akad jual beli kontan adalah
penyerahan/pengiriman barang oleh pembeli yang baru dilaksanakan setelah harga barang lunas secara
lengkap diterima penjual. Seandainya akad Jual-Beli SAB bukan akad jual beli kontan, maka penjual akan
bersedia menyerahkan/mengirim barang meskipun harga barang belum lunas dibayarkan dan lengkap
diterima penjual. Jual-Beli SAB bukan jual beli dengan pembayaran tidak kontan (nasi-ah), karena pada
jual beli tidak kontan, barang diserahkan dulu kemudian uang dibayar secara berangsur atau dibayar
sekali dalam tempo waktu tertentu. Jual-Beli SAB barangnya baru dikirim setelah anggota arisan
menyerahkan semua setoran, hal ini menunjukkan ini jual beli kontan bukan jual beli hutang/kredit.

Jika Jual-Beli SAB adalah akad jual beli kontan, kapankah terjadi ijab kabul?

Ijab kabul pada Jual-Beli SAB baru terealisasi pada saat uang sudah terkumpul dari semua anggota arisan
dan diterima penjual, dengan bukti hanya pada saat tersebut penjual bersedia
mengirimkan/menyerahkan barang. Semua anggota arisan dituntut menyetor uang secara lengkap,
sehingga baru bisa disebut kabul. Buktinya, jika ada satu anggota yang membatalkan keanggotaannya
dalam sistem arisan tersebut, maka penjual tidak mau melepaskan barangnya. Pilihannya adalah akad
dibatalkan, atau ada anggota baru yang dimasukkan agar bisa menggantikan penyetoran uang, atau ada
anggota lain yang bersedia menalangi, atau Jual-Beli SAB dibubarkan sehingga pembeli berhak
mendapatkan uang masing-masing.

Hal ini mirip seperti fakta jual beli di supermarket, yang mana ijab kabul baru terealisasi jika sudah ada
penyerahan uang sebagai harga ke kasir, bukan saat pembeli sedang memilih barang atau baru taraf
membawa barang ke kasir. Fakta yang juga mirip dengan kasus ini adalah jual beli yang memanfaatkan
memakai vending machine, yakni cara penjualan yang mana barang dagangan dimasukkan ke dalam
mesin, kemudian pembeli yang ingin memperoleh barang yang ada di sana diminta memasukkan
koin/sejumlah uang, sehingga mesin akan mengeluarkan barang yang diminta. Cara penjualan memakai
vending machine ini cukup populer terutama di Jepang.

Dalam istilah fikih, jual beli yang mana ijab kabulnya dilakukan bukan dengan ucapan, tetapi dengan
aksi/perbuatan dinamakan bai’ul mu’athoth ( m‫)بَ ْي ُع الم َعاطَاة‬. Jual beli dengan cara mu’athot hukumnya
mubah dengan syarat harga barang telah diketahui (ma’ruf) yang tidak perlu ada tawar menawar
(musawamah) sehingga tidak mengakibatkan munaza’at (perselisihan), karena hukum asal muamalah
memang harus dilakukan dengan cara yang menghilangkan munaza’at. Dalam jual beli mu’athot , ijab
kabulnya memakai aksi/perbuatan sebagai wakil dari lafaz. Penjual yang menata barang dengan tujuan
agar dibeli dihitung sebagai ijab, sementara pembeli yang menyerahkan uang setelah memilih barang
dihitung sebagai kabul. An-Nawawi berkata:

)163 /9( ‫المجموع شرح المهذب‬

َ ‫ْطيَهُ ِدرْ هَ ًما أَوْ َغي َْرهُ َويَأْ ُخ َذ ِم ْنهُ َش ْيئًا فِي مقابلته َواَل ي‬
َ‫ُوج ُد لَ ْفظٌ أَوْ يُو َج ُد لَ ْفظٌ ِم ْن أَ َح ِد ِه َما ُدون‬ ِ ‫ق أَ ْن يُع‬
ُ ِ‫ُورةُ ْال ُم َعاطَا ِة الَّتِي فِيهَا ْال ِخاَل فُ السَّاب‬
َ ‫ص‬
‫اآْل َخ ِر‬

“Ilustrasi mu’athot yang diperselisihkan sebagaimana dijelaskan sebelumnya adalah; (pembeli) memberi
dirham atau (benda berharga) lainnya dan dia mengambil barang tertentu berdasarkan pembayaran
tersebut sebagai kompensasinya. Tidak ada lafaz (dalam akad mu’athot ini) atau (varisi lain bisa juga)
ada lafaz dari salah satu dari dua pihak yang berakad, sementara pihak lainnya tidak (mengucapkan
lafaz)”

Pada kasus Jual-Beli SAB, ijabnya adalah penawaran barang dari penjual kepada orang-orang yang
bersedia ikut sistem arisan. Kabul-nya bagi masing-masing anggota arisan adalah ketika uang sudah
lengkap diserahkan kepada penjual. Dengan fakta semacam ini, Jual-Beli SAB dari sisi ijab dan kabul bisa
dikatakan akad jual beli kontan dengan sistem mu’athot. Jual beli mu’athot hukumnya mubah karena
Allah ‫ ﷻ‬ketika menghalalkan jual beli tidak menetapkan lafaz tertentu terkait ijab dan kabulnya.
Hal ini menunjukkan penerapan ijab dan kabul di lapangan dikembalikan pada urf (tradisi) yang
menunjukkan ridha kedua belah pihak yang berakad.

Jadi, bisa ditegaskan lagi bahwa Jual-Beli SAB adalah akad jual beli kontan, bukan akad jual beli
hutang/tidak kontan/nasi-ah. Jual-Beli SAB juga bukan jual beli salam, karena jual beli salam menuntut
unsur islaf (menghutangi) dalam akadnya, yakni pembeli menyerahkan harga barang di muka secara
kontan (seolah-olah menghutangi penjual), sementara barang yang dijual baru taraf dijanjikan oleh
penjual (alias belum ada barangnya). Penjual hanya menjanjikan penyerahan barang dengan takaran
atau berat yang definitif/tertentu lalu diserahkan pada waktu yang jelas pula di masa yang akan datang.
Harga barang diserahkan dulu secara kontan oleh pembeli kepada penjual seakan-akan “menghutangi”
penjual, agar harta tersebut bisa dimanfaatkan terlebih dulu oleh penjual, baik dimanfaatkan menjadi
modal atau memenuhi kebutuhan pribadinya. Adapun dalam Jual-Beli SAB, barangnya sudah ada,
pembeli juga menyerahkan uang tidak dalam konteks islaf (menghutangi), tetapi membayar harga
barang dalam arti harfiah, sehingga setelah itu langsung mendapatkan barangnya secara kontan pula.
Jadi Jual-Beli SAB bukan jual beli salam.

Jual-Beli SAB pada kasus komoditi barang bergerak juga bukan akad istishna’, karena istishna’ itu
barangnya masih belum ada, sementara Jual-Beli SAB barangnya sudah ada hanya tinggal diserahkan
(levering) jika uang sudah terkumpul semuanya.

Seandainya uang pembayaran dalam Jual-Beli SAB dibayarkan secara tidak kontan sekalipun, maka
hukumnya tetap mubah, karena ayat yang menghalalkan jual beli sifatnya umum sehingga kehalalalan
jual beli berlaku pada transaksi yang bersifat kontan maupun tidak kontan.

Ini semua adalah penjelasan Jual-Beli SAB dengan komoditi barang bergerak seperti buku, kendaraan,
binatang ternak, peralatan rumah tangga dan sebagainya.

Adapun Jual-Beli SAB dengan komoditi barang tidak bergerak seperti tanah, rumah, apartemen, gedung,
toko dan semisalnya, maka akad tersebut juga mubah karena termasuk keumuman dalil mubahnya jual
beli.

Adapun Jual-Beli SAB dengan komoditi tidak bergerak yang masih belum ada barangnya (misalnya
rumah yang masih berupa sktesa/gambar rancang atau hanya dideskripsikan secara lisan), maka akad
seperti ini hukumnya juga mubah. Hanya saja dalil kemubahan akad ini secara spesifik bukan dalil
kemubahan jual beli, tetapi yang menjadi dasar adalah dalil kemubahan istishna’ (‫)اال ْستِصْ نَاع‬. Akad
istishna’adalah akad jual beli dengan barang yang masih perlu diolah dari bahan mentah/setengah jadi
menjadi bahan jadi. Akad seperti ini mubah tanpa mempedulikan apakah harga barangnya diserahkan
secara kontan maupun tidak kontan, memakai uang panjar/uang muka/persekot/DP maupun tanpa
uang panjar. Dalil mubahnya istishna’adalah perbuatan Nabi ‫ ﷺ‬yang pernah memesan
untuk dibuatkan cincin dan mimbar. Bukhari meriwayatkan:

)223 /18( ‫صحيح البخاري‬

‫ط ِن َكفِّ ِه إِ َذا لَبِ َسهُ فَاصْ طَنَ َع النَّاسُ َخ َواتِي َم ِم ْن‬ ْ َ‫صهُ فِي ب‬َّ َ‫ب َو َج َع َل ف‬ ٍ َ‫صلَّى هَّللا ُ َعلَ ْي ِه َو َسلَّ َم اصْ طَنَ َع خَاتَ ًما ِم ْن َذه‬ َّ ِ‫ع َْن نَافِ ٍع أَ َّن َع ْب َد هَّللا ِ َح َّدثَهُ أَ َّن النَّب‬
َ ‫ي‬
‫ت اصْ طَنَ ْعتُهُ َوإِنِّي اَل أَ ْلبَ ُسهُ فَنَبَ َذهُ فَنَبَ َذ النَّاسُ قَا َل ُج َوي ِْريَةُ َواَل أَحْ ِسبُهُ إِاَّل قَا َل فِي يَ ِد ِه ْاليُ ْمنَى‬
ُ ‫ال إِنِّي ُك ْن‬َ َ‫ب فَ َرقِ َي ْال ِم ْنبَ َر فَ َح ِم َد هَّللا َ َوأَ ْثنَى َعلَ ْي ِه فَق‬ٍ َ‫َذه‬
“Dari Nafi’ bahwa Abdullah pernah menceritakan kepadanya bahwa Nabi ‫ ﷺ‬pernah
meminta dibuatkan cincin dari emas, dan menghadapkan mata cincinnya ke telapak tangan beliau
apabila beliau mengenakannya. Maka orang-orang pun ramai memesan cincin dari emas. Lalu beliau
naik mimbar. Setelah memuji Allah dan menyanjung-Nya beliau bersabda: ‘Sesungguhnya saya telah
meminta dibuatkan cincin dari emas, dan sungguh saat ini saya tidak akan mengenakannya.’ Maka
orang-orang pun membuang cincin mereka. Juwairiyah mengatakan; ‘Aku tidak mengira lagi kecuali Nafi’
mengatakan; ‘Beliau mengenakannya di tangan kanan beliau.’’”

)236 /2( ‫صحيح البخاري‬

‫ك النَّجَّا َر يَ ْع َملْ لِي أَ ْع َوادًا أَجْ لِسُ َعلَ ْي ِه َّن‬


ِ ‫صلَّى هَّللا ُ َعلَ ْي ِه َو َسلَّ َم إِلَى ا ْم َرأَ ٍة ُم ِري غُاَل َم‬
َ ِ ‫ث َرسُو ُل هَّللا‬
َ ‫ع َْن َسه ٍْل قَا َل بَ َع‬

“Dari Sahl berkata, ‘Rasulullah ‫ ﷺ‬memanggil seorang wanita dan berkata: ‘Perintahkan
budakmu yang tukang kayu itu membuat tangga mimbar untukku, hingga aku bisa duduk di atasnya.’’”

Dalam riwayat Muslim lafaznya berbunyi:

)154 /3( ‫صحيح مسلم‬

‫ال‬َ َ‫از ٍم ع َْن أَبِي ِه أَ َّن نَفَرًا َجا ُءوا إِلَى َس ْه ِل ْب ِن َس ْع ٍد قَ ْد تَ َما َروْ ا فِي ْال ِم ْنبَ ِر ِم ْن أَيِّ عُو ٍد هُ َو فَق‬ ِ ‫يز بْنُ أَبِي َح‬ ِ ‫ال يَحْ يَى أَ ْخبَ َرنَا َع ْب ُد ْال َع ِز‬ ِ ‫ع َْن َع ْب ِد ْال َع ِز‬
َ َ‫يز ق‬
ْ‫س فَ َحدِّثنَا‬ َ
ٍ ‫ت لَهُ يَا أبَا َعبَّا‬ ْ
ُ ‫س َعلَ ْي ِه قَا َل فَقُل‬ َ َّ ‫هَّللا‬
َ َ‫صلى ُ َعلَ ْي ِه َو َسل َم أ َّو َل يَوْ ٍم َجل‬ َّ ‫هَّللا‬
َ ِ ‫ُول‬ َ ‫ْت َرس‬ ُ ‫أَ َما َوهَّللا ِ إِنِّي أَل ْع ِرفُ ِم ْن أيِّ عُو ٍد ه َُو َو َم ْن َع ِملَهُ َو َرأي‬
َ َ َ
‫اس َعلَ ْيهَا‬ َ َّ‫ك النَّجَّا َر يَ ْع َملْ لِي أَ ْع َوادًا أُ َكلِّ ُم الن‬ ِ ‫از ٍم إِنَّهُ لَيُ َس ِّمهَا يَوْ َمئِ ٍذ ا ْنظُ ِري غُاَل َم‬ ِ ‫صلَّى هَّللا ُ َعلَ ْي ِه َو َسلَّ َم إِلَى ا ْم َرأَ ٍة قَا َل أَبُو َح‬
َ ِ ‫ال أَرْ َس َل َرسُو ُل هَّللا‬ َ َ‫ق‬
‫ض َع فَ ِه َي ِم ْن طَرْ فَا ِء ْالغَابَ ِة‬ ِ ْ‫ت هَ َذا ْال َمو‬ َ ِ ‫ت ثُ َّم أَ َم َر بِهَا َرسُو ُل هَّللا‬
ِ ‫صلَّى هَّللا ُ َعلَ ْي ِه َو َسلَّ َم فَ ُو‬
ْ ‫ض َع‬ ٍ ‫ث َد َر َجا‬ َ ‫فَ َع ِم َل هَ ِذ ِه الثَّاَل‬

“Dari Abdul Aziz, ia berkata; Yahyaberkata; Telah mengabarkan kepada kami Abdul Aziz bin Abi Hazim
dari bapaknya “Bahwa sejumlah orang datang kepada Sahl bin Sa’d  karena mereka berdebat mengenai
mimbar Rasulullah ‫ ﷺ‬terbuat dari kayu apakah mimbar itu? Sahl  menjawab, ‘Demi Allah,
aku tahu betul dari kayu apa mimbar itu dibuat dan siapa yang membuatnya. Bahkan aku melihat
Rasulullah ‫ ﷺ‬duduk di situ pada hari pertama mimbar itu selesai dibuat.’ Kata Abu Hazim,
‘Hai Abu Abbas (Sahl)! Ceritakanlah kepada kami! ‘ Lalu Sahal bercerita, ‘Pada suatu hari Rasulullah
‫ ﷺ‬menyuruh (untuk memanggil) seorang perempuan -Abu Hazim berkata, ‘Beliau
menyebutkan namanya pada waktu itu’.- lalu beliau bersabda kepadanya, ‘Suruhlah budakmu yang
tukang kayu itu membuatkan sebuah mimbar kayu untuk tempatku berpidato kepada orang-orang’.
Maka dia membuat tiga tingkat ini. Kemudian Rasulullah ‫ ﷺ‬memerintahkan supaya
meletakkan mimbar itu di tempat ini. Mimbar itu terbuat dari kayu hutan.”
Memesan cincin dan mimbar bermakna cincin dan mimbar itu belum ada dan masih hendak dibuatkan.
Ketika produk yang akan dibuat itu diberi harga, maka akad seperti ini yang diistilahkan dengan sebutan
istishna’. Hanya saja kemubahan istishna’ disyaratkan harganya harus ma’lum (diketahui). Harga boleh
berupa naqd (mata uang), ‘ain (barang) atau manfa’ah (jasa). Pembayarannya boleh kontan (naqdan)
maupun tidak kontan (nasi-atan dengan dua variasinya, yakni dainan –hutang sekali jatuh tempo- atau
taqsithon –hutang dengan pembayaran mengangsur-). Hanya saja, barang yang yang menjadi obyek
akad istishna’ hanya boleh berupa benda-benda yang menerima proses shina’ah (pengolahan industrial)
dari bahan baku/mentah atau setengah jadi, menjadi barang jadi. Jadi obyek istishna’ hanya boleh untuk
barang-barang seperti rumah, lemari, kendaraan, pakaian dan semisalnya.

Sampai di sini bisa disimpulkan bahwa Jual-Beli SAB mubah pada komoditi bergerak maupun tidak
bergerak, termasuk mubah juga Jual-Beli SAB pada barang yang masih belum ada. Hanya saja, kebolehan
Jual-Beli SAB pada barang yang belum ada khusus dibatasi pada barang yang mungkin diterapkan akad
istishna’ padanya.

Patut dicatat, harga yang ditetapkan penjual pada Jual-Beli SAB disyaratkan tidak boleh mencapai ghobn
fahisy (rekayasa harga keterlaluan). Artinya, harga yang ditetapkan harus harga wajar di tempat
tersebut. Jika harga sepeda di sebuah daerah berkisar antara Rp.8.000.000,- sampai Rp.13.000.000,-
kemudian penjual menetapkan harga Rp.10.000.000 di daerah tersebut, maka harga tersebut adalah
harga normal dan jual belinya sah. Namun jika penjual menetapkan harga Rp.20.000.000,- di daerah
tersebut, maka harga seperti ini adalah ghobn fahisy yang dihitung zalim dan mesti berakibat
kekecewaan pembeli karena merasa ditipu. Penetapan harga normal diketahui melalui penilaian
khubaro’ (para ahli).

Dalam Jual-Beli SAB disyaratkan juga harga tidak boleh berubah-ubah. Angsuran yang ditetapkan juga
harus konstan, tidak boleh mengikuti tingkat suku bunga. Harga atau angsuran yang berubah-ubah
dilarang karena mengandung riba dan atau melanggar larangan menjual dua kali dalam satu akad.
Rasulullah ‫ ﷺ‬bersabda sebagaimana diriwayatkan Abu Dawud:

)290 /3( ‫سنن أبى داود – م‬

‫ « َم ْن بَا َع بَ ْي َعتَي ِْن فِى بَ ْي َع ٍة فَلَهُ أَوْ َك ُسهُ َما أَ ِو ال ِّربَا‬-‫صلى هللا عليه وسلم‬- ‫ال قَا َل النَّبِ ُّى‬
َ َ‫» ع َْن أَبِى ه َُر ْي َرةَ ق‬.

“Dari Abu Hurairah, dia berkata: Nabi ‫ ﷺ‬bersabda: Barangsiapa menjual dua kali dalam satu
penjualan, maka dia (hanya) berhak (harga) yang peling rendah atau (jika tidak berarti dia telah menarik)
riba”
Termasuk akad yang dilarang adalah jika Jual-Beli SAB memakai akad salam dengan penyerahan harga
barang kepada penjual yang tidak serentak. Alasannya, para fuqoha menjelaskan bahwa dalam akad
salam, harga barang harus diserahkan secara kontan 100 %, dan tidak boleh ditangguhkan. Termasuk
tidak boleh dalam akad salam adalah jika barang yang diperjualbelikan tidak bergerak. Alasannya, akad
salam hanya boleh diterapkan pada komoditi harta bergerak, tidak boleh pada komoditi tidak bergerak
(seperti tanah, rumah, bangunan). Komoditi tidak bergerak dilarang karena prinsip akad salam menuntut
komoditi yang dijual bersifat fidz-dzimmah (dalam tanggungan), bukan mu’ayyan (tertentu), sementara
komoditi tidak bergerak (aqor) dari sisi pengertian aqor itu sendiri tidak mungkin bisa menjadi bersifat
fidz-dzimmah. Lagipula aqor itu harganya berbeda-beda, sehingga perlu ditentukan di mana lokasinya.
Jika sudah ditentukan lokasinya maka statusnya menjadi mu’ayyan bukan lagi fidz dzimmah. Bukti lain
bahwa aqor itu selalu mu’ayyan; Jika aqor disewakan, maka aqor tersebut harus jelas barangnya, baik
dengan cara isyaroh, alif lam’ahdiyyah, penyebutan lokasi, penjelasan batas-batas dan lain-lain yang
akan menyebabkan perbedaan harga sewa. Jadi, Jual-Beli SAB dengan akad salam hanya boleh dalam
dua kondisi: a.Harga barang harus dibayarkan secara kontan lunas (serentak) oleh pembeli (yakni
anggota arisan), tidak boleh susul-menyusul (alias tidak serentak yang bermakna tidak kontan) dan
b.Barang yang dijual harus berupa komoditi bergerak (tidak boleh berupa komoditi tidak bergerak
seperti tanah, rumah, bangunan dan semisalnya)

Akad salam berbeda dengan akad istishna’. Akad istishna’ tidak dituntut harus muhaddad (tertentu)
terkait waktu penyerahan barang, sementara akad salam harus jelas kapan waktu penyerahan barang.
Dari sisi motivasi akad, orang melakukan akad salam karena penjual sedang dalam kondisi butuh
sehingga perlu “pinjaman” dari pembeli yang dihitung sebagai harga barang, adapun akad istishna’, yang
mendorong akad tersebut adalah kebutuhan pembeli. Perbedaan yang lainnya, akad istishna’ adalah
akad jaiz yang bisa dibubarkan tanpa persetujuan pihak lain sementara akad salam adalah akad lazim
yang tidak bisa dibubarkan tanpa persetujuan pihak yang lain. Perbedaan yang lain; Pembayaran harga
barang pada akad salam harus di muka secara kontan dan lunas sementara pada akad istishna’ bersifat
bebas; boleh di awal, di tengah atau di akhir, kontan maupun tidak kontan, diangsur maupun sekaligus.

Ringkasnya, Jual-Beli SAB adalah akad jual beli. Oleh karena itu, apa yang halal dalam jual beli, halal pula
dalam Jual-Beli SAB, apa yang haram dalam akad jual beli, haram juga dalam Jual-Beli SAB. Jika jual beli
ghoror, jual beli najasy, dan jual beli yang mengandung riba adalah haram, maka haram pula jual beli
cara ini dalam Jual-Beli SAB. Jika jual beli istishna’, jual beli salam, dan jual beli dengan akad samsaroh
(kemakelaran) adalah halal, maka halal pula jual beli dengan cara ini dalam Jual-Beli SAB selama
dipenuhi syarat-syaratnya. Jadi dalam kasus (sebagai contoh) ada jual beli dengan harga (price) yang
dibayarkan berupa barang, sementara yang dijual juga berupa barang, maka berlaku ketentuan mistlan
bimitslin (pertukaran serupa) ketika barangnya sama. Maka kurma yang ditukar dengan kurma harus
sama kadarnya (tidak boleh kurma kering ditukar dengan kurma basah), emas yang ditukar dengan emas
harus sama kadarnya (tidak boleh 3 gram emas ditukar 4 gram meskipun salah satu emas terbedakan
dengan pencetakan), perak yang ditukar dengan perak harus sama kadarnya (tidak boleh perak tercetak
seberat 5 gram ditukar dengan perak tidak tercetak seberat 4 gram) demikian seterusnya. Jika ketentuan
ini dilanggar maka akad tersebut adalah akad batil karena mengandung riba.

Jika Jual-Beli SAB ingin dibubarkan maka secara hukum pembubaran itu mubah saja karena akad
menghutangi/berhutang boleh dibatalkan sebagaimana boleh juga pula membatalkan rencana jual beli.
Jika dalam situasi ini ada orang baru yang berminat masuk ke dalam Jual-Beli SAB tersebut, maka hal itu
juga dibolehkan, karena bermakna dia bersedia berhutang atau menghutangi dan berakad Jual-Beli SAB .
Namun, orang yang baru ini jika masuk, maka uang yang disetor tidak boleh melebihi setoran anggota
yang lain, karena jika hal itu dilakukan maka kelebihan setoran dihitung sebagai riba. Setoran yang yang
diberikan anggota baru ini mengikuti jumlah berapa kali setoran yang ia “tunggak” (maksudnya
menghitung berapa kali periode yang mana ia ketinggalan setor).

Terkait konsekuensi finansial, maka konsekuensi syar’inya harus diperinci. Jika pembubaran Jual-Beli SAB
itu dilakukan sebelum ada satupun anggota arisan yang setor uang, maka tidak ada konsekuensi finansial
apapun, karena akad jual-beli sama sekali belum terjadi dan akad utang-piutang juga belum muncul
sama sekali. Penjual baru taraf menawarkan dan pembeli baru setuju teknis arisan saja. Jika
pembubaran itu setelah terjadi satu atau dua kali pelunasan arisan (sehingga ada satu atau dua barang
yang sudah diserahkan/dikirim, yang bermakna telah terjadi satu atau dua akad jual beli pada sebagian
anggota arisan), baik sebab pembubaran itu dari penjual (misalnya penjual dilarang jualan oleh walinya)
maupun pembeli (misalnya ada salah satu anggota arisan yang mundur dan tidak ditemukan pengganti),
maka dalam hal ini ada konsekuensi finansial yang harus dituntaskan. Pembeli yang sudah mendapatkan
barang, wajib mengembalikan uang yang ia “pinjam” pada anggota arisan sesuai hak masing-masing.
Penjual dalam hal ini terkena tuntutan secara moral untuk membantu menuntaskan (meskipun hanya
bersifat teknis, yakni menagihi dan menyerahkan uang kepada yang punya hak), kendati secara syar’i dia
tidak terikat kewajiban dalam perannya menuntaskan pengembalian uang pembeli. Namun, demi
menghindari perselisihan, sebaiknya mekanisme ini (yakni keterlibatan penjual menuntaskan
penyerahan hak pada anggota arisan) dijadikan isytiroth (Terms and Conditions) di awal akad, sehingga
nantinya penjual menjadi wajib membantu penuntasan pengembalian hak berdasarkan isytiroth
tersebut.

Ini semua adalah penjelasan hukum arisan barang yang melibatkan akad jual beli.

Adapun jika yang dimaksud arisan barang adalah arisan yang tidak melibatkan akad jual beli, misalnya:
Tiap anggota arisan menyetor sejumlah uang, kemudian pada saat pengundian anggota yang keluar
nama undiannya diberi sejumlah barang sebagai pengganti uang (misalnya berupa sembako, peralatan
rumah tangga, dan lain-lain) maka arisan semacam ini hukumnya haram. Hal itu dikarenakan akad arisan
adalah akad qordh (hutang piutang). Hukum asal qordh mensyaratkan bahwa apa yang dipinjam harus
sama dengan yang dikembalikan. Jika berhutang uang maka harus dikembalikan dalam bentuk uang, jika
berhutang sapi maka harus kembali berupa sapi. Jika hutang uang lalu dikembalikan dalam bentuk sapi,
maka itu riba yang hukumnya haram. Asy-Syirozi berkata;

)85 /2( ‫ في فقة اإلمام الشافعي للشيرازي‬m‫المهذب‬

‫ويجب على المستقرض رد المثل فيما له مثل ألن مقتضى القرض رد المثل‬

“Orang yang berhutang (mustaqridh) wajib mengembalikan barang yang sama pada barang-barang yang
(memang) ada barang serupa dengannya, karena muqtadho (tuntutan) akad hutang (qordh) adalah
roddul mitsli (mengembalikan barang yang sama)…”

Pengembalian dengan qimah (nilai) hanya boleh sebagai rukhshoh atau dalam kondisi terpaksa, yakni
pada barang-barang langka yang susah ditemukan barang serupa atau memang benar-benar sudah tidak
ada. Contohnya berhutang dalam mata uang rupiah, kemudian karena mata uang rupiah oleh
pemerintah dihapus dan diganti dengan sistem dinar-dirham –misalnya-, maka orang sudah tidak
mungkin lagi menemukan uang dalam bentuk rupiah. Dalam kondisi ini boleh hukumnya membayar
dengan mata uang dinar-dirham sesuai dengan nilai (qimah) yang dihutang. Dalam hal ini, nilai yang
diperhitungkan adalah nilai yang ada pada saat pertama kali akad hutang disahkan. Ibnu Qudamah
berkata;

)244 /4( ‫المغني البن قدامة‬

ِ ‫ َكانَ لِ ْل ُم ْق ِر‬،‫ بِهَا‬mُ‫َت ْال ُم َعا َملَة‬


‫ض قِي َمتُهَا‬ ْ ‫ َوتَ َرك‬، ُ‫ الس ُّْلطَان‬m‫ فَ َح َّر َمهَا‬،ً‫َوإِ ْن َكانَ ْالقَرْ ضُ فُلُوسًا أَوْ ُم َك َّس َرة‬

“Jika hutangnya berupa fulus (mata uang senilai 1/6 dirham yang dicetak dari tembaga atau bahan lain
selain emas dan perak) atau mukassaroh (uang pecahan) lalu penguasa mengharamkannya (menghapus
mata uang tersebut) dan uang tersebut tidak dipakai lagi dalam muamalah maka orang yang
menghutangi berhak mendapatkan nilai (qimah) nya…”

Atas dasar ini bisa disimpulkan bahwa Jual-Beli SAB hukumnya mubah tanpa membedakan apakah
pembayaran harganya kontan (naqdan) ataukah tidak kontan (nasi-atan), dilakukan pada komoditi yang
bergerak ataukah tidak bergerak, setoran arisan diserahkan kepada penjual ataukah koordinator arisan.
Semuanya mubah selama harga barang yang dijual tidak mengandung ghobn fahisy (rekayasa harga
keterlaluan), harga barang tidak berubah, dan nilai angsuran bersifat tetap. Adapun jika arisan barang
itu tidak melibatkan akad jual beli maka disyaratkan harta yang disetor harus sama dengan harta yang
diperoleh. Jika harta yang disetor dalam arisan tersebut berbeda jenisnya maka arisan barang seperti ini
hukumnya haram. Wallahua’lam.

Anda mungkin juga menyukai