Anda di halaman 1dari 17

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Indonesia merupakan wilayah rawan bencana, secara geografis Indonesia
merupakan negara kepulauan yang terletak pada pertemuan empat lempeng
tektonik yaitu lempeng Benua Asia, Benua Australia, lempeng Samudra Hindia
dan Samudera Pasifik sedangkan pada bagian selatan dan timur Indonesia
terdapat sabuk vulkanik yang memanjang dari Pulau Sumatera, Jawa, Nusa
Tenggara hingga Sulawesi yang sisinya berupa pegunungan vulkanik tua dan
dataran rendah yang sebagian didominasi oleh rawa-rawa. Kondisi tersebut
sangat berpotensi sekaligus rawan bencana seperti letusan gunung berapi,
gempa bumi, tsunami, banjir dan tanah longsor. Indonesia berada di atas kerak
bumi yang aktif dimana ada lima patahan lempeng bumi yang bertemu,
bertumbukan dan mengakibatkan pergerakan bumi Indonesia dinamis.
Berdasarkan Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 86 Tahun 2017
tentang Tata Cara Perencanaan, Pengendalian dan Evaluasi Pembangunan
Daerah, Tata Cara Evaluasi Rancangan Peraturan Daerah Tentang Rencana
Pembangunan Jangka Panjang Daerah Dan Rencana Pembangunan Jangka
Menengah Daerah, Serta Tata Cara Perubahan Rencana Pembangunan Jangka
Panjang Daerah, Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah, Dan
Rencana Kerja Pemerintah Daerah.
Dengan memperhatikan Undang – Undang Nomor 24 Tahun 2007 tentang
Penanggulangan Bencana serta Prioritas Pembangunan Nasional 2019-2024,
Rencana Strategis Badan Penanggulangan Bencana Daerah Kabupaten Pemalang
disusun untuk mempertajam arah kebijakan, tujuan dan sasaran yang akan
dicapai, khususnya dengan memuat indikator kinerja untuk mengukur tingkat
keberhasilan pelaksanaan program dan kegiatan . Renstra BPBD Tahun 2021 –
2026 merupakan road map utama bagi pejabat eselon II, III, IV dan seluruh staf
di lingkungan BPBD dalam mewujudkan cita-cita Pemerintah Kabupaten
Pemalang periode 2021 – 2026, yaitu usaha untuk mensinergikan pembangunan
berkelanjutan dengan konsep rendah risiko bencana.
Kabupaten Pemalang merupakan salah satu kabupaten yang berada di
Provinsi Jawa Tengah. Dengan Luas wilayah sebesar 111.530 Ha, sebagian besar
1
wilayah merupakan tanah kering seluas 72.836 Ha (65,30%) dan lainnya tanah
persawahan seluas 38.694 Ha (34,7%).  Adapun Batas-batas wilayah Kabupaten
Pemalang, sebagai berikut:
a. Sebelah Utara    : Laut Jawa
b. Sebelah Timur   : Kabupaten Pekalongan
c. Sebelah Selatan : Kabupaten Purbalingga dan Kabupaten Banyumas
d. Sebelah Barat    : Kabupaten Tegal
e. Letak  dan Kondisi Geografis
Kabupaten Pemalang terletak pada 1090 17’ 30’– 1090 40’ 30’ Bujur Timur
(BT) dan  8052’ 30’ – 7o20’ 11’ Lintang Selatan (LS). Secara topografis, wilayah
Kabupaten Pemalang memiliki keunikan wilayah, yang dapat dikelompokkan
menjadi empat (4) kategori, yaitu sebagai berikut :
f. Daerah dataran pantai: daerah ini memiliki ketinggian rata-rata antara 1-5
meter diatas permukaan air laut (DPL); meliputi 17 desa dan 1 kelurahan
yang terletak di  bagian utara yang termasuk kawasan pantai.
g. Daerah dataran rendah: daerah ini memiliki ketinggian rata-rata antara 6-
15 meter  DPL yang meliputi 94 desa dan 4 kelurahan di bagian selatan dari
wilayah pantai.
h. Daerah dataran tinggi: daerah ini memiliki ketinggian rata-rata antara 16 –
212 meter  DPL yang meliputi 35 desa, terletak di bagian tengah dan
selatan.
i. Daerah pegunungan: terbagi menjadi dua, yaitu: Daerah dengan ketinggian
antara 213 – 924 meter diatas permukaan laut, meliputi 55 desa yang
terletak dibagian selatan.
Daerah berketinggian 925 meter diatas permukaan laut yang terletak di bagian
selatan. Daerah ini meliputi 10 desa dan berbatasan langsung dengan
Kabupaten Purbalingga.
Adapun Jenis tanah di Kabupaten Pemalang dibagi menjadi tiga bagian
antara lain sebagai berikut :
j. Tanah alluvial: terutama terdapat di dataran rendah;
k. Tanah regosol: terdiri dari batu-batuan pasir dan intermedier didaerah bukit
sampai gunung;
l. Tanah latosol : terdiri dari batu bekuan pasir dan intermedier di daerah
perbukitan sampai gunung;

2
Sebanyak 176 desa di Pemalang masuk kategori daerah rawan bencana
banjir, longsor, dan angin kencang. Hasil pemetaan Badan Penanggulangan
Bencana Daerah (BPBD) Kabupaten Pemalang, 54 desa di 11 kecamatan masuk
wilayah rawan bencana tanah longsor, 51 desa disembilan kecamatan masuk
wilayah rawan bencana banjir, dan 71 desa di 11 kecamatan masuk wilayah
rawan bencana angin kencang, Untuk wilayah rawan banjir utamanya ada di
daerah utara, yakni disekitar bantaran Sungai Comal. Untuk wilayah rawan
longsor, berada di daerah selatan yakni diderah lereng Gunung Slamet dan
daerah perbukitan. Sedangkan, wilayah rawan angin kencang hampir ada di
seluruh kecamatan. Adapun kecamatan yang paling berpotensi banjir adalah
Kecamatan Petarukan, Ulujami, Pemalang, dan Kecamatan Comal. Wilayah yang
paling berpotensi longsor adalah Kecamatan Watukumpul dan Pulosari,
Sementara wilayah yang paling berpotensi terjadi angin kencang adalah
Kecamatan Pulosari, Randudongkal dan Petarukan. Kondisi tersebut juga
dipetakan oleh Pusat Vulkanologi dan Mitigasi Bencana Kementerian ESDM.

1.2 Maksud dan Tujuan


Pemerintah Kabupaten Pemalang telah menetapkan Rencana Pembangunan
Jangka Menengah Daerah (RPJMD) Tahun 2021 – 2026, yang dituangkan di
dalam Peraturan Daerah Kabupaten Pemalang Nomor 6 Tahun 2021 tentang
Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah (RPJMD) Kabupaten Pemalang
Tahun 2021 – 2026, yang merupakan dokumen perencanaan Kabupaten
Pemalang untuk periode lima tahunan dan merupakan penjabaran visi, misi
Bupati dan Wakil Bupati Kabupaten Pemalang dengan mempedomani Rencana
Pembangunan Jangka Panjang dan Menengah Nasional. Hal ini sesuai dengan
amanat dalam Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2004 tentang Sistem
Perencanaan Pembangunan Nasional.
Badan Penanggulangan Bencana Daerah Kabupaten Pemalang sebagai
Perangkat Daerah yang mempunyai tugas melaksanakan urusan pemerintahan
Ketentraman, Ketertiban Umum dan Perlindungan Masyarakat sub urusan
bidang penanggulangan bencana, maka rencana strategis BPBD lima tahunan
mendatang merupakan komitmen untuk mewujudkan Visi, Misi Bupati dan
Wakil Bupati terpilih Kabupaten Pemalang dalam 5 (lima) tahun mendatang

3
untuk periode RPJMD Tahun 2021-2026 adalah : “Terwujudnya Kabupaten
Pemalang yang Adil, Makmur, Agamis dan Ngangeni”.
Renstra BPBD Kabupaten Pemalang Tahun 2021 – 2026 adalah dokumen
perencanaan yang mendukung visi, misi Bupati dan Wakil Bupati Pemalang,
selanjutnya dijabarkan dalam tujuan dan sasaran yang akan dicapai selama lima
tahun kedepan melalui strategi dan arah kebijakan yang dituangkan dalam
program dan kegiatan yang akan dilaksanakan BPBD dalam kurun waktu tahun
2021 – 2026.

4
BAB II
PEMBAHASAN

2.1 Manajemen Risiko Bencana


Manajemen bencana merupakan pengetahuan yang terkait dengan upaya
untuk mengurangi risiko, yang meliputi tindakan persiapan sebelum bencana
terjadi, dukungan, dan membangun kembali masyarakat saat setelah bencana
terjadi. Adapun lingkaran manajemen bencana (disaster management cycle)
terdiri dari tiga kegiatan besar. Pertama adalah sebelum terjadinya bencana (pre
event), kedua yaitu saat bencana dan ketiga adalah setelah terjadinya bencana
(post event).
Risiko bencana adalah potensi kerugian yang dinyatakan dalam hidup,
status kesehatan, mata pencaharian, aset dan jasa, yang dapat terjadi pada
suatu komunitas tertentu atau masyarakat dalam suatu kurun waktu tertentu.
Risiko bencana adalah potensi kerugian yang ditimbulkan akibat bencana pada
suatu wilayah dan kurun waktu tertentu yang dapat berupa kematian, luka,
sakit, jiwa terancam, hilangnya rasa aman, mengungsi, kerusakan atau
kehilangan harta, dan gangguan kegiatan masyarakat.
Definisi risiko bencana mencerminkan konsep bencana sebagai hasil dari
hadirnya risiko secara terus menerus. Risiko bencana terdiri dari berbagai jenis
potensi kerugian yang sering sulit untuk diukur. Namun demikian, dengan
pengetahuan tentang bahaya, pola populasi, dan pembangunan sosial-ekonomi,
risiko bencana dapat dinilai dan dipetakan, setidaknya dalam arti luas.
Manajemen risiko bencana adalah pengaturan upaya penanggulangan
bencana dengan penekanan pada faktor-faktor yang mengurangi risiko secara
terencana, terkoordinasi, terpadu dan menyeluruh pada saat sebelum terjadinya
bencana.
Jadi kesimpulan dari manajemen risiko bencana adalah upaya untuk
mengurangi bahaya atau konsekuensi yang dapat terjadi pada penghidupan
masyarakat yang disebabkan, baik oleh faktor alam dan/atau faktor nonalam
maupun faktor manusia sehingga mengakibatkan timbulnya korban jiwa
manusia, kerusakan lingkungan, kerugian harta benda, dan dampak psikologis
dengan cara tindakan persiapan sebelum bencana terjadi, dukungan, dan
membangun kembali masyarakat saat setelah bencana terjadi.

5
2.2 Tujuan Manajemen Risiko Bencana
Banyak pihak yang kurang menyadari pentingnya mengelola bencana
dengan baik. Salah satu faktor adalah karena bencana belum pasti terjadinya
dan tidak diketahui kapan akan terjadi. Sebagai akibatnya, manusia sering
kurang peduli, dan tidak melakukan langkah pengamanan dan pencegahan
terhadap berbagai kemungkinan yang dapat terjadi. Untuk itu diperlukan sistem
manajemen bencana yang bertujuan untuk:
1. Mempersiapkan diri menghadapi semua bencana atau kejadian yang tidak
diinginkan;
2. Menekan kerugian dan korban yang dapat timbul akibat dampak suatu
bencana atau kejadian;
3. Meningkatkan kesadaran semua pihak dalam masyarakat atau organisasai
tentang bencana sehingga terlibat dalam proses penanganan bencana;
4. Melindungi anggota masyarakatdari bahaya atau dampak bencana
sehingga korban dan penderitaan yang dialami dapat dikurangi;
5. Mengurangi, atau mencegah, kerugian karena bencana;
6. Menjamin terlaksananya bantuan yang segera dan memadai terhadap
korban bencana;
7. Mencapai pemulihan yang cepat dan efektif;

2.3 Manfaat Manajemen Risiko Bencana


Manejemen resiko/ bencana memiliki empat manfaat, yang mana
diantaranya adalah sebagai berikut:
1. Evaluasi dari program pengendali bencana akan dapat memberikan
gambaran mengenai keberhasilan dan kegagalan operasi perusahaan;
2. Memberikan sumbangan bagi peningkatan keuntungan perusahaan;
3. Ketenangan hati yang dihasilkan oleh manajemen bencana yang baik akan
membantu meningkatkan produktifitas dan kinerja;
4. Menunjukkan tanggungjawab sosial perusahaan terhadap karyawan,
pelanggan dan masyarakat luas.

2.4 Inovasi
6
a. Pemalang Zero Risk
Mungkinkah risiko dapat dihilangkan (zero risk) ? Kalau tidak dapat, maka
mengurangi risiko adalah suatu hal yang mutlak dalam setiap kebijakan.
Identifikasi risiko dimulai dengan mempelajari aspek-aspek yang akan
mempengaruhi pencapaian sasaran dari suatu kebijakan, faktor internal
maupun eksternal harus dikenali apakah sudah dipatuhi secara benar
(compliance), faktor-faktor yang akan menghambat dalam operasional harus
diinventarisir sedemikian rupa dan dicarikan cara pengendalian yang tepat guna
mengurangi semaksimal mungkin risiko yang mungkin akan muncul. Untuk itu
pembuatan Aplikasi Android Pelaporan Bencana yang akan terhubung langsung
dengan Ruang Kontrol / Command Centre BPBD Kabupaten Pemalang, yang
selanjutnya akan di teruskan ke Relawan-Relawan terdekat dari lokasi bencana.
b. Talking Wall
Saat ini masih kurangnya Edukasi Sadar Bencana untuk setiap masyarakat
maka dengan adanya Inovasi Talking Wall / Dinding Berbicara dilingkup kantor
BPBD, diharapkan dapat menjadi sarana Edukasi masyarakat untuk mengetahui
tingkat kewaspadaan Bencana Alam.
c. CSR Kebencanaan
Ada banyak faktor yang menyebabkan bencana alam tidak bisa kita hindari.
Karena itu upaya untuk meminimalisir jatuhnya korban menjadi keharusan.
Undang-undang mengamanatkan bahwa di setiap daerah di Indonesia
hendaknya dibentuk badan yang menangani bencana alam. Amanat tersebut
terwujud dengan dibentuknya Badan Penanganan Bencana Daerah
(BPBD). Namun, masalah masih belum selesai dengan terbentuknya BPBD
tersebut. Pada tataran operasional BPBD memerlukan biaya dan tenaga. Peran
masyarakat sangat dibutuhkan baik dari sisi pembiayaan maupun tenaga
lapangan. Dari sisi pembiayaan, tidak bisa hanya mengandalkan anggaran dari
Pemerintah Daerah. Alokasi anggaran tidak mencukupi sehingga perlu ada
terobosan untuk mengatasi masalah ini salah satunya melalui Corporate Social
Responsibility yang disingkat (CSR). Perusahaan-perusahaan, terutama yang ada
di Kabupaten Pemalang hendaknya mengalokasikan dana CSR-nya untuk
membiayai penanggulangan bencana, baik itu dangan bantuan Logistik
Makanan, bahan Bangunan, ataupun bantuan berupa Uang pada saat Tanggap
Darurat atau Pasca Bencana.
7
d. Desa Tangguh Bencana (DESTANA)
Kabupaten Pemalang terdiri dari 14 kecamatan, 11 kelurahan, dan
211 desa. Dimana dari 14 Kecamatan, terdapat 11 Kecamatan yang masuk
kategori daerah rawan bencana banjir, longsor dan angin kencang. Dari 11
Kecamatan terdapat 176 desa yang masuk wilayah rawan. Dengan data ini sejak
tahun 2018 sampai tahun 2021 BPBD telah membentuk 11 Desa Tangguh
Bencana di 3 Kecamatan dengan sumber dana dari APBD Provinsi Jawa Tengah
dan APBD Kabupaten Pemalang. Adapun 11 Desa Tangguh Bencana yang telah
terbentuk sebagai berikut :

No DESA KECAMATAN Sumber Dana Tahun

1. Tlagasana Watukumpul APBD Provinsi Jateng 2018

2. Bongas Watukumpul APBD Provinsi Jateng 2018

3. Mojo Ulujami APBD Kab. Pemalang 2018

4. Pesantren Ulujami APBD Kab. Pemalang 2019

5. Jurangmangu Pulosari APBD Kab. Pemalang 2019

6. Limbangan Ulujami APBD Kab. Pemalang 2020

7. Bodas Watukumpul APBD Kab. Pemalang 2020

8. Tasikrejo Ulujami APBD Kab. Pemalang 2021

9. Clekatakan Pulosari APBD Kab. Pemalang 2021

10. Kaliprau Ulujami APBD Kab. Pemalang 2021

11. Batursari Pulosari APBD Provinsi Jateng 2021

e. Forum Relawaan / Tim Bencana


Forum Relawan / Tim bencana merupakan orang-orang yang mengkoordinir
atau memiliki tanggung jawab terhadap manajemen bencana disetiap wilayah

8
masing-masing. Adapun jenis - jenis tim bencana tersebut adalah sebagai
berikut:
1. Emergency Responsible Team
Tim ini merupakan tim khusus yang menangani masalah bencana.
2. Fire Brigade
Fire Brigade tersebut merupakan organisasi yang bertugas untuk
menanggulangi segala jenis bencana yang berhubungan dengan kebakaran.
3. Public Save Community (PSC)
Public Save Community merupakan petugas yang memberikan pelayanan
kedaruratan kepada masyarakat Kota, dioprasikan oleh petugas khusus
yang dilengkapi dengan tiga mobil ambulance, dan siaga 24 jam di setiap
pos jaga. Petugas PSC bergerak mengikuti pergerakan mobil pemadam pada
saat terjadi kebakaran dan PSC setiap saat bertugas mengevakuasi korban
kecelakaan lalulintas dan bencana lainya.
4. Search and Rescue (SAR)
Menurut Peraturan Menteri Perhubungan Nomor KM.43 Tahun 2005
Tentang Organisasi dan Tata Kerja Departemen Perhubungan, Searh and
Rescue (SAR) memiliki pengertian yaitu badan yang berfungsi melaksanakan
pembinaan, pengkoordinasian dan pengendalian potensi Search and Rescue
(SAR). dalam kegiatan SAR terhadap orang dan material yang hilang atau
dikhawatirkan hilang, atau menghadapi bahaya dalam pelayaran dan atau
penerbangan, serta memberikan bantuan SAR dalam penanggulangan
bencana dan musibah lainnya sesuai dengan peraturan SAR Nasional dan
Internasional.
5. Barisan Relawan Bencana
Barisan Relawan Bencana merupakan barisan relawan bencana yang
direkrut dari pegawai Satuan Kerja Perangkat Daerah (SKPD) dilingkungan
Pemerintah Kabupaten Pemalang yang ditugaskan ikut serta menangani
bencana.

2.5 Proses Siklus Manajemen Risiko Bencana


A. Pra bencana

9
Tahapan manajemen bencana pada kondisi sebelum kejadian atau pra
bencana meliputi kesiapsiagaan, peringatan dini dan mitigasi.
1. Kesiapsiagaan
Kesiagaan adalah serangkaian kegiatan yang dilakukan untuk
mengantisipasi bencana melalui pengorganisasian serta melalui langkah
yang tepat guna dan berdaya guna. Kesiagaan adalah tahapan yang paling
strategis karena sangat menentukan ketahanan anggota masyarakat dalam
menghadapi datangnya suatu bencana.
2. Peringatan dini
Peringatan dini disampaikan dengan segera kepada semua pihak,
khususnya mereka yang berpotensi terkena bencana akan kemungkinan
datangnya suatu bencana di daerahnya masing-masing. Peringatan
didasarkan berbagai informasi teknis dan ilmiah yang dimiliki dan diolah
atau diterima dari pihak berwenang mengenai kemungkinan datangnya
suatu bencana.
3. Mitigasi
Menurut Peraturan Pemerintah (PP) No. 21 tahun 2008, mitigasi bencana
adalah serangkaian upaya untuk mengurangi risiko bencana, baik melalui
pembangunan fisik maupun penyadaran dan peningkatan kemampuan
menghadapi ancaman bencana. Mitigasi adalah upaya untuk mencegah
atau mengurangi dampak yang ditimbulkan akibat suatu bencana. Upaya
memperkecil dampak negative bencana. Upaya mitigasi dapat dilakukan
dalam bentuk mitigasi struktur dengan memperkuat bangunan dan
infrastruktur yang berpotensi terkena bencana, seperti membuat kode
bangunan, desain rekayasa, dan konstruksi untuk menahan serta
memperkokoh struktur ataupun membangun struktur bangunan penahan
longsor, penahan dinding pantai, dan lain-lain. Selain itu upaya mitigasi
juga dapat dilakukan dalam bentuk non struktural, diantaranya seperti
menghindari wilayah bencana dengan cara membangun menjauhi lokasi
bencana yang dapat diketahui melalui perencanaan tata ruang dan wilayah
serta dengan memberdayakan masyarakat dan pemerintah daerah.
Contoh: zonasi dan pengaturan bangunan (building codes), analisis
kerentanan; pembelajaran public. Mitigasi harus dilakukan secara

10
terencana dan komprehensif melalui berbagai upaya dan pendekatan antara
lain:

a) Pendekatan teknis
Secara teknis mitigasi bencana dilakukan untuk mengurangi dampak suatu
bencana misalnya membuat material yang tahan terhadap bencana, dan
membuat rancanagan pengaman, misalnya tanggul banjir, lumpur dan lain
sebagainya.
b) Pendekatan manusia
Pendekatan manusia ditujukan untuk membentuk manusia yang paham
dan sadar mengenai bahaya bencana. Untuk itu perilaku dan cara hidup
manusia harus dapat diperbaiki dan disesuaikan dengan kondisi
lingkungan dan potensi bencana yang dihadapinya.
c) Pendekatan admisnistratif
Pemerintah atau pimpinan organisasi dapat melakukan pendekatan
administratif dalam manajemen bencana, khususnya di tahap mitigasi
sebagai contoh:
1. Penyususnan tata ruang dan tata lahan yang memperhitungkan aspek
risiko bencana
2. Penerapan kajian bencana untuk setiap kegiatan dan pembangunan
industri berisiko tinggi.
3. Menyiapkan prosedur tanggap darurat dan organisasi tanggap darurat di
setiap organisasi baik pemerintahan maupun industry berisiko tinggi.
d) Pendekatan kultural
Pendekatan kultural diperlukan untuk meningkatkan kesadaran mengenai
bencana. Melalui pendekatan kultural, pencegahan bencana disesuaikan
dengan kearifan masyarakat lokal yang telah mebudaya sejak lama.

B. Saat Bencana
Tahapan paling krusial dalam sistem manajemen bencana adalah saat
bencana sesungguhnya terjadi. Mungkin telah melalui proses peringatan dini,
maupun tanpa peringatan atau terjadi secara tiba-tba. Oleh karena itu
diperlukan langkah-langkah seperti tanggap darurat untuk dapat mengatasi
dampak bencana dengan cepat dan tepat agar jumlah korban atau kerugian
dapat diminimalkan.
11
a) Tanggap darurat
Tanggap darurat bencana adalah serangkaian kegiatan yang dilakukan
dengan segera pada saat kejadian bencana untuk menangani dampak
buruk yang ditimbulkan, yang meliputi kegiatan penyelamatan dan
evakuasi korban, harta benda, pemenuhan kebutuhan dasar, perlindungan,
pengurusan pengungsi, penyelamatan, serta pemulihan sarana prasarana.
Tindakan ini dilakukan oleh Tim penanggulangan bencana yang dibentuk
dimasing-masing daerah atau organisasi. Menurut PP No. 11, langkah-
langkah yang dilakukan dalam kondisi tanggap darurat antara lain:
1. Pengkajian secara cepat dan tepat terhadap lokasi, kerusakan, dan
sumberdaya, sehingga dapat diketahui dan diperkirakan magnitude
bencana, luas area yang terkena dan perkiraan tingkat kerusakannya.
2. Penentuan status keadaan darurat bencana.
3. Berdasarkan penilaian awal dapat diperkirakan tingkat bencana
sehingga dapat pula ditentukan status keadaan darurat. Jika tingkat
bencana terlalu besar dan berdampak luas, mungkin bencana tersebut
dapat digolongkan sebagai bencana nasional.
4. Penyelamatan dan evakuasi masyarakat terkena bencana.
Langkah selanjutnya adalah melakukan penyelamatan dan evakuasi korban
bencana. Hal yang dapat dilakukan antara lain:
1. Pemenuhan kebutuhan dasar
2. Perlindungan terhadap kelompok rentan (anak-anak, lansia, orang
dengan keterbatasan fisik, pasien rumah sakit, dan kelompok yang
dikategorikan lemah)
3. Pemulihan dengan segera sarana dan prasarana vital.
b) Penanggulangan bencana
Selama kegiatan tanggap darurat, upaya yang dilakukan adalah
menanggulangi bencana yang terjadi sesuai dengan sifat dan jenisnya.
Penanggulangan bencana memerlukan keahlian dan pendekatan khusus
menurut kondisi dan skala kejadian. Tim tanggap darurat diharapkan
mampu menangani segala bentuk bencana. Oleh karena itu Tim tanggap
darurat harus diorganisir dan dirancang untuk dapat menangani berbagai
jenis bencana.

12
C. Pasca Bencana
Setelah bencana terjadi dan setelah proses tanggap darurat dilewati, maka
langkah berikutnya adalah melakukan rehabilitasi dan rekonstruksi.
a) Rehabilitasi
Rehabilitasi adalah perbaikan dan pemulihan semua aspek pelayanan
public atau masyarakat sampai tingkat yang memadai pada wilayah pasca
bencana dengan sasaran utama untuk normalisasi atau berjalannya secara
wajarsemua aspek pemerintahan dan kehidupan masyarakat pada wilayah
pascabencana.
b) Rekonstruksi
Rekonstruksi adalah pembangunan kembali semua prasarana dan sarana,
kelembagaan pada wilayah pascabencana, baik pada tingkat pemerintahan
maupun masyarakat dengan sasaran utama tumbuh dan berkembangnya
kegiatan perekonomian, social, dan budaya, tegaknya hukum, dan
ketertiban, dan bangkitnya peran serta masyarakat dalam segala aspek
kehidupan bermasyarakat pada wilayah pasca bencana.

2.6 Identifikasi Risiko Bencana


Unsur berikutnya dalam sistem manajemen bencana adalah identifikasi dan
penilaian risiko bencana. Identifikasi bencana mutlak diperlukan sebelum
mengembangkan sistem manajemen bencana.Menurut PP No. 21 tahun 2008 ,
risiko bencana adalah potensi kerugian yang ditimbulkan akibat bencana pada
suatu wilayah dan kurun waktu tertentu dapat berupa kematian, luka, sakit,
jiwa terancam, hilangnya rasa aman, mengungsi, kerusakan atau kehilangan
harta. Dan gangguan kegiatan masyarakat. Risiko adalah merupakan kombinasi
antara kemungkinan dengan tingkat keparahan bencana yang mungkin terjadi.
Semakin tinggi ancaman bahaya di suatu daerah, maka semakin tinggi risiko
daerah tersebut terkena bencana. Demikian pula semakin tinggi tingkat
kerentanan masayarakat atau penduduk, maka semakin tinggi pula tingkat
risikonya. Tetapi sebaliknya, semakin tinggi tingkat kemampuan masyarakat,
maka semakin kecil risiko yang dihadapinya. Dengan menggunakan perhitungan
analisis risiko dapat ditentukan tingkat besaran risiko yang dihadapi oleh daerah
yang bersangkutan. Sebagai langkah sederhana untuk pengkajian risiko adalah
pengenalan bahaya/ancaman di daerah yang bersangkutan. Semua
13
bahaya/ancaman tersebut diinventarisasi, kemudian di perkirakan
kemungkinan terjadinya (probabilitasnya) dengan pertimbangan factor dampak
antara lain:
1. jumlah korban;
2. kerugian harta benda;
3. kerusakan prasarana dan sarana;
4. cakupan luas wilayah yang terkena bencana; dan
5. dampak sosial ekonomi yang ditimbulkan.

Berdasarkan dampak diatas, kita dapat memprioritaskan jenis ancaman bahaya


yang perlu ditangani. Ancaman dinilai tingkat bahayanya dengan skala (3-1)
1. Bahaya/ancaman tinggi nilai 3 (merah)
2. Bahaya/ancaman sedang nilai 2
3. Bahaya/ancaman rendah nilai 1

2.7 Analisis Risiko Bencana


Dilihat dari potensi bencana yang ada, Indonesia merupakan negara dengan
potensi bahaya yang sangat tinggi dan beragam baik berupa bencana alam,
ataupun bencana akibat ulah manusia. Beberapa potensi tersebut antara lain
adalah gempa bumi, tsunami, letusan gunung api, banjir, tanah longsor,
kekeringan, kebakaran lahan dan hutan. Potensi bencana yang ada di
Kabupaten Pemalang dapat dikelompokkan menjadi 2 kelompok utama, yaitu:
1. Potensi bahaya utama (main hazard) : Potensi bahaya utama (Main hazard)
ini dapat dilihat antara lain pada peta rawan bencana gempa di Indonesia
yang menunjukkan bahwa Indonesia adalah wilayah dengan zona-zona
gempa yang rawan, peta kerentanan bencana tanah longsor, peta daerah
bahaya bencana letusan gunung api, peta potensi bencana tsunami, peta
potensi bencana banjir, dan lain-lain.
2. Potensi bahaya ikutan (collateral hazard) : Potensi bahaya ikutan
(Collateral Hazard) merupakan suatu potensi bahaya yang kemungkinan
terjadi setelah bahaya utama terjadi dan dapat dilihat dari beberapa
indikator, diantaranya adalah likuifaksi, persentase bangunan yang terbuat
dari kayu, kepadatan bangunan, dan kepadatan industri berbahaya.
3. Potensi bahaya ikutan (collateral hazard potency) : ini sangat tinggi
terutama di daerah perkotaan yang memiliki kepadatan penduduk dan
14
bangunan, persentase bangunan kayu (utamanya di daerah pemukiman
kumuh perkotaan), dan jumlah industri berbahaya, yang tinggi. Dengan
indikator di atas, perkotaan Indonesia merupakan wilayah dengan potensi
bencana yang sangat tinggi.

Dalam melakukan pemetaan bencana harus dianalisa terlebih dahulu jenis


bahaya yang kemungkinan terjadi pada suatu daerah tersebut. Dengan
menganalisa jenis bahaya, dapat diperkirakan seberapa luas daerah yang
kemungkinan terkena dampak langsung dan tidak langsung dan bahaya ikutan
yang kemungkinan terjadi setelah bahaya utama terjadi, sehingga dapat
ditentukan langkah yang cepat dan tepat untuk mencegah ataupun
menanggulangi dampak yang besar dari bencana tersebut.

2.8 Manajemen Bencana


Definisi bencana menurut Undang –Undang Nomor 24 Tahun 2007 adalah
“peristiwa atau rangkaian peristiwa yang mengancam dan mengganggu
kehidupan dan penghidupan masyarakat yang disebabkan oleh faktor alam
dan/atau faktor non alam maupun faktor manusia sehingga mengakibatkan
timbulnya korban jiwa manusia, kerusakan lingkungan, kerugian harta benda,
dan dampak psikologis”. Frekuensi dan seberapa kuat atau besar bencana
tersebut pun susah untuk diprediksi. Melihat sifat dari bencana tersebut, maka
sering kali terjadi banyak kerugian dan korban meninggal dunia maupun luka-
luka. Pengertian bencana menurut Undang –Undang Nomor 24 Tahun 2007,
terfokus pada asal dari gangguan tersebut, Berdasarkan definisi bencana
tersebut maka definisi bencana dalam penelitian ini yaitu gangguan atau
ancaman dari keadaan normal hingga menyebabkan kerugian dari gangguan
tersebut yang bersumber dari alam, non alam dan sosial. Gangguan tersebut
tidak dapat diprediksi kapan, dimana dan kepada siapa terjadinya. Bencana ini
dapat terjadi di belahan dunia manapun dan pada bidang apapun.

BAB III
PENUTUP

3.1 Kesimpulan
15
Bencana adalah rangkaian yang mengancam dan mengganggu kehidupan
dan penghidupan masyarakat yang disebabkan, baik oleh faktor alam dan/atau
faktor non alam maupun faktor manusia sehingga mengakibatkan timbulnya
korban jiwa manusia, kerusakan lingkungan, kerugian harta benda, dan dampak
psikologis. Bencana terjadi hanya karena tidak terkelolanya resiko. Pengelolaan
resiko harus merupakan bagian integral dari pembangunan. Resiko memiliki dua
prasyarat utama yakni ancaman (hazard) dan kerentanan/kerapuhan
(vulnerabilities/fragilities). Management Pembangunan haruslah mampu
mengintegrasikan management resiko bencana dan sebaliknya, management
resiko bencana merupakan bagian dari upaya menuju pembangunan
berkelanjutan.

3.2 Saran
Baik untuk kita semua agar pengelolaan risiko yang merupakan bagian
integral dari pembangunan harus dilakukan sesuai dengan prinsip yakni
(hazard) dan kerentanan diusahakan seminimal mungkin. Pada saat terjadinya
bencana biasanya begitu banyak pihak yang menaruh perhatian dan
mengulurkan tangan memberikan bantuan tenaga, moril maupun material.
Banyaknya bantuan yang datang sebenarnya merupakan sebuah keuntungan
yang harus dikelola dengan baik, agar setiap bantuan yang masuk dapat tepat
guna, tepat sasaran, tepat manfaat, dan terjadi efisiensi. Dengan demikian
diharapkan pelaksanaan manajemen logistik dan peralatan dapat berjalan secara
efektif dan efisien serta terkoordinasi dengan baik.

DAFTAR ISI

BAB I PENDAHULUAN 1

16
1.1. Latar Belakang 1-3

1.2 Maksud dan Tujuan 3-4

BAB II PEMBAHASAN 5

2.1 Manajemen Resiko Bencana 5

2.2 Tujuan Manajemen Resiko Bencana 6

2.3 Manfaat Manajemen Resiko Bencana 6

2.4 Inovasi 7-9

2.5 Proses Siklus Manajemen Resiko Bencana 10 - 13

2.6 Identifikasi Resiko Bencana 13 - 14

2.7 Analisis Resiko Bencana 14 - 15

2.8 Manajemen Bencana 15

BAB III PENUTUP 16

3.1 Kesimpulan 16

3.2 Saran 16

17

Anda mungkin juga menyukai