Disusun Oleh :
Muhaammad Fuad
P27905121025
a. Situasional
Yaitu terjadi trauma yang tiba-tiba, misalnya harus dioperasi, kecelakaan,dicerai
suami, putus sekolah, putus hubungan kerja. Pada pasien yang dirawat dapat terjadi
harga diri rendah karena prifasi yang kurang diperhatikan. Pemeriksaan fisik yang
sembarangan, pemasangan alat yang tidak sopan, harapan akan struktur, bentuk
dan fungsi tubuh yang tidak tercapai karena dirawat/penyakit, perlakuan petugas
yang tidak menghargai. (Makhripah D & Iskandar, 2012)
b. Kronik
Yaitu perasaan negativ terhadap diri telah berlangsung lama,yaitu sebelum
sakit/dirawat. Pasien mempunyai cara berfikir yang negativ. Kejadian sakit dan
dirawat akan menambah persepsi negativ terhadap dirinya. Kondisi ini
mengakibatkan respons yang maladaptive, kondisi ini dapat ditemukan pada pasien
gangguan fisik yang kronis atau pada pasien gangguan jiwa. (Makhripah D &
Iskandar, 2012)
D. Fase-Fase
-
E. Rentang Respon
Respon Adaptif Respon Maladaptif
1) Aktualisasi diri adalah pernyataan diri tentang konsep diri yang positif dengan
latar belakang pengalaman nyata yang sukses dan dapat diterima
2) Konsep diri positif adalah apabila individu mempunyai pengalaman yang
positif dalam beraktualisasi diri dan menyadari hal-hal positif maupun yang
negatif dari dirinya.(Eko P, 2014)
d. Respon Maladaptif
Respon maladaptif adalah respon yang diberikan individu ketika dia tidak mampu
lagi menyelesaikan masalah yang dihadapi.
1) Harga diri rendah adalah individu yang cenderung untuk menilai dirinya yang
negatif dan merasa lebih rendah dari orang lain.
2) Keracunan identitas adalah identitas diri kacau atau tidak jelas sehingga tidak
memberikan kehidupan dalam mencapai tujuan.
3) Depersonalisasi (tidak mengenal diri) tidak mengenal diri yaitu mempunyai
kepribadian yang kurang sehat, tidak mampu berhubungan dengan orang lain
secara intim. Tidak ada rasa percaya diri atau tidak dapat membina hubungan
baik dengan orang lain.(Eko P, 2014)
F. Mekanisme koping
Mekanisme koping termasuk pertahanan koping jangka panjang pendek atau
jangka panjang serta penggunaan mekanisme pertahanann ego untuk melindungi diri
sendiri dalam menghadapi persepsi diri yang menyakitkan. Pertaahanan tersebut
mencakup berikut ini :
Jangka pendek :
a. Aktivitas yang memberikan pelarian semestara dari krisis identitas diri
( misalnya, konser musik, bekerja keras, menonton tv secara obsesif)
b. Aktivitas yang memberikan identitas pengganti semestara ( misalnya, ikut serta
dalam klub sosial, agama, politik, kelompok, gerakan, atau geng)
c. Aktivitas yang sementara menguatkan atau meningkatkan perasaan diri yang
tidak menentu ( misalnya, olahraga yang kompetitif, prestasi akademik, kontes
untuk mendapatkan popularitas)
Isolasi Sosial
effect
TUJUAN INTERVENSI
Tujuan umum : Bina hubungan saling percaya dengan
Pasien memiliki konsep diri yang mengungkapkan prinsip komumikasi
positif terapeutik:
dapat digunakan
TUK 4 : 1. Rencanakan bersama pasien
Pasien dapat (menetapkan) aktivitas yang dapat dilakukan
merencanakan kegiatan setiap hari sesuai kemampuan
sesuai dengan kemampuan a. Kegiatan mandiri
yang dimiliki Kriteria hasil: b. Kegiatan dengan bantuan
Setelah…..x interaksi, pasien c. Kegiatan yang
mampu membuat rencana membutuhkan bantuan total
kegiatan harian 2. Tingkatkan kegiatan sesuai dengan
toleransi kondisi pasien
3. Beri contoh cara pelaksanaan
kegiatan yang boleh pasien lakukan
Sari, Kartika. (2015).Panduan Lengkap Praktik Klinik Keperawatan Jiwa. Jakarta: CV.Trans
Info Media
Badan PPSDMK. 2016. Modul Bahan Ajar Cetak Keperawatan Jiwa. Jakarta: Kementerian
Kesehatan Republik Indonesia
LAPORAN PENDAHULUAN
ISOLASI SOSIAL
Isolasi sosial adalah suatu keadaan kesepian yang dialami oleh seseorang karena orang lain
menyatakan sikap yang negatif dan mengancam (Farida, 2012)
A. Faktor Predisposisi
Beberapa faktor yang dapat menyebabkan isolasi sosial adalah:
a. Faktor perkembangan
Setiap tahap tumbuh kembang memiliki tugas yang harus dilalui individu
dengan sukses. Keluarga adalah tempat pertama yang memberikan pengalaman bagi
individu dalam menjalin hubungan dengan orang lain. Kurangnya stimulasi, kasih
sayang, perhatian, dan kehangatan dari ibu/pengasuh pada bayi akan memberikan rasa
tidak aman yang dapat menghambat terbentuknya rasa percaya diri dan dapat
mengembangkan tingkah laku curiga pada orang lain maupun lingkungan di kemudian
hari. Komunikasi yang hangat sangat penting dalam masa ini, agar anak tidak merasa
diperlakukan sebagai objek.
b. Faktor sosial budaya
Isolasi sosial atau mengasingkan diri dari lingkungan merupakan faktor pendukung
terjadinya gangguan berhubungan. Dapat juga disebabkan oleh karena norma-norma
yang salah yang dianut oleh satu keluarga, seperti anggota tidak produktif diasingkan
dari lingkungan sosial.
c. Faktor biologis
Genetik merupakan salah satu faktor pendukung yang menyebabkan terjadinya
gangguan dalam hubungan sosial. Organ tubuh yang jelas mempengaruhi adalah otak .
Insiden tertinggi skizofrenia ditemukan pada keluarga yang anggota keluarganya ada
yang menderita skizofrenia.
Klien skizofrenia yang mengalami masalah dalam hubungan sosial terdapat kelainan
pada struktur otak seperti atropi, pembesaran ventrikel, penurunan berat volume otak
serta perubahan struktur limbik.
B. Faktor Presipitasi
Stresor presipitasi terjadinya isolasi sosial dapat ditimbulkan oleh faktor internal maupun
eksternal meliputi:
1) Stresor sosial budaya
C. Jenis
Adalah suatu jenis pengobatan dimana arus listrik digunakan pada otak dengan
menggunakan 2 elektrode yang ditempatkan dibagian temporal kepala (pelipis kiri dan
kanan). Arus tersebut menimbulkan kejang grand mall yang berlangsung 25-30 detik
dengan tujuan terapeutik. Respon bangkitan listriknya di otak menyebabkan terjadinya
perubahan faal dan biokimia dalam otak.
2. Psikoterapi
Membutuhkan waktu yang cukup lama dan merupakan bagian penting dalam proses
terapeutik , upaya dalam psikoterapi ini meliputi: memberikan rasa aman dan tenang,
menciptakan lingkungan yang terapeutik, bersifat empati, menerima pasien apa
adanya, memotivasi pasien untuk dapat mengungkapkan perasaannya secara verbal,
bersikap ramah, sopan, dan jujur kepada pasien.
3. Terapi Okupasi
Adalah suatu ilmu dan seni untuk mengarahkan partisipasi seseorang dalam
melaksanakan aktivitas atau tugas yang sengaja dipilih dengan maksud untuk
memperbaiki, memperkuat, dan meningkatkan harga diri seseorang.(Prabowo, 2014:
113)
D. Fase-Fase
-
E. Rentang Respon
Respon adaptif adalah respon individu dalam penyelesaian masalah yang masih
dapat diterima oleh norma-norma sosial dan budaya lingkungannya yang umum berlaku
dan lazim dilakukan oleh semua orang.. respon ini meliputi:
a. Solitude (menyendiri)
Adalah respon yang dibutuhkan seseorang untuk merenungkan apa yang telah
dilakukan di lingkungan sosialnya juga suatu cara mengevaluasi diri untuk menentukan
langkah-langkah selanjutnya.
b. Otonomi
Adalah kemampuan individu dalam menentukan dan menyampaikan ide, pikiran,
perasaan dalam berhubungan sosial.
c. Mutualisme (bekerja sama)
Adalah suatu kondisi dalam hubungan interpersonal dimana individu mampu untuk
saling memberi dan menerima.
d. Interdependen (saling ketergantungan)
Adalah suatu hubungan saling tergantung antara individu dengan orang lain dalam
rangka membina hubungan interpersonal.
F. Mekanisme Koping
Mekanisme yang digunakan klien sebagai usaha mengatasi kecemasan yang
merupakan suatu kesepian nyata yang mengancam dirinya. Mekanisme yang sering
digunakan pada isolasi sosial adalah regresi, represi, isolasi. (Damaiyanti, 2012: 84)
a. Regresi adalah mundur ke masa perkembangan yang telah lain.
b. Represi adalah perasaan-perasaan dan pikiran pikiran yang tidak dapat diterima
secara sadar dibendung supaya jangan tiba di kesadaran.
c. Isolasi adalah mekanisme mental tidak sadar yang mengakibatkan timbulnya
kegagalan defensif dalam menghubungkan perilaku dengan motivasi atau
bertentangan antara sikap dan perilaku.
Risiko Gangguan
Persepsi Sensori
Halusinasi
Effect
Causa
B. MASALAH KEPERAWATAN DAN DATA YANG PERLU DIKAJI
1. Masalah keperawatan
Isolasi sosial : menarik diri
2. Data yang perlu dikaji
Data subjektif:
- Klien mengatakan saya tidak mampu, tidak bisa,tidak tahu apa-apa, bodoh,
mengkritik diri sendiri, mengungkapkan perasaan malu terhadap diri sendiri
Data objektif
- Klien terlihat lebih suka sendiri, bingung bila disuruh memilih alternative
tindakan, ingin mencederai diri, ingin mengakhiri hidup.
-
IV. DIAGNOSA KEPERAWATAN
- Isolasi sosial : Menarik Diri
b. Tujuan khusus
V. DAFTAR PUSTAKA
PPNI. 2017. Standar Diagnosis Keperawatan Indonesia, Definisi dan Indikator Diagnostik.
Edisi 1. Jakarta: Dewan Pengurus Pusat PPNI
Eko Prabowo. (2014). Konsep & Aplikasi Asuhan Keperawatan Jiwa. Yogyakarta: Nuha
Medika.
Farida Kusumawati & Yudi Hartono. (2012). Buku Ajar Keperawatan Jiwa. Jakarta: Salemba
Medika.
Mukhripah Damaiyanti & Iskandar. (2012). Asuhan Keperawatan Jiwa. Bandung: PT Refika
Aditama.
Trimeilia. (2011). Asuhan Keperawatan Klien Isolasi Sosial. Jakarta Timur: TIM.
LAPORAN PENDAHULUAN
A. Faktor Predisposisi
1. Perkembangan
Keluarga terlalu melindungi dan memanjakan klien sehingga perkembangan
inisiatif terganggu.
2. Biologis
Penyakit kronis yang menyebabkan klien tidak mampu melakukan perawatan
diri.
3. Kemampuan realitas turun
Klien dengan gangguan jiwa dengan kemampuan realitas yang kurang
menyebabkan ketiak pedulian dirinya dan lingkungan termasuk perawatan
diri.
4. Sosial
Kurang dukungan dan latihan kemampuan perawatan diri
lingkungannya.Situasi lingkungan mempengaruhi latihan kemampuan dalam
perawatan diri.
B. Faktor Presipitasi
C. Jenis
D. Fase-Fase
-
E. Rentang Respon
F. Mekanisme Koping
Stuart (2016) mengungkapkan pada fase gangguan jiwa aktif, pasien
menggunakan beberapa mekanisme pertahanan yang tidak didasari sebagai
upaya untuk melindungi diri dari pengalaman menakutkan yang disebabkan
oleh penyakit mereka.
1. Regresi : berhubungan dengan masalah dalam proses informasi dan
pengeluaran sejumlah besar tenaga dalam upaya untuk mengelola ansietas,
menyisakan sedikit tenaga untuk aktivitas sehar-hari.
2. Proyeksi: upaya untuk menjelaskan persepsi yang membingungkan dengan
menetapkan tanggung jawab kepada orang lain atau sesuatu.
3. Menarik diri: berkaitan dengan masalah membangun kepercayaan dan
keasyikan dengan pengalaman internal
4. Pengingkaran: sering digunakan oleh klien dan keluarga. Mekanisme
koping ini adalah sama dengan penolakan yang terjadi setiap kali seorang
menerima informasi yang menyebabkan rasa takut dan ansietas.
1. Tujuan Umum :
Klien dapat mandiri dalam melakukan perawatan diri
2. Tujuan Khusus :
a. TUK I : Klien mampu melakukan kebersihan diri secara mandiri
1) Kriteria Evaluasi :
a) Klien mengetahui pentingnya menjaga kebersihan diri
b) Klien mampu menyebutkan alat-alat untuk menjaga kebersihan diri
c) Klien mampu menjelaskan cara-cara melakukan kebersihan diri
d) Klien mampu mempraktikan cara menjaga kebersihan diri
2) Intervensi
a) Menjelaskan pentingnya menjaga kebersihan diri
b) Menjelaskan alat-alat untuk menjaga kebersihan diri
c) Menjelaskan cara-cara untuk melakukan kebersihan diri
d) Melatih klien untuk mempraktikan cara menjaga kebersihan diri
2) Intervensi
a) Menjelaskan cara menyiapkan makanan
b) Menjelaskan cara makan yang tertib
c) Menjelaskan cara merapikan peralatan makan setelah selesai makan
d) Mempraktikan cara makan yang baik
c. TUK III : Klien mampu melakukan BAK dan BAB secara mandiri
1) Kriteria Evaluasi
a) Klien mengetahui tempat BAB atau BAK yang sesuai
b) Klien mampu menjelaskan cara membersihkan diri setelah
melakukan BAB atau BAK
c) Klien mengetahui cara membersihkan tempat untuk BAK atau
BAB
2) Intervensi :
a) Menjelaskan tempat BAK atau BAB yang sesuai
b) Menjelaskan cara membersihakan diri setelah melakukan BAB atau
BAK
c) Menjelaskan cara membersihkan tempat untuk BAK atau BAB
2) Intervensi
a) Latihan berhias bagi pria harus dibedakan dengan wanita.
-Pada klien laki-laki,latihan meliputi latihan berpakaian, menyisir
rambut, dan bercukur, sedangkan
-Pada klien perempuan latihan meliputi latihan berpakaian,
menyisir rambut, dan berhias/berdandan.
Yusuf, Rizky, & Hanik. (2015). Buku Ajar Keperawatan Kesehatan Jiwa. Jakarta:
Salemba Medika
Damaiyanti, M. dan Iskandar, 2015. Asuhan Keperawatan Jiwa. Bandung: Refika
Aditama
Maramis. 2016. Catatan Ilmu Kedokteran Jiwa. Surabaya : Airlangga University
Press
Fitria, N., 2017. Prinsip Dasar dan Aplikasi Penulisan Laporan Pendahuluan
LAPORAN PENDAHULUAN
RESIKO BUNUH DIRI
A. FAKTOR PREDISPOSISI
1. Diagnosis psikiatri
Tiga gangguan jiwa yang membuat pasien berisiko untuk bunuh diri yaitu
gangguan alam perasaan, penyalahgunaan obat, dan skizofrenia.
2. Sifat kepribadian
Tiga aspek kepribadian yang berkaitan erat dengan peningkatan resiko
bunuh diri adalah rasa bermusuhan, impulsif, dan depresi.
3. Lingkungan psikososial
Baru mengalami kehilangan, perpisahan atau perceraian, kehilangan
yang dini, dan berkurangnya dukungan sosial merupakan faktor penting yang
berhubungan dengan bunuh diri.
4. Riwayat keluarga
Riwayat keluarga yang pernah melakukan bunuh diri merupakan faktor
resiko untuk perilaku resiko bunuh diri
5. Faktor biokimia
Proses yang dimediasi serotonin, opiat, dan dopamine dapat menimbulkan
perilaku resiko bunuh diri.
B. FAKTOR PRESIPITASI
Perilaku destruktif diri dapat ditimbulkan oleh stress berlebihan yang dialami
oleh individu. Pencetusnya sering kali berupa kejadian hidup yang
memalukan.Faktor lain yang dapat menjadi pencetus adalah melihat atau
membaca melalui media mengenai orang yang melakukan bunuh diri ataupun
percobaan bunuh diri. Bagi individu yang emosinya labil, hal tersebut menjadi
sangat rentan.
C. JENIS
Yosep (2010) mengklasifikasikan terdapat tiga jenis bunuh diri, meliputi:
1. Bunuh diri anomik
Bunuh diri anomik adalah suatu perilaku bunuh diri yang didasari oleh faktor
lingkungan yang penuh tekanan (stressful) sehingga mendorong seseorang
untuk bunuh diri.
2. Bunuh diri altruistik
Bunuh diri altruistik adalah tindakan bunuh diri yang berkaitan dengan
kehormatan seseorang ketika gagal dalam melaksanakan tugasnya.
3. Bunuh diri egoistik
Bunuh diri egoistik adalah tindakan bunuh diri yang diakibatkan faktor dalam
diri seseorang seperti putus cinta atau putus harapan.
D. FASE-FASE
1. Suicidal ideation
Sebuah metode yang digunakan tanpa melakukan aksi atau tindakan, bahkan
klien pada tahap ini tidak akan mengungkapkan ideanya apabila tidak ditekan.
2. Suicidal intent
Pada tahap ini klien mulai berfikir dan sudah melakukan perencanaan yang
konkrit untuk melakukan bunuh diri
3. Suicidal threat
Pada tahap ini klien mengekspresikan adanya keinginan dan hasrat yang
dalam bahkan ancaman untuk mengakhiri hidupnya
4. Suicidal gesture
Pada tahap ini klien menunjukkan perilaku destruktif yang diarahkan pada diri
sendiri yang bertujuan tidak hanya mengancam kehidupannya, tetapi sudah
pada percobaan untuk melakukan bunuh diri
5. Suicidal attempt
Pada tahap ini perilaku destruktif klien yang mempunyai indikasi individu
ingin mati dan tidak mau diselamatkan, misalnya minum obat yang mematikan
E. RENTANG RESPON KOGNITIF
Respon Mal-
Respon Adaptif
adaptif
III.
A. POHON MASALAH
Resiko cidera/kematian
Halusinasi
Harga diri rendah Gangguan isi pikir waham
2. Masalah keperawatan
a. Resiko Perilaku bunuh diri
- DS : menyatakan ingin bunuh diri / ingin mati saja, tak ada gunanya
hidup.
- DO : ada isyarat bunuh diri, ada ide bunuh diri, pernah mencoba
bunuhdiri.
Captain, C. (2014). Assessing suicide risk, Nursing made incredibly easy, Volume
6(3).
Stuart, G. W. 2016. Buku Saku Keperawatan Jiwa. Jakarta: EGC
Yosep, I. 2016. Keperawatan Jiwa. Bandung: Refika Aditama
LAPORAN PENDAHULUAN
Perilaku kekerasan adalah suatu bentuk perilaku yang bertujuan untuk melukai
seseorang secara fisik maupun psiklogis. Berdasarkan definisi tersebut maka perilaku
kekerasan dapat dilakukakn secara verbal, diarahkan pada diri sendiri, orang lain dan
lingkungan. Perilaku kekerasan dapat terjadi dalam dua bentuk yaitu sedang berlangsung
kekerasan atau perilaku kekerasan terdahulu (riwayat perilaku kekerasan).
Perilaku kekerasan adalah suatu keadaan dimana seorang melakukan tindakan yang
dapat membahayakan secara fisik, baik kepada diri sendiri maupun orang lain dan
lingkungan yang dirasakan sebagai ancaman (Kartika Sari, 2015:137).
A. Faktor Predisposisi
B. Faktor Presipitai
Secara umum seseorang akan marah jika dirinya merasa terancam, baik berupa
injury secara fisik, psikis atau ancaman knsep diri. Beberapa faktor pencetus
perilaku kekerasan adalah sebagai berikut:
1) Konsis klien: kelemahan fisik, keputusasaan, ketidakberdayaan, kehidupan
yang penuh dengan agresif dan masa lalu yang tidak menyenangkan.
2) Interaksi: penghinaan, kekerasan, kehilangan orang, merasa terancam baik
internal dari permasalahan diri klien sendiri maupun eksternal dari lungkungan.
3) Lingkungan: panas, padat dan bising
C. Jenis
-
D. Fase-fase
-
E. Rentang Respon
Respon adaptif Respon maladaptif
a. Respon Adaptif
Respon adaprif adalah respon yang dapat diterima norma-norma sosial budaya
yang berlaku. Dengan kata lain, individu tersebut dalam batas normal jika
menghadapi suatu masalah akan dapat memecahkan masalah tersebut, respon
adaptif (Mukripah Damaiyanti, 2012: hal 96):
1) Pikiran logis adalah pandangan yang mengarah pada kenyataan
4) Perilaku sosial adalah sikap dan tingkah laku yang masih dalam batas
kewajaran
5) Hubungan sosial adalah proses suatu interaksi dengan orang lain dan
lingkungan
b. Respon Maladaptif
1) Kelainan pikiran adalah keyakinan yang secara kokoh dipertahankan
walaupun tidak diyakini oleh orang lain dan bertentangan dengan kenyataan
sosial
2) Perilaku kekerasan merupakan status rentang emosi dan ungkapan
kemarahan yang dimanifestasiakn dalam bentuk fisik
3) Kerusakan proses emosi adalah perubahan status yang timbul dari hati
4) Perilaku tidak terorganisir merupakan suatu perilaku yang tidak teratur
(Mukripah Damaiyanti, 2012: hal 97).
F. Mekanisme Koping
Beberapa mekanisme koping yang dipakai pada pasien marah untuk melindungi diri
antara lain:
a. Sublimasi
d. Reaksi formasi
e. Deplacement
2.
Perilaku Gangguan persepsi
Kekerasan sensori: halusinasi
pendengaran
Data Obyektif :
b. Mondar mandir
d. Tangan mengepal
f. Mata merah
h. Muka merah
V. DAFTAR PUSTAKA
Eko Prabowo. (2014). Konsep & Aplikasi ASUHAN KEPERAWATAN JIWA.
Yogyakarta: Nuha Medika.
Mukhripah Damaiyanti. (2012). Asuhan Keperawatan Jiwa. Samarinda: Refka Aditama.
Nuraenah. (2012). Hubungan Dukungan Keluarga dan Beban Keluarga dalam Merawat
Anggota dengan Riwayat Perilaku Kekerasan di RS. Jiwa Islam Klender Jakarta Timur,
29-37.
Sari, K. (2015). Panduan Lengkap Praktik Klinik Keperawatan Jiwa. Jakarta: Trans Info
Media.
Fitria,Nita, (2010). Prinsip Dasar dan Aplikasi Penulisan Laporan Pendahuluan dan
strategi Pelaksanaan Tindakan Keperawatan (LP dan SP) ; penerbit Salemba Medika,
Jakarta.
LAPORAN PENDAHULUAN
WAHAM
A. Faktor predisposisi
a. Faktor perkembangan
Hambatan perkembangan akan menggangu hubungan interpersonal seseorang. Hal
ini dapat meningkatkan stress dan ansietas yang berakir dengan gangguan presepsi,
klien menekankan perasaan nya sehingga pematangan fungsi intelektual dan emosi
tidak efektif.
b. Faktor sosial budaya
Seseorang yang merasa di asingkan dan kesepian dapat menyebabkan timbul nya
waham.
c. Faktor psikologi
Hubungan yang tidak harmonis, peran ganda bertentangan dapat menimbulkan
ansietas dan berakhir dengan pengingkaran terhadap kenyataan.
d. Faktor biologis
Waham di yakini terjadi karena adanya atrofi otak, pembesaran ventrikel di otak atau
perubahan pada sel kortikal dan lindik.
B. Faktor presipitasi
a. Faktor sosial budaya
Waham dapat di picu karena ada nya perpisahan dengan orang yang berarti atau di
asingkan dari kelompok.
b. Faktor biokimia
Dopamin, norepinepin, dan zat halusinogen lain nya di duga dapat menjadi penyebab
waham pada seseorang.
c. Faktor psikologis
Kecemasan yang memanjang dan terbatasan nya kemampuan untuk mengatasi
masalah sehingga klien mengembangkan koping untuk menghindari kenyataan yang
menyenagkan.
C. Jenis-jenis
1. Waham agama
Kenyakinan terhadap suatu agama secara berlebihan, di ucapkan berulang-ulang tetapi
tidak sesuai dengan kenyataan.
contoh : “ kalau saya mau masuk surga saya harus mengunakan pakaian putih setiap
hari “, atau klien mengatakan bahwa diri nya adalah tuhan yang dapat mengendalikan
mahkluk nya
2. Waham kebesaran
Keyakinan secara berlebihan bahwa diri nya memiliki kekuatan khusus atau kelebihan
yang berbeda dengan orang lain, di ucapkan berulang-ulang tetapi tidak sesuai dengan
kenyataan.
Contoh : “ saya ini pejabat di departemen kesehatan lhooooo........”
“ saya punya tambang emas !”
3. Waham curiga
Keyakinan bahwa seseorang tau sekelompok orang berusaha merugikan atau
mencederai diri nya, di ucapkan berulang-ulang tetapi tidak sesuai dengan kenyataan.
Contoh : “ saya tau ...........semua saudara saya ingin menghancurkan hidup saya
karena mereka semua iri dengan kesuksesan yang di alami saya”.
4. Waham somatik
Keyakinan seseorang bahwa tubuh tau bagian tubuh nya terganggu atau terserang
penyakit, di ucapkan berulag-ulang tetapi tidak sesuai dengan kenyataan.
Contoh :” klien selalu mengatakan bahwa diri nya sakit kanker,namun setelah di
lakukan pemeriksaa laboraturium tidak di temuka ada nya sel kanker pada tubuh nya.
5. Waham nihilistik
Keyakinan seseorang bahwa diri nya sudah meninggal dunia, di ucapkan berulang-
ulang tetapi tidak sesuai denga kenyataan
Contoh :” ini akan alam kubur nya, semua yang ada di sini adalah roh-roh”.
6. Waham sisip pikir : keyakinan klien bahwa ada pikiran orang lain yang disisipkan ke
dalam pikirannya.
7. Waham siar pikir : keyakinan klien bahwa orang lain mengetahui apa yang dia
pikirkan walaupun ia tidak pernah menyatakan pikirannya kepada orang tersebut
8. Waham kontrol pikir : keyakinan klien bahwa pikirannya dikontrol oleh kekuatan di
luar dirinya.
Kategori Waham :
a) Waham sistematis: konsisten, berdasarkan pemikiran mungkin terjadi walaupun
hanya secara teoritis.
b) Waham nonsistematis: tidak konsisten, yang secara logis dan teoritis tidak mungkin
D. Fase- fase
Proses terjadinya waham meliputi 6 fase, yaitu :
1. Fase of human needm
Waham diawali dengan terbatasnya kebutuhan-kebutuhan klien baik secara fisik
maupun psikis.Secara fisik klien dengan waham dapat terjadi pada orang-orang
dengan status sosial dan ekonomi sangat terbatas.Biasanya klien sangat miskin dan
menderita. Keinginan ia untuk memenuhi kebutuhan hidupnya mendorongnya untuk
melakukan kompensasi yang salah. Ada juga klien yang secara sosial dan ekonomi
terpenuhi tetapi kesenjangan antara realiti dengan self ideal sangat tinggi.
2. Fase lack of self esteem
Tidak adanya pengakuan dari lingkungan dan tingginya kesenjangan antara self
ideal dengan self reality (keyataan dengan harapan) serta dorongn kebutuhan yang
tidak terpenuhi sedangkan standar lingkungan sudah melampaui kemampuannya.
3. Fase control internal external
Klien mencoba berpikir rasional bahwa apa yang ia yakini atau apa-apa yang ia
katakan adalah kebohongan, menutupi kekurangan dan tidak sesuai dengan keyataan,
tetapi menghadapi keyataan bagi klien adalah suatu yang sangat berat, karena
kebutuhannya untuk diakui, kebutuhan untuk dianggap penting dan diterima
lingkungan menjadi prioritas dalam hidupnya, karena kebutuhan tersebut belum
terpenuhi sejak kecil secara optimal. Lingkungan sekitar klien mencoba memberikan
koreksi bahwa sesuatu yang dikatakan klien itu tidak benar, tetapi hal ini tidak
dilakukan secara adekuat karena besarnya toleransi dan keinginan menjaga perasaan.
Lingkungan hanya menjadi pendengar pasif tetapi tidak mau konfrontatif
berkepanjangan dengan alasan pengakuan klien tidak merugikan orang lain.
4. Fase envinment support
Adanya beberapa orang yang mempercayai klien dalam lingkungannya menyebabkan
klien merasa didukung, lama kelamaan klien menganggap sesuatu yang dikatakan
tersebut sebagai suatu kebenaran karena seringnya diulang-ulang. Dari sinilah mulai
terjadinya kerusakan kontrol diri dan tidak berfungsinya norma (super ego) yang
ditandai dengan tidak ada lagi perasaan dosa saat berbohong.
5. Fase comforting
Klien merasa nyaman dengan keyakinan dan kebohongannya serta menganggap
bahwa semua orang sama yaitu akan mempercayai dan mendukungnya. Keyakinan
sering disertai halusinasi pada saat klien menyendiri dari lingkungannya.Selanjutnya
klien sering menyendiri dan menghindari interaksi sosial (isolasi sosial).
6. Fase improving
Apabila tidak adanya konfrontasi dan upaya-upaya koreksi, setiap waktu keyakinan
yang salah pada klien akan meningkat. Tema waham yang muncul sering berkaitan
dengan traumatik masa lalu atau kebutuhan-kebutuhan yang tidak terpenuhi (rantai
yang hilang).Waham bersifat menetap dan sulit untuk dikoreksi. Isi waham dapat
menimbulkan ancaman diri dan orang lain.
E. Rentang Respon
Rentang respon gangguan adaptif dan maldaftif dan dijelaskan sebegai berikut:
Respon adaptif respon maldaptif
Pikiran logis Ketidakmampua
Persepsi akurat n isolasi social
Emosi konsisten
dengan
pengalaman
Prilaku sesuai
dengan
hubungan social
Distrosi pikiran
Kadang-kadang
isi pikir
terganggu ilusi
Reaksi
emosional
berlebihan
Perilaku ganjil
atau tidak lazim
Gangguan isi
pikir waham
Ketidak
mampuan untuk
mengalami
emosi
F. Mekanisme Koping
Menurut hermawati (2008) mekanisme koping yang biasanya digunakan sebagai berikut:
1. Regresi, berhubungan dengan masalah proses informasi dan upaya untuk mengatasi
ansietas
2. Proyeksi : upaya menjelaskan keracunan persepsi
3. Menarik diri
4. Pada keluarga : mengingkari
Perubahan isi
pikir: waham
Gangguan konsep
diri: harga diri
rendah
Eko Prabowo. (2014). Konsep & Aplikasi Asuhan Keperawatan Jiwa. Yogyakarta: Nuha
Medika.
Farida Kusumawati & Yudi Hartono. (2012). Buku Ajar Keperawatan Jiwa. Jakarta: Salemba
Medika.
Kusumawati dan Hartono .2010 . Buku Ajar Keperawatan Jiwa .Jakarta : Salemba Medika
LAPORAN PENDAHULUAN
HALUSINASI
Halusinasi adalah persepsi klien terhadap lingkungan tanpa stimulus yang nyata,
sehingga klien menginterpretasikan sesuatu yang tidak nyata tanpa stimulus atau
rangsangan dari luar (Stuart dalam Azizah, 2016). Berdasarkan pengertian
halusinasi itu dapat diartikan bahwa, halusinasi adalah gangguan respon yang
diakibatkan oleh stimulus atau rangsangan yang membuat klien mempersepsikan
sesuatu yang sebenarnya tidak ada dari panca indra yang dimiliki.
A. Faktor Predisposisi
1. Faktor Perkembangan
Tugas perkembangan klien yang terganggu misalnya rendahnya kontrol dan
kehangatan keluarga menyebabkan klien tidak mampu mandiri sejak kecil,
mudah frustasi, hilang percaya diri, dan lebih rentan terhadap stress.
2. Faktor Sosiokultural
Seseorang yang merasa tidak diterima lingkungan sejak bayi sehingga akan
merasa disingkirkan, kesepian, dan tidak percaya pada lingkungannya.
3. Faktor Biokimia
Hal ini berpengaruh terhadap terjadinya gangguan jiwa. Adanya stress yang
berlebihan dialami seseorang maka di dalam tubuh akan dihasilkan suatu zat
yang bersifat halusiogenik neurokimia. Akibat stress berkepanjangan
menyebabkan teraktivasinya neurotransmitter otak, misalnya terjadi ketidak
seimbangan acetylchoin dan dopamine.
4. Faktor Psikologis
Tipe kepribadian lemah dan tidak bertanggung jawab mudah terjerumus pada
penyalahgunaan zat adiktif. Hal ini berpengaruh pada ketidakmampuan klien
mengambil keputusan tegas, klien lebih suka memilih kesenangan sesaat dan
lari dari alam nyata menuju alam hayal.
5. Faktor Genetik dan Pola Asuh Penelitian
Menunjukan bahwa anak sehat yang diasuh oleh orangtua skizofrenia cenderung
mengalami skizofrenia. Hasil studi menunjukkan bahwa faktor keluarga
menunjukkan hubungan yang sangat berpengaruh pada penyakit ini. (Yosep,
2014)
B. Faktor Presipitasi
Menurut Rawlins dan Heacock dalam Yosep (2014) dalam hakekatnya seorang
individu sebagai mahluk yang dibangun atas dasar unsur bio-psiko-sosio-
spiritual sehingga halusinasi dapat dilihat dari lima dimensi, yaitu:
1. Dimensi Fisik
Halusinasi dapat ditimbulkan oleh beberapa kondisi fisik seperti kelelahan luar
biasa, penggunaan obat-obatan, demam hingga delirium dan kesulitan tidur
dalam waktu yang lama.
2. Dimensi Emosional
Perasaan cemas yang berlebihan atas dasar problem yang tidak dapat diatasi.
Halusinasi dapat berupa perintah memasa dan menakutkan. Klien tidak
sanggup menentang sehingga klien berbuat sesuatu terhadap ketakutan
tersebut.
3. Dimensi Intelektual Dalam hal ini klien dengan halusinasi mengalami
penurunan fungsi ego. Awalnya halusinasi merupakan usaha dari ego sendiri
untuk melawan impuls yang menekan, namun menimbulkan kewaspadaan
yang dapat mengambil seluruh perhatian klien dan tak jarang akan
mengontrol semua perilaku klien.
4. Dimensi Sosial
Klien mengalami gangguan interaksi sosialdi dalam fase awal dan comforting
menganggap bahwa bersosialisasi nyata sangat membahayakan. Klien
halusinasi lebih asyik dengan halusinasinya seolah-olah itu tempat untuk
bersosialisasi.
5. Dimensi Spiritual
Klien halusinasi dalam spiritual mulai dengan kehampaan hidup, rutinitas tidak
bermakna, dan hilangnya aktivitas beribadah. Klien halusinasi dalam setiap
bangun merasa hampa dan tidak jelas tujuan hidupnya.
C. Jenis
Menurut Yosep dalam Prabowo, 2014 halusinasi terdiri dari beberapa jenis
dengan karakteristik tertentu, diantaranya
1. Halusinasi pendengaran (audotorik)
Gangguan stimulus dimana pasien mendengar suara-suara terutama suara
orang. Biasanya mendengar suara orang yang sedang membicarakan apa yang
sedang dipikirkannya dan memerintahkan untuk melakukan sesuatu.
2. Halusinasi pengelihatan (visual)
Stimulus visual dalam bentuk beragam seperti bentuk pancaran cahaya,
gambaran geometric, gambar kartun, panorama yang luas dan bayangan yang
menakutkan.
3. Halusinasi penghidu/penciuman (Olfaktori)
Gangguan stimulus pada penghidu, yang ditandai dengan adanya bau busuk,
amis, dan bau menjijikan, tapi kadang terhirup bau harum.
4. Halusinasi peraba (taktil)
Gangguan stimulus yang ditandai dengan adanya rasa sakit atau tidak enak
tanpa ada stimulus yang terlihat, seperti merasakan sensasi listrik datang dari
tanah, benda mati atau orang lain.
5. Halusinasi pengecap (gustatorik)
Gangguan stimulus yang ditandai dengan merasaan sesuatu yang busuk, amis,
dan menjijikan.
6. Halusinasi sinestetik
Gangguan stimulus yang ditandai dengan merasakan fungsi tubuh seperti darah
mengalir melalui vena atau arteri, makanan dicerna atau pembentuan urine.
D. Fase-Fase
Menurut Stuart dan Laraia dalam Prabowo, 2014 menunjukan tahapan terjadinya
halusinasi terdiri dari 4 fase dan setiap fase mempunyai karakteristik yang
berbeda yaitu:
1. Fase I
Pasien mengalami perasaan mendalam seperti ansietas, kesepian, dan takut
serta mencoba untuk berfokus pada pkiran yang menyenangkan untuk
meredakan ansietas disini pasien tersenyum atau tertawa yang tidak sesuai,
gerakan mata cepat,dan asyik sendiri.
2. Fase II
Pengalaman sensori menjijikan dan menakutkan. Pasien mulai lepas kendali
dan mencoba jaga jarak dengan sumber yang dipersepsikan sehingga timbul
peningkatan tanda-tanda vital.
3. Fase III
Pasien menghentikan perlawanan halusinasi dan menyerah pada halusinasi.
Disini pasien sukar berhubungan dengan orang lain, tidak mampu mematuhi
perintah dari orang lain, dan kondisi sangat menegangkan terutama
berhubungan dengan orang lain.
4. Fase IV
Pengalaman sensori menjadi mengancam jika pasien mengikuti perintah
halusinasi. Disini terjadi perilaku kekerasan, agitasi, menarik diri dan tidak
mampu berespon terhadap perintah yang kompleks dan tidak mampu berespon
lebih dari 1 orang.
F. Rentang Respons
Adaptif Maladaptif
Rentang respon neurobiologis yang paling adaptif yaitu adanya pikiran logis,
persepsi akurat, emosi yang konsisten dengan pengalaman, perilaku cocok, dan
terciptanya hubungan sosial yang harmonis. Sedangkan,respon maladaptive yang
meliputi waham, halusinasi, kesukaran proses emosi, perilaku tidak teroganisasi,
dan isolasi sosial. Rentang respon neurobiologis halusinasi digambaran sebagai
berikut (Stuart, 2013)
G. Mekanisme Koping
Mekanisme koping yang sering digunakan klien dengan halusinasi meliputi
(Muhith, 2015) :
1. Regresi : menjadi malas beraktivitas sehari-hari.
2. Proyeksi : mencoba menjelaskan gangguan persepsi dengan mengalihkan
tanggung jawab kepada orang lain atau sesuatu benda.
3. Menarik diri : sulit mempercayai orang lain dan asyik dengan stimulus internal
4. Keluarga mengingkari masalah yang dialami oleh klien.
Core Problem
Gangguan sensori persepsi : Halusinasi
IV
.
B. Diagnosa Keperawatan
Gangguan sensori persepsi : Halusinasi
Perencanaan Intervensi
No. Diagnosa Keperawatan
Tujuan Kriteria Evaluasi
1. Halusinasi Klien mampu mengontrol Setelah di lakukan 1x interaksi,
halusinasinya secara pasien menunjukan tanda-tanda
mandiri. pecaya terhadap perawat dengan
menujukan:
1. Klien dapat membina 1. 1 Bina hubungan saling percaya dengan
1. Ekspresi wajah bersahabat,
hubungan saling menggunakan prinsip komunikasi
menunjukan rasa tenang , ada
percaya terapeutik:
kontak mata, mau berjabat
- Sapa klien dengan namabaik verbal
tangan, mau menyebutkan
maupun non verbal
nama, mau menjawab salam,
- Perkenalkan diri dengan sopan
mau duduk berdampingan
- Tanyakan nama lengkap dan nama
dengan perawat, mau
panggilan yang disukai klien
mengungkapkan masalah yang
- Jelaskan tujuan pertemuan
dihadapi.
- Jujur dan menepati janji
- Tunjukan sikap empati dan menerima
klien apa adanya
- Berikan perhatian kepada klien dan
perhatikan kebutuhan dasar klien
2. Klien dapat mengenal 2. Klien dapat menyebutkan 2.1 Adakan kontak sering dan singkat
halusinasinya waktu, isi, frekuensi dan secara bertahap
situasi yang menimbulkan 2.2 Observasi tingkah laku klien terkait
halusinasi. dengan halusinasinya; bicara dan
tertawa tanpa stimulus memandang ke
kiri / ke kanan / ke depan seolah-olah
ada teman bicara.
2.3 Bantu klien mengenal halusinasinya :
- Jika menemukan klien yang sedang
halusinasi
- Tanyakan apakah ada suara yang di
dengar
- Jika klien menjawab ada, lanjutkan :
apa apa yang dikatakan
- Katakan bahwa perawat percaya klien
mendengar suara itu, namun perawat
sendiri tidak mendengarnya (dengan
nada bersahabat tanpa menuduh atau
menghakimi).
- Katakan bahwa klien lain juga ada
seperti klien.
- Katakan bahwa perawat akan
membantu klien.
2.4 Jika klien tidak sedang berhalusinasi
klarifikasi tentang adanya pengalaman
halusinasi.
Diskusikan dengan klien :
- Situasi yang menimbulkan / tidak
menimbulkan halusinasi (jika sendiri,
jengkel / sedih).
- Waktu dan frekuensi terjadinya
halusinasi (pagi, siang, sore, dan
malam atau sering dan kadang –
kadang).
2. Klien dapat mengungkapkan Diskusikan dengan klien apa yang
perasaan terhadap dirasakan jika terjadi halusinasi
halusinasinya. (marah/takut, sedih, senang) dan beri
kesempatan untuk mengungkapkan
perasaannya.
3. Klien dapat 3. Klien dapat mengungkapkan 3.1.Identifikasi bersama klien cara atau
mengontrol perasaan terhadap tindakan
halusinasinya halusinasinya. 3.2.Diskusikan manfaat dan cara yang
3. Klien dapat menyebutkan cara digunakan klien, jika bermanfaat beri
baru. pujian.
3.3.Diskusikan cara baru untuk memutus /
mengontrol timbulnya halusinasi. :
- Katakan : “saya tidak mau
dengar/lihat kamu” (pada saat
halusinasi terjadi)
- Menemui orang lain (perawat/
teman/anggota keluarga) untuk
bercakap-cakap atau mengatakan
halusinasi yang didengar / dilihat.
- Membuat jadwal kegiatan sehari hari
agar halusinasi tidak sempat muncul
- Meminta keluarga/teman/ perawat
menyapa jika tampak berbicara
sendiri.
3.4.Bantu klien memilih dan melatih cara
memutus halusinasi secara bertahap
3.5.Beri kesempatan untuk melakukan cara
yang dilatih. Evaluasi hasilnya dan beri
pujian jika berhasil
3.6.Anjurkan klien mengikuti terapi
aktivitas kelompok, orientasi realita,
stimulasi persepsi.
4. Klien dapat dukungan 4. Keluarga dapat membina 4.1. Anjurkan klien untuk memberitahu
dari keluarga dalam hubungan saling percaya keluarga jika mengalami halusinasi
mengontrol dengan perawat. 4.2.Diskusikan dengan keluarga (pada saat
halusinasinya 4. Keluarga dapat menyebutkan keluarga berkunjung/ pada saat
pengertian, tanda dan tindakan kunjungan rumah)
untuk mengendalikan - Gejala halusinasi yang dialami klien
halusinasi.
- Cara yang dapat dilakukan klien dan
keluarga untuk memutus halusinasi
- Cara merawat anggota keluarga yang
halusinasi di rumah : beri kegiatan,
jangan biarkan sendiri, makan
bersama, berpergian bersama
- Beri informasi waktu follow up atau
kapan perlu mendapat bantuan
halusinasi tidak terkontrol, dan resiko
mencederai orang lain
5. Klien dapat 5. Klien dan keluarga dapat 5.1. Diskusikan dengan klien dan keluarga
memanfaatkan obat menyebutkan manfaat, dosis tentang dosis, efek samping dan
dengan baik dan efek samping obat manfaat obat
5. Klien dapat 5.2.Anjurkan klien minta sendiri obat pada
mendemonstrasikan perawat dan merasakan manfaatnya
penggunaan obat dengan 5.3.Anjurkan klien bicara dengan dokter
benar. tentang manfaat dan efek samping obat
5. Klien dapat informasi tentang yang dirasakan
manfaat dan efek samping obat 5.4.Diskusikan akibat berhenti minum obat
tanpa konsultasi
5. Klien memahami akibat 5.5.Bantu klien menggunakan obat dengan
berhenti minum obat tanpa prinsip 5 (lima) benar.
konsultasi
5. Klien dapat menyebutkan
prinsip 5 benar penggunaan
obat.
DAFTAR PUSTAKA