TESIS
TESIS
Diajukan sebagai salah satu syarat memperoleh gelar
Magister Kesehatan Masyarakat
Puji dan syukur saya panjatkan kehadirat Allah SWT. karena dengan rahmatnya
akhirnya saya dapat menyelesaikan Tesis yang berjudul ―Pemanfaatan Aplikasi
Whatsapp Terhadap Peningkatan Pengetahuan Orang Tua/Pengasuh Remaja
Tunagrahita Mengenai Kesehatan Reproduksi Remaja Tunagrahita di SLB C Ruhui
Rahayu Samarinda Kalimantan Timur‖. Penulisan Tesis ini diajukan sebagai salah satu
syarat guna memperoleh gelar Magister Kesehatan Masyarakat di Fakultas Kesehatan
Masyarakat Universitas Indonesia. Saya menyadari bahwa tanpa bantuan, dorongan
semangat dan bimbingan dari berbagai pihak, dari masa perkuliahan, penelitian, sampai
pada penyusunan tesis ini, sangatlah sulit bagi saya untuk menyelesaikan studi ini. Oleh
karena itu, dengan segala kerendahan hati, saya menyampaikan rasa hormat dan terima
kasih yang sebesar besarnya kepada:
1. Dr. dra. Evi Martha, M.Kes sebagai Dosen Pembimbing Akademik dan Tesis yang
selalu dalam membimbing dan memberikan dukungan dalam penyusunan tesis ini.
2. Dr. Dian Ayubi, SKM, MQIH sebagai Dosen Penguji I.
3. Dr. Baharudin, M.Pd sebagai Dosen Penguji II.
4. dr. Esti Widiastuti sebagai Dosen Penguji III.
5. Kepala Sekolah dan Guru SLB-C Ruhui Rahayu Kota Samarinda.
6. Orang tua/pengasuh siswa SLB-C Ruhui Rahayu Samarinda.
7. Kepala Sekolah dan Orang tua siswa SLB-C Untung Tuah Samarinda.
8. Kedua orang tua yaitu Ibu Syarifah Raguan yang selalu memberikan kasih sayang
dan dukungannya dan almarhum papah (Wisnu Triananda) yang selalu menjadi
panutan dan alasan untuk melanjutkan studi ini.
9. Suami dan anak tercinta yang selalu sabar dan penuh pengertian.
10. Dayah, putut, farras dan amel yang telah membantu pengumpulan data dilapangan.
11. Wanita-wanita Sholihah Dira, Miftah, Indah, Meli, Ririn, Widya dan Ganis yang
senantiasa membantu, memberi dukungan dan berbagi ilmu dari masa perkuliahan,
hingga seminar proposal, hasil, sidang tesis dan segala urusan perakademikan.
12. Teman-teman peminatan Promosi Kesehatan 2016.
Penulis
vi
viii
Universitas Indonesia
ix
Universitas Indonesia
x
Universitas Indonesia
xi
Universitas Indonesia
xii
Universitas Indonesia
xiii
Universitas Indonesia
xiv
Universitas Indonesia
xv
Universitas Indonesia
1
Universitas Indonesia
kesehatan fisik maupun psikososial remaja apabila sang remaja salah dalam mengambil
keputusan. Sifat dan perilaku berisiko remaja sangat erat hubungannya dengan
pemenuhan kebutuhan kesehatan remaja terutama kesehatan reproduksi. Kesehatan
reproduksi adalah keadaan sehat baik secara fisik, mental, dan sosial secara utuh tidak
hanya bebas dari penyakit atau kedisabilitasan yang berkaitan dengan sistem, fungsi,
dan proses reproduksi (Kementerian Kesehatan RI 2015).
Banyak remaja penyandang disabilitas yang tidak mendapatkan informasi dasar
tentang bagaimana tubuh mereka berkembang dan berubah, mereka sering diajarkan
untuk diam dan patuh, sehingga sangat berisiko untuk disalahgunakan (UNICEF 2013).
Kajian resiko kasus kekerasan pada penyandang disabilitas, oleh tim peneliti John
Moores Universitas Liverpool dan WHO, di 17 negara berpendapatan rendah
menunjukkan bahwa anak-anak penyandang disabilitas memiliki kecenderungan 3,6
kali lebih besar untuk mengalami kekerasan fisik dan 2,9 kali lebih besar untuk
mengalami kekerasan seksual. Secara khusus, anak-anak dengan disabilitas
intelektual/tunagrahita 4,6 kali lebih beresiko menjadi korban kekerasan seksual
dibandingkan teman sebayanya tanpa disabilitas (Rutgers WPF Indonesia 2017).
Hasil studi yang dilakukan di Kabupaten Jember menunjukkan bahwa remaja
tunagrahita memiliki rata-rata pengetahuan yang lebih rendah terhadap kesehatan
reproduksi (37,4 persen) dibandingkan dengan remaja tunanetra (87,1 persen) dan
tunarungu (59,3 persen) (Adiilah et al. 2015). Anak tunagrahita merupakan anak yang
memiliki prestasi kurang secara menyeluruh dengan tingkat kecerdasan (IQ) di bawah
70. Anak tunagrahita memiliki ketergantungan pada orang lain secara berlebihan,
kurang tanggap, penampilan fisiknya kurang proposional, perkembangan bicara
terlambat dan memiliki keterbatasan dalam bahasa (Kementerian Kesehatan RI 2010).
Remaja tunagrahita akan mengalami perkembangan seksual, kebingungan, dan
dorongan yang sama dengan remaja normal namun sering kali orang tua menolak untuk
mendiskusikan masalah ini dengan remaja tunagrahita. Padahal remaja tunagrahita tidak
mempunyai pengetahuan yang cukup untuk mengerti soal seks dan tidak mampu untuk
mengakses informasi yang bisa diperoleh dari buku atau artikel di majalah, hingga
akhirnya akan timbul perilaku berisiko pada remaja tunagrahita yang dapat menjadi
faktor penyebab timbulnya masalah baru yaitu permasalahan kesehatan reproduksi.
Apabila tidak diberikan bimbingan dan arahan yang tepat maka remaja tunagrahita bisa
Universitas Indonesia
Universitas Indonesia
disabilitas, dan 21,42 persen anak diantaranya adalah anak disabilitas usia sekolah yaitu
berkisar antara 5 sampai dengan 18 tahun. Anak tunagrahita menempati angka populasi
paling besar dibanding dengan jumlah anak dengan kedisabilitasan lainnya. Sementara
itu, menurut data Sekolah Luar Biasa tahun 2006/2007 jumlah peserta didik penyandang
disabilitas yang mengenyam pendidikan baru mencapai 27,35 persen atau berjumlah
87.801 anak dan dari jumlah tersebut populasi anak tunagrahita menempati porsi paling
besar yaitu 66.610 anak. 57 persen dari jumlah tersebut merupakan anak tunagrahita
ringan dan sedang (Kementerian Kesehatan RI 2017). Berdasarkan data dari Direktorat
Pembinaan Sekolah Luar Biasa Kementerian Pendidikan Nasional Republik Indonesia
pada tahun 2008, terdapat 108 sekolah kategori SLB C yaitu sekolah khusus tuhagrahita
(anak yang mengalami retardasi mental). Dan pada tahun 2009, data siswa penyandang
disabilitas yang terdaftar di SLB Tunagrahita yaitu sebanyak 4.253 orang (Kementerian
Kesehatan RI 2010).
Salah satu faktor yang berhubungan dengan kemandirian anak retardasi mental
atau tunagrahita adalah dukungan keluarga (Muliana 2013). Keluarga merupakan
sebuah lembaga pendidikan yang pertama dan utama. Keluarga diharapkan senantiasa
berusaha menyediakan kebutuhan, baik biologis maupun psikologis bagi anak, serta
merawat dan mendidiknya (Jailani 2014). Anak penyandang disabilitas membutuhkan
dukungan orang tua mereka untuk terus hidup di masyarakat sebagai individu yang
berpartisipasi dan untuk memenuhi kebutuhan fisik, psikologis, dan seksual mereka
sesuai usia mereka (Barnett et al. 2003).
Berdasarkan hasil penelitian diketahui bahwa peran orang tua dalam
memberikan pendidikan seks pada anak tunagrahita masih belum maksimal, sebanyak
63,2% orang tua belum pernah memberikan pendidikan seks dan kesehatan reproduksi
kepada anak mereka (Suciemilia 2015). Persepsi orang tua dalam memberikan
pendidikan seks kepada anak disabilitas intelektual berbeda dengan anak normal
sehingga orang tua harus terlebih dahulu memberikan pendidikan seks untuk
melindungi anak mereka dari pelecehan seksual. Oleh karena itu peran orang tua sangat
penting untuk memberikan pendidikan seksual sebagai proteksi pertama dan utama
untuk anak yang mempunyai ketergantungan (Ariadni et al. 2017). Penelitian lain
menunjukkan bahwa masyarakat, serta orang tua penyandang disabilitas intelektual
Universitas Indonesia
sering kali memiliki sikap negatif terhadap seksualitas mereka (Hanass-Hancock et al.
2013).
Orang tua merupakan pendidik seks utama bagi anak-anak mereka, tetapi
banyak orang tua yang takut berbicara dengan anak-anak mereka (disabilitas atau tidak)
tentang seks. Orang tua sering khawatir jika berbicara tentang seks akan mendorong
eksperimen seksual selain itu orang tua belum memiliki pengetahuan yang cukup untuk
menangani pertanyaan dengan tepat. Disisi lain orang tua juga merasa bahwa anak-anak
mereka sudah terlalu banyak atau terlalu sedikit mengetahui hal tersebut. Orang tua
sering tidak tahu kapan atau bagaimana untuk menangani diskusi, dan bahkan orang tua
yang berbicara kepada anak-anak mereka tentang seksualitas tidak menghabiskan cukup
waktu pada masalah ini (Isler et al. 2009 dalam Sari, 2017).
Kalimantan Timur sebagai salah satu provinsi di Indonesia memiliki prevalensi
disabilitas sebesar 7,5 persen, namun rerata skor disabilitas yang dimiliki provinsi
tersebut sebesar 27,30 persen, lebih tinggi dibandingkan dengan rerata skor disabilitas
nasional yaitu 25,4 persen. Rerata skor disabilitas menunjukkan bahwa semakin tinggi
rerata skor maka semakin berat derajat disabilitas disuatu daerah (Kementerian Sosial
RI 2012). Data statistik SLB di Indonesia periode tahun 2016/2017 melaporkan jumlah
SLB di provinsi Kalimantan Timur sebanyak 29 sekolah termasuk sekolah negeri dan
swasta (Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan 2017). Kota dengan jumlah SLB
terbanyak di Provinsi Kalimantan Timur adalah kota Samarinda dengan total 12 SLB
terdiri dari SLB A, B, C, D dan campuran. SLB C Ruhui Rahayu merupakan SLB yang
khusus membina anak-anak tunagrahita ringan dengan jumlah siswa tunagrahita
terbanyak dibandingkan dengan SLB lainnya. SLB ini terletak di Kota Samarinda
dengan status sekolah swasta dan jumlah siswa tungrahita sebanyak 115 siswa.
Data maupun informasi yang berkaitan dengan kesehatan reproduksi pada remaja
penyandang tunagrahita di Kota Samarinda masih belum banyak ditemukan, bahkan
hampir tidak ada. Hal ini menunjukkan kurangnya perhatian terhadap kesehatan
reproduksi untuk remaja penyandang tunagrahita di daerah tersebut. Oleh karena itu
peran keluarga terutama orang tua dalam memberikan pendidikan kesehatan reproduksi
kepada remaja tunagrahita merupakan hal penting sebagai proteksi awal terhadap
permasalahan kesehatan reproduksi yang dialami oleh anak tunagrahita. Tipe keluarga
yang mayoritas didapati di Kota Samarinda secara tradisional merupakan tipe extended
Universitas Indonesia
family (keluarga besar) yaitu keluarga yang terdiri dari keluarga inti (ayah, ibu, dan
anak) ditambah anggota keluarga lain yang masih mempunyai hubungan darah seperti
kakek, nenek, paman, bibi dan sebagainya (Setyawan 2012). Berdasarkan bentuk
keluarga yang terdiri dari keluarga besar, maka tanggung jawab mengasuh anak
tunagrahita tidak semata-mata dimiliki oleh orang tua (ayah dan ibu) saja melainkan
juga dimiliki oleh anggota keluarga lainnya seperti nenek, bibi, maupun pengasuh yang
disewa oleh orang tua.
Penggunaan media baru berupa internet dan smarthphone telah lama diteliti dan
terbukti efektif dalam meningkatkan status kesehatan masyarakat. Masyarakat dapat
dengan mudah mengakses internet guna mencari informasi dan pembelajaran yang
spesifik. Pencarian informasi melalui akses internet diketahui telah didominasi oleh
pemanfaatan internet melalui smartphone. Dengan adanya tren ini, maka peluang
praktisi kesehatan untuk menyampaikan informasi kesehatan menjadi lebih mudah
melalui media sosial (Korp 2006; Laranjo et al. 2014). Saat ini program komunikasi
kesehatan dengan teknologi mobile atau yang biasa dikenal dengan mobile health
(mHealth) semakin sering digunakan dalam memberikan informasi kesehatan dan
intervensi kesehatan. mHealth adalah penyampaian informasi dan layanan kesehatan
masyarakat dan klinis dengan menggunakan teknologi mobile (termasuk texting, apps,
dan lain-lain) (Schiavo 2014).
WhatsApp Messenger atau akrab disebut WA merupakan teknologi Instant
Messaging seperti SMS dengan berbantuan data internet berfitur pendukung yang lebih
menarik. Pengguna WhatsApp dapat memanfaatkan fasilitas mengirim pesan, gambar,
video dan video call hingga membuat kelompok diskusi. Dalam sebuah penelitian
dijelaskan bahwa pemanfaatan fasilitas SMS dan MMS telah tergantikan oleh media
WhatsApp (Montag et al. 2015; Boulos et al. 2016). Aplikasi WhatsApp Messenger
sangat potensial untuk dimanfaatkan sebagai alat pembelajaran. Penelitian yang
dilakukan terhadap kader Posbindu di desa Wonokerto dengan intervensi pengiriman
pesan melalui aplikasi WhatsApp diketahui efektif dalam meningkatkan pengetahuan
dan kepuasan belajar tentang diabetes melitus tipe 2 (Jumiatmoko 2016; Ekadinata &
Widyandana 2017).
Sebuah studi intervensi yang dilakukan terhadap keluarga Afrika Amerika dan
Latin menunjukkan bahwa intervensi yang disampaikan melalui mekanisme online dan
Universitas Indonesia
mobile menghadirkan peluang baru untuk menjangkau remaja etnis minoritas yang
berpotensi berisiko dan orang tua mereka dalam pemberian informasi mengenai
kesehatan reproduksi (Guilamo-Ramos et al. 2015). Studi lainnya yang dilakukan di
Ghana membuktikan bahwa program mHealth efektif untuk meningkatkan pengetahuan
mengenai kesehatan reproduksi di seluruh strata sosiodemografi, termasuk mereka yang
mungkin berisiko lebih tinggi untuk memiliki kesehatan reproduksi yang buruk
(Rokicki & Fink 2017). Berdasarkan beberapa hasil penelitian tersebut, media
WhatsApp yang juga merupkan media berbasis online dan mobile serta dapat disebut
sebagai mHealth juga memungkinkan untuk dimanfaatkan sebagai media edukasi
kepada orang tua/pengasuh remaja tunagrahita dalam meningkatkan pengetahuan
mengenai kesehatan reproduksi.
Berdasarkan uraian di atas maka peneliti tertarik untuk melakukan penelitian
dengan judul ―Pemanfaatan Aplikasi WhatsApp terhadap Peningkatan Pengetahuan
Orang Tua/ Pengasuh Remaja Tunagrahita Mengenai Kesehatan Reproduksi Remaja
Tunagrahita di SLB C Ruhui Rahayu Samarinda Kalimantan Timur‖.
Universitas Indonesia
memberikan pendidikan seks dan kesehatan reproduksi kepada anak mereka. Orang tua
seharusnya menjadi pendidik seks utama bagi anak-anak mereka, tetapi banyak orang
tua yang merasa khawatir untuk membicarakan tentang seks dengan anak-anak mereka
sebab orang tua belum memiliki pengetahuan yang cukup untuk menangani pertanyaan
dengan tepat.
Program PKPR merupakan upaya pemerintah yang bertujuan khusus untuk
meningkatkan pengetahuan dan keterampilan remaja tentang kesehatan reproduksi dan
perilaku hidup sehat serta memberikan pelayanan kesehatan yang berkualitas kepada
remaja. Namun jumlah persentase puskesmas yang menyelenggarakan kesehatan remaja
di Provinsi Kalimantan Timur hanya mencapai 20,69 persen dan belum mencapai target
Renstra 2015 yang sebesar 25 persen (Kementerian Kesehatan RI 2016). Hal ini
menunjukkan bahwa pemberian informasi maupun pelayanan kesehatan reproduksi
untuk remaja terutama pada remaja tunagrahita di wilayah Kalimantan Timur masih
rendah. Maka dari itu, edukasi mengenai kesehatan reproduksi remaja tunagrahita
sangat penting diberikan kepada keluarga yang mengasuh dan bersentuhan langsung
dengan remaja tunagrahita setiap harinya agar mereka mampu memberikan pemahaman
mengenai kesehatan reproduksi secara tepat. Salah satu upaya yang dianggap cukup
strategis dan praktis untuk menyampaikan informasi yang benar mengenai kesehatan
reproduksi kepada orang tua/ pengasuh tunagrahita adalah melalui media WhatsApp
Messenger.
Universitas Indonesia
Universitas Indonesia
Universitas Indonesia
2.1 Edukasi
2.1.1 Definisi Edukasi
Edukasi adalah suatu proses penyampaian bahan atau materi pendidikan oleh
pendidik kepada sasaran pendidikan guna mencapai tujuan yaitu perubahan perilaku.
Edukasi kesehatan sangat penting untuk menunjang program-program kesehatan yang
lain. Untuk memilih metode edukasi harus memperhatikan subyek edukasi apakah itu
merupakan individu, kelompok, masyarakat/massa serta harus mempertimbangkan
pendidikan formal (Notoatmodjo 2007).
Pendidikan (education) juga diartikan sebagai upaya persuasi atau pembelajaran
kepada masyarakat agar masyarakat mau melakukan tindakan-tindakan (praktik) untuk
memelihara (mengatasi masalah-asalah), dan meningkatkan kesehatannya. Perubahan
atau tindakan pemeliharaan dan peningkatan kesehatan yang dihasilkan oleh pendidikan
kesehatan ini didasarkan kepada pengetahuan dan kesadarannya melalui proses
pembelajaran. Sehingga perilaku tersebut diharapkan akan berlangsung lama dan
menetap, karena didasari oleh kesadaran. Namun kelemahan dari pendekatan
pendidikan kesehatan ini adalah hasilnya lama, karena perubahan perilaku melalui
proses pembelajaran pada umumnya memerlukan waktu yang lama (Notoatmodjo
2010).
11
Universitas Indonesia
sistem pendidikan definisi media adalah segala sesuatu yang dapat merangsang
terjadinya proses belajar pada diri peserta didik (Susilowati 2016).
Edukasi berupa pemberian informasi akan semakin mudah terekam apabila
disampaikan dengan merangsang berbagai indera manusia seperti pendengaran,
perabaan dan penglihatan. Salah satunya yang sedang popular adalah media elektronik.
Cara ini dapat dimanfaatkan untuk mempermudah menangkap suatu informasi. Dalam
sebuah penelitian intervensi yang dilakukan dapat membuktikan bahwa model
pembelajaran kesehatan menggunakan sebuah media (multimedia) mampu merubah
pengetahuan dan sikap seseorang terkait faktor risiko penyakit (Handayani & Ristrini
2010).
Universitas Indonesia
Universitas Indonesia
berjangkar dengan baik sebagai pemimpin pasar dalam aplikasi pengiriman pesan
(Barhoumi 2015).
Menurut Jumiatmoko (2016), WhatsApp merupakan teknologi popular yang
sangat potensial untuk dimanfaatkan sebagai alat pembelajaran. Dalam WhatsApp
Messenger terdapat Whatsapp Group yang mampu membangun sebuah pembelajaran
yang menyenangkan terkait berbagai topik diskusi yang diberikan oleh pengajar.
Keberadaan WhatsApp Messenger tidak terlepas dari keberadaan Net Gen atau generasi
digital yang selalu menginginkan adanya pemutakhiran berbagai teknologi berbasis
internet. Data empiris dari Jafe dan Zane (2008) menunjukkan bahwa Net Gen memiliki
kecederungan belajar secara kolaboratif, tidak memiliki respon yang baik terhadap cara
pembelajaran ceramah, menginginkan informasi yang dapat mereka terima secara
individu, dan senantiasa mengingikan berbagai macam materi pemebelajaran yang dapat
diakses dengan mudah melalui piranti teknologi.
Universitas Indonesia
Universitas Indonesia
Universitas Indonesia
menggabungkan 2 jenis pesan yaitu pesan gambar dan teks agar intervensi yang
dilakukan lebih maksimal.
Universitas Indonesia
2.3 Remaja
2.3.1 Definisi Remaja
Perkembangan manusia merupakan sebuah proses panjang dalam kehidupan
dimulai dari pertumbuhan dan perubahan fisik, perilaku, kognitif, dan emosional.
Sepanjang proses ini setiap individu mengembangkan sikap dan nilai yang akan
mengarahkan diri terhadap pilihan, hubungan, dan pengertian (understanding)
(Huberman, 2002 dalam Herlina 2013). Pengertian remaja tertuang dalam Peraturan
Menteri Kesehatan RI Nomor 25 tahun 2014 yaitu remaja adalah penduduk dalam
Universitas Indonesia
rentang usia 10-18 tahun. Sedangkan menurut Badan Kependudukan dan Keluarga
Berencana (BKKBN) rentang usia remaja adalah 10-24 tahun dan belum menikah.
Berdasarkan Sensus Penduduk 2010, jumlah kelompok usia 10-19 tahun di Indonesia
yaitu sebanyak 43,5 juta atau sekitar 18 persen dari jumlah penduduk (Kementerian
Kesehatan RI 2015).
Pada tahun 1974, WHO (Sarwono 2011) mendefinisikan remaja melalui definisi
konseptual yang meliputi kriteria biologis, psikologis, dan sosial ekonomi. Menurut
WHO remaja didefinisikan sebagai berikut :
1. Berdasarkan kriteria biologisnya remaja adalah individu yang berkembang
dari saat pertama kali ia menunjukkan tanda-tanda seksusal sekundernya
sampai saat ia mencapai kematangan seksual.
2. Berdasarkan kriteria sosial-psikologis, remaja adalah individu yang
mengalami perkembangan psikologis dan pola identifikasi dari kanak-kanak
menjadi dewasa.
3. Berdasarkan kriteria sosial-ekonomi, remaja adalah suatu masa dimana
terjadi peralihan dari ketergantungan sosial-ekonomi yang penuh kepada
keadaan yang relatif lebih mandiri.
Universitas Indonesia
Kemudian terjadi pertumbuhan pesat selama satu atau dua tahun, setelah itu
pertumbuhan menurun, testis sudah berkembang penuh pada usia dua puluh tahun.
Segera setelah pertumbuhan pesat pada testis, maka pertumbuhan penis meningkat
pesat. Mula-mula peningkatan pertumbuhan terjadi pada panjang penis yang kemudian
disertai berangsur-angsur dengan besarnya. Jika pertumbuhan organ reproduksi telah
matang kemudian diikuti dengan terjadinya mimpi basah (Hurlock, 2003).
Pada wanita, semua organ reproduksi tumbuh selama masa puber, meskipun
dalam tingkat kecepatan yang berbeda. Berat uterus anak usia sebelas atau dua belas
tahun berkisar 5,3 gram dan pada usia enam belas rata-rata beratnya mencapai 43 gram.
Pertumbuhan pesat ini tidak hanya terjadi pada rahim namun juga terjadi pada tuba
fallopi, ovarium, dan juga vagina. Kematangan organ reproduksi pada wanita ditandai
dengan datangnya haid. Ini adalah permulaan dari serangkaian pengeluaran darah,
lendir, dan jaringan sel yang meluruh dari rahim secara berkala yang akan terjadi kurang
lebih setiap 28 hari sampai mencapai menopause (Hurlock, 2003).
Universitas Indonesia
d. Otot
Otot-otot bertambah besar dan kuat, sehingga memberi bentuk bagi lengan,
tungkai kaki, dan bahu.
e. Suara
Suara berubah setelah rambut kemaluan tumbuh. Awal mula suara menjadi serak
dan kemudian tinggi suara menurun.
f. Benjolan Dada
Benjolan kecil di sekitar kelenjar susu timbul sekitar usia 12 dan 14 tahun dan
setelah beberapa minggu besar dan jumlahnya menurun.
2) Wanita
a. Pinggul
Pinggul menjadi bertambah lebar dan bulat sebagai akibat membesarnya
tulang pinggul dan berkembangnya lemak bawah kulit.
b. Payudara
Segera setelah pinggul mulai membesar, payudara mulai berkembang. Putting
susu membesar dan menonjol, dan dengan berkembangnya kelenjar susu,
payudara menjadi lebih besar dan lebih bulat.
c. Rambut
Rambut kemaluan timbul setelah pinggul dan payudara mulai berkembang. Bulu
ketiak dan bulu pada kulit wajah mulai tampak setelah haid. Semua rambut
kecuali rambut wajah mula-mula lurus dan terang warnanya, kemudian menjadi
lebih subur, lebih kasar, lebih gelap, dan agak keriting.
d. Kulit
Kulit menjadi lebih kasar, lebih tebal, agak pucat, dan lubang pori-pori
bertambah besar.
e. Kelenjar
Kelenjar lemak dan kelenjar keringat menjadi lebih aktif. Sumbatan kelenjar
lemak dapat menyebabkan jerawat. Kelenjar keringat di ketiak mengeluarkan
banyak keringat dan baunya menusuk sebelum dan selama haid.
f. Otot
Universitas Indonesia
Otot semakin besar dan semakin kuat, terutama pada pertengahan dan
menjelang akhir masa puber, sehingga memberikan bentuk pada bahu lengan
dan tungkai kaki.
g. Suara
Suara menjadi lebih penuh dan semakin merdu. Suara serak dan suara yang
pecah jarang terjadi pada anak perempuan.
2.4 Tunagrahita
2.4.1 Definisi Tunagrahita
Anak tunagrahita adalah anak yang memiliki intelegensi yang signifikan berada
dibawah rata-rata dan disertai dengan ketidakmampuan dalam adaptasi perilaku yang
muncul dalam masa perkembangannya. Anak dengan Tunagrahita (ADTG) adalah anak
yang memiliki keterbatasan perkembangan mental, tingkah laku (behavioral) dan
kecerdasan. Keterbatasan ini membuat anak sulit mengembangkan kemampuannya
secara maksimal. Oleh karena itu dibutuhkan pendekatan khusus berupa stimulasi
kognitif untuk mengoptimalkan fungsi kecerdasannya dan melengkapi pendekatan
metode pendidikan yaitu pendidikan luar biasa (PLB) (Kementerian Kesehatan RI 2010;
2017).
Sari (2017) menjabarkan bahwa Tunagrahita memiliki sebutan atau istilah yang
berbeda dibeberapa negara, seperti di Amerika umumnya digunakan istilah mental
retardation, Inggris menggunakan istilah mentally retarded, New Zealand menyebutnya
sebagai intellectually handicapped, dan Persatuan Bangsa-Bangsa (PBB) memberikan
istilah mentally retarded atau intellectually disabled. Sementara di Indonesia umumnya
menggunakan istilah tunagrahita.
Universitas Indonesia
SD. Selain itu, mereka dapat dilatih dengan keterampilan tertentu sehingga mampu
mandiri seperti orang dewasa yang normal. Namun mereka kurang mampu
menghadapi stress sehingga masih membutuhkan bimbingan keluarga. Sebagian
besar penyandang tunagrahita (sekitar 85%) masuk kedalam kategori tunagrahita
ringan.
2. Tunagrahita Sedang
Tunagrahita sedang memiliki tingkat IQ antara 35-50 sampai dengan 50-55 dan
merupakan golongan tunagrahita yang dapat dilatih (trainable) tapi tidak mampu
didik karena kemampuan intelektualnya hanya sampai tingkat 2 SD. Golongan ini
mampu dilatih untuk mengurus diri sendiri atau untuk menguasai keterampilan
tertentu seperti pertukangan, pertanian, dan lain-lain. Jumlah penyandang
tunagrahita sedang yaitu sekitar 12% dari seluruh penyandang tunagrahita.
3. Tunagrahita Berat
Tingkat IQ pada penyandang tunagrahita berat adalah 20-25 sampai 35-40.
Golongan tunagrahita ini dapat dilatih keterampilan mengurus diri yang sederhana
namun tidak dapat dilatih keterampilan kerja, mereka memiliki kemampuan bicara
yang sangat sederhana, sehingga membutuhkan pengawasan dan bimbingan
sepanjang hidupnya. Penyandang tunagrahita berat berjumlah sekitar 7% dari
seluruh penyandang tunagrahita.
4. Tunagrahita Sangat Berat
Tingkat IQ yang dimiliki penyandang tunagrahita sangat berat berada dibawah 20-
25 dan termasuk dalam tipe klinik. Kelompok ini berjumlah sekitar 1% dari seluruh
penyandang tunagrahita. Pada kelompok ini, sangat mudah untuk mendiagnosis
kelainan neurologik yang mengakibatkan tunagrahitanya. Penyandang tunagrahita
sangat berat memiliki kemampuan bahasa yang sangat minim dan seluruh hidupnya
sangat bergantung pada orang di sekitarnya.
Universitas Indonesia
1. Ada tiga jenis anak dengan disabilitas intelektual (tunagrahita) yaitu ringan
(mampu didik), sedang (mampu latih), dan berat (mampu rawat).
2. Wajah ceper, jarak kedua mata jauh, hidung pesek, mulut terbuka, lidah
besar.
3. Kepala kecil/besar/datar.
4. Tidak dapat mengurus diri sendiri sesuai usianya atau semua harus dibantu
orang lain.
5. Perkembangan bicara/Bahasa terlambat atau tidak dapat bicara.
6. Kurang atau tidak dapat menyesuaikan diri terhadap lingkungan.
7. Sering keluar ludah (cairan) dari mulut.
Apabila ditemukan ciri-ciri atau tanda-tanda diatas maka ada beberapa hal yang
perlu dilakukan orang tua dan keluarga, yaitu:
1) Membawa anak ke puskesmas atau rumah sakit terdekat untuk diperiksa
tenaga medis.
2) Menindaklanjuti hasil pemeriksaan dari tenaga medis dengan mengikuti
petunjuk dan saran yang diberikan.
3) Memasukkan anak ke sekolah yang sesuai dan kembangkan potensi yang
dimiliki anak.
4) Mengajarkan sesuatu secara bertahap dan berulang ulang.
5) Perlu diingat, bahwa kebutuhan biologis anak dengan disabilitas intelektual
sama dengan anak lainnya, hanya saja mereka tidak mengerti bagaimana
mengatasi bila rasa tersebut timbul dan apa yang harus mereka lakukan.
Untuk itu orang tua dan keluarga harus memberikan contoh tentang sikap
dan nilai berperilaku yang baik.
Universitas Indonesia
pengetahuan adalah hasil penginderaan manusia, atau hasil tahu seseorang terhadap
objek melalui indera yang dimilikinya (mata, hidung, telinga, dan sebagainya).
Pengetahuan yang didapatkan pada waktu penginderaan tersebut sangat dipengaruhi
oleh intensitas perhatian dan persepsi terhadap objek dan sebagaian besar pengetahuan
diperoleh melalui indera pendengaran dan indera penglihatan yaitu telinga dan mata.
Dalam Notoatmodjo (2010), pengetahuan dibagi dalam enam tingkatan, dimulai
dari tahu, memahami, aplikasi, analisis, sintesis dan evaluasi. Adapun penjelasan dari
tiap-tiap tingkatan tersebut adalah sebagai berikut:
1. Tahu (know) diartikan sebagai recall (memanggil) memori yang telah ada
sebelumnya setelah seseorang mengamati sesuatu. Seseorang dianggap tahu
apabila ia bisa mengingat dan menyebutkan hal-hal yang telah atau pernah ia
amati sebelumnya.
2. Memahami (comprehension), pada tingkatan ini seseorang tidak sekadar
tahu dan dapat menyebutkan suatu objek, tetapi juga dapat
menginterpretasikan secara benar objek yang diketahui tersebut.
3. Aplikasi (application), pada tingkatan ini seseorang yang telah memahami
objek dapat menggunakan atau mengaplikasikan prinsip yang telah diketahui
tersebut bahkan pada situasi yang berbeda.
4. Analisis (analysis), pada tingkatan ini seseorang mampu menjabarkan
dan/atau memisahkan serta mencari hubungan antara komponen-komponen
yang terdapat dalam suatu masalah atau objek yang ia ketahui.
5. Sintesis (synthesis), seseorang pada tingkatan ini memiliki kemampuan
untuk merangkum atau meletakkan satu hubungan yang logis dari
komponen-komponen pengetahuan yang dimilikinya. Dengan kata lain orang
tersebut mampu menyusun formulasi baru dari formulasi-formulasi yang
telah ada.
6. Evaluasi (evaluation), tingkatan ini merupakan tingkatan tertinggi dalam
pengetahuan dimana seseorang mampu untuk melakukan justifikasi atau
penilaian terhadap suatu objek tertentu.
Universitas Indonesia
Universitas Indonesia
Universitas Indonesia
Selain itu, terdapat beberapa studi dan jurnal yang menjelaskan mengenai faktor-
faktor yang mempengaruhi pengetahuan. Riggs & Noland (1984) mengemukakan
bahwa pengetahuan kesehatan dipengaruhi oleh beberapa faktor yaitu jenis kelamin,
usia dan tempat kontrol kesehatan. Dimana dijelaskan bahwa wanita memiliki nilai tes
yang lebih tinggi daripada laki-laki, siswa yang lebih tua memiliki nilai pengetahuan
yang lebih tinggi daripada siswa yang lebih muda, dan siswa yang memiliki orientasi
internal memiliki skor pengetahuan yang lebih tinggi daripada siswa yang berorientasi
eksternal. Penelitian Zhifei He et al. (2016) mengenai faktor-faktor yang mempengaruhi
pengetahuan dan perilaku kesehatan di Cina menjelaskan bahwa faktor-faktor yang
dapat mempengaruhi pengetahuan seseorang diantaranya yaitu literasi kesehatan (health
literacy), umur, tingkat pendidikan, pekerjaan serta jarak antara rumah dan institusi
kesehatan.
Universitas Indonesia
Umur
&
Jenis Kelamin
Pendidikan
Pekerjaan
Ekonomi Pengetahuan
Pengalaman
Lingkungan
Sosial Budaya
Paparan Media Masa
& Informasi
Jarak ke institusi
kesehatan
Universitas Indonesia
Variabel
Confounding:
1. Umur
2. Jenis Kelamin
3. Pendidikan
4. Pekerjaan
Tinggi jika :
- Tamat SMP
- Tamat SMA
- Tamat
D3/Akademik
- Tamat
Perguruan
Tinggi
5. Pekerjaan - Hal yang harus dilakukan terutama untuk Pengisian Kuesioner 0. Tidak bekerja Nominal
menunjang kehidupannya dan keluarganya Kuesioner B5 1. Bekerja
(Notoatmodjo 2010).
- Aktivitas responden untuk menghasilkan uang,
baik formal maupun informal
6. Edukasi Kesehatan - Edukasi adalah suatu proses penyampaian Keluarga 1 pesan Terdapat
Reproduksi bahan atau materi pendidikan oleh pendidik diberikan 1 teks dan perubahan
kepada sasaran pendidikan guna mencapai pesan teks gambar signifikan pada
tujuan yaitu perubahan perilaku (Notoatmodjo dan gambar setiap hari pengetahuan
2007). setiap hari dari keluarga
Universitas Indonesia
Universitas Indonesia
3.3 Hipotesis
Berdasarkan model kerangka konsep diatas maka hipotesis dalam penelitian ini
adalah ―Terdapat peningkatan pengetahuan orang tua/ pengasuh setelah diberikan
intervensi edukasi tentang kesehatan reproduksi remaja tunagrahita melalui
pemanfaatan aplikasi WhatsApp Messenger‖.
Universitas Indonesia
X
O1 O2
Keterangan :
O1 : Pretest sebelum diberikan intervensi untuk mengetahui pengetahuan orang tua/
pengasuh mengenai edukasi kesehatan reproduksi remaja tunagrahita
X : Intervensi edukasi kesehatan reproduksi remaja tunagrahita
O2 : Posttest setelah diberikan intervensi untuk mengetahui pengetahuan orang tua/
pengasuh mengenai edukasi kesehatan reproduksi remaja tunagrahita.
Dalam penelitian ini peneliti memberikan intervensi berupa konten edukasi yang
berisi tentang pengetahuan dasar kesehatan reproduksi remaja tunagrahita. Edukasi akan
diberikan selama 7 hari dengan mengirimkan satu pesan bergambar disertai pesan teks
setiap hari melalui aplikasi WhatsApp Messenger.
38
Universitas Indonesia
pengambilan data awal, intervensi, pengambilan data akhir, pengolahan data, analisis
data dan penyusunan laporan penelitian.
Universitas Indonesia
Universitas Indonesia
kemaknaan 5% maka diperoleh nilai r tabel adalah 0,4438. Kemudian untuk penilaian
uji reliabilitas digunakan uji crombach alpha dengan ketentuan jika nilai crombach
alpha lebih besar atau sama dengan 0,6 maka variabel dikatakan reliabel.
Hasil uji validitas pada 20 pertanyaan tentang pengetahuan orang tua / pengasuh
mengenai kesehatan reproduksi remaja tunagrahita menunjukkan terdapat 17 pertanyaan
yang dinyatakan valid dengan nilai r lebih besar dari r tabel (0,4438). Uji validitas
dilakukan berulang kali dengan mengeluarkan pertanyaan yang tidak valid sehingga
pada akhirnya ditemukan 17 item pertanyaan tersebut. Terdapat 3 poin pertanyaan yang
masih belum valid yaitu pertanyaan nomor 2, 16, dan 19, tetapi karena poin pertanyaan
tersebut dianggap penting terhadap substansi variabel, maka poin pertanyaan tersebut
tidak dihilangkan dari kuesioner. Sementara untuk uji reliabilitas didapatkan nilai
crombach alpha 0,905 lebih besar dari 0,6 maka variabel pengetahuan dengan 17
pertanyaan ini dikatakan reliabel.
Universitas Indonesia
Universitas Indonesia
dikirimkan melalui WhatsApp Group. Intervensi diberikan sebanyak 7 kali selama 7 hari
yang terdiri dari:
responden dan pihak sekolah yang sudah terlibat dalam penelitian serta memberikan
souvenir sebagai tanda terima kasih.
Universitas Indonesia
Gambar 4.1. Alur Pelaksanaan Intervensi Edukasi Kesehatan Reproduksi Remaja Tunagrahita Melalui Pemanfaatan Aplikasi
WhatsApp
4 Minggu 1 Minggu
Universitas Indonesia
Universitas Indonesia
Universitas Indonesia
48
Universitas Indonesia
oleh peneliti bahwa calon responden sudah memenuhi kriteria inklusi dimana syarat
utama menjadi responden adalah memiliki smartphone dan merupakan pengguna
aplikasi whatsapp. Setelah mendapatkan cukup responden, peneliti membuat whatsapp
group dan mengundang para orang tua/pengasuh siswa untuk bergabung dalam group.
Jalannya intervensi dipandu dan dilakukan oleh peneliti sendiri. Intervensi dilakukan
selama 7 hari dengan mengirimkan pesan teks dan gambar yang berisi informasi
kesehatan reproduksi remaja tunagrahita setiap harinya antara pukul 08.00 WITA
hingga 11.00 WITA. Intervensi mulai dilaksanakan pada hari Kamis 19 Juli sampai
dengan Rabu 25 juli 2018. Setelah 7 hari pelaksanaan intervensi responden kembali
diundang untuk melakukan pengukuran post test pada hari Kamis 26 Juli 2018 di ruang
serbaguna SLB Ruhui Rahayu Samarinda. Post test juga dilakukan oleh peneliti dengan
mendatangi responden di tempat dikarenakan beberapa responden yang tidak dapat
hadir pada saat pengukuran post test di SLB C Ruhui Rahayu Samarinda.
Intervensi hari ke 1
1. - Tema Materi
Mengenal Pubertas Pada Remaja Secara
Umum
- Isi pesan bergambar
Pengertian Pubertas dan perubahan fisik
yang umum terjadi pada remaja laki-
laki dan perempuan
- Isi pesan teks
Pubertas pada anak tunagrahita dan cara
menahan dorongan seksual pada
tunagrahita
- Pengiriman pesan dilaksanakan pada
hari Kamis, 19 Juli 2018 pukul 10.00
WITA, terkirim dan dibaca oleh 41
responden dan terdapat 6 responden
yang memberikan respon dengan
mengucapkan terima kasih atas info
yang disampaikan dan mengatakan
bahwa info yang disampaikan sangat
bermanfaat.
Universitas Indonesia
2. Intervensi hari ke 2
- Tema Materi
Mengenal tanda-tanda pubertas pada
anak laki-laki
- Isi pesan bergambar
Tanda-tanda pubertas pada remaja laki-
laki termasuk perubahan fisik dan
fungsi seksual
- Isi pesan teks
Penjelasan tentang mimpi basah
- Pengiriman pesan dilaksanakan pada
hari Jum‘at, 20 Juli 2018 pukul 12.00
WITA, terkirim dan dibaca oleh 41
responden dan 2 responden yang
memberikan respon dengan
mengucapkan terima kasih atas info
yang disampaikan. Setelah intervensi
yang kedua terdapat 1 responden yang
meninggalkan group (left group).
3. Intervensi hari ke 3
- Tema Materi
Mengenal tanda-tanda pubertas pada
anak perempuan
- Isi pesan bergambar
Tanda-tanda pubertas pada remaja
perempuan termasuk perubahan fisik
dan fungsi seksual
- Isi pesan teks
Penjelasan tentang menstruasi
- Pengiriman pesan dilaksanakan pada
hari Sabtu, 21 Juli 2018 pukul 10.00
WITA, terkirim dan dibaca oleh 40
responden dan 2 responden yang
memberikan respon dengan
mengucapkan terima kasih atas info
yang disampaikan.
Universitas Indonesia
4. Intervensi hari ke 4
- Tema Materi
Menghadapi remaja putra yang
mengalami mimpi basah
- Isi pesan bergambar
Tips menghadapi remaja putra yang
mengalami mimpi basah
- Isi pesan teks
Penjelasan lebih lengkap mengenai cara
menghadapi remaja putra yang
mengalami mimpi basah
- Pengiriman pesan dilaksanakan pada
hari Minggu, 22 Juli 2018 pukul 10.00
WITA, terkirim dan dibaca oleh 40
responden dan tidak ada responden
yang memberikan respon.
5. Intervensi hari ke 5
- Tema Materi
Menghadapi anak perempuan saat
menstruasi pertama
- Isi pesan bergambar
Tips menghadapi anak perempuan saat
menstruasi pertama
- Isi pesan teks
Penjelasan lebih lengkap mengenai cara
menghadapi anak perempuan saat
menstruasi pertama
- Pengiriman pesan dilaksanakan pada
hari Minggu, 23 Juli 2018 pukul 08.00
WITA, terkirim dan dibaca oleh 40
responden dan 2 responden
memberikan respon tanda jempol.
Universitas Indonesia
6. Intervensi hari ke 6
- Tema Materi
Merawat Organ Reproduksi
- Isi pesan bergambar
Cara merawat organ reproduksi bagi
laki-laki dan perempuan
- Isi pesan teks
Pengertian kesehatan reproduksi dan
prinsip prinsip dalam berkomunikasi
dengan anak tunagrahita
- Pengiriman pesan dilaksanakan pada
hari Senin, 24 Juli 2018 pukul 08.00
WITA, terkirim dan dibaca oleh 40
responden dan tidak ada responden
yang memberikan respon.
7. Intervensi hari ke 7
- Tema Materi
Cegah kekerasan pada tunagrahita
- Isi pesan bergambar
Cara mencegah kekerasan pada remaja
tunagrahita
- Isi pesan teks
Hal yang perlu dilakukan orang tua
untuk mencegah kekerasan terhadap
remaja tunagrahita
- Pengiriman pesan dilaksanakan pada
hari Selasa, 25 Juli 2018 pukul 08.00
WITA, terkirim dan dibaca oleh 40
responden dan 8 responden
memberikan respon mengucapkan
terima kasih.
Universitas Indonesia
Universitas Indonesia
Jumlah Persentase
Karakteristik (n) (%)
Jenis Kelamin Anak
Laki-Laki 23 57,5
Perempuan 17 42,5
Usia Anak
(Mean = 14,55; SD = 0,457; min-max = 12-23)
Remaja awal (12-16) 30 75,0
Remaja akhir (17-25) 10 25,0
Jenjang SLB
SDLB 20 50,0
SMPLB 6 15,0
SMALB 14 35,0
Berdasarkan tabel 5.1 diketahui bahwa lebih banyak responden yang memiliki
umur dengan kategori dewasa sebanyak 60% dengan usia terendah 24 tahun dan
tertinggi 59 tahun. Sebagian besar responden berjenis kelamin perempuan sebanyak
82,5%. Pada tingkat pendidikan terakhir yang dimiliki responden terdapat 77,5%
responden berpendidikan tinggi. Sebagian besar responden yaitu 72,5% adalah bukan
pekerja. Berdasarkan pengalaman mendapatkan informasi kesehatan reproduksi
diketahui bahwa sebanyak 57,5% responden pernah mendapatkan informasi tentang
kesehatan reproduksi diluar intervensi yang diberikan. Jenis kelamin remaja tunagrahita
didominasi oleh remaja laki-laki sebanyak 57,5%. Sedangkan umur anak responden
lebih banyak 75% yang masuk kedalam kategori remaja awal, dan jenjang pendidikan
SLB didominasi oleh tingkat dasar SDLB 50%.
Tabel 5.2 menunjukkan bahwa rata-rata tingkat pengetahuan pada saat pretest
yaitu 60,00 dengan SD sebesar 20,28. Nilai minimum tingkat pengetahuan pada saat
Universitas Indonesia
pretest yaitu 15 dan jumlah maksimumnya 95. Sedangkan rata-rata tingkat pengetahuan
post test yaitu 77,63dengan SD 23,56. Nilai minimum tingkat pengetahuan post test
yaitu 5 dan jumlah maksimumnya 100.
Universitas Indonesia
Universitas Indonesia
jawaban benar pada semua pertanyaan pengetahuan mengenai cara menjaga kebersihan
organ reproduksi. Peningkatan persentase yang paling mencolok adalah poin nomor 2
yaitu mengenai cara membasuh dan mencuci kemaluan perempuan dimana pada saat
pretest hanya 25,0% orang tua menjawab benar kemudian mengalami peningkatan pada
saat post test dimana terdapat 55,0% orang tua menjawab benar. Kemudian pada poin
nomor 1 mengenai cara menjaga kesehatan dan kebersihan organ reproduksi perempuan
dimana pada saat pretest hanya 35,0% yang menjawab benar dan pada saat post test
meningkat menjadi 55,0% orang tua menjawab benar. Peningkatan persentase yang
paling sedikit adalah pada poin nomor 4 tentang manfaat merawat dan menjaga
kebersihan vagina dimana saat pretest orang tua sudah menjawab benar sebanyak
77,50% dan saat post test menjadi 85,0%.
Universitas Indonesia
Universitas Indonesia
Universitas Indonesia
Berdasarkan tabel 5.13 terlihat bahwa dari 40 subyek yang diamati, rata-rata
pengetahuan responden sebelum intervensi adalah 60,00 dan rata-rata pengetahuan
responden setelah intervensi adalah 77,63. Dengan menggunakan uji T Dependen
didapatkan nilai p sebesar 0,0001. Secara statistik ada perbedaan yang signifikan antara
rata-rata pengetahuan sebelum dan setelah intervensi. Ada perubahan pengetahuan
orang tua/pengasuh siswa setelah intervensi 17,625.
Universitas Indonesia
Berdasarkan hasil analisis pada tabel 5.14 dapat dilihat bahwa semua variabel
yaitu umur, jenis kelamin, pendidikan terakhir, pekerjaan dan pengalaman memperoleh
informasi memiliki p-value > 0,05 sehingga dapat diartikan bahwa secara statistic tidak
terdapat hubungan yang signifikan antara kelima variabel tersebut dengan pengetahuan
subyek penelitian.
lainnya. Analisis dilakukan dengan uji Regresi Linier Berganda untuk melihat variabel
apa saja yang berpengaruh terhadap peningkatan pengetahuan. Variabel independen
yang dapat dilanjutkan sampai analisis multivariate jika p value < 0,25. Nanum bila p
value > 0,25 dapat tetap diikutkan dalam analisis berikutnya jika variabel tersebut
dianggap penting secara substansi.
Berdasarkan tabel 5.15 didapatkan variabel yang p value >0,25 maka tidak
diikutsertakan dalam pemodelan multivariat. Variabel yang dimaksud adalah variabel
usia dengan p value 0,531 dan variabel sumber informasi lainnya dengan p value 0,315.
Berdasarkan tabel 5.16 dapat dilihat bahwa orang tua dengan jenis kelamin
perempuan memiliki peningkatan pengetahuan yang lebih rendah 10 poin dibandingkan
orang tua dengan jenis kelamin laki-laki setelah diberikan intervensi, orang tua yang
berpendidikan tinggi memiliki peningkatan pengetahuan yang lebih rendah 11 poin
dibandingkan orang tua yang berpendidikan rendah setelah diberikan intervensi, dan
orang tua yang bekerja memiliki peningkatan pengetahuan yang lebih tinggi 13 poin
dibandingkan orang tua yang tidak bekerja setelah diberikan intervensi.
Universitas Indonesia
63
Universitas Indonesia
kebutuhan fisik, psikologis, dan seksual mereka sesuai usia mereka (Barnett et al. 2003).
Peran orang tua sangat penting dalam memberikan pendidikan seks kepada anak, hal ini
berguna untuk mendukung anak dalam memahami tahap perkembangan seksualitas dan
dalam menyikapi lawan jenis (Ariadni et al. 2017).
Penelitian di Canada ditemukan orangtua dengan anak tunagrahita dilaporkan
membatasi komunikasinya dengan anak mereka ketika membahas tentang kesehatan
reproduksi dan cenderung defensif dengan pertanyaan dari anak mereka tentang
perkembangan reproduksinya (Dupras et al., 2014). Namun penelitian dengan hasil
sebaliknya ditemukan di Amerika Serikat dimana terdapat hubungan positif antara anak
dan orangtua yang cenderung overprotective dimana orangtua tersebut lebih
memperhatikan, mengawasi, dan mengontrol perkembangan reproduksi anak
tunagrahitanya (Nappi&Project STYLE Study Group, 2009). Penelitian lain yang
dilakukan di Afrika Selatan menyatakan masih lemahnya peran orangtua dalam
membimbing anak tunagrahitanya terkait kesehatan reproduksi pada remaja tunagrahita.
Kecenderungan yang dilakukan oleh remaja tunagrahita dikarenakan lemahnya
komunikasi dengan orangtua terkait kesehatan reproduksinya, mereka mengalihkan
komunikasi dari rasa penasarannya tentang hal-hal yang berbau kesehatan reproduksi
kepada saudara yang lebih tua atau teman sebayanya (Chappel, 2016). Penelitian dari
Afrika Selatan tersebut menggambarkan bahwa dirasa perlu bagi orangtua untuk
ditingkatkan pengetahuannya sehingga dapat memberikan wawasan terbuka terkait
kesehatan reproduksi dalam membuka kesempatan berkomunikasi dengan anak
tunagrahitanya. Penyebab lain dari kurangnya komunikasi sebagai peran aktif orangtua
tentang hal kesehatan reproduksi anak tunagrahitanya adalah kurangnya pengetahuan
orangtua itu sendiri terkait kesehatan reproduksi remaja, dimana latar belakang
pendidikan responden mayoritas adalah lulusan SLTP sebesar 55,0%.
Pilihan remaja terhadap sumber informasi mungkin didasarkan pada tingkat
pengetahuan dan persepsi mereka terhadap kemampuan sumber untuk menjaga
kerahasiaan (Amuyunzu-Nyamongo et al. 2005). Terlepas dari hambatan sosial budaya
untuk komunikasi yang efektif antara orang tua dan anak-anak pada masalah kesehatan
reproduksi, seperti usia dan hierarki gender, remaja di Uganda memandang orang tua
mereka sebagai sumber informasi utama. Dalam studi multinegara di SSA, lebih dari
51% dari anak perempuan dan 27% dari anak laki-laki menyatakan bahwa orang tua
Universitas Indonesia
mereka adalah sumber utama informasi kesehatan reproduksi (Bankole et al). Di negara
Amerika Serikat, para Profesional yang peduli dengan promosi kesehatan reproduksi
untuk remaja mulai memanfaatkan teknologi dan menggunakan jaringan online dan
seluler yang tersedia untuk memperluas jangkauan mereka dan berkomunikasi dengan
masyarakat tentang informasi kesehatan yang dianggap penting (Levine, 2011).
Sebuah studi di Ghana membuktikan bahwa program mHealth efektif untuk
meningkatkan pengetahuan mengenai kesehatan reproduksi di seluruh strata
sosiodemografi, termasuk mereka yang mungkin berisiko lebih tinggi untuk memiliki
kesehatan reproduksi yang buruk (Rokicki & Fink 2017). Maka dari itu, dengan
pemberian informasi sebagai intervensi dalam penelitian ini dapat menjadi salah satu
cara agar orang tua/pengasuh bisa menyampaikan informasi secara tepat dan benar
mengenai pertumbuhan dan perkembangan yang terjadi pada remaja tunagrahita.
Memiliki pengetahuan dan informasi yang benar merupakan salah satu kunci dan
elemen yang diperlukan dalam upaya untuk membentuk suatu perilaku sehat
(Sharifzadeh Gh, 2010).
Intervensi yang dilakukan dalam penelitian ini adalah dalam bentuk pemberian
informasi berupa pesan teks dan gambar kesehatan reproduksi remaja tunagrahita
melalui media whatsapp group. WhatsApp merupakan teknologi popular yang sangat
potensial untuk dimanfaatkan sebagai alat pembelajaran. Dalam WhatsApp Messenger
terdapat Whatsapp Group yang mampu membangun sebuah pembelajaran yang
menyenangkan terkait berbagai topik diskusi yang diberikan oleh pengajar
(Jumiatmoko, 2016).
Aplikasi WhatsApp Messenger adalah sistem yang menjanjikan, baik digunakan
sebagai alat komunikasi antara pekerja profesi kesehatan, sebagai sarana komunikasi
antara pekerja profesi kesehatan dan masyarakat umum, atau sebagai alat pembelajaran
untuk memberikan informasi kesehatan kepada para pekerja bidang kesehatan atau
kepada populasi umum (Mosa et al, 2017). Boulos (2016) mengemukakan bahwa
penggunaan smartphone efektif dalam berbagai pembelajaran sosial dan konteks
komunikatif dalam kesehatan dan perawatan kesehatan seperti perawatan pasien,
pemantauan, rehabilitasi, komunikasi, diagnosis, pengajaran, dan penelitian.
Berdasarkan hasil penelitian ini terdapat peningkatan pengetahuan orang
tua/pengasuh remaja tunagrahita sebelum dan sesudah diberikan intervensi dengan
Universitas Indonesia
perbedaan rata-rata pengetahuan 17,625. Hasil penelitian ini juga menunjukkan terdapat
perbedaan pengetahuan yang signifikan antara sebelum dan sesudah diberikan
intervensi dibuktikan dengan p value <0,05 (0,0001). Hal ini selaras dengan penelitian
yang dilakukan oleh Baku (2017) mengenai pengaruh pelatihan orang tua terhadap
pengetahuan dan sikap orang tua tentang seksualitas remaja di Accra Metropolis, Ghana
yang menyatakan ada perbedaan yang signifikan dalam pengetahuan tentang seksualitas
remaja sebagai orang tua dalam kelompok intervensi dimana orang tua dalam kelompok
intervensi memiliki efek positif yang lebih besar daripada orang tua dalam kelompok
kontrol (28,7%, p-value = <0,001). Selain itu, penelitian intervensi yang dilakukan pada
komunitas Nigerian daerah pedesaan untuk mengevaluasi pengaruh edukasi kesehatan
reproduksi pada pengetahuan remaja menunjukkan ada peningkatan yang signifikan (p-
value <0,05) dalam peningkatan jawaban yang benar setelah diberikan intervensi (Obi
& Ozumba, 2009).
Peningkatan pengetahuan sebelum dan sesudah diberikan intervensi melalui
aplikasi whatsapp messenger pada penelitian ini juga sesuai dengan penelitian yang
dilakukan oleh Ekadinata dan Widyandana pada kader pospindu dengan diberikan
intervensi pengiriman pesan melalui aplikasi whatsapp mengenai diabetes melitus tipe 2
menyatakan terdapat peningkatan pengetahuan setelah diberikan intervensi. Selain itu,
sebuah penelitian yang dilakukan di Polandia mengemukakan bahwa dukungan orang
tua sangat dibutuhkan untuk meningkatkan perkembangan psikologis maupun
perkembangan seksual remaja tunagrahita. Berdasarkan hasil penelitian tersebut
dinyatakan bahwa edukasi yang diberikan orang tua terbukti efektif dalam
meningkatkan pengetahuan seksualitas pada anak mereka yang merupakan remaja
tunagrahita ringan (Kijak, 2011).
Edukasi terhadap orang tua/pengasuh mengenai topik kesehatan reproduksi
remaja tunagrahita ditujukan untuk melatih orang tua/pengasuh agar dapat
berkomunikasi dengan anak-anak remaja tunagrahita mereka. Semakin banyak orang
tua yang tahu tentang topik seksualitas, semakin percaya diri untuk mendiskusikan topik
tersebut dengan anak mereka. Pengetahuan orang tua tentang masalah seksualitas sangat
penting ketika mereka dihadapkan dengan kebutuhan untuk mendiskusikan dan
mendidik anak-anak tentang seksualitas (Baku, 2017).
Universitas Indonesia
Universitas Indonesia
Namun, pada penelitian ini terdapat satu item pertanyaan yang menunjukkan
adanya penurunan jumlah jawaban benar setelah diberikan intervensi, yaitu pada
pertanyaan nomor 1 mengenai model pembelajaran yang efektif bagi tunagrahita.
Sebelum diberikan intervensi terdapat 33 (82,5%) responden yang menjawab dengan
benar, namun setelah diberikan intervensi jumlah responden yang menjawab dengan
benar menurun menjadi 32 (80,0%). Penurunan jumlah jawaban benar bisa disebabkan
oleh beberapa hal seperti keyakinan, Notoatmodjo (2010) mengungkapkan bahwa
keyakinan dapat mempengaruhi pengetahuan. keyakinan baik berupa keyakinan positif
maupun keyakinan negatif dan memperoleh dan diperoleh secara turun temurun tanpa
ada pembuktian lebih dahulu. Seseorang dengan tingkat intelegensi rendah biasanya
kurang tanggap dengan informasi yang benar dan cenderung bersikap sesuai dengan
keyakinan dan keadaan yang dialaminya. Selain itu, menurut Eysenck (Sternberg dan
Grigorenko, 2003) salah satu faktor yang menunjang keberhasilan edukasi adalah
intelegensi yang mencukupi karena edukasi berkaitan erat dengan bagaimana suatu
informasi diproses. Dalam penelitiannya Ariadni et al. (2017) mengemukakan bahwa
orang tua seharusnya menjadi pendidik seks utama bagi anak-anak mereka, tetapi
banyak orang tua yang merasa khawatir untuk membicarakan tentang seks dengan anak-
anak mereka sebab orang tua belum memiliki pengetahuan yang cukup untuk
menangani pertanyaan dengan tepat.
Dalam sebuah penelitian yang dilakukan oleh Hafid (2011) menyatakan bahwa
pengetahuan orang tua tentang retardasi mental/tunagrahita yang sangat minim
membuat orang tua tidak punya pengetahuan yang cukup dalam mengatasi kendala yang
akan muncul dalam kesehariannya. Penurunan jumlah jawaban benar juga dapat
dijelaskan melalui teori fungsi, dimana informasi yang diserap oleh responden adalah
informasi yang hanya dimengerti dalam konteks kebutuhan responden (Notoatmodjo,
2010). Pertanyaan mengenai pembelajaran efektif bagi tunagrahita mengalami
penurunan jawaban benar bisa dikarenakan responden menganggap bahwa pemahaman
mengenai pembelajaran yang efektif tidak sesuai dengan kebutuhan responden.
Universitas Indonesia
Universitas Indonesia
jenjang pendidikan dengan level lebih tinggi memiliki pengalaman dan wawasan lebih
luas, yang akan berdampak kepada kognitif seseorang. Sama halnya dengan
peningkatan pengetahuan orang tua/pengasuh berdasarkan jenis kelamin, peningkatan
pengetahuan yang lebih rendah pada orang tua/pengasuh dengan pendidikan tinggi
kemungkinan disebabkan karena orang tua/pengasuh sudah menjawab soal pretest
dengan benar dibandingkan orang tua/ pengasuh dengan pendidikan rendah sehingga
peningkatan pengetahuan setelah intervensi pada orang tua/pengasuh dengan pendidikan
tinggi tidak terlalu berbeda antara sebelum dan sesudah intervensi.
Hasil penelitian ini juga selaras dengan penelitian yang dilakukan oleh Ar-Rasily
dan Dewi (2016) mengenai faktor-faktor yang mempengaruhi tingkat pengetahuan
orang tua mengenai kelainan genetik penyebab disabilitas intelektual di Kota Semarang.
Salah satu faktor yang tidak berpengaruh terhadap tingkat pengetahuan yaitu tingkat
Pendidikan. Pada penelitian ini secara statistik didapatkan hasil bahwa faktor tingkat
Pendidikan tidak berpengaruh secara bermakna terhadap tingkat pengetahuan orang tua
mengenai kelainan genetik penyebab disabilitas intelektual. Hal ini kemungkinan
menggambarkan bahwa pengetahuan tidak mutlak diperoleh dari pendidikan formal
saja, akan tetapi dapat diperoleh dari pendidikan yang nonformal.
Berdasarkan distribusi karakteristik responden mengenai pengalaman
mendapatkan informasi kesehatan reproduksi diketahui bahwa sebanyak 57,5% orang
tua/pengasuh pernah mendapatkan informasi kesehatan reproduksi diluar intervensi
yang diberikan. Sumber informasi yang didapatkan orang tua/pengasuh antara lain
berasal dari televisi, majalah/koran, browsing internet, obrolan teman dan dari
penyuluhan atau seminar. Menurut Notoatmodjo (2010) media massa baik cetak
maupun elektronik merupakan alat informasi yang mudah diterima oleh masyarakat.
Oleh karena itu masyarakat yang lebih banyak mendapatkan informasi dari media massa
seperti televisi, radio, majalah, koran, dan lainnya akan memperoleh informasi dan
pengetahuan yang lebih banyak dari pada yang tidak pernah terpapar media sama sekali.
Maryuni & Anggraeni (2016) juga menyimpulkan dalam penelitiannya bahwa
keterpaparan informasi dapat mempengaruhi tingkat pengetahuan seseorang. Adanya
pengalaman mendapatkan informasi ini dapat mempengaruhi tingkat pengetahuan orang
tua/pengasuh bahkan sebelum intervensi dimana beberapa orang tua/pengasuh memang
sudah memiliki pengetahuan yang baik terhadap kesehatan reproduksi sehingga
Universitas Indonesia
Universitas Indonesia
7.1 Kesimpulan
Berdasarkan hasil penelitian mengenai pemanfaatan aplikasi whatsapp
messenger dalam meningkatkan pengetahuan tentang kesehatan reproduksi remaja
terhadap orang tua/ pengasuh remaja tunagrahita di SLB C Ruhui Rahayu Kota
Samarinda dapat disimpulkan sebagai berikut:
1. Terdapat 40 responden dalam penelitian ini dimana sebesar 60% dari subyek
penelitian adalah usia dewasa (15-44 tahun) dan sisanya adalah usia prelansia (45-
59 tahun). Subyek penelitian terbanyak berjenis kelamin perempuan yaitu 82,5%,
sebanyak 77,5% subyek penelitian berpendidikan tinggi, 72,5% tidak bekerja dan
sebanyak 57,5% subyek penelitian memiliki pengalaman pernah mendapatkan
informasi mengenai kesehatan reproduksi.
2. Terdapat peningkatan rata-rata pengetahuan orang tua/pengasuh sebelum (60,00)
dan sesudah (77,63) diberikan intervensi informasi kesehatan reproduksi remaja
tunagrahita melalui whatsapp group dengan perbedaan rata-rata 17,625 dan terdapat
perbedaan yang bermakna antara pengetahuan orang tua/pengasuh siswa SLB C
Ruhui Rahayu Samarinda sebelum dan sesudah diberikan intervensi dibuktikan
dengan nilai p (0.0001).
3. Edukasi kesehatan reproduksi remaja tunagrahita melalui pengiriman pesan teks dan
pesan bergambar pada whatsapp group diketahui efektif meningkatkan pengetahuan
orang tua/pengasuh remaja tunagrahita di SLB C Ruhui Rahayu Samarinda.
Variabel umur, jenis kelamin, pendidikan dan pekerjaan tidak berpengaruh terhadap
peningkatan pengetahuan.
7.2 Saran
7.2.1 Bagi Dinas Kesehatan Kota Samarinda
Dinas Kesehatan dan Dinas Pendidikan Kota Samarinda dapat berkoordinasi
dalam memberikan arahan kepada sekolah-sekolah untuk memanfaatkan WhatsApp
72
Universitas Indonesia
Universitas Indonesia
74
Universitas Indonesia
Universitas Indonesia
Hastono, S.P., 2016. Analisis Data Pada Bidang Kesehatan, Jakarta: PT RajaGrafindo
Persada.
Herlina, 2013. Mengatasi Masalah Anak dan Remaja melalui Buku, Bandung: Pustaka
Cendekia Utama. Available at:
http://file.upi.edu/Direktori/FIP/JUR._PSIKOLOGI/196605162000122-
HERLINA/PERKEMBANGAN MASA REMAJA.pdf [Diakses Februari 16, 2018].
Hidayangsih & Sari, P., 2014. PERILAKU BERISIKO DAN PERMASALAHAN
KESEHATAN REPRODUKSI PADA REMAJA. Jurnal Kesehatan Reproduksi,
5(2), hal.89–101. Available at:
http://ejournal.litbang.depkes.go.id/index.php/kespro/article/view/3886/3731
[Diakses Februari 19, 2018].
Jumiatmoko, 2016. WHATSAPP MESSENGER DALAM TINJAUAN MANFAAT
DAN ADAB. Wahana Akademika, 3(1). Available at:
http://download.portalgaruda.org/article.php?article=456486&val=8656&title=WH
ATSAPP MESSENGER DALAM TINJAUAN MANFAAT DAN ADAB [Diakses
Maret 15, 2018].
Jusmitasari, R., 2013. Gambaran Perilaku Seksual Remaja Tunagrahita di SMPLB dan
SMALB Jakarta Timur Tahun 2013. Univeristas Indonesia. Available at:
http://lib.ui.ac.id/file?file=digital/20346537-S52872-Ria Jusmitasari.pdf [Diakses
Februari 11, 2018].
Kementerian Kesehatan RI, 2017. Anak dengan Tunagrahita Perlu Pendekatan Khusus. ,
hal.1–2. Available at: www.depkes.go.id.
Kementerian Kesehatan RI, 2010. Pedoman Pelayanan Kesehatan Anak di Sekolah
Luar Biasa (SLB) Bagi Petugas Kesehatan, Jakarta.
Kementerian Kesehatan RI, 2016. Profil Kesehatan Indonesia Tahun 2015, Jakarta:
Kementerian Kesehatan Republik Indonesia.
Kementerian Kesehatan RI, 2015. Situasi Kesehatan Reproduksi Remaja, Jakarta
Selatan: Pusat Data dan Informasi; Kementrian Kesehatan RI.
Kementerian Kesehatan RI, 2014. Situasi Penyandang Disabilitas,
Kementerian Pemerdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak RI, 2013. Panduan
Penanganan Anak Berkebutuhan Khusus Bagi Pendamping (Orang Tua, Keluarga,
dan Masyarakat), Jakarta. Available at: Kemenpppa.go.id.
Universitas Indonesia
Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, 2017. Statistik Sekolah Luar Biasa (SLB)
2016/2017, Jakarta: PDSPK Kemdikbud.
Kementerian Sosial RI, 2012. Kementerian Sosial Dalam Angka, Jakarta: Badan
Pendidikan dan Penelitian Kesejahteraan Sosial.
Khairiyah Ar-Rasily, O. & Dewi, P.K., 2016. FAKTOR - FAKTOR YANG
MEMPENGARUHI TINGKAT PENGETAHUAN ORANG TUA MENGENAI
KELAINAN GENETIK PENYEBAB DISABILITAS INTELEKTUAL DI KOTA
SEMARANG. JURNAL KEDOKTERAN DIPONEGORO, 5(4), hal.1422–1433.
Available at: http://ejournal-s1.undip.ac.id/index.php/medico [Diakses April 10,
2018].
Kijak, R J. (2011).A Desire for Love: Considerations on Sexuality and Sexual
Education of People With Intellectual Disability in Poland. Journal Sexuality and
Disability. Volume 29. Springer Science & Business Media
Korp, P., 2006. Health on the Internet: Implication for Health Promotion. Health
Education Research, 21(1), hal.78–86.
Kusmiran, E., 2011. Kesehatan Reproduksi Remaja dan Wanita, Jakarta: Selemba
Medika.
Laranjo, L. et al., 2014. The influence of social networking sites on health behavior
change: a systematic review and meta-analysis. Journal of the American Medical
Informatics Association.
Maryuni & Anggraeni, L., 2016. Faktor yang Berhubungan dengan Tingkat
Pengetahuan Orangtua t entang Pendidikan Seks secara Dini pada Anak Sekolah
Dasar (SD). Jurnal Ners dan Kebidanan Indonesia, 4(3), hal.135–140.
Mieke, H.S. & Firman, F.W., 2011. Konsistensi Penelitian Dalam Bidang Kesehatan,
Bandung: Refika Aditama.
Montag, C. et al., 2015. Smartphone usage in the 21st century: who is active on
WhatsApp? BMC research notes, 8(1), hal.331.
Mosa, Abu., Sheets, Lincoln., Ramachandran, Anandhi. 2017. WhatsApp Messenger as
an Adjunctive Tool for Telemedicine: An Overview. Interact J Med Res; 6(2)
Available at: https://www.ncbi.nlm.nih.gov/pmc/articles/PMC5544893/ [Diakses
Agustus 4, 2018].
Mubarak, W., 2011. Promosi Kesehatan untuk Kebidanan, Jakarta: Salemba Medika.
Universitas Indonesia
Universitas Indonesia
http://jurnal.unimus.ac.id/index.php/jur_bid/article/view/1388/1442 [Diakses
Februari 11, 2018].
Rokicki, S. & Fink, G., 2017. Assessing the reach and effectiveness of mHealth:
evidence from a reproductive health program for adolescent girls in Ghana. BMC
public health, 17(1), hal.969. Available at:
http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pubmed/29262823 [Diakses Maret 21, 2018].
Rosary, H., 2014. Perilaku Ibu dalam Memberikan Pemahaman tentang Seksualotas
pada Anak SMPLB Tunagrahita Ringan di Sekolah Luar Biasa Dharma Asih
Pontianak. Universitas Muhammadiyah Pontianak.
Rutgers WPF Indonesia, 2017. Lokakarya Modul Pendidikan Kespro Tunagrahita.
Available at: https://www.rutgers.id/lokakarya-modul-pendidikan-kespro-
tunagrahita [Diakses Februari 25, 2018].
Sari, M.M., 2017. EFEKTIVITAS INTERVENSI PSIKOEDUKASI KESEHATAN
REPRODUKSI REMAJA TUNAGRAHITA TERHADAP PENGETAHUAN DAN
PRAKTIK ORANGTUA SISWA TUNAGRAHITA DI SLB C TRI ASIH JAKARTA.
Universitas Indonesia.
Sarwono, S., 2011. Psikologi Remaja, Jakarta: PT. Rajagrafindo Persada.
Sarwono, S., 2012. Psikologi Remaja Edisi Revisi, Jakarta: Rajagrafindo Persada.
Schiavo, R., 2014. Health Communication: From Theory to Practice Second Edi., San
Francisco: Jossey-Bass.
Sepang, F., Gunawan, S. & Pateda, V., 2013. FAKTOR-FAKTOR YANG
BERHUBUNGAN DENGAN TINGKAT PENGETAHUAN TENTANG
LEUKEMIA ANAK PADA PETUGAS KESEHATAN PUSKESMAS MANADO.
Jurnal e-Biomedik (eBM), 1(1), hal.743–747. Available at:
https://media.neliti.com/media/publications/68491-ID-faktor-faktor-yang-
berhubungan-dengan-ti.pdf [Diakses April 10, 2018].
Suciemilia, 2015. IDENTIFIKASI PERAN ORANG TUA DALAM MEMBERIKAN
PENDIDIKAN SEKSUAL PADA ANAK TUNAGRAHITA DI SLB N 1 BANTUL
YOGYAKARTA. SEKOLAH TINGGI ILMU KESEHATAN ‗AISYIYAH
YOGYAKARTA. Available at: http://digilib.unisayogya.ac.id/174/1/naskah
publikasi.pdf [Diakses Februari 5, 2018].
Susilowati, D., 2016. Promosi Kesehatan, Jakarta: Kemenkes RI. Available at:
Universitas Indonesia
http://bppsdmk.kemkes.go.id/pusdiksdmk/wp-content/uploads/2017/08/Promkes-
Komprehensif.pdf [Diakses April 9, 2018].
Suwaryo, P.A.W. & Yuwono, P., 2017. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Tingkat
Pengetahuan Masyarakat dalam Mitigasi Bencana Alam Tanah Longsor. The 6th
University Research Colloqoium Universitas Muhammadiyah Magelang, hal.305–
314. Available at: http://journal.ummgl.ac.id/index.php/urecol/article/view/1549.
Tangkudung, J.P.M., 2014. PROSES ADAPTASI MENURUT JENIS KELAMIN
DALAM MENUNJANG STUDI MAHASISWA FISIP UNIVERSITAS SAM
RATULANGI. Journal “Acta Diurna”, 3(4). Available at:
https://media.neliti.com/media/publications/91253-ID-proses-adaptasi-menurut-
jenis-kelamin-da.pdf [Diakses April 11, 2018].
Ubaidur R, Ghafur T, Bhuiya I, Taluker N. 2006. Reproductive and sexual health
education for adolescents in Bangladesh: Parent‘ view and opinion. Int Q
Community Health Educ. 2006;25(4):351–65. Available at:
http://journals.sagepub.com/doi/10.2190/G52U-1301-2444-0138 [Diakses Agustus
4, 2018].
UNICEF, 2013. KEADAAN ANAK DI DUNIA 2013 Anak Penyandang Disabilitas, New
York. Available at: https://www.unicef.org/indonesia/id/SOWC_Bahasa.pdf.
Wawan, A., 2010. Teori Dan Pengukuran Pengetahuan, Sikap, dan Perilaku Manusia,
Yogyakarta: Nuha Medika.
WHO, 2011. World report on disability, Available at:
http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pubmed/22726850.
Widyastuti, Y., 2010. Kesehatan Reproduksi, Yogyakarta: Fitramaya.
Wilson, E.K., Dalberth, B.T., Koo, H.P., et al. Parents‟ Perspectives on Talking to
Preteenage Children about Sex. Perspectives on Sexual and Reproductive Health.
2010; 42. 56– 63.
Zhifei, He et al. 2016. Factors Influencing Health Knowledge and Behaviors among the
Elderly in Rural China. International Journal of Environmental Research and Public
Health. 2016 October; Vol. 13 (10): 975. Available at:
https://www.ncbi.nlm.nih.gov/pmc/articles/PMC5086714/ [Diakses Agustus 4,
2018].
Universitas Indonesia
INFORMED CONSENT
NPM : 1606857085
Dengan ini saya menyatakan BERSEDIA / TIDAK BERSEDIA *) untuk menjadi responden dalam
penelitian ini
Demikian persetujuan ini saya buat dengan sebenar-benarnya dan tanpa paksaan
dari pihak manapun.
Samarinda,...../................/2018
Responden,
(………………………….)
C. Identitas Anak
NO PERTANYAAN JAWABAN
C1 Nama
C2 Jenis Kelamin 1. Laki-laki
2. Perempuan
1. Model pembelajaran yang efektif bagi anak tunagrahita adalah dengan menyampaikan
materi (informasi) secara:
1) Panjang lebar dan jelas
2) Cukup disampaikan satu kali saja
3) Menarik dan disampaikan berulang-ulang
4) Singkat dan cukup disampaikan satu kali saja
5) Tidak tahu
7. Dibawah ini yang merupakan tanda pematangan seksual pada remaja laki-laki adalah:
1) Tumbuh jakun
2) Mimpi basah
3) Tumbuh rambut di sekitar kemaluan dan ketiak
4) Tumbuh kumis
5) Tidak tahu
8. Berikut cara menjaga kesehatan dan kebersihan organ reproduksi perempuan, KECUALI :
1) Menggunakan celana dalam yang menyerap keringat
2) Tidak menggunakan celana dalam yang ketat
3) Sering menggunakan pantyliner
4) Mengganti celana dalam minimal 2 kali sehari
5) Tidak tahu
12. Berikut adalah hal-hal yang bisa dilakukan jika remaja putra telah mengalami mimpi
basah…
1) Mengajari dan membantu anak untuk membersihkan diri setelah mimpi basah
2) Menjadikannya bahan olokan atau bahan candaan
3) Tidak memberikan penjelasan pada anak tentang apa yang ia alami, karena anak akan
mengerti dengan sendirinya
4) Semua benar
5) Tidak tahu
13. Berikut ini adalah cara yang benar dalam menghadapi anak saat menstruasi pertama…
1) Mendiskusikan tentang menstruasi dengan anak baik dilakukan pada saat anak memang
sudah mengalami menstruasi.
2) Mendiskusikan tentang menstruasi dengan anak sebelum memasuki masa
menstruasi yaitu sekitar usia 8-10 tahun karena pubertasnya perubahan pada
tubuh anak mulai terlihat.
3) Tidak perlu menggali lebih dalam mengenai informasi apa saja yang telah
didapatkan oleh anak mengenai menstruasi.
4) Semua jawaban benar
5) Tidak tahu
15. Hal apa yang mungkin bisa mengurangi perilaku masturbasi pada remaja tunagrahita?
1) Menjauhkan objek-objek yang mudah menimbulkan dorongan seksual bagi
anak.
2) Langsung menegur dan melarang anak ketika sedang melakukan masturbasi.
3) Memarahi anak agar berhenti dan merasa jera untuk melakukan masturbasi.
4) Membiarkan anak karena hal tersebut merupakan salah satu cara untuk
menyalurkan dorongan seksual
5) Tidak tahu
16. Bagaimana memberikan pemahaman kepada remaja tunagrahita agar terhindar dari
kekerasan?
1) Menyerahkan pemberian pemahaman tersebut kepada pihak sekolah
2) Memberikan pemahaman kepada remaja tunagrahita mengenai bagian-bagian tubuh
yang tidak boleh disentuh oleh orang lain
3) Tidak memberikan pemahaman apapun
4) Menyerahkan pemberian pemahaman tersebut kepada teman bermain anak
5) Tidak tahu
17. Remaja tunagrahita, harus diberikan pemahaman tentang ―katakan tidak‖ bila?
1) Ada orang lain yang ingin menyentuh bagian pribadinya
2) Tidak ingin mengerjakan pekerjaan rumah
3) Tidak ingin makan
4) Tidak ingin bermain
5) Tidak tahu
19. Berikut adalah bagian tubuh pribadi pada remaja yang tidak boleh dilihat dan disentuh
sembarangan orang, yaitu :
1) Kemaluan
2) Pantat
3) Dada
4) Semua benar
5) Tidak tahu
20. Dibawah ini adalah cara memberikan pemahaman kepada remaja tunagrahita mengenai
kepada siapa mereka harus bercerita bila mengalami kekerasan, KECUALI?
1) Memberikan pemahaman kepada remaja tunagrahita bila terjadi tindak kekerasan harus
bercerita kepada orang asing
2) Memberikan pemahaman kepada remaja tunagrahita bila terjadi tindak
kekerasan harus bercerita kepada orang tua
3) Memberikan pemahaman kepada remaja tunagrahita bila terjadi tindak
kekerasan harus bercerita kepada pengasuh
4) Memberikan pemahaman kepada remaja tunagrahita bila terjadi tindak
kekerasan harus bercerita kepada guru
5) Tidak tahu
HARI KE 1
PESAN GAMBAR
PESAN TEKS
Tahukah anda bahwa pada saat anak beranjak remaja maka anak akan mengalami
masa pubertas. Pubertas ditandai dengan terjadinya pematangan fungsi seksual dan
perubahan fisik. Keterbatasan berpikir yang dimiliki anak tunagrahita menyebabkan
mereka tidak dapat memahami perubahan fisik dan perkembangan seksual yang
terjadi pada dirinya sehingga muncul dorongan seksual yang tidak dapat
dikendalikan oleh dirinya sendiri. Berikut yang dapat orang tua lakukan jika hal
tersebut dialami oleh anak, yaitu menahan dengan berbagai cara seperti:
Menyibukkan anak dengan berbagai aktivitas fisik dan rohani seperti
menghabiskan tenaga dengan berolahraga, anak diajak memperbanyak
ibadah dan hal positif lainnya seperti mengasah hobi dan bakat anak di
dunia seni (menggambar, menari, bernyanyi dll.).
PESAN GAMBAR
PESAN TEKS
Tahukah anda bahwa pada masa pubertas remaja laki-laki tidak hanya mengalami
perubahan fisik. Pada masa ini juga terjadi pematangan fungsi seksual yang biasa
dikenal dengan sebutan mimpi basah. Mimpi basah merupakan peristiwa Ejakulasi
(pengeluaran air mani) pada saat tidur, karena testis (buah zakar) dan salurannya
terisi penuh sperma. Mimpi basah merupakan cara alami tubuh mengeluarkan
timbunan sperma yang terbentuk secara terus-menerus. Ejakulasi pertama yang
dialami oleh remaja laki-laki merupakan tanda bahwa ia telah siap untuk
melaksanakan proses reproduksi. Perlu diketahui bahwa mimpi basah merupakan
pendidikan seks yang alamiah bagi remaja serta cara penyaluran dorongan seksual
secara sehat.
PESAN TEKS
Tahukah anda bahwa selain remaja laki-laki, remaja perempuan juga mengalami
perubahan fisik khusus pada bagian-bagian tubuh tertentu pada masa pubertas.
Selain itu remaja perempuan juga mengalami pematangan fungsi seksual untuk
pertama kalinya yaitu menstruasi. Menstruasi atau haid adalah pengeluaran darah
dan sel-sel tubuh yang berasal dari dinding rahim perempuan melalui vagina secara
periodik. Menstruasi biasanya dimulai antara umur 10 sampai 16 tahun, tergantung
pada berbagai faktor, termasuk kesehatan perempuan, status nutrisi, dan berat tubuh.
Menstruasi berlangsung kira-kira satu kali dalam satu bulan sampai perempuan
mencapai usia 45 – 50 tahun.
PESAN GAMBAR
PESAN TEKS
Berikut adalah tips yang dapat dilakukan orang tua jika remaja putra anda telah
mengalami mimpi basah :
1. Jaga sikap agar tetap tenang dan santai karena anak yang belum tahu apa yang ia
alami akan merasa cemas dan malu.
2. Tekankan bahwa hal itu wajar, dan juga dialami oleh sebagian anak-anak lain
seusianya. Sebaiknya penjelasan ini dilakukan oleh ayah kepada anak sebagai
sesama lelaki. Anda juga bisa minta bantuan pihak lain untuk menjelaskan pada
anak, seperti saudara dekat laki-laki atau dokter anak langganan.
3. Berbagi ingatan tentang pengalaman yang sama (khusus bagi ayah), akan
membantu anak untuk memahami dan menyikapi apa yang dialaminya bukan
sebagai suatu yang aneh dan memalukan.
4. Hindari candaan seperti ―iih gede-gede kok ngompol?‖ dan sebagainya.
5. Pada muslim terdapat tuntunan untuk mandi wajib setelah mimpi basah, ajari
dan bantu anak untuk melaksanakan tuntunan tersebut.
PESAN GAMBAR
PESAN TEKS
Berikut ini adalah cara menghadapi anak saat menstruasi pertama:
1. Sebaiknya orangtua membicarakan tentang menstruasi dengan anak sebelum
memasuki masa menstruasi.
2. Cari tahu apa saja yang sudah anak ketahui tentang menstruasi dan koreksi hal-
hal yang keliru. Ibu juga dapat menceritakan pengalamannya ketika pertama kali
mendapat menstruasi
3. Jangan panik! Kondisi hormonal anak akan ikut panik jika orangtua panik saat
anak mengalami haid pertama.
4. Beri arahan anak ke kamar mandi dengan tenang dan lembut, minta atau bantu ia
membersihkan diri dan celana dalam yang ada darahnya.
5. Bimbing, dan bantu anak cara memakai pembalut yang benar.
6. Seorang wanita muslim harus mandi wajib atau bersuci setelah haid selesai
(biasanya 5-7 hari) ajari anak untuk mandi wajib sesuai dengan tuntunan islam.
PESAN GAMBAR
PESAN TEKS
KESEHATAN REPRODUKSI adalah keadaan sehat baik secara fisik, psikis dan
sosial yang berkaitan dengan sistem, fungsi dan proses reproduksi pada laki-laki dan
perempuan agar dapat bertanggung jawab. Salah satu cara menjaga kesehatan
kesehatan reproduksi anak tunagrahita adalah dengan mengajarkan anak cara
merawat organ reproduksinya.
Prinsip-Prinsip Khusus yang diperlukan dalam Berkomunikasi dan Memberi
Pengajaran Kepada Anak Tunagrahita antara lain:
- Pengulangan
- pemberian contoh dan arahan,
- ketekunan,
- kasih sayang,
- pemecahan materi menjadi beberapa bagian kecil.
- Pemberian informasi pada anak tunagrahita sebaiknya diberikan secara
sederhana, singkat, jelas dan bila perlu menggunakan instrument tertentu,
dengan kata lain informasi yang diberikan harus konkrit dan diberikan secara
berulang serta bersifat individual.
PESAN GAMBAR
PESAN TEKS
Pencegahan Kekerasan Terhadap Remaja Tunagrahita :
1. Membekali remaja tunagrahita tentang bagian tubuh yang tidak boleh disentuh
orang lain
2. Membekali pemahaman kepada remaja tunagrahita tentang kemungkinan
terjadinya kekerasan dan hal yang harus dilakukan
3. Membekali pemahaman untuk menolak/mengantisipasi pelecehan seksual yang
mungkin terjadi
4. Membekali pemahaman kepada remaja tunagrahita tentang hak yang mereka
miliki