Anda di halaman 1dari 23

MAKALAH

MASA KEDUA KEHIDUPAN NABI (7)


Disusun Untuk Memenuhi Tugas Terstruktur
Mata Kuliah Kajian Kitab Kuning
Dosen Pengampu : Dra. Hj. Darrotul Jannah, M.Ag

Disusun oleh:
Kelompok 10 / PAI C Semester 5
1. Irbah Nur Hidayah (1908101107)
2. Siti Aida Hasanah (1908101112)
3. M. Fakhri Alamsyah (1908101116)

KEMENTERIAN AGAMA REPUBLIK INDONESIA


INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI SYEKH NURJATI CIREBON
FAKULTAS ILMU TARBIYAH DAN KEGURUAN
JURUSAN PENDIDIKAN AGAMA ISLAM
2021 M / 1443 H
KATA PENGANTAR

Segala puji bagi Allah SWT yang telah memberikan kita semua kesehatan jasmani
dan rohani sehingga kita semua dapat menyelesaikan tugas makalah dengan waktu dan tema
yang telah di tentukan. Sholawat dan salam semoga tetap tercurah limpahkan kepada
Habibana Muhammad SAW, kepada sahabatnya, keluarganya, dan kita semua selaku
ummatnya.

Kami selaku penulis dari makalah ini sangat bersyukur karena dapat menyelesaikan
makalah yang kami beri judul “Masa Kedua Kehidupan Nabi
(7)” dengan tepat waktu. Meskipun masih dengan beberapa kesalahan yang mungkin jelas
terlihat dan nampak.

Kami mengucapkan banyak terima kasih kepada semua pihak yang telah membantu
hingga terselesaikannya makalah ini. Dan kami memahami jika makalah ini tentu jauh dari
kesempurnaan maka kritik dan saran sangat kami butuhkan guna memperbaiki karya-karya
kami di lain waktu.

Cirebon, 13 November 2021

Penulis

i
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR...............................................................................................................i
DAFTAR ISI.............................................................................................................................ii
BAB I PENDAHULUAN.........................................................................................................1
A. Latar Belakang Masalah.................................................................................................1
B. Rumusan Masalah..........................................................................................................2
C. Tujuan Penulisan Makalah.............................................................................................2
D. Metode Pemecahan Masalah..........................................................................................2
E. Sistematika Penulisan Makalah......................................................................................2
BAB II PEMBAHASAN..........................................................................................................4
A. Hijrah ke Thaif...............................................................................................................4
B. Peristiwa Isra’ dan Mi’raj...............................................................................................7
C. Peristiwa Ba’it Aqobah................................................................................................11
D. Hijrah Nabi Muhammad SAW....................................................................................15
BAB III PENUTUP................................................................................................................19
A. Kesimpulan..................................................................................................................19
B. Saran.............................................................................................................................19
DAFTAR PUSTAKA

ii
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Telah beberapa kali Nabi Muhammad SAW melakukan hijrah untuk
menyerukan ajaran agama Islam. Beliau SAW melakukan dakwah karena wahyu dari
Allah SWT. Awalnya, dakwah yang dilakukan beliau SAW dilakukan secara sembunyi-
sembunyi karena belum memiliki keberanian untuk segera menyerukan agama Allah
SWT. Masyarakat Arab yang berwatak kasar dan keras adalah salah satu contoh sebab
Nabi Muhammad SAW melakukan dakwah secara sembunyi-sembunyi ini.
Setelah memperoleh beberapa wahyu, Nabi Muhammad SAW mulai
memberanikan diri untuk melakukan dakwah secara terang-terangan, dari satu negeri ke
negeri lain. Beliau SAW istiqomah menyebarluaskan agama Islam, agama yang lurus,
dan mengajak masyarakat jahiliyah Arab terutama kaum Quraisy penyembah berhala
untuk mau menyembah Allah SWT. Hijrah ke Thaif adalah salah satu contoh beliau
SAW melakukan dakwahnya. Thaif adalah negara yang diperebutkan kaum Quraisy agar
dapat dikuasainya. Thaif juga termasuk negeri yang begitu subur, karena itulah beliau
SAW melakukan dakwah di negeri tersebut.
Dalam QS. Al-Isra ayat 1, Allah SWT telah mengisyaratkan
(memperjalankan di waktu malam hari) Nabi Muhammad SAW dari masjidil Haram (di
Mekkah) ke masjidil Aqsha, artinya masjid yang jauh (di Palestina). Dahulunya orang
bisa berjalan kaki dari suatu tempat ke tempat lainnya, atau menunggangi kuda, keledai,
dan unta. Perjalanan dari Mekkah ke Palestina mengambil masa kurang lebih empat
puluh hari. Perjalanan ini adalah suatu perjalanan yang jauh tetapi dengan kuasa Allah
SWT telah dilakukan dalam masa yang singkat, yaitu hanya dalam beberapa jam saja.
Bagi orang terdahulu, perjalanan yang demikian jauhnya jika dapat dilakukan dalam
masa beberapa jam saja adalah suatu hal yang luar biasa dan tidak dapat diterima oleh
akal mereka. Oleh karena hal itu, mereka yang tidak beriman seperti Abu Jahal dan
pengikut-pengikutnya menggunakan peristiwa ini untuk menjatuhkan nama baik Nabi
Muhammad SAW dengan menuduh Nabi Muhammad SAW seorang pendusta dan
berbagai tuduhan keji lainnya.
Mereka yang beriman dapat menerima kabar perjalanan nabi yang dikenal
dengan Isra’ dan Mi’raj, karena perjalanan itu adalah salah satu tanda dari bukti
kekuasaan Allah swt yang telah diberikan kepada rasul-rasul-Nya. Dalam peristiwa ini,

1
di samping Nabi Muhammad SAW melihat tentang kebesaran-kebesaran Allah SWT,
juga diperlihatkannya surga serta panoramanya dan peristiwa-peristiwa lain yang
menakjubkan. Semua itu sangatlah penting untuk dijadikan sebagai bahan renungan di
tengah gelombang kehidupan di dunia dan yang paling utama dari peristiwa ini adalah
diturunkannya perintah shalat lima waktu fardhu yang insyaAllah masih kita jalankan
sampai detik ini.
B. Rumusan Masalah
1. Bagaimana peristiwa hijrah Nabi Muhammad SAW ke Thaif?
2. Bagaimana peristiwa Isra’ dan Mi’raj?
3. Bagaimana peristiwa Ba’it Aqobah?
4. Bagaimana peristiwa hijrah Nabi Muhammad SAW?
C. Tujuan Penulisan Makalah
1. Untuk mengetahui peristiwa hijrah Nabi Muhammad SAW ke Thaif.
2. Untuk mengetahui peristiwa Isra’ dan Mi’raj.
3. Untuk mengetahui peristiwa Ba’it Aqobah.
4. Untuk mengetahui peristiwa hijrah Nabi Muhammad SAW.
D. Metode Pemecahan Masalah
Dalam penyusunan makalah ini, kami menggunakan metode pemecahan makalah dengan
menggunakan kajian pustaka, yaitu pemecahan masalah dengan menggunakan daftar
referensi seperti buku, jurnal papers, artikel, dan karya tulis ilmiah lainnya yang berkaitan
dengan topik atau tema makalah kami.
E. Sistematika Penulisan Makalah
Sistematika penulisan makalah kami ialah sebagai berikut:

KATA PENGANTAR
DAFTAR ISI
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
B. Rumusan Masalah
C. Tujuan Penulisan Makalah
D. Metode Pemecahan Masalah
E. Sistematika Penulisan Makalah
BAB II PEMBAHASAN
A. Hijrah ke Thaif

2
B. Peristiwa Isra’ dan Mi’raj
C. Peristiwa Ba’it Aqobah
D. Hijrah Nabi Muhammad SAW
BAB III PENUTUP
A. Kesimpulan
B. Saran
DAFTAR PUSTAKA

3
BAB II
PEMBAHASAN
A. Hijrah ke Thaif
Tatkala Rasulullah SAW melihat orang-orang Quraisy mulai berani menghina
dirinya, beliau SAW bermaksud untuk pergi menemui orang-orang Bani Tsaqif di kota
Thaif. Rasulullah SAW lantas pergi ke Thaif dengan maksud meminta bantuan dan
pertolongan dari mereka untuk menghadapi kaumnya hingga beliau SAW dapat
menunaikan perintah Allah SWT, yaitu menyiarkan dakwah Islam. Orang-orang Thaif
tinggal di dekat kota Mekkah, begitu pula dengan Rasulullah SAW yang masih
mempunyai hubungan kekerabatan dengan mereka karena ibunda dari Hasyim Ibnu
‘Abdul Manaf, yaitu ‘Atikah as-Sulamiyyah berasal dari Bani Salim Ibnu Manshur,
Adapun Bani Salim ini adalah halif (sekutu) Bani Tsaqif.
Peristiwa hijrah ke Thaif tertuang dalam QS. Az-Zukhruf ayat 31. Menurut
Thabaqat Ibnu Sa’ad, peristiwa hijrah Rasulullah SAW ke Thaif terjadi pada bulan Syawal
tahun ke sepuluh Kenabian ketika para ketua dan pembesar musyrikin Quraisy menyadari
bahwa beliau SAW tidak mempunyai tulang punggung yang dapat melindungi beliau
SAW apabila disakiti dan dianiaya dan diperlakukan dengan kejam karena orang-orang
yang beliau SAW sayangi dan kasihi telah meninggal dunia, di antaranya adalah Abu
Thalib dan Khadijah, sehingga disebut dengan tahun kesedihan (Ammul Huzni), maka
mereka semakin menghalangi dan memusuhi beliau SAW. Setiap hari, siang dan malam,
beliau SAW tidak henti-hentinya menerima celaan, cercaan, penghinaan, dan perbuatan
yang menyakitkan dari para musyirikin Quraisy. Oleh sebab itu, teringat oleh beliau SAW
bahwa di kota Thaif ada seseorang yang masih termasuk keluarga dekat beliau dari
keturunan Tsaqif.
Rasulullah SAW memilih Thaif karena Thaif adalah wilayah yang sangat
strategis bagi masyarakat Quraisy. Bahkan kaum Quraisy sangat menginginkan wilayah
tersebut dapat mereka kuasai. Sebelumnya mereka telah mencoba untuk melakukan hal
itu. Bahkan mereka melompat ke lembah Wajj. Hal demikian dilakukan lantaran Thaif
memiliki sumber daya pertanian yang sangat kaya. Hingga akhirnya orang-orang Tsaqif
takut kepada mereka dan mau bersekutu dengan mereka, bergabung pula bersama mereka
Bani Daus.
Tidak sedikit orang-orang-orang kaya di Mekkah yang memiliki simpanan harta
di Thaif. Di sana juga mereka mengisi waktu-waktu rehat pada musim panas. Adapun

4
kabilah Bani Hasyim dan Abdu Syam senantiasa menjalin komunikasi baik dengan orang-
orang Thaif, Pergerakkan dakwah yang penuh strategis yang dijalankan oleh Rasulullah
SAW ini sebagai upaya beliau, antusias beliau, untuk mendirikan negara Islam yang kuat
merupakan fasilitas dakwah yang teramat penting dan utama.
Rasulullah SAW berangkat menuju Thaif dengan ditemani oleh bekas hamba
sahayanya, yang bernama Zaid Ibnu Haritsah. Maka tatkala beliau tiba di Thaif, beliau
langsung menuju ke pusat kekuasaan, tempat diputuskannya suatu ketetapan politik di
Thaif. Sesampainya di sana, beliau SAW disambut oleh pemimpin-pemimpin Thaif.
Mereka bertiga, ialah ‘Abdul Yalil, Mas’ud, dan Habib, semuanya adalah anak ‘Amr Ibnu
‘Umair ats-Tsaqafiy. Lalu, beliau SAW mengemukakan maksud kedatangannya kepada
mereka, yaitu meminta pertolongan dari mereka untuk membantunya sehingga ia dapat
menunaikan dakwahnya. Akan tetapi, mereka menolak permintaan Rasulullah SAW
dengan tolakan yang buruk dan beliau SAW tidak melihat adanya tanda-tanda kebaikan
pada diri mereka.
Pada saat itu juga, Rasulullah SAW meminta kepada mereka agar hal tersebut
jangan mereka siarkan supaya orang-orang Quraisy tidak mengetahuinya. Jika orang-
orang Quraisy mengetahui akan hal itu, niscaya tekanan mereka akan bertambah keras
karena mereka mengetahui bahwa Rasulullah SAW telah meminta bantuan dari orang-
orang Thaif untuk memusuhi mereka. Sekali lagi, sangat disayangkan, orang-orang Tsaqif
tidak mau memenuhi apa yang diharapkan oleh Rasulullah SAW, bahkan sebaliknya,
mereka malah mengirimkan orang-orang bodoh dan anak-anak mereka untuk berbaris di
sepanjang jalan lalu melempari beliau SAW dengan batu. Akibat perlakuan tercela
tersebut, Rasulullah mengalami luka-luka berdarah. Pada saat itu, Zaid Ibnu Haritsah
selalu menjadi perisai Rasulullah SAW dari lemparan batu-batu.
Akhirnya, Rasulullah SAW sampai pada sebatang pohon anggur yang rindang,
lalu berteduh di bawahnya. Pohon anggur itu terletak di sebelah kebun milik ‘Atabah dan
Syaibah. Keduanya adalah anak dari Rabi’ah dan mereka adalah musuh Rasulullah SAW.
Pada waktu itu, mereka berada di dalam kebun itu. Melihat keduanya berada di situ,
Rasulullah SAW tidak suka, tetapi ia hanya hanya bisa berdoa dengan kata-kata berikut
ini.
Ya Allah, sesungguhnya aku mengadu kepada-Mu, tentang lemahnya kekuatan
diriku dan remehnya aku di mata manusia, wahai Zat Yang Maha Penyayang di
antara para penyayang, Engkau adalah Rabb orang-orang yang lemah, dan

5
Engkau adalah Rabb-ku, kepada siapa pun Engkau serahkan diriku selagi
Engkau tidak murka kepadaku, maka aku tidak peduli dengan hal itu.
Tatkala kedua anak Rabi’ah melihat Rasulullah SAW mengucapkan doa
tersebut, keduanya merasa kasihan. Kemudian keduanya mengirimkan buah anggur
kepada Rasulullah SAW melalui ‘Addas, bekas hamba sahaya mereka yang beragama
Nasrani. Tatkala beliau SAW mulai memakannya, beliau SAW mengucapkan
bismillahirrahmanirrahim (dengan menyebut nama Allah Yang Maha Pengasih lagi Maha
Penyayang). ‘Addas berkata, “Perkataan itu belum pernah diucapkan oleh penduduk di
negeri ini.” Lalu Rasulullah SAW bertanya, “Dari negeri manakah engkau, dan apa
agamamu?” ‘Addas menjawab, “Aku pemeluk agama Nasrani dari Neinewi.” Rasulullah
SAW bersabda, “Kalau begitu engkau berasal dari kampung orang yang shaleh, yaitu
Yunus Ibnu Matta (Matius).” ‘Addas bertanya keheranan, “Siapakah yang mengajarimu
tentang Yunus?” Lalu beliau SAW membacakan kepadanya Al-Qur’an yang di dalamnya
terdapat kisah tentang Nabi Yunus. Tatkala ‘Addas mendengar hal tersebut, seketika
‘Addas mencium kepala, kedua tangan dan kedua kaki beliau SAW lalu ia masuk agama
Islam.
Setelah itu, datanglah malaikat Jibril seraya membawa pesan dari Allah SWT.
Lalu malaikat Jibril berkata, “Sesungguhnya Allah telah memerintahkan aku supaya
menuruti apa yang kamu kehendaki terhadap kaummu oleh sebab apa yang telah mereka
perbuat terhadap dirimu.” Akan tetapi, Rasulullah SAW hanya berkata, Ya Allah
berikanlah petunjuk kepada kaumku karena sesungguhnya mereka tidak mengetahui.
Mendengar doa yang diucapkan Rasulullah SAW itu, malaikat Jibril berkata,
“Benarlah orang menamakanmu sebagai orang yang berhati lembut dan penuh dengan
kasih sayang.” Saat Rasulullah SAW berada di Nakhlah, datanglah kepadanya
serombongan kaum jin untuk mendengarkan bacaan Al-Qur’an. Mereka adalah kaum jin
yang berasal dari zaman Nabi Musa a.s. Mereka lantas mendengar bacaan Al-Qur’an dari
Rasulullah SAW, lalu mereka kembali kepada kaumnya untuk memberi peringatan.
Mereka memberitahukan kaumnya tentang Rasulullah SAW. Lalu Allah SWT
menurunkan firman-Nya berkaitan dengan mereka itu yaitu QS. Al-Ahqaf ayat 29-32.
Allah SWT telah menceritakan tentang jin ini dengan kisah yang cukup panjang, yaitu
dalam surah Al-Qur’an yang juga dinamai dengan nama mereka, tertuang dalam QS. Al-
Jin ayat 1-2.

6
B. Peristiwa Isra’ dan Mi’raj
Sebelum Rasulullah SAW melakukah hijrah ke Madinah, terlebih dahulu Allah
SWT memuliakannya dengan peristiwa Isra’ dan Mi’raj. Isra’ artinya perjalanan yang
dilakukan oleh Rasulullah SAW pada malam hari dari Mekkah ke Baitul Maqdis di
Yerussalem, kemudian masih pada malam itu juga kembali ke Mekkah. Adapun Mi’raj
artinya dinaikkannya Rasulullah SAW ke alam langit.
Ulama jumhur ahlus-sunnah wal-jama’ah berpendapat bahwa hal tersebut
dilakukan oleh Rasulullah SAW berikut jasadnya yang mulia. Siti Aisyah r.a. melarang
orang-orang yang mengatakan bahwa Rasulullah SAW telah melihat Rabb-Nya. Ia
berkata, “Barang siapa mengatakan bahwa sesungguhnya Nabi Muhammad SAW telah
melihat Rabb-Nya, maka berarti ia telah membuat suatu kebohongan yang besar
terhadap Allah.”
Mengenai kisah Isra’ dijelaskan dalam Al-Qur’an yaitu QS. Al-Isra ayat 1 yang
artinya: “Mahasuci Allah yang telah menjalankan hamba-Nya pada suatu malam dari
Masjidil Haram ke Masjidil Aqsha yang telah diberkahi sekelilingnya agar Kami
perlihatkan sebagian dari tanda-tanda (kebesaran) Kami. Sesungguhnya, Dia Maha
Mendengar lagi Maha Mengetahui.”
Adapun tentang kisah al-Mi‘rāj telah disebutkan secara jelas dalam sebuah
hadits shaḥīḥ yang diriwayatkan oleh Imām al-Bukhārī dan Imām Muslim dari shahabat
Anas bin Mālik r.a. Selanjutnya, hadits ini dinukil oleh al-Qādhī ‘Iyādh dalam kitabnya
asy-Syifā’.
Dari Anas bin Mālik r.a., ia berkata: “Rasūlullāh s.a.w. bersabda: “Aku telah
didatangi Burāq. Yaitu seekor binatang yang berwarna putih, lebih besar dari keledai
tetapi lebih kecil dari bighāl. Ia merendahkan tubuhnya sehingga perut Burāq tersebut
mencapai ujungnya.” Beliau bersabda lagi: “Maka aku segera menungganginya sehingga
sampai ke Bait-ul-Maqdis.” Beliau bersabda lagi: “Kemudian aku mengikatnya pada
tiang masjid sebagaimana yang biasa dilakukan oleh para Nabi. Sejurus kemudian aku
masuk ke dalam masjid dan mendirikan shalat sebanyak dua rakaat. Setelah selesai aku
terus keluar, tiba-tiba aku didatangi oleh Jibrīl dengan membawa segelas khamar dan
segelas susu. Dan akupun memilih susu. Lalu Jibrīl berkata: ‘Kamu telah memilih fitrah’.
Lalu Jibrīl membawaku naik ke langit. Ketika Jibrīl meminta agar dibukakan pintu maka
ditanyakan: ‘Siapakah kamu?’ Jibrīl menjawab: ‘Jibrīl.’ Ditanyakan lagi: ‘Siapa yang
bersamamu?’ Jibrīl menjawab; ‘Muḥammad.’ Jibrīl ditanya lagi: ‘Apakah dia telah

7
diutus?’ Jibrīl menjawab: ‘Ya, dia telah diutus.’ Maka dibukalah pintu untuk kami. Tiba-
tiba aku bertemu dengan Nabi Ādam, dia menyambutku serta mendoakanku dengan
kebaikan.
Lalu aku dibawa naik ke langit kedua. Jibrīl minta supaya dibukakan pintu. Lalu
ditanyakan lagi: ‘Siapakah kamu?’ Jibrīl menjawab: ‘Jibrīl.’ Jibrīl ditanya lagi: ‘Siapa
yang bersamamu?’ Jibrīl menjawab: ‘Muḥammad.’ Jibrīl ditanya lagi: ‘Apakah dia telah
diutus?’ Jibrīl menjawab: ‘Ya, dia telah diutus.’ Pintu pun dibukakan kepada kami. Tiba-
tiba aku bertemu dengan ‘Īsā bin Maryam dan Yaḥyā bin Zakariyyā, mereka berdua
menyambutku dan mendoakan aku dengan kebaikan.
Aku dibawa lagi naik ke langit ketiga. Jibrīl meminta supaya dibukakan pintu.
Lalu ditanyakan: ‘Siapakah kamu?’ Jibrīl menjawab: ‘Jibrīl.’ Jibrīl ditanya lagi: ‘Siapa
yang bersamamu?’ Jibrīl menjawab: ‘Muḥammad.’ Jibrīl ditanya lagi: ‘Apakah dia telah
diutus?’ Jibrīl menjawab: ‘Ya, dia telah diutus.’ Pintu pun dibukakan kepada kami. Tiba-
tiba aku bertemu dengan Nabi Yūsuf a.s., ternyata dia telah dikaruniakan dengan
kedudukan yang sangat tinggi. Dia terus menyambut aku dan mendoakan aku dengan
kebaikan.
Aku dibawa lagi naik ke langit keempat. Jibrīl pun meminta supaya dibukakan
pintu. Kedengaran suara bertanya lagi: “Siapakah kamu?’ Jibrīl menjawab: ‘Jibrīl.’ Jibrīl
ditanya lagi: ‘Siapakah bersamamu?’ Jibrīl menjawab: ‘Muḥammad.’ Jibrīl ditanya lagi:
‘Apakah dia telah diutus?’ Jibrīl menjawab: ‘Ya, dia telah diutus.’ Pintu pun dibukakan
untuk kami. Tiba-tiba aku bertemu dengan Nabi Idrīs a.s., dia terus menyambutku dan
mendoakan aku dengan kebaikan. Allah berfirman: “(Dan Kami telah mengangkat ke
tempat yang tinggi derajatnya).’
Aku dibawa lagi naik ke langit kelima. Jibrīl meminta supaya dibukakan pintu.
Kedengaran suara bertanya lagi: “Siapakah kamu?’ Jibrīl menjawab: ‘Jibrīl.’ Jibrīl
ditanya lagi: ‘Siapakah bersamamu?’ Jibrīl menjawab: ‘Muḥammad.’ Jibrīl ditanya lagi:
‘Apakah dia telah diutus?’ Jibrīl menjawab: ‘Ya, dia telah diutus.’ Pintu pun dibukakan
untuk kami. Tiba-tiba aku bertemu dengan Nabi Hārūn a.s., dia terus menyambutku dan
mendoakan aku dengan kebaikan.
Aku dibawa lagi naik ke langit keenam. Jibrīl meminta supaya dibukakan pintu.
Kedengaran suara bertanya lagi: “Siapakah kamu?’ Jibrīl menjawab: ‘Jibrīl.’ Jibrīl
ditanya lagi: ‘Siapakah bersamamu?’ Jibrīl menjawab: ‘Muḥammad.’ Jibrīl ditanya lagi:
‘Apakah dia telah diutus?’ Jibrīl menjawab: ‘Ya, dia telah diutus.’ Pintu pun dibukakan

8
untuk kami. Tiba-tiba aku bertemu dengan Nabi Mūsā, dia terus menyambutku dan
mendoakan aku dengan kebaikan.
Aku dibawa lagi naik ke langit ketujuh. Jibrīl meminta supaya dibukakan pintu.
Kedengaran suara bertanya lagi: “Siapakah kamu?’ Jibrīl menjawab: ‘Jibrīl.’ Jibrīl
ditanya lagi: ‘Siapakah bersamamu?’ Jibrīl menjawab: ‘Muḥammad.’ Jibrīl ditanya lagi:
‘Apakah dia telah diutus?’ Jibrīl menjawab: ‘Ya, dia telah diutus.’ Pintu pun dibukakan
untuk kami. Tiba-tiba aku bertemu dengan Nabi Ibrāhīm a.s., dia sedang berada dalam
keadaan menyandar di Bait-ul-Ma‘mūr. Setiap hari ada tujuh puluh ribu malaikat yang
masuk ke sana dan tidak kembali lagi (setelah masuk).
Kemudian aku dibawa ke Sidrat-ul-Muntahā. Di sana daun-daunnya seperti
telinga gajah dan buahnya seperti tempayan. Ketika diliputi perintah Allah seperti yang
Dia kehendaki maka ia berubah. Tidak akan ada satu pun dari makhlūq Allah yang bisa
melukiskan keindahannya. Lalu Allah mewaḥyukan kepadaku apa yang Dia kehendaki
untuk diwaḥyukan. Dia mewajibkan kepadaku dan kepada umatku shalat lima puluh kali
dalam sehari semalam.
Lalu aku turun dan bertemu dengan Nabi Mūsā a.s., dia bertanya: ‘Apakah yang
telah difardhukan oleh Rabb-mu kepada umatmu?’ Aku menjawab: ‘Shalat lima puluh
waktu.’ Nabi Mūsā berkata: ‘Kembalilah kepada Rabb-mu, mintalah keringanan karena
umatmu tidak akan mampu melaksanakannya. Aku pernah mencoba Bani Isrā’īl dan
menguji mereka.”
Beliau bersabda: “Lalu aku kembali kepada Tuhan seraya berkata: “Wahai
Tuhanku, berilah peringanan kepada umatku: ‘Lalu Allah s.w.t. mengurangkan lima
waktu shalat dariku. Lalu aku kembali kepada Nabi Mūsā dan berkata; ‘Allah telah
mengurangkan lima waktu shalat dariku.’ Nabi Mūsā berkata: ‘Umatmu tidak akan
mampu melaksanakannya. Kembalilah kepada Tuhanmu, mintalah keringanan lagi.”
Beliau bersabda: “Aku masih saja bolak-balik antara Rabb-ku dan Nabi Mūsā,
sehingga Allah berfirman: ‘Wahai Muḥammad, sesungguhnya aku fardhukan lima waktu
sehari semalam. Setiap shalat fardhu dilipatgandakan dengan sepuluh kali lipat. Maka
itulah lima puluh shalat fardhu. Begitu juga dengan siapa yang berniat untuk melakukan
kebaikan, tetapi tidak melaksanakannya, niscaya akan dicatat sepuluh kebaikan baginya.
Jika dia melaksanakannya maka dicatat sepuluh kebaikan baginya. Sebaliknya siapa
yang berniat ingin melakukan kejahatan, tetapi tidak melaksanakannya, niscaya tidak
dicatat baginya sesuatu pun. Lalu jika dia mengerjakannya maka dicatat sebagai satu
kejahatan baginya.’

9
Aku turun hingga sampai kepada Nabi Mūsā, lalu aku memberitahu kepadanya.
Dia masih saja berkata: ‘Kembalilah kepada Rabb-mu, mintalah keringanan.’ Aku
menjawab: ‘Aku terlalu banyak kembali kepada Rabb-ku sehingga malu kepada-Nya’.”
(HR al-Bukhārī dan Muslim)
Pada malam itu juga Rasūlullāh s.a.w. kembali turun ke bumi. Pada pagi harinya
Rasūlullāh s.a.w. pergi ke tempat orang Quraisy berkumpul. Di situ beliau didatangi Abū
Jahal. Beliau langsung bercerita kepadanya tentang apa yang telah dialaminya semalam.
Sebelum Rasūlullāh s.a.w. bercerita, Abū Jahal berseru: “Hai Bani Ka‘ab bin Luay,
kemarilah kalian semua.” Orang-orang kafir Quraisy pun mengerumuninya. Kemudian
Rasūlullāh s.a.w. menceritakan kepada mereka hal tersebut. Sebagian di antara mereka
bertepuk tangan mengejek dan sebagian yang lain meletakkan tangan di atas kepala
mereka karena heran, tetapi dibarengi rasa ingkar. Ternyata peristiwa itu mengakibatkan
murtadnya orang-orang yang masih lemah imannya. Selanjutnya orang-orang bergegas
menemui Abū Bakar, tetapi Abū Bakar berkata kepada mereka: “Jika benar Rasūlullāh
s.a.w. mengatakan hal tersebut maka apa yang dikatakannya itu benar. Mereka bertanya:
“Apakah kamu percaya pada ceritanya itu?” Abū Bakar menjawab: “Sengguh, aku
percaya kepadanya lebih jauh daripada itu.” Sejak saat itu Abū Bakar dijuluki ash-
Shiddīq (orang yang membenarkan).
Kemudian orang-orang kafir mulai menguji kebenaran cerita Rasūlullāh s.a.w.
itu. Mereka menanyakan bentuk Bait-ul-Maqdis. Pada saat itu di antara mereka ada
beberapa orang yang telah melihat Bait-ul-Maqdis. Adapun Rasūlullāh s.a.w. belum
pernah melihatnya sebelum peristiwa Isrā’ dan Mi‘rāj itu. Allah s.w.t. menampakkan
Bait-ul-Maqdis kepada beliau sehingga mampu menggambarkan kepada mereka pintu
demi pintu dan tempat demi tempat. Mereka berkata: “Mengenai bentuknya memang
benar. Sekarang coba engkau beritahukan kepada kami mengenai iring-iringan kafilah
kami.” Memang iring-iringan kafilah mereka saat itu sedang dalam perjalanan kembali
ke negeri Syām. Selanjutnya, Rasūlullāh s.a.w. memberitahukan kepada mereka tentang
jumlah unta yang dipakai dan juga mengenai keadaannya. Kemudian ia mengatakan
bahwa mereka akan datang pada hari anu bersamaan dengan terbitnya matahari pada hari
tersebut, sedangkan yang berada paling depan adalah unta yang paling muda. Pada hari
yang diisyaratkan oleh Rasūlullāh s.a.w. itu mereka keluar menuju ke lembah, lalu
seseorang di antara mereka berkata: “Demi Allah, memang benar sekarang matahari
telah terbit.” Sementara orang yang lainnya mengatakan: “Demi Allah, coba lihat iring-
iringan kita telah datang, dan yang paling depan adalah unta yang paling muda, persis

10
seperti yang diberitakan oleh Muḥammad.” Namun, kenyataan tersebut hanyalah
membuat mereka semakin ingkar dan besar kepala, sehingga mereka mengatakan: “Ini
adalah sihir yang nyata.”
Pada pagi hari setelah malam Isrā’, malaikat Jibrīl datang mengajarkan tata cara
shalat dan waktu-waktunya kepada Rasūlullāh s.a.w. Ia shalat dua raka‘āt jika terbit
fajar; empat rakaat pada waktu matahari tergelincir sedikit dari tengah; empat raka‘āt lagi
di saat bayangan benda mencapai dua kali lipatnya; tiga raka‘āt pada waktu matahari
tenggelam; dan empat raka‘āt ketika mega merah hilang. Sebelum disyarī‘atkan shalat
lima waktu, beliau shalat dua raka‘āt pada pagi hari dan dua raka‘āt pada sore harinya
sebagaimana dikerjakan oleh Nabi Ibrāhīm a.s.
C. Peristiwa Ba’it Aqobah
Bai’atul Aqobah Pertama
Pertemuan dengan keenam pemuda Yatsrib kemudian terjadi pada musim haji
tahun kedua belas kenabian (Juli 621 M). Jumlah mereka kali ini sebanyak dua belas orang
laki-laki yang terdiri atas; Bani Najar, As’ad bin Zararah, dan Auf bin al-Harits bersama
saudaranya yang bernama Mu’adh. Dari Bani Zuraiq ialah Rafi’ bin Mahk dan Dhakwan
bin ‘Abdi Qais. Dari Bani Auf ialah Ubadah bin al-Shamit dan Yazid bin Tha’labah. Dari
Bani Ijlan ialah al-Abbas bin Ubadah. Dari Bani Salimah ialah Uqbah bin ‘Amir dan Bani
Sawad ialah Quthbah bin Amir bin Hudaibah.
Mereka semua berasal dari kabilah Khazraj. Selain mereka hadir juga dua orang
dari kabilah Aus sebagai saksi yaitu Abdul Haitham bin al-Tayyihan dan Uwaim bin
Sa’idah. Dalam pertemuan di bukit Mina, mereka mengikat janji setia kepada Rasulullah
SAW yang isinya adalah berjanji tidak akan mempersekutukan sesuatu apapun dengan
Allah SWT, tidak akan mencuri, tidak akan berzina, tidak akan membunuh anak-anaknya,
tidak akan berbuat dusta yang mereka ada-adakan antara tangan dan kaki mereka, dan
tidak akan mendurhakai Rasulullah SAW dalam urusan kebaikan.
Bai’at pertama ini dinamai juga dengan Bai’atun Nisa’, karena butir-butir inilah
yang ditekankan dalam Bai’at Rasulullah SAW kepada perempuan sebagaimana tertuang
dalam QS. Al-Mumtahanah ayat 12 yang artinya: “Hai Nabi, apabila datang kepadamu
perempuan-perempuan yang beriman untuk mengadakan janji setia, bahwa mereka tiada
akan menyekutukan Allah, tidak akan mencuri, tidak akan berzina, tidak akan membunuh
anak-anaknya, tidak akan berbuat dusta yang mereka ada-adakan antara tangan dan kaki
mereka dan tidak akan mendurhakaimu dalam urusan yang baik, maka terimalah janji

11
setia mereka dan mohonkanlah ampunan kepada Allah untuk mereka. Sesungguhnya
Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.”
Setelah mereka pulang ke Madinah, Rasulullah SAW mengutus sahabat
Mush’ab bin Umair dengan tugas mengajarkan Al-Qur’an kepada mereka dan berbagai
pengetahuan lainnya mengenai agama Islam. Mush’ab tinggal di Yatsrib di rumah As’ad
bin Zararah1. Kemudian Mush’ab aktif mengajak sisa-sisa orang Aus dan Khazraj yang
belum masuk Islam untuk masuk Islam.
Ketika pada suatu hari, Mush’ab sedang duduk-duduk di sebuah kebun bersama
As’ad Ibnu Zararah, tiba-tiba Sa’ad Ibnu Mu’adz, pemimpin Kabilah Aus berkata kepada
Usaid Ibnu Hudhair, saudara misan As’ad, “Tidaklah engkau bertindak terhadap dua orang
lelaki itu, yang keduanya datang untuk mencekoki orang-orang lemah di antara kita?
Cegahlah keduanya oleh engkau.” Lalu Usaid berdiri menghunus tombak pendeknya
untuk menemui kedua utusan itu, akan tetapi, ketika As’ad melihatnya datang, ia
memberikan penjelasan kepada Mush’ab, “Ini adalah pemimpin kaumnya. Ia datang
kepada engkau, maka berikanlah petunjuk jalan Allah kepadanya.”
Tatkala Usaid datang di hadapan kedua utusan itu, ia berkata, “Apakah gerangan
yang menyebabkan kedatangan kalian berdua sehingga kalian berani mencekoki orang-
orang lemah di antara kami? Apakah kalian berdua mempunyai keperluan tertentu?” Lalu
Mush’ab berkata kepadanya, “Tenanglah, silahkan engkau duduk dulu, kemudian
dengarkanlah apa yang akan kusampaikan. Jika engkau suka perkara yang akan
kusampaikan itu, engkau boleh menerimanya, dan jika engkau tidak menyukainya, maka
aku akan menahan diriku, tidak melakukan apa yang tidak engkau sukai terhadap diri
engkau.”
Kemudian Mush’ab membacakan Al-Qur’an kepadanya. Akhirnya Usaid
menganggap bahwa agama Islam itu baik dan mendapat hidayah dari Allah, dan akhirnya
ia membaca Syahadat (masuk Islam). Lalu ia kembali menemui Sa’ad Ibnu Mu’adz. Sa’ad
bertanya kepadanya mengenai apa yang telah dilakukannya terhadap kedua utusan Nabi
Muhammad SAW itu. Usai menjawab, “Demi Allah, menurut pendapatku kedua orang itu
tidak apa-apa setelah aku melihatnya.”
Setelah mendapat jawaban tersebut, Sa’ad Ibnu Mu’adz marah-marah, lalu ia
segera berangkat untuk menemui keduanya. Mush’ab pun melakukan hal yang sama, dan
ternyata Allah SWT memberinya petunjuk sehingga ia pun masuk Islam seperti Usaid tadi.
Kemudian ia kembali bergabung dengan orang-orang Bani ‘Abdul Asyhal. Mereka adalah
1
Ibnu Hisham, as-Sirah an-Nabawiyah, (Beirut, Lebanon: Dar al-Kutub al-Ilmiyah, 2011), hlm. 172.

12
salah satu puak kabilah Aus. Ia berkata kepada mereka, “Bagaimana anggapan kalian
terhadap diriku ini?” Mereka menjawab, “Engkau adalah pemimpin kami dan anak
pemimpin kami.” Sa’ad berkata kepada mereka, “Kaum lelaki dan kaum perempuan kalian
haram berbicara denganku sebelum kalian mau masuk Islam.” Akhirnya, semua keluarga
Bani ‘Abdul Asyhal masuk Islam dan memenuhi ajakan Sa’ad Ibnu Mu’adz. Selanjutnya,
agama Islam menyebar ke seluruh rumah di kota Madinah sehingga tidak ada obrolan lain
bagi mereka kecuali masalah agama Islam.
Bai’atul Aqobah Kedua
Pada musim haji tahun ketiga belas kenabian, yaitu setahun setelah Bai’at
Aqabah pertama, rombongan kaum Muslim dari Madinah berkunjung ke Mekkah untuk
melaksanakan ibadah haji beserta ratusan orang musyrikin Madinah. Rombongan kaum
Muslimin Madinah itu sepakat untuk bertemu dengan Rasulullah secara rahasia. Mereka
merasa bahwa sudah saatnya dilakukan upaya penghentian penganiayaan terhadap
Rasulullah SAW dengan menyiapkan wilayah yang aman untuk tersebarnya dakwah
Islam. Tempat yang disepakati untuk bertemu dengan mendengar petunjuk adalah lokasi
dekat tempat pelemparan jumrah ūla di Mina, yang hendaknya dilaksanakan pada malam
kedua dari hari-hari Tashriq.
Setelah tiba waktu yang disepakati dan berlalu juga sepertiga malam dengan
sembunyi-sembunyi mereka semua yang jumlahnya 73 orang bersama dengan dua orang
wanita, yaitu Nusaibah binti Ka’ab yang bernama panggilan Ummu Imarah dari Bani
Mazin bin Najar dan Asma binti Amr yang bernama panggilan Ummu Mani’ dari Bani
Salimah, berjalan dengan penuh hati-hati ke tempat yang ditentukan. Di sana mereka
menanti kedatangan Rasulullah SAW. Tidak seberapa lama kemudian datanglah
Rasulullah SAW bersama dengan pamandanya, al-Abbas bin Abdul Muṭalib, yang saat itu
belum masuk Islam, tetapi ingin menyaksikan apa yang akan dilakukan oleh anak
saudaranya yakni Muhammad.
Abbaslah yang berbicara terlebih dahulu menjelaskan besarnya tantangan dan
tanggung-jawab yang mereka harus pikul jika mereka bersedia menerima Nabi
Muhammad SAW di Madinah. Ia antara lain mengatakan, “Kedudukan Muhammad di sisi
kami pastilah kalian telah ketahui. Kami telah membelanya dari kaumnya sendiri. Dia
dalam perlindungan dari gangguan kaumnya di negeri sendiri. Tetapi dia tidak memilih
kecuali memihak kepada kalian dan ikut ke kampung halaman kalian. Jika kalian
berkeyakinan dan bertekad kuat sanggup untuk memenuhi janji kalian untuk membelanya
dari yang menentangnya, maka silahkan, tetapi jika kalian akan menyerahkan kepada

13
lawannya dan meninggalkannya, maka sejak saat ini tinggalkan dia kerena dia saat ini
dalam keadaan terlindungi di negerinya sendiri.”
Tiga puluh ketua rombongan berkata kepada al-Abbas, “Kami telah camkan apa
yang Anda katakan. Kami minta Rasulullah berbicara, “Lalu dia menyampaikan kepada
Rasulullah bahwa, “Mintalah wahai Rasulullah apa yang Anda inginkan untuk dirimu dan
untuk Tuhanmu.” Rasulullah SAW menyampaikan apa yang mereka harapkan dan yang
langsung disetujui oleh seluruh anggota rombongan, namun salah seorang tokoh dari
mereka, Abu al-Haitham bin Tihan menginterupsi dan berkata, “Ada perjanjian antara
kami dengan orang-orang Yahudi yang harus kami batalkan, apakah jika kami
membatalkannya dan engkau berhasil dalam usahamu engkau akan kembali kepada
kaummu (Makkah) dan meninggalkan kami?”
Rasulullah menjawab, “Darah dibalas darah, penghancuran dengan
penghancuran. Aku bersama kalian, dan kalian bersama dengan aku. Aku akan memerangi
siapa saja yang kalian perangi dan berdamai dengan siapa saja yang kalian berdamai
dengannya.”2 Setelah itu Rasulullah meminta kepada mereka supaya memilih 12 orang
naqib atau pemimpin yang bertanggung-jawab atas kabilahnya masing-masing. Atas
permintaan Rasulullah itu, mereka mengajukan 12 orang naqib, sembilan orang dari
kabilah Khazraj dan tiga orang dari kabilah Aus. Nama-nama 12 orang naqib itu adalah,
Abu Umamah As’ad bin Zararah, Sa’ad bin al-Rabi’ bin Amr, Abdullah bin Rawahah,
Rafi’ bin Malik, al-Barra bin Ma’rur, Abdullah bin Amr, Ubadah bin al-Shamit Saad bin
Ubadah, dan al-Mudzir bin Amr yang semuanya berasal dari kabilah Khazraj. Sementara
mereka yang berasal dari kabilah Aus adalah, Usaid bin Huḍair, Sa’ad bin Khaitsamah,
Rifa’ah bin Abdul Mundzir. Kepada 12 orang naqib tersebut Rasulullah berpesan,
“Hendaklah kalian menjadi penanggung-jawab kaumnnya masing-masing sebagaimana
yang dilakukan oleh para pengikut Isa putera Maryam. Sedang aku sendiri menajdi
penanggungjwab atas umatku.”
Pesan Rasulullah SAW itu disambut dengan ucapan yang tegas dan
meyakinkan, bahwa mereka siap dan bersedia. Peristiwa yang terjadi di Aqabah itulah
yang dalam sejarah Islam dikenal dengan nama Bai’atul Aqabah al-Thaniyah atau dinamai
juga Bai’atul Aqabah al-Kubra. Mengenai peristiwa ini Imam Ahmad bin Hanbal
mengatakan saat itu Rasulullah SAW berkata kepada mereka yang berbai’at untuk; patuh
dan taat dalam keadaan senang atau susah, melaksanakan amar ma’ruf dan nahi mungkar,
bernafkah dalam keadaan lapang atau sempit, membela Rasulullah bila beliau datang ke
2
Ibid., 176.

14
Madinah sebagaimana mereka membela diri mereka sendiri, keluarga dan anak-anak
mereka. Jika semua itu mereka tepati, insyaAllah akan memperoleh surga. Sebelum
berjabat tangan sebagai pertanda kebulatan tekad melaksanakan isi janji, terlebih dahulu
para anggota rombongan diingatkan oleh al-Abbas bin Ubadah bin Nadhlah dari Bani
Salim bin Auf tentang makna dan konsekuensi butir-butir yang telah disepakati itu.
Dengan semangat menyala-nyala dia bertanya kepada orang-orang yang ikut
berbaiat, “Tahukah kalian makna dari bai’at ini?” Dia lalu menjawab sendiri dengan
berkata, “Maknanya adalah kalian berjanji memerangi manusia yang berkulit hitam atapun
putih yang memusuhi Rasulullah. Kalau kalian memandang kehilangan harta benda
sebagai musibah, dan bila para pemimpin kalian mati terbunuh dalam peperangan lalu
kalian hendak menyerahkan Rasullullah kepada musuh, maka demi Allah jika itu kalian
lakukan berarti kalian berbuat nista di dunia dan akan hidup terhina di akhirat kelak.
Sebaliknya jika kalian bersedia kehilangan harta benda kalian dan orang-orang terkemuka
di antara kalian demi membelanya, maka terimalah perjanjian ini karena demi Allah inilah
kebajikan di dunia dan di akhirat.” Mendengar itu, mereka semua berkata yang tidak kalah
tegasnya, “Kami siap untuk itu.” Kemudian mereka berkata, “Apa yang akan kami
dapatkan di balik itu semua wahai Rasulullah?” Rasulullah menjawab singkat, “Surga.”
Mereka pun maju serantak mendekati beliau dan berkata, “Ulurkan tanganmu wahai
Rasulullah.” Rasulullah pun mengulurkan tangan beliau kemudian berjabat tangan kepada
seluruh rombongan orang-orang Madinah itu sambil menyatakan janji setia kepada beliau
SAW.3
D. Hijrah Nabi Muhammad SAW
Setelah Bai’atul Aqabah kedua dan semakin banyaknya penduduk Madinah
yang menerima agama Islam, Rasulullah bersama para sahabatnya mulai merencanakan
untuk hijrah ke Madinah, namun beliau tidak mengambil keputusan sebelum memperoleh
kepastian yang jelas melalui wahyu yang membawa perintah Allah SWT. Pada saat beliau
memikirkan rencana untuk berhijrah dan menantikan perintah Allah SWT, turunlah wahyu
yang memerintahkan beliau supaya meninggalkan kota Makkah menuju Yatsrib atau
Madinah, QS. Al-Hajj ayat 39, yang artinya: “Telah diizinkan (berperang) bagi orang-
orang yang diperangi, karena Sesungguhnya mereka telah dianiaya. dan Sesungguhnya
Allah, benar-benar Maha Kuasa menolong mereka itu, (yaitu) orang-orang yang telah
diusir dari kampung halaman mereka tanpa alasan yang benar, kecuali karena mereka
berkata, "Tuhan Kami hanyalah Allah". dan Sekiranya Allah tiada menolak (keganasan)
3
Ibid., 178.

15
sebagian manusia dengan sebagian yang lain, tentulah telah dirobohkan biara-biara
Nasrani, gereja-gereja, rumah-rumah ibadat orang Yahudi dan masjid- masjid, yang di
dalamnya 34 banyak disebut nama Allah. Sesungguhnya Allah pasti menolong orang yang
menolong (agama)-Nya. Sesungguhnya Allah benar-benar Maha kuat lagi Maha
perkasa.”
Beberapa hari setelah turunnya ayat ini, Rasulullah SAW memerintahkan para
sahabat di Makkah untuk bergabung dengan kaum Muslimin lain di Madinah. Rasulullah
SAW mengingatkan agar mereka berhati-hati ketika meninggalkan Mekkah, tidak
bergerombol dan menyelinap di waktu malam atau siang hari, agar jangan sampai
diketahui kaum mushrikin Quraisy. Atas dasar perintah Rasulullah SAW itu para sahabat
berangkat ke Madinah di malam yang sunyi, ada yang secara perorangan, ada yang
bersama keluarga atau beberapa teman. Keberangkatan kaum muslimin dari Makkah ke
Madinah bukanlah perkara yang gampang dan mudah, karena kaum musyrikin Quraisy
dengan berbagai cara tetap berusaha dan menghalangi dan mencegah.
Kaum musyrikin Quraisy menghadapkan kaum Muslimin kepada berbagai
macam cobaan berat, tetapi hal itu tidak menggoyahkan niat kaum Muslimin untuk
berhijrah ke Madinah. Di antara kaum Muslimin itu ada yang terpaksa berangkat seorang
diri meninggalkan anak dan isteri di Makkah seperti yang dilakukan oleh Abu Salamah.
Ada pula yang terpaksa berangkat meninggalkan mata pencaharian dan semua harta benda
yang dimilikinya seperti Shuhaib bin Shinan. Berangkat pula sahabat-sahabat Rasulullah
SAW lainnya untuk berhijrah ke Madinah seperti, Umar bin Khaṭṭab, Talhah bin
Ubaidillah, Abdurrahman bin Auf, Zubair bin Awwam, Uthman bi Affan, Abu Hanifah
dan sahabat-sahabat yang lainnya. Sejak saat itu berturut-turut kaum muslimin berangkat
hijrah ke Madinah meninggalkan kampung halaman. Selain beberapa orang muslim yang
ditahan dan dianiya oleh musyrikin Quraisy tidak ada lagi sahabat Rasulullah SAW yang
tinggal di Makkah kecuali Ali bin Abi Ṭalib dan Abu Bakar bin Abu Quhafah, dua sahabat
Rasulullah SAW yang memang sengaja tetap tinggal untuk sementara di Makkah
menemani Rasulullah SAW.
Tujuan Nabi Muhammad SAW Berhijrah
Ada empat hal yang mendasar sebagai tujuan Nabi Muhammad SAW berhijrah,
antara lain;
1. Memulihkan kembali aqidah tauhid Nabi Ibrahim a.s. dan Ismail a.s. yang sudah
menjadi musyrik akibat perbuatan `Amar bin Lubay, membawa berhala Hubal ke dalam
Ka`bah. Dalam sejarah, bahwa mayoritas Bangsa Arab pada awalnya adalah menganut

16
kepercayaan monotheisma, sejak nabi Adam as dan samapai kepada nabi Ibrahim as
dan dilanjutkan anaknya Ismail as. Mereka ini semuanya adalah mengamalkan ajaran
Tauhid (monotheisma). Pada masa ini muncul seorang tokoh dari kalangan Khuza`ah
bernma `Amar bin Lubay. Kegemaran `Ama bin Lubay ini adalah senang dengan
berbuat baik, antara lain; rajin bersedekah, bersifat ramah, senang membantu orang
susah, sehingga banyak orang simpatik dan tunduk patuh di hadapannya sehingga
banyak orang memuliakannya sebagai tokoh besar, jadi panutan masyarakat. Kemudian
suatu saat beliau bepergian ke negeri Syam “ lalu ia melihat penduduknya menyembah
berhala-berhala. Akhirnya ia merespon positif hal tersebut dan mengiranya suatu
kebenaran, sebab Syam adalah tanah air para Rasul dan diturunkan Kitab-kitab. Maka
ketika ia pulang, ia membawa berhala Hubal dan meletakkannya di dalam Ka`bah.
Karena ketokohannya dan kewibawaanya itu tidak seorangpun menghalanginya. Lantas
mengajak penduduk Makkah untuk berbuat syirik kepada Allah swt. Oleh penduduk
Makkah banyak yang mengikutinya, karena `Amar bin Lubay termasuk pemimpin
masyarakat da pengelola Baitullah dan pemilik/penguasa Masjid Haram. `Amar bin
Lubay melihat masyarakat sekitar Mekkah banyak pengikutnya, selanjutnya ia
membawa lagi berhala yang paling tua bernama; Manat diletakkannya di Musyalla,
sebuah kawasan di tepi laut merah. Demikian juga berhala “Lata” di Thaif, dan “Uzza”
di Wady Nakhlah. Dengan perlakuan `Ama bin Lubay ini kemusyrikan merajalela, dan
berhala-berhala banyak bermunculan di banyak tempat.
2. Membasmi kemusyrikan-kemusyrikan adalah satu penzaliman diri dan yang membuat
kesesatan diri, salah satunya dengan menyembah berhala. Di antara prosesi
penyembahan kepada berhala yang terjadi dalam kehidupan manusia adalah seperti; a)
berdiam diri di hadapan berhala atau patung untuk meminta perlindungan dan sesuatu
kebutuhan, b) menunaikan ibadah bukan karena Allah semata, c) penyembelihan hewan
tidak atas nama Allah. d) dalam mendekatkan diri kepada Allah harus dengan
menyajikan sesuatu perantara.dan sebagainya. Sikap manusia seperti ini adalah bentuk
kemusyrikan yang harus dibasmi sampai hilang.
3. Menghindari embargo atau tekanan sosial ekonomi yang lebih berat. Dalam perjalanan
hidup Rasulullah SAW menjalankan perintah Allah SWT (amar ma`ruf nahi munkar)
bukanlah pekerjaan sederhana, dan beliau SAW banyak mendapatkan tantangan,
hambatan dan rintangan baik secara mental, ideologi, maupun fisik termasuk adanya
pemboikotan, embargo, antara lain dari para kaum Quraisy bersumpah- selama
Rasulullah tidak menghentikan dakwahnya untuk tidak menikahi keturunan Bani

17
Hasyim dan Bani Mutthalib, tidak melakukan jual beli dengan mereka, tidak
dibenarkan bergaul, berbaur dan setelah itu penyiksaan kaum musyrik terhadap
Rasulullah SAW dan para sahabatnya semakin keras bahkan diantara mereka ada yang
meninggal lantara siksaan ini dan ada yang buta, karena Bani Hasyim dan Bani
Mutthalib masih tetap melindungi dakwah Muhammad saw.
4. Merubah strategi dakwah Islamiyah Rasulullah SAW dalam mengemban amanah
melaksanakan tugas mulianya amar ma`ruf nahi munkar yang dimulainya di Makkah
selama kurang lebih 13 tahun yang awal mula sasaran dakwahnya adalah kaum
kerabatnya, dengan cara dakwah secara rahasia sejak mengemban kenabian Rasulullah
SAW telah memenuhi perintah Allah SWT. Berdakwah menghambakan diri dan
beribadah hanya Kepada-Nya serta meninggalkan penyembahan kepada berhala.
Mereka yang menganut saat itu adalah; Khadijah biti Khuwailid, Ali bin Abi Thalib,
Zaid bin Haristah, Abu Bakar Ibn Ali Qatadah as-Shiddqy, Usman bin `Affan, Zubair
bin Awwam, Abdul Rahman bin `Auf dan Sa`ad Ibn Abi Waqqas selanjutnya
Rasulullah SAW mulai berdakwah secara terang terangan setelah tiga tahun diangkat
Allah SWT menjadi Rasul.

BAB III

PENUTUP

18
A. Kesimpulan

Nabi Muhammad SAW hijrah ke Thaif pada tahun ke sepuluh bersama Zaid bin
Haritsah. Pada tahun ke sebelas, Allah SWT memuliakan Nabi Muhammad SAW dengan
peristiwa Isra’ dan Mi’raj. Ba’it Aqabah yang pertama terjadi pada tahun ke dua belas
dengan datangnya dua belas orang ke Madinah untuk bersumpah setia kepada Nabi
Muhammad SAW terkait penyiaran Islam yang disertai syarat-syarat tertentu. Ba’it
Aqabah yang kedua terjadi pada tahun ke tiga belas dari kenabian yang dihadiri oleh 73
laki-laki dan dua orang perempuan dari Madinah disertai syarat-syarat tertentu. Ketika
penduduk Madinah memeluk Islam, penduduk Mekkah kian gencar menyiksa Rasulullah
SAW dan para sahabat, karena itu Rasulullah SAW memerintahkan mereka untuk
berhijrah ke Madinah dengan bertahap secara rahasia.

B. Saran
Penulis menyadari bahwa makalah ini memiliki kekurangan serta jauh dari kesempurnaan.
Maka dari itu, kami berharap terhadap kritik dan saran yang bisa membangun mengenai
penulisan makalah, isi makalah dan sejenisnya demi memperbaiki di masa yang akan
datang.

19
DAFTAR PUSTAKA
Bek, Muhammad al-Khudhari. 2010. Nuurul Yaqiin (fii Siirati Sayyidil Mursaliin), terj.
Bandung: Sinar Baru Algesindo.
Chalil, Moenawar. 2001. Kelengkapan Tarikh Nabi Muhammad SAW Jilid 2. Jakarta: Gema
Insani.
Damla, Nurdan. 2009. 365 Hari Bersama Rasulullah. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.
Hisham, Ibnu. 2011. as-Sirah an-Nabawiyah. Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyah.
Khalid, Amr. 2009. Jejak Rasul: Membedah Kebijakan dan Strategi Politik Perang.
Yogyakarta: A Plus Book.
Hakim, Abdul. 2016. Motivasi Hijrahnya Rasulullah Muhammad SAW Dari Makkah Ke
Madinah. Vol, 5. No, 2. hlm 432-434. Jurnal Wahana Inovasi.

Anda mungkin juga menyukai