Anda di halaman 1dari 26

ISOLASI SEL LIMFOSIT DAN ANALISIS FLOWCYTOMETRY

PADA MENCIT (Mus musculus)


LAPORAN PRAKTIKUM IMUNOLOGI

oleh
Devi Era Rachmawati
175090101111005
Kelompok 2

LABORATORIUM FISIOLOGI HEWAN


JURUSAN BIOLOGI
FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM
UNIVERSITAS BRAWIJAYA
2019
ISOLASI SEL LIMFOSIT DAN ANALISIS FLOWCYTOMETRY
PADA MENCIT (Mus musculus)

Devi Era Rachmawati


Jurusan Biologi, Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam
Universitas Brawijaya

ABSTRAK

Limfosit adalah sel kompeten secara imunologik dan membantu


fagositosit dalam pertahanan tubuh terhadap infeksi dan invasi asing.
Antigen dapat didefinisikan sebagai suatu zat yang akan menginduksi
produksi sel TCD4, CD8, dan B220. Tujuan dari praktikum ini adalah
untuk menganalisis sel TCD4, CD8, dan B220 menggunakan metode
flowcytometry dan mengetahui respon imunitas mencit terhadap
antigen. Analisis data flowcytometry menggunakan BD CellQuest
Pro™ Software. Praktikum ini dilaksanakan pada hari Sabtu tanggal
21 November, 28 November , 5 November dan 15 November 2019 yang
bertempat di Laboratorium Fisiologi Hewan, Jurusan Biologi, Fakultas
Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam, Universitas Brawijaya,
Malang. Hasil analisis menunjukkan bahwa penambahan antigen E. coli
dapat meningkatkan pembentukan sel T CD4, CD8, dan B220. Pada
organ spleen banyak ditemukan B220 dan sel T yang telah mature
(single positif) yaitu CD4+ atau CD8+. Organ thymus banyak ditemukan
sel T imature (doulbe positvef) yaitu CD4+CD8+.. Selain itu mencit
dengan perlakuan Dosis I injeksi E. coli lebih banyak ditemukan
populasi sel-sel limfosit, baik dari CD4, CD8 maupun B220. Hal ini
menunjukkan bahwa injeksi antigen berupa E. coli pada mencit efektif
untuk menginduksi pembentukan respon imun.

Kata Kunci: B220, CD4, CD8, flowcytometry, spleen


BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Dasar Teori


Limfosit adalah sel kompeten secara imunologik dan membantu
fagositosit dalam pertahanan tubuh terhadap infeksi dan invasi asing.
Pembentukan limfosit terjadi pada organ limfoid. Organ limfoid
diperlukan untuk pematangan, diferensiasi dan proliferasi limfosit.
Organ limfoid primer diperlukan untuk pematangan sel T dan B menjadi
limfosit yang mengenali antigen. Dua organ limfoid primer utama yaitu
kelenjar timus dan sum-sum tulang. Sedangkan organ limfoid sekunder
diperlukan untuk proliferasi dan difernsisasi limfosit yang sudah
disentisisasi atau dekenalkan dengan antigen commited lymphocyte.
Organ limfoid sekunder utama adala spleen, kelenjar Payer’s patches
yang tersebar di dinding saluran cerna, tonsil dan apendiks. Organ
limfoid sekunder mempunyai dua fungsi utama yaitu menangkap dan
mengumpulkan bahan asing dnegan efektif dan merupakan tempat
utama produksi antibodi dan sentilisasi sel T yang antigen spesifik
(Bijanti, 2010).
Limfosit, seperti semua sel darah berasal dari sel induk
pluripoten di sum-sum tulang atau hati janin yang sedang berkembang.
Semua limfosit awal tampak serupa, tetapi keudian akan berkembang
menjadi sel T dan sel B, tergantung di mana mereka melanjutkan proses
pematangannya. Limfosit yang bermigrasi dari sum-sum tulang ke
timus, yaitu sutau kelenjar dalam rongga dada di atas jantung akan
berkembang menjadi sel T. Limfosit yang tetap berada dalam sum-sum
tulang dan meneeruskan pematangannya disana akan menjadi sel B dan
tempat pertama kali sel B ditemukan. Limfosit berinterksi dengan
kelompok glikoprotein permukaan sel yang dikode oleh sebuah kelurga
gen yang disebut dengan kompleks histokompabilitas mayor (major
histocompability complex, MHC). Dua kelas utama molekul MHC
menandai tubuh sebagai siri sendiri. Molekul MHC kelas I ditemukan
pada semua sel bernukleus. Molekul MHC kelas II terbatas hanya pada
beberapa jenis sel khusus, yang meliputi makrofag, sel B, sel T yang
telah diaktifkan dan sel-sel yang menyususn interior timus. MHC
berperan dalam penyajian atau mempresntasikan antigen. Masing-
masing molekul MHC membentuk kompleks dengan peptida antigen
dan menyajikannya ke sel T. Ada dua jenis utama fungsi sel T. Sel T
mempunyai reseptor antigen yang terikat dengan fragmen antigen yang
dipresentasikn oleh molekul MHC kelas I tubuh. Sel T helper
mempunyai reseptor yang terikat dengan fragmen antigen (Campbell,
2010). Sel T yang mengandung reseptor untuk mengenali MHC
berkembang di dalam timus. Sel T yang sedang berkembang
berinterkasi dengan sel-sel thymus, yang mengandung kadar molekul
MHC kelas I dan molekul MHC kelas II yang tinggi. Sel-sel T yang
sedang berkembang dan mempunyai reseptor degan afinitas untuk MHC
kelas I akan menjadi sel T sititoksik. Sel-sel T yang mempunyai reseptor
dengan afinitas untuk MHC kelas II akan menjadi sel T helper (2010).
Antigen dapat didefinisikan sebagai suatu zat yang akan
menginduksi produksi antibodi. Antigen dikenali oleh sel T ketika
disajikan secara kompleks dengan protein MHC. Degradasi antigen dan
jalur pengolahan yang berbeda menghasilkan kompleks MHC-peptida di
mana peptida endogen (sitoplasma) berhubungan dengan molekul kelas
I dan peptida eksogen (endosom) yang berhubungan dengan molekul
kelas II. Kelas MHC I menyajikan epitop antigen endogen ke sel CD8 +
T sitotoksik, dan MHC kelas II menyajikan epitop antigen eksogen ke
sel CD4+. Semua sel berinti mampu menghadirkan MHC kelas I, tetapi
hanya sel fagosit khusus yang menyajikan epitop antigenik pada MHC
kelas II. Antigen didasari oleh determinan antigen atau epitop. Dalam
protein, yang mewakili sebagian besar antigen, dua jenis determinan
antigenik dapat dibedakan: determinan kontinu atau segmental,
seluruhnya terkandung dalam urutan primer residu asam amino
kontinyu, dan determinan terputus atau berkumpul, yang dibentuk oleh
residu yang jauh di dalam primer. urutan tetapi secara topografi
dirangkai dalam struktur tersier protein (Doherty, 2014).
Flowcytometry adalah teknik yang digunakan untuk menganalis
jenis-jenis sel yang tedapat pada suatu populasi sel. Prinsip
flowcytometry adalah pelabelan sel menggunakan pewarnaan
fluoresence, keudian sel dilewatkan celah sempit dan ditembak sinar
UV. Flowcytometry menyediakan metode mapan untuk
mengidentifikasi sel-sel dalam larutan dan paling sering digunakan
untuk mengevaluasi darah perifer, sumsum tulang, dan cairan tubuh
lainnya. Flowcytometry digunakan untuk mengidentifikasi dan
mengukur sel-sel sistem kekebalan tubuh dan untuk mengkarakterisasi
keganasan hematologi. Flowcytometry telah muncul sebagai komponen
penting dalam evaluasi gangguan defisiensi imun primer. Ekspansi yang
lebih baru dari teknik flow-cytometric untuk mengevaluasi karakteristik
intraseluler, menilai perubahan intraseluler yang terkait dengan aktivasi,
mencirikan apoptosis, dan mengidentifikasi sel T yang spesifik-antigen
telah memindahkan teknologi ini ke dalam arena fungsi sel. Pendekatan-
pendekatan baru ini telah meningkatkan peran flowcytometry sebagai
metode penting untuk karakterisasi fungsi kekebalan tubuh (Givan,
2013).

1.2 Tujuan
Tujuan dari praktikum ini adalah untuk:
1. Bagaimana respon imunitas mencit terhadap antigen?
2. Bagaimana cara menganalisis sel T CD4, CD8, dan CD62L
menggunakan metode flowcytometry?
BAB II

METODE

2.1 Waktu dan Tempat


Praktikum ini dilaksanakan pada hari Sabtu tanggal 21 November,
28 November , 5 November dan 15 November 2019 yang bertempat di
Laboratorium Fisiologi Hewan, Jurusan Biologi, Fakultas Matematika
dan Ilmu Pengetahuan Alam, Universitas Brawijaya, Malang.

2.2 Cara Kerja


2.2.1 Injeksi Bakteri E. coli ke Mencit
Bakteri E.coli dikultur selama 48 jam pada medium LB (Luria
Bertani) dengan suhu 57°C. Kultur isolat bakteri diambil sebanyak 1 mL
dan kemudian disentrifugasi pada kecepatan 3500 rpm selama 5 menit
pada suhu 25°C. Pelet hasil sentrifugasi diambil dan ditambahkan PBS
sebanyak 5 mL. Suspensi dihitung jumlah sel bakteri yang terkandung
didalamnya menggunakan haemocytometer. Dibuat tiga perlakuan yaitu
kontrol(PBS 0,5 mL), Dosis I (E. coli 106 x PBS 0,5 mL), dan Dosis II
(E. coli 107 x PBS 0,5 mL). Selanjutnya masing-masing dosis
diijeksikan ke dalam tubuh mencit secara intraperitoneal.

2.2.2 Booster
Bakteri E. coli dikultur selama 48 jam pada suhu 37°C dalam
medium Nutrient Broth (NB) lalu divorteks. Bakteri E. coli hasil vorteks
diambil 1 mL dan disentrifugasi pada kecepatan 3500 rpm selama 5
menit pada suhu 25°C. Pelet hasil sentrifugasi diambil sebanyak 1 mL
dan diresuspensi dengan PBS. Jumlah sel yang terdapat pada pelet
dihitung. Dibuat dua dosis sebagai perlakuan yaitu kontrol (PBS 0,5
mL) dan Dosis I (E. coli 106 x PBS 0,5 mL). Selanjutnya masing-
masing dosis diinjeksikan ke dalam tubuh mencit secara intraperitoneal.

2.2.3 Isolasi Organ dan Sel Leukosit


Mencit didilokasi pada bagian leher. Mencit dibedah pada perut
bagian kiri untuk isolasi organ spleen dan dada untuk isolasi organ
thymus. Organ digerus menggunakan pangkal spuit dalam cawan berisi
PBS. Organ yang telah digerus dipindahkan ke dalam propilen 15 mL
menggunakan mikropipet. Volume disamakan untuk seluruh sampel.
Sampel disentrifugasi dengan kecepatan 2500 rpm pada suhu 10°C
selama 5 menit. Supernatan hasil sentrifugasi dibuang, dan pelet
diresuspensi dengan PBS 1 mL. Suspensi sel diambil 50 µL dan
dipindahkan ke micrtoube sesuai dengan jumlah zampel pewwarnaan.

2.2.4 Pewarnaan Ekstraseluler


50 µL sampel sel dalam microtube ditambahkan antibodi
ekstraseluler (anti CD4, anti CD8, anti CD62L, anti Gr1, dan anti B220)
masing masing sebanyak 40 µL. Sampel diresuspensi dengan
mikropipet kemudian diinkubasi selama 20 menit dalam suhu 4°C
dengan kondisi minimum cahaya. Sampel ditambahkan PBS 400 µL
kemudian di pindahkan ke kuvet flowcytometry dan dirunning pada
mesin flowcytometry.

2.2.5 Pewarnaan Intraseluler


Sampel yang telah ditambah dengan antibodi ekstraseluler dan
telah diinkubasi ditambahkan dengan fixation buffer (cytofix) sebanyak
50 µL. Sampel diresuspensi dengan mikropipet kemudian diinkubasi
selama 20 menit dalam suhu 4°C kondisi minimun cahaya. Sampel
ditambahkan dengan permeabilization wash buffer (wash/perm)
sebanyak 400 µL. Sampel disentrifugasi dengan kecepatan 2500 rpm
pada suhu 10°C selama 5 menit. Pelet hasil sentrifugasi ditambahkan
dengan antibodi intraseluler (anti-TNF-α dan anti-IL-1B) sebanyak 40
µL. Sampel diresuspensi dengan mikropipet kemudian diinkubasi
selama 20 menit dalam 4°C kondisi minum cahaya. Sampel
ditambahkan dengan PBS sebanyak 400 µL kemudian dipindahkan ke
kuvet flowcytometry dan sampel dirunning pada mesin flowcytometry.

2.2.6 Analisis Hasil Flocytometry


Analisis hasil flowcytometry dilakukan dengan BD CellQuest
Pro™ Software. Program diatur sesuai dengan pewarnaan dan jenis sel
yang diidentifikasi. Antibodi diasukkan ke aplikasi melalui selection
tools. Histogram dan kuadran dibuat dengan memilih plot tools.Kuadran
dibagi menjadi 4 bagian dengan menggunakan marker tools. Gated
dilakukan berdasarkan pola ekspresi sel yang terlihat pada layar
komputer. Data yang dianalisis adalah CD4-CD8-CD62L pada spleen
dan timus, B220-Gr1 pada spleen dan timus, dan kandungan CD4-TNF-
α-IL 1β.
BAB III

HASIL DAN PEMBAHSAN

3.1 Analisa Prosedur


3.1.1 Injeksi
Bakteri E.coli dikultur selama 48 jam pada medium LB (Luria
Bertani) dengan suhu 57°C untuk mendapatkan isolat E. coli yang
digunakan sebagai antigen. Kultur isolat bakteri diambil sebanyak 1 mL
dan kemudian disentrifugasi pada kecepatan 3500 rpm selama 5 menit
pada suhu 25°C untuk memisahkan pelet dan supernatan dari sel-sel
E.coli. Pelet hasil sentrifugasi diambil dan ditambahkan PBS sebanyak 5
mL, PBS berfungsi sebagai pelarut dan untuk menjaga viabilitas sel.
Viabilitas sel berperan untuk mempertahankan sel dan memulikan
kondisi sel guna melanjutkan kehidupan. Suspensi dihitung jumlah sel
bakteri yang terkandung didalamnya menggunakan haemocytometer.
Haemocytometer adalah slide spesiemen yang digunakan untuk
menentukan konsentrasi sel dalam sampel cairan. Dibuat tiga perlakuan
yaitu kontrol(PBS 0,5 mL), Dosis I (E. coli 106 x PBS 0,5 mL), dan
Dosis II (E. coli 107 x PBS 0,5 mL). Pembuatan dosis bertujuan untuk
membandingkan respon antibodi yang dihasilkan pada masing-masing
sampel mencit. Selanjutnya masing-masing dosis diijeksikan ke dalam
tubuh mencit secara intraperitoneal. Hal ini bertujuan untuk membentuk
antibodi yang terbentuk. Pembentukan antibodi dapat dilakukan dengan
memasukkan antigen yang telah dilemahkan (Doherty, 2014). Injeksi
secara intraperitoneal merupakaninjeksi yang dilakukan ke dalam ruang
selaput usus, yang bertujuan untuk memasukkan zat injeksi langsung ke
tempat yang diinginkan, karena rongga peritoneum mempunyai absorpsi
yang luas sehingga zat yang diijeksi masuk ke dalam sirkulasi sistemik
secara cepat. Keuntungan dari injeksi intraperitoneal adalah zat yang
disuntikkan ke dalam rongga peritoneum akan diabsorpsi dengan cepat,
dan reaksi akan terlihat dengan cepat. (Kiesling, 2011).

3.1.2 Booster
Bakteri E. coli dikultur selama 48 jam pada suhu 37°C dalam
medium Nutrient Broth (NB). Hal ini bertujuan untuk menumbuhkan
bakteri. Bakteri E. coli yang didapatkan divorteks untuk
menghomogenkan sel. Vorteks akan menghomogenkan atau
mencampurkan larutan dalam wadah kecil dengan poros penggerak
yang diorientasikan secara vertikal dengan gerakan melingkar yang
cepat (Paker, 2014). Bakteri E. coli hasil vorteks diambil 1 mL dan
disentrifugasi pada kecepatan 3500 rpm selama 5 menit pada suhu 25°C.
Sentrifugasi digunakan untuk memisahkan sel atau organel subseluler
dan juga untuk pemisahan molekuler. Prinsipnya partikel yang
tersuspensi akan mengendap ke dasar wadah sesuai berat dan ukuran
partikel karena adanya gaya gravitasi (Yuwono, 2008). Pelet hasil
sentrifugasi diambil sebanyak 1 mL dan diresuspensi dengan PBS.
Jumlah sel yang terdapat pada pelet dihitung. Dibuat dua dosis sebagai
perlakuan yaitu kontrol (PBS 0,5 mL) dan Dosis I (E. coli 106 x PBS 0,5
mL). Selanjutnya masing-masing dosis diinjeksikan ke dalam tubuh
mencit secara intraperitoneal. Injeksi secara intraperitoneal cocok
digunakan untuk pengamatan mencir, karena absorpsi zat berjalan
dengan cepat dan rekasi akan terlihat dalam waktu yang cepat (Kiesling,
2011).

3.1.3 Isolasi Sel Limfosit


Mencit didilokasi pada bagian leher. Mencit dibedah pada perut
bagian kiri untuk isolasi organ spleen dan dada untuk isolasi organ
timus untuk diisolasi kedua organ tersebut. Spleen merupakan organ
yang terletak pada pojok kiri atas abdomen. Sebagian besar dari spleen
terlibat dalam perlindungan terhadap penyakit dengan cara
menghasilkan antibodi (Pearce, 2009). Timus merupakan struktur yang
terletak di daerah leher di atas jantung. Fugsi timus sangat penting
dalam perkembangan siste kekebalan tubuh karena menghasilkan
limfosit T imunokompeten dewasa (Siagian, 2018). Organ digerus
menggunakan pangkal spuit dalam cawan berisi PBS. Organ yang telah
digerus dipindahkan ke dalam propilen 15 mL menggunakan
mikropipet. Penggerusan bertujuan untuk homogenasi agar didapatkan
sel tunggal. Penambahan PBS sebagai buffer fisiologis sel, yang
mempertahankan nilai pH larutan agar sel tidak rusak karena perubahan
pada lingkungan (Rehatta, 2019). Volume disamakan untuk seluruh
sampel. Sampel disentrifugasi dengan kecepatan 2500 rpm pada suhu
10°C selama 5 menit bertujuan untuk memisahkan sel dengan pelarut
PBS. Supernatan hasil sentrifugasi dibuang, dan pelet diresuspensi
dengan PBS 1 Ml, hal ini bertujuan memberikan volume yang sesuai
untuk perhitungan sel absolut (sel/mL). Suspensi sel diambil 50 µL dan
dipindahkan ke micrtoube sesuai dengan jumlah zampel pewarnaan.
Pewarnaan sampel sel menggunakan antibodi spesifik.
3.1.4 Pewarnaan Ekstrasel
50 µL sampel sel dalam microtube ditambahkan antibodi
ekstraseluler (anti CD4, anti CD8, anti CD62L, anti Gr1, dan anti B220)
masing masing sebanyak 40 µL. Anti CD4 digunakan untuk mendeteksi
keberadaan CD4, anti CD8 digunakan untuk deteksi CD8, anti Gr1
digunakan untuk deteksi neutrofil, anti B220 untuk deteksi sel B.
Sampel diresuspensi dengan mikropipet kemudian diinkubasi selama 20
menit dalam suhu 4°C dengan kondisi minimum cahaya. Resuspensi
bertujuan untuk memastikan semua sel dapat berinteraksi dengan
antibodi. Inkubasi bertujuan untuk memberi waktu antibodi bereaksi
dengan targetnya. Kondisi minimun cahaya bertujuan untuk
meminimalisisr kerusakan fluorokrom dalam antibodi. Sampel
ditambahkan PBS 400 µL kemudian di pindahkan ke kuvet
flowcytometry dan dirunning pada mesin flowcytometry. PBS berfungsi
sebagai pengencer sehingga bagian kolom flowcytometry tidak
mengalami penyuumbatan akibat sel yang mengumpul. Running
flowcytometery bertuuan untuk megentahui jumlah relatif sel sesuai
target antibodi yang digunakan.

3.1.5 Pewarnaan Intrasel


Sampel yang telah ditambah dengan antibodi ekstraseluler dan
telah diinkubasi ditambahkan dengan fixation buffer (cytofix) sebanyak
50 µL. Cytofix bertujuan untuk memefiksasi sel sbelum dilakukan
proses permebilisasi. Fixation buffer (cytofix) bertujuan untuk
melindungi sel untuk pewarnaan imunoflouresence, selain itu digunakan
untuk menjaga karakteristol hamburan cahaya dan intensitas flouresensi
sel hematopoetik yang telah terwarani oleh imunoflouresensi untuk
analisis flowcytometry (Hawley, 2004). Sampel diresuspensi dengan
mikropipet kemudian diinkubasi selama 20 menit dalam suhu 4°C
kondisi minimun cahaya. Resuspensi bertujuan untuk memastikan
semua sel dapat berinteraksi dengan cytofix dan inkubasi bertujuan
untuk memberikan waktu cytofix untuk bereaksi. Sampel ditambahkan
dengan permeabilization wash buffer (wash/perm) sebanyak 400 µL.
Wash buffer (wash/perm) digunakan dalam pewarnaan intraseluler
untuk permeabilisasi sel sebagai pengencer dan buffer antibodi
(Hawley, 2004). Sampel disentrifugasi dengan kecepatan 2500 rpm pada
suhu 10°C selama 5 menit, bertujuan untuk memisahkan sel ddengan
reagen cytofix dan wash/perm. Pelet hasil sentrifugasi ditambahkan
dengan antibodi intraseluler (anti-TNF-α dan anti-IL-1B) sebanyak 40
µL, bertujuan untuk mendeteksi target yang ada dalam lingkungan
intraseluler. Sampel diresuspensi dengan mikropipet kemudian
diinkubasi selama 20 menit dalam 4°C kondisi minum cahaya, hal ini
bertujuan untuk memastikan sel tercampur baik dengan antibodi
sekaligus memberikan waktu antibodi untuk berikatan dengan target
secara optimal. Sampel ditambahkan dengan PBS sebanyak 400 µL
kemudian dipindahkan ke kuvet flowcytometry dan sampel dirunning
pada mesin flowcytometry. PBS berfungsi sebagai pengencer sehingga
bagian kolom flowcytometry tidak mengalami penyumbatan akibat sel
terlalu mengumpul. Running flowcytometry digunakan untuk
mengetahui jumlah relatif sel seduai dengan antibodi.

3.1.6 Analisis Hasil Flowcytometry


Analisis hasil flowcytometry dilakukan dengan BD CellQuest
Pro™ Software. Program diatur sesuai dengan pewarnaan dan jenis sel
yang diidentifikasi. Gated dilakukan berdasarkan pola ekspresi sel yang
terlihat pada layar komputer (Hefni, 2013).

3.2 Analisa Hasil dan Pembahasan


3.2.1 Perbandingan Jumlah CD4-CD8-CD62L pada Organ Limfoid
Sekunder (Spleen) dan Primer (Thymus) dari Kelompok Normal
Berdasarkan hasil pengamatan yang dilakukan terhadap jumlah
CD4 dan CD8 pada organ spleen dan thymus dari kelompok mencit
normal didapatkan hasil yaitu, organ timus memiliki jumlah sel
CD4dan CD8 yang lebih besar dibandingkan dengan organ spleen.
Organ thymus memiliki jumlah sel CD4 dan CD8 sebesar 96,58% dari
total kuadran. Sel yang mendominasi organ timus adalah CD4+CD8+
atau sel T double positive dengan nilai sebesar 76,78% pada kuadran
satu atau upper right (UR). Kuadran 2 atau upper left (UL) pada thymus
menunjukkan ekspresi CD4-CD8+ sebesar 4,41%. Kuadran 4 atau low
right (LR) pada thymus menunjukkan ekspresi CD4+CD8- sebesar
15,39%. Organ spleen memiliki jumlah sel CD4CD8 total sebesar
28,10% dari total kuadran. Kuadran 1 atau upper right (UR) spleen
menunjukkan ekspresi CD4+CD8+ sebesar 0,37%. Kuadran 2 upper left
(UL) pada spleen menunjukkan ekspresi CD4-CD8+ sebesar 10,43%.
Kuadran 4 atau low right (LR) pada spleen menunjukkan ekspresi
CD4+CD8- sebesar 17,30%. Ditunjukkan oleh Gambar 1.
Organ thymus didominasi oleh sel T double positive atau
immature cell karena organ timus merupakan tempat pelatihan dan
penentuan nasib perkembangan sel T. Berdasarkan Wikes (2009), di
dalam thymus diekspresikan molekul MHC I dan MHC II pada selnya.
MHC I diekspreikan oleh sel epitel dari thymus dan MHC II
diekspresikan oleh sel limfosit yang ada di dalam thymus itu sendiri.
MHC yang nantinya akan terikat dengan antigen dan menyediakan
kondisi lingkungan berupa seleksi dan pendidikan bagi sel T, dimana sel
T yang telah muncul akan berkembang menjadi CD4+ atau CD8+
tergantung pengenalnannya terhadap molekul MHC yang diikatnya.
Organ spleen memiliki jumlah sel CD4 dan CD8 yang lebih sedikit
dibandingkan dengan thymus, namun jumlah sel yang telah mature atau
sel T single positive lebih banyak terdapat pada spleen. Hal ini
merupakan upaya untuk mempercepat proses reaksi imun terhadap
antigen yang masuk ke dalam tubuh. Sel T pada spleen telah
terdiferensiasi menjadi CD4+ atau CD8+ sehingga disebut dengan sel T
single positive (mature) (Rifa’i, 2013).

a b
CD 8

CD 4

Gambar 1. Perbandingan hasil flowcytometry jumlah sel CD4 dan CD8


a). spleen, b). thymus

3.2.2 Perbandingan Jumlah B220 pada Organ Limfoid Sekunder


(Spleen) dan Primer (Thymus) dari Kelompok Normal
Profil sel B220 dideteksi dengan menggunakan antibodi
monoklonal anti-B220. Berdasarkan hasil staining yang dianalisis pada
flowcytometry yang dilakukan ekspresi B220 lebih banyak ditemukan
pada organ spleen. Ekspresi B220 pada spleen menunjukkan angka
sebesar 61,98%, sedangkan pada thymus ekspesi B220 hanya sebesar
0,05%. Ditunjukkan oleh Gambar 2. Ekspresi B220 yang tinggi pada
spleen karena spleen memiliki jumlah sel B yang besar. Sedangkan pada
organ thymus lebih didominasi oleh sel T, sehingga tidak banyak
mengekspresikan B220.
Menurut Rifa’i (2013), B220 merupakan protein transmembran
yang diekspresikan terutama oleh sel B pada mencit, namun sel lain
seperti sel T dan APC juga mengekspresikannya namun dengan
intensitas yang sangat rendah. B220 berfungsi pada signal transduksi
terutama untuk regulasi aktivasi maupun down-regulasi. B220
didominasi oleh sel B, sehingga B220 dapat dijadikan marker untuk sel
B.

a b

B220
B220

Gambar 2. Perbandingan hasil flowcytometry B220 a). spleen, b).


thymus

3.3.3 Perbandingan CD4-CD8-CD62L dari Spleen Mencit Normal


dan Injeksi E. coli Dosis I
Berdasarkan hasil analisis flowcytometry yang dilakukan,
perbandingan sel T CD4 dan CD8 spleen antara mencit normal dan
mencit perlakuan Dosis I, didapatkan mencit perlakuan Dosis I memiliki
jumlah sel T CD4CD8 lebih besar dibandingkan dengan mencit normal.
Ekspresi sel T CD4CD8 keseluruhan pada mencit Dosis I sebesar
42,57%, sedangkan pada mencit normal ekspresi sel T CD4CD8
keselutuhan adalah sebesar 28,10%. Hal ini dikarenakan perlakuan
Dosis I dengan menginjeksikan E.coli sebagai antigen dengan
konsentrasi 106 x PBS 0,5 mL, menimbulkan reaksi imun yaitu
peningkatan jumlah sel T. Hasil pengamatan menunjukkan data yang
benar yaitu, jumlah sel T spleen pada mencit perlakuan injeksi Dosis I
berjumlah lebih besar dibandingkan dengan mencit normal. Ditunjukkan
oleh Gambar 3. Hal ini dikarenakan antigen akan memicu sel-sel imun
untuk melakukan mekanisme penghancuran antigen.
Menurut Rifa’i (2013), antigen adalah zat yang akan
menginduksi produksi antibodi oleh sistem kekebalan tubuh sehingga
menyebabkan peningkatan jumlah sel-sel limfosit dalam tubuh. Ketika
antigen masuk ke dalam tubuh, APC akan menangkap antigen dan
merepresentasikan peptida antiden dengan membentuk kompleks
peptida-MHC II. CD4 berlaku sebagai ko-reseptor yang memperkuat
signal transduksi sehingga sel T teraktivasi yang dikenal dengan sel T
helper. Sel T CD4 akan menginduksi terbentuknya CD8 melalui sitokin
yang dikeluarkan yaitu IFN-ϒ (Cantrell, 2004). Selain itu jumlah sel T
CD4 baik pada mencit normal maupun perlakuan dosis I menunjukkan
jumlah yang lebih besar dibandingkan sel T CD8. Kondisi tubuh yang
sehat menunjukkan jumlah sel TCD4 dua kali lebih tinggi dibandingkan
dengan CD8 (Rifa’i, 2013).

a b
CD 8

CD 4

Gambar 3. Perbandingan hasil flowcytometry sel CD4 dan CD8


a). normal, b). injeksi E. coli

Berdasarkan hasil analisis flowcytometry yang dilakukan,


perbandingan antara sel CD462L organ spleen antara mencit normal dan
mencit perlakuan Dosis I didapatkan mencit perlakuan Dosis I memiliki
jumlah sel T teraktivasi (CD4+62L-) pada daerah low right (LR) lebih
tinggi dibanding mencit normal. Ekspresi CD4+62L- pada mencit normal
sebesar 9,61%, sedangkan pada mencit Dosis I sebesar 19,40%.
Ditunjukkan oleh Gambar 4. CD62L merupakan ekspresi yang
menandakan sel tersebut masih dalam keadaan naive atau belum
terpapar antigen (CD62L+). Ekspresi CD62L menandakan tatus sel T
naive, sedangkan sel T memori telah kehilangan ekspresi CD62L
(CD62L-) akibat terpapar oleh antigen. Menurut Rifa’i (2013) CD62L
berperan penting dalam membantu ekstavasasi leukosit pada inflamasi.
Ekspresi CD4+62L- pada mencit Dosis I lebih besar karena pemberian
antigen E. coli pada mencit, sehingga memicu pengaktifan sel-sel imun
tubuh. Sel yang bertugas pertama kali mengenali antigen adalah APC,
dan APC akan merepresentasikan MHC II dan memicu pengikatan
dengan sel T CD4 atau T helper cell. Menurut Rifa’i (2013), antigen
akan meningkatkan jumlah sel-sel limfosit dalam tubuh.

a b
CD 62L

CD 4

Gambar 4. Perbandingan hasil flowcytometry sel CD4 dan CD62L


a). normal, b). injeksi E. coli

Berdasarkan hasil analisis flowcytometry perbandingan jumlah


sel TCD8CD62L spleen antara mencit normal dan Dosis I menunjukkan
bahwa jumlah T teraktivasi (CD8+62L-) pada daerah low right (LR) lebih
banyak ditemukan pada mencit perlakuan Dosis I. Ekspresi CD8+62L-
pada mencit normal sebesar 6,11%, sedangkan pada mencit Dosis I
sebesar 14,02%. Ditunjukkan oleh Gambar 5. Ekspresi CD8+62L- pada
mencit Dosis I lebih besar karena pada proses sebelumnya sel T helper
(CD4+) mencit dosis I juga terbentuk lebih banyak, sehingga memicu
pembentukan sel T sitotoksik atau CD8+ yang lebih banyak
dibandingkan mencit normal. Sel CD4 melepaskan sitokin, sitokin
menyebabkan sel CD8 menjadi aktif dan dapar mengenali
antigenicpeptide endogen yang dibawa langsung oleh MHC I
(Ardhiyansyah, 2012). Ekspresi CD62L menandakan tatus sel T naive,
sedangkan sel T memori telah kehilangan ekspresi CD62L (CD62L-)
akibat terpapar oleh antigen. Menurut Rifa’i (2013) CD62L berperan
penting dalam membantu ekstavasasi leukosit pada inflamasi.

a b
CD 62L

CD 8

Gambar 5. Perbandingan hasil flowcytometry sel CD8 dan CD62L


a). normal, b). injeksi E. coli

Kuadran III menunjukkan sel limfosit yang bukan sel T (CD4-


-
CD8 ). Sel-sel ini sebagian besar merupakan sel B, karena analisis ini
dilakukan pada area limfosit dan berada pada organ spleen yang banyak
mengandung sel B. Menurut Rifa’i (2013), sel-sel yang terdapat pada
daerah tersebut diyakini sebagai sel B, karena analisis ini ditujukan
untuk mengetahui sel limfosit.

3.4.4 CD4 dan TNF-α dari Spleen


Berdasarkan hasil analisis flowcytometry peran CD4 dan TNF-α
pada spleen antara mencit normal dan mencit perlakuan Dosis I, mencit
perlakuan Dosis I memiliki jumlah sel CD4+ lebih tinggi dibanding
mencit kontrol. Ekspresi CD4+ pada mencit perlakuan Dosis I sebesar
65,31%, dan pada mencit normal ekspresi CD4+ sebesar 62,99%.
Ditunjukkan oleh Gambar 6. Ekspresi CD4+ pada mencit perlakuan
Dosis I lebih tinggi karena adanya antigen E. coli yang diinjeksikan
sehingga memicu respon sel-sel imun. TNF-α merupakan sitokin yang
dikeluarkan oleh T helper CD4+. Menurut Irawati (2008), TNF-α
bersifat sebagai pirogen. TNF-α dapat menghambat pertumbuhan parasit
dengan mengaktifkan sistem imun seluler. TNF-α dilepaskan oleh T
CD4+ dan menjadi “second signal” yang mengaktivasi sel T CD8+ agar
dapat membunuh antigen yang masuk ke dalam tubuh. Pemberian dosis
dapat meningkatkan ekspresi sel T CD4+. TNF-α dapat mengikat parasit
secara lagsung namun afinitasnya lemah (Irawati, 2008).

a b
TNF-α

CD 4

Gambar 6. Perbandingan hasil flowcytometry CD4 dan TNF- α pada


Speen Mencit
BAB IV

PENUTUP

5.1 Kesimpulan
Berdasarkan analisis data yang telah dilakukan, menunjukkan
injeksi antigen berupa E. coli dapat meningkatkan respon imun.
Pemberian perlakuan dosis dapat digunakan untuk menaikkan jumlah
sel T CD4+, CD8+, dan B220. Jumlah sel-sel imun akan meningkat
apabila terpapar oleh antigen. Sitokin berperan penting dalam
komunikasi anter sel-sel imun untuk menghasilkan respon imunitas
yang maksimal.

5.2 Saran
Perlu dilakukan penelitian lebih lanjut mengenai peranan sitokin
dalam komunikasi antar sel. Perlu dilaakukan ulangan pembuatan dosis
dan mencit perlakuan dosis, agar didapatkan hasil perbandingan antar
dosis dengan maksimal.
DAFTAR PUSTAKA

Ardhiansyah, A. O. 2012. Dasar-Dasar Onkologi. Airlangga


University Press. Surabaya.
Bijanti, aretno dkk. 2010. Buku Ajar Patologi Klinik Veteriner.
Airlangga University Press. Surabaya
Campbell, Neil A. & Jane B. Reece. 2010. Biology. Pearson Education.
New York
Cantrell D. A. & Smith K. A. 2004. The Interleukin-2 T-Cell System: A
New Cell GrowthModel. J. Scince 224(4655): 1312-1316
Doherty, G.M. 2014. Current Diagnosis and Treatment Surgery
14/E. McGraw Hill Professional. New York.
Farsely, M., Djati, M. S., Rira’i M. 2013. Effectivity of Polyscias
Obtusa Simplicia as Immunomodulator on Caecea Tonsil of
Brioler Post Infection of Salmonella Thyphimurium. J.
Experimental Life Science. 3(1): 20-24
Givan, A.L. 2013. Flow Cytometry: First Principles. John Wiley &
Sons. London.
Hawley T. S. & Robert G. H. 2004. Flowcytometry Protocols. Humana
Press. New Jersey
Hefni, Mohammad, Muhaimin Rifa’i, Widodo. 2013. Aktivitas Ektrak
Daun Kelor terhadap Respon Imun Humoralpada mencit yang
diinfeksi Salmonella typhi. J. Veteriner. 14(4): 519-526
Irawati, Lili., Nursiwwan cang, Nuzullia Irawati. 2008. Ekspresi Tumor
Necrosis Factor-Alfa dan Interleukin-10 pada Infeksi Malaria
Falciparum. J. Kedokteran Andalas. 1(32)
Kiesling. F. & Bern. J. P. 2011. Small Animal Imaging: Basic and
Practical Guide. Humana Press. London
Marcey, T. S. 2007. Flowcytometry. Humana Press. London
Paker, Peter. 2014. Vortex Portable Mixer. Cambridge University
Press. Cambridge
Pearce. E. C. 2009. Anatomi dan Fisiologi untuk Paramedis.
Gramedia. Jakarta
Rehatta, N dkk. 2019. Anastesiologi dan Terapi Intensif. Gramedia
Pustaka Utama. Jakarta
Rifa’i Muhaimin. 2012. Imunologi dan Hipersensitivitas. UB Press.
Malang
Wiagian, Ernawati. 2018. Imunologi. Uwais Inspirasi Indonesia.
Sidoarjo
Wikes, David S. & J. Burlingham. 2009. Immunobiology of Organ
Transplantation. Plenum Publisher. New York
Yuwono Tribuwono. 2008. Biologi Molekuler. Penerbit Erlangga.
Jakarta

Anda mungkin juga menyukai