Makalah Sagu

Anda mungkin juga menyukai

Anda di halaman 1dari 15

DAFTAR ISI

Kata Pengantar 0
Daftar Isi 1
BAB 1 PENDAHULUAN
- Latar Belakang 2
- Identifikasi Masalah 3
- Rumusan Masalah 3
- Manfaat dan Tujuan 3
- Metode Penelitian 4
BAB 2 PEMBAHASAN
- FILOSOFI & PENG-KLASIFIKASIAN SAGU 5
o FILOSOFI 5
o KLISIFIKASI 6
- SAGU SEBAGAI IDENTITAS MASYARAKAT SENTANI 8
- PENGOLAHAN SAGU 9
o Tahap Persiapan 9
o Penebangan Pohon Sagu 10
o Penokokan Batang Empelur 11
- SAGU PENDUKUNG KELANGSUNGAN HIDUP 14
BAB 3 PENUTUP
- KESIMPULAN 15

1
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Sagu (Metroxylon sp) merupakan tanaman asli Indonesia, sekaligus sebagai


sumber pangan utama atau pokok bagi masyarakat dibeberapa daerah Indonesia
seperti Maluku dan Papua. Diyakini bahwa sagu berasal dari daerah tersebut oleh
karena sebagian besar kawasan hutan di wilayah Maluku dan Papua merupakan
hutan sagu. Sagu memiliki berbagai macam jenis dan ciri yang berbeda satu
dengan yang lain sesuai dengan jenis dan pengklasifikasiannya. Sagu juga
memiliki indentitas yang berbeda-beda disetiap daerah di Indonesia yang meliputi
aspek sosial-budaya dan ekonomi bagi masyarakat daerah tersebut.

Sagu bagi masyarakat di Papua juga memiliki peranan sosial-budaya dan


ekonomi yang sangat penting. Luas persebaran hutan sagu di Papua secara pasti
belum diketahui, namun dalam survei pada tahun 1983 diperkirakan bahwa luas
hutan sagu di Papua mencapai 980.000 ha dan kebun sagu mencapai 14.000 ha
yang tersebar diseluruh kawasan Papua khususnya daerah Sentani, Sarmi,
Mamberamo, Waropen, Teminabuan, dan Salawati. Tanaman sagu di daerah
Papua memiliki banyak jenis dan sampai saat ini telah di identifikasi terdapat 60
jenis pohon sagu.

Didalam makalah ini akan membahas mengenai pengertian tanaman sagu dan
pengklasifikasinya, sagu sebagai identitas masyarakat Papua khususnya
masyarakat Sentani, serta cara pengolahan sagu dan perananan sagu bagi
kehidupan dan lingkungan.

2
B. Identifikasi Masalah
1. Filosofi Sagu dan Pengklasifikasiannya.
2. Sagu sebagai Identitas masyarakat Sentani.
3. Peranan sagu dalam kehidupan masyarakat Sentani.
4. Cara pengolahan sagu hingga menjadi bahan pangan.
5. Dampak sagu bagi kelangsungan hidup manusia.

C. Rumusan Masalah
1. Bagaimana filosofi dan pengklasifikasian sagu?
2. Bagaimana sagu menjadi identitas masyarakat Papua khususnya masyarakat
Sentani?
3. Bagaimana peranan sagu dalam kehidupan masyarakat Sentani?
4. Bagaimana cara pengolahan sagu menjadi bahan pangan?
5. Bagaimana dampak sagu bagi kelangsungan hidup manusia?

D. Manfaat dan Tujuan

Adapun tujuan dari penulisan makalah ini adalah sebagai berikut :

1. Memberikan pemahaman kepada masyarakat mengenai filosofi sagu beserta


pengklasifikasiannya.
2. Menjelaskan bagaimana sagu menjadi identitas bagi masyarkat Sentani.
3. Memberikan informasi mengenai peranan sagu bagi masyarakat Sentani.
4. Menjelaskan proses pengolahan sagu hingga menjadi bahan pangan.
5. Menjelaskan dampak sagu bagi kehidupan manusia.

Tujuan dari penulisan makalah ini adalah :


1. Bagi penulis adalah sebagai pemenuhan tugas akhir antropologi.
2. Bagi pembaca adalah sebagai sumber pengetahuan dan referensi ilmu.

3
E. Metode Penelitian

Waktu dan Tempat Penelitian


Pengumpulan data sagu dilaksanakan dari tanggal 12 Oktober sampai tanggal 15
November 2015.

Teknik Pengambilan Data


Pengambilan data dilakukan dengan:
 Interview (wawancara) dengan (bpk.Ramses Ohe)
 studi literatur dengan kunjungan ke museum.

4
BAB II
PEMBAHASAN

A. FILOSOFI DAN PENG-KLASIFIKASIAN SAGU

1. FILOSOFI SAGU

Sagu merupakan tumbuhan yang termasuk bangsa palem-paleman yang


memiliki manfaat diseluruh bagian tubuh tumbuhan, mulai dari daun, batang,
hingga akar. Selain itu sagu memiliki manfaat utama melalui kandungan pati sagu
didalam batangnya yang apabila diolah menjadi tepung sagu dapat dipergunakan
dalam proses pembuatan pangan khas. Tanaman ini pada umumya hidup dan
tumbuh didaerah basah atau rawa-rawa dan beriklim tropis.

Persebaran hutan sagu didunia sebagian besar berada di belahan dunia bagian
timur (Asia) kemudian Amerika Selatan (Brazil). Dikawasan Asia sendiri,
Indonesia menjadi salah satu Negara yang memiliki kawasan hutan sagu yang
sangat luas khususnya dibagian Indonesia timur yaitu Maluku dan Papua. Kondisi
geografis wilayah tersebut menjadi kunci mengapa pohon sagu mudah sekali
untuk ditemukan.

Sagu dapat tumbuh sampai pada ketinggian 700 mdpl (meter diatas permukaan
laut) tetapi hasil terbaik sagu hanya bisa ditemukan pada ketinggian 400 mdpl ke
bawah. Faktor penentu pertumbuhan sagu yang ideal disuatu daerah adalah
dengan rata-rata hujan tahunan yang mencapai 2.500-3.000 mm/tahun, dengan
suhu optimal untuk pertumbuhan berkisar 24,5-29o C dan suhu minimal 15oC, dan
kelembapan nisbi 90%. Hal ini menjadi sangat penting karena sagu bertumbuh
dan hidup dengan bergantung pada air yang cukup, tetapi penggenangan air
permanen juga dapat mengganggu pertumbuhan sagu sehingga menjadi lambat
bertumbuh.

5
Diberbagai daerah, sagu memiliki nilai tersendiri. Sagu memiliki nilai
kehidupan, kesuburan, dan kemakmuran. Nilai-nilai tersebut berbeda satu dengan
daerah yang lainnya, hal tersebut didasari kepercayaan masyarakat setempat
terhadap sagu. Didaerah Papua sagu selain menjadi sumber bahan makanan
pokok, sagu juga merupakan penopang hidup bagi masyarakat Papua. Sagu
memberikan jaminan bagi kelangsungan hidup masyarakat dan yang lainnya. Oleh
karana itu, sagu memiliki nilai yang sangat dalam bagi kehidupan masyarakat
Papua.

2. KLASIFIKASI SAGU

Secara garis besar sagu atau bahasa latinnya (Metroxylon sp) dibedakan
menjadi dua golongan, yaitu sagu yang hanya berbunga dan berbuah satu kali dan
sagu yang berbunga dan berbuah dua kali atau lebih. Sagu yang berbunga dan
berbuah hanya sekali mempunyai nilai ekonomi yang sangat tinggi karena
kandungan acinya (tepung pati sagu) yang sangat tinggi. Golongan ini terdiri dari
lima spesies, yaitu Metroxylon rumpii Martius, Metroxylon sagos Rottbol,
Metroxylon Sylvester Martinus, Metroxylon longispium Martinus, dan Metroxylon
micrcantum Martinus. Sementara spesies yang berkembang di Provinsi Papua
adalah Metroxylon rumpii Martius. Spesies ini masih terbagi lagi menjadi
berbagai jenis atau tipe berdasarkan ciri morfologinya.

Telah teridentifikasi 17-20 jenis sagu di Sentani, Kabupaten Jayapura, Papua.


Jenis-jenis tersebut sudah mempunyai nama lokal dan sudah dikenal oleh
masyarakat pengolah sagu di Papua. Nama-nama lokal tersebut adalah Osoghulu,
Ebesung, Yebha, Follo, Wanni, Yaghalobe, Ruruna, Hobolo, Phui, Fikhela,
Rondo, Yakhali, Yoghuleng, Manno, Hili, dan Habela. Sagu-sagu tersebut
memiliki perbedaan ciri morfologi maupun kemampuan produksi perpohon.

6
TABEL 2.1
TIPE SAGU BOBOT (Kg/pohon) RENDAMEN
(%)
EMPELUR TEPUNG

OSOGHULU 849 207,5 24,4

EBESUNG 813,5 207,5 25,5

YEBHA 764,5 191,5 25

FOLLO 735 176,5 24


WANNI 664 160,5 24,2

YAGHALLOBE 719,5 155,5 21,6

RURUNA 679,5 148,5 21,9

HOBOLO 709 137,5 19,4


PHUI 637,5 133 20,9

FIKHELA 750 128,5 17,1


RONDO 496,5 127 25,6

YAKHALI 563 126,5 22,5


YOGHULENG 512,5 93,5 18,2

MANNO 475 67,5 14,2

HILLI 973,5 29,5 3

HABELA 209,3 27 12,9

B. SAGU SEBAGAI IDENTITAS MASYARAKAT SENTANI

7
Masyarakat Sentani ialah mereka yang mendiami pesisir danau Sentani, di
pantai utara Papua. Masyarakat Sentani memiliki pola hidup berkampung di
pesisir danau Sentani dan menempati pulau-pulau sekitaran danau. Disitulah
mereka membangun rumah sebagai tempat tinggal. Wilayah Sentani memiliki
vegetasi basah dan vegetasi rawa yang mendominasi. Masyarakat Sentani hidup
dari tiga usaha pokok, antara lain ; memancing ikan di danau, meramu sagu dan
berladang. Pangan pokok masyarakat Sentani sangat bergantung dimana lokasi
tempat tinggal masyarakat tersebut. Misalnya didaerah Sentani timur berbeda
dengan Sentani barat dan tengah, apabila dikawasan Sentani barat dan tengah
sangat banyak dijumpai pohon sagu, maka tidak sama halnya dengan kawasan
Sentani bagian timur.

Sagu merupakan makanan pokok bagi sebagian masyarakat Sentani. Sagu


sudah dikonsumsi sejak zaman nenek moyang sampai saat ini. Masyarakat Sentani
sangatlah menghargai sagu karena sagu memiliki cerita tersendiri. Dimana sagu
diartikan berasal dari kandungan seorang perempuan. Perempuan memiliki arti
sebagai bumi, perempuan yang melahirkan atau bumi yang melahirkan sagu,
sehingga sagu menjadi salah satu barang yang tidak ternilai harganya.

Menurut asal muasalnya, sagu merupakan tumbuhan asli dari Papua. Sagu
memiliki beragam unsur budaya bagi masyarakat Sentani. Pengolahan tumbuhan
sagu ini juga diklasifikasikan terbagi menjadi bagian batang, daun, isi dan
empelur. Sagu yang memiliki kualitas super lebih dikhususkan untuk hal yang
bersifat khusus seperti pembayaran anak perempuan, dan acara-acara besar saja.
Sedangkan kualitas yang kurang baik biasanya digunakan untuk konsumsi rumah
tangga biasa.

Selain hal tersebut, hal menarik lainnya adalah menurut adat masyarakat
Sentani, bahwa sagu atau olahannya (papeda) dapat digunakan untuk
menghadirkan suasana damai. Seperti halnya jika ada orang yang sedang
bertengkar dan setelah mereka berdamai, biasanya sagu disajikan untuk makan
bersama. Jadi sagu selain menjadi bahan makanan juga menjadi simbol

8
perdamaian dan kehangatan bagi masyarakat Sentani. Nilai-nilai lain yang
terkandung adalah pada saat pengolahan sagu, dimana proses tersebut membentuk
suatu kebiasaan yang rukun antar kaum laki-laki dan perempuan. Sagu
mengajarkan kerja sama dan membangun sebuah persekutuan yang harmonis.

C. PENGOLAHAN SAGU

Proses pengolahan sagu memiliki urutan kerjanya sesuai dengan adat yang
berlaku. Proses ini tidak dapat dilakukan sembarangan di beberapa kampung adat
di Sentani dikarenakan harus melihat kondisi dan situasi yang ada dikampung
tersebut. Ondoafi memegang peranan utama dalam proses ini. Ondoafi menjadi
kunci boleh atau tidaknya masyarakat untuk menebang pohon sagu yang
selanjutnya di tokok untuk menjadi bahan pangan.

Ondoafi atau kepala adat suatu kampung haruslah melihat situasi pangan
kampung yang dikepalainya, apabila dirasa bahwa cadangan pangan masih
mencukupi maka penebangan pohon sagu akan ditunda dengan tujuan
penghematan dan menjaga keseimbangan populasi hutan sagu. Sebaliknya,
apabila dirasakan bahwa cadangan pangan sudah mulai menipis maka akan
dilaksanakan penebangan dan penokokan sagu. Penebangan pohon sagu biasanya
dilakukan selama satu minggu penuh dengan jumlah pohon sagu yang tidak dapat
diperkirakan secara pasti, hal tersebut dikarenakan penebangan pohon harus
sesuai dengan klasifikasi pohon yang sudah mencapai umur sekaligus memiliki
kualitas dan siap ditebang. Dalam proses meramu sagu terbagi menjadi tiga
tahapan, yaitu tahap persiapan, penebangan pohon, dan penokokan batang
empelur.

1. Tahap Persiapan

Tahap persiapan adalah tahap awal dari rangkaian proses pengolahan sagu.
Tahapan ini menjadi sangat penting karena akan berpengaruh terhadap seluruh
aspek, seperti kualitas sagu, dan yang lainnya. Ditahapan ini pula seorang
pemimpin memiliki peranan yang utama. Biasanya dalam rangkaian proses
pengolahan sagu, Ondoafi akan diwakili oleh seorang Koselo yaitu seorang dusun

9
kepala keret (hutan sagu) yang juga berhak atas hutan sagu. Seorang Koselo akan
didampingi oleh seorang yang memiliki kemampuan secara adat untuk memilih
pohon sagu dengan kualitas yang dirasa sangat baik. Dibeberapa kampung adat
Sentani, sebelum mulai melakukan penokokan sagu, seorang Ondoafi akan
mengumpulkan seluruh keluarga inti dari keturunan dan saudara Ondoafi dengan
maksud mempersiapkan pelaksanaan penebangan hingga meramu sagu. Tahapan
ini juga adalah tahapan pembagian tugas, yang mana kaum laki-laki bertugas
untuk membersihkan hutan sekitar pohon yang akan ditebang, menebang pohon,
hingga menokok. Sedangkan kaum perempuan bertugas untuk meramas aci sagu
yang akan menjadi tepung sagu. Peralatan yang akan digunakan untuk menokok
sagu seperti tapis yang terbuat dari sabut ketiak daun kelapa, pelepah daun nibung
yang disebut “wa” tempat penokokan, kampak, parang, Onggi (alat pembuka
batang sagu yang telah dibelah) dan Fema (alat penokok sagu) juga dipersiapkan.
Setelah semua dirasa cukup maka para warga yang dipimpin oleh seorang Koselo
tersebut akan masuk menuju hutan sagu untuk melaksanakan penebangan pohon
sagu.

2. Penebangan Pohon Sagu

Setelah sampai didalam hutan sagu, orang yang dipercayakan oleh Koselo
memilih pohon sagu yang siap ditebang dan ditokok. Memilih pohon sagu yang
akan ditebang mempunyai kriteria diantaranya memiliki kisaran umur 5-10 tahun
dan kondisi tubuh tumbuhan yang masih bagus. Setelah memilih pohon sagu,
selanjutnya dimulailah proses penebangan pohon sagu.

Sebelum melakukan penebangan, terlebih dahulu kaum laki-laki membersihkan


vegetasi disekitar pohon menggunakan parang dengan tujuan agar dapat
mempermudah pekerjaan nantinya. Setelah dirasa sudah cukup, kaum laki-laki
akan memulai menebang pohon. Alat yang digunakan dalam menebang pohon
adalah sejumlah kampak tradisional. Hal ini dilakukan dengan sangat hati-hati
dikarenakan alat yang digunakan masih sangat sederhana dan tanpa alat pengaman
satu pun. Setelah pohon berhasil dirobohkan, mahkota pohon dipotong dan batang

10
sagu dibersihkan dari vegetasi juga duri yang masih melekat. Kemudian, batang
pohon sagu dengan ukuran yang panjang akan dipotong menjadi beberapa bagian
dengan kira-kira sekitar 11/2-2 meter tergantung dari panjang batang pohon sagu.

3. Penokokan Batang Empelur

Sagu siap ditokok apabila batang sagu telah terbelah menjadi dua sisi bagian
secara vertikal. Awalnya mereka membuka bagian kulit luar batang sagu sehingga
terlihat bagian dalam batang, apabila hal tersebut telah dilakukan maka batang
sagu akan dibelah menjadi dua sisi bagian yang sama besar secara vertikal dengan
alat berupa kampak. Setelah terbelah, batang sagu akan dipisahkan menjadi dua
bagian dengan alat yang bernama Onggi, alat ini merupakan alat yang digunakan
sebagai pembantu untuk memisahkan bagian batang pohon sagu yang telah
dibelah. Onggi terbuat dari kayu panjang yang memiliki bagian ujung berbentuk
lempengan. Sebelum memulai penokokan, biasanya akan dipilih tempat penokok
yang dekat dengan sumber air. Air ini nantinya akan dipergunakan untuk
menghanyutkan tepung dari tumpukan empelur. Sebelumnya, akan dipersiapkan
alat untuk meramas sagu yang terbuat dari sabut ketiak kelapa, daun gaba-gaba
dan saringan. Langkah pertama pembuatan alat meramas sagu adalah membuat
kaki-kaki dengan menikam dua tulang daun gaba-gaba secara menyilang dengan
ketinggian 1-2 meter. Daun gaba-gaba yang telah disusun kemudian dibuka ketiak
daunnya untuk menjadi penopang tangkai daun sagu yang akan menjadi bak
panjang. Ujung tangkai yang lebar diletakan pada bagian yang lebih rendah,
kemudian dipasang saringan empelur yang dibuat dari sabut ketiak daun kelapa.
Saringan tersebut ditopang oleh tulang daun sagu agar lebih kuat ketika menahan
empelur sagu yang akan diramas. Pelepah daun nibung akan diletakan dibagian
bawah ujung tangkai yang lebar dengan tujuan menjadi wadah air dan tepung sagu
yang terhanyut setelah ditapis. Pelepah tersebut kemudian ditopang oleh kayu-
kayu kecil yang ditanam di sekitarnya.

Apabila alat meramas sagu telah siap maka kaum laki-laki akan memulai
menokok sagu. Batang merupakan bagian dari pohon sagu yang memiliki manfaat

11
utama. Setelah batang terpisah menjadi dua bagian maka akan terlihat empelur
sagu yang masih padat. Empelur tersebut akan di hancurkan menggunakan alat
penokok yang diberi nama Femma. Femma merupakan alat khusus yang didesain
hanya untuk keperluan menokok sagu. Femma berbentuk seperti sabit, namun
berbeda dengan sabit, mata Femma bukanlah berbentuk lempengan melainkan
tabung dengan bagian ujung yang sangat runcing dan pipih yang terbuat dari
tulang (seiring kemajuan dan perkembangan zaman, masyarakat sudah
mengadaptasi penggunaan besi). Sedangkan bagian gagang biasanya terbuat dari
kayu yang memiliki ukiran-ukiran adat masyarakat Sentani. Femma memiliki nilai
tersendiri dalam kehidupan masyarakat Sentani, Femma bukan hanya alat untuk
menokok sagu tetapi juga sekaligus menjadi benda adat sejak zaman dahulu. Bagi
masyarakat Sentani, Femma memiliki nilai dan makna juga sebagai simbol
pembawa kemakmuran bagi masyarakat dengan melalui suatu kerja keras yang
melibatkan satu keluaraga (suami,isteri,dan anak) oleh karena itulah, Femma
menjadi simbol ekonomi bagi keluarga atau marga disetiap kampung Sentani.
Fungsi lain dari Femma adalah alat perlindungan diri terhadap ancaman hewan
liar dihutan ketika melakukan penokokan.

Menokok sagu tidak bisa dilakukan secara sembarangan, terdapat teknik


khusus yang dilakukan dengan tujuan agar si penokok tersebut berada dalam
posisi yang baik sehingga proses penokokan dapat berlangsung dengan waktu
yang singkat. Si penokok sagu akan duduk diatas batang sagu yang akan ditokok
dengan posisi kaki menyilang dan menokok sagu menggunakan alat Femma.
Penokok memulai menokok sagu dengan memegang Femma seperti memegang
pacul dengan gerakan memacul kearah empelur yang masih padat, hal tersebut
dilakukan berulang-ulang kali hingga empelur sagu yang terdapat didalam batang
sagu habis. Empelur sagu yang telah hancur setelah ditokok kemudian akan
dibawa ketempat peremasan yang tidak jauh dari tempat menokok. Disinilah,
kualitas pohon sagu akan mulai terlihat.

Pada bagian ini, kaum perempuan memiliki peranan utama. Ibu-ibu mulai
menempatkan empelur sagu tersebut di atas alat peramasan sagu yang kemudian

12
akan disirami dengan air dan diramas sehingga nantinya menghasilkan pati sagu
untuk menjadi tepung sagu. Empelur tersebut disiram dan diramas berulang-ulang
kurang lebih 2-3 kali sampai dianggap cukup. Apabila empelur yang diramas
dirasa hanya bersisa ampas maka akan diangkat dan kemudian diganti dengan
empelur yang baru. Air dan pati sagu tersebut akan mengalir menuju wadah
penampungan dan akan mengendap menjadi butiran pati sagu. Proses ini terus
dilakukan sampai empelur dari pohon sagu tersebut habis. Ampas sagu yang tidak
terpakai dapat dimanfaatkan menjadi pakan ternak (babi) sehingga tidak
menimbulkan pencemaran terhadap lingkungan setelah dilakukan peramasan.
Masih banyak bagian pohon sagu yang dapat dimanfaatkan dalam kehidupan
masyarakat Sentani mulai dari akar hingga ujung daun.

Batang pohon sagu dapat digunakan sebagai bahan bangunan yaitu sebagai
dinding dalam proses pembangunan rumah, sebagai tiang, dan jembatan. Daunnya
biasa dipergunakan sebagai atap rumah. Akarnya dapat dijadikan sebagai obat-
obatan tradisional yang dapat mengobati penyakit lemah sahwat, asam urat, rasa
nyeri pada wanita yang mengalami masa haid dan yang lainnya, dan juga dapat
menjadi bahan industri seperti lem. Pati sagu yang mengandung karbohidrat dapat
digunakan sebagai bahan olahan makanan khas.

Dari satu pohon sagu, setelah dilakukan penokokan dan peramasan dapat
menghasilkan sekitr 350-400 kg tepung sagu basah. Sagu yang masih basah itu
tersebut akan dibagi secara rata kepada setiap warga yang ikut bekerja dalam
rangkaian proses penebangan hingga penokokan dan peremasan. Sagu basah diisi
dari bilik ke baiyi yaitu tempat menaruh pati sagu sementara yang terbuat dari
anyaman daun sagu. Sagu hanya bisa diolah apabila keadaannya sudah kering dan
tidak basah. Tepung sagu diawetkan dan disimpan didalam guci atau tempayang,
sehingga kapan saja tepung sagu tersebut dapat dipergunakan.

Selain mengandung unsur budaya dan adat istiadat. Sagu juga mengandung
unsur kuliner dalam artian pemanfaatan tepung sagu menjadi makanan pokok
seperti papeda. Papeda merupakan makanan asli masyarakat Papua pada

13
umumnya, berbeda daerah tentu berbeda pula cara penyajiannya. Didaerah
Sentani, papeda bukan hanya saja menjadi simbol pangan khas namun juga
memiliki nilai dan makna yaitu perdamaian dan kehangatan.

D. SAGU PENDUKUNG KELANGSUNGAN HIDUP

Sagu merupakan salah satu jenis keanekaragaman hayati tumbuhan asli dari
Indonesia khususnya Papua. Di Papua, sagu merupakan salah satu sumber
karbohidrat selain umbi-umbian dan beras. Oleh karena itu keberadaan sagu
sangat penting artinya bagi kelangsungan hidup masyarakat. Satu olahan dari
pohon sagu dapat menghidupi satu keluarga dalam sebulan. Begitu pentingnya
hutan sagu bagi masyarakat Papua, hingga kepemilikan dan proses panen hutan
sagu diatur secara adat. Hutan sagu dimiliki oleh sekelompok keluarga Pada
umumnya, satu keluarga memiliki dua sampai tiga lokasi hutan sagu.

Hutan sagu sebagai penyerap karbon

Berdasarkan fungsinya sebagai sumber bahan makanan pokok, maka


kemungkinan hutan sagu dialihgunakan sangatlah kecil, apalagi kepemilikannya
diatur secara adat dan tumbuh secara alami seperti layaknya hutan alam, sehingga
memiliki peluang sebagai penyerap karbon. Hasil pengukuran cadangan karbon
pada hutan sagu di Sentani, Kabupaten Jayapura, Papua menunjukan bahwa hutan
sagu dapat menyimpan karbon rata-rata 53 ton/ha.

Hutan sagu sebagai habitat keanekaragaman hayati

Hutan sagu menyerupai hutan alam yang memiliki berbagai strata pertumbuhan
dalam satu hamparan, mulai dari anakan, tanaman yang mulai berbatang, tanaman
muda, tanaman siap panen dan tanaman tua. Demikian pula dengan
keanekaragaman jenisnya. Hutan sagu terdiri dari pohon sagu dengan berbagai
kualitas yang dididasarkan pada produktivitas sagu. Oleh karena itu, pemanenan
sagu dilakukan secara cermat, karena hanya memilih pohon yang memiliki
kematangan tepat dan produktivitas yang tinggi. Sekitar 60 jenis pohon sagu di
Papua dengan berbagai macam keragaman kualitas telah teridentifikasi.

14
Keberagaman tersebut merupakan sumber yang harus dilestarikan karena
berpotensi sebagai sumber daya genetik yang dapat dimanfaatkan dalam
pemuliaan tanaman sagu di masa yang akan mendatang untuk mendapatkan sagu
yang berkualitas unggul.

BAB III
PENUTUP

KESIMPULAN

Sagu merupakan tanaman asli Indonesia. Sagu sebagai sumber pangan utama
atau pokok bagi masyarakat dibeberapa daerah Indonesia khususnya Papua. Sagu
bagi masyarakat di Papua memiliki peranan sosial-budaya dan ekonomi yang
sangat penting, terutama bagi masyarakat Sentani. Sagu memiliki banyak
kegunaan mulai dari daun hingga akar sagu. Sagu juga dapat menyerap dan
menyimpan karbon bagi kelangsungan hidup manusia. Kita belajar banyak hal
lewat sagu, kita dapat belajar bahwa sagu atau olahannya (papeda) menghadirkan
suasana damai baik dalam keluarga maupun teman kita sekalipun. Sagu
mengajarkan kita untuk bekerja sama dan membangun sebuah persekutuan yang
harmonis. Sagu juga dapat menciptakan kehangatan hingga kerukunan dalam
masyarakat Sentani. Untuk itu kita harus bangga akan budaya kita, kita harus
melestarikan sagu supaya anak hingga cucu kita nanti dapat mengenal akan
budaya Indonesia, khususnya sagu sebagai identitas masyarakat Papua.

15

Anda mungkin juga menyukai