Anda di halaman 1dari 7

Masjid merupakan tempat yang sangat mulia di muka bumi.

Masjid
sengaja dibangun sebagai tempat manusia beribadah kepada Allah SWT
guna mensucikan diri mereka. Masjid juga dibangun sebagai pusat
kegiatan pembinaan umat dalam rangka mewujudkan pribadi dan
masyarakat Islam yang sebenar-benarnya. Tercatat dalam sejarah Islam,
masjid adalah bangunan pertama yang dibangun oleh Rasulullah SAW
ketika Beliau berhijrah ke kota Madinah.

ُّ‫ق أَ ْن تَقُو َم فِي ِه فِي ِه ِر َجا ٌل ي ُِحبُّونَ أَ ْن يَتَطَهَّرُوا َوهَّللا ُ يُ ِحب‬ َ ‫ْج ٌد أُس‬
ُّ ‫ِّس َعلَى التَّ ْق َوى ِم ْن أَ َّو ِل يَوْ ٍم أَ َح‬ ِ ‫لَ َمس‬
108 : ‫التوبة‬ – َ‫ْال ُمطَّه ِِّرين‬
“Sesungguhnya masjid yang didirikan atas dasar takwa [masjid Quba], sejak hari
pertama adalah lebih patut kamu shalat di dalamnya. Di dalam masjid itu ada
orang-orang yang ingin membersihkan diri, dan sesungguhnya Allah menyukai
orang-orang yang bersih” (QS. at-Taubah: 108).
Masjid adalah salah satu di antara syiar-syiar Islam yang agung dan
mempunyai peran sangat strategis demi tercapainya kemuliaan Islam dan
umat Islam. Umat Islam diperintahkan oleh Allah SWT agar senantiasa
mengagungkan masjid sebagai wujud dari ketakwaan mereka kepada-
Nya.

ِ ‫ك َو َم ْن يُ َعظِّ ْم َش َعائِ َر هَّللا ِ فَإِنَّهَا ِم ْن تَ ْق َوى ْالقُلُو‬


32 : ‫الحج‬ – ‫ب‬ َ ِ‫َذل‬
“Yang demikian itu, dan barangsiapa mengagungkan syiar-syiar Allah, maka
sesungguhnya itu timbul dari ketakwaan hati” (QS. al-Hajj: 32)
Di dalam ayat lain, Allah SWT mengaitkan ciri orang yang mendapat
petunjuk-Nya dengan kegiatan mereka dalam memakmurkan masjid.

RELATED POST
Banjir di Kalbar, Muhammadiyah Terjunkan Relawan
Siaran Pers Diktilitbang PP Muhammadiyah Terkait Permen
Dikbudristek No 30 Tahun 2021

‫ش إِاَّل هَّللا َ فَ َع َسى‬ َّ ‫اج َد هَّللا ِ َم ْن آ َمنَ ِباهَّلل ِ َو ْاليَوْ ِم اآْل ِخ ِر َوأَقَا َم ال‬
َ ‫صاَل ةَ َوآتَى ال َّز َكاةَ َولَ ْم يَ ْخ‬ ِ ‫إِنَّ َما يَ ْع ُم ُر َم َس‬
18 : ‫التوبة‬ – َ‫أُولَئِكَ أَ ْن يَ ُكونُوا ِمنَ ال ُم ْهتَ ِدين‬
ْ
“Hanya yang memakmurkan masjid-masjid Allah adalah orang-orang yang
beriman kepada Allah dan hari Kemudian, serta tetap mendirikan shalat,
menunaikan zakat dan tidak takut [kepada siapa pun]  selain kepada Allah, Maka
merekalah orang-orang yang diharapkan termasuk golongan orang-orang yang
mendapat petunjuk” (QS. at-Taubah: 18).
Seiring dengan kemuliaan masjid, Rasulullah SAW dalam beberapa
sabdanya menjelaskan berbagai keutamaan bagi orang yang gemar ke
masjid, di antaranya, ia termasuk di antara tujuh golongan yang kelak di
hari kiamat akan mendapatkan naungan Allah SWT (HR. Bukhari).
Di  dalam hadits yang lain, Nabi SAW bersabda:

َ ‫اح أَ َع َّد هَّللا ُ لَهُ فِي ْال َجنَّ ِة نُزُاًل ُكلَّ َما َغدَا أَوْ َر‬
 ‫اح‬ َ ‫ْج ِد أَوْ َر‬
ِ ‫َم ْن َغدَا إِلَى ْال َمس‬
“Barangsiapa berangkat pagi atau sore hari ke masjid, maka Allah akan
mempersiapkan hidangan baginya di surga, setiapkali ia berangkat pagi atau
sore hari” (HR. Bukhari dan Muslim).

ْ ‫َت‬ْ ‫ض هَّللا ِ َكان‬ ِ ‫ت هَّللا ِ لِيَ ْق‬ ٍ ‫َم ْن تَطَهَّ َر فِي َب ْيتِ ِه ثُ َّم َم َشى إِلَى بَ ْي‬
ُ‫خَط َوتَاه‬ ِ ِ‫يضةً ِم ْن فَ َرائ‬
َ ‫ض َي فَ ِر‬ ِ ‫ت ِم ْن بُيُو‬
ً‫ُط خَ ِطيئَةً َواأْل ُ ْخ َرى تَرْ فَ ُع د ََر َجة‬ ُّ ‫إِحْ دَاهُ َما تَح‬
“Barangsiapa bersuci di rumahnya, kemudian berjalan ke salah satu rumah
Allah [masjid] untuk melaksanakan kewajiban yang Allah tetapkan, maka kedua
langkahnya, yang satu menghapus kesalahan dan satunya lagi meninggikan
derajat” (HR. Muslim).
Karena sedemikian besar kedudukan masjid, maka ada beberapa adab
(sopan santun) yang ditentukan oleh syari’at Islam ketika seorang berada
di dalamnya. Di antara adab seseorang di dalam masjid adalah
melaksanakan shalat Tahiyatul Masjid.

Dasar Hukum Shalat Tahiyatul Masjid


Shalat Tahiyatul Masjid adalah shalat yang dilakukan sebanyak dua
raka’at, dan dikerjakan oleh seseorang ketika masuk ke dalam masjid dan
sebelum duduk. Rasulullah SAW bersabda:

‫رواه أحمد عن أبي هريرة‬ – ‫ُصلِّ َي َر ْك َعتَي ِْن‬ ِ ‫إِ َذا َدخَ َل أَ َح ُد ُك ُم ْال َمس‬
َ ‫ْج َد فَالَ يَجْ لِسْ َحتَّى ي‬
“Apabila salah seorang di antara kamu masuk masjid, maka janganlah ia duduk
sehingga ia melaksanakan shalat dua raka’at” (HR. Ahmad dari Abu
Hurairah).

َ ِ‫ْج َد فَ ْليَرْ َك ْع َر ْك َعتَي ِْن قَب َْل أَ ْن يَجْ ل‬


 ‫رواه البخاري‬ – ‫س‬ ِ ‫إِ َذا َدخَ َل أَ َح ُد ُك ُم ْال َمس‬
“Apabila seseorang di antara kamu masuk ke dalam masjid, maka hendaklah ia
melakukan shalat dua raka’at sebelum duduk” (HR. Bukhari).
Shalat dua raka’at, seperti tercantum dalam hadits di atas, dinamakan
para ulama sebagai shalat Tahiyatul Masjid. Hikmah mengerjakan shalat
Tahiyatul Masjid adalah sebagai bentuk penghormatan terhadap masjid,
sebagaimana seseorang masuk ke dalam rumah atau dua orang sahabat
yang saling bertemu, yang diawali dengan mengucapkan salam. Untuk itu,
setiap umat Islam yang masuk ke masjid dan hendak duduk di dalamnya
agar mengerjakan shalat dua rak’at. Hal ini telah disyari’atkan oleh para
ulama. Berdasarkan kesepakatan para ulama, maka hendaknya setiap
orang yang masuk ke dalam masjid, baik siang maupun malam, jangan
langsung duduk, tapi mengerjakan shalat Tahiyatul Masjid sebanyak dua
raka’at.
Sekalipun para ulama telah bersepakat, namun di antara mereka masih
terdapat perbedaan pendapat tentang hukum shalat Tahiyatul Masjid.
Sebagian di antara ulama ada yang berpendapat bahwa hukum shalat
Tahiyatul Masjid adalah wajib, sedangkan sebagian lainnya menyebut
sunnah. Mereka yang berpendapat wajib didasarkan pada perintah Nabi
Muhammad SAW yang terdapat dalam hadits di atas. Sedangkan, bagi
mereka yang berpendapat sunnah didasarkan pada beberapa hadits
berikut, pertama, hadits Abdullah bin Busr:

َ َ‫ َي ْخطُبُ فَق‬-‫صلى هللا عليه وسلم‬- ‫اس َيوْ َم ْال ُج ُم َع ِة َوالنَّبِ ُّى‬
‫ال لَهُ النَّبِ ُّى‬ َ َ‫َجا َء َر ُج ٌل يَتَخَ طَّى ِرق‬
ِ َّ‫اب الن‬
‫رواه أبو داود‬ – » َ‫ « اجْ لِسْ فَقَ ْد آ َذيْت‬-‫صلى هللا عليه وسلم‬-
“Seorang laki-laki datang [masuk masjid] dan melangkahi pundak-pundak
manusia, sedangkan Rasulullah SAW berkhutbah, maka Beliau berkata:
duduklah, sungguh engkau telah menyakiti mereka” (Shahih, HR. Abu Dawud,
dishahihkan oleh Syaikh al-Albani).
Kedua, hadits AbuWaqid al-Laitsi r.a.:

‫صلَّى هَّللا ُ َعلَ ْي ِه َو َسلَّ َم بَ ْينَ َما ه َُو َجالِسٌ فِي ْال َم ْس ِج ِد َوالنَّاسُ َم َعهُ ِإ ْذ‬ َ ‫ع َْن أَبِي َواقِ ٍد اللَّ ْيثِ ِّي أَ َّن َرس‬
َ ِ ‫ُول هَّللا‬
‫هَّللا‬
ِ ‫ال فَ َوقَفَا َعلَى َرسُو ِل‬ َ َ‫َب َوا ِح ٌد ق‬ َّ
َ ‫صلى ُ َعلَ ْي ِه َو َسل َم َو َذه‬ ‫هَّللا‬ َّ َ ِ ‫ُول‬ ‫هَّللا‬ ِ ‫أَ ْقبَ َل ثَاَل ثَةُ نَفَ ٍر فَأ َ ْقبَ َل ْاثنَا ِن إِلَى َرس‬
‫س خَ ْلفَهُ ْم َوأَ َّما‬ َ َ‫س فِيهَا َوأَ َّما اآْل خَ ُر فَ َجل‬ َ َ‫صلَّى هَّللا ُ َعلَ ْي ِه َو َسلَّ َم فَأ َ َّما أَ َح ُدهُ َما فَ َرأَى فُرْ َجةً فِي ْال َح ْلقَ ِة فَ َجل‬ َ
‫ال أَاَل أُ ْخبِ ُر ُك ْم ع َْن النَّفَ ِر الثَّاَل ثَ ِة أَ َّما‬ َ ‫ق‬ ‫م‬َّ
َ َ َ َ ِ َ ُ‫ل‬ ‫س‬ ‫و‬ ‫ه‬ ْ
‫ي‬ َ ‫ل‬ ‫ع‬ ‫هَّللا‬ ‫ى‬َّ ‫ل‬ ‫ص‬ ‫هَّللا‬
َ ِ ُ َ َ َّ ‫ل‬ ‫ُو‬
‫س‬ ‫ر‬ َ
‫غ‬ ‫ر‬َ ‫ف‬ ‫ا‬ ‫م‬َ ‫ل‬َ ‫ف‬ ‫ًا‬ ‫ب‬ ‫ه‬‫ا‬ َ
‫ذ‬
ِ ََ ‫ر‬ ‫ب‬ ْ
‫د‬ َ ‫أ‬َ ‫ف‬ ُ
‫ث‬ ِ َّ‫الث‬
‫ل‬ ‫ا‬
ُ ‫ض هَّللا‬ َ ‫ض فَأ َ ْع َر‬ َ ‫آواهُ هَّللا ُ َوأَ َّما اآْل خَ ُر فَا ْستَحْ يَا فَا ْستَحْ يَا هَّللا ُ ِم ْنهُ َوأَ َّما اآْل َخ ُر فَأ َ ْع َر‬ َ َ‫أَ َح ُدهُ ْم فَأ َ َوى إِلَى هَّللا ِ ف‬
ُ‫َع ْنه‬
“Dari Abu Waqid al-Laitsi, sungguh Rasulullah SAW ketika sedang duduk
bermajelis di masjid bersama para sahabat, datanglah tiga orang. Yang dua
orang menghadap Nabi SAW dan yang seorang lagi pergi, yang dua orang terus
duduk bersama Nabi SAW di mana satu di antaranya melihat tempat yang
kosong lalu ia duduk di tempat itu sedangkan yang kedua duduk di belakang
mereka, sedangkan yang ketiga berbalik pergi. Setelah Rasulullah SAW selesai
bermajelis, Beliau bersabda: Maukah kalian Aku beritahu tentang ketiga orang
tadi?”Adapun salah seorang di antara mereka, dia meminta perlindungan
kepada Allah, maka Allah lindungi dia. Yang kedua, dia malu kepada Allah, maka
Allah pun malu kepadanya. Sedangkan yang ketiga berpaling dari Allah, maka
Allah pun berpaling darinya” (HR. Bukhari dan Muslim).
Ketiga, hadits Thalhah bin Ubaidullah r.a.:

ْ
‫صوْ تِ ِه َواَل نَ ْفقَهُ َما‬
َ ‫ي‬ َّ ‫س نَ ْس َم ُع د َِو‬ِ ‫صلَّى هَّللا ُ َعلَ ْي ِه َو َسلَّ َم ِم ْن أَ ْه ِل نَجْ ٍد ثَائِ ُر الرَّأ‬
َ ِ ‫ُول هَّللا‬
ِ ‫َجا َء َر ُج ٌل إِلَى َرس‬
ُ ‫صلَّى هَّللا‬َ ِ ‫ال َرسُو ُل هَّللا‬ َ
َ َ‫صلَّى هَّللا ُ َعلَ ْي ِه َو َسلَّ َم فَإ ِ َذا ه َُو يَسْأ ُل ع َْن اإْل ِ ْساَل ِم فَق‬
َ ِ ‫ُول هَّللا‬
ِ ‫يَقُو ُل َحتَّى َدنَا ِم ْن َرس‬
َّ َ ‫اَّل‬
‫ي َغ ْي ُره َُّن قَا َل اَل إِ أ ْن تَط َّو َع‬ َّ َ‫ال هَلْ َعل‬ َّ ْ
َ َ‫ت فِي اليَوْ ِم َوالل ْيلَ ِة فَق‬ َ ُ‫َعلَ ْي ِه َو َسلَّ َم خَ ْمس‬
ٍ ‫صلَ َوا‬
“Seorang laki-laki dari penduduk Nejd yang rambutnya berdiri datang kepada
Rasulullah SAW, kami mendengar gumaman suaranya, namun kami tidak dapat
memahami sesuatu yang dia ucapkan hingga dia dekat dari Rasulullah SAW,
ternyata dia bertanya tentang Islam. Maka Rasulullah SAW menjawab, Islam
adalah shalat lima waktu siang dan malam. Dia bertanya lagi, apakah saya
masih mempunyai kewajiban selainnya? Beliau menjawab, tidak, kecuali kamu
melakukan shalat sunnah” (HR. Bukhari dan Muslim).
Hadits yang pertama dan kedua menjelaskan tentang orang yang masuk
ke masjid dan langsung duduk dengan tidak melakukan shalat Tahiyatul
Masjid tanpa ditegur oleh Rasulullah SAW. Hal ini menunjukkan bahwa
shalat tersebut tidak wajib. Pendapat ini diperkuat oleh penjelasan pada
hadits ketiga. Oleh karena itu, pendapat kedua adalah yang lebih kuat.

Waktu Shalat Tahiyatul Masjid


Shalat Tahiyatul Masjid disyari’atkan dikerjakan tatkala seseorang masuk
ke dalam masjid, sebelum duduk, baik siang maupun malam. Lantas,
bagaimana jika ada orang yang hendak masuk ke dalam masjid pada
waktu-waktu larangan shalat, seperti setelah shalat Ashar sampai
matahari terbenam, atau setelah shalat Shubuh sampai matahari terbit?
(HR. Muttafaq ‘alaihi). Apabila terjadi kondisi seperti ini, sebagian ulama
berpendapat agar ia menangguhkan terlebih dahulu keinginannya untuk
masuk ke dalam masjid sampai habis waktu terlarang, atau bisa juga terus
masuk dan berdiri di dalam masjid hingga habis waktu larangan shalat.

Sedangkan, sebagian ulama lainnya, seperti Ibnu Taimiyah, Ibnul Jauzi,


Syaikh Muhammad bin Utsaimin, Syaikh Ibnu Baza, dan ulama-ulama
lainnya, berpendapat bahwa ia tetap diperintahkan shalat Tahiyatul
Masjid. Dasar yang digunakan dalam menyampaikan pendapat ini adalah
keumuman perintah Nabi Muhammad SAW yang terdapat pada hadits
riwayat Ahmad di atas. Selain itu, larangan mengerjakan shalat pada
waktu-waktu tertentu berlaku bagi shalat yang tanpa sebab, dan tidak
ditujukan untuk shalat yang memiliki sebab, seperti shalat Tahiyatul
Masjid. Shalat Tahiyatul Masjid dikerjakan karena ada sebab tertentu,
yakni karena masuk ke dalam masjid.

Dalam pada itu, jika seseorang masuk ke masjid dan menjumpai imam
sedang berkhutbah, maka ia tetap disunnahkan untuk mengerjakan shalat
Tahiyatul Masjid, dan hendaknya shalat tersebut diringankan atau
dipercepat. Ketentuan tersebut tidak berlaku apabila seorang khatib
hampir selesai melaksanakan khutbah. Sebab, menurut dugaan kuat,
apabila “memaksakan diri” mengerjakan shalat Tahiyatul Masjid, maka ia
akan ketinggalan shalat wajib (shalat Jum’at). Dalam hadits riwayat al-
Bukhari dan Muslim dari Jabir, ia berkata:

‫ك قُ ْم‬
ُ ‫ يَا ُسلَ ْي‬:ُ‫ فَقَا َل لَه‬.‫س‬ َ ِ ‫ك ْال َغطَفَانِ ُّي يَوْ َم ْال ُج ُم َع ِة َو َرسُو ُل هَّللا‬
َ َ‫ فَ َجل‬, ُ‫صلَّى هَّللا ُ َعلَ ْي ِه َو َسلَّ َم يَ ْخطُب‬ ٌ ‫َجا َء ُسلَ ْي‬
ْ ْ َ ُ ْ ‫إْل‬ ْ ُ َ
‫ إِذا َجا َء أ َح ُدك ْم يَوْ َم ال ُج ُم َع ِة َوا ِ َما ُم يَخطبُ فليَرْ َك ْع َرك َعتَي ِْن‬:‫ال‬ َ ُ
َ ‫فَارْ َك ْع َر ْك َعتَي ِْن َوت ََج َّوز فِي ِه َما! ث َّم ق‬
َ ْ
‫َو ْليَت ََج َّو ْز فِي ِه َما‬
“Sulaik al-Ghathafani datang pada hari Jum’at, sementara
Rasulullah SAW sedang berkhutbah, dia pun duduk. Maka Beliau langsung
bertanya padanya: wahai Sulaik, bangun dan shalatlah dua
raka’at, kerjakanlah dengan ringan. Kemudian Beliau bersabda: jika salah
seorang dari kalian datang pada hari Jum’at, sedangkan imam sedang
berkhutbah, maka hendaklah dia shalat dua raka’at, dan hendaknya dia
mengerjakannya dengan ringan” (HR. Bukhari dan Muslim).
Berdasarkan hadits di atas pula, para ulama berpendapat bahwa
sekiranya seseorang masuk masjid dan langsung duduk karena tidak tahu
atau lupa, dan belum mengerjakan shalat Tahiyatul Masjid, maka ia tetap
disyari’atkan untuk mengerjakan shalat tersebut. Sebab, orang yang
diberi uzur (karena lupa atau tidak tahu) tidak hilang kesempatan untuk
mengerjakan shalat Tahiyatul Masjid, dengan syarat, jarak antara duduk
dengan waktunya tidak terlalu lama. Hal ini dijelaskan oleh Ibnu Hajar di
dalam “Kitab Fathul Bari” (Lihat, Fathul Bari: 2/408).
Demikian halnya apabila seseorang masuk ke dalam masjid dan azan
sedang dikumandangkan, maka sebaiknya ia sambil berdiri menjawab
azan terlebih dahulu, dan menunda sebentar untuk mengerjakan shalat
Tahiyatul Masjid. Dengan demikian, ia dapat melaksanakan dua perintah
sekaligus, yaitu menjawab azan dan mengerjakan shalat Tahiyatul Masjid.
Rasulullah SAW bersabda:

‫رواه البخاري ومسلم‬ – ُ‫إِ َذا َس ِم ْعتُ ْم النِّدَا َء فَقُولُوا ِم ْث َل َما يَقُو ُل ْال ُمؤَ ِّذن‬
“Apabila kamu mendengar azan, maka bacalah seperti yang dibaca muazin”
Namun, apabila muazin telah mengumandangkan iqamat, sebagai tanda
shalat wajib akan dilaksanakan, maka seseorang tidak diperbolehkan
mengerjakan shalat Tahiyatul Masjid, melainkan segera mengikuti shalat
wajib. Rasulullah SAW bersabda:

‫ رواه مسلم‬.ُ‫صالَةَ إِالَّ ْال َم ْكتُوبَة‬


َ َ‫صالَةُ فَال‬ ِ ‫إِ َذا أُقِي َم‬
َّ ‫ت ال‬
“Apabila shalat telah ditegakkan [dengan seruan iqamat], maka tidak ada shalat
kecuali shalat wajib” (HR Muslim)
Setiap Orang Dianjurkan Mengerjakan
Berdasarkan keumuman hadits Nabi di atas, maka setiap orang, baik laki-
laki maupun perempuan, yang masuk ke dalam masjid dianjurkan
mengerjakan shalat Tahiyatul Masjid. Apakah anjuran tersebut juga
berlaku bagi orang yang mendapat tugas menyampaikan Khutbah Jum’at?
Menurut para ulama, seorang khatib tidak dianjurkan menunaikan shalat
Tahiyatul Masjid, melainkan ia segera naik ke mimbar. Hal ini
sebagaimana telah dilakukan oleh Nabi Muhammad SAW dan para
sahabat.

Demikian halnya dengan seorang imam shalat. Apabila seorang imam


shalat mencukupkan diri dengan mengerjakan shalat Maktubah daripada
menunaikan shalat Tahiyatul Masjid (ketika masuk masjid) karena
dekatnya waktu iqamat, maka cukup baginya untuk mendirikan shalat
fardhu, dan tanpa shalat Tahiyatul Masjid. Hal ini sejalan salah satu hadits
Nabi Muhammad SAW: “Dari Jabir bin Samurah, dia berkata: dahulu Bilal
menyerukan azan jika matahari telah tergelincir sampai Nabi SAW keluar. Ketika
Nabi keluar, Bilal segera menyerukan iqamat seketika melihat Beliau” (HR.
Muslim dan Abu Dawud).
Namun, bagaimana jika imam telah datang sejak awal waktu? Jika imam
datang pada awal waktu, maka ia disyari’atkan untuk mengerjakan shalat
Tahiyatul Masjid, sebagaimana makmum. Ketentuan ini didasarkan pada
keumuman hadits Nabi SAW: “jika salah seorang dari kalian masuk ke masjid,
maka janganlah duduk sehingga ia shalat dua raka’at terlebih dahulu” (HR.
Bukhari dan Muslim).
Tata Cara Shalat Tahiyatul Masjid
Sejauh dilakukan penelusuran, tidak ditemukan adanya dalil yang
menjelaskan perbedaan tata cara shalat Tahiyatul Masjid dengan shalat-
shalat yang lainnya. Untuk itu, apabila ada orang yang akan menunaikan
shalat Tahiyatul Masjid, hendaknya ia melakukannya sebagaimana shalat
sunnah dua raka’at yang lainnya, baik menyangkut gerakan maupun
bacaan. Perbedaan antara shalat Tahiyatul Masjid dengan shalat-shalat
lainnya hanya terletak pada niat dan keterikatannya dengan tempat.
Dalam hal ini, shalat Tahiyatul Masjid dikerjakan di masjid, dan tidak di
mushala rumah atau di tempat-tempat lain yang bukan masjid.

Bagaimana dengan shalat di Masjidil Haram? Khusus untuk Masjidil


Haram, sebagian dari ulama, seperti Imam Nawawi, mengemukakan
bahwa shalat Tahiyatul Masjid di Masjidil Haram adalah thawaf yang
dikhususkan bagi para pendatang. Sementara, bagi orang yang mukim
(menetap) di sana, maka hukumnya sama seperti masjid-masjid yang
lainnya, yaitu disunnahkan shalat Tahiyatul Masjid (Fathul Bari: 2/412).
Pendapat ini didasarkan kepada hadits yang berbunyi:

ُ‫ت الطَّ َواف‬


ِ ‫ت َِحيَّةُ ْالبَ ْي‬
“Tahiyat bagi al-Bait [Ka’bah] adalah thawaf” (Adh-Dhaifah, No. 1.012, karya
al-Albani –rahimahullah-).
Namun demikian hadits yang dijadikan sebagai rujukan dalam masalah itu
tidak sahih (benar), dan bahkan tidak ada asalnya dari Nabi Muhammad
SAW. Untuk itu, bisa disimpulkan bahwa shalat Tahiyatul Masjid berlaku
bagi semua masjid termasuk Masjidil Haram. Dengan demikian, setiap
orang yang masuk ke Masjidil Haram tetap dianjurkan baginya untuk
mengerjakan shalat Tahiyatul Masjid, jika dia ingin duduk. Lain halnya jika
ia ingin langsung mengerjakan thawaf. Dalam hal ini, dia tidak perlu lagi
mengerjakan shalat Tahiyatul Masjid. Pendapat seperti ini dikemukakan
oleh mayoritas ulama fikih. Adapun dasar yang mereka gunakan adalah
meneladani apa yang pernah dilakukan oleh Rasulullah SAW dan para
sahabat.

Lantas, bagaimana jika seseorang berulangkali masuk masjid dalam


waktu yang berdekatan? Terkait dengan hal tersebut, sebagian ulama
berpendapat bahwa ia tetap disukai (istihbab) mengulang-ulang shalat
Tahiyatul Masjid setiap kali masuk masjid. Pendapat ini diambil an-
Nawawi dan dipilih Ibnu Taimiyah, yang juga merupakan pendapat
mazhab Hanbali. As-Syaukani menerangkan bahwa shalat Tahiyatul
Masjid disyari’atkan (bagi seseorang) walaupun acapkali  keluar-masuk
masjid, sebagaimana ditunjukkan zahir hadits. Kendatipun demikian,
sebagian ulama lainnya berpendapat bahwa seseorang yang keluar-
masuk masjid dalam waktu yang berdekatan, maka cukup baginya
mengerjakan shalat Tahiyatul Masjid satu kali saja.
Namun demikian, jika terdapat seseorang yang masuk ke masjid dan
langsung mengerjakan shalat Rawatib (karena waktu yang terbatas),
maka menurut para ulama, shalat tersebut telah dapat menggantikan
shalat Tahiyatul Masjid. Sebab, maksud dari shalat Tahiyatul Masjid
adalah agar setiap orang yang masuk ke masjid memulai dengan shalat,
sedangkan ia telah mengerjakan shalat Rawatib. Dasar yang digunakan
oleh pendapat seperti ini adalah keumuman perintah Nabi Muhammad
SAW yang terdapat pada hadits di atas.

Anda mungkin juga menyukai