Anda di halaman 1dari 19

BUKU SAKU

PERTOLONGAN PERTAMA
PSIKOLOGIS di LINGKUNGAN
RUMAH TAHANAN (RUTAN),
LEMBAGA PEMASYARAKATAN
(LAPAS), dan RUMAH DETENSI

Kedutaan Besar Inggris, Sehat Jiwa Bahagia, Direktorat


Jenderal Pemasyarakatan dan Direktorat Jenderal Imigrasi
Kementerian Hukum dan HAM Republik Indonesia

2021
DAFTAR ISI

Daftar Isi
Pendahuluan 1
Kata Pengantar 2
Disclaimer 3
BAB 1. Kesehatan Jiwa 4
1.1. Pengertian Kesehatan Jiwa 4
1.2. Hubungan Kondisi Kesehatan Jiwa dan Kesehatan Fisik 4
1.3. Kesehatan Jiwa dan Warga Binaan Pemasyarakatan (WBP) 4
BAB 2. Pertolongan Psikologis Pertama 6
2.1. Pengertian Pertolongan Psikologis Pertama 6
2.2. Piramida Intervensi Kesehatan Jiwa 7
2.3. Tujuan dan Prinsip PFA 7
BAB 3. Peran Petugas Non-Medis dalam Menjaga Kesehatan Jiwa di Lingkungan,
Rutan, Lapas dan Rumah Detensi 9
3.1. Peran Petugas Non-Medis dalam Menjaga Kesehatan Jiwa di Lingkungan
Rutan, Lapas dan Rumah Detensi 9
3.2. Cara Berkomunikasi dengan Individu yang Memiliki Masalah Kesehatan Jiwa 9
BAB 4. Karakteristik Individu dengan Masalah Kesehatan Jiwa dan Alur
Layanan Kesehatan Jiwa 14
4.1. Karakteristik Kondisi Psikologis yang Butuh Penanganan Psikolog atau
Psikiater 14
4.2. Informasi Layanan Psikologi yang Bisa Dihubungi 14
PENDAHULUAN

Buku panduan dasar ini merupakan hasil kerja sama antara Konsulat Inggris dan
Sehat Jiwa Bahagia untuk mendorong kepedulian dan peningkatan pelayanan
kesehatan jiwa di lingkungan lapas dan rumah detensi. Pembuatan buku panduan ini
didukung penuh oleh Direktorat Jenderal Pemasyarakatan (Ditjenpas) dan Direktorat
Jenderal Imigrasi. Pembuatan modul didasarkan pada hasil Focus Group Discussion
(FGD) terkait tantangan kesehatan jiwa di lingkungan lapas yang dilaksanakan pada
Senin, 22 Februari 2021 dan pelatihan kesehatan jiwa 101 yang dilaksanakan pada
Rabu, 10 Maret 2021 serta studi pustaka yang dilakukan oleh Tim Sehat Jiwa. Modul
ini bisa digunakan sebagai sumber pengetahuan, pedoman awal ataupun landasan
untuk menyusun kerangka teknis sistem pelayanan. Modul ini tidak untuk
mengatasi gangguan kejiwaan berat dan menegakkan diagnosa akan tetapi
untuk bisa menjadi sarana deteksi dini dan pemberian pertolongan pertama
masalah kejiwaan yang muncul pada warga binaan. Pada modul ini pembaca akan
mendapatkan pengetahuan dan juga keterampilan yang bisa digunakan dalam
berinteraksi dengan warga binaan.

Jika terdapat pertanyaan terkait buku saku ini ataupun institusi membutuhkan modul
lanjutan dan pelatihan untuk mengembangkan keterampilan dari petugas di lapangan
bisa menghubungi Sehat Jiwa melalui email di kolaborasi@sehatjiwa.id.

Kontributor Pengembangan Modul


Kedutaan Besar Inggris
Sehat Jiwa Bahagia
Dr. Albert Maramis
Puspita Alwi
Nur Ihsanti Amalia
Thelma Ghatya

1
KATA PENGANTAR

Puji dan Syukur kami panjatkan ke hadirat Tuhan Yang Maha Esa karena
atas RahmatNya, sehingga Buku Saku Pertolongan Pertama Psikologis di
Lingkungan Rumah Tahanan (Rutan), Lembaga Pemasyarakatan (Lapas),
Lembaga Pembinaan Khusus Anak (LPKA) dan Rumah Detensi Imigrasi
(Rudenim) selesai disusun. Kebutuhan adanya buku saku ini didasarkan
pada hasil asesmen pegawai di Rutan, Lapas, LPKA dan Rumah Detensi
terkait layanan kesehatan jiwa bagi Tahanan, Narapidana, Anak dan Deteni
melalui kegiatan FGD terkait layanan kesehatan jiwa yang dudukung penuh
oleh Kedutaan Besar Inggris dan Sehat Jiwa. Untuk itu kami mengucapkan
terima kasih atas dukungannya terkait layanan kesehatan jiwa di Rutan,
Lapas dan LPKA khususnya, sehingga angka kesakitan akibat gangguan
jiwa menurun dan dapat meningkatkan derajat kesehatan serta
meningkatkan kualitas hidup Tahanan, Narapidana dan Anak maupun
Deteni setelah mereka kembali ditengah keluarga dan masyarakat pada
umumnya. Mengingat kesehatan merupakan kunci utama Tahanan,
Narapidana dan Anak dalam mengikuti program pembinaan di Rutan,
Lapas dan LPKA, dan sesuai definisi sehat menurut WHO adalah suatu
keadaan sejahtera yang meliputi fisik, mental dan sosial yang tidak hanya
bebas dari penyakit atau kecacatan. Untuk itu penanganan kesehatan jiwa
merupakan hal yang menjadi perhatian di Rutan, Lapas dan LPKA, karena
masalah kesehatan jiwa merupakan tantangan yang unik karena masalah
kesehatan jiwa mungkin tidak dapat dilihat secara langsung seperti pada
masalah kesehatan fisik yang memperlihatkan berbagai macam gejala.
Dalam pelaksanaanya kedepan diharapkan buku saku ini dapat menjadi
acuan bagi tenaga non kesehatan khususnya dalam memberikan
pertolongan pertama psikologis kepada Tahanan, Narapidana dan Anak
maupun Deteni sebelum mendapatkan penanganan lanjutan oleh tenaga
kesehatan terlatih.

Jakarta, 12 Agustus 2021


DIREKTUR JENDERAL PEMASYARAKATAN,

Reynhard Silitonga
NRP. 67090332

2
DISCLAIMER

Modul ini dibuat oleh Kedutaan Besar Inggris Jakarta dan Konsulat Inggris Bali
bekerjasama dengan LSM Sehat Jiwa Bahagia. Semua informasi telah dikumpulkan
dengan hati-hati untuk mendapatkan tingkat akurasi yang baik, namun kami tidak
dapat bertanggung jawab atas kesalahan di buku ini dan kami menyarankan
pengguna untuk mengonfirmasi ulang detail detail dengan pakar medis atau
organisasi kesehatan di lapas. Kedutaan Besar Inggris Jakarta, Konsulat Inggris Bali
dan LSM Sehat jiwa Bahagia tidak bertanggung jawab atas segala tindakan yang
diakibatkan oleh penggunaan informasi dari modul ini.

Penggunaan modul ini dengan cara apapun, anda berarti telah menyetujui disclaimer
ini.

3
BAB 1
KESEHATAN JIWA

1.1. Pengertian Kesehatan Jiwa


Kesehatan jiwa merupakan kondisi dimana individu dapat mengetahui
kemampuan dirinya, dapat mengatasi stres sehari-hari, bekerja dengan produktif dan
juga dapat berkontribusi ke lingkungan sekitarnya1. Definisi kesehatan jiwa seringkali
disalahartikan sebagai suatu gangguan jiwa. Padahal, apabila merujuk pada
pengertiannya, kesehatan jiwa bukanlah sebuah gangguan. Selain itu, masyarakat
juga banyak yang menganggap masalah kesehatan jiwa merupakan sebuah
gangguan jiwa, padahal keduanya memiliki perbedaan. Adapun perbedaan antara
masalah kesehatan jiwa dan gangguan jiwa antara lain:

a. Selayaknya kesehatan fisik, semua individu pasti


memiliki kesehatan jiwa. Kesehatan jiwa seseorang bisa
berada di keadaan baik dan juga keadaan buruk. Hal
inilah yang memicu munculnya masalah kesehatan jiwa,
namun masalah tersebut tidak bisa langsung disebut
sebagai sebuah gangguan jiwa tanpa adanya diagnosa
dari tenaga profesional kesehatan jiwa seperti Psikolog
dan Psikiater;
b. Gangguan jiwa dapat mempengaruhi kemampuan
individu untuk berfungsi normal dalam waktu yang panjang. Individu harus
memenuhi berbagai macam kriteria untuk bisa didiagnosis memiliki gangguan
jiwa;
c. Individu bisa memiliki kesehatan jiwa yang buruk namun tidak didiagnosis
memiliki gangguan kejiwaan. Dan sebaliknya, individu yang didiagnosis
memiliki gangguan kejiwaan dapat merasakan periode dimana kesehatan
jiwanya baik.

1.2. Hubungan Kondisi Kesehatan Jiwa dan Kesehatan Fisik


Kesehatan didefinisikan sebagai suatu kondisi kesejahteraan fisik, mental dan
sosial serta bukan hanya ketiadaan penyakit atau kecacatan2. Merujuk pada definisi
tersebut maka kesehatan merupakan satu hal yang holistik mencakup fisik maupun
jiwa. Kondisi kesehatan pun dapat saling mempengaruhi satu sama lain.
Kesehatan jiwa yang buruk memiliki efek yang buruk terhadap kesehatan fisik,
begitu pula sebaliknya kesehatan fisik yang buruk juga bisa meningkatkan resiko
memburuknya kondisi kesehatan jiwa individu3. Hal ini dikarenakan keduanya saling
mempengaruhi satu sama lain. Salah satu contohnya ketika seseorang didiagnosa
memiliki penyakit kronis, ada kemungkinan hal ini membuatnya merasa putus asa dan

1
WHO (2018)
2
WHO (2003)
3
WHO (2003)

4
akan mempengaruhi kondisi mentalnya. Begitu juga sebaliknya, ketika seseorang
sedang merasakan stres, seringkali ia melupakan kebutuhan fisiknya yang
menyebabkan kondisi fisiknya menurun.

1.3. Kesehatan Jiwa dan Warga Binaan Pemasyarakatan (WBP)


Lingkungan Rutan, Lapas dan Rumah Detensi dapat memicu munculnya
pengaruh yang buruk terhadap kesehatan mental para Warga Binaan
Pemasyarakatan (WBP). Salah satu penyebabnya adalah tidak adanya batasan
kerahasiaan (privacy), kurangnya aktivitas yang bermakna, isolasi dari lingkungan
sosial, dan kecemasan akan masa depan. Kondisi ini berisiko menimbulkan berbagai
permasalahan kesehatan, termasuk kesehatan jiwa bagi para WBP. Maka dari itu,
perawatan kesehatan jiwa bagi para WBP diperlukan sebagai salah satu upaya untuk
membuat para WBP senantiasa sehat secara fisik maupun jiwa.
Keuntungan memperhatikan kondisi kesehatan jiwa para WBP di Lapas dan
Rumah Detensi adalah4:
a. Menjaga kesehatan jiwa para WBP
dapat meningkatkan kesehatan dan
kualitas hidupnya;
b. Stigma dan diskriminasi yang
dirasakan para WBP dengan
kesehatan jiwa yang buruk dapat
berkurang;
c. Menjaga kesehatan jiwa para WBP
juga akan meningkatkan
kemungkinan WBP bisa
beradaptasi dengan lebih baik di lingkungan sosial ketika mereka kembali ke
komunitasnya;
d. Kemampuan adaptasi yang baik di lingkungan sosial juga menurunkan
kemungkinan WBP untuk mengulangi kesalahannya dan kembali ke Lapas
atau Rumah Detensi.

4
Beynon & Drew (n.d.)

5
BAB 2
PERTOLONGAN PSIKOLOGIS PERTAMA
(PSYCHOLOGICAL FIRST AID/ PFA)

2.1. Pengertian Pertolongan Psikologis Pertama (Psychological First Aid)


Pertolongan Psikologis Pertama atau yang kerap disebut dengan Psychological
First Aid (PFA) adalah respons yang bersifat manusiawi dan suportif kepada sesama
manusia yang sedang menderita atau memerlukan dukungan5. PFA juga
dideskripsikan sebagai rangkaian tindakan dan teknik yang dilakukan segera setelah
terjadinya suatu kondisi traumatis untuk meminimalkan dampak negatif dimasa
mendatang dan mencegah munculnya stres6. Selain itu, PFA juga diartikan sebagai
cara untuk memberikan dukungan emosional dan membantu individu dari berbagai
latar belakang segera setelah terjadinya
bencana atau pengalaman traumatis lain7.
Respons dan dukungan yang termasuk di
dalam kajian PFA adalah hal-hal berikut ini8:
a. Memberikan perawatan dan
dukungan yang praktis, namun tidak
menginterupsi;
b. Mencanangkan kebutuhan dan hal-
hal yang harus diperhatikan;
c. Membantu untuk mendapatkan akses
terhadap kebutuhan dasar (contohnya: makanan dan minuman, informasi);
d. Menjadi pendengar, namun tidak memaksa mereka untuk berbicara;
e. Menghibur dan membantu mereka merasa tenang;
f. Membantu untuk terhubung pada penyedia informasi, layanan-layanan lain,
dan sosial;
g. Melindungi dari bahaya yang dapat muncul di kemudian hari.

PFA dianggap efektif dalam membantu memberikan pemulihan jangka panjang


karena beberapa hal yaitu9:
a. Memberikan perasaan aman, terhubung dengan yang lainnya, tenang, dan
penuh harapan;
b. Memiliki akses terhadap pemberian dukungan baik secara sosial, fisik dan
emosional;
c. Memberikan perasaan mampu untuk membantu dirinya sendiri, sebagai
individu, maupun sebagai komunitas.

5
IASC (2007)
6
Everly, Philips, Kane & Feldman (2006)
7
Everly, Philips, Kane & Feldman (2006)
8
WHO (2011)
9
WHO (2011)

6
2.2. Piramida Intervensi Kesehatan Jiwa

Pemberian intervensi atau penanganan yang berkaitan dengan kesehatan jiwa


pun disesuaikan dengan tingkatan-tingkatan dan spektrum kebutuhan kesehatan jiwa
serta psikososial individu atau komunitas. Pelaku intervensi perlu mempertimbangkan
aspek sosial dan budaya dalam layanan-layanan dasar, hingga memberikan layanan
spesialis untuk individu atau komunitas yang kondisinya lebih berat. Berikut gambar
piramida intervensi kesehatan jiwa yang menunjukkan tingkatan penanganannya.

Gambar 1. Piramida Intervensi Kesehatan Jiwa

Merujuk pada piramida tersebut, semua individu dapat terlibat dan berkontribusi
membantu individu lain yang memiliki masalah kesehatan jiwa. Adapun dalam konteks
petugas non-medis di Lapas dan Rumah Detensi juga berperan dalam membantu
memberikan penanganan pada individu yang memiliki masalah kesehatan jiwa.
Secara keseluruhan, petugas non-medis di Lapas dan Rumah Detensi dapat
berkontribusi untuk membantu individu yang memiliki masalah psikologis ringan dan
sedang, mulai dari memenuhi kebutuhan dasar, memberikan rasa aman, hingga
memberikan dukungan keluarga dan komunitas. Akan tetapi, apabila mendapatkan
pelatihan lebih lanjut, petugas non-medis di Lapas dan Rumah Detensi juga dapat
memberikan layanan terfokus untuk membantu individu yang memiliki masalah
kesehatan mental sedang. Namun, apabila sudah ditemukan individu yang memiliki
gangguan psikologis serius, maka petugas non-medis di Lapas dan Rumah Detensi
perlu dirujuk ke pelayanan kesehatan jiwa yang ditangani oleh spesialis seperti
psikiater, psikolog, dan perawat jiwa.

2.3. Tujuan dan Prinsip PFA


Pemberian pertolongan psikologis pertama pada individu yang mengalami
pengalaman traumatis bertujuan untuk mengurangi dampak negatif dari pengalaman
traumatis yang dapat muncul di kemudian hari, menguatkan fungsi adaptif individu

7
jangka panjang dan pendek, serta membantu akselerasi proses pemulihan pada
individu yang sedang menghadapi suatu pengalaman traumatis tertentu10. PFA dapat
diberikan pada karakteristik individu atau kelompok berikut11:
a. Individu atau kelompok dengan cedera yang serius dan mengancam jiwa,
sehingga membutuhkan pertolongan gawat darurat medis;
b. Individu atau kelompok yang sangat terpukul, sehingga mereka tidak dapat
mengurus dirinya sendiri atau anak-anaknya;
c. Individu atau kelompok yang memiliki kemungkinan untuk menyakiti dirinya
sendiri;
d. Individu atau kelompok yang memiliki kemungkinan dapat menyakiti orang lain;

Prinsip pemberian pertolongan psikologis pertama yang penting untuk


diperhatikan12:
a. Berikan bantuan sesegera mungkin pada individu yang memerlukan bantuan;
b. Fokus pada kemampuan yang dimiliki individu yang memerlukan bantuan;
c. Berikan dukungan emosional pada individu yang memerlukan bantuan;
d. Bersikap jujur, hindari menjanjikan sesuatu yang tidak bisa dipenuhi;
e. Sediakan informasi yang akurat dan logis sesuai dengan situasi yang ada.

Pemberian pertolongan psikologis pertama juga memiliki aturannya tersendiri.


Beberapa hal yang perlu dihindari oleh pendamping dalam memberikan PFA
pada individu yang memerlukan bantuan, yaitu13:
a. Berasumsi semua individu yang memerlukan bantuan mengalami trauma
(traumatized);
b. Patologisasi atau fokus ke gangguan;
c. Berasumsi semua individu ingin berbicara;
d. Meminta atau bahkan memaksa individu menyampaikan secara detail apa
yang terjadi dan dirasakan oleh individu;
e. Memandang rendah individu;
f. Memberikan informasi secara spekulatif.

10
Sumampouw (2008)
11
WHO (2011)
12
Sumampouw (2008)
13
Sumampouw (2008)

8
BAB 3
PERAN PETUGAS NON-MEDIS DALAM MENJAGA
KESEHATAN JIWA DI LINGKUNGAN RUTAN, LAPAS DAN
RUMAH DETENSI

Berdasarkan Focus Group Discussion (FGD) dan Training Mental Health 101 yang
dilaksanakan Konsulat Inggris bersama Sehat Jiwa pada bulan Februari-Maret 2021, maka
dapat disimpulkan bahwa petugas Lapas baik yang memiliki latar belakang medis maupun
non medis berperan penting dalam menjaga kondisi kesehatan jiwa Warga Binaan
Pemasyarakatan yang didampingi. Pada bagian ini dijelaskan mengenai peran-peran yang
bisa diambil oleh petugas non-medis dan cara berkomunikasi yang bisa menunjang kondisi
kejiwaan seseorang.

3.1. Peran Petugas Non-Medis dalam Menjaga Kesehatan Jiwa di Lingkungan


Rutan, Lapas dan Rumah Detensi

Beberapa hal yang dapat dilakukan oleh petugas non-medis di Rutan, Lapas dan
Rumah Detensi antara lain:
a. Memastikan kondisi psikologis ketika penerima manfaat masuk ke lingkungan
Rutan/Lapas/Rumah Detensi;
b. Menjadi pendengar yang baik;
c. Melakukan observasi berkala terhadap sikap-sikap yang ditampilkan oleh
WBP;
d. Melakukan pendekatan jika ada WBP yang menunjukkan kerentanan
psikologis seperti: berdiam diri, sering berkonflik dengan WBP lain,
murung, marah-marah, tidak mau makan, susah tidur, dan tanda lain yang
terlihat berbeda dengan kebiasaan WBP;
e. Memberikan bantuan psikologis pertama kepada WBP yang membutuhkan;
f. Membuat program-program kelompok yang bisa memberikan dukungan
psikososial untuk menciptakan sistem dukungan di dalam lingkungan
Rutan/Lapas/Rumah Detensi;
g. Memastikan penerima manfaat yang membutuhkan obat-obatan sebagai
bentuk intervensi psikologis mengkonsumsi obatnya sesuai dengan kebutuhan;
h. Merujuk WBP kepada tenaga medis atau profesional seperti psikolog, psikiater
dan perawat jiwa jika diperlukan tindakan lanjutan.

3.2. Cara Berkomunikasi dengan Individu yang Memiliki Masalah Kesehatan


Jiwa
Hal yang tak kalah penting dalam menangani individu dengan masalah kesehatan
jiwa adalah cara pendekatan dan komunikasi yang terjalin dengan petugas
pendamping.

9
Beberapa hal yang perlu diperhatikan dalam membangun komunikasi dengan
individu yang memiliki masalah kesehatan jiwa adalah:
1. Bahasa
a. Gunakan bahasa sehari-hari, jangan berusaha menyederhanakan seperti
bicara dengan anak-anak (tidak menggunakan istilah yang sulit dipahami);
b. Gunakan gaya bahasa yang menormalisasi pengalaman yang dirasakan
oleh WBP yang sedang bercerita terkait masalah yang dirasakannya.
Misalnya “Wah wajar ya pak, bapak merasa sedih karena sudah lama tidak
berkomunikasi dengan keluarga”;
c. Gunakan istilah yang sama dengan yang digunakan oleh WBP tersebut
untuk menggambarkan pengalaman mereka. Contohnya jika WBP
bercerita bahwa dia sedang merasa tertekan, gunakan bahasa yang sama
dengan bertanya “oh jadi ibu atau bapak saat ini merasa, kalau saya boleh
tau tertekan yang dirasakan seperti apa?”;
d. Hindari pemakaian istilah yang menstigma seperti gila, lemah, kurang
iman, kurang waras, dan lain sebagainya.

2. Bahasa Tubuh
a. Hindari menyentuh individu lain tanpa izin terlebih dahulu;
b. Minimalisir Bahasa tubuh yang menunjukkan kegugupan seperti
menggerak-gerakkan kaki dan tangan, meremas jari, menggigit kuku dan
lain sebagainya;
c. Apabila lawan bicara duduk, usahakan posisi tubuh setara dengannya.

3. Mendengarkan Tanpa Menghakimi


a. Tunjukkan perilaku empatik, dengarkan tanpa menghakimi;
b. Tunjukkan bahwa kita paham apa yang dialami dan dirasakan, misalnya
merespon dengan kalimat “Tampaknya memang menjengkelkan”, “Saya
melihat bahwa anda tidak tahu harus berbuat apa”;
c. Tanyakan pertanyaan klarifikasi jika diperlukan dan ulangi beberapa hal
untuk menunjukkan kalau anda mendengarkan;
d. Berikan ringkasan tentang apa yang telah dikatakannya untuk mengecek
apakah pemahaman anda tepat.

10
* Skenario bisa berbeda untuk itu penting bagi petugas mengenali hal yang penting dan bisa memotivasi penerima manfaat untuk
mengambil tindakan

11
Selain langkah-langkah tersebut, berikut beberapa situasi yang mungkin
pendamping temui saat melakukan pendampingan dan cara berhadapan dengan
situasi tersebut14:

1. Tingkah Laku Agresif


Hal yang dilakukan ketika berhadapan dengan perilaku agresif:
1. Tetap tenang dan hindari argumentasi
Ketika berhadapan dengan orang yang agresif tidak jarang kita ikut
terbawa emosi. Pendamping bisa menarik napas dan menyadari
perasaan yang dimiliki agar lebih memahami konteks masalah yang
terjadi dan tidak terjebak ke dalam argumentasi dengan penerima
manfaat.
2. Jaga diri dan pastikan tidak ada benda tajam/ alat membahayakan
Pastikan untuk mengamankan diri terlebih dahulu sebelum memberikan
bantuan, jika memang ada kondisi yang sulit dikontrol pendamping bisa
meminta bantuan rekan kerja agar lebih aman.
3. Mendengarkan
Mendengarkan menjadi hal yang sulit dilakukan akan tetapi kebanyakan
perilaku agresif muncul karena individu tersebut tidak merasa
didengarkan, tidak ada yang menghargai pendapatnya sehingga
mereka merasa menyuarakan suara mereka dengan agresif bisa
4. Hindari Penilaian
Memberikan penilain akan sikap agresif yang ditampilkan bisa membuat
kita salah dalam memberikan pertolongan dan mempengaruhi
hubungan yang terjalin. Munculnya tingkah laku agresif pasti memiliki
pemicu, pemicu ini baru bisa kita ketahui jika kita memiliki keinginan
untuk memahami penerima manfaat secara utuh.
5. Jaga kontak mata
Menjaga kontak mata agar terlihat jujur dan percaya diri menjadi hal
yang penting, kontak mata ini akan membantu memperlihatkan bahwa
kita tulus ingin membantu.
6. Mengetahui kapan harus diam
Ketika tingkah laku agresif muncul kita kerap sulit untuk berbicara
dengan yang bersangkutan. Pendamping bisa menunggu hingga kondisi
lebih tenang untuk mendalami alasan
7. Memaksa dampingan untuk tenang
Meminta seseorang untuk tenang ketika sedang emosi bukanlah hal
yang mudah, daripada memintanya untuk tenang pendamping bisa
menanyakan alasan dan mencari tahu bagaimana ia bisa kita bantu

14
Preftrain (n.d)

12
2. Bunuh Diri
Hal yang bisa dilakukan petugas berhadapan dengan orang yang sedang
berpikir untuk bunuh diri yaitu15:
1. Menanyakan pertanyaan
Petugas bisa melakukan asesmen sederhana untuk melihat risiko
penerima manfaat tersebut melakukan bunuh diri, berikut beberapa
pertanyaan yang bisa ditanyakan:
● Apakah kamu sudah memiliki rencana bagaimana melakukannya?
● Apakah kamu sudah memiliki semua yang kamu butuhkan untuk
menjalankan rencana tersebut?
● Kapan kamu berencana melakukannya?
● Apakah kamu ingin mengakhiri hidupmu sendiri?
2. Memperhatikan tingkah laku yang ditunjukkan
Berikut beberapa tingkah laku yang sering ditunjukkan individu yang
ingin bunuh diri:
● Sering membicarakan tentang mengakhiri hidup/bunuh diri
● Meminta/mencari akses kepada senjata tajam ataupun alat lainnya
yang bisa digunakan untuk bunuh diri
● Menjauhkan diri dari orang lain
● Mengucapkan selamat tinggal
● Memunculkan tingkah laku yang bisa merusak dirinya

Jika seseorang sudah mengancam atau memang sudah terlihat akan


melakukan berikut langkah yang bisa dilakukan:
a. Jangan tinggalkan sendirian
b. Hubungi nomor darurat atau jika dirasa aman bawa ke rumah sakit
terdekat
c. Periksa apakah yang bersangkutan dalam pengaruh obat/alkohol
d. Beritahukan anggota keluarganya akan apa yang terjadi

15
Smith dkk (2020)

13
BAB 4
KARAKTERISTIK INDIVIDU DENGAN MASALAH KESEHATAN
JIWA DAN ALUR LAYANAN KESEHATAN JIWA

4.1. Karakteristik Kondisi Psikologis yang Butuh Penanganan Psikolog atau


Psikiater

Secara umum, karakteristik utama individu yang membutuhkan penanganan


psikolog atau psikiater adalah ketika individu tidak dapat berfungsi secara normal atau
ada hal yang ia rasakan mengganggu kegiatannya sehari-hari. Akan tetapi, terdapat
beberapa karakteristik yang menunjukkan individu membutuhkan penanganan lebih
lanjut yaitu16:
a. Overwhelm. Ketika individu merasa terlalu banyak hal yang terjadi dan perlu
kamu lakukan sehingga kamu merasa tidak bisa tenang;
b. Kelelahan Ekstrim (Fatigue). Ketika individu merasa kelelahan secara terus
menerus walaupun sudah beristirahat dengan banyak;
c. Kemarahan yang tidak proporsional. Marah merupakan hal yang wajar,
namun perlu diperhatikan jika cara mengekspresikan kemarahannya dengan
melakukan tindakan kekerasan atau terlalu berlebihan secara intensitas dan
frekuensi;
d. Cemas dan pikiran mengganggu. Jika kekhawatiran mulai menyita sebagian
besar hari sehingga individu tidak bisa berfungsi secara normal, maka perlu
untuk meminta penanganan lebih lanjut oleh psikolog atau psikiater;
e. Keputusasaan. Kehilangan harapan, motivasi, atau merasa tidak memiliki
masa depan, dapat mengindikasikan depresi atau kondisi kesehatan mental
lainnya. Wajar jika merasa putus asa di masa sulit, namun jika kondisi ini terus
berlanjut, maka penanganan lebih lanjut diperlukan;
f. Penarikan sosial. Jika individu merasa tertekan untuk berada di sekitar orang
lain dan takut berada di kondisi seperti itu, hal ini bisa menjadi penanda bahwa
ada hal yang perlu diketahui lebih lanjut.

4.2. Informasi Layanan Psikologi yang Bisa Dihubungi


Petugas bisa memberikan bantuan psikologis awal dengan mendengarkan,
memberikan dukungan, mencoba memahami dan menanyakan bantuan yang
dibutuhkan. Akan tetapi jika hal yang terjadi sudah diluar kapasitas petugas dan
perilaku yang ditampilkan dirasa sudah membahayakan diri penerima manfaat atau
orang-orang disekitarnya, petugas bisa berkoordinasi dengan Petugas Medis Lapas
atau Rumah Detensi untuk mengakses layanan psikologis. Adapun layanan lanjutan
yang bisa diakses sebagai rujukan yaitu17:

16
Raypole (2020)
17
Into the light

14
a. Layanan Konseling Individu Tatap Muka
● Psikolog atau Psikiater yang ada di Rutan/Lapas/Rumah Detaini atau
Lembaga Psikologi yang sudah menjalin kerja sama
● Rumah Sakit di daerah setempat. Adapun database dari penyedia layanan
tatap muka bisa dilihat pada tautan berikut
http://bit.ly/DatabaseLayananPsikologi.

b. Layanan Konseling Daring atau Online


Layanan konseling daring bisa dijadikan solusi jika terdapat keterbatasan
tenaga profesional kesehatan jiwa di daerah. Namun, ada beberapa hal yang
perlu diperhatikan mengenai layanan konseling online yaitu:
● Bukan layanan darurat. Apabila seseorang berada dalam kondisi yang
mengancam nyawa, segera hubungi 119 atau menuju Instalasi Gawat
Darurat (IGD) rumah sakit terdekat
● Tidak tersedia 24 jam dan/atau di hari libur. Silahkan tanyakan kepada
masing-masing penyedia layanan
● Hanya menerima konsultasi melalui pesan teks (chat) atau telepon dan
mungkin tidak menerima konseling via video call.
● Tidak menyediakan layanan diagnosis kondisi kejiwaan dan pemberian
resep obat-obatan. Kamu mungkin tetap akan diminta untuk melakukan
diagnosis, terapi, dan pembelian resep obat secara tatap muka.

Adapun beberapa penyedia layanan konseling online yaitu:

No. Nama Penyedia Layanan Keterangan

1. Ruang Jiwa oleh Sehat Jiwa Ruang Jiwa menyediakan layanan kesehatan
jiwa bertingkat, terjangkau dan holistik. Konseling
bisa dilakukan bersama konselor atau psikolog
Sehat Jiwa sesuai dengan kebutuhan dari klien.
Layanan ini juga terjangkau bisa diakses melalui
https://ruangjiwa-sehatjiwa.appointlet.com/

2. Riliv Riliv menyediakan layanan konseling masalah


pribadi atau masalah psikologis secara online
dengan psikolog berlisensi dan profesional
dengan harga yang terjangkau. Informasi
mengenai layanan dapat diakses melalui
instagram @riliv

3. Getbetter.id Getbetter.id adalah penyedia layanan konseling


online di mana pengguna dapat berkonsultasi
dengan psikolog profesional selama 90 menit
melalui telepon.

15
4. Kalm Kalm menyediakan layanan konseling online
yang fleksibel, privat, dan terjangkau. Kalm akan
mencocokkan pengguna dengan Kalmselor
sesuai kebutuhan sesuai kuesioner singkat yang
diisi pengguna setelah registrasi. Layanan ini
dapat diakses melalui aplikasi get.kalm

5. KLEE KLEE adalah biro psikologi yang berbasis di Pluit,


Jakarta Utara, melayani layanan konseling offline
maupun online melalui chat, telepon, dan video
call.

Tabel 1. Layanan Konseling Daring/ Online

c. Dukungan Kelompok Psikososial


Layanan ini cocok untuk memberikan pendampingan psikologis dan mencegah
munculnya gangguan psikologis berat pada WBP. Layanan ini bisa membantu
WBP merasa tidak lagi sendirian dalam menghadapi tantangan ataupun
masalah yang dirasakan selama berapa di lingkungan lapas. Jika pihak Lapas
atau Rumah Detensi ingin bekerja sama untuk penyediaan layanan ini di
lingkungan Lapas bisa menghubungi kolaborasi@sehatjiwa.id.

16
REFERENSI

Beynon , J., & Drew , N. (n.d.). Mental Health and Prison. World Health Organization.
Diakses dari https://www.who.int/mental_health/policy/mh_in_prison.pdf
Difference Between Mental Health and Mental Illness. Stop Overdose BC. (2019, July
18).
Everly, G. S., Jr., Phillips, S. B., Kane, D., & Feldman, D. (2006). Introduction to and
Overview of Group Psychological First Aid. Brief Treatment and Crisis Intervention,
6(2), 130–136.
Inter-Agency Standing Committee (IASC). (2007). IASC Guidelines on Mental Health
and Psychosocial Support in Emergency Settings. Geneva: IASC. Diakses dari
http://www. who.int/mental_health_psychosocial_june_2007.pdf
Preftrain (n,d). Tips to deal with aggressive behavior. Diakses dari
https://www.preftrain.com.au/tips-to-deal-with-aggressive-behaviour/
Mayo Clinic (n.d) Suicide: What to do When someone suicidal. Diaksed dari
https://www.mayoclinic.org/diseases-conditions/suicide/in-depth/suicide/art-
20044707
Smith dkk (2020). Suicde Prevention. Diakses dari
https://www.helpguide.org/articles/suicide-prevention/suicide-prevention.htm
Raypole, C. (2020, February 17). Why Should I Go to Therapy?. GoodTherapy.org
Therapy
Blog. Diakses dari https://www.goodtherapy.org/blog/why-should-i-go-to-therapy-
8-signs-its-time-to-see-a-therapist-0118197
Sack, D. (2013). 5 Signs It's Time to Seek Therapy. Psychology Today.
https://www.psychologytoday.com/us/blog/where-science-meets-the-
steps/201303/5-signs-its-time-seek-therapy.
Sumampow, N. (2008). Psychological First Aid (PFA). Depok: Pusat Krisis Fakultas
Psikologi Universitas Indonesia.
WHO. (2003). Kesehatan Mental dalam Kedaruratan. Diakses dari
https://www.who.int/mental_health/resources/mental_health_in_emergenices_ba
haapdf
WHO. (2011). Pertolongan Psikologis Pertama: Panduan bagi Relawan Bencana.
Diakses dari
https://apps.who.int/iris/bitstream/handle/10665/44615/9789241548205-ind.pdf
WHO. (2018). Mental Health Stengthening Our Response. Diakses dari
https://www.who.int/news-room/fact-sheets/detail/mental-health-strengthening-
our-response

17

Anda mungkin juga menyukai