Nama-nama Kelompok 3 :
KUPANG
2021
BAB I
PENDAHULUAN
PEMBAHASAN
Teknologi kini telah merambah ke setiap lini kehidupan manusia. Tak hanya yang
berhubungan dengan jaringan internet dan konteks visioner, teknologi juga telah masuk ke
ranah tradisional seperti peternakan. Teknologi peternakan sendiri kemudian diadaptasi guna
dapat menyesuaikan industri peternakan yang telah ada sejak jaman dahulu, agar dapat
bersaing dengan industri lain dan mengikuti perkembangan zaman. Tentu saja, penerapan
teknologi peternakan ini memiliki maksud agar peternak dan orang yang membutuhkan
hewan ternak dapat bertransaksi dengan lebih mudah. Selain itu, adanya teknologi juga dapat
membantu peternak memaksimalkan hasil ternak yang dimilikinya sehingga mendapatkan
pendapatan yang lebih baik dan menaikan taraf hidup mereka.
Namun pada kenyataannya bidang peternakan sekarang ini belum mampu secara optimal
dalam menjalankan peran strategis seperti yang telah dijelaskan diatas. Hal ini dikarenakan
kebanyakan usaha peternakan masih dikelola secara tradisional sehingga belum mampu
memberikan kesejahteraan yang memadai dan juga belum mampu mencukupi kebutuhan
protein hewani yang terjangkau oleh masyarakat, karena sebagian besar sumber protein
hewani terutama daging dan susu masih inpor sehingga harganya relatif tinggi. Untuk itu
perlu adanya usaha yang terpadu sehingga bidang peternakan ini benar-benar mampu
berperan dalam mensejahterakan rakyat melalui penyediaan lapangan pekerjaan dan
penyediaan protein hewani yang mencukupi kebutuhan masyarakat dengan harga terjangkau.
Pengembangan ternak sangat ditentukan oleh daya dukung wilayah, khususnya
ketersediaan pakan berupa hijauan pakan (rumput dan leguminosa) dan limbah
pertanian/perkebunan. Hijauan pakan ternak dapat bersumber dari rumput alam maupun
rumput yang dibudidayakan, selain dari padang penggembalaan. Kondisi daya dukung
wilayah sangat menentukan potensi pengembangan ternak sapi potong spesifik lokasi. Oleh
karena itu, pengembangan ternak berbasis wilayah sangat menentukan peningkatan
produktivitas dalam mendukung produksi daging nasional.
Nusa Tenggara Timur (NTT) pada tahun 1980-an merupakan gudang sapi potong yang
secara rutin memasok kebutuhan daging bagi wilayah Pulau Jawa. Pada saat itu, secara rutin
dilakukan pengapalan sapi dari pelabuhan Atapupu, Kecamatan Atambua, Kabupaten Belu
seminggu sekali sekitar 200 ekor dengan bobot badan di atas 250 kg (Priyanto 1998).
Kabupaten Timor Tengah Utara (TTU) merupakan salah satu Kabupaten di Propinsi Nusa
Tenggara Timur (NTT), terletak di Pulau Timor bagian barat sangat potensial untuk
pengembangan ternak sapi Bali, hal ini terbukti karena sapi Bali telah dimasukkan dalam
jumlah kecil ke Pulau Timor sejak tahun 1912 dan ternak ini berkembang biak dengan pesat
dan populasinya terus meningkat (Toelihere, 1993).
Pada pola usaha pembibitan diperlukan dukungan area penggembalaan. Dengan sistem
penggembalaan (ekstensif), peternak dapat memelihara ternak dalam skala besar sehingga
mampu memperoleh keuntungan yang lebih besar dibandingkan dengan pola intensif
(Priyanto dan Yulistiani 2005). Oleh karena itu, diperlukan perbaikan manajemen
pemeliharaan ternak yang mampu mendukung perkembangan dan produktivitas sapi potong.
Hal ini sesuai program pemerintah yang akan mengembangkan NTT sebagai wilayah sumber
ternak nasional, merujuk program pemerintah daerah yang menargetkan populasi satu juta
sapi pada tahun 2018 (Azilvia 2015).
2.2 Pengembangan Teknologi Pakan untuk Meningkatkan Produksi Sapi Potong di Pulau
Timor
Salah satu upaya penyediaan pakan pada musim kemarau adalah mengawetkan pakan
hijauan dan sisa hasil pertanian pada musim hujan untuk dimanfaatkan pada musim kemarau.
Untuk kondisi lahan kering, pengawetan pakan melalui pengeringan (hay) lebih
memungkinkan dibandingkan dengan pembuatan silase. Teknologi pengeringan pakan
mempunyai prospek usaha yang menjanjikan di wilayah kering karena kemudahan dalam
proses penyimpanan dan transportasi. Selain rumput alam, berbagai sisa hasil tanaman
pangan dapat diawetkan sebagai cadangan pakan pada musim kemarau. Bila hal ini
dilakukan maka produktivitas ternak sapi dapat ditingkatkan (Wirdahayati dan Kali Taek
1993). Pengawetan sisa hasil tanaman pangan telah dilakukan oleh petani di NTB (Bamualim
et al. 1994b). Pengembangan sapi potong dapat didukung oleh sisa hasil tanaman padi
(415.000 ha), tanaman jagung (315.000 ha), dan tanaman jambu mete (235.000 ha) (BPS
NTB 2008; BPS NTT 2008).
Pakan suplemen merupakan pakan berkualitas yang diberikan pada ternak dalam periode
tertentu untuk menutupi kekurangan nutrisi sekaligus mencukupi kebutuhan produksi ternak.
Pakan suplemen dapat berupa daun legum dan nonlegum, serta bahan pakan sumber protein,
energi, dan mineral. Pemberian pakan suplemen lokal seperti putak (isi batang gewang =
Corypha gebanga) sebagai sumber energi yang dikombinasikan dengan urea sebagai sumber
protein dan nonprotein nitrogen (NPN), berpengaruh positif terhadap ternak (Nggobe dan
Bamualim 1992; Bamualim et al. 1993a, 1993b, 1993c). Pakan suplemen tersebut
meningkatkan pertumbuhan 0,1- 0,2 kg/hari pada musim hujan dan mengurangi kehilangan
bobot badan dari 0,25 kg menjadi 0,15 kg/ekor/hari pada musim kemarau. Pemberian pakan
suplemen pada induk sapi bali dan sapi ongole meningkatkan produktivitas ternak setelah
melahirkan pada musim kemarau. Bobot badan induk pada 3 bulan setelah melahirkan dapat
dipertahankan, produksi susu induk naik dari 2,2 kg menjadi 2,8 kg/ekor/hari pada sapi bali
dan dari 3,2 kg menjadi 4,3 kg/ ekor/hari pada sapi ongole. Hal ini berdampak pada
pertambahan bobot badan anak sapi dari 0,15 kg menjadi 0,20 kg/ekor/ hari pada sapi bali
dan dari 0,32 kg menjadi 0,47 kg/ekor/hari pada sapi ongole. Demikian pula kebuntingan
setelah melahirkan menjadi 1-2 bulan lebih cepat (Wirdahayati 1994; Bamualim 1994c;
Bamualim et al. 2000). Hasil penelitian pada ternak kambing juga menunjukkan pemberian
suplemen hijauan legum sebagai sumber protein sejak ternak disapih sampai dengan turunan
ketiga meningkatkan kelahiran anak 300% lebih tinggi daripada tanpa suplementasi
(Budisantoso et al. 1993; Budisantoso dan Bamualim 1994).
Kelahiran anak sapi bali yang terkonsentrasi pada musim kemarau menyebabkan
pertumbuhannya rendah dan kematian anak sapi tinggi (Banks 1986). Upaya untuk
mengurangi kematian anak sapi dapat dilakukan dengan memberikan pakan khusus bagi anak
sapi, dibarengi dengan penyapihan dini (Wirdahayati 2000). Pakan suplemen pengganti susu
berupa hijauan legum, di samping rumput, dapat diberikan pada anak sapi sejak umur 3-6
bulan. Hasil penelitian pemberian pakan khusus bagi anak sapi bali di Pulau Timor yang
dibarengi dengan penyapihan dini (Wirdahayati 2000; Wirdahayati et al 2000)
memperlihatkan bahwa pemberian pakan suplemen langsung pada anak sapi yang disapih
pada umur 3-6 bulan menghasilkan pertumbuhan 0,30 kg/ekor/hari dibanding anak sapi
kontrol yang bobot badannya hanya bertambah 0,10 kg/ekor/ hari. Angka kematian anak juga
menurun dari 30% menjadi nihil. Pertumbuhan anak sapi juga lebih cepat sehingga
mempercepat mencapai dewasa kelamin.
Inseminasi buatan (IB) atau kawin suntik merupakan teknologi reproduksi generasi
pertama yang bertujuan memanfaatkan seekor hewan jantan unggul secara maksimal dengan
cara memasukkan mani ke dalam saluran alat kelamin betina dengan metode atau alat khusus
yang disebut insemination gun. Pada saat ini program IB berkembang menjadi gertak berahi
dan inseminasi buatan (GBIB) yang pada tahun 2015 ditargetkan akan menghasilkan
kelahiran lebih dari 500 ribu ekor (Ditjen PKH, 2015). GBIB dilakukan dalam upaya
mencapai ketepatan perkawinan sehingga jarak beranak dapat diperpendek karena ada
sinkronisasi berahi (menggunakan hormon), perkawinan dapat dilakukan tepat waktu, dan
deteksi kebuntingan dapat terkontrol. GBIB lebih tepat diterapkan di NTT karena manajemen
pemeliharaan yang ekstensif.
BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Teknologi merupakan salah satu alat yang perlu dikembangkan dalam berbagai bidang
salah satunya peternakan. Dengan berkembangnya teknologi maka peternakan yang telah ada
sejak jaman dahulu, agar dapat bersaing dengan industri lain dan mengikuti perkembangan
zaman. Hal ini dapat membantu meningkatkan produktifitas ternak sehinngga menghasilkan
ternak yang banyak untuk memenuhi kebutuhan pasar/konsumen. Teknologi juga dapat
membantu peternak memaksimalkan hasil ternak yang dimilikinya sehingga mendapatkan
pendapatan yang lebih baik dan menaikan taraf hidup mereka.
DAFTAR PUSTAKA
Priyanto, D. 1998. Timor Timur sebagai potensi sapi potong untuk diantarpulaukan: Analisis
karakterisasi sosioekonomi pelaku usaha ternak. Prosiding Dinamika Ekonomi
Pedesaan dan Peningkatan Daya Saing Sektor Pertanian. Pusat Penelitian Sosial
Ekonomi Pertanian, Bogor. hlm. 4755.
Azilvia, D. 2015. Kementerian Pertanian dorong NTT jadi sentra ternak nasional.
http://industri.bisnis.com/read/20150528/99/ 438208/kementerian-pertanian dorong-ntt-
jadi- sentra-ternaksapi-nasional.
Toelihere, M.R., 1993. Rangkaian Studi Tentang Berbagai Aspek Reproduksi Pada Ternak Sapi
Bali di Pulau Timor, NTT. Forum Komunikasi Hasil Penelitian Bidang Peternakan,
Yogyakarta.
Bamualim, A.M. 1994b. Usaha peternakan sapi di Nusa Tenggara. hlm. 27-43. Prosiding
Seminar Pengolahan dan Komunikasi Hasil-hasil Penelitian Peternakan dan Temu
Aplikasi Paket Teknologi Pertanian, Kupang, 1-3 Maret 1994. Subbalai Penelitian
Ternak Lili-Kupang dan Balai Informasi Pertanian Noelbaki-Kupang, Nusa Tenggara
Timur.
Wirdahayati, R.B. dan J. Kali Taek. 1993. Pemanfaatan jerami jagung dan kacang tanah sebagai
pakan ternak sapi. Publikasi Wilayah Kering 1(1): 23-25.