Anda di halaman 1dari 19

TUGAS MAKALAH

BIAS STATUS SOCIO-ECONOMIC DALAM PENGADILAN

Disusun Untuk Melengkapi Salah Satu Persyaratan Kelulusan Mata Kuliah Etika dan
Tanggung Jawab Profesi

Oleh Kelompok:
Fransiska Tambunan : 010118323
M. Lerick Wasito : 010118349
Salma Nabila : 010118354
Hamdan Husein Hizvullah : 010118366
Sherly Oktaviani Siregar : 010118370
M. Yasmin Maulana : 010118382

Kelas I-J

(……………………………….)

Dosen Mata Kuliah:


Iwan Darmawan., S.H., M.H.

FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS PAKUAN
BOGOR
2021

i
KATA PENGANTAR

Allhamdulillahirobilalamin, segala puji kita panjatkan atas kehadirat Allah SWT

Tuhan Yang Maha Esa atas segala rahmat dan hidayah-Nya tercurahkan kepada kita

yang tak terhingga. Sholawat serta salam kita panjatkan kepada junjungan Nabi besar

kita Muhammad SAW dan keluarganya serta para sahabatnya dan para pengikutnya

sampai akhir zaman.

Kami Penulis mengucapkan syukur kepada Allah SWT atas limpahan nimat

sehat-Nya, baik itu berupa sehat fisik maupun akal pikiran, sehingga penulis mampu

untuk menyelesaikan pembuatan makalah ini sebagai tugas untuk melengkapi salah

satu persyaratan mata kuliah sosiologi dengan judul “Bias Status Socio-Economic

dalam Pengadilan“

Kami Penulis tentu menyadari bahwa makalah ini masih jauh dari kata

sempurna dan masih banyak terdapat kesalahan serta kekurangan di dalamya. Untuk

itu, maka kami mengharapkan kritik serta saran dari pembaca untuk makalah ini,

supaya makalah ini nantinya dapat menjadi makalah yang lebih baik lag. Demikian,

dan apabila terdapat banyak kesalahan pada makalah ini kami penulis mohon maaf

yang sebesar-besarnya, akhir kata kami mengucapkan terima kasih banyak kepada

semua pihak yang telah membantu untuk menyusun makalah ini. Dapat memberikan

manfaat bagi penulis.

Bogor, 05 April 2021

Penulis

ii
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ........................................................................................................................... ii


DAFTAR ISI......................................................................................................................................... iii
BAB I PENDAHULUAN ...................................................................................................................... 1
A. LATAR BELAKANG MASALAH ......................................................................................... 1
B. PERUMUSAN MASALAH ...................................................................................................... 3
BAB II PEMBAHASAN ....................................................................................................................... 5
A. APA ITU ETIKA? .................................................................................................................... 5
B. ETIKA SEORANG JAKSA DAN HAKIM ............................................................................ 6
C. KESENJANGAN STATUS SOCIO-ECONOMIC DALAM HUKUM ............................. 11
D. KEJANGGALAN DAN HAL – HAL MENCURIGAKAN DALAM KASUS NENEK
ASYANI ........................................................................................................................................... 12
BAB III PENUTUPAN ....................................................................................................................... 14
A. KESIMPULAN ....................................................................................................................... 14
B. SARAN ..................................................................................................................................... 15
DAFTAR PUSTAKA .......................................................................................................................... 16

iii
BAB I
PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG MASALAH

Di tahun 2015 Indonesia dihebohkan dengan kasus Asyani seorang nenek yang

berusia 67 tahun dilaporkan oleh PERHUTANI atas pencurian sejumlah kayu jati.

Cerita ditangkapnya Nenek Asyani berawal dari 12 tahun silam. Nenek Asyani

menebang pohon jati yang diyakininya berada di lahan pribadi. Berdasarkan informasi

yang dihimpun, kayu yang ditebang itu disimpan di dalam rumah dan rencananya mau

dibuat tempat duduk untuk suaminya.

Tetapi karena kekurangan biaya untuk pengerjaannya, akhirnya niat

membuatkan sesuatu yang berguna untuk suaminya itu baru terlaksana tahun 2014. Saat

kayu – kayu akan dibawa ke tukang kayu Cipto alias Pit bin Magiyo (47) untuk

dikerjakan, pihak Perhutani memergokinya.

Sekretaris Divisi Regional Perum Perhutani Jatim Yahya Amin berawal dari

laporan Nomor 02/KP/Jtgtg/Bsk/2014 itu dilatarbelakangi peristiwa hilangnya dua

pohon jati dengan keliling 115 centimeter dan 105 centimeter oleh Perum Perhutani

Resor Pemangkuan Hutan (RPH) Jatibanteng, Bagian Kesatuan Pemangkuan Hutan

(BKPH) Besuki, Sub-Kesatuan Pemangkuan Hutan (SKPH) Bondowoso Utara,

Kesatuan Pemangkuan Hutan (KPH) Bondowoso. Yahya menjelaskan, nilai kerugian

dari kasus pencurian kedua pohon tersebut Rp 4.323.000. Berdasarkan kejadian itu

dilaporkan ke Polsek Jatibanteng sesuai Laporan Polisi setempat Nomor

LP/K/11/VII/2014/Res.Sit/Sek.Jatibanteng. Dari laporan itu, Perhutani bersama Polsek

Jatibanteng mengadakan operasi gabungan pada tanggal 7 Juli 2014.

1
Kemudian petugas menggeledah rumah Cipto yang beralamat di Dusun

Secangan Desa Jatibanteng Kabupaten Situbondo. Petugas Perhutani menuding

keberadaan kayu tersebut ilegal, sehingga harus diamankan. Perhutani juga bertindak

jauh dengan melaporkan kejadian itu kepolisian dengan tuduhan pencurian. Barang

bukti yang diamankan sebanyak 38 batang kayu jati olahan (0,125 meter kubik)

mempunyai ukuran beragam. Terbesar mencapai 200 x 2 x 15 centimeter dan terkecil

90 x 3 x 8 centimeter.

Pada kasus tersebut, Cipto diduga melakukan tindak pidana memiliki kayu jati

hasil hutan sebagaimana dimaksud pada pasal 12 huruf d dan m juncto pasal 83 (1)

huruf a dan pasal 87 (1) huruf m berdasarkan UU RI Nomor 18 Tahun 2013 tentang

Pencegahan dan Pemberantasan Perusakan Hutan.

Namun, hasil pemeriksaan di Polsek Jatibanteng menyatakan bahwa kayu

tersebut milik Asyani dengan alamat Dusun Kristal RT 02 RW 03 Desa Jatibanteng

Kecamatan Jatibanteng Kabupaten Situbondo. Setelah melalui tahap – tahap

persidangan pada tanggal 23 April 2015 nenek Asyani dikenakan vonis 1 tahun penjara

dengan 15 bulan percobaan dan denda 500 juta rupiah. Banyak yang mengecam kasus

terhadap nenek Asyani ini karena menurut berbagai praktisi – praktisi hukum Indonesia

kasus ini merupakan bukti ringkihnya hukum di Indonesia, salah satu praktisi hukum

yang mengutarakan pendapatnya akan hal ini ialah Achmad Fauzi yang pada waktu itu

merupakan Wakil Ketua Pengadilan Agama Penajam. Dalam tulisannya yang

diterbitkan di Koran Media Indonesia tanggal 19 Maret 2015, mengutarakan bahwa

Kasus yang membelit Nenek Asyani menjadi potret supremasi hukum yang ringkih.

Hukum tampil tak berdaya menangani kasus korupsi yang melibatkan kelompok elite,

tapi pada saat bersamaan justru garang kepada orang lemah. Buktinya, untuk menyeret

Nenek Asyani ke meja hijau penegak hukum tak perlu waktu lama. Berbeda dengan

2
penanganan skandal Bank Century yang merugikan negara Rp6,7 triliun yang hingga

kini tak jelas ujung pangkalnya. Aktor utama sampai detik ini tak terjamah karena

memiliki akses kekuasaan, impunitas hukum, dan `jalur sutet' yang berbahaya apabila

dibongkar.

Karena itu wajar jika penegakan hukum kerap meninggalkan jejak ironi. Wajar

pula jika penanganan kasus korupsi selalu berakhir antiklimaks. Supremasi hukum

yang berselingkuh erat dengan pragmatisme poli tik akan sulit membongkar akar

kejahatan korupsi karena aib para penguasa bersembunyi di dalamnya. Seandainya

hukum menunjukkan martabatnya dan berani menjaga independensi, betapa banyak

pejabat publik di tingkat pusat maupun daerah dibui lantaran menyalahgunakan

wewenang.

Nenek Asyani memang tidak memiliki pengaruh penting bagi jagat politik. Ia

baru akan mendapatkan perhatian dari penguasa ketika bergulir menjadi isu nasional

dan menjadi sorotan media. Berbeda dengan para koruptor yang mayoritas berasal dari

politisi. Meski tindakannya telah merugikan negara, tetap mendapatkan perhatian

penuh dan hak-haknya diperjuangkan. Sebagai contoh, Menteri Hukum dan HAM

bakal merevisi peraturan pengetatan pemberian remisi kepada koruptor. Menurutnya,

pengetatan remisi koruptor diskriminatif sehingga perlu ditinjau ulang. Langkah

tersebut jelas mencerminkan hukum yang ringkih. Hukum tumpul ke atas, tapi

menggilas rakyat kecil.

B. PERUMUSAN MASALAH

3
Dari latar belakang masalah tersebut muncul berbagai ethical dan moral questions

yang kami selaku penulis ingin mencari jawaban atas berbagai pertanyaan yang muncul

dengan kasus Perhutani melawan nenek Asyani ini, diantaranya :

1. Apakah secara etis vonis yang dijatuhkan oleh hakim sudah cukup bijak?

2. Bagaimana keputusan yang sebaiknya diambil dalam kasus ini?

3. Mengapa terdapat perbedaan yang signifikan dalam kecepatan menjatuhi status

tersangka kepada nenek asyani dibandingkan dengan pelaku – pelaku perbuatan serupa

yang berasal dari status socio-economic yang tinggi?

4
BAB II
PEMBAHASAN

A. APA ITU ETIKA?

Untuk dapat menjawab pertanyaan dalam rumusan masalah dalam Bab I maka kita

harus memahami apa yang dimaksud dengan Etika, Etika dalam Kamus Besar Bahasa

Indonesia diartikan sebagai ilmu yang terbagi dalam baik dan buruk serta mengenai hak

dan kewajiban. Etika membicarakan sifat-sifat yang menyebabkan orang dapat disebut

susila atau bajik. Kebajikan sering dilawankan dengan kejahatan-kejahatan (vices),

yang berarti sifat-sifat yang menunjukan bahwa orang yang mempunyainya dikatakan

sebagai orang yang tidak susila. Sebagaimana pendapat para ahli mengenai etika

profesi, yaitu :

1. Menurut Prakoso (2015)

Pengertian Etika profesi merupakan etika sosial dalam etika khusus memiliki

tugas serta juga tanggung jawab kepada ilmu dan juga profesi yang

disandangnya.

2. Menurut Anang Usman, SH., MSi

Pengertian Etika profesi ialah merupakan sikap hidup untuk memenuhi

kebutuhan pelayanan profesional dari klien (pelanggan) dengan keterlibatan

serta juga keahlian yakni sebagai pelayanan didalam rangka kewajiban.

masyarakat ialahsebagai keseluruhan terhadappara anggota masyarakat yang

membutuhkannya dengan disertai refleksi yang seksama.

5
B. ETIKA SEORANG JAKSA DAN HAKIM

1. Jaksa

Jaksa adalah pejabat fungsional yang diberi wewenang oleh undang-undang

untuk bertindak sebagai penuntut umum dan pelaksanaan putusan pengadilan yang

telah memperoleh kekuatan hukum tetap serta wewenang lain berdasarkan undang-

undang. Jabatan fungsional jaksa adalah jabatan yang bersifat keahlian teknis dalam

organisasi kejaksaan yang karena fungsinya memungkinkan kelancaran

pelaksanaan tugas kejaksaan. Jaksa diangkat dan diberhentikan oleh Jaksa Agung

yang merupakan pimpinan dan penanggung jawab tertinggi kejaksaan yang

dipimpin, mengendalikan pelaksanaan tugas dan wewenang kejaksaan.

• Kewajiban Jaksa dalam Melaksanakan Tugas Profesi

Pasal 3

1) Menaati kaidah hukum, peraturan perundang-undangan, dan peraturan

kedinasan yang berlaku. Jaksa harus mengikuti peraturan-peraturan yang

berlaku pada saat ini

2) Menghormati prinsip cepat, sederhana, biaya ringan sesuai dengan prosedur

yang ditetapkan.

3) Mendasarkan pada keyakinan dan alat bukti yang sah untuk mencapai

keadilan dan kebenaran.

4) Bersikap mandiri, bebas dari pengaruh, tekanan atau ancaman opini publik

secara langsung atau tidak langsung. Seorang jaksa harus berpendirian

6
terhadap dirinya sendiri tanpa gangguan dari orang lain dan tidak boleh takut

dengan ancaman seseorang

5) Bertindak secara objektif dan tidak memihak. Jaksa tidak boleh berpihak

kepada salah satu tersangkat karena tersangkat masih ada hubungan dengan

jaksa

6) Memberitahukan dan/atau memberikan hak-hak yang dimiliki oleh

tersangka atau terdakwa maupun korban.

7) Membangun dan memelihara hubungan fungsional antara aparat penegak

hukum dalam mewujudkan sistem peradilan pidana terpadu.

8) Mengundurkan diri dari penanganan perkara yang mempunyai kepentingan

pribadi atau keluarga, mempunyai hubungan pekerjaan, partai atau finansial

atau mempunyai nilai ekonomis secara langsung atau tidak langsung.

9) Menyimpan dan memegang rahasia sesuatu yang seharusnya dirahasiakan.

10) Menghormati kebebasan dan perbedaan pendapat sepanjang tidak

melanggar ketentuan peraturan perundang-undangan.

11) Menghormati dan melindungi hak asasi manusia dan hak-hak kebebasan

sebagaimana yang tertera dalam peraturan perundang-undangan dan

instrumen hak asasi manusia yang diterima secara universal.

12) Menanggapi kritik dengan arif dan bijaksana.

13) Bertanggung jawab secara internal dan berjenjang, sesuai dengan prosedur

yang ditetapkan.

14) Bertanggung jawab secara eksternal kepada publik sesuai kebijakan

pemerintah dan aspirasi masyarakat tentang keadilan dan kebenaran.

7
• Larangan Jaksa dalam Melaksanakan Tugas Profesi

Pasal 4

1) Menggunakan jabatan dan/atau kekuasaannya untuk kepentingan pribadi

dan/atau pihak lain. Dalam hal tersebut jaksa tidak boleh menyalah gunakan

pekerjaan tersebut dikarenakan jaksa harus bersikap profesional.

2) Merekayasa fakta-fakta hukum dalam penanganan perkara. Dalam

menentukan dasar hukum yang akan dikenakan kepada tersangka atau

terdakwa dalam proses penangan perkara harus sesuai dengan fakta yuridis

yang ada dan tidak boleh melakukan manipulasi atau memutar balikkan

fakta yang berakibat melemahkan atau meniadakan ketentuan pidana yang

seharusnya didakwakan dan dibuktikan.

3) Menggunakan kapasitas dan otoritasnya untuk melakukan penekanan secara

fisik dan/atau psikis. Larangan untuk melakukan penekanan dengan cara

mengancam/ manakut-nakuti guna memperoleh keuntungan pribadi atau

pihak lainnya.

4) Meminta dan/atau menerima hadiah dan/atau keuntungan serta melarang

keluarganya meminta dan/atau menerima hadiah dan/atau keuntungan

sehubungan dengan jabatannya. Upaya untuk meminta dan/atau menerima

walaupun tidak ada tindak lanjutnya berupa pemberian atau hadiah

merupakan pelanggaran menurut ayat ini. Larangan untuk meminta dan/atau

menerima hadiah dan/atau keuntungan termasuk bagi keluarga, pada atau

dari pihak tertentu dimaksudkan untuk menghindari adanya maksud-

maksud tertentu sehingga dapat memengaruhi jaksa dalam melaksanakan

8
tugas profesinya. Selain itu, juga dimaksudkan untuk menjaga integritas

jaksa.

5) Menangani perkara yang mempunyai kepentingan pribadi atau keluarga,

mempunyai hubungan pekerjaan, partai atau finansial atau mempunyai nilai

ekonomis secara langsung atau tidak langsung. Seorang jaksa tidak boleh

menangani suatu perkara di mana jaksa tersebut memiliki hubungan

keluarga, hubungan suami istri meskipun telah bercerai, hubungan

pertemanan dan hubungan pekerjaan di luar menjalankan jabatan sebagai

jaksa dengan pihak yang sedang diproses, serta kepentingan finansial yang

dapat memengaruhi jalannya proses hukum yang sedang ditangani oleh

jaksa tersebut.

6) Bertindak diskriminatif dalam bentuk apa pun. Jaksa dengan alasan apa pun

tidak dibenarkan melakukan pembedaan perlakuan terhadap seseorang

berdasarkan agama, suku, ras, etnik, kelompok, golongan, status sosial,

status ekonomi, jenis kelamin, bahasa, keyakinan politik, yang berakibat

pengurangan, penyimpangan atau penghapusan pengakuan atau

pelanggaran hak hukumnya.

7) Membentuk opini publik yang dapat merugikan kepentingan penegakan

hukum. Dalam melaksanakan tugas sebagai jaksa semata-mata dalam

rangka menegakkan hukum dan keadilan, terdapat hal yang tidak perlu

diketahui oleh publik karena dapat berpengaruh pada proses penegakan

hukum, untuk itu jaksa tidak diperbolehkan membuat pernyataan yang dapat

merugikan penegakan hukum kepada publik.

8) Memberikan keterangan kepada publik kecuali terbatas pada hal-hal teknis

9)

9
2. Hakim

Prinsip-prinsip dasar Kode Etik dan Pedoman Perilaku Hakim diimplementasikan

dalam 10 (sepuluh) aturan perilaku sebagai berikut :

1. Berperilaku Adil

2. Berperilaku Jujur

3. Berperilaku Arif dan Bijaksana

4. Bersikap Mandiri

5. Berintegritas Tinggi

6. Bertanggung Jawab

7. Menjunjung Tinggi Harga Diri

8. Berdisiplin Tinggi

9. Berperilaku Rendah Hati

10. Bersikap Profesional

Dalam keputusan tersebut mengatur mengenai hakim yang harus bersifat adil

yang bermakna menempatkan sesuatu pada tempatnya dan memberikan yang menjadi

haknya, yang didasarkan pada suatu prinsip bahwa semua orang sama kedudukannya

di depan hukum. Dengan demikian, tuntutan yang paling mendasar dari keadilan adalah

memberikan perlakuan dan memberi kesempatan yang sama (equality and fairness)

terhadap setiap orang. Oleh karenanya, seseorang yang melaksanakan tugas atau profesi

di bidang peradilan yang memikul tanggung jawab menegakkan hukum yang adil dan

benar harus selalu berlaku adil dengan tidak membeda-bedakan orang.

10
C. KESENJANGAN STATUS SOCIO-ECONOMIC DALAM HUKUM

Satu hal yang yang harus kita pahami, kita sebagai manusia secara implisit

pastilah memiliki bias hal ini bukanlah hal yang disengaja tetapi merupakan hal yang

dapat dikatakan alami bagi manusia, dengan memiliki suatu bias belumlah tentu kita

merupakan seorang yang rasis, intoleran, dan sejenisnya. Hal ini hanya merupakan

kecenderungan yang kita miliki karena sebagai manusia kita pasti melihat hal – hal

melalui sudut pandang tertentu yang menimbulkan impression terhadap suatu hal dan

terkadang memang berlawanan dengan konsep moralitas kita sendiri.

Neitz, yang pertama kali menerbitkan penelitian tentang bias socio-economic

pada tahun 2013, menjelaskan masalah ini sebagai berikut: “Masalahnya adalah

mengamati populasi orang, dan karena posisi Anda di tangga ekonomi, kami akan

membuat asumsi tertentu dan generalisasi tentang Anda, ”.

Neitz kemudian mengatakan beberapa bias ini datang dari media. “Liputan

berita dapat menonjolkan persepsi tertentu yang mungkin Anda miliki tentang populasi

tertentu, terutama jika Anda tidak memiliki contoh kehidupan nyata untuk melawan apa

yang Anda lihat di televisi, ”jelasnya. “Jika Anda cukup sering melihat mitos tentang

orang miskin di media, begitulah cara Anda melihatnya.” Dia mengatakan mitos seputar

kelompok orang tertentu mengarah pada bias. Salah satu cara untuk memeranginya di

ruang sidang adalah dengan menjadikan bias sosio-ekonomi implisit sebagai bagian

dari Model Code of Conduct seperti halnya bias lain yang terdaftar, merupakan saran

dari Nietz. “Saya pikir kita dapat mengatakan bahwa bias sosial-ekonomi lebih lazim

di ruang sidang daripada yang kita sadari,” kata Neitz. “Tidak ada larangan

konstitusional tentang bias sosio-ekonomi di ruang sidang seperti adanya bias rasial dan

gender. Jadi, ini sedikit diperhatikan dan kami mencoba untuk menarik perhatian pada

11
fakta bahwa ada interseksionalitas antara jenis bias implisit yang telah didengar,

dipelajari, dan dilatih orang dan jenis bias yang jarang diketahui ini yang lazim di ruang

sidang. melintasi negara. Para hakim memiliki dampak langsung pada kehidupan

orang-orang miskin setiap hari, tidak hanya di pengadilan pidana tetapi juga pengadilan

perumahan dan pengadilan gugatan kecil."

Jurang sosial dan ekonomi yang semakin lebar antara orang kaya dan orang

miskin di Amerika harus tetap berada di luar pintu ruang sidang kami. Hakim dapat

menikmati hak istimewa kekayaan ekonomi dalam kehidupan pribadi mereka, tetapi

mereka memiliki kewajiban di bangku cadangan memajukan fakta dan penampilan

keadilan dalam pengambilan keputusan mereka. Ujar Nietz dalam papernya, walaupun

beliau membahas mengenai proses peradilan di Amerika Serikat penulis merasa hal ini

dapat juga dikatan untuk proses peradilan Indonesia yang dalam konteks ini memiliki

kondisi serupa.

D. KEJANGGALAN DAN HAL – HAL MENCURIGAKAN DALAM KASUS

NENEK ASYANI

Dalam prosesi penangkapan dan peradilan nenek Asyani terdapat beberapa kejanggalan

dalam prosesnya diantaranya :

1. Laporan atas hilangnya pohon jati tersebut dibuat di tahun 2014 sedangkan nenek

Asyani mengambil kayu di tahun 2010, hal ini menimbulkan pertanyaan besar

dimana apabila kayu yang dicuri dari perhutani dalam laporan Nomor

02/KP/Jtgtg/Bsk/2014 itu benar kayu yang dimiliki nenek Asyani mengapa pihak

Perhutani baru sadar kehilangan 2 pohon jati yang dapat dikatakan berukuran cukup

besar (115 cm) setelah 4 tahun kejadian penebangan? Sedangkan perhutani

melakukan pengawasan setiap hari.

12
2. Kayu yang dimiliki oleh nenek Asyani menurut Jaksa tidak dapat dibuktikan

sebagai miliknya karena nenek Asyani tidak memiliki dokumen kepemilikan atas

kayu tersebut, sedangkan dokumen kepemilikan atas kayu adalah hal yang tidak

lazim dimiliki oleh masyarakat biasa baik kaya maupun miskin.

3. Pasal illegal logging yang dijatuhkan kepada nenek Asyani ini merupakan pasal

mengenai kejahatan luar biasa yang notabennya diperuntukan untuk korporat yang

berkutat dalam perdagangan kayu transinternasional.

4. Dengan timeline yang ada dalam kasus ini bukti – bukti dan kesaksian juga tidak

memiliki kekuatan yang signifikan mengingat jangka waktu perbuatan dan

pelaporan cukup jauh, dan kurangnya riset apakah spesifikasi kayu yang dimiliki

nenek Asyani apakah sesuai dengan kayu yang hilang apabila diolah sedemikian

rupa juga kesaksian yang dapat dikatakan kurang meyakinkan.

13
BAB III
PENUTUPAN

A. KESIMPULAN

Sebuah profesi hanya dapat memperoleh kepercayaan dari masyarakat, bilamana

dalam diri para elit profesional tersebut ada kesadaran kuat untuk mengindahkan etika

profesi pada saat mereka ingin memberikan jasa keahlian profesi kepada masyarakat yang

memerlukannya. apa yang semua dikenal sebagai sebuah profesi yang terhormat akan

segera jatuh terdegradasi menjadi sebuah pekerjaan pencarian nafkah biasa (okupasi) yang

sedikitpun tidak diwarnai dengan nilai-nilai idealisme dan ujung-ujungnya akan berakhir

dengan tidak-adanya lagi respek maupun kepercayaan yang pantas diberikan kepada para

elite profesional ini. Begitupula dengan jaksa yang harus memiliki kode etik sebagai

pedoman dalam menjalankan profesinya dan terlebih lagi untuk mendapatkan kepercayaan

dari masyarakat serta menjaga martabat profesinya.

Vonis hakim kepada nenek Asyani yang berusia lanjut tersebut dapat dikatakan

kurang adil dan bijak, melihat tidak cukup kuatnya bukti – bukti dan kesaksiannya jika

dibandingkan kasus – kasus illegal logging yang banyak dillakukan oleh oknum korporat

– korporat maupun dari internal Perhutani, yang dapat dikatakan cukup lama untuk

dikatakan sebagai tersangka. Hakim apabila lebih teliti dan mengikuti etika dia sebagai

manusia dan tentunya kode etik hakim tentunya dapat menolong nenek Asyani seperti

perkataan salah satu guru besar Unsoed Purwokerto, Prof Dr Hibnu Nugroho yaitu “Kalau

melihat dampak, kerugian, biaya penyelesaian perkara lebih besar daripada hasil pencurian

itu, harus lihat restorative. Itu terobosan baru kalau pengadilan lihat seperti itu. Sekarang

kan banyak karena faktor ekonomi”

14
Bias terhadap orang yang berposisi socio-economic bawah tentunya juga mungkin

memiliki andil dalam kasus ini dimana tanpa sadar kita memiliki kecenderungan untuk

lebih cepat memutuskan kebersalahan terhadap orang miskin dalam kasus pidana dibanding

dengan orang kaya dimana kita lebih mudah “menelan” bahwa orang miskin mencuri

dibanding orang kaya mencuri. Bias socio-economic seperti ini belum ada yang

mengaturnya tetapi dapat diredam melalui pendidikan etika dan tanggung jawab profesi

yang lebih mendalam dan ditanamkan sejak ini.

B. SARAN

Untuk menghidari kejadian – kejadian seperti ini terulang penulis merasa

dibutuhkannya pendalaman pendidikan etika dan tanggung jawab sejak dini dimana hal

tersebut dapat meredam prejudice dan bias yang mungkin muncul sewaktu – waktu. Kami

juga berharap kedepannya hakim – hakim Indonesia lebih bijak lagi dalam menjatuhi vonis

hukuman dengan tidak hanya melihat barang bukti saja tetapi juga kondisi dari pelaku dan

prespektif mereka karena kita Indonesia juga menerapkan asas praduga tak bersalah sesuai

dengan Penjelasan Umum KUHAP butir ke 3 huruf c dan juga dalam UU Kehakiman, asas

praduga tak bersalah diatur dalam Pasal 8 ayat (1).

15
DAFTAR PUSTAKA

Neitz, Michele Benedetto. Socioeconomic Bias in the Judiciary. Cleveland State University.

Cleveland, USA.

Artikel "Nenek Asyani dan Hukum yang Ringkih" Oleh Achmad Fauzi, Koran Media

Indonesia edisi tanggal 19 Maret 2015

UU no 18/2013 tentang pencegahan pembrantasan pengrusakan hutan

KUHAP

UU KEHAKIMAN

https://www.cnnindonesia.com/nasional/20150423151941-12-48782/nenek-asiani-

dinyatakan-bersalah

https://kawanhukum.id/menelaah-etika-profesi-jaksa/

http://pn-sumbawabesar.go.id/v2/index.php/tentang-pengadilan/pengawasan-kode-etik/kode-

etik-hakim#:~:text=Prinsip-

prinsip%20dasar%20Kode%20Etik,Tinggi%20Harga%20Diri%2C%20(8)

https://www.americanbar.org/news/abanews/publications/youraba/2019/march-2019/5-steps-

to-help-eliminate-socio-economic-bias/

https://news.detik.com/berita/d-2858972/proses-hukum-nenek-diduga-curi-kayu-harus-

gunakan-restorative-justice

16

Anda mungkin juga menyukai