Kelompok 2
Di susun Oleh :
Fakultas Syariah
Hukum Ekonomi Syariah
UIN Sultan Maulana Hassanuddin Banten
A. Pendahuluan
Qawaid fiqhiyyah adalah suatu kebutuhan bagi kita semua. Namun banyak dari kita yang
kurang mengerti bahkan ada yang belum mengerti sama sekali apa itu qawaid fiqhiyyah.
Dewasa ini ilmu qawaid fiqhiyyah yang kian berkembang. Sehingga study tentang ini amat
menarik diperbincangkan terutama kalangan yang ingin memahami ilmu tentang qawaid ini,
bukan saja para mahasiswa tetapi masyarakat yang luas juga mempelajarinya, oleh karena itu,
kami selaku penulis akan mencoba untuk menerangkan tentang faktor-faktor yang
mendorong penyusunan kaidah fiqhiyyah.
B. Rumusan Masalah
C. Tujuan Makalah
Agar kita sebagai mahasiswa/I dapat mencari tahu dan mencari jalan keluar dari
masalah yang ada dan dapat dipecahkan bersama dan dapat dipahami isi dari makalah ini
dengan baik dan bijak
Daftar isi
Pendahuluan ..............................................................................................................
Bab I ..........................................................................................................................
bab II ..........................................................................................................................
Penutup ............................................................................................................
Menurut Ali Ahmad al-Nadawi, perkembangan qawaid fiqhiyah dapat dibagi kedalam
tiga fase berikut:
Masa pertumbuhan dan pembentukan berlangsung selama tiga abad lebih. Dari zaman
kerasulan hingga abad ke-3 hijrah. Periode ini dari segi fase sejarah hukum islam, dapat
dibagi menjadi tiga zaman.
Berlangsung selama 22 tahun lebih (610-632 H / 12 SH-10 H), dan zaman tabi’in
serta tabi’ tabi’in yang berlangsung selama 250 tahun (724-974 M / 100-351 H). Tahun 351
H / 1974 M, dianggap sebagai zaman kejumudan, karena tidak ada lagi ulama pendiri
maazhab. Ulama pendiri mazhab terakhir adalah Ibn Jarir al-Thabari (310 H / 734 M), yang
mendirikan mazhab jaririyah.
Dengan demikian, ketika fiqh telah mencapai puncak kejayaan, kaidah fiqh baru
dibentuk dan ditumbuhkan. Ciri-ciri kaidah fiqh yang dominan adalah Jawami al-Kalim
(kalimat ringkas tapi cakupan maknanya sangat luas). Atas dasar ciri dominan tersebut, ulama
menetapkan bahwa hadits yang mempunyai ciri-ciri tersebut dapat dijadikan kaidah fiqh.
Oleh karena itulah periodesasi sejarah kaidah fiqih dimulai sejak zaman Nabi Muhammad
SAW.
Sabda Nabi Muhammad SAW, yang jawami al-Kalim dapat ditinjau dari dua segi, yaitu :
• Segi sumber : Ia adalah hadits, oleh karena itu, ia menjadi dalil hukum islam yang
tidak mengandung al-Mustasnayat.
• Segi cakupan makna dan bentuk kalimat : Ia dikatakan sebagai kaidah fiqh karena
kalimatnya ringkas, tapi cakupan maknanya luas.
Beberapa sabda Nabi Muhammad SAW yang dianggap sebagai kaidah fiqh, yaitu :
Ibnu Taimiyah (w. 728 H), setelah menyampaikan hadits riwayat Ahli Sunan
menyatakan , dengan hadits jawami’ al-kalim (singkat padat) Nabi Muhammad SAW
menjelaskan bahwa segala sesuatu yang dapat menghilangkan dan mengacaukan akal
(adalah) haram. Nabi tidak membeda-bedakan jenisnya, apakah benda tersebut berjenis
makanan atau minuman. Ini adalah ketetapan Nabi Muhammad SAW, yaitu hokum
meminum minuman yang memabukkan adalah haram.
B. Zaman Sahabat
Sahabat berjasa dalam ilmu kaidah fiqh, karena turut serta membentuk kaidah fiqh.
Para sahabat dapat membentuk kaidah fiqh karena dua keutamaan, yaitu mereka adalah murid
Rasulullah SAW dan mereka tahu situasi yang menjadi turunnya wahyu dan terkadang wahyu
turun berkenaan dengan mereka.
Atsar (pernyataan) sahabat yang dapat dikatagorikan jawami’ al-kalim dan qawaid
fiqhiyyah diantaranya adalah sebagai berikut:
• Pernyataan Umar bin Khatab ra (w.23 H) yang diriwayatkan oleh al-Bukhari (w. 256
H) dalam kitabnya Shahih al-Bukhari: ( مقاطع الحقوق عند الشروطpenerimaan hak
berdasarkan kepada syarat-syarat).
• pernyataan Ali bin Abi Thalib ra (w. 40 H) yang diriwayatkan oleh Abd al-Razaq
(w.211 H) :( من قاسم الزبح فال ضمان عليهorang yang membagi keuntungan tidak harus
menanggung kerugian).
Atsar Umar bin Khatab ra di atas menjadi kaidah dalam masalah syarat. Atsar Ali bin Abi
Thalib menjadi kaidah yang subur dalam bidang persoalan harta benda, seperti mudharabah
dan syirkah.
”Harta setiap yang meninggal yang tidak memiliki ahli waris diserahkan ke Bait al- mal”
Kaidah tersebut berkenaan dengan pembagian harta pusaka Baitul Mal sebagai salah satu
lembaga ekonomi umat Islam dapat menerima harta peninggalan (tirkah atau mauruts), apbila
yang meninggal dunia tidak memiliki ahli waris.
pada fase kedua abad kedua hijriah (150-204 H), salah satu kaidah yang dibentuknya, yaitu
”Sesuatu yang dibolehkan dalam keadaan terpaksa adalah tidak diperbolehkan ketika tidak
terpaksa”
Pernyataan Imam Syafi’i dalam kitabnya al-Umm, diantaranya األعظم اذا سقط عن الناس سقط ما هو
( أصغر منهapabila yang besar gugur, yang kecilpun gugur).[1]
Ulama berikutnya yaitu Imam Ahmad bin Hambal (W. 241 H),
Diantara kaidah yang dibangun oleh Imam Ahmad bin Hambal yang abu Daud dalam
kitabnya al-Masail, yaitu :
كل ما جاز فيه البيع تجوز فيه الهبة والصدقة والرهن
”Setiap yang dibolehkan untuk dijual, maka dibolehkan untuk dihibahkan dan digadaikan”
Awal mula qawaid fiqhiyah menjadi disiplin ilmu tersendiri dan dibukukan terjadi pada abad
ke 4 H dan terus berlanjut pada masa setelahnya. Hal ini terjadi ketika kecenderungan taqlid
mulai tampak dan semangat ijtihad telah melemah karena saat itu fiqh mengalami kemajuan
yang sangat pesat. Hal ini berimbas terhadap terkotak-kotaknya fiqh dalam madzhab. Dan
ulama pada saat itu merasa puas dengan perkembangan yang telah dicapai oleh fiqh pada saat
itu. Pembukuan fiqh dengan mencantumkan dalil beserta perbedaan-perbedaan pendapat yang
terjadi diantara madzhab sepertinya telah memuaskan mereka, sehingga tidak ada pilihan lain
bagi generasi setelahnya kecuali merujuk pada pendapat-pendapat madzhab itu dalam
memutuskan dan menjawab persoalan-persoalan baru.
Ketika hukum furu’ dan fatwa para ulama semakin berkembang seiring dengan semakin
banyaknya persoalan, para ulama mempunyai inisiatif untuk membuat kaidah dan dhabit
yang dapat memelihara hukum furu’ dan fatwa para ulama tersebut dari kesemerawutan. Hal
inilah yang dilakukan oleh Abu Hasan al-Karkhi (w.340 H) dalam risalahnya (ushul al-
Karkhi). Dan Abu Zaid al-Dabbusi (w.430 H) dalam kitabnya Ta’sis al-Nadhar dengan
memakai istilah ushul. Apabila ushul tersebut mencakup berbagai masalah fiqh, maka disebut
kaidah, sedangkan kalau hanya mencakup satu masalah fiqh , disebut dhabit.
Menurut DR. An Nadwi bahwa golongan Hanafiah merupakan yang pertama kali
mempelajari kaidah fiqhiyah. Beberapa informasi yang menyatakan hal tersebut termaktub
dalam beberapa literatur diantaranya, Alaby (761 H), As Suyuthi (911 H) dan Ibnu Najm
(970 H) dalam al qawaid menyatakan bahwa Imam Ad Dibas pada abad 4 Hijriyah telah
mengumpulkan beberapa kaidah-kaidah Mazhab Hanafi sebanyak 17 kaidah. Imam Ad Dibas
membaca kaidah-kaidah tersebut berulang kali setiap malam di masjid yang kemudian Abu
Said al Harawi Al Syafii menukil dari Ad Dibas beberapa kaidah-kaidah tersebut.[2]
Imam al Karkhi (340 H) menyusun sebuah catatan yang berisi 37 kaidah, kemudian dari
golongan Hanafiyah muncul Imam al Khusyni (361 H) dengan karyanya ushul al fataya. Dan
setelah itu muncul Abi Laits Al Samarqandi (373 H) dengan karyanya ta’sis al nadhri yang
identik dengan karya Abi Zaid Ad Dibasi (430 H) dengan sedikit perbedaan.
Bisa dikatakan bahwa abad 4 H merupakan fase kedua dari kemunculan kaidah
fiqhiyah[3] dengan asumsi pada abad inilah ditemukannya kaidah fiqhiyah sebagai sebuah
disiplin ilmu.
Pada abad ke-7 H qawaid fiqhiyah mengalami perkembangan yang sangat signifikan
walaupun terlalu dini untuk dikatakan matang. Di antara ulama yang menulis kitab qawaid
pada abad ini adalah al-‘Allamah Muhammad bin Ibrahin al-Jurjani al Sahlaki (w.613 H). Ia
menulis kitab dengan judul “al-Qawaid fi Furu’I al- Syafi’iyah”. Kemudian al-Imam Izzudin
Abd al-Salam (w. 660 H) menulis kitab “Qawaid al-Ahkam fi Mashalih al-Anam” yang
sempat menjadi kitab terkenal. Dari kalangan madzhab Maliki Muhammad bin Abdullah bi
Rasyid al-bakri al-Qafshi (685 H) menulis “al-Mudzhb fi Qawaid al-Madzhab” dan masih
banyak lagi. Karya-karya ini menunjukan bahwa qawaid fiqhiyah mengalami perkembangan
yang pesat pada abad ke-7 H. Qawaid fiqhiyah pada abad ini nampak tertutup namun sedikit
demi sedikit mulai meluas.
Pada abad ke-8 H, ilmu qawaid fiqhiyah mengalami masa keemasan, ditandai dengan
banyak bermunculannya kitab-kitab Qawaid fiqhiyah.[4] Perkembangan ini terbatas hanya
pada penyempurnaan hasil karya para ulama sebelumnya, khususnya di kalangan ulama
Syafi’iyah. Hal ini dapat dilihat misalnya pada kitab Ibnu al-Mulaqqin dan Taqiyuddin al-
Hishni.
Dalam hal ini, ulama Syafi’iyyah termasuk yang paling kreatif. Diantara karya-karya besar
yang muncul dalam abad ini adalah:
4. Dll
Karya-karya besar yang mengkaji qawaid fiqhiyah yang disusun pada abad IX H banyak
mengikuti metode karya-karya abad sebelumnya. Di antara karya-karya tersebut adalah:
Pada abad X H, pengkodifikasian qawaid fiqhiyah semakin berkembang. Imam al-Suyuti (w.
911 H) telah berusaha mengumpulkan qaidah fiqhiyah yang paling penting dari karya al-
‘Alai, al-subaki dan al-zarkasyi. Ia mengumpulkan kaidah-kaidah tersebut dalam kitabnya al-
Asybah wa al-Nadhai. Kitab-kitab karya ketiga tokoh ulama tersebut masih mencakup
qawaid ushuliyah dan qawaid fiqhiyah, kecuali kitab karya al-Zarkasyi.
Pada abad XI dan XII H, ilmu qawaid fiqhiyyah terus berkembang. Dengan demikian,
fase kedua dari ilmu qawaid fiqhiyah adalah fase perkembangan dan pembukuan. Fase ini
ditandai dengan munculnya al-Karkhi dan al-Dabbusi. Para ulama yang hidup dalam rentang
waktu ini (abad IV-XII) hampir dapat menyempurnakan ilmu qawaid fiqhiyah.
Abad X H dianggap sebagai periode kesempurnaan kaidah fiqh, meskipun demikian tidak
berarti tidak ada lagi perbaikan-perbaikan kaidah fiqh pada zaman sesudahnya. Salah satu
kaidah yang disempurnakan di abad XIII H adalah
“seseorang tidak dibolehkan mengelola harta orang lain, kecuali ada izin dari pemiliknya”
Kaidah tersebut disempurnakan dengan mengubah kata-kata idznih menjadi idzn. Oleh
karena itu kaidah fiqh tersebut adalah :
Kitab Majallat al-Ahkam al-‘Adliyyah, yang ditulis dan dibukukan setelah diadakan
pengumpulan dan penyeleksian terhadap kitab-kitab fiqh, adalah suatu prestasi yang
gemilnag dan merupakan indikasi pada kebangkitan fiqh pada waktu itu. Para tim penyusun
kitab itu sebelumnya telah mengadakan penyeleksian terhadap kitab-kitab fiqh, lalu
mengkonstruknya dalam bahasa undang-undang yang lebih bagus dari sebelumya. Kitab
Majalllat al-Ahkam al-‘Adliyyah inilah yang menyebabkan qaidah fiqh semakin tersebar luas
dan menduduki posisi yang sangat penting dalam proses penalaran hokum fiqh.
Bab II
A. Kesimpulan
Qa’idah ini merupakan pondasi syar’i yang kokoh. Didalamnya termuat banyak persoalan
hukum fiqh, yang bermuara pada penghilangan kesulitan dan keberatan. Dimana qa’idah ini
dengan tegas memposisikan keyakinan sebagai hukum asal, terlebih dalam masalh bersuci,
dan shalat. Agar bisa memahami qa’idah ini secara detail dan mengetahui seberapa jauh
jangkauannya dalam menghadapi persoalan persoalan fiqh islam, terlebih dahulu harus
mengetahui bahwa tingkat daya hati dalam menangkap sesuatu selalu berbeda-beda.
Al-Yakin secara bahasa adalah mengetahui, menyingkirkan keraguan, dan membuktikan
kebenaran masalah. Al-Yakin merupakan kebalikan dari al-Syak. Sedangkan Ghalabah al-
Dzan adalah dugaan tetap yaitu mendominasinya salah satu diantara dua perkara atas lainnya
dengan dominasi mutlak, dan lainnya dikesampingkan karena terlalu lemah. Al-Dzan yaitu
perkara yang dihasilkan dari tanda-tanda. Apabila tanda-tandanya kuat, maka akan
menghasilkan pengetahuan. Dan apabila lemah sekali maka disebut salah duga. Al –Syak
adalah sepadan antara dua sisi perkara, yaitu berhenti (tidak bisa menentukan) diantara dua
perkara, dan hati tidak condong pada salah satunya
DAFTAR PUSTAKA
Abdul Mudjib, Kaidah Kaidah Ilmu Fiqh (Jakarta: Kalam Mulia, 2001)
Abu Bakar bin Muhammad bin Ahmad al-Sharakhsiy, Ushul al-Sarakhsiy, (Beirut: Dar al-
Ma’rifah, 1973), Juz II
Abu Zakariya Muhyiddin Yahya bin Syaraf al-Nawawiy, Syarh al-Nawawiy ‘ala Shahih
Muslim, (Beirut: Dar Ihya al-Turats al-‘Arabiy, t. th.), Cet II, Juz IV
Mardani, Hukum Sistem Ekonomi Islam (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2015)
http://abufathirabbani.blogspot.com
http://abufathirabbani.blogspot.com
[1]
[2] Mardani, Hukum Sistem Ekonomi Islam (Jakarta: Raja Grafindo Persada,
2015), hlm 280-281
[3] Abdul Mudjib, Kaidah Kaidah Ilmu Fiqh (Jakarta: Kalam Mulia, 2001), hlm 20-25
[4] Mardani, op.cit., hlm 282-283
[5] Abu Zakariya Muhyiddin Yahya bin Syaraf al-Nawawiy, Syarh al-Nawawiy ‘ala Shahih Muslim, (Beirut: Dar
Ihya al-Turats al-‘Arabiy, t. th.), Cet II, Juz IV, h. 49
[6] Abu Bakar bin Muhammad bin Ahmad al-Sharakhsiy, Ushul al-
Sarakhsiy, (Beirut: Dar al-Ma’rifah, 1973), Juz II, h. 116