DISUSUN OLEH :
TRI LESTARI (2004110871)
1
BAB I
PENDAHULUAN
2
1.3 Tujuan Penulisan
1. Untuk mengetahui pengertian kepiting soca.
2. Untuk mengetahui cara budidaya kepiting soca dengan teknik mutilasi.
3. Untuk mengetahui manfaat dari budidaya kepiting soca.
BAB II
KAJIAN PUSTAKA
3
2.1 Pengertian Kepiting
Kepiting adalah binatang crustacea berkaki sepuluh, yang biasanya mempunyai "ekor" yang
sangat pendek (bahasa Yunani: brachy = pendek, ura = ekor), atau yang perutnya sama sekali
tersembunyi di bawah thorax. Menurut Kamus besar Biologi, kepiting adalah ketam yang hidup di
pantai yang berkaki sepuluh, dua di antaranya berupa supit yang tajam dan kuat, punggungnya keras,
berwarna hijau kehitaman selebar telapak tangan dan dapat di makan. Hewan ini dikelompokkan ke
dalam Filum Athropoda, Sub Filum Crustacea, Kelas Malacostraca, Ordo Decapoda, Suborder
Pleocyemata dan Infraorder Brachyura (Linneaeus, 1758).
Berdasarkan anatomi tubuh bagian dalam, mulut kepiting terbuka dan terletak pada bagian
bawah tubuh. Beberapa bagian yang terdapat di sekitar mulut berfungsi dalam memegang makanan
dan juga memompakan air dari mulut ke insang. Kepiting memiliki rangka luar yang keras sehingga
mulutnya tidak dapat dibuka lebar. Hal ini menyebabkan kepiting lebih banyak menggunakan sapit
4
dalam memperoleh makanan. Makanan yang diperoleh dihancurkan dengan menggunakan sapit,
kemudian baru dimakan (Shimek, 2008).
Kepiting bakau ukurannya bisa mencapai lebih dari 20 cm. Sapit pada jantan dewasa lebih
panjang dari pada sapit betina. Kepiting yang bisa berenang ini terdapat hampir di seluruh perairan
pantai Indonesia, terutama di daerah mangrove, di daerah tambak air payau, muara sungai, tetapi
jarang ditemukan di pulau-pulau karang (Nontji, 2002). Disamping morfologi sapit, kepiting jantan
dan betina dapat dibedakan juga berdasarkan ukuran abdomen, dimana abdomen jantan lebih sempit
dari pada abdomen betina.
Menurut Prianto (2007) bahwa, bagian tubuh kepiting juga dilengkapi bulu dan rambut
sebagai indera penerima. Bulu-bulu terdapat hampir di seluruh tubuh tetapi sebagian besar
bergerombol pada kaki jalan. Untuk menemukan makanannya kepiting menggunakan rangsangan
bahan kimia yang dihasilkan oleh organ tubuh. Antena memiliki indera penciuman yang mampu
merangsang kepiting untuk mencari makan. Ketika alat pendeteksi pada kaki melakukan kontak
langsung dengan makanan, chelipeds dengan cepat menjepit makanan tersebut dan langsung
dimasukkan ke dalam mulut. Mulut kepiting juga memiliki alat penerima sinyal yang sangat sensitif
untuk mendeteksi bahan-bahan kimia. Kepiting mengandalkan kombinasi organ perasa untuk
menemukan makanan, pasangan dan menyelamatkan diri dari predator.
Kepiting memiliki sepasang mata yang terdiri dari beberapa ribu unit optik. Matanya terletak
pada tangkai, dimana mata ini dapat dimasukkan ke dalam rongga pada carapace ketika dirinya
terancam. Kadang-kadang kepiting dapat mendengar dan menghasilkan berbagai suara. Hal yang
menarik pada berbagai spesies ketika masa kawin, sang jantan mengeluarkan suara yang keras dengan
menggunaklan chelipeds-nya atau menggetarkan kaki jalannya untuk menarik perhatian sang betina.
Setiap spesies memiliki suara yang khas, hal ini digunakan untuk menarik sang betina atau untuk
menakut-nakuti pejantan lainnya.
Setelah telur dibuahi telur-telur ini akan ditempatkan pada bagian bawah perut (abdomen).
Jumlah telur yang dibawa tergantung pada ukuran kepiting. Beberapa spesies dapat membawa
puluhan hingga ribuan telur ketika terjadi pemijahan. Telur ini akan menetas setelah beberapa hari
kemudian menjadi larva (individu baru) yang dikenal dengan “zoea”. Ketika melepaskan zoea ke
5
perairan, sang induk menggerak-gerakkan perutnya untuk membantu zoea agar dapat dengan mudah
lepas dari abdomen. Larva kepiting selanjutnya hidup sebagai plankton dan melakukan moulting
beberapa kali hingga mencapai ukuran tertentu agar dapat tinggal di dasar perairan sebagai hewan
dasar (Prianto, 2007). Daur hidup kepiting meliputi telur, larva (zoea dan megalopa), post larva atau
juvenil, anakan dan dewasa. Perkembangan embrio dalam telur mengalami 9 fase (Juwana, 2004).
Larva yang baru ditetaskan (tahap zoea) bentuknya lebih mirip udang dari pada kepiting. Di kepala
terdapat semacam tanduk yang memanjang, matanya besar dan di ujung kaki-kakinya terdapat
rambut-rambut. Tahap zoea ini juga terdiri dari 4 tingkat untuk kemudian berubah ke tahap megalopa
dengan bentuk yang lain lagi. Larva kepiting berenang dan terbawa arus serta hidup sebagai plankton
(Nontji, 2002). Beberapa hasil penelitian menyebutkan bahwa larva kepiting hanya mengkonsumsi
fitoplankton beberapa saat setelah menetas dan segera setelah itu lebih cenderung memilih
zooplankton sebagai makanannya (Umar, 2002). Keberadaan larva kepiting di perairan dapat
menentukan kualitas perairan tersebut, karena larva kepiting sangat sensitif terhadap perubahan
kualitas perairan (Sara, dkk., 2006).
Selain itu kepiting ini juga mengalami beberapa proses pergantian kulit (moulting). Setiap
proses tubuhnya akan tumbuh menjadi lebih besar. Selama siklus hidupnya kepiting bakau menempati
dua macam habitat yaitu air payau masa juvenil (kepiting muda) sampai dewasa, dan air laut pada
masa pemijahan sampai megalova.
Kepiting pada fase larva (zoea dan megalopa) hidup di dalam air sebagai plankton. Kepiting
mulai kehidupan di darat setelah memasuki fase juvenil dan dewasa seiring dengan pembentukan
carapace. Kepiting dan rajungan tergolong dalam satu suku (familia) yakni Portunidae dan seksi
(sectio) Brachyura. Cukup banyak jenis yang termasuk dalam suku ini. Dr. kasim Moosa yang banyak
6
menggeluti taksonomi kelompok ini mengemukakan bahwa di Indo-Pasifik Barat saja diperkirakan
ada 234 jenis, dan di Indonesia ada 124 jenis. Di Teluk Jakarta dan Kepulauan Seribu diperkirakan
ada 46 jenis. Tetapi dari sekian jenis ini, hanya ada beberapa saja yang banyak dikenal orang karena
biasa dimakan, dan tentu saja berukuran agak besar. Jenis yang tubuhnya berukuran kurang dari 6 cm
tidak lazim dimakan karena terlalu kecil dan hampir tidak mempunyai daging yang berarti. Beberapa
jenis yang dapat dimakan ternyata juga dapat menimbulkan keracunan (Nontji, 2002).
Menurut Prianto (2007), bahwa di seluruh dunia terdapat lebih dari 1000 spesies kepiting
yang dikelompokkan ke dalam 50 famili. Sebagian besar kepiting hidup di laut, tersebar di seluruh
lautan mulai dari zona supratidal hingga di dasar laut yang paling dalam. Sebagian jenis kepiting ada
yang hidup di air tawar. Keanekaragaman kepiting yang paling tinggi ada di daerah tropis dan di
selatan Australia, disini lebih dari 100 jenis kepiting telah diidentifikasi.
Konsentrasi maksimum kepiting terjadi pada malam hari pada saat air pasang. Kebanyakan
kepiting memanjat akar mangrove dan pohon untuk mencari makan. Pada saat siang hari, waktu
pasang terendah kebanyakan kepiting tinggal di dalam lubang untuk berlindung dari serangan burung
dan predator lainnya.
Kepiting mangrove seperti Scylla serrata (Mud Crab) merupakan hewan yang hidup di
wilayah estuaria dengan didukung oleh vegetasi mangrove. Hewan ini merupakan hewan omnivora
dan kanibal, memakan kepiting lainnya, kerang dan bangkai ikan. Kepiting ini dapat tumbuh sampai
ukuran 25 cm atau dengan berat mencapai 2 kg, dimana kepiting betina ukurannya lebih besar dari
yang jantan (DPI & F, 2003).
Kepiting bakau juga merupakan pemakan bentos atau organisme yang bergerak lambat
seperti bivalvia, kepiting kecil, kumang, cacing, jenis-jenis gastropoda dan crustacea (Rosmaniar,
2008). Selanjutnya menurut Hutching dan Sesanger (1987) mengatakan bahwa kepiting bakau hidup
disekitar hutan mangrove dan memakan akar-akarnya. Tangan dan capit kepiting yang besar
7
memungkinkan menyerang musuh dengan ganas dan merobek makanannya. Menurut Rosmaniar
(2008) sobekan-sobekan makanan tersebut dimasukan ke mulut dengan menggunakan kedua
capitnya.waktu makan kepiting bakau tidak tertentu, tetapi malam hari lebih aktif mencari makan dari
pada siang hari karena kepiting tergolong hewan nokturnal yang aktif di malam hari.
2.6 Penangkapan
Alat tangkap yang sering di gunakan masyarakat nelayan masih sangatlah tradisional yakni jenis
alat tangkap tombak dan panah. Di perairan pesisir Maluku biasanya menggunakan jenis alat tangkap
tombak serta menggunakan perahu motor tempel. Selain itu juga nelayan di Indonesia sering
menggunakan jaring insang untuk menangkap kepiting bakau di sekitar perairan mangrove (O-fish,
2010).
Menurut Zairon (2010) alat yang digunakan untuk menangkap kepiting bakau adalah alat tangkap
bubu. Sedangkan Menurut DPI & F (2005), perangkap kepiting yang digunakan dalam penagkapan
kepitng bakau yaitu alat yang terbuat dari kawat atau jaring dimana biasanya di dalam perangkap
tersebut diberikan umpan dengan jenis dan jumlah yang sama.
8
BAB III
PEMBAHASAN
9
3. Proses penempatan kepiting yang telah di mutilasi dalam keramba. Proses ini bertujuan agar
kepiting yang telah di mutilasi tidak di serang oleh kepiting yang lain karena kepiting yang telah di
mutilasi tidak memiliki kaki dan capit. Salain itu, penempatan kepiting yang telah di mutilasi
bertujuan agar kepiting tidak melakukan aktifitas dan hanya makan karena kepiting yang telah di
mutilasi tidak bisa berjalan. Proses ini adalah proses yang sangat mudah dan sederhana dengan
ketentuan 5 kepiting diletakkan kedalam setiap 1 keramba. Sangat dianjurkan tidak tergesa-gesa dan
melempar kepiting bibit ke dalam kotak agar tidak menambah kondisi "stress" kepiting bibit pasca
proses "mutilasi" namun meletakkannya dengan perlahan-lahan. Proses ini berlangsung hingga
kepiting menjadi gemuk sehingga siap untuk moulting.
4. Proses moulting. Proses ini berlangsung selama 15 hari setelah kepiting di mutilasi. Proses ini
merupakan proses terakhir dari pembudidayaan kepiting soca. Setelah kepiting melakukan moulting,
kepiting harus segera di panen. Proses ketika pemanenan kepiting adalah :
· Amati tanda-tanda menjelang moulting.
· Ambil sesegera mungkin setelah terjadi moulting (usahakan kurang dari 2 jam setelah moulting).
· Cuci kepiting dengan air bersih.
· Setelah itu, masukkan kepiting ke dalam sterofom yang berisi es. Hal ini bertujuan agar kepiting
yang telah dipanen, bisa mati sehingga kulit kepiting yang telah moulting tidak kembali mengeras.
· Setelah kepiting mati, masukkan kepiting satu persatu kedalam kantung plastic (yang ada
kretekannya).
· Simpan kedalam freezer (menunggu jumlah cukup).
· Untuk menjaga agar kepiting tetap dalam keadaan segar, perlu di beri es yang dihancurkan
berselang-seling antara kepiting dengan es.
· Tutup sterofomrapat-rapat dengan isolasi.
Dalam proses pembudidayaan kepiting soca, perlu memperhatikan hal-hal sebagai berikut :
1. Kualitas Air
a. Suhu 10 derajat Celcius, mampu hidup, sedangkan dalam suhu 15 derajat Celsius adalah suhu
maksimum untuk pertumbuhan.
10
b. Salinitas air
No Jenis Air Salinitas air Hasil
1. Air Payau 10-20 ppt Mempercepat
moulting (ganti
kulit)
2. Air Tawar < 10 ppt Moulting kurang
sempurna
3. Air Laut > 20 ppt Moulting
membutuhkan
waktu lama
11
a. Untuk memenuhi kebutuhan gizi masyarakat, terutama protein hewani (pemenuhan kebutuhan
protein yang terkandung dalam daging kepiting), lemak serta mineral.
b. Sebagai komoditas dalam (impor) dan luar negeri (ekspor) yang dijadikan sebagai kekayaan
bangsa Indonesia sebagai kekayaan hasil alamnya terutama di bidang perikanan.
c. Pembudidayaan kepiting juga akan meningkatkan pendapatan masyarakat pembudidaya,
sebagaimana telah dijelaskan bahwa semakin besar peningkatan permintaan masyarakat akan
kepiting soca, maka semakin banyak pula pendapatan yang didapatkan oleh pembudidaya.
d. Membuka lapangan kerja dan kesempatan usaha di bidang agribisnis perikanan.
e. Untuk memenuhi kebutuhan hidup manusia akan konsumsi yang serba praktis.
BAB IV
PENUTUP
12
4.1 Kesimpulan
Berdasarkan dari hasil pembahasan pada bab-bab sebelumnya, maka dapat diambil
kesimpulan bahwa kepiting soca (soft carapace) ialah kepiting yang mempunyai kulit yang masih
lunak karena baru mengalami pergantian kulit atau disebut moulting dengan menggunakan teknik
mutilasi. Teknik mutilasi adalah suatu cara dengan memotong kaki-kaki kepiting dan menyisakan satu
pasang kaki renang pada kepiting untuk mempercepat proses moulting atau pergantian kulit.
Setelah kepiting mengalami proses moulting, kepiting tersebut harus segera di pasarkan
karena setelah beberapa jam kepiting tersebut melakukan moulting, kulit kepiting tersebut akan
mengeras dengan sendirinya.
Dengan adanya pembudidayaan kepiting soca air payau ini, sehingga dapat membuka
lapangan pekerjaan baru untuk masyarakat, meningkatkan pendapatan masyarakat, menambah devisa
negara, memenuhi kebutuhan gizi masyarakat, dan juga dapat memenuhi kebutuhan manusia akan
konsumsi yang serba praktis.
4.2 Saran
Diharapkan bagi :
1. Bagi Pembudidaya Kepiting Soca
· Agar terus menambah wawasan tentang pembudidayaan kepiting soca sehingga dapat
meningkatkan kualitas produksi dari kepiting soca.
2. Bagi Mahasiswa
· Mahasiswa juga harus lebih menguasai konsep dan kaidah penelitian agar lebih
mengetahui bukan hanya sekedar tahu.
DAFTAR PUSTAKA
13
Dahuri, R. 2002. Membangun Kembali Perekonomian Indonesia melalui
Sektor Perikanan dan Kelautan. LISPI. Jakarta.
14