Anda di halaman 1dari 8

“PENAGIHAN PAJAK”

A. Pengertian Penagihan Pajak


Penagihan pajak adalah tindakan penagihan yang dilaksanakan oleh fiskus atau
juru sita pajak kepada penanggung pajak tanpa menunggu jatuh tempo pembayaran
yang meliputi seluruh utang pajak dari semua jenis pajak, masa pajak dan tahun pajak.
Definisi penagihan pajak menurut Soemitro (1996:17), yaitu Penagihan pajak
adalah perbuatan yang dilakukan Direktorat Jendral Pajak karena Wajib Pajak tidak
mematuhi ketentuan Undang-undang pajak, khususnya mengenai pembayaran pajak
yang terutang.
Definisi lain menurut Rusdji (2004:6), yaitu Penagihan pajak adalah serangkaian
tindakan agar Wajib Pajak melunasi utang pajak dan biaya penagihan pajak dengan
menegur atau memperingatkan, melaksanakan penagihan seketika dan sekaligus
memberitahukan surat paksa, mengusulkan pencegahan, melaksanakan penyitaan,
melaksanakan penyanderaan dan menjual barang yang telah disita.
Sedangkan Penanggung Pajak adalah orang pribadi atau badan yang
bertanggungjawab atas pembayaran pajak, termasuk wakil yang menjalankan hak dan
memenuhi kewajiban Wajib Pajakmenurut ketentuan peraturan perundang-undangan
perpajakan.
B. Jenis Penagihan Pajak
1. Penagihan Pasif
Pada penagihan pajak pasif, DJP hanya menerbitkan Surat Tagihan Pajak
(STP), Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar (SKPKB), Surat Ketetapan Pajak
Kurang Bayar Tambahan (SKPKBT), SK Pembetulan, SK Keberatan, dan Putusan
Banding yang menyebabkan pajak terutang lebih besar. Dalam penagihan pasif,
fiskus hanya memberitahukan kepada wajib pajak bahwa terdapat utang pajak. Jika
dalam waktu satu bulan sejak diterbitkannya STP atau surat sejenis, wajib pajak
tidak melunasi utang pajaknya, maka fiskus akan melakukan penagihan aktif.
2. Penagihan Aktif
Seperti yang sudah dikatakan sebelumnya, penagihan aktif merupakan
kelanjutan dari penagihan pasif. dalam penagihan aktif, fiskus bersama juru sita
Pajak berperan aktif dalam tindakan sita dan lelang.
3. Penagihan seketika dan sekaligus
Penagihan seketika dan sekaligus ini merupakan penagihan pajak yang
dilakukan oleh fiskus atau juru sita pajak kepada wajib pajak tanpa menunggu
tanggal jatuh tempo pembayaran pajak. Penagihan pajak juga meliputi seluruh utang
pajak dari semua jenis pajak, masa pajak, dan tahun pajak. Tujuannya penagihan
jenis ini adalah untuk mencegah terjadinya utang pajak yang tidak bisa ditagih. Jika
saat dilakukan penagihan seketika dan sekaligus wajib pajak belum membayar,
maka juru sita pajak akan menunggu hingga tanggal jatuh tempo.

C. Langkah-langkah Penagihan Pajak

Berikut ini tahapan dan penjelasan setiap langkahnya.

1. Surat teguran

Surat teguran atau surat peringatan adalah surat yang diterbitkan untuk
melaksanakan penagihan pajak. Jika dalam waktu tujuh hari setelah tanggal jatuh
tempo penanggung pajak atau wajib pajak belum melunasi utang pajaknya, maka
surat teguran ini akan sampai ke tangan penanggung pajak. Tujuannya adalah
memberikan peringatan kepada penanggung pajak agar segera melunasi utang pajak
sehingga tidak perlu lagi dilakukan penagihan secara paksa.

2. Surat paksa

Surat paksa merupakan surat yang akan diterbitkan jika 21 hari setelah jatuh
tempo surat teguran, si penanggung jawab pajak tidak melunasi pajaknya. Setelah
datangnya surat paksa, wajib pajak wajib melunasi pajaknya dalam waktu 2 x 24 jam
agar tidak ada tindakan pemblokiran rekening, pencegahan ke luar negeri, hingga
penyanderaan paksa badan (dengan catatan, diragukan itikad baiknya dan memiliki
utang pajak minimal Rp100.000.000). Penerbitan surat paksa ini dikenakan biaya
senilai Rp25.000.

3. Surat sita

Surat sita adalah surat yang diterbitkan jika dalam waktu 2 x 24 jam sejak
diterbitkannya surat paksa, penanggung pajak belum membayarkan pajaknya. Ada
biaya yang dikenakan untuk surat sita ini yakni Rp75.000. Biaya ini digunakan
untuk pelaksanaan sita. Penyitaan tidak semata-mata bertujuan untuk menjual barang
milik penanggung pajak, melainkan petugas menggunakan barang-barang tersebut
sebagai jaminan agar penanggung pajak melunasi pajaknya. Jadi, penanggung pajak
masih memiliki kesempatan untuk melunasi pajaknya selama 14 hari terhitung dari
penyitaan harta penanggung pajak. Jika dalam 14 hari penanggung pajak masih
belum membayarkan utang pajaknya, maka akan diterbitkan pengumuman lelang.
Penyitaan dilaksanakan oleh juru sita pajak dengan disaksikan oleh 2 orang yang
dianggap sudah dewasa sebagai saksi, berkewarganegaraan Indonesia, dikenal oleh
juru sita pajak, dan dapat dipercaya.

4. Lelang

Lelang akan dilakukan jika dalam waktu 14 hari setelah diterbitkan


pengumuman lelang, penanggung pajak tidak melunasi utang pajaknya.

D. Dasar Penagihan Pajak

Dasar penagihan pajak untuk PPh, PPN, dan PPnBM, serta bunga penagihan adalah:

 Surat Tagihan Pajak.


 Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar.
 Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar Tambahan.
 Surat Keputusan Pembetulan.
 Surat Keputusan Pemberatan.
 Putusan Banding.
 Putusan Peninjauan Kembali yang menyebabkan jumlah pajak yang masih hakrus
dibayar bertambah.

Dasar penagihan pajak untuk PBB adalah:

 Surat Pemberitahuan Pajak Terutang.


 Surat Ketetapan.
 Surat Tagihan Pajak.
E. Daluarsa Penagihan Pajak

Penagihan pajak dikatakan daluarsa jika telah melampaui batas waktu penagihan,
yaitu 5 tahun terhitung sejak penerbitan dasar penagihan pajak. Apabila penagihan
pajak daluarsa, maka penagihan pajak tidak bisa lagi dilaksanakan karena hak untuk
penagihan atas utang pajak tersebut sudah dianggap gugur.
“PAJAK PENGHASILAN”

A. Pengertian Pajak Penghasilan

Pajak penghasilan biasa disebut dengan Pajak Penghasilan Pasal 25 atau PPh


25 adalah pajak yang dikenakan untuk orang pribadi, perusahaan atau badan hukum
lainnya atas penghasilan yang didapat. Dasar hukum untuk pajak penghasilan adalah
Undang-Undang (UU) Nomor 7 Tahun 1983. Kemudian mengalami perubahan
berturut-turut, dari mulai UU Nomor 7 & Tahun 1991, UU Nomor 10 & Tahun 1994,
UU Nomor 17 & Tahun 2000, serta terakhir UU Nomor 36 & Tahun 2008.

B. Subjek Pajak
Sesuai dengan Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2008 yang menjadi subjek
pajak adalah sebagai berikut:
1. Subjek pajak pribadi, yaitu orang pribadi yang bertempat tinggal di Indonesia, orang
pribadi yang berada di Indonesia lebih dari 183 hari dalam jangka waktu 12 bulan,
atau orang pribadi yang dalam suatu tahun pajak berada di Indonesia, dan
mempunyai niat untuk bertempat tinggal di Indonesia.
2. Subjek pajak harta warisan belum dibagi, yaitu warisan dari seseorang yang sudah
meninggal dan belum dibagi tetapi menghasilkan pendapatan, maka pendapatan itu
dikenakan pajak.
3. Subjek pajak badan, yakni badan yang didirikan atau bertempat kedudukan di
Indonesia, kecuali unit tertentu dari badan pemerintah yang memenuhi kriteria:
 Pembentukannya berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan;

 Pembiayaannya bersumber dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara


(APBN) atau Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD);

 Penerimaannya dimasukkan dalam anggaran pemerintah pusat atau pemerintah


daerah; dan

 Pembukuannya diperiksa oleh aparat pengawasan fungsional negara; dan

 Bentuk usaha tetap (BUT), yaitu bentuk usaha yang digunakan oleh orang pribadi
yang tidak bertempat tinggal di Indonesia atau berada di indonesia tidak lebih dari
183 hari dalam jangka waktu 12 bulan, atau badan yang tidak didirikan dan
berkedudukan di Indonesia, yang melakukan kegiatan di Indonesia.
C. Bukan Subjek Pajak
Sesuai dengan UU Nomor 17 Tahun 2000, berikut merupakan subjek pajak:
1. Badan Perwakilan Negara Asing
Pejabat perwakilan diplomatik dan konsulat atau pejabat lain dari negara asing dan
orang-orang yang diperbantukan kepada mereka yang bekerja pada dan bertempat
tinggal bersama mereka dengan syarat bukan warga negara Indonesia (WNI) dan
negara yang bersangkutan memberikan perlakukan timbal balik
2. Organisasi Internasional yang ditetapkan oleh Keputusan Menteri Keuangan dengan
syarat Indonesia ikut dalam organisasi tersebut dan organisasi tesebut tidak
melakukan kegiatan usaha di Indonesia. Contoh: WTO, FAO, UNICEF.
3. Pejabat perwakilan organisasi Internasional yang ditetapkan oleh Keputusan Menteri
Keuangan dengan syarat bukan WNI dan tidak memperoleh penghasilan dari
Indonesia.

D. Objek Pajak
Objek pajak penghasilan yaitu setiap tambahan kemampuan ekonomis yang
diterima atau diperoleh wajib pajak, baik yang berasal dari Indonesia maupun dari luar
Indonesia, yang dapat dipakai untuk konsumsi atau untuk menambah kekayaan wajib
pajak yang bersangkutan, dengan nama dan dalam bentuk apapun.

Undang-undang Pajak Penghasilan Indonesia menganut prinsip pemajakan atas


penghasilan dalam pengertian yang luas, yaitu bahwa pajak dikenakan atas setiap
tambahan kemampuan ekonomis yang diterima atau diperoleh wajib pajak darimanapun
asalnya yang dapat dipergunakan untuk konsumsi atau menambah kekayaan wajib
pajak tersebut.

Pengertian penghasilan dalam Undang-undang PPh tidak memperhatikan adanya


penghasilan dari sumber tertentu, tetapi pada adanya tambahan kemampuan ekonomis.
Tambahan kemampuan ekonomis yang diterima atau diperoleh Wajib Pajak merupakan
ukuran terbaik mengenai kemampuan Wajib Pajak tersebut untuk ikut bersama-sama
memikul biaya yang diperlukan pemerintah untuk kegiatan rutin dan pembangunan.
Dilihat dari penggunaannya, penghasilan dapat dipakai untuk konsumsi dan dapat pula
ditabung untuk menambah kekayaan Wajib Pajak.
Karena Undang-undang PPh menganut pengertian penghasilan yang luas maka
semua jenis penghasilan yang diterima atau diperoleh dalam suatu tahun pajak
digabungkan untuk mendapatkan dasar pengenaan pajak. Dengan demikian, apabila
dalam satu Tahun Pajak suatu usaha atau kegiatan menderita kerugian, maka kerugian
tersebut dikompensasikan dengan penghasilan lainnya (Kompensasi Horisontal),
kecuali kerugian yang diderita di luar negeri. Namun demikian, apabila suatu jenis
penghasilan dikenakan pajak dengan tarif yang bersifat final atau dikecualikan dari
Objek Pajak, maka penghasilan tersebut tidak boleh digabungkan dengan penghasilan
lain yang dikenakan tarif umum.

E. Pajak Penghasilan Final


Pajak Penghasilan Final (PPh Final) adalah pajak yang dikenakan dengan tarif
dan dasar pengenaan pajak tertentu atas penghasilan yang diterima atau diperoleh
selama tahun berjalan. Pembayaran, pemotongan atau pemungutan Pajak Penghasilan
Final (PPh Final) yang dipotong pihak lain maupun yang disetor sendiri bukan
merupakan pembayaran dimuka atas PPh terutang akan tetapi merupakan pelunasan
PPh terutang atas penghasilan tersebut, sehingga wajib pajak dianggap telah melakukan
pelunasan kewajiban pajaknya.
Pengenaan PPh secara final mengandung arti bahwa atas penghasilan yang
diterima atau diperoleh akan dikenakan PPh dengan tarif tertentu dan dasar pengenaan
pajak tertentu pada saat penghasilan tersebut diterima atau diperoleh. PPh yang
dikenakan, baik yang dipotong fihak lain maupun yang disetor sendiri, bukan
merupakan pembayaran di muka atas PPh terutang tetapi sudah langsung melunasi PPh
terutang untuk penghasilan tersebut. Dengan demikian, penghasilan yang dikenakan
PPh final ini tidak akan dihitung lagi PPh nya di SPT Tahunan untuk dikenakan tarif
umum bersama-sama dengan penghasilan lainnya. Begitu juga, PPh yang sudah
dipotong atau dibayar tersebut juga bukan merupakan kredit pajak di SPT Tahunan.
Berdasarkan Pasal 4 ayat (2) Undang-undang Pajak Penghasilan, Undang-undang
memberikan mandat kepada Pemerintah untuk mengenakan PPh final atas penghasilan-
penghasilan tertentu. Berdasarkan ketentuan ini Pemerintah mengeluarkan Peraturan
Pemerintah untuk mengenakan PPh final atas penghasilan tertentu dengan
pertimbangan kesederhanaan, kemudahan, serta pengawasan.Pengenaan PPh Final
sebagian berasal dari ketentuan Pasal 4 ayat (2) ini. Namun demikian, ada juga
pengenaan PPh final berdasarkan Pasal lain yaitu Pasal 15, Pasal 19, Pasal 21, Pasal 22,
Pasal 23 dan Pasal 26 Undang-undang PPh.
Dengan demikian maka penghasilan yang telah dikenakan Pajak Penghasilan
Final (PPh final) ini tidak akan dihitung lagi Pajak Penghasilannya pada SPT Tahunan
dengan penghasilan lain yang non final untuk dikenakan tarif progresssif (pasal 17 UU
PPh). Namun atas pelunasan pemotongan atau pembayaran PPh final tersebut juga
bukan merupakan kredit pajak pada SPT Tahunan.

Perbedaan PPh Final dan Non Final

1. Berbeda Sistem Hitungnya

PPh final dihitung langsung sebagai satu kesatuan tanpa dikaitkan dengan
perhitungan penghasilan lainnya. Sedangkan PPh non-final dihitung dari
penghasilan bruto ditambah biaya lain seperti biaya perolehan, pemeliharaan, dan
penagihan. Jadi, jika penghasilan yang didapat termasuk PPh final, maka
penghasilan tersebut tidak perlu dihitung lagi untuk mengetahui berapa pajak
terutang.

2. Tarifnya Berbeda

Untuk PPh final, tarif yang dikenakan adalah tarif umum progresif yang tercantum
dalam pasal 17 UU PPh. Sedangkan tarif dan dasar pemungutan PPh non-final diatur
oleh Peraturan Presiden (Perpres) atau Peraturan Menteri (Permen).

3. Waktu Penyetoran Berbeda

Pada PPh final, jumlah pajak yang dipotong pihak lain atau dibayar sendiri dapat
dikreditkan pada SPT tahunan. Sedangkan pada PPh non-final kewajiban baru bisa
ditunaikan begitu kita menyetor dan melaporkan SPT tahunan. Transaksi PPh non
final dianggap lunas saat Anda selesai melakukan perhitungan pajak akhir tahun.

Anda mungkin juga menyukai