Anda di halaman 1dari 45

BAB II

LANDASAN TEORI

II.1. Obesitas
II.1.1. Definisi
Obesitas didefinisikan sebagai suatu keadaan dimana Body Mass Index
(BMI) ≥30kg/m2 dimana angka tersebut diperoleh dari rumus (Davies, 2010) :
BMI = Berat badan(kg)
Tinggi badan(m2)
Obesitas terbagi menjadi 2 tipe yaitu tipe android (central body obesity) yang
merujuk pada ditribusi lemak pusat tubuh dan tipe gynecoid (lower body obesity)
dimana distribusi lemak kearah bawah yaitu femoral dan gluteal. Diantara kedua
tipe tersebut tipe android lebih berisiko terjadi kelainan metabolik seperti insulin
resisten, dislipidemia, hipertensi, diabetes (metabolik sindrom). Hal tersebut
disebabkan oleh karena lemak pada visceral (central body obesity) lebih aktif
terjadi lipolisis dan sensitivitas terhadap insulin menurun (Huda, 2010).
BMI oleh WHO dikelompokkan menjadi underweight, normal,
overweight, dan obese dimana obesitas dibagi menjadi kelas I, II, III yang
ditunjukkan pada tabel dibawah ini :

Tabel 2.1 Body Mass Index (BMI)(Gunatilake, 2011)


Definition Body Mass Index, kg/m2 Obesity Class
Underweight < 18.5
Normal 18.5-24.9
Overweight 25.0-29.9
Obese 30.0-34.9 I
35.0-39.9 II
Extremely Obese  40.0 III
Reproduced, with permission, from Pi-Sunyer FX et al.137
Gunatilake. Obesity and Pregnancy. Am J Obstet Gynecol 2011.

Selain kriteria BMI menurut WHO tersebut diatas oleh karena perbedaan ras
maka untuk daerah asia pasifik terdapat kriteria lain dalam penentuan BMI seperti
yang diperlihatkan pada table dibawah ini:

6
7

Tabel 2.2 Klasifikasi BMI menurut kriteria Asia Pasifik


(Flier, 2008)

Risiko Ko-Morbiditas
Lingkar Perut
Klasifikasi IMT (kg/m2) <90 cm (Laki-laki) 90 cm (Laki-laki)

<80 cm (Perempuan) 80 cm

(Perempuan)
Berat Badan Kurang <18,5 Rendah (risiko meningkat Sedang

pada masalah klinis lain)

Kisaran Normal 18,5-22,9

Berat Badan Lebih >23,0 Sedang Meningkat

Berisiko 23,0-24,9 Meningkat Moderate

Obese I 25,0-29,9 Moderate Berat

Obese II 30,0 Berat Sangat berat

Flier, 2008

II.2. Obesitas Pada Kehamilan


Obesitas pada kehamilan adalah ibu hamil dengan riwayat obesitas
sebelum kehamilan dan bukan ibu yang mengalami obesitas saat kehamilan.
Dimana saat kehamilan terjadi beberapa perubahan seperti perubahan berat badan
(BB).
Perubahan berat badan adalah kenaikan BB yang selama kehamilan bervariasi
untuk setiap wanita hamil dan juga tergantung beberapa faktor. Selama
kehamilan, ibu perlu mengalami pertambahan BB karena bertambahnya berat
uterus yang tumbuh dan janin yang berkembang dalam rahimnya serta persiapan
payudara untuk proses menyusui. Jadi ibu hamil tidak perlu khawatir bila
badannya mengalami kenaikan BB tetapi sebaliknya ibu harus mulai
merencanakan dan mempersiapkan apa yang terbaik dan sehat bagi kehamilan
(Suririnah, 2008).
8

Kenaikan berat badan setiap wanita hamil berbeda, tergantung dari tinggi
badan dan BB nya sebelum hamil, ukuran bayi, plasenta dan kualitas pola makan
sebelum dan selama kehamilan. Berdasarkan dari perhitungan IMT, peningkatan
berat badan selama kehamilan tergantung dari BB sebelum hamil. Perhitungan
IMT menggunakan perkiraan jumlah total lemak dalam tubuh (Suririnah, 2008).
Data IMT juga dipakai untuk menilai adanya risiko penyakit jantung, diabetes
dan penyakit lain secara umum.

Tabel 2.3 Perubahan Berat Badan Saat Kehamilan


IMT = BB sebelum hamil (kg)
TB x TB (m2)
Nilai IMT Penilaian BB Total peningkatan BB yang
diharapkan selama kehamilan
> 30 Obesitas – kegemukan 6 – 9kg
25 – 29,9 BB berlebihan 6 – 11kg
18,5 – 24,9 BB ideal 11 – 15kg
< 18,5 BB kurang 12 – 18kg

Menilai BB sebelum hamil sangat penting dari segi kesehatan bagi ibu dan
bayi. Jika ibu hamil dengan BB yang berlebihan sebelum kehamilan, maka
pertambahan BB yang dianjurkan haruslah lebih kecil daripada ibu hamil dengan
BB yang ideal sebelumnya. Ibu hamil yang memiliki peningkatan BB yang terlalu
berlebihan akan beresiko terjadinya komplikasi kehamilan seperti diabetes
gestasional yaitu kenaikan kadar gula darah karena adanya proses kehamilan dan
terjadinya preeklamsia. Selain itu, penimbunan lemak tubuh yang berlebihan akan
membuat BB sulit turun setelah melahirkan (Suririnah, 2008).
Demikian juga sebaliknya, wanita yang BB kurang sebelum hamil, ketika
hamil perlu menambah BB lebih banyak daripada ibu dengan BB ideal. Asupan
gizi yang berkurang akan menghambat pertumbuhan janin dalam kandungan yang
berakibat Berat Bayi Lahir Rendah (BBLR) dan gangguan kehamilan lainnya
(Suririnah, 2008).
Kenaikan BB selama masa kehamilan tergantung dari BB sebelum
kehamilan. Yang terbaik dilakukan bila berniat untuk hamil, sebaiknya
9

mempersiapkan BB ideal terlebih dahulu sebelum hamil sehingga tubuh akan


menyimpan semua zat gizi yang diperlukan oleh tubuh selama kehamilan secara
seimbang seperti karbohidrat, protein, lemak, vitamin dan mineral dalam jumlah
seimbang. Bila BB berlebih sebelum hamil dianjurkan untuk ibu tidak melakukan
diet secara ketat karena mempengaruhi asupan gizi yang diperlukan bayi dan
sangat beresiko untuk janin. Sebaliknya bila BB kurang bukan berarti ibu harus
makan berlebihan (Suririnah, 2008).
Pertambahan BB yang dianjurkan yang normal adalah sekitar 10-15kg.
Berat badan yang kurang atau jauh melebihi normal akan mengancam
perkembangan bayi dan kehamilan serta mempersulit proses persalinan
(Macdougall, 2003).
Saat bayi baru lahir , BB kurang 4kg. Penambahan BB ibu selama
kehamilan selain dikarenakan oleh BB juga berasal dari plasenta, cairan amnion,
peningkatan volume darah serta rahim dan payudara. Kecepatan pertambahan BB
pada wanita hamil berbeda-beda. Selama triwulan pertama biasanya hanya 1-2kg,
dalam triwulan kedua biasanya bertambah 6kg dan dalam triwulan ketiga atau
terakhir sekitar 5kg. Angka-angka tersebut hanya perkiraan karena tentu saja pola
pertambahan BB bersifat sangat individual (Macdougall, 2003).
Berat badan harus diperiksa, diukur setiap kunjungan prenatal dan ditulis
digrafik peningkatan BB untuk memantau kemajuan sehingga sasaran yang
ditetapkan dapat dicapai. Variasi laju ini (misal; < 0,15kg / bulan pada wanita
yang gemuk atau kurang dari 1kg / bulan dalam 2 trimester terakhir pada wanita
dengan berat normal) dapat mengindikasikan diperlukan intervensi. Penyebab
deviasi laju peningkatan berat antara lain pengukuran atau pencacatan yang keliru,
berat pakaian yang dikenakan berbeda, jam saat ditimbang berbeda dan akumulasi
cairan, serta asupan makanan yang tidak adekuat atau berlebihan. Peningkatan >
3kg/bulan, khususnya setelah minggu ke-20 gestasi dapat mengindikasikan
masalah yang serius, seperti hipertensi akibat kehamilan (Macdougall, 2003).
Secara ideal, wanita yang memiliki obesitas berlebihan ( IMT >29) harus
menjalani program penurunan BB selama hamil. Namun, semua wanita perlu
mengalami peningkatan selama hamil. peningkatan BB sekurang-kurangnya
10

harus sama dengan berat produk konsepsi yaitu janin, plasenta dan cairan amnion
(Bobak et al, 2004).
Usia ibu juga sangat berperan penting dalam kasus BBLR. Presentase
tertinggi bayi dengan BBLR terdapat pada kelompok usia remaja dan wanita
berusia > 40 tahun. Remaja seringkali melahirkan bayi dengan BB lebih rendah,
bahkan bila dibandingkan dengan wanita dewasa yang mengalami peningkatan
berat yang sama selama hamil. Hal ini terjadi karena sistem reproduksi mereka
belum memiliki sistem transfer plasenta seefisien wanita dewasa. Wanita yang
lebih tua memerlukan lebih sedikit kalori untuk mendukung kehamilannya tetapi
memiliki kebutuhan khusus akan nutrisi tertentu (Bobak et al, 2004).

II.3. Penyebab Obesitas Selama Hamil


Obesitas selama kehamilan dipengaruhi oleh beberapa faktor, antara lain:
1. Cairan ketuban.
Biasanya puncak volume nya pada usia 36 minggu. Dikatakan kurang
apabila < 500cc oligohidromnio dan polihidromnion dapat dijadikan
indikator kemungkinan dapat terjadi gangguan pada saluran cerna, tulang
belakang atau bagian lainnya. Biasanya ketidaknormalan air ketuban baru
terjadi setelah usia kehamilan 22 minggu atau sekitar usia kehamilan 5
bulan (Solahuddin, 2010).

2.Pembesaran organ-organ.
Ukuran ketebalan dinding rahim normalnya berkisar 1,25cm, dengan
panjang 7,5 cm dan lebar 5 cm serta berat sekitar 50 – 80 gram. Sedangkan
ukuran ketebalan dinding Rahim pada ibu hamil berkisar pada 1,5cm dan
berat 900 – 1000 gram serta panjang 35 cm (Solahuddin, 2010).

3. Peningkatan jumlah cairan tubuh .


Air merupakan komponen utama peningkatan BB selama kehamilan.
Jumlah air yang teretensi pada kehamilan aterm dapat mencapai sekitar 6,5
liter. Selama masa nifas akan terjadi penurunan BB sampai 2.300 gram
dalam 10 hari. Penurunan BB ini tergantung 3 hal yaitu jumlah cairan yang
11

teretensi selama kehamilan, dehidrasi selama proses persalinan dan


kehilangan darah selama proses persalinan (Solahuddin, 2010).

4. Adanya perubahan metabolisme selama kehamilan.


Selama usia kehamilan terjadi peningkatan metabolisme sebesar 30 %, hal
in diperlukan untuk tumbuh dan kembang uterus dan janin (Solahuddin,
2010).

5. Bertambahnya volume sel darah.


Mulai usia kehamilan 10 minggu, volume sel darah meningkat sampai
angka maksimal 30% pada usia kehamilan 30-32 minggu. Volume sel darah
relatif stabil sampai kehamilan cukup bulan (38 – 40 minggu). Selain itu,
terjadi pula peningkatan volume plasma, selama kehamilan hingga dapat
mencapai angka maksimal sekitar 40%. Total peningkatan volume plasma
dapat mencapai 1,3 liter (Solahuddin, 2010).

II.4 Kecepatan Pertambahan Berat

Ibu yang memiliki BB rata-rata harus mengalami kenaikan sebesar 1,5 - 2


kg selama trimester I dan sekitar 500 gram / minggu, dan 6 - 7 kg selama trimester
kedua. Pertambahan berat selanjutnya dengan kecepatan sekitar 500 gram/minggu
hingga bulan ke-7 dan ke-8, dan pada bulan ke-9 turun menjadi 500gram/1kg atau
bahkan tidak mengalami pertambahan sama sekali sehingga jumlahnya adalah 4 –
5 kg selama trimester ke - 3 (Murkoff, 2006).
Jarang ada ibu yang sesuai pertambahan BB nya tepat seperti rumusan
ideal dan dapat mengalami sedikitnya naik turun pada kisaran angka 250 gram
pada setiap minggu, 750 gram pada minggu berikutnya. Tetapi tujuan dari setiap
ibu hamil adalah mengalami kenaikan BB yang stabil, tanpa kenaikan atau
penurunan yang tiba-tiba atau secara drastis pada rentan waktu tertentu. Jika
mengalami kenaikan BB > 1,5 kg dalam salah satu minggu pada trimester kedua
atau mengalami kenaikan > 1 kg di trimester ketiga (terutama jika tampaknya
tidak berkaitan dengan terlalu banyak makan atau kelebihan pasokan garam),
12

periksakan juga jika tidak mengalami pertambahan BB selama lebih dari dua
minggu ke-4 sampai ke-8 (Murkoff, 2006).
Apabila pertambahan BB tidak sesuai dari apa yang telah direncanakan,
fokuskan tujuan untuk mengkontrol kelebihan BB yang sudah didapatkan dan
mengupayakan peningkatan berat yang masih harus dicapai. Perlu tetap diingat
bahwa janin masih memerlukan pasokan gizi yang stabil setiap hari selama
kehamilan, dan ini hanya datang dari intake makanan yang dikonsumsi ibu.
Pantaulah BB sejak awal, dan jangan melakukan diet ketat selama kehamilan
(Murkoff, 2006).

II.5 Dampak Obesitas Saat Kehamilan


Saat ini kasus diabetes pada masa kehamilan (Diabetes Gestasional)
semakin meningkat dengan penyebab utamanya adalah obesitas. Akibat
peningkatan risiko tersebut, setiap ibu hamil diwajibkan melakukan screening
kadar gula darah terutama saat usia kehamilan menginjak minggu ke 24 – 28
(Jensena, 2009).
Setelah persalinan, ragam komplikasi masih menunggu. Infeksi setelah
persalinan akibat banyaknya pembuluh darah yang tersumbat pada ibu hamil
sering terjadi. Selain itu, lemak yang berlipat-lipat pada lapisan kulit merupakan
media yang kondusif untuk tumbuhnya kuman sehingga infeksi pun sangat
mungkin terjadi. Risiko lainnya, plasenta yang berfungsi menyuplai oksigen
menyempit karena lemak. Padahal, terhambatnya suplai oksigen dapat merusak
sel-sel otak janin. Sehingga kecerdasan si kecil pun bisa bekurang. Kemungkinan
buruk lain, janin bisa mengalami gangguan paru-paru maupun terlahir obesitas.
Sudah jelas bahwa wanita hamil dengan obesitas akan memerlukan
perawatan yang lebih jika dibandingkan dengan wanita yang hamil dengan BB
normal. Obesitas berisiko tinggi menimbulkan abortus, DMG, hipertensi dalam
kehamilan, gangguan pernafasan pada ibu, bayi makrosomia, trauma persalinan
baik pada ibu maupun bayi, kelainan kongenital fase persalinan yang lambat,
tindakan operasi pervaginam, distosia bahu, persalinan dengan SC, perdarahan
postpartum, trombosis dan infeksi. Wanita obesitas yang menjalani SC memiliki
risiko morbiditas dan mortalitas lebih tinggi dibandingkan wanita den BB normal
13

sehubungan dengan kehilangan darah yang lebih banyak, komplikasi dari tindakan
anestesi, kesulitan dari teknik operasi dan komplikasi berkaitan dengan
penyembuhan luka (Jensena, 2009).

II.6. Komplikasi Obesitas Dalam Kehamilan


Selain dinilai dengan pengukuran Lingkar Lengan Atas (LLA), status gizi
seseorang dewasa dapat dinilai dengan IMT, khusunya yang berkaitan dengan
kekurangan dan kelebihan BB. BB kurang dapat meningkatkan risiko terhadap
penyakit infeksi, sedangkan BB lebih akan menningkatkan risiko terhadap
penyakit degeneratif seperti penyakit jantung dan pembuluh darah, tekanan darah
tinggi dan sebagainya (Supariyasa dkk, 2001).
Pada wanita dengan BB lebih dapat meningkatkan gangguan haid (pola
haid tidak teratur, perdarahan tidak teratur dan faktor penyulit pada persalinan
yang mengakibatkan persalinan menjadi tidak lancar (Yuli, 2006).
Angka komplikasi selama kehamilan dan persalinan meningkat dengan
meningkatnya IMT sebelum kehamilan pada wanita, khususnya pada wanita
nullipara. Wanita mempunyai peningkatan risiko persalinan SC dengan
meningkatnya IMT dan ada hubungan juga dengan paritas (Rode dkk, 2005).
Wanita dengan BB lebih dan kegemukan mempunyai suatu peningkatan
risiko persalinan SC darurat, di mana persalinan SC merupakan indikasi mutlak
yang meningkat pada wanita kegemukan (Crane dkk, 1997).
Salah satu faktor yang meningkatkan kemungkinan persalinan SC adalah
IMT ibu sebelum hamil >30 dengan risiko sebesar 4 kali lebih besar dibandingkan
dengan ibu dengan IMT < 30 (Murphy dkk, 2011).

II.6.1. Abortus Spontan


Risiko abortus spontan pada wanita obesitas meningkat. Obesitas
berkaitan erat dengan abortus baik itu pada wanita dengan morfologi ovarium
normal, disebutkan bahwa 50% wanita obesitas mengalami PCOS (Polycystic
Ovarian Syndrome) ataupun pada wanita dengan morfologi ovarium normal,
dibandingkan dengan wanita BB normal sekitar 30% (Lashen dkk, 2004).
14

Pada metaanalisa terhadap 13 penelitian tentang gonadotropin normal


yang infertil didapatkan bahwa obesitas dan insulin resistensi berpengaruh buruk
terhadap terapi. Abortus spontan pada obesitas meningkat seiring dengan
menurunnya sensitivitas insulin (Davies, 2010). Mekanisme lain mencoba
menjelaskan patofisiologi abortus pada obesitas adalah akibat meningkatnya agen-
agen protrombotik dan proses inflamasi oleh jaringan adiposa. Plasminogen
Activator Inhibitor type 1 (PAI-1) berhubungan dengan meningkatnya abortus
spontan pada obesitas, penatalaksanaan dengan pemberian metformin tampaknya
mengurangi PAI-1 dan kejadian abortus (Jarvie, 2010).

II.6.2 Komplikasi pada bayi


Komplikasi yang ditimbulkan oleh obesitas terhadap hasil konsepsi
dimulai sejak awal konsepsi, antenatal, intrapartum dan postpartum bahkan
sampai pada saat dewasa. Komplikasi yang bisa terjadi antara lain:
1. Kelainan kongenital
Beberapa penelitian menunjukkan peningkatan risiko kelainan kongenital
sehubungan dengan obesitas pada ibu. Kelainan tersebut antara lain defek
tabung saraf (DTS), defek jantung, abnormalitas saluran cerna, omfakokel,
orofacial cleft dan kelainan kongenital lainnya pada sistem saraf pusat
(Kither, 2012). Dari beberapa penelitian menunjukkan risiko terjadinya
defek tabung saraf meningkat seiring dengan peningkatan IMT
dibandingkan IMT normal. Terjadinya kelainan kongenital tersebut belum
sepenuhnya dipahami patofisiologinya, diperkirakan berhubungan dengan
kadar hiperglikemia yang memicu radikal bebas, sehingga agen
vasokonstriktor seperti tromboksan meningkat berbanding terbalik dengan
agen vasodilator seperti prostasiklin yang menurun akibat gangguan aliran
darah, termasuk disini adalah berkurangnya asupan nutrisi terutama pada
organogenesis. Dilain pihak dalam percobaan pada binatang menunjukkan
bahwa suplai bermacam nutrisi yang berlebih seperti glukosa dan asam
amino data bersifat embriotoksis dimana keadaan tersebut memicu oksigen
reaktif terhadap protein, lemak dan DNA di mitochondria sehingga terjadi
oksidasi dan kerusakan sel (Stotland, 2009).
15

Pada penelitian menggambarkan bahwa wamita yang melahirkan bayi


dengan kelainan jantung menunjukkan tingginya kadar kolesterol total, LDL
kolesterol, apolipoprotein B, ratio kolesterol total/HDL. Tingginya oksidasi LDL
kolesterol menginduksi apoptosis dan mempengaruhi endothelial growth factor
pembuluh darah yang merupakan faktor penting alam regulasi pembentukan
endokardial (Balsells, 2012). Berikut adalah table kelainan kongenital sehubungan
dengan obesitas dalam kehamilan:
2. Makrosomia
Wanita dengan obesitas, pregestasional diabetes, gestasional diabetes
berisiko untuk melahirkan bayi makrosomia, yaitu bayi dengan BB >90
persentil (LGA, Large for Gestasional Age) atau 4,5kg atau >2 SD.
Prevalensi bayi LGA lebih sering pada wanita obesitas dibandingkan
dengan wanita dengan pregestasional diabetes (Buscher, 2012). Kadar
trigliserid pada wanita obesitas merupakan prediktor yang baik untuk
memperkirakan bayi makrosomia pada wanita tersebut baik dengan atau
tanpa disertai diabetes dalam kehamilan (Shaikh, 2010).

3. Prematuritas
Dari beberapa literatur menunjukkan perbedaan pendapat bahwa obesitas
menyebabkan prematuritas, tetapi lebih cenderung prematuritas disebabkan
oleh penyakit yang diderita oleh ibu yang mana risiko kejadiannya
meningkat apabila ibu mengalami obesitas (Vaswani, 2013).

4. Antepartum stillbirth
Dari penelitian didapatkan bahwa peningkatan BMI sebelum hamil
berhubungan dengan kejadian stillbirth, patofisiologi yang menerangkan
peningkatan risiko terjadinya hal tersebut hingga saat ini belum jelas.
Kemungkinannya adalah berhubungan dengan penyakit yang ditimbulkan
oleh obesitas seperti diabetes mellitus dan hipertensi. Penjelasan lain
penyebabnya adalah oleh karena sleep apnoe yang diikuti degan fetal
hipoksia, kelainan metabolisme ibu seperti hiperlipidemia sehingga terjadi
16

plasenta atau kesulitan ibu dalam menilai perburukan gerakan bayi (Huda,
2010).
Risiko terjadinya stillbirth pada wanita hamil dengan obesitas 2-5 kali lebih
tinggi dibandingkan wanita dengan BMI normal. Risiko stillbirth pada
obesitas menigkat seiring pertambahan usia kehamilan. Studi epidemiologi
menunjukkan pada obesitas kelas III risiko terjadinya stillbirth 1,5 kali lebih
tinggi dibandingkan obesitas kelas I. Studi tersebut juga menyatakan bahwa
wanita hamil dengan BMI overweight, obesitas kelas I, dan obesitas kelas II
risiko stillbirth pada usia kehamilan 30-42 minggu, berbeda pada obesitas
kelas III dan BMI >50kg/m2 dimana risikonya meningkat cepat seiring
bertambahnya usia kehamilan (Yao dkk, 2014).

5. Morbiditas perinatal
Bayi yang lahir dari ibu dengan obesitasberisiko tinggi untuk dirawat di
Neonatal Intensive Care Unit (NICU) oleh karena aspirasi meconium dan
distosia bahu, selain itu juga obesitas berhubungan dengan hipoglikemia,
jaundice dan gangguan pernafasan bayi. Sedangkan hubungan antara
obesitas dengan early neonatal death belum dapat dipahami secara jelas,
tetapi dari 3 penelitian menunjukkan kedua hal tersebut berhubungan,
sedangkan pada penelitian lain memperlihatkan hubungan antara early
neonatal death dengan wanita obesitas primipara (Rowlands, 2010).

6. Kejadian obesitas pada anak yang lahir dari ibu obesitas


Dari beberapa literatur menjelaskan bahwa keadaan pada anak dikemudian
hari telah terprogram sejak awal konsepsi alam kandungan. Hal tersebut
dipengaruhi oleh beberapa faktor seperti nutrisi dan hormon yang berperan
terhadap fungsi organ tubuh dan sistem yang meregulasinya sehingga jika
terjadi gangguan pada saat awal pengaturan tersebuut maka berimplikasi
pada keadaan seperti obesitas dan diabetes atau berbagai macam penyakit
lainnya (Harder, 2012).
Pada penelitian epidemiologi didapatkan bahwa wanita hamil obesitas
dengan janin overnutrisi berpotensi untuk tumbuh menjadi obesitas.
17

Penelitian tersebut menunjukkan bayi yang lahir dari ibu obesitas memiliki
massa lemak yang lebih banyak dibandingkan dengan bayi yang lahir dari
ibu dengan BMI normal (Adamo dkk, 2013).
Penting untuk diperhatikan bahwa bayi yang terlahir dari ibu overweight
atau obesitas 2 kali berisiko untuk menjadi obesitas pada usia 24 bulan dan
anak-anak dengan BMI yang lebih dari normal cenderung untuk mengalami
BB lebih pada usia 12 tahun (Desai dkk, 2014).
Pada penelitian di Amerka Serikat mengungkapkan bahwa tiap peningkatan
1 kg BB bayi baru lahir meningkatkan kecenderungan sebesar 5% untuk
terjadinya overweight saat remaja. Selain itu juga dari penelitian tersebut
menyatakan bahwa bayi yang lahir dengan BB lebih tersebut sangat
dipengaruhi oleh status BB ibu sebelum hamil maupun selama kehamilan
(Paliy, 2014).

Gambar.1 Hubungan potensial antara BB ibu selama dan setelah kehamilan dengan risiko
peningkatan BB pada bayinya (Paliy, 2014).

II.7 Manajemen Antenatal


Diperlukan manajemen yang tepat dan berkelanjutan dengan melibatkan
beberapa disiplin ilmu guna memperoleh hasil kehamilan yang optimal.
1. Trimester I
Pemeriksaan USG wajib dilakukan untuk menentukan usia kehamilan dan
keadaan hasil konsepsi mengingat keadaan seperti disfungsi ovulasi dan
oligomenorrhea sering terjadi pada wanita dengan obesitas untuk
18

penentuaan usia kehamilan berdasarkan dari hari pertama menstruasi


terakhir (HPHT) sulit ditentukan. Pemeriksaan fisik yang menyeluruh
harus dilakukan dan lebih ditekankan sehingga informasi yang didapatkan
bisa menegakan suatu kelainan medis seperti DM, gangguan kelenjar
tiroid, hipertensi, penyakit hati dan kandung empedu, sleep apnea serta
penyakit jantung yang sering terjadi pada wanita dengan obesitas.
Pemeriksaan laboratorium sebagai prosedur rutin juga dapat dilakukan
seperti pemeriksaan hati, ginjal, gula darah, asam urat, dan urin tampung
24 jam untuk mengevaluasi adanya protein urin pada obesitas kelas III,
termasuk pemeriksaan ekokardiografi untuk mengevaluasi adanya
kardiomiopati. Wanita hamil dengan obesitas juga mungkin memerlukan
konsultasi dengan spesialis paru, jantung, endokrin, atau yang lainnya
tergantung indikasi yang ada dan yang tidak kalah pentingnya adalah
bahwa pada wanita tersebut juga, harus dijelaskan perihal kemungkinan
hasil akhir yang buruk dari kehamilan tersebut baik itu terhadap hasil
konsepsinya atau bagi ibu sendiri (Gunatilake, 2011).

Wanita hamil dengan obesitas juga harus diingatkan sehubungan dengan


peningkatan risiko abortus spontan 2 kali lipat lebih sering terjadi dibandingkan
dengan wanita dengan BMI normal. Obesitas juga berisiko untuk terjadinya
kelainan kongenital seperti yang telah disebutkan sebelumnya (Gunatilake, 2011).
Pasien obesitas harus mendapatkan konseling tentang diet nutrisi
sehubungan dengan penamabahan BB selama kehamilan karena penambahan BB
yang berlebih berhubungan erat dengan bayi makrosomia, tindakan operatif
pervaginam, SC serta komplikasi pada neonatal dengan meningkatnya perawatan
di NICU. Pasien juga harus ditekankan bahwa tujuan utama yang ingin dicapai
selama kehamilan adalah pertambahan BB yang terbatas bukan penurunan BB.
Dari beberapa penelitian menunukkan bahwa komplikasi seperti preeklamsia,
IUGR, bayi makrosomia dapat berkurang apabila penambahan BB selama
kehamilan pada obesitas kelas II dan III kurang dari 10 pon (4,5 kg). Berikut
adalah tabel pertambahan BB yang direkomendasikan selama kehamilan termasuk
pada penderita obesitas (Vinter, 2012).
19

Wanita yang hamil harus mengatur penambahan BB mereka berdasarkan


BMI sebelum hamil seperti yang ditunjukkan pada tabel diatas.
Berikut adalah prosedur yang direkomendasikan oleh NICE (National
Institutes of Health Care Excellence) sehubungan dengan nutrisi dan aktivitas
sebelum konsepsi dan selama kehamilan.

Jika wanita hamil memiliki aktivitas yang rendah direkomendasikan untuk


melakukan aktivitas ringan selama 15 menit 3 kali seminggu kemudian dapat
ditingkatkan selama 30 menit setiap hari sesuai yang dapat ditoleransi, ACOG
(American Congress of Obstetrician and Gynaecologists) dan RCOG (Royal
College of Obstetricians and Gynaecologists) merekomendasikan aerobik seperti
yang telah ditunjukkan pada halaman sebelumnya. Sedangkan bagi ibu hamil
yang aktivitasnya telah tinggi maka tidak dianjurkan untuk melakukan olah raga
yang berlebihan. Nutrisi yang seimbang dan olah raga yang sesuai dapat
memberikan dampak yang baik bagi wanita hamil dengan obesitas (Buschur,
2012).
2. Trimester II
Manajemen pada trimester II ini melanjutkan apa yang telah dilakukan pada
trimester I perihal adanya kelainan kongenital sehubungan dengan tingginya
risiko tersebut pada wanita hamil dengan obesitas. Kemungkinan terjadinya
kelainan kongenital seperti defek tabung neural dan malformasi jantung
dilaporkan memiliki prevalensi bahwa sangat tinggi termasuk, hernia
diafragmatika, hydrocephalus, hipospadia, kista ginjal, omfakokel, dan
orofacial cleft. Atas dasar itulah, maka pasien obesitas harus dijadwalkan
untuk dilakukan pemeriksaan USG untuk fetal anatomi skaning pada
pertengahan trimester serta dipertimbangkan untuk dilakukan fetal
ekokardiografi antara 22-24 minggu usia kehamilan. Menjadi sebuah
tantangan bahwa pemerikaan USG pada wanita obesitas akan lebih sulit
dilakukan mengingat anatominya sehingga membutuhkan pemeriksaan pada
trimester selanjutnya (Gunatilake, 2011).
20

Apabila didapatkan suatu kelainan anatomi maka diperlukan suatu tindakan


invasif selanjutnya yaitu dapat berupa amniocentesis atau pengambilan villi
chorion walaupun tindakan ini akan lebih sulit dilakukan pada wanita
obesitas dan belum ada data yang menunjukkan komplikasi yang terjadi
pada wanita tersebut sehubungan dengan tindakan invasif yang dilakukan.
Tujuan lainnya yang ingin dicapai pada trimester ke-2 ini adalah tentang
penambahan BB dan diet yang direkomendasikan, perbaikan terhadap
faktor-faktor ko-morbid apabila ditemukan sebelumnya, serta konsultasi ke
disiplin ilmu lainnya apabila dibutuhkan (Gunatilake, 2011).

3. Trimester 3
Pada trimester III merupakan suatu periode kritis dimana masalah ibu-janin
mulai menunjukkan manifestasinya secara klinis dan berkontribusi terhadap
hasil luaran yang tidak baik. Obesitas sangat berisiko untuk terjadinya
kelahiran prematur tersebut lebih diakibatkan oleh komplikasi medis yang
terjadi seperti DM dan hipertensi. Data terbaru juga bahwa tingginya BMI
prakonsepsi serta pertambahan BB selama kehamilan berkorelasi dengan
lamanya usia kehamilan yang tampak dengan tingginya risiko kehamilan
postterm serta meningkatnya kebutuhan untuk dilakukannya induksi
persalinan (Gunatilake, 2011).
Pasien obesitas dengan hipertensi kronis harus dimonitoring secara ketat
karena sangat berisiko untuk berkembang menjadi superimposed
preeklamsia. Ketika pemeriksaan tekanan darah dilakukan pada pasien
tersebut, maka yang perlu diperhatikan adalah pemakaian cuff yang sesuai.
Pada pasien obesitas yang telah dilakukan skrinning gula darah pada
trimester awal dan hasilnya normal maka dapat dilakukan pemeriksaan
ulang pada usia kehamilan 24 - 28 minggu. Secara epidemiologi wanita
hamil dengan obesitas memiliki risiko 2 - 3 kali lebih besar
kemungkinannya untuk terjadinya IUFD (Intra Uterine Fetal Death),
walaupun faktor-faktor ko-morbid seperti DM, dan hipertensi sudah
terkontrol. Mekanisme pasti terjadinya hal tersebut sampai saat ini belum
secara jelas bagaimana terjadinya hal itu yaitu bahwa obesitas meningkatkan
21

mediator inflamasi yang berakibat pada disfungsi endothelial, termasuk


kadar gula darah yang tidak terkontrol pada DM, yang tidak terdiagnosa
sebelumnya juga memainkan peranan penting untuk terjadinya fetal
anomaly. Sehingga hal ini menjadi menjadi alas an untuk melakukan
pemeriksaan antenatal yang lebih sering pada trimestel ke-3 (Gunatilake,
2011).
Wanita hamil dengan obesitas 2 kali berisiko melahirkan bayi makrosomia
dengan segala sekuele yang ditimbulkannya walaupun faktor
predisposisinya seperti DM sudah dikontrol. Bukan hanya bayi makrosomia
yang ditemukan pada kehamilan dengan obesitas tetapi juga IUGR (Intra
Uterine Growth Restriction) hal ini terjadi terlebih apabila sudah ada
penyakit penyerta seperti DM, dan hipertensi. Oleh karena sulitnya
mengevaluasi pertumbuhan janin melalui pengukuran tingi fundus uterus
(TFU) sehubungan dengan anatomi wanita obesitas maka pengukuran
dengan USG sangat dianjurkan. Informasi yang didapatkan digunakan
sebagai dasar pemilihan “Mode of Delivery” (MOD) (Gunatilake, 2011).
Berikut adalah manajemen praktis sehubungan dengan wanita hamil dengan
BB lebih atau obesitas (Shaikh, 2010) :

a. Konseling prakonsepsi
i. Perubahan gaya hidup.
ii. Konsumsi asam folat 5 mg jka BMI > 35.
iii. Pemberian vitamin D 10 ug selama hamil dan menyusui.

b. Antenatal
i. Pencatatan tinggi dan BB selama kehamilan.
ii. Pencatatan obesitas sebagai faktor risiko dan konsultasikan pada
disiplin ilmu lain secara tepat.
iii. Ukur tekanan darah dengan menggunakan ukuran cuff yang
sesuai.
iv. Identifikasi faktor risiko tromboemboli dan berikan pencegahan
yang tepat.
22

v. Lakukan pemeriksaan gula darah.


vi. Konsultasi dengan ahli anastesi dan rencana persalinan.

c. Perinatal
i. Perencanaan persalinan di fasilitas kesehatan yang tersedia ahli
kebidanan dan anestesi.
ii. Antisipasi terhadap kesulitan sehubungan dengan tindakan
intubasi dan epidural.
iii. Manajemen aktif kala III.
iv. Pemberian antibiotic profilaksis sebelum tindakan bedah.
v. Identifikasi faktor risiko terjadinya tromboemboli dan gunakan
pencegahan yang tepat.

d. Postpartum
i. Motivasi untuk pemberian ASI.
ii. Pemberian informasi dan edukasi sehubungan dengan perubahan
pola hidup dan perencanaan yang beikutnya .
iii. Jika sebelumnya dengan diagnose DMG maka sarankan
pemeriksaan rutin sehubungan dengan kemungkinan terjadinya
DM tipe II.

4. Ultrasonografi (USG)
Waktu yang tepat untuk skrinning anatomi janin adalah pada usia
kehamilan 18-22, minggu, kemampuan sonografer untuk
mengevaluasi sangat dipengaruhi oleh ukuran tubuh pasien.  15%
dari struktur normal yang tampak akan kurang optimal pada wanita
dengan BMI diatas 90 persentil. Pada wanita tersebut 63% dari
struktur yang akan tampak dengan jelas. Struktur anatomi secara
umum akan kurang jelas seiring dengan peningkatan termasuk denyut
jantung janin (DJJ), tulang be;akang, diafragma, ginal dan tali pusat.
Visualisasi tulang belakang fetus dilaporkan berkurang dari 43%
menjadi 29% pada wanita obesitas dibandingkan dengan BMI normal
23

sehingga dengan mengulang evaluasi 2-4 minggu kemudian akan


mengurangi tidak optimalnya penilaian sebelumnya. Penilaian
anatomi janin pada wanita obesitas sebaiknya dilakukan pada usia 20-
22 minggu. Suatu tantangan terhadap penggunaan USG pada wanita
obesitas dimana terjadi peningkatan risiko kelainan kongenital.
Nuthalapathy dan Rouse menjelaskan tentang hasil dari 17 penelitian
yang dilakukan sejak tahun 1978 - 2003 didapatkan hubungan antara
BMI sebelum hamil dengan kejadian kelainan kongenital, mereka
melaporkan terjadi peningkatan 2 kali lipat defek tabung saraf.
Perkiraan BB janin dengan USG tidak lebih superior dibandingkan
dengan pemeriksaan fisik. Meskipun kedua metode tersebut memiliki
kesalahan sebesar 10%, pada suatu laporan yang disampaikan oleh
Field dkk. 30% perkiraan BB janin dengan USG pada wanita obesitas
setelah melahirkan menunjukkan perbedaan > 10% dengan BB
sebenarnya (Schaefer-Graf, 2012).

II.8. Persalinan
Persalinan adalah suatu proses pengeluaran hasil konsepsi (janin dan
plasenta) yang dapat hidup ke dunia luar dari rahim melalui jalan lahir atau
dengan jalan lahir (Mochtar,1998).
Persalinan adalah proses menipis dan membukanya serviks, dan janin
turun kedalam jalan lahir. Persalinan dan kelahiran merupakan kejadian fisiologi
yang normal adalah proses pengeluran janin yang terjadi pada kehamilan cukup
bulan (37 - 42 minggu), lahir spontan dengan presentasi belakang kepala yang
berlangsung dalam 18 jam, tanpa komplikasi baik pada ibu maupun pada janin
(Prawirohrajo, 2006).
Persalinan adalah suatu proses yang dialami, peristiwa normal, namun
apabila tidak dikelola dengan tepat, dapat berubah menjadi abnormal (Mufdillah
& Hidayat, 2008).
Faktor-faktor yang berperan penting dalam proses persalinan adalah faktor
yang berasal dari kondisi ibu sendiri dalam menghadapi persalinan dan kondisi
janin dalam kandungan, yaitu:
24

1. Faktor kekuatan his


Adalah tenaga atau kekuatan yang dihasilkan oleh kontraksi dan retraksi
otot-otot rahim ditambah kerja otot-otot volunter dari ibu, yaitu kontraksi
otot perut dan diafragma sewaktu ibu mengejan. Kesulitan dalam jalannya
persalinan karena kelainan tenaga his adalah his yang tidak normal, baik
kekuatan maupun sifatnya sehingga menghambat kelancaran persalinan.
Kelainan his sering dijumpai pada primigravida tua. Faktor yang memegang
dalam kekutan his antara lain faktor herediter, emosi, ketakutan dan salah
pimpinan persalinan.

2. Faktor jalan lahir.


Faktor jalan lahir yang dapat berpengaruh terhadap tejadinya komplikasi
persalinan antara lain ukuran panggul yang sempit, kelainan pada vulva,
kelainan vagina, kelainan serviks uteri, uterus dan ovariium. Kelainan-
kelainan ini dapat terdeteksi secara dini dengan pemeriksaan kehamilan
yang adekuat oleh karena itu faktor pemeriksaan kehamilan sangat penting
memperkirakan proses persalinan.

3. Faktor Bayi atau Janin.


Faktor yang sangat berpengaruh terhadap proses persalinan pada keadaan
normal adalah bentuk bayi, berat badan, posisi dan letak dalam
perkembangan sampai pada akhir kehamilan dan siap untuk dilahirkan. Bayi
mempunyai kekuatan untuk mendorong dirinya keluar, sehingga persalinan
berlangsung secara spontan. Kelainan pada faktor bayi yang dapat
menyulitkan proses persalinan berhubungan dengan faktor gizi ibu, infeksi
bakteri/virus selama kehamilan seperti Toxoplasma, trauma yang dapat
mengakibatkan gangguan pertumbuhan dan perkembangan janin dalam
kandungan. Persalinan yang disebabkan oleh kelainan janin/bayi antara lain:
a. Kelainan letak kepala
b. Letak sungsang
25

c. Letak melintang
d. Presentasi rangkap/ganda
e. Kelainan bentuk dan besar janin dan tali pusat menumbung.

Kelainan janin selama dalam kandungan dapat terdeteksi secara dini apabila
ibu mlakukan pemeriksaan kehamilan ANC secara rutin minimal 4 kali
selama kehamilan dan mulai awal kehamilan pada tenaga kesehatan.

II.9. Mekanisme Persalinan Normal


Masuknya kepala ke dalam pintu atas panggul pada primigravida sudah
terjadi pada bulan terakhir kehamilan tetapi pada multipara biasanya baru terjadi
pada permukaan persalinan. Masuknya kepala kedalam pintu atas panggul
biasanya dengan sutura sagitalis melintang dan dengan fleksi yang ringan.
Apabila sutura sagitalis berada di tengah-tengah jalan lahir, tepat di antara
simfisis dan promontorium, maka dikatakan kepala dalam keadaan synclitismus.
Pada synclitismus os parietal depan dan belakang sama tingginya. Jika sutura
sagitalis agak kedepan mendekati simfisis atau agak ke belakang mendekati
promontorium maka dikatakan asynclitismus (Prawirohardjo, 2002).
Pada primigravida majunya kepala terjadi setelah kepala masuk kedalam
rongga panggul dan biasanya baru mulai pada kala II. Pada multipara sebaliknya
majunya kepala dan masuknya kepala ini bersamaan dengan gerakan-gerakan
yang lain yaitu fleksi, putaran paksi dalam dan ekstensi. Penyebab majunya kepala
antara lain adalah tekanan cairan intrauterine, tekanan langsung oleh fundus pada
bokong, kekuatan menegejan, dan melurusnya badan anak oleh perubahan bentuk
rahim (Prawirohardjo, 2002).
Dengan majunya kepala biasanya fleksi bertambah hingga ubun-ubun kecil
lebih rendah dari ubun-ubun besar. Fleksi ini disebabkan karena anak didorong
maju dan sebaliknya mendapat tahanan dari pinggir pintu atas panggul, serviks
dan dasar panggul (Prawirohardjo, 2002).
Setelah putaran paksi dalam selesai dan kepala sampai di dasar panggul
maka terjadilah ekstensi atau defleksi dari kepala. Hal ini disebabkan karena
sumbu jalan lahir. Pintu bawah panggul mengarah ke depan atas, sehingga kepala
26

harus mengadakan ekstensi untuk melaluinya setelah suboksiput tetahan pada


pinggir bawah simfisis akan maju karena kekutan tersebut di atas bagian yang
berhadapan dengan suboksiput, maka lahirlah berturut-turut pada pinggir atas
perineum, ubun-ubun besar, dahi, hidung, mulut dan akhirnya dagu dengan
gerakan ekstensi. Suboksiput yang menjadi pusat pemutaran disebut hypomoclion
(Prawirohardjo, 2002).

II.10. Mekanisme Persalinan Pada Wanita Obesitas


Pengukuran tanda-tanda vital pada pasien dengan obesitas juga terkadang
menimbulkan kesulitan, contohnya dalam pengukuran tekanan darah karena
jaringan lemak yang tebal maka membutuhkan cuff yang tepat untuk
menghasilkan pengukuran yang akurat. Pada wanita hamil dengan obesitas yang
inpartu harus dilakukan observasi tanda vital secara ketat termasuk monitoring
janin yang mana akan lebih sulit sehubungan dengan anatomi ibu. Yang perlu
ditekankan bahwa pada pasien dengan obesitas memiliki risiko untuk
pemanjangan waktu dari fase aktif dan terkadang membutuhkan akselerasi dengan
oksitosin yang dosisnya lebih tinggi dari dosis untuk wanita dengan BMI normal
(Gunatilake, 2011).
Wanita hamil inpartu dengan BMI > 30 kg/m 2 memiliko risiko 1,5 kali
sedangkan BMI > 40 kg/m2 berisiko 1,5 2 kali untuk persalinan yang berakhir
dengan operative vaginal delivery, yang mana berkaitan dengan tingginya angka
morbiditas baik terhadap bayi maupun ibu. Dari beberapa laporan juga
mengatakan kejadian distosia bahu (2,7 kali) dan trauma jalan lahir sering terjadi
pada wanita hamil dengan obesitas (Gunatilake, 2011).
Obesitas juga berkontribusi terhadap terjadinya kegagalan induksi
persalinan. Pada suatu analisa diperoleh data bahwa wanita dengan BMI > 40
kg/m2 membutuhkan kadar oksitosin yang lebih tinggi dan waktu lebih lama (5,0
unit dan 8,5 jam) dibandingkan dengan BMI normal (2,6 unit dan 6,5 jam). Pada
penelitian di Eropa yang mengobservasi > 200.000 persalinan ditemukan wanita
dengan BMI > 40 kg/m2 berisiko 4 kali untuk dilakukan SC oleh karena tidak
adanya kemajuan persalinan, bahkan apabila terjadi persalinan normal maka
kemajuan persalinannya lebih lambat pada wanita obesitas, pada penelitian
27

prosprektif terhadap 509 nullipara didapatkan rata-rata kemajuan dilatasi serviks 4


- 10 cm lebih lama pada wanita overweight dan obesitas dibandingkan dengan
BMI normal (7,5 ; 7,9 ; 6,2 jam), mekanisme terjadinya keadaan ini hingga saat
ini belum diketahui secara pasti (Gunatilake, 2011). Namun pada percobaan in
vitro saat operasi SC didapatkan gangguan kontraksi dari myometrium, gangguan
tersebut dalam demonstrasi disebabkan oleh kurangnya atau terganggunya lalu
lintas ion kalsium yang mungkin disebabkan oleh perubahan viskositas dan
kestabilan membrane sel karena tingginya kadar kolesterol. Pendapat lain juga
menyatakan bahwa leptin, yaitu suatu bahan yang dilepaskan oleh jaringan lemak
menghambat pelepasan oksitosin sehingga menghambat kontraksi uterus
(Bogaerts, 2013).
Data dari berbagai penelitian menggambarkan bahwa terjadi peningkatan
SC emergensi maupun elektif pada wanita hamil dengan obesitas, dan korelasi
positif ini bukan hanya dilihat dari BMI sebelum hamil tapi juga oleh karena
pertambahan BB yang masif saat hamil. Pada penelitian lain terhadap > 16.000
pasien didapatkan angka SC pada wanita hamil normal sebesar 20,7% di
bandingkan dengan wanita hamil dengan obesitas sebesar 33,8% (BMI 30-34,0
kg/m2) , sedangkan wanita dengan BMI > 35 kg/m 2 kejadian SC mencapai 50%.
Risiko tersebut berkaitan erat dengan komplikasi obesitas terhadap kehamilan
seperti bayi makrosomia, bayi IUGR, DM dan hipertensi. SC pada obesitas juga
sangat berisiko dan berkaitan erat dengan terjadinya ruptur uterus, plasenta previa,
plasenta akreta termasuk kejadian morbiditas peri operatif seperti trauma saat
operasi, perdarahan, meningkatnya perawatan di ICU (Intensive Care Unit) dan
kebutuhan untuk dilakukan transfusi (Gunatilake, 2011)

Meningkatnya jumlah persalinan SC pada wanita hamil dengan obesitas


dapat meningkatkan risiko terjadinya komplikasi setelah operasi dan termasuk
peningkatan morbiditas infeksi dan kejadian thromboemboli. Begitu juga
meningkatnya risiko komplikasi pada saat anastesi, seperti kegagalan intubasi
pada saat anastesi endotrakeal umum (Gunatilake, 2011).

Table.2.11. Rekomendasi untuk meminimalisasi komplikasi intraoperatif yang


terjadi pada wanita hamil dengan obesitas (Soens dkk, 2008)
28

Alasan ibu hamil dengan obesitas diharuskan untuk melakukan persalinan


SC masih belum diketahui, akan tetapi terdapat teori yang menunjukkan bahwa
ibu hamil dengan obesitas lebih berisiko untuk terjadinya penyulit persalinan.
Tingkat dilatasi serviks pada ibu nullipara dengan persalinan spontan menurun
bersamaan dengan IMT ibu yang meningkat. Ibu hamil dengan BB normal (IMT
19,8 - 26,0kg/m2) memerlukan waktu rata-rata 5,43 jam untuk mengalami dilatasi
serviks dari 4 cm sampai 10 cm, sedangkan pada ibu hamil dengan obesitas (IMT
> 29.0 kg/m2) memerlukan waktu 6,98 jam. Ini tampaknya juga terjadi pada ibu
hamil yang menjalani induksi persalinan aterm (Vahratian dkk, 2004). Meskipun
pada ibu hamil yang multipara berkembang lebih cepat selama persalinan
dibandingkan dengan ibu hamil yang nullipara. Pada kedua kelompok tersebut
peningkatan BB ibu dikaitkan dengan tingkat penurunan dilatasi serviks dan
peningkatan durasi persalinan (Nuthalapaty dkk, 2004). Menunjukkan bahwa IMT
ibu hamil yang lebih tinggi pada trimester pertama dan meningkatnya IMT ibu
selama kehamilan dikaitkan dengan menurunnya kejadian persalinan spontan,
peningkatan risiko pasca kehamilan dan meningkatnya komplikasi pasca
persalinan (Denision dkk, 2008).

II.11. Penyulit persalinan


Persalinan yang normal dialami oleh seorang ibu berupa pengeluaran hasil
yang hidup dalam uterus melalui vagina ke dunia luar, tetapi keadaan fisiologi
bisa menjadi patologis sehingga diperlukan pengeluaran melalui dinding perut
yaitu dengan SC (Maphia, 2011).
Di negara berkembang SC merupakan pilihan terakhir untuk
menyelamatkan ibu dan janin pada saat kehamilan atau persalinan kritis. Peneliti
juga berasumsi bahwa proses persalinan tidak selamanya berlangsung fisiologik,
dapat pula secara patologik sehingga pemilihan cara persalinan dilakukan dengan
pertimbangan-pertimbangan demi keselamatan ibu dan bayi. Untuk ibu bersalin
dengan penyulit persalinan, cara persalinan yang paling sering di pilih adalah
dengan persalinan seksio sesarea untuk segera menyelamatkan ibu maupun janin.
29

(Sibuen, 2007). Beberapa faktor yang mempengaruhi kelancaran persalinan


adalah seperti berikut:
1. Kekuatan his
His kurang adalah kelainan dengan kekuatan kontraksi lemah atau tidak
adekuat dan frekuensinya jarang untuk melakukan pembukaan serviks untuk
mendorong anak keluar (Nur Cahyo, 2011).
His yang tidak normal dalam kekuatan dan sifatnya menyebabkan rintangan
pada jalan lahir yang lazim terdapat pada setiap persalianan dan tidak dapat
diatasi sehingga persalinan mengalami hambatan (Marlina, 2010).
Kesulitan dalam jalannya persalinan(distosia) karena kelainan tenaga his
adalah his yang tidak normal atau lemah, baik kekuatan maupun sifatnya
sehingga dapat menghambat kelancaran persalinan. Peneliti juga berasumsi
bahwa karakteristik penyulit persalinan pada ibu adalah kekuatan his yang
kurang atau lemah (Kusumawati, 2007).

2. Letak Janin
Letak sungsang adalah keadaan dimana janin terletak memanjang dan
kepala di fundus uteri dan bokong berada dibawah kavum uteri.
Pemeriksaan letak sungsang umumnya tidak sulit yaitu pada saat ANC.
Pada pemeriksaan luar, kepala teraba di fundus uteri sementara pada bagian
bawah uterus teraba bokong yang tidak dapat digerakkan semudah kepala
(Servianus, 2011).
Faktor letak bayi atau janin sangat berpengaruh terhadap proses persalinan.
Bayi dengan letak sungsang merupakan salah satu indikasi terjadinya
penyulit dalam persalinan karena pada keadaan normal bayi mempunyai
kekuatan mendorong dirinya keluar sehingga persalinan berjalan spontan.
Untuk mencegah terjadinya penyulit persalinan selama kehamilan atau
dalam kandungan ibu harus melakukan pemeriksaan kehamilan/ANC secara
rutin minimal 4 kali selama kehamilan agar kelainan letak janin dapat
terdeteksi secara dini dan dapat dilakukan upaya-upaya pencegahannya
(Kusumawati, 2007).
30

3.Ukuran panggul
Pada panggul yang ukuran kecil atau sempit akan terjadi disproporsi dengan
kepala janin sehingga kepala janin tidak dapat melewati panggul meskipun
ukuran janin berada dalam batas normal (Maphia, 2011).
Setiap bagian panggul ibu dengan diameter kecil, dapat memperpanjang
lamanya persalinan/membuat persalinan tidak efisiensi (Marlina, 2010).

4. Paritas
Persalinan yang pertama kali biasanya memiliki risiko yang relatif tinggi
terhadap ibu dan anak, akan tetapi resiko ini akan menurun pada paritas
kedua dan ketiga dan akan meningkat lagi pada paritas ke empat dan
seterusnya. Paritas yang paling aman jika di tinjau dari sudut kematian
maternal adalah paritas 2 dan 3. Oleh karena itu ibu yang memiliki paritas
pada penelitian ini lebih banyak melakukan persalinan dengan adanya faktor
penyulit (Sibuen, 2007).
Bahwa ibu yang melahirkan pertama kali memiliki keungkinan terdapat
komplikasi pada persalinannya karena pengalaman melahirkan yang belum
pernah (Marlina, 2010).

5. Riwayat Penyakit
Ibu hamil dengan riwayat penyakit kronik dapat terindikasi mengalami
komplikasi/penyulit pada persalinannya yang bisa berakibat keadaan gawat
janin, maupun gawat ibu yang mengancam nyawanya (Rohani, 2007).
Ibu dengan riwayat penyakit penyerta pada saat hamil memiliki proporsi
lebih besar mengalami penyulit persalinan (Hamdayani, 2007).
Bahwa presentase tertinggi yang menyebabkan penyulit persalinan adalah
jantung, hipertensi, diabetes mellitus, ginjal, paru dan penyakit kronik
lainnya. Penyakit yang diderita oleh ibu yang didapat baik sebelum hamil
maupun sementara hamil mungkin akan mempengaruhi kehamilannya dan
dapat menjadi faktor penyulit dalam proses persalinan sehingga hal ini harus
di deteksi dan di cegah sedini mugkin karena dapat mengakibatkan
kematian bagi ibu maupun janin yang dikandungnya (Servianus, 2011).
31

II.12. Penyimpangan Jalan Lahir


Persalinan yang normal adalah apabila ketiga faktor penting telah
membuktikan kerja sama yang baik sehingga persalinan berlangsung spontan,
aterm dan hidup. Keadaan demikian menunjukkan bahwa ketiga faktor Power (P),
Passage (P) dan Passenger (P) telah bekerjasama dengan baik tanpa terdapat
intervensi sehingga persalinan berjalan dengan mulus. Dapat pula ditambahkan
faktor lainnya, seperti faktor kejiwaan penderita dan penolong tetapi kedua faktor
tambahan tidak banyak berfungsi dlam menentukan jalannya persalinan.
Dengan faktor 3P, kemungkinan besar terdapat kelainan yang
mempengaruhi jalannya persalinan, sehingga memerlukan intervensi persalinan
untuk mencapai well born baby dan well health mother. Persalinan yang
merupakan bantuan dari luar karena terjadi penyimpangan dari 3P disebut
pesalinan distosia. Kelainan yang terdapat pada masing-masing faktor dapat
dirinci sebagai berikut :
1. Power, kekuatan his dan mengejan.
His normal mempunyai sifat :
i. Kontraksi otot rahim mulai dari salah satu tanduk rahim
ii. Fundal dominan, menjalar ke seluruh otot rahim.
iii. Kekutan seperti memeras isi rahim
iv. Otot rahim yang telah berkontraksi tidak kembali ke panjang
semula sehingga terjadi retraksi dan pembentukan segmen bawah
rahim.
Faktor penyebab kelainan his dan mengejar adalah :
a. Inersia uteri : primer, sekunder
His yang sifatnya lemah, pendek dan jarang dari his normal yang terbagi
menjadi :
i. Inersia uteri primer
Bila sejak mula kekuatannya sudah lemah.

ii. Inersia uteri sekunder


His pernah cukup kuat, tetapi mudah melemah
32

Dapat ditegakkan dengan melakukan evaluasi pada pembukaan, pada


bagian terendah terdapat kaput dan mungkin ketuban telah pecah.

His yang lemah dapat menimbulkan bahaya terhadap ibu maupun janin
sehingga memerlukan konsultasi atau merujuk penderita ke rumah sakit,
puskesmas atau dokter spesialis.

b. Tetania uteri
His yang terlalu kuat dan sering, sehingga tidak terdapat kesempatan
relaksasi otot rahim. Akibat dari tetania uteri dapat terjadi :
a. Persalinan presipitatus
Persalinan yang berlangsung dalam waktu 3 jam. Akibatnya
mungking fatal yaitu:
i. Terjadi persalinan bukan pada tempatnya.
ii. Terjadi trauma janin kerana tidak terdapat persiapan dalam
peersalinan.
iii. Trauma jalan lahir ibu yang luas dan menimbulkan
perdarahan, inversi uteri.
iv. Tetani uteri menyebabkan asfiksia intrauterine sampai
kematian janin dalam rahim.

c. His yang tidak terkoordinasi


Inkoordinasi kontraksi otot rahim. Keadaan inkoordinasi kontraksi otot
rahim dapat menyebabkan sulitnya kekuatan otot rahim untuk dapat
meningkatkan pembukaan/pengeluaran janin dalam rahim.
Penyebab inkoordinasi :
i. Faktor usia penderita relatif tua.
ii. Pimpinan persalinan.
iii. Karena induksi persalinan dengan oksitosin.
iv. Rasa takut dan cemas.
d. Salah pimpinan kala 2.
33

2. Passage , jalan lahir


Merupakan komponen yang sangat penting dalam proses persalinan yang terdiri
dari jalan lahir tulang dan jalan lahir lunak. Proses persalinan merupakan proses
mekanis yang melibatkan 3 faktor, yaitu :

1. Jalan lahir
2. Kekuatan yang mendorong
3. Janin yang didorong dalam satu mekanis tertentu dan terpadu.

Dari ketiga komponen tersebut hanya kekuatan (his dan mengejan) yang dapat
dimanipulasi dari luar tanpa membahayakan janin dalam proses persalinan. Jalan
lahir merupakan komponen yang tetap dalam konsep obstetrik tidak dapat diolah
untuk dapat melancarkan proses persalinan kecuali jalan lunak pada keadaan
tertentu tanpa membahayakan janin. Jalan lahir tulang mempunyai kriteria sebagai
berikut :
1. Pintu atas panggul tangan distansia tranversalis kanan dan kiri lebih panjang
dari muka belakang.
2. Mempunyai bidang tersempit pada spina ischiadika.
3. Pintu bawah panggul terdiri dari dua segitiga dengan dasar pada tuber
ischia, ke depan dengan ujung simfisis pubis, ke belakang ujung sakrum.
4. Pintu atas panggul menjadi pintu bawah panggul, seolah-seolah berputar
90°.
5. Jalan lahir depan panjang 4,5cm sedangkan jalan lahir belakang panjangnya
12,5cm.
6. Secara keseluruhan jalan lahir merupakan corong yang melengkung ke
depan, mempunyai bidang sempit pada spina ischiadika, terjadi perubahan
pintu atas panggul leher kanan kiri menjadi pintu bawah panggul dengan
lebar ke depan dan belakang yang terdiri dari dua segitiga.
Dengan demikian jalan lahir tulang sangat menentukan proses persalinan
apakah yang dapat berlangsung melalui jalan biasa/melalui tindakan operasi
dengan kekuatan dari luar.
34

Sebagai kriteria kemungkinan tersebut terutama pada primigravida dapat


diduga bila dijumpai :
1. Kepala janin belum turun pada minggu ke 36 yang disebabkan
janin terlalu besar, kesempitan panggul, terdapat lilitan tali pusat dan
hidrosefalus.
2. Kelainan letak : letak lintang, letak sungsang.
3. Pada nullipara kemungkinan kesempitan panggul dapat diduga
riwayat persalinan yang buruk dan persalinan dengan tindakan
operasi.
Dengan pertimbangan keadaan tersebut dapat diperkirakan persalinan akan
mengalami kesulitan sehingga perlu dikonsultasikan/segera dirujuk agar
mendapatkan penanganan yang adekuat.
Kelainan pada jalan lahir lunak dapat terjadi ganguan pembukaan terutama:
1. Serviks
Serviks yang kaku terdapat pada primigravida tua primer/sekunder dan
serviks yang mengalami cacat perlukaan/sikatriks.
a. Serviks gantung
Osteum uteri eksternum terbuka lebar namun osteum uteri internum
tidak dapat terbuka.
b. Serviks konglumer
Osteum uteri internum terbuka namun osteum uteri eksternum tidak
terbuka.
c. Edem serviks
Terutama karena kesempitan panggul, serviks terjepit antara kepala
dan jalan lahir sehingga gangguan sirkulasi darah dan cairan yang
menimbulkan edema serviks.
d. Serviks duplek karena kelainan kongenital.
e. Vagina

Kelainan vagina yang dapat mengganggu perjalanan persalinan:


a. Vagina septum
i. Transvaginal septum vagina.
35

ii. Longitudinal septum vagina .

b. Tumor pada vagina


c. Himen dan perineum
Kelainan pada himen imperforate atau hymen elastik pada perineum terjadi
kekakuan sehingga memerlukan episiotomy yang luas.
a. Kelainan bentuk panggul
b. Kesempitan panggul
c. Ketidakseimbangan sefalopelvik
d. Kelainan jalan lahir lunak.

3. Passeger
a. Kelainan bentuk dan besar janin (anensefalus, hidrosefalus, janin
makrosomia).
b. Kelainan pada letak kepala (presentasi puncak, presentasi dahi, kelainan
posisi oksiput).
c. Kelainan letak janin (letak sungsang, letak lintang dan atau letak
mengolak, presentasi rangkap (kepala tangan, kepala kaki, kepala tali
pusat).

Kepala janin (bayi) merupakan bagian penting dalam proses persalinan dan
memiliki ciri sebagai berikut :
a. Bentuk kepala oval, sehingga setelah bagian besarnya lahir, maka bagian
lainnya lebih mudah lahir.
b. Persendian kepala berbentuk kogel, sehingga dapat digerakkan ke segala
arah dan emberikan kemungkinan untuk melakukan putar paksi dalam.
c. Letak persendian kepala sedikit ke belakang sehingga kepala melakukan
fleksi untuk putar paksi dalam.

Setelah persalinan kepala ,badan janin tidak akan mengalami kesulitan. Pada
beberapa kasus dengan anak yang besar(makrosomia) dengan ibu dengan
diabetes mellitus terjadi kemungkinan kegagalan persalinan bahu.
36

Persalinan bahu yang berat cukup berbahaya karena terjadi asfiksia.


Persendian leher yang masih lemah dapat merusak pusat-pusat vital janin
yang berakibat fatal.

Persalinan fisiologis menempati jumlah terbesar 97% dengan oksiput


bertindak sebagai hipomoklion dan lingkaran suboksiputo bregmatika
sebesar 32cm melalui jalan lahir. Berbagai posisi kepala janin dalam kondisi
defleksi dengan lingkaran yang melalui jalan lahir bertambah panjang
sehingga menimbulkan kerusakan yang semakin besar. Pada keadaan
presentasi rangkap karena volume janin yang melaui jalan lahir makin besar
disamping terjadi jepitan bagian kecil yang dapat menimbulkan persoalan
baru. Kedudukan rangkap yang paling berbahaya adalah antara tali pusat,
sehingga makin turun kepala makin terjepit tali pusat menyebabkan asfiksia
sampai kematian janin dalam rahim.

4. Tumor pada jalan lahir


a. Kelainan tulang pada jalan lahir
b. Tumor yang berasal dari indung telur, otot rahim (mioma uteri) terfiksir
pada pelvik minor.
c. Tumor yang berasal dari vagina.

Tumor jalan lahir dapat menghalangi turunnya kepala/bagian terendah.


Tumor berasal dari ovarium yang bertangkai, mioma uteri yang bertangkai,
sehingga tidak banyak mengganggu perjalanan persalinan, hanya dengan
jalan mengeluarkan isinya melalui pungsi. Untuk dapat mengetahui secara
dini terjadinya proses persalinan distosia, dilakukan evaluasi setiap faktor
yang mengalami kelainan pungsi sehingga persalinan yang berjalan
abnormal dapat diketahui dengan pasti.

Bentuk intervensi dari luar yang dapat dipertimbangkan adalah :


1. Melakukan induksi persalinan adalah dengan memecahkan ketuban dan
memberikan suntikan/infus oksitosin/lainnya.
37

2. Menyelesaikan persalinan dengan tindakan operasi pervaginam yaitu


persalinan dengan ekstraksi vakum/forceps dan pertolongan persalinan letak
sungsang/lintang.
3. Pertolongan persalinan dengan seksio sesarea

Upaya menyelesaikan pertolongan persalinan dengan intervensi kekuatan


dari luar sehingga setiap persalinan yang diduga akan mengalami kesulitan
sudah dirujuk ke pusat dengan fasilitas yang mencukupi.

II.13. Deteksi dini penyulit persalinan


Salah satu alat bantu untuk memantau kemajuan kala satu persalinan dan
informasi untuk membuat keputusan klinik adalah partograph.
Pemanfaatan partograph pada setiap persalinan kala I aktif .
a. Mencatat hasil observasi dan kemajuan persalinan dengan menilai
pembukan serviks melalui periksa dalam.
b. Mendeteksi apakah proses perasalinan berjalan secara normal. Dengan
demikian juga dapat mendeteksi secara dini kemungkinan terjadinya partus
lama.
c. Data pelengkap yang terkait dengan pemantauan kondisi ibu, kondisi bayi,
grafik kemajuan proses persalinan, bahan dan medikamentosa yang
diberikan, pemeriksaan laboratorium, membuat keputusan klinik dan asuhan
atau tindakan yang diberikan dimana semua itu dicacatkan secara rinci pada
status atau rekam medik ibu bersalin dan bayi baru lahir.

Jika digunakan dengan tepat dan konsisten, partograf akan membantu


penolong persalinan untuk :
a. Mencatat kemajuan persalinan
b. Mencatat kondisi ibu dan janinnya
c. Mencatat asuhan yang diberikan selama persalinan dan kelahiran
d. Menggunakan informasi yang tercatat untuk identifikasi dinipenyulit
persalinan
e. Menggunakan informasi yang tersedia untuk membuat keputusan klinik
yang sesuai dan tepat waktu.
38

Partograf harus digunakan :


1. Untuk semua ibu dalam fase aktif kala satu persalinan dan merupakan
elemen penting dari asuhan persalinan. Partograf harus digunakan
untuk semua persalinan, baiknormal maupun patologis. Parograf
sangat membantu penolong persalinan dalam memantau, mengevaluasi
dan membuat keputusan klinik, baik persalinan dengan penyulit
maupun yang tidak disertai dengan penyulit.
2. Selama persalinan dan kelahiran bayi di semua tempat (rumah,
puskesmas, klinik bidan swasta, rumah sakit dan lain-lain.
3. Secara rutin oleh semua penolong persalinan yang memberikan asuhan
persalinan kepada ibu dan proses kelahiran bayinya (Spesialis obstetri,
Bidan, Dokter umum, Residen dan Mahasiswa kedokteran).
4. Penggunaan partograf secara rutin dapat memastikan bahwa ibu dan
bayinya mendapatkan asuhan yang aman, adekuat dan tepat waktu
serta membantu mencegah terjdinya penyulit yang dapat mengancam
keselamatan jiwa mereka.

Partograf tidak dibuat pada kasus :


i. Pada saat masuk rumah sakit pembukaan > 9 cm
ii. Akan dilakukan seksio sesarea (SC) elektif
iii. Pada saat masuk rumah sakit akan dilakukan seksio sesarea darurat
iv. Partus prematuritas
v. Bekas seksio sesarea 2 kali
vi. Bekas seksio sesarea klasik
vii. Kasus preeclampsia dan eklampsia
viii. Pencacatan selama fase laten kala satu persalinan

Seperti yang sudah dibahas, kala satu persalinan terdiri dari dua fase, yaitu fase
laten dan fase aktif yang diacu pada pembukaan serviks :
- Fase laten : pembukaan serviks kurang dari 4 cm
- Fase aktif : pembukaan serviks dari 4 cm sampai 10 cm
39

Kala Satu Persalinan :


Selama fase laten, semua asuhan, pengamatan dan pemeriksaan harus
dicatat. Hal ini dapat dicatat secara terpisah, baik di catatan kemajuan persalinan
maupun di Kartu Menuju Sehat (KMS) Ibu Hamil. Tanggal dan waktu harus
dituliskan setiap kali membuat catatan selama fase laten persalinan. Semua asuhan
dan intervensi juga harus dicatatkan.
Kondisi ibu dan bayi jug harus dinilai dengan seksama, yaitu :
i. Denyut jantung janin (DJJ) : setiap ½ jam
ii. Frekuensi dan lamanya kontraksi uterus : setiap 4 jam
iii. Nadi : setiap ½ jam
iv. Pembukaan serviks : setiap 4 jam
v. Penurunan bagian terbawah janin : setiap 4 jam
vi. Tekanan darah dan suhu tubuh : setiap 4 jam
vii. Produksi urin, aseton dan protein : setiap 2 sampai 4 jam.

Jika ditemui gejala dan tanda penyulit, penilaian kondisi ibu dan bayi
harus lebih sering dilakukan. Lakukan tindakan yang sesuai apabila pada
diagnosis disebutkan adanya penyulit dalam persalinan. Jika frekuensi kontraksi
berkurang dalam satu atau dua jam pertama, nilai ulang kesehatan dan kondisi
actual ibu dan bayinya. Bila tidak ada tanda-tanda kegawatan atau penyulit, ibu
boleh pulang dengan instruksi untuk kembali jika kontraksinya menjadi teratur,
intensitasnya makin kuat dan frekuensinya meningkat. Apabila asuhan persalinan
dilakukan di rumah, penolong persalinan hanya boleh meniggalkan ibu setelah
dipastikan bahwa ibu dan bayinya dalam kondisi baik. Pesankan pada ibu dan
keluarganya untuk menghubungi kembali penolong persalinan jika terjadi
peningkatan frekuensi kontraksi. Rujuk ibu ke fasilitas kesehatan yang sesuai jika
fase laten berlangsung lebih dari 8 jam.

II.13.1. Pencatatan selama fase aktif persalinan


Halaman depan dengan partograf menginstruksikan observasi dimulai
pada fase aktif persalinan dan menyediakan lajur dan kolom untuk mencatat hasil-
hasil pemeriksaan selama fase aktif persalinan, yaitu :
40

A. Informasi tentang ibu


1. Nama, umur.
2. Gravida, para, abortus.
3. Nomer catatan medik atau nomer puskemas.
4. Tanggal dan waktu mulai dirawat (atau jika dirumah, tanggal dan
waktu penolong persalinan mulai merawat ibu.
5. Waktu pecahnya selaput ketuban.

B. Kondisi janin
1. Denyut jantung janin (DJJ)
2. Warna dan adanya air ketuban
3. Penyusupan (molase) kepala janin
4. Penurunan bagian terbawah atau presentasi janin
5. Garis waspada dan garis bertindak.

C. Jam dan waktu


1. Waktu mulainya fase aktif persalinan
2. Waktu actual saat pemeriksaan atau penilaian.

D. Kontraksi uterus
1. Frekuensi kontraksi dalam waktu 10 menit
2. Lama kontraksi (dalam detik).

E. Obat-obat an dan cairan yang diberikan


1. Oksitosin
2. Obat-obat an lainnya dan cairan intravena yang diberikan.

F. Kondisi ibu
1. Nadi, tekanan darah dan suhu tubuh
2. Urin (volume, aseton dan protein).
41

Asuhan, pengamatan dan keputusan klinik lainnya (dicatat dalam kolom yang
tersedia di sisi partograf atau di catatan kemajuan persalinan).
Mencatat temuan pada partograf
A. Informasi tentang ibu
Lengkapi bagian awal (atas) partograf secara teliti pada saat memulai
asuhan persalinan. Waktu kedatangan ( tertulis sebagai jam atau pukul
pada partograf) dan perhatikan kemungkinan ibu dating dalam fase laten.
Catat waktu pecahnya selaput ketuban.
B. Kondisi Janin
Bagan atas grafik pada partograf adalah untuk pencatatan denyut jantung
janin (DJJ), air ketuban dan penyusupan (kepala janin).
1. Denyut jantung janin (DJJ)
Nilai dan catat denyut jantung janin setiap 30 menit (lebih sering jika
ada tanda-tanda gawat janin). Setiap kotak di bagian atas partograf
menunjukkan waktu 30 menit. Skala angka di sebelah kolompaling kiri
menunjukkan DJJ. Catat DJJ dengan memberi tanda titik pada garis
yang sesuai dengan angka yang menunjukkan DJJ. Kemudian
hubungkan yang satu dengan titik lainnya dengan garis tegas dan
bersambung kisaran normal DJJ terpapar pada partograf diantara garis
tebal pada angka 180 dan 100. Sebaiknya, penolong harus waspada
bila DJJ mengarah hingga dibawah 120 atas diatas 160. Untuk
tindakan-tindakan segera yang harus dilakukan pada ruang yang
tersedia di salah satu dari kedua sisi partograf.

2. Warna dan adanya air ketuban


a. Nilai air kondisi ketuban setiap kali melakukan periksa dalam dan nilai
warna air ketuban jika selaput ketuban pecah.
b. Catat temuan-temuan dalam kotak yang sesuai di bawah lajur DJJ.
c. Gunakan lambang-lambang :
i. U : selaput ketuban masih utuh (belum pecah)
ii. J : selaput ketuban sudah pecah dan air ketuban jernih
42

iii. M : selaput ketuban sudah pecah dan air ketuban bercampur


meconium
iv. D : selaput ketuban sudah pecah dan air ketuban bercampur
darah
v. K : selaput ketuban sudah pecah tapi air ketuban tidak
mengalir lagi (“kering”) .

d. Mekonium dalam cairan ketuban tidak selalu menunjukkan adanya


gawat janin.
e. Jika terdapat mekonium, pantau DJJ dengan seksama untuk mengenali
tanda-tanda gawat janin selama proses persalinan.
f. Jika ada tanda-tanda gawat janin (DJJ <100 atau >180 kali per menit )
maka ibu harus segera dirujuk
g. Tetapi jika terdapat mekonium kental, segera rujuk ibu ke tempat yang
memiliki kemampuan penatalaksanaan gawat daruratan obstetri dan
bayi baru lahir.

3. Penyusupan (Molase) tulang kepala janin


a. Penyusupan adalah indikator penting tentang seberapa jauh kepala bayi
dapat menyesuaikan diri terhadap bagian keras (tulang) panggul ibu.
b. Semakin besar derajat penyusupan atau tumpang tindih antar tulang
kepala semakin menunjukkan risiko disproporsi kepala-panggul
(CPD).
c. Ketidakmampuan untuk berakomodasi atau disproporsi ditunjukkan
melalui derajat penyusupan atau tumpang tindah (molase) yang berat
seingga kepala yang saling menyusup, sulit untuk dipisahkan.
d. Apabila ada dugaan disproporsi kepala-panggul maka penting untuk
tetap memantau kondisi janin serta kemajuan persalinan.
e. Lakukan tindakan pertolongan awal yang sesuai dan rujuk ibu dengan
dugaan proporsi kepala panggul (CPD) ke fasilitas kesehatan rujukan.
f. Setiap kali melakukan periksa dalam, nilai penyusupan antar tulang
(molase) kepala janin.
43

g. Catat temuan yang ada di kotak yang sesuai di bawah lajur air ketuban.
h. Gunakan lambang-lambang berikut ini:
0 : tulang-tulang kepala janin terpisah, sutura dengan mudah
dapat dipalpasi
1 : tulang-tulang kepala janin hanya saling brsentuhan
2 : tulang-tulang kepala janin saling tumpang tindih tetapi
masih dapat dipisahkan
3 : tulang-tulang kepala janin saling tumpang tindih dapat
dipisahkan.

C. Kolom dan lajur kedua partograf aalah untuk pencacatan kemajuan


persalinan.
a. Angka 0-10 yang tertera di kolom paling kiri adalah besarnya dilatasi
serviks.
b. Nilai setiap angka sesuai dengan besarnya dilatasi serviks dalam satuan
centimeter dan menempati jalur dan kotak tersendiri.
c. Perubahan nilai atau perpndahan lajur satu ke lajur yang lain
menunjukkan penambahan dilatasi serviks sebesar 1cm.
d. Pada lajur dan kotak yang mencatat penurunan bagian terbawah janin
tercantum angka 1-5 yang sesuai dengan metode perlimaan seperti
yang telah dijelaskan sebelumnya (menentukan penurunan janin) .
e. Setiap kotak segi empat atau kubus menunjukkan waktu 30 menit
untuk pencatat waktu pemeriksaan, denyut jantung janin, kontraksi
uterus dan frekuensi nadi ibu.

1. Pembukaan Serviks
a. Dengan menggunakan metode yang dijelaskan di bagian pemeriksaan
fisik dalam bab ini, nilai dan catat pembukaan serviks setiap 4 jam
(lebih sering dilakukan jika ada tanda-tanda penyulit).
b. Saat ibu berada dalam fase aktif persalinan, catat pada partograf setiap
temuan dari setiap pemeriksaan.
44

c. Tanda ‘X’ harus dicantumkan di garis waktu yang sesuai dengan lajur
besarnya pembukaan serviks.

Gambar.2. Partograf.
45

II.14. Pemeriksaan Ante Natal Care (ANC)

II.14.1. Pengertian Ante Natal Care (ANC)

Pemeriksaan Antenatal Care (ANC) adalah pemeriksaan kehamilan untuk


mengoptimalkan kesehatan mental dan fisik ibu hamil, hingga mampu
menghadapi persalinan, kala nifas, persiapan pemberiaan ASI dan kembalinya
kesehatan reproduksi secara wajar (Manuaba, 2008).

Pemeriksaan kehamilan merupakan pemeriksaan ibu hamil baik fisik dan


mental serta menyelamatkan ibu dan anak dalam kehamilan, persalinan dan masa
nifas, sehingga keadaan mereka post partum sehat dan normal, tidak hanya fisik
tetapi juga mental (Prawiroharjo, 2005),.

Kunjungan ANC adalah kunjungan ibu hamil ke bidan atau dokter sedini
mungkin semenjak ia merasa dirinya hamil untuk mendapatkan pelayanan/asuhan
antenatal. Pada setiap kunjungan, petugas mengumpulkan dan menganalisis data
mengenai kondisi ibu melalui anamnesis dan pemeriksaan fisik untuk
mendapatkan diagnosis kehamilan intrauterine serta ada tidaknya masalah atau
komplikasi (Saifudin, 2005).

Kunjungan ANC adalah kontak ibu hamil dengan pemberi


perawatan/asuhan dalam hal mengkaji kesehatan dan kesejahteraan bayi serta
kesempatan untuk memperoleh informasi dan memberi informasi bagi ibu dan
petugas kesehatan (Henderson, 2006).

ANC itu meliputi identifikasi dan penanggulangan komplikasi yang


kemungkinan terjadi di obstetrik seperti preklamsia, melakukan pemberian
imunisasi tetanus toksoid, pencegahan intermitten untuk malaria semasa
kehamilan (IPTp), dan identifikasi serta menanggulangi terjadinya penyakit
infeksi termasuk HIV, sifilis dan penyakit menular seksual lainnya (Ornella
Lincetto dkk, 2004).
46

II.14.2 Tujuan Antenatal Care (ANC)

Tujuan Umum

1. Memantau kemajuan kehamilan untuk memastikan kesehatan ibu dan


tumbuh kembang janin.
2. Meningkatkan dan mempertahankan kesehatan fisik, maternal dan
sosial ibu dan bayi.
3. Mengenal secara dini adanya komplikasi yang mungkin terjadi selama
hamil, termasuk riwayat penyakit secara umum, kebidanan dan
pembedahan.
4. Mempersiapkan persalinan cukup bulan, melahirkan dengan selamat
ibu maupun bayinya dengan trauma seminimal mungkin.
5. Mempersiapkan ibu agar masa nifas berjalan normal dan pemberian
ASI Eksklusif.
6. Mempersiapkan peran ibu dan keluarga dalam menerima kelahiran
bayi agar dapat tumbuh kembang secara normal.
7. Menurunkan angka kesakitan dan kematian ibu dan perinatal. Tujuan
ANC adalah untuk menjaga agar ibu hamil dapat melalui masa
kehamilannya, persalinan dan nifas dengan baik dan selamat, serta
menghasilkan bayi yang sehat (Depkes RI, 2004).

Tujuan ANC adalah menyiapkan seoptimal mungkin fisik dan mental ibu
dan anak selama dalam kehamilan, persalinan dan nifas, sehingga didapatkan ibu
dan anak yang sehat (Muchtar, 2005).

Tujuan Khusus

1. Mengenali dan mengobati penyulit-penyulit yang mungkin diderita sedini


mungkin.
2. Menurunkan angka morbilitas ibu dan anak.
3. Memberikan nasihat-nasihat tentang cara hidup sehari-hari dan keluarga
47

berencana, kehamilan, persalinan, nifas dan laktasi.


Tujuan ANC adalah menyiapkan wanita hamil sebaik-baiknya fisik dan
mental serta menyelamatkan ibu dan anak dalam kehamilan, persalinan dan masa
nifas, sehingga keadaan mereka pada post partum sehat dan normal, tidak hanya
fisik tetapi juga mental (Wiknjosastro, 2005).

Mempersiapkan persalinan dan calon orangtua serta mencegah, mendeteksi


dan menanggulangi 3 kelompok masalah yang semasa kehamilan yang dapat
memberi dampak kepada ibu dan anak tersebut yaitu meliputi (Ornella Lincetto
dkk, 2004) :

1. Komplikasi kehamilan itu sendiri


2. Riwayat atau keadaaan ibu itu sebelumnya yang menjadi lebih berat saat
kehamilan
3. Efek atau dampak dari gaya hidup yang tidak sehat
48

II.15. Penelitian Terkait

No. Peneliti Judul Penelitian Hasil


1 Sativa, Pengaruh indeks Cross sectional, dari 1973 didapatkan hasil
2010 tubuh pada wanita 384 sampel tersebut 122 sampel (31,8%)
saat persalinan tergolong IMT obesitas, 74 sampel (19,3%)
terhadap keluaran overweight, 179 sampel (46,6%) normal dan
perinatal di RSUP 9 sampel (2,3%) underweight. Persalinan
DR.KARIADI dengan bantuan 165 kasus (43%) yang terdiri
periode tahun dari seksio sesarea (SC) 110 kasus (28,6%)
2010. dan persalinan pervaginam dengan bantuan
54 kasus (14,1%), perdarahan postpartum 1
kasus (0,3%), tidak ditemukan kejadian
kematian maternal.
2 Tjokroprawijo Obesitas dalam Cross sectional, dari 15 pendeita obesitas
,, 2011 kehamilan di RS didapatkan IMT penderita obesitas klas I
Dr.Soetomo sebanyak 53%, klas II 33%, dan klas III 14%.
periode tahun Didapatkan 5 SC dengan indikasi tidak
2011. langsung karena obesitasnya, 3 penderita
dilakukan induksi persalinan dan berhasil
lahir pervaginam, 2 penderita berisiko seksio
sesare (BSC), 1 kasus pervaginam, sedangkan
1 kasus dilakukan terminasi SC karena
preeklamsia berat (PEB).
3 Bidin dkk, Body mass index Cross sectional, keseluruhan 40,4%, 19,8%
2010 on outcomes of dan 39,8% telah dikategorikan menjadi BMI
nulliparous Normal, Rendah dan Tinggi. Ibu hamil
singleton dengan BMI tinggi lebih cenderung terjadi
pregnancies at Gestasional Hypertension (GHT) dan
Raja Isteri Gestasional Diabetes Mellitus (GDM) dan
Pengiran Anak dibutuhkan induksi persalinan untuk
Saleha Hospital membantu persalinannya. Pada ibu hamil
(RIPAS) Brunei dengan BMI rendah prevalensi terjadi GHT
Darussalam dan GDM sangat kecil tetapi berisiko
periode 1 Oktober terjadinya prematuritas dan biasanya
2009 – 30 cenderung lahir secara normal atau
49

September 2010. pervaginam.

II.16. Kerangka Teori

Faktor Ibu Faktor Gizi

Pendidikan Tinggi
Badan

Pekerjaan
Pertambahan
BB
Sosio
Ekonomi Status Gizi
(IMT)
Faktor Demografi Komplikasi
- Usia Kadar Hb - Perdarahan
- Paritas - Infeksi
- Jarak Kondisi - Eklamsia
Kehamilan Kehamilan - Partus
Lama
- Ruptur
3P Uteri
Power Pengetahuan - DMG
(Kekuatan His)

Pemeriksaan ANC
Passage
(Jalan Lahir) Persalinan
Normal/Tidak
Genetik
Passager/Bayi
- BB Janin
- Letak Janin
- Kelainan
Keterangan : Janin
Variabel yang
tidak diteliti

Variabel yang diteliti

Sumber : Mochtar, 1998; Rochjati 2003; Supariyasa dkk, 2001.


50

Bagan 1. Kerangka Teori


II. 17. Kerangka Konsep

Obesitas pada ibu hamil Proses Persalinan

Bagan 2. Kerangka Konsep

II.18. HIPOTESIS
Penelitian ini dilakukan untuk membuktikan hipotesis sebagai berikut :
a. Terdapat hubungan antara status obesitas ibu hamil dengan proses
persalinan di RSIA Budi Kemuliaan.

Anda mungkin juga menyukai