Anda di halaman 1dari 64

LAPORAN PENDAHULUAN

Disusun untuk memenuhi tugas Praktik Keperawatan Jiwa

Disusun Oleh :

Muhaammad Fuad

P27905121025

KEMENTERIAN KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA


POLITEKNIK KESEHATAN KEMENKES BANTEN
JURUSAN KEPERAWATAN TANGERANG
PROGRAM STUDI PROFESI NERS
TAHUN 2021
LAPORAN PENDAHULUAN
HARGA DIRI RENDAH

I. KASUS (MASALAH UTAMA)


Harga diri rendah adalah berkembangnya persepsi diri yang negatif dalam berespon
terhadap situasi yang sedang terjadi (NANDA, 2005).
Herdman (2012), mengatakan bahwa harga diri rendah kronik merupakan evaluasi diri
negatif yang berkepanjangan/perasaan tentang diri atau kemampuan diri. Harga diri
rendah yang berkepanjangan termasuk kondisi tidak sehat mental karena dapat
menyebabkan berbagi masalah kesehatan lain, terutama kesehatan jiwa.

II. PROSES TERJADINYA MASALAH


A. Faktor predisposisi
1) Faktor yang mempengaruhi harga diri meliputi penolakan orang tua, harapan
orang tua yang tidak realistik, kegagalan yang berulang, kurang mempunyai
tanggung jawab personal, ketergantungan pada orang lain, dan ideal diri yang
tidak realistis.
2) Faktor yang mempengaruhi performa peran adalah stereotipe peran gender,
tuntutan peran kerja, dan harapan peran budaya
3) Faktor yang mempengaruhi identitas pribadi meliputi ketidakpercayaan
orangtua, tekanan dari kelompok sebaya, dan perubahan struktur sosial.
(Stuart & Sundeen, 2006)
B. Faktor presipitasi
Faktor presipitasi terjadinya harga diri rendah biasanya adalah kehilangan
bagian tubuh, perubahan penampilan/bentuk tubuh,kegagalan atau produktivitas
yang menurun. Secara umum, gangguan konsep diri harga diri rendah ini dapat
terjadi secara emosional atau kronik. Secara situasional karena trauma yang
muncul secara tiba-tiba, misalnya harus dioperasi,kecelakaan,perkosaan atau
dipenjara, termasuk dirawat dirumah sakit bisa menyebabkan harga diri rendah
disebabkan karena penyakit fisik atau pemasangan alat bantu yang membuat klien
sebelum sakit atau sebelum dirawat klien sudah memiliki pikiran negatif dan
meningkat saat dirawat.( Yosep, 2009)
Harga diri rendah sering disebabkan karena adanya koping individu yang tidak
efektif akibat adanya kurang umpan balik positif, kurangnya system pendukung
kemunduran perkembangan ego, pengulangan umpan balik yang negatif,
disfungsi system keluarga serta terfiksasi pada tahap perkembangan awal.
(Townsend, 2008)
C. Jenis - Jenis
Harga diri rendah merupakan penilaian individu tentang nilai personal yang
diperoleh dengan menganalisa seberapa baik perilaku seseorang sesuai dengan
ideal diri. Harga diri yang tinggi adalah perasaan yang berakar dalam penerimaan
diri sendiri tanpa syarat, walaupun melakukan kesalahan, kekalahan, dan
kegagalan, tetapi merasa sebagai seseorang yang penting dan berharga.
Gangguan harga diri rendah merupakan masalah bagi banyak orang dan
diekspresikan melalui tingkat kecemasan yang sedang sampai berat. Umumnya
disertai oleh evaluasi diri yang negatif membenci diri sendiri dan menolak diri
sendiri. Gangguan diri atau harga diri rendah dapat terjadi secara :

a. Situasional
Yaitu terjadi trauma yang tiba-tiba, misalnya harus dioperasi, kecelakaan,dicerai
suami, putus sekolah, putus hubungan kerja. Pada pasien yang dirawat dapat terjadi
harga diri rendah karena prifasi yang kurang diperhatikan. Pemeriksaan fisik yang
sembarangan, pemasangan alat yang tidak sopan, harapan akan struktur, bentuk
dan fungsi tubuh yang tidak tercapai karena dirawat/penyakit, perlakuan petugas
yang tidak menghargai. (Makhripah D & Iskandar, 2012)
b. Kronik
Yaitu perasaan negativ terhadap diri telah berlangsung lama,yaitu sebelum
sakit/dirawat. Pasien mempunyai cara berfikir yang negativ. Kejadian sakit dan
dirawat akan menambah persepsi negativ terhadap dirinya. Kondisi ini
mengakibatkan respons yang maladaptive, kondisi ini dapat ditemukan pada pasien
gangguan fisik yang kronis atau pada pasien gangguan jiwa. (Makhripah D &
Iskandar, 2012)

D. Fase-Fase
-
E. Rentang Respon
Respon Adaptif Respon Maladaptif

Aktualisasi Konsep diri Harga diri Keracunan Depersona


diri rendah identitas lisasi
c. Respon Adaptif
Respon adaptif adalah kemampuan individu dalam menyelesaikan masalah yang
dihadapinya.

1) Aktualisasi diri adalah pernyataan diri tentang konsep diri yang positif dengan
latar belakang pengalaman nyata yang sukses dan dapat diterima
2) Konsep diri positif adalah apabila individu mempunyai pengalaman yang
positif dalam beraktualisasi diri dan menyadari hal-hal positif maupun yang
negatif dari dirinya.(Eko P, 2014)
d. Respon Maladaptif
Respon maladaptif adalah respon yang diberikan individu ketika dia tidak mampu
lagi menyelesaikan masalah yang dihadapi.
1) Harga diri rendah adalah individu yang cenderung untuk menilai dirinya yang
negatif dan merasa lebih rendah dari orang lain.
2) Keracunan identitas adalah identitas diri kacau atau tidak jelas sehingga tidak
memberikan kehidupan dalam mencapai tujuan.
3) Depersonalisasi (tidak mengenal diri) tidak mengenal diri yaitu mempunyai
kepribadian yang kurang sehat, tidak mampu berhubungan dengan orang lain
secara intim. Tidak ada rasa percaya diri atau tidak dapat membina hubungan
baik dengan orang lain.(Eko P, 2014)

F. Mekanisme koping
Mekanisme koping termasuk pertahanan koping jangka panjang pendek atau
jangka panjang serta penggunaan mekanisme pertahanann ego untuk melindungi diri
sendiri dalam menghadapi persepsi diri yang menyakitkan. Pertaahanan tersebut
mencakup berikut ini :
Jangka pendek :
a. Aktivitas yang memberikan pelarian semestara dari krisis identitas diri
( misalnya, konser musik, bekerja keras, menonton tv secara obsesif)
b. Aktivitas yang memberikan identitas pengganti semestara ( misalnya, ikut serta
dalam klub sosial, agama, politik, kelompok, gerakan, atau geng)
c. Aktivitas yang sementara menguatkan atau meningkatkan perasaan diri yang
tidak menentu ( misalnya, olahraga yang kompetitif, prestasi akademik, kontes
untuk mendapatkan popularitas)

Pertahanan jangka panjang mencakup berikut ini :

a. Penutupan identitas : adopsi identitas prematur yang diinginkan oleh orang


terdekat tanpa memerhatikan keinginan,aspirasi,atau potensi diri individu
b. Identitas negatif : asumsi identitas yang tidak sesuai dengan nilai dan harapan
yang diterima masyarakat.
Mekanisme pertahanan ego termasuk penggunaan fantasi, disosiasi,isolasi,
proyeksi, pengalihan ( displacement, berbalik marah terhadap diri sendiri, dan
amuk ). (Stuart, 2006)

III. A. POHON MASALAH

Isolasi Sosial
effect

Harga Diri Rendah Kronik


Core Problem

Koping Individu Tidak Efektif


Causa

Gambar : Mukhripah D& Iskandar (2012)

B. MASALAH KEPERAWATAN DAN DATA YANG PERLU DIKAJI


1. Masalah keperawatan
Harga diri rendah
2. Data yang perlu dikaji
Data subjektif:
- Hal negative diri sendiri atau orang lain
- Perasaan tidak mampu
- Pandangan hidup yg pesimis
- Penolakan terhadap kemampuan diri
Data subjektif:
- Penurunan produktifitas
- Tidak berani menatap lawan bicara
- Lebih banyak menundukan kepala saat berintraksi
- Bicara lambat dengan nada suara lemah

IV. DIAGNOSA KEPERAWATAN


a. Isolasi sosial menarik diri b/d harga diri rendah
b. Gangguan konsep diri: Harga diri rendah berhubungan dengan koping individu
inefektif
V. RENCANA ASUHAN KEPERAWATAN

TUJUAN INTERVENSI
Tujuan umum : Bina hubungan saling percaya dengan
Pasien memiliki konsep diri yang mengungkapkan prinsip komumikasi
positif terapeutik:

Tujuan khusus : 1. Sapa pasien dengan ramah baik


TUK 1 : verbal maupun non verbal
Pasian dapat membina hubungan 2. Perkenalkan diri dengan sopan
saling percaya dengan perawat 3. Tanyakan nama lengkap pasien dan
kriteria hasil: nama panggilan yang disukai pasien
setelah…..x interaksi,pasien 4. Jelaskan tujuan pertemuan
menunjukkan ekspresi wajah 5. Jujur dan menepati janji
bersahabat ,menunjukkan rasa 6. Tunjukkan sikap empati dan
senang,ada kontak mata,mau menerima pasien apa adanya
berjabat tangan,mau 7. Beri perhatian kepada pasien dan
menyebut nama,mau perhatikan kebutuhan dasar pasien
menjawab salam,pasien mau
duduk,berdampingan dengan
perawat,mau mengutarakan masalah
yang dihadapi
TUK 2 : 1. Diskusikan kemampuan aspek
Pasien dapat mengidentifikasi positif , keluarga dan lingkungan
kemampuan dan aspek positif yang yang dimiliki pasien
dimiliki Kriteria hasil: 2. Bersama pasien membuat daftar
Setelah.….x interaksi pasien dapat tentang :
menyebutkan: a. Aspek positif pasien,
a. Kemampuan yang dimiliki keluarga, dan lingkungan
pasien b. Kemampuan yang dimiliki
b. Aspek positif keluarga pasien
c. Aspek positif lingkungan 3. Utamakan memberi pujian yang
realistik dan hindarkan penilaian
negatif

TUK 3 : 1. Diskusikan dengan pasien


Pasien dapat menilai kemampuan kemampuan yang masih dapat
yang dimiiki untuk digunakan dilaksanakan dan digunakan selama
Kriteria hasil: sakit

Setelah…..x interaksi pasien dapat 2. Diskusikan kemampuan yang dapat


menyebutkan kemampuan yang dilanjutkan penggunaannya

dapat digunakan
TUK 4 : 1. Rencanakan bersama pasien
Pasien dapat (menetapkan) aktivitas yang dapat dilakukan
merencanakan kegiatan setiap hari sesuai kemampuan
sesuai dengan kemampuan a. Kegiatan mandiri
yang dimiliki Kriteria hasil: b. Kegiatan dengan bantuan
Setelah…..x interaksi, pasien c. Kegiatan yang
mampu membuat rencana membutuhkan bantuan total
kegiatan harian 2. Tingkatkan kegiatan sesuai dengan
toleransi kondisi pasien
3. Beri contoh cara pelaksanaan
kegiatan yang boleh pasien lakukan

TUK 5 : 1. Beri kesempatan pada pasien


Pasien dapat melakukan kegiatan untuk mencoba kegiatan yang
sesuai dengan rencana yang telah telah direncanakan
dibuat 2. Pantau kegiatan yang dilaksanakan
Kriteria hasil: pasien
Setelah…..x pertemuan,pasien 3. Beri pujian atas keberhasilan
dapat melakukan kegiatan jadwal pasien
yang telah dibuat
4. Diskusikan kemungkinan
pelaksanaan kegiatan setelah
pasien pulang

TUK 6 : 1. Beri pendidikan kesehatan pada


Pasien dapat memanfaatkan system keluarga tentang cara merawat
pendukung yang ada pasien dengan harga diri rendah
Kriteria hasil: 2. Bantu keluarga memberikan
dukungan selama pasien dirawat
Setela…..x pertemuan,pasien
memanfaatkan system pendukung 3. Bantu keluaga menyiapkan
yang ada di keluarga lingkungan rumah
TUK 7 : Diskusikan dengan pasien dan keluarga
Pasien dapat memanfaatkan obat tentang dosis ,frekuensi dan manfaat obat
dengan baik 1. Anjurkan pasien meminta sendiri
Kriteria hasil: obat pada perawat, dan merasakan
Setelah….. pertemuan manfaatnya
1. Pasien dan keluarga dapat 2. Anjurkan pasien dengan bertanya
menyebutkan kepada dokter tentang efek dan
manfaat,dosis dan efek efek samping obat yang dirasakan.
samping obat 3. Diskusikan akibat berhentinya
2. Pasien dapat tanpa konsultasi
mendemonstrasikan 4. Bantu pasien menggunakan obat
dengan prinsip 5 benar
penggunaan obat
3. Pasien termotivasi untuk
berbicara dengan perawat
apabila dirasakan ada efek
samping obat
4. Pasien memahami akibat
berhentinya obat
5. Pasien dapat menyebutkan
prinip 5 benar penggunaan
obat
VI. DAFTAR PUSTAKA

Herdman. (2011). Asuhan Keperawatan Jiwa. Yogyakarta: Nuha Medika.

Iskandar, M. D. (2012). Asuhan Keperawatan Jiwa. Bandung: PT Refika Aditama.

Keliat. (2006). Proses Keperawatan Kesehatan Jiwa : edisi 2. Jakarta: EGC.

Keliat, C. (2011). Keperawatan Kesehatan Jiwa Komunitas. Yogyakarta: EGC.

Prabowo, E. (2014). Konsep&Aplikasi ASUHAN KEPERAWATAN JIWA. Yogyakarta :


Nuhamedika.

Sari, Kartika. (2015).Panduan Lengkap Praktik Klinik Keperawatan Jiwa. Jakarta: CV.Trans
Info Media

Badan PPSDMK. 2016. Modul Bahan Ajar Cetak Keperawatan Jiwa. Jakarta: Kementerian
Kesehatan Republik Indonesia
LAPORAN PENDAHULUAN

ISOLASI SOSIAL

I. KASUS (MASALAH UTAMA)


Isolasi sosial adalah ketidakmampuan untuk membina hubungan yang erat, hangat, terbuka,
dan interdenpenden dengan orang lain (SDKI,201)

Isolasi sosial adalah suatu keadaan kesepian yang dialami oleh seseorang karena orang lain
menyatakan sikap yang negatif dan mengancam (Farida, 2012)

II. PROSES TERJADINYA MASALAH

A. Faktor Predisposisi
Beberapa faktor yang dapat menyebabkan isolasi sosial adalah:
a. Faktor perkembangan

Setiap tahap tumbuh kembang memiliki tugas yang harus dilalui individu
dengan sukses. Keluarga adalah tempat pertama yang memberikan pengalaman bagi
individu dalam menjalin hubungan dengan orang lain. Kurangnya stimulasi, kasih
sayang, perhatian, dan kehangatan dari ibu/pengasuh pada bayi akan memberikan rasa
tidak aman yang dapat menghambat terbentuknya rasa percaya diri dan dapat
mengembangkan tingkah laku curiga pada orang lain maupun lingkungan di kemudian
hari. Komunikasi yang hangat sangat penting dalam masa ini, agar anak tidak merasa
diperlakukan sebagai objek.
b. Faktor sosial budaya
Isolasi sosial atau mengasingkan diri dari lingkungan merupakan faktor pendukung
terjadinya gangguan berhubungan. Dapat juga disebabkan oleh karena norma-norma
yang salah yang dianut oleh satu keluarga, seperti anggota tidak produktif diasingkan
dari lingkungan sosial.

c. Faktor biologis
Genetik merupakan salah satu faktor pendukung yang menyebabkan terjadinya
gangguan dalam hubungan sosial. Organ tubuh yang jelas mempengaruhi adalah otak .
Insiden tertinggi skizofrenia ditemukan pada keluarga yang anggota keluarganya ada
yang menderita skizofrenia.
Klien skizofrenia yang mengalami masalah dalam hubungan sosial terdapat kelainan
pada struktur otak seperti atropi, pembesaran ventrikel, penurunan berat volume otak
serta perubahan struktur limbik.

B. Faktor Presipitasi
Stresor presipitasi terjadinya isolasi sosial dapat ditimbulkan oleh faktor internal maupun
eksternal meliputi:
1) Stresor sosial budaya

Stresor sosial budaya dapat memicu kesulitan dalam berhubungan seperti


perceraian, berpisah dengan orang yang dicintai, kesepian karena ditinggal jauh,
dirawat di rumah sakit atau dipenjara.
2) Stresor psikologi
Tingkat kecemasan yang berat akan menyebabkan menurunnya kemampuan
individu untuk berhubungan dengan orang lain.

C. Jenis

1. Electro Convulsive Therapy (ECT)

Adalah suatu jenis pengobatan dimana arus listrik digunakan pada otak dengan
menggunakan 2 elektrode yang ditempatkan dibagian temporal kepala (pelipis kiri dan
kanan). Arus tersebut menimbulkan kejang grand mall yang berlangsung 25-30 detik
dengan tujuan terapeutik. Respon bangkitan listriknya di otak menyebabkan terjadinya
perubahan faal dan biokimia dalam otak.

2. Psikoterapi

Membutuhkan waktu yang cukup lama dan merupakan bagian penting dalam proses
terapeutik , upaya dalam psikoterapi ini meliputi: memberikan rasa aman dan tenang,
menciptakan lingkungan yang terapeutik, bersifat empati, menerima pasien apa
adanya, memotivasi pasien untuk dapat mengungkapkan perasaannya secara verbal,
bersikap ramah, sopan, dan jujur kepada pasien.
3. Terapi Okupasi
Adalah suatu ilmu dan seni untuk mengarahkan partisipasi seseorang dalam
melaksanakan aktivitas atau tugas yang sengaja dipilih dengan maksud untuk
memperbaiki, memperkuat, dan meningkatkan harga diri seseorang.(Prabowo, 2014:
113)

D. Fase-Fase
-

E. Rentang Respon

Respons adaptif Respons maladaptif

Menyendiri kesepian manipulasi


Otonomi menarik diri impulsif
Bekerja sama ketergantungan narcisme Interdependen

Respon adaptif adalah respon individu dalam penyelesaian masalah yang masih
dapat diterima oleh norma-norma sosial dan budaya lingkungannya yang umum berlaku
dan lazim dilakukan oleh semua orang.. respon ini meliputi:
a. Solitude (menyendiri)
Adalah respon yang dibutuhkan seseorang untuk merenungkan apa yang telah
dilakukan di lingkungan sosialnya juga suatu cara mengevaluasi diri untuk menentukan
langkah-langkah selanjutnya.
b. Otonomi
Adalah kemampuan individu dalam menentukan dan menyampaikan ide, pikiran,
perasaan dalam berhubungan sosial.
c. Mutualisme (bekerja sama)
Adalah suatu kondisi dalam hubungan interpersonal dimana individu mampu untuk
saling memberi dan menerima.
d. Interdependen (saling ketergantungan)
Adalah suatu hubungan saling tergantung antara individu dengan orang lain dalam
rangka membina hubungan interpersonal.
F. Mekanisme Koping
Mekanisme yang digunakan klien sebagai usaha mengatasi kecemasan yang
merupakan suatu kesepian nyata yang mengancam dirinya. Mekanisme yang sering
digunakan pada isolasi sosial adalah regresi, represi, isolasi. (Damaiyanti, 2012: 84)
a. Regresi adalah mundur ke masa perkembangan yang telah lain.
b. Represi adalah perasaan-perasaan dan pikiran pikiran yang tidak dapat diterima
secara sadar dibendung supaya jangan tiba di kesadaran.
c. Isolasi adalah mekanisme mental tidak sadar yang mengakibatkan timbulnya
kegagalan defensif dalam menghubungkan perilaku dengan motivasi atau
bertentangan antara sikap dan perilaku.

Mekanisme koping yang muncul yaitu:

a. Perilaku curiga: regresi, represi


b. Perilaku dependen: regresi
c. Perilaku manipulatif: regresi, represi
d. Isolasi/menarik diri: regresi, represi, isolasi (Prabowo, 2014:113)

III. A. POHON MASALAH

Risiko Gangguan
Persepsi Sensori
Halusinasi

Effect

Isolasi Sosial: menarik diri


Core Problem
Core Problem

Gangguan Konsep diri


Harga diri rendah

Causa
B. MASALAH KEPERAWATAN DAN DATA YANG PERLU DIKAJI
1. Masalah keperawatan
Isolasi sosial : menarik diri
2. Data yang perlu dikaji
Data subjektif:
- Klien mengatakan saya tidak mampu, tidak bisa,tidak tahu apa-apa, bodoh,
mengkritik diri sendiri, mengungkapkan perasaan malu terhadap diri sendiri
Data objektif
- Klien terlihat lebih suka sendiri, bingung bila disuruh memilih alternative
tindakan, ingin mencederai diri, ingin mengakhiri hidup.
-
IV. DIAGNOSA KEPERAWATAN
- Isolasi sosial : Menarik Diri

IV. RENCANA TINDAKAN KEPERAWATAN


a. Tujuan umum

Pasien dapat berinteraksi dengan orang lain

b. Tujuan khusus

1. Membina hubungan saling percaya

1) Sapa pasien dengan ramah baik verbal maupun non verbal

2) Perkenalkan diri dengan sopan

3) Tanyakan nama lengkap pasien dan nama kesukaan pasien

4) Jelaskan tujuan pertemuan

5) Buat kontrak interaksi yang jelas

6) Jujur dan menepati janji

2. Menyebutkan penyebab menarik diri


1) Beri kesemapatan pada pasien untuk mengungkapkan perasaan penyebab
menarik diri tidak mau bergaul
2) Diskusikan pada pasien tentang perilaku menarik diri, tanda serta
penyebab yang muncul
3) Berikan reinforcement (penguatan) positif terhadap
kemampuan pasien dalam mengungkapkan perasaannya.

3. Menyebutkan keuntungan berhubungan dengan orang lain

1) Didiskusikan keuntungan berhubungan dengan orang lain

4. Melakukan hubungan sosial secara bertahap


1) Lakukan interaksi sering dan singkat dengan klien
2) Motivasi atau temani klien untuk berinteraksi
3) Tingkatkan interaksi klien secara bertahap

5. Mengungkapkan perasaannya setelah berhubungan dengan orang lain

1) Dorong pasien untuk mengungkapkan perasaannya bila berhubungan


dengan orang lain/kelompok

2) Diskusikan dengan pasien tentangperasaan manfaat berhubungan dengan


orang lain
3) Beri reinforcement atas kemampuan pasien mengungkapkan perasaannya
berhubungan dengan orang lain

6. Memberdayakan system pendukung atau keluarga mampu mengembangkan


kemampuan pasien untuk berhubungan dengan orang lain

1) Bina hubungan saling percaya dengan keluarga: salam, perkenalkan diri,


sampaikan tujuan, buat kontrak eksplorasi perasaan keluarga
2) Diskusikan pentingnya peranan keluarga sebagai pendukung untuk
mengatasi perilaku menarik diri
3) Diskusikan dengan anggota keluarga tentang: perilaku menarik diri ,
penyebab perilaku menarik diri, akibat yang akan terjadi jika perilaku
menarik diri tidak ditanggapi, cara keluarga menghadapi pasien menarik
diri
4) Diskusikan potensi keluarga untuk membantu mengatasi pasien menarik
diri
5) Latih keluarga merawat pasien menarik diri
6) Tanyakan perasaan keluarga setelah mencoba cara yang dilatih
7) Anjurkan anggota keluarga untuk memberi dukungan kepada pasien untuk
berkomunikasi dengan orang lain
8) Dorong anggota keluarga secara rutin dan bergantian menjenguk pasien
minimal satu kali seminggu
9) Beri reinforcement atas hal-hal yang telah dicapai keluarga

7. Menggunakan obat dengan benar dan tepat

1. Diskusikan dengan pasien tentang kerugian dan keuntungan tidak minum,


serta karakteristik obat yang diminum (nama, dosis, frekuensi, efek
samping minum obat)
2. Bantu dalam menggunakan obat dengan prinsip 5 benar (benar pasien,
obat, dosis, cara, waktu)
3. Anjurkan pasien minta sendiri obatnya kepada perawat agar pasien dapat
merasakan manfaatnya
4. Beri reinforcement positif bila pasien menggunakan obat dengan benar
5. Diskusikan akibat berhenti minum obat tanpa konsultasi dengan dokter
6. Anjurkan pasien untuk konsultasi dengan dokter/perawat apabila terjadi
hal-hal yang tidak diinginkan (Prabowo, 2014:215)

V. DAFTAR PUSTAKA

PPNI. 2017. Standar Diagnosis Keperawatan Indonesia, Definisi dan Indikator Diagnostik.
Edisi 1. Jakarta: Dewan Pengurus Pusat PPNI

Eko Prabowo. (2014). Konsep & Aplikasi Asuhan Keperawatan Jiwa. Yogyakarta: Nuha
Medika.
Farida Kusumawati & Yudi Hartono. (2012). Buku Ajar Keperawatan Jiwa. Jakarta: Salemba
Medika.
Mukhripah Damaiyanti & Iskandar. (2012). Asuhan Keperawatan Jiwa. Bandung: PT Refika
Aditama.
Trimeilia. (2011). Asuhan Keperawatan Klien Isolasi Sosial. Jakarta Timur: TIM.
LAPORAN PENDAHULUAN

DEFISIT PERAWATAN DIRI


I. Kasus (Masalah Utama)
Defisit perawatan diri adalah suatu kondisi pada seseorang yang mengalami
kelemahan kemampuan dalam melakukan atau melengkapi aktivitas perawatan
diri secara mandiri seperti mandi (hygiene), berpakaian atau berhias, makan, dan
BAB atau BAK (toileting). (Fitria, 2017).
Defisit perawatan diri menggambarkan suatu keadaan seseorang yang mengalami
gangguan kemampuan untuk melakukan aktivitas perawatan diri, seperti mandi,
berganti pakaian, makan dan toileting. Yosep (2016)

II. Proses Terjadinya Masalah

A. Faktor Predisposisi

1. Perkembangan
Keluarga terlalu melindungi dan memanjakan klien sehingga perkembangan
inisiatif terganggu.
2. Biologis
Penyakit kronis yang menyebabkan klien tidak mampu melakukan perawatan
diri.
3. Kemampuan realitas turun
Klien dengan gangguan jiwa dengan kemampuan realitas yang kurang
menyebabkan ketiak pedulian dirinya dan lingkungan termasuk perawatan
diri.
4. Sosial
Kurang dukungan dan latihan kemampuan perawatan diri
lingkungannya.Situasi lingkungan mempengaruhi latihan kemampuan dalam
perawatan diri.

B. Faktor Presipitasi

Yang merupakan faktor presiptasi deficit perawatan diri adalah kurang


penurunan motivasi, kerusakan kognisi atau perceptual, cemas, lelah/lemah
yang dialami individu sehingga menyebabkan individu kurang mampu
melakukan perawatan diri.
1. Body Image
Gambaran individu terhadap dirinya sangat mempengaruhi kebersihan diri
misalnya dengan adanya perubahan fisik sehingga individu tidak peduli
dengan kebersihan dirinya.
2. Praktik Sosial
Pada anak – anak selalu dimanja dalam kebersihan diri, maka kemungkinan
akan terjadi perubahan pola personal hygiene.
3. Status Sosial Ekonomi
Personal hygiene memerlukan alat dan bahan seperti sabun, pasta gigi, sikat
gigi, shampo, alat mandi yang semuanya memerlukan uang untuk
menyediakannya.
4. Pengetahuan
Pengetahuan personal hygiene sangat penting karena pengetahuan yang baik
dapat meningkatkan kesehatan. Misalnya pada pasien penderita diabetes
mellitus ia harus menjaga kebersihan kakinya.
5. Budaya
Di sebagian masyarakat jika individu sakit tertentu tidak boleh dimandikan.
6. Kebiasaan seseorang
Ada kebiasaan orang yang menggunakan produk tertentu dalam perawatan diri
seperti penggunaan sabun, sampo dan lain – lain.
7. Kondisi fisik atau psikis
Pada keadaan tertentu / sakit kemampuan untuk merawat diri berkurang dan
perlu bantuan untuk melakukannya.

C. Jenis

1. Defisit perawatan diri: Mandi


Hambatan kemampuan untuk melakukan atau menyelesaikan
mandi/beraktifitas perawatan diri untuk diri sendiri.
2. Defisit perawatan diri: Makan
Hambatan kemampuan untuk melakukan atau menyelesaikan aktivitas
sendiri
3. Defisit perawatan diri: Eliminasi
Hambatan kemampuan untuk melakukan atau menyelesaikan eliminasi
sendiri
4. Defisit perawatan diri: Berhias
Hambatan kemampuan untuk melakukan atau menyelesaikan aktivitas
berhias untuk diri sendiri

D. Fase-Fase
-

E. Rentang Respon

Respon adaptif Respon


maladaptive

- Tegas - Ketidak tegasan - Tidak mampu membuat


- Ingatan utuh - Mudah pelupa keputusan
- Orientasi lengkap - Kebingungan
- Persepsi akurat - Trasien ringan
- Perhatian terfokus - Kadang mis presepsi
- Koheren

F. Mekanisme Koping
Stuart (2016) mengungkapkan pada fase gangguan jiwa aktif, pasien
menggunakan beberapa mekanisme pertahanan yang tidak didasari sebagai
upaya untuk melindungi diri dari pengalaman menakutkan yang disebabkan
oleh penyakit mereka.
1. Regresi : berhubungan dengan masalah dalam proses informasi dan
pengeluaran sejumlah besar tenaga dalam upaya untuk mengelola ansietas,
menyisakan sedikit tenaga untuk aktivitas sehar-hari.
2. Proyeksi: upaya untuk menjelaskan persepsi yang membingungkan dengan
menetapkan tanggung jawab kepada orang lain atau sesuatu.
3. Menarik diri: berkaitan dengan masalah membangun kepercayaan dan
keasyikan dengan pengalaman internal
4. Pengingkaran: sering digunakan oleh klien dan keluarga. Mekanisme
koping ini adalah sama dengan penolakan yang terjadi setiap kali seorang
menerima informasi yang menyebabkan rasa takut dan ansietas.

III. A. Pohon Masalah

Resiko GSP Halusinasi

Defisit Perawatan Diri


Isolasi Sosial
(DPD)

Harga Diri Rendah


Kronis

B. Masalah Keperawatan dan Data Yang Perlu Dikaji


1. Masalah Keperawatan
Defisit Perawatan Diri
2. Data Yang Perlu Dikaji
Data Subyektif :
Klien mengatakan malas mandi, tak mau menyisir rambut, tak mau
menggosok gigi, tak mau memotong kuku, tak mau berhias, tak bisa
menggunakan alat mandi / kebersihan diri.
Data Obyektif :
Badan bau, pakaian kotor, rambut dan kulit kotor, kuku panjang dan kotor,
gigi kotor, mulut bau, penampilan tidak rapih, tak bisa menggunakan alat
mandi.

IV. Diagnosa Keperawatan

Defisit Perawatan Diri

V. Rencana Tindakan Keperawatan

1. Tujuan Umum :
Klien dapat mandiri dalam melakukan perawatan diri

2. Tujuan Khusus :
a. TUK I : Klien mampu melakukan kebersihan diri secara mandiri
1) Kriteria Evaluasi :
a) Klien mengetahui pentingnya menjaga kebersihan diri
b) Klien mampu menyebutkan alat-alat untuk menjaga kebersihan diri
c) Klien mampu menjelaskan cara-cara melakukan kebersihan diri
d) Klien mampu mempraktikan cara menjaga kebersihan diri

2) Intervensi
a) Menjelaskan pentingnya menjaga kebersihan diri
b) Menjelaskan alat-alat untuk menjaga kebersihan diri
c) Menjelaskan cara-cara untuk melakukan kebersihan diri
d) Melatih klien untuk mempraktikan cara menjaga kebersihan diri

b. TUK II : Klien mampu makan secara mandiri


1) Kriteria Evaluasi:
a) Klien mengetahui cara menyiapkan makanan
b) Klien mampu menjelaskan cara makan yang tertib
c) Klien mampu menjelaskan cara merapikan peralatan makan setelah
selesai makan
d) Klien mampu mempraktikan makan dengan baik

2) Intervensi
a) Menjelaskan cara menyiapkan makanan
b) Menjelaskan cara makan yang tertib
c) Menjelaskan cara merapikan peralatan makan setelah selesai makan
d) Mempraktikan cara makan yang baik

c. TUK III : Klien mampu melakukan BAK dan BAB secara mandiri
1) Kriteria Evaluasi
a) Klien mengetahui tempat BAB atau BAK yang sesuai
b) Klien mampu menjelaskan cara membersihkan diri setelah
melakukan BAB atau BAK
c) Klien mengetahui cara membersihkan tempat untuk BAK atau
BAB

2) Intervensi :
a) Menjelaskan tempat BAK atau BAB yang sesuai
b) Menjelaskan cara membersihakan diri setelah melakukan BAB atau
BAK
c) Menjelaskan cara membersihkan tempat untuk BAK atau BAB

d. TUK IV : Klien mampu berhias secara mandiri


1) Kriteria Evaluasi
a) Klien menjelaskan cara berhias
b) Klien mampu mempraktikan cara berhias

2) Intervensi
a) Latihan berhias bagi pria harus dibedakan dengan wanita.
-Pada klien laki-laki,latihan meliputi latihan berpakaian, menyisir
rambut, dan bercukur, sedangkan
-Pada klien perempuan latihan meliputi latihan berpakaian,
menyisir rambut, dan berhias/berdandan.

VI. Daftar Pustaka

Yusuf, Rizky, & Hanik. (2015). Buku Ajar Keperawatan Kesehatan Jiwa. Jakarta:
Salemba Medika
Damaiyanti, M. dan Iskandar, 2015. Asuhan Keperawatan Jiwa. Bandung: Refika
Aditama
Maramis. 2016. Catatan Ilmu Kedokteran Jiwa. Surabaya : Airlangga University

Press

Yosep. 2016. Keperawatan jiwa.(Edisi Revisi). Bandung : Refika Aditama.

Fitria, N., 2017. Prinsip Dasar dan Aplikasi Penulisan Laporan Pendahuluan

Dan Strategi Pelaksanaan Tindakan Keperawatan. Jakarta : Salemba Medika

LAPORAN PENDAHULUAN
RESIKO BUNUH DIRI

I. KASUS (MASALAH UTAMA)


Bunuh diri merupakan tindakan yang secara sadar dilakukan untuk mengakhiri
kehidupannya (Ade Herman, 2011).
Bunuh diri adalah suatu keadaan dimana mengalami resiko untuk menyakiti diri
sendiri atau melakukan tindakan yang dapat mengancam nyawa (Nita Fitria, 2010).

II. PROSES TERJADINYA SUATU MASALAH

A. FAKTOR PREDISPOSISI
1. Diagnosis psikiatri
Tiga gangguan jiwa yang membuat pasien berisiko untuk bunuh diri yaitu
gangguan alam perasaan, penyalahgunaan obat, dan skizofrenia.
2. Sifat kepribadian
Tiga aspek kepribadian yang berkaitan erat dengan peningkatan resiko
bunuh diri adalah rasa bermusuhan, impulsif, dan depresi.
3. Lingkungan psikososial
Baru mengalami kehilangan, perpisahan atau perceraian, kehilangan
yang dini, dan berkurangnya dukungan sosial merupakan faktor penting yang
berhubungan dengan bunuh diri.
4. Riwayat keluarga
Riwayat keluarga yang pernah melakukan bunuh diri merupakan faktor
resiko untuk perilaku resiko bunuh diri
5. Faktor biokimia
Proses yang dimediasi serotonin, opiat, dan dopamine dapat menimbulkan
perilaku resiko bunuh diri.

B. FAKTOR PRESIPITASI
Perilaku destruktif diri dapat ditimbulkan oleh stress berlebihan yang dialami
oleh individu. Pencetusnya sering kali berupa kejadian hidup yang
memalukan.Faktor lain yang dapat menjadi pencetus adalah melihat atau
membaca melalui media mengenai orang yang melakukan bunuh diri ataupun
percobaan bunuh diri. Bagi individu yang emosinya labil, hal tersebut menjadi
sangat rentan.
C. JENIS
Yosep (2010) mengklasifikasikan terdapat tiga jenis bunuh diri, meliputi:
1. Bunuh diri anomik
Bunuh diri anomik adalah suatu perilaku bunuh diri yang didasari oleh faktor
lingkungan yang penuh tekanan (stressful) sehingga mendorong seseorang
untuk bunuh diri.
2. Bunuh diri altruistik
Bunuh diri altruistik adalah tindakan bunuh diri yang berkaitan dengan
kehormatan seseorang ketika gagal dalam melaksanakan tugasnya.
3. Bunuh diri egoistik
Bunuh diri egoistik adalah tindakan bunuh diri yang diakibatkan faktor dalam
diri seseorang seperti putus cinta atau putus harapan.

D. FASE-FASE
1. Suicidal ideation
Sebuah metode yang digunakan tanpa melakukan aksi atau tindakan, bahkan
klien pada tahap ini tidak akan mengungkapkan ideanya apabila tidak ditekan.
2. Suicidal intent
Pada tahap ini klien mulai berfikir dan sudah melakukan perencanaan yang
konkrit untuk melakukan bunuh diri
3. Suicidal threat
Pada tahap ini klien mengekspresikan adanya keinginan dan hasrat yang
dalam bahkan ancaman untuk mengakhiri hidupnya
4. Suicidal gesture
Pada tahap ini klien menunjukkan perilaku destruktif yang diarahkan pada diri
sendiri yang bertujuan tidak hanya mengancam kehidupannya, tetapi sudah
pada percobaan untuk melakukan bunuh diri
5. Suicidal attempt
Pada tahap ini perilaku destruktif klien yang mempunyai indikasi individu
ingin mati dan tidak mau diselamatkan, misalnya minum obat yang mematikan
E. RENTANG RESPON KOGNITIF

Respon Mal-
Respon Adaptif
adaptif

Peningkatan diri pengambilan perilaku Pencide Bunuh


F. MEKANISME resiko yang
KOPING destruktif-diri raan diri
meningkatka tidakadalah
langsung diri
Mekanisme yang
n umum digunakan mekanisme pertahanan ego yaitu :
1. Denial yaitu menghindari realitas yang tidak di inginkan dengan
pertumbuhan
mengakibatkan atau menolak untuk mengakuinya.
2. Rasionalisasi yaitu memverikan penalaran atau penjelasan logis yang dapat
diterima secara social untuk membenarkan atau membuat suatu impuls,
perasaan, perilaku, dan motif yang tidak dapat diterima menjadi dapat
diterima.
3. Intelektualisasi yaitu penalaran ataau logika berlebihan yang digunakan untuk
menghindari agar tidak mengalami perasaan yang mengganggu
4. Regresi yaitu kemunduran dalam menghadapi stress dengan perilaku yang
menjadi ciri dari tingkat perkembangan sebelumnya.

III.
A. POHON MASALAH

Resiko cidera/kematian

Resiko Bunuh Diri

Halusinasi
Harga diri rendah Gangguan isi pikir waham

(Nita Fitria, 2010)

B. MASALAH KEPERAWATAN DAN DATA YANG PERLU DIKAJI


1. Pengkajian Faktor Resiko Perilaku bunuh Diri
- Jenis kelamin: resiko meningkat pada pria
- Usia: lebih tua, masalah semakin banyak
- Status perkawinan: menikah dapat menurunkan resiko, hidup sendiri
merupakan masalah.
- Riwayat keluarga: meningkat apabila ada keluarga dengan percobaan
bunuh diri / penyalahgunaan zat.
- Pencetus ( peristiwa hidup yang baru terjadi): Kehilangan orang yang
- dicintai, pengangguran, mendapat malu di lingkungan sosial, dll.
- Faktor kepribadian: lebih sering pada kepribadian introvert/menutup diri.
- Lain - lain: Penelitian membuktikan bahwa ras kulit putih lebih beresiko
mengalami perilaku bunuh diri.

2. Masalah keperawatan
a. Resiko Perilaku bunuh diri
- DS : menyatakan ingin bunuh diri / ingin mati saja, tak ada gunanya
hidup.
- DO : ada isyarat bunuh diri, ada ide bunuh diri, pernah mencoba
bunuhdiri.

IV. DIAGNOSA KEPERAWATAN


Risiko Bunuh Diri

V. RENCANA TINDAKAN KEPERAWATAN


Tujuan Umum : Klien tidak melakukan percobaan bunuh diri
Tujuan Khusus :
1. Klien dapat membina hubungan saling percaya
Tindakan:
1) Perkenalkan diri dengan klien
2) Tanggapi pembicaraan klien dengan sabar dan tidak menyangkal.
3) Bicara dengan tegas, jelas, dan jujur.
4) Bersifat hangat dan bersahabat.
5) Temani klien saat keinginan mencederai diri meningkat.

2. Klien dapat terlindung dari perilaku bunuh diri


Tindakan :
1) Jauhkan klien dari benda benda yang dapat membahayakan (pisau, silet,
gunting, tali, kaca, dan lain lain).
2) Tempatkan klien di ruangan yang tenang dan selalu terlihat oleh perawat.
3) Awasi klien secara ketat setiap saat.

3. Klien dapat mengekspresikan perasaannya


Tindakan:
1) Dengarkan keluhan yang dirasakan.
2) Bersikap empati untuk meningkatkan ungkapan keraguan, ketakutan dan
keputusasaan.
3) Beri dorongan untuk mengungkapkan mengapa dan bagaimana
harapannya.
4) Beri waktu dan kesempatan untuk menceritakan arti penderitaan,
kematian, dan lain lain.
5) Beri dukungan pada tindakan atau ucapan klien yang menunjukkan
keinginan untuk hidup

4. Klien dapat meningkatkan harga diri


Tindakan:
1) Bantu untuk memahami bahwa klien dapat mengatasi keputusasaannya.
2) Kaji dan kerahkan sumber sumber internal individu.
3) Bantu mengidentifikasi sumber sumber harapan (misal: hubungan antar
sesama, keyakinan, hal hal untuk diselesaikan).

5. Klien dapat menggunakan koping yang adaptif


Tindakan:
1) Ajarkan untuk mengidentifikasi pengalaman pengalaman yang
menyenangkan setiap hari (misal : berjalan-jalan, membaca buku favorit,
menulis surat dll.).
2) Bantu untuk mengenali hal hal yang ia cintai dan yang ia sayang, dan
pentingnya terhadap kehidupan orang lain, mengesampingkan tentang
kegagalan dalam kesehatan.
3) Beri dorongan untuk berbagi keprihatinan pada orang lain yang
mempunyai suatu masalah dan atau penyakit yang sama dan telah
mempunyai pengalaman positif dalam mengatasi masalah tersebut dengan
koping yang efektif

VI. DAFTAR PUSTAKA

Captain, C. (2014). Assessing suicide risk, Nursing made incredibly easy, Volume
6(3).
Stuart, G. W. 2016. Buku Saku Keperawatan Jiwa. Jakarta: EGC
Yosep, I. 2016. Keperawatan Jiwa. Bandung: Refika Aditama
LAPORAN PENDAHULUAN

RESIKO PERILAKU KEKERASAN

I. KASUS (MASALAH UTAMA)

Perilaku kekerasan adalah suatu bentuk perilaku yang bertujuan untuk melukai
seseorang secara fisik maupun psiklogis. Berdasarkan definisi tersebut maka perilaku
kekerasan dapat dilakukakn secara verbal, diarahkan pada diri sendiri, orang lain dan
lingkungan. Perilaku kekerasan dapat terjadi dalam dua bentuk yaitu sedang berlangsung
kekerasan atau perilaku kekerasan terdahulu (riwayat perilaku kekerasan).
Perilaku kekerasan adalah suatu keadaan dimana seorang melakukan tindakan yang
dapat membahayakan secara fisik, baik kepada diri sendiri maupun orang lain dan
lingkungan yang dirasakan sebagai ancaman (Kartika Sari, 2015:137).

A. Faktor Predisposisi

Faktor pengalaman yang dialami tiapmorang yang merupakan faktor predisposis,


artinya mungkin terjadi/mungkin tidak terjadi perilaku kekerasan jika faktor berikut
dialami oleh individu:
1) Psikologis

Menurut Townsend(1996, dalam jurnal penelitian) Faktor psikologi perilaku


kekerasan meliputi:
a) Teori Psikoanalitik, teori ini menjelaskan tidak terpenuhinya kepuasan dan
rasa aman dapat mengakibatkan tidak berkembangnya ego dan membuat
konsep diri yang rendah. Agresif dan kekerasan dapat memberikan kekuatan
dan meningkatkan citra diri (Nuraenah, 2012: 30).
b) Teori pembelajaran, perilaku kekerasan merupakan perilaku yang dipelajarai,
individu yang memiliki pengaruh biologik terhadap perilaku kekerasan lebih
cenderung untuk dipengaruhioleh peran eksternal (Nuraenah, 2012: 31).
2) Perilaku, reinforcement yang diterima pada saat melakukan kekerasan, sering
mengobservasi kekerasan dirumah atau diluar rumah, semua aspek ini
menstiumulasi individu mengadopsi perilaku kekerasan (Eko Prabowo, 2014:
hal 142).
3) Sosial budaya, proses globalisasi dan pesatnya kemajuan teknologi informasi
memberikan dampak terhadap nilai-niali sosial dan budaya pada masyarakat. Di
sisi lain, tidak semua orang mempunyai kemampuan yang sama untuk
mnyesuaikan dengan berbagai perubahan, serta mengelola konflik dan stress
(Nuraenah, 2012: 31).
4) Bioneurologis, banyak bahwa kerusakan sistem limbik, lobus frontal, lobus
temporal dan ketidak seimbangan neurotransmitter turut berperan dalam
terjadinya perilaku kekerasan (Eko Prabowo, 2014: hal 143).

B. Faktor Presipitai

Secara umum seseorang akan marah jika dirinya merasa terancam, baik berupa
injury secara fisik, psikis atau ancaman knsep diri. Beberapa faktor pencetus
perilaku kekerasan adalah sebagai berikut:
1) Konsis klien: kelemahan fisik, keputusasaan, ketidakberdayaan, kehidupan
yang penuh dengan agresif dan masa lalu yang tidak menyenangkan.
2) Interaksi: penghinaan, kekerasan, kehilangan orang, merasa terancam baik
internal dari permasalahan diri klien sendiri maupun eksternal dari lungkungan.
3) Lingkungan: panas, padat dan bising

C. Jenis
-

D. Fase-fase
-

E. Rentang Respon
Respon adaptif Respon maladaptif

Asertif Frustasi Pasif A gresif PK

Klien mampu Klien gagal Klien Klien Perasaan


mengungkapka menapai merasa tidak mengekspresikan marah dan
n rasa marah tujuan dapat secara fisik, tapi bermusuha
tanpa kepuasan mengungkap masih terkontrol, n yang kuat
menyalahkan saat marah kan mendorong dan hilang
orang lain dan dan perasaannya, orang lain kontrol
memberikan tidak dapat tidak dengan ancaman disertai
kelegaan. menemukan berdaya dan amuk,
alternatifnya. menyerah. merusak
lingkungan

Gambar Rentang Respon Marah

a. Respon Adaptif

Respon adaprif adalah respon yang dapat diterima norma-norma sosial budaya
yang berlaku. Dengan kata lain, individu tersebut dalam batas normal jika
menghadapi suatu masalah akan dapat memecahkan masalah tersebut, respon
adaptif (Mukripah Damaiyanti, 2012: hal 96):
1) Pikiran logis adalah pandangan yang mengarah pada kenyataan

2) Persepsi akurat adalah pandangan yang tepat pada kenyataan

3) Emosi konsisten dengan pengalaman yaitu perasaan yang timbul dari


pengalaman

4) Perilaku sosial adalah sikap dan tingkah laku yang masih dalam batas
kewajaran
5) Hubungan sosial adalah proses suatu interaksi dengan orang lain dan
lingkungan
b. Respon Maladaptif
1) Kelainan pikiran adalah keyakinan yang secara kokoh dipertahankan
walaupun tidak diyakini oleh orang lain dan bertentangan dengan kenyataan
sosial
2) Perilaku kekerasan merupakan status rentang emosi dan ungkapan
kemarahan yang dimanifestasiakn dalam bentuk fisik
3) Kerusakan proses emosi adalah perubahan status yang timbul dari hati
4) Perilaku tidak terorganisir merupakan suatu perilaku yang tidak teratur
(Mukripah Damaiyanti, 2012: hal 97).

F. Mekanisme Koping

Beberapa mekanisme koping yang dipakai pada pasien marah untuk melindungi diri
antara lain:
a. Sublimasi

Menerima suatu sasaran pengganti yang mulia. Artinya dimata masyarakat


unutk suatu dorongan yang megalami hambatan penyalurannya secara normal.
Misalnya seseorang yang sedang marah melampiaskan kemarahannya pada
objek lain seperti meremas remas adona kue, meninju tembok dan sebagainya,
tujuannya adalah untuk mengurangi ketegangan akibat rasa amarah (Mukhripah
Damaiyanti, 2012: hal 103).
b. Proyeksi

Menyalahkan orang lain kesukarannya atau keinginannya yang tidak baik,


misalnya seorang wanita muda yang menyangkal bahwa ia mempunyai
perasaan seksual terdadap rekan sekerjanya, berbalik menuduh bahwa
temannya tersebut mencoba merayu, mencumbunya(Mukhripah Damaiyanti,
2012: hal 103).
c. Represi

Mencegah pikiran yang menyakitkan atau bahayakan masuk kedalam sadar.


Misalnya seorang anak yang sangat benci pada orang tuanya yang tidak
disukainya. Akan tetapi menurut ajaran atau didikan yang diterimanya sejak
kecil bahwa membenci orang tua merupakan hal yang tidak baik dan dikutuk
oleh tuhan. Sehingga perasaan benci itu ditekannya dan akhirnya ia dapat
melupakanya (Mukhripah
Damaiyanti, 2012: hal 103).

d. Reaksi formasi

Mencegah keinginan yang berbahaya bila di ekspresika.dengan melebih


lebihkan sikap dan perilaku yang berlawanan dan menggunakan sebagai
rintangan misalnya sesorangan yang tertarik pada teman suaminya,akan
memperlakukan orang tersebut dengan kuat (Mukhripah Damaiyanti, 2012: hal
103).

e. Deplacement

Melepaskan perasaan yang tertekan biasanya bermusuhan pada objek yang


tidak begitu berbahaya seperti yang pada mulanya yang membangkitkan emosi
itu ,misalnya: timmy berusia 4 tahun marah karena ia baru saja mendapatkan
hukuman dari ibunya karena menggambar didinding kamarnya. Dia mulai
bermai perang-perangan dengan temanya (Mukhripah Damaiyanti, 2012: hal
104).

II. A. POHON MASALAH

Resiko tinggi mencederai diri sendiri, dan orang lain

2.
Perilaku Gangguan persepsi
Kekerasan sensori: halusinasi
pendengaran

Regiment Harga diri rendah Isolasi sosial:


terapeutik inefektif kronis menarik diri

Koping keluarga Berduka


tidak efektif disfungsional
(Fitria, Nita 2010)

B. MASALAH KEPERAWATAN DAN DATA YANG PERLU DIKAJI

Menurut Townsend, perilaku kekerasan dimana seorang melakukan tindakan yang


dapat membahayakan, baik diri sendiri maupun orang lain. Seseorang dapat
mengalami perilaku kekerasan pada diri sendiri dan orang lain dapat menunjukan
perilaku (Kartikasari, 2015: hal 140) :
Data Subyektif :
a. Mengungkapkan mendengar atau melihat obyek yang mengancam

b. Mengungkapkan perasaan takut, cemas dan khawatir

Data Obyektif :

a. Wajah tegang merah

b. Mondar mandir

c. Mata melotot, rahang mengatup

d. Tangan mengepal

e. Keluar banyak keringat

f. Mata merah

g. Tatapan mata tajam

h. Muka merah

III. DIAGNOSA KEPERAWATAN


Diagnosa keperawatan adalah:
1. Resiko perilaku kekerasan
2. Perilaku kekerasan

IV. RENCANA TINDAKAN KEPERAWATAN

Intervensi keperawatan disesuaikan dengan diagnosa keperawatan yang muncul


setelah melakukan pengkajian dan rencana keperawatan dilihat pada tujuan khusus sebagai
berikut:
DIAGNOSA Resiko mencederai diri, orang lain dan lingkungan
berhubungan dengan perilaku kekerasan/amuk
TUJUAN UMUM Klien tidak mencederai diri sendiri, orang lain dan
lingkungan
TUJUAN KHUSUS Rencana Tindakan:
Klien dapat 1. Bina hubungan saling percaya: salam terapeutik,
membina hubungan empati, sebut nama dan jelaskan tujuan interaksi
saling percaya 2. Panggil klien dengan nama panggilan yang disukai
3. Bicara dengan sikap tenang, rileks dan tidak
menantang
4. Jelaskan tentang kontrak yang akan dibuat
5. Beri rasa aman dan sikap empati
6. Lakukan kontak singkat tapi sering
Klien dapat Rencana Tindakan:
mengidentifikasi 1. Beri kesempatan mengungkapkan perasaan
penyebab perilaku 2. Bantu klien mengungkapkan perasaan jengkel/kesal
kekerasan 3. Dengarkan ungkapan rasa marah dan perasaan
bermusuhan klien dengan sikap tenang
Klien dapat Rencana Tindakan:
mengidentifikasi 1. Anjurkan klien mengungkapkan yang dialami dan
tanda-tanda dirasakan saat jengkel/kesal
perilaku kekerasan 2. Observasi tanda perilaku kekerasan
3. Simpulkan bersama klien tanda-tanda jengkel/kesal
yang dialami klien
Klien dapat Rencana Tindakan:
mengidentifikasi 1. Anjurkan mengungkapkan perilaku kekerasan yang
perilaku kekerasan biasa dilakukan
yang biasa 2. Bantu bermain peran sesuai dengan perilaku
dilakukan kekerasan yang biasa dilakukan
3. Tanyakan: apakah dengan cara yang dilakukan
masalahnya selesai?
Klien dapat Rencana Tindakan:
mengidentifikasi 1. Bicarakan akibat/kerugian dari cara yang dilakukan
akibat perilaku 2. Bersama klien menyimpulkan akibat dari cara yang
kekerasan digunakan
3. Tanyakan apakah ingin mempelajari cara baru yang
sehat
Klien dapat Rencana Tindakan:
mengidentifikasi 1. Tanyakan kepada klien apakah ia ingin mempelajari
cara konstruktif cara baru yang sehat
dalam berespon 2. Beri pujian jika mengetahui cara lain yang sehat
terhadap 3. Diskusikan dengan klien cara lain yang sehat
kemarahan a. Secara fisik: tarik nafas dalam jika sedang kesal,
berolahraga, memukul bantal/kasur atau pekerjaan
yang memerlukan tenaga
b. Secara verbal: katakan bahwa anda sedang marah
atau kesal/tersinggung
c. Secara sosial: lakukan dengan kelompok cara marah
yang sehat, latihan asertif, latihan manajemen
perilaku kekerasan
d. Secara spiritual: berdoa, sembahyang, memohon
kepada Tuhan untuk diberi kesabaran
Klien dapat Rencana Tindakan:
mendemonstrasikan 1. Bantu memilih cara yang paling tepat
cara mengontrol 2. Bantu mengidentifikasi manfaat cara yang telah
perilaku kekerasan dipilih
3. Bantu menstimulasikan cara yang telah dipilih
4. Beri reinforcement positif atas keberhasilan yang
dicapai dalam stimulasi
5. Anjurkan menggunakan cara yang telah dipilih saat
jengkel/marah
6. Susun jadwal melakukan cara yang telah dipilih
Klien dapat 1. Jelaskan jenis-jenis obat yang diminum klien pada
menggunakan obat klien dan keluarga
dengan benar 2. Diskusikan manfaat minum obat dan kerugian
(sesuai program) berhenti minum obat tanpa seizin dokter
3. Jelaskan prinsip 5 benar minum obat (nama klien,
obat, dosis, cara dan waktu)
4. Anjurkan untuk membicarakan efek samping obat
yang perlu diperhatikan
5. Anjurkan klien melaporkan pada perawat/dokter jika
merasakan efek yang tidak menyenangkan
6. Beri pujian jika klien minum obat dengan benar
Klien mendapat Rencana Tindakan:
dukungan dari 1. Identifikasi kemampuan keluarga merawat klien dari
keluarga dalam sikap keluarga selama ini
mengontrol perilaku 2. Jelaskan peran serta keluarga dalam merawat klien
kekerasan 3. Jelaskan cara-cara merawat klien
a. Cara mengontrol perilaku marah secara konstruktif
b. Sikap tenang, bicara tenang, dan jelas
c. Membantu klien mengenal penyebab ia marah
4. Bantu keluarga mendemonstrasikan cara merawat
klien
5. Bantu keluarga mengungkapkan perasaannya setelah
melakukan demonstrasi
Klien mendapat Rencana Tindakan:
perlindungan dari 1. Bicara tenang, gerakan tidak terburu-buru, nada
lingkungan untuk suara rendah, tunjukkan kepedulian
mengontrol perilaku 2. Lindungi agar klien tidak mencederai orang lain dan
kekerasan lingkungan
3. Jika tidak dapat diatasi, lakukan pembatasan gerak
atau pengekangan
(Abdul Muhith, 2015)

V. DAFTAR PUSTAKA
Eko Prabowo. (2014). Konsep & Aplikasi ASUHAN KEPERAWATAN JIWA.
Yogyakarta: Nuha Medika.
Mukhripah Damaiyanti. (2012). Asuhan Keperawatan Jiwa. Samarinda: Refka Aditama.
Nuraenah. (2012). Hubungan Dukungan Keluarga dan Beban Keluarga dalam Merawat
Anggota dengan Riwayat Perilaku Kekerasan di RS. Jiwa Islam Klender Jakarta Timur,
29-37.

Sari, K. (2015). Panduan Lengkap Praktik Klinik Keperawatan Jiwa. Jakarta: Trans Info
Media.

Muhith, Abdul, (2015). Pendidikan Keperawatan Jiwa; Penerbit CV Andi


Offset,Yogyakarta.

Fitria,Nita, (2010). Prinsip Dasar dan Aplikasi Penulisan Laporan Pendahuluan dan
strategi Pelaksanaan Tindakan Keperawatan (LP dan SP) ; penerbit Salemba Medika,
Jakarta.

LAPORAN PENDAHULUAN

WAHAM

I. KASUS (MASALAH UTAMA)


Waham adalah suatu keyakinan yang dipertahankan secara kuat terus-menerus, tetapi tidak
sesuai dengan kenyataan. (Budi Anna Keliat, 2006)
Waham adalah keyakinan seseorang yang berdasarkan penilaian realitas yang salah.
Keyakinan klien tidak konsisten dengan tingkat intelektual dan latar belakang budaya klien
(Aziz R, 2003).

II. PROSES TERJADINYA MASALAH

A. Faktor predisposisi
a. Faktor perkembangan
Hambatan perkembangan akan menggangu hubungan interpersonal seseorang. Hal
ini dapat meningkatkan stress dan ansietas yang berakir dengan gangguan presepsi,
klien menekankan perasaan nya sehingga pematangan fungsi intelektual dan emosi
tidak efektif.
b. Faktor sosial budaya
Seseorang yang merasa di asingkan dan kesepian dapat menyebabkan timbul nya
waham.
c. Faktor psikologi
Hubungan yang tidak harmonis, peran ganda bertentangan dapat menimbulkan
ansietas dan berakhir dengan pengingkaran terhadap kenyataan.
d. Faktor biologis
Waham di yakini terjadi karena adanya atrofi otak, pembesaran ventrikel di otak atau
perubahan pada sel kortikal dan lindik.

B. Faktor presipitasi
a. Faktor sosial budaya
Waham dapat di picu karena ada nya perpisahan dengan orang yang berarti atau di
asingkan dari kelompok.
b. Faktor biokimia
Dopamin, norepinepin, dan zat halusinogen lain nya di duga dapat menjadi penyebab
waham pada seseorang.
c. Faktor psikologis
Kecemasan yang memanjang dan terbatasan nya kemampuan untuk mengatasi
masalah sehingga klien mengembangkan koping untuk menghindari kenyataan yang
menyenagkan.

C. Jenis-jenis
1. Waham agama
Kenyakinan terhadap suatu agama secara berlebihan, di ucapkan berulang-ulang tetapi
tidak sesuai dengan kenyataan.
contoh : “ kalau saya mau masuk surga saya harus mengunakan pakaian putih setiap
hari “, atau klien mengatakan bahwa diri nya adalah tuhan yang dapat mengendalikan
mahkluk nya
2. Waham kebesaran
Keyakinan secara berlebihan bahwa diri nya memiliki kekuatan khusus atau kelebihan
yang berbeda dengan orang lain, di ucapkan berulang-ulang tetapi tidak sesuai dengan
kenyataan.
Contoh : “ saya ini pejabat di departemen kesehatan lhooooo........”
“ saya punya tambang emas !”
3. Waham curiga
Keyakinan bahwa seseorang tau sekelompok orang berusaha merugikan atau
mencederai diri nya, di ucapkan berulang-ulang tetapi tidak sesuai dengan kenyataan.
Contoh : “ saya tau ...........semua saudara saya ingin menghancurkan hidup saya
karena mereka semua iri dengan kesuksesan yang di alami saya”.
4. Waham somatik
Keyakinan seseorang bahwa tubuh tau bagian tubuh nya terganggu atau terserang
penyakit, di ucapkan berulag-ulang tetapi tidak sesuai dengan kenyataan.
Contoh :” klien selalu mengatakan bahwa diri nya sakit kanker,namun setelah di
lakukan pemeriksaa laboraturium tidak di temuka ada nya sel kanker pada tubuh nya.
5. Waham nihilistik
Keyakinan seseorang bahwa diri nya sudah meninggal dunia, di ucapkan berulang-
ulang tetapi tidak sesuai denga kenyataan
Contoh :” ini akan alam kubur nya, semua yang ada di sini adalah roh-roh”.
6. Waham sisip pikir : keyakinan klien bahwa ada pikiran orang lain yang disisipkan ke
dalam pikirannya.
7. Waham siar pikir : keyakinan klien bahwa orang lain mengetahui apa yang dia
pikirkan walaupun ia tidak pernah menyatakan pikirannya kepada orang tersebut
8. Waham kontrol pikir : keyakinan klien bahwa pikirannya dikontrol oleh kekuatan di
luar dirinya.
Kategori Waham :
a) Waham sistematis: konsisten,  berdasarkan pemikiran mungkin  terjadi walaupun
hanya secara  teoritis.
b) Waham nonsistematis: tidak  konsisten, yang secara logis dan  teoritis tidak mungkin

D. Fase- fase
Proses terjadinya waham meliputi 6 fase, yaitu :
1. Fase of human needm
Waham diawali dengan terbatasnya kebutuhan-kebutuhan klien baik secara fisik
maupun psikis.Secara fisik klien dengan waham dapat terjadi pada orang-orang
dengan status sosial dan ekonomi sangat terbatas.Biasanya klien sangat miskin dan
menderita. Keinginan ia untuk memenuhi kebutuhan hidupnya mendorongnya untuk
melakukan kompensasi yang salah. Ada juga klien yang secara sosial dan ekonomi
terpenuhi tetapi kesenjangan antara realiti dengan self ideal sangat tinggi.
2. Fase lack of self esteem
Tidak adanya pengakuan dari lingkungan dan tingginya kesenjangan antara self
ideal dengan self reality (keyataan dengan harapan) serta dorongn kebutuhan yang
tidak terpenuhi sedangkan standar lingkungan sudah melampaui kemampuannya.
3. Fase control internal external
Klien mencoba berpikir rasional bahwa apa yang ia yakini atau apa-apa yang ia
katakan adalah kebohongan, menutupi kekurangan dan tidak sesuai dengan keyataan,
tetapi menghadapi keyataan bagi klien adalah suatu yang sangat berat, karena
kebutuhannya untuk diakui, kebutuhan untuk dianggap penting dan diterima
lingkungan menjadi prioritas dalam hidupnya, karena kebutuhan tersebut belum
terpenuhi sejak kecil secara optimal. Lingkungan sekitar klien mencoba memberikan
koreksi bahwa sesuatu yang dikatakan klien itu tidak benar, tetapi hal ini tidak
dilakukan secara adekuat karena besarnya toleransi dan keinginan menjaga perasaan.
Lingkungan hanya menjadi pendengar pasif tetapi tidak mau konfrontatif
berkepanjangan dengan alasan pengakuan klien tidak merugikan orang lain.
4. Fase envinment support
Adanya beberapa orang yang mempercayai klien dalam lingkungannya menyebabkan
klien merasa didukung, lama kelamaan klien menganggap sesuatu yang dikatakan
tersebut sebagai suatu kebenaran karena seringnya diulang-ulang. Dari sinilah mulai
terjadinya kerusakan kontrol diri dan tidak berfungsinya norma (super ego) yang
ditandai dengan tidak ada lagi perasaan dosa saat berbohong.
5. Fase comforting
Klien merasa nyaman dengan keyakinan dan kebohongannya serta menganggap
bahwa semua orang sama yaitu akan mempercayai dan mendukungnya. Keyakinan
sering disertai halusinasi pada saat klien menyendiri dari lingkungannya.Selanjutnya
klien sering menyendiri dan menghindari interaksi sosial (isolasi sosial).
6. Fase improving
Apabila tidak adanya konfrontasi dan upaya-upaya koreksi, setiap waktu keyakinan
yang salah pada klien akan meningkat. Tema waham yang muncul sering berkaitan
dengan traumatik masa lalu atau kebutuhan-kebutuhan yang tidak terpenuhi (rantai
yang hilang).Waham bersifat menetap dan sulit untuk dikoreksi. Isi waham dapat
menimbulkan ancaman diri dan orang lain.

E. Rentang Respon
Rentang respon gangguan adaptif dan maldaftif dan dijelaskan sebegai berikut:
Respon adaptif respon maldaptif
Pikiran logis  Ketidakmampua
 Persepsi akurat n isolasi social
 Emosi konsisten
dengan
pengalaman
 Prilaku sesuai
dengan
hubungan social

Distrosi pikiran
 Kadang-kadang
isi pikir
terganggu ilusi
 Reaksi
emosional
berlebihan
 Perilaku ganjil
atau tidak lazim
Gangguan isi
pikir waham
 Ketidak
mampuan untuk
mengalami
emosi
F. Mekanisme Koping
Menurut hermawati (2008) mekanisme koping yang biasanya digunakan sebagai berikut:
1. Regresi, berhubungan dengan masalah proses informasi dan upaya untuk mengatasi
ansietas
2. Proyeksi : upaya menjelaskan keracunan persepsi
3. Menarik diri
4. Pada keluarga : mengingkari

III. A. Pohon Masalah


Resiko tinggi mencederai diri,
Kerusakan komunikasi
orang lain dan lingkungan
verbal

Perubahan isi
pikir: waham

Gangguan konsep
diri: harga diri
rendah

B. Masalah keperawatan dan data yang perlu dikaji


a) Masalah keperawatan yang muncul
1. Resiko tinggi mencederai diri, orang lain dan lingkungan
2. Kerusakan komunikasi : verbal
3. Perubahan isi pikir : waham
4. Gangguan konsep diri : harga diri rendah

b) Data yang perlu dikaji


a. Resiko tinggi mencederai diri, orang lain dan lingkungan
- Data subjektif
Klien memberi kata-kata ancaman, mengatakan benci dan kesal pada seseorang
klien suka membentak dan menyerang orang yang mengusiknya jika sedang
kesal, atau marah, melukai/ merusak barang-barang dan tidak mampu
mengendalikan diri
- Data objektif
Mata merah, wajah agak merah, nada suara tinggi dan keras, bicara menguasai,
ekspresi marah, pandangan tajam, merusak dan melempar barang-barang.
b. Kerusakan komunikasi : verbal
- Data subjektif
Klien mengungkapkan sesuatu yang tidak realistik
- Data objektif
Flight of ideas, kehilangan asosiasi, pengulangan kata-kata yang didengar dan
kontak mata kurang
c. Perubahan isi pikir : waham
- Data subjektif
Klien mengungkapkan sesuatu yang diyakininya ( tentang agama, kebesaran,
kecurigaan, keadaan dirinya,) berulang kali secara berlebihan tetapi tidak sesuai
kenyataan.
- Data objektif
Klien tampak tidak mempunyai orang lain, curiga, bermusuhan, merusak ( diri,
orang lain, lingkungan), takut kadang panic, sangat waspada, tidak tepat menilai
lingkungan/ realitas, ekspresi wajah klien tegang, mudah tersinggung.
d. Gangguan konsep diri : harga diri rendah
- Data subjektif
Klien mengatakan saya tidak mampu, tidak bisa tidak tahu apa-apa, bodoh
mengkritik diri sendiri, mengungkapkan peraasaan malu terhadap diri sendiri
- Data objektif
Klien terlihat lebih suka sendiri, bingung bila disuruh memilih alternative
tindakan, ingin mencederai diri/ ingin mengakhiri hidup.

IV. Diagnosa keperawatan


a. Perubahan isi pikir : waham

V. PERENCANAAN TINDAKAN KEPERAWATAN


Tujuan umum : klien tidak terjadi kerusakan komuikasi verbal
Tujuan khusus :
a. Klien dapat membina hubungan saling percaya dengan perawat
- Bina hubungan saling percaya : salam terapeutik, perkenalkan diri, jelaskan
interaksi tujuan interaksi, ciptakan lingkungan yang tenang, buat kontrak yang jelas
topic, waktu tepat)
- Jangan membantah dan mendukung waham klien : katakana perawat menerima
keyakinan klein “ saya menerima keyakinan anda” disertau ekspresi menerima,
katakana perawat tidak mendukung disertai ekspresi ragu dan empati, tidak
membicarakan isi waham klien
- Yakinkan klien berada dalam keadaan aman dan terlindung : katakana perawat akan
menerima klien dank lien berada ditempat yang aman, gunakan keterbukaan
kejujuran jangan tinggalkan klien sendirian.
- Observasi apakah wajahnya mengganggu aktivitas harian dan perawatan diri
b. Klien dapat mengidentifikasi kemampuan yang dimiliki
- Beri pujian pada penampilan dan kemampuan klien yang realitas
- Diskusikan bersama klien kemampuan yang dimiliki pada waktu lalu dan saat ini
yang realistis
- Tanyakan apa yang bisa dilakukan kemudian anjurkan untuk melakukan saat ini
( kaitkan dengan aktivitas sehari-hari dan perawatan diri)
- Jika klien selalu bicara tentang wahamnya, dengarkan sampai kebutuhan waham
tidak ada. Perhatikan kepada klien bahwa klien sangat penting
c. Klien dapat mengidentifikasi kebutuhan yang tidak terpenuhi
- Observasi kebutuhan sehari-hari
- Diskusikan kebutuhan klien yang tidak terpenuhi baik selama dirumah maupun
dirumah sakit ( rasa sakit, cemas, marah)
- Hubungkan kebutuhan yang tidak terpenuhi kebutuhan klien dan memerlukan
waktu dan tenaga ( buat jadwal jika mungkin)
- Atur situasi agar klien tidak mempunyai waktu untuk menggunakan wahamnya
d. Klien dapat berhubungan dengan realitas
- Berbicara dengan klien dalam konteks realitas ( diri, orang lain, tempat dan
waktu)
- Sertakan klien dala terapi aktivitas kelompok : orientasi realitas
- Berikan pujian pada setiap kegiatan positif yang dilakukan klien
e. Klien dapat menggunakan obat yang benar
- Didiskusikan dengan kiten tentang nama obatm dosis, frekuensi, efek dan efek
samping minum obat
- Bantu klien menggunakan obat dengan prinsip 5 benar ( nama pasien, obat,
dosis,cara dan waktu)
- Anjukan klien membicarakan efek dan efek samping obat yang dirasakan
- Beri reinforcement bila klien minum obat yang benar
f. Klien dapet mendukung dari keluarga
- Diskusikan dengan keluarga melalui pertemuan keluarga tentang : gejala waham,
cara merawat klien, lingkungan keluarga dan follow up obat
- Beri reinforcement atas keterlambatan keluarga

VI. DAFTAR PUSTAKA

Eko Prabowo. (2014). Konsep & Aplikasi Asuhan Keperawatan Jiwa. Yogyakarta: Nuha
Medika.
Farida Kusumawati & Yudi Hartono. (2012). Buku Ajar Keperawatan Jiwa. Jakarta: Salemba
Medika.
Kusumawati dan Hartono .2010 . Buku Ajar Keperawatan Jiwa .Jakarta : Salemba Medika
LAPORAN PENDAHULUAN
HALUSINASI

I. Kasus (Masalah Utama)


Halusinasi adalah salah satu gejala gangguan jiwa dimana pasien mengalami
perubahan sensori persepsi, seperti merasakan sensasi palsu berupa suara,
penglihatan, pengecapan, perabaan, atau penghidungan, klien merasakan stimulus
yang sebetulnya tidak ada (Muhith, 2011).

Menurut surya, (2011) dalam pambayung (2015) halusinasi adalah hilangnya


kemampuan manusia dalam membedakan rangsangan internal (pikiran) dan
rangsangan eksternal (dunia luar). Halusinasi adalah salah satu gejala gangguan
jiwa dimana klien mengalami perubahan sensori persepsi , merasakan sensasi palsu
berupa suara , penglihatan , pengecapan , perabaan , atau penhiduan , klien
merasakan stimulus yang sebetul – betulnya tidak ada. (Damaiyanti, 2012).

Halusinasi adalah persepsi klien terhadap lingkungan tanpa stimulus yang nyata,
sehingga klien menginterpretasikan sesuatu yang tidak nyata tanpa stimulus atau
rangsangan dari luar (Stuart dalam Azizah, 2016). Berdasarkan pengertian
halusinasi itu dapat diartikan bahwa, halusinasi adalah gangguan respon yang
diakibatkan oleh stimulus atau rangsangan yang membuat klien mempersepsikan
sesuatu yang sebenarnya tidak ada dari panca indra yang dimiliki.

II. Proses Terjadinya Masalah

A. Faktor Predisposisi
1. Faktor Perkembangan
Tugas perkembangan klien yang terganggu misalnya rendahnya kontrol dan
kehangatan keluarga menyebabkan klien tidak mampu mandiri sejak kecil,
mudah frustasi, hilang percaya diri, dan lebih rentan terhadap stress.
2. Faktor Sosiokultural
Seseorang yang merasa tidak diterima lingkungan sejak bayi sehingga akan
merasa disingkirkan, kesepian, dan tidak percaya pada lingkungannya.
3. Faktor Biokimia
Hal ini berpengaruh terhadap terjadinya gangguan jiwa. Adanya stress yang
berlebihan dialami seseorang maka di dalam tubuh akan dihasilkan suatu zat
yang bersifat halusiogenik neurokimia. Akibat stress berkepanjangan
menyebabkan teraktivasinya neurotransmitter otak, misalnya terjadi ketidak
seimbangan acetylchoin dan dopamine.
4. Faktor Psikologis
Tipe kepribadian lemah dan tidak bertanggung jawab mudah terjerumus pada
penyalahgunaan zat adiktif. Hal ini berpengaruh pada ketidakmampuan klien
mengambil keputusan tegas, klien lebih suka memilih kesenangan sesaat dan
lari dari alam nyata menuju alam hayal.
5. Faktor Genetik dan Pola Asuh Penelitian
Menunjukan bahwa anak sehat yang diasuh oleh orangtua skizofrenia cenderung
mengalami skizofrenia. Hasil studi menunjukkan bahwa faktor keluarga
menunjukkan hubungan yang sangat berpengaruh pada penyakit ini. (Yosep,
2014)

B. Faktor Presipitasi
Menurut Rawlins dan Heacock dalam Yosep (2014) dalam hakekatnya seorang
individu sebagai mahluk yang dibangun atas dasar unsur bio-psiko-sosio-
spiritual sehingga halusinasi dapat dilihat dari lima dimensi, yaitu:
1. Dimensi Fisik
Halusinasi dapat ditimbulkan oleh beberapa kondisi fisik seperti kelelahan luar
biasa, penggunaan obat-obatan, demam hingga delirium dan kesulitan tidur
dalam waktu yang lama.
2. Dimensi Emosional
Perasaan cemas yang berlebihan atas dasar problem yang tidak dapat diatasi.
Halusinasi dapat berupa perintah memasa dan menakutkan. Klien tidak
sanggup menentang sehingga klien berbuat sesuatu terhadap ketakutan
tersebut.
3. Dimensi Intelektual Dalam hal ini klien dengan halusinasi mengalami
penurunan fungsi ego. Awalnya halusinasi merupakan usaha dari ego sendiri
untuk melawan impuls yang menekan, namun menimbulkan kewaspadaan
yang dapat mengambil seluruh perhatian klien dan tak jarang akan
mengontrol semua perilaku klien.
4. Dimensi Sosial
Klien mengalami gangguan interaksi sosialdi dalam fase awal dan comforting
menganggap bahwa bersosialisasi nyata sangat membahayakan. Klien
halusinasi lebih asyik dengan halusinasinya seolah-olah itu tempat untuk
bersosialisasi.
5. Dimensi Spiritual
Klien halusinasi dalam spiritual mulai dengan kehampaan hidup, rutinitas tidak
bermakna, dan hilangnya aktivitas beribadah. Klien halusinasi dalam setiap
bangun merasa hampa dan tidak jelas tujuan hidupnya.

C. Jenis
Menurut Yosep dalam Prabowo, 2014 halusinasi terdiri dari beberapa jenis
dengan karakteristik tertentu, diantaranya
1. Halusinasi pendengaran (audotorik)
Gangguan stimulus dimana pasien mendengar suara-suara terutama suara
orang. Biasanya mendengar suara orang yang sedang membicarakan apa yang
sedang dipikirkannya dan memerintahkan untuk melakukan sesuatu.
2. Halusinasi pengelihatan (visual)
Stimulus visual dalam bentuk beragam seperti bentuk pancaran cahaya,
gambaran geometric, gambar kartun, panorama yang luas dan bayangan yang
menakutkan.
3. Halusinasi penghidu/penciuman (Olfaktori)
Gangguan stimulus pada penghidu, yang ditandai dengan adanya bau busuk,
amis, dan bau menjijikan, tapi kadang terhirup bau harum.
4. Halusinasi peraba (taktil)
Gangguan stimulus yang ditandai dengan adanya rasa sakit atau tidak enak
tanpa ada stimulus yang terlihat, seperti merasakan sensasi listrik datang dari
tanah, benda mati atau orang lain.
5. Halusinasi pengecap (gustatorik)
Gangguan stimulus yang ditandai dengan merasaan sesuatu yang busuk, amis,
dan menjijikan.
6. Halusinasi sinestetik
Gangguan stimulus yang ditandai dengan merasakan fungsi tubuh seperti darah
mengalir melalui vena atau arteri, makanan dicerna atau pembentuan urine.

D. Fase-Fase
Menurut Stuart dan Laraia dalam Prabowo, 2014 menunjukan tahapan terjadinya
halusinasi terdiri dari 4 fase dan setiap fase mempunyai karakteristik yang
berbeda yaitu:
1. Fase I
Pasien mengalami perasaan mendalam seperti ansietas, kesepian, dan takut
serta mencoba untuk berfokus pada pkiran yang menyenangkan untuk
meredakan ansietas disini pasien tersenyum atau tertawa yang tidak sesuai,
gerakan mata cepat,dan asyik sendiri.
2. Fase II
Pengalaman sensori menjijikan dan menakutkan. Pasien mulai lepas kendali
dan mencoba jaga jarak dengan sumber yang dipersepsikan sehingga timbul
peningkatan tanda-tanda vital.
3. Fase III
Pasien menghentikan perlawanan halusinasi dan menyerah pada halusinasi.
Disini pasien sukar berhubungan dengan orang lain, tidak mampu mematuhi
perintah dari orang lain, dan kondisi sangat menegangkan terutama
berhubungan dengan orang lain.
4. Fase IV
Pengalaman sensori menjadi mengancam jika pasien mengikuti perintah
halusinasi. Disini terjadi perilaku kekerasan, agitasi, menarik diri dan tidak
mampu berespon terhadap perintah yang kompleks dan tidak mampu berespon
lebih dari 1 orang.

E. Tanda dan Gejala


Menurut (Azizah, 2016) tanda dan gejala perlu diketahui agar dapat menetapkan
masalah halusinasi, antara lain:
1. Berbicara, tertawa, dan tersenyum sendiri.
2. Bersikap seperti mendengarkan sesuatu.
3. Berhenti berbicara sesaat ditengah-tengah kalimat untuk mendengarkan
sesuatu.
4. Disorientasi.
5. Tidak mampu atau kurang konsentrasi.
6. Cepat berubah pikiran.
7. Alur pikiran kacau.
8. Respon yang tidak sesuai.
9. Menarik diri.
10. Sering melamun

F. Rentang Respons

Adaptif Maladaptif

Pikiran kadang menyimpang

Pikiran logis Ilusi Gangguan proses


pikir : waham
Persepsi akurat Emosi tidak
stabil Halusinasi
Emosi konsisten
dengan Menarik diri Ketidakmampuan
pengalaman untuk mengalami
emosi
Perilaku sesuai
Ketidak teraturan
Hubungan sosial isolasi sosial

Rentang respon neurobiologis yang paling adaptif yaitu adanya pikiran logis,
persepsi akurat, emosi yang konsisten dengan pengalaman, perilaku cocok, dan
terciptanya hubungan sosial yang harmonis. Sedangkan,respon maladaptive yang
meliputi waham, halusinasi, kesukaran proses emosi, perilaku tidak teroganisasi,
dan isolasi sosial. Rentang respon neurobiologis halusinasi digambaran sebagai
berikut (Stuart, 2013)
G. Mekanisme Koping
Mekanisme koping yang sering digunakan klien dengan halusinasi meliputi
(Muhith, 2015) :
1. Regresi : menjadi malas beraktivitas sehari-hari.
2. Proyeksi : mencoba menjelaskan gangguan persepsi dengan mengalihkan
tanggung jawab kepada orang lain atau sesuatu benda.
3. Menarik diri : sulit mempercayai orang lain dan asyik dengan stimulus internal
4. Keluarga mengingkari masalah yang dialami oleh klien.

III. A. Pohon Masalah

Risti Perilaku Kekerasan Effect

Core Problem
Gangguan sensori persepsi : Halusinasi
IV
.

Isolasi sosial Causa

B. Diagnosa Keperawatan
Gangguan sensori persepsi : Halusinasi

C. Masalah Keperawatan dan Data Yang Perlu Dikaji


Gangguan sensori persepsi : Halusinasi
Data Subyektif :
- Klien sering mendengar suara – suara yang memangil mangil namanya
- Menyatakan kesal
- Menyatakan senang dengan suara-suara
Data Obyektif :
- Klien kadang berbicara dan tertawa sendiri
- Menyendiri
- Melamun
- Marah tanpa sebab
- Bersikap seperti mendengarkan sesuatu.
- Berhenti berbicara sesaat ditengah-tengah kalimat untuk mendengarkan
sesuatu.
- Disorientasi.
- Tidak mampu atau kurang konsentrasi.
- Cepat berubah pikiran.
- Alur pikiran kacau.
- Respon yang tidak sesuai.
- Menarik diri.
D. Rencana Tindakan Keperawatan
Halusinasi

Perencanaan Intervensi
No. Diagnosa Keperawatan
Tujuan Kriteria Evaluasi
1. Halusinasi Klien mampu mengontrol Setelah di lakukan 1x interaksi,
halusinasinya secara pasien menunjukan tanda-tanda
mandiri. pecaya terhadap perawat dengan
menujukan:
1. Klien dapat membina 1. 1 Bina hubungan saling percaya dengan
1. Ekspresi wajah bersahabat,
hubungan saling menggunakan prinsip komunikasi
menunjukan rasa tenang , ada
percaya terapeutik:
kontak mata, mau berjabat
- Sapa klien dengan namabaik verbal
tangan, mau menyebutkan
maupun non verbal
nama, mau menjawab salam,
- Perkenalkan diri dengan sopan
mau duduk berdampingan
- Tanyakan nama lengkap dan nama
dengan perawat, mau
panggilan yang disukai klien
mengungkapkan masalah yang
- Jelaskan tujuan pertemuan
dihadapi.
- Jujur dan menepati janji
- Tunjukan sikap empati dan menerima
klien apa adanya
- Berikan perhatian kepada klien dan
perhatikan kebutuhan dasar klien
2. Klien dapat mengenal 2. Klien dapat menyebutkan 2.1 Adakan kontak sering dan singkat
halusinasinya waktu, isi, frekuensi dan secara bertahap
situasi yang menimbulkan 2.2 Observasi tingkah laku klien terkait
halusinasi. dengan halusinasinya; bicara dan
tertawa tanpa stimulus memandang ke
kiri / ke kanan / ke depan seolah-olah
ada teman bicara.
2.3 Bantu klien mengenal halusinasinya :
- Jika menemukan klien yang sedang
halusinasi
- Tanyakan apakah ada suara yang di
dengar
- Jika klien menjawab ada, lanjutkan :
apa apa yang dikatakan
- Katakan bahwa perawat percaya klien
mendengar suara itu, namun perawat
sendiri tidak mendengarnya (dengan
nada bersahabat tanpa menuduh atau
menghakimi).
- Katakan bahwa klien lain juga ada
seperti klien.
- Katakan bahwa perawat akan
membantu klien.
2.4 Jika klien tidak sedang berhalusinasi
klarifikasi tentang adanya pengalaman
halusinasi.
Diskusikan dengan klien :
- Situasi yang menimbulkan / tidak
menimbulkan halusinasi (jika sendiri,
jengkel / sedih).
- Waktu dan frekuensi terjadinya
halusinasi (pagi, siang, sore, dan
malam atau sering dan kadang –
kadang).
2. Klien dapat mengungkapkan Diskusikan dengan klien apa yang
perasaan terhadap dirasakan jika terjadi halusinasi
halusinasinya. (marah/takut, sedih, senang) dan beri
kesempatan untuk mengungkapkan
perasaannya.
3. Klien dapat 3. Klien dapat mengungkapkan 3.1.Identifikasi bersama klien cara atau
mengontrol perasaan terhadap tindakan
halusinasinya halusinasinya. 3.2.Diskusikan manfaat dan cara yang
3. Klien dapat menyebutkan cara digunakan klien, jika bermanfaat beri
baru. pujian.
3.3.Diskusikan cara baru untuk memutus /
mengontrol timbulnya halusinasi. :
- Katakan : “saya tidak mau
dengar/lihat kamu” (pada saat
halusinasi terjadi)
- Menemui orang lain (perawat/
teman/anggota keluarga) untuk
bercakap-cakap atau mengatakan
halusinasi yang didengar / dilihat.
- Membuat jadwal kegiatan sehari hari
agar halusinasi tidak sempat muncul
- Meminta keluarga/teman/ perawat
menyapa jika tampak berbicara
sendiri.
3.4.Bantu klien memilih dan melatih cara
memutus halusinasi secara bertahap
3.5.Beri kesempatan untuk melakukan cara
yang dilatih. Evaluasi hasilnya dan beri
pujian jika berhasil
3.6.Anjurkan klien mengikuti terapi
aktivitas kelompok, orientasi realita,
stimulasi persepsi.
4. Klien dapat dukungan 4. Keluarga dapat membina 4.1. Anjurkan klien untuk memberitahu
dari keluarga dalam hubungan saling percaya keluarga jika mengalami halusinasi
mengontrol dengan perawat. 4.2.Diskusikan dengan keluarga (pada saat
halusinasinya 4. Keluarga dapat menyebutkan keluarga berkunjung/ pada saat
pengertian, tanda dan tindakan kunjungan rumah)
untuk mengendalikan - Gejala halusinasi yang dialami klien
halusinasi.
- Cara yang dapat dilakukan klien dan
keluarga untuk memutus halusinasi
- Cara merawat anggota keluarga yang
halusinasi di rumah : beri kegiatan,
jangan biarkan sendiri, makan
bersama, berpergian bersama
- Beri informasi waktu follow up atau
kapan perlu mendapat bantuan
halusinasi tidak terkontrol, dan resiko
mencederai orang lain
5. Klien dapat 5. Klien dan keluarga dapat 5.1. Diskusikan dengan klien dan keluarga
memanfaatkan obat menyebutkan manfaat, dosis tentang dosis, efek samping dan
dengan baik dan efek samping obat manfaat obat
5. Klien dapat 5.2.Anjurkan klien minta sendiri obat pada
mendemonstrasikan perawat dan merasakan manfaatnya
penggunaan obat dengan 5.3.Anjurkan klien bicara dengan dokter
benar. tentang manfaat dan efek samping obat
5. Klien dapat informasi tentang yang dirasakan
manfaat dan efek samping obat 5.4.Diskusikan akibat berhenti minum obat
tanpa konsultasi
5. Klien memahami akibat 5.5.Bantu klien menggunakan obat dengan
berhenti minum obat tanpa prinsip 5 (lima) benar.
konsultasi
5. Klien dapat menyebutkan
prinsip 5 benar penggunaan
obat.
DAFTAR PUSTAKA

Damaiyanti, Mukhripah dan Iskandar. (2012). Asuhan Keperawatan Jiwa.


Bandung Refika Aditama.

Eko, Prabowo. (2014). Konsep & Aplikasi Asuhan Keperawatan Jiwa.


Yogyakarta: Nuha Medika.

Psik, Anv. (2016). LP dan ASKEP Halusinasi. https://www.academia.edu/30


128967/LP_dan_ASKEP_Halusinasi. Diakses pada tanggal 07 Januari 2021
pukul 14:26 WIB.
Yosep, H. I., dan Sutini, T. (2014). Buku Ajar Keperawatan Jiwa dan Advance.
Mental Health Nursing. Bandung: Refika Aditama.

Anda mungkin juga menyukai