Hubungan Oikumene Dalam Agama Kristen
Hubungan Oikumene Dalam Agama Kristen
A. Pengertian Oikoumene
1
Geogre B. Grose dan Benjamin J. Hubbard (ed.), Tiga Agama Satu Tuhan : Sebuah
Dialog, Terj. Santi Indra Astuti, Mizan, Bandung, 1998, hlm. 227
16
17
2
Victor I. Tanja, Pluralisme Agama dan Problem Sosial (Diskursus Tiologi tentang Isu-
isu Kontemporer), Pustaka Cidesindo, Jakarta, 1998, hlm. 154
3
Th. Sumartana, Noegroho Agoeng, Zuly Qodir (ed.), Pluralisme, Konflik dan
Perdamaian (Studi Bersama Antar Iman), Pustaka Pelajar, Yogyakarta, 2002, hlm. 94 - 95
18
4
Dr. Christian De Jonge, Menuju Keesaan Gereja (Sejarah, Dokumen-dokumen dan
Tema-tema Gerakan Oikoumene), BPK Gunung Mulia, Jakarta, 2000, hlm. xvii
5
George B. Grose dan Bejamin J. Hubbard (ed.), op. cit., hlm. 227
6
Bonawiratma, Iman, Pendidikan dan Perubahan Sosial, Kanisius, Yogyakarta, 1991,
hlm. 12
7
Nurcholis Madjid, Pintu-Pintu Menuju Tuhan, Paradigma, Jakarta, 1995, hlm. 93
19
8
Dr. Christian De Jonge, op. cit., hlm. 3
20
9
Hilman Hadikusuma, Antropologi Agama (Bagian II : Pendekatan Budaya terahdap
Yahudi, Kristen Katolik, Protestan dan Islam), PT. Citra Aditya Bakti, Bandung, 1993, hlm. 128
21
10
Dr. Christian De Jonge, op. cit., hlm. 4-5
11
Ibid., hlm. 6-7
12
Dr. Christian De Jonge, Dr. Jam S. Aritonang, Apa dan Bagaimana Gereja, BPK
Gunung Mulia, Jakarta, 1993, hlm. 51
22
13
Dr. Christian De Jonge, Menuju Keesaan Gereja… op. cit., hlm. 10
23
14
Ibid., hlm. 13
15
H. Berkhof, Sejarah Gereja, terj. I.H. Enklaar, BPK : Gunung Mulia, Jakarta, 1995,
hlm. 339
24
16
Christian De Jonge, Menuju Keesaan … op. cit., hlm. 14
17
Ibid.
18
Ibid.
25
19
Ibid., hlm. 16
20
Ibid.
26
Edinburg (II) : Gerakan Faith and Order (iman dan tata Gereja)
Komperensi perkabaran Injil sedunia di Edinburg (1910)
adalah komperensi untuk membicarakan soal-soal yang dihadapi
bersama di bidang perkabaran Injil. Semua hal yang dapat mempersulit
pembicaraan ini dihindari, sehingga soal-soal yang menyangkut iman
dan tata gereja, hal-hal yang membedakan gereja-gereja tidak
dibicarakan. Namun dirasa oleh para peserta bahwa suasana
perundingan pada komperensi Edinburg telah begitu baik dan perasaan
persaudaraan telah begitu dalam sehingga untuk masa depan diharapkan
langkah-langkah yang lebih maju menuju keesaan. Untuk mengambil
langkah-langkah ini perbedaan-perbedaan di bidang teologi dan tata
gereja perlu dibahas.
Untuk usaha menyelenggarakan suatu konperensi sedunia
mengenai iman dan tata negara (world conference in Faith and Order)
dipelopori oleh Charles H. Brent (1862 – 1929) seorang uskup dari
Protestan Episcopal Church di Amerika. Tujuan Faith and Order, yang
dirumuskan oleh Brent, adalah jalan menuju keesaan gereja. Brent
melihat gerejanya sendiri sebagai titik permulaan untuk gerakan Faith
and Order. Gerejanya harus mengundang gereja-gereja lain untuk
menghadiri konperensi mengenai pokok ini. Dan akhir tahun 1910
gerejanya memutuskan menunjuk suatu panitia yang harus mengundang
tata gereja dari gereja lain untuk membicarakan persoalan-persoalan di
bidang iman dan tata gereja untuk mencari jalan menuju keesaaan
gereja. Pada tahun 1912 delegasi penitia ini mengunjungi gereja-gereja
27
21
Ibid., hlm. 19-20
22
Ibid., hlm. 21
28
sebagai Allah dan juru selamat), suatu rumusan yang kemudian diambil
alih oleh dewan-dewan gereja sedunia pada tahun 1948. 23
Pada 3 – 20 Agustus 1927 konperensi pertama Faith and Order
diselenggarakan di Lausanne, Swis, dengan Brent sebagai ketua dan
A.E. Garwie sebagai wakil ketua (karena kesehatan Brent terlalu lemah)
yang hadir 394 orang, sebagian besar mewakili 108 gereja dari semua
latar belakang konperensional kecuali Katolik-Roma. Dibicarakan tujuh
pokok yang telah dipersiapkan oleh continuation committee Jenewa,
yaitu : 1. The call to unity (panggilan untuk keesaan); 2. The church’s
message to the world-the gospel (amanat gereja bagi dunia Injil); 3. The
nature of the church (sifat gereja); 4. The church’s ministry (pelayanan
gereja); 6. The sacrament (sakramen-sacramen); 7. The unity of christen
dom and the place of the different churches in it (keesaan keKristenan
dan tempat gereja-gereja yang berbeda di dalamnya). Tentu masih
banyak perbedaan pendapat sehingga konperensi lebih sibuk dengan
inventarisasi perbedaan-perbedaan. 24
Pada konperensi Faith and Order yang pertama perbedaan
yang paling banyak dibicarakan adalah pertanyaan pokok. Apakah
gereja adalah jalan ke kristus dengan jabatan dan sakramen-sakramen
seperti dikatakan gereja-gereja Ortodoks dan Anglikan atau kristus
adalah jalan ke gereja, dengan penekanan dan pemberitaan firman dan
iman, seperti dikatakan gereja-gereja protestan.
Pada hakekatnya hasil segala perundingan tak seberapa besar.
Tampaklah jurang yang dalam antara gereja-gereja yang menganggap
Injil terutama sebagai pemberi hidup baru dengan sakramen
(teristimewa gereja Ortodoks Timur dan juga separuh gereja Anglikan),
dengan gereja-gereja yang terutama memandang Injil selaku suatu berita
23
C. De Jonge – J.S. Aritonang, Apa dan Bagaimana … op. cit., hlm. 52
24
Christian De Jonge, Menuju Keesaan … op. cit., hlm. 23
29
25
yang harus dikabarkan (gereja-gereja Lutheran dan Calvinis). Akan
tetapi juga ada hasil positif tercapai kesepakatan mengenai laporan dua
(amanat gereja bagi dunia Injil), yang sekaligus menyatakan bahwa para
peserta menyadari bahwa hakekat gereja adalah mengabarkan Injil di
dunia, hakekat misioner.
Komperensi Faith and Order yang kedua diadakan di Edinburg
dari 3 – 10 Agustus 1937. yang hadir adalah 504 peserta, 443 wakil
resmi dari gereja-gereja dan tamu-tamu. Pokok-pokok yang dibicarakan
: 1. The grace of our lord Jesus Christ (kasih karunia Tuhan kita Yesus
Kristus); 2. The church of christ and the word of God (gereja Kristus
dalam firman Allah); 3. The church of christ ministry and sacraments
(gereja kristus : Pelayanan dan sakramen-sakramen); 4. The church’s
unity in life and Worship (keesaan gereja di dalam kehidupan dan
peribadatan); pokok ini kemudian dibagi dua, sehingga ditambahkan : 5.
The communion of holyman, persekutuan orang-orang kudus. 26
Jelas suasana di gerakan Faith and Order telah menjadi lebih
terbuka. Pembicaraan tentang perbedaan-perbedaan lebih terbuka juga
tentang kasih karunia Kristus dicapai kesepakatan. Di Edinburg,
ekseologi merupakan pokok diskusi yang paling hanyat. Diskusi
berpusat pada successio apostolico (penggantian rasuli). Apakah
kontinuitas gereja tergantung dari orang-orang (uskup-uskup) yang
memelihara warisan ajaran rasuli, seperti yang dikatakan gereja-gereja
Ortodoks dan Anglikan, atau dari ajaran rasuli itu sendiri yang disimpan
oleh gereja, seperti dikatakan gereja-gereja Protestan ? walaupun
perbedaan-perbedaan tetap ada, namun akhirnya dikeluarkan suatu
pernyataan dimana gereja-gereja peserta bahwa dalam Yesus Kristus
25
H. Berkhof, op. cit., hlm. 340
26
Christian De Jonge, Menuju Keesaan … op. cit., hlm 23
30
27
Ibid., hlm. 24-25
31
28
Ibid., hlm. 27-28
34
29
Ibid., hlm. 29-30
35
30
H. Berkhof, op. cit., hlm. 341
36
31
Christian De Jonge, Menuju Keesaan …. op. cit., hlm. 31
37
tetapi sebagai segi lain dari hakekat gereja-gereja yang dipanggil untuk
memperdamaikan dan melayani dalam keesaan. Dua segi saling
melengkapi.
32
Mukti Ali, Agama Dalam Pergumulan Masyarakat Dunia, Tiara Wacana, Yogyakarta,
1998, hlm. 6
38
33
Ibid.
34
Cristian D. Jonge, Jan S. Aritonang, op. cit., hlm. 54
39
35
Ibid.
36
Cristian D. Jonge, op. cit., hlm. 136.
37
Ibid., hlm. 139-140
40
ajaran, tata gereja, dan sebagainya masih terlalu melihat gereja terlepas
dari dunia. Gereja tidak menjadi esa demi dirinya sendiri melainkan
demi dunia. Dengan demikian dapat dirumuskan bahwa gerakan
Oikoumene mempunyai dua tujuan. Pertama, tujuan internal di kalangan
orang-orang Kristen yang terpecah dengan mengupayakan kesatuan.
Kesatuan yang dimaksud bukanlah terwujud ketika di dunia ini hanya
terdapat satu gereja saja, melainkan kesatuan dalam hal pengakuan
iman. Tujuan yang kedua adalah untuk mendapatkan kesepakatan dalam
bertindak atau suikap keberagamaan umat Kristenm terhadap umat
beragama lain untuk bersama-sama mewujudkan perdamaian dunia.
38
Ibid., hlm. 35-36
43
sedang kantor pusat di Jenewa berada dalam negara netral, yang dapat
mengadalan hubungan-hubungan dengan semua pihak yang berperang.
Oleh sebab itu World Council of Churches in Process of Formation
(DGD dalam proses pembentukan) dapat mengadakan komunikasi
dengan gereja-gereja pada kedua belah pihak. Hubungan yang terus
menerus dengan gereja yang mengaku di Jerman dirasa sangat penting.
Diusahakan untuk menolong pengungsi-pengungsi, khususnya orang-
orang Yahudi, yang melarikan diri ke Swis, juga diusahakan, bersama
dengan organisasi-organisasi Kristen dan umum (seperti palang merah)
untuk membantu dimana saja bantuan diperlukan. Untuk tawanan-
tawanan perang diadakan persediaan literatur Kristen yang dapat dipakai
untuk ibadah-ibadah di kamp-kamp tawanan. Didirikan Departement of
Reconstruction and Inter Church Aid (Departemen Rekontruksi dan
Bantuan Antar Gereja) untuk pembangunan sesudah perang. Karena
semua kegiatan ini hubungan antara gereja-gereja di negara-negara yang
berperang tidak terputus. 39
Ini berbeda dengan perang dunia pertama, ketika gereja-gereja
begitu mendukung pemerintahannya masing-masing sehingga hubungan
dengan orang-orang Kristen dari pihak lain hampir dianggap
penghianatan. Sekarang hampir semua gereja setuju bahwa tugas pokok
gereja adalah mencari amal juga disadari bahwa apa yang terjadi
sesudah perang dunia pertama, yaitu kecurigaan antara gereja-gereja
dari negara-negara yang dikalahkan dan gereja-gereja dari negara-
negara yang menang harus dihindari. Pengalaman bersama selama
perang menyebabkan bahwa gerakan Oikoumene justru semakin maju
dan tidak mundur seperti yang dikhawatirkan. Kehadiran gereja pada
masa perang dalam banyak hal bersifat Oikoumene.
39
Ibid., hlm. 37
44
40
Christian de Jonge, Jan S. Aritonang, Apa dan Bagaimana Gereja …, op. cit., hlm. 53
41
Christian de Jonge, Pembimbing ke Dalam Sejarah Gereja, BPK. Gungung Mulia,
Jakarta, 1989, Tabel II dan hlm. 90.
45
42
Christian De Jonge, Menuju Keesaan Gereja … op. cit., hlm. 41
43
Ibid., hlm. 42-44
46
44
H. Berkhof, op. cit., hlm. 343
45
Christian De Jonge, Menuju Keesaan Gereja … op. cit., hlm. 45
48
46
H. Berkhof, op. cit., hlm. 345
47
Christian De Jonge, Menuju Keesaan Gereja … op. cit., hlm. 45-46
49
50
Cristian D. Jonge, op.cit., hlm. 181-182
51
Mukti Ali, op.cit., hlm. 6
51
52
Cristian D. Jonge, op. cit., hlm. 182-183
53
Ibid., hlm. 183-184
52
54
Abu Zahra (ed.), Politik Demi Tuhan (Nasionalisme Religius di Indonesia), Pustaka
Hidayah, Bandung, 1999, hlm. 89
53
berkobar terutama sejak akhir 1960-an, kendati sejak 1980-an ada upaya
memperdamaikannya. 55
Dalam bidang diskusi Oikoumene, Dewan Gereja se-Dunia
telah menjadi sadar akan adanya rasa ketidakpuasan yang cukup
tersebar, terutama antara ahli-ahli kitab, tentang cara kitab yang
digunakan dalam paper-paper (kertas-kertas kerja) penelitian
Oikoumene sesudah perang. Bahkan pada puncaknya, rasa
ketidakpuasan itu mengakibatkan suatu keretakan yang cukup
mendalam antara ahli-ahli Evangelis dan teolog-teolog. Maka adanya
keretakan ini merupakan sebab utama, mengapa Dewan Gereja-gereja
se-Dunia memulai suatu penelitian Oikoumene yang baru tentang
kewibawaan Alkitab. Dokumen penelitian, yang disiapkan untuk
merangsang riset itu, dapat dibaca dalam the Ekumenical Review No. 21
tahun 1969 halaman 135 166. 56 Jelas dari dokumen penelitian tersebut
bahwa para penyusunnya telah undur dari konsep bahwa hanya Alkitab
yag merupakan unsur pemersatu, yang dimiliki bersama oleh gereja-
gereja yang masih berpisah.
Hambatan lain terlihat dari perlawanan terhadap penggabungan
antara IMC dan DGD muncul di kalangan gereja-gereja Ortodoks dan
kaum Evangelikal. Gereja-gereja Ortodoks khawatir bahwa
penggabungan ini membuka pintu untuk proselitisme (memenangkan
orang dari gereja-gereja lain). Seperti telah dialami mereka dari pihak
Katolik-Roma dan Protestan. Kaum Evangelikal melihat dalam
keputusan New Delhi bukti lagi bahwa gereja-gereja Oikoumene telah
melupakan tugas mengkabarkan Injil. Mereka mengadakan kongres
internasional di Lausanne (1974) dan pada pertemuan continuation
55
Pdt. Dr. Jan S. Aritonang, Berbagai Aliran di Dalam dan di Sekitar Gereja, BPK.
Gunung Mulia, Jakarta, 1995, hlm. 252
56
James Barr, Alkitab di Dunia Modern, (terj. I.J. Cairns), Gunung Mulia, Jakarta, 1993,
hlm. 15-16
54
57
Christian de Jonge, Menuju Keesaan … op. cit., hlm. 17-18
58
Hugh Goddard, Menepis Standar Ganda (Membangun Saling Pengertian Muslim-
Kristen), Adipura, Yogyakarta, 2000, hlm. 173-174
55
59
Christian De Jonge, Menuju Keesaan Gereja … op. cit., hlm. xviii