Anda di halaman 1dari 68

USULAN PENELITIAN SKRIPSI

UNIVERSITAS ANDALAS

ANALISIS SPASIAL STRUKTURAL DETERMINAN DENGAN


KEJADIAN TB PARU DI KABUPATEN DHARMASRAYA
TAHUN 2014-2018

Oleh:
PRICILIA SEPTIANA
No. BP. 1711216034

Diajukan Sebagai Salah Satu Syarat Untuk Melaksanakan


Penelitian Skripsi Sarjana Kesehatan Masyarakat

FAKULTAS KESEHATAN MASYARAKAT


UNIVERSITAS ANDALAS
TAHUN 2019
PERNYATAAN PENGESAHAN

DATA MAHASISWA:
Nama Lengkap : Pricilia Septiana
Nomor Buku Pokok : 1711216034
Tanggal Lahir : 30 September 1989
Tahun Masuk : 2017
Peminatan : Epidemiologi dan Biostatistik
Nama Pembimbing Akademik : DR.Syafrawati,SKM.M.Comm Health Sc
Nama Pembimbing I : Defriman Djafri,SKM,MKM,PhD
Nama Pembimbing II : Vivi Triana, SKM, MPH

JUDUL PENELITIAN:
ANALISIS SPASIAL STRUKTURAL DETERMINAN DENGAN KEJADIAN
TB PARU DI KABUPATEN DHARMASRAYA TAHUN 2014-2018
Menyatakan bahwa yang bersangkutan telah memenuhi persyaratan akademik
dan administrasi untuk mengikuti ujian usulan penelitian skripsi Fakultas
Kesehatan Masyarakat Universitas Andalas.

Padang, Desember 2019

Mengetahui, Mengesahkan,
Ketua Departemen Epidemiologi & Biostatistik Prodi. S1 Kesehatan Masyarakat
Fakultas Kesehatan Masyarakat Fakultas Kesehatan Masyarakat
Universitas Andalas Universitas Andalas

Vivi Triana, SKM, MPH Ade Suzana Eka Putri, PhD


NIP. 197602042005012002 NIP. 198106052006042001
PERNYATAAN PERSETUJUAN PEMBIMBING

ANALISIS SPASIAL STRUKTURAL DETERMINAN DENGAN


KEJADIAN TB PARU DI KABUPATEN DHARMASRAYA
TAHUN 2014-2018

Oleh :
PRICILIA SEPTIANA
No. BP : 1711216034

Usulan penelitian skripsi ini telah diperiksa, disetujui dan siap untuk
dipertahankan dihadapan tim penguji proposal penelitian skripsi
Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Andalas

Padang, Desember 2019

Menyetujui

Pembimbing I Pembimbing II

Defriman Djafri, SKM,MKM,PhD Vivi Triana, SKM, MPH


NIP. 198008052005011004 NIP. 197602042005012002
PERNYATAAN TIDAK PLAGIAT

Yang bertanda tangan dibawah ini, saya :


Nama Lengkap : Pricilia Septiana
Nomor Buku Pokok : 1711216034
Tanggal Lahir : 30 September 1989
Tahun Masuk : 2017
Peminatan : Epidemiologi dan Biostatistik
Nama Pembimbing Akademik : DR.Syafrawati,SKM.M.Comm Health Sc
Nama Pembimbing I : Defriman Djafri, SKM,MKM,PhD
Nama Pembimbing II : Vivi Triana, SKM, MPH

Menyatakan bahwa saya tidak melakukan kegiatan plagiat dalam penulisan


usulan skripsi saya yang berjudul :
“ANALISIS SPASIAL STRUKTURAL DETERMINAN DENGAN KEJADIAN
TB PARU DI KABUPATEN DHARMASRAYA TAHUN 2014-2018”
Apabila suatu saat nanti terbukti saya melakukan tindakan plagiat, maka saya
akan menerima sanksi yang telah ditetapkan.

Demikian surat pernyataan ini saya buat dengan sebenar-benarnya.

Padang, Desember 2019

Materei Rp. 6000

Pricilia Septiana
No. BP : 1711216034
KATA PENGANTAR

Puji syukur penulis ucapkan kehadirat Allah SWT yang telah memberikan
Rahmat dan Karunia-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan Proposal dengan
judul “Analisis Spasial Struktural Determinan Dengan Kejadian TB Paru Di
Kabupaten Dharmasraya Tahun 2014-2018”. Dalam proses penyelesaian Proposal
ini tidak lepas dari pihak-pihak yang telah membantu dan mendukung penulis
untuk tetap yakin dan bisa menyelesaikan Proposal ini. Pada kesempatan ini
penulis mengucapkan terima kasih kepada yang terhormat :
1. Bapak Defriman Djafri, SKM, MKM, Ph.D selaku Dekan Fakultas
Kesehatan Masyarakat Universitas Andalas Padang sekaligus sebagai
dosen pembimbing 1 yang telah memberikan bimbingan, saran serta
masukan kepada penulis.
2. Ibuk Ade Suzana Eka Putri, PhD selaku Kepala Program Studi Ilmu
Kesehatan Masyarakat Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas
Andalas.
3. Ibuk Vivi Triana, SKM, MKH sebagai dosen pembimbing 2 yang telah
memberikan bimbingan, saran serta masukan kepada penulis.
4. Semua pihak yang telah membantu dalam penyusunan proposal ini.
Penulis menyadari bahwa proposal ini masih jauh dari kesempurnaan.
Oleh karena itu, dengan segala kerendahan hati penulis mengharapkan kritik dan
saran yang sifatnya membangun demi kesempurnaan yang akan datang.
Penulis berharap semoga proposal ini bermanfaat bagi semua pihak yang
membutuhkannya. Semoga semua bantuan, bimbingan, semangat dan amal
kebaikan yang telah diberikan dijadikan amal shaleh dan diridhoi Allah SWT.
Amin
Padang, Desember 2019

Penulis
DAFTAR ISI
Halaman
PERNYATAAN PERSETUJUAN PEMBIMBING
PERNYATAAN PENGESAHAN
PERNYATAAN TIDAK PLAGIAT
KATA PENGANTAR..............................................................................................i
DAFTAR ISI..........................................................................................................iii
DAFTAR TABEL...................................................................................................iv
DAFTAR GAMBAR...............................................................................................v
DAFTAR ISTILAH................................................................................................vi
BAB 1 : PENDAHULUAN.....................................................................................1
1.1 Latar Belakang......................................................................................1
1.2 Perumusan Masalah..............................................................................5
1.3 Tujuan...................................................................................................6
1.1 Manfaat.................................................................................................7
1.2 Ruang Lingkup......................................................................................7
BAB 2 : TINJAUAN PUSTAKA............................................................................8
2.1 Tuberculosis........................................................................................8
2.2 Gejala TB..........................................................................................18
2.3 Cara Penularan..................................................................................19
2.4 Resiko Penularan..............................................................................20
2.5 Pencegahan TB................................................................................20
2.6 Pengobatan & Pencegahan dengan INH...........................................22
2.7 Penanggulangan TB..........................................................................23
2.8 Determinan Sosial.............................................................................23
2.9 Sistem Informasi Geografi................................................................27
2.10 Analisis Spasial...............................................................................29
2.11 Telaah Sistematis..............................................................................33
2.12 Kerangka Teori.................................................................................37
2.13 Kerangka Konsep..............................................................................38
2.14 Hipotesis Penelitian..........................................................................39
BAB 3 : METODE PENELITIAN........................................................................40
3.1 Jenis Penelitian....................................................................................40
3.2 Waktu & Tempat Penelitian................................................................40
3.3 Populasi & Sampel..............................................................................40
3.4 Defenisi Operasional...........................................................................41
3.5 Teknik Pengumpulan Data..................................................................43
3.6 Teknik Pengolahan Data.....................................................................43
3.7 Teknik Analisis Data...........................................................................44
DAFTAR PUSTAKA
DAFTAR TABEL

Tabel 2.1 Telaah Sistematis...................................................................................40


Tabel 3.1 Defenisi Operasional..............................................................................41
DAFTAR GAMBAR
DAFTAR ISTILAH

1. WHO : World Health Organization

2. TB : Tuberculosis

3. HBC : High Burden Country

4. OAT : Obat Anti TB

5. BTA : Basil Tahan Asam

6. BPS : Badan Pusat Statistik

7. ISTC : International Standard For Tuberculosis Care

8. DTPK : Daerah Tertinggal, Perbatasan dan Kepulauan

9. CDR : Case Detection Rate

10. CNR : Case Notification Rate

11. PMO : Pemantau Minum Obat

12. PHBS : Perilaku Hidup Bersih dan Sehat

13. SIG : Sistem Informasi Geografi

14. Spasial : Secara Kewilayahan


BAB I : PENDAHULUAN

I.1 Latar Belakang

Penyakit Tuberculosis (TB) masih menjadi salah satu masalah kesehatan

masyarakat dunia. Hal ini ditunjukan bahwa sejak tahun 1992, Tuberculosis (TB)

sudah menjadi emergency oleh World Health Organization (WHO). Menurut

WHO, Tuberculosis (TB) disebabkan oleh bakteri Mycobacterium Tuberculosis

yang mempengaruhi paru-paru. Tuberculosis ini dapat diobati dan dapat dicegah.

Peraturan Kementrian Kesehatan RI No 67 Tahun 2016 menyatakan Tuberkulosis

adalah suatu penyakit menular yang disebabkan oleh kuman Mycobacterium

tuberculosis yang dapat menyerang paru maupun organ lainnya (1).

Menurut WHO angka insiden tuberculosis (TB) pada tahun 2016 sebesar

120 per 100.000 penduduk dan meningkat di tahun 2017 yaitu 319 per 100.000

penduduk dengan angka kematian penderita Tuberculosis 40 per 100.000


(2)
penduduk , tuberculosis tetap menjadi 10 penyebab kematian tertinggi didunia

dan kematian Tuberculosis secara Global diperkirakan 1,3 juta Pasien (3).

Badan kesehatan dunia mendefenisikan negara dengan beban

tertinggi/High Burden Countries (HBC) untuk TB diantara 3 indikator yaitu TB,

TB/HIV dan MDR-TB, ada 48 negara yang termasuk masuk kedalam daftar

tersebut. Satu negara dapat masuk dalam salah satuatau keduanya, juga bisa

masuk dalam 3 indikator. Indonesia dengan 13 negara lainnya masuk dalam daftar

HBC untuk ketiga indikator tersebut, artinya Indonesia mempunyai masalah besar

dalam menanggulangi penyakit TB . Indonesia merupakan salah satu negara yang


2

mempunyai beban Tuberculosis yang terbesar diantara 8 negara lainnya yaitu

India (27%), China (9%), Indonesia (8%), Philipina (6%), Pakistan (5%), Nigeria

(4%), Bangladesh (4%) dan Afrika selatan (3%) (3).

Berdasarkan profil kesehatan Indonesia Tahun 2018 menyatakan Target

prevalensi Tuberculosis tahun 2017 tertuang dalam RPJM sebesar 262 per

100.000 penduduk dengan capaian sebesar 254 per 100.000 penduduk, dan pada

tahun 2018 target dalam RPJM menurun 254 per 100.000 penduduk dengan

capaian sebesar 250 per 100.000 penduduk. Jumlah kasus Tuberculosis pada

tahun 2018 ditemukan sebanyak 566.623 kasus, ini meningkat bila dibandingkan

semua kasus Tuberculosis yang ditemukan tahun 2017 sebesar 446.732 kasus.

Jumlah kasus tertinggi terdapat diprovinsi dengan jumlah penduduk yang besar

yaitu Jawa Barat, Jawa Timur, dan Jawa Tengah. Kasus Tuberculosis di tiga

provinsi tersebut sebesar 44% dari Jumlah seluruh kasus tuberculosis di indonesia
(4)
. Jumlah kasus tuberculosis pada laki-laki lebih tinggi dari pada perempuan yaitu

1,3 kali dibandingkan perempuan. Kasus tuberculosis terbanyak ditemukan pada

kelompok umur 45-54 tahun yaitu sebesar 14,2 % diikuti kelompok umur 25-23

tahun sebesar 13,8% dan pada kelompok umur 35-44 tahun sebesar 13,4%.

Untuk Case Detection Rate (CDR) kasus tuberculosis tahun 2018 sebesar

67,2% dan angka ini meningkat dibandingkan dengan tahun 2017 yang sebesar

52,6%. Untuk angka Notifikasi semua kasus/CNR pada tahun 2018 sebesar 214

per 100.000 penduduk meningkat dibandingkan dengan tahun 2017 sebesar 169

per 100.000 penduduk (4). Pada tahun 2018 angka keberhasilan pengobatan semua

kasus tuberculosis sebesar 84,6%, angka kesembuhan semua kasus yang harus
3

dicapai minimal 85%, sedangkan angka keberhasilan pengobatan semua kasus


(4)
minimal 90% .Tahun 2017 insiden TB sebesar 131.65 per 100.000 penduduk

atau sekitar 6.852 kasus disemua tipe, insidens kasus baru TB BTA positif

sebesar 4.597 per 100.000 penduduk atau sekitar 5.258 kasus baru TB paru BTA

positif. Jumlah kasus TB yang banyak ditemukan adalah pada kabupaten/kota

Pasaman Barat, Padang Pariaman, Pesisir Selatan, 50 Kota, Agam dan

Dharmasraya (6).

Kabupaten Dharmasraya sendiri Merupakan pemekaran dari Kabupaten

Sawahlunto Sijunjung, dengan Jumlah Penduduk tahun 2016 sebanyak 229.304

jiwa, meningkat pada tahun 2017 yaitu 235.476 jiwa begitu juga pada tahun 2018

meningkat sebanyak 241.571 jiwa yang tersebar di 11 kecamatan yang ada di

Kabupaten Dharmasraya. Untuk kasus TB paru di kabupaten dharmasraya pada

tahun 2016 ditemukan sebanyak 333 kasus dan mengalami peningkatan pada

tahun 2017 yaitu sebanyak 405 kasus TB yang ditemukan serta angka ini

mengalami penurunan ditahun 2018 sebanyak 207 kasus. Untuk hasil pengobatan

lengkap kasus TB pada tahun 2016 sebesar 51,1%, dan mengalami penurunan

tahun 2017 sebesar 44,2%. dari masing-masing type TB, untuk TB Terkonfirmasi

Bakteriologis mengalami penurunan tiga tahun terakhir yaitu pada tahun 2016

(57,7%), tahun 2017 (53,6%), tahun 2018 (32,7%). Berdasarkan laporan Dinas

Kesehatan Kabupaten Dharmasraya proporsi TB Paru BTA Positif diantara yang

suspek berkembang secara fluktuatif, yaitu pada tahun 2016 Jumlah BTA positif
(7)
8%, tahun 2017 sebesar 7,7% dan ditahun 2018 turun menjadi 4,2% . Hal ini

membuktikan bahwa TB masih menjadi masalah kesehatan di Kabupaten


4

Dharmasrya yang memerlukan perhatian khusus untuk eliminasi kasus TB tahun

2035 dan Indonesia bebas TB tahun 2050 mendatang, dengan meningkatkan

koordinasi baik lintas program maupun lintas sektor terkait serta tidak lepas pula

pada peran serta masyarakat dalam pencegahan dan penanggulangan TB Paru

khususnya di 11 Kecamatan yang ada di Kabupaten Dharmasraya.

Adapun beberapa penanganan kasus dalam penanggulangan Tuberculosis

yang dapat dilakukan yaitu promosi kesehatan, investigasi kontak, pengobatan &

penanganan efek samping di Fasilitas Pelayanan Kesehatan, Pengawasan

Kepatuhan Menelan Obat (PMO), pemantauan kemajuan pengobatan dan hasil

pengobatan serta pelacakan kasus mangkir. Selain itu masyarakat dapat berperan

aktif dalam upaya penanggulangan tuberculosis antara lain, mempraktekan

Perilaku Hidup Bersih dan Sehat (PHBS), mengupayakan tidak terjadinya stigma

dan diskriminasi terhadap kasus TB di masyarakat, membentuk dan

mengembangkan warga peduli Tuberculosis dan memastikan warga yang terduga

TB memeriksakan diri ke Fasilitas Pelayanan Kesehatan. Ada berbagai faktor

yang mempengaruhi kejadian Tuberculosis dimasyarakat diantaranya adalah

struktural determinan seperti kepadatan penduduk, kondisi rumah sehat, serta

fasilitas pelayanan kesehatan yang berakibat pada tinggi rendahnya resiko

masyarakat terjangkit TB (1).

Berdasarkan paparan diatas dapat disimpulkan bahwa kejadian TB Paru di

Kabupaten Dharmasraya jika dibedakan berdasarkan tahun selalu mengalami

fluktuasi data dari tahun 2014-2018. Selain itu jika dibedakan berdasarkan

kecamatan untuk kasus TB terbanyak ada pada kecamatan koto baru, kecamatan
5

pulau punjung dan diikuti oleh kecamatan sungai rumbai. Berdasarkan Profil

Dinas Kesehatan Kabupaten Dharmasraya tahun 2014-2018 jumlah penemuan

kasus TB yaitu pada kecamatan koto baru (148 per 100.000 penduduk),

kecamatan Pulau punjung (129 per 100.000 penduduk) dan kecamatan sungai

rumbai (75 per 100.000 penduduk) (7).

Penelitian Sebelumnya dilakukan fitri wulandari tahun 2012

menyatakan bahwa ada hubungan kepadatan penduduk dengan kejadian TB paru

di jakarta selatan pada tahun 2006-2010. Menurut Penelitian Fahrudin secara

spasial kepadatan penduduk dan fasilitas pelayanan kesehatan mikroskopis

berpengaruh terhadap TB Pru BTA (+) di kecamatan tebet, penelitian lain dari

david simbolon juga menyebutkan, pekerjaan, status gizi, status merokok dan

riwayat kontak berhubungan dengan kejadian TB Paru. Sementara penelitian

Alfreda menyebutkan bahwa ada hubungan antara pendidikan, akses pelayanan

kesehatan, dan dukungan keluarga dalam pemanfaatan pelayanan kesehatan

penderita TB Paru. Dan menurut penelitian wahyu ada hubungan antara tingkat

pendidikan dengan kejadian TB paru di Dharmasraya, hal ini sejalan dengan

penelitain Dyah wulan.

Perilaku Kesehatan adalah suatu respon seseorang terhadap stimulus

atau objek yang berkaitan dengan yang sakit dan penyakit, sistem layanan

kesehatan, makanan dan minuman serta lingkungan. Faktor Yang berhubungan

dengan perilaku manusia agak sulit dibatasi karena perilaku manusia merupakan
(9)
hasil dari interaksi beberapa faktor internal dan eksternal . Menurut Lawrence

Green mengatakan bahwa perilaku terbentuk karna kombinasi dari 3 faktor utama
6

yakni Faktor Predisposisi (predisposing factor), Faktor pendukung (Enabling

Factor), serta Faktor pendorong (Reinforcing Factor).

Dengan teori tersebut dapat dianalisis beberapa masalah terkait kejadian

TB Paru yang ada di Kabupaten Dharmasraya seperti pada tingkat kepadatan

penduduk disetiap wilayah di 11 kecamatan yang ada, rumah sehat yang

memenuhi syarat pada tahun 2014-2018 mengalami kenaikan 5 tahun terakhir

yaitu dari 60,7%, 63,9%, 63,9%, 66,93%, 67,36%. Untuk fasilitas pelayanan

kesehatan seperti rumah sakit, puskesmas serta klinik atau balai kesehatan

meningkat dalam 5 tahun terakhir yang tersebar di 11 kecamatan yang ada di

kabupaten dharmasraya. Sementara untuk kepadatan penduduk pada tahun 2014-

2018 mengalami kenaikan yang signifikan dengan kecamatan yang tingkat

kepadatan penduduknya tinggi adalah di kecamatan sungai rumbai, kecamatan

sitiung serta diikuti oleh kecamatan koto baru dari 11 kecamatan yang ada. Hal ini

menyebabkan kejadian TB paru di Kabupaten Dharmasraya berkembang secara

fluktuatif, oleh karna itu perlunya analisis spasial untuk menggambarkan

distribusi kejadian TB paru di 11 kecamatan yang ada di kabupaten dharmasraya

dengan variabel independen kepadatan penduduk, rumah sehat serta fasilitas

pelayanan kesehatan.

Analisis spasial merupakan hal yang penting dilakukan agar segala

permasalahan di wilayah kerja dapat diketahui serta diselesaikan dengan upaya

melaksanakan program promotif preventif serta pergerakan kebijakan yang dapat

meningkatkan penemuan kasus atau investigasi kontak dan dapat menurunkan

kejadian TB paru diwilayah Kabupaten Dharmasraya.


7

Analisis Spasial juga merupakan suatu analisis dan uraian tentang data

penyakit secara geografi berkenaan dengan distribusi kependudukan, persebaran

faktor resiko lingkungan, ekosistem, sosial ekonomi serta analisis hubungan antar

variabel tersebut. Kejadian penyakit dapat dikaitkan dengan berbagai objek yang

dimiliki ataupun kejadian didalam sebuah keruangan atau pada titik tertentu serta

dapat dihubungkan pula dengan peta dan ketinggian (10).

Adapun Tujuan dari penelitian ini adalah untuk melihat bagaimana

distribusi kejadian TB Paru di Kabupaten Dharmasraya Tahun 2014-2018

berdasarkan struktural determinan kepadatan penduduk, rumah sehat serta fasilits

pelayanan kesehatan serta mengetahui wilayah mana saja yang beresiko terkena

TB Paru Tahun 2014-2018 di Kabupaten Dharmasraya.

1.2 Perumusan Masalah

Penyakit TB Paru ialah salah satu penyakit menular yang menjadi

permasalahan di Indonesia maupun di Provinsi Sumatera Barat dan tak terkecuali

di Kabupaten Dharmasraya, hal ini dibuktikan dari angka kejadian TB Paru di

Dharmasraya selama 5 tahun terakhir berkembang secara fluktuatif yang

dibedakan berdasarkan kecamatan. Untuk itu, maka diperlukan analisis secara

spasial untuk melihat gambaran distribusi kejadian TB Paru yang ditinjau dari

kepadatan penduduk, rumah sehat, dan fasilitas pelayanan kesehatan. Oleh karena

itu rumusan masalah dalam penelitian ini adalah Bagaimana Distribusi kejadian

TB Paru secara spasial di Kabupaten Dharmasraya Tahun 2014-2018 dengan


8

struktural determinan (kepadatan penduduk, rumah sehat serta fasilitas pelayanan

kesehatan) serta wilayah mana yang beresiko untuk terkena TB paru?

1.3 Tujuan Penelitian

1.3.1 Tujuan Umum

Untuk mengetahui Distribusi kejadian TB Paru secara spasial di

Kabupaten Dharmasraya Tahun 2014-2018 dengan struktural determinan

(kepadatan penduduk, rumah sehat serta fasilitas pelayanan kesehatan) serta

wilayah mana yang beresiko untuk terkena TB paru.

1.3.2 Tujuan Khusus

1. Untuk mengetahui distribusi frekuensi kejadian TB Paru di Kabupaten

Dharmasraya Tahun 2014-2018

2. Untuk mengetahui distribusi frekuensi kepadatan penduduk di Kabupaten

Dharmasraya Tahun 2014-2018

3. Untuk mengetahui distribusi frekuensi Rumah Sehat di Kabupaten

Dharmasraya Tahun 2014-2018

4. Untuk mengetahui distribusi frekuensi fasilitas pelayanan kesehatan di

Kabupaten Dharmasraya Tahun 2014-2018

5. Untuk Mengetahui hasil analisis secara spasial kepadatan penduduk dengan

kejadian TB Paru di di Kabupaten Dharmasraya Tahun 2014-2018

6. Untuk Mengetahui hasil analisis secara spasial rumah sehat dengan kejadian

TB Paru di di Kabupaten Dharmasraya Tahun 2014-2018


9

7. Untuk Mengetahui hasil analisis secara spasial fasilitas pelayanan kesehatan

dengan kejadian TB Paru di Kabupaten Dharmasraya Tahun 2014-2018

1.4 Manfaat Penelitian

1.4.1 Manfaat Teoritis

1. Bagi Fakultas Kesehatan Masyarakat untuk menambah referensi

mengenai Analisis Spasial struktural determinan dengan kejadian

TB.

2. Menambah wawasan dan pengetahuan peneliti dalam analisis

spasial struktural determinan dengan kejadian TB.

3. Sebagai pedoman bagi peneliti selanjutnya yang ingin melakukan

penelitian lebih lanjut

1.4.2 Manfaat Praktis

1. Bagi Instansti

Diharapkan hasil penelitian ini dapat menjadi bahan informasi dan

masukan bagi pemegang program TB, dan sebagai bahan acuan untuk

meningkatkan penemuan kasus dan deteksi dini dari kasus TB, serta sebagai

bahan evaluasi bagi program kebijakan kesehatan dalam meningkatkan kualitas

pelayanan dan pengobatan kejadian TB agar lebih baik lagi

2. Bagi Masyarakat
10

Sebagai informasi tambahan untuk masyarakat agar dapat meningkatkan

pengetahuan dan wawasan masyarakat serta memperbaiki persepsi yang salah

tentang TB, ataupun kesadaran untuk memeriksakan diri ke pelayanan kesehatan

lebih dini.

1.5 Ruang Lingkup Penelitian

Sesuai dengan judul dan keterangan diatas mengingat ketersediaan waktu,

biaya serta tenaga maka penulis membatasi ruang lingkup penelitian ini pada

Analisis Spasial struktural determinan dengan kejadian TB di Kabupaten

Dharmasraya Tahun 2014-2018, dengan variabel Independen kepadatan

penduduk, rumah sehat, serta fasilitas pelayanan kesehatan, variabel dependen

yaitu kejadian TB paru.


BAB II : TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Tuberculosis

2.1.1 Pengertian Tuberculosis

Penyakit Tuberculosis (TB) masih menjadi salah satu masalah kesehatan

masyarakat dunia. Hal ini ditunjukan bahwa sejak tahun 1992, Tuberculosis (TB)

sudah menjadi emergency oleh World Health Organization (WHO). Menurut

WHO, Tuberculosis (TB) disebabkan oleh bakteri Mycobacterium Tuberculosis

yang mempengaruhi paru-paru. Tuberculosis ini dapat diobati dan dapat dicegah.

Peraturan Kementrian Kesehatan RI No 67 Tahun 2016 menyatakan Tuberkulosis

adalah suatu penyakit menular yang disebabkan oleh kuman Mycobacterium

tuberculosis yang dapat menyerang paru dan organ lainnya (1).

2.1.2 Epidemiologi Tuberculosis

Tuberkulosis (TB) hingga saat ini masih merupakan salah satu masalah

kesehatan masyarakat di dunia meskipun upaya penanggulangan TB telah

dilaksanakan di berbagai negara sejak tahun 1995 (1).

Berdasarkan laporan WHO tahun 2015, diglobal diperkirakan 9,6 juta

kasus baru TB dengan 3,2 juta kasus pada perempuan. sebanyak 1,5 juta kematian

karena TB dimana 480.000 kasus adalah pada perempuan. Dari kasus tersebut

ditemukan 1,1 juta (12%) HIV positif dengan jumlah kematian 320.000 orang

(140.000 orang adalah perempuan) dan 480.000 TB Resistan Obat (TB-RO)

11
12

dengan kematian 190.000 orang. Dari 9,6 juta kasus TB baru,1 juta kasus TB

Anak (di bawah usia 15 tahun) dan 140.000 kematian/tahun (1).

Kasus TB di Indonesia tahun 2015 menurut Laporan WHO, diperkirakan

ada 1 juta kasus TB baru pertahun (399 per 100.000 penduduk) dengan 100.000

kematian pertahun (41 per 100.000 penduduk). Dengan 63.000 kasus TB HIV

positif (25 per 100.000 penduduk). Angka Notifikasi Kasus (Case Notification

Rate/CNR) semua kasus, sebanyak 129 per 100.000 penduduk. Seluruh kasus

berjumlah 324.539 kasus, diantaranya 314.965 adalah kasus baru. Perkiraan

prevalensi HIV diantara pasien TB Secara nasional adalah sebesar 6,2%,

perkiraan jumlah kasus TB-RO sebanyak 6700 kasus yang berasal dari 1,9%

kasus TB-RO dari kasus baru TB dan ada 12% kasus TB-RO dari TB pada

pengobatan ulang.

Beberapa penyebab yang mempengaruhi meningkatnya beban TB adalah :

1. Belum optimalnya pelaksanaan program TB selama ini diakibatkan karena

masih kurangnya komitmen pelaksana pelayanan, pengambil kebijakan, dan

pendanaan untuk operasional, bahan serta sarana prasarana.

2. Belum maksimalnya tata laksana TB terutama di fasilitas pelayanan kesehatan

serta masih ada yang belum menerapkan layanan TB sesuai dengan standar

pedoman nasional dan ISTC seperti penemuan kasus atau diagnosis, panduan

obat yang sesuai standar, pemantauan pengobatan, pencatatan dan pelaporan

yang baku tidak dilakukan.

3. Masih kurangnya keterlibatan lintas program dan lintas sektor dalam

penanggulangan TB baik kegiatan maupun pendanaan.


13

4. Belum semua masyarakat dapat mengakses layanan TB khususnya di Daerah

Terpencil, Perbatasan dan Kepulauan (DTPK), serta daerah risiko tinggi seperti

daerah kumuh di perkotaan, pelabuhan, industri, lokasi permukiman padat

seperti pondok pesantren, asrama, barak dan lapas atau rutan.

5. Belum maksimalnya tatalaksana TB sesuai dengan standar baik dalam

penemuan kasus atau diagnosis, paduan obat, pemantauan pengobatan,

pencatatan dan pelaporan.

6. Besarnya masalah kesehatan lain yang bisa berpengaruh terhadap risiko

terjadinya TB secara signifikan seperti HIV, gizi buruk, diabetes mellitus,

merokok, serta keadaan lain yang menyebabkan penurunan daya tahan tubuh.

7. Semakin tingginya jumlah kasus TB Resistant Obat (TB-RO) yang akan

meningkatkan pembiayaan program TB.

8. Faktor sosial seperti besarnya angka pengangguran, rendahnya tingkat

pendidikan dan pendapatan per kapita, kondisi sanitasi, papan, sandang dan

pangan yang tidak memadai yang berakibat pada tingginya risiko masyarakat

terjangkit TB.

berdasarkan laporan WHO tahun 2015, Indonesia berhasil menurunkan

angka kesakitan dan kematian akibat TB bila dibandingkan dengan tahun 1990.

prevalensi TB pada tahun 1990 sebesar > 900 per 100.000 penduduk, di tahun

2015 menjadi 647 per 100.000 penduduk. Dari indikator MDG’s untuk TB di

indonesia saat ini baru tercapai pada target penurunan angka insidens.

Jumlah kasus TB paru di indonesia sebanyak 420.994 kasus pada tahun

2017 (data per 17 mei 2018). berdasarkan jenis kelamin, jumlah kasus TB tahun
14

2017 pada laki-laki 1,4 kali lebih besar dibandingkan pada perempuan. Bahkan

hasil survei prevalensi tuberculosis prevalensi pada laki-laki 3 kali lebih tinggi

dibandingkan pada perempuan. Begitu juga terjadi dinegara lain. Hal ini terjadi

kemungkinan karna laki-laki lebih terpapar pada faktor resiko TB misalnya

merokok dan kurang patuhnya dalam minum obat. Dan survei ini menemukan

bahwa dari seluruh partisipan laki-laki yang merokok sebanyak 68,5% dan hanya

3,7% partisipan perempuan yang merokok (4)

2.1.3 Etiologi Tuberculosis

Penyebab infeksi adalah Mycobacterium Tuberculosis, kompleks ini

termasuk Mycobacterium Tuberculosis dan Mycobacterium Africanum terutama

berasal dari manusia dan Mycobacterum Bovis yang berasal dari sapi.

Mycobacteria lain biasanya menimbulkan gejala klinis yang sulit dibedakan

dengan tuberculosis. Etiologi penyakit ini dapat di identifikasi dengan kultur,

analisis genetic sequence dengan menggunakan teknik PCR sangat membantu

identifikasi non kultur (17).

Kuman ini berbentuk batang berukuran panjang 1-4 mikron dan tebal 0,3-

0,6 mikron, mempunyai sifat khusus yaitu tahan terhadap asam pada pewarnaan,

oleh karena itu disebut sebagai Basil Tahan Asam (BTA). Kuman ini cepat mati

dengan sinar matahari langsung, tetapi dapat bertahan hidup beberapa jam

ditempat yang gelap dan lembab. Dalam jaringan tubuh, kuman ini dapat dormant

atau tertidur lama dalam beberapa tahun (17).


15

2.1.4 Klasifikasi Tuberculosis

Selain dari pengelompokan pasien sesuai definisi tersebut datas,

pasien juga diklasifikasikan menurut (1):

a. Klasifikasi berdasarkan lokasi anatomi dari penyakit :

1) Tuberkulosis paru

TB yang ada pada parenkim (jaringan) paru, apabila pasien yang

menderita TB paru sekaligus menderita TB ekstra paru

diklasifikasikan sebagai pasien TB paru.

2) Tuberkulosis ekstraparu

TB yang terjadi pada organ selain paru, misalnya pada pleura,

abdomen, kelenjar limfe, saluran kencing, kulit, sendi, selaput otak

dan tulang. Limfadenitis TB pada rongga dada (hilus dan atau

mediastinum) atau efusi pleura tanpa didapati gambaran radiologis

yang mendukung TB pada paru, disebut sebagai TB ekstra paru.

Diagnosis TB ekstra paru bisa ditetapkan berdasarkan hasil

pemeriksaan bakteriologis maupun klinis. Diagnosis TB ekstra

paru diupayakan secara bakteriologis dengan ditemukannya

Mycobacterium tuberculosis. Jika proses TB terdapat dibeberapa

organ, penyebutan disesuaikan dengan organ yang terkena proses

TB terberat.
16

b. Klasifikasi berdasarkan riwayat pengobatan sebelumnya:

1) Pasien baru TB merupakan pasien yang belum pernah mendapatkan

pengobatan sebelumnya atau sudah pernah menelan OAT namun kurang

dari 1 bulan (˂ dari 28 dosis).

2) Pasien yang pernah diobati TB merupakan pasien yang sebelumnya

pernah menelan OAT selama 1 bulan atau lebih (≥ dari 28 dosis).

Selanjutnya Pasien inidiklasifikasikan berdasarkan hasil pengobatan TB

terakhir, yaitu:

a) Pasien kambuh adalah pasien TB yang pernah dinyatakan sembuh

atau pengobatan lengkap dan saat ini didiagnosis TB berdasarkan

hasil pemeriksaan bakteriologis atau klinis (baik karena benar-

benar kambuh atau karena reinfeksi).

b) Pasien yang diobati kembali setelah gagal adalah pasien TB yang

pernah diobati dan dinyatakan gagal pada pengobatan terakhir.

c) Pasien yang diobati kembali setelah putus berobat (lost to follow-

up) adalah pasien yang pernah diobati dan dinyatakan lost to follow

up. (Klasifikasidisebut sebagai pengobatan pasien setelah putus

berobat /default).

d) Yang lainnya merupakan pasien TB yang pernah diobati namun

hasil akhir pengobatan sebelumnya tidak diketahui.

3) Pasien yang riwayat pengobatan sebelumnya tidak diketahui Adalah

pasien TB yang tidak masuk pada kelompok 1 maupun 2.


17

c. Klasifikasi berdasarkan hasil pemeriksaan uji kepekaan obat Pengelompokan

pasien disini berdasarkan hasil uji kepekaan contoh uji Mycobacterium

tuberculosis terhadap OAT dan dapat berupa:

1) Mono resistan (TB MR) Mycobacterium tuberculosis resistan terhadap

salah satu jenis OAT lini pertama saja.

2) Poli resistan (TB PR) Mycobacterium tuberculosis resistan terhadap lebih

dari satu jenis OAT lini pertama selain Isoniazid (H) dan Rifampisin (R)

secara bersamaan.

3) Multi drug resistan (TB MDR) Mycobacterium tuberculosis resistan

terhadap Isoniazid (H) dan Rifampisin (R) secara bersamaan, dengan

atau tanpa diikuti resitan OAT lini pertama lainnya.

4) Extensive drug resistan (TB XDR) adalah TB MDR yang sekaligus juga

Mycobacterium tuberculosis resistan terhadap salah satu OAT golongan

fluorokuinolon dan minimal salah satu dari OAT lini kedua jenis

suntikan (Kanamisin, Kapreomisin dan Amikasin).

5) Resistan Rifampisin (TB RR) Mycobacterium tuberculosis resistan

terhadap Rifampisin dengan atau tanpa resistensi terhadap OAT lain yang

terdeteksi menggunakan metode genotip (tes cepat molekuler) atau

metode fenotip (konvensional).


18

d. Klasifikasi pasien TB berdasarkan status HIV

1) Pasien TB dengan HIV positif (pasien ko-infeksi TB/HIV) adalah pasien

TB dengan Hasil tes HIV positif sebelumnya atau sedang mendapatkan

ART atau Hasil tes HIV positifsaat diagnosis TB.

2) Pasien TB dengan HIV negatif merupakan pasien TB dengan Hasil tes

HIV negatif sebelumnya, atau Hasil tes HIV negative saat diagnosis TB.

jika pada pemeriksaan selanjutnya ternyata hasil tes HIV menjadi positif,

maka kembali disesuaikan klasifikasinya sebagai pasien TB dengan HIV

positif.

3) Pasien TB dengan status HIV yang tidak diketahui merupakan pasien TB

tanpa bukti pendukung hasil tes HIV pada saat diagnosis TB ditetapkan.

Apabila pada pemeriksaan selanjutnya diperoleh hasil tes HIV pasien,

maka harus disesuaikan kembali klasifikasinya berdasarkan hasil tes HIV

terakhir.

2.1.5 Diagnosis Tuberculosis

Gejala utama pasien TB paru adalah batuk terus menerus disertai berdahak

selama 2-3 minggu atau lebih. Batuk dapat diikuti dengan gejala tambahan yaitu

dahak bercampur dengan darah, batuk darah, badan lemas, sesak nafas, nafsu

makan menurun, berat badan berkurang, malaise, berkeringat malam hari tanpa

kegiatan fisik, demam meriang lebih dari satu bulan (27).

Pemeriksaan dahak bertujuan untuk menegakkan diagnosis, untuk menilai

keberhasilan sebuah pengobatan dan menentukan bagaimana potensi penularan.


19

Pemeriksaan sputum dalam penegakan diagnosis pada semua suspek TB

dilakukan dengan mengumpulkan 3 spesimen dahak yang dikumpulkan dalam dua

hari kunjungan yang berurutan berupa dahak Sewaktu-Pagi-Sewaktu (SPS) :

1) S (sewaktu) : Dahak dikumpulkan pada saat suspek TB datang

berkunjung pertama kali. saat pulang suspek membawa sebuah pot

dahak untuk mengumpulkan dahak pagi di hari kedua.

2) P (Pagi) : Dahak dikumpulkan di rumah pada pagi hari kedua,

segera setelah bangun tidur. Pot dibawa dan diserahkan sendiri

kepada petugas di fasilitas pelayanan kesehatan.

3) S (sewaktu) : Dahak dikumpulkan di fasilitas pelayanan kesehatan

pada hari kedua, saat menyerahkan dahak pagi.

Diagnosis TB Paru pada remaja maupun dewasa ditegakkan melalui

ditemukannya kuman TB (BTA). Untuk program TB nasional, penemuan BTA

melalui pemeriksaan dahak mikroskopis merupakan diagnosis utama.

Pemeriksaan lain diantaranya foto toraks, biakan dan uji kepekaan dapat

digunakan sebagai penunjang diagnosis sepanjang sesuai dengan indikasinya.

Tidak dibenarkan mendiagnosa TB hanya berdasarkan hasil pemeriksaan foto

toraks saja. karna tidak selalu foto toraks memberikan gambaran yang khas pada

TB paru, sehingga sering terjadi overdiagnosis. Karna gambaran kelainan

radiologik Paru tidak selalu menunjukkan aktifitas penyakit.

Indikasi pada pemeriksaan Foto Toraks di sebagian besar TB paru,

diagnosis terutama ditegakkan pada pemeriksaan dahak secara mikroskopis dan


110

tidak memerlukan foto toraks. Namun jika kondisi tertentu pemeriksaan foto

toraks perlu dilakukan sesuai dengan indikasi antara lain :

1) Pada 1 dari 3 spesimen dahak SPS hasilnya BTA positif. Pada kasus ini

pemeriksaan foto toraks dada diperlukan guna mendukung diagnosis TB

paru BTA positif.

2) Ketiga spesimen dahak hasilnya tetap negatif setelah 3 spesimen SPS pada

pemeriksaan sebelumnya hasilnya BTA negatif dan tidak ada perbaikan

setelah diberikan antibiotika non OAT(non fluoroquinolon).

3) Pasien tersebut dicurigai mengalami komplikasi sesak nafas berat yang

memerlukan penanganan khusus (seperti: pleuritis eksudativa, efusi

perikarditis atau efusi pleural, pneumotorak) dan pasien yang mengalami

hemoptisis berat (untuk menyingkirkan bronkiektasis atau aspergiloma).

Adapun diagnosis TB Ekstra Paru antara lain :

1) Gejala dan keluhan tergantung organ yang terkena, misalnya kaku kuduk

pada Meningitis TB, nyeri dada pada TB pleura (Pleuritis), pembesaran

kelenjar limfe superfisialis pada limfadenitis TB dan deformitas tulang

belakang (gibbus) pada spondilitis TB dan lain-lainnya.

2) Diagnosis sering sulit ditegakkan sementara diagnosis kerja dapat

ditegakkan berdasarkan gejala klinis TB yang kuat (presumtif) dengan

menyingkirkan kemungkinan penyakit lain. Tepat atau tidaknya diagnosis

bergantung pada metode pengambilan bahan pemeriksaan dan


111

ketersediaan alat-alat diagnostik, seperti uji mikrobiologi, patologi

anatomi, serologi, foto toraks, dan lain-lain.

Uji Tuberkulin Pada anak merupakan pemeriksaan yang paling bermanfaat

untuk menunjukkan sedang atau pernah terinfeksi Mycobacterium tuberculosis

dan sering digunakan dalam “Screening TB”. Efektifitas pada penemuan infeksi

TB dengan uji tuberkulin adalah lebih dari 90%. Penderita dengan anak berumur

kurang dari 1 tahun yang menderita TB aktif uji tuberkulin positif 100%, umur 1–

2 tahun 92%, 2–4 tahun 78%, 4–6 tahun 75%, dan umur 6–12 tahun 51%. Dari

persentase tersebut dapat diketahui bahwa semakin bertambah usia anak maka

hasil uji tuberkulin semakin kurang spesifik.

Ada berbagai cara melakukan uji tuberkulin, namun sampai sekarang cara

mantoux sangat sering digunakan. Dengan lokasi penyuntikan uji mantoux

umumnya pada ½ bagian atas lengan bawah kiri bagian depan, disuntikkan

intrakutan (ke dalam kulit). untuk penilaian uji tuberkulin dilakukan 48–72 jam

setelah penyuntikan dan diukur diameter dari pembengkakan (indurasi) yang

terjadi:

1) Pembengkakan (Indurasi) : 0–4 mm, uji tes mantoux negatif. Arti

klinisnya adalah tidak ada infeksi Mycobacterium tuberculosis.

2) Pembengkakan (Indurasi) : 5–9 mm, uji mantoux yang meragukan. Hal ini

bisa terjadi karena kesalahan teknik, reaksi silang dengan Mycobacterium

atypikal atau pasca vaksinasi BCG.


112

3) Pembengkakan (Indurasi) : >= 10 mm, uji mantoux hasil positif. Artinya

secara klinis sedang atau pernah terinfeksi Mycobacterium tuberculosis.

2.2 Gejala Tuberculosis

Gejala penyakit TB dapat terbagi menjadi gejala umum dan gejala khusus

yang timbul sesuai dengan organ yang terlibat. Gambaran secara klinis tidak

terlalu khas terutama pada kasus baru, sehingga cukup sulit untuk menegakkan

diagnosa secara klinik (27).

a. Gejala sistemik atau umum :

 Lebih dari 3 minggu mengalami batuk (dapat disertai dengan

darah)

 Demam tidak terlalu tinggi berlangsung agak lama, biasanya

dirasakan pada malam hari disertai keringat malam. Kadang-

kadang diikuti dengan influenza dan bersifat hilang timbul

 Nafsu makan dan berat badan menurun

 Perasaan yang tidak enak (malaise), lemah

b. Gejala khusus :

 Tergantung dari organ tubuh mana yang terkena, bila terjadi

sumbatan sebagian bronkus (saluran yang menuju ke paru-paru)

akibat penekanan kelenjar getah bening yang membesar, akan

menimbulkan suara “mengi”, suara nafas melemah yang disertai

sesak.
113

 Kalau ada cairan dirongga pleura (pembungkus paru-paru), dapat

disertai dengan keluhan sakit dada.

 Bila mengenai tulang, maka akan terjadi gejala seperti infeksi

tulang yang pada suatu saat dapat membentuk saluran dan

bermuara pada kulit di atasnya, pada muara ini akan keluar cairan

nanah.

 Pada anak-anak dapat mengenai otak (lapisan pembungkus otak)

dan disebut sebagai meningitis (radang selaput otak), gejalanya

adalah demam tinggi, adanya penurunan kesadaran dan kejang-

kejang.

Pada pasien anak yang tidak menimbulkan gejala, TB dapat terdeteksi

kalau diketahui adanya kontak dengan pasien TB dewasa. Kira-kira 30-50% anak

yang kontak dengan penderita TB paru dewasa memberikan hasil uji tuberkulin

positif. Pada anak usia 3 bulan – 5 tahun yang tinggal serumah dengan penderita

TB paru dewasa dengan BTA positif, dilaporkan 30% terinfeksi berdasarkan

pemeriksaan serologi atau darah.

2.3 Cara Penularan

1) Sumber penularan adalah pasien TB BTA positif.

2) Pada waktu batuk atau bersin, pasien menyebarkan kuman ke udara dalam

bentuk percikan dahak (droplet). Sekali batuk dapat menghasilkan sekitar

3000 percikan dahak.


114

3) Umumnya penularan terjadi dalam ruangan dimana percikan dahak berada

dalam waktu yang lama. Ventilasi dapat mengurangi jumlah percikan,

sementara sinar matahari langsung dapat membunuh kuman. Percikan

dapat bertahan selama beberapa jam dalam keadaan yang gelap dan

lembab.

4) Daya penularan seorang pasien ditentukan oleh banyaknya kuman yang

dikeluarkan dari parunya. Makin tinggi derajat kepositifan hasil

pemeriksaan dahak, makin menular pasien tersebut.

5) Faktor yang memungkinkan seseorang terpajan kuman TB ditentukan oleh

konsentrasi percikan dalam udara dan lamanya menghirup udara tersebut.

2.4 Resiko Penularan

1. Risiko tertular tergantung dari tingkat pajanan dengan percikan dahak.

Pasien TB paru BTA positif memberikan risiko penularan lebih besar dari

pada pasien TB paru dengan BTA negatif.

2. Setiap tahunnya risiko penularan di tunjukkan dengan Annual Risk of

Tuberculosis Infection (ARTI) yaitu jumlah proporsi penduduk yang

berisiko Terinfeksi TB selama satu tahun. ARTI 1%, berarti 10 (sepuluh)

orang diantara 1000 penduduk terinfeksi setiap tahun.

3. ARTI di Indonesia bervariasi antara 1-3% Infeksi TB dibuktikan dengan

perubahan reaksi tuberkulin negatif menjadi positif.


115

2.5 Pencegahan Tuberculosis

Salah satu upaya mencegah kesakitan atau sakit yang berat adalah dengan

memberikan kekebalan berupa vaksinasi dan pengobatan pencegahan

(profilaksis).

a. Pemberian Kekebalan (Imunisasi) BCG

Vaksin BCG (Bacille Calmette-Guérin) adalah vaksin hidup yang

dilemahkan yang berasal dari Mycobacterium bovis. Pemberian vaksinasi BCG

sesuai dengan Program Pengembangan Imunisasi diberikan pada bayi 0-2 bulan.

Vaksin BCG diberikan pada bayi > 2 bulan harus didahului dengan uji

tuberkulin. Petunjuk pemberian vaksinasi BCG mengacu pada Pedoman

Program Pemberian Imunisasi Kemenkes. Secara umum perlindungan vaksin

BCG efektif guna mencegah terjadinya TB berat seperti TB milier dan TB

meningitis yang sering didapatkan pada usia muda. Vaksinasi BCG ulang tidak

direkomendasikan karena tidak terbukti memberi perlindungan tambahan.

Perhatian khusus terhadap pemberian vaksinasi BCG yaitu :

1. Bayi terlahir dari ibu sebagai pasien TB BTA positif

Bayi yang terlahir dari ibu yang terdiagnosis TB BTA positif pada

trimester 3 kehamilan berisiko tertular ibunya melalui plasenta,

cairan amnion maupun hematogen. Sedangkan bayi yang terlahir

dari ibu pasien TB BTA positif selama masa neonatal berisiko

tertular oleh ibunya melalui percik renik. Pada kedua kondisi

tersebut bayi sebaiknya dirujuk. Vaksinasi BCG dilakukan sesuai


116

alur tata laksana bayi yang lahir dari ibu terduga TB atau ibu sakit

TB.

2. Bayi terlahir dari ibu pasien infeksi HIV/AIDS

Vaksinasi BCG tidak boleh diberikan pada bayi yang terinfeksi HIV

karena meningkatkan risiko BCG diseminata. Di daerah yang endemis

TB/HIV, bayi yang terlahir dari ibu dengan HIV positif namun tidak

memiliki gejala HIV boleh diberikan vaksinasi BCG. Bila

pemeriksaan HIV dapat dilakukan, maka vaksinasi BCG ditunda

sampai status HIVnya diketahui. Sejumlah kecil anak-anak (1-2%)

mengalami komplikasi setelah mendapatkan vaksinasi BCG.

Komplikasi paling sering diantaranya abses lokal, infeksi bakteri

sekunder, adenitis supuratif dan pembentukan keloid lokal.

Kebanyakan reaksi akan sembuh selama beberapa bulan. Pada

beberapa kasus dengan reaksi lokal persisten dipertimbangkan untuk

dilakukan rujukan. Begitu juga pada kasus dengan imunodefisiensi

mungkin memerlukan rujukan.

3. Limfadenitis BCG

Limfadenitis BCG merupakan komplikasi vaksinasi BCG yang paling

sering. Definisi limfadenitis BCG adalah pembengkakan kelenjar

getah bening satu sisi setelah vaksinasi BCG. Limfadenitis BCG dapat

timbul 2 minggu sampai 24 bulan setelah penyuntikan vaksin BCG

(sering timbul 2-4 bulan setelah penyuntikan), terdapat 2 bentuk

limfadenitis BCG, yaitu supuratif dan non supuratif. Tipe non


117

supuratif dapat hilang dalam beberapa minggu. Tipe supuratif ditandai

adanya pembekakan disertai kemerahan, edem kulit di atasnya, dan

adanya fluktuasi.

b. Meningkatkan gizi

c. Tidak membuang dahak di sembarang tempat

d. Meningkatkan kondisi lingkungan dan perumahan

e. Memberikan pengobatan pencegahan pada balita yang tidak mempunyai

gejala TB, tetapi mempunyai anggota keluarga yang terkena TB BTA

positif pengobatan pencegahan ini berguna untuk memutus mata rantai

penularan TB paru

f. Menggunakan masker

2.6 Pengobatan Pencegahan dengan INH

Salah satu upaya pencegahan TB aktif pada ODHA, pemberian pengobatan

pencegahan Isoniazid (PP INH) bisa diberikan pada ODHA yang tidak terbukti

TB aktif dan tidak ada kontra indikasi terhadap INH. Dosis yang diberikan

adalah 300 mg per hari dengan dosis maksimal 600 mg per hari, ditambah

Vitamin B6 25 mg per hari selama 6 bulan. Pemberian Pengobatan Pencegahan

dengan Isoniazid (PP INH) pada anak PP INH diberikan kepada anak umur

dibawah lima tahun (balita) yang mempunyai kontak dengan pasien TB tetapi

tidak terbukti sakit TB.

a) Dosis INH adalah 10 mg/kg BB/hari (maksimal 300 mg/hari).


118

b) Obat dikonsumsi satu kali sehari, sebaiknya pada waktu yang sama (pagi,

siang, sore atau malam) saat perut kosong (1 jam sebelum makan atau 2

jam setelah makan).

c) Lama pemberian PP INH adalah 6 bulan (1 bulan = 28 hari pengobatan),

dengan catatan bila keadaan klinis anak baik. Bila saat follow up timbul

gejala TB, lakukan pemeriksaan untuk penegakan diagnosis TB. Jika anak

terbukti sakit TB, PP INH dihentikan dan berikan OAT.

d) Obat tetap diberikan sampai 6 bulan, walaupun kasus indeks meninggal,

pindah atau BTA kasus indeks sudah menjadi negatif.

e) Dosis obat disesuaikan dengan kenaikan BB setiap bulan.

f) Pengambilan obat dilakukan pada saat kontrol setiap 1 bulan, dan dapat

disesuaikan dengan jadwal kontrol dari kasus indeks.

g) Pada pasien dengan gizi buruk atau infeksi HIV, diberikan

h) Yang berperan sebagai pengawas minum obat adalah orang tua atau

anggota keluarga pasien.

2.7 Penanggulangan Tuberculosis

1) KIE

2) Menjalin kemitraan

3) Advokasi, komunikasi, dan mobilisasi sosial (AKMS) dalam

penanggulangan TB

4) PPM (Public Private Mix)


119

2.8 Determinan Sosial Kesehatan

2.8.1 Definisi

WHO (2008) mendefinisikan determinan sosial kesehatan adalah keadaan

dimana orang dilahirkan, tumbuh, hidup dan sistem dimasukkan ke dalam tempat

untuk menangani penyakit. Keadaan ini pada gilirannya dibentuk oleh satu set

yang lebih luas dari kekuatan ekonomi, kebijakan sosial dan politik (Bradly,

2012).

2.8.2 Determinan Sosial

Menurut Queensland Health 2001 dalam framework for addresing the

social determinant of health and well being ada beberapa faktor yang

digolongkan mempengaruhi derajat kesehatan masyarakat, diantaranya

adalah faktor sosioekonomi & sosial determinan, konteks komunitas, serta

faktor individu. Adapun bagian bagiannya antara lain :

1) Sosioekonomi & struktural determinan

a. Kemiskinan

Kemiskinan merupakan keadaan di mana terjadi ketidakmampuan

untuk memenuhi kebutuhan dasar seperti makanan, pakaian, tempat

berlindung, pendidikan, dan kesehatan. Kemiskinan dapat disebabkan

karna kelangkaan alat pemenuhan kebutuhan dasar, ataupun sulitnya

akses terhadap pendidikan maupun pekerjaan.

b. Pendapatan
120

Pendapatan merupakan hasil atau upah yang diperoleh dari pekerjaan

yang dilakukan, pendapatan mempunyai hubungan yang erat dengan

status kesehatan seseorang seperti seseorang yang tidak mempunyai

kartu BPJS dalam berobat, maka akan dikenakan biaya dengan status

sebagai pasien umum, dan semakin parah tingkat kesakitan seseorang

semakin banyak orang tersebut mengeluarkan uang atau dana untuk

berobat di pelayanan kesehatan. Sehingga ada banyak masyarakat yang

berada pada kondisi seperti itu yang tidak mendapatkan pelayanan dan

terabaikan kesehatannya, sehingga tidak sedikit masyarakat yang

tingkat kesehatannya memburuk.

c. Pekerjaan

Pekerjaan adalah suatu hubungan yang melibatkan dua pihak

antara perusahaan dengan para pekerja atau karyawan. Para pekerja

akan memperoleh gaji sebagai balas jasa dari pihak perusahaan, dan

jumlahnya tergantung dari jenis profesi atau kerja yang dilakukan. Dan

pekerjaan mempunyai hubungan yang erat dengan penularan suatu

penyakit seperti TB Paru.

d. Pendidikan

Pendidikan adalah proses pengetahuan, keterampilan, dan kebiasaan

sekelompok orang yang diturunkan dari satu generasi ke generasi

lainnya melalui pengajaran, pelatihan, atau penelitian. Pendidikan

umumnya dibagi menjadi beberapa tahap seperti prasekolah, sekolah


121

dasar, sekolah menengah pertama, sekolah menengah atas, dan

kemudian perguruan tinggi, universitas atau magang.

e. Kepadatan Penduduk

Soemirat (2000) menyebutkan bahwa kepadatan penduduk selain

menyebabkan cepat atau lambatnya kejadian penyakit, banyak tidaknya

penderita bila terjadi kejadian luar biasa dan besar kecilnya tempat

suatu pelayanan kesehatan (tiarisneini,2008). Ahmadi (2005) kepadatan

penduduk ditentukan oleh jumlah dan persebaran penduduk. Kepadatan

penduduk dapat mempengaruhi proses pemindahan penyakit,

lingkungan yang buruk adalah faktor resiko terjadinya penyakit.

Menurut penelitian fitria wulandari tahun tahun 2012 menyatakan

bahwa wilayah dengan kepadatan penduduk yang tinggi yang

mempunyai kejadian TB paru tinggi baik kasus baru maupun insiden di

jakarta selatan sebaiknya pihak terkait lebih memprioritaskan program

penanggulangan TB Paru pada wilayah dengan kepadatan penduduk

yang tinggi.hal ini sejalan dengan penelitian fachkrudin ali ahmad tahun

2010 yang menyatakan secara spasial kepadatan penduduk berpengaruh

terhadap jumlah kasus TB Paru di kecamatan Tebet.

f. Rumah Sehat

Rumah sehat merupakan salah satu sarana dalam mencapai derajat

kesehatan yang optimum. Untuk mendapatkan rumah yang sehat

ditentukan oleh tersedianya sarana sanitasi perumahan. Sanitasi ruumah

ini merupakan usaha kesehatan masyarakat yang menitik beratkan pada


122

pengawasan terhadap struktur fisik dimana seseorang menggunakannya

untuk tempat tinggal, berlindung yang mempengaruhi derajat kesehatan

manusia. Rumah juga merupakan salah satu bangunan tempat tinggal

yang harus memenuhi kriteria kenyamanan, keamanan dan kesehatan

guna mendukung penghuninya agar dapat bekerja dengan produktif

(Munif arifin,2009).

Rumah yang tidak sehat merupakan penyebab dari rendahnya taraf

jasmani dan rohani yang memudahkan terjangkitnya penyakit dan

mengurangi daya kerja atau produktifitas seseorang. Rumah tidak sehat

dapat menjadi reservoir penyakit bagi seluruh lingkungan, jika kondisi

tidak sehat bukan hanya pada satu rumah tetapi pada kumpulan rumah

(lingkungan pemukiman). Timbulnya permasalahan kesehatan

dilingkungan pemukiman pada dasarnya disebabkan karna tingkat

kemampuan ekonomi masyarakatnya rendah, karna rumah dibangun

berdasarkan kamampuan keuangan penghuninya (Notoatmodjo,2003).

g. Fasilitas Pelayanan Kesehatan

Depkes (2002) menyebutkan kesuksesan suatu program dalam

penanggulangan dan pemberantasan penyakit diperlukan fasilitas

pelayanan yang dilengkapi dengan peralatan yang dapat menunjang

dalam penegakan diagnosis penyakit. Fasilitas pelayanan kesehatan

disini harus mempunyai laboratorium yang dapat menganalisis bakteri

tahan asam, sesuai dengan kuman yang menyebabkan TB Paru. Dalam

manajemen pengendalian kasus TB paru berbasis wilayah, peningkatan


123

sarana & prasarana yang dapat mendukung pencarian dan pengobatan

kasus sebagai upaya preventif (Ahmad,2008). Berdasarkan penelitian

wahyu (2015) serta Fachrudin (2010) menyatakan bahwa fasilitas

pelayanan kesehatan bukan merupakan faktor yang mempengaruhi

kejadian TB paru.

h. Persediaan makanan

Sejauh mana pangan yang tersedia yang bisa dikonsumsi dan

mengandung nilai gizi yang baik, berguna untuk pertumbuhan tubuh

serta asupan nutrisi yang dapat meningkatkan daya tahan tubuh

sehingga terhindar dari penyakit.

2) Konteks komunitas

Kontek komunitas disini merupakan peran serta komunitas atau

masyarakat dalam memberikan dukungan sosial, membuat jaringan sosial,

koneksi komunitas serta menciptakan modal sosial yang berpengaruh

terhadap derajat kesehatan masyarakat.

3) Faktor individu

Faktor individual ini terbagi menjadi 3 yaitu :

a) Perilaku kesehatan diantaranya adalah diet dan nutrisi, merokok

dan tidak merokok, konsumsi alkohol, pemanfaatan layanan

kesehatan serta aktifitas fisik.

b) Psikososial diantaranya harga diri, status emosional, permintaan

atau tekanan, rasa kontrol, stres, persepsi, harapan, serta status

mental seseorang.
124

c) Biologi diantaranya sistem neoroendocrine, tekanan darah,

produksi fibrin, fungsi imunitas, tingkat lipid darah, tingkat lipid

gula serta BMI.

2.9 Sistem Informasi Geografis

2.9.1 Pengertian Sistem Informasi Geografis

Sistem Informasi Geografis merupakan komponen yang terdiri dari

perangkat lunak maupun keras, berisi data geografis beserta sumberdaya manusia

yang bekerja secara efektif untuk menyimpan, memasukan, memperbarui,

memperbaiki, mengelola, manipulasi, integrasi, analisa serta memunculkan data

dalam suatu informasi berbasis geografis (24).

Menurut John E. Harmon, Steven J. Anderson. 2003, secara rinci SIG

tersebut dapat beroperasi dengan komponen komponen sebagai berikut:

1) Orang (yang menjalankan sistem)

2) Aplikasi (prosedur yang digunakan untuk mengolah data)

3) Data (informasi yang dibutuhkan serta diolah dalam aplikasi)

4) Software (perangkat lunak SIG berupa program program aplikasi)

5) Hardware (perangkat keras yang dibutuhkan untuk menjalankan sistem

berupa printer, perangkat komputer, scanner dan perangkat pendukung

lainnya)

SIG selalu diasosiasikan dengan sistem yang berbasis komputer, walaupun

pada dasarnya SIG dapat dikerjakan secara manual, SIG yang berbasis komputer

akan sangat membantu ketika data geografis merupakan data yang besar (dalam
125

jumlah dan ukuran) terdiri dari banyak tema yang saling berkaitan satu dan

lainnya.

SIG mempunyai kemampuan menghubungkan berbagai data pada suatu titik

tertentu di bumi, menggabungkannya, menganalisa dan akhirnya memetakan

hasilnya. Data yang akan diolah pada SIG merupakan data spasial yaitu sebuah

data yang berorientasi geografis serta merupakan lokasi yang memiliki sistem

koordinat tertentu, sebagai dasar referensinya. Oleh karna itu aplikasi SIG dapat

menjawab beberapa pertanyaan seperti lokasi, kondisi, trend, pola serta

pemodelan. Hal ini yang membuat SIG berbeda dengan yang lain.

2.9.2 Komponen Sistem Informasi Geografis

Sistem Informasi Geografis terdiri dari beberapa komponen, yaitu:

1) Perangkat keras, seperti scanner, Central Processing Unit (CPU),

mouse, printer, dan plotter.

2) Perangkat lunak, seperti ArcView, ArcGIS, MapInfo, dan aplikasi

lainnya yang mendukung teknik sistem informasi geografis.

3) Data dan informasi geografi yang dapat di-import dari perangkat-

perangkat lunak SIG.

4) Pengguna (user), merupakan manusia yang akan megolah sistem serta

membangun langkah-langkah yang dapat diaplikasikan sesuai

kondisinya.

2.9.3 Manfaat Sistem Informasi Geografis dalam Kesehatan


126

Menurut WHO, Sistem Informasi Geografis dalam bidang kesehatan dapat

digunakan untuk :

a) Menentukan distribusi geografis suatu penyakit

b) Analisis tren penyakit secara spasial dan temporal

c) Pemetaan populasi yang berisiko terkena penyakit

d) Stratifikasi faktor risiko

e) Penilaian distribusi sumberdaya

f) Perencanaan serta penentuan langkah intervensi

g) Monitoring penyakit.

2.9.4 Defenisi ESRI

ESRI merupakan pengembang aplikasi perangkat lunak (software) desktop

Sistem Informasi Geografis (SIG) salah satunya adalah ArcView. Kemampuan

yang dimiliki oleh ArcView diantaranya adalah melakukan visualisasi, meng-

explore, menangani query (termasuk basis data spasial maupun non-spasial),

menganalisis data secara geografis dan sebagainya. Kemampuan secara umum

yang dimiliki ArcView dapat dilihat pada uraian berikut :

1. Pergantian data, membaca serta menuliskan data dari dan ke dalam

format perangkat lunak SIG lainnya.

2. Melakukan analisis statistik dan operasi-operasi matematis

3. Menampilkan informasi (basisdata) spasial maupun atribut

4. Menghubungkan informasi spasial bersama atribut-atributnya yang

terdapat (disimpan) dalam basis data atribut


127

5. Melakukan fungsi-fungsi dasar SIG seperti analisis sederhana spasial

6. Membuat peta tematik

7. Meng-customize aplikasi dengan menggunakan bahasa skrip maupun

bahasa pemrograman sederhana

8. Melakukan fungsi-fungsi SIG khususlainnya (salah satunya dengan

menggunakan extension yang ditujukan untuk mendukung penggunaan

perangkat lunak SIG ArcView)

2.10 Analisis Spasial

2.10.1 Defenisi Analisis Spasial

Analisis spasial adalah sekumpulan teknik yang dapat digunakan dalam

data SIG. Hasil analisis data spasial sangat bergantung pada lokasi objek yang

bersangkutan (yang sedang dianalisis), Analisis spasial juga dapat diartikan

sebagai teknik-teknik yang digunakan untuk meneliti dan mengeksplorasi data

dari perspektif keruangan. Suatu teknik maupun pendekatan perhitungan

matematis yang terkait dengan data keruangan (spasial) dilakukan dengan fungsi

analisis spasial tersebut.

2.10.2 Manfaat Spasial

1) Membuat atau memetakan serta menganalisis data raster berbasis

sel

2) Melakukan analisis data vektor atau raster yang terintegrasi

3) Dari data yang ada bisa diperoleh informasi


128

4) Memilih informasi dari beberapa layer data

5) Sumber data raster dapat diintegrasikan dengan data vektor

2.10.3 Data Spasial

Sebagian besar data yang ditangani dalam SIG adalah data spasial yaitu

sebuah data yang berorientasi geografis, dengan sistem koordinat tertentu sebagai

dasar referensinya serta mempunyai dua bagian penting yang membuatnya

berbeda dari data lain, yakni informasi lokasi (spasial) dan informasi deskriptif

(attribute) yang dijelaskan berikut ini:

1. Informasi lokasi (spasial), berhubungan dengan suatu koordinat baik

koordinat geografi (lintang dan bujur) maupun koordinat XYZ, termasuk

didalamnya informasi datum dan proyeksi.

2. Informasi deskriptif (atribut) atau informasi non spasial, suatu lokasi yang

mempunyai beberapa keterangan yang berkaitan dengannya, contohnya:

jenis vegetasi, populasi, luasan, kode pos, dan sebagainya.

2.10.4 Sumber Data Spasial

Adapun persyaratan SIG adalah data spasial, yang dapat diperoleh dari

beberapa sumber antara lain:

1. Peta Analog

Peta analog (antara lain peta topografi, peta tanah dan sebagainya)

merupakan peta dalam bentuk cetak. Umumnya peta analog dibuat

dengan teknik kartografi, serta memiliki referensi spasial seperti


129

koordinat, skala, arah mata angin dan sebagainya. Dalam tahapan SIG

keperluan sumber data, peta analog dikonversi menjadi peta digital

dengan cara format raster diubah menjadi format vektor melalui

proses digitasi sehingga dapat menunjukan koordinat sebenarnya di

permukaan bumi.

2. Data Sistem Penginderaan Jauh

Data Penginderaan Jauh (antara lain citra satelit, foto udara dan

sebagainya), adalah sumber data yang terpenting bagi SIG karena

tersedianya secara berkala dan mencakup area tertentu. Dengan

adanya bermacam macam satelit di ruang angkasa dengan

spesifikasinya masing masing, kita bisa memperoleh berbagai jenis

citra satelit untuk beragam tujuan pemakaian. Biasanya data ini

direpresentasikan dalam format raster.

3. Data Hasil Pengukuran di Lapangan

Data pengukuran di lapangan yang dihasilkan berdasarkan teknik

perhitungan tersendiri, pada umumnya data tersebut merupakan

sumber data atribut contohnya batas administrasi, batas kepemilikan

lahan, batas persil, batas hak pengusahaan hutan dan lain lain.

4. Data GPS (Global Positioning System)

Teknologi ini memberikan terobosan penting dalam menyediakan data

bagi SIG. Keakuratan pengukuran GPS semakin tinggi dengan

berkembangnya teknologi satelit navigasi. Pengolahan data yang

bersumber dari GPS biasanya dilakukan pada format vektor.


30

2.11 Telaah Sistematis

Tabel 2.1 Telaah Sistematis

No Nama Nama Judul Desain Variabel Kesimpulan


Peneliti/Tahun Jurnal/sumber

1 Fitri UI (skripsi) Analisis Spasial Ekologi  Var.Independen :  Penduduk : Ada


Wulandari/2012 Tuberculosis Paru kepadatan penduduk, Hubungan (P=0,000
BTA (+) di Jakarta rata-rata jiwa/RT, r=0,628)
Selatan Tahun jumlah tenaga  Rata-rata Jiwa/RT :
2006-20010 kesehatan dan Tidak ada
jumlah sarana Hubungan (p=0,223
kesehatan r=0,175)
 Var.Dependen : TB  Tenaga Kesehatan :
Paru BTA (+) Tidak ada hubungan
(p=0,659 r=0,064)
 Jumlah sarana
kesehatan : tidak
ada hubungan
(p=0,174 r=0,195)

2 Mutassirah, Higiene Analisis Spasial observasiona  Var.Independen :  kepadatan hunian


dkk/2017 (Volume 3, No. Kejadian l deskriptif Kepadatan hunian, dalam rumah kurang
3, September- Tuberkulosis di luas ventilasi, dari 9 m2/orang
desember Daerah Dataran kondisi dinding, adalah 29,3%
2017) Rendah Kabupaten lantai, kelembaban,  Luas ventilasi
Gowa suhu, jarak kurang dari 10%
 Var.Dependen : luas lantai 21,2%
kejadian tuberculosis  kondisi dinding
yang tidak kedap air
31

32,3%
 lantai yang tidak
kedap air 19,2%
 kelembaban
ruangan dalam
rumah (< 40% dan
> 70%) hanya 1,0%
 suhu udara dalam
rumah (> 300C)
yaitu 100% tidak
memenuhi syarat
dan terdapat 12,1%
rumah penderita
yang menggunakan
AC
 jarak rumah
penderita yang
dekat dari pelayanan
kesehatan sebanyak
82 rumah (82.8%)
dan sebanyak 17
rumah (17.2%) yang
jarak rumahnya jauh
dari pusat pelayanan
kesehatan

3 Fachrudin Ali UI (Tesis) Analisis Spasial Ekologi  Var Independen tidak ada korelasi
Achmad /2010 Penyakit :demografi, geografi, antara variabel yang
Tuberkulosis Paru iklim, sosial diteliti, sedangkan
BTA Positif di Kota ekonomi, fasilitas secara spasial variabel
Administrasi pelayanan kesehatan kepadatan penduduk,
Jakarta Selatan mikroskopis dan keluarga miskin dan
Tahun 2007-2009 tenaga kesehatan fasilitas pelayanan
32

terlatih kesehatan mikroskopis


 Var.Dependen : berpengaruh terhadap
Penyakit TB Paru jumlah kasus TB paru
BTA + BTA positif

4 David Simbolon, BKM (BKM Analisis spasial dan Case Control  Var,Independen :  Umur : Tidak
dkk/2019 Journal of faktor risiko umur, pendidikan, berhubungan (p=1
Community tuberkulosis paru di pekerjaan, status OR=1)
Medicine and Kecamatan gizi, status merokok,  Pendidikan : tidak
Public Health) Sidikalang, riwayat kontak, berhubungan
Kabupaten Dairi - kepadatan hunian, (p=0,16 OR= 1,77
Volume 35 Sumatera Utara dan penggunaan  Pekerjaan : ada
Nomor 2 tahun 2018 bahan bakar hubungan (p=0,01
Tahun 2019 memasak OR=8,40)
Halaman 65-71  Var.Dependen :  Status gizi : Ada
kejadian TB Paru hubungan
(p=<0,001 OR= 10)
 Status merokok :
ada hubungan
(p=0,001 OR=6)
 Riwayat kontak :
ada hubungan
(p=0,01 OR=8)
 Kepadatan hunian :
tidak berhubungan
(p=0,41 OR= 0,5)
 BBM : tidak
berhubungan
(p=0,817 OR=8)

5 Alfreda, dkk/2017 Fakultas Ilmu Hubungan Cross  Var.Independen :  Pendidikan :


Keolahragaan pendidikan, akses sectional pendidikan, akses ada hubungan
Universitas pelayanan pelayanan kesehatan
33

Negeri Malang kesehatan dan dan dukungan (p=0,003)


dukungan keluarga keluarga  Akses yankes :
dengan  Var.Dependen : tidak
pemanfaatan pemanfaatan pelayan berhubungan
pelayanan kesehatan penderita (0,91)
kesehatan penderita TB Paru BTA+  Dukungan
TB Paru BTA+ keluarga : ada
dipuskesmas Janti hubungan
Kota Malang (0,002)

6 Wahyu Unand (Tesis) Analisis distribusi Case control  Var.Independen :  Pendidikan : ada
Opsialdi/2017 spasial faktor resiko tingkat pendidikan, hubungan (p=0,029
penyebaran pendapatan, OR=4,564)
tuberculosisbasil kepadatan hunian,  Pendapatan : ada
tahan asam posistif ventilasi, hubungan (p=0,000
di Kabupaten pencahayaan, OR=9)
Dharmasraya keberadaan sarana  Pencahayaan : ada
fasyankes hubungan (p=0,05
 Var.Dependen : OR=13,380)
kejadian TB Paru
BTA+

7 Dyah wulan/2012 Jurnal Peningkatan Case control  Var.Independen :  Pendidikan : ada


Kesehatan determinan sosial Pendidikan, hubungan (p=0,001
Masyarakat dalam menurunkan pendapatan, OR=4,647)
Nasional Vol. kejadian TB Paru pekerjaan dan kelas  Pekerjaan : ada
9, No. 1, sosial hubungan (p=0,777
Agustus 2014  Var.Dependen : OR=0,948)
kejadian TB Paru  Pendapatan : ada
hubungan (p=0,001
OR=5,825)
 Kelas sosial : ada
hubungan (p=0,001
34

OR=7,231)
35

2.12 Kerangka Teori


Kerangka Teori Struktural Determinan dalam Framework For Addressing The Social Determinants Of Health And Well Being

(Queensland Health, 2001) sebagai berikut :


Determinan Sosial Pada Kejadian Tb Paru

Sosioekonomi & struktural determinan


Konteks Komunitas Individual Faktor

Perilaku Kesehatan Psikososial Biologi


Dukungan sosial Diet & nutrisi Harga diri Sistem neuroendocrine
Kemiskinan Jaringan sosial Status emosional Tekanan darah
Kesetaraan Merokok dan tidak
Koneksi komunitas merokok Permintaan/tekanan Produksi fibrin Kejadian TB Paru
Pendapatan Modal sosial Rasa kontrol Fungsi sistem imunitas
Pekerjaan Konsumsi alkohol
Pemanfaatan pelayanan Stres Tingkat lipid darah
Kepadatan Penduduk Persepsi Tingkat lipid gula
Rumah sehat kesehatan
Aktifitas fisik Harapan BMI
Fasilitas pelayanan Status mental
kesehatan
Praktek deskriminatif
Persediaan makanan

Gambar 2.12 Kerangka Teori Analisis Spasial Struktural Determinan dengan


Kejadian TB Paru Di Kabupaten Dharmasraya Tahun 2014-2018
36

2.13 Kerangka Konsep

Variabel Independen Variabel Dependen

Kepadatan Penduduk

Rumah Sehat TB Paru

Fasilitas Pelayanan Kesehatan

Gambar 2.13 Kerangka Konsep Analisis Spasial Struktural Determinan dengan


Kejadian TB Paru Di Kabupaten Dharmasraya Tahun 2014-2018
37

2.14 Hipotesis Penelitian

1) Adanya hubungan antara kepadatan penduduk dengan kejadian TB Paru di

Kabupaten Dharmasraya Tahun 2014-2018

2) Adanya hubungan antara rumah sehat dengan kejadian TB Paru di

Kabupaten Dharmasraya Tahun 2014-2018

3) Adanya hubungan antara fasilitas pelayanan kesehatan dengan kejadian

TB Paru di Kabupaten Dharmasraya Tahun 2014-2018


BAB III : METODE PENELITIAN

3.1 Jenis Penelitian

Penelitian ini merupakan studi deskriptif dengan menggunakan analisis

data sekunder tahun 2014-2018 berbasis populasi (data agregat). Data

dikumpulkan dari Dinas Kesehatan Kabupaten Dharmasraya serta Badan Pusat

Statistik Kabupaten Dharmasraya. Unit analisis dalam penelitian ini adalah 11

kecamatan yang ada di Kabupaten Dharmasraya, adapun analisis yang digunakan

dalam penelitian ini adalah analisis univariat dan analisis spasial serta pengolahan

data dilakukan dengan Sistem Informasi Geografi (SIG) menggunakan perangkat

lunak Arcview GIS 3.3, untuk menentukan wilayah yang berisiko TB Paru di

Kabupaten Dharmasraya selama tahun 2014-2018.

3.2 Waktu dan Tempat Penelitian

Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Agustus sampai dengan

Desember 2019. Bertempat di 11 kecamatan yang ada di Kabupaten

Dharmasraya dengan melihat data sekunder dari tahun 2014-2018.

3.3 Populasi dan Sampel

Populasi dan sampel dalam penelitian ini adalah semua penderita TB

Paru yang tercatat di Profil Kesehatan Kabupaten Dharmasraya yang

berada di 11 kecamatan pada 5 tahun terakhir yaitu dari tahun 2014-2018.

38
39

3.4 Defenisi Operasional


Variabel Defenisi Operasional Cara Ukur Alat Ukur Skala Hasil
Kejadian TB Paru Jumlah Penderita TB Paru yang Observasional Data sekunder laporan Rasio Persentase
tercatat pada Laporan Tahunan Tahunan Dinas
Dinas Kesehatan Kabupaten Kesehatan Kabupaten
Dharmasraya Tahun 2014-2018 Dharmasraya Tahun
2014-2018
Kepadatan penduduk Jumlah penduduk pada 11 Observasional Data sekunder Rasio Angka
Kecamatan yang ada di Laporan Tahunan
Kabupaten Dharmasraya Tahun Badan Pusat Statistik
2014-2018 Kabupaten
Dharmasraya Tahun
2014-2018
Rumah Sehat Jumlah Rumah Yang memenuhi Observasional Data sekunder laporan Rasio Persentase
syarat sesuai dengan indikator Tahunan Dinas
Rumah Sehat pada tahun 2014- Kesehatan Kabupaten
2018 Dharmasraya Tahun
2014-2018
Fasilitas pelayanan Jumlah sarana kesehatan yang Observasional Data sekunder Rasio Jumlah
Kesehatan ada di 11 Kecamatan Kabupaten Laporan Tahunan dalam angka
40

Dharmasraya pada tahun 2014- Dinas Kesehatan


2018 Kabupaten
Dharmasraya Tahun
2014-2018
41

3.5 Teknik Pengumpulan Data

Pengumpulan data merupakan langkah awal dalam penelitian. Data yang

digunakan dalam penelitian ini adalah data sekunder dan dikumpulkan dengan

memakai metode dokumentasi. Metode dokumentasi merupakan metode dengan

cara menelusuri data yang lalu. Adapun, sumber data yang didapatkan oleh

peneliti adalah:

a. Data kejadian TB Paru Tahun 2014-2018, Rumah Sehat yang

memenuhi syarat Tahun 2014-2018 serta Fasilitas Pelayanan

Kesehatan yang diperoleh dari Profil Kesehatan Kabupaten

Dharmasraya Tahun 2014-2018 di 11 kecamatan yang ada di wilayah

Kabupaten Dharmasraya.

b. Data kepadatan penduduk selama 2014-2018 didapatkan dari Laporan

Badan Pusat Statistik Kabupaten Dharmasraya di 11 kecamatan yang

ada di wilayah Kabupaten Dharmasraya.

3.6 Teknik Pengolahan Data

1) Editing

Merupakan kegiatan untuk melakukan pengecekan isian kuesioner

apakah jawaban yang ada pada kuesioner sudah jelas, lengkap,

relevan dan konsisten.

2) Coding

Apabila proses editing telah selesai dilakukan maka hasil jawaban

kuesioner yang dinilai telah memenuhi syarat data, maka dilakukan


42

pengkodean pada kuesioner yaitu merubah dari bentuk huruf

menjadi angka untuk mempermudah pengolahan.

3) Entry data

Data yang telah diedit dan di coding di entry ke program komputer

SPSS, dan Arcview GIS 3.3.

4) Cleaning data

Melihat dan memproses kembali data yang telah dimasukan untuk

menghindari kesalahan pada data atau data yang hilang.

3.7 Teknik Analisis Data

Untuk pengolahan secara statistik, peneliti memakai software SPSS 15.0 dan

pengolahan secara spasial dengan memakai software ArcView GIS 3.3

3.7.1 Analisis Univariat

Analisis univariat merupakan analisis dengan cara menggambarkan

distribusi dan frekuensi masing-masing variabel diantaranya kejadian TB Paru,

kepadatan penduduk, rumah sehat serta Fasilitas pelayanan kesehatan. Data yang

telah dianalisis ditampilkan dalam bentuk tabel, gambar ataupun grafik.

3.7.2 Analisis Spasial

Analisis spasial adalah sekelompok teknik yang digunakan dalam

mengolah data berbasis geografis. Analisis dalam penelitian ini digunakan untuk

melihat bagaimana pola atau trend sebaran penyakit TB Paru yang dibedakan

berdasarkan variabel independen diantaranya kejadian TB Paru, kepadatan


43

penduduk, rumah sehat,serta fasilitas pelayanan kesehatan di 11 Kecamatan yang

ada di Kabupaten Dharmasraya.


DAFTAR PUSTAKA

1. Kementrian Kesehatan RI No 67. Penanggulangan Tuberculosis. 2016


2. World Health Organization. Global Tuberculosis Report. Jenewa. 2017
3. World Health Organization. Global Tuberculosis Report. 2018
4. Kementerian Kesehatan Republik Indonesia. Profil Kesehatan Indonesia
Tahun 2018
5. Dinas Kesehatan Provinsi Sumatera Barat. Profil Kesehatan Provinsi
Sumatera Barat Tahun 2015. Padang
6. Dinas Kesehatan Provinsi Sumatera Barat. Profil Kesehatan Provinsi
Sumatera Barat Tahun 2017. Padang
7. Dinas Kesehatan Kabupaten Dharmasraya. Profil Kesehatan Kabuoaten
Dharmasraya Tahun 2018. Dharmasraya
8. Notoatmodjo PDS. Ilmu Perilaku Kesehatan. Jakarta: Rineka Cipta; 2014.
9. Pusat Kesehatan Masyarakat Koto Baru. Profil Tahunan Puskesmas Koto
Baru Tahun 2018. Koto Baru
10. Achmadi, U.F. 2005. Manajemen Penyakit Berbasis Wilayah. Rajawali Pers.
Jakarta
11. Simbolon D. Analisis Spasial dan Faktor Risiko tuberculosis paru di
kecamatan sidikalang kabupaten dairi sumatera utara tahun 2018. BKM
2019;35(2):65-71.
12. Mutasirah AS, Irviani A.Ibrahim. Analisis Spasial kejadian tuberculosis di
daerah dataran rendah kabupaten gowa. Higiene. 2017;3(3).
13. Achmad FA. Analisis Spasial penyakit tuberculosis Paru BTA Positif di Kota
Administrasi Jakarta selatan tahun 2007-2009: Universitas Indonesia; 2010.
14. wulandari F. Analisis Spasial Tuberculosis Paru BTA Positif di Jakarta
selatan tahun 2006-2010: UI; 2012.
15. Purbantari AD, Roediyanto, Ulfa NH. Hubungan pendidikan, Akses
Pelayanan Kesehatan dan Dukungan Keluarga dengan Pemanfaatan
Pelayanan Kesehatan penderita TB Paru BTA+ Di Puskesmas Janti Kota
Malang. 2017.
16. Opsialdi W. Analisis Distribusi Spasial Faktor Resiko penyebaran
Tuberculosis Basil Tahan Asam Positif Di Kabupaten Dharmasraya Tahun
2015. Fakultas Kedokteran: Universitas Andalas; 2015.
17. Wardani DWSR. Peningkatan Determinan sosial Dalam Menurunkan
Kejadian TB Paru. Kesmas. 2014;9(1).
18. Kunoli FJ. Epidemiologi Penyakit Menular: CV Trans Into Media; 2013.
19. Organization WH. Global Report Tuberculosis 2015.
20. Kemenkes RI. Infodatin (pusat data dan informasi) Tuberculosis (Toss TB).
Jakarta: 2018.
21. Sostroasmoro S. Metodologi Penelitian Klinis. Jakarta: CV Sagung Seto;
2014.
22. Ratnaningsih De. Akses Layanan Kesehatan. Jakarta: PT Raja Grafindo
Persada; 2013.
23. dkk Aw. Kesehatan Masyarakat Indonesia (konsep,aplikasi dan tantangan).
Jakarta: PT Raja Grafindo Persada; 2014.
24. Lingkungan DJppdP. Pedoman nasional pengendalian Tuberculosis. Jakarta:
Kementerian Kesehatan RI; 2014.
25. hartoyo GME, Nugroho Y, birowo A, Kalil B. Modul Pelatihan Sistem
Informasi Geografis (SIG) Tingkat dasar. Tropenbos International Indonesia
Programe; 2010.
26. WHO. A Conceptual Framework For action on The Social Determinans Of
Health. Geneva2010.
27. Health Q. A Frame Work For Addressing The Social Determinants Of Health
And Well Being Canadian Council On Social Determinants Of Health; 2001.
28. Kementrian Kesehatan RI No 364. Penanggulangan Tuberculosis. 2009.
29. Dinas Kesehatan Kabupaten Dharmasraya. Profil Kesehatan Kabuoaten
Dharmasraya Tahun 2014. Dharmasraya
30. Dinas Kesehatan Kabupaten Dharmasraya. Profil Kesehatan Kabuoaten
Dharmasraya Tahun 2015. Dharmasraya
31. Dinas Kesehatan Kabupaten Dharmasraya. Profil Kesehatan Kabuoaten
Dharmasraya Tahun 2016. Dharmasraya
32. Dinas Kesehatan Kabupaten Dharmasraya. Profil Kesehatan Kabuoaten
Dharmasraya Tahun 2017. Dharmasraya
33. Statistik BP. Dharmasraya dalam Angka. Dharmasraya: Badan Pusat
Statistik; 2015.
34. Statistik BP. Dharmasraya dalam Angka. Dharmasraya: Badan Pusat statistik;
2016.
35. Statistik BP. Dharmasraya dalam Angka. Dharmasraya: Badan Pusat statistik;
2017.
36. Statistik BP. Dharmasraya dalam Angka. Dharmasraya: Badan Pusat
Statistik; 2018.
37. Statistik BP. Dharmasraya dalam Angka. Dharmasraya: Badan pusat Statistik;
2019.

Anda mungkin juga menyukai