Intimacy
Intimacy
Oleh:
Kelompok 5
1. Afdal Rizky (2020862029)
2. Laxmy Defilah (2020862001)
3. Viona Putri Yarisda (2020862003)
Dosen Pengampu:
Dr. ERNITA ARIF, M.Si.
Puji dan syukur kami ucapkan kepada Tuhan Yang Maha Esa atas berkat
dan karunianya sehingga kita bisa menyelesaikan tugas ujian tengah semester
mengenai Komunikasi Keluarga (Membangun Intimacy dalam Keluarga) tepat
pada waktunya.
Tugas ini disusun agar pembaca bisa mengetahui lebih lanjut terkait topik
yang didiskusikan. Walaupun tugas ini jauh dari kata sempurna tetapi, tugas
ilmiah ini cukup sebagai bahan referensi untuk para pembaca. Kritik dan saran
yang membangun diperlukan agar penulisan tugas ini bisa lebih baik dari
sebelumnya.
Selanjutnya, kami ingin mengucapkan terima kasih kepada ibu Dr. Ernita
Arif, M.Si. sebagai dosen pengampu dalam mata kuliah Komunikasi Keluarga
yang telah membimbing dalam menyiapkan tugas ini dengan baik. Akhir kata,
semoga tugas ini bisa berguna bagi pembaca maupun bagi penulis.
Penulis
i
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR.......................................................................................i
DAFTAR ISI......................................................................................................ii
BAB I PENDAHULUAN..................................................................................1
1.1........................................................................................................................ Lat
ar Belakang....................................................................................................1
1.2........................................................................................................................ Ru
musan Masalah..............................................................................................2
1.3........................................................................................................................Tuj
uan Penulisan................................................................................................2
BAB IV PENUTUP...........................................................................................15
4.1. Kesimpulan..................................................................................................15
4.2. Saran.............................................................................................................15
DAFTAR PUSTAKA........................................................................................16
ii
iii
BAB I
PENDAHULUAN
1
Permasalahan dalam menjalani pernikahan tidak dapat dihindari namun
hal ini tentu bukan berarti tidak bisa dihadapi. Dengan sikap dan perlakuan yang
benar permasalahan-permasalahan dalam menjalani hubungan pernikahan ini
dapat diatasi. Berasaskan dari teori sistem terkait bagaimana bersikap dalam
pernikahan telah ada diatur dalam kitab suci umat beragama. Selain itu banyak
penelitian telah dilakukan terkait komunikasi keluarga dalam menjalani
pernikahan dilakukan oleh para peneliti. Pada tulisan ini penulis akan mencoba
membahas terkait bagaimana sukses dalam menjalani pernikahan, perilaku dalam
memelihara hubungan tersebut dan berbagai macam jenis pasangan dalam
pernikahan secara umumnya.
2
BAB II
LANDASAN KONSEPTUAL
3
2.2. Intimacy dan Komunikasi dalam Keluarga
Komunikasi dan keintiman dalam keluarga memiliki korelasi satu sama
lain. Para peneliti telah mencatat penting sekali untuk mengadakan pertemuan
kecil dalam keluarga untuk meningkatkan keintiman dan kepuasan dalam
keluarga. Berbicara dalam keluarga dapat didefinisikan sebagai suatu kebiasaan
untuk melakukan komunikasi sehubungan rutinitas duniawi, termasuk bercanda,
bergosip, dan merekap ulang kejadian atau peristiwa. Percakapan yang
berlangsung dalam pertemuan kecil tersebut sangat berpengaruh bagi keintiman
atau kedekatan dalam keluarga.
Scharp dan Thomas (2016); Schrodt, Soliz, dan Braithwaite, (2008)
berpendapat bahwa jenis komunikasi ini mempengaruhi kesehatan hubungan
dalam keluarga dan konteks interpersonal lainnya. Sebagaimana, juga ungkapkan
oleh Michael Burns dan Jody Pearson (2011), menjelaskan berpartisipasi dalam
kehidupan sehari-hari seperti berbicara atau berbincang-bincang dalam keluarga
dapat meningkatkan kepuasan dan keintiman bagi banyak keluarga (Turner and
West, 2017:173).
Keintiman dalam keluarga akan terungkap jika dikembangkan, dan
dipertahankan dalam suatu hubungan komunikasi, yaitu melalui perilaku
komunikasi verbal dan nonverbal (Horan dan Booth-Butterfield (2010); Nicolson
(2015). Senada dengan John Nicholson (2015) Komunikasi membantu
menciptakan keintiman dalam keluarga. Komunikasi adalah cara bagaimana dan
di mana keintiman diekspresikan, dan komunikasi sangat penting untuk menjaga
keintiman dalam hubungan keluarga (Turner and West 2017:174).
4
a. Komitmen
Johnson, Caughlin dan Huston, (1999) mengungkapkan ada tiga jenis
komitmen: komitmen personal (imbalan yang melekat dari hubungan), komitmen
moral (kewajiban untuk pasangan), dan komitmen struktural (hambatan untuk
meninggalkan hubungan dan tidak adanya alternatif yang layak). Proses menjalani
kehidupan pernikahan bukan hal yang mudah. Masalah keuangan, tekanan yang
berat selama berkeluarga, dan tekanan-tekanan berat lainnya. Komitmen akan
menjaga pasangan akan selalu tetap bersama meskipun dalam kondisi terburuk
sekalipun.
Hanya melalui komitmen personal, hubungan cinta tetap bertahan. Cinta
adalah bagian penting dan penyemangat dari kehidupan seseorang. Komitmen
personal menyiratkan energi yang intens diarahkan untuk mempertahankan suatu
hubungan. Pernikahan adalah sebuah komitmen untuk berjanji hidup semati.
Waite dan Gallagher (2000) menegaskan menikah tidak hanya membuktikan cinta
yang telah dibangun sebelumnya, tapi menikah sebenarnya mengubah hidup dan
perilaku seseorang.
Pada tingkat masalah yang lebih kompleks, komitmen personal akan
mampu membuat pasangan akan bertahan dalam pernikahannya meskipun dalam
kondisi yang sangat berat. Ketika salah satu pasangan menjadi cacat dan pecandu
narkoba. Salah satu pasangan harus mengalah dan menyesuaikan dengan kondisi
yang berat tersebut.
5
pihak lain. Sebaiknya pendengar harus merespons secara verbal atau nonverbal
menyampaikan validasi, pemahaman, dan kepedulian (Laurenceau et al., 2005).
Tingkat pengungkapan diri (ekspresi diri) atau pengungkapan diri kepada
pasangan, dapat dijadikan sebagai dasar yang mampu memprediksi tingkat
keintiman pasangan suami istri dari hari ke hari (Laurenceau et al., 2005:321).
Tingkat pengungkapan perasaan yang cenderung negatif berkontribusi pada
penurunan kepuasan pernikahan. Pasangan suami istri yang tidak puas sering kali
membatalkan perasaannya untuk diungkapkan oleh pasangan (Clements, Cordova,
Markman, & Laurenceau, 1997).
Selain pada tingkat pasangan, atau suami istri pengungkapan diri antara
orang tua-anak adalah hal yang tidak kalah penting. Ini merupakan cara sangat
penting untuk mengekspresikan dan mempertahankan keintiman antara orang tua
dan anak, karena hubungan ini adalah hubungan yang utama. Secara umum, ibu
menerima lebih banyak pengungkapan diri dari anak-anaknya daripada seorang
ayah, tetapi dalam beberapa kasus dan hal tertentu, anak lebih banyak bercerita
dengan teman dekatnya.
6
keceriaan, keintiman nonverbal dan seksualitas, dan pengungkapan diri (Turner
and West 2017:180).
a. Kecemburuan
Sebagian besar orang menafsirkan kecemburuan adalah bentuk lain dari
tanda sayang. Namun perasaan ini bisa jadi berubah menjadi kekerasan atau
obsesif yang menjadi penghalang keintiman (Turner and West, 2017). Turner dan
West (2017) menyatakan bahwa kecemburuan adalah pergolakan emosi yang
mungkin melibatkan pikiran-pikiran yang negatif dan perasaan tidak aman, marah,
kesedihan, dan ketakutan yang disebabkan adanya perasaan ancaman atau
kehilangan hubungan yang nyata dengan orang lain.
Sikap yang selalu merenungkan cemburu secara terus menerus sangat
dikhawatirkan akan meningkatkan ketegangan relasional yang mengakibatkan
jarak, ekspresi dan pengaruh negatif, penyangkalan secara umum, bahkan
ancaman kekerasan.
b. Penipuan
Ciri-ciri keintiman adalah kepercayaan. Penipuan atau tidak jujur
merupakan pelanggaran harapan dalam hubungan. Kebanyakan orang
mengharapkan anggota keluarga dan orang yang dicintainya untuk mengatakan
hal yang sejujurnya kepada orang yang dicintainya. Turner dan West (2017)
7
mengatakan penipuan adalah hal yang melibatkan komunikasi, namun salah
satunya dengan sengaja menahan sebagian informasi untuk menciptakan
keyakinan yang sebenarnya salah. Kecurigaan bahwa salah satu pasangan
menyimpan informasi karena tidak jujuran menyebabkan ketidakpuasan. penipuan
menciptakan dilema privasi yang tidak disengaja ketika keluarga yang tidak
menaruh curiga anggota menemukan informasi bermasalah tentang seseorang
dalam keluarga (Petronio, 2002)
a. Pendekatan Dialektika
Leslie Baxter (2011) mengatakan bahwa orang-orang dalam suatu
hubungan selalu membuat makna yang ditempa dari perjuangan bersaing, sering
bertentangan cerita, wacana, dan telah mengidentifikasi salah satu perjuangan
yang paling menonjol dalam hubungan sebagai antara otonomi (kebutuhan
individu untuk tergantung) dan koneksi (kebutuhan untuk merasa terhubung
dalam suatu hubungan).
Baxter dan Montgomery menuturkan bahwa kehidupan sosial merupakan
sebuah kontradiksi yang berjalan secara dinamis, hubungan yang terjadi adalah
saling mempengaruhi satu sama lain terus menerus antara hal yang berlawanan
dan menentang. Teori dialektika relasional atau hubungan lebih menekankan pada
tekanan, proses perjuangan, dan kondisi yang parah dalam hubungan intim
(Syauki 2018:217).
Fokus Perhatian teori ini dibagi ke dalam 2 fokus perhatian, yaitu
dialektika internal dan eksternal. Dialektika Internal lebih menekankan dan
menjelaskan hubungan kedua pasangan. Sedangkan dialektika eksternal
menjelaskan perjuangan, ketegangan yang terjadi antara pasangan dengan
lingkungannya atau masyarakat.
8
b. Model Circumplex
Model Circumplex adalah model yang dikembangkan oleh Olson pada
tahun 1970, dan telah disempurnakan beberapa kali. Model ini banyak digunakan
dalam tradisi sistem keluarga. David Olson dan rekan-rekannya menjelaskan
bahwa hidup berkeluarga dilakukan di sepanjang dua dimensi penting yaitu
kemampuan beradaptasi dan kohesi. Olson mengklaim bahwa komunikasi adalah
sarana yang akan memungkinkan keluarga untuk mengubah posisi mereka pada
dimensi adaptasi dan kohesi.
Adaptasi atau kemampuan beradaptasi adalah kemampuan keluarga untuk
mengalibrasi ulang respons terhadap stres. Keluarga akan mudah beradaptasi
ketika mampu mengubah aturan, peran dan sebagainya dalam menghadapi krisis.
Dimensi lain model Olson adalah kohesi. Kohesi mengacu bagaimana tingkat
hubungan emosional yang dialami keluarga. Kohesi mewakili ikatan emosi dalam
ikatan anggota keluarga. Kohesi berfokus pad bagaimana menyeimbangkan
keterpisahan dengan kebersamaan.
9
BAB III
HASIL PEMBAHASAN
3.1. Study Kasus (Studi Analisis Pudarnya rasa Intimacy Akibat Konflik
dalam Rumah Tangga (Pernikahan) atau Keluarga)
Pernikahan atau perkawinan merupakan salah satu kultur atau budaya
yang termasuk bagian dari setiap perjalanan kehidupan manusia. Dari Pernikahan
atau perkawinan dapat membentuk suatu tujuan yaitu terciptanya rumah tangga
yang Harmonis dan menjadi landasan dalam terbentuknya suatu keluarga. Di
dalam keluarga terciptanya sebuah tim yang membangun sebuah hubungan, hidup
dalam kebersamaan yang didalamnya juga di ikat oleh darah atau perkawinan. Hal
ini seperti ditegaskan oleh Donald Light bahwa “a family as two or more person
living together and related by blood, marriage or adoption” atau sebuah keluarga
sebagai dua orang atau lebih tinggal bersama dan terhubung dengan darah,
pernikahan, atau adaptasi.
Salah satu tujuan dari pernikahan yaitu bagaimana suami dan istri
mendapatkan sebuah kedamaian, ketentraman dalam setiap kehidupan. Pernikahan
bukan hanya selalu didukung oleh faktor pemenuhan dalam nafsu bathin atau
seksualitas saja, melainkan mewujudkan kehidupan yang bahagia dan dapat
membangun surga didalamnya.
Dalam Pasal 1 Undang - Undang Republik Indonesia Nomor 1 Tahun
1974 Tentang Perkawinan yang diundangkan tanggal 2 Januari 1974 pengertian
perkawinan telah artikan sebagai berikut: “Perkawinan adalah bentuk ikatan lahir
batin antara seorang pria dan seorang wanita sebagai suami istri dengan tujuan
membangun keluarga yang bahagia, kekal yang didasarkan kepada Ketuhanan
Yang Maha Esa”.
Selain itu, komunikasi merupakan salah satu bentuk paling inti dalam
membangun sebuah kunci rumah tangga. Komunikasi sendiri diartikan dengan
sebuah proses didalamnya. Komunikasi adalah proses kegiatan yang memiliki
banyak langkah terpisah namun tetap saling terhubung sepanjang waktu. Dengan
10
komunikasi kelekatan atau keintiman dalam sebuah pernikahan, rumah tangga
terbina begitu hangat (passion) dan komitmen untuk saling berbagi, mengasihi
dengan tali cinta dan kasih untuk sebuah keluarga.
Namun, tidak banyak juga pasangan yang sudah menikah sejak lama
bahkan menginjak usia pernikahan 20 tahun kehilangan intimacy dalam
pernikahan mereka. Seperti studi kasus yang tim penulis temukan di lapangan.
Salah satu konflik yang terjadi dalam rumah tangga adalah pudarnya rasa cinta
antara suami istri. Konflik ini menimpa salah satu pasangan suami istri di
Pekanbaru bernama Ibu Mawar dan Bapak Zul yang Tim Penulis samarkan
identitasnya.
Dalam studi kasus ini, pernikahan Ibu Mawar dan Bapak Zul sudah
menginjak usia pernikahan 21 tahun dan telah dikaruniai 3 (tiga) anak yang sudah
beranjak dewasa. Namun pernikahan mereka diwarnai dengan perdebatan -
perdebatan mulai dari hal yang kecil hingga besar sehingga menimbulkan
kekerasan –kekerasan dalam rumah tangga namun tetap bertahan
mempertahankan rumah tangga.
a. Minimnya Komunikasi
Dalam konflik ini Tim Penulis melakukan pengamatan terhadap konflik
ibu Mawar dan Bapak Zul tidak adanya komunikasi yang hangat diantara
pasangan suami ini. Komunikasi seperlu nya seperti “Saya ya saya, Kamu ya
kamu.” dan salah satu diantara mereka tidak memulai keintiman dengan
komunikasi yang menyenangkan sehingga obrolan – obrolan ringan tidak
direalisasikan dengan baik. Padahal salah satu faktor meminimalisirkan konflik
dalam keluarga adalah dengan berkomunikasi dan membangun keintiman yang
hangat dimulai degan pertanyaan-pertanyaan ringan seperti “Bagaimana sang Istri
atau suami menjalani hari ini.”
11
b. Pengungkapan Diri (Ekspresi Diri)
Dalam Segrin dan Flora (2011) mengungkapkan, ekspresi diri melibatkan
pengungkapan diri serta ekspresi emosional non verbal yang mewakili hal yang
signifikan, kompleks dan terkadang sulit untuk dikomunikasikan secara
interpersonal. Namun Tim Penulis menemukan bahwa salah satu pasangan suami-
istri sudah memudarkan rasa kepercayaan diri, ekspresi diri untuk membuat
keintiman dan gairah rumah tangga mereka agar tetap berjalan dengan baik.
Padahal dengan mengekspresikan diri terhadap pasangannya adalah salah satu
bentuk komunikasi nonverbal yang direalisasikan dan menjadi bentuk cinta dan
intimacy sebagai proses menghargai pasangan dalam rumah tangga.
Hal ini juga berkaitan dengan teori pendekatan Sehubungan Intimacy yaitu
pendekatan Dialektika dimana Leslie Baxter (2011) mengatakan bahwa orang-
orang dalam suatu hubungan selalu membuat makna yang ditempa dari
perjuangan bersaing, sering bertentangan cerita, wacana, dan telah
mengidentifikasi salah satu perjuangan yang paling menonjol dalam hubungan
sebagai antara otonomi (kebutuhan individu untuk tergantung) dan koneksi
(kebutuhan untuk merasa terhubung dalam suatu hubungan).
Konflik rumah tangga dengan bumbu kekerasan didalamnya sudah tidak
bisa lagi membuat pasangan Ibu Mawar dan Bapak Zul membuat makna yang
sama dan saling berjuang karena tidak adanya lagi keintiman dan gairah mereka
dalam menghidupkan suasana pernikahan dalam keluarga mereka. Tetapi tetap
bertahan demi status pernikahan.
Padahal jika istri atau suami memiliki iktikad baik, intimacy dapat dimulai
dengan langkah-langkah, jika salah satu individu mengungkapkan perasaan atau
informasi pribadinya (ekspresi diri) kepada orang lain. Pemberian atau
pengungkapan informasi dapat dilakukan secara verbal, melalui pengungkapan
diri, atau secara non-verbal melalui atau bahasa tubuh (body language). Ketika
interaksi berlanjut, salah satu pasangan akan memberikan umpan balik
12
pengungkapan diri tersebut dengan kehangatan dan simpatik. Selanjutnya,
masing-masing pasangan akan merasa diperhatikan.
c. Penipuan/Ketidakjujuran
Dalam Hal ini konflik yang terjadi dalam keluarga bukan hanya kekerasan
dan pudarnya rasa intimacy saja melainkan ketidakjujuran atau penipuan dalam
sebuah pernikahan. Bagaimana bisa intimacy dan kebahagiaan dalam rumah
tangga jika ketidakjujuran atau penipuan-penipuan masih sering diterapkan dan
tidak saling keterbukaan kepada masing –masing. Baik itu materi atau pun hal
lainnya.
Turner dan West (2017) mengatakan penipuan adalah hal yang melibatkan
komunikasi, namun salah satunya dengan sengaja menahan sebagian informasi
untuk menciptakan keyakinan yang sebenarnya salah. Sehingga menimbulkan
rasa kecurigaan dan menjadi awal perdebatan sehingga memudarkan rasa
kehangatan, gairah dari komunikasi rumah tangga atau sebuah pernikahan.
d. Komitmen
Dalam menghadapi konflik kekerasan dan rumah tangga ini, dari
pengamatan Tim Penulis baik istri dan suami ini bertahan dalam rumah tangga
karena hanya menyisakan komitmen saja diantara mereka. Yaitu kesepakatan –
kesepakatan hanya untuk sebuah ketahanan status pernikahan. semakin lama usia
hubungan maka komponen intimacy dan hasratnya (passion) cenderung semakin
menurun dan semakin lama usia hubungan komponen commitment cenderung
akan semakin tinggi sehingga komitmen ini juga masuk kedalam teori Sternberg
(1886) terkait Triangular Love Theory. Seperti penjelasan gambar dibawah ini:
13
Sumber: Stenberg (1886)
14
Dengan komunikasi dua arah baik menggunakan verbal dan nonverbal
mungkin sedikit membantu untuk arah komunikasi yang bisa membawa kembali
suasana dan keintiman hubungan pernikahan dalam keluarga perlahan-lahan dapat
dijalankan dengan baik dan komunikasi yang baik sehingga menciptakan makna
visi dan misi dalam mewujudkan pernikahan yang tenteram dan bahagia.
BAB III
PENUTUP
3.1. Kesimpulan
Dapat kita pahami bahwa dalam membangun intimacy selalu berkaitan
dengan aspek pengorbanan, kompromi dan komitmen. Kedekatan atau intimacy
membangun adanya identitas untuk mampu menghadapi kesulitan, meningkatkan
kemandirian, membangun hubungan relasi yang intim dengan individu lain, dan
meningkatkan komitmen dalam hubungan yang terjalin serta adanya tuntutan
untuk mampu berpikir secara mandiri tanpa bergantung pada orang lain. Jika
kedekatan atau intimacy dalam pernikahan tidak terjadi maka dapat menimbulkan
ketidakpuasan dan konflik, perceraian, siksaan emosional, ancaman dan tidak
terpenuhi kebutuhan anak.
3.2. Saran
Agar hubungan intimacy terwujud dengan baik, maka disarankan kepada
keluarga supaya dapat menciptakan hubungan yang intim dalam keluarga,
misalnya dengan mempertahankan komitmen, mengungkapkan diri atau
mengekspresikan diri kepada pasangan, menjaga komunikasi serta memberikan
kasih sayang dan cinta dalam keluarga.
15
DAFTAR PUSTAKA
XGalvin, Kathleen M., Dawn O. Braithwaite, and Carma L. Bylund. 2015. Family
Communication Cohesion and Change. 9th ed. New York.
Hilman Hadikusuma, Hukum Perkawinan Indonesia menurut Perundangan,
Hukum Adat dan Hukum Agama. Bandung: Mandar Maju. 2007.
Hurlock, Elizabeth. B. (1980). Psikologi Perkembangan Suatu Pendekatan
Sepanjang Rentang Kehidupan (Edisi Kelima). Jakarta: Erlangga.
Lindha Pradhipti Oktarina, Mahendra Wijaya, dkk. 2017 Pemaknaan Perkawinan:
Studi Kasus Pada Wanita Lajang Yang Bekerja Di Kecamatan Bulukerto
Kabupaten Wonogiri. Jurnal Analisa Sosiologi, Vol.4 No.1 Pascasarjana
Sebelas Maret Surakarta
Ruben Brent D, Stewart Lea P. 2017 Komunikasi dan Prilaku Manusia. Jakarta:
Raja Grafindo
Segrin, Chris, and Jeanne Flora. 2011. Family Communication. 2nd ed. New
York.
Sternberg, R. J. (1986). A triangular theory of love. Psychological Review. Vol.
93, No. 2, 119-135.
Syauki, Wifka Rahma. 2018. “Dialektika Hubungan Pasangan Perkawinan Beda
Usia (Studi Pada Perkawinan Dengan Usia Suami Yang Lebih Muda).”
Interaktif : Jurnal Ilmu-Ilmu Sosial 10(2):213–29.
Turner, Lynn H., and Richard West. 2017. Perspectives On Family
Communication. 5th ed. New York: McGraw-Hill Education.
16