Anda di halaman 1dari 12

LAPORAN PENDAHULUAN

DAN STRATEGI PELAKSANAAN

HARGA DIRI RENDAH

STASE KEPERAWATAN JIWA

Disusun Oleh :

WIDYASTUTI

NPM. 21.0604.0048

PROGRAM STUDI PROFESI NERS

FAKULTAS ILMU KESEHATAN

UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH MAGELANG

2021
LAPORAN PENDAHULUAN

A. Pengertian
Harga diri rendah adalah perasaan negatif terhadap diri sendiri, hilangnya percaya diri
dan harga diri, merasa gagal mencapai keinginan (Keliat, dalam Fitria, 2009).
Harga diri rendah adalah perasaan tidak berharga, tidak berarti, dan rendah diri yang
berkepanjangan akibat evaluasi negatif terhadap diri sendiri, dan kemampuan diri, dan
sering juga disertai dengan kurangnya perawatan diri, berpakaian tidak rapi, selera makan
menurun, tidak berani bertatap muka dengan lawan bicara, lebih sering menundukkan
kepala, berbicara lambat dan nada suara lemah (Keliat, Suerni dalam Garry, 2016).
arga diri rendah merupakan keadaan dimana individu mengalami evaluasi diri yang
negatif mengenai evaluasi diri atau kemampuan diri. Akibat harga diri rendah dapat
beresiko terjadinya isolasi sosial : menarik diri, isolasi menarik diri adalah gangguan
kepribadian yang tidak fleksibel pada tingkah laku yang maladaptif, mengganggu fungsi
seseorang dalam hubungan sosial (DepKesRI, dalam Wijayaningsih, 2015)
B. Rentang respon dan jenis
1. Rentang respon

Keterangan:

1. Aktualisasi diri adalah pernyataan diri positif tentang latar belakang


pengalaman nyata yang sukses diterima.
2. Konsep diri positif adalah individu mempunyai pengalaman yang
positif dalam beraktualisasi.
3. Harga diri rendah adalah transisi antara respon diri adaptif dengan
konsep diri maladaptif.
4. Kerancuan identitas adalah kegagalan individu dalam kemalangan
aspek psikososial dan kepribadian dewasa yang harmonis.
5. Depersonalisasi adalah perasaan yang tidak realistis terhadap diri
sendiri yang berhubungan dengan kecemasan, kepanikan serta tidak
dapat membedakan dirinya dengan orang lain.
2. Jenis
Gangguan harga diri yang disebut sebagai harga diri rendah dapat terjadi secara :
- Situasional, yaitu terjadi terutama yang tiba-tiba, misalnya harus operasi,
kecelakaan, dicerai suami/isteri, putus sekolah, putus hubungan kerja, perasaan
malu karena sesuatu (korban pemerkosaan, dituduh KKN, dipenjara tiba-tiba).
- Kronik, yaitu perasaan negatif terhadap diri berlangsung lama, yaitu sebelum
sakit/dirawat. Klien ini mempunyai cara yang negatif. Kejadian sakit dan dirawat
akan menambah persepsi negatif terhadap dirinya. Kondisi ini mengakibatkan
respon mal adaptif. Kondisi ini dapatditemukan pada klien gangguan fisik yang
kronik atau pada klien gangguan jiwa
(DepKesRI, dalam Wijayaningsih, 2015)

C. Tanda Gejala

Tanda dan gejala harga diri rendah dapat dinilai dari ungkapan pasien yang menunjukkan
penilaian tentang dirinya dan didukung dengan data hasil wawancara dan observasi
(Kemenkes, RI)
- Data subjektifPasien mengungkapkan tentang:
1. Hal negatif diri sendiri atau orang lain
2. Perasaan tidak mampu
3. Pandangan hidup yang pesimis
4. Penolakan terhadap kemampuan dirib.
- Data objektif
1. Penurunan produktifitas
2. Tidak berani menatap lawan bicara
3. Lebih banyak menundukkan kepala saat berinteraksi
4. Bicara lambat dengan nada suara rendah
Manifestasi yang bisa muncul pada klien gangguan jiwa dengan harga diri rendah
menurut Fitria (2009) adalah:
1. Mengkritik diri sendiri
2. Perasaan tidak mampu
3. Pandangan hidup yang pesimistis
4. Tidak menerima pujian
5. Penurunan produktivitas
6. Penolakan terhadap kemampuan diri
7. Kurang memperhatikan perawatan diri
8. Berpakaian tidak rapi
9. selera makan kurang
10. Tidak berani menatap lawan bicara
11. Lebih banyak menunduk
12. Bicara lambat dengan nada suara lemah

D. Penyebab
Beberapa faktor penunjang terjadinya perubahan dalam konsep diri seseorang. Dalam
tinjauan life span historyklien, penyebab terjadinya harga diri rendah adalah pada masa
kecil sering disalahkan, jarang diberi pujian atas keberhasilannya. Saat individu mencapai
masa remaja keberadaanya kurang dihargi, tidak diberi kesempatan dan tidak diterima.
Menjelang dewasa awal sering gagal di sekolah, pekerjaan atau pergaulan. Harga diri
rendah muncul saat lingkungan cenderung mengucilkan dan menuntut lebih dari
kemampuannya (Yosep dalam Damaiyanti, Iskandar, 2014).
Menurut (Stuart dalam Damaiyanti, Iskandar, 2014), faktor-faktor yang mengakibatkan
harga diri rendah kronik meliputi faktor predisposisi dan faktor presipitasi sebagai
berikut:
1. Faktor Predisposisi
a. Faktor yang mempengaruhi harga diri meliputi penolakan orang tua, harapan
orang tua yang tidak realistis, kegagalan yang berulang, kurang mempunyai
tanggung jawab personal, ketergantungan pada orang lain, dan ideal diri yang
tidak realistis.
b. Faktor yang mempengaruhi performa peran adalah stereotip peran gender,
tuntutan peran kerja, dan harapan peran budaya.
c. Faktor yang mempengaruhi identitas pribadi meliputi ketidak percayaan orangtua,
tekan dari kelompok sebaya, dan perubahan struktur sosial.
2. Faktor Presipitasi Menurut (Yosep dalam Damaiyanti, Iskandar, 2014), faktor
presipitasi terjadinya harga diri rendah biasanya adalah kehilangan bagian tubuh,
perubahan penampilan/bentuk tubuh, kegagalan atau produktifitas yang menurun.
Secara umum, gangguan konsep diri harga diri rendah ini dapat terjadi secara
situasional atau kronik. Secara situasional karena trauma yang muncul tiba-tiba,
misalnya harus dioperasi, kecelakaan, perkosaan atau dipenjara, termasuk dirawat di
rumah sakit bisa menyebabkan harga diri rendah disebabkan karena penyakit fisik
atau pemasangan alat bantu yang membuat klien tidak nyaman. Harga diri rendah
kronik, biasanya dirasakan klien sebelum sakit atau sebelum dirawat klien sudah
memiliki pikiran negatif dan meningkat saat dirawat
3. Perilaku Pengumpulan data yang dilakukan oleh perawat meliputi perilaku yang
objektif dan dapat diamati serta perasaan subjektif dan dunia dalam diri klien sendiri.
Perilaku yang berhubungan dengan harga diri rendah salah satunya mengkritik diri
sendiri, sedangkan kerancuan identitas seperti sifat kepribadian yang bertentangan
serta depersonalisasi (Stuart dalam Damaiyanti, Iskandar, 2014).
E. Psikopatologi
Harga diri rendah kronis terjadi merupakan proses kelanjutan dari harga diri rendah
situasional yang tidak diselesaikan. Atau dapat juga terjadi karena individu tidak pernah
mendapat feed back dari lingkungan tentang perilaku klien sebelumnya bahkan mungkin
kecenderungan lingkungan yang selalu memberi respon negatif mendorong individu
menjadi harga diri rendah.Harga diri rendah kronis terjadi disebabkan banyak faktor.
Awalnya individu berada pada suatu situasi yang penuh dengan stressor (krisis), individu
berusaha menyelesaikan krisis tetapi tidak tuntas sehingga timbul pikiran bahwa diri
tidak mampu atau merasa gagal menjalankan fungsi dan peran. Penilaian individu
terhadap diri sendiri karena kegagalan menjalankan fungsi dan peran adalah kondisi
harga diri rendah situasional,jika lingkungan tidak memberi dukungan positif atau justru
menyalahkan individu dan terjadi secara terus menerus akan mengakibatkan individu
mengalami harga diri rendah kronis (Direja, 2011).
F. Focus pengkajian

Data yang perlu dikaji pada pasien dengan harga diri rendah (Fitria, 2009 dan Yosep,
2009), adalah:

- Data subyektif
5. Mengungkapkan dirinya merasa tidak berguna.
6. Mengungkapkan dirinya merasa tidak mampu
7. Mengungkapkan dirinya tidak semangat untuk beraktivitas atau bekerja.
8. Mengungkapkan dirinya malas melakukan perawatan diri (mandi, berhias,
makan atau toileting).
- Data obyektif
1. Mengkritik diri sendiri
2. Perasaan tidak mampu
3. Pandangan hidup yang pesimistis
4. Tidak menerima pujian
5. Penurunan produktivitas
6. Penolakan terhadap kemampuan diri
7. Kurang memperhatikan perawatan diri
8. Berpakaian tidak rapi
9. Berkurang selera makan
10. Tidak berani menatap lawan bicara
11. Lebih banyak menunduk
12. Bicara lambat dengan nada suara lemah.

G. Diagnosa keperawatan

Masalah keperawatan yang mungkin muncul pada pasien dengan harga diri rendah
(Fitria, 2009), adalah:

a.       Harga diri rendah kronik


b.      Koping individu tidak efektif

c.       Isolasi sosial

d.      Gangguan sensori persepsi: halusinasi

e.       Risiko perilaku kekerasan


H. Focus intervensi

Menurut Eko, 2014 terapi pada gangguan jiwa skizofrenia sudah dikembangkan sehingga
penderita tidak mengalami diskriminasi bahkan metodenya lebih manusiawi dari pada
masa sebelumnya. Terapi yang dimaksud meliputi :
1. Psikofarmako, berbagai obat psikofarmako yang hanya diperolehdengan resep dokter,
dapat dibagi dalam 2 golongan yaitu golongan generasi pertama (typical) dan
golongan kedua (atypical). Obat yang termasuk golongan generasi pertama misalnya
chlorpromazine HCL, Thoridazine HCL, dan Haloperridol. Obat yang termasuk
generasi kedua misalnya : Risperidone, Olozapine, Quentiapine, Glanzapine,
Zotatine, dan Ariprprazole.
2. Psikoterapi, terapi kerja baik sekali untuk mendorong penderita bergaul lagi engan
orang lain, pasien lain, perawat dan dokter. Maksudnya supaya pasien tidak
mengasingkan diri lagi karena jika pasien menarik diri dapat membentuk kebiasaan
yang kurang baik. Dianjurkan untuk mengadakan permainan atau latihan bersama.
3. Terapi kejang listrik (Elektro Convulsive therapy), adalah pengobatan
untukmenimbulkan kejang granmall secara artifical dengan melewatkan aliran listrik
melalui elektrode yang dipasang satu atau dua temples. Therapi kejang listrik
diberikan pada skizofrenia yang tidak mempan dengan terapi neuroleptika oral atau
injeksi, dosis terapi listrik 5-5 joule/ detik.
4. Terapi modalitas, merupakan rencana pengobatan untuk skizofrenia dan kekurangan
pasien. Teknik perilaku menggunakanlatihan ketrampilan sosial untuk meningkatkan
kemampuan sosial. Kemampuan memenuhi diri sendiri dan latihan praktis dalam
komunikasi interpersonal. Terapi aktivitas kelompok dibagi 4 yaitu terapi aktivitas
kelompok stimulasi kognitif/persepsi, terapi aktivitas kelompok stimulasi sensori,
terapi aktivitas kelompok stimulasi realita dan terapi aktivitas kelompok sosialisasi.
5. Terapi kognitif, terapi interpersonal, terapi tingkah laku, dan terapi keluarga.Tindakan
keperawatan pada pasien dengan harga diri rendah bisa secara individu, terapi
keluarga, kelompok dan penanganan dikomunikasi baik generalis keperawatan
lanjutan. Terapi untuk pasien dengan harga diri rendah yang efisian untuk
meningkatkan rasa percaya diri dalam berinteraksi dengan orang lain, sosial, dan
lingkungannya yaitu dengan menerapkan terapi kognitif pada pasien dengan harga
diri rendah.

I. STRATEGI PELAKSANAAN
TINDAKAN KEPERAWATAN (SP)
Diagnosa : Gangguan Konsep Diri: Harga Diri Rendah
Tujuan
- Tujuan Umum: Klien memiliki konsep diri yang positif
Tujuan Khusus:
1. Klien dapat membina hubungan saling percaya dengan perawat
2. Klien dapat mengidentifikasi aspek positif dan kemampuan yang dimiliki.
3. Klien dapat menilai kemampuan yang dimiliki untuk dilaksanakan.
4. Klien dapat merencanakan kegiatan sesuai dengan kemampuan yang dimiliki.
5. Klien dapat melakukan kegiatan sesuai rencana yang dibuat.
6. Klien dapat memanfaatkan sistem pendukung yang ada
TindakanKeperawatan
SP-1 : Harga Diri Rendah
a. Mengidentifikasi kemampuan dan aspek positif yang dimiliki pasien.
b. Membantu pasien menilai kemampuan pasien yang masih dapat
digunakan.
c. Membantu pasien memilih kegiatan yang akan dilatih sesuai dengan
kemampuan pasien.
d. Melatih pasien sesuai kemampuan yang dipilih.
e. Memberikan pujian yang wajar terhadap keberhasilan pasien.
f. Menganjurkan pasien memasukkan dalan jadwal kegiatan harian.
- FASE ORIENTASI
1. Salam terapeutik
“Assalamualaikum, nama saya ……..saya mahasiswa…….., saya yang akan
merawat ibu hari ini. “Nama ibu siapa?”, biasa di panggil apa?”
2. Evaluasi/Validasi“Bagaimana keadaan ibu/bapak hari ini? Sepertinya
ibu/bapak terlihat lebih segar” Bagaimana semalam tindurnya ibu? “Apakah
ibu hari ini ada keluhan?”
3. Kontrak (topic, waktu dan tempat)
“Bagaimana kalau kita bercakap-cakap tentang kemampuan kegian yang
pernah ibu lakukan dan aspek positif yang pernah ibu/bapak lakukan?, setelah
itu kita akan menilai kegiatan mana yang masih dapat ibu/bapak lakukan di
rumah sakit, setelah kita nilai, kita akan pilih satu kegiatan untuk kita latih.
Dimana kita akan bercakap-cakap?, Bagaimana kalau didepan kamar tidur
ibu/bapak?, berapa lama maunya ibu.bapak?, bagaimana kali 15 menit?”
4. Tujuan Agar ibu/bapak mengetahui kemampuan dan aspek positif serta
kegiatan ibu/bapak yang dapat dilakukan.
- FASE KERJA
- “Ibu, apa saja kemampuan yang ibu/bapak miliki? Bagus, apa lagi? Saya buat
daftarnya ya! Apa pula kegiatan rumah tangga yang biasa ibu lakukan?
- Bagaimana dengan merapihkan kamar? Menyapu? Mencuci piring? Wah, bagus
sekali ada 5 kemampuan dan kegiatan yang ibu miliki”
- “Ibu, dari 5 kegiatan/kemampuan ini, yang mana yang masih dapat dikerjakan
dirumah sakit?
- Coba kita lihat, yang pertama bisakah, yang kedua .... Samapai 5 (misalnya ada 3
kegiatan yang masih bisa dilakukan). Bagus sekali ada 3 kegiatan yang masih bisa
dikerjakan dirumah sakit ini”
- “Sekarang, coba ibu pilih satu kegiatan yang masih bisa dikerjakan dirumah sakit
ini”.
- “O yang nomor satu, merapihkan tenpat tidur? Kalau begitu, bagaimana kalau
sekarang kita latihan merapihkan tempat tidur? Kalau begitu, bagaimana kalau
sekarang kita latihan merapihkan tempat tidur ibu”.
- Mari kita lihat tempat tidur ibu. Coba lihat, sudah rapihkah tempat tidurnya?”
- “Nah klau kita mau merapihkan tempat tidur, mari kita pindahkan dahulu bantal
dan selimutnya. Bagus! Sekarang kita angkat sepreinya, dan kasurnya kita balik.
- “Nah, sekarang kita pasang lagi sepreinya, kita mulai dari arah atas, ya bagus!.
Sekarang sebelah kaki, tarik dan masukkan, lalu sebelah pinggir masukkan.
Sekarang ambil bantal, rapihkan, dan letakkan di sebelah atas/kepala. Mari kita
lipat selimut, nah letakkan sebelah bawah/kaki. Bagus!”
- “Ibu sudah bisa merapihkan tempat tidur dengan baik sekali. Coba perhatikan
bedakah dengan sebelum dirapihkan? Bagus”.
- “Coba ibu lakukan dan jangan lupa memberikan tanda dijadwal harian dengan
huruf M (melakukan) dan T (tidak melakukan).”
- FASE TERMINASI
1. Evaluasi (respon klien terhadap tindakan keperawatan)
- Evluasi subyektif
“Bagaimana perasaan ibu setelah kita bercakap-cakap mengenai aspek
positif dan latihan merapihkan tempat tidur?”
b. Evaluasi obyektif
“Iya, ibu ternyata banyak memiliki kemampuan yang dapat dilakukan
dirumag sakit ini. Salah satunya merapihkan tempat tidur dan mencuci
piring yang sudah ibu lakukan dengan baik sekali. Nah kemampuan ini
dapat dilakukan dirumah setelah pulang.”
c. Rencana tindak lanjut (yang perlu dilatih klien sesuai hasil tindakan yang
dilakukan)
- “Sekarang mari kita masukkan jadwal harian ibu.Ibu mau berapa kali
sehari merapihkan tempat tidur dan mencuci piring? Bagus, 2 kali yaitu
pagi-pagi pukul berapa? Lalu sehabis istirahat, pokul 5 sore, setelah ibu
sholat dan mandinya bu.”
d. Kontrak yang akan datang (topic, waktu dan tempat)
“Besok pagi kita latihan lagi kemampuan ibu. Ibu masih ingat kegiatan
apa lagi yang mampu dilakukan di rumah sakit selain merapihkan tempat
tidur? Iya bagus, merapihkan tempat tidur dan cuci piring. Kalau begitu
kita akan latihan merapihkan tempat tidur dan mencuci piring besok pukul
09.00 setelah makan pagi, ibu mau dimana? Baiklah bu! Ibu mau sampai
jam berapa bu?” sampai jumpa besok lagiya bu
“Wassalamualaikum.wr.wb
Daftar Pustaka

Damaiyanti, Mukhripah. Iskandar. 2014. Asuhan Keperawatan Jiwa.Cetakan Kedua. Bandung:


PT. Refika Aditama.Dermawan dan Rusdi. 2014. Keperawatan Jiwa: Konsep dan
Kerangka Kerja Asuhan Keperawatan Jiwa. Yogyakarta: Gosyen Publishing

Direja. A. H. S. (2011). Buku Ajar Asuhan Keperawatan Jiwa. Edisi I. Yogyakarta : Nuha
Medika.

Nita Fitria. 2009. Prinsip Dasar dan Aplikasi Penulisan Laporan Pendahuluan dan Strategi
Pelaksanaan Tindakan Keperawatan untuk 7 Diagnosis Keperawatan Jiwa Berat. Jakarta:
Salemba Medika.

Prabowo, Eko. 2014. Konsep & Aplikasi Asuhan Keperawatan Jiwa.Yogyakarta: Nuha Medika.
Wijayaningsih, Sari Kartika. 2015. Panduan Lengkap Praktik Klinik KeperawatanJiwa. Cetakan
Pertama. Jakarta: CV. Trans Info Media.

Anda mungkin juga menyukai