Anda di halaman 1dari 4

Konflik Antara Masyarakat Sekitar Hutan,

Masyarakat Adat, dan Perusahaan Pengusahaan


Hutan
(Studi Kasus di Propinsi Kalimantan Tengah)

Pola-pola pengelolaan hutan tidak melibatkan masyarakat adat dan kawasan hutan dan masyarakat adat
selama ini yang digunakan oleh masyarakat sekitar hutan sebagai salah yang relatif lebih toleran masih
kalangan pengusaha hutan tidak satu stake holder yang memegang memberikan toleransi pada perusahaan
membawa dampak positif terhadap peranan penting dalam hal itu. HPH.
kehidupan masyarakat sekitar kawasan Semakin banyak persoalan Pada perkembangannya semakin
terutama masyarakat adat yang dan konflik yang terjadi semakin besar banyak pelanggaran-pelanggaran yang
pergerakannya makin sempit. pula biaya yang dikeluarkan oleh dilakukan oleh perusahaan HPH
Perkembangan informasi dan teknologi pengusaha, dan inipun tidak meng- terhadap tanah-tanah adat, hutan adat,
telah membawa dampak baik dan buruk untungkan bagi masyarakat adat dan dan pelanggaran kemanusiaan lain serta
bagi masyarakat sekitar hutan dalam masyarakat sekitar hutan yang akan semakin mengertinya masyarakat
pengelolaan hutan tersebut. Masyarakat semakin resah oleh persoalan-persoalan tersebut, sehingga konflik-konflik itu
yang pranata adatnya masih kuat tetap tambahan yang mereka hadapi selain terjadi walaupun bersifat sporadis.
menganggap hutan sebagai tempat persoalan yang mereka hadapi sehari- Konflik-konflik itu ada beberapa yang
penghidupan bagi anak cucu mereka, hari. bisa diselesaikan secara kekeluargaan
sedangkan masyarakat yang telah dengan cara melakukan penataan areal
mengalami pergeseran budaya dengan Konflik-konflik terjadi disebabkan oleh ulang dan HPH membayar denda atas
adanya informasi dan teknologi juga beberapa hal seperti: pelanggaran yang dilakukan. Namun
telah mengalami pergeseran-pergeseran 1. Masalah tata batas yang tidak banyak kasus tata batas yang masih
pandangan terhadap hutan tersebut. jelas antar dua belah pihak. menggantung yang suatu saat akan
Perbedaan pandangan itulah 2. Pelanggaran adat oleh menjadi konflik baru yang akan lebih
yang akhirnya akan menimbulkan pengusaha hutan. besar karena terjadi fusi dari beberapa
konflik-konflik kecil antar masyarakat 3. Ketidakadilan aparat penegak konflik-konflik kecil.
adat sendiri, masyarakat adat dengan hukum dalam menyelesaikan Penataan areal yang benar dengan tata
pengusaha hutan, serta masyarakat adat persoalan. batas yang jelas sangat diperlukan
dengan masyarakat pendatang. 4. Hancurnya penyokong untuk menghindari konflik antara
Pertumbuhan penduduk juga kehidupan masyarakat adat dan masyarakat sekitar hutan atau
mempengaruhi kehidupan masyarakat masyarakat sekitar hutan karena masyarakat adat dengan perusahaan
adat sekitar hutan yang selama ini semakin rusak dan sempitnya kehutanan atau perkebunan. Hal itu tak
sangat mengandalkan hasil hutan non hutan. akan terpenuhi tanpa melibatkan
kayu sebagai produk penyokong 5. Tak ada kontribusi positif komponen-komponen terkait dalam
ekonomi mereka telah rusak oleh pengelolaan hutan selama ini masalah itu. Kebijakan yang baik dan
pengelolaan hutan oleh pengusahaan terhadap masyarakat adat dan adil serta penegakan hukum juga
hutan yang telah berlangsung hampir masyarakat sekitar hutan. diperlukan dalam penentuan tata batas
selama 4 dasawarsa. 6. Perusahaan tidak melibatkan untuk menjamin kekuatan hukum
Pemerintah yang selama ini masyarakat adat dan atau apabila terjadi konflik kawasan hutan
mengeluarkan kebijakan pengelolaan masyarakat sekitar hutan dalam di kemudian hari.
hutan seakan tutup mata dan cuci pengusahaan hutan.
tangan terhadap kejadian-kejadian B. Pelanggaran Adat
semacam ini. Ada kesan setelah A. Permasalahan Tata Batas Ada beberapa hal pelanggaran adat
mengeluarkan kebijakan, mereka tak Penataan areal kerja perusahaan (HPH, yang dilakukan oleh perusahaan
bertanggungjawab terhadap akibat dari IPK, HTI, Perkebunan dll) yang tidak kehutanan dan perkebunan misalnya:
kebijakan tersebut. melibatkan masyarakat setempat 1. Melakukan perusakan
Implementasi kebijakan serta merupakan awal konflik tata batas ini bangunan adat sebagai tempat
pengelolaan hutan tanpa peran serta terjadi. Pada era orde baru pelanggaran peribadatan,
masyarakat adat dan masyarakat sekitar tata batas hutan oleh perusahaan HPH 2. Pembabatan hutan adat,
hutan. Apabila terjadi persoalan belum menjadi permasalahan yang 3. Melakukan eksploitasi kayu
(konflik) dan perbedaan pandangan penting untuk diselesaikan karena HPH dimana kayu tersebut oleh
tentang tata batas dan pelanggaran adat merasa telah mendapat ijin dari masyarakat adat merupakan
oleh pengusaha hutan akan sulit sekali pemerintah pusat serta mendapat kayu keramat atau pantang
diselesaikan karena dari awalnya dukungan dari aparat keamanan untuk ditebang.
memang pengelolaan hutan selama ini setempat. Selain itu masyarakat sekitar

intip hutan | mei - juli 2003 15


S
alah satu contoh kasus adalah protesnya 10 warga desa di Kecamatan Seruyan Hulu, Kabupaten
Seruyan, mereka menolak dengan tegas kehadiran HPHKm (Hak Pengelolaan Hutan Kemasyarakatan
dan Komashut (Koperasi Masyarakat Sekitar Hutan). Setelah ditelusuri pemilik salah satu saham
HPHKm tersebut adalah koperasinya Pemkab Kotawaringin Timur yaitu Koperasi Beringin yang memiliki
areal hutan produksi sekitar 5000 ha lebih, sedangkan lainnya HPHKm dan Komashut Batuah Mumpung
yang ketiganya bekerjasama dengan PT Tanjung Menthobi di Pangkalan Bun.
Pada saat yang sama masyarakat juga melakukan protes pertama kenapa HPHKm tersebut tak
menghargai keberadaan masyarakat 10 desa di kecamatan tersebut, protes kedua selama ini HPHKm dan
Komashut tersebut tak memberikan kontribusi apapun terhadap masyarakat sekitar kawasan areal produksi
itu, dan protes ketiga peta areal yang diberikan Pemkab Kotawaringin Timur untuk digarap, tidak memiliki
aturan atau batas yang jelas terutama areal HPHKm dengan hutan potensi desa atau kebun masyarakat.
Keberadaan HPHKm dan Komashut tersebut tak memberikan ruang hidup bagi masyarakat setempat.
Kasus yang sama terjadi di Kecamatan Mentangai, Kabupaten Kapuas. Masyarakat sekitar hutan di Tumbang
Murui, Danau Rawah, Kecamatan Mentangai, Kabupaten Kapuas merasa dirugikan karena perusahaan IPK
Inti Karya Sejati telah melakukan eksploitasi kayu di kebun masyarakat sekitar kawasan. Protes yang
dilakukan hampir sama dengan kasus di Kabupaten Seruyan. PT Inti Karya Sejati telah memperoleh IPK
dari dinas kabupaten setempat namun da lam peta areal tak memiliki batas yang jelas dengan kebun
masyarakat sekitar hutan sehingga pada saat terjadi pelanggaran tata batas sampai ratusan hektar mereka tak
mengetahuinya. Kedua kasus tersebut di atas sampai sekarang juga tak jelas penyelesaiannya.

Sumber: Laporan Investigasi, FWI Simpul Bogor, November 2002.

Sebelum memperoleh ijin pengusahaan Kasus lain seperti yang terjadi awal Juli masyarakat sekitar hutan juga menjadi
kehutanan atau perkebunan, suatu 2002, masyarakat adat empat desa di tanggung jawab perusahaan sehingga
kewajiban pemerintah dan pengusaha Kecamatan Gunung Purei dan Batara tak perlu lagi pelanggaran adat
kehutanan melibatkan masyarakat adat menuntut HPH PT Indexim yang telah tersebut mencuat”.
dan masyarakat lainnya yang hidup membabat hutan adat mereka sehingga
dalam maupun di sekitar areal konsesi. masyarakat adat itu berang. Mereka C. Ketidakadilan Aparat Penegak
Kerarifan budaya dan adat masyarakat menuntut “ganti rugi” pada HPH Hukum
tersebut bisa dilihat dari pola-pola tersebut yang telah melanggar tata Lemahnya penegakan hukum
mereka dalam masalah kepemilikan adat yang ada di masyarakat itu. dalam penyelesaian berbagai
lahan dan pemanfaatan lahan. Salah satu Berbagai kasus diselesaikan permasalahan yang terjadi antara
budaya Dayak terkenal mereka adalah baik secara damai dan secara hukum masyarakat sekitar hutan dan
Ayungku yaitu kepemilikan lahan dan namun masih banyak kasus-kasus perusahaan akan mengakibatkan
batas wilayah desa atau adat yang pelanggaran adat ini berlangsung. konflik-konflik baru terjadi. Hal ini
dilakukan secara turun temurun, baik Mencuatnya konflik-konflik tentang sering dijadikan pihak ketiga seperti
untuk berladang, tempat tinggal pelanggaran adat ini tak hanya di bidang cukong-cukong kayu untuk meman-
maupun untuk kebutuhan lain yang kehutanan namun juga di perkebunan. faatkan konflik tersebut demi
kesemuanya diatur dengan hukum adat. Secara umum penyebab kasus ini kepentingannya. Maraknya penebangan
Setiap perubahan kepemilikan lahan karena pembebasan kawasan hutan liar merupakan wujud ketidak-
diatur oleh hukum adat dan sebagai untuk perkebunan, penyerobotan tanah harmonisan pemerintah/aparat
fasilitator adalah kepala adat. adat dan pelanggaran larangan-larangan keamanan, perusahaan dan masyarakat
Musyawarah tersebut digunakan untuk lain yang dilakukan oleh perusahaan sekitar hutan.
menentukan apakah tanah adat atau perkebunan terhadap hukum adat. Kasus-kasus seperti itu pada
batas wilayah adat perlu dirubah. Jika Dari beberapa kasus diketahui akhirnya akan membawa masyarakat
ada pendatang dari luar masyarakat alasan-alasan yang dikemukakan tak sekitar hutan pada posisi yang tidak
adat baik perusahaan maupun jauh berbeda yaitu meningkatkan PAD, diuntungkan sebagai kambing hitam
masyarakat lain harus dimusya- otonomi dan ekonomi. Beberapa dalam kasus-kasus penebangan liar.
warahkan ulang. Berbagai konflik telah kalangan pemerhati hutan mengatakan Oknum-oknum masyarakat sekitar
menjadi saksi bahwa selama ini “bahwa seharusnya kelestarian hutan hutan yang kerjasama dengan cukong
perusahaan kehutanan telah banyak dalam pengusahaan hutan masuk adalah salah satu alasan aparat
melakukan kesalahan dengan dalam biaya tetap sehingga keutuhan keamanan/pemerintah untuk meng-
melanggar budaya Ayungku tersebut. hutan tetap terjaga serta kesejahteraan hantam masyarakat sekitar hutan. Jika

16 intip hutan | mei - juli 2003


permasalahan seperti itu tak Pertemuan itu sangat perlu dilakukan hukum bagi masyarakat sekitar konsesi
diselesaikan dengan rasa adil di kedua untuk membuat kesepakatan sebelum yang menjadi korban kerusakan dan
belah pihak pada akhirnya akan terjadi terjadi konflik baru atau telah terjadi atau pencemaran lingkungan akibat
pengulangan konflik-konflik itu. konflik, negosiasi, konsultasi, perbuatan perusahaan yang
Adanya persepsi yang keliru tentang konsiliasi, dan membicarakan ganti rugi menimbulkan kerugian bagi korban
pola penyelesaian konflik oleh aparat bagi pihak yang jadi korban antar tiga tersebut. Upaya hukum yang dapat
penegak hukum dan masyarakat stakeholder tersebut. ditempuh berdasarkan pasal 34 UUPLH
setempat, sulitnya proses pembuktian Apabila masalah itu tak bisa juga yang memungkinkan gugatan
yang disebabkan kompleksitas faktor diselesaikan dengan hukum di luar lingkungan untuk memperoleh ganti
penyebab konflik itu, lemahnya ruangan lebih baik menggunakan rugi dan atau biaya pemulihan
profesionalitas aparat penegak hukum hukum lingkungan yang telah diatur lingkungan.
serta mahalnya biaya yang harus oleh UU Pengelolaan Lingkungan no Kelemahan dalam proses
ditanggung oleh masyarakat untuk 23 tahun 1997. penyelesaian ini biasanya pihak korban
menyelesaikan konflik itu jika tak bisa menjadi pihak yang kalah karena
diselesaikan dengan musyawarah saja D. Hancurnya Penyokong rumitnya birokasi di lapangan dan
dan yang paling lazim adalah rumitnya Kehidupan Mayarakat Adat dan proses pembuktian yang harus
birokrasi peradilan untuk kasus-kasus Masyarakat Sekitar Hutan. dilakukan berbelit-belit.
konflik yang berawal pada per-
masalahan lingkungan. Hal-hal itu akan Eksploitasi hutan oleh HPH E. Perusahaan dan Pemerintah
menyebabkan konflik berlangsung yang telah berlangsung kurang lebih 35 Tak Melibatkan Masyarakat
sangat lama atau bahkan tak akan tahun, telah mendorong hancur dan Sekitar Hutan dan atau
selesai. rusaknya hutan sebagai tempat hidup Masyarakat Adat dalam
Salah satu alternatif pemecahan dan kehidupan bagi masyarakat sekitar Pengelolaan Hutan.
masalah yaitu mempertemukan tiga hutan dan masyarakat adat.
stakeholders yaitu pemerintah daerah, Tak hanya hutan yang rusak, Ada beberapa hal peran serta
masyarakat sekitar hutan, dan sungai juga ikut tercemar dengan masyarakat sekitar hutan sangat
perusahaan untuk menelusuri kembali adanya limbah-limbah industri diperlukan dalam pengelolaan dan
sumber-sumber konflik tersebut. Ketiga plywood,dan industri-industri kayu pengusahaan hutan. Peran dalam tahap
stakeholders harus pada posisi lainnya yang memang mengunakan perencanaan pengelolaan hutan dan
seimbang sebagai tiga komponen yang bahan-bahan beracun sebagai bahan pemanfaatan kawasan hutan. Tahap
saling menguntungkan. Apabila aditifnya. perencanaan pengelolaan diperlukan
keharmonisan antar ketiga komponen pada saat HPH/perusahaan itu akan
dan keadilan tetap terjaga, maka Hukum lingkungan keperdataan secara berdiri sampai dengan berproduksi.
konflik-konflik baru tak akan terjadi. khusus telah diatur dalam perlindungan

P
embabatan hutan adat di Kalimantan Tengah terus berlangsung seperti terjadi di kawasan hutan
Tamanggung Dahiang di Desa Tumbang Dahui, Kecamatan Katingan Hulu, Kabupaten Katingan pada
bulan awal Nopember 2002. Kejadian ini sebenarnya telah diketahui oleh seorang tokoh desa bernama
Salin R. Ahad yang kemudian permasalahan ini dilaporkan ke Polda, Kejaksaan Tinggi, dan DPRD Propinsi
Kalteng yang dianggap menginjak-injak harga diri masyarakat adat dan hukum-hukum adat setempat.
Kemudian tokoh desa itu juga mengungkapkan keterlibatan oknum-oknum BPD (Badan Perwakilan Desa)
yang ikut membekingi dan melakukan pembabatan hutan adat tersebut. Kejadian yang hampir sama terjadi pada
pertengahan bulan Juni 2002 189 warga desa di wilayah Kecamatan Gunung Purei, Kabupaten Barito Utara
menuntut HPH PT. Indexim dan PT. Sindo Lumber telah melakukan pembabatan hutan di kawasan Gunung
Lumut. Kawasan hutan lindung Gunung Lumut di desa Muara Mea itu oleh masyarakat setempat dijadikan
kawasan ritual sekaligus sebagai hutan adat bagi masyarakat dayak setempat yang mayoritas pemeluk
Kaharingan. Sebelum kejadian ini telah diadakan pertemuan antara masyarakat adat dan HPH-HPH tersebut
namun setelah sekian lama ternyata isi kesepakatan tersebut telah diubah oleh HPH-HPH itu dan ini terbukti
bahwa perwakilan-perwakilan masyarakat adat dengan tegas menolak dan tidak mengakui isi dari kesepakatan
itu.

Sumber: Kalimantan Pos,2002.

intip hutan | mei - juli 2003 17


FWI

FWI
eks Hutan di Riau

Bentuk-bentuk peran serta masyarakat 3. Pengajuan keberatan terhadap undangan yang berlaku, adat
dalam tahap perencanaan pengelolaan rencana perusahaan dan ijin atau kebiasaan yang berlaku.
yaitu: industri bila hal itu telah 2. Kegiatan menjaga, memeli-
1. Pemberian informasi, saran, melanggar hukum adat dan hara, dan meningkatkan
pertimbangan, atau pendapat istiadat yang berlaku pada kelestarian fungsi hutan
dalam penyusunan RKPH masyarakat setempat. sebagai fungsi ekologis, sosial
untuk HPH atau ijin industri 4. Merumuskan pola pengelola- dan ekonomis.
untuk perusahaan selain an kawasan hutan yang akan 3. Melakukan perubahan dan
HPH, sehingga dapat dipakai. intervensi apabila perusahaan
memperjelas hak antar telah melanggar peraturan-
keduanya. Sedangkan bentuk-bentuk peran serta peraturan atau adat yang telah
2. Pengidentifikasian berbagai masyarakat setempat dalam peman- disepakati bersama.
potensi dan permasalahan faatan hutan yaitu: 4. Mendapatkan hak atas
yang akan terjadi apabila 1. Pengawasan terhadap pembayaran provisi atau
perusahaan berdiri di wilayah perusahaan berdasarkan saham karena kawasan hutan
itu. peraturan perundang- mereka yang dieksploitasi.

N
elayan-nelayan ikan di sepanjang Sungai Sebangau, Kecamatan Pahandut, Kodya Palangkaraya
mengeluhkan sikap para penebang liar yang telah membabat habis hutan rawa di sempadan
Sungai Sebangau yang oleh masyarakat setempat merupakan tempat berkembang biaknya jenis
ikan-ikan tertentu sehingga mengurangi tangkapan harian mereka. Kasus seperti ini telah menimbulkan
pergesekan-pergesekan antar masyarakat penebang liar dan nelayan-nelayan setempat yang akan
berkembang menjadi konflik baru.
Berdasarkan pengakuan nelayan setempat sebagai masyarakat asli Dayak sangat tersinggung dengan
ulah para penebang liar ini. Penebang-penebang liar itu tak menghargai masyarakat adat setempat
dengan membabat hutan seenaknya. Masalah lainnya adalah penebang liar itu telah merenggut mata
pencaharian masyarakat setempat dengan berkurangnya tangkapan ikan mereka.

Sumber: Laporan Investigasi FWI Simpul Bogor, 2002.

18 intip hutan | mei - juli 2003

Anda mungkin juga menyukai